VIHARA DAN PLURALISME PADA MASA JAWA KUNA ABAD VIII – XI MASEHI (Tinjauan Data Prasasti)1

VIHARA AND PLURALISM IN ANCIENT JAVA, 8TH – 11TH AD. (Study on Inscriptions)

Agni Sesaria Mochtar Balai Arkeologi Yogyakarta [email protected]

ABSTRACT The era of reformation in was supposedly articulated with the pluralism of the society. Sadly, many cases regarding religious and ethnic conflicts pronounced the opposite, whereas pluralism and religious tolerance were two of the main characters of the nation since the days of the ancestors. The legacy of those two characters is actually able to be observed through cultural heritage, as a messenger from the past. This study examines one aspect of the practice of religious tolerance, which recorded in the ancient inscriptions from 8th to 11th AD., which selected through purposive sampling procedure. The aforementioned aspect was regarding the important role of ancient vihāra as a symbol of religious tolerance in society. Such role was the impact of its functions, which are different with today’s modern function. This information on the function and role of the vihāra in ancient Java is provided to support modern Indonesian society to understand their material cultural heritage.

Keywords: vihāra, ancient Java, inscription

ABSTRAK Semangat pluralisme yang didengungkan sebagai nafas era reformasi pada kenyataannya justru berbanding terbalik dengan munculnya konflik-konflik agama dan etnis di beberapa daerah di Indonesia. Padahal, pluralisme dan toleransi antar umat beragama telah menjadi karakter bangsa ini sejak masa nenek moyang. Pelajaran tentang toleransi tersebut sesungguhnya dapat diperoleh melalui pemahaman tentang tinggalan budaya yang sebenarnya merupakan pembawa pesan dari masa lalu. Penelitian ini menelusuri bentuk-bentuk toleransi beragama yang terekam di dalam prasasti-prasasti masa Jawa Kuna dari abad VIII-XI M. Berdasarkan sumber prasasti yang dipilih dengan teknik purposive sampling, diperoleh gambaran tentang vihāra sebagai salah satu institusi yang memiliki peran penting sebagai simbol toleransi beragama dalam masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi vihāra di dalam masyarakat pada masa tersebut, yang berbeda dengan pemahaman masyarakat modern tentang fungsinya saat ini. Penyajian informasi tentang fungsi dan peran vihāra pada masa Jawa Kuna merupakan salah satu upaya agar masyarakat modern lebih memahami pentingnya tinggalan budaya materi warisan nenek moyang kita.

Kata kunci: vihāra, Jawa Kuna, prasasti.

Tanggal masuk : 12 Maret 2015 Tanggal diterima : 02 November 2015

1 Artikel ini disusun berdasarkan bagian kecil dari skripsi sarjana Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (2009) yang telah direvisi dengan referensi-referensi baru.

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 117 (Agni Sesaria Mochtar)

PENDAHULUAN mendalam untuk menggali pokok- pokok pelajaran penting yang Berbagai kasus kekerasan diwariskan nenek moyang bangsa terhadap suatu umat beragama Indonesia melalui tinggalan-tinggalan tertentu oleh umat beragama lainnya budaya materi tersebut. hingga saat ini masih sering ditemui Hal ini juga diperparah dengan dalam masyarakat Indonesia kurangnya publikasi tentang berbagai (Sudjangi 2002; Tim Puslitbang hasil penelitian arkeologi sehingga Kehidupan Beragama 2006; Tim masyarakat kesulitan untuk Peneliti 2001). Toleransi beragama memperoleh sumber-sumber nampaknya masih terbatas pada informasi yang dapat membantu bagian dari semboyan Bhinneka mereka dalam memahami tinggalan Tunggal Ika, tanpa dihayati secara budayanya secara lebih mendalam. menyeluruh dalam kehidupan sehari- Publikasi yang ada dari beragai hasil hari. Kemajemukan bangsa ini belum penelitian pun masih didominasi oleh sepenuhnya dipandang sebagai literatur berbahasa asing. Tentunya sebuah kekayaan bersama, justru hal ini sedikit banyak memberikan seringkali menjadi topik sensitif yang hambatan pada keluasan distribusi mudah untuk diprovokasi menjadi informasi kepada masyarakat. konflik. Kondisi tersebut salah Salah satu agama tertua di satunya dikarenakan belum banyak Indonesia adalah agama Buddha, masyarakat modern yang yang saat ini justru menjadi agama menghargai sejarah panjang bangsa minoritas. Agama Buddha dalam ini. Padahal, sejarah bangsa beberapa tahun terakhir ini telah merupakan faktor penting pembentuk menjadi perhatian banyak pihak jati diri bangsa Indonesia yang karena perayaan hari raya Waisak mampu menunjukkan ciri khas yang dilaksanakan dengan megah kekuatan dan keunikan kita di antara setiap tahunnya di Candi . bangsa-bangsa lain. Kurangnya Peristiwa tersebut selalu menyedot pemahaman terhadap sejarah kedatangan pengunjung dalam menjadikan banyak anggota jumlah besar dari berbagai lapisan masyarakat cenderung untuk dan golongan masyarakat. Peristiwa mengaplikasikan pola-pola pemikiran itu seolah dapat menjadi sarana modern yang belum tentu sesuai untuk membina toleransi antar umat dengan konteks kebudayaan beragama. Akan tetapi, tetap saja Indonesia. terjadi tindak-tindak kekerasan Kurangnya apresiasi terhadap terhadap para umat Buddha. sejarah bangsa salah satunya Peristiwa pemboman vihāra Ekayana ditunjukkan dengan masih sedikitnya di Jakarta pada tahun 2013 minat masyarakat luas terhadap (Kompas.com 2013) menjadi salah tinggalan-tinggalan budaya materi satu contohnya. Lebih mengejutkan dari masa lampau. Berbagai lagi ketika diketahui ada rencana tinggalan budaya materi sejauh ini untuk meledakkan sejumlah vihāra masih sebatas dijadikan objek wisata lainnya di Indonesia oleh kelompok minat khusus. Meskipun ketertarikan teroris yang mengatasnamakan masyarakat untuk berwisata budaya agama tertentu (Kompas.com 2014). merupakan langkah awal yang baik Potensi terwujudnya toleransi untuk menumbuhkan kecintaan beragama yang ditunjukkan dalam terhadap sejarah bangsa, masih perayaan hari raya Waisak tersebut diperlukan pemahaman yang lebih sebenarnya dapat dirunut hingga

118 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

jauh ke belakang melalui kajian bihāra, maupun wihāra. Penelusuran terhadap tinggalan-tinggalan budaya mendalam tentang fungsi dan peran materi. vihāra dalam masyarakat pada masa Pada masa Jawa Kuna vihāra tersebut dilakukan dengan metode memiliki peran yang penting dalam deskriptif berdasarkan perbandingan masyarakat. Selain sebagai pusat dengan berbagai literatur. Melalui beribadatan agama Buddha, vihāra kajian ini dapat diperoleh gambaran juga menjadi simbol toleransi tentang definisi dan fungsi asli vihāra beragama pada masa tersebut. pada masa Jawa Kuna dan peranan Beberapa penelitian tentang vihāra pentingnya bagi toleransi beragama masa Jawa Kuna telah dilakukan dalam masyarakat serta sebelumnya seperti oleh Pinardi menginformasikan tentang (1984), yang mengemukakan perkembangan agama Buddha di pendapatnya tentang fungsi Situs Indonesia. Hal ini dilakukan agar Ratu Boko sebagai vihāra Buddhis. tercipta pemahaman yang lebih baik Pendapat yang sama juga dalam masyarakat modern tentang diungkapkan oleh Miksic (1994, 23- masing-masing agama yang ada di 31), Sundberg (2004, 95-123) dan Indonesia sebagai dasar untuk Degroot (2006, 55-74) yang secara menumbuhkan toleransi beragama lebih jauh melakukan perbandingan yang seutuhnya. antara Situs Ratu Boko dengan Abhayagirivihāra di Sri Lanka. Akan METODE PENELITIAN tetapi, penelitian terhadap tinggalan bangunan vihāra tidak mudah untuk Data yang digunakan dalam dilakukan karena jumlahnya sangat kajian ini adalah prasasti, yaitu sedikit. Dalam hal ini kajian prasasti artefak bertulis dari masa lalu yang menjadi penting. Beberapa kajian dipahatkan pada logam, batu, tanah tentang vihāra melalui data prasasti liat, atau pun kayu (Soetanti 1996, pernah dilakukan oleh Kusen (1989) 172). Pembacaan atas isi prasasti dan Darmosoetopo (2003). Kusen dilakukan melalui hasil transkripsi (1989) membahas dengan detil dan transliterasi dari prasasti-prasasti bihāra i Pikatan dalam kaitannya dari masa Jawa Kuna yang telah dengan perubahan status sawah di disusun oleh Christie (2000; 2002; Wanua Tengah pada masa 2004), Sarkar (1972), dan Brandes pemerintahan raja-raja Mataram (1913). Dalam perspektif arkeologi Kuna abad VIII-X M berdasarkan data tersebut termasuk dalam Prasasti Wanua Tengah III. Akan kategori data sekunder karena sudah tetapi, tidak disebutkan vihāra-vihāra merupakan kajian atas artefak asli lainnya di Jawa. Sementara prasasti. Masa Jawa Kuna dipilih Darmosoetopo (2003) membahas karena dianggap menjadi pusat kaitan antara sīma dengan bangunan perkembangan kebudayaan yang keagamaan pada abad IX-X M. Di mendapat pengaruh baik agama dalam tulisan tersebut vihāra hanya Hindu maupun Buddha, sehingga dibahas sebagai salah satu dapat menggambarkan masyarakat bangunan keagamaan, sehingga yang heterogen. Abad VIII dijadikan pembahasannya tidak mendalam. batas bawah rentang waktu Kajian yang disajikan dalam penelitian karena pada abad-abad tulisan ini mencakup seluruh prasasti sebelumnya sangat sedikit prasasti dari masa Jawa Kuna pada abad VIII- yang ditemukan. Sementara abad XI XI M yang menyebut kata vihāra, dijadikan batas atas karena setelah

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 119 (Agni Sesaria Mochtar)

abad tersebut masyarakat Jawa HASIL DAN PEMBAHASAN Kuna mulai mengenal bentuk sinkretisme budaya antara Hindu dan Sejarah Agama Buddha di Buddha sehingga sulit untuk Indonesia diperoleh batasan-batasan yang jelas antara agama Hindu dan Buddha. Agama Buddha awalnya Prasasti dari masa Jawa Kuna merupakan sebuah filosofi hidup yang telah ditemukan hingga saat ini yang muncul pada abad ke-6 SM di berjumlah ratusan. Penentuan daerah Nepal. Filosofi tersebut prasasti yang digunakan sebagai dicetuskan oleh Śakyamuni data penelitian ini dilakukan dengan Gautama, yang kemudian dikenal teknik purposive sampling agar sebagai Sang Buddha, setelah diperoleh prasasti yang berkaitan berhasil mencapai pencerahan. dengan vihāra. Pemilahan dilakukan Filosofi tersebut diajarkan oleh Sang dengan cara membaca cepat seluruh Buddha dalam bentuk dharmma transkripsi dan transliterasi yang (ajaran Buddha). Inti ajaran dharmma telah disebutkan di atas dan dipilih adalah pelepasan diri dari sengsara dengan kriteria menyebut kata vihāra, karena terlahirkan kembali (samsara) bihāra, atau wihāra. Perbedaan huruf dan mencapai tingkat terbebas dari awal v, b, dan w dianggap sebagai siklus reinkarnasi (nirvāna). Ajaran gejala fonologi yang tidak Sang Buddha tersebut kemudian mempengaruhi arti kata. Berdasarkan tersebar luas ke berbagai daerah. teknik tersebut diperoleh 21 prasasti Setelah sampai di India filosofi hidup berbahan batu dan logam yang tersebut berkembang, dan kemudian memenuhi kriteria. Prasasti masa pada sekitar abad I SM berubah Jawa Kuna masih menggunakan menjadi sebuah doktrin religius dan pertanggalan tahun Saka. Konversi menempatkan Sang Buddha pada pertanggalan ke dalam tahun Masehi posisi dewa seperti dewa-dewa mengikuti hasil penghitungan Christie dalam pantheon Hindu (Louis 1995, (2000; 2002; 2004) dan Damais 17). Para pemeluk agama Buddha (1952). Sementara prasasti-prasasti terdiri dari golongan agamawan, yaitu yang belum masuk dalam daftar para bhiksu/bhiksuni dan golongan keduanya dikonversi dengan cara awam yaitu para upāsaka/upāsika menambahkan 78 tahun dari angka (Robinson dan Johnson 1977, 56). tahun Saka yang terdapat pada Para bhiksu adalah orang-orang yang prasasti. Seluruh prasasti yang telah meninggalkan masyarakat ramai dan dipilih kemudian diterjemahkan ke keduniawian, hidup bersama dalam dalam bahasa Indonesia. Kutipan- biara, serta menjalankan daçaçila. kutipan yang memuat informasi Para upāsaka/upāsika adalah orang- tentang fungsi dan peran vihāra orang yang hidup sebagai anggota dianalis dan dibandingkan dengan masyarakat biasa. Perkumpulan para hasil-hasil penelitian sebelumnya bhiksu disebut saṅgha (Soekmono untuk memperoleh gambaran utuh 1973, 22). Para pemeluk agama tentang eksistensi vihāra pada Buddha harus memiliki kepercayaan masyarakat Jawa Kuna abad VIII – XI kepada Triratna yang terdiri dari M. Buddha, Dharmma, dan Saṅgha (Robinson dan Johnson 1977, 56). Agama Buddha datang ke Indonesia pada abad V M (Damais 1995, 85). Pada masa yang kurang

120 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

lebih bersamaan agama Hindu juga Selain bukti-bukti arkeologis, masuk ke Indonesia seperti terlihat kedatangan agama Buddha ke pada prasasti Kutai dan Ciampea Indonesia juga dapat ditelusuri dari (Griffith 2014, 53). Kedua agama beberapa berita Cina. Seorang tersebut membawa pengaruh besar bhiksu Tionghoa bernama Fa-Hsien terhadap kehidupan masyarakat saat menyebutkan bahwa seorang itu, khususnya masyarakat Jawa pangeran di Kashmir menjadi bhiksu Kuna. Agama Buddha yang masuk dan tinggal di Sri Lanka. Sekitar abad ke Indonesia pertama kali V M, pangeran yang telah menjadi diperkirakan adalah aliran Buddha bhiksu tersebut pergi ke Cho-p’o. Hīnayāna yang dibawa oleh bhiksu Dengan pertolongan ibu suri seorang dari Sri Lanka. Bhiksu dari India raja yang memerintah di Jawa, ia datang ke Indonesia pada masa yang berhasil menyebarkan Buddhisme lebih kemudian dengan membawa Hῑnayāna dari aliran aliran Buddha Mahāyāna. Mulasarwatiwada-Nikaya Bukti tertua keberadaan (Kandahjaya 2004, 43). Berita Cina Buddhisme di Indonesia ditemukan di lainnya, ditulis oleh I-tsing, pantai utara Jawa Barat, yaitu di situs menyebutkan bahwa seorang guru yang berupa tsa tsa Tionghoa bernama Hwui-Ning datang (Manguin & Agustijanto 2011, 113- ke Jawa pada tahun 664/665 M. Ia 18). Tsa tsa adalah votive tablet yang tinggal di Jawa selama tiga tahun dan memiliki relief Dhyanibuddha bekerjasama dengan Joh-na-po-t’o-lo Amitabha. Tsa tsa tersebut (Jnanabadra) menerjemahkan kitab diperkirakan berasal dari sekitar abad agama Buddha Hinayana. Catatan I- VI – VII M karena memiliki kesamaan tsing juga menceritakan tentang dengan yang ditemukan Dwarawati, agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya Thailand (Indradjaja 2005, 54). Bukti yang merupakan pusat kebudayaan, tertua kedua adalah sebuah prasasti peradaban, dan ilmu pengetahuan batu yang ditemukan di Dusun agama Buddha aliran Mahāyāna. Tekarik, Kalimantan Barat. Prasasti Bhiksu-bhiksu yang datang ke ini ditemukan di daerah aliran Sungai Sriwijaya mendapat tempat khusus Kapuas. Prasasti ini bergambar tujuh dan sangat dihormati oleh penguasa buah stūpa yang dipahatkan pada dan rakyat Sriwijaya. Bhiksu-bhiksu sebuah batu besar. Pada setiap tersebut tinggal dalam waktu yang stūpa dan di antara stūpa ketiga dan lama untuk mempelajari agama keempat terdapat tulisan mantra Buddha, termasuk I-tsing. Ia Buddhis. Berdasarkan analisis mempelajari tata bahasa sanskṛta paleografi, prasasti tersebut berasal dan menterjemahkan kitab-kitab suci dari abad VI – VII M (Utomo 2007, agama Buddha dari bahasa sanskṛta 10-11). Bukti tertua ketiga ditemukan ke bahasa Cina (Utomo 2007, 12). di Sulawesi Barat, berupa arca Berita Cina yang lain menyebutkan Buddha dari perunggu yang bergaya bahwa Dharmapala yang berasal dari Amarāvati. Sebelumnya arca ini Kanci dan mengajar di Universitas diperkirakan dari sekitar abad II-V M Nālandā, juga mengajar Buddha (Utomo 2007, 12) dan dianggap Mahāyāna di Swarnnadwipa. Berita sebagai artefak bercorak Buddhis Cina tersebut juga menyebutkan tertua di Indonesia, tetapi penelitian bahwa Dharmapala tiba di terbaru menyebutkan bahwa arca ini Swarnnadwipa lima puluh tahun lebih tidak lebih tua dari abad VIII M (Guy dulu daripada I-Tsing (Utomo 2007, 2014, 8). 13).

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 121 (Agni Sesaria Mochtar)

Dinamika Keberadaan Vihāra Pada the monks, (is) known as vihāra...”. Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M Sejalan dengan Brown, Liebert (1976, 337) juga menyebutkan vihāra Vihāra saat ini dipahami oleh sebagai “monastery”. Soekmono masyarakat masa kini sebagai (1974, 118), berdasarkan prasasti tempat peribadatan pemeluk agama , mengartikan vihāra sebagai Buddha yang identik dengan sebutan untuk keseluruhan gugusan klenteng. Akan tetapi, agama Buddha bangunan yang terdiri dari kuil dan sekarang ini telah mengalami asramanya. Zoetmoelder (2004, percampuran dengan unsur 1431) mengartikan vihāra sebagai, kepercayaan Konghuchu. Vihāra “biara atau candi, yang aslinya dalam konteks ini berfungsi sebagai merupakan serambi tempat para pusat kegiatan agama dan pendeta berkumpul atau berjalan- kebudayaan. Kegiatan yang diadakan jalan”. Sementara Kusen (1989, 55) di dalam vihāra adalah berdoa, mendefinisikan vihāra sebagai bermeditasi, dan membaca paritta “tempat tinggal atau tempat (Chodron 1995, 44). Namun, jauh persinggahan para pendeta agama sebelum terbentuknya definisi Buddha (bhiksu) dan juga tempat berdasarkan keadaan masa para bhiksu tersebut berkumpul dan sekarang sebenarnya vihāra memiliki mendiskusikan hal-hal yang definisi asli yang berbeda. Beberapa berhubungan dengan agama”. ahli telah Akan tetapi, agama Buddha Pertama, agar para bhiksu memiliki sekarang ini telah mengalami tempat yang aman dan damai untuk percampuran dengan unsur bermeditasi. Kedua, agar orang- kepercayaan Konghuchu. Vihāra orang terpelajar dapat tinggal di sana dalam konteks ini berfungsi sebagai untuk memperdalam ilmunya pusat kegiatan agama dan (Sankhalia 1934, 29). kebudayaan. Kegiatan yang diadakan Keberadaan vihāra pada masa di dalam vihāra adalah berdoa, Jawa Kuna saat ini sulit ditelusuri bermeditasi, dan membaca paritta jejaknya melalui ting galan bangunan (Chodron 1995, 44). Namun, jauh monumental karena jumlahnya yang sebelum terbentuknya definisi sedikit. Hanya double platform di berdasarkan keadaan masa Kompleks Ratu Boko dan Candi Sari sekarang sebenarnya vihāra memiliki yang masih bisa diamati dengan definisi asli yang berbeda. Beberapa jelas. Akan tetapi, keberadaan vihāra ahli telah mengemukakan pendapat masih dapat ditelusuri dari prasasti. tentang definisi vihāra. Percy Brown Pada kurun waktu dari abad VIII dalam Soekmono (1974, 118) hingga abad XI M, terdapat 21 menyebutkan, “...the monastery prasasti yang menyebutkan tentang proper, an arragement of vihāra, seperti terlihat pada tabel di appartments for the accomodation of bawah ini.

122 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

Tabel 1. Daftar prasasti-prasasti tentang vihāra abad VIII-XI M NO NAMA PRASASTI TAHUN(M) NAMA VIHĀRA DAERAH SĪMA

Kalasan 778 Vihāra i Kalasa Wanua Kalasa 1.. Abhayagirivihāra 792 Vihāra Abhayagiri Tidak disebutkan 2. Kayumwungan 824 Vihāra Tidak disebutkan 3. Abhayananda 826 Wihāra Abhayananda Sawaḥ 4 tampaḥ 4. Kuṭi 840 Kuṭi Lmaḥ Waharu 5. Sawaḥ i wanua Wayuku 854 Wihāra Abhayananda 6. Wayuku Wihāra 874 Wihāra Tidak disebutkan 7. Salimar IV 880 Wihāra i Kandang Tidak disebutkan 8. Kalirungan 883 Wihāra i Kalirungan Wanua Kalirungan 9. Munggu Antan 887 Wihāra i Gusali Wanua Munggu Antan 10. Wihāra waitanning Poh 905 Wanua Wrang 11. hawan Palepangan 906 Bihāra ing Pahai Wanua Srāngan 12. Wihāra i Hujung Sangsang 907 Wanua Sangsang 13. Galuh Wanua Wukajana, Wukajana - Bihāra i Dalinan 14. Tumpang, Wuru Tlu Guntur 907 Wihāra i Garung Wanua Guntur 15. Wanua Tengah III 908 Bihāra i Pikatan Sawaḥ i wanuaTngah 16. Wutit - Sang Hyang Wihāra Wanua Wutit 17. Piling- Piling - Wihāra? Tidak disebutkan 18. Wurudu Kidul A 922 Wihāra i Halaran Tidak disebutkan 19. Hara-Hara 966 Sang Hyang Kuṭi Sawaḥ 20. Kelagěn 1037 Wihāra Tidak disebutkan 21. (Sumber : Mochtar 2009, 88)

Berdasarkan informasi tentang penetapan sῑma vihāra. vihāra yang disebutkan dalam teks- Prasasti yang termasuk nya, prasasti-prasasti tersebut dibagi kelompok ini adalah prasasti dalam tiga kelompok, yaitu: Kalasan 778 M, prasasti 1. Kelompok prasasti tentang Abhayagirivihāra 792 M, pendirian vihāra dan prasasti Kayumwungan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 123 (Agni Sesaria Mochtar)

(Karang Tengah) 824 M, Buddhisme tersebut, tidak ada prasasti Wayuku 854 M, penganut Buddhisme di dalam prasasti Kalirungan 883 M, masyarakat Jawa Kuna. Seperti prasasti Sangsang 907 M, tertulis pada prasasti Wanua Tengah prasasti Wukajana, prasasti III (908 M),vihāra i Pikatan didirikan Wanua Tengah III 908 M, dan oleh rahyangta i Hara, adik rahyangta prasasti Hara-Hara 966 M. i Mḍang (Kusen 1989, 69), yang ada sebelum masa pemerintahan Rakai 2. Kelompok prasasti tentang Panangkaran. Hal ini memberikan penetapan sῑma untuk vihāra. bukti bahwa sebelum Rakai Prasasti yang termasuk Panangkaran sudah ada penganut kelompok ini adalah prasasti Buddhisme. Abhayananda 826 M, prasasti Pada abad VIII M (lihat tabel 1.) Kuṭi 840 M, prasasti Wihāra terdapat dua prasasti yaitu prasasti 874 M, prasasti Munggu Kalasan 778 M, dan prasasti Antan 887 M, dan prasasti Abhayagirivihāra 792 M yang Wutit. menyebut keberadaan vihāra. Pada abad IX M terdapat delapan vihāra 3. Kelompok prasasti yang tidak yang terekam dalam prasasti, yaitu menyebutkan vihāra sebagai prasasti Kayumwungan 824 M, isi pokok, tetapi pada bagian prasasti Abhayananda 826 M, daftar saksi atau daftar prasasti Kuṭi 840 M, prasasti Wayuku pejabat penerima pasěk- 854 M, prasasti Wihāra 874 M, pasěk disebutkan kata vihāra prasasti Salimar IV 880 M, prasasti di dalamnya. Prasasti yang Kalirungan 883 M, dan prasasti termasuk kelompok ini adalah Munggu Antan 887 M. Pada abad X prasasti Salimar IV 880 M, M terdapat sepuluh vihāra yang prasasti Poh 905 M, prasasti terekam pada prasasti, yaitu prasasti Palepangan 906 M, prasasti Poh 905 M, prasasti Palepangan 906 Guntur 907 M, prasasti Piling- M, prasasti Sangsang 907 M, piling, prasasti Wurudu Kidul prasasti Wukajana (abad X M), A 922 M, dan prasasti prasasti Wutit (abad X M), prasasti Kelagěn 1037 M. Piling-Piling(abad X M), prasasti Wurudu Kidul A 922 M dan prasasti Hampir seluruh prasasti yang Hara-Hara 966 M. Pada abad XI M menyebut kata vihāra dalam kurun terdapat sebuah vihāra yang terekam VIII-XI M berangka tahun. Dari angka pada prasasti, yaitu prasasti Kelagěn tahun tersebut dapat menunjukkan 1037 M. Dengan demikian dapat dinamika keberadaan vihāra pada diketahui adanya pertambahan masa Jawa Kuna abad VIII-XI M. jumlah vihāra pada kurun waktu abad Sebelum abad VIII M, tidak VIII – IX M dari dua ke delapan buah. ditemukan prasasti yang menyebut Pada abad X M jumlah vihāra vihāra. Hal ini tampaknya dapat bertambah menjadi sepuluh buah. dikaitkan dengan peristiwa sejarah Akan tetapi, pada abad XI M jumlah tentang kepindahan Rakai vihāra yang tersebut dalam prasasti Panangkaran dari penganut Hindu mengalami penurunan. Perlu menjadi Buddhis yang terjadi pada dikemukakan bahwa jumlah vihāra abad VIII M. Meskipun demikian, yang diketahui adalah vihāra yang tidak berarti bahwa sebelum terekam dalam prasasti. Oleh karena kepindahan Rakai Panangkaran ke itu, tidak ditolak kemungkinan masih

124 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

Gambar 1. Prasasti Kalasan 778 M Sumber: repro Bosch

Gambar 2. Prasasti Munggu Antan 887 M, Koleksi Museum Nasional D. 93 Sumber: Dokumentasi penulis, 2008

terdapat vihāra-vihāra lainnya di diasumsikan bahwa jumlah bhiksu Jawa yang tidak terekam dalam paling banyak adalah pada abad X prasasti. M, sehingga dapat disimpulkan pula Dinamika keberadaan vihāra bahwa Buddhisme di Jawa Kuna tersebut menunjukkan bahwa puncak mengalami puncak perkembangan keberadaan vihāra pada masa Jawa pada abad X M. Menarik untuk Kuna terjadi pada abad X M, yang diperhatikan adalah bahwa data dari ditunjukkan dengan jumlah vihāra prasasti tersebut menunjukkan yang paling banyak, yaitu sepuluh kondisi yang berbeda dengan vihāra. Dengan demikian dapat penelitian tentang Buddhisme yang

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 125 (Agni Sesaria Mochtar)

telah dilakukan sebelumnya. dapat dirunut melalui sejumlah Casparis (1965, 187-191), prasasti tentang vihāra pada masa berdasarkan analisis terhadap isi Jawa Kuna abadVIII-XI M. Menurut prasasti Lor, beberapa definisi yang telah mengungkapkan bahwa Buddhisme dikemukakan sebelumnya, vihāra Mahāyāna mencapai puncak dianggap hanya berfungsi untuk perkembangannya pada pertengahan aktivitas religius saja. Hal tersebut abad IX M. Demikian pula perkiraan diperkuat dengan isi prasasti Kalasan umur candi-candi Buddhis periode 778 M, Abhayagirivihara 792 M, dan Jawa Tengah. Dumarcay dalam Kayumwungan 824 M yang Prajudi (1999, 124) menyebutkan memberikan gambaran tentang peran bahwa candi-candi Buddhis tersebut vihāra sebagai menjadi pusat seperti Candi Borobudur, Candi aktivitas pemujaan dan penyebaran , Candi , dan Candi ajaran-ajaran agama Buddha oleh , diperkirakan didirikan para bhiksu yang terpelajar. Akan pada sekitar abad IX M. tetapi, dalam prasasti jayapattra

Gambar 3. Peta Persebaran Vihāra Pada Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M Sumber: Mochtar 2009, 133 Vihara Sebagai Simbol Toleransi Wuruḍu Kidul A 922 M diperoleh Beragama informasi bahwa vihāra juga terlibat dalam proses penetapan hukum, Masyarakat Jawa Kuna yaitu sebagai saksi yang merupakan masyarakat plural yang meneguhkan keputusan hukum hidup dengan corak kebudayaan terhadap seseorang. Hindu dan Buddha. Kedua agama Peran vihāra dalam aspek non- tersebut, sejauh penelitian yang telah religi masyarakat juga dapat dilakukan hingga kini, dapat ditelusuri dari daftar raja-raja yang berdampingan secara damai sejak menetapkan sῑma untuk vihāra atau abad V M sampai abad XVI M. menganugrahkan hak menetapkan Toleransi kedua agama tersebut sῑma untuk vihāra kepada pejabat

126 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

tertentu. Darmosoetopo (2003, 93) Siva (rudra murti). Raja-raja yang mendefinisikan sῑma sebagai berikut: beragama Hindu tersebut ternyata juga menetapkan sῑma untuk vihāra “Sῑma bukan berkaitan dengan atau menganugrahkan hak hasil tanahnya, melainkan menetapkan sῑma untuk vihāra. Rakai menyangkut pajak dan Kayuwangi menetapkan sῑma untuk kewajiban penduduk yang vihāra di Kalirungan yang merupakan bertempat tinggal di tanah dharmma Rake Hamēas Pu Tatu. sῑma. Perubahan yang terjadi Rakai Watukura Dyah Balitung ialah bila sebidang tanah telah mengembalikan status sawah di dijadikan sῑma, pajak dan Wanua Tengah sebagai sῑma vihāra kewajiban penduduk yang di Pikatan. Ia juga menganugrahkan biasanya diserahkan semuanya hak menetapkan sῑma kepada Pu kepada raja atau pejabat tinggi Layang untuk menetapkan sῑma bagi kemudian diubah, yaitu vihāra di Hujung Galuh dan di sebagian diserahkan kepada Dalinan. bangunan keagamaan yang Alasan para raja Hindu tersebut mendapat tunjangan tanah menetapkan sῑma untuk sebuah sῑma.” vihāra dapat bervariasi. Kemungkinan, alasan tersebut Raja-raja tersebut terdiri atas adalah untuk menunjukkan Rakai Panangkaran, penghormatan kepada penganut Dharmotunggadewa, Samara-tungga, Buddhisme agar dapat Rakai Kayuwangi, Rakai melaksanakan pemujaan dengan Gurunwangi, dan Rakai Watukura baik. Namun, tidak ditutup Dyah Balitung. Rakai Panangkaran, kemungkinannya bahwa terdapat Dharmotunggadewa, dan alasan politis yang melatarinya. Samaratungga adalah raja-raja yang Seorang raja yang ingin menguasai beragama Buddhis. Prasasti Kalasan wilayah yang besar, perlu mengambil 778 M, Prasasti Abhaya-girivihāra simpati dari semua golongan. Apabila 792 M, dan Prasasti Kayumwungan raja tersebut, seperti halnya Rakai 824 M merupakan bukti kuat bahwa Kayuwangi dan Rakai Watukura raja-raja tersebut beragama Buddhis, Dyah Balitung, beragama Hindu, jadi tidaklah mengherankan apabila maka tidak sulit untuk memperoleh mereka mendirikan vihāra Buddhis. dukungan dari golongan pendeta Menurut Prasasti Siwagṛha 856 Hindu. Akan tetapi, diperlukan upaya M, Rakai Kayuwangi adalah anak untuk mendapat dukungan dari Rakai Pikatan. Oleh karena itu, golongan rokhaniwan Buddhis yang kemungkinan besar ia beragama tidak kalah penting perannya dengan Hindu (Kusen 1989, 89). Rakai pendeta Hindu. Cara yang ditempuh Gurunwangi merupakan tokoh raja adalah dengan memberikan anugrah yang sulit identifikasi agamanya sῑma bagi vihāra Buddhis. karena hanya memerintah kurang Alasan politis yang dari sebulan dan hanya dikemukakan, dilakukan pada masa mengeluarkan satu prasasti (Kusen Rakai Watukura Dyah Balitung, 1989, 92). Rakai Watukura Dyah karena ia diperkirakan naik tahta Balitung beragama Siwa, karena perkawinan, bukan karena sebagaimana ditegaskan dalam gelar hak pribadinya. Oleh karena itu, ia pen-tahbisan (abhisekanama) yang membutuhkan legitimasi dari disandangnya yaitu sebagai titisan berbagai pihak untuk mengukuhkan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 127 (Agni Sesaria Mochtar)

posisinya. Salah satunya adalah dari menggambarkan bahwa di Wanua golongan agamawan Buddhis. Itulah Halaran terdapat vihāra dan alasan mengapa Balitung kabikuan. Kabikuan adalah tempat mengeluarkan keputusan untuk tinggal para biku (Zoetmoelder 2004). menjadikan seluruh vihāra berstatus menarik bahwa vihāra yang bersifat swatantra. Usaha untuk memperoleh Buddhis dapat berdampingan dalam dukungan golongan agamawan satu wilayah wanua dengan kabikuan seperti dilakukan Balitung yang bersifat Hindu. Oleh karena itu, mempunyai alasan yang kuat, karena dapat diasumsikan pula bahwa golongan agamawan mempunyai penduduk di Wanua Halaran terdiri kekuatan mempengaruhi masyarakat dari penganut Hindu dan Buddha, termasuk untuk mendukung Dyah dan mereka dapat hidup Balitung. Apa pun alasan di balik berdampingan di satu wanua. pemberian anugrah sῑma tersebut, hal yang penting untuk diperhatikan PENUTUP adalah bahwa seorang raja Hindu tetap mempunyai kewajiban Agama Buddha merupakan memperhatikan rakyatnya, meskipun salah satu agama penting pada masa rakyatnya menganut Buddhisme. Jawa Kuna. Candi-candi megah Tindakan ini tentu merupakan contoh seperti Borobudur, Mendut, dan yang baik kepada rakyatnya untuk Kalasan adalah bukti nyata saling menghormati antara penganut kebesaran agama Buddha di masa kepercayaan yang berbeda. Selain lalu. Berdasarkan penelitian terhadap itu, pemberian anugrah sῑma tersebut data prasasti, diperoleh pengetahuan juga menjamin rakyat dari golongan tentang bangunan keagamaan kepercayaan yang berbeda tidak Buddha lainnya yaitu vihāra. Sejauh saling bermusuhan karena mendapat ini belum banyak informasi tentang perhatian yang sama dari rajanya. vihāra pada masa Jawa Kuna karena Bukti toleransi lainnya dapat sedikitnya data monumen yang dirunut melalui kutipan prasasti masih dapat dijumpai. Padahal, Salimar IV 880 M dan prasasti vihāra juga memiliki fungsi dan peran Wurudu Kiḍul A 922 M. Kutipan yang penting dalam masyarakat prasasti Salimar IV 880 masa itu. Vihāra adalah tempat menyebutkan, “...rāmanta i tinggal para bhiksu yang selain kaṇḍang...marhyang si brahma. si sebagai pemuka agama juga dikenal piba. si ranu. si wala. marhyang i sebagai golongan terpelajar. Para patahun si [jabung] bihāra swāmi si bhiksu selain menjadi tokoh religius tiruan si tarā.” (Darmosoetopo 1971, dalam masyarakat juga memegang 26). Kutipan tersebut memberikan peranan penting dalam kehidupan keterangan bahwa di Wanua sosial, politik, dan ekonomi Kaṇḍang terdapat bangunan masyarakat. keagamaan Śivaistis dan vihāra, Data prasasti telah dibuktikan dengan adanya jabatan menunjukkan bahwa vihāra marhyang dan bihāra swāmi dalam mengalami proses pertumbuhan dan daftar rāmanta iKaṇḍang. Baris b.3 penurunan dalam hal jumlah pada prasasti Wurudu Kiḍul A 922 M kurun waktu abad VIII – XI M. menyebutkan, “...mwaŋ rāmanta i Selama proses dinamika tersebut halaran saŋ pasuk wanwa grāma vihāra telah menunjukkan tentang vihāra kabikuan...” (Boechari 1985, bentuk-bentuk toleransi beragama 121). Kalimat tersebut antara umat beragama Hindu dan

128 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

Buddha. Vihāra dapat hidup tulisan ini dalam bentuk artikel yang berdampingan dalam sebuah desa baik, serta kepada E. Edward dengan para penganut agama Hindu McKinnon atas masukannya dalam dan bersedia terlibat dengan penyempurnaan artikel ini. masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bahkan vihāra dapat menembus birokrasi pemerintahan hingga mampu memperoleh anugrah dari raja dan para bangsawan berupa status tanah sῑma, anugrah yang prestisius pada saat itu, bahkan dari raja yang beragama Hindu sekalipun. Sesungguhnya pola serupa terus berlanjut ketika para ulama menduduki peran penting pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahkan hingga periode pasca kemerdekaan ketika para pemuka agama masih memegang peranan penting di pemerintahan. Bentuk-bentuk toleransi pada masa Jawa Kuna yang terekam melalui fungsi dan peran vihāra tersebut telah menunjukkan bahwa pluralisme pada masyarakat Jawa Kuna bukan menjadi pencetus konflik. Raja dan petinggi kerajaan pada masa itu menempatkan para agamawan pada posisi yang penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan masing-masing agama dapat hidup berdampingan. Nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang ini seharusnya terus dipelihara oleh bangsa Indonesia agar dapat memandang pluralisme sebagai sebuah karakter bangsa dan bukan sebagai perbedaan yang dapat memisahkan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Slamet Pinardi, M.Hum dan Dra. D.S. Nugrahani selaku pembimbing skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Erwiza Erman, M.A., PhD atas bantuan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyajikan

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 129 (Agni Sesaria Mochtar)

DAFTAR PUSTAKA

Brandes, J.L.A. 1913. ‘Oud Javaansche Oorkonden, Nagelaten Transcripties”. VBG LX. Batavia : Albrecht & Co.

Boechari. 1985. Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid 1. Jakarta : Proyek Pengembangan Museum Nasional. de Casparis, J.G. 1956. Selected Inscriptions From The 7th to The 9th CenturyA.D. (Prasasti Indonesia II). Bandung : Masa Baru.

Christie, Jan Wisseman. 2000. Register of The Inscription of Java Part 1: 732 to898 A.D.

______2002. Register of The Inscriptions of Java Part 2: May 855 – May 898 A.D.

______2004. Register of The Inscriptions of Java Part 3: May 898 – May 929 A.D . Chodron, Thubten. 1995. Tradisi dan Harmoni: Menelusuri Jejak-jejak Agama Budha. Bandung: Yayasan Penerbit Kanariya.

Damais, L.C. 1952. ‘Études D’épigraphie Indonésienne. III – Liste Des Principales Inscriptions Datées de L’Indonésie’. Dalam BEFEO Tome XLVI

______1995. ‘Agama Budha di Indonesia’. Epigrafi dan Sejarah : Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: EFEO.

Darmosoetopo, Riboet. 1971. Prasasti Salimar IV. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Univeristas Gadjah Mada.

______2003. Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IXXTU. Yogyakarta: Prana Pena.

Degroot, Véronique. 2006. ‘The Archaeological Remains of Ratuboko : From Sri Lankan Buddhism to Hinduism’. Dalam Indonesia and The Malay WorldVol. 34 No. 98 : 55-74.

Griffiths, Arlo. 2014. ‘Early Indic Inscriptions of Southeast Asia’. Dalam Lost Kingdoms: Hindu-Buddhist Sculpture of Early Southeast Asia. New York: Metropolitan Museum of Art. Hlm 53-57

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources. Jakarta : C.V. Bhratara

Guy, John. 2014. ‘Introducing Early Southeast Asia’. Dalam Lost Kingdoms: Hindu-Buddhist Sculpture of Early Southeast Asia. New York: Metropolitan Museum of Art. Hlm. 3-13

130 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132

Indradjaja, Agustijanto. 2005. ‘Awal Persentuhan Agama Buddha di Daerah Pantai Utara Jawa Barat (Kompleks Percandian Batujaya)’. Dalam Religi dalam Dinamika Masyarakat : 45-59.

Kandahjaya, Hudaya. 2004. ‘A Study of The Origin and Significance of Borobudur’. Disertasi. California : Berkeley University.

Kompas.com. 2013. Terduga Pelaku Peledakan Vihara Ekayana Ditangkap. (http://nasional.kompas.com/read/2013/12/16/1219099/Terduga.Pelaku.Pel edakan.Vihara.Ekayana.Ditangkap, diakses tanggal 1 November 2014)

Kompas.com. 2014. Mengapa Teroris Incar Wihara? (http://nasional.kompas.com/read/2014/01/02/1950588/Mengapa.Teroris.In car.Wihara. diakses tanggal 6 November 2014)

Kusen. 1989. ‘Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Dalam Masa Pemerintahan Raja-Raja Mataram Kuna Abad8-10’. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Louis, Frederic. 1995. Buddhism. Paris: Flammarion.

Manguin, Pierre-Yves dan Agustijanto Indradjaja. 2011. ‘The Batujaya Site: New Evidence of Early Indian Influence in West Java’. Dalam Pierre-Yves Manguin, A. Mani dan Geoff Wade (ed.)

Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross Cultural Exchange. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Miksic, John N. 1994. ‘Double Meditation Platforms at Anuradhapura and The Pendopo of Ratu Boko’. Dalam Saraswati : Esai-esai Arkeologi 2.KALPATARU Majalah Arkeologi No.10 : 23-31. Jakarta : Puslitarkenas.

Mochtar, Agni Sesaria. 2009. ‘Vihara Pada Masa Jawa Kuna Abad VIII-XI M (Tinjauan Data Prasasti)’. SKRIPSI SARJANA. Yogyakarta. Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Gadjah Mada.

Pinardi, Slamet. 1984. ‘Data Sementara Bangunan Kompleks Pendapa Kraton Ratu Baka’. Dalam Berkala Arkeologi V (2). Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta.

Prajudi, Rahadhian. 1999. Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa. Tesis Magister Program Studi Arsitektur. Bandung: Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.

Robinson, Richard dan Willard Johnson. 1977. The Buddhist Religion: a Historical Introduction Second Edition. Massachusetts: Duxbury Press.

Sankalia, Hasmukh D. 1934. The University of Nalanda. Madras : B.G. Paul &Co.

Vihara dan Pluralisme pada Masa Jawa Kuna Abad VIII – XI Masehi 131 (Agni Sesaria Mochtar)

Sarkar, Himanshu Bhusan. Sarkar, Himansu Bhusan. 1972. Corpus of The Inscriptions of Java : Corpus Inscriptionum Javanicarium up to 928 A.D. Calcuta : Firma K.L.Mukhopadhyay.

Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II. Jakarta: Penerbit Kanisius.

______1974. ‘Candi: Fungsi dan Pengertiannya’. Disertasi. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Soetanti, Ninie. 1996. ‘Analisis Prasasti’. Dalam PIA VII : 171-182. Jakarta: Puslitarkenas.

Sudjangi, H. 2002. Konflik Sosial Bernuansa Agama: Studi Kasus Kerusuhan di Ambon. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Beragama. Jakarta: Departemen Agama.

Sunberg, Jeffrey Roger. 2004. ‘The Wilderness Monks of The Abhayagirivihāra and The Origins of Sino-Javanese esoteric Buddhism’. Dalam BKI CLX-I : 95-123. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Tim Puslitbang Kehidupan Beragama. 2006. Studi Model Alternatif Penyelesaian Konflik Kasus Padang Sappa Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Beragama. Jakarta: Departemen Agama.

Tim Peneliti. 2001. Hubungan Antar Agama: Sebuah Analisis Sosial Keagamaan. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Agama dan Diklat Keagamaan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Utomo, Bambang Budi. 2007. ‘Budha dan Sangha di Nusantara Pada Abad ke-9- 13 M.’ Dalam Archaeology Goes to Mall, Jejak Peradaban Nusantara Abad 9 Sampai Dengan 13. Maha Karmawibhangga: Warisan Tersembunyi di Kaki Borobudur : 10-23. Jakarta : Puslitarkenas.

Zoetmoelder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.

132 Berkala Arkeologi Vol.35 Edisi No.2 November 2015: 117-132