PERJALANAN PASCAKOLONIAL DALAM “TAMASYA DENGAN PERAHU BUGIS” KARYA ZUBER USMAN

Christopher Allen Woodrich Alumnus Program Studi Sastra Sastra, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan FIB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRACT

During the colonial period journeys were acts of conquest, attempts to create order by limiting the world through which one passed by what could be seen and charted. Postcolonial journeys, however, seek the freedom offered by a delimited environment and use it as a site of resistance against an oppressive power. An early Indonesian example, although by no means the earliest, can be found in ZuberUsman’s “Tamasya dengan Perahu Bugis”. Written in 1943, during the Japanese occupation, the short story details a man’s trip from Surabaya to Makassar. Although it remains presented in colonial terms, the story offers postcolonial techniques, including an emphasis on the journey itself and the possibility of an unending journey, rendering the colonial techniques used a replay of the colonial journey. Through this, the story succeeds in sending a message that the Japanese overlords were unable to completely subjugate the Indonesian people through colonisation: chaos is still possible. Key words : Zuber Usman, Pascakolonial, Perjalanan pascakolonial

1. PENGANTAR di luar dirinya (Upstone, 2009: 57), misalkan penguasa, orang lain, dan alam. Manusia adalah makhluk yang tidak terikat Gerakan menelusuri dunia ini tidak pada suatu tempat tertentu. Berbeda dari selalu membebaskan. Ia juga dapat bersifat pohon atau bunga, manusia tidak membatasi, sebagaimana tampak dalam mempunyai akar fisik yang memaksa dia wacana perjalanan kolonial. Dalam berada dalam tempat tunggal. Ia tinggal melakukan perjalanan kolonial manusia mengangkat kakinya dan berjalan, menuju berusaha untuk membatasi alam di ke tempat yang lebih menyenangkan atau sekitarnya, supaya alam menjadi tempat yang lebih baik. Manusia bebas untuk bergerak ke sudah pasti dan masa depan bisa diprediksi. segala arus, terbatas hanya oleh tenaga Manusia membatasi apa yang ada hanya tubuhnya dan minatnya. Ia bahkan dapat pada yang tampak di mata, pada apa dapat menggunakan alat untuk mengatasi ia petakan.Yang tidak tampak di mata, masalah-masalah yang dihadapi: ia dapat misalkan adat-adat atau nilai-nilai setempat, naik kuda, mobil, pesawat, dan seterusnya, tidak dihiraukan. Sifat asli daerah itu, segala yang masing-masing mempunyai ruang chaos yang terkandung di dalamnya, ditutupi geraknya sendiri. Sebenarnya usaha bergerak, (di-overwriting) oleh suatu model yang atau perjalanan, ini menjadi suatu space menguntungkan penjajah. Dalam perjalanan (ruang) tempat terwujudnya hubungan kolonial manusia juga membatasi diri sendiri. antara subjek manusia dengan faktor-faktor Manusia dianggap memerlukan asal usul

78 Christopher Allen Woodrich – Perjalanan Pascakolonial dalam “Tamasya Dengan Perahu Bugis” .... 79 yang jelas, dengan tujuan yang jelas pula, 2. PEMBAHASAN dengan perjalanan dinomorduakan. Chaos (ketidakteraturan) yang intrinsik pada Pembacaan di lapis atas cerita, yang perjalanan, kemampuan manusia untuk tampak segera di mata, memperlihatkan selalu bergerak, ditutupi seperti halnya sifat suatu perjalanan kolonial. Ia membuat asli daerah yang ditelusuri. perjalanan perahu dari Surabaya melalui Sebaliknya, dalam tulisan pascakolonial Madura, Mas(a)lembu, Kalimantan, hingga usaha membatasi sudah tidak menjadi Makassar. Gaya bahasa mirip dengan catatan persoalan pokok, biarpun bisa terjadi masih perjalanan. Ia mencampurkan gaya bahasa ada bayang-bayang perjalanan kolonial yang turis dengan gaya bahasa nakhoda dalam log ditampilkan ulang (replay) dan disesuaikan book-nya, mencampurkan kontemplasi dan keperluan penulis (Upstone, 2009: 68). dengan detail perjalanan. Narator menyebut Perjalanan semacam ini, menurut Upstone “mulai keluar dari Selat Madura perahu (2009: 59), “mungkin meniru perjalanan berlayar dengan tenang … sehari semalam kolonial yang sebelumnya, tetapi dengan … barulah kami masuk ke Laut Jawa”, dan melakukan hal tersebut akan membongkar beberapa minggu kemudian “di Pulau Laut prinsip-prinsip yang mendasari perjalanan kami hanya sebentar berhenti” (Usman, aslinya”. 1943: 40, 46), dengan jedah-jedah ketika ia Tulisan pascakolonial memusatkan membahas sifat dari perjalanan, bagaimana kemungkinan yang ditawarkan perjalanan “bila … berada di tengah laut, perasaan untuk memunculkan resistensi terhadap persaudaraan lekas terjalin” (Usman, 1943: penguasa (neo)-kolonial dan batas yang telah 40), menyatakan hanya apa yang dilakukan. ditentukannya. Ia mengedepankan chaos, Dalam hal itu narator sangat sehingga keteraturan yang ditawarkan menekankan indra penglihatan, seakan penjajah terbukti sebagai kebohongan, menggunakannya untuk mengetahui dan keteraturan semu belaka. Secara implisit, membatasi apa yang ada. Dalam perjalanan penjajah dinyatakan tidak berkuasa atas “kelihatan kaki bukit yang keputih-putihan” manusia sebagai individu, karena manusia (Usman, 1943: 40), dan narator “memandang masih bisa pergi, masih bisa jalan. Perjalanan keindahan senja” (Usman, 1943: 42). Sesuatu pascakolonial mengindahkan chaos yang yang dilihat kemudian dinamakan dan – merupakan bagian intrinsik darinya dan tidak seringnya – dideskripsikan, sehingga sifat akan pernah berakhir. Upstone (2009: 82) aslinya menjadi kabur di belakang nama menyatakan bahwa sifat tulisan pascakolonial yang terbatas. Pulau Madura “kurang ini paling menonjol dalam tokoh yang subur” (Usman, 1943: 40), sehingga seakan nomadis, yang tidak terikat pada suatu pulau tersebut, dengan semua penduduknya, tempat tertentu dan selalu mengakui tidak layak untuk kehidupan. Rumah-rumah kemungkinan adanya perjalanan sebelum di Pulau Laut “kebanyakan didirikan di tepi dan setelahnya. air bahkan ada kampung di tengah laut yang Berdasarkan pengertian pascakolonial dangkal” (Usman, 1943: 46), sehingga ganjil ini, “Tamasya dengan Perahu Bugis” karya kalau ada rumah Laut yang jauh dari pantai. Zuber Usman (1916–1976) akan dilihat Nama Pulau Laut sendiri membatasinya: ia sebagai tulisan yang menawarkan resistensi bukan Sebuku, bukan Madura, dan bukan terhadap penjajah. Cerpen yang ditulis pada Jawa. Karena itu ia mestinya berbeda, dan tahun 1943 ini, yang menceritakan suatu (mungkin) bisa lebih tinggi atau rendah perjalanan dari Surabaya ke Makassar, akan derajatnya, yang diwujudkan dengan dibuktikan sebagai usaha untuk membongkar pengertian “kita” dan “mereka”. batas-batas yang telah ditentukan oleh pihak Kepastian dalam ukuran dan jarak luar, oleh the other yang tidak mengindahkan seakan menjadi penting untuk narator. segala kemungkinan yang ditawarkan oleh Perahunya “kira-kira muatan 20 ton”, chaos. 80 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2013, hlm. 78-85 sehingga bisa disebut kecil; ada yang Setelah berangkat dari Surabaya, “memuat 40 ton atau lebih” (Usman, 1943: perjalanan narator menjadi tidak teratur. Ia 40), sementara jalanan ada yang “260 km tidak bisa berjalan lurus seperti yang panjangnya” dan ada yang “sampai 650 (m) dimungkinkan di daratan. Perahunya harus tingginya” (Usman, 1943: 49). Dengan bergerak “sebagai jalan ular laut yang menyebut-nyebut ukuran dan jarak, rupa berbelit-belit, berputar-putar di air” (Usman, fisik benda yang disebut semakin dibatasi: 1943: 41), sehingga letaknya di masa depan kenyataan bahwa jalanan tidak lurus, tidak dapat ditentukan. Kecepatan perahu sehingga jarak yang disebut tidak benar, atau pun tidak tetap, sehingga waktu mendaratnya bahwa muatan dapat bertambah dan perahu tidak dapat diketahui dan sifat kaotik berkurang, disembunyikan. Perjalanan waktu muncul. Perahu bisa berhenti, bisa seakan hanya terdiri dari jarak yang bisa maju dengan lancar, atau bisa bergerak dihitung, dan dunia yang bisa dipandang hanya pelan-pelan. Buktinya, setelah tujuh dan dikuasai. hari narator merasa sudah tiba di Namun, perjalanan yang ditawarkan Kalimantan, tetapi sebenarnya baru berada penulis sebenarnya bukan perjalanan di wilayah Pulau Bawean, “belum berapa kolonial yang memerlukan keterbatasan, jauh dari pantai Pulau Jawa” (Usman, sehingga membatasi segala sesuatu yang 1943: 41). berada di sekitarnya. Perjalanan narator Kedua hal ini disebabkan “arah datang yang mirip dengan perjalanan kolonial di angin tiada tetap acap kali … mati, tak atas merupakan suatu replay. Narator berangin sama sekali” (Usman, 1943: 41). menggunakan teknik kolonial untuk Narator dan awak kapal tidak berkuasa atas membongkar sifat kolonial itu sendiri. alam semesta, sama seperti halnya manusia Biarpun ia melihat, ia juga mendengar dan siapa pun – termasuk penjajah. Mereka harus merasa. Ia tidak mengutamakan kepastian hidup di dalam dan bersama ketidakteraturan waktu, hanya menyebut “pagi-pagi sekali” alam, yang tidak menawarkan kepastian. (Usman, 1943: 41) atau “sore” (Usman, Dengan demikian mereka harus menunduk 1943: 41); ia tidak mementingkan jam atau pada keadaan alam, biarpun hal tersebut menit, beda dari seorang nakhoda Barat. tidak nyaman. “Dalam hujan layar tentu tak Replay yang digunakan ini paling menonjol dapat dikembangkan, karena besar bahaya” dengan sifat tokoh utama yang nomad, yang (Usman, 1943: 41), dan dalam keadaan tidak menghiraukan asal ataupun tujuan. tenang “acap kali orang mabuk laut” Titik keberangkatan narator hanya (Usman, 1943: 41). dibahas dalam satu kalimat: “setelah Yang membedakan narator dan awak beberapa hari menunggu di Surabaya, maka kapal dari penjajah adalah reaksi mereka dapatlah saya sebuah perahu yang akan terhadap kenyataan tersebut. Kalau penjajah berangkat ke Makassar (tekanan dari penulis; berusaha untuk menutupi kenyataan tersebut Usman, 1943: 40). Narator hanya menunggudi dengan batas-batas semu yang menawarkan Surabaya beberapa hari, bukan tinggal di kenyamanan (Upstone, 2009: 58–59), narator kota tersebut, sehingga asalnya tidak jelas dan dan awak kapal mengakui bahwa chaos itu – karena tidak disebut – bahkan bisa dianggap ada dan mereka harus menunduk padanya. tidak penting. Titik keberangkatannya hanya Narator mengaku merasa “agaknya seperti disebut dua kali, dan setelah itu tidak awan yang berarak itu pulalah perjalanan didalami, disinggung, atau dirindukan, manusia di dunia ini, dibawa untung dan sehingga tampak bahwa narator bukan takdir ke mana-mana”(Usman, 1943: 42). Ia orang buangan (exile) yang melarikan diri, merayakan chaos, merasa takjub di antara yang selalu memikirkan asal-usulnya. Ia alam semesta. Awak kapal pun menikmati membuat perjalanan bukan karena terpaksa, chaos itu, “sedikit pun tak membayangkan air tetapi karena niat. muka kecemasan” (Usman, 1943: 42). Mereka Christopher Allen Woodrich – Perjalanan Pascakolonial dalam “Tamasya Dengan Perahu Bugis” .... 81 bisa berharap untuk mengerti chaos, tetapi Sekali lagi kelihatan bagaimana narator tidak membatasi atau mengendalikannya. menggunakan bahasa kolonial untuk Meskipun alam penuh chaos yang dapat menjelaskan suasana. Ia mengukur jarak menghambati perjalanan, kenyataan tersebut dengan suatu abstraksi yang terbawa dari tidak bermusuhan dengan manusia. Sebagai penjajah, yaitu kilometer, dan ketinggian nomad, narator dan awak kapal dapat diukur dengan meter. Narator seakan menemukan kebutuhan mereka dalam menguasai bumi, mampu “membagi” dua perjalanan; bahan tidak perlu dibawa dari semenanjung, membatasinya sesuai dengan tempat asal. Di dekat Mas(a)lembu dan kehendaknya. Nama-nama kota dan daerah Mas(a)kambing mereka membeli kelapa, dan disebut-sebut, menamakan fitur geografis di Sebuku mereka mendapatkan kayu untuk tersebut sekaligus membatasinya; ia memperbaiki kapal. Laut sendiri menyediakan dinamakan, sehingga menjadi seakan segala ikan. Biarpun memang narator mengakui kerumitan dan ketidakteraturan yang bahwa manusia memerlukan daratan – terkandung di dalamnya dapat dijelaskan “hampir dua minggu tak mandi” (Usman, dengan satu kata saja. 1943: 43) selama di kapal – ia masih bisa Namun, bahasa kolonial ini telah lepas darat dan menemukan hal-hal yang menjadi milik penulis. Ia digunakan bukan diperlukan dalam perjalanan. dengan tujuan membatasi apa yang ada, Pada akhir cerita, kenyataan bahwa menciptakan peta yang absolut dan tidak Zuber Usman menawarkan bukan perjalanan berubah, melainkan untuk memperlihatkan kolonial, melainkan menggunakan teknik ketidakterbatasan yang nyata. Narator replay untuk membongkar gagasan kolonial, beranggapan bahwa Makassar hanyalah menjadi semakin jelas. Kalau suatu tulisan tujuan sementara dan, sebenarnya, seluruh kolonial akan berakhir dengan tibanya Sulawesi dapat dilihat, jika ia niat. Jalanan narator atau tokoh utama pada tujuan, yang dapat ditempuh tidak hanya satu, narator dalam “Tamasya dengan Kapal tetapi banyak, sehingga cara melakukan Bugis” tidak menjadikan Makassar sebagai perjalanan juga tidak dibatasi. Selain tujuan terakhir, sehingga ia juga tidak bisa bercabang-cabang, jalanan ini bukan satu dikatakan sebagai seorang migran. Setelah arah. Narator selalu dapat kembali ke tiba di Makassar, ia dapat: Makassar, atau ke Pare-Pare, atau ke tempat lain. Memang narator mempunyai “… menuju ke Majene atau Mamju lebih kepentingan di Makassar, tetapi ini tidak kurang 260 km panjangnya. Kalau kita berarti ia dibatasi oleh kota tersebut: ia selalu masuk dari Pare-Pare menuju ke bisa pergi. Karena digunakan untuk tujuan Watampone kita membagi dua yang tidak sesuai dengan kepentingan semenanjung itu, yaitu melalui Tanah kolonial, sekali lagi bahasa kolonial di sini Wajo dan Kerajaan Watansoppeng. menjadi semacam parodi yang terkandung Dari Bone kita boleh pula mengedari dalam replay. pantainya yang sebelah timur, Replay yang dijelaskan di atas sepanjang Teluk Bone, melalui menawarkan suatu resistensi terhadap Bulukumba, Sungguminasa, sampai keteraturan yang ditawarkan pihak kolonial, ke Makasar kembali. Dari Tanah Wajo menolak pengertian alam semesta sebagai orang dapat kendaraan ke Palopo, sesuatu yang dapat dikontrol serta perlunya Masamba, terus ke Malili. Dan dari suatu tujuan yang mutlak. Narator tidak lagi Palopo masuk ke Tanah Toraja, berharap untuk membatasi alam, tetapi sadar melalui jalan pegunungan yang sampai bahwa ia tergantung pada alam. Ia tidak 650 (m) tingginya. Setelah melalui mementingkan titik keberangkatannya, Rantepao, Makale, Kalosi, Enrekang Surabaya, lagi, dan tidak melihat tujuannya kita sampai pula kembali ke Pare-Pare sebagai titik akhir; ia menjadi nomad, yang (Usman, 1943: 49).” 82 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2013, hlm. 78-85 tidak diikat pada suatu tempat tertentu dan melanggarnya dipenjarakan. Kalaupun selalu bisa menemukan jalan baru, tujuan orang Indonesia diberi kebebasan lebih baru. Meskipun narator menggunakan gaya banyak dari periode Belanda, itu hanya bahasa penjajah, ia bukan penjajah; ia adalah kebebasan semu.1 Biarpun kaum-kaum orang yang senang hidup di tengah tertentu bebas bergerak, mereka tetap berada ketidakteraturan, yang memungkinkan dia di bawah ancaman penjajah. untuk terus berkembang. Saat masyarakat Indonesia menyadari Pengertian cerpen yang ditawarkan keberadaan mereka bukan menjadi “adik” sejauh ini memunculkan suatu pertanyaan Jepang, melainkan budaknya, terjadi lagi, yang harus dijawab untuk memahami resistensi. Dalam bidang fisik, terjadi maksud pengarang dalam menulis “Tamasya pemberontakan. Ada masyarakat (bahkan dengan Kapal Bugis”: keteraturan siapa yang orang yang pernah mendapatkan latihan ditolak? Untuk mengetahui hal itu, yang militer dari Jepang, seperti Soeprijadi) yang memang tidak disebut dalam cerita ini, situasi mengangkat senjata dan berusaha untuk sosio-politik di Indonesia sekitar tahun 1943, membunuh pasukan Jepang. Ada yang ketika cerita ini dikarang, harus dilihat. mengurungkan diri dan tidak berurusan Pada awal tahun 1942, pasukan dari dengan penjajah, menjauhi diri dari kekaisaran Jepang berhasil menggulingkan masyarakat kota seperti Oerip Soemohardjo penjajah Belanda di Hindia-Belanda dalam (Imran, 1983: 58, 71). Ada pula orang-orang, waktu yang singkat, hanya dua bulan, dan seperti orang keturunan Cina yang pada saat pada akhirnya menggulingkan bangsa itu tengah dibasmikan Jepang, yang Belanda yang sudah hampir 350 tahun melarikan diri dan bersembunyi di hutan. menjajah Nusantara. Pada awalnya penjajah Ada pula yang melakukan resistensi dengan menyatakan bahwa mereka hendak menjadi menulis. Kami, Perempuan karya Armijn Pane, bagaikan kakak untuk orang di Nusantara, misalnya, ditulis untuk memperingatkan seakan menawarkan kesempatan untuk masyarakat bahwa pasukan Pembela Tanah resistensi terhadap Belanda; mereka juga Air (PETA) bukan untuk kepentingan menyajikan suatu identitas baru, identitas Indonesia (Woodrich, 2012: 1). HB Jassin Nusantara sebagai bagian dari Asia Raya. telah mengumpulkan sejumlah karya yang Orang Indonesia pada umumnya menerima ditulis (tetapi belum tentu diterbitkan) pernyataan tersebut secara bulat, dan dengan selama pendudukan Jepang, termasuk penuh semangat menerima bangsa Jepang sebuah naskah drama Amal Hamzah yang (Ricklefs, 1993: 195). secara eksplisit menghantam orang Indonesia Namun, dalam waktu singkat terbukti yang berkolusi dengan Jepang (Jassin, 1993). bahwa bangsa Jepang bukanlah pembebas, Jepang menghadapi segala usaha tetapi pencipta batas baru. Ada tindakan resistensi eksplisit dengan kekerasan dan yang dinyatakan sebagai usaha untuk pembatasan lain terhadap individu atau menghapus jejak penjajah tetapi sebenarnya kelompok yang melawan mereka. Soeprijadi juga bersifat membatasi, di antara lain dan anggota-anggota satuan PETA-nya melarang penggunaan bahasa Belanda dan dibunuh tanpa diadili, dan kadang-kadang mengambilalihkan perusahaan milik orang keluarga dari pemberontak pun ikut Belanda. Jepang juga meneruskan pembatasan terbunuh. Didirikan pula Badan Propaganda, kebebasan penduduk Nusantara – bahkan yang mengurus (di antara lain) penyensoran dengan usaha yang lebih kejam – dan (Lindsey, 2011: 176). Badan ini menugaskan menciptakan batas-batas baru: kerja paksa anggota militer, yang diberikan julukan dilanjutkandengan nama romusha; wanita- “penasihat militer”, untuk bertugas sebagai wanita pribumi diculik dan ditipu untuk sensor di setiap kantor koran dan majalah melayani kebutuhan seksual prajurit Jepang; (Galpin, 2002). Sastrawan-sastrawan yang media massa disensor dan orang yang terlalu kritis tidak diizinkan menerbitkan Christopher Allen Woodrich – Perjalanan Pascakolonial dalam “Tamasya Dengan Perahu Bugis” .... 83 karya mereka. Idrus, misalnya, susah jalan baru, dengan menggunakan teknologi menerbitkan karyanya pada periode ini; yang tersedia. Ia bahkan menjadi sakit ketika karyanya yang mengkritik pimpinan Jepang terlalu lama dikurung, seperti tokoh orang baru bisa terbit pada tahun 1948, dalam kota yang “lemah … selalu berbaring” kumpulan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke (Usman, 1943: 42). Roma (Balfas, 1976: 88). Ini tidak berarti kebebasan yang Akibatnya, penulis-penulis yang ingin dimiliki orang pribumi itu mutlak. Mereka selamat tetapi tidak rela tidak menerbitkan masih harus menunduk kepada Allah, yang karya mereka terpaksa memuji Jepang atau, memegang nasib mereka, yang diwujudkan setidaknya, menulis tentang hal yang dengan angin. Sebagaimana dijelaskan di kelihatan netral. Beberapa penulis, termasuk atas, angin menjadi kekuatan kaotik yang HB Jassin, Rosihan Anwar, Achdiat Karta mengatur perjalanan mereka. Tanpa angin, Mihardja, dan Usmar Ismail, bahkan narator dan awak kapal tidak dapat menerbitkan karya mereka dalam koran Asia menempuh perjalanan mereka. Mereka harus Raja yang mempropagandakan Jepang menunggu angin yang diberikan Allah, (Mahayana, 2007: 209–215). Walau Zuber walau “berjam-jam perahu tinggal tenang Usman tidak tercatat sebagai kontributor tak beringsut-ingsut” (Usman, 1943: 42). Asia Raja, ia tetap memilih untuk menulis Mereka mengakui kebutuhan mereka akan mengenai topik yang (di lapis atas) kelihatan angin, sudah terbiasa menunggu, dan rela netral; tema yang terdapat dalam menunggu Allah menghadirkan angin. kumpulannya Sepanjang Jalan (dan beberapa Sambil menunggu “beberapa orang asyik cerita lain)termasuk cinta sejati, perjalanan, memancing dengan riangnya” (Usman, 1943: dan kerja keras. 47). Ketika ada angin, mereka yakin bahwa Namun, sebagaimana diperlihatkan di Allah telah menolong mereka: nasib mereka atas, cerita pendek “Tamasya dengan Perahu sepenuhnya mereka relakan kepada Allah, Bugis” tetap merupakan resistensi terhadap dan mereka pun sudi menerima utusan-Nya. batas-batas yang diterapkan pada masyarakat Biarpun orang pribumi masih harus Nusantara selama pendudukan Jepang. menunduk kepada Yang Mahakuasa, manusia Meskipun penjajah itu tidak disebut-sebut pribumi tidaklah menghamba kepada dalam cerpen, ia masih menjadi semacam manusia lain. Dalam “Tamasya dengan “hantu” yang menakutkan di belakang cerita. Perahu Bugis”, sifat dominan penjajah Jepang Resistensi tersebut sengaja disembunyikan di dipertanyakan. Suku pribumi, misalnya, belakang tulisan yang bergaya perjalanan dianggap sebagai “adik” dari Jepang karena kolonial, mengingat penyensoran yang teknologinya kurang canggih dan belum diterapkan penjajah. Dengan memahami memiliki kedaulatan. Namun, “bila sekalian usaha replay yang dilakukan Zuber Usman layar [perahu] mendapat angin yang baik, melalui tokoh nomad yang tidak memusatkan rasanya kecepatannya tak berapa kalah oleh asal ataupun tujuan, subteks cerpen ini telah kapal biasa” sehingga “sebelum ada kapal api, dijelaskan. perahu layar orang Bugis telah menghubungkan Zuber Usman menentang batas-batas seluruh kepulauan Indonesia” (Usman, 1943: yang diterapkan Jepang dan memusatkan 44), bahkan sampai ke Arab. Teknologi jiwa individu dan alam, yang pada canggih seperti kapal api yang dibawakan hakikatnya tidak terbatas. Orang pribumi Jepang untuk menguasai Nusantara di Nusantara, yang memang berkaitan erat bawah naungan Asia Raya tidak diperlukan dengan budaya nelayan dan berlayar, dapat oleh orang pribumi. Suku Bugis sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menyatukan kepulauan-kepulauan itu dari pulau yang satu ke pulau yang lain atau dengan kapal layar, dan bahkan bisa bahkan terus berada di kapal. Ia selalu bebas meninggalkan wilayah Nusantara. Status untuk mencari jalan alternatif atau membuka quo, dengan “kakak” Jepang yang lebih hebat, 84 Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2013, hlm. 78-85 dirobohkan.Teknologi, sekaligus kedudukan, menekankan ketidakteraturan perjalanan mereka dijadikan lebih rendah daripada dan sifatnya yang tidak pernah berakhir. teknologi perjalanan pribumi. Secara implisit ia menolak batas yang ditentukan manusia – biarpun batas dari Allah masih diakui – sehingga penjajah 3. SIMPULAN Jepang dinilai sebagai pihak yang tidak berhakmembatasi orang Nusantara. Bahkan Dalam menulis suatu karya sastra, kedudukan Jepang sebagai “kakak” yang pengarang tidak perlu menunduk pada superior dipertanyakan, dengan mengingatkan penguasa politik yang dominan pada waktu pembaca pada perjalanan yang pernah tertentu. Ia bisa menentangnya, dengan halus terjadi sebelumnya. atau kasar, secara implisit maupun eksplisit. Zuber Usman bukanlah satu-satunya Dalam situasi kolonial, di mana pertentangan penulis Indonesia yang menggunakan tema eksplisit dapat dikenakan sensor dan perjalanan, baik yang menulis sebelum atau pengarang dipenjarakan atau dibunuh, setelah kemerdekaan diperoleh pada tahun resistensi masih dapat dimunculkan, antara 1949. Sewaktu Belanda masih menjajah lain dengan menceritakan suatu perjalanan. Nusantara, Hamka dan Adinegorosudah Perjalanan tersebut meniru cara orang memusatkan perjalanan melalui karya kolonial bepergian, seakan membatasi segala mereka Merantau ke Deli dan Merantau. yang dilihatnya, tetapi sebenarnya justru Setelah kemerdekaan muncul karya Nh. Dini menggarisbawahi bahwa manusia dan alam dan MochtarLubis seperti Keberangkatan dan tidak dapat dibatasi, selalu mengandung Harimau! Harimau! yang menunjukkan kemungkinan untuk perubahan. perjalanan sebagai sesuatu yang penuh Dalam cerpennya yang berjudul percobaan, yang bahkan membahayakan. “Tamasya dengan Kapal Bugis”, Zuber Dengan memahami perjalanan sebagai Usman telah melakukan replay terhadap tempat resistensi, karya-karya semacam ini perjalanan kolonial. Ia membuka cerpennya dapat dibedah sebagai penolakan terhadap sebagaimana halnya naskah kolonial yang batas-batas yang diciptakan penguasa, baik memusatkan penglihatan dan pengartian penguasa asing maupun orang Indonesia. segala sesuatu yang dijumpainya, lalu Perjalanan terus menawarkan resistensi bagi membongkar pengertian itu dengan penulis Indonesia, bahkan setelah penjajahan secara resmi telah berakhir.

DAFTAR PUSTAKA Imran, Amrin.1983. UripSumohardjo. Departemen Pendidikan dan Budaya: Balfas, Muhammad. 1976. “Modern . in Brief”, dalam Jassin, H.B. 1993. Kesusastraan Indonesia di L. F., Brakel(ed) Handbuch der Masa Jepang. : Jakarta. Orientalistik. Vol. 1. E. J. Brill: Leiden. Lindsey, Jennifer. 2011. “Media and Morality: Hal. 41–117. Pornography Post-Suharto”, dalam Galpin , Richard. “Indonesian Media’s Krishna Sen dan David T. Hill (eds) Censorship Fears.” BBC News [London] Politics and the Media in 21st Century 24 Sep 2002, n. pag. Web. 22 Dec. 2012. Indonesia: Decade of Democracy. . Diarsipkan di Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas . Jakarta. Christopher Allen Woodrich – Perjalanan Pascakolonial dalam “Tamasya Dengan Perahu Bugis” .... 85

Ricklefs, M. C. 1993. A History of Modern Usman, Zuber. 1943. “Tamasya di Perahu Indonesia since c. 1300. Edisi Kedua. Bugis”, dalam Sepanjang Jalan (dan Stanford University Press: Stanford. beberapa cerita lain). 2004 (1953). Balai Upstone, Sara.2009. Spatial Politics in the Pustaka: Jakarta. Hal. 40–48. Postcolonial Novel. Ashgate Publishing: Woodrich, Chris. “Nilai Nasionalisme Surrey. yang Terkandung dalam Kami, Perempuan karya Armijn Pane: Kajian Pascakolonial” (belum diterbitkan).