KASUS PILKADA DKI YANG MENGALAMI KEMUNDURAN DEMOKRASI DITINJAU DARI LEGITIMASI DAN TUJUAN NEGARA

OLEH : LITA LARASSATI (52418008)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DKI JAKARTA YANG BERNILAI KURANG DEMOKRASI ABSTRAK Pemilihan kepala daerah “Pilkada DKI Jakarta’’ banyak mengalami “kemunduran demokrasi” yang tidak memenuhi syarat-syarat demokrasi yang baik dan sehat yaitu demokrasi yang berdasarkan ideologi pancasila yang sesuai dengan tujuan negara. “Pilkada DKI jakarta” bukan hanya memilih gubernur dan wakilnya saja tapi pilkada juga harus sesuai dengan kebangsaan agar sesuai konsistensi tersebut,namun “pilkada DKI Jakarta” “kericuhan” dengan isu sara ,dan penistaan agama banyak cara yang digunakan untuk memenangkan pemilu. Tokoh-tokoh menyampaikan bahwa institusi formal yang bisa dipakai untuk menyalurkan aspirasi namun hukum formal tidak dipakai lagi,banyak perilaku yang tidak taat hukum ini menimbulkan “kericuhan” ini menunjukkan “kemunduran demokrasi” terjadi diindonesia.

3 kata kunci (keywords)= Kemunduran Demokrasi,pilkada DKI Jakarta,kericuhan

1. Masalah Dalam pilkada serentak 2017 isu agama menjadi persoalan yang ramai diseret-seret keranah politik khususnya dalam pilkada di DKI Jakarta, seperti yang kita tahu gubernur pertahanan (Ahok) yang memimpin jakarta tahun 2014,setelah memenangkan kursi kepresidenan. Ahok menjadi gubernur pertama beretnis cina ( beragama kristen) pada saat proses pilkada berjalan, ia tersandung kasus penistaan agama dimana Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) berasal dari minoritasdalam perhelatan demokrasi itu menonjolkan perbedaan kelompok mayoritas dan minoritas. "Ada pandangan kebudayaan yang dominan, kelompok mayoritas, seolah nilai kelompok harus diutamakan di atas nilai individu. Ada suatu kemunduran demokrasi, ia dipenjara atas dugaan penistaan agama Vonis Ahok ini menjadi nilai pada prinsip sekularisme indonesia yang tertera dalam pancasila dalam mendemonstrasikan betapa pasal keagamaan tidak hanya digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat,tetapi juga menahan aktor politik. Padahal demokrasi di indonesia dianggap paling baik di asia tenggara,dunia internasional memupuk harapan pada indonesia dalam penegakan HAM dan DEMOKRASI, namun situasi penilaian ini kontradiktif dengan situasi yang sesungguhnya terjadi justru di indonesia muncul klaim-klaim mayoritas untuk membedakan ” kami dengan mereka” ini justru berbahaya membawa kebencian dan diskriminasi. Begitu pula dengan kampanye yang digunakan Anies baswendan dan Sandiaga Uno ia korbankan demokrasi demi menangkan pilkada DKI Jakarta dinilai turut membumbui sikap anti pemimpin non-muslim di ibu kota,dengan mengorbankan sentimen keagamaan pasangan tersebut sukses menggusur gubernur yang memiliki tingkat kepuasan kinerja sebesar 87,2%. Politik berbasis agama ini tidak hanya digunakan oleh Anies Baswendah dan Sandiaga namun juga digunakan pasangan Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni adanya upaya unsur politisasi agama. Selama pilkada banyak pihak yang beranggapan bahwa politisasi indetitas agama,ras,golongan adalah sebatas strategi pasangan Anies-Sandi untuk memenangi kontestasi pilkada DKI Jakarta artinya politisasi identitas hanya untuk menundukkan lawan politik dan menghimpun politik luas dan memenangi pilkada, kontroversi penistaan agama secara signifikan merusak elektabilitas Ahok. Survei terbaru bahwa 57 persen berpendapat Ahok menghujat agama,sehingga banyak berkomitmen akan memilih calon lain yakni Anies Baswendah mantan menteri pendidikan yang dipecat joko widodo, namun Ahok tetap di posisi terdepan karena banyak pemilih yang memilih dia karena catatan prestasinya sebagai gubernur dalam membenahi kerja pemerintah setelah beberapa dekade penuh kekacauan dan korupsi. Anies Baswendah beralih memainkan isu agama dengan harapan memenangkan pemilu, meskipun para analis memperingatkan bahwa taktik yang diambil Anies ini sangat berbahaya dan beresiko mengipasi toleransi yang lebih besar. Ini terlihat dengan adanya kemunduran demokrasi dalam pilkada 2017 kali ini, terjadi kekhawatiran bahwa ketatnya persaingan dapat menyebabkan praktik pembelian suara,perhatian khusus bagi para daerah yang mengalami kemiskinan baik sebelum dan pada hari pemilihan. Ini merupakan kemunduran demokrasi yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh tokok-tokoh politik Pemerintah harus secara terbuka mengatasi masalah ini secara permanen, atau kita semua akan menjadi saksi dari masalah hukum setelah pilkada. Pasca-Soeharto, Ismisasi masyarakat telah makin signifikan selama itu untuk meningkatkan ketaatan masyarakat kepada tuhan,tapi kini kita sekarang melihat fenomena yang berbeda yakni munculnya radikalisme. Selama 4 tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo agenda penegakan hak asasi manusia(HAM) mengalami kemunduran, Prediden Joko Widodo terlalu mementingkan agenda pembangunan ekonomi dengan mengesampingkan agenda penegakan HAM dan DEMOKRASI. Indonesia semula sudah masuk kategori negara dengan demokrasi bebas dan sekarang kembali menjadi separuh bebas, demokrasi di indonesia mengalami penurunan dan kasus lainnya adalah serangan terhadap kelompok-kelompok minoritas baik itu kelompok minoritas agama dan mayoritas misalnya dengan pemenjaraan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja. Memasuki tahun politik 2018, politik mulai memanas sederet drama politik menjadi suguhan kontras bagi masyarakat ditanah air jelang pemilihan kepala daerah atau pilkada,konflik- konflik hingga kampanye hitam mulai bermunculan mewarnai untuk saling menjatuhkan para lawan politiknya,ketakutan akan terulangnya kasus suku,agama,ras dan antar golongan (SARA) seperti yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu ini menjadi tugas bagi aparat kepolisian dan penyelenggara pemilu agar pilkada dapat berjalan dengan baik dan aman Jika pilkada 2018 mengeksploitasi politik identitas,indonesia akan mengalami kemunduran peradaban demokrasi 80 tahun dan kalah dengan generasi sumpah pemuda, karena menurut saya saai ini politik hanya menjadi panggung popularitas dan masyarakat yang memilihseperti di manipulasi. Politik seakan-akan menjadi industri politik,dalam sistem kapitalisme instan akan mengalami sesuatu yang instan dan yang terjebak dalam popularitas SARA akan berdampak jangka panjang bagi masyarakat. Seperti yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta 2017 ketika seorang kepala daerah yang bukan beragama tertentu disinggung mengenai agama dan hal sensitif lainnya,seharusnya ras dan agama harus di pedomani seperti halnya pancasila oleh karena itu demokrasi indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah ini kita jaga dengan tujuan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika masih ada kelompok/pihak yang menggunakan isu identitas (SARA) dalam pemilu maka hal ini dapat dinilai sebagai kemunduran demokrasi Jelang pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 mendatang isu-isu muncul mengenai SARA akan kembali dijadikan alat untuk melemahkan pihak tertentu bahkan mengenai isu partai komunis indonesia(PKI) sudah mulai di wacanakan untuk kepentingan pilihan presiden 2019 mendatang terlebih diera teknologi sehingga sangat memudahkan dalam menyebarkan informasi,pengaruh dari kemudahan teknologi internet membuat proganda dan agistasi dapat dijalankan dengan mudah cepat dan banyak sasaran. Hal ini tentu bisa menyebabkan polarisasi dan konflik sosial dikalangan masyarakat. Belajar dari pilkada DKI Jakarta 2017,kita harus bisa lebih cermat dan waspada terhadap isu- isu SARA yang digunakan dalam pemilu sebagai bahan proganda dan agitasi merusak nilai demokrasi,seharusnya pelaku politik maupun tokoh masyarakat,agama dan elit politik harus menunjukkan komitmen dengan mengajak para masyarakat agar lebih cerdas dalam demokrasi. Isu-isu pemilu harus mengedepankan program kerjs ysng diperuntuhksn bagi seluruh rakyat di indonesia,maka pemilih akan menjadi lebih bebas menyalurkan suarannya tanpa terikat oleh identitas SARA pemerintah juga harus tegas apalagi isu-isu tersebut kembali ada,aparat penegak hukum juga harus bisa mendeteksi sejak dini dan mencegah terhadap hal-hal yang mengarah akan unsur SARA,apabila isu-isu SARA bisa dideteksi dan dicegah minimal pemilu lebih sehat dan berjalan lancar,persatuan dan kesatuan dalam bhinekaan tetap terjaga.

LEGITIMASI DAN TUJUAN NEGARA A. LEGITIMASI NEGARA Negara ialah alasan-alasan yang mendalam memungkinkan pemerintahan negara itu dibangun,didirikan dan diadakan.Legitimasi ialah itu yang menjadikan pendirian suatu pemerintahan bersifat legitim,sah dan benar Plato mengemukakan alasan pembentukan polis (yang memiliki sistem tata hidup bersama seperti negara) untuk pemenuhan kebutuhan,agar para anggotanya berkecukupan Sedangkan menurut Aristoteles mengajukan the good life sebagai pemenuhan kesempurnaan kodrat manusia yang mesti direalisir dalam polis dan Hobbes menunjukan pada pentingnya keamanan yang secara mendasar diperlukan untuk hidup yang sejahtera dan politik harus didirikan lewat suatu kontak sosial,Marx menggagas negara di mana masyarakatnya tidak terkotak-kotak,oleh kelas-kelas menurutnya negara yang baik adalah membangun masyarakat tanpa kelas, dalan pemerintahan suatu negara ada beberapa pengertian legitimasi yang dibedakan secara teoritis namun tidak semua legitimasi memiliki intensitas kewibawaan yang sama,lalu legitimasi yang sah ialah: 1. Legitimasi politik Legitimasi inilah yang membuat suatu negara politik sah,pemerintah yang sah ialah kehadiran seorang filsuf sebagai pemimpin polis.Aristoteles dan Plato mengajukan syarat lemitif dalam suatu pemerintahan kapitas practical wisdom namun ini ditampik oleh Machiavelli, menurutnya pemerintah yang baik ialah dari sendirinnya yaitu pemerintah yang dipimpin oleh penguasa yang tahu membela dan mempertahankan kekuasaanya 2. Legitimasi religius Legitimasi religius muncul dari masyarakat/warga negara yang mengedepankan nilai-nilai agama atau relegiositas sebagai hal yang penting dari tata hidup bersamanya.dalam konteks indonesia legitimasi religius sedikit banyak menempati posisi penting,tetapi tidak mutlak kemutlakan legitimasi religius dapat berakibat pada hancurnya sistem demokrasi secara keseluruhan 3. Legitimasi moral Legitimasi moral meminta kejujuran dan ketulusan dari pemerintah. Walaupun sah secara konstitusional,suatu pemerintah yang respensif dan korup akan kehilangan legitimasi moralnya. Aneka protes akan bermunculan,pembaruan tata kehidupan yang menunjukan pada pembelaan keluhuran manusia juga mencakup perlu dijaminnya kepastian hukum,ditegaskannya perlindungan hak-hak dasar manusia terutama yang lemah,didengarkan jeritannya dan teriakannya,dihargai keprihatinanya dan kepedulian rakyat banyak,dihormatinya keadilan dan partisipasi kehidupan politik, dikedepannya tekad dan kehendak tulus akan perubahan. B. TUJUAN DAN LEGITIMASI NEGARA PANCASILA Seperti Undang-Undang Dasar 1945 menulis tujuan dari legitimasi Negara Indonesia: "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Legitimasi politis/konstitusi,moral,dan bahkan religius tercantum dalam UUD.Legitimasi konstitusi harus tercantum kepada seorang presiden yang dipilih dan diangkat dalam cara- cara sebagaimana digariskan oleh konstitusi,dalam konteks demokrasi kita,sistem pemilihan dan pengangkatan presiden secara konstitusional dilakukan sepenuhnya oleh lembaga tertinggi negara,yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat lewat suatu pemilihan umum.

Kemudian dari yang sudah saya pelajari dan saya ulas kembali dari atas,sebagai mahasiswa saya jadikan ini sebagai pembahasan tugas kuliah FILSAFAT PANCASILA dimana pada pembahasan bab VI tentang LEGITIMASI DAN TUJUAN NEGARA INDONESIA ,dimana telah tercantum bahwa seorang pemimpin hendaknya mempunyai legitimasi konstitusional dan legitimasi moral serta religius yaitu syarat efektivitas dalam memerintah rakyatnya dan berkedudukan sebagai pemimpin namun tidakhanya itu pemerintahan yang baik didukung dengan legitimasi sosiologis,moral,kultural atau bahkan religius itu baru dikatakan negara sah apalagi seorang pemimpin dalam memimpin tidak didasarkan dengan legitimasi maka akan terjadi ketidak serasian,kegagalan dalam memimpin suatu negara sehingga berdampak juga pada rakyatnya, LALU yang perlu ditanyakan disini apa tujuan dari negara sebenanrnya? Seperti yang sudah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tujuan negara indonesia:“melindung seluruh tumpah darah indonesia,memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,ikut serta menjaga ketertibab dunia.” Lalu apa indonesia sudah sesuai dengan hal tersebut mari kita lihat saja dari contoh pilkada DKI Jakarta serta bagaimana para tokoh-tokoh politik dalam menyuarakan kampanyenya,banyak sekali kemunduran demokrasi yang terjadi banyak cara yang dilakukan para tokoh politik dan ricuh yang terjadi ,lalu bagaimana dengan suara masyarakat menyikapi dan sebagai penyalur hak dalam memilih para tokoh politik sebagi pemimpinnya nanti. Masyarakat mengeluh soal kegaduhan ditingkat elite-elite politik mereka kerap membuat kegaduhan, kapan mengurus rakyat kalau hanya kegaduhan saja mau dikemanakan rakyat ini?, dan apakah jakarta sudah demokratis? keinginan masyarakat sangat sederhana yakni ingin diperhatihan ditahun tahun politik ini jangan sampai isu-isu tentang kegaduhan pilkada harus segera dihentikan jangan di isi dengan kegaduhan-kegaduhan oleh elite-elite politik ini, dan demokrasi dijakarta mengalami penurunan banyak mengorbankan demokrasi untuk kepentingan semata,dimana banyak gejala-gejala yang terjadi seperti kebebasan warga yang terancam oleh kelompok warga itu sendiri,peran warga dalam partisipasi politik yang rendah yang masih sekedar formalitas. sebagaimana mestinya seharusnya pemilu ini dapat berjalan dengan baik dimana masyarakat bisa menyalurkan sesuai haknya tanpa adanya tekanan dan ancaman dan sebagai calon pemimpin yang baik hendaknya bisa memimpin rakyatnya sesuai aturan sebagai negara yang demokrasi dan lebih peduli dengan apa itu demokrasi agar negara dapat terjamin keamanan dan kesejahteraannya rakyat, semoga indonesia kedepannya menjadi lebih baik lagi menjunjung tinggi kembali ideologi demokrasi pancasila agar tidak lagi mengalami penurunan demokrasi yang buruk. DAFTAR PUSTAKA 1. https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/20145781/ pilkada.dki.jakarta.dinilai.contoh.kemunduran.demokrasi. 2. https://www.liputan6.com/news/read/2858045/mengupas-pelanggaran-pilkada-dki-2017 3. Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno) 4. Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. 5. Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia). 6. Dewantara, A. W. (2015). PANCASILA SEBAGAI PONDASI PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA. CIVIS, 5(1/Januari). 7. Putri, K. D., & Dewantara, A. (2018). Mulai Punahnya Nilai Kejujuran Dikaji Dengan Buku Diskursus Pancasila Dewasa Ini. 8. Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan Bisnis dengan Studi Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40. 9. DEWANTARA, A. W., Lasiyo, M. A., & Soeprapto, S. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). 10. KEHDUPAN, A. K. Y. T. D., & DI, S. H. TUGAS FILSAFAT PANCASILA.