JURNAL ADHIKARI Published By Citra Institute Website Jurnal : https://www.jurnal-adhikari.id

NETRALITAS TNI PADA PEMILU 2019 DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER

Yusa’ Farchan Universitas Sutomo, Serang, Banten *)email: [email protected]

Paper Accepted: 02 Juli 2021 ABSTRAK Paper Reviewed: 03-10 Juli 2021 Paper Edited: 11-17 Juli 2021 Paper Approved: 18 Juli 2021 Kehadiran purnawirawan TNI dalam momentum pemilihan umum menimbulkan kekhawatiran akan terseretnya institusi TNI dalam arena politik praktis. Tulisan ini mengkaji netralitas TNI pada pemilu 2019 dalam perspektif hubungan sipil-militer. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data berdasarkan studi pustaka. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa institusi TNI semakin mengukuhkan dirinya untuk tidak turut serta dalam proses pemilu melalui konsep Netralitas TNI. Meskipun para purnawirawan TNI banyak yang masuk dalam gelanggang politik, tetapi kekhawatiran akan terseretnya TNI secara kelembagaan tidak terbukti. Dari perspektif elektoral, penggalangan suara di lingkungan keluarga besar TNI pada pemilu 2019 tidak terlalu besar dampaknya. Meski demikian, dalam hal membentuk persepsi publik, harus diakui bahwa hadirnya purnawirawan dapat memberikan persepsi publik positif sehingga bisa mendongkrak perolehan suara pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden. Realitas politik juga menunjukkan bahwa politik purnawirawan TNI bersifat diaspora, di mana suara politisi purnawirawan tidak bersifat homogen, melainkan tersebar di berbagai kekuatan politik yang ada.

Kata Kunci: Netralitas TNI, Reformasi TNI, Purnawirawan TNI

PENDAHULUAN Angkatan Bersenjata Republik (ABRI). Hubungan sipil-militer masih menjadi Pada periode ABRI era salah satu isu politik penting di Indonesia. Orde Baru, tentara ditempatkan pada Ini dapat ditengarai dari besarnya posisi yang vital dalam politik Indonesia, perhatian publik terhadap militer dalam seperti sebagai anggota legislatif pada konteks perkembangan politik secara Fraksi ABRI di Dewan Perwakilan nasional. Gerakan Reformasi 1998 di Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia menghasilkan reformasi (DPR/MPR) dan Dewan Perwakilan internal Tentara Nasional Indonesia tahun Rakyat Daerah (DPRD), pejabat 1999 (reformasi TNI). Reformasi ini administratif birokrasi non militer, bentuknya adalah proses penarikan diri petinggi Badan Usaha Milik Negara institusi militer dari politik (military (BUMN), kepala desa sampai pejabat withdrawal from politics), dengan kepala daerah yang juga sering diduduki dilakukannya penghapusan Dwifungsi

Jurnal Adhikari | Volume 1 Nomor 01 | Juli 2021 | Page: 42-51 tentara dinas aktif atau purnawirawan tidaklah menyeret institusi ataupun militer, (Arie S. Soesilo, 2014: 196). prajurit aktif untuk memasuki wilayah Reformasi TNI pada tahun 1999, politik dengan memberikan dukungan telah menunjukkan terselesaikannya hal- politik terhadap partai politik tertentu atau hal yang paling penting yaitu penanggalan pasangan tertentu. Reformasi TNI dalam Dwifungsi ABRI, dengan wujud bingkai dan semangat netralitas cenderung implementasi melepaskan peran sosial dipertanyakan karena munculnya politik TNI. Dengan demikian, TNI tidak kecenderungan purnawiratan TNI akan lagi melibatkan diri dalam politik partisan menyeret prajurit yang berada dalam sebagai bagian dari Golongan Karya status dinas aktif, dan juga institusi TNI (), melikuidasi Fraksi TNI/Polri di masuk ke dalam arena politik. MPR, DPR dan DPRD, serta Kita bisa menyaksikan ketika menuju menanggalkan doktrin kekaryaan dengan Pilpres 2014 dan 2019 lalu, saat pilihan tidak lagi menempatkan prajurit aktif TNI politik menyempit menjadi dua pasangan dalam jabatan sipil, (Agus Widjojo, 2015: calon, yakni antara pasangan Prabowo xvi). Subianto-Hatta Radjasa dan/atau Penghapusan doktrin ini telah - dan mendorong tentara meninggalkan posisi - dan/atau Joko dan peran politik formalnya. Meski militer Widodo-KH. Ma’ruf Amin. Antara tidak menjadi unsur dominan dalam Jokowi dan Prabowo Subianto saat itu politik Indonesia pasca reformasi, tetapi (2019) terjadi rematch (pertarungan ulang). militer masih dianggap merupakan unsur Dengan kondisi pertarungan head to head yang tidak dapat diabaikan. Hal ini secara dalam Pilpres ini, mau tidak mau jelas dapat diamati dari fenomena melahirkan norma the winner takes all atau masuknya purnawirawan TNI ke ranah siapa yang mendapatkan angka lebih maka politik seperti memilih jalan masuk partai dialah yang menang (the first passes the post). politik (parpol), (TB Massa Djafar, 2015). Konsekuensinya, semua kekuatan Dengan penghapusan doktrin dwi pendukung berusaha sekuat mungkin fungsi ABRI, bentuk relasi sipil dan untuk memenangkan tokoh yang militer yang baru di era reformasi didukungnya. menempatkan militer di bawah supremasi Kekuatan politik yang tergambarkan sipil. Jika supremasi sipil dipandang dalam institusi TNI, masih sering dibujuk, sebagai suatu doktrin politik, sejauh ini diperhitungkan dan “digoda” dalam tentu saja supremasi sipil masih diragukan politik praktis, seperti pada Pilpres sepenuhnya telah menggantikan maupun pada masa pemerintahan “dwifungsi,” (Yuddy Chrisnandi, 2007). Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Ini ditunjukkan dengan membanjirnya periode pertama (2014-2019) dan periode purnawirawan TNI dalam ranah politik. kedua (2019-2024). Dengan proses politik yang begitu Presiden Jokowi selain memperoleh keras, Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dukungan dari kekuatan politik dengan 2019 lalu telah menghadirkan “perang berbagai unsur, seperti dari partainya bintang” dari para jenderal, meskipun sendiri yakni Partai Demokrasi Indonesia pada pilpres sebelumnya (Pilpres 2004 dan Perjuangan (PDI Perjuangan) dan juga 2009), fenomena ini juga telah kekuatan partai pendukung lainnya seperti mengemuka tetapi tidak terlalu terbuka Partai Nasdem, Partai Kebangkitan seperti Pilpres 2014 dan 2019. Bangsa (PKB), juga didukung oleh Bahkan, Pilpres 2014 dan 2019 lalu purnawiran-purnawirawan TNI. Bahkan, telah membuktikan bahwa purnawirawan institusi militer menjadi bagian dari TNI bukanlah sebuah entitas kepentingan kekuatan politik di pemerintahannya yang satu melainkan heterogen. Realitas dengan bergabungnya berbagai Pilpres 2014 dan 2019 juga menunjukkan purnawirawan dalam kabinet kerja dan bahwa mereka telah memiliki keyakinan juga sebagai Dewan Pertimbangan ideologinya masing-masing, meski telah Presiden (Wantimpres) yang dibentuk dipersyaratkan agar Purnawirawan TNI oleh Jokowi pada 2014 lalu.

43 | Farchan, Yusa’, et.all. Netralitas TNI pada Pemilu 2019 Dalam Perspektif Hubungan Sipil dan Militer Dukungan purnawirawan terhadap Jokowi berbeda dengan yang penulis lakukan, juga tetap tinggi dalam Pilpres 2019 lalu. sebab yang ditulis oleh Yuddy Fenomena tersebut menyembulkan menjelaskan mengenai perjalanan dari pertanyaan, Apakah keterlibatan reformasi TNI. Purnawirawan TNI pada Pilpres 2019 Penulisan penelitian yang penulis mempengaruhi netralitas institusi TNI? lakukan merupakan hal baru bahwa bahan Bagaimana implementasi hubungan sipil- penelitian atau obyek penelitian adalah militer dalam perspektif eksistensi Institusi TNI, dengan unit analisisnya purnawirawan TNI pada politik elektoral adalah mengenai netralitas TNI dalam di Pemilu 2019? Penulisan ini ingin Pilpres 2019. Dengan penelitian ini menguraikan peranan Purnawirawan TNI diharapkan akan menjelaskan mengenai dalam Pilpres 2019 terhadap Netralitas perkembangan hubungan sipil-militer di TNI. era Reformasi ini. Tinjauan Pustaka Hal mendasar lainnya adalah Merujuk terhadap penafsiran penulisan penelitian ini ingin menjelaskan Suharsimi Arikunto bahwa pilihan topik keterhubungan dan keterpisahan antara penelitian memerlukan legitimasi sehingga dua hal yakni, Netralitas TNI dalam diperlukan berupa studi pendahuluan bentuk suatu institusi dan keterlibatan (tinjauan pustaka), (Suharsimi Arikunto, Purnawirawan TNI dalam politik praktis, 2002: 38-42). Studi pendahuluan melalui kajian mengenai Pilpres 2019 lalu, dilakukan untuk mengetahui dan dengan harapan penelitian ini akan memetakan kajian-kajian yang pernah menjelaskan mengenai hubungan sipil- dilakukan oleh penulis/peneliti lain pada militer dalam era pasca reformasi. topik yang sama dengan usulan penelitian yang sedang penulis susun. Dari proses METODE PENELITIAN tinjauan pustaka selanjutnya akan membantu penelitian ini untuk dapat Penelitian ini menggunakan metode menentukan, apakah menolak atau kualitatif dengan teknik pengumpulan mendukung – sebagian atau semua – data melalui studi pustaka. Studi Pustaka kajian sebelumnya atau mengambil posisi adalah teknik pengumpulan data dengan berbeda sama sekali. Tentu saja, tinjauan mengadakan studi penelaahaan terhadap pustaka penting untuk penelitian dalam buku-buku, literatur-literatur, catatan- penulisan ini karena sebagai sumber ide catatan, dan laporan-laporan yang ada atau inspirasi, dan memperjelas penelitian. hubungannya dengan masalah yang akan Setelah penulis melakukan tinjauan dipecahkan. Teknik ini digunakan untuk pustaka, penelitian yang sejenis dengan memperoleh dasar-dasar dan pendapat penulisan penelitian ini adalah: Pertama, secara tertulis yang dilakukan dengan cara penelitian yang dilakukan oleh Arie S. mempelajari berbagai literatur yang Soesilo, tahun 2014, yang uraiannya berhubungan dengan masalah yang dijelaskan dalam Jurnal Sosiologi, Vol. 19, diteliti, (M. Nazir, 2003: 93). No. 2, Juli 2014, berjudul: “Jaringan Setelah teknik pengumpulan data Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dilakukan, maka data tersebut akan diolah, dalam Politik Relasi Sipil-Militer Pasca dianalisa, dan dilakukan interpretasi data, Reformasi TNI.” Tentu saja penelitian ini sehingga akan menghasilkan suatu temuan berbeda dengan penelitian yang penulis dengan pengupayaan dihasilkannya lakukan, disebabkan dalam penelitian ini kebaruan riset (novelty), disamping hasil hanya mengungkapkan proses masuknya penelitian yang dihasilkan untuk purnawirawan TNI ke dalam politik menjawab pertanyaan yang diajukan, praktis dan kinerjanya di dalam arena (Haris Hardiansyah, 2010; Sanipah Faisal politik. 2008). Kedua, karya dari Yuddy Chrisnandi, “Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,” LP3ES: 2005. Kajian Yuddy Chrisnandi lakukan juga

Jurnal Adikari | Volume 1 Nomor 1 | Juli 2021 | 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Intervensi militer dalam kehidupan politik dapat dicegah melalui semangat a. Konsep Hubungan Sipil dan profesionalisme. Begitu pula intervensi Militer sipil ke dalam masalah teknis militer dapat Netral diartikan tidak memihak, tidak dihindari melalui pemahaman terhadap mempunyai muatan politis, dan berdiri di tugas militer, (Yuddy Chrisnandi, 2005: tengah sebagai wasit sehingga makna ini 28). menunjukkan menempatkan TNI sebagai penjaga, sebagai pemantau, siaga b. Pasca Kejatuhan Presiden mengamankan, dan bersikap seadil- Soeharto adilnya. Netralitas TNI merupakan Pada masa pemerintahan Soeharto, amanat dalam pelaksanakan reformasi militer menjadi kekuatan politik andalan. internal TNI sesuai Undang-Undang RI Militer dengan dwifungsi-nya, dapat Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yaitu dianggap sebagai pokok persoalan yang TNI bersikap Netral dalam kehidupan menghambat perkembangan demokrasi. politik dan tidak melibatkan diri pada Bahkan, militer dipandang sebagai kegiatan politik praktis, (Deny Yanuar, lembaga pendukung status-quo yang anti 2017: 38). perubahan. Pandangan yang berkembang Netralitas TNI tak bisa dilepaskan luas seperti itu didasari oleh dominasi dari mundurnya militer dari politik. keterlibatan militer dalam kehidupan Maniruzzaman menjelaskan, mundurnya politik Indonesia sepanjang Orde Baru. militer dari politik dibedakan berdasarkan Dwifungsi ABRI, yang menempatkan pola dan profesionalitasnya. Jika militer menjadi kekuatan sosial politik, berdasarkan polanya, Maniruzzaman telah membenarkan berbagai tindakan mengklasifikasikan proses mundurnya atau intervensi militer ke dalam persoalan militer dari politik menjadi lima bentuk politik. Masyarakat meyakini, pada era sebagai berikut: Pertama, kembali ke Orde Baru, setiap keputusan politik barak secara terjadwal dan terencana, senantiasa mengikutsertakan militer dalam segera setelah dilangsungkannya pemilu; proses kebijakannya. Hal tersebut Kedua, kembali ke barak secara mendadak memunculkan kritik dan kecaman setelah menyerahkan kekuasaan pada kalangan sipil terhadap militer sebelum pemerintah sipil; Ketiga, kembali ke barak dan pada era reformasi, yang ditandai oleh lewat revolusi sosial; Keempat, kembali ke gugatan maupun tuntutan dan barak lewat pemberontakan massal; dan penghapusan Dwifungsi ABRI, dan Kelima, kembali ke barak karena invansi desakan untuk militer kembali ke barak, atau intervensi negara asing. (Yuddy Chrisnandi, 2005: 1-2). Adapun berdasarkan Berdasarkan desakan masyarakat, profesionalitasnya, Maniruzzaman akhirnya dengan kesadaran sendiri militer membedakan antara: Pertama, mundur melalui reformasi TNI, merealisasi secara profesional; dan Kedua, mundur keinginan masyarakat untuk tidak secara tidak profesional. Tentara berpolitik dengan penghapusan Dwifungsi profesional keluar dari dunia politik secara ABRI. Desakan ini selaras dengan terencana dan penuh pertimbangan. kesadaran internal militer yang Adapun tentara yang tidak profesional memandang perlunya redefinisi dwifungsi mundur dari politik secara mendadak dan agar tidak didominasi militer di lembaga- tiba-tiba; biasanya beberapa kali terlibat lembaga sipil (kekaryaan ABRI). dalam intervensi dan kembali ke barak Reformasi Internal TNI ini dilaksanakan hanya untuk menunda prospek pada April 1999 dengan penghapusan demiliterisasi politik dalam jangka kekaryaan dan penghapusan doktrin panjang, (Ahmad Yani Basuki, 2014: 137- dwifungsi ABRI pada April 2000, (Yuddy 138). Chrisnandi, 2005: viii). Menurut Elliot A. Cohen, Namun, pengurangan peran militer profesionalisme militer turut menentukan sebagai anggota parlemen tak langsung hubungan sipil-militer yang ideal. dilakukan, sebab awalnya disepakati secara

45 | Farchan, Yusa’, et.all. Netralitas TNI pada Pemilu 2019 Dalam Perspektif Hubungan Sipil dan Militer bertahap, mulanya 100 orang, kemudian pasca reformasi, perannya di balik layar menjadi 75 orang dan pada era reformasi dianggap masih merupakan unsur yang hanya ada 38 orang, (TB Massa Djafar, tidak dapat diabaikan. Hal ini secara jelas 2015: 118-121). Namun ternyata, TNI dapat diamati dari fenomena masuknya lebih cepat menarik fraksinya dari rencana purnawirawan TNI ke ranah politik awal tahun 2009 dan dipercepat menjadi seperti memilih jalan masuk partai politik tahun 2004. Tepatnya keanggotaan dan (parpol), (TB Massa Djafar, 2015: 121). seluruh fungsi legislatif melalui Fraksi Setelah terjadinya reformasi TNI, TNI-Polri di DPR/MPR RI telah berakhir tidak berarti bahwa anggota TNI telah paripurna sejak 30 September 2004, dikekang dari hak politik dipilih, tetapi (Syamsul Maarif, 2011: 208 dan 506). apabila ia bermaksud untuk mencalonkan Pemilihan mempercepat penarikan diri dalam sebuah pemilihan umum TNI dari Senayan dilakukan oleh TNI (pemilu), ia sudah harus menanggalkan secara sukarela sebagai tindakan antisipasi, status dinas aktif anggota TNI, seperti melihat realitas bahwa setelah reformasi dijelaskan dalam Pasal 47 ayat (1) politik dan amandemen Undang-Undang Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Dasar 1945 (UUD 1945), semua lembaga tentang TNI yang menyatakan, “Prajurit legislatif hanya terdiri dari anggota yang hanya dapat menduduki jabatan sipil dipilih (oleh rakyat dalam Pemilu) dan setelah mengundurkan diri atau pensiun tidak memungkinkan bagi keberadaan dari dinas aktif keprajuritan.” anggota yang diangkat. Apabila seandainya Selain membawa dampak positif Fraksi TNI-Polri bertahan melampaui terhadap demokratisasi, perubahan politik tahun 2004, ia akan terkena oleh yang terjadi di kalangan militer dikatakan ketentuan tersebut dan akan dieliminasi juga mengundang sebuah paradoks. Hal keberadaannya dalam lembaga legislatif, ini karena setiap partai politik mencoba (Agus Widjojo, 2015: 367). merekrut elite militer yang sudah pensiun Penghapusan doktrin Dwifungsi untuk ikut berpolitik lewat partai ABRI menjadi salah satu titik penting politiknya masing-masing. Memang di era proses hubungan sipil-militer di era reformasi ini, telah dijelaskan bahwa tidak Reformasi. Pasca Pemerintahan Presiden berarti bahwa anggota TNI telah dikekang Soeharto, militer tidak lagi menjadi dari hak politik dipilih, tetapi apabila kekuatan yang mendominasi hubungan anggota TNI bermaksud untuk sipil-militer. Penarikan TNI dalam mencalonkan diri dalam sebuah pemilu, kehidupan politik melalui Reformasi TNI maka ia sudah harus menanggalkan status dilakukan secara profesional dengan dinas aktif anggota TNI. terencana dan penuh pertimbangan. Perspektif tentara dalam politik Meski begitu, surutnya peran politik adalah perseorangan calon dalam pemilu, militer tidak mempengaruhi realitas dan harus berstatus warga negara sipil objektif bahwa banyak pemimpin politik tidak boleh militer aktif. Di samping itu sipil masih belum percaya diri terhadap adalah seorang purnawirawan TNI, yang sumber daya politik yang mereka miliki, telah menyelesaikan masa dinas aktifnya sehingga secara personal militer masih dan statusnya adalah sebagai warga negara memesona untuk diajak terlibat dalam sipil. Dengan latar belakang ini, kita kehidupan politik praktis, (Yuddy mudah memahami betapa seorang Chrisnandi, 2005: viii-ix). purnawirawan TNI dapat menyalurkan aspirasinya seperti warga negara lainnya, c. Militer Aktif dan Purnawirawan maju sebagai calon dalam pemilu dan TNI menjadi anggota partai politik. Karena Penghapusan doktrin dwifungsi purnawirawan sudah berstatus sipil maka ABRI dan penarikan militer dari Senayan, ia dapat menyalurkan aspirasi politiknya telah mendorong tentara meninggalkan secara bebas, dan cenderung berbeda posisi dan peran politik formalnya. antara satu purnawirawan dengan Namun, meskipun militer tidak menjadi purnawirawan lainnya. unsur dominan dalam politik Indonesia

Jurnal Adikari | Volume 1 Nomor 1 | Juli 2021 | 46

Tabel 1 Perbedaan Anggota TNI (Aktif) dan Purnawirawan TNI

Perbedaan Anggota TNI (Aktif) dan Purnawirawan TNI Militer/TNI Purnawirawan TNI  Militer aktif  Mantan militer aktif  Terikat aturan institusi TNI  Tidak lagi terikat aturan institusi TNI  Telah kembali menjadi sipil atau rakyat  Masih berstatus militer dengan predikat purnawirawan TNI  Memiliki hak memilih dan dipilih

 Tidak memiliki hak memilih dan dipilih Sumber: diolah oleh penulis Di era reformasi, telah terjadi diberikan hak memilihnya mengingat kecenderungan perubahan partai politik belum matangnya pengalaman dan secara kelembagaan dengan hadirnya tanggung jawab demokrasi di kalangan individu dari purnawirawan TNI. Posisi internal militer. Begitu pula dengan hak purnawirawan TNI dalam partai politik dipilih, para perwira mendukung tidak lagi mengerucut pada satu kekuatan kebijakan pimpinan TNI yang hanya partai politik, tetapi lebih menyebar, memperbolehkan para purnawirawan atau bahkan purnawirawan juga turut mereka yang sudah meninggalkan dinas menginisiasi dan memimpin partai politik aktif kemiliteran (pensiun dini) dapat baru. Era multipartai mengubah spektrum menggunakan haknya untuk memilih dan dukungan purnawirawan TNI, dari satu dipilih atau mencalonkan diri dalam partai pada banyak partai. Di samping itu, pemilu, (Yuddy Chrisnandi, 2005: 102, purnawirawan yang sudah berstatus sipil 128-129). berbeda dengan para prajurit TNI yang Meski demikian, tak bisa dipungkiri masih berstatus dinas aktif. Kita tidak bisa bahwa muncul kekhawatiran dari berharap atau memaksakan bahwa para eksistensi purnawirawan TNI yang akan purnawirawan harus kompak dalam menyeret militer secara kelembagaan menyalurkan aspirasi politiknya. Satu hal untuk kembali berpolitik. Pilpres 2014 dan yang dipersyaratkan bagi purnawirawan 2019 lalu, telah membuktikan terjadinya adalah jangan menyeret institusi TNI proses politik yang sangat keras berupa ataupun prajurit aktif secara perseorangan “perang bintang,”. Meskipun fenomena untuk memasuki wilayah politik dengan ini juga terjadi pada Pilpres 2004 dan memberikan dukungan politik. 2009, tetapi fenomena politik tersebut Di samping itu, institusi TNI juga tidak terlalu terbuka seperti pada Pilpres telah melakukan sikap yang tegas yaitu 2014 dan 2019. Yang menghadirkan dengan menolak menggunakan hak purnawirawan TNI, Prabowo Subianto memilih dan dipilihnya dalam pemilihan sebagai Calon Presiden. umum. Sikap ini dilatari oleh pandangan dari kalangan militer bahwa penggunaan d. Menyoal Perang Bintang dan hak memilih dan dipilih bagi prajurit yang Netralitas TNI belum purnawirawan dapat Hubungan antara partai politik secara membahayakan keutuhan lembaga militer institusional dengan individual sendiri. Para prajurit dikhawatirkan akan (purnawirawan TNI) telah mengalami menjadi objek tarik menarik kepentingan perubahan di era reformasi. Posisi dari berbagai kekuatan politik yang purnawirawan TNI dalam partai politik membutuhkan dukungan militer. Bila hal tidak lagi mengerucut pada satu kekuatan itu terjadi, dikhawatirkan militer akan partai politik yakni Golkar seperti di masa terpecah-belah. Para perwira menganggap Orde Baru, tetapi keterlibatan seorang bahwa belum saatnya para prajurit

47 | Farchan, Yusa’, et.all. Netralitas TNI pada Pemilu 2019 Dalam Perspektif Hubungan Sipil dan Militer Purnawirawan TNI dalam politik lebih turut terlibat dalam tim kampanye pun menyebar. secara fair bersaing dengan sesama Pilihan kembali ke sistem multipartai purnawirawan TNI lainnya untuk mengubah spektrum dukungan memenangkan calonnya. Bahkan media purnawirawan TNI, dari satu partai menjuluki hal ini dengan terminologi kepada banyak partai. Purnawirawan TNI “perang bintang,” untuk menunjukkan juga begitu juga dipandang menarik untuk serunya kontestasi antar-purnawirawan dicalonkan sebagai presiden atau wakil Jenderal/Laksamana/Marsekal, (Arie presiden. Selain itu, purnawirawan TNI Soesilo, 2014: 223).

Gambar 1. Figur Kepemimpinan Purnawirawan TNI

Kepentingan Partai Alasan Pemilih:

Politik: • Kapabilitas • Kapabilitas Kepemimpinan Mantan Militer Kepemimpinan TITIK TEMU FIGUR Mantan Militer KEPEMIMPINAN: • Kegagalan • Lemahnya Purnawirawan TNI Kepemimpinan Sipil seperti: Kaderisasi Kepartaian Konflik, Perebutan • Meluaskan Kekuasaan, dan lain-lain Peng aruh Partai • Memperoleh • Pemerintahan Stabil Kekuasaan • Memperkuat Persatuan dan

Kesatuan • Kesejahteraan Rakyat

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Para pemimpin politik sipil sampai Angkatan Laut dan Angkatan Udara. saat ini masih bersandar pada dukungan Deklarasi yang pernah digelar setidaknya purnawirawan TNI untuk memenangkan diikuti sekitar 1.000 purnawirawan yang pertarungan politik. Apa yang terjadi pada dihadiri oleh Antara lain Jenderal TNI Pilpres 2019 juga terjadi pada Pilpres (Purn) , Letjen TNI (Purn) 2004, 2009, dan 2014 terkait terjadinya Suaidi Marasabessy, Jenderal (TNI) “perang bintang.” Pada Pilpres 2019 lalu, Subagyo HS, dan Laksamana TNI (Purn) kekuatan Jokowi yang berasal dari Bernard Kent Sondakh. Bukan hanya Purnawirawan TNI (jenderal bintang kubu Jokowi yang didukung oleh para empat) adalah Moeldoko, Luhut Binsar purnawirawan, kubu Prabowo juga Pandjaitan, KSAL Laksamana (Purn) didukung oleh sejumlah Purnawirawan Marsetio, sedangkan di kubu Prabowo TNI, seperti Jenderal (Purn) Djoko adalah Djoko Santoso, dan Soesilo Santoso, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Bambang Yudhoyono (SBY) yang Edhy Pudjiatno, dan Letjen (Purn) Yunus merupakan Ketua Umum Partai Yosfiah. Ini membuktikan bahwa suara Demokrat sekaligus mantan Presiden purnawirawan masih diperhitungkan Indonesia ke-6. kedua kubu karena mereka yakin Dukungan Purnawirawan TNI juga dukungan tersebut akan berdampak diberikan baik dari Angkatan Darat, positif di Pilpres. Dengan bergabungnya

Jurnal Adikari | Volume 1 Nomor 1 | Juli 2021 | 48 kekuatan purnawirawan TNI, diharapkan d. Prajurit TNI tidak menggunakan akan memberikan efek pendekatan suara hak memilih baik dalam pemilu di lingkungan keluarga besar TNI. maupun dalam pilkada. Menjaga netralitas di antara e. Khusus bagi prajurit TNI perang bintang antar kedua kubu di (istri/suami/anak prajurit TNI), Pilpres menyebabkan Panglima TNI hak memilih merupakan hak seringkali mengingatkan untuk mematuhi individu selaku warga negara, Instruksi Panglima TNI Nomor: institusi atau satuan dilarang Ins/1/VIII/2008 tentang Pedoman memberi arahan di dalam Netralitas TNI Dalam Pemilu dan menentukan pelaksanaan dari hak Pilkada. Untuk menjelaskan netralitas tersebut, (Netralitas TNI, 2003, tersebut, disampaikan antara lain tiga poin 132-133). berikut ini: Menyangkut kekhawatiran akan 1. Netralitas TNI merupakan amanah terseretnya institusi TNI dalam netralitas dalam pelaksanaan reformasi internal TNI, Panglima TNI juga mengeluarkan TNI sesuai Undang-Undang RI surat telegram resmi, sejak 2004 lalu. Surat Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Telegram ini umumnya diberikan kepada Adapun pengertian dari Netralitas Pangdam, Pangarmabar, Pangarmatim, TNI sebagai berikut: Pangkoops I dan II. Masuknya Netral: “Tidak berpihak, tidak ikut, Purnawirawan TNI dalam kegiatan politik atau tidak membantu salah satu tentu dikhawatirkan dapat menyeret pihak”. jaringan militer ke dalam politik. Netralitas TNI: “TNI bersikap netral Dari perspektif pendekatan elektoral, dalam kehidupan politik dan tidak penggalangan suara di lingkungan keluarga melibatkan diri pada kegiatan politik besar TNI tampaknya tidak terlalu besar praktis”. dampaknya. Tetapi dalam hal membentuk 2. Prajurit TNI yang akan mengikuti persepsi publik, hadirnya purnawirawan pemilu dan pilkada harus membuat memang dapat memberikan persepsi pernyatan mengundurkan diri dari publik positif sehingga bisa mendongkrak dinas aktif (pensiun) sebelum tahap perolehan suara pasangan calon presiden. pelaksanaan pemilu dan pilkada Inilah arti kehadiran para purnawirawan (berdasarkan Surat Telegram TNI dalam Pilpres. Panglima TNI Nomor Merujuk pada penelitian Arie S. STR/546/2006/ tanggal 22 Agustus Soesilo, masuknya purnawirawan TNI ke 2006). ranah politik disebabkan oleh lemahnya 3. Implementasi (pelaksanaan) Netralitas institusi kepartaian dan inkompetensi TNI dalam Pemilu dan Pilkada, politisi sipil. Politisi sipil mendorong seperti: politisi purnawirawan TNI untuk a. Mengamankan penyelenggaraan menerapkan kapabilitasnya dalam bidang pemilu dan pilkada sesuai dengan militer, seperti penguasaan teritorial, tugas dan fungsi bantuan TNI pengelolaan jaringan, kapabilitas pribadi dan Polri purnawirawan TNI yang bersangkutan, itu b. Netral dengan tidak memihak dan semua dilakukan untuk menggerakkan memberikan dukungan kepada mesin partai politik. Lemahnya salah satu kontestan pemilu dan infrastruktur demokrasi tersebut telah pilkada mendorong purnawirawan TNI untuk c. Satuan/perorangan/fasilitas TNI memanfaatkan keahlian strategi militernya tidak dilibatkan pada rangkaian dalam rutinitas politik (daily politics). Jelas kegiatan pemilu dan pilkada terlihat bahwa yang sebenarnya dalam bentuk apapun di luar “menggoda” purnawirawan TNI untuk tugas dan fungsi TNI menggunakan sumber daya yang dimilikinya adalah institusional kepartaian yang lemah, (Arie Soesilo, 2014: 196-215).

49 | Farchan, Yusa’, et.all. Netralitas TNI pada Pemilu 2019 Dalam Perspektif Hubungan Sipil dan Militer Jadi, dalam menjalankan kinerjanya, demokrasi di Indonesia. Lemahnya sistem politisi purnawirawan TNI menunjukkan kepartaian yang menjadi soko guru kecenderungan untuk mengikuti prosedur demokrasi, utamanya dalam rekrutmen demokrasi. Di samping tentunya, sudah politik menjadi faktor pengundang adanya undang-undang dan berbagai purnawirawan TNI menjadi politisi. peraturan yang menunjukkan peletakkan Kelemahan ini juga disumbang oleh dasar reformasi TNI, dengan juga disertai penerapan sistem kepartaian di Indonesia rasa tanggung jawab panglima TNI yang menerapkan sistem multipartai beserta para komandan di daerah-daerah ekstrem di tengah situasi institusionalisasi atas Netralitas institusi TNI berdasarkan partai politik yang lemah dengan hasil dari refromasi TNI yang telah fragmentasi elite-elite partai yang turut mereka pilih sendiri. menyertainya. Purnawirawan TNI banyak diundang untuk masuk ke ranah politik KESIMPULAN disebabkan oleh lemahnya infrastruktur Reformasi TNI telah menghasilkan tersebut. Hal ini tentu mengakibatkan dua penafsiran terpisah yakni militer aktif tumbuhnya kebutuhan akan elemen dan purnawirawan TNI. Purnawirawan eksternal dalam rangka penggunaan TNI sudah tidak ada saling keterkaitan sumber daya eksternal. secara langsung dengan institusi militer, Tentu, gejala seperti ini tidak bisa bahkan mereka yang telah menjadi dipandang sebagai hal negatif bagi purnawirawan memang sudah memiliki perkembangan relasi sipil-militer yang identitas sipil, atau militer aktif yang telah demokratis. Keinginan partai politik back to barrack. Maksudnya, muncul dua sebagai alat perebut kekuasaan yang sah posisi tegas di mana jika militer ingin untuk mengundang dan melibatkan berpolitik, maka dia telah menyelesaikan politisi purnawirawan TNI dalam Pilpres masa tugas dinasnya dan merupakan juga didasari oleh keinginan sendiri dari purnawirawan TNI, atau memilih untuk purnawirawan TNI. mengajukan pensiun dini, bukan militer aktif. Ini menunjukkan bahwa Reformasi TNI merupakan bentuk dari hubungan DAFTAR PUSTAKA sipil dan militer, dengan bentuk militer Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur kembali ke barak. Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Salah satu kekhawatiran keterlibatan (Edisi Revisi V), : Rineka purnawirawan TNI dalam aktivitas politik Cipta. khususnya pada Pilpres 2019 adalah Basuki, Ahmad Yani, Reformasi TNI: terseretnya institusi TNI ke dalam politik Pola, Profesionalitas, dan praktis. Tetapi, jika kita saksikan, sejak Refungsionalisasi Militer dalam Pilpres 2004 hingga 2019 lalu, institusi Masyarakat, dalam Jurnal Sosiologi, TNI masih menjaga Netralitas TNI, meski Vol. 19, No. 2, Juli 2014, 135-166. selalu terjadi perang “bintang” antar Chrisnandi, Yuddy, (2005), Reformasi purnawirawan TNI Perspektif Baru Hubungan Jenderal/Laksamana/Marsekal. Netralitas Sipil-Militer di Indonesia, Jakarta: TNI juga dapat dilihat dari realitas bahwa LP3ES. politik purnawirawan bersifat diaspora, di ------, (2007), Kesaksian Para Jenderal mana suara politisi purnawirawan tak Sekitar Reformasi Internal dan bersifat homogen, bahkan politisi Profesionalisme TNI, Jakarta: purnawirawan saling membuka aib antar LP3ES, 2006. masing-masing purnawirawan militer demi Djafar, TB Massa, (2015), Krisis Politik mendukung kepentingan perorangan dan dan Proporsi Demokratisasi kelompoknya. Hal ini terlihat dalam Perubahan Politik Orde Baru ke Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Reformasi, Jakarta: Bumi Aksara, Kehadiran purnawirawan TNI di 2015 ranah politik praktis, sebenarnya menggambarkan lemahnya infrastruktur

Jurnal Adikari | Volume 1 Nomor 1 | Juli 2021 | 50 Faisal, Sanipah, (1990), Metodelogi Sosiologi, Vol. 19, No. 2, Juli 2014, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan 195-230. Aplikasi, Malang: YA3 Malang. Wijaya, Callitasia, Dukungan Herdiansyah, Haris, (2010), Metodelogi Purnawirawan TNI ke Kubu Jokowi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu dan Prabowo: Apakah Efektif untuk Sosial, Jakarta: Salemba Humanika. Mendulang Suara, dalam Maarif, Syamsul, (2001), Militer dalam https://www.bbc.com/indonesia/in Parlemen 1960-2004, Jakarta: donesia-47195716, diakses pada 11 Prenada. Juni 2021, Pukul 16:00 WIB. Nazir, M., (2003), Metode Penelitian, Widjojo, Agus, (2015), Transformasi TNI Jakarta: Ghalia Indonesia. Dari Pejuang Kemerdekaan Menuju Peraturan Perundang-Undangan RI Tentara Profesional dalam tentang Partai Politik, Dilengkapi Demokrasi: Pergulatan TNI Instruksi Panglima TNI Nomor: Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Ins/1/VIII/2008 tentang Netralitas Diri, Jakarta: Kata Penerbit, 2015. TNI, Babinkum TNI, 2013. Yanuar, Deni, Militer Pada Pemilu Soesilo, Arie S., Jaringan Purnawirawan Legislatif: Antara Netralitas dan Tentara Nasional Indonesia dalam Profesionalitas, Jurnal Al-Ijtima’i Politik Relasi Sipil-Militer Pasca Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Reformasi TNI, dalam Jurnal Banda Aceh, Vol. 3, No. 1, 2017, 85- 94.

51 | Farchan, Yusa’, et.all. Netralitas TNI pada Pemilu 2019 Dalam Perspektif Hubungan Sipil dan Militer