MEDIA PELETAKKAN TELUR DAN SIKLUS HIDUP agamemnon L. (: PAPILIONIDAE) PADA TANAMAN GLODOKAN DI KAMPUS I UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Nur Azizah Maulidia 106095003212

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H MEDIA PELETAKKAN TELUR DAN SIKLUS HIDUP Graphium agamemnon L. (LEPIDOPTERA: PAPILIONIDAE) PADA TANAMAN GLODOKAN DI KAMPUS I UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Nur Azizah Maulidia 106095003212

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H PERSEMBAHANKU

“PRIMADONA BERSAYAP” Ketidak berdayaan membuatmu tertatih-tatih mengarungi kehidupan, pengasingan terhadapmu membuatmu merenung dalam tapaan. Kau rela menghancurkan sebagian tubuhmu, kau rela mengurung diri untuk terlahir kembali. Dan kini, lihatlah siapa dirimu? Kau mampu menarik perhatian mereka, mereka yang pernah mengasingkanmu. Kepakan sayapmu tebarkan pesonamu, komposisi warnamu pancarkan keindahan. Corakmu memempertegas kemolekanmu, sinergismu pun mampu menghadirkan buah pada sang bunga. Kesederhanaan dan ketulusanmu menyuntikkan kebahagiaan. Inilah kau saat ini, sang “primadona bersayap” yang indah.

Teruntuk Mama, Papa dan orang-orang yang sangat mencintaiku Terima kasih kalian tak pernah letih menemani dan telah memberikan segalanya untukku. ”I LOVE YOU ALL”

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Agustus 2011

Nur Azizah Maulidia 1 0 6 0 9 5 0 0 3 2 1 2 ABSTRAK

Nur Azizah Maulidia, MEDIA PELETAKKAN TELUR DAN SIKLUS HIDUP Graphium agamemnon L. (LEPIDOPTERA: PAPILIONIDAE) PADA TANAMAN GLODOKAN DI KAMPUS I UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, dibimbing oleh Narti Fitriana, M. Si dan Dr. Fahma Wijayanti, M. Si

Kupu-kupu merupakan salah satu serangga yang berperan penting dalam penyerbukan (polinasi) tanaman berbunga yang berada di sekitar kampus I UIN Jakarta. Kupu-kupu sering terlihat mengunjungi tanaman tidak hanya untuk mencari makanan berupa nektar ataupun serbuk sari saja, akan tetapi untuk meletakkan telur. G. agamemnon L. merupakan salah satu jenis kupu-kupu yang mengunjungi beberapa tanaman. Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan siklus hidup kupu-kupu pada tanaman Glodokan. Sementara informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya pelestarian keberadaan jenis kupu-kupu sebagai salah satu serangga penyerbuk. Tujuan penelitian untuk mengetahui: Media peletakan telur, siklus hidup dan morfologi tiap stadia dalam siklus hidup G. agamemnon. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011 di sekitar kampus I dan di Pusat Laborotorium Terpadu UIN Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode survey (semi alami). Hasil penelitian: G. agamemnon memilih daun muda dan daun tua sebagai media untuk meletakan telurnya, dengan posisi telur terletak di permukaan atas atau permukaan bawah daun. Siklus hidup G. agamemnon dimulai dari stadia telur, larva, pupa, hingga imago berkisar antara 31-38 hari dan morfologi tiap stadia memiliki ciri khas yang spesifik.

Kata kunci: Kampus I UIN Jakarta, siklus hidup, kupu-kupu G. agamemnon L. dan Glodogan. ABSTRACT

Nur Azizah Maulidia, MEDIA OF PLACEMENT EGGS SELECTION AND LIFE CYCLE Graphium agamemnon L. (LEPIDOPTERA: PAPILIONIDAE) ON GLODOKAN AT CAMPUS I ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, mentored by Narti Fitriana, M. Si and Dr. Fahma Wijayanti, M. Si

Butterflies are one kind of that plays an important role in pollination of flower around the campus I UIN Jakarta. They are often seen visiting the plant not only to seek the food such as nectar or pollen, but also to lay their eggs. G. agamemnon L. is one kind of that visited several plants. Recently, there is no research that reports life cycle the butterfly on Glodokan. However, the information is needed in order to effort the conservation of their as one of the pollinator insect. The purpose of this research is to know: Media of laying egg, the life cycle of and morphology of each stadium in the cycle of G. agamemnon. The research was held on July 2010 up to January 2011 around campus I and at the Center of Integrated Laboratory UIN Jakarta. Method of the research is survey method (semi-natural). The results: G. agamemnon chose both of young and old leaves as a medium to lay their eggs that is placed on the up or down surface of leaves. The life cycle of G. agamemnon started from the egg, larva, pupa, and then imago around 31-38 days and the morphology of each stadium have specific characteristics.

Key words: Campus I UIN Jakarta, the life cycle, butterflies G. agamemnon L. and Glodogan.

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb. بِسْمِ اهللِ الّرَحْمنِ الّرَحِيْمِ Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa menganugerahkan nikmat kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini, karena Penulis tidak mampu menyelesaikan laporan ini tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak baik berupa moral maupun materi. Perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayahanda Drs. H. Ohan Zarkasi beserta Ibunda Hj. Eti Suhaeti tersayang yang selalu menemani setiap langkahku dengan do’a dan kasih sayang yang tiada batasnya. 2. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 3. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud selaku ketua program studi biologi. 4. Dini Fardila, M.Si selaku sekretaris program studi biologi. 5. Nani Radiastuti, M. Si selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis. 6. Pembimbing I Narti Fitriana, M. Si dan pembimbing II Dr. Fahma Wijayanti M. Si terima kasih atas segala masukan berupa saran dan kritik yang membangun, serta telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan banyak motivasi kepada Penulis. 7. Penguji I Paskal Sukandar, M. Si dan Priyanti, M. Si beserta penguji II Dini Fardila, M. Si dan Nani Radiastuti, M. Si. Terima kasih atas segala masukan berupa saran serta kritik yang membangun kepada Penulis. 8. Seluruh staf pengajar dan laboran program studi biologi yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada Penulis.

i 9. Seluruh kakak, keponakan dan para sahabat tersayang. Terima kasih atas segala pengorbanan dan dukungan kalian semua baik materi maupun non materi selama Penulis menuntut ilmu. 10. Nugroho Syamsul Bachri S.S terima kasih selalu menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Tiada gading yang tak retak, demikian pula adanya dengan penyusunan skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pembaca. Semoga skripsi ini dapat memberi sedikit pengetahuan baru bagi pembaca dan masyarakat khususnya Penulis mengenai “Media Peletakkan Telur dan Siklus Hidup Graphium agamemnon L. (Lepidoptera: Papilionidae) Pada Tanaman Glodokan di Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”

الحَمْدُهللِ رَّبِ العالمِيْنَ

Wassalamu’alaikum wr wb.

Jakarta, Agustus 2011

Penulis

ii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iii

DAFTAR GAMBAR ...... v

DAFTAR TABEL ...... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Perumusan Masalah ...... 3 1.3 Tujuan ...... 3

1.4 Manfaat ...... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ...... 4 2.2 Kupu-Kupu ...... 6 2.3 Kupu-Kupu Papilionidae ...... 9

2.4 Siklus Hidup Kupu-Kupu ...... 12 2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Kupu-Kupu ...... 18 2.6 Nilai Penting yang Dimiliki Kupu-Kupu ...... 21

2.7 Tanaman Inang Glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.) ...... 24

iii BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...... 26 3.2 Alat dan Bahan ...... 27 3.3 Cara Kerja ...... 28 3.3.1. Pemilihan media peletakan telur kupu-kupu G. agamemnon L. pada tanaman Glodokan ...... 28 3.3.2. Kandang buatan kupu-kupu G. agamemnon Linn ...... 28

3.3.3. Morfologi tiap stadia dalam siklus hidup kupu-kupu G. agamemnon L...... 30 3.3.4. Proses Opset dan Pengukuran morfometri ...... 31

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Aktivitas G. agamemnon L. di sekitar kampus I UIN Jakarta ..... 33 4.2 Pemilihan media peletakkan telur G. agamemnon L. pada tanaman Glodokan ...... 38 4.3 Morfologi Tiap Stadia dalam Siklus Hidup G. agamemnon L ..... 41

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...... 58 5.2 Saran ...... 58

DAFTAR PUSTAKA ...... 59

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 61

iv DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Hewan Ordo Lepidoptera ...... 7

Gambar 2. Morfologi G. agamemnon L. : a. Telur; b. Larva; c. Pupa; dan d. Kupu-kupu dewasa ...... 11

Gambar 3. Telur dan Larva Kupu-Kupu: a. Telur Kupu-Kupu Pada Daun ; b. Larva ...... 14

Gambar 4. Morfologi beberapa pupa (Kepompong) Kupu ; a. Pupa Euploea; b, c. Pupa Papilionidae ...... 15

Gambar 5. Morfologi Kupu-Kupu ...... 16

Gambar 6. Metamorfosis G. agamemnon L...... 17

Gambar 7. Burung yang Sedang Memangsa Kupu-Kupu ...... 21

Gambar 8. Lokasi pengamatan di kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26

Gambar 9. Kandang buatan G. agamemnon L...... 29

Gambar 10. Proses opset: a. G. agamemnon L. yang sedang ditetesi oleh alkohol 70%; b. G. agamemnon proses pengeringan; c G. agamemnon L. di dalam papan perentang...... 32

Gambar 11. Pengukuran morfometrik; a. Panjang antena; b. Panjang badan; c. Lebar sayap depan; d. Panjang sayap depan (d); e. Panjang sayap belakang; f. Lebar sayap belakang. (Rentang sayap/2d=2 x Panjang sayap depan) ...... 32

Gambar 12. Telur G. agamemnon L. di permukaan bawah daun muda ...... 41

Gambar 13. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.; a. telur; b. larva instar 1; c. larva instar 2; d. larva insrtar 3; e. larva instar 4; f. larva instar 5; g. prepupa; h. pupa; i. imago (G. agamemnon L.) 47

Gambar 14. Pupa yang siap menetas jadi G. agamemnon L...... 49

Gambar 15. G. agamemnon L. yang cacat ...... 50

v Gambar 16. G. agamemnon L. ; a. G. agamemnon L. betina dan jantan dorsal; b. G. agamemnon L. betina dan jantan ventral ...... 52

vi DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jenis-jenis tanaman monokotil yang tumbuh di kampus I dan II UIN Jakarta ...... 5

Tabel 2. Faktor lingkungan saat pengambilan telur...... 33

Tabel 3. Pemilihan media peletakan telur G. agamemnon L...... 39

Tabel 4. Morfologi telur G. agamemnon L...... 42

Tabel 5. Morfologi pradewasa G. agamemnon L...... 42

Tabel 6. Ukuran tubuh (mm) G. agamemnon L. jantan dan betina dewasa .. 48

Tabel 7. Faktor fisik ruangan ...... 53

Tabel 8. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon 54

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Morfologi telur G. agamemnon L...... 61

Lampiran 2. Data Panjang tubuh tiap stadia larva, prepupa, dan pupa G. agamemnon L. (mm)...... 62

Lampiran 3. Data Morfologi dewasa G. agamemnon L...... 63

Lampiran 4. Faktor fisik saat pengambilan sampel telur G. agamemnon L...... 65

Lampiran 5. Faktor fisik ruangan saat pengamatan tiap stadia G. agamemnon L...... 66

Lampiran 6. Kerangka Berpikir ...... 68

viii 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Kawasan kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta banyak ditanami berbagai macam tanaman, baik tanaman berbunga maupun tanaman pelindung.

Kupu-kupu merupakan salah satu serangga yang berperan penting dalam penyerbukan (polinasi) tanaman berbunga yang berada di sekitar kampus I

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, kupu-kupu juga berperan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem (lingkungan) dan memperkaya keanekaragaman jenis tanaman (Bima, 2007; Hamidun, 2003).

Kelangsungan hidup kupu-kupu sangat ditunjang oleh tersedianya tanaman sebagai sumber pakan, sebagai media peletakan telur dan sebagai pelindung baik pada stadia larva maupun pada stadia imago (kupu-kupu dewasa). Selain tanaman, diperlukan beberapa faktor abiotik di antaranya cahaya yang cukup, udara yang bersih dan air sebagai materi yang dibutuhkan untuk menjaga kelembaban lingkungan tampat kupu-kupu tersebut hidup (Whitten dkk, 1999).

Jenis tanaman yang sering terlihat dikunjungi oleh kupu-kupu adalah glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.), bandotan (Ageratum conyzoides), bunga kertas (Bougenvillea spectabilis), krisan (Chrysantemum indicum), flamboyan

(Delonyx regia), beringin (Ficus benyamina), kembang sepatu (Hybiscus rosa- sinensis), kembang soka (Ixora javanica), bunga tahi ayam (Lantana camara),

1 2

nusa indah (Musaenda frondosa), rambutan (Nephelium lappaceum), dan jambu air (Syzigium aqueum) (Fitriana, 2008). Kupu-kupu sering terlihat mengunjungi tanaman-tanaman tersebut tidak hanya untuk mencari makanan berupa nektar atau pun serbuk sari saja, tetapi juga untuk meletakkan telur. Jenis kupu-kupu pengunjung tanaman berbunga tersebut adalah Hypolimnas bolina, Graphium agamemnon, Graphium sarpedon, Graphium evemon, Papilio memnon, Appias libyhtea olferna, Eurema hecabe, Delias hyparete dan Leptosia nina (Bariyah,

2011). Graphium agamemnon L. merupakan salah satu kupu-kupu yang sering terlihat mengunjungi tanaman glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.) dan memilih jenis tanaman tersebut sebagai tanaman pakan dan meletakkan telur-telurnya.

Selain itu, menurut Salmah dkk (2002) tanaman pakan G. agamemnon yang telah diketahui adalah Sirsak (Annona muricata).

Sampai saat ini penelitian yang telah banyak dilakukan hanya mengenai keanekaregaman kupu-kupu saja, tetapi belum ada penelitian yang melaporkan tentang media peletakan telur dan siklus hidup dari salah satu kupu-kupu tersebut.

Salah satunya seperti pemilihan media peletakan telur dan siklus hidup kupu-kupu pada tanaman Glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.) di sekitar kampus I UIN

Jakarta ini. Sementara informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya pelestarian keberadaan jenis kupu-kupu sebagai salah satu serangga penyerbuk yang berada di sekitar kampus I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. 3

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pemilihan media peletakkan telur G. agamemnon pada

tanaman Glodokan?

2. Bagaimanakah siklus hidup dan morfologi tiap stadia G. agamemnon?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Media peletakkan telur G. agamemnon.

2. Siklus hidup dan morfologi tiap stadia G. agamemnon.

1.4 Manfaat

1. Memberikan informasi tentang pemilihan media peletakan telur, siklus

hidup dan morfologi tiap stadia kupu-kupu dalam upaya konservasi.

2. Sebagai informasi awal yang dapat digunakan untuk penelitian tentang

siklus hidup kupu-kupu yang terdapat di sekitar kampus I UIN Jakarta. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kampus 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang terdapat di Indonesia. Lokasi kampus I

UIN Jakarta terletak di Jalan Ir. H. Juanda 95 Ciputat Kabupaten Tangerang,

Provinsi Banten. Kampus I UIN Jakarta memiliki luas sekitar 71.620 m2 (Subhan,

2008). Kawasan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terdiri dari beberapa bangunan gedung, diantaranya adalah gedung perkuliahan, gedung rektorat, gedung auditorium, gedung akademik, gedung aula madya, gedung student center dan wisma usaha parkir.

Kawasan kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga terdapat berbagai macam keanekaragaman jenis tanaman maupun hewan yang telah dilakukan penelitian. Menurut Priyanti (2008) terdapat 33 jenis tanaman monokotil yang berada di sekitar kampus I dan II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dikelompokan menjadi 8 suku. Sebagian besar monokotil yang tumbuh mempunyai bentuk herba, sedangkan tanaman monokotil yang berbentuk pohon sedikit ditemukan. Jenis-jenis tanaman monokotil yang tumbuh di kampus I dan II

UIN Jakarta tersaji pada Tabel 1.

4 5

Tabel 1. Jenis-jenis tanaman monokotil yang tumbuh di kampus I dan II UIN Jakarta (Priyanti, 2008)

Suku Jenis Nama Daerah Perawakan Agavaceae Agave americana Nanas seberang Herba Agave Attenuate Siklok Herba Amaryllidaceae Zebhyranthes rasea Bawang- Herba bawangan Araceae Anthurium jimenezii - Herba Dieffenbachia amoena Daun bahagia Herba Dieffenbachia exotic-alba Daun bahagia Herba Epipremnum aurens Sirih Belanda Herba Philodendron bipinnatifium - Herba P. blackkardinal-compacta - Herba Spathiphyllum commutatum Toendak, gogotola Herba Arecaceae Caryota mitis Gendura Pohon Chrysalidocarpus lutescens Palem kuning Pohon Cyrtostachys renda Palem jingga Pohon Mascarena revenghanil Palem botol Pohon Phoenix hancana - Pohon Ptychosperma hosinoi - Pohon Ptystonea elata Palem raja Pohon Veitchia merillii Palem putri Pohon Commelinaceae Rhoeo discolor Adam Hawa Herba Liliaceae Chlorophytum comosum Lili paris Herba Cordyline terminalis Hanjuang merah Perdu Dracaena marginata Drasena Perdu Dracaena marginata Drasena Perdu Dracaena sanderina Drasena Perdu Pleomele goldieana - Perdu Pleomele godseffiana - Perdu Sansiviera trifasciata Lidah mertua Herba Yucca australis - Perdu Yucca draco - Perdu Yucca elephantipes - Perdu Marantaceae Calathea makoyana - Herba Maranta leucaneura - Herba Musaceae Heliconia psittacorum Pisang-pisangan Herba

Berdasarkan dari hasil pengamatan yang dilakukan Penulis selama penelitian, terdapat beberapa jenis tanaman dikotil di kawasan kampus I UIN

Jakarta, seperti tanaman jambu air (Syzygium aqueum), sawo kecik (Manilkara

6

kauki L), sawo durian (Chrysophyllum cainito L.) rambutan (Nephelium lappaceum L.), alpukat (Persea americana M.), belimbing (Averrhoa carambola

L.), bintaro (Cerbera manghas), mangga (Mangifera indica L.), kembang sepatu

(Hibiscus rosa-sinensis), karet kebo (Ficus elastica), flamboyan (Delonix regia), kapuk randu (Ceiba petranda Gaerln.), glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.) dan mengkudu (Morinda citrifolia L.). Selain tanaman, di sekitar kampus I UIN

Jakarta juga sering terlihat berbagai macam hewan seperti anjing, kucing, burung dan berbagai jenis serangga. Burung gereja merupakan salah satu hewan yang terdapat di kawasan kampus I UIN Jakarta (Wijayanti, 2007).

Selain burung gereja, beberapa serangga penyerbuk seperti Diptera,

Hymenoptera, Coleoptera, dan Lepidoptera sering terlihat mengunjungi tanaman berbunga di kawasan kampus I UIN Jakarta untuk mencari makanan (Fitriana,

2008). Menurut Bariyah (2011) terdapat berbagai jenis kupu-kupu pengunjung tanaman berbunga di kawasan kampus I UIN Jakarta, diantaranya adalah

Hypolimnas bolina, Graphium agamemnon, Graphium sarpedon, Graphium evemon, Papilio memnon, Appias libyhtea olferna, Eurema hecabe, Delias hyparete dan Leptosia nina.

2.2 Kupu-Kupu

Kupu-kupu dan ngengat (rama-rama) merupakan serangga yang tergolong ke dalam ordo Lepidoptera. Lepidoptera berasal dari kata “lepis” yang berarti sisik dan “pteron” yang berarti sayap. Berdasarkan dari bentuk tubuh dan aktivitasnya, Lepidoptera dikelompokkan menjadi dua subordo yaitu Rhopalocera dan Heterocera. Subordo Rhopalocera lebih dikenal dengan istilah “butterfly”

7

atau kupu-kupu siang, karena sebagian besar kupu-kupu ini aktif pada siang hari, sedangkan subordo Heterocera dikenal dengan sebutan “moth” atau ngengat atau kupu-kupu malam karena umumnya aktif pada malam hari (Salmah dkk, 2002).

Kupu-kupu memiliki postur tubuh yang langsing, sayap pada umumnya berwarna cerah dan menarik, antena pada ujungnya membesar. Pada waktu istirahat sayapnya menutup dan tegak lurus dengan tubuh sehingga yang terlihat adalah permukaan sayap sebelah bawah. Kupu-kupu malam (ngengat) memiliki postur tubuh yang lebih gemuk, warna sayapnya kusam, antena pada umumnya tipe plumose (berbentuk seperti bulu ayam) dan pada waktu istirahat sayapnya terbuka, menutup abdomen (perut) sehingga yang terlihat adalah permukaan atas dari sayap (Salmah dkk, 2002).

Kupu-kupu dan ngengat memiliki jenis yang sangat banyak. Di Jawa dan

Bali tercatat lebih dari 600 spesies kupu-kupu (Whitten dkk, 1999). Semua jenis kupu-kupu dan ngengat melalui tahap-tahap hidup sebagai telur, larva, pupa dan akhirnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu atau ngengat. Kupu-kupu umumnya hidup dengan menghisap madu bunga (nektar/sari kembang). Akan tetapi, beberapa jenis yang lain menyukai cairan yang dihisap dari buah-buahan yang jatuh di tanah dan membusuk, daging bangkai, kotoran burung dan tanah basah

(Rosariyanto, 2005). Hewan ordo Lepidoptera tersaji pada Gambar 1.

a b Gambar 1. Hewan ordo Lepidoptera; a. Kupu-kupu; b. Ngengat (Maulidia, 2011)

8

Kupu-kupu Rhopalocera terdiri dari beberapa famili, antara lain

Papilionidae, Pieridae, Nymphalidae, Danaidae, Satyridae dan Lycaenidae.

Kupu-kupu Papilionidae merupakan salah satu famili yang mempunyai jenis yang beraneka ragam, dengan tanda-tanda sayap biasanya berwarna hitam yang dihiasi oleh warna-warna yang menarik. Sebagian besar jenis Papilionidae mempunyai ekor yang muncul dari vena keempat sayap belakang dan mempunyai vena procostal, oleh karena itu kupu-kupu ini disebut “Swallow Tail”. Venasi sayap depannya lengkap dan kaki depan sempurna. Panjang tubuh berukuran 5 sampai 7 mm sampai 28 cm dengan warna menyolok, serta tergolong ke dalam kelompok kupu-kupu yang mempunyai sayap yang kuat. Pupa menggantung dengan posisi tegak lurus dengan bantuan benang sutera pada bagian tengah tubuh. Famili ini memiliki 700 jenis yang tersebar di dunia, terutama di daerah subtropik (Salmah dkk, 2002).

Kupu-kupu berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Kedatangan kupu-kupu pada bunga yang mekar adalah untuk mendapatkan nektar yang terdapat pada dasar bunga. Selama nektaring, secara tidak sengaja serbuk sari yang terdapat pada bunga akan menempel pada tubuh kupu-kupu. Serbuk sari ini akan menempel pada kaki maupun sayap kupu-kupu, kemudian akan jatuh ke kepala putik bunga lain ketika kupu-kupu terbang atau pada saat kupu-kupu hinggap di atas tanaman berbunga lainnya. Penyerbukan (polinasi) tanaman erat hubungannya dengan kelangsungan generasi tumbuhan berikutnya (Smart, 1991).

9

2.3 Kupu-Kupu Papilionidae

Menurut Salmah dkk (2002) kupu-kupu Papilionidae terdiri dari tiga subfamili yaitu: Baroninae, Zerynthiinae dan Papilioninae. Kupu-kupu

Papilionidae juga terdiri dari lima tribe yaitu: Parnasiini dan Zerynthiini,

Troidini, Papilionini dan Leptocircini. Selain itu, Papilionodae memiliki 19 genera, yaitu: Parnalius, Sericinus, Luhdorfia, Bhuthanitis, Troides,

Trogonoptera, Ornithoptera, Atrophaneura, Byasa, Losaria, Pachiopta, Cressida,

Chilasa, Papilio, Meandrusa, Protographium, Graphium, Lamproptera dan

Tainopalupus (Salmah dkk, 2002).

Kupu-kupu Papilionidae sangat banyak diminati dan sering diperdagangkan. Beberapa jenis di antaranya yang terdapat di Indonesia dilindungi, seperti Trogonoptera brookiana, Troides amphrysus, dan Troides helena. Karena kupu-kupu ini banyak diminati, maka untuk pelestariannya sangat diperlukan pengetahuan mengenai beberapa aspek biologi di antaranya kenekaragaman jenis, penyebaran, daur hidup dan tanaman pakannya (Salmah dkk, 2002).

Genus Graphium tersebar di berbagai daerah, 35 jenis di daerah aftropikal,

14 di wilayah Timur, 6 di Holarctic (selatan dan barat Cina) dan 20 di wilayah

Australia. Sebagian besar spesies Oriental dan Australia dicirikan oleh adanya pola hijau bening, biru kehijauan atau kekuningan di sayap mereka. Genus

Graphium umumnya lebih kuat dan memiliki kemampuan terbang lebih terarah

(Parsons, 2010).

10

Graphium agamemnon L. (The Tailed Jay) merupakan salah satu jenis kupu-kupu dari genus Graphium. Kupu-kupu ini memiliki ciri-ciri permukaan atas sayap berwarna hitam dengan bercak berwarna hijau apel. Bercak berwarna hijau apel pada permukaan atas sayap, jumlahnya sama dengan yang terdapat pada bagian permukaan bawah sayap. Pada daerah costal terdapat dua bintik berwarna putih, pada daerah dorsalnya terdapat rambut-rambut halus berwarna hitam.

Bagian ventral sayap depan warna coklat keunguan dengan bercak hijau yang sama dengan bagian dorsal.

Pada vena keempat sayap belakang ditemukan pemanjangan menyerupai ekor, pada kupu-kupu betina ekor tersebut lebih panjang. Bagian ventral sayap belakang mempunyai tiga pasang bintik merah. Panjang sayap kupu-kupu jantan

42 sampai 45 mm sedangkan betina 49,6 mm. Kupu-kupu ini selalu terlihat bergerak tidak menentu, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan dapat terbang dengan cepat. Sering mengunjungi feces, urin, serta sisa hewan yang telah membusuk (Salmah dkk, 2002). Morfologi G. agamemnon tersaji pada Gambar

2.

Larva G. agamemnon diketahui memiliki kemampuan adaptasi hanya pada tanaman dari famili Annonaceae sebagai tanaman inang seperti tanaman sirsak

(Annona muricata) (Salmah dkk, 2002). Kupu-kupu ini mempunyai kelimpahan relatif yang tinggi di alam. Larva G. agamemnon termasuk polifagus, padahal larva Papilionidae umumnya adalah monofagus. Ketersediaan tumbuhan inang sebagai pakan larva di alam menentukan kelangsungan hidup spesies kupu-kupu

Papilionidae (Achmad, 2002).

11

G. agamemnon tersebar tidak hanya di Indonesia saja, akan tetapi tersebar di berbagai wilayah. Wilayah tersebut seperti selatan India sampai Saurashtra,

India Utara (Kumaon ke Assam), Nepal, Sri Lanka, Andaman, Nicobars,

Bangladesh, Brunei, Mynmar, Thailand, Laos, Kamboja, Cina bagian selatan

(termasuk Hainan), Taiwan, Asia Tenggara ke New Guinea, Kepulauan Solomon, dan Australia (Queensland utara) (Kunte, 2006).

Klasifikasi G. agamemnon menurut Linnaeus (1758) dalam Parsons

(2010) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthopoda

Class : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Subordo : Rhophalocera

Famili : Papilionidae

Genus : Graphium

Spesies : agamemnon

mm mm mm a b

mm c d mm Gambar 2. Morfologi G. agamemnon L.: a. Telur; b. Larva; c. Pupa; dan d. Kupu-kupu dewasa (Maulidia, 2010) 12

2.4 Siklus Hidup Kupu–Kupu

Perubahan yang terjadi selama serangga berkembang dari telur sampai menjadi dewasa disebut metamorfosis. Kupu-kupu termasuk serangga holometabola yaitu serangga yang mengalami proses metamorfosis yang sempurna, mengalami perubahan stadia mulai dari telur, larva, pupa dan imago

(dewasa). Telur diletakkan oleh kupu-kupu betina pada tanaman inang yang cocok untuk makanan larvanya. Telur diletakkan tersembunyi, misalnya di bagian bawah daun agar terhindar dari terik matahari dan musuh-musuh alaminya (Amir dkk,

2003).

Morfologi telur kupu-kupu bermacam-macam tergantung jenisnya.

Sebagai contoh ada telur yang bulat, bentuk silinder, cangkang dikelilingi duri dan lain-lain. Telur kupu-kupu berukuran kecil 1 sampai 2 mm, warna dan bentuknya beragam, bentuknya ada yang seperti kubah, setengah bulatan, bulat, dan ada yang terpuntir. Bagian bawah selalu rata, pada bagian atas telur terdapat lubang kecil yang disebut dengan “mikropile” yaitu tempat spermatozoid masuk ke dalam telur. Cangkang telur ada yang halus ada pula yang seperti terpahat (Amir dkk,

2003). Telur kupu-kupu diletakkan oleh induknya di berbagai tempat. Telur kupu- kupu dapat dijumpai pada permukan daun, lipatan daun, ranting atau cabang dan pada tempat-tempat lain (Putra, 1994). Telur diletakkan tersembunyi agar terhindar dari terik matahari dan musuh-musuh alaminya (Amir dkk, 2003).

Jika telur-telur tersebut telah menetas menjadi larva, terkadang sering terjadi kanibalisme di antara mereka. Hal ini disebabkan larva muda yang baru keluar sudah mulai membutuhkan makanan. Biasanya, larva akan mencari

13

makanan disekitar larva muncul. Larva muda yang baru muncul dari telur, biasanya akan menggerombol di suatu tempat sambil menikmati makanan yang disediakan oleh induknya. Setelah besar, mereka akan meninggalkan kelompoknya dan mulai mencari makanan sendiri. Larva memiliki kaki yang pendek, luwes dan di bagian bawahnya terdapat kait-kait yang memungkinkan mereka dapat makan walaupun sambil berjungkir balik di antara dedaunan. Kait- kait tersebut digerakkan oleh otot-otot penggerak yang kuat (Putra, 1994).

Larva yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil, panjangnya sekitar 2 sampai 3 mm. Pada stadia ini dikenal dengan stadia makan yang intensif, sebagian besar pertumbuhan badan Lepidoptera terjadi pada stadia ini. Untuk menjadi besar larva mengalami pergantian kulit, kulit lama akan dilepaskan dan diganti dengan kulit baru yang ukurannya sesuai. Selama stadium larva umumnya mengalami lima kali pergantian kulit, tergantung pada jenis dan kesehatan larvanya (Amir dkk, 2003). Metabolisme tubuh larva tergantung pada kondisi lingkungan, peningkatan suhu tubuh mengarah ke peningkatan laju respirasi.

Setelah beberapa hari telur menetas menjadi larva. Larva hanya memiliki kegiatan makan, mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya untuk pertumbuhannya. Larva dapat tumbuh menjadi besar dan masak, selanjutnya siap memasuki masa pupasi. Pada stadia ini terjadi perubahan-perubahan besar pada badannya, mempersiapkan diri menjadi kupu-kupu (dewasa) yang bersayap dan dapat terbang (Amir dkk, 2003).

Kualitas makanan juga berpengaruh terhadap metabolisme serangga dan produksi senyawa sekunder oleh jaringan tanaman telah ditunjukkan

14

mempengaruhi perkembangan larva (Suhara, 2009). Biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat perlindungan dari serangan predator atau pengganggu lain, yakni mengeluarkan Osmeterium semacam zat beracun yang berbau tidak enak melalui suatu alat seperti antena pada bagian kepala dari larva tersebut (Achmad, 2002).

Telur dan larva kupu-kupu tersaji pada Gambar 3

Gambar 3. Telur dan larva kupu-kupu: a. Telur kupu-kupu pada daun; b. Larva (Amir dkk, 2003)

Satelah larva mencapai umur 12 sampai 39 hari, larva akan berhenti makan dan mulai memasuki stadia kehidupan pupa. Di dalam pupa, larva akan mengalami perubahan bentuk yang sama sekali berlainan dengan bentuknya semula. Pada saat itu, berkembang pula organ tubuh yang digunakan pada waktu menjadi dewasa. Organ tubuh tersebut dapat berupa antena, kaki, mata majemuk, sayap, dan organ genital (Putra, 1994). Pupa tidak mempunyai kaki yang berfungsi untuk bergantung pada waktu kulit larva dilepaskan. Agar pupa yang terbentuk dapat bergantung, sebelum menjadi pupa, larva tersebut membuat landasan sutera di ujung abdomennya atau semacam kait. Hal ini dilakukan untuk

15

menopang atau bergantungnya badan pupa (Amir dkk, 2003). Morfologi beberapa pupa tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4. Morfologi beberapa pupa (kepompong) kupu ; a. Pupa Euploea; b, c. Pupa Papilionidae (Amir dkk, 2003)

Setelah masa pupa selesai, pupa tersebut robek dan keluar tubuh kupu- kupu yang masih basah oleh cairan pupa. Kupu-kupu yang baru keluar dari pupa tersebut masih lemah dan warna tubuhnya juga belum terlihat keindahannya, kupu-kupu membutuhkan waktu untuk menjadi kuat dan dapat terbang. Tidak beberapa lama kemudian, kupu-kupu dapat menggunakan sayapnya untuk terbang mencari nektar pada bunga (Putra, 1994). Kupu-kupu adalah stadia dewasa

(imago) dari Lepidoptera, stadia untuk berkembang biak (Amir dkk, 2003).

Morfologi kupu-kupu tersaji pada Gambar 5.

16

Gambar 5. Morfologi kupu-kupu (Amir dkk, 2003)

Ketika kupu-kupu muncul dari pupa, kupu-kupu tidak mampu untuk terbang. Kupu-kupu akan menggantung terbalik pada cangkang pupa kosong atau pada cabang terdekat atau daun. Ketika muncul sayapnya yang kusut dan lembab.

Kupu-kupu perlu waktu untuk memompa cairan tubuhnya agar sayap dapat mengembang. Hal ini dapat memakan waktu hingga satu jam. Setelah sayap meningkat dan mengeras kupu-kupu akan terbang jauh untuk mencari makanan dan pasangan (Suhara, 2009). Semua tahap siklus hidup terancam oleh parasitoid dan organisme yang memakan organisme lain dan akhirnya membunuh larva maupun kupu-kupu, seperti burung pemakan serangga, capung dan laba-laba

(Suhara, 2009).

G. agamemnon mengalami proses metamorfosis yang sempurna, dengan perubahan stadia mulai dari telur, larva, pupa dan imago (dewasa). G. agamemnon memiliki telur berbentuk bola berwarna kuning keputihan dengan diameter 1,20

17

sampai 1,40 mm, tinggi 1,15 sampai 1,30 mm. Masa stadium telur 4 sampai 5 hari. Menurut Achmad (2002) telur Graphium agamemnon yang terdapat di

Taman Nasional Bantimurung membutuhkan waktu 5 sampai 7 hari untuk menetas. Larva instar 1 berwarna kuning kehijauan dan bagian dorsal segmen ke-

5 sampai 8 berwarna kuning keputihan. Larva instar 2 dan 3, bagian dorsal segmen ke-5 sampai 7 dan bagian segmen ke-8 berwarna kuning, sedangkan bagian tubuh lainnya berwarna coklat kekuningan hingga coklat. Larva instar 4 dan 5 berwarna hijau. Secara umum larva kupu-kupu ini berwarna kuning tua sampai hijau pekat, setiap segmen dada mempunyai duri hitam dan pada segmen ketiga duri tersebut muncul duri bintik kecil berwarna kuning oranye. Masa stadium larva berkisar 21 sampai 26 hari.

Menurut Achmad (2002) G. agamemnon membutuhkan waktu sekitar 17 hari untuk menjadi pupa. Prepupa dan pupa berwarna hijau muda, pada pupa bagian toraks membentuk dua ujung yang agak meruncing dan bagian dada membentuk struktur menyerupai tanduk. pupa berwarna hijau muda yang lambat laun akan berubah menjadi abu-abu. Sedangkan menurut Salmah dkk (2002) lama masa pradewasa G. agamemnon (telur, larva, prepupa dan pupa) keseluruhannya

38 sampai 44 hari. Metamorfosis G. agamemnon tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6. Metamorfosis G. agamemnon L. (Anonimous 2010)

18

Dalam proses pertumbuhan, terjadi proses pergantian kulit yang dikenal dengan istilah ecdysis atau molting, sisa kulit yang ditinggalkan disebut exuviae.

Selama pertumbuhan berlangsung akan mengalami beberapa kali pergantian kulit dan bentuk serangga antara dua masa pergantian kulit disebut instar (Suhara,

2009).

Molting dan metamorfosis kupu-kupu dikontrol oleh beberapa hormon efektor di antaranya yaitu:

1. Juvennile hormon, disekresikan oleh corpora allata. Sel sekretori corpora

allata aktif selama larva molting. Selama hormon juvennil terbentuk

hidroksi ekdison menstimulasi molting dan menghasilkan larva instar yang

baru. Hormon juvennile juga berfungsi untuk mencegah perubahan induksi

ekdison pada ekspresi gen yang penting saat terjadi metamorfosis

2. Ecdysone, berfungsi untuk menginisiasi, mengkoordinir atau mengatur

tiap tahapan molting serta regulasi perubahan ekspresi gen yang terjadi

selama metamorfosis melalui proses ekdisis.

3. Prothoracicotropic (PTIH), proses molting diinisiasi di otak, sel

neurosekretori menghasilkan hormon Prothoracicotropic (PTIH) yang

merespon neural, hormonal, atau sinyal lingkungan. PTIH adalah hormon

peptida yang menstimulasi ekdison dari kelenjar prothoracic (Anonimous,

2010).

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Kupu-Kupu

Eksistensi suatu organisme tergantung pada keadaan lingkungan yang sangat rumit. Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.

19

Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia, menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan, karena sebagian dari komponen lingkungan menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan juga dapat terjadi karena campur tangan manusia, namun dapat pula terjadi karena faktor alami (Odum,

1994). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan kupu-kupu, yaitu:

1. Distribusi dan Kelimpahan Sumber Makanan Larva serta Ketersediaan Cairan

Nektar yang Dihisap oleh Imago

Distribusi sumberdaya dan kelimpahan makanan larva merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva kupu-kupu.

Distribusi pakan akan berpengaruh pada ketersediaan ruang dalam mencari pakan sekaligus berpengaruh terhadap sebaran jenis kupu-kupu. Semakin banyak tanaman berbunga, maka akan semakin banyak pula imago yang datang mengunjungi tempat tersebut untuk menghisap cairan nektar dari tanaman berbunga tersebut. Selain cairan nektar bunga, kupu-kupu juga menghisap cairan dari bangkai atau cairan pembuangan air senih (urin) dari hewan dan manusia

(Achmad, 2002).

2. Iklim

Kelembaban adalah salah satu faktor iklim yang sangat penting bagi kupu- kupu. Pada umumnya kupu-kupu menyukai habitat yang mempunyai kelembaban tinggi, seperti lokasi-lakasi yang berada di pinggir sungai yang jernih atau di bawah tegakan pohon sekitar gua yang lembab karena berair (Achmad, 2002).

Kehidupan dan aktivitas kupu-kupu sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban

20

relatif udara dan kecepatan angin. Pada kecepatan angin yang rendah, kupu-kupu mampu menggerakkan sayapnya dan terbang mencari pasangan atau makanan pada tanaman berbunga yang mekar. Kupu-kupu akan mencari makanan pada suhu yang hangat berkisar 30o C. Suhu tubuh kupu-kupu pada saat terbang 5 sampai 10o C di atas suhu lingkungan. Pencarian makanan pada suhu yang rendah akan membutuhkan energi yang banyak (Mamahit, 2003).

Kupu-kupu beraktivitas pada kelembaban relatif udara yang sedang sekitar

60% karena dapat mengurangi resiko kekurangan air (dehidrasi) akibat terik matahari (Amir dkk, 2003). Kelembaban udara dan intensitas cahaya merupakan dua faktor lingkungan yang juga mempengaruhi aktivitas kupu-kupu dalam mencari pakan. Kupu-kupu dan ulat menghindari kondisi yang kering dan mencari tempat dengan kelembaban yang tinggi untuk beristirahat (Smart, 1991).

3. Organisme Lain

Predator merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam kupu-kupu.

Tumbuhan perdu maupun pohon yang digunakan oleh kupu-kupu sebagai tempat perlindungan, baik pada waktu hujan ataupun sebagai pendinginan tubuh dari sengatan panas matahari, maupun dari serangan predator itu sendiri (Achmad,

2002). Semua tahap siklus hidup terancam oleh parasitoid atau organisme yang memakan organisme lain dan akhirnya membunuh larva dan kupu-kupu, seperti burung pemakan serangga, capung, lebah dan laba-laba (Suhara, 2009). Burung yang sedang memangsa kupu-kupu tersaji pada Gambar 7.

21

Gambar 7. Burung yang sedang memangsa kupu-kupu (Suhara, 2009)

4. Kerusakan Alami dan Kerusakan oleh Manusia

Banyak kerusakan alami yang menghancurkan habitat kupu-kupu, sehingga kupu-kupu bermigrasi untuk mencari habitat yang lebih baik. Kerusakan alami yang dimaksud seperti tanah longsor, kemarau panjang, banjir dan lain-lain.

Kerusakan habitat oleh manusia, merupakan faktor penting dan mungkin penyebab yang paling besar pengaruhnya terhadap penurunan populasi atau bahkan menyebabkan punahnya satu jenis kupu-kupu. Kerusakan habitat oleh manusia dapat berupa pembangunan dan penebangan tanaman sehingga mengganggu kelembaban, pengambilan daun dan buah serta ranting kayu yang tidak terseleksi menyebabkan persaingan pakan terhadap larva kupu-kupu, atau mungin menginjak tanaman bawah dimana telur dan larva kupu-kupu berada

(Achmad, 2002).

2.6 Nilai Penting yang Dimiliki Kupu-Kupu

Kupu-kupu yang terdapat di alam ini juga memiliki nilai penting. Dengan adanya nilai penting tersebut, dapat membantu dalam pelestarian kupu-kupu dari kepunahan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kupu-kupu juga memiliki nilai

22

penting yang lebih menguntungkan dan sering disalahgunakan dengan mengeksploitasinya secara besar-besaran. Nilai penting tersebut adalah:

1. Nilai Ekonomi

Ada beberapa jenis kupu-kupu yang mempunyai nilai ekonomi penting, karena mempunyai harga jual di pasaran cukup tinggi. Bukan hanya imagonya yang dapat dijual dalam bentuk cendera mata seperti sutera, pola/design batik, serta koleksi lainnya. Tetapi justru pupa mempunyai nilai ekspor yang cukup tinggi. Nilai ekonomi ini merupakan salah satu yang menyebabkan terjadinya ancaman terhadap kehidupan kupu-kupu di alam, karena masyarakat melakukan pemanenan tanpa melakukan pertimbangan terhadap pertumbuhan populasi dari jenis kupu-kupu yang laku dijual di pasaran (Achmad, 2002).

2. Nilai Ekologi

Kupu-kupu juga berperan sebagai indikator ekologi bagi suatu lingkungan.

Menurut Odum (1976) dalam Amir dkk (2003) kupu-kupu menyukai tempat- tempat yang bersih, sejuk dan tidak di polusi oleh insektisida, asap, bau yang tidak sedap dan lain-lain. Karena itu, maka kupu-kupu menjadi salah satu kelompok serangga yang dipergunakan sebagai indikator terhadap perubahan ekologi.

Semakin beragam jenis kupu-kupu di suatu tempat menandakan lingkungan di wilayah tersebut masih baik. Selain itu, nilai ekologi kupu-kupu juga sangat penting karena kupu-kupu dalam hal ini imago banyak melakukan polinasi terhadap tumbuhan tertentu (Achmad, 2002).

23

3. Nilai Estetika dan Nilai Pendidikan

Kupu-kupu mempunyai nilai estetika yang sangat tinggi karena warna dari sayapnya yang menawan dan sangat artistik. Warna-warna ini kadang-kadang merupakan kamuflase sebagai strategi untuk menghindari atau menakuti predator.

Di samping itu ada pula kupu-kupu yang mempunyai bentuk sayap yang khas, sehingga terlihat sangat berbeda dengan jenis kupu-kupu lainnya. Kupu-kupu juga mempunyai nilai pendidikan yang tinggi, hingga dapat dipelajari lebih dalam tentang berbagai aspek kupu-kupu tersebut. Selain itu, masih banyak masalah yang mempengaruhi kehidupan kupu-kupu belum diketahui, seperti perilaku bertelur, siklus hidup, faktor fisiologis, morfologi pradewasa, jenis pakan larva dari setiap jenis kupu-kupu dan lain-lain (Achmad, 2002).

5. Nilai Endemisitas dan Nilai Konservasi

Berbagai jenis kupu-kupu ada yang bersifat endemik, artinya kupu-kupu tersebut membatasi sebarannya hanya di tempat tertentu saja yang cocok dengan lingkungannya misalnya Trogonoptera dan Ornitoptera. Akan tetapi, banyak juga yang bersifat kosmopolit yang sebarannya sangat luas dan mudah teradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan misalnya Papilio memnon (Amir dkk, 2003).

Ada baiknya penelitian ekologi kupu-kupu dan penangkaran diprioritaskan terhadap jenis endemisitas lokal ini, apalagi kalau jenis ini kebetulan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Achmad, 2002).

Beberapa jenis kupu-kupu mempunyai nilai konservasi yang tinggi karena statusnya yang terancam punah. Hal ini juga berlaku bagi jenis kupu-kupu endemik, terutama yang statusnya endemik lokal. Jenis-jenis yang masuk dalam

24

kedua kategori tersebut, mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi, sehingga memiliki nilai perioritas utama untuk di konservasi (Achmad, 2002).

2.7 Tanaman Inang Glodokan (Polyalthia longifolia Sonn.)

Tanaman Glodogan merupakan jenis tanaman yang banyak digunakan sebagai tanaman peneduh jalan. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman penghijauan. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman inang yang digunakan sebagai tempat siklus hidup G. agamemnon. Menurut Patton (1963) dalam Amir dkk (2003) jenis tanaman inang yang menjadi makanan larva kupu-kupu berbeda antara jenis kupu-kupu yang satu dengan yang lainnya, karena mempunyai kandungan kimia yang cocok untuk perkembangan larvanya. Tanaman ini banyak ditemukan di sekitar kampus I UIN Jakarta. Tanaman ini terdapat di sekitar pinggir jalan kampus, di sekitar parkiran motor, di depan perpustakan utama, sekitar taman rektorat dan akademik pusat.

Glodokan juga termasuk ke dalam famili Annonaceae. Tanaman

Annonaceae menjadi makanan larva kupu-kupu Graphium. Tanaman ini termasuk ke dalam golongan pohon. Mamiliki daun yang berseling, termasuk kedalam daun tunggal dan tanpa daun penumpu. Bunga beraturan dan berkelamin 2. Kelopak daun terdiri dari 3 atau 4, lepas atau mengikat. Jumlah mahkota tersusun dari 6 dalam 2 lingkaran masing-masing 3, lepas atau melekat. Benang sari terdiri dari 3 atau banyak dan berukuran pendek. Terdiri atas 2 theca (ruang/kotak serbuk sari) yang berbentuk garis. Penghubung ruang sari kerapkali di atas ruangnya diperpanjang dan melebar. Bakal buah terdiri dari 1 sampai banyak menumpang lepas atau melekat beruang 1. Memiliki bakal biji 1 sampai banyak. Tangkai putik

25

lepas, kerapkali pendek kadang-kadang tidak ada. Buah duduk atau bertangkai, kadang-kadang satu dengan yang lain bersatu, serupa buah buni atau kering dan berkatup 2 (Van Stessssenis dkk, 2005).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Januari

2011 di kawasan kampus I dan di Pusat Laborotorium Terpadu kampus I UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Lokasi pengamatan dibagi menjadi tiga, yaitu: a. di

sekitar Gedung Administrasi (Gedung Akademik); b. sepanjang jalan mulai dari

Gedung Fakultas Syari’ah dan Hukum sampai dengan belakang Gedung Fakultas

Ekonomi dan; c. Sepanjang parkiran motor atas (belakang koprasi Fakultas

Dakwah dan Komunikasi) sampai dengan turunan belakang cafe cangkir. Denah

lokasi penelitian tersaji pada Gambar 8.

Keterangan: 1. Gedung Fakultas Dirasat Islamiyah 2. Gedung Rektorat 3. Gedung Auditorium 4. Gedung FKIK Farmasi 5. Gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan 6. Gedung Administrasi (Gedung Akademik) 7. Gedung Aula madya 8. Gedung Student Center 9. Gedung Fakultas Adab dan Humaniora 10. Grdung Fakultas Syari’ah a dan Hukum 11. Gedung Fakultas Dakwah c dan Komunikasi 12. Gedung Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 13. Gedung Perpustakaan 14. Gedung Laboratorium 15. Gedung Fakultas Sains dan Teknologi 16. Gedung Fakultas Ekonomi 17. Pump Room 18 . Gudang b 19 . Wisma Usaha Parkir

Gambar 8. Lokasi pengamatan di kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Maulidia, 2010)

26 27

Kondisi lingkungan di sekitar Gedung Administrasi (Gedung Akademik) memiliki cuaca yang teduh, hal ini karena lokasi di sekitar pengamatan dikelilingi oleh beberapa gedung yaitu: Gedung Administrasi (Gedung Akademik), Gedung

Auditorium, Gedung Rektorat dan Gedung Aula Madya. Akan tetapi, kondisi lingkungan di sepanjang jalan mulai dari Gedung Fakultas Syari’ah dan Hukum sampai dengan belakang Gedung Fakultas Ekonomi memiliki cuaca yang cerah.

Hal ini karena lokasi di sekitar pengamatan tidak dikelilingi oleh gedung-gedung perkuliahan. Selain itu, kondisi lingkungan di sekitar parkiran motor atas

(belakang koperasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi) sampai dengan turunan belakang cafe cangkir memiliki cuaca yang sangat cerah. Hal ini karena tidak terdapat bangunan gedung perkuliahan maupun bangunan gedung lainnya, hanya lapangan terbuka dan terdiri dari beberapa tanaman peneduh. Selain itu, lokasi tersebut digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain thermometer, higrometer, jangka sorong, gelas beserta tutupnya, pinset, stopwatch, anemometer, Lux meter, papan perentang, oven, pipet tetes, cawan petri, kotak spesimen, penggaris dan camera digital merk Samsung (10 Mega Pixel).

Bahan yang digunakan yaitu telur kupu-kupu G. agamemnon yang fertil sebanyak 10 butir, daun Glodokan, tissue nonalkohol atau kapas, kertas minyak, alkohol 70%, Styrofoam dan doubeltip. 28

3.3 Cara Kerja

3.3.1. Pemilihan Media Peletakan Telur G. agamemnon L. pada tanaman

Glodokan

Penelitian ini menggunakan metode survey pada kondisi alami.

Pengamatan dilakukan pada pukul 08.00 s.d 16.00 WIB selama 2 minggu (14 hari), dilakukan pengamatan meliputi pemilihan media peletakan telur kupu-kupu

G. agamemnon di sekitar atau pada tanaman Glodogan yang terdapat di sekitar kampus I UIN Jakarta. Lalu dilakukan pengukuran ketinggian tempat peletakan telur ke atas permukaan tanah (cm) dan dilakukan pengamatan tempat peletakan telur seperti di permukaan atas atau bawah daun muda, di permukaan atas atau bawah daun tua, atau di permukaan atas atau bawah ranting.

Selama pengamatan peletakkan telur, dilakukan pula pencatatan waktu G. agamemnon meletakan telur (WIB) dan faktor fisik lingkungan saat peletakan telur meliputi kelembaban udara menggunakan hygrometer yang diletakaan di atas permukaan tanah, intensitas cahaya menggunakan Lux meter yang diarahkan kesumber cahaya, suhu menggunakan thermometer yang telah di beri tali dan di gantungkan pada cabang atau ranting tanaman yang kokoh dan kecepatan angin menggunakan anemometer yang di arahkan kesumber angin. Pencatatan faktor fisik ini dilakukan selama 14 hari sebanyak 3x dalam 1 hari yaitu pada pukul

08.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00 WIB.

3.3.2. Kandang G. agamemnon L.

Telur yang terlihat di permukaan atas atau bawah daun, segera digunting dan diberi keterangan pada label lalu di masukan ke dalam wadah sementara 29

(wadah pelastik). Masing-masing dari sampel yang telah diperoleh, lalu dimasukan ke dalam wadah plastik (gelas plastik beserta tutupnya) satu per satu.

Satu wadah plastik berisi satu sampel telur. Setelah itu, diambil gelas plastik bekas beserta tutupnya yang sebelumnya telah dicuci dan dibersihkan. Lalu diambil daun Glodokan yang telah berisi telur G. agamemnon pada bagian permukaan atas atau bawah daun. Kemudian daun tersebut diselipkan di tengah tutup gelas plastik, bagian tangkai daun yang terdapat di atas tutup diberi kapas yang sudah dilembabkan dengan air untuk mengurangi penguapan. Apabila telur

G. agamemnon telah menetas menjadi larva, diambil daun pakan beserta tangkai daunnya. Kemudian tangkai daun tersebut disisipkan di atas tutup gelas plastik dan dililit dengan tissue non alkohol atau kapas yang dilembabkan dengan air secukupnya agar daun tetap segar dan mengurangi penguapan. Gelas plastik kupu- kupu dibersihkan dari feces dan sisa-sisa daun pakan setiap hari agar tetap bersih dan terjaga kelembabannya. Kandang buatan G. agamemnon tersaji pada Gambar

9.

Gambar 9. Kandang buatan G. agamemnon L. (Fitriana, 2011)

30

3.3.3. Morfologi Tiap Stadia dalam Siklus Hidup G. agamemnon L

Pengamatan dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB dan

16.00 WIB selama 4 bulan (123 hari). Metode yang digunakan adalah survey semi alami, dilakukan pengamatan mulai dari telur, larva, pupa sampai imago. Pada saat stadia telur, mulai dari warna telur, bentuk telur, ukuran diameter telur dan diameter sisa cangkang telur. Setelah telur menetas menjadi larva, diamati warna larva, bentuk larva, perilaku dan pola pakan larva. Selain itu, dilakukan pula pengukuran panjang tubuh tiap larva menggunakan jangka sorong, jumlah tahapan instar, pengukuran sisa kulit lama ketika larva moulting, serta lama setiap stadia hidupnya. Pemberian pakan dilakukan setiap pagi dan dihentikan saat larva memasuki tahap pupasi.

Pada stadia pupa dilakukan pengamatan letak (posisi) pupa, pengukuran panjang pupa, perubahan warna pupa dan lamanya waktu pupasi. Selama pengamatan morfologi tiap stadia G. agamemnon, dilakukan juga pencatatan faktor fisik ruangan meliputi kelembaban udara menggunakan hygrometer yang diletakaan di atas permukaan lantai, intensitas cahaya menggunakan Lux meter yang diarahkan kesumber cahaya, suhu menggunakan thermometer yang dipegang dengan jari pada ujung tali. Pencatatan faktor fisik ini dilakukan selama 123 hari hari sebanyak 3x dalam 1 hari yaitu pada pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00

WIB.

Ketika G. agamemnon telah keluar, dilakukan pencatatan tanggal serta jam kupu-kupu keluar. Setelah kupu-kupu keluar dari cangkang pembungkus (pupa), ditunggu hingga satu jam sampai sampai kupu-kupu dapat melebarkan sayapnya 31

dengan sempurna. Setelah itu, diambil kupu-kupu jantan dan betina masing- masing 1 ekor dan ditekan bagian toraksnya secara perlahan sampai G. agamemnon lemas. Spesimen disimpan sementara di dalam kantong papilot yang dibuat dari kertas minyak berbentuk segitiga. Selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi spesimen G. agamemnon.

3.3.4 Proses Opset dan Pengukuran Morfometri

Sayap spesimen G. agamemnon yang disimpan sementara dilemaskan dengan meneteskan alkohol 70% supaya tidak kaku. Proses ini berlangsung selama 1 jam. Setelah sayap lentur, kemudian bagian toraks ditusuk menggunakan jarum pentul sejajar dengan sumbu tubuh. Apabila sudah sejajar, spesimen diposisikan pada papan perentang dengan mengatur letak sayap, kepala dan antena menggunakan pinset. Agar tidak bergeser, spesimen ditahan menggunakan jarum pentul dan diberi label. Spesimen G. agamemnon dikeringkan menggunakan oven dengan suhu sebesar 500 C selama tujuh hari.

Pada hari ketujuh, spesimen dikeluarkan dari oven. Spesimen yang sudah kering diangkat dari papan perentang. Setelah itu, spesimen disimpan di dalam kotak spesimen yang sudah diberi kapur barus yang dibungkus dengan tissue agar terhindar dari jamur dan tidak mudah rusak. Kemudian dilakukan pengukuran morfometri dengan mengukur panjang badan, panjang antena, panjang sayap depan, lebar sayap depan, rentang sayap, panjang sayap belakang dan lebar sayap belakang, Lalu diamati juga segmen terakhir abdomen. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis secara desktiptif dalam bentuk narasi dan 32

ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Proses opset kupu-kupu tersaji pada

Gambar 10 dan pengukuran morfometrik kupu-kupu tersaji pada Gambar 11.

a b

c Gambar 10. Proses opset: a. G. agamemnon L. yang sedang ditetesi oleh alkohol

70%; b. G. agamemnon proses pengeringan; c. G. agamemnon di dalam papan perentang (Maulidia, 2010)

c a d d a a c .

b

e

f

Gambar 11. Pengukuran morfometrik: a. Panjang antena; b. Panjang badan; c. Lebar sayap depan; d. Panjang sayap depan (d); e. Panjang sayap belakang; f. Lebar sayap belakang. (Rentang sayap/2d=2 x Panjang sayap depan) (Salmah dkk, 2002) 33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aktivitas G. agamemnon L. di sekitar Kampus I UIN Jakarta

Dari hasil pengamatan lapangan selama 14 hari, ditemukan G. agamemnon beraktivitas di sekitar tanaman glodokan di kawasan kampus I UIN Jakarta untuk meletakkan telur. Data faktor lingkungan saat penggambilan telur tersaji pada

Tabel 2.

Tabel 2. Faktor lingkungan saat pengambilan telur

Pagi Siang Sore Faktor fisik (08.00 WIB) (12.00 WIB) (16.00 WIB) Suhu (oC) 28 – 31 31 – 38 25 – 32

Cahaya (Klx) 10,67 - 24,10 11,12 - 70,30 3,45 - 11,60

m Kecepatan Angin ( /s) 0,5 – 0,67 0 – 0,92 0,5 – 3,33 Kelembapan Relatif Udara (%) 48 – 68 33 – 50 50 – 85

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, sebagian besar kupu-kupu termasuk G. agamemnon melakukan aktivitas di sekitar kampus I UIN Jakarta pada pagi hari sekitar pukul 09.00-11.00 WIB dengan mengunjungi berbagai macam tanaman, dan akan kembali pada pukul 14.00-16.00 WIB. Dapat diketahui perbedaan faktor fisik yang terlihat pada tabel di atas. Selama pengamatan, suhu tertinggi adalah pada siang hari yaitu berkisar antara 31-380 C. Pada siang hari, cuaca di sekitar pengamatan sangat panas. Cuaca yang sangat panas tersebut menyebabkan aktivitas kupu-kupu semakin sedikit. Selain itu, jika suhu mencapai

380 C kupu-kupu akan kehilangan keseimbangan tubuhnya ketika mencari makan 33 34

akibat mengalami dehiderasi sehingga kupu-kupu tidak dapat menggerakkan sayapnya dengan optimal pada siang hari.

Pada sore hari, suhu lingkungan sekitar pengamatan berkisar antara 25-320

C. Selama pengamatan berlangsung, menjelang sore hari keadaan cuaca berubah menjadi mendung dan sering turun hujan. Hal ini menyebabkan tidak ditemukan kupu-kupu yang melakukan aktivitas, karena kupu-kupu tidak dapat menaikkan suhu tubuh, sehingga kupu-kupu membutuhkan energi dari cahaya matahari untuk menggerakkan sayap yang berfungsi sebagai kontrol otot-otot dada ketika kupu- kupu tersebut terbang. Jika tidak ada cahaya atahari, maka kupu-kupu juga tidak dapat energi yang digunakan untuk menggerakkan sayapnya.

Menurut Bariyah (2011) pada pagi hari, kupu-kupu terbang mencari pakan sebab tanaman memproduksi nektar dimulai pada pagi hari. Kupu-kupu lebih banyak beraktivitas pada pagi hingga siang hari dalam mencari pakan. Kupu-kupu mulai beraktivitas sekitar pukul pada pagi hari sekitar pukul 09.00-11.00 WIB dan akan kembali pada pukul 14.00-16.00 WIB dengan suhu berkisar 28-31° C pada pagi hari. Pada siang hari, intensitas mencari pakan menurun dan kupu-kupu lebih banyak bersembunyi di semak-semak, rumput dan pohon. Pencarian pakan pada suhu yang tinggi akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan banyak energi.

Menurut Suhara (2009) kupu-kupu akan berlindung ketika mendung, karena kupu-kupu tidak bisa menaikkan suhu tubuh cukup tinggi tanpa bantuan matahari untuk terbang. Salah satu cara yang dilakukan oleh kupu-kupu untuk meningkatkan suhu tubuh adalah dengan berjemur. Kupu-kupu akan menemukan tempat yang cerah dan aman untuk membuka sayap dan menangkap panas sinar 35

matahari. Untuk terbang, kupu-kupu membutuhkan suhu 1000 F (37,70 C).

Menurut Mamahit (2003) kupu-kupu akan mencari makanan pada suhu yang hangat berkisar 30o C. Suhu tubuh kupu-kupu pada saat terbang berkisar 5-10o C di atas suhu lingkungan.

Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara (2009) dan Bariyah (2011) bahwa suhu tubuh G.agamemnon berkaitan erat dengan suhu lingkungan, yaitu pada suhu rendah (250 C) G.agamemnon akan membutuhkan energi yang banyak untuk menggerakan tubuhnya agar dapat beraktivitas mencari makan dan meletakkan telur-telurnya. Jika lingkungan sekitarnya sejuk, maka metabolisme kupu-kupu bekerja pada tingkat yang lebih lambat. Karena enzim yang bekarja sebagai katalis dalam proses metabolisme untuk menghasilkan energi akan terhambat, sehingga G.agamemnon yang beraktivitas pun jumlahnya sedikit.

Akan tetapi, bila lingkungan sekitarnya hangat maka G.agamemnon tingkat metabolisme lebih tinggi karena enzim pengkatalis yang menghasilkan energi tersebut bekarja dengan optimal. Sehingga kupu-kupu dapat menciptakan energi yang cukup agar otot sayapnya tetap terkontrol ketika terbang dan beraktivitas.

Kecepatan angin terbesar selama pengamatan terjadi pada sore hari yaitu

m berkisar antara 0,5-3,33 /s. Selama pengamatan berlangsung, menjelang sore hari keadaan cuaca berubah menjadi mendung dan sering turun hujan. Saat hujan, angin yang bertiup sangat kencang sehingga tidak terdapat kupu-kupu yang beraktivitas. Hal ini karena kupu-kupu tidak dapat menggendalikan tubuhnya saat terbang, sebab kupu-kupu tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya jika angin bertiup terlalu kencang, sehingga kupu-kupu terjatuh. Sebaliknya, ketika pada 36

m siang hari kecepatan angin berkisar 0-0,92 /s. Saat menjelang siang, angin bertiup

m tidak menentu. Angin dapat tidak bertiup atau 0 /s, akan tetapi, terkadang angin

m dapat bertiup cukup kencang yaitu 0,92. /s. Kupu-kupu memerlukan angin untuk terbang. Jika tidak ada angin yang bertiup, kupu-kupu tidak dapat terbang dengan seimbang karena kupu-kupu membutuhkan angin untuk terbang.

Menurut Bariyah (2011) apabila angin terlalu kencang, maka kupu-kupu tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya ketika terbang. Angin dapat membantu dan juga menghambat aktivitas kupu-kupu dalam mencari pakan. Angin bertiup

m dengan kecepatan 0,25-3,35 /s, dengan angin yang kencang kupu-kupu lebih senang beristirahat pada semak, rumput maupun pohon sehingga kupu-kupu yang terbang pun menurun.

Hasil pengamatan ini sejalan dengan Bariyah (2011) bahwa dengan bantuan angin G.agamemnon akan lebih mudah untuk terbang, tetapi jika angin

m bertiup terlalu kencang (3,33 /s) maka akan menghambat aktivitas terbang

G.agamemnon. Hal ini dikarenakan jika angin bertiup sangat kencang, maka

G.agamemnon tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya saat terbang sehingga akan terjatuh. Selain itu, aktivitas terbang G.agamemnon dapat terhambat jika tidak ada

m angin yang bertiup (0 /s), karena G.agamemnon membutuhkan angin untuk terbang. Kecepatan angin yang tidak terlalu kencang sangat baik untuk keseimbangan G.agamemnon saat terbang.

Intensitas cahaya yang tertinggi selama pengamatan terjadi pada siang hari yaitu berkisar antara 11,12-70,30 Klx. Hal ini karena semakin siang intensitas cahaya menjadi semakin tinggi sehingga kupu-kupu yang beraktivitas semakin 37

sedikit. Kupu-kupu memerlukan intensitas cahaya yang tidak terlalu tinggi. Pada sore hari intensitas cahaya mengalami penurunan yaitu berkisar antara 3,45-11,60

Klx. Hal ini karena keadaan cuaca berubah menjadi mendung dan sering turun hujan. Sehingga menyebabkan tidak ditemukannya kupu-kupu yang melakukan aktivitas.

Menurunnya intensitas cahaya, menyebabkan kelembaban yang meningkat. Oleh karena itu, kupu-kupu memerlukan banyak energi untuk bergerak. Jika intensitas cahaya lingkungan semakin rendah atau akan turun hujan, maka G. agamemnon tidak dapat melakukan aktifitas. Hal ini dikarenakan

G. agamemnon tidak mempunyai pelindung atau mantel pada tubuhnya yang dapat melindungi G. agamemnon saat turun hujan.

Kelembaban relatif udara yang lebih besar selama pengamatan terjadi pada sore hari berkisar 50-85%. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan kupu- kupu sulit untuk menciptakan energi pada tubuhnya untuk melakukan aktivitas.

Meskipun kupu-kupu memerlukan kelembaban agar tidak terkena dehiderasi.

Menurut Amir dkk (2003) kupu-kupu beraktivitas pada kelembaban relatif udara yang sedang sekitar 60% karena dapat mengurangi resiko kekurangan air

(dehidrasi) akibat terik matahari. Maka jika kelembaban udara terlalu tinggi (lebih dari 60%) pada sore hari, mengakibatkan kupu-kupu tidak dapat mengkontrol otot sayapnya yang memerlukan energi agar dapat terbang dan beraktivitas.

Menurut Bariyah (2011) aktivitas kupu-kupu dalam mencari pakan masih dapat berjalan dengan baik dengan kelembapan udara berkisar antara 52,3-83,7%

- 59,9-88,7%. Aktivitas kupu-kupu menjadi agak terganggu karena kupu-kupu 38

akan menghindari kondisi yang panas dan kering. Kelembaban udara merupakan faktor lingkungan yang juga mempengaruhi aktivitas kupu-kupu dalam mencari pakan. Selin itu, menurut Smart (1991) kupu-kupu dan larva menghindari kondisi yang kering dengan mencari tempat dengan kelembaban yang tinggi untuk beristirahat.

Hasil pengamatan ini sejalan dengan Bariyah (2011), Smart (1991) dan

Amir dkk (2003) bahwa ketika kelembaban di lingkungan sekitar 33-50% terlihat beberapa G. agamemnon yang melakukan aktivitas. Akan tetapi saat kelembaban di lingkungan lebih dari 85% tidak terlihat G. agamemnon melakukan aktivitas.

Hal ini dikarenakan G. agamemnon menghindari terik matahari yang dapat mengakibatkan resiko kekurangan air di dalam tubuhnya (dehidrasi). Selain itu, kelembaban yang terlalu tinggi (lebih dari 60%) juga akan mempengaruhi G. agamemnon dalam mencari pakan, karena tubuhnya tidak memiliki mantel untuk melindungi dirinya dari hujan, maka G. agamemnon akan mencari tempat untuk berlindung.

4.2 Media Peletakan Telur G. agamemnon L. pada Tanaman Glodokan

Hasil pengamatan peletakan telur G. agamemnon pada tanaman glodokan di sekitar kampus I UIN Jakarta tersaji pada Tabel 3

39

Tabel 3. Pemilihan media peletakan telur G. agamemnon L.

Individu Tanggal peletakan Waktu Tempat peletakan Ketinggian tempat Ke peletakan peletakan telur (WIB) (cm) 1 02 September 2010 09.42 Permukaan bawah 65,00 daun muda. 2 02 September 2010 10.58 Permukaan atas 124,00 daun muda. 3 28 September 2010 09.14 Permukaan bawah 34,00 daun muda. 4 30 September 2010 09.33 Permukaan bawah 85,00 daun muda. 5 30 September 2010 09.34 Permukaan atas 59,00 daun muda. 6 30 September 2010 09.35 Permukaan bawah 132,00 daun tua. 7 30 September 2010 09.36 Permukaan bawah 141,00 daun muda. 8 30 September 2010 09.38 Permukaan bawah 89,00 daun muda. 9 11 November 2010 10.13 Permukaan bawah 65,00 daun muda. 10 18 November 2010 09.58 Permukaan bawah 89,00 daun muda. X ± SD 88,30±34,74 Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata.

Berdasarkan hasil pengamatan, kupu-kupu dewasa memiliki masa untuk regenerasi dengan cara kawin. Kupu-kupu jantan akan mencari dan memikat kupu-kupu betina untuk melakukan perkawinan dengan cara berputar di sekitar puncak tanaman berbunga. Setelah betina terpikat, kupu-kupu jantan dan etina kemudian melakukan perkawinan dengan cara menempelkan bagian segmen terakhir abdomen jantan ke bagian segmen terakhir betina.

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa 70% G. agamemnon meletakkan telurnya tersembunyi di permukaan bawah daun muda, 20% di permukaan atas daun muda dan 10% di permukaan bawah daun tua. G. 40

agamemnon meletakan telurnya pada permukaan bawah daun muda dan daun tua di tanaman inang dengan cara melekukan segmen terakhir dari abdomen sampai telur keluar. G. agamemnon meletakkan telurnya berpindah-pindah di satu tanaman inang yang sama dan memiliki ketinggian yang bervariasi dengan letak terendah 34,00 cm dan tertinggi 141,00 cm. Hal ini dikarenakan agar telur dapat terhindar dari sengatan matahari langsung atau agar terhindar dari parasitoid.

Selain itu, karena permukaan bawah daun lebih sedikit kasar dibandingkan dengan permukaan atas daun, sehingga G. agamemnon lebih aman meletakkan telur di permukaan bawah daun.

Kupu-kupu meletakkan telurnya di permukaan daun muda karena untuk mempermudah larva mendapatkan makanan pertamanya ketika larva tersebut menetas dari telur. Akan tetapi jika telur berada di daun tua, maka larva harus berpindah ke daun muda untuk mendapatkan makanannya. Sehingga jika G. agamemnon meletakkan telur di daun tua jaraknya tidak terlalu jauh dengan daun yang muda. Menurut Putra (1994) telur kupu-kupu diletakkan oleh induknya di berbagai tempat. Dapat dijumpai pada permukan daun, lipatan daun, ranting atau cabang, dan pada tempat-tempat lain. Menurut Amir dkk (2003) bahwa telur diletakkan tersembunyi, misalnya di bagian bawah daun, agar terhindar dari terik matahari dan musuh-musuh alaminya. Genus Graphium umumnya lebih kuat dan memiliki kemampuan terbang lebih terarah (Parsons, 2010).

Hasil pengamatan ini sejalan dengan Putra (1994), Parsons (2010) dan

Amir dkk (2003) bahwa G. agamemnon lebih banyak meletakkan telurnya tersembunyi di permukaan bawah daun muda. Hal ini dikarenakan agar telur dapat 41

terhindar dari sengatan matahari langsung atau agar terhindar dari parasitoid.

Selain itu, untuk mempermudah larva mendapatkan makanan pertamanya ketika larva tersebut menetas dari telur. Selain itu, untuk G. agamemnon yang memilih meletakkan telurnya di permukaan atas daun muda atau daun tua tetap dapat terhindar dari sinar matahari langsung, hal ini karena daun terhalang oleh daun yang berada di atas daun tersebut. Perbedaan ketinggian tempat peletakan telur ini dikarenakan agar antara satu larva dengan larva yang lain menetas tidak memiliki jarak yang terlalu dekat, sehingga tidak terjadi kanibalisme antara sesama larva.

Selain itu, karena G. agamemnon merupakan salah satu dari Genus Graphium yang umumnya lebih kuat dan memiliki kemampuan terbang lebih terarah, sehingga memiliki kemampuan terbang yang tinggi sehingga dapat meletakkan telur dengan ketinggian yang bervariasi. Media peletakkan telur G. agamemnon tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Telur G. agamemnon di permukaan bawah daun muda (Maulidia, 2010)

4. 3 Morfologi Tiap Stadia dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.

Hasil pengamatan morfologi telur G. agamemnon pada tanaman glodokan di kawasan kampus I UIN Jakarta tersaji pada Tabel 4. 42

Tabel 4. Morfologi telur G. agamemnon L.

Karakter morfologi Ciri-ciri X ± SD Bentuk Bulat Warna Kuning keputihan Lama stadia telur (Hari) 2-3 Diameter cangkang telur (mm) 1,110-1,400 1,233±0,101 Diameter sisa cangkang telur (mm) 0,410-0,80 0,666±0,109 Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata.

Telur G. agamemnon yang diamati berbentuk bulat memiliki bagian

bawah yang rata. Pada bagian atas telur terdapat lubang kecil yang disebut dengan

“mikropile”. Menurut Amir dkk (2003) “mikropile” yaitu tempat spermatozoid

masuk ke dalam telur. Telur menetas menjadi larva dalam durasi waktu 2-3 hari,

sedangkan telur yang lebih dari 3 hari tidak menetas. Hal ini mungkin dikarenakan

kualitas telur yang buruk seperti telur tidak mengalami proses pembuahan, atau

karena sperma tidak tersalurkan ke dalam sel telur yang berada di dalam

mikrophile, atau telur telah terkena parasitoid, atau usia G. agamemnon yang

sudah tidak terdapat spermateka (spermateka sudah kosong) tetapi telur tetap

dihasilkan oleh betina. Telur yang menetas menjadi larva, kemudian tumbuh dan

berkembang menjadi imago (dewasa). Fase larva dari tiap jenis satu dengan yang

lain tidak sama. Morfologi predewasa G. agamemnon tersaji pada Tebel 5.

Tabel 5. Morfologi pradewasa G. agamemnon L.

Stadia x ± SD (mm) Waktu Morfologi larva (hari) L1 4,625 ± 0,673 2-4 -Bagian toraks berwarna putih kehijauan -Bagian abdomen berwarna hitam -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna putih kehijauan

43

-Spina lateral berwarna hitam, sedangkan spina akhir abdomen berwarna putih kehijauan L2 9,387 ± 2,028 2-4 -Bagian toraks berwarna sedikit kehijauan -Bagian abdomen berwarna sedikit kehijauan -Bagian segmen terakhir abdomen bergaris dengan warna putih -Spina lateral berwarna hitam, sedangkan spina akhir abdomen berwarna putih kehijauan

L3 14,883±2,112 1-4 -Bagian toraks berwarna hitam kecoklatan -Bagian abdomen berwarna hitam kecoklatan -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau terang -Spina lateral berwarna hitam -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. L4 26,036±3,985 2-4 -Bagian toraks berwarna coklat sedikit kuning bintik-bintik hijau tua -Bagian abdomen berwarna hijau kecoklatan sedikit kuning bintik-bintik hijau tua -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau terang -Spina lateral berwarna hitam -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. L5 37,948±4,280 3-8 -Bagian toraks berwarna hijau tua kecoklatan pudar -Bagian abdomen berwarna hijau tua pudar -Bagian segmen terakhir abdomen berwarna hijau muda kekuningan -Memiliki bintik-bintik di seluruh badan berwarna hijau tua -Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti cincin kecil berwarna oranye -Terdapat dua kotak di abdomen berwarna hijau kekuningan -Terdapat garis lurus berwarna putih mulai dari toraks sampai ujung abdomen -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung. 44

Prepupa 32,991±1,527 1-2 -Bagian toraks berwarna kuning terang (kuning muda) dan terdapat sedikit garis-garis merah -Bagian abdomen berwarna kuning terang (kuning muda) dengan ujung abdomen terdapat duri halus dan kulit mengerut. -Bagian spina lateral ke-3 terdapat lingkaran seperti cincin kecil berwarna oranye -Spina pada akhir abdomen berwarna putih di bagian pangkal sampai tengah, kemudian hitam di bagian tengah pangkal sampai ujung -Tidak terdapat dua kotak di punggung berwarna hijau kekuningan Pupa 32,532±1,150 12-15 -Bagian toraks dan abdomen berwarna kuning terang (kuning muda) -Tidak memiliki kaki-kaki prolage untuk menempel di daun. -Ketika kupu-kupu telah siap untuk menetas maka: -Bagian toraks berwarna hitam bercak hijau apel agak transparan. -Bagian abdomen hijau bergaris hitam. -Bagian ujung abdomen transparan. Ket: sd= Standar deviasi; x = Rata-rata.

Pada stadia larva, setiap individu membutukan durasi waktu yang berbeda

untuk menjadi G. agamemnon (imago). Pada larva instar satu, durasi waktu yang

dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4 hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh

4,625±0,673 mm (Lampiran 2). Larva instar dua, durasi waktu yang dibutuhkan

untuk tahap ini berkisar 2-4 hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh 9,387±2,028 mm

(Lampiran 2). Larva instar tiga, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini

berkisar 1-4 hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh 14,883±2,112 mm (Lampiran 2).

Larva instar empat, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 2-4

hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh 26,036±3,985 mm (Lampiran 2).

Larva instar lima, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar

antara 3-8 hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh 37,948±4,280 mm (Lampiran 2).

Pada instar prepupa, durasi waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini berkisar 1-2 45

hari (Tabel 8) dengan panjang tubuh 32,991±1,527 mm (Lampiran 2). Pupa merupakan tahap akhir stadia dalam siklus hidup sebelum menjadi G. agamemnon dewasa (imago), pada tahap ini terjadi transformasi diri selama 12-15 hari (Tabel

8) dengan panjang tubuh 32,532±1,150 mm (Lampiran 2).

Setiap tahapan instar, larva mengalami pergantian kulit (molting) sampai menjadi G. agamemnon (imago). Ketika berganti kulit (molting), larva diam dan tidak makan, ukuran tubuhnya mengecil sampai kulit lama terganti dengan kulit baru. Pergantian kulit dapat memakan waktu sampai 1 jam. Setelah keluar dari kulit lamanya, larva diam beberapa saat, kemudian memutarkan tubuhnya untuk memakan kulit lamanya sampai yang tersisa hanya bagian kepala saja dengan diameter yang bervariasi antara 0,420-0,670 - 1,800-2,720 mm. Hal ini dikarenakan kulit lama larva mengandung protein yang diperlukan oleh tubuhnya.

Pergantian kulit pada fase prepupa, berbeda dengan tahap instar 1-4. Prepupa memilih tempat yang nyaman sebelum berubah menjadi pupa. Kemudian perlahan-lahan larva terlihat sedang melilitkan bagian toraks dengan benang halus dan kuat yang dibuatnya sendiri di tempat yang telah dipilihnya seperti di permukaan bawah atau atas daun pakan, di dinding wadah pelastik atau tutup wadah pelastik. Setelah 1-2 hari fase prepupa selesai, semua kulit lama akan terlepas dan berganti dengan cangkang pembungkus (pupa).

Pola pakan larva di setiap stadia hanya memakan daun yang dimulai dari bagian tengah daun lalu kebagian pinggir daun. Daun yang dikonsumsi adalah daun muda, dan untuk larva intar satu mengkonsumsi daun yang benar-benar 46

muda (pucuk daun). Hal ini karena tekstur dari pucuk daun masih lunak, sehingga larva yang baru menetas lebih mudah mengkonsumsinya.

Larva instar satu merupakan fase yang rentan dengan kematian seperti terkena parasitoid, terkena air ataupun terinjak. Hal ini karena dengan ukuran tubuhnya yang kecil maka parasitoid mudah masuk ke dalam tubuh larva. Selain itu, karena ukuran tubuhnya yang kecil, jika larva terjatuh dari daun yang tertiup oleh angin tidak terlihat oleh mata maka dapat terinjak. Dengan ukurannya yang kecil pula, saat pemberian daun pakan atau pembersihan kandang sebaiknya dibersihkan kemudian di keringkan terlebih dahulu dari air baik pada daun pakan maupun kandangnya. Hal ini dikarenakan jika terdapat air yang terlalu banyak maka larva tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya untuk bergerak karena terlalu banyak air disekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam penanganan larva instar satu ini. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon Linn. tersaji pada Gambar 13.

Tingkah laku larva di setiap stadia adalah diam, bergerak di daun kemudian memakan daun, buang feces yang ditandai dengan mengangkat bagian ujung abdomen lalu feces pun keluar dan diam. Selama pengamatan tingkah laku larva di tiap stadia berlangsung, kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh larva adalah makan. Hal ini dikarenakan larva membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi agar tumbuh kembang larva berjalan dengan baik, hingga larva siap memasuki fase pupa. Menurut Amir dkk (2003) larva memiliki kegiatan hanya makan, mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya untuk pertumbuhannya.

Larva dapat tumbuh menjadi besar dan masak, selanjutnya siap memasuki masa 47

pupasi. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Amir dkk (2003) bahwa Semakin

besar ukuran larva G. agamemnon di tiap stadia, maka semakin banyak pula daun

yang dikonsumsi. Hal ini dapat terlihat dari bentuk dan ukuran tubuh yang

semakin bertambah di setiap stadia.

d a b c

g

d e f

g h i

Gambar 13. Metamorfosis dalam Siklus Hidup G. agamemnon L.; a. telur; b. larva instar 1; c. larva instar 2; d. larva insrtar 3; e. larva instar 4; f. larva instar 5; g. prepupa; h. pupa; i. imago (G. agamemnon L.) (Maulidia, 2010)

Selain itu, ketika membersikan kandang dan pemberian daun pakan, atau

saat pengukuran tubuh larva. Terkadang sesekali larva mengeluarkan semacam

antena yang berwarna putih gading dari bagian kepalanya dengan bau yang

menyengat yang disebut dengan osmeterium. Hal ini dikarenakan larva merasa

terganggu. Menurut Achmad (2002) biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat

perlindungan dari serangan predator atau pengganggu lain, yakni mengeluarkan 48

osmeterium semacam zat beracun yang berbau tidak enak melalui suatu alat seperti antena pada bagian kepala dari larva tersebut. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Achmad (2002) bahwa ketika larva merasa terganggu, larva mengeluarkan semacam antena yang berwarna putih gading dari bagian kepalanya dengan bau yang menyengat sebagai senjata perlindungan atau proteksi diri dari pengganggu.

Setelah 12-15 hari berada dalam cangkang pembungkus (pupa), seekor G. agamemnon dewasa (imago) keluar. Tubuh G. agamemnon jantan dan betina memiliki perbedaan ukuran tubuh, perbedaan tersebut tersaji pada Tebel 6.

Tabel 6. Ukuran tubuh (mm) G. agamemnon L. jantan dan betina dewasa

Keterangan Jantan (♂) Betina (♀) (6 Individu) (4 Individu) x ± sd (mm) x ± sd (mm) Panjang badan 22,638 ± 0,833 23,540 ± 2,494 Panjang antenna 16,772 ± 0,660 16,360 ± 1,094 Panjang sayap depan 41,510 ± 1,608 44,773 ± 1,259 Lebar sayap depan 20,720 ± 1,202 22,797 ± 1,107 Rentang sayap 83,020 ± 3,216 89,547 ± 2,518 Panjang sayap belakang 32,818 ± 2,218 37,373 ± 0,761 Lebar sayap belakang 19,912 ± 1,031 21,723 ± 0,523 Ket: Rentang sayap= 2x panjang sayap depan; sd= Standar deviasi; x=Rata-rata.

Ketika mengamati proses G. agamemnon keluar dari cangkang pupa.

Terlihat G. agamemnon keluar secara perlahan dari cangkang pupa dan terdapat pula cairan berwarna hijau kekuningan dari cangkang pupa. G. agamemnon tidak mampu untuk terbang langsung setelah keluar dari cangkang pembungkusnya.

Akan tetapi, G. agamemnon menggantungkan tubuhnya dengan posisi terbalik dari cangkang pembungkus yang telah kosong tersebut atau mencari cabang atau daun terdekat. Saat muncul, sayap G. agamemnon terlihat kusut dan lembab. G. 49

agamemnon perlu waktu untuk memompa cairan tubuhnya agar sayap dapat mengembang.

Proses ini memakan waktu hingga satu jam. Hal ini dikarenakan agar sayap dapat terbuka lebar dan sempurna, sehingga dapat digunakan untuk terbang dengan baik. Kemudian perlahan-lahan sayap digerakan sampai akhirnya dapat terbuka lebar dan sempurna. Setelah sayap meningkat dan mengeras, G. agamemnon akan terbang jauh untuk mencari makanan dan pasangan. Menurut

Suhara (2009) otot dada kupu-kupu memiliki fungsi sebagai pengontrol sayap, otot berkontraksi dan rileks untuk menghasilkan gerakan atau kepakan sayap saat terbang.

Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara (2009) bahwa G. agamemnon tidak dapat langsung terbang setelah keluar dari cangkang pembungkus (pupa), hal ini dikarenakan G. agamemnon perlu waktu untuk memompa darah dari perut agar otot dada yang berfungsi sebagai pengontrol sayap dapat bekarja dengan baik. Selain itu, agar G. agamemnon dapat menyeimbangkan tubuhnya saat terbang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan hingga umur G. agamemnon dewasa (imago) karena adanya keterbatasan tempat pengamatan.

Akan tetapi, menurut penelitian yang dilakuakan Achmad (2002) umur G. agamemnon dewasa bisa mencapai 50-59 hari. Pupa yang siap menetas menjadi G. agamemnon L. tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14. Pupa yang siap menetas menjadi G. agamemnon L. (Maulidia, 2010)

50

Dari kesepuluh individu, tidak semua individu G. agamemnon

bermetamorfosis sempurna. Seperti yang terjadi pada individu 2 dan individu 6

yang mengalami cacat di bagian kepala dan antena. Hal ini dikarenakan ketika G.

agamemnon keluar dari cangkang pembungkusnya, bagian kepala dan antena

tersebut tidak bisa lepas dari cangkang pembungkus (pupa) pada saat keluar dari

cangkang pembungkus (pupa), sehingga sayap tidak dapat berkembang dengan

sempurna. G. agamemnon yang tidak dapat melepaskan bagian kepala dan antena

dari cangkang pun tidak dapat hidup seperti individu yang lain. G. agamemnon

yang cacat tersaji pada Gambar 15.

b a Gambar 15. G. agamemnon L. yang cacat (Maulidia, 2011)

Tubuh G. agamemnon berwarna dasar hitam, pada permukaan atas dan

bawah sayapnya memiliki bercak berwarna hijau apel. Pada daerah costal terdapat

dua bintik berwarna putih, pada daerah dorsalnya terdapat rambut-rambut halus

berwarna hitam. Bagian ventral sayap depan berwarna coklat keunguan dengan

bercak hijau yang sama dengan bagian dorsal. Pada vena keempat sayap belakang

ditemukan pemanjangan menyerupai ekor yang pendek, G. agamemnon betina

memiliki ekor yang lebih panjang di bandingkan dengan jantan. 51

Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 individu.

Dari 10 individu yang diamati, 6 diantaranya berjenis kelamin jantan dan 4 berjenis kelamin betina. G. agamemnon jantan memiliki beberapa perbedaan dengan G. agamemnon betina. Individu jantan mempunyai ukuran panjang dan rentangan sayap yang lebih pendek jika dibandingkan dengan sayap betina.

Terdapat 6 individu jantan, akan tetapi dari 6 individu, hanya 5 individu saja yang dapat dilakukan pengukuran pada sayapnya. Hal ini dikarenakan cacat di bagian kepala dan antena. Panjang badan seluruh individu jantan (6 individu) berkisar

22,638±0,833 mm, sedangkan panjang antena dari 5 individu jantan berkisar

16,772±0,660 mm.

Panjang sayap depan dari 5 individu tersebut berkisar 41,510±1,608 mm dan lebar sayap depan berkisar 20,720±1,202 mm dengan rentang sayap berkisar

83,020±3,216 mm. Panjang sayap belakang dari 5 individu ini berkisar

32,818±2,218 mm dan lebar sayap belakang berkisar 19,912±1,031 mm. Selain itu, individu jantan memiliki ciri-ciri bentuk tubuh yang lebih ramping di bandingkan tubuh betina dengan bentuk ujung abdomen yang meruncing dan tidak terdapat lubang untuk mengeluarkan telur.

Terdapat 4 individu betina, tetapi dari 4 individu hanya 3 individu saja yang dapat dilakukan pengukuran pada sayapnya. Hal ini dikarenakan cacat di bagian kepala dan antena. Panjang badan seluruh individu betina (4 individu) berkisar 23,540±2,494 mm, sedangkan panjang antena dari 3 individu betina berkisar 16,360±1,094 mm. Panjang sayap depan dari 3 individu berkisar

44,773±1,259 mm dan lebar sayap depan berkisar 22,797±1,107 mm dengan 52

rentang sayap berkisar 89,547±2,518 mm. Panjang sayap belakang dari 3 individu berkisar 37,373±0,761 mm dan lebar sayap belakang berkisar

21,723±0,523 mm. Selain itu, individu betina memiliki bentuk tubuh yang gemuk dengan ujung abdomen yang membulat dan terdapat lubang untuk mengeluarkan telur. G. agamemnon L. tersaji pada Gambar 16.

cm ♀ Dorsal ♂ Dorsal a

cm b ♀ Ventral ♂ Ventral

Gambar 16. G. agamemnon L. ; a. G. agamemnon betina dan jantan dorsal; b. G. agamemnon betina dan jantan ventral (Maulidia, 2011)

Selama 123 hari (4 bulan) dalam pengamatan tiap stadia siklus hidup G. agamemnon, dilakukan pula pengukuran faktor fisik ruangan. Suhu berkisar antara 24-300 C, intensitas cahaya berkisar antara 58-95 lx, kelembaban relatif

m udara berkisar antara 50-78% dan kecepatan angin 0 /s. Menurut Suhara (2009) 53

suhu tubuh larva ditentukan oleh jumlah radiasi yang diserap kedalam tubuh melalui proses fisik. Peningkatan suhu tubuh mengarah ke peningkatan laju respirasi. Hasil pengamatan ini sejalan oleh Suhara (2009) bahwa metabolisme tubuh larva tergantung pasa kondisi lingkungan. Jika suhu disekitar hangat, intensitas cahaya dan kelembaban yang tidak terlalu tinggi membuat larva dapat bergerak lebih aktif. Akan tetapi, jika Jika suhu disekitar rendah atau dingin, intensitas cahaya dan kelembaban yang tinggi membuat larva menjadi kurang aktif dalam bergerak. Pengukuran faktor fisik ruangan yang tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Faktor fisik ruangan

Faktor fisik Pagi Siang Sore (07.00 WIB) (12.00 WIB) (16.00 WIB) Suhu (0 C) 25-27 27-30 24-27 Cahaya (lx) 65-93 80-95 58-90 m Kecepatan angin ( /s) 0 0 0 Kelembaban relatif udara (%) 60-77 50-73 60-78 Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Penulis, terdapat perbedaan durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad dan Salmah dkk. Menurut Achmad

(2002) jenis G. agamemnon di Taman Nasional Bantimurung membutuhkan waktu 5-7 hari untuk stadia telur. Larva instar 1 berwarna kuning kehijauan dan bagian dorsal segmen ke-5 sampai 8 berwarna kuning keputihan. Larva instar 2 dan 3, bagian dorsal segmen ke-5 sampai 7 dan bagian segmen ke-8 berwarna kuning, sedangkan bagian tubuh lainnya berwarna coklat kekuningan hingga coklat. Larva instar 4 dan 5 berwarna hijau.

Secara umum larva G. agamemnon berwarna kuning tua sampai hijau pekat, setiap segmen dada mempunyai duri hitam dan pada segmen ketiga duri 54

tersebut muncul duri bintik kecil berwarna kuning oranye. Masa stadium larva 21 sampai 26 hari. Selain itu, G. agamemnon membutuhkan waktu sekitar 17 hari untuk menjadi pupa. Prepupa dan pupa berwarna hijau muda, pada pupa bagian toraks membentuk dua ujung yang agak meruncing dan bagian dada membentuk struktur menyerupai tanduk. Menurut Salmah dkk (2002) siklus hidup G. agamemnon pada tanaman sirsak di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu antara 38 sampai 44 hari (fase telur 4-5 hari, fase larva 21-26 hari, fase prepupa 1-

2 hari dan fase pupa 11-12 hari). Secara keseluruhan, siklus hidup G. agamemnon pada tanaman Glodokan di Kampus I UIN Jakarta membutuhkan durasi waktu yang bervariasi antara 31 sampai 38 hari (fase telur 2-3 hari, fase larva 14-19 hari, fase prepupa 1-2 hari dan fase pupa 12-15 hari). Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon tersaji pada Tebel 8.

Tabel 8. Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup G. agamemnon L.

Individu Lama Instar Tiap Stadia (Hari) ke Telur L1 L2 L3 L4 L5 Prepupa Pupa Jumlah 1 2 4 3 2 4 5 1 14 35 2 2 4 3 3 3 6 1 13 35 3 3 3 3 2 3 6 2 12 34 4 3 3 2 4 2 6 2 13 35 5 3 2 3 3 3 5 2 15 36 6 3 2 4 1 4 8 2 14 38 7 3 2 3 3 3 5 1 12 32 8 2 4 2 2 3 4 2 12 32 9 2 3 3 2 3 4 2 12 31 10 2 3 3 2 3 3 2 13 31 Lama 2-3 2-4 2-4 1-4 2-4 3-8 1-2 12-15 31-38 Durasi waktu yang dibutuhkan dalam siklus hidup (mulai dari fase telur, larva, prepupa dan pupa) G. agamemnon dari 10 individu yang diamati berbeda- beda. Dari tabel pengamatan, terlihat perbedaan waktu dari masing-masing 55

individu. Hal ini mungkin dikarenakan masing-masing individu memiliki hormon yang berfungsi selama proses metamorfosis berlangsung dengan jumlah berbeda dalam tubuhnya. Terlihat durasi waktu siklus hidup tercepat dan siklus hidup terlama, pada individu 6 yang memiliki jumlah durasi waktu siklus hidup terlama dengan durasi waktu keseluruhan 38 hari. Akan tetapi, Individu 9 dan 10 memiliki durasi waktu siklus hidup tercepat dengan durasi waktu keseluruhan 31 hari.

Individu 6 mengalami perkembangan metabolisme dalam tubuhnya yang lebih lambat jika dibandingkan dengan individu lainnya. Mungkin karena dalam tiap tubuh individu memproduksi hormon juvenil, hormon edyson dan hormon

Prothoracicotropic yang berbeda. Hormon juvenil yang dimiliki oleh individu 6 jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan hormon ecdyson dan hormon

Prothoracicotropic daripada individu yang lainnya. Hormon juvenil merupakan hormon awet muda dan penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai hormon pergantian kulit. Sehingga bila jumlah hormon juvenil lebih banyak, maka individu tersebut mengalami proses pergantian kulit (molting) lebih lama.

Oleh karena itu, durasi waktu yang dibutuhkan individu 6 lebih lama yaitu 38 hari.

Berbeda dengan individu 6. Pada individu 9 dan 10 memiliki jumlah hormon juvenil lebih sedikit dibandingkan dengan hormon ecdyson dan hormon

Prothoracicotropic daripada individu yang lainnya. Hormon juvenil merupakan hormon awet muda atau hormon penghambat terjadinya produksi hormon ecdyson sebagai hormon pergantian kulit. Sehingga bila jumlah hormon juvenil lebih sedikit, maka individu tersebut mengalami proses pergantian kulit (molting) lebih 56

cepat. Oleh karena itu, durasi waktu yang dibutuhkan individu 9 dan 10 lebih singkat yaitu 31 hari.

Siklus hidup G. agamemnon pada tanaman sirsak di kawasan Taman

Nasional Kerinci Seblat yaitu antara 38 sampai 44 hari (fase telur 4-5 hari, fase larva 21-26 hari, fase prepupa 1-2 hari dan fase pupa 11-12 hari) (Salmah dkk,

2002). Akan tetapi, siklus hidup G. agamemnon di Taman Nasional Bantimurung berkisar antara 42-50 hari. Terlihat adanya perbedaan durasi waktu yang di butuhkan dalam proses siklus hidup G. agamemnon antara kawasan Taman

Nasional Kerinci Seblat, Taman Naional Bantimurung dan kawasan kampus I

UIN Jakarta. Siklus hidup G. agamemnon di kawasan kampus I UIN Jakarta lebih singkat dibandingkan dengan siklus hidup G. agamemnon di kawasan Taman

Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bantimurung. Hal ini dikarenakan adanya beberapa perbedaan selain dari jumlah produksi hornon pada tiap individu, seperti nutrisi yang terkandung dalam tanaman pakan, lokasi, ketinggian dan iklim.

Larva mebutuhkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam tubuhnya. Nutrisi tersebut dapat berasal dari senyawa sekunder daun pakan tanaman inangnya. Jika nutrisi senyawa sekunder dari daun pakan tersebut tidak mencukupi, maka pertumbuhan dan perkembangan tubuh larva akan lambat. Kualitas makanan juga dapat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh larva. Menurut Suhara (2009) produksi senyawa sekunder pada tanaman inang tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tubuh larva. Hasil pengamatan ini sejalan dengan Suhara (2009) bahwa pada 57

tanaman Glodokan mungkin memiliki lebih banyak kandungan nutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva G. agamemnon dibandingkan dengan kandungan nutrisi yang terdapat di tanaman

Sirsak, sehingga siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Glodokan lebih cepat dibandingkan dngan siklus hidup larva yang terdapat di tanaman Sirsak.

Selain itu, perbedaan lokasi, ketinggian dan iklim juga ikut mempengaruhi siklus hidup dari larva G. agamemnon. Hutan pegunungan memiliki iklim dengan dataran tinggi yang tingkat kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah atau perkotaan. Semakin tinggi tingkat kelembaban dan suhu disekitar lebih rendah, maka larva akan menjadi kurang aktif dalam bergerak. Hal ini karena enzim yang berperan sebagai katalis dalam proses metabolisme yang menghasilkan energi terhambat karena terjadinya penurunan suhu. larva membutuhkan cahaya matahari untuk memperoleh energi dengan menaikan suhu agar enzim tersebut dapat bekarja. Agar larva dapat meningkatkan suhu tubuh yang mengarah ke peningkatan laju respirasi, maka larva membutuhkan cahaya matahari sehingga larva lebih aktif bergerak, serta agar perkembangan dan pertumbuhan larva juga dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, siklus hidup G. agamemnon di kawasan Taman Nasional Bantimurung lebih lama dibandingkan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. Sedangkan siklus hidup di Taman

Nasional Kerinci Seblat lebih lama dibandingkan dengan siklus hidup G. agamemnon di sekitar skampus I UIN Jakarta. BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian siklus hidup G. agamemnon L., maka dapat disimpulkan bahwa:

1. G. agamemnon memilih daun muda dan daun tua sebagai media untuk

meletakan telur-telurnya, dengan posisi telur 20% terletak di permukaan

atas dan 80% terletak di permukaan bawah daun.

2. Siklus hidup G. agamemnon dimulai dari stadia telur, larva, pupa, hingga

menetas menjadi imago (kupu-kupu) dengan durasi waktu berkisar antara

31-38 hari dan morfologi tiap stadia memiliki ciri khas yang spesifik.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan

nutrisi dan produksi senyawa sekunder pada tanaman yang dapat

mempengaruhi perkembangan larva G. agamemnon pada tanaman inang

glodokan, sirsak dan tanaman Annonaceae yang lain.

2. Perlu dilakukan penelitian siklus hidup dan tanaman inang dari jenis-jenis

Lepidoptera lain sebagai salah satu serangga penyerbuk yang terdapat di

kawasan kampus I UIN Jakarta.

58 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian siklus hidup G. agamemnon L., maka dapat disimpulkan bahwa:

1. G. agamemnon memilih daun muda dan daun tua sebagai media untuk

meletakan telur-telurnya, dengan posisi telur 20% terletak di permukaan

atas dan 80% terletak di permukaan bawah daun.

2. Siklus hidup G. agamemnon dimulai dari stadia telur, larva, pupa, hingga

menetas menjadi imago (kupu-kupu) dengan durasi waktu berkisar antara

31-38 hari dan morfologi tiap stadia memiliki ciri khas yang spesifik.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan

nutrisi dan produksi senyawa sekunder pada tanaman yang dapat

mempengaruhi perkembangan larva G. agamemnon pada tanaman inang

glodokan, sirsak dan tanaman Annonaceae yang lain.

2. Perlu dilakukan penelitian siklus hidup dan tanaman inang dari jenis-jenis

Lepidoptera lain sebagai salah satu serangga penyerbuk yang terdapat di

kawasan kampus I UIN Jakarta.

58 DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A. 2002. Potensi dan Sebaran Kupu-Kupu di Kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung. Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan. Http://labkonbiodend.com/2007_11_01_archive.html, 14 April 2010. 09.00 WIB.

Amir, M. W.A. Noerdjito. dan S. Kahono. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. BCP-JICA LIPI Cibinong. Cibinong.

Anonimous. 2010. Morfologi dan perkembangan Serangga. http://125.163.204.22/e_book/biologi/MO_78/, 4 Maret 2010, 12.00 WIB.

Bariyah, K. 2011. Hubungan Panjang Probosis Kupu-Kupu Dengan Preferensi Jenis Tanaman Pakan Di Areal Kampus I Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta. Skripsi: Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.

Bima. 2007. Penangkaran Kupu-kupu di Kepulauan Seribu. http://www.pulauseribu.net. 28 Desember 2010. 11.20 WIB.

Fitriana, N. 2008. Serangga Penyerbuk Pada Tanaman Berbunga di Kawasan Kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Biologi Lingkungan, vol.2, No.1, p.46-52.

Hamidun, M.S. 2003. Penangkaran Kupu-kupu Oleh Masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. http://tumoutou.net/marini_susanti.htm. 28 Desember 2010. 11.45 WIB.

Kunte, K. 2006. Additions to Known Larval Host Plants of Indian Butterflies. J. Bombay Nat. Hist. Soc. 103(1):119-120.

Mamahit, J.M.E. 2003. Mutualisme yang Indah antara Serangga dan Bunga. http://tumoutou.net/702_07134/eva_mamahit.htm. 1 Desember 2010. 11.15 WIB.

Odum, E P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi edisi ketiga. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Parsons, M. 2010. Butterflies of Malaysia and Borneo. http://www.learnaboutbutterflies.com/Malaysia%20%20Graphium%20ag amemnon.htm, 5 Desember 2010, 12.53 WIB.

59 60

Putra, N S. 1994. Serangga Di sekitar Kita. Kanisius. Yogyakarta. Priyanti. 2008. Tanaman nomokotil di Kampus I dan II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Biologi Lingkungan, vol.2, No.1, p.29-36. Rosariyanto, E. 2005. Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu untuk Wilayah Mamberamo sampai Pegunungan Cyclops. Erlangga. Jakarta.

Salmah, S., I. Abbas. dan Dahelmi. 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat. Kehati: Jambi.

Subhan, A. dan H. Nasuhi. 2008. Profil Universitas Islam Negeri Jakarta. Edisi kelima. UIN Press. Jakarta.

Smart, P. 1991. The Illustrated Encyclopedia of The Butterflies Word. Tiger Books International PLC. London.

Suhara. 2009. Ekologi - the relationship between organisms and their environment. http://www.learnaboutbutterflies.com/Ecology.htm. 10 Februari 2010, 17.15 wib

Whitten, R.E., S. Soeriaatmadja. dan Affiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Kanisius. Jakarta.

Wijayanti, F. 2007. Pemilihan Habitat Bersarang dan Strategi Pencarian Makan Burung Gereja (Passer montanus) Pada Kawasan Kampus I UN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal Biologi Lingkungan, vol.1, No.2, p.125-134.

Van Steenis, C. G. G. J. Dr. 2005. Flora Untuk Sekolah Di Indonesia. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Lampiran 1 Data Morfologi telur G. agamemnon L.

Individu Ke Bentuk Warna Diameter cangkang telur Diameter sisa cangkang telur Lama stadia telur (mm) (mm) (Hari) 1 Bulat. Kuning keputihan 1,270 0,410 2 2 Bulat. Kuning keputihan 1,290 0,700 2 3 Bulat. Kuning keputihan 1,340 0,610 3 4 Bulat. Kuning keputihan 1,290 0,680 3 5 Bulat. Kuning keputihan 1,400 0,700 3 6 Bulat. Kuning keputihan 1,110 0,600 3 7 Bulat. Kuning keputihan 1,210 0,700 3 8 Bulat. Kuning keputihan 1,120 0,680 2 9 Bulat. Kuning keputihan 1,120 0,780 2 10 Bulat. Kuning keputihan 1,180 0,800 2 Σ 12,330 6,660 2-3 X ± SD 1,233±0,101 0,666±0,109 - Ket: SD= Standar deviasi; x=Rata-rata; Σ= Jumlah

61 Lampiran 2 Data Panjang tubuh tiap stadia larva, prepupa, dan pupa G. agamemnon L. (mm).

Individu Panjang Tubuh Tiap Stadia (mm) L1 L2 L3 L4 L5 Prepupa Pupa 1 3,730 8,810 15,490 27,350 41,380 32,070 32,580

2 4,840 7,430 16,200 26,150 37,230 31,520 31,400

3 6,020 12,930 17,300 26,780 41,060 32,800 33,700

4 3,940 8,790 14,810 31,310 38,690 32,710 32,270

5 4,780 7,140 11,030 21,900 38,580 32,820 32,700

6 4,040 7,510 12,030 17,340 29,660 33,350 31,380

7 4,850 8,420 15,210 30,430 35,580 32,400 31,530

8 5,150 12,270 17,840 26,540 41,300 32,640 32,610

9 4,620 10,800 14,460 25,820 32,690 32,490 32,050

10 4,280 9,770 14,460 26,740 43,310 37,110 35,100

Σ 46,250 93,870 148,830 260,360 379,480 329,910 325,320

X ± SD 4,625±0,673 9,387±2,028 14,883±2,112 26,036±3,985 37,948±4,280 32,991±1,527 32,532±1,150

62 Lampiran 3 Data Morfologi dewasa G. agamemnon L.

Individu Jkelamin PB (mm) PA (mm) Panjang sayap depan dan belakang (mm)

ke Jantan Betina PSD (d) LSD PSB LSB RS (2d)

1 √ 23,760 16,000 44,270 21,750 36,380 21,220 88,540

2 √ 22,470 ------

3 √ 22,910 17,280 45,530 23,630 36,640 21,590 91,060

4 √ 21,590 15,150 43,320 21,540 37,320 21,280 86,640

5 √ 23,040 16,440 41,400 18,970 32,730 19,500 82,800

6 √ ------

7 √ 21,980 17,100 40,830 20,170 33,030 18,760 81,660

8 √ 21,550 17,720 40,920 21,880 31,250 19,330 81,840

9 √ 22,300 16,600 40,130 20,830 30,700 20,750 80,260

10 √ 27,190 16,650 45,470 23,220 38,160 22,300 90,940

Σ 229,990 132,940 341,870 171,990 276,210 164,730 683,740

X ±SD 22,999±1,636 16,617±0,798 42,734±2,187 21,499±1,527 34,526±2,922 20,591±1,250 85,467±4,374

63 Keterangan: 1. PB : Panjang Badan.

2. PA : Panjang Antene.

3. PSD (d) : Panjang Sayap Depan (d).

4. LSD : Lebar Sayap Depan.

5. PSB : Panjang Sayap Belakang.

6. LSB : Lebar Sayap Belakang.

7. RS (2d) : Rentang Sayap (2d= 2 x Panjang sayap depan).

8. SD : Standart Deviasi.

9. Σ : Jumlah.

10. X : Rata-rata.

64 65

Lampiran 4 Faktor fisik saat pengambilan sampel telur G. agamemnon L.

Hari ke Pagi Siang Sore

(08.00 WIB) (12.00 WIB) (16.00 WIB)

S IC KA RH S IC KA RH S IC KA RH 0 m 0 m 0 m ( C) (Klx) ( /s) (%) ( C) (Klx) ( /s) (%) ( C) (Klx) ( /s) (%)

1 30 12,66 0,5 66 33 17,72 0 50 26 4,94 3,33 80

2 30 12,66 0,5 68 33 17,72 0 50 26 4,94 3,33 80

3 31 11,22 0,33 62 34 11,60 0,57 36 32 11,05 0,67 50

4 31 24,10 0,67 48 38 70,30 0,87 50 25 3,45 1,83 85

5 31 24,10 0,67 48 38 70,30 0,87 50 25 3,45 1,83 85

6 31 24,10 0,67 48 38 70,30 0,87 50 25 3,45 1,83 85

7 31 24,10 0,67 48 38 70,30 0,87 50 25 3,45 1,83 85

8 31 24,10 0,67 48 38 70,30 0,87 50 25 3,45 1,83 85

9 29 10,67 0,17 65 31 15,89 0,92 53 32 11,60 0,5 60

10 28 11,12 0,25 54 33 18,89 0,33 33 31 10,80 0,33 64

Keterangan :

1. S (0 C) : Suhu

2. IC (Klx) :Intensitas Cahaya

m 3. KA ( /s) : Kecepatan Angin

4. RH (%) : Kelembaban Relatif Udara 66

Lampiran 5 Faktor fisik ruangan saat pengamatan tiap stadia G. agamemnon L.

Hari ke Pagi Siang Sore

(08.00 WIB) (12.00 WIB) (16.00 WIB)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

S IC KA RH S IC KA RH S IC KA RH

0 m 0 m 0 m ( C) (lx) ( /s) (%) ( C) (lx) ( /s) (%) ( C) (lx) ( /s) (%)

1 27 90 0 65 28 95 0 67 25 69 0 76

2 27 90 0 63 28 98 0 65 25 70 0 76

3 27 92 0 60 29 86 0 54 26 63 0 70

4 27 80 0 67 28 90 0 69 27 85 0 68

5 26 70 0 75 27 91 0 50 27 82 0 68

6 27 84 0 71 27 87 0 70 27 79 0 68

7 25 92 0 70 27 94 0 65 27 70 0 77

8 27 77 0 61 27 89 0 63 24 60 0 78

9 27 86 0 62 27 90 0 59 26 78 0 65

10 27 78 0 72 28 83 0 58 26 68 0 60

11 27 89 0 60 27 91 0 60 27 85 0 65

12 27 69 0 63 27 79 0 61 27 64 0 64

13 27 70 0 68 28 88 0 57 25 65 0 60

14 27 70 0 60 30 82 0 55 27 69 0 65

15 27 78 0 71 29 92 0 53 26 71 0 69

16 27 90 0 65 27 95 0 71 27 90 0 70

17 27 93 0 64 28 95 0 59 27 90 0 68

18 26 65 0 76 27 82 0 72 27 60 0 75

19 27 87 0 77 28 93 0 61 24 68 0 78

20 26 60 0 78 28 90 0 59 27 65 0 76

21 27 77 0 69 29 85 0 58 27 70 0 70 67

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

22 27 80 0 66 29 87 0 52 27 68 0 70

23 27 65 0 72 30 85 0 70 26 60 0 78

24 27 92 0 60 28 94 0 50 27 63 0 70

25 27 90 0 62 30 92 0 51 27 87 0 71

26 27 91 0 65 27 89 0 65 27 80 0 68

27 25 60 0 78 27 80 0 73 27 76 0 75

28 27 77 0 71 27 90 0 71 27 70 0 74

29 27 80 0 65 27 87 0 70 27 81 0 71

30 27 93 0 65 28 91 0 60 25 76 0 75

31 27 81 0 62 29 87 0 60 25 80 0 75

32 27 86 0 60 28 93 0 61 27 80 0 67

33 26 60 0 61 27 71 0 60 27 70 0 69

34 27 73 0 69 27 74 0 60 27 70 0 74

35 27 75 0 70 27 77 0 64 24 69 0 78

36 27 80 0 71 27 79 0 66 27 69 0 71

37 26 70 0 63 26 82 0 70 25 81 0 68

38 27 84 0 60 24 87 0 54 26 70 0 74

Keterangan :

1. S (0 C) : Suhu

2. IC (lx) :Intensitas Cahaya

m 3. KA ( /s) : Kecepatan Angin

4. RH (%) : Kelembaban Relatif Udara 68

Lampiran 6 Kerangka Berpikir

Kampus I UIN Jakarta banyak ditanami berbagai macam tanaman berbunga dan pellindung

Kupu-kupu

G. agamemnon L.

Glodokan (P. Longifolia Sonn.)

Siklus Hidup