HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

Drs. Badwan, M.Ag Farkhani, S.HI., S.H., M.H HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA- NORMA AGAMA DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

Drs. Badwan, M.Ag Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Cetakan, 2017 16 x 24 cm; vi + 70 hlm.

Penerbit: LP2M-Press, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga Email: [email protected]

ISBN 978-602-51155-4-7

All Right reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit. Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman. Kajian keilmuan di bidang hukum, berjalan dan beriring dengan perkembangan keilmuan secara umum dalam dunia global. Ia bergerak mengikuti siklus pergerakan keilmuan secara umum, ada saat dimana ia muncul, berkembang dan tegak di atas permukaan keilmuan, terkadang pula tertutupi oleh tren kemajuan dan perkembangan keilmuan dalam sektor lain. Dalam keilmuan hukum berlaku pula falsifikasi, dekontruksi maupun rekonstruksi dan bahkan pula ia berkutat dalam satu tren kemudian bergerak secara evolutif menuju kejenuhan terhadap tren yang dianggapnya sudah tidak lagi kompatibel terhadap kebutuhan dan pergeseran kehidupan masyarakat. Di , proses seperti ini terasa pula dalam perkembangan pewacanaan ilmu hukum. Positivisme hukum yang pernah jaya dan diagungkan mulai dikritisi karena berbagai kegagapan dan kegagalan dalam mewujudkan cita-cita hukum. Berdasarkan pada argumentasi ini, ditopang semakin goyahnya positivisme menuju post positivisme (bermula dari gerakan modernisme menuju post modernisme) serta keinginan untuk mengkaji pada apa yang disebut hukum yang berkeindonesiaan, muncullah berbagai macam tawaran wacana atau pradigma keilmuan dalam ilmu hukum, sebut saja hukum progresif, hukum non-sistemik, hukum profetik, hukum ala al-takwil al-ilmi dan hukum transendental. Penelitian ini mencoba memperbincang hukum transendental, yakni suatu ajaran hukum yang bersumber pada nilai-nilai suci yang terkandung dalam ragam kitab suci yang ada pada agama-agama dunia (yang diakui di Indonesia) yang selanjutnya diobjektifikasi

iii Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... dalam ranah realitas hukum yang dihadapi, yang diharapkan menghasilkan satu produk hukum yang bernilai ilahiyah sekaligus kompatibel bagi perkembangan kehidupan manusia, yang sudah barang tentu, salah satu hasilnya tercermin dalam ragam argumentasi hukum yang dilakukan oleh para pembelajar hukum, termasuk hakim-hakim pada sistem peradilan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya dalam buku ini, kajian-kajian yang ada didalamnya adalah berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan hukum transendental dan bagaimana mula perbincangan hukum transendental ini terlacak. Kemudian bagaimana aplikasi dan prospek hukum transendatal itu dalam ranah realitas hukum, salah satunya dipergunakan dalam argumentasi hukum yang biasa dipakai oleh hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Untuk melihat perbincangan tersebut, secara spesifik, buku ini mengkaji salah satu Putusan Pengadilan Negeri Purworejo (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr). Dari sana, kita dapat melihat bagaimana pradigma berfikir hakim yang mencoba menerapkan hukum transendental dalam putusan pengadilannya. Akhirnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt yang memberikan kekuatan untuk menyelesaikan buku kecil ini, selanjutnya selaku penulis mengharap adanya koreksi dari berbagai pihak terutama para pembaca yang insya Allah akan kami jadikan sebagai bahan revisi buku pada kesempatan yang akan datang. Selamat membaca dan terima kasih.

Penulis

Drs. Badwan, M.Ag Farkhani, S.HI., S.H., M.H

iv Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

DAFTAR ISI

Pengantar...... Daftar Isi ......

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia ...... 1 B. Norma Agama Sebagai SumberHukum Transendental ...... 6

BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM...... 9 A. Hukum Transendental...... 9 B. Akar Diskursus Hukum Transendental ...... 14 C. Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim...20 D. Implementasi Hukum Transendental sebagai Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim ...... 24

BAB III KABUPATEN PURWOREJE DAN PENGADILAN NEGERI PURWOREJO ...... 30 A. Sekilas Kabupaten Purworejo ...... 30 B. Pengadilan Negeri Purworejo ...... 34 C. Norma Agama dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Purworejo...... 39

v Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

BAB IV PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN NEGERI PURWOREJO.... DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr...... 46 A. Paradigma Berfikir Hukum ...... 46 B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.49

BAB V PENUTUP ...... 65 A. Kesimpulan...... 65 B. Saran ...... 66 C. Tindak Lanjut...... 66

DAFTAR PUSTAKA ...... 67

vi Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN

A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Gerak dan wacana hukum, dalam perkembangannya terus mengalami perubahan dan pergeseran. Bermula dari kajian tentang filsafat alam yang berkembang pada zaman Yunani Kuno, kemudian dengan kehadiran Socrates, Plato dan Aristoteles filsafat yang semula hanya memperbincangkan perdebatan diseputar penciptaan alam kemudian bergeser pada problem keseharian hidup manusia atau situasi manusiawi (Otje Salman S, 2012: 2). Pada masa ini, alam dimana manusia itu tinggal dianggap sebagai suatu kekuasaan yang mengancam manusia. Oleh karenanya perlu ada orang yang mampu menghadapi alam sebagai sesuatu yang penuh misteri dan sakral itu dan sebab manusia itu juga hidup dalam alam, maka manusia pun dianggap sesuatu yang mengandung misteri juga (Theo Huijber, 1982: 19). Socrates, Plato dan Aristoteles mencoba merubah paradigma masyarakakat Yunani Kuno yang religio primitif, menjadi lebih realitis dan rasionalis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup. Ajaran yang dibawakan oleh tiga filosof guru dan murid jelas merubah alam pemikiran manusia yang sebelumnya bahwa kehidupan itu berjalan sebagai suatu keharusan alamiah saja menjadi lebih manusiawi. Bermula dari pemikiran mereka, lalu muncul pemikiran tentang hukum. Sebab pemikiran awal yang muncul adalah tentang filsafat alam, maka aliran hukum yang pertama muncul adalah aliran filsafat hukum alam, kemudian seiring perkembangan zaman muncul aliran-aliran hukum lainnya seperti positifisme, utulitarianisme, aliran hukum wahyu dan lain-

1 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... lain. Diantara aliran-aliran itu ada dominasi dalam penerapan hukum ada pula yang berhenti dalam tataran makna dan hanya berlaku dalam kurun waktu yang pendek kemudian berhenti dalam diskursus ilmu pengetahuan hukum. Dari banyaknya aliran pemikiran hukum pada masa klasik sampai pada post modernisme, Stanley L. Poulsen dan Shidarta membaginya dalam dua model aliran hukum yang pembagian tersebut berangkat dari pola hubungan antara hukum, fakta dan moral; pertama hukum yang menyatu dengan fakta (reductive thesis) dan terpisah dari fakta (normativity thesis). Kedua, hukum menyatu dengan moral (morality thesis) dan terpisah dari moral (separability thesis). Dari pola ini Poulsen tidak merinci pada banyak aliran-aliran pemikiran dalam hukum, ia hanya melampirkan tiga aliran pemikiran hukum, yaitu; aliran hukum kodrat (natural law theory), aliran legisme hukum ala Kelsenian (Klesen’s pure theory of law) dan aliran realisme hukum (empirico-positivist theory of law) (Shidarta dalam Absori dkk, 2017: 4). Pada masa dasa warsa terakhir, muncul ragam tawaran pemikiran hukum baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri muncul aliran hukum progresif yang diinisiasi oleh begawan hukum dari Universitas Dipenogoro Semarang, Satjipto Raharjo, hukum non sistemik yang dipelopori oleh Anthon F. Susanto seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, di Univesitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide penafsiran hukum al-ta’wil al-ilmi yang berawal dari model pembacaan teks dengan model bayani, burhani dan irfani-nya Syed Hossein Naser, di Univeritas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide hukum profetik. Ilmu Hukum Profetik yang digaungkan di UII Yogyakarta belum memiliki arah pemikiran yang jelas, sementara Ilmu Hukum Profetik yang dikembangkan di UM Surakarta, oleh Kelik Wardiono dikembangkan dengan meminjam pola pemikiran Ilmu Sosial Profetik yang dikenalkan oleh Kuntowijoyo (Absori dkk, 2015, dan

2 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Kelik Wardiono, 2016) dan akhir-akhir ini Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar menyebarkan wacana hukum transendental. Istilah wacana hukum langitan juga pernah dilontarkan oleh Anthon F. Susanto yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil yang dikhususkan untuk mengkritisi wacana hukum profetik yang kedua buku tersebut dilaunching pada acara Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) ke-5 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (Anthon F. Susanto, 2015). Terakhir adalah istilah hukum langit dari prosiding disertasi Muhyar Fanani (2008) yang menjelaskan upaya nasionalisasi hukum Islam dan Islamisasi hukum nasional. Munculnya wacana pemikiran hukum yang beyond postmodernisme di Indonesia itu tidak lain adalah bermula pada kegagalan legal positifisme hukum dalam memecahkan persoalan- persoalan kontemporer hukum yang sesungguhnya tidak an sich membutuhkan kepastian hukum dan legalitas atas segala perbuatan hukum, baik yang bersifat onrechtsmatigedaad maupun yang zaakwarneming. Kasus-kasus seperti pencurian biji kakao oleh nenek Minah, semangka afkiran oleh Kholil dan Basar, sandal jempit oleh pelajar SMK di Palu, kayu bakar oleh nenek Asyani, pisang batu oleh kakek Klijo Sumarto, minyak kayu putih oleh nenek Hasnah, piring oleh nenek Rasminah, penebang pohon Mangrove oleh Busri dan beberapa kasus semisal lainnya berbanding terbalik oleh kasus pembakaran hektaran hutan di Riau, dan korupsi menjadi bukti nyata ketidakmampuan positifisme hukum dalam menciptakan tujuan hukum diantara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Mengubah arah pemikiran hukum dari para penegak hukum di Indonesia bukan urusan semudah membelah pisang. Penancapan alur fikir legal positifisme sangat panjang, dimana awal masa munculnya pemikiran hukum legal formalisme pada tahun 1650 M, Belanda melalui VOC-nya dan pemerintahan kolonialnya telah menancapkan kuku imperialisme besarta tatanan nilai-nilai (norma

3 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... dan teori) hukum, hingga masa akhir kejayaan paham teori ini (awal abad 19) Belanda masih tetap bercokol di Bumi Indonesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan produk hukum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka dapat saja dipahami mengapa hakim-hakim itu mayoritas terkungkung dan nyaman terjebak dalam lingkaran legal formalistik yang positifitik, rasionalistik dan empiristik (Farkhani dan Evi Aryani, 2016: 31). Legal formalistik yang positifistik, seusungguhnya tidak begitu buruk bilamana konsistensi dalam menjalankan hukum untuk keadilan dan kepastian hukumnya diterapkan secara adil kepada siapapun, prinsip atau azas equal before the law dipegangi dengan teguh oleh seluruh penegak hukum. Ketidakkonsistenan yang selama ini diperlihatkan membuat pesimistis terhadap sistem hukum dan peradilan selama ini. Realitas yang kasat mata mempertontonkan para penegak hukum menjadi sangat cekatan, tegas dan mantap memproses hukum pada para terdakwa dari kalangan masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan perundang-undangan dan sedikit berkreasi bila kasusnya di publish dan di blow up oleh berbagai media massa, baik cetak dan elektronik dan diikuti oleh aksi demontrasi dari kalangan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat dan aksi solidaritas lainnya. Sementara pada kasus-kasus yang melibatkan politisi, birokrat, selebriti, penguasa dan pemilik modal, kebenaran dan keadilan hukum diperdagangkan (Farkhani dan Evi Aryani, 2016: 32). Equality before the law hanya menjadi mimpi buruk bagi para pencari keadilan hukum dari masyarakat proletar. Zaman terus bergerak dan berubah, ilmu pengetahuan terus dikembangkan, kesenjangan antara idealita dan kehidupan praksis terus didekatkan dalam semua sisi kehidpan manusia, termasuk dalam hal pemikiran ilmu hukum dan penerapannya dalam kasus perkasus. Para hakim sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mulai ada yang berani membuka diri, menggali ilmu, nilai dan

4 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H norma yang dapat dipedomani sebagai sumber hukum. Norma adat, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama mulai lebih sering dilirik, dijadikan bahan hukum guna tercapainya keadilan hukum sedekat mungkin dengan keadilan yang sesungguhnya. Terkhusus dengan norma agama, hakim yang hidup dalam negara Indonesia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan dalam setiap irah-irah putusannya tercantum “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjadikan hakim sebagai “wakil” Tuhan di muka bumi untuk penegakan keadilan bagi seluruh manusia. Artinya bahwa setiap putusan yang hakim keluarkan harus benar-benar dapat dipastikan bahwa putusannya itu dapat dipertangungjawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam sejarah putusan pengadilan di Indonesia, sunguh telah ada hakim yang memiliki pemikiran bahwa hakim adalah “wakil” Tuhan. Nama Bismar Siregar (dalam posisi sebagai judex facti) menjadi rujukan utama sebagai salah satu hakim yang paling sering menggunakan argumentasi yang berlandaskan norma-norma agama dalam setiap putusannya. Beliau menjadi hakim yang paling berani melawan aras hukum yang menjadi ideologi hukum para hakim pada umumnya. Norma-norma agama, terutama ajaran dalam al-Quran dan Injil sering kali beliau jadikan sebagai argumentasi untuk jatuhnya putusan dalam akhir sebuah persidangan. Hal ini menunjukan bahwa norma hukum transendental dapat pula dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebagai argumentasi hukum dalam putusan pengadilan, dan sangat mungkin ada peluang untuk menjadikannya sebagai norma hukum nasional. Setelah era Bismar Siregar, sulit didapatkan hakim yang menggunakan norma agama menjadi salah satu argumentasi dalam memutuskan perkara dalam persidangan, bukan berarti tidak ada. Akhir-akhir ini muncul putusan hukum yang semisal dengan apa yang pernah dilakukan oleh Bismar Siregar. Dalam sebuah persidangan pada perkara pembunuhan berencana di Pengadilan

5 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Negeri Purworejo, majlis hakim yang diketuai oleh Purnawan Narsongko, S.H., dengan hakim anggota Alex. TMH. Pasaribu, S.H. dan Mardiana Sari, S.H., M.H., menggunakan norma-norma agama sebagai salah satu argumentasi pemberian hukuman pada terdakwa Adriawan bin Subarjo. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji putusan hukum hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam menggunakan norma agama sebagai argumen hukum untuk pemberian hukuman pada terdakwa, dan bertolak dari persoalan ini juga akankah semakin terbuka dan berani para penegak hukum untuk menggunakan norma hukum transendental sebagai norma hukum yang keberlakuannya diakui secara terbuka dan menasional.

B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendental Ilmu modern yang bercorak rasional positifistik dianggap bukan segala-galanya, sebab alam kehidupan manusia tidak melulu yang bersifat wadag dan dapat ditangkap oleh rasio manusia yang memiliki keterbatasan. Rasionalisasi yang dipegangteguhi oleh positifisme jelas akan sangat terbata-bata untuk memperbincangkan segala hal yang bersifat batiniyah. Sebab positifisme erat terkait dengan tangkapan indrawi dan bukti empirik. Akal manusia dijadikan sebagai alat ukur terhadap suatu problem dengan jawaban pasti; logis dan tidak logis. Menurut Absori (dalam Absori dkk, 2017: 14-15), pemikiran transendental berkaitan dengan pemahaman yang menempatkan ilmu pada jangkauan yang lebih luas melampaui batas-batas normatif kaidah ilmu yang bersifat rasional. Binkai ilmunya bersifat metafisik, supranatural dan sering kali irasional. Immanuel Kant memaknai transendental sebagai sebuah pemahaman yang melampaui batas-batas pengalaman. Menurut kaum Skolastik, transendental dipahami bersifat superkategoris, yakni mencakup segala hal yang lebih luas dari kategorisasi tradisional, baik dalam bentuk, potensi dan aksi. Transendental mampu mengungkap ciri

6 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H universal dan adiindrawi dari yang ada yang ditangkap melalui intuisi yang melampaui pengalaman apapun. Transendental menunjukkan eksistensi melalui akumulasi kegiatan berfikir, kesadaran dan dunia (Lorens Bagus, 1996: 1118-1122). Roger Garaudy, memaknai transendental dalam tiga perspektif; pertama, pengakuan ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta, kedua, pengakuan terhadap kontinuitas dan ukuran bersama antar Tuhan dan manusia dan ketiga, mengakui keunggulan norma- norma mutlak yang melampaui akal manusia (M. Fahmi, 2005: 97). Dari pemahaman ini semua, diyakini bahwa agama, spiritual, etika dan moral sebagai bagian dari transendensi dalam kehidupan manusia. Agama (penuh muatan transendensi) diyakini sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke dunia untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan, serangkaian ibadah ritual dan petunjuk kehidupan manusia sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la (dalam Adi Sulistyono, 2008: 2), transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Agama sebagai petunjuk hidup yang didalammnya tertera banyak norma, termasuk norma yang bermuatan hukum, dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan dapat pula dijadikan sebagai argumen hukum dalam mempertimbangan pemberian hukuman bagi pelanggar hukum. Bermula dari pemahaman ini kemudian muncul istilah hukum transendental yang sedang dikembangwacanakan oleh para sarjana hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Konsep hukum transendental tercipta

7 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... setelah mengelaborasi; (1) berbagai pemahaman dari para sarjana tentang transendental, (2) introdusir Spiritual Intellegence-nya Danar Zohar dan Ian Marshall yang diyakininya sebagai The Ultimate Intellegence, (3) konsep Emotional Spiritual Quotient-nya Ari Ginanjar Agustian dan (4) konsep hukum yang membahagiakannya Satjipto Rahardjo diperolehlah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan hukum transendental adalah hukum yang mendasarkan pada nilai dan norma luhur agama, spiritual, etik dan moral untuk mengatur perilaku tutur dan tingkah laku masyarakat hukum agar tercipta kehidupan yang harmoni, mensejahterakan dan membahagiakan lahir dan batin. Hukum transendental juga tidak hanya menghendaki konten hukumnya tetapi juga pada sikap para penegak hukumnya yang menginternalisasi nilai-nilai transendensi. Argumentasi hukum sifatnya wajib bagi hakim dalam setiap pemberian hukuman kepada pelanggar hukum. Keberadaannya di pastikan ada pada setiap putusan pengadilan pada saat mengakhiri persidangan. Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah ‘argument’ diartikan sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Adapun hukum secara ringkas diartikan sebagai aturan. Sehingga dapat dimakna bahwa yang dimaksud dengan argumentasi hukum adalah alasan-alasan yang dianggap logis yang memuat norma-norma hukum yang bertujuan meyakinkan pihak lain atas alasan yang dikemukakan. Argumentasi hukum yang biasa dijadikan pertimbangan pemberian putusan bagi hakim meliputi unsur-unsur legal justice, moral justice dan social justice. Aspek-aspek yang termasuk dalam moral justice adalah falsafah humanisme, psikologi, pendidikan dan agama. Aspek (norma) agama sangat jarang diungkap secara tegas dalam putusan-putusan hakim pengadilan, terkhusus pengadilan negeri dan lebih khusus pada kasus pidana.

8 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM

A. Hukum Transendental Kebebasan beragama (religious freedom) menjadi salah satu bagian terpenting dalam kluster hak asasi manusia. Dalam sejarah pembentukan dan perubahan konstitusi di Indonesia, klausul kebebasan beragama tidak pernah hilang, bahkan mengalami penguatan dari waktu ke waktu dan semakin diperhatikan keberadaannya. Sebab sangat urgennya hak kebebasan beragama (religious freedom) dimasukan dalam klasifikasi sebagai non-derogable right - hak lainnya; hak atas hidup (freedom to life), hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free from ), hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama-, artinya hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun (bencana, darurat ataupun perang) (Ifdhal Kasim, 2001: xii-xiii). Hak non- derogable right ini juga secara tegas tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1. Kebebasan beragama (religious freedom) tidak boleh dikurangi, hanya diperbolehkan dilakukan pembatasan dengan alasan-alasan yang dibenarkan dan berdasarkan pada peraturan perundang- undangan. Adapun keterangan yang dimaksud dengan pembatasan adalah sebagiamana terangkum dalam; 1. Konvensi internasional hak sipil dan politik yan telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 dalam pasal 18

9 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

ayat 3 yang berbunyi; “kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain”. 2. Deklarasi hak asasi manusia PBB (DUHAM) terangkum dalam pasal 29 ayat 2; “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan- kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan- pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. 3. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal 1 Ayat 3; “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi”. 4. Konvensi Hak-Hak Anak Persyarikatan Bangsa-Bangsa (Convention on the Rights of the Child), terdapat dalam pasal 14 ayat 3; “kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan- pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan- kebebasan dasar orang lain”. Komponen-komponen yang menjadi pembatasan dari hak kebebasan beragama yang tercantum dalam berbagai konvensi dan deklarasi internasional itu, kemudian dijadikan bahan untuk menyusun pasal 28 huruf j UUD 1945; (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan

10 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.(2) Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum. Berkenaan dengan hal tersebut, ada perdebatan yang cukup menarik antar hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 berkenaan dengan penodaan agama, yang berpusat pada dua titik pemahaman dalam memahami kebebasan beragama dalam secara forum internum (sikap batiniyah) dan forum eksternum (sikap lahiriyah) (Suparman Marzuki, 2013: 200-203). Berkaitan dengan persolan ini, mendasarkan pada UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1, sangat mungkin melahirkan kebebasan berfikir dan berpendapat yang berdasarkan pada pemahaman atas keyakinan agama seseorang. Oleh karena tidak dapat disangkal bila kemudian ditemukan pemikiran-pemikiran dari para cerdik cendikia yang berkompeten di bidangnya masing-masing, ada kalanya mengikutsertakan pemahaman atau keilmuan yang berkaitan dengan agama pada persoalan yang sedang diperbincangkan atau bahkan menjadi landasan argumentasi dalam pandangan- pandangannya, baik secara tertulis maupun lisan. Dalam ranah hukum, penyampaian argumentasi atau pendapat pribadi yang dikaitkan pada persoalan hukum yang sedang dihadapi bisa saja terjadi; apakah berasal dari para pihak yang bersengketa, terdakwa, kuasa hukum, penuntut umum bahkan dari hakim itu sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan di persidangan sampai pada argumentasi hukum dalam putusannya. Argumentasi yang mendasarkan pada hak kebebasan beragama termasuk didalamnya menggunakan diktum-diktum ajaran agama dalam kehidupan, biasa digunakan dengan istilah norma agama. Norma agama adalah norma luhur dan adi luhung,

11 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... atau ia adalah norma yang melampaui batas-batas rasionalitas (rasionalisme) yang didukung oleh kemampuan daya tangkap dan daya tampung panca indera manusia (empirisme). Selanjutnya nilai atau norma tersebut dikenal dengan istilah transendental. Pengenalan istilah transendental sejatinya telah lama, yakni suatu pola pemikiran yang terlahir dari phythagorianisme yang mempengaruhi pemikiran Plato dan para pengikutnya serta kaum Neoplatonis, dan terus diperbincangkan dalam zaman Skolastik serta beberapa sarjana mewacanakannya sebagai anti tesis dari wacana yang telah popoler dan berkembang sebelumnya. Diantara tokoh yang mengangkat tesis ini adalah Immanuel Kant. Tesis Kant (trancendental philosophy) tentang hal ini bermula dari perdebatan antara paham rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776). Kritik Kant berkenaan dua paham yang saling beroposisi melahirkan satu tesis baru yang “melampaui” batas-batas paradigma yang dipergunakan oleh dua paham tersebut. Kant tidak terpuaskan oleh argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh rasionalisme yang lebih mengandalkan pada hasil pemikiran rasio semata. Ia menentang jargon yang diusung oleh Rene Descrtates “cogito erga sum” (saya berfikir maka saya ada”. Pemikiran Descrates ini seolah-olah tidak ada jalan pemikiran dan keilmuan kecuali dengan cara mengeksploitasi kemampuan pikir manusia. Ketidaksetuajuan Kant terhadap empirisme juga terlihat nyata, ia tidak sepakat atau tidak terpuaskan dengan argumentasi kaum empirisme yang menyatakan bahwa satu satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi, atau dengan kata lain bahwa sesuatu dapat dikatakan ilmu kebenaran yang dipancarkan dari ilmu itu dapat ditangkap dan dibuktikan secara nyata oleh indera manusia. Kritik Immanuel Kant terhadap rasionalisme dan empirisme ini sebab keduanya tidak mampu atau mengeluarkan segala sesuatu atau pengetahuan yang berasal dari sumber yang berada di luar

12 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H rasia dan inderawi, misalkan memperbincangkan tentang Tuhan dan jiwa (ruh). Pemikiran Kant yang berkecenderungan bersifat metafisis memang mengalami pertentang-pertentangan dalam zamannya, namun pemikirannya sampai saat ini tidak hilang bahkan menjadi jalan lain (alternatif) atas kebuntuan-kebuntuan dari ilmu yang terpapar rasionalisme dan empirisme. Transendentalisme menjadi tren baru di fase post modernisme. Begitu pula dalam ranah hukum, kejenuhan terhadap ragam produk dan pemikiran hukum yang bersifat rasional dan empiri mulai diragukan karena ketidakmampuannya untuk melahirkan keadilan dan rasa keadilan masyarakat yang menjadi subyek dari hukum itu sendiri. Hukum yang bersifat transendental mulai diangkat sebagai upaya lain untuk menerobos kekakuan-kekakuan hukum yang selama ini menjadi persoalan pelik dan selalu debatable, terutama dalam ranah law enforcment dari produk-produk hukum yang lebih mengunggulkan kepastian hukum. Transendental, dalam bahasa Inggris ‘transcendent’, berasal dari bahasa Latin ‘trancender’. Trans bermakna seberang, atas, melampaui dan scender bermakna memanjat. Dari arti bahasa ini, muncul beberapa pengertian tentang makna istilah dari transendental; 1) sesuatu yang lebih tinggi, unggul, agung, melampaui, superlatif, 2) melampaui apa yang dalam pengalaman, 3) berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah, 4) tidak tergantung dan sendiri. Dari penjelasan awal muncul wacana transendentalia pada abad pertengahan, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan transendental adalah sesuatu yang berada di luar batas kemampuan dan pengalaman-pengalaman yang berawal dari eksploitasi ruang rasio dan inderawi manusia, ia adalah sesuatu yang tinggi, agung, suci, dan unggul, metafisis dan sangat mungkin bersifat ilahiyah. Bila pengertian ini diterapkan pada ranah hukum, disebut sebagai hukum transendantal, secara sederhana adalah hukum yang tidak hanya terpaku pada produk-produk hukum yang argumentasi

13 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... dan tafsirnya yang terpancang pada segala apa yang dapat ditangkap oleh logika hukum yang rasionalistik empiristik, tetapi melampaui batas-batas itu yang bersifat metafisis dan ilahiyah. Sebab dalam ranah hukum, produk hukum akan selalu terkait dengan sumber hukumnya dan idea of law, maka jalur yang paling singkat dan mudah untuk menemukan dan memahaminya adalah dalam norma-norma agama yang tersimpan rapih dalam diktum-diktum ajaran agama dalam masing-masing kitab suci agama. Selanjutnya lebih mudah menyebutnya sebagai norma dan/atau nilai agama. Singkatnya hukum transendental adalah objektifikasi norma dan/ atau nilai agama menjadi hukum bagi manusia. Jujur diakui bahwa wacana ini belum begitu populer dalam perkembangan ilmu hukum, tetapi telah ada dan mulai dilirik dalam berbagai kesempatan dalam ranah hukum terutama pada aspek argumentasi hukum dan ada pula produk-produk hukum di Indonesia.

B. Akar Diskursus Hukum Transendental Diskursus mengenai hukum dan aliran hukum terus melaju dan berkembang, dimulai ketika para filsuf memperbincangkan manusia dan alam. Oleh karenanya pemikiran yang lahir pada masa awal – yang diyakini sebagai- lahirnya filsafat adalah berkaitan dengan manusia, jiwa, alam raya dalam satu lingkaran makro kosmos. Para ilmuan mengatakan bahwa orang yang pertama kali memperbincangankan manusia dengan segala yang terkait dengan kehidupannya adalah Socrates. Dia-lah yang mengangkat tema manusia dengan segala seginya, termasuk bagaimana seharusnya manusia berperilaku pada diri dan alam sekitarnya. Berperilaku disini bermakna seharusnya manusia memposisikan diri sebagai organ makro kosmos untuk tunduk pada aturan-aturan alamiah. Pemikiran utama Socrates ini kemudian diperbincangkan dalam berbagai perspektif dan dari sini pula diyakini perbincangan tentang filsafat hukum termasuk kategorisasi aliran-aliran pemikiran hukum mulai

14 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H berkembang. Pemikiran awal tentang hukum ini kemudian masuk dalam kategori aliran pemikiran hukum alam atau filsafat hukum alam. Masa berikutnya adalah masa Plato. Plato adalah murid Socrates, maka tidak heran bila pandangan filsafatnya (filsafat hukum) banyak dipengaruhi oleh pemikiran Socrates. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Plato mengenal filsafat tidak hanya dari Socrates, ia juga belajar pada filsuf-filsuf yang disebut sebagai filsuf pra sokratik, diantaranya Kratylos dan Heraklietos. Plato juga belajar dari kaum Sofis, walaupun banyak bertentangan dengan konsep relativisme moral kaum Sofis. Dari hasil belajarnya, Plato memiliki idea filsafatnya sendiri. Ia memulai bahwa apa yang ditangkap oleh indrawi adalah sebuah realitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia juga menyadari bahwa alam inderawi senantiasa berada dalam perubahan, tidak tetap, tidak sempurna, tidak abadi, majemuk dan puspa ragam (J.H. Rapar, 2001: 46). Pemikiran Plato juga menjunjung dunia idea, dimana alam idea seringkali tidak dapat ditangkap oleh alam inderawi. Untuk kepentingan keduanya, perlu ada penghubung antar keduanya, dan Plato menyebutnya “jiwa”, dalam bahasa lain adalah “ruh” (J.H. Rapar, 2001: 47). Dengan demikian, jelas pengaruh Socrates sangat kental dalam pemikiran filsafatnya, yang tidak mau dengan serta merta meninggalkan ajaran gurunya yang beraliran hukum alam. Sedangkan hukum alam menurut Otje Salman (2002: 63) adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia. Berawal dari pemikiran filsafat Plato ini, penulis meyakini sebagai cikal bakal aliran filsafat hukum positif (positifisme, realisme hukum). Statemen ini semakin jelas pemikiran hukum Aristotels yang merupakan murid langsung dari Plato. Otje Salman (2002: 64) menyebut Aristoteles sebagai pemikir hukum yang pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif.

15 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Perdebatan atau diskursus biner antara hukum alam dan hukum positif terus berlanjut sampai pada masa jauh setelah zaman Yunani kuno, diantaranya Thomas Aquinas dan Hugo Grotius sebagai filsuf hukum yang lebih condong beraliran hukum alam walau dengan bahasan yang lebih rinci dan klasifikasi kategoris yang mendasarkan pada asal sumber pemikiran hukumnya. Aquinas mengatakan bila antara hukum positif dengan hukum alam terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan adalah hukum alam. Adapun Grotius mengatakan bahwa hukum alam adalah hukum yang riil dan sama dengan hukum positif (Otje Salman, 2002: 64-65). Abad Pertengahan (18-19 M) adalah abad kejayaan pemikiran positifisme –aliran hukum positif. Para penstudi hukum sepakat bahwa pelopor aliran pemikiran hukum ialah John Austin (1790- 1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem atau corpus yang tetap, logis, dan tertutup. Pemikiran itu kemudian berkelindan dengan pemikir yang serupa seperti August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa perlu adanya kepatian dari hukum untuk mengikuti perkembangan untuk mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. Comte juga hanya mau mengakui hukum yang dibuat oleh negara. Setelah dua tokoh itu, muncul Hans Kelsen (1881-1973) yang mengusung teori hukum murni. Hans Kelsen semakin mempertegas posisi dan kedudukan hukum positif di tengah menguatnya pemikiran dan praktik negara modern. Dalam bukunya “The Pure Theory of Law”, ia menyatkan “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya”. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.

16 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Pada masa ini pergulatan antara hukum yang bersumber pada idea Tuhan, kehendak alam dan akal budi manusia dan moral dengan hukum adalah hukum yang dibuat oleh negara lebih banyak unggul yang terakhir, kecuali pada negara-negara dibelahan Timur, terkhusus negara-negara Islam yang berada dalam kekhilafahan Turki Utsmani. Sampai pada persoalan ini John Gilisem dan Frits Gorle (dalam Anton F. Susanto, 2010: 74) menerangkan bahwa sejarah memperlihatkan hukum berkembang dari apa yang kita kenal sebagai tatanan-tatanan hukum yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern. Perkembangan selanjutnya menjadi semakin miris, karena melihat dunia hukum hanya dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi (Khudzaifah Dimyati, 2005: 60). Aliran pemikiran hukum yang digjaya pada abad itu tentu saja mempengaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Sebab pada kurun abad itu Indonesia di jajah oleh beberapa bangsa Eropa yang menggunakan alam pemikiran positivisme (hukum) pada peraturan perundang-undangannya, terutama Belanda. Tentu saja dengan berbagai argumentasi, terutama asas konkordasi, hukum yang mereka miliki diterapkan begitu saja kepada negara jajahannya serta diperkuat dengan pembelajaran ilmu hukum yang mendukung madzhab pemikiran hukum yang berjaya pada masa itu. Baik dengan cara menyediakan sekolah-sekolah hukum bagi pribumi di negara mereka dan/atau mendirikan sekolah hukum di negeri jajahan. Sebab perkembangan yang demikian itu, menjadi wajar hal itu juga memperngaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Oleh sebab itu corak pemikiran hukum para sarjana hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada masyoritas bergenre positivisme. Tercermin jelas pada penekanan aspek legalitas, lebih sering mengesamping aspek-aspek moralitas, etika dan agama dalam praktek produksi dan penegakan peraturan perundang-undangan. Sebagai penguat atas statemen dimuka, sebagian kecil kasus yang

17 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... sempat menjadi tranding topic pada beberapa tahun terakhir tulisan ini dibuat, diantaranya; pencurian minyak angin, pencurian biji kakao, ketumbar, sandal jepit, pisang dan beberapa kasus lainnya dengan skema penanganan yang serupa, siapa yang berbuat salah, ketangkap, pencocokan antara perbuatan dengan paraturan perundangan dan vonis.

Skema pemidanaan dalam pola positivistik hukum

Pelanggar Tangkap Hukum

Vonis Temukan Hukuman Peraturannya

Fakta dan skema hukum yang terlihat tersebut menunjukkan bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang- undang, dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek moral, agama dan sosial di masyarakat. Selanjutkan sebab berbagai fakta yang terjadi dalam dunia ilmu hukum dan hukum di Indonesia yang sangat terpengaruh oleh positivisme hukum, menjadikan hukum di Indonesia terpenjara dalam teks book peraturan perundang-undangan, mengabaikan terwujudnya cita hukum yang hakiki, meninggalkan kekacauan dan ragam problema dalam hukum baik dalam teks maupun implementasinya dalam law enforcment. Kegagalan positivisme hukum yang demikian massif itu menimbulkan ragam kritik, yang intinya bahwa terjadinya kegagalan hukum dalam memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan teori positivisme hukum dalam pembangunan hukum. Dalam berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari para penganut penganut hukum

18 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H responsif–sintesis dari berbagai aliran hukum, terutama aliran Hukum Alam, Madzhab Sejarah Hukum, Aliran Sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal Studies movement. Ilmu hukum modern mulai digoyang, di geser ke berbagai lompatan wacana post modernisme yang ingin membebaskan diri pada terkungkungan teks dan rasionalitas empiris dalam berbagai ilmu yang selama ini diagungkan. Hukum responsif (Philip Nonet dan Shilzinek) misalnya, menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum telah menjadikan hukum itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia demi tujuan sosial tertentu. Gerakan Critical Legal Studie, sebagai diyakini oleh para penggeraknya – diantaranya Roberto M. Unger- bahwa produk hukum (perundang- undangan) sangat sarat dengan kepentingan (politik), oleh karenanya setiap produk perundangan-undangan sangat terbuka untuk dicurigai ada muatan kepentingan tertentu yang membuat tujuan dari penciptaan hukum tidak tercapai. Anton F Susanto dalam buku Ilmu Hukum Non Sitemik (2010) menolak klaim bahwa hukum berada dalam wilayah rasional- dogmatik dan statis yang dipegang erat oleh positivistik hukum, tetapi merupakan wilayah yang senantiasa mengalami retakan dan rekahan sehingga setiap saat akan muncul tatanan baru yang menggantikan tatanan lama dan usang. Sementara Kelik Wardiono (2016) mencoba memberikan tawaran wacana Hukum Profetik, dimana hukum seharus memperhatikan pula nilai-nilai luhur yang bersifat moralitas tertinggi dan nilai-nilai nubuwat. Walaupun apa yang ditawarkan oleh Kelik itu masih perlu pendalaman atau penegasan apa sesungguhnya hukum profetik itu. Paling mutakhir yang sedang dikembangkan dan terus diupayakan penggaliannya adalah wacana hukum transendental. Absori (2016) dan para sarjana hukum Universitas Muhammadiyah

19 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Surakarta sedang gencar menyuarakan aliran baru ini. Sebuah aliran yang berkeinginan mem-breakdown-kan nilai-nilai ajaran ilahiyah yang tertampung dalam ragam kitab suci untuk menjadi solusi atas ketidakberhasilan ragam ilmu hukum yang dikembangkan berdasarkan pada rasio dan meta rasio manusia.

C. Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim Dari perkembangan tawaran aliran hukum transendental ini, terus disebarkan kepada para pemegang kepentingan atas tegaknya hukum yang sering kali terlihat semakin tidak menentu arahnya, sering meleset dari rel keadilan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Upaya-upaya untuk pembenahan untuk terciptanya hukum yang ideal terus diupayakan, termasuk merubah mainset para penegak hukum dan menggunakan argumentasi hukum yang sebelumnya sangat terkotak dalam idealita positivisme hukum. Terutama paradigma pemikiran hukum para hakim sebagai benteng keadilan hukum yang terakhir. Putusan-putusan pengadilan yang merupakan hasil karya pemikiran para hakim, selama ini mayoritas didominasi pola pemikiran positivistik. Argumentasinya lebih sering tertuju lebih banyak berlandaskan kitab-kitab hukum (law in book law), sangat jarang mencari argumentasi hukum berdasarkan pada norma-norma lain yang hidup dan diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Andaipun ada, ujung-ujungnya hukum atau sanksi yang diterapkan kembali lagi pada peraturan perundangan yang sudah ada, sangat jarang yang hasil akhirnya out of the box dari positivisme. Berkenaan dengan argumentasi hukum yang dapat saja dipakai oleh siapa saja yang memiliki perkara atau kepentingan yang berkaitan dengan hukum. Argumentasi hukum menjadi wajib untuk dikemukakan agar pihak lain memahami persoalan yang sedang diperbincangkan atau dihadapi. Argumentasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2015) bermakna “alasan untuk

20 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan”. Sedangkan dalam Black Law Dictionary (2004: 327), kata argumentasi (argument) bermakna sebuah pernyataan yang mencoba membujuk., biasanya digunakan dalam menganalisis dan menunjukkan atau menolak kesimpulan yang diinginkan, atas bantuan pembuat keputusan. Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ berarti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Berdasar pada arti bahasa argumentasi, kemudian sambungkan dengan kata hukum yang secara sederhana berarti norma atau peraturan yang mengatur tingkah laku manusia untuk berbuat atau tidak berbuat, maka makna dari frasa argumentasi hukum adalah alasan atau landasan pijak norma atau peraturan yang digunakan untuk meyakinkan secara logic dan yuridis pendapat hukumnya atau menolak pendapat atau gagasan hukum orang lain. Kusnu Goesniadhie memberikan pengertian argumentasi hukum adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas­ hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”. Berbicara dan menggunakan argumentasi hukum dalam praktik, tidak bisa dipisahkan dengan penalaran (logika) hukum dan penafsiran (interpretasi) hukum. Penalaran (logika) secara terminologi adalah suatu metode yang penilaian terhadap ketepatan penalaran yang dipakai untuk suatu argumentasi, sedangkan teori argumentasi ialah cara untuk mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi (secara tepat dan jelas), serta rasional yang kemudian diimplementasikan dengan cara

21 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... mengembangkan kriteria universal dan/atau kriteria yuridis sebagai suatu landasan rasional argumentasi hukum (Feteris, E.T., 1994: 2). Penalaran (logika) hukum yang diajukan dapat benar dan dapat pula sesat. Benar, apabila ada korelasi logis antara premis dan konklusi dan sesat, bila tidak ada korelasi logis antara premis dan konklusi. Oleh sebab itu nalar yang baik dan benar perlu dilatih dengan berbagai metode hingga ia menjadi sebuah keterampilan yang inhern pada pola pikir seseorang. Peran nalar yang baik dan benar, runut dan argumentatif sangat penting perannya dalam memberikan argumentasi hukum. Adapun interpretasi hukum lebih merupakan suatu teknik untuk memahami norma hukum (peraturan perundangan)agar dapat menangkap pesan yang hendak dicapai oleh norma yang ada. Karena hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan adalah buah karya manusia dan merupakan produk politik yang sarat akan kepentingan. Walaupun kodifikasi tersebut telah diupayakan dengan sungguh-sungguh detail-detailnya tetap saja tidak akan sempurna, tetap menyisakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja agar terhindar dari jerat hukum. Apalagi akselerasi dinamika perubahan dan kemajuan kehidupan manusia selalu lebih cepat daripada hukum yang terkodifikasi tersebut. Oleh sebab itu muncul model-model penafsiran (interpretasi) hukum, kodifikasi hanya berfungsi sebagai pedoman agar ada kepastian hukum. Jangankan hukum yang diproduk manusia, hukum yang diturunkan Tuhan melalui kitab suci nabi-nabi-Nya ternyata memunculkan pula metode-metode penafsiran. Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau

22 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum (judge made law) (Farkhani, 2014: 97-98). Interpretasi hukum hasil akhirnya adalah temuan hukum. Namun demikian, norma hukum tidak dapat diinterpretasikan bila tidak menggunakan alat yang disebut nalar hukum sebagaimana diterangkan di atas. Nalar hukum dan interpretasi hukum sebagai bahan utama argementasi hukum harus benar-benar rasional. Argumentasi hukum yang rasional mencakup tiga struktut 1. Struktur Logika: Alur premis menuju pada konklusi dari suatu argumentasi harus logis. Penalaran yg digunakan bisa berupa penalaran deduksi - pendekatan UU - pendekatan precedence . 2. Struktur Dialektika: Agar argumentasi tidak monoton, maka hrs diberikan sentuhan dialektika, dan di dalam dialektika itu suatu argumentasi diuji, terutama pada argumentasi prokontra. 3. Struktur Prosedural: Dalam pemeriksaan pengadilan diatur oleh hukum formal yg sekaligus merupakan rule of law dalam proses argumentasi dalam penanganan perkara di pengadilan. Prosedur dialektika di pengadilan diatur oleh hukum acara (http:// nanangsuprijadi.blogspot.co.id). Putusan pengadilan diibaratkan sebagai karya ilmuah hakim. Karena ia dapat dikatakan sebagai sebuah karya ilmiah, maka argumentasi hukum yang dikemukakan oleh hakim sangat penting. Dari argumentasi hukum itulah kualitas hakim dapat dinilai professionalitas, akuntabiltas sekaligus integritasnya sebagai seorang hakim. Argumentasi hukum juga merupakan pencerminan seorang hakim (yuris) sampai mana ia mengetahui atau menguasai hukum

23 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... itu sendiri. Jadi para yuris haruslah memiliki suatu argumentasi hukum yang masuk akal atau sesuai dengan aturan dan rasional. Realitas di lapangan ada kalanya para yuris yang ahli berargumen membawa argumentasi kearah yang membingungkan untuk tujannya pribadi ataupun kepentingan kelompoknya. Pada beberapa kasus terakhir lemahnya argumentasi hukum dari para hakim bukan karena lemahnya intelektualitas, tetapi lebih sering dipengaruhi oleh faktor eksternal yang membuat independensi dan kemerdekaan hakim menjadi rusak. Ada 2 (dua) jenis argumentasi hukum, argumentasi tertulis dan lisan serta argumentasi internal dan eksternal. Dalam persoalan yang sedang kita bahas, yang diperlukan adalah arumentasi tertulis dan argumentasi lisan, dan lebih khusus argumnetasi hukum secara tertulis. Argumentasi hukum tertulis adalah argumentasi hukum yang dirumuskan secara tertulis. Di dalam materi argumentasi tertulis terkandung makna penemuan hukum dan pembentukan hukum yang dilandasi dengan ilmu hukum, prinsip-prinsip hukum, asas-asas hukum, teori hukum dan falsafah hukum. Argumentasi tertulis merupakan landasan untuk melakukan argumentasi lisan. Seorang atau beberapa orang ahli hukum dapat melakukan artikulasi dan improvisasi dengan mengacu kepada argumentasi tertulis. Oleh karena itu, argumentasi lisan tidak boleh bertentangan dengan argumentasi tertulis. Argumentasi lisan akan memperkaya dan memperjelas apa yang terkandung di dalam argumentasi tertulis. (Tommy Hendra P., 2011).

D. Implementasi Hukum Transendental sebagai Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim Secara teoritis dan praktis, hakim adalah “wakil” Tuhan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menghukum siapa saja yang telah nyata dan terbukti dalam sidang pengadilan sebagai orang yang bersalah atas tindakan atau perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Adapun dalam persepsi masyarakat pada umumnya

24 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H tentang hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum (Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 41). Pengertian hakim yang diberikan oleh para ahli memang tidak jauh dari persoalan tersebut. Kata hakim secara khusus memiliki dua makna, yaitu; 1) pembuat hukum, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum, 2) yang menemukan hukum, menjelaskan, memperkenalkan, dan yang menyingkap hukum ( Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005: 76). Oleh sebab itu, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dan mengadili perkara apapun, baik perkara yang serta merta ia mengetahui hukum ataupun yang ia yakini belum ada hukum yang mengaturnya. Mengadili dalam hal ini adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana, perdata, tata usaha negara ataupun yang lainnya berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam pasal 1 ayat 9 KUHAP. Konklusinya, hakim dianggap mengetahui aneka hukum (curialus novit). Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya. Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan hukuman yang tepat pada setiap perkara yang dihadapinya. Ketentuan tersebut tertera jelas sebagai perintah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas berat tersebut diperberat dengan kaharusan memulai pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya dengan

25 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... klausul “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 2 {1} UU No. 49 tahun 2009). Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Jadi keadilan yang lebih utama yang harus ditegakkan bukan hukum (kepastian hukum). Memang sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi asas kemerdekaan hakim dan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dalam menilai dan memberi putusan pada suatu dakwaan kasus. Disinilah ruang penegakkan keadilan yang seharusnya menonjol. Tidak mudah untuk menemukan keadilan, karena persepsi setiap orang terhadap keadilan berbeda. Putusan yang dianggap hakim sebagai suatu keadilan belum tentu akan terasa adil bagi para pihak yang berperkara ataupun bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan tak ada satu kata sepakat untuk devinisi tentang keadilan. Lord Denning yang seorang Hakim Agung Inggris pernah mengatakan bahwa “Justice is not something you can see. It is not temporal but eternal. How does a man know what is justice. It is not the product of his intellect but of his spirit” (dalam Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 43-44). Irah-irah putusan yang berbunyi “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan statemen Hakim Agung Inggris Lord Denning menunjukkan bahwa hakim tidak boleh lepas dari spirit transendental dalam memutuskan setiap perkara. Transendensi, menurut Kontowijoyo (2006: 98) secara singkat dijelaskan sebagai implementasi keimanan kepada Tuhan, dalam Islam dibahasakan sebagai tu’minuna billah (QS. Ali Imran: 110). Atau dapat pula diperlebar bahwa transendensi adalah menempatkan nilai nilai agama pada kedudukan yang sentral dan tinggi dalam ragam ilmu. Dalam ranah hukum dapat dimaknai bahwa hukum transendental berisi nilai-nilai suci agama yang diimplementaskan dalam produk hukum, termasuk didalamnya putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim.

26 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Pemikiran ini merupakan reaksi atas ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi dalam bidang ilmu sosial khusunya (hukum) sehingga mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam bingkai modernisasi yang selama ini berlangsung menempatkan menempatkan manusia sebagai produk renaissance yang berakar pada rasio manusia. Pusaran antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat dunia, manusia merasa cukup dengan dirinya sendiri dan melepaskan diri dari nilai-nilai di luar dirinya (sekularisasi). Dari proyek ini selanjutnya adalah menempatkan rasio manusia di atas segalanya, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Kesombongan rasio ini pada akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna, termasuk pada setiap produk yang dihasilkan dari rasionya. Rasionalisasi miskin transendensi, miskin transendensi berati miskin makna, mengesampingkan moralitas, terperangkap dalam penjara yang tertangkap indera. Nilai-nilai transendensi yang diadopsi dalam dunia hukum akan menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi manusia yang menjadi subyek hukum. Transendensi hukum (hukum transendental) diharapkan akan memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi hukum di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Dalam putusan hakim, dikenal istilah legal reasoning. Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek psikologi dan aspek biographi. Legal reasoning

27 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... dalam arti sempit, berkaitan dengan argu­mentasi yang melandasi satu keputusan. (Golding, 1984: 1). Legal reasoning atau argumentasi hukum keberadaannya adalah wajib dalam setiap putusan pengadilan. Karena tidak mungin seorang hakim atau juris pada umumnya, menghadapi persoalan hukum dalam ruang hampa, pasti ada pijakan-pijakan yang akan dipilih untuk menyusun logika argumentatif, menyesuaikan antara teks dengan konteks. Hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya serta di dalam membuat pertimbangan hukum hakim harus berdasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar (pasal 68 A UU No. 49 Tahun 2009). Pada prakteknya, hakim lebih sering berargumentasi hukum dengan hukum positif dengan simplikasi lebih terjamin kepastian hukumnya. Realita yang demikian walaupun mayoritas tidak berarti harus diikuti untuk semua perkara hukum. Karena banyak juga kegagalan- kegagalan yang ditimbulkan yang semata-mata mengacu pada hukum positif sementara fakta tidak mesti sama persis dengan apa yang diinginkan oleh hukum positif. Marni Emmy Mustafa (www.pt-bandung.go.id) menegaskan bahwa kepastian hukum tidak selalu menghasilkan keadilan. Mendiskusikan kepastian hukum dalam bentuk “pro-contra” adalah tidak ada manfaatnya. Kepastian hukum mungkin saja berguna untuk memastikan seberapa jauh nilai yang dapat diberikan terhadap kepastian hukum dalam kasus tertentu, sebagaimana dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan lain yang melemahkan nilai kepastian hukum. Argumentasi untuk kepastian hukum dalam kasus yang berbeda satu sama lain akan beragam sesuai dengan ukuran yang pada gilirannya akan berubah-ubah sesuai waktu dan tempat terjadinya kasus tersebut. Berbagai alasan yuridis yang berbeda-beda akan dipergunakan atau berbagai macam metoda penemuan hukum akan diterapkan, agar di samping kepastian hukum, putusan akhir pengadilan juga akan dilandaskan pada pertimbangan akan keadilan.

28 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Oleh karenanya yang perlu diperhatikan oleh hakim adalah kesesuaian antara fakta dengan norma, norma yang dimaksud tidak hanya berhenti pada norma hukum saja akan tetapi dapat juga mempertimbangkan norma moral, doktrin bahkan norma agama yang transendental dan bersumber pada kitab suci agama. Pada posisi seperti ini, hakim memainkan posisi kunci dalam penggunaan norma yang akan dijadikan sebagai pertimbangan atau argumentasi hukum. Bahkan sangat mungkin apa yang dilakukan oleh hakim akan lebih berarti dibandingkan dengan sekedar membunyikan undang-undang atau peraturang perundangan lainnya. Franken menegaskan bahwa pembentukan pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta yang dalam hal ini adalah fakta hukum hasil pemeriksaan mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa (Herlien Budiono, 2006: 267). Berlandaskan pada pemaparan dimuka dan didukung oleh Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum, penggunaan agrgumentasi hukum yang bersifat transendental sungguh sangat terbuka bagi hakim untuk semua level. Hingga seharusnya mendorong untuk lahir hakim-hakim semacam Bismar Siregar yang dikenal sangat kental argumentasi hukum transendentalnya dalam setiap putusan yang dibuatnya.

29 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

BAB III KABUPATEN PURWOREJE DAN PENGADILAN NEGERI PURWOREJO

A. Sekilas Kabupaten Purworejo 1. Letak Geografi dan Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo Kabupaten Purworejo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 109°47’28’’ sampai 110°8’20" Bujur Timur dan antara 7°32’’ sampai 7° 54’’ Lintang Selatan. Sebelah Utara Kabupaten Purworejo berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Magelang dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya Kabupaten Kulonprogo. Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16 kecamatan dan 494 desa/kelurahan. Wilayah Kabupaten Purworejo pada tahun 2016 mempunyai luas 103.481 ha atau sekitar 3,18 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. Lahan seluas 103.481 ha di Kabupaten Purworejo terdiri dari 87.105 ha (84,18 persen) lahan pertanian dan 16.375 ha (15,82 persen) bukan lahan pertanian. Lahan pertanian yang ada digunakan sebagai lahan sawah 30.225 ha (34,70 persen) dan bukan lahan sawah 56.880 ha (65,30 persen).

30 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Peta Kabupaten Purworejo

Wilayah Administrasi Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16 Kecamatan. Wilayah tersebut terdiri dari 469 desa dan 25 kelurahan. (Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017: 3).

2. Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo Sejarah keberadaan Purworejo sebagai sebuah wilayah administrasi pemerintahan dapat dilihat pada Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip), jika dikonversikan dengan kalender Masehi adalah tanggal 5 Oktober 901. Ini menunjukkan telah adanya pemukiman sebelum tanggal itu. Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada abad ke-15 juga melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari Bali ke Pakuan. Sampai sekarang, kapan tepatnya tanggal ulang tahun berdirinya Kabupaten Purworejo, masih jadi bahan perdebatan. Ada yang berpatokan pada pada tanggal prasasti diatas, ada juga yang berpatokan pada diangkatnya bupati Purworejo I pada 30 Juni 1830. Pada masa Kesultanan Mataram hingga abad ke-19 wilayah ini

31 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... lebih dikenal sebagai Bagelen (dibaca /ba·gY·l[n/). Saat ini Bagelen malah hanya merupakan kecamatan di kabupaten ini. Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada Hindia Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (akibat Perang ), wilayah ini digabung ke dalam Karesidenan Kedu dan menjadi kabupaten. Belanda membangun pemukiman baru yang diberi nama Purworejo sebagai pusat pemerintahan (sampai sekarang) dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Kota baru ini adalah kota tangsi militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam dipusatkan pemukimannya di sini. Sejumlah bangunan tua bergaya indisch masih terawat dan digunakan hingga kini, seperti Masjid Jami’ Purworejo (tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879). Alun-alun Purworejo, seluas 6 hektare, konon adalah yang terluas di Pulau Jawa. (Wikipedia, diakses 28 Agustus 2017).

3. Jumlah Penduduk dan Prosentasi Pemeluk Agama Menurut Angka Proyeksi Sensus Penduduk Tahun 2010, Penduduk Kabupaten Purworejo pada tahun 2016 berjumlah 712. 686 jiwa dengan komposisi 49,32 persen penduduk laki-laki dan 50,68 persen penduduk perempuan. Kabupaten Purworejo dengan luas wilayah 1.034,82 km² maka kepadatan penduduk setiap km² sebesar 689. Laju pertumbuhan pada tahun 2016 sebesar 0,32 persen (Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017: 63).

32 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Persentase Penduduk Dirinci Menurut Agama yang Dianut Per Kecamatan di Kabupaten Purworejo Tahun 2016

Kecamatan Islam Katolik Kristen Budha Hindu Lainnya Jumlah Grabag 99.20 0.40 0.40 - - - 100 Ngombol 88.98 10.31 0.70 - 0.01 - 100 Purwodadi 96.84 1.40 1.70 0.05 0.01 - 100 Bagelen 96.33 1.00 1.10 1.55 0.02 - 100 Kaligesing 97.70 1.40 0.90 - - - 100 Purworejo 92.54 3.80 3.50 0.06 0.10 - 100 Banyuurip 97.38 1.10 1.50 - 0.02 - 100 Bayan 99.39 0.20 0.40 0.01 - - 100 Kutoarjo 93.98 2.60 3.30 0.08 0.01 - 100 Butuh 99.09 0.10 0.80 0.01 0.01 - 100 Pituruh 99.58 0.10 0.30 0.02 - - 100 Kemiri 99.60 0.10 0.30 - - - 100 Bruno 99.79 0.10 0.10 0.01 - - 100 Gebang 99.76 0.10 0.10 - 0.04 - 100 Loano 99.40 0.40 0.20 0.01 - - 100 Bener 99.70 0.10 0.20 - - - 100 Jumlah 97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.00 100 Tahun 2015 97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.03 100 Tahun 2014 97.46 1.45 0.96 0.11 0.01 0.08 100 Sumber: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purworejo

Aktivitas ekonomi kabupaten ini bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, di antaranya padi, jagung, ubi kayu dan hasil palawija lain. Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Purworejo menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah (Bahasa Jawa: empon-empon), yaitu: kapulaga, kemukus, temulawak, kencur, kunyit dan jahe. Selain itu Purworejo dikenal sebagai sentra kelapa yang produksinya selain dimanfaatkan sebagai kelapa sayur, juga diolah menjadi gula merah dan minyak kelapa serta merupakan pusat penghasil mlinjo. Disamping itu Purworejo juga pernah memiliki produk unggulan di bidang peternakan dan perikanan. Pengembangan kambing Etawa peranakan sampai pernah ekspor ke Malaysia. Adapun di bidang industri, Kabupaten Purworejo tidak banyak memiliki sentra industri dan yang ada tidak banyak

33 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... menyerap tenaga kerja. Begitupula dari sisi pariwisata, walaupun ada sebagian daerahnya menghadap ke laut namun belum ada pantai yang bisa dijual untuk tujuan pariwata yang menarik minat pelancong. Destinasi pariwisata yang adapun tidak begitu terkenal sampai keluar Purworejo (https://id.wikipedia.org/wiki/ Kabupaten_Purworejo). Dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kondisi perekonomian Kabupaten Purworejo dalam kurun waktu tahun 2005-2009, PDRB Kabupaten Purworejo atas harga berlaku berturut- turut sebesar 2.951.647,48; 3.443.170,90; 4.094.294,69; 4.660.785,05 dan 5.328.179,09 juta rupiah atau meningkat tiap tahun sebesar 14,21%. PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku dalam kurun waktu 2005-2009 adalah 4.812.345,86; 5.707.718,23; 6.478.747,52; 7.376.755,82; dan 8.098.565,72 rupiah atau tiap tahun naik sebesar 13,94%. Jika PDRB perkapita tersebut diperbandingkan dengan beban hidup masyarakat per tahun dapat dilihat dari selisih antara Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Upah Minimum Regional (UMR)/Upah Minimum Kabupaten (UMK). Pada tahun 2005-2009 standar UMK di Kabupaten Purworejo adalah Rp. 410.000,-; Rp. 460.000,-; Rp. 500.000,-; Rp. 555.000,-. Dan Rp. 643.000 Sedang untuk KHM masyarakat Rp. 420.893,-; Rp. 545.308,-; Rp. 586.219,-; 623.319,- .; 623.319,- Perbandingan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Purworejo Tahun 2005-2009 sebagaimana tersaji pada gambar 4.5 berikut (bappeda.purworejokab.go.id).

B. Pengadilan Negeri Purworejo Purworejo, sebagai wilayah administrasi yang tidak terlalu luas dan dengan dominasi kehidupan masyarakat pedesaan yang cenderung guyub dan rukun, tidak begitu banyak peristiwa hukum yang menimbulkan aksi hukum (legal action) yang harus diselesaikan melalui meja peradilan. Oleh karena tidak begitu banyak

34 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H perkara yang masuk di meja Pengadilan Negeri Purworejo, kelas PN Purworejo masuk kategori 1B.

Contoh Statistik Perkara di Bulan September 2017

Sisa Perkara Minutasi Belum No Klasifikasi Bulan Putus Sisa Masuk Minutasi Lalu 1 Gugatan 19 4 2 1 1 21 2 Permohonan 3 1 4 3 1 O 3 Kepailitan 0 0 0 0 0 0 4 Penundaan 0 0 0 0 0 0 Kewajiban Pembayaran Utang 5 Hak Kekayaan 0 0 0 0 0 0 intelektual 6 Pengadilan 0 0 0 0 0 0 Hubungan Industrial 7 Perlawanan/Bantahan 0 0 0 0 0 0 8 Gugatan Sederhana 0 0 0 0 0 0 9 Pidana Biasa 36 6 11 4 7 30 10 Pidana Singkat 0 0 0 0 0 0 11 Pidana Cepat 0 31 31 31 0 0 12 Perkara Lalu-Lintas 0 2242 2242 2242 0 0 13 Pidana Anak 2 1 0 0 0 3 14 Pidana Praperadilan 0 0 0 0 0 0 Total 54

Sumber: pn-purworejo.go.id 1. Sejarah Singkat PN Purworejo Pengadilan Negeri di Purworejo dahulu ada 2 (dua) yaitu Pengadilan Negeri yang terletak di Purworejo dan Pengadilan Negeri di Kutoarjo, Pada masa Mr. Wirjono Prodjodikoro menjadi Ketua Pengadilan Negeri Purworejo oleh beliau Pengadilan Negeri Kutoarjo dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Purworejo. Daerahnya meliputi seluruh daerah tingkat II Purworejo yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan terdapat 496 (empat ratus sembilan puluh enam) desa, yang luas seluruhnya 104.137.788 Ha yang terdiri dari tanah darat dan dan tanah sawah.

35 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Gedung Pengadilan Negeri Purworejo mempunyai 2 (dua) kantor, Kantor lama terletak di Jalan Mayjend Sutoyo No.10 Purworejo, dibangun pada zaman penjajahan Belanda di atas tanah seluas 2142 M2. Keadaan gedung sudah tua dan kurang luas baik untuk persidangan maupun tempat bekerja untuk para pegawai yang bertambah jumlahnya. Pada Tahun Anggaran 1979/1980 Pengadilan Negeri Purworejo pernah menerima DIP No.76/XIII/3/ 1979 tertanggal 25 Mei 1979 untuk pembelian tanah dan pembangunan gedung kantor baru namun baru memperoleh tanahnya saja, sedang pembangunan gedung kantor tersebut tidak dapat diselesaikan karena : a. Sumber dana yang diterima dari pusat sangat lambat b. Setelah gambar diterima ternyata harus ada ketentuan dari Dinas Pekerjaan Umum Magelang, bahwa untuk daerah Kedu Selatan termasuk daerah gempa, sehingga gambar dari Cipta Karya tidak disetujui sehingga harus dirubah konstruksi pondasinya. c. Perubahan nama memakan waktu lama sehingga pada waktu tendernya tidak ada rekanan yang mau melaksanakan dan untuk merenovasi DIP-nya sudah tidak mungkin. Pada Tahun Anggaran 1986/1987 Pengadilan Negeri Purworejo telah menerima DIP No.096/XIII/3/1986 tertanggal 1 Maret 1986 untuk untuk pembangunan gedung kantor baru yang terletak dijalan Tentara Pelajar KM.04 Purworejo, di atas tanah seluas 5000 M2 dan luas bangunan 624 M2 serta pengerasan tempat parkir seluas 600 M2. Mengingat bertambahnya pegawai pada kantor Pengadilan Negeri Purworejo, maka pengadilan Negeri Purworejo pada Tahun Anggaran 1993/1994 mendapat DIP No.42/XIII/3/1993 tertanggal 17 Maret 1993 guna perluasan gedung kantor baru seluas 600 M2.

2. Wilayah Kompetensi Relatif PN Purworejo Pengadilan Negeri Purworejo merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum. Tugas pokok

36 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Pengadilan Negeri Purworejo adalah sebagai berikut: 1. Mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi Umum lainnya. Pengadilan Negeri Purworejo masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dengan luas wilayah kurang lebih 1034,82 Km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan 496 (empat ratus sembilan puluh enam) Desa / Kelurahan sebagai berikut: 1. Kecamatan Purworejo, terdiri dari 17 (tujuh belas) Desa / Kelurahan yaitu: 2. Kecamatan Banyuurip, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa / Kelurahan 3. Kecamatan Bayan, terdiri dari 26 (dua puluh enam) Desa / Kelurahan 4. Kecamatan Bener, terdiri dari 28 (dua puluh delapan) Desa / Kelurahan 5. Kecamatan Bruno, terdiri dari 18 (delapan belas) Desa / Kelurahan 6. Kecamatan Butuh, terdiri dari 41 (empat puluh satu) Desa / Kelurahan 7. Kecamatan Gebang, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa / Kelurahan 8. Kecamatan Grabag, terdiri dari 32 (tiga puluh dua) Desa / Kelurahan 9. Kecamatan Kaligesing, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa / Kelurahan 10. Kecamatan Kemiri, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa / Kelurahan 11. Kecamatan Kutoarjo, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa / Kelurahan

37 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

12. Kecamatan Loano, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa / Kelurahan 13. Kecamatan Ngombol, terdiri dari 57 (lima puluh tujuh) Desa / Kelurahan 14. Kecamatan Pituruh, terdiri dari 49 (empat puluh sembilan) Desa / Kelurahan 15. Kecamatan Purwodadi, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa / Kelurahan 16. Kecamatan Purworejo, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa / Kelurahan.

Struktur Organisasi

Sebagaimana tradisi dalam kepemimpinan di lingkungan Mahkamah Agung, termasuk didalamnya berkenaan dengan struktur organisasi pada lembaga peradilan di seluruh Indonesia, struktur organisasi di Pengadilan Negeri Purworejo juga terus berubah dari waktu ke waktu bahkan dalam rentang waktu yang tidak lama. Dalam struktur terbaru, wakil ketua FX. Heru Santoso, S.H., M.H, kini posisinya digantikan oleh Sutarno, S.H., M.Hum.

38 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Gedung Pengadilan Negeri Purworejo

C. Norma Agama dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Purworejo Hukum diciptakan untuk terciptanya keadilan dalam kehidupan, bermanfaat bagi kehidupan dan menjamin adanya kepastian hukum. Ketertiban, keadilan, kedamaian dan kesejahteraaan adalah core utama dari terciptanya hukum, walaupun banyak yang abai terhadap tujuan substansi hukum itu diciptakan. Demi terwujudnya tujuan penciptaan hukum, maka perlu adanya sanksi (pidana, perdata atau lainnya). Institusi yang diperlukan untuk tegaknya dan tercapainya tujuan hukum adalah tersedianya lembaga peradilan yang independen dan bermartabat. Lembaga peradilan menjadi organ yang melaksanakan tugas mengadili ragam pelangggaran hukum sesuai dengan kompetensi relatif dan absolutnya. Aktor utama sekaligus benteng terakhir dari proses penegakan hukumnya adalah hakim. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat

39 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Sedangkan menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang (pasal 31). Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia (pasal 1). Hakim disebut sebagai aparatur penegak hukum yang diberi kedudukan tinggi dan wewenang oleh undang-undang diharapkan memberikan putusan yang seadil-adilnya, memberi kepastian dan manfaat hukum yang tepat untuk setiap kasus yang diajukan padanya. Agar kedudukan hakim tetap pada pada posisinya yang mulia, berbagai “rekayasa” agar kemuliaan hakim terjaga. Mulai dari sitem seleksi calon hakim yang diperbaiki dari waktu ke waktu, ruang sidang dan peraturan dalam ruang sidang yang dikondisikan sedemikian rupa, kesejahteraan hakim diperhatikan, kemampuan dan professionalitasnya terus ditingkatkan dan perilakunya diawasi. Namun hakim adalah manusia yang sangat mungkin memiliki kelemahan, kekurangan dan kesalahan. Pada posisi seperti itu ditangkap dengan jeli oleh para perongrong hukum untuk menjadikan putusan hakim tidak berdiri di atas kebenaran dan keadilan (Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 125-126). Soerjono Soekanto (1982: 51) mengatakan bahwa pada diri seseorang memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter dan kepribadiannya, yaitu; 1. Raw in put yaitu faktor-faktor individual dan latar belakang kehidupan yang bersangkutan, misalnya pengaruh orang tua, 2. Instrumental in put yaitu faktor-faktor pendidikan formal, misalnya pengaruh sekolah, 3. Environmental in put yaitu faktor-fakor yang berasal dari lingkungan sosialnya secara luas.

40 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Pendapat tersebut dikuatkan juga oleg Bismar Siregar (1986: 51), ia mengatakan bahwa “kemandirian dan kebebasan hakim sangat bergantung pada pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada jaminan undang-undang tapi iman”. Sebab begitu urgennya posisi hakim dalam penegakan hukum, maka hakim diberikan kebebasan seluasnya untuk menggunakan norma sebagai jaminan kemerdekaannya. Jaminan itu telah tertuang dalam konstitusi pasal 24 UUD 1945 dan dipertegas dengan Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kebebasan yang dimaksud dalam peraturan perundangan tersebut, termasuk didalamnya kebebasan dalam menentukan argumentasi hukum yang digunakan sebagai dasar pemberian hukum dalam putusan suatu perkara hukum. Begitupula dengan para hakim yang ada di Pengadilan Negeri Purworejo, mereka memiliki kebebasan dalam membuat argumentas hukum dalam setiap putusan-putusan pengadilan pada perkara yang ditanganinya, termasuk menuangkan norma dari ajaran-ajaran agama sebagai bagian dari argmentasi hukum dalam putusannya. Setelah periode atau masa Bismar Siregar, tidak tampak mencolok dalil-dalil hukum yang berasal dari norma jaran agama dipergunakan oleh hakim sebagai argumentasi hukumnya. Kelangkaan pasca masa Bismar ini, seolah-olah menguatkan kembali pada pemikiran para hakim aliran positivisme hukum dalam dunia peradilan di Indonesia, mengesampingkan nilai ajaran agama sebagai norma. Oleh karenanya kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Purworejo yang mengutip banyak norma agama-agama yang berlaku di Indonesia menjadi satu pertanda atau angin segar terbukanya kembali norma hukum yang bersifat transendental mewarnai putusan-putusan pengadilan di Indonesia, walaupun titik awal pusarannya dari pengadilan “kecil” kelas 1B di sebuah kabupaten yang tidak begitu terkenal di pesisir Jawa bagian Selatan.

41 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr. dalam kasus “percobaan berencana secara berbarengan dan percobaan pembunuhan”. Majelis Hakim yang terlibat dalam pembuatan putusan tersebut adalah Alex T.M.H. Pasaribu, S.H., Mardiana Sari, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota dan Purnawan Narsongko, S.H., sebagai Hakim Ketua. Argumentasi hukum yang diintrodusir dari norma-norma ajaran agama-agama dalam putusan tersebut sebagai berikut; “Bahwa ditinjau dari aspek EDUKATIF dan AGAMIS/RELIGIUS DIMANA TERDAKWA TINGGAL dan DIBESARKAN seharusnya tidaklah membentuk tingkah laku negatif. Pada dasarnya, pendidikan yang dimiliki terdakwa (sampai pada kelas 2 SMEA) seharusnya tidak menjadikan diri terdakwa melakukan perbuatan dan tindakan yang negatif meskipun terdakwa memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan akan tetapi dikarenakan terdakwa tidak memiliki ongkos untuk pergi ke Jakarta maka membuat diri terdakwa lepas kontrol dan berniat untuk melakukan pencurian guna mendapatkan ongkos guna mewujudkan keinginannya pergi ke Jakarta sehingga terdakwa melakukan pembunuhan dua orang umat manusia dan seorang yang diberikan kehidupan kedua oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga perbuatan PEMBUNUHAN yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban AGNES SRI HARYATI DAN SRI UNDARI dapat terungkap dengan cepat. Dimana perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan norma dan ajaran pelbagai agama. Begitu pula dalam agama dan iman KATOLIK yang dianut oleh korban AGNES SRI HARYATI serta menurut agama KRISTEN PROTESTAN pembunuhan dilarang dalam KITAB KELUARAN 20:13 dan Injil Mateus 5: 21 yang berbunyi : “jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.” Kemudian dalam agama HINDHU diatur dalam KITAB SUCI WEDA yaitu ATHARVAVEDA X:1:29 ditulis, bahwa : Jangan pernah membantai orang tidak bersalah, pembunuh orang yang tidak bersalah berkesudahan di dalam malapetaka, jangan membunuh manusia dan binatang bermanfaat.” Serta dalam Kitab

42 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

SARASAMUSCCAYA pada CLOKA 141 disebutkan : “…Sekali- kali tidak pernah menyakiti mahluk lain, tidak mengikatnya, tidak membunuhnya…”. Di samping itu, khusus dari aspek agama ISLAM yang dianut oleh korban SRI UNDARI dan dimana terdakwa ANDRIAWAN Bin SUBARJO sebagai pemeluknya maka pembunuhan merupakan suatu dosa dan Agama Islam sendiri adalah Agama yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama mahluk, mengajarkan perdamaian, kerja sama dalam 65 kebaikan, kerukunan dan persaudaraan antar sesama umat. Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan terhadap sesama Manusia yang merupakan hak Azasi Manusia. Khusus mengenai hak hidup yang merupakan hak Azasi Manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang melarang agar orang jangan melakukan pembunuhan terhadap orang lain kecuali atas dasar alasan yang sah. Misalnya terdapat dalam Al Qur’an Surah. Al-Isra 17:33 “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan .Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”; dan perbuatan terdakwa yang telah melakukan pembunuhan kepada para korban sehingga apabila terdakwa menyesali akan perbuatan yang telah dilakukannya maka pintu ampunan terbuka bagi orang yang bertobat dimana menurut pandangan agama ISLAM terhadap dosa yang dilakukan umat manusia termaktub dalam AL-QUR’AN NURKARIM sebagai berikut: a. “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (AN NISAA 4 : 110); b. “Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada diantara mereka. Dan tidak (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka memohon ampun”. (AL ANFAAL 8 : 33)

43 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

kemudian “Dan (juga) orang - orang yang bila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui”. (ALI IMRON 3 : 135).

Selanjutnya menurut HADIST RIWAYAT TURMUDZI mengemukakan dalam HADIST SAHIHNYA, sebagaimana termuat dalam Buku terjemahan yang berjudul: “RIYADHUS SHALIHIN”, JILID 2, Karangan IMAM NAWAWI, Penerbit: PUSTAKA AMANI, JAKARTA, Halaman 668 dimana salah seorang sahabat Nabi Besar MUHAMMAD S.A.W. yang bernama ANAS RODHIALLAHU-ATAS NAMA telah meriwayatkan sebagai berikut : “Saya mendengar RASULULLAH S.A.W. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Anak Adam selama kamu berdoa dan mengharap kepadaku niscaya Aku ampuni dosa yang telah kamu lakukan dan aku tidak memperdulikan berapa banyaknya. Wahai Anak Adam, seandainya dosa - dosamu bagaikan awan di langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak memperdulikan berapa banyak dosamu. Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kehadapan-Ku dengan membawa dosa se isi bumi, kemudian bertemu dengan AKU tanpa menyekutukan sesuatu apapun dengan-KU, niscaya AKU akan mengampuni dosa yang se isi bumi itu.” Berdasarkan pandangan terhadap sesuatu dosa yang diperbuat umat manusia, yaitu sesuai wahyu ALLAH dalam AL-QUR’AN dan HADIST 66 NABI MUHAMMAD S.A.W. sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikonklusikan menurut ajaran agama ISLAM bahwa pintu ampunan atas tobat umat manusia adalah mutlak milik ALLAH dan merupakan rahasia ALLAH, bahwa bagi hamba TUHAN, yaitu mahluk manusia yang telah melakukan perbuatan dosa, baik berupa dosa besar berupa perbuatan keji maupun dosa kecil, maka pintu tobat dan ampunan masih terbuka dihadapan ALLAH dengan syarat si hamba atau manusia itu sendiri dengan sungguh- sungguh bertawaduk dan menghadap kepada ALLAH SUBHAANAWA TA’ALLA untuk tidak

44 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H mengulangi perbuatannya, serta tidak menyekutukan ALLAH kepada selain ALLAH, juga si hamba atau manusia tersebut dengan penyerahan diri secara mutlak berupa kepasrahan hati yang mutlak kepada ALLAH dan melaksanakan seluruh perintah ALLAH serta menjauhi segala larangan-NYA (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr. hal. 64-66)”

45 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

BAB IV PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN NEGERI PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.

A. Paradigma Berfikir Hukum Thomas Khun (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996), diyakini sebagai ilmuan yang pertama kali memperkenalkan konsep paradigma. Walaupun sebenarnya paradigma telah ada dalam setiap perkembangan dan perbedaan cara pandangan ilmuan dalam mengupas soalan dalam ilmu pengetahuan. Hanya saja kita harus mengakui bahwa Khun adalaah orang yang pertama kali menyusun konsepsi paradigma dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions. Paradigma berasal dari bahasa Yunani klasik “paradeigma”, yang berarti ‘pola atau model berpikir’. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “paradigm” dan bahasa Perancis “paradigme”, ia berasal dari bahasa Latin “para” dan deigma”. Para berarti disisi, disamping dan “deigma” berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan variabel- variabel idenya (Zumri Bestado Sjamsuar, 2009: 12).

46 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Bernard S. Phillips dalam bukunya “Social Research: Strategy and Tactics” (1971) mengatakan, “A paradigm is a set of assumptions, both stated and unstated, which provides the basis on which scientific ideas rest.” Sementara Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001) menyatakan, “A paradigm is fundamental model or frame of reference we use to organize our observations and reasoning.” (Shidarta dalam http://business-law.binus.ac.id) Soetandyo Wignyosoebroto (https://soetandyo.wordpress.com) memahami pradigma sebaga “suatu pangkal (an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya” Dari bebapa pengertian yang disampaikan oleh para ahli, dapat dipahami bahwa paradigma merupakan cara, fondasi, titik tolak atau latar pandang yang digunakan untuk melihat, menganalisis, meginterpretasi terhadap suatu subyek kajian. Sebab paradigma yang digunakan maka dapat saja terjadi saling menegasikan, saling memperkuat atau bahkan memberikan tawaran alternatif yang sama sekali baru dari yang sebelumnya. Bila demikian adanya, maka sesungguhnya konsep paradigma itu selalu berkelindan dari satu masa ke masa yang lain secara simultan dengan pemikiran filosofis dan keilmiahan. Simultan berarti dapat muncul dan dikembangkan bersamaan, berbarengan, tersurat, tersirat, dan berkohesif dengan model pembentukan dan pengembangan asumsi, postulat, asas, konsep, teori, dalil, dan logika yang dihasilkan oleh pemikiran filosofis dan keilmiahan. Menurut Shidarta (http://business-law.binus.ac.id) dalam pemikiran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, kerap ditampilkan tiga kelompok paradigma, yaitu positivisme, interpretif atau fenomenologi (terkadang disebut dengan pospositivisme, naturalisme, atau konstruktivisme), dan kritikal. Kaum positivis memandang objek ada di luar subjek. Oleh karena realitas ada di luar diri si individu yang mengamati, maka diyakini akan ada realitas objektif itu. Sebaliknya,

47 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... penganut fenomenologi menyatakan realitas justru diciptakan oleh si subjek melalui interpretasi subjektif. Kaum kritikal di sudut lain berpendapat bahwa realitas berada di antara subjektivitas dan objektivitas. Realitas terjadi melalui ketegangan-ketegangan antara subjek-subjek. Pengelompokan paradigma sebagaimana yang disampaikan Shidarta, serta perkembangannya dalam dunia ilmu pengetahuan sosial, terjadi pula dalam ilmu pengetahuan hukum. Paradigma ilmu hukum ikut terbawa dalam tren perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Bila melihat tren dalam dasawarsa belakangan, mulai ada kejengahan dari para ilmuan untuk terus mengusung ilmu-ilmu modern yang lebih bersifat positivistik-rasional-empirik. Kajian- kajian keilmuan yang bersifat post modernisme digalakkan, termasuk dalam cara pandang yang digunakan (paradigma) di bidang ilmu hukum. Paradigma transendental hukum kini sedang digalakan karena melaihat tawaran-tawaran baru tentang cara pandang terhadap hukum dianggap belum memuaskan. Loncatan paradigma hukum baru berpindah dari rasionalis menuju relativis sebagaimana yang ditawarkan oleh gerakan kritik legal studi yang dipopulerkan oleh Reberto M. Unger dan Hukum Non-Sistemik yang disampaikan oleh Anton F. Susanto. Paradigma hukum transendental hadir dengan maksud melampaui apa yang sebelumnya ada, menjadi sintesa dari ekstrim kanan dan ekstrim kiri dalam pemikiran hukum, yakni dengan mendasarkan pada norma agama yang terkandung dalam kitab suci yang dihormati oleh setiap ilmuan yang beragama. Dalam sejarah putusan peradilan di Indonesia modern, cara pandang atau paradigma transendental itu sebenarnya telah dilakukan, namun hanya oleh segelintir orang dan diperjuangkan secara pribadi. Untuk menghadirkan contoh ini adalah putusan- putusan pengadilan yang hadir didalamnya Bismar Siregar. Itu pun, apa yang dilakukan oleh Bismar yang saat itu berperan sebagai hakim

48 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

“judex factie” selalu dikalahkan dalam jenjang peradilan lebih tinggi ketika putusannya diajukan banding oleh terdakwa. Kini paradigma hukum transendental sedang digalakan dan disemai keseluruh pembelajar hukum, dan bersamaan dengan proses ini, telah ada sebuah putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Purworejo yang memiliki jiwa yang sama sebagaimana pernah dilakukan oleh Bismar Siregar, yakni pada PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.

B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri Purworejo dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr. Sebagaimana telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa hukum tidak hadir dalam ruang hampa. Paling tidak anggapan secara sosiologis membenarkan premis ini, sebab hukum tidak akan mungkin berdaya guna apapun bila ia tidak hadir dalam komunitas masyarakat dan memiliki keterkaitan dengan indivudu atau entitas tertentu yang memiliki kewenangan untuk mendayagunakan hukum itu. Sebagai contoh untuk memperkuat premis tersebut adalah kehadiran hukum Islam yang bersumber pada kitab suci al- Qur’an, walaupun ia ciptaan Tuhan tetapi Tuhan tidak menafikan bahwa hukum itu diperuntukan bagi manusia, sehingga ia tidak menutup sama sekali terhadap budi, daya dan karsa yang ada pada manusia. Abdullah Ahmed al-Na’im (2001: 214) mengatakan: “....(hukum, pen) Islam tidak memulai dari lembaran putih karena ia tidak hadir dalam ruang hampa keagamaan, ekonomi, sosial dan politik...Islam merupakan kelanjutan dan kulminasi tradisi Ibrahimi. Selain itu hukum Islam dalam syari’ah menerima dan memodifikasi banyak aspek adat dan praktik Arab pra-Islam”. Dari sisi hakim sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi kekuasaan yudikatif dijamin oleh undang-undang untuk bebas dan mandiri dalam mengambil putusan, termasuk dalam menyampaikan secara tertulis dan lisan argumentasi yang

49 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... digunakannya. Dari sisi hakim sebagai manusia biasa yang ada keterbatasan di dalam pribadinya tidak akan dapat terlepas dart berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam menjalankan funggsinya hakim tidak dapat bekerja sendiri. Hakim tidak dapat terlepas dart organisasi peradilan, institusi lain termasuk dengan terdakwa maupun masyarakat. Hakim bebas dari korektifa dan rekomendasi baik dari eksekutif maupun pihak lain. Kebebasan dan kemandirian ini segalanya tergantung pada pribadi hakim. Namun yang perlu diingat adalah bahwa ketika putusan itu telah dibacakan dimuka sidang, maka putusan itu telah menjadi milik publik. Mulai saat itulah putusan hakim dapat dieksaminasi oleh siapapun untuk mengukur seberapa profesionalnya ia, kapabilitas dan integritasnya, termasuk dari sisi prosedur. Berawal dari sinilah putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim dapat dianalisis pada konten putusan yang telah ia buat yang berarti pula dapat dilihat paradigma berfikir hukum dari para hakim dalam mejelis hakim yang menyidangkan suatu perkara. Harus dipahami bahwa tugas hakim sungguh berat, terutama pada saat akan mengambil putusan hukuman apa dan berapa lama atau berapa banyak denda yang harus dibanyar, atau dalam menentukan kedudukan hukum pada subyek hukum. Putusan dalam ranah keilmuan hukum dianggap sebagai karya ilmiah yang bisa saja dieksaminasi oleh pemerhati hukum (khalayak) dan teman sejawat. Ketepatan hukum yang diambil akan mendatangkan keadilan dan menenangkan rasa keadilan masyarakat, kesalahannya akan mendatangkan caci maki dan sidang kode etik yang dapat saja berakibat pada karir hakim terhenti. Tidak hanya itu, irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menuntut hakim tidak hanya benar di hadapan manusia tapi benar pula di hadapan Tuhan Yang Maha Pengadil. Artinya putusan yang hakim jatuhkan akan dipertimbangkan pula di akherat kelak. Bagi hakim yang beragama, beban ini bukan beban yang ringan, membawa tekanan tersendiri.

50 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Dalam pandangan Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., tugas hakim sebagai pemutus perkara, bahwa memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makna yang sangat luas “... the life of the law has not been logic; it is has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow ....” Holmes juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics”. Dengan demikian putusan hakim merupakan cermin dari sikap, moralitas, penalaran dan banyak hal lainnya yang digambarkan oleh Holmes sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan bahwa putusan hakim akan sangat berwatak relativisme kultural, atau dengan mengambil pandangan Tamanaha tentang “mirror thesis” maka putusan merefleksikan seperti cermin dari si pemutusnya” (Komisi Yudisial, 2014: 7-8). Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim tetaplah seorang manusia biasa yaitu makhluk biologis, yang memiliki juga hak psikologis yaitu untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, dan lainnya. Fakta sosiologisnya, tipologi hakim bermacam-macam, tak ada satu model hakim yang menjadi model untuk penyeragaman karena hakim adalah manusia, yang hanya bisa disergamkan dalam toga dan prosedur beracara, pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak hanya sebagai seorang birokrat hukum semata (Abraham S. Blumberg, 1970), namun juga sebagai manusia, yang terdiri dari berbagai variabel yang dapat melekat pada seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial, ras atau etnis, agama, pendidikan, pengalaman, dan lain-lain yang keseluruhannya memiliki peluang untuk turut menentukan bagaimana kecenderungan seorang hakim untuk memutus (Komisi Yudisial, 2014: 9). Berkenaan dengan tipologi hakim dalam memutus perkara, Satjipto Rahardjo (2003: 225) berpendapat paling tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang

51 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, hakim yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal utuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya. Dalam ilmu Manajemen Kepemimpinan, Siagian (1991) menyatakan bahwa ada aspek-aspek tertentu bersifat internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan (berlaku pla bagi hakim). Adapun aspek internal tersebut antara lain: a. Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Biasanya semakin luas pengetahuan seseorang semakin mempermudah pengambilan keputusan. b. Aspek kepribadian Aspek kepribadian ini tidak nampak oleh mata tetapi besar peranannya bagi pengambilan keputusan. Aspek eksternal dalam pengambilan keputusan, antara lain : a. Kultur Kultur yang dianut oleh individu bagaikan kerangka bagi perbuatan individu. Hal ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. b. Orang lain Orang lain dalam hal ini menunjuk pada bagaimana individu melihat contoh atau cara orang lain (terutama orang dekat) dalam melakukan pengambilan keputusan. Sedikit banyak perilaku orang lain dalam mengambil keputusan pada gilirannya juga berpengaruh pada perilkau individu dalam mengambil keputusan. Arroba (1998) menyatakan ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang, antara lain: 1) Informasi yang diketahui perihal

52 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H permasalahan yang dihadapi, 2) Tingkat pendidikan, 3) Personality, 4. Coping, dalam hal ini dapat berupa pengalaman hidup yang terkait dengan permasalahan (proses adaptasi), dan 5. Kultur. Dilihat dari berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya, sekali lagi bahwa putusan hakim atau putusan pengadilan apabila telah ditulis dan dibacakan dimuka sidang, setelahnya menjadi hak publik untuk dapat mengaksesnya, termasuk pada Putusan Pengadilan Negeri Purworejo, dalam hal ini Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr. Dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr., Majelis Hakim yang terlibat dalam pembuatan putusan tersebut adalah Alex T.M.H. Pasaribu, S.H., Mardiana Sari, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota dan Purnawan Narsongko, S.H., sebagai Hakim Ketua. Dari identitas agama dari majlis hakim, satu orang beragama katolik dan dua orang beragama Islam. Walaupun hanya ada dua agama yang dianut oleh majlis hakim, ternyata 3 (tiga) kitab suci agama besar di Indonesia diintrodusir sebagai argumentasi hukum untuk memperkuat pemberian hukuman bagi terdakwa. Alex T.M.H. Pasaribu, S.H. yang beragama Katolik rupanya paham betul bahan kejahatan pembunuhan di larang dalam agama yang dianutnya (bible). Dalam iman Kristen pembunuhan adalah perbuatan yang dilarang. Majelis Hakim mengutip Kitab Keluaran 20:13 dan Injil Mateus 5: 21 yang berbunyi : “jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.” Sesungguhnya tidak hanya satu ayat yang berbicara tentang pembunuhan, karena ditelisik pada bibel ada banyak ayat yang berbicara tentang pidana pembunuhan, hanya saja yang paling umum dan tidak menunjuk secara jelas hukuman apa yang akan dijatuhkan pada pelaku kejahatan pembunuhan, diktum itulah yang paling mewakili. Sementara itu ayat-ayat yang membahas tentang pidana pembunuhan dengan jenis hukuman yang lebih jelas diantaranya; dalam kitab Kejadian 9: 6 sangat jelas berkata: “Siapa yang

53 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dalam Bilangan 35: 16 disebutkan “Jika ia membunuh seseorang dengan senjata besi, ia adalah pembunuh, dan ia harus mati”. Dalam firman kelima Perjanjian Lama melarang merampas kehidupan dengan sengaja, dari seseorang yang tidak bersalah dan yang tidak memberi perlawanan: “Jika seseorang memukul orang dengan benda besi (atau dengan sebuah batu atau dengan benda kayu) supaya mati dan orang itu mati, maka ia adalah seorang pembunuh. Pembunuh itu akan dimatikan” (Bil 35: 16-18). Bahkan dikatakan: “jika ia dengan rasa permusuhan memukul dia dengan tangannya, dan orang itu mati, maka ia adalah seorang pembunuh; penebus (goel) darah harus mematikan pembunuh itu” Penyajian ayat-ayat tentang pembunuhan dalam Bibel di atas adalah sebagian kecil saja dari banyak ayat yang berbicara tentang pembunuhan dan balasan (hukuman) yang harus diberikan pada pembunuh. Oleh karenanya, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa menurut Bibel (Injil) pembunuh dihukum bunuh pula. Dari temuan banyaknya ayat yang berbicara tentang pembunuhan dan sanksi hukumnya, kemudian dibandingkan dengan argmentasi Mejelis Hakim yang salah satu diantara anggota Majelis Hakim itu beragama Katolik dengan Bibel sebagai kitab sucinya, menunjukan kurang mendalamnya Majelis Hakim dalam menggali norma (hukum) transendental yang terkandung dalam kitab suci Injil. Selain mengutip salah satu ayat dalam bibel, Mejelis Hakim juga mengutip norma yang ada dalam agama Hindu argumentasi hukum dalam putusannya, -padahal dalam Majelis Hakim itu tidak ada satupun yang beragama Hindu, tepatnya dari kitab suci Weda yaitu Atharvaveda X: 1: 29, bahwa: “Jangan pernah membantai orang tidak bersalah, pembunuh orang yang tidak bersalah berkesudahan di dalam malapetaka, jangan membunuh manusia dan binatang bermanfaat.” Serta dalam Kitab

54 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Sarasamusccaya pada Cloka 141 disebutkan: “…Sekali-kali tidak pernah menyakiti mahluk lain, tidak mengikatnya, tidak membunuhnya…”. Dalam argumentasi berlandaskan norma transendental agama Hindu, Majelis Hakim hanya menampilkan satu norma tentang larangan membunuh, dengan tidak menampilkan melandaskan argumentasi pada norma yang memuat tentang sanksi yang harus ditanggung. Padahal perbuatan membunuh manusia di dalam ajaran Hindu dikategorikan sebagai perbuatan kejam dengan sebutan sad atatayi dalam Kitab Perundangan Majapahit disebut kejahatan astadusta. Dalam Kitab Slokantara, 71: 32 dijelaskan “Orang yang membakar rumah, suka meracuni, dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini dimasukan dalam golongan “Atatayi”. Karena kategorisasi kejahatan yang kejam, dalam kitab Hindu lainnya, sanksi membunuh adalah dibunuh sebagai karma (balasan) atas perbuatannya sekaligus sebagai penghapus dosa “… orang-orang yang telah melakukan pidana dan telah pula dihukum oleh raja akan pergi ke surga karena telah bersih seperti halnya mereka yang telah melakukan perbuatan yang bajik (Manawa Dharmasastra VIII.318). Pada argumentasi yang berasal dari kitab suci agama Hindu juga, hakim tidak begitu maksimal untuk menggali dan menemukan norma transendental Hinduisme untuk perkara pembunuhan. Sekali lagi Majelis Hakim hanya mengambil norma yang bersifat sangat umum. Ajaran tentang Karma, yang bisa saja dikaitkan dalam peristiwa pembunuhan dalam kasus ini seharusnya disampaikan sebagai argumentasi hukum guna menunjukkan kepada terdakwa dan khalayak bahwa pembunuhan apapun yang dilakukan oleh umat Hindu akan berakibat yang sama padanya, hanya persoalan waktu, tempat dan cara saja si pembenuh akan menerima karma matinya yang serupa di kemudian hari sebagaimana ia melakukan hal yang sama kepada orang lain yang telah dibunuhnya.

55 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Argumentasi hukum yang berasal dari norma transendental hukum Islam adalah dengan memberikan penjelasan bahwa Islam adalah agama damai dan perbuatan penghilangan nyawa tanpa hak adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Majelis Hakim mengutip al-Qur’an Surah Al-Isra 17:33 “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”. Selain itu Majelis Hakim juga menerangkan bahwa perbuatan terdakwa yang telah melakukan pembunuhan kepada para korban sehingga apabila terdakwa menyesali akan perbuatan yang telah dilakukannya maka pintu ampunan terbuka bagi orang yang bertobat dimana menurut pandangan agama Islam terhadap dosa yang dilakukan umat manusia termaktub dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut: a. “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (QS. Al-Nisa, 4: 110) ; b. “Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada diantara mereka. Dan tidak (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka memohon ampun”. (QS. Al-Anfal, 8: 33) kemudian “Dan (juga) orang- orang yang bila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui”. (QS. Ali Imran, 3: 135). Selain mengutip beberapa ayat al-Qur’an, Majelis Hakim juga mengutip hadits yang menerangkan tentang pertaubatan manusia dari segala perbuatan dosa, yaitu hadits riwayat Turmudzi buku “Riyadhus Shalihin”, Anas r.a. telah meriwayatkan sebagai berikut: “Saya mendengar Rasulullah Saw.. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Anak Adam selama kamu berdoa dan

56 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

mengharap kepadaku niscaya Aku ampuni dosa yang telah kamu lakukan dan aku tidak memperdulikan berapa banyaknya. Wahai Anak Adam, seandainya dosa - dosamu bagaikan awan di langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak memperdulikan berapa banyak dosamu. Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kehadapan- Ku dengan membawa dosa seisi bumi, kemudian bertemu dengan AKU tanpa menyekutukan sesuatu apapun dengan-KU, niscaya AKU akan mengampuni dosa yang seisi bumi itu.” Setelah mengutip beberapa ayat dan hadits, kemudian Majelis Hakim menambahkan pandangannya terhadap perbuatan pembunuhan itu dengan argumentasi sebagai berikut: “Berdasarkan pandangan terhadap sesuatu dosa yang diperbuat umat manusia, yaitu sesuai wahyu Allah dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikonklusikan menurut ajaran agama Islam bahwa pintu ampunan atas tobat umat manusia adalah mutlak milik Allah dan merupakan rahasia Allah, bahwa bagi hamba Tuhan, yaitu mahluk manusia yang telah melakukan perbuatan dosa, baik berupa dosa besar berupa perbuatan keji maupun dosa kecil, maka pintu tobat dan ampunan masih terbuka dihadapan Allah dengan syarat si hamba atau manusia itu sendiri dengan sungguh-sungguh bertawaduk dan menghadap kepada Allah Swt. untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta tidak menyekutukan Allah kepada selain Allah, juga si hamba atau manusia tersebut dengan penyerahan diri secara mutlak berupa kepasrahan hati yang mutlak kepada Allah dan melaksanakan seluruh perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya”. Mendasarkan pada kitab suci al-Qur’an sebagai argumentasi hukum transendentalnya, berbeda ketika merujuk pada dua kitab sebelumnya (Injil dan Weda). Ayaut suci al-Qur’an yang dikutip oleh Mejelis Hakim memberikan petunjuk yang jelas bahwa sanksi hukum jarimah pembunuhan adalah dibunuh, dalam bahasa al- Qur’an yang lainnya disebut qishash.

57 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Dalam hal argumentasi hukum ini, 2 (dua) orang hakim yang beragama Islam juga tidak melakukan pengkajian yang layak, seperti mencoba mengkaji delik pembunuhan dalam perspektif Fiqh Jinayah. Pengkajian terhadap jarimah pembunuhan dalam perspektif Fiqh Jinayah akan terungkap hukuman apa yang layak, pantas dan kompatibel terhadap pembunuhan yang telah dilakukan. Para hakim, sekali lagi hanya mengutip dalil-dalil agama yang bersifat umum tanpa ada keinginan untuk mengkajinya secara mendalam menurut kitab suci-kitab suci yang dijadikan landasan sumber hukumnya. Memperhatikan beberapa argumentasi hukum Mejelis Hakim yang beberapa norma agama (transendental) sebagai bagian dari argumentasi hukumnya, secara umum, paradigma berfikir hukum transendal yang dilakukan oleh hakim sudah dapat dikatakan baik sebagai sebuah terobosan dan awal mula pembiasaan berargumentasi hukum dengan memperhatikan norma lain di luar norma hukum positif. Namun argumentasi hukum yang diantaranya mengintrodusir norma hukum transendental dari Majelis Hakim terkesan hanya memilih dan memilah norma hukum hukum agama (transendental) yang bersifat umum. Dalam hal ini hanya memilih norma (diktum suci) agama (transendental) mengenai larangan perbuatan membunuh tanpa disertai dengan ancaman sanksi atas perbuatan yang dimaksud. Padahal di dalam Bibel (Injil), Weda, al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak diktum-diktum suci yang menyebutkan sanksi atas kejahatan pembunuhan yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Adapun kasus yang dihadapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang disengaja dengan argumentasi pelaku pembunuhan (terpidana) telah mempersiapkan dan membawa senjata tajam (golok) untuk digunakan sebagai alat menghilangkan nyawa orang bila perbuatan jahatnya diketahui oleh orang lain. Lebih dalam lagi, bahwa pembunuhan (penghilangan nyawa) mengakibatkan 2 (dua) korban meninggal dunia dan 1 (satu) korban terluka arah akibat perbuatan terdakwa.

58 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Melihat pada fakta persidangan, tuntutan jaksa penuntut umum dan alasan untuk meringankan hukuman terhadap pelaku oleh kuasa hukum dan mempertimbangkan norma hukum positif diserta dengan argumentasi hukum dan non hukum lainnya, Majelis Hakim merumuskan perbuatan terdakwa sebagai perbuatan yang sesuai pasal 340 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun” jo pasal 65 ayat (1) KUHP “dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana” dan ketiga primair pasal 338 KUHP “barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” jo pasal 53 ayat (1) KUHP “mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Berdasarkan legalitas KUHP di atas, dalam perkara Adriawan bin Subarjo hakim menjatuhkan hukuman sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), maka dalam hal ini argumentasi hukum transendental dengan cara mengintrodusir norma agama sebagai bagian dari argumentasi hukum dalam putusan belum atau tidak berpengaruh apa-apa terhadap putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim. Artinya argumentasi hukum transendental yang tertuang dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr. belum menuntun Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman maksimal (hukuman mati) sebagaimana yang tertera dalam pasal 340 KUHP. Dari pembahasan atas konten argumentasi hukum transendental Mejelis Hakim dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/ PN.Pwr, paradigma berfikir hukum transendenntal pada para

59 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... hakim yang terlibat, pertama, baru sebatas argumentasi yang hanya menghiasai lembar-lembar putusan pengadilan saja, belum sampai pada adanya pengaruh yang cukup signifikan terhadap hasil akhir dari putusan hakim tersebut. Hal tersebut dapat dipahami karena Majelis Hakim dalam perkara ini hanya memilih dan memilah diktum suci yang bersifat umum terhadap larangan perbuatan pidana tanpa menyertakan sanksi hukum apa yang layak untuk perbuatan berupa kejahatan pembunuhan berencana, apa lagi korbannya lebih dari satu orang meninggal dunia. Kedua, penyajian argumentasi hukum transendental berupa pengampunan terhadap perbuatan dosa yang ada dalam 4 (empat) diktum suci agama hanya sebatas sebagai pemberitahuan atau informasi saja kepada terdakwa untuk menerima hukuman, belum sampai pada upaya obyektifikasi terhadap diktum tersebut untuk aplikasinya dalam realitas hukum yang dihadapi. Pengkajian paradigma transendental hukum justru terjadi pada daerah dimana hampir tidak ada kasus hukum yang menjadi sorotan berita nasional (PN Purworejo), walaupun begitu ini adalah awal yang menggembirakan untuk penyemaian hukum Indonesia yang transendentalis. Paradigma berfikir hukum transendental yang tertuang dalam argumentasi hukum dalam putusan pengadilan ini, terjadi pada sebah Pengadilan Negeri Purworejo dengan klasifikasi 1B. Sedangkan telah menjadi maklum bahwa kelas pengadilan ini menunjukkan tidak begitu banyak persidangan yang dilakukan oleh PN Purworejo, walaupun secara kompetensi relatif, wilayah kekuasaan Kabupaten Purworejo cukup luas. Kiranya dominasi wilayah pedesan yang mayoritas dengan tipologi rural society yang guyub dan rukun menjadikan problematika atau sengketa hukum tidak begitu banyak ditangani oleh PN Purworejo. Dari sisi keragaman beragama, Islam mayoritas di seluruh wilayah kecamatan yang ada dalam Kabupaten Purworejo.

60 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal Abdullah Ahmed al-Na’im, 2001, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanl dalam Islam, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Abraham S. Blumberg, 1970, Criminal Justice, Toronto: Burns and Mac Eachem Ltd. Absori dkk, 2017, Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Yogyakarta: Gentha Publishing. Anton F. Susanto, 2015, Kritik Teks Hukum Ulasan dan Komentar Terhadap “Wacana Hukum Langitan”, Bandung: Logos Publishing. Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum non Sistemik, Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing. Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017, Kabupaten Purworejo dalam Angka, Purworejo: Sekretariat Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo. Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary Eight Edition, New York: West Publising Co. Departemen Pendidikan Nasional, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Farkhani, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Cetakan Keempat, Salatiga: STAIN Salatiga Press. Farkhani dan Evi Aryani, 2016, Hukum dan Wajah Hakim dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan, Surakarta: Pustaka Iltizam. Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van Theorieen Over Het Rechtvaardigen van Juridische Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

61 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil dan Politik, Jakarta: Elsam. IPM. Ranuhandoko, 1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Jalaluddin Rakhmad, 1995, Kamus Filsafat, Jakarta: Rosda Karya. J.H. Rapar, 2001: Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kelik Wardiono, 2016, Paradigma Profetik Pembaruan Basis Epistimologi Ilmu Hukum, Yogyakarta: Gentha Publishing. Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, cetakan keempat, Surakarta: MuhammadiyahUniversity Press. Komisi Yudisial, 2014, Kualitas Hakim dalam Putusan, Jakarta: Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia. Kuntowijoyo, 2006, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana. Loren Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia. Martin P. Golding, 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc. M. Fahmi, 2005, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, Yogyakarta: Pilar Religia. Muhyar Fanani, 2008, Membumikan Hukum Langit Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana. Otje Salman, 2012, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika Aditama. Robert M. Unger, 2010, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum dalam Masyarakat, Bandung: Nusa Media. Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Jakarta: Kompas.

62 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali. Sondang P. Siagian, 1991, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta: Gunung Agung. Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005, Kamus Ilmu Tasawuf, Bukittinggi: IAIN Bukittinggi. T. Arroba,1998, “Decision Making by Chinese –US”, Journal of Social Psychology. Vol. 38. Zumri Bestado Sjamsuar, 2009, Paradigma Manusia Surya, Membongkar Mitos Parokhialitas Sumber Daya Manusia. Pontianak: Yayasan Insan Cita. Suparman Marzuki, 2013, “Pertarungan Antara Kuasa dan Tafsir”, Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013. Tommy Hendra P, “Penafsiran, Penalaran dan Argumentasi Hukum”, MMH, Jilid 40 No. 2 April 2011 . B. Situs Internet bappeda.purworejokab.go.id, diakses 28 September 2017 https://soetandyo.wordpress.com, diakses tanggal 19 Oktober 2017. http://nanangsuprijadi.blogspot.co.id, diakses tanggal 9 Oktober 2017 http://business-law.binus.ac.id diakses tanggal 20 Oktober 2017 pn-purworejo.go.id diakses 29 September 2017 Shidarta dalam http://business-law.binus.ac.id, diakses tanggal 20 Oktober 2017.

63

Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasar dari analisis data dalam penelitian ini dengan acuan focus penelitian yang dituangkan dalam rumusan masalah, maka penelitian ini dapat disimpulkan dan sebagai jawaban dari rumusan masalah, yaitu, Bagaimana pluralisme dalam perspektif tokoh lintas agama di Salatiga? dan Bagaimana realitas kehidupan dalam masyrakat plural di Salatiga? Kesimpulan Penelitian; Pluralisme dalam perspektif tokoh lintas agama di Salatiga, bahwa para tokoh memahami pluralisme sebagai suatu paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, ras, suku, budaya, adat-istiadat, dan agama, bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.Kesediaan kita untuk menerima keberagaman (pluralitas) untuk hidup bersama secara bertoleran pada tatanan masyarakat. Realitas kehidupan dalam masyarakat plural di Salatiga, di pahami olehtokoh lintas agama bahwahak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan harus diatur dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama yang plural. Aturan dan kebijakan pemerintah terkait perlindungan terhadap umat dan kerukunan antar dan intern umat beragama dipahami para tokoh lintas agama bahwa memang regulasinya bagus, tetapi belum semua masyarakat menyadarinya, mungkin juga peran pemuka agama yang belum maksimal perlu ditingkatkan dan

65 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama... disosialisasikan di masyarakat dan perlunya kegiatan-kegiatan lintas agama dari generasi muda yang riil.

B. Saran Memberi tanpa mengingat dan menerima tanpa melupakan akan diberkahi, kalimat inilah yang menginspirasi peneliti untuk memberikan saran-saran yang bersifat normative dan regulative bagi para tokoh lintas agama dan umat beragama dimana saja berada dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia khususnya Kota Salatiga, saran-sarannya sebagai berikut; - Menerima perbedaan sebagai keniscayaan yang merupakan kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. - Mengedepankan persamaan diatas perbedaan dan menjadikan- nya sebagai asset bangsa untuk membangun bangsa yang lebih maju, karena berbeda itu indah. - Hidup rukun antar umat beragama dan intern umat beragama dan pemerintah . - Saling menghargai dan menghormati antar umat beragama dan tidak mencampuri urusan agama umat lain beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

C. Tindak Lanjut Penelitian ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu untuk ditindak lanjuti oleh peneliti lain yang memilih tema yang serupa guna memperkaya khasanah keilmuan. Kepada pembaca penelitian ini mohan kiranya untuk menyempurnakan penelitian ini diperlukan saran dan kritik yang konstruktif karena kritikan bagai pupuk bagi rumput di halaman kadar yang cukup menyuburkan terlalu banyak mematikan.

66 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, B. (2012). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Emzir. (2014). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Moleong, L.J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mudlofir, A. (2012). Pendidik Profesional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Muhadjir, Nung. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Echols, J.M. & Shadili, H. (1996).Kamus Inggris Indonesia.Jakarta: PT.Gramedia. Moleong, L.J. (2010). Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Poerwodarminto WJS. (2007).Kamus Umum Bahasa Indonesia.Bandung: Balai Pustaka. Schumann, Olaf Herbert. 2001. Agama dalam Dialog – Pencerahan, Pendamaian, dan Masa depan. Jakarta : Gunung Mulia Tim Penyusun Pusat Kamus. (1994).Kamus Besar Bahasa Indonesia.Bandung: Balai Pustaka. Usman, M.B. (2002).Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Press. Yusuf, Mundizirin dkk. (2005). Islam Budaya Lokal. Yogyakarta : Pokja Akademik UINSunan Kalijaga.

67 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

Naim Ngainun, Ahmad Sauqi. (2008.)Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruz Media Riyadi Irfan M, Basuki. (2009.)Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan. Ponorogo Wahid, Abdurrahman (editor), 2009, Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (versi digital), Jakarta: Kerja sama LibForAll Foundation, Gerakan Bhineka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Maarif Institute. Yulika, Febri,dan , A. Sudiardja, SJ, 2001, Refleksi moral atas tindak kekerasan dalam kehidupan bersama. Yogyakarta: Tesis UGM Zada, Khamami, 2002, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju.

INTERNET http://hds.harvard.edu/people/diana-l-eck, diakses pada tanggal 2 April 2017. http://www.worldwisdom.com/public/authors/Rene-Guenon.aspx diakses pada tanggal 4 April 2017. http://kbbi.web.id/pluralisme, diakses pada tanggal 5 April 2017. http://spektrum.irankultur.com/wp-content/uploads/2013/05/ Religious-Plurality-and-the-transcendent-Unity-of- Religions.pdf diakses pada tanggal 7 April 2017. http://digilib.uin-suka.ac.id/805/1/BAB%20I%2C%20V.pdf dapat diakses pada tanggal 8 April 2017. http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/viewFile/13/11 diakses pada tanggal 13 April 2017. http://www.iptek.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/588 diakses pada tanggal 14 April 2017. http://ejournal.uksw.edu/cakrawala/article/view/49 diakses pada bulan April 2017. https://www.komnasham.go.id/index.php/news-archives/2016/01/ diakses pada tanggal 29 September 2017.

68 Drs. Badwan, M.Ag dan Farkhani, S.HI., S.H., M.H https://student.-cnnindonesia.com/edukasi/20160520135623-317- 132226/bonus-demografi-kado-hari-kebangkitan-nasional/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2017. http://bisnis.liputan6.com/read/2307067/indonesia-harus- manfaatkan-bonus-demografi-seperti-korseldiakses pada tanggal 1 Oktober 2017. https://nasional.tempo.co/read/847866/elsa-kasus-intoleransi- bermunculan-di-semarang, diakses pada tanggal 2 Oktober 2017. https://www.tempo.co/tag/ujaran-kebencian-hate-speech diakses pada tanggal 2 Oktober 2017. http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/1343/pluralisme-pancasila.html diakses pada tanggal 4 Oktober 2017. Kota Salatiga. Januari 2017. Toleransi Antar Umat Beragama Kota Salatiga http://www.kotasalatiga.com/1-265-tahun-hidupnya- toleransi-antar-umat beragama-di-kota-salatiga/2/ Metro News. Oktober 2016. Toleransi Agama Salatiga http://news.metrotvnews.com/read/2015/12/28/205702/toleransi- agama-tirulah-salatiga?q=Search... – 16/10/16)

PROCEEDING Wasim, Alef Theria, “Ekologi Agama dan Studi Agama-agama: Dialog atau Harmoni” dalam Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan, Proceeding Konferensi Regional International Association for the History of Religion, (Yogyakarta: Oasis Publisher 2004).

TESIS Khoiriyah, (2015) Pluralisme Agama Dalam Perspektif Alwi Shihab. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya. Fihif Dhillah,(2003)Pluralisme Agama Dalam Pandangan Nurcholis Madjid. Thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

69 Hukum Transendental; Argumentasi Hukum Menggunakan Norma-norma Agama...

TERBITAN BERKALA Zainal Abidin Bagir, dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah mada Yogya- karta, Indonesia, 2012. Zainal Abidin Bagir, dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogya- karta, Indonesia, 2013.

70