PELESTARIAN PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH TAREKAT SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

MUSTAQIM NIM: 1112022000007

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M.

LEⅣIBAR PERSETUJUAN PEPIBIR/1BING SKRIPSI

PELESTARIAN PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH TAttKAT

SYATTARIYYAH DI ⅣIINANGKABAU

SKRIPSI

Dittukankepada Fakultas Adab dan HumanioraUniversitas lslamNegcH(UIN)

SyarifHidayatullah Jakarta sebagai Syarat untuk Memperolch Gdar Sttana

Hllmaniora(S.Humm

Olёh:

Mustaqim NIM.1112022000007

Pembimbing

Prof. Dr. Oman .Ⅱum NIP.196908081

PROGRAヽ 任STUDISEJARAⅡ DAN PERADABAN ISLAPI

FAKULTAS ADAB DAN ⅡUⅣりいqIORA UNIVERSITAS ISLtt NEGERI

SYARIF ⅡIDAYATULLAH JAKARTA 〆 1438H/2017R/1 PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang beriuduI PELESTARIAN PENENTUAN Aヽ VAL BULAN HIJRIAH TAREKAT SYATTARIYYAH DI RIINANGKABAU telah dittikan dalanl sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Hull■ aniora UIN Syarif

Hidayatunah Jakalta pada 12 Juli 2017. Skripsi ini telah diterillla sebagai satu syarat untuk nlemperoleh gelar Sattana Hulllaniora(S.Hum)pada PrOgram

Studi Saarah dan Kcbudayaan lslal■ .

Jakafta, 12 Juli2017

Panitia Sidang Munaqasyah

K a, Sekretans lvler

Ho Nurhasan.MA

NIP。 196907241997031001 97504172005012007 Anggota.

I'e nguj i I Penguji II

Prof.Dr.H.Budi Sulistionon M.Hunl Dr.Parlindungan Siregar.Ⅳ I.Ag

NIP。 195410101988031001 NIP.19590115 199403 1002

NIP.196908081996031003 LE■IIBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Narna Mustaqim

NIM ll12022000007

Fakultas Adab dan I‐ Iulnanlora

Jttsan saarah dan Peradaban lslam

Dengan ini saya menyatakanbahwa:

l. Skripsi ini hasil karya asli saya yang diajukan untuk merrrenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah J akarta.

2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ruf$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,28」 uli 2017

Mustaqim ABSTRAK

Mustaqim, nim. 1112022000007, Pelestarian Penentuan Awal Bulan Hijriah Tarekat Syattariyyah Di Minangkabau.

Obyek penelitian yang penulis teliti adalah teks takwim hijriah yang terdapat di beberapa tempat. Penulis mendapatkannya dari naskah yang dimuat di British Library dalam Program EAP (Endangered Archives Programme). Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengikut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau dalam menentukan awal bulan Hijriah. Secara tekstual teks takwim hijriah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau ini menjelaskan dan juga sebagai panduan bagi masyarakat yang menganut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau dalam menentukan awal bulan Hijriah, yang khususnya dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Dalam naskah mengenai takwim Hijriah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau ini terdapat tiga metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan Hijriah yakni metode tahun Ha, Metode Tahun Waw dan juga metode tahun Alif yang menggunakan metode khumusiyyah yang berarti penentuan hari awal bulannya diawali dengan hari Kamis. Naskah yang memuat teks takwim Hijriah ini bagi kalangan Tarekat Syattariyyah di Minangkabau memiliki kedudukan yang penting dimana metode yang tertuang dalam teks tersebut masih digunakan hampir setiap tahun dan turun temurun.

Keywords: Takwim Hijriah, Tarekat Syattariyyah, Minangkabau

iv

KATA PENGANTAR

تسن اهلل الس حوي السحين

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah mencurahkan kasih sayang, kesehatan dan ridho-Nya serta memberikan istiqomah, keikhlasan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul:

“PELESTARIAN PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH TAREKAT

SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU”. Shalawat dan salam kepada Nabi

Muhammad Saw junjungan para umat yang berpikir, di mana mencari sebuah kebenaran dalam sebuah konsep ketuhanan yang telah dikonsep secara rapi dan sistematis untuk umatnya hingga akhir zaman.

Penulis sangat bersyukur atas selesainya tugas akhir untuk jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh. Penulis yakin di dalam penulisan skripsi ini pasti banyak kekurangan di dalam menyelesaikannya. Maka dari itu penulis menyadari dan mempunyai kewajiban untuk menghaturkan permintaan maaf kepada pembaca atas ketidaksempurnaan yang memang itu telah kodrat bagi manusia itu sendiri.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu sebagai ungkapan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

v

2. Prof. Dr. Sukron Kamil selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kepada Pak Nurhasan, MA selaku Ketua Program Studi Sejarah dan

Peradaban Islam dan Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd selaku Sekretaris

Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Pembimbing Akademik dan seluruh Dosen Fakultas Adab dan

Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dosen pembimbing skripsi Prof. Dr. Oman Fathurahman M.Hum yang

telah sabar dan istiqomah dalam membimbing penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi

ayahanda Afif dan ibunda tercinta Erna Megawati yang selalu

memberikan masukan kepada saya untuk selalu semangat dan sabar

dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak lupa mereka selalu mendoakan

saya agar selalu diberikan kesehatan dan waktu luang agar dapat

mengerjakan skripsi ini dengan baik dan benar. Kedua orang tua adalah

sumber inspirasi bagi penulis dalam menjalankan hidup dan

menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada saudara-saudara penulis yang tersayang Fitrinawati, Indrawati

Dewi, Nur Fadriani, Untung Suropati, Gusni, M. Syukri, Mira Warni,

Amnah Sri Kurnia Rahma, dan Putri Ramadhani yang selalu memberikan

vi

semangat dan mendoakan penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi

ini.

8. Kepada Bapak Ardi dan Ibu Fatimah yang telag berjasa dan memberikan

semangat dan sokongan dana kepada penulis sehingga penulis bisa

melanjutkan pendidikan di universitas ini.

9. Kepada Saudara Rais Rahmat yang telah menyemangati penulis dan

memberikan semangat baik moril dan juga telah membiayai uang kuliah

penulis di semester dua lalu, semoga Yang Maha Kuasa memberikan

limpahan rezeki kepadanya.

10. Kepada Rendi Ahmed Setiawan, Imam Maulana, Oktaviondri dan juga

Aprilia Wulandari yang telah memberikan waktu luangnya untuk

menyemangati penulis dan juga pinjaman laptopnya sehingga penulisan

skripsi ini bisa penulis selesaikan.

11. Kepada bapak Arrazi Hasyim, Pak Heru dan juga Pak Adlan Sanur yang

telah memberikan masukan dan data dalam penulisan ini.

12. Kepada Teman-teman KKN Gempar yang juga menyemangati penulis

dalam penulisan skripsi ini

13. Kepada teman-teman Jayatara Pak Arief Wibowo, Anindyajati, Mba

Prita, Mba Rita, Mba Ratna, Mba Lia, Om Salim dan lain-lainnya yang

memberikan banyak masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

14. Dan kepada teman-teman yang penulis tidak dapat sebutkan namanya

satu persatu yang mana selalu memberikan semangat dan motivasi

penulis dalam menyelasaikan karya ilmiah ini.

vii

Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.

Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Jakarta, 28 Juli 2017

Mustaqim

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... ii

LAMPIRAN PERNYATAAN ...... iii

ABSTRAK ...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Permasalahan ...... 6

1. Identifikasi Masalah ...... 6

2. Batasan Masalah ...... 6

3. Rumusan Masalah ...... 7

C. Tujuan dan Manfaat ...... 7

D. Metodologi Penelitian ...... 8

E. Kerangka Teori ...... 10

F. Tinjauan Pustaka ...... 11

G. Sistematika Penulisan ...... 12

BAB II TAREKAT SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU ...... 13

A. Sejarah Tarekat Syattariyyah ...... 13

B. Tarekat Syattariyyah di Minangkabau ...... 18

C. Ibadah Tarekat Syattariyyah ...... 23

ix

BAB III METODE TAKWIM HIJRIAH DALAM DUNIA ISLAM ...... 29

A. Sejarah Takwim Hijriah ...... 29

B. Pengertian Hisab dan Rukyat ...... 31

C. Kedudukan Hisab Rukyat ...... 35

D. Pandangan Terkait Takwim Hijriah ...... 36

BAB IV TAKWIM HIJRIAH DI KALANGAN TAREKAT SYATTARIYYAH

DI MINANGKABAU ...... 38

A. Naskah Tentang Takwim Hijriah ...... 38

B. Metode Takwim Hijriah ...... 42

C. Pelestarian Takwim Hijriyah Syattariyyah Di Minangkabau ...... 51

BAB V PENUTUP ...... 55

A. Kesimpulan ...... 55

B. Saran-saran ...... 56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mendiskusikan tentang Minangkabau berarti membicarakan dua hal yang bersangkutan yaitu membicarakan tentang geografisnya dan etnisnya. Wilayah Minangkabau terbagi atas dua wilayah yang di antaranya wilayah darek (darat, dalam bahasa Indonesia) dan wilayah rantau. Wilayah darek adalah wilayah yang dikelilingi oleh tiga gunung yakni gunung Marapi, gunung Singgalang dan gunung Sago, yang mana wilayah tersebut termasuk wilayah yang tergolong paling subur di Indonesia, atau biasa disebut wilayah pedalaman. Dalam penjelasan Tsuyoshi Kato darek adalah tanah asal dari orang Minangkabau yang menurut sejarah lisannya keturunan dari Raja Iskandar Zulkarnaen.1 Rantau adalah suatu wilayah di Minangkabau yang disebut pada zaman Belanda sebagai Padangsche Benedelanden atau Padang dataran rendah yang berkonsentrasi di wilayah pesisir barat di Sumatera Barat.2

Etnis Minangkabau adalah salah satu dari 140 kelompok etnis yang tersebar lebih dari belasan ribu pulau di Indonesia, yang mana tergolong sebagai etnik terbesar keempat di Indonesia setelah Jawa, Sunda, dan Madura sebelum tahun 1973.3 Menurut data badan statistik tahun 2010 orang Minangkabau turun tiga tingkat dari data yang dikemukakan oleh Tsuyoshi Kato yang menempati urutan

1 Tsuyoshi Kato, Minangkabau dan Merantau Dalam Prespektif Sejarah, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h. 1 2 P. E. De Josselin de Jong, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Stucture in Indonesia, Den Haag: Martinus Nijhoff Uitgeverij, h. 7 3 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau Dalam Prespektif Sejarah, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h. 1

1

2

ketujuh setelah Suku Jawa, Sunda, Batak, Suku-suku asal Sulawesi, Madura, dan Betawi.4

Tempat tinggal utama orang Minangkabau adalah Provinsi Sumatera Barat selain Kabupaten Mentawai, sebagaimana yang disebutkan di atas yakni di daerah darek dan rantau. Islam merupakan agama yang dianut oleh orang Minangkabau.

Islam di Minangkabau menjadi sebuah bagian identitas terpenting dalam kehidupan sosial beragama. Mengenai Islam di Minangkabau banyak ahli yang berpendapat akan kedatangan Islam di daerah ini yang antara lain sebagai berikut:

1. Menurut berita China dari Dinasti Tang menyebutkan ada sekelompok orang Arab yang bermukim di Pesisir Pantai Barat Sumatera pada tahun 647 masehi. Tetapi menurut W. P. Groeneveldt setelah abad ketujuh tersebut berita tentang adanya pemukiman Arab sama sekali tidak ada beritanya lagi.5 2. Islam telah masuk ke Minangkabau pada abad kelima belas yang dihubungkan dengan cerita dari naskah kuno Kerinci tentang Siak Lenih Malin Sabiyatullah yang mengenalkan Islam ke daerah Kerinci.6 3. Islam menurut sejarahnya dibawa oleh saudagar Muslim India yang berasal dari yang dibawa dari pesisir pantai barat menuju ke timur yakni ke pedalaman.7

Di Minangkabau, perkembangan agama Islam banyak melalui jalur tarekat, yang di antaranya Tarekat Naqsyabandiyyah dan Tarekat Syattariyyah yang memiliki proporsi penganutnya yang tinggi di Minangkabau.

4 Akhsan Na‟im dan Hendry Syaputra, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2010, h. 8 5 Marwati Djeoned Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, h. 47 6 Marwati Djeoned Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, h. 47 7 Audrey R. Kahin, Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 6

3

Jajat Burhanuddin menyatakan bahwa Tarekat Syattariyyah di Minangkabau didirikan oleh Syaikh Burhanuddin di Ulakan sebelumnya telah muncul tarekat lainnya yaitu Naqsyabandiyyah dan Qadariyyah.8

Dalam penulisan ini penulis memilih Tarekat Syattariyyah sebagai fokusnya dengan menggunakan naskah yang ditulis oleh ulama Syattariyyah yang terdapat di surau-surau yang tersebar di beberapa daerah di Minangkabau. Dalam survei yang dilakukan oleh Irana Katkova yang mewakili Endangered Archives Programme yang diprogramkan oleh British Library menyatakan ada banyak surau yang menyimpan naskah-naskah dari Tarekat Syattariyyah, yang jumlahnya sebagai berikut:9

Kabupaten Surau

Pasaman 7

Agam 18

Tanah Datar 25

Limopuluh Koto -

Solok 11

Padang Pariaman 24

Pesisir Selatan 4

Sawahlunto Sijunjung 8

8 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012, h. 402 9 Irana Katkova, Endangered Manuscripts of Westren Sumatera Collection of Sufi Brotherhood, British Library, 2008, h. 24

4

Dalam banyak naskah yang ditulis oleh ulama-ulama Syattariyyah di Minangkabau ada salah satu naskah yang menarik bagi penulis yaitu naskah takwim hijriah (naskah tentang penentuan awal bulan hijriah).

Takwim atau kalender Hijriah adalah kalender yang terbagi atas dua belas bulan yang setiap bulannya terdiri atas 29 atau 30 hari, dan dalam penanggalannya kalender hijriah lebih singkat 11 hari dari pada penanggalan yang digunakan pada kalender masehi.10 Dilihat dari sejarahnya, takwim Hijriah dimulai pada zaman khalifah Umar bin Khattab, yang mana Umar bin Khattab dan para sahabat merasa perlu adanya penanggalan Islam. Para sahabat mengusulkan penanggalan Islam dimulai dari tanggal lahirnya Nabi Saw, dan yang lainnya mengusulkan penanggalan Islam dimulai dari turunnya wahyu atau dari wafatnya Nabi sebab pada saat itulah menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam. Dari musyawarah tersebut menghasilkan bahwa penanggalan Islam dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah sebab hijrahnya Nabi merupakan tonggak berdirinya negara Madinah.11

Kalender Hijriah dalam dunia Islam sangat berkaitan dengan kepentingan ibadah para penganutnya misalnya untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, dan dalam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.12

Di Indonesia, khususnya di Minangkabau, ada empat kelompok Islam yang berbeda dalam penentuann awal dan akhir bulan hijriah terkhusus bulan Ramadhan, yaitu Pemerintah, , Persatuan Tarbiyah Islamiyyah dan kelompok Tarekat. Tarekat Samaniyah dan Naqsyabandiyah memiliki perhitungan kalender yang biasanya lebih awal dari ketetapan Pemerintah. Muhammadiyyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyyah memiliki perhitungan yang terkadang sama dan kadang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Pemerintah.

10 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, Jakarta: Amythas Publica, 2007, h.42. 11 Parlindungan Siregar, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h. 170 12 Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 109

5

Sedangkan Tarekat Syattariyyah biasanya melaksanakan puasa terlambat satu atau dua hari dari Pemerintah. Cara penentuan awal bulan Hijriah oleh kalangan Tarekat Syattariyyah masih ada yang terekam dalam bentuk manuskrip.

Mengenai pelestarian Sutarno berpendapat bahwa Pelestarian merupakan suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan, agar bisa panjang umur dan terus digunakan untuk suatu keperluan dan pelestarian dilakukan tidak hanya semata mencegah dari kerusakan, tetapi untuk mempertahankan nilai guna dari barang yang bersifat penting untuk jangka waktu yang panjang.13

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan tiga naskah yang berhasil penulis kumpulkan yang di antaranya:

Pertama, naskah yang berjudul Compilation of Bilangan Bulan, Thaharah, and Takwil Mimpi (Kumpulan Bilangan Bulan, Thaharah, dan Takwil Mimpi), dengan nomor panggil EAP144/3/38, naskah terdiri atas 191 halaman tetapi dalam penulisan karya ilmiah ini penulis hanya meneliti pembahasan yang membahas tentang penanggalan bulan Hijriah yang terdiri dari tiga halaman, jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa, dalam naskah ini membahas tentang penanggalan bulan Arab, thaharah, takwil mimpi, dan interprestasi gempa, naskah bertahunkan 1700an, pemilik dari naskah ini adalah Tuanku Kadhi Abdur Rasyid dari Surau Lubuk Ipuh, menggunakan bahasa Minangkabau bertuliskan huruf Arab Melayu, dan berbentuk kolofon dan belum diteliti.14

Kedua, naskah berjudul Perhitungan Bulan Komariah (The Islamic Calendar), dengan nomor panggil EAP144/4/25, naskah terdiri atas dua halaman, jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa. Naskah ini mengambarkan

13 Riko Gusmanda, Malta Nelisa, Pelestarian Naskah-Naskah Kuno di Museum Adityawarman Sumatera Barat, Dalam Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan Vol. 2 No. 1, 2013, Padang: UNP, 2013, h. 574-575 14 Lihat “EAP144/3/38 Compilation of Bilangan Bulan, Thaharah, and Takwil Mimpi (Kumpulan Bilangan Bulan, Thaharah, dan Takwil Mimpi)” di http://eap.bl.uk/database/overview_item.a4d?catId=141337;r=13290 diakses pada tanggal 1 desember 2016.

6

bulan-bulan kalender Islam dalam bentuk lingkaran, bertahunkan 1800an, menggunakan bahasa dan huruf Arab, naskah berbentuk kolofon dan belum diteliti.15

Ketiga, naskah dengan nomor panggil CL-SJJ-2011-10-g Bahasa dan aksara yang digunakan bahasa Arab, dan Arab Melayu, jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan ukuran 24 x 18 cm, ukuran teks 14 x 8 cm. Naskah ini bersampul kulit dengan kondisi sampul baik. Tinta yang digunakan tinta berwarna hitam dan merah.16

Sebagaimana dari uraian di atas, penulis tertarik mempelajari lebih mendalam tentang naskah yang penulis telah peroleh tentang takwim hijriah kalangan Tarekat Syattariyyah. Oleh karena itu penulis ingin meneliti tentang tarekat Syattariyyah ini yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “PELESTARIAN PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH TAREKAT SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU”.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dalam penyusunan karya Ilmiah ini penulis mengidentifikasi masalah dari pembahasan ini yang di antaranya membahas tentang takwim hijriah yang ditulis oleh ulama-ulama Tarekat Syattariyyah, apa saja langkah-langkah dalam takwim hijriah tersebut, bagaimana cara penentuan awal bulan dalam teks takwim hijriah dalam Tarekat Syattariyyah, Bagaimana dinamika perkembangan Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, bagaimana cara pelestarian penentuan awal bulan hijriah yang dimuat dalam naskah takwim hijriyah oleh Tarekat Syattariyah di Minangkabau.

15 Lihat “EAP144/4/25: Perhitungan Bulan Komariah (The Islamic Calendar)” di http://eap.bl.uk/database/overview_item.a4d?catId=141408;r=14893diakses pada tanggal 1 desember 2016. 16 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Padang: Hantaran FIB UNAND, 2013, h. 5

7

2. Batasan Masalah Setelah Penulis berhasil mengidentifikasi pembahasan yang akan penulis tulis, dan supaya pembahasan tersebut tidak umum dan meluas pembahasannya maka penulis perlu untuk membatasi masalah yang akan penulis tulis, adapun batasan masalah dari pembahasan tersebut hanya terbatas pada cara penentuan awal bulan bedasarkan teks naskah Takwim Hijriyah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau dan juga Pelestariannya.

3. Rumusan Masalah Setalah mengidentifikasi masalah dan juga membatasi masalah yang akan dimuat di tulisan ini, maka penulis merumuskan masalah yang akan penulis jabarkan pada penjelasan berikutnya, adapun rumusan masalah dari pembahasan ini, sebagai berikut: a. Bagaimana cara penentuan awal bulan hijriyah berdasarkan teks naskah Takwim Hijriyah oleh penganut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau? b. Bagaimana Tarekat Syattariyyah melestarikan penentuan awal bulan yang berdasarkan teks naskah Takwim Hijriyah di Minangkabau?

C. Tujuan dan Manfaat Dalam penulisan karya ilmiah ini memiliki beberapa tujuan, adapun tujuannya sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui cara penentuan awal bulan berdasarkan teks takwim hijriyah yang digunakan oleh Tarekat Syattariyyah di Minangkabau. 2. Untuk mengetahui apakah cara penentuan awal bulan yang dimuat dalam naskah Takwim Hijriyah yang dimuat dalam beberapa naskah tersebut masih dilestarikan atau digunakan oleh Tarekat Syattariyyah khususnya di Minangkabau.

8

Dan adapun manfaat dari penelitian yang akan penulis bahas pada bab-bab berikutnya sebagai berikut:

1. Untuk menambah khazanah Islam di Indonesia secara umum dan khususnya di Minangkabau. 2. Untuk menambah wawasan penulis sendiri dan juga pembaca tentang studi kenaskahan dan juga kesejarahan. 3. Memberikan sebuah kajian tentang keislaman di Minangkabau tentang cara penentuan awal bulan yang digunakan oleh Tarekat Syattariyyah.

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian sejarah struktural, yang mana sejarah struktural adalah sebuah analisis fungsional yang tidak hanya menbicarakan tentang masyarakat dalam satu kaum saja melainkan juga sebuah hal yang membuat masyarakat tersebut terkonsep dalam hal ini adalah pengikut tarekat Syattariyyah.17 2. Langkah-Langkah Penulisan Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan ditulis dengan mengunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Heuristik Heuristik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani “Heuriskien” yang berarti “saya menemukan”, sedangkan secara terminologi Heuristik adalah suatu kegiatan mencari dan menemukan pemecahan masalah belajar dan penemuan.18 Dalam langkah pertama ini, penulis mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan denga topik pembahasan baik itu data primer maupun data sekunder. Adapun

17 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Ed. II, Jakarta: Yayasan Obor, h. 200 18 Zainal Rafli, Ninuk Lustyantie, Teori Pembelajaran Bahasa: Suatu Catatan Singkat, Jokjakarta: Garudhawaca, 2016, h. 451

9

sumber primer yang penulis gunakan yakni naksah atau manuskrip tentang takwim hijriah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku yang berhasil penulis dapatkan di pustaka UIN Syarif Hidayatullah, ataupun jurnal dan artikel yang menurut penulis bersangkutan dalam penelitian yang akan penulis tulis ini.

b. Pengolahan Data Setelah penulis menemukan sumber-sumber untuk karya ilmiah ini maka penulis kemudian mengolah data dengan menggunakan interprestasi data, yang mana interprestasi data adalah salah satu metode pengolahan data yang memberikan penafsiran terhadap fakta sejarah. Pada tahap ini tergambar fakta-fakta tersebut cerminan peristiwa-peristiwa masa lampau. Setelah melakukan interpertasi data kemudian penulis melakukan tahapan historigrafi yaitu tahapan akhir dari penelitian sejarah, hasil penafsiran fakta-fakta itu ditulis menjadi suatu kisah sejarah berupa laporan tertulis versi penulis. c. Analisis Data Setelah penulis melakukan hal yang pertama di atas pada tahap ini penulis juga melakukan analisis dengan menggunakan kerangka teori yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pada tahapan ini penulis dituntut untuk berhati-hati untuk melakukan penafsiran data atau interprestasi data agar ditemukannya sebuah hasil akhir atau kesimpulan yang ilmiah. 3. Teknik Penulisann

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis merujuk kepada buku yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta yang berjudul “Pedoman Penulisan Skripsi”.

10

E. Kerangka Teori Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis merasa perlu adanya dukungan teoritis untuk mencari jalan keluar dalam pembahasan yang penulis angkat ini, maka penulis merasa perlu adanya teori yang relevan dengan judul yang penulis angkat ini. Dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Peter Burke dalam bukunya “Sejarah dan Teori Sosial” yaitu teori sejarah struktural yang mana sejarah struktural adalah sebuah teori pendekatan dalam ruang lingkup sejarah sebuah analisis fungsional yang tidak hanya menbicarakan tentang masyarakat dalam satu kaum saja melainkan juga sebuah hal yang membuat masyarakat tersebut terkonsep yang mengacu kepada institusi kompleks seperti keluarga, kelompok masyarakat, negara, sistem peradilan dan sebagainya.19 Kedua, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Harbemas yakni Theory of Communicative Action, yang mana menurutnya dalam suatu kajian diharuskan mengunakan pendekatan komunikasi dari perorangan maupun media yang rasional dan efektif.20 Kemudian teori yang terakhir yang penulis gunakan adalah teori struktural-konsensus yang dikemukakan oleh Pip Jones dalam bukunya “Pengantar Teori-Teori Sosial”, yang mana teori struktural-konsensus adalah teori yang mempelajari perilaku suatu manusia atau kelompok dari apa yang mereka pelajari. Teori struktural-konsesnsu ini berpendapat bahwa aturan-aturan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat adalah salah satu kunci menentukan perilaku suatu anggota kelompok tersebut yang menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari satu kelompok masyarakat lainnya baik itu agama, suku, dan bangsa. Teori struktural-konsensus ini tidak bisa digunakan dalam bentuk khusus yakni dalam bentuk perorangan atau individu.21

19 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Ed. II, Jakarta: Yayasan Obor, h. 200 20 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Yokyakarta: Kanisius, 2005, h. 43. 21 Pips Jones, Liza Brdbury, Shaun Le Boutiller, Pengantar Teori-Teori Sosial, Ed. II, Jakarta: Yayasan Obor, h. 8-10

11

F. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, dari literatur-literatur yang sudah ada, ada beberapa yang pernah mengangkat judul tentang takwim hijriah yang hampir mendekati dengan judul yang penulis angkat dan karya ilmiah itu penulis jadikan sebagai bahan perbandingan dan juga bahan acuan, berikut literaturnya:

Pertama, Artikel yang ditulis oleh Kardianto dengan judul “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks” pada tahun 2003. Dalam artikelnya ini Kadrianto menjelaskan tentang naskah takwim hijriah yang hanya ada pada Surau Calau Sijunjung, dengan menggunakan gaya penulisan dalam katalog untuk mencari naskah-naskah dan pada 3 halaman akhirnya Kadrianto menjelaskan bagaimana cara pengitungan takwim hijriahnya. Dan yang menjadi perbedaannya dengan karya ilmiah yang penulis tulis adalah penulis akan menjelaskan apakah teks takwim hijriah Tarekat Syattariyyah tersebut masih dilestarikan.

Kedua, Skripsi yang ditulis oleh M. Hasan “Penetapan Takwim Hijriah Menurut Saadoedin Djambek” pada tahun 2015. Dalam tulisannya ini M. Hasan menjelaskan tentang cara-cara penetapan takwim hijriah mulai dari penerapan, cara mengitungnya dan implikasi, kelebihan dan kelemahan takwim hijriah yang dikemukakan oleh ahli falak Indonesia Saadoeddin Djambek. Sedangkan penulis membahas tentang penerapan takwim hijriahnya, penulis menggunakan takwim yang digunakan oleh Tarekat Syattariyyah dan M. Hasan membahas menurut Saadoedin Djambek.

Ketiga, Artikel yang ditulis oleh Yunus Dinata yang berjudul “Penerapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal 1435 H”. Dalam tulisan ini Yunus Dinata membahas tentang penerapan awal bulan berdasarkan fase hilal berdasarkan cara modern dengan penghitungan garis-garis bulan dan variabelnya, sedangkan dalam tulisan penulis ini akan mengkaji bagaimana penerapan awal bulan menurut Tarekat

12

Syattariyyah dengan menggunakan naskah dan tidak dari penghitungan yang modern.

Keempat, Skripsi yang ditulis oleh Septian Dwites dengan judul “Takwim Hijriyah Tarekat Syattariyah Studi Naskah di Muaro Sijunjung”, yang mana dalam pembahasan ini penulisnya menjelaskan takwim hijriah Tarekat Syattariyyah di Muaro Sijunjung dengan membandingkan proses-proses penerapan takwim hijriah oleh berbagai mazhab dan juga berbagai golongan di Indonesia, sedangkan penulis menulis tentang bagaimana Tarekat Syattariyyah menerapkan awal bulan apakah masih menggunakan takwim hijriah Syattariyyah seperti di naskah atau tidak.

G. Sistematika Penulisan

Agar dalam penulisaan karya ilmiah ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Karya ilmiah ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Adapun sistematika penulisan dari karya ilmiah ini sebagai berikut:

Bab I membahas tentang pendahuluan, yang menjabarkan tentang latar belakang, permasalah yang berisikan tentang identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, kemudian tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang Tarekat Syattariyyah, yang mana dalam pembahasan ini penulis membahas tentang sejarah Tarekat Syattariyyah, sejarah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, ibadah Terakat Syattariyyah.

Bab III membahas tentang metode takwim hijriah, yang dibahas pada bab ini antara lain pengertian hisab dan rukyat, dasar hukum hisab rukyat, pandangan ulama terkait Takwim Hijriah

13

Bab IV membahas tentang takwim hijriah, yang dibahas pada bab ini antara lain Manuskrip, Metode Penentuan awal Bulan Hijriyah, Pelestarian Takwim Hijriyah Syattariyyah Di Minangkabau.

Bab V membahas tentang penutup, yang dibahas pada bab ini antara lain kesimpulan dan saran.

BAB II

TAREKAT SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU

A. Sejarah Tarekat Syattariyyah

Dalam dunia Islam, dari awal lahirnya Islam hingga abad dua hijriah pada dasarnya umat Islam tidak mengenal namanya tarekat, dalam artian lain tarekat dalam dunia tasawuf dianggap sebagai hal yang baru yang tidak ditemukan dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada zaman Nabi.1 Tarekat merupakan suatu dimensi ajaran islam yang paling mudah diserap oleh berbagai suku dan budaya.2

Dari historisnya, dunia tarekat tersebut tidaklah mengherankan jika nama- nama tarekat yang ada sekarang dinisbatkan kepada nama wali ataupun nama ulama yang jauh hidup berabad-abad setelah masa Nabi. Seperti Tarekat Suhrawardiyyah dinisbatkan kepada Syihab al-Din Abu Hafsh al-Suhrawardi (1145-1235 M), Tarekat Rifa‟iyah dinisbatkan kepada Ahmad bin „Ali Abu al- Abbas al-Rifa‟iyyah (1182 M), Tarekat Syadziliyyah dinisbatkan kepada Abu al- Hasan Ahmad bin „Abd Allah al-Syadzili (1197-1258 M).3

Sama halnya dengan beberapa tarekat yang disebutkan di atas, Tarekat Syattariyyah juga dinisbatkan kepada ulamanya yaitu Syaikh „Abd Allah al- Syattari (w. 890 H/ 1485 M), yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh al-Suhrawardi (1145-1235 M) ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.4

1 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 153. 2 Ahmad Syafii Mufid, Tungklukan, , dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 8 3 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 153. 4 Ahwan Fanani, Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah, Gresik: Walisongo 20, no. 2 November 2012, h. 358.

14

15

Dan jika Tarekat Syattariyyah ini dikaji lebih awal lagi maka tarekat ini memiliki akar keterkaitan dengan pencetus tarekat „Isyqiyyah dan Bustamiyyah yaitu Abu Yazid al-„Isyqi dan Abu Yazid Al-Bustami dan juga memiliki keterkaitan dengan Imam Ja‟far al-Shadiq oleh karena itu tarekat ini dikenal dengan Tarekat „Isyqiyyah di Iran dan Tarekat Bustamiyyah di Turki, hingga pengaruhnya digantikan oleh tarekat Naqsyabandiyyah.5

Dalam perkembangannya Tarekat Syattariyyah ini dikenal sebagai tarekat yang dinamis yang tetap mempertahankan pentingnya pelaksanaan syariat.6 Dalam perkembangannya, Tarekat Syattariyyah mulai berkembang di daerah Mandu di India bagian tengah dan hanya berkembang di India dan sekitarnya dari awal berdirinya hingga tahun 1596 M ketika pada dekade tersebut kekuatan dan kejayaan Tarekat Syattariyyah mulai melemah dan digantikan oleh Tarekat Naqsyabandiyyah dan Tarekat Qadariyyah.7

Pada tahun 1596 M merupakan titik awal perkembangan Tarekat Syattariyyah di dunia khususnya di dunia Melayu dimulai di daerah Hijaz yang dikembangkan oleh Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji (w. 1606 M) yang merupakan murid dari Syaikh Wajih al-Din al-Alawi (w. 1609 M).8

Tahun 1596 M adalah tahun di mana Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji melakukakan ibadah hajinya yang kedua dan Ia memilih untuk menetap di Madinah dan membangun sebuah rumah disana.9 Pada masa-masa hidupnya di Madinah Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji ini dikenal sebagai ulama dari kalangan Syattariyyah yang memperkenalkan kitab

5 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 153-154 6 Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 402 7 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 155 8 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 159 9 Ahwan Fanani, Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah, Gresik: Walisongo 20, no. 2 November 2012, h. 358.

16

Jawahir Al-Khamsah karya Syaikh Muhammad Ghauts10 (w. 1563 M) di kalangan ulama Haramayn. Selama Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji mengajarkan paham kesyattariyyahannya di Haramayn tak terbendung lagi, dari beberapa muridnya yang terkenal yang juga menjadi penerusnya yaitu Ahmad al- Syanawi (lahir 1567 M) dan Ahmad al-Qusyasi11 (1583-1660 M).12

Setelah al-Qusyasyi mengambil alih pengajaran Tarekat Syattariyyah di Haramayn pasca meninggalnya al-Syanawi, Tarekat Syattariyyah di bawah pengaruh al-Qusyasyi lambat laun semakin menancapkan pengaruhnya di Haramayn. Pengaruhnya yang sangat terkenal adalah mereorientasikan Tarekat Syattariyyah dari sifat awalnya dari berbau mistik menjadi sebuah tarekat yang mengajarkan perpaduan mistis dan aspek syariat.13 Dari reorientasi yang dilakukan oleh al-Qasyasi tersebut melahirkan sebuah ajaran yang bersifat neosufisme yaitu rekonsiliasi atau memadukan mistis dan tasawuf dan ini menjadi hal yang paling cenderung terlihat dalam jaringan ulama Haramayn pada abad ke- 17 dan ke-18.14

Azyumardi Azra dalam bukunya menjelaskan pada perkembangan Tarekat Syattariyyah berikutnya yang diajarkan oleh Ahmad al-Qusyasyi memperoleh perhatian yang cukup lebih sehingga murid-muridnya banyak berdatangan dari

10 Syaikh Muhammad Ghauts adalah guru dari gurunya Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji yakni Syaikh Wajih al-Din al-Alawi (w. 1609 M) yang mengajarkan Tarekat Syattariyyah di India. (lihat: Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 158) 11 Hubungan antara Syech Ahmad al-Syanawi dan Ahmad al-Qusyasyi ini tergolong unik di satu sisi mereka merupakan guru seperguruan dan al-Qusyasyi merupakan menantu dari al- Syanawi, dan di sisi lainnya lagi al-Syanawi merupakan guru al-Qusyasyi di berbagai macam keilmuan keislaman setelah sepeninggalnya Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji, bahkan al-Syanawi pulalah yang menginisiasikan al-Qasyasi sebagai khalifah Tarekat Syattariyyah berikutnya. (lihat: Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 160) 12 Ahwan Fanani, Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah, Gresik: Walisongo 20, no. 2 November 2012, h. 358. 13 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 160. 14 , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013, h. 136

17

berbagai wilayah termasuk wilayah Nusantara, di antara murid-muridnya tersebut antara lain Syaikh Ibrahim al-Kurani (1614-1690 M) dan Syaikh Abdurrauf al- Sinkili (1615-1693 M)15 yang merupakan ulama yang berpengaruh dalam penyebaran Tarekat Syattariyyah di Nusantara.16 Berikut silsilah jalur sanad tarekat Syattariyyah hingga Syaikh Abdurrauf al-Sinkili:17

1. Nabi Muhammad SAW 2. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, 3. Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, 4. Imam Zainal Abidin, 5. Imam Muhammad Baqir, 6. Imam Ja'far Syidiq, 7. Abu Yazid al-Busthami, 8. Syekh Muhammad Maghrib, 9. Syekh Arabi al-Asyiqi, 10. Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, 11. Qutb Abu Hasan al-Hirqani, 12. Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, 13. Syekh Muhammad Asyiq, 14. Syekh Muhammad Arif, 15. Syekh Abdullah asy-Syattar, 16. Syekh Hidayatullah Saramat, 17. Syekh al-Haj al-Hudhuri, 18. Syekh Muhammad Ghauts, 19. Syekh Wajihudin,

15 Syaikh Ibrahim al-Kurani merupakan seperguruan dari Syaikh Abdurrauf al-Sinkili dan juga merupakan guru darinya setelah meninggalnya Ahmad al-Qusyasyi, khususnya dalam keilmuan yang berkaitan dengan berbagai doktrin mistiko-filosofis yang dipelajari oleh Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (lihat: Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 161) 16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013, h. 96-97 17 Sufinewss.com, Tarekat Syattariyyah, tanggal 3 Maret 2004, diakses pada tanggal 21 Desember 2016, jam 22:00

18

20. Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, 21. Syekh Ibnu Mawahib bin Ali 22. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, 23. Syekh Abdul Rauf Singkel

B. Tarekat Syattariyyah di Minangkabau

Masuk dan penyebaran Tarekat Syattariyyah di wilayah Nusantara tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramayn pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi wafat.18 Sebagaimana pernah ditulis Damanhuri dalam tulisannya, al-Qusyasyi pernah memerintahkan agar Abdurrauf al-Sinkili untuk kembali ke Jawi (nama Nusantara pada waktu itu) untuk membantu pengembangan Islam di tanah kelahirannya tetapi dengan alasan masih kurangnya keilmuannya Abdurrauf Sinkili menunda kepulangannya hingga kematian gurunya.19

Selayang pandang tentang Syaikh Abdurrauf al-Sinkili, nama lengkapnya Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, di Abdurrauf al-Sinkili dikenal dengan sebutan Syah Kuala atau Teungku di Kuala. Ia lahir di desa Suro yang sekarang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Singkil dan ia lahir pada tahun 1620 M.20 Dalam kitab karangannya Umdah al-Muhtajin, Abdurrauf al-Sinkili menceritakan bahwa dia belajar di Haramayn selama 19 tahun, dan yang dipelajarinya berbagai ilmu, seperti hadist, , fiqih, tasawuf, ilmu kalam dan lain-lain. Dia memperlajari keilmuan tersebut dari 15 orang guru, 27 ulama

18 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 160 19 Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin: Rujukan Tarekat Syattariyyah Nusantara, dalam Jurnal Ulumuna Vol. 17 No.2 Desember 2013, Mataram: Institute Agama Islam Negeri Mataram, 2013, h. 308 20 Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin: Rujukan Tarekat Syattariyyah Nusantara, dalam Jurnal Ulumuna Vol. 17 No.2 Desember 2013, Mataram: Institute Agama Islam Negeri Mataram, 2013, h. 306.

19

terkenal, dan 15 tokoh mistik yang terkenal.21 Setelah kepulangan Abdurrauf al- Sinkili dari Haramayn selain mengajari paham Syattariyyah di wilayahnya, Abdurrauf al-Sinkili juga mengabdi kepada kerajaan Aceh Darussalam sebagai Qadli Malik Adil yang diangkat oleh Sultanah Syafiyatuddin.22 Karena kesantunan dan kecakapan Abdurrauf al-Sinkili banyak murid yang datang dari berbagai penjuru Nusantara yang paling terkenal diantaranya Syaikh Burhanuddin dari Ulakan Sumatera Barat, dan Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya, yang keduanya menjadi pelanjut dan pengembang Tarekat Syattariyyah dan menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing.23

Masuknya Tarekat Syattariyyah diperkirakan masuk untuk pertama kalinya ke Alam Minangkabau ditandai dengan kepulangan Syaikh Burhanuddin sekitar tahun 1680an, dan mendirikan surau untuk pertama kalinya di Tanjung Medan Pariaman.24

Surau Ulakan, surau yang didirikan oleh Syaikh Burhanuddin tersebut layak menjadi perhatian khusus karena Surau Ulakan menjadi pusat utama tarbiyyah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau lansung di bawah kepemimpinan Syaikh Burhanuddin sendiri, selain itu pada masa yang sama itu Syaikh Burhanuddin menjadi pemimpin resmi tertinggi dari persaudaraan sufi di Minangkabau.25

Surau Ulakan meskipun surau ini terletak di daerah rantau Minangkabau tapi surau ini sangat berkontribusi besar bagi penyebaran Islam di darek melalui murid-murid yang telah menyelesaikan studinya dengan Syaikh Burhanuddin dan

21 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 162 22 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 162 23 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 163 24 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 24 25 Jajat Burhanuddin, Ulama Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan Publika, 2012, h. 88

20

mereka mendirikan surau-surau yang menjadi cabang dari surau Syaikh Burhanuddin di sepanjang jalur perdagangan ke desa-desa di kapas-kapas dan Mesiang (Padang Panjang), ke Kota Lawas, dan daerah subur di bagian selatan Agam, Khususnya ke Koto Tuo.26

Dalam tulisannya Prof. Oman Fathurahman yang dikutip dari naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Minangkabau menyatakan bahwa Syaikh Burhanuddin lahir pada tahun 1646 M dengan nama Pono, lahir di Pariangan, kemudian pindah ke daerah Sintuk, Lubuh Alung, Pariaman mengikuti keluarganya. Sebelum Syaikh Burhanuddin menuntut ilmu ke Aceh, Syaikh Burhanuddin menuntut ilmu kepada seorang pengembara Arab di daerah Tapakis yang bernama Syaikh Abdullah Arif yang sama halnya dengan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili yang juga merupakan murid dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, setelah wafatnya Syaikh Abdullah Arif, Syaikh Burhanuddin melanjutkan menuntut ilmu ke Aceh dengan Syech Abdurrauf al-Sinkili, dan diriwayatkan juga bahwa nama Burhanuddin diberikan oleh Syaikh Abdurrauf al-Sinkili.27

Setelah 23 tahun menuntut ilmu dengan Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh, pada tahun 1066 H Syaikh Burhanuddin kembali ke Kubu Tanjung Medan, Setelah itu Syaikh Burhanuddin menetap dan tinggal serta mengajar agama Islam di Tanjung Medan Ulakan serta mendirikan pengajian kesyattariyyahannya. Selanjutnya Syaikh Burhanuddin diangkat sebagai khalifah pertama di daerah Minangkabau. Ia wafat pada hari Rabu tanggal 10 Syafar tahun 1111 H pada usia 85 tahun, dari tanggal wafatnya Syaikh Burhanuddin tersebut masyarakat yang menganut paham Syattariyyah mengadakan tradisi bershafar (basapa).28

26 Jajat Burhanuddin, Ulama Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan Publika, 2012, h. 88 27 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 167 28 Harry Iskandar, “Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”, artikel diakses pada 25 Juli 2016 dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/2016/02/02/surau- syech-gadang-burhanuddin-dan-surau-tinggi-calau/.

21

Setelah meninggalnya Syaikh Burhanuddin Ulakan kekhalifahan Tarekat Syattariyyah di Surau Tanjung Medan dilanjutkan oleh:29

1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, 2. Syaikh Khairuddin; 3. Syaikh Jalaluddin; 4. Syaikh Idris, yang merupakan sahabat dekat Syaikh Burhanuddin ketika belajar dengan Syaikh Abdullah Arif di Tapakis; 5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau Tangah Padang; 6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat tiga khalifah yang menjadi pemimpin di surau Tanjung Medan, yakni : a. Syaikh Habibullah sendiri, b. Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan sebutan Tuanku nan Hitam, c. Tuanku Fakih Mansur.

Ketiga ulama ini merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;

7. Syaikh Ahmad Qasim; 8. Tuanku Tibarau nan Tuo; 9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibarau nan Tuo.

Tetapi dalam data yang lain dalam buku Petunjuk Ziarah ke Maqam Syaikh Burhanuddin Ulakan memiliki susunan dan urutan kekhalifahan yang berbeda dengan susunan yang diatas tersebut, yakni:30

1. Syaikh Idris (1111 H – 1126 H) 2. Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim (1126 H – 1137 H)

29 Data ini disebutkan dalam kitab Mubalighul Islam yang dikutip oleh Prof. Oman Fathurahman dalam Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 115 30 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 115-116

22

3. Syaikh Kaharuddin (1137 H – 1146 H) 4. Syaikh Jalaluddin (1146 H – 1161 H) 5. Syaikh Abdul Muhsin Tuanku Faqih (1161 H – 1180 H0 6. Syaikh Abdul Hasan bin Husin(1180 H – 1194 H) 7. Syaikh Khaliluddin bin Khalid(1194 H – 1211 H) 8. Syaikh Habibullah bin Alif (1211 H - 1231 H) 9. Syaikh Tuanku Qusha‟i ( 1231 H – 1248 H) 10. Syaikh Ja‟far bin Muhammad (1248 H – 1280 H) 11. Syaikh Muhammad Sani (1280 H – 1311 H) 12. Syaikh Bosai (1311 H – 1366H) 13. Tuanku Barmawi.

Salah satu tokoh Tarekat Syattariyyah adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib. Ia lahir pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1922 di di Kampung Batang Kabung, Koto Tangah, Padang dan wafat pada tahun 2006 Masehi. Ayahnya bernama Amin dan ibunya bernama Fatihah suku Bali Mansiang. Ayahnya adalah seorang pemimpin Muhamadiyah Muara Penjalinan, Koto Tangah, Padang.31 Ia mulai menuntut ilmu qiraat pada umur delapan tahun kepada guru perempuan yang bernama Sarikamah dan dengan Angku Faqih Luthan. Tahun 1930 Masehi ia masuk sekolah desa di Muara Penjalinan. Selama tiga tahun, tamat sekolah desa disambung sekolah governemen di Tabing. Pada tahun 1936 Masehi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib pergi menuntut ilmu kepada Syeikh Paseban di Koto Panjang, mengaji Kitab Gundul. Di tahun itu juga, ketika berumur empat belas tahun ia telah baiat dengan Syeikh Paseban, menerima talqin zikir dan tarekat Syattariyyah.32

Menurut Pranomo, selain sebagai ulama bagi pengikut Tarekat Syattariyyah di daerahnya, dalam dunia pernaskahan Imam Maulana Abdul Manaf

31 Pranomo, Naskah Rowayat Hidup Abdul Manaf: Pengantar dan Suntingan Teks, Padang: Surau Institute for Conservation, 2015, h. 42 32 Pranomo, Naskah Rowayat Hidup Abdul Manaf: Pengantar dan Suntingan Teks, Padang: Surau Institute for Conservation, 2015, h. 42

23

Amin Al-Khatib ini dikenal juga sebagai penyalin dan penulis naskah yang sangat produktif, ia mulai menulis dan menyalin naskah koleksi naskah-naskah kitab agama, seperti kitab tafsir, nahwu sharaf, tasawuf, fiqih, mantiq ma‟ani, dan juga naskah-naskah sejarah yang dimiliki Syaikh Paseban. Ia mulai menulis dan menyalin naskah-naskah tersebut pada usia empat belas tahun ketika ia menuntut ilmu kepada ulama tarekat Syattari yaitu Syaikh Paseban hingga wafatnya pada tahun 2006.33

C. Ibadah Tarekat Syattariyyah

Sejak awal berdirinya Tarekat Syattariyyah di daerah Mandu di India, hingga pesatnya perkembangan tarekat ini yang diajari oleh Sayyid Sibghat Allah bin Ruhullah Jamal al-Barwaji di Haramayn yang kemudian berkembang begitu cepat ke belahan dunia lain termasuk daerah Minangkabau, perkembangannya Tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang cukup dinamis yang tetap mempertahankan pentingnya pelaksanaan syariat baik itu ritualnya dan juga doktrin ajarannya, dan berikut ajaran dan ibadah Tarekat Syattariyyah, yang di antaranya:

1. Baiat dan Talqin Menurut Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, gerbang pertama yang harus dilalui oleh seseorang untuk menuju ke dunia tarekat adalah dengan dunia tarekat. Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjadi dunia tasawuf, dan tata caranya adalah si calon murid diharuskan untuk menginap di tempat yang ditentukan oleh sang guru selama tiga hari dalam keadaan suci, dan si murid melakukan sholat sunnat tiap malamnya sebanyak empat rakaat dengan tiga kali salam, pada rakaat pertama setelah al-Fatihah si calon murid diharuskan baca surat al-Qadr sebanyak 6 kali, pada rakaat selanjutnya membaca surat yang sama sebanyak dua kali, dan

33 Pranomo, Surau dan Tradisi Pernaskahan di Minangkabau: Studi Atas Dinamika Tradisi Permaskahan di Surau-surau Padang dan Padang Pariaman, dalam Jurnal Hunafa. Vol. 6 No. 3, Desember 2009, Padang: Universitas Andalas, h. 252-253.

24

pada rakaat kedua terakhir setelah al-Fatihah si calon murid membaca surat al-Kafirun sebanyak lima kali dan rakaat berikutnya baca surat yang sama sebanyak tiga kali. Pada sholat ke salam yang ketiga, si calon murid setelah membaca surat al-Fatihah membaca surat al-Ikhlas sebanyak empat kali dan pada rakaat keduanya sebanyak dua kali dengan surat yang sama.34 Setelah melaksanakan Talqin si calon murid yamg akan menjalani tarekat ini adalah baiat yakni suatu ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada syaikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang diikutinya. Dan bagi murid yang telah mengungkapkan janji setianya tidak dimungkinkan lagi untuk keluar dari tarekat yang diikutinya tersebut.35 2. Penegasan dan Aktualisasi Paham Ahlussunah Wal Jamaah Aliran yang dikembangkan oleh Tarekat Syattariyyah ini dikemukan sendiri oleh Syaikh Burhanuddin yang menganut paham Ahlussunah Wal Jamaah dan bermazhab Syafi‟i. Ahlussunah Wal Jamaah sendiri, secara umum berarti kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jamaah. Sesuai dengan namanya, mereka yang menganut faham sunnah, atau Hadits Nabi, dan Ijma‟ sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kelompok Muslim yang berfaham Ahlussunah Wal Jamaah setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: Quran, Hadits Nabi, dan Ijma‟. Kendati “hanya” menempati urutan ketiga, tetapi dalam kenyataannya, ijma‟ seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Quran dan Hadits Nabi.36 Corak keagamaan seperti inilah yang ditegaskan oleh para penganut Tarekat Syattariyyah di Sumatera Barat sebagai sifat ajaran Islam yang mereka terima dari Syaikh

34 Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 174-175 35 Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 1176 36 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 126.

25

Burhanuddin Ulakan. Lebih dari itu, secara lebih spesifik lagi, sifat dan kecenderungan keberagaman para penganut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau ini ditambah dengan keharusan menggunakan hisab taqwim dalam menghitung bulan, dan menggunakan metode ru‟yat al-hilal (melihat hilal) dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Idul. Fitri. Di antara sifat dan kecenderungan mazhab Syafi‟i yang diakui sebagai satu- satunya mazhab anutan para penganut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau adalah responnya yang relatif fleksibel dalam menyikapi berbagai dinamika keberagamaan umat, serta tradisi dan budaya lokal. Tidak heran kemudian, corak keberagamaan para penganut Tarekat Syattariyyah “didefinisikan” melalui berbagai ritual dan faham keagamaan sebagai berikut:37 1. Melafazkan ushalli dalam niat salat; 2. Wajib membaca basmalah dalam surat al-Fatihah; 3. Membaca doa qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh; 4. Menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri melalui rukyat (melihat hilal); 5. Melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di bulan Ramadhan; 6. Mentalkinkan mayat; 7. Sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati; 8. Ziarah kubur ke makam Nabi dan orang-orang saleh adalah sunat; 9. Merayakan maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awwal dengan, antara lain, membaca barjanzi; 10. Sunat berdiri saat membaca barjanzi (ashraqal); 11. Sunat menambah kata “wa bi hamdihi” setelah bacaan subhana rabi al-azim ketika ruku‟ dan subhana rabi al-a‟la ketika sujud; 12. Sunat menambahkan kata “sayyidina” sebelum menyebut nama Muhammad;

37 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 127.

26

13. Memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh, dan keseratus; 14. Allah memiliki sifat, dan mempelajari sifat Allah yang 20 hukumnya wajib; 15. Wajib mengganti (qada‟) salat yang tertinggal, baik sengaja maupun tidak sengaja; 16. Dianjurkan mempelajari tasawuf dan tarekat; 17. Sunat membaca zikir la ilaha illa Allah berjamaah setelah salat wajib; 18. Bertawasul ketika berdoa tidak termasuk perbuatan syirik; 19. Menyentuh al-Quran tanpa berwudhu hukumnya haram; 20. Wajib mencuci setiap barang yang disentuh anjing dengan tujuh kali siraman air dan salah satunya dengan tanah; 21. Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudlu; 22. Orang yang sedang berhadas besar (junub) tidak sah mengerjakan salat malam sebelum mandi; 23. Azan pertama sebelum sembahyang jumat hukumnya sunat; 24. Salat sunat sebelum salat jumat hukumnya sunat; 25. Menjatuhkan talak ketika istri sedang haid hukumnya sah; 26. Menulis ayat al-Quran dengan huruf latin hukumnya haram; 27. Surga dan neraka itu kekal keduanya; 28. Al-Quran itu bersifat qadim; 29. Alam bersifat baru (muhdath); 30. Talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus berarti jatuh talak tiga.

Dalam sumber lain keberagaman identitas penganut Tarekat Syattariyyah di Alam Minangkabau yang memiliki kekhasan dan bernuansa lokal adalah adanya

27

dua puluh satu amanah yaitu sejumlah ajaran dan ritual yang bersifat mengikat. Adapun ke dua puluh satu amanah tersebut sebagai berikut:38

1. Puasa harus dengan melihat bulan 2. Shalat tarawih 20 rakaat ditambah dengan witir 3 rakaat 3. Membaca Ushali dalam niat sholat. 4. Membaca basmalah pada surat al-Fatihah dan permulaan surat dalam al-Quran 5. Membaca qunut di waktu sholat shubuh 6. Menentukan awal bulan dengan hisab taqwim kecuali bulan Ramadhan dan Idul Fitri 7. Bermazhab Syafi‟i 8. Beriktikad dengan iktikad ahlussunnah wal jamaah 9. Membaca wa bil hamdihi dalam ruku‟ dan sujud 10. Bertahlil dan berzikir 11. Khutbah jumaat hanya menggunakan bahasa Arab 12. Berdoa (tahlil) pada setiap kematian 13. Mentalkinkan mayat 14. Ziarah kubur ke makam Ulama dan orang shaleh 15. Bertarekat dengan tarekat Syattariyyah 16. Baiat kepada guru tarekat 17. Melakukan tawassul kepada guru ketika saat berdoa 18. Pergi bersafar ke Ulakan 19. Memperingati maulid nabi dengan membaca Sharaf al-Anam 20. Berdiri ketika sampai pada bacaan ashraqal dalam Barzanji 21. Memakai kopiah saat sholat.

3. Basapa

Basapa adalah sebuah ritual dalam bentuk ziarah secara serentak ke makan Syaikh Burhanuddin Ulakan di Padang Sigalundi Ulakan. Kendati Syaikh burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama Tarekat Syattariyyah,

38 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 128

28

tetapi dalam acara basapa ini, mereka yang hadir tidak dari penganut Tarekat Syattariyyah saja, melainkan juga masyarakat Muslim pada umumnya. Dapat dipastikan bahwa ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syaikh Burhanuddin Ulakan yang dianggap telah berjasa dalam penyebaran Tarekat Syattariyyah khususnya dan Islam pada umumnya. Ziarah bersama ini dilakukan pada hari Rabu setelah tanggal 10 Safar,39 dan oleh karena jatuh pada bulan Safar inilah ritual tersebut dinamakan basapa (bersafar). Penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar sendiri berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syaikh Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H/ 1691 M, dalam pelaksanaannya basapa ini umumnya terdapat tiga kegiatan, pertama, berziarah dan berdoa di makan Syaikh Burhanuddin. Kedua, salat baik itu yang wajib maupun yang sunat, ketiga, zikir.40

39 Kadrianto, Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks, Hantaran FIB UNAND,2013, h.2 40 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 130-131

BAB III

METODE TAKWIM HIJRIAH DALAM DUNIA ISLAM

A. Sejarah Takwim Hijriah

Takwim atau kalender Hijriah adalah kalender yang terbagi atas dua belas bulan yang setiap bulannya terdiri atas 29 atau 30 hari, dan dalam penanggalannya kalender hijriah lebih singkat 11 hari dari pada penanggalan yang digunakan pada kalender masehi.1 Dilihat dari sejarahnya, takwim Hijriah dimulai pada zaman khalifah Umar bin Khattab, yang mana Umar bin Khattab dan para sahabat merasa perlu adanya penanggalan Islam. Para sahabat mengusulkan penanggalan Islam dimulai dari tanggal lahirnya Nabi Saw, dan yang lainnya mengusulkan penanggalan Islam dimulai dari turunnya wahyu atau dari wafatnya Nabi sebab pada saat itulah menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam. Dari musyawarah tersebut menghasilkan bahwa penanggalan Islam dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah sebab hijrahnya Nabi merupakan tonggak berdirinya negara Madinah.2

Sebab atau alasan pembuatan kalender hijriah ini ada tiga penyebab, yaitu:3

1. Surat dari Abu Musa Al-Asy‟ari kepada Umar bin Khattab berisi “surat-surat anda yang datang kepada kami tanpa tanggal”. 2. Umar merasa adanya masalah dengan ketiadaan tanggal pada setiap surat-surat yang masuk. 3. Ketika seseorang datang kepada Umar bin Khattab untuk membuat kalender, ia tidak mengetahui apa kalender itu dan seseorang tersebut

1 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, Jakarta: Amythas Publica, 2007, h.42. 2 Parlindungan Siregar, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h. 170 3 Ida Fitri Shohibah, Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriah, Jakarta: Balai Pustaka, 2012, h. 2

29

30

menjelaskan bahwa kalender itu adalah untuk mengetahui ini bulan apa dan tanggal berapa.

Pada Sumber lain menyatakan penyebab dibuatnya kalender hijriah ada beberapa sebab, diantaranya:4

1. Merupakan perintah Allah kepada umat Islam membuat suatu sistem penanggalan dalam surat Al-Baqarah ayat 189 dan At-Taubah ayat 36. 2. Para Shahabat merasa perlu adanya suatu sistem penanggalan yang pernah disinggung Rasulullah semasa hidupnya.

Setelah itu khalifah Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat untuk merencanakan pembuatan kalender Islam, dan berikut permasalahan penting yaitu: pertama, para sahabat mengusulkan dari lahirnya Nabi, turunnya wahyu, dari saat wafatnya Rasulullah karena dianggap sebagai sempurnanya wahyu dan dari saat hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah. Musyawarah tersebut menyimpulkan bahwa penanggalan Islam dimulai dari hijrahnya Nabi5 karena hijrahnya Nabi dianggap sebagai pemisah yang haq dan yang bathil.6 Kedua, tentang bulan untuk memulai tahun hijrahnya Nabi. Musyawarah tersebut menyepakati bahwa bulan yang memulai tahun hijrahnya Nabi adalah bulan Muharram yang merupakan bulan selesainya umat islam melakukan ibadah haji dan juga bulan Muharram merupakan bulan yang mulia.7

Dalam penanggalan hijriah dalam setahun terdapat dua belas bulan yaitu: Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhir, Rajab, Sya‟ban, Ramadhan, Syawwal, Zulqa‟dah, dan Zulhijjah. Dari nama-nama bulan ini tak satupun yang berhubungan dengan nama-nama dewa maupun

4 Parlindungan Siregar, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h. 170 5 Parlindungan Siregar, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h. 170 6 Ida Fitri Shohibah, Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriah, Jakarta: Balai Pustaka, 2012, h. 2 7 Ida Fitri Shohibah, Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriah, Jakarta: Balai Pustaka, 2012, h. 3

31

berhala, semuanya berhubungan dengan lingkungan alam dan masyarakat seperti contoh bulan Ramadhan yang artinya panas terik.8

B. Pengertian Hisab dan Rukyat

Dalam dunia Islam, dalam penetapan awal bulan hijriah secara garis besar melahirkan dua aliran pengetahuan yakni aliran hisab dan aliran rukyah. Adapun hisab secara etimologis berasal dari bahasa arab al-hisb yang berarti al-adad wa al-ihsha‟ bilangan atau hitungan, dan secara terminologi hisab sering dihubungkan dengan ilmu aritmatik yaitu ilmu penghitungan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Dalam sumber klasik ilmu ini sering dikaitkan dengan ilmu falak yakni ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit, matahari, bulan, bintang dan planet-planetnya.9 Sedangkan dalam sumber lain menyatakan bahwa falak berarti orbit atau lintasan yang disebut juga dengan garis edar benda-benda langit, dan bumi juga termasuk benda langit.10

Ilmu falak atau astronomi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukurannya dan segala yang berkaitan dengannya. Benda langit yang objeknya dijadikan kajian di kalangan umat Islam adalah matahari, bulan dan bumi yang terbatas pada posisinya masing-masing. Hal ini disebabkan karena perintah pelaksanaan ibadah baik waktu maupun caranya berkaitan langsung dengan posisi benda langit tersebut.11

Dalam agama Islam, ilmu falak bukan hanya sekedar ilmu, melainkan untuk kepentingan praktis dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama dikarenakan ilmu ini secara spesifik membahas kedudukan matahari, bulan, bumi

8 Parlindungan Siregar, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003, h. 169-170 9 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h.214 10 A. Jamil, Ilmu Falak Teori dan Aplikasi: Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun (Hisab Kontemporer), Jakarta: Amzah, 2009, h. 1 11 Maskufa, Hisab Hakiki Muhammadiyah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahkam X, no.1 Maret 2008: h.119.

32

dan benda langit lainnya yang terkait dengan perhitungan arah kiblat, awal waktu sholat, dan penentuan awal bulan.12

Adapun sistem penentuan awal bulan Qamariyyah dengan sistem hisab ini ada dua cara, yakni:

1. Hisab Urfi

Hisab Urfi adalah sistem perhitungan penanggalan dengan acuan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.13 Defenisi ini kemudian diperjelas oleh Maskufa dalam tulisannya yang menyatakan bahwa hisab urfi perhitungannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi lama hari antar bulan adalah 29 dan 30 hari yang bersifat tetap kecuali bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berumur 30 hari.14

Kelemahan dari Hisab Urfi ini bahwa para ulama telah sepakat menyatakan sistem ini tidak bisa diperuntukkan untuk menentukan awal bulan Qamariyyah secara „ubudiyyah atau yang menyangkut masalah peribadatan umat muslim, hisab ini hanya bisa dipeuntukkan untuk menentukan penanggalan dalam kalender hijriyyah saja dan kelebihan dari sistem hisab ini sebagai taksiran-taksiran untuk menghitung awal bulan yang sebenarnya (menggunakan hisab haqiqi) yang biasanya perbedaannya antara 1 hari bahkan sama, dan tanpa sistem ini yang digunakan terlebih dahulu tentulah para ahli hisab akan kesulitan.15

2. Hisab Hakiki Hisab hakiki adalah sebuah sistem pengitungan dan penentuan awal bulan Qamariyyah terhadap peredaran awal bumi dan bulan dengan

12 A. Jamil, Ilmu Falak Teori dan Aplikasi: Arah Qiblat, Awal Waktu, dan Awal Tahun (Hisab Kontemporer), Jakarta: Amzah, 2009, h. 2 13 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 224 14 Maskufa, Hisab Hakiki Muhammadiyah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahkam X, no.1 Maret 2008: h. 128 15 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h.224

33

menggunakan kaedah-kaedah ilmu ukur dengan menggunakan sistem Spherical Trigonometri16 (segitiga bola).17 Hisab hakiki menurut para ahli dibagi atas tiga macam, yakni hisab hakiki taqribi, tahkiki, dan kontemporer (taqdidi). Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus yang berbeda.18 Pertama, metode hisab hakiki taqribi yaitu sebuah sistem pengamatan yang digunakan yang sumnbernya dari teori Ptolomius, yaitu dengan teori geosentrisnya yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit dan ketinggian hilalnya dihitung dari titik pusat bumi dan yang pedoman pada gerak rata-rata bulan, yaitu setiap hari bulan bergerak kearah timur rata-rata 12 derajat.19 Kedua, metode hisab hakiki tahkiki yaitu sebuah metode yang digunakan melaui teori heliosentris yang mana dalam teori ini meyakini bahwa matahari adalah pusat dari tata surya, yang mana dalam sistem ini, perhitungan dapat dilakukan dengan rumus-rumus spherical trogonometri, dan dalam metode hisab ini menentukan ketinggian hilal dengan memperhatikan posisi lintang dan bujur, deklinasi bulan, dan sudut waktu bulan dengan koreksi-koreksi terhadap pengaruh refraksi, paralaks, Dip (keredahan ufuk), dan semi diameter bulan. Oleh karena itu, hisab ini dapat memberikan informasi tentang terbenamnya matahari setelah terjadinya ijtima‟, ketinggian hilal, azimut matahari dan bulan untuk tempat observasi, serta dapat membantu pelaksanaan ru‟yah al-hilal.20

16 Spherical trigonometri adalah sebuah konsep dalam ilmu astronomi yang diperuntukkan untuk menentukan posisi benda-benda langit di langit suatu saat di muka bumi (lihat: Luqman Hakim, Rifqi Budi Raharjo, Didik Dwi Wahyo, Prototype Robot Untuk Menentukan Arah Kiblat Dengan Tanda Shaf Sholat, Surabaya: Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, 2013, h. 1) 17 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 225 18 Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab Rukyat di Indonesia, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika Vol. 8 No. 2, Desember 2011, h. 347 19 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 226 20 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 227

34

Ketiga, metode hisab hakiki tadqiqi yaitu metode hisab yang dikembangkan dari sistem hisab haqiqi tahqiqi dan dipadukan dengan ilmu astronomi modern yang mendapatkan hasil hilal yang lebih akurat.21 Dan adapun rukyat secara etimologi berarti melihat, yang dimaksud dengan melihat disini bermakna melihat dengan mata, dapat pula bermakna melihat dengan ilmu.22 Adapun istilah ru‟yah al-hilal dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah adalah melihat hilal dengan mata telanjang atau bisa juga dengan menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan atau tanggal 29 bulan Qamariyah pada saat matahari terbenam. Apabila rukyat telah terlihat dengan menggunakan rukyat ini maka telah terjadi pergantian bulan dan apabila bulan tidak tampak maka bulan tersebut ditambah satu hari menjadi 30 hari, hal ini dikenal dengan sebutan Istikmal (penyempurnaan).23 Di dunia Islam ada terdapat dua aliran dalam penetapan awal bulan hijriah, sedangkan di Indonesia terdapat banyak aliran yang dikarenakan adanya Akulturasi Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition yang melahirkan corak keagamaan tersendiri, dan adapun aliran Islam indonesia dalam hisab rukyat di antaranya:24 1. Aliran Aboge, yakni aliran yang berpedoman pada pada tahun jawa lama dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Rabu wage sebagaiman diikuti oleh masyarakat muslim dusun Golak Ambarawa Jawa Tengah. 2. Aliran Asapan, yakni aliran yang berpedoman pada kalender Jawa Islam yang sudah diperbaharui dengan ketetapan tahun alif jatuh pada hari Selasa pon, sebagaimana yang diikuti oleh keraton Yogyakarta. 3. Aliran Rukyah dalam satu negara (rukyatul hilal fi wilayatil hukmi). Aliran ini berpegang pada hasil rukyah yang dilakukan setiap akhir

21 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 228 22 Sakirman, Menelisik Metodologi Hisab Rukyat di Indonesia, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika Vol. 8 No. 2, Desember 2011, h. 347 23 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN-Malang Pers, 2008, h. 216 24 Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Ilmu Falak Praktis, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013, h. 155

35

bulan (tanggal 29), apabila berhasil merukyah maka hari esoknya sudah masuk tanggal satu, sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan 30 hari), aliran ini biasanya diikuti oleh Nahdhatul Ulama. 4. Aliran Hisab Wujudul Hilal, prinsipnya jika menurut perhitungan (hisab) hilal sudah dinyatakan di atas ufuk, maka hari besoknya sudah dapat ditetapkan sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu hasil rukyah. Aliran ini yang dipakai oleh Muhammadiyah. 5. Aliran Rukyah lnternasional (Rukyah Global). Aliran ini berpendapat bahwa di mana pun tempat di muka dunia ini, jika ada yang menyatakan berhasil melihat hilal, maka waktu itu pula mulai tanggal satu dengan tanpa mempertimbangkan jarak geografisnya. Aliran ini diikuti oleh Hizbut Tabrir. 6. Aliran Hisab Imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan hisab yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi Pemerintah. 7. Aliran mengikuti Mekkah, di mana penetapannya atas dasar kapan Mekkah rnenetapkannya.

C. Kedudukan Hisab Rukyat Menurut putusan sidang tarjih kedua puluh enam di Padang kedudukan hisab dan rukyat sama dalam penentuan awal bulan Qamariah.25 Sedangkan penentuan awal bulan menurut nash di antaranya sebagai berikut:26 Pertama, Al-Quran surat ar-Rahman ayat 5 yang berarti “Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan”. Kedua, Al-Quran surat Yunus ayat 5 yang berarti “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah- manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”.

25 Lihat: Laporan Musyawarah Nasional Tarjih Kedua Puluh Enam di Padang, h. 12 26 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyyah, Pedoman Hisab Muhammadiyyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009, h. 73

36

Ketiga, Hadis Bukhari dan Muslim, yang artinya “Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka istikmalkanlah”. Keempat, Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw, yang artinya “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari”.

D. Pandangan Ulama Terkait Takwim Hijriah Dikarenakan penentuan awal bulan Qamariah ini sangat menyangkut kepada Ubudiyyah umat Islam, maka timbullah beberapa pandangan terkait hal ini yang di antaranya sebagai berikut: Pertama, Ibnu Shikir, beliau berfatwa apabila hilal terhalang maka dapat dilakukan dengan cara hitungan dengan perjalanan bulan, ataupun dengan cara hisab. Tetapi dari pendapat Ibnu Shikir ini sangat jelas bahwa dia lebih mendahulukan rukyat dari pada hisab. Kedua, Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa diperbolehkannya cara penghitungan bulan hijriah (khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah) apabila hilal terhalang oleh gejala alam.27 Ketiga, Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa penentuan awal bulan khususnya pada penentuan bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah harus didasarkan dengan melihat bulan pada hari kedua puluh sembilan pada bulan tersebut. Jika bulan tersebut belum tampak atau dikarenakan faktor cuaca maka penentuan bulan tersebut harus diistikmalkan.28 Keempat, Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat bahwa tidak ada kewajiban berpuasa apabila melihat hilal sebelum matahari terbenam, meskipun hilal sudah

27 Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta: Amythas Publicita, 2007, h. 129 28 Sub Direktorat Pembinaan Syariah Dan Hisab Rukyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Ilmu Falak Praktis, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013, h. 101

37

tinggi, yang artinya harus diistikmalkan, hal ini dikarenakan menurutnya kewajiban berpuasa berkaitan dengan rukyah setelah matahari terbenam sehingga yang menjadi pegangan adalah rukyahnya bukan hilalnya.29 Keempat, Imam Qalyubi, Imam Ramli, al-Ibbadi, Syarwani, al-Subkhi berpendapat bahwa kewajiban berpuasa atas dasar hisab walaupun posisi hilal tidak bisa dilihat.30 Kelima, Menurut Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harus adanya khalayak ramai yang ditunjuk oleh pemimpin atau pemerintah yang melihat hilal dan syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla‟ hanya satu di tempat itu, dan jikalau hilal tidak tampak maka cukup dengan adanya satu orang yang adil bersaksi melihat hilal.31

29 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, h. 62 30 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, h. 62 31 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid. 3 Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk Jakarta: Gema Insani, 2011, h.50.

BAB IV

TAKWIM HIJRIAH DI KALANGAN TAREKAT SYATTARIYYAH DI MINANGKABAU

A. Naskah Tentang Takwih Hijriah

Naskah pertama, berjudul Compilation of Bilangan Bulan, Thaharah, and Takwil Mimpi (Kumpulan Bilangan Bulan, Thaharah, dan Takwil Mimpi), dengan nomor panggil EAP144/3/38, naskah terdiri dari 191 halaman yang berbentuk digital tetapi dalam penulisan karya ilmiah ini penulis hanya meneliti pembahasan yang membahas tentang penanggalan bulan hijriah yang terdiri dari tiga halaman, yakni terdapat pada halaman 1,166 dan 167.

Jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa, dalam naskah ini membahas tentang penanggalan bulan Arab, Thaharah, Takwil mimpi, dan interprestasi gempa, naskah bertahun 1700an, Tetapi ada kerancuan dalam kitab ini mengenai tahunnya yakni 1700an dan 1976 Masehi, yang dimuat di infomasi yang tertera EAP (Endangered Archives Programme), tetapi penulis berpendapat bahwa kitab tersebut kemungkinan merupakan kitab yang ditulis ulang dari kitab sebelumnya. pemilik dari naskah ini Tuanku Kadhi Abdur Rasyid dari Surau Lubuk Ipuh, Naskah menggunakan bahasa Minangkabau bertuliskan huruf Arab Melayu, dan naskah tersebut belum diteliti.1 Dalam naskah ini penjelasan mengenai penentuan awal bulan sangat umum tidak terlalu spesifik pembahasannya.

Dalam Naskah ini penulisnya menjelaskan bahwa terdapat huruf-huruf tahun dan huruf-huruf bulan yang akan digunakan dalam penghitungan bulan

1 Lihat http://eap.bl.uk/database/overviewitem.a4d?catId=141337;r=13290 “Compilation of Bilangan Bulan, Thaharah, and Takwil Mimpi (Kumpulan Bilangan Bulan, Thaharah, dan Takwil Mimpi)” diakses pada tanggal 1 desember 2016.

38

39

hijriah oleh kalangan Tarekat Syattariyyah, berikut bilangan huruf tahun dan huruf bulannya:

1. Bilangan Huruf bulan yang dua belas:

Muharram Shaffar Rabi‟ul Awal Rabi‟ul Akhir

ٍ ج ب ش

7 2 3 5

Jumadi Jumadi Rajab Sya‟ban Ramadhan Syawal Dzuqa‟dah Dzulhijjah Awal Akhir

ا ّ ج ا ش ٍ د ب 6 1 2 4 5 7 1 3

2. Bilangan Huruf Tahun:

ا ٍ ج ش د ب ّ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Naskah kedua, Naskah dengan nomor panggil CL-SJJ-2011-10-g. Bahasa dan aksara yang digunakan bahasa Arab, dan Arab Melayu, jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan ukuran 24 x 18 cm, ukuran teks 14 x 8 cm. Naskah ini bersampul kulit dengan kondisi sampul baik. Tinta yang digunakan tinta berwarna hitam dan merah.2

2 Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Padang: Hantaran FIB UNAND, 2013, h. 5

40

Dalam naskah ini penulisnya menjelaskan tentang landasan atau dasar hukum dari hisab takwim yang digunakan oleh penganut Tarekat Syattariyah yaitu:

عي اتي عوس زضي اهلل عٌِوا اى زسْل اهلل ص. ذكس زهضاى فقال ال ذصْهْا حري ذسّا الِالل ّال ذفطسّا حري ذسٍّ فاى غن عليكن فاقدزّالَ اخسجَ السرح اال الرسهري

Artinya: Dari ibn Umar ra, bahwa Rasulullah mengingatkan tentang Ramadhan dan beliau bersabda: “jangan kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah berbuka hingga kalian melihatnya kembali. apabila kalian ragu maka tetapkanlah oleh kalian akannya”. dikeluarkan perawi yang eanam kecuali Sunan Turmidzi.

ّعي اتي عثاس زضي اهلل عٌِوا قال جاء اعساتي الي الٌثي ص فقال اًي زايد الِالل يعٌي ُالل زهضاى فقال اذشِد اى الالَ االاهلل قال ا ذشِد اى هحود زسْل اهلل قال ًعن قال ياتالل اذى في الٌاس اى يصْهْا غدا اخسجَ اصحاب السٌي

Dari Ibn Abbas bahwa telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah dan berkata: sesungguhnya aku telah melihat hilal, yakni hilal Ramadhan, Rasulullah bersabda: “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul utusan Allah”, ia berkata: ya, lalu beliau bersabda: “ya Bilal, serukan kepada manusia agar mereka berpuasa esok hari” hadist diriwayatkan oleh Ashab Sunan.

ّعي اتي عوسزضي اهلل عٌِوا قال ذسااي الٌاس الِالل فاخثسخ زسْل اهلل ص اًي زايرَ فصام ّاهس الٌاس تصياهَ اخسجَ اتْداّد.

Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya “aku mengabari Rasulullah bahwa aku telah melihat hilal lalu beliau berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa. Hadist diriwayatkan oleh Abu Daud.

Mulainya berpuasa dengan dua perkara: Pertama, dengan menggunakan taqwim, dalilnya firman Allah SWT “barang siapa yang menyaksikan (hilal)

41

diantara kamu maka berpuasalah”. Kedua, hadis sekalipun bersesuaian dengan kalender yakni dari awal terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sebagaimana sabda Rasululullah “berpuasalah kalian apabila melihat hilal dan berbukalah bila telah melihatnya kembali, jika ragu maka genapkanlah tiga puluh hari”.

Masih dalam kitab tersebut menjelaskan apa itu melihat hilal. Melihat hilal adalah setiap penglihatan pada tiap-tiap bulan dan sarat melihat hilal tersebut adalah sehari sebelum jumlah bilangan takwim mereka. Dan penglihatan itu dimulai dari awal tenggelamnya matahari sampai munculnya fajar.

Naskah Ketiga, Naskah yang berjudul Perhitungan Bulan Komariah (The Islamic Calendar), dengan nomor panggil EAP144/4/25, naskah terdiri dari dua halaman, jenis kertas yang digunakan adalah kertas Eropa, dalam naskah ini menggambarkan bulan-bulan kalender Islam dalam bentuk lingkaran, naskah bertahun 1800an, naskah menggunakan bahasa dan huruf Arab, Naskah berbentuk kolofon dan belum diteliti.3 Berikut isi naskah tersebut:

هحسم صفس زتيع االّل زتيع االخس

ش ب ج ٍ

5 3 2 7

جواد االّل جواد االخس زجة شعثاى زهضاى شْال ذّالقعدج ذّالحجح

ّ ا ب د ٍ ش ا ج

3 1 7 5 4 2 1 6

3 Lihat http://eap.bl.uk/database/overview_item.a4d?catId=141408;r=14893 “Perhitungan Bulan Komariah (The Islamic Calendar)” diakses pada tanggal 1 desember 2016.

42

Muharram Shaffar Rabi‟ul Awal Rabi‟ul Akhir

ٍ ج ب ش

7 2 3 5

Jumadi Jumadi Rajab Sya‟ban Ramadhan Syawal Dzuqa‟dah Dzulhijjah Awal Akhir

ا ّ ج ا ش ٍ د ب 6 1 2 4 5 7 1 3

B. Metode Takwim Hijriah

Metode penghitungan awal bulan hijriah dengan menggunakan hisab takwim dilakukan dengan berdasarkan kepada huruf tahun dan huruf bulan sebagaimana yang telah termaktub diatas dengan huruf Alif, Ha, Ja, Za, Da, Ba, Wa, Da yang bernilai arti 1, 5, 3, 7, 4, 2, 6.

Untuk sekedar mengetahui kenapa nilai huruf tersebut seperti itu, semua ini telah tertera dalam kitab Abu Ma‟syar Al-Falaki, layaknya Abjad Romawi I yang berarti 1, II berarti 2. III yang berarti 3 dan seterusnya, dan berikut Abjadnya:4

ا ب ج د ٍ ّ ش ح ط ي

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

ك ل م ى س ع ف ص ف ز

4 Abu Ma‟syar Al-Falaki, Abu Ma‟syar Al-Falaky, h.1

43

200 100 90 80 70 60 50 40 30 20

ش خ ز خ ذ ض ظ غ

1000 900 800 700 600 500 400 300

Pada Tarekat Syattariyyah menggunakan metode takwim khumus atau metode pengitungan awal bulan hijriah yang dimulai dari hari kamis. Berikut ini adalah kalender hijriyah yang digunakan oleh penganut Tarekat Syattariyah di Minangkabau dalam melakukan penentuan awal bulan:

ا ٍ ج ش د ب ّ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Shafar Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Rabi‟awal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Rabi‟akhir Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Jmd awal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ّ

Jmd akhir Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Rajab Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

44

Sya‟ban Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin د

Ramadhan Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Syawal Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Zulkaedah Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Zulhijah Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Dalam penetuan awal bulan Hijriah di kalangan Tarekat Syattariyyah terdapat tiga metode yang mana tiga metode tersebut bisa diaplikasikasikan satu persatu, berikut metodenya:5

)ُـ) Metode Huruf Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW .1 Dalam metode ini cara mencarinya adalah tahun hijriyah dibagi dengan delapan sebagaimana banyaknya jumlah dari huruf tahun sampai habis dan tidak bisa dibagi lagi dengan angka 8, dan sisa dari pembagian itu yang akan kita jadikan patokan dalam perhitungan mencari huruf tahun tersebut, Berikut cara mencari huruf tahun 1438 H dengan berpatokkan kepada huruf tahun lahir Nabi Muhammad:

5 Wawancara dengan Bapak Arrazi Hasyim, (Beliau adalah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga seorang Cendikiawan Muslim Minangkabau yang ahli dalam dunia Tashawuf), tanggal 13 Maret 2017.

45

ا ُ ج ش د ب ّ د

8 1438 = 179 8 63 56 78 72 6

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total 13 Wa (6) Zai (7) Jumlah sisa pembagian (Muharram) Mulai penghitungan harinya harus 1438 H adalah 6 dari hari kamis

Setelah didapatkan harinya, lalu kita buktikan dengan tabel:

ا ٍ ج ش د ب ّ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Shafar Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Rabi‟awal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Rabi‟akhir Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Jmd awal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ّ

Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir

46

ا

Rajab Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Sya‟ban Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin د

Ramadhan Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Syawal Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Zulkaedah Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Zulhijah Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

2. Metode Huruf Tahun Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke )ّ( Madinnah Dalam metode ini cara mencarinya adalah tahun hijriyah dibagi dengan delapan sebagaimana banyaknya jumlah dari huruf tahun sampai habis dan tidak bisa dibagi lagi dengan angka 8, sebelum itu Tahun harus dikurangi dengan 53 (Umur Nabi dari lahir hingga sebelum hijrah). dan sisa dari pembagian itu yang akan kita jadikan patokan dalam perhitungan mencari huruf tahun tersebut, Berikut cara mencari huruf tahun 1438 H dengan berpatokkan kepada huruf tahun Hijrah Nabi Muhammad:

47

ا ُ ج ش د ب ّ د 1438-53

8 1385 = 173 8 58 56 25 24 1

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total 13 Wa (6) Zai (7) Jumlah sisa pembagian (Muharram) Mulai penghitungan harinya harus 1438 H adalah 6 dari hari kamis

Setelah didapatkan harinya, lalu kita buktikan dengan tabel:

ا ٍ ج ش د ب ّ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Shafar Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Rabi‟awal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Rabi‟akhir Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Jmd awal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ّ

Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at Jmd akhir

48

ا

Rajab Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Sya‟ban Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin د

Ramadhan Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Syawal Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Zulkaedah Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Zulhijah Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

(ا) Metode Huruf Tahun Wafat Nabi Muhammad SAW .3 Dalam metode ini cara mencarinya adalah tahun hijriyah dibagi dengan delapan sebagaimana banyaknya jumlah dari huruf tahun sampai habis dan tidak bisa dibagi lagi dengan angka 8, sebelum itu Tahun harus dikurangi dengan 63 (Umur Nabi ketika wafat). dan sisa dari pembagian itu yang akan kita jadikan patokan dalam perhitungan mencari huruf tahun tersebut, Berikut cara mencari huruf tahun 1438 H dengan berpatokkan kepada huruf tahun wafat Nabi Muhammad:

49

ا ُ ج ش د ب ّ د 1438-63

8 1375 = 171 8 57 56 15 8 7

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total 13 Wa (6) Zai (7) Jumlah sisa pembagian (Muharram) Mulai penghitungan harinya harus 1438 H adalah 6 dari hari kamis

Setelah didapatkan harinya, lalu kita buktikan dengan tabel:

ا ٍ ج ش د ب ّ د

4 6 2 4 7 3 5 1

Muharam Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Shafar Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Rabi‟awal Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Rabi‟akhir Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Jmd awal Sabtu Senin Kamis Sabtu Selasa Jum‟at Minggu Rabu ّ

50

Jmd akhir Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Rajab Selasa Kamis Minggu Selasa Jum‟at Senin Rabu Sabtu ب

Sya‟ban Kamis Sabtu Selasa Kamis Minggu Rabu Jum‟at Senin د

Ramadhan Jum‟at Minggu Rabu Jum‟at Senin Kamis Sabtu Selasa ٍ

Syawal Minggu Selasa Jum‟at Minggu Rabu Sabtu Senin Kamis ش

Zulkaedah Senin Rabu Sabtu Senin Kamis Minggu Selasa Jum‟at ا

Zulhijah Rabu Jum‟at Senin Rabu Sabtu Selasa Kamis Minggu ج

Tabel 7

Setelah penentuan tanggal kapan hari pertama jatuh maka setelah itu diadakan proses rukyatul hilal. Proses rukyatul hilalnya atau mancaliak bulan dihadiri oleh penganut Tarekat Syattariyah.

Menurut Bapak Arrazi Hasyim, setelah penentuan awal bulan tersebut makanya alim ulama Tarekat Syattariyyah akan melihat bulan pada sore menjelang malam tanggal 29 Sya‟ban menggunakan mata telanjang, dan apabila bulan tak terlihat maka bulan Sya‟ban akan digenapkan menjadi 30 hari, karena ketradisionalan itulah Tarekat Syattariyyah berpuasa sering telat satu hari atau dua hari daripada ketetapan Kementrian Agama.6 Bahkan dari tabel diatas Tarekat

6 Wawancara dengan Bapak Arrazi Hasyim tanggal 13 Maret 2017.

51

Syattariyyah telat satu hari berpuasa dari pemerintah yang akan berpuasa pada hari sabtu (menurut kalender).

C. Pelestarian Takwim Hijriyah Syattariyyah Di Minangkabau

Metode takwim hijriah oleh Tarekat Syattariah sebagaimana yang telah termaktub diatas menggunakan tiga metode yakni menggunakan metode huruf Alif yang merupakan tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW, menggunakam metode huruf Ha yang merupakan tahun lahirnya Nabi Muhammad SAW, dan menggunakan huruf Waw merupakan tahun hijrahmya nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinnah.

Adapun alasan penganut Tarekat Syattariyyah masih menggunakan takwim dalam menetapkan awal bulan Hijriyah adalah karena mengikuti sunnah Nabi dan silsilahnya yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW dan berikut ini adalah silsilah takwim Tarekat Syattariyah di Minangkabau (untuk lebih lengkapnya bisa dilihat di lampiran):7

1. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam 2. „Ali bin Abi Thalib 3. Syaikh Hasan al-Bashri 4. Syaikh Abibullah al-Ajami 5. Syaikh Daud at-Tha‟i 6. Abi Yazid al-Bishtami 7. Makhruf al-Karkhi 8. Syaikh Abi Bakr „Ali ar-Raudhil Barr 9. Abil Kasim al-Kurkuni 10. Abi „Ali al-Farmadi 11. Yusuf al-Hamdani 12. „Abdul Khaliq al-„Aduwani 13. Abi Bakr an-Nasaj

7 Abdul Manaf Amin Al-Khattib, Kitab Al-Taqwim wa Al-Shiyam, h. 26

52

14. al-Ghazazi 15. Najmuddin al-Kuri 16. Majduddin al-Baghdadi 17. „Alauddin. 18. Ala‟uddin as-Samani 19. Syah al-Qarahi 20. Syaikh Ahmad Qusyasyi 21. Syaikh Abdurrauf sinkili „Ali al-Jawi 22. Syaikh Burhanuddin Ulaqqani. 23. Syaikh al-Kamil al-Mukamal Abdul Mauhub 24. Syaikh Ahmad Shaghir at-taqwim

Proses penyebaran takwim hijriah di Minangkabau tak terlepas dari kembalinya murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan ke kampungnya masing- masing Di antaranya dari Padang Gantiang Batu Sangkar bernama Datuk Maruhun Panjang, dari Kubung Tiga Belas Solok bernama si Tarapang, dari Koto Tangah Padang bernama Matnasir, dari Sipayang bernama Abdul Muhin, dari Batang Bandar Sepuluh bernama Buyung Muda dan dari Paninjauan Padang Panjang bernama Jalaluddin.8

Datuk Maruhun Panjang menyebarkan Islam Tarekat Syattariyyah Meliputi Luhak Tanah Datar. Matnasir menyebarkan Islam Tarekat Syattariyyah meliputi Koto Tangah Pauh Lubuk Bagalung Padang dan sekitarnya. Syaikh Terapang (Syaikh Pandan Baijuk) menyebarkan Islam Tarekat Syattariyyah meliputi seluruh Solok dan daerah Sijunjung sampai ke daerah Abai. Syaikh Abdul Muhsih (Syaikh Supayang Islam Tarekat Syattariyyah meliputi daerah Alahan Panjang Muara Labuh dan Lubuk Gadang. Buyung Muda (Syaikh Bayang) menyebarkan Islam Tarekat Syattariyyah meliputi seluruh Bandar Sepuluh sampai ke Kurinci (Kerinci). Syaikh Jalaluddin kapeh-kapeh

8 Abdul Manaf Amin Al-Khattib, Kitab Al-Taqwim wa Al-Shiyam, h. 69

53

menyebarkan Islam Tarekat Syattariyyah meliputi ke Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto Payakumbuh.9

Adapun pelestarian Takwim Hijriah oleh pengikut Tarekat Syattariyyah di Minangkabau Pertama kali dilakukan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al- Khattib10 atas sepersetujuan Angku Batang Kabung Syaikh Haji Salif dengan cara mengganti pengitungan awal bulan hijriah dari hari kamis menjadi hari rabu dikarenakan menurut Beliau tata cara pengitungan dengan menggunakan hari kamis tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi alam tapi masih dengan berlandaskan hadist Nabi Muhammad SAW yang membolehkan peritungan awal bulan hijriah dengan menggunakan hari rabu ataupun kamis.11

Tata cara penghitungan awal bulan hijriah yang dikemukakan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khattib ini masih sama dengan tata cara yang sebelumnya yakni dengan menggunakan huruf tahun kelahiran Nabi, huruf wafatnya Nabi, dan juga huruf tahun hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah.

Berikut penghitungan yang dikemukakan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khattib tersebut:

ا ُ ج ش د ب ّ د

8 1438 = 179 8

63 56 78 72 6

9 Abdul Manaf Amin Al-Khattib, Kitab Al-Taqwim wa Al-Shiyam, h. 71-72 10 Imam Maulana Abdul Manad Amin Al-Khattib adalah Ahli Takwim Hijriyyah Tarekat Syattariyyah di Surau Batang Kabung, Tabing Padang, dan beliau juga penulis Kitab Al-Taqwim wa Al-Shiyam 11 Wawancara dengan Chairullah Ahmad

54

Huruf Tahun + Huruf Bulan = Jumlah Total 11 Wa (6) Ha (5) Jumlah sisa pembagian (Ramadhan) Mulai penghitungan harinya harus 1438 H adalah 6 dari hari rabu

Contoh di atas dengan menggunakan cara penghitungan awal bulan Ramadhan tahun 1438 hijriah dengan dimulai dari hari rabu dengan metode Huruf Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni dengan huruf tahun Ha. Dari jumlah penghitungan tersebut dengan hasil 11 maka dapat diketahui bahwa bulan Ramadhan tahun 1439 Hijriah jatuh pada hari Sabtu.

Sedangkan di daerah Sijunjung dan sekitarnya masih tetap menggunakan metode takwim hijriah khumusiyyah, Menurut penuturan Bapak Arrazi Hasyim, tata cara dan metode takwim hijriah ini masih tetap digunakan oleh semua kalangan Tarekat Syattariyyah di Minangkabau kecuali di kalangan masyarakat Syattariyyah di Payakumbuh Lima Puluh Kota yang telah mengikuti ketetapan pemerintah Indonesia (Ketetapan Kementrian Agama RI).12

12 Wawancara dengan Bapak Arrazi Hasyim tanggal 13 Maret 2017.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan dalam bab-bab sebelumnya dapat dilihat bahwa penentuan awal bulan hijriah yang dilakukan oleh Tarekat Syattariyyah di Minangkabau khususnya pada penentuan bulan Ramadhan dan juga bulan Syawal berlandasan yang kuat kepada dalil-dalil dari Kitab Suci Al- quran dan juga sunnah Rasullullah SAW dan mengacu juga kepada pedoman- pedoman yang ditulis oleh syaikh-syaikh dari kalangan mereka sendiri.

Dan dalam penentuan awal bulan Tarekat Syattariyyah di Minangkabau menggunakan cara penghitungan penentuan awal bulan dengan metode hisab takwim hijriah yang berdasarkan huruf tahun dan huruf-huruf bulan dengan menggunakan hisab khumusiyyah yaitu menentukan hari pada awal bulan mengacu atau dimulai dengan hari kamis. Adapun metode-metode dalam penentuan awal bulan hijriah oleh Tarekat Syattariyyah diantaranya: Pertama, metode tahun Ha yakni cara penghitungan dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kedua, Metode Tahun Waw yaitu cara penghitungan dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinnah. Ketiga, Metode Tahun Alif yaitu cara penghitungan dimulai dari tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW. Teks naskah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau hingga saat ini masih digunakan untuk menentukan kapan jatuhnya awal bulan hijriah khususnya bulan Ramadhan dan bulan Syawal hampir di semua daerah yang menganut paham Syattariyyah kecuali di daerah Payakumbuh Lima Puluh Kota yang telah mengikuti ketetapan pemerintah Indonesia (Ketetapan Kementrian Agama RI).

55

56

B. Saran-saran 1. Bagi penulis khususnya dan bagi para civitas academika pada umumnya marilah lebih mendalami kajian tentang pernaskahan dikarenakan banyak khazanah keislaman Nusantara yang masih tersimpan di dalam naskah-naskah tersebut. 2. Bagi para ilmuan hendaknya memberikan penjelasan bagi khalayak ramai bagaimana menjelaskan mengenai teks takwim hijriah di Indonesia pada khususnya dan Tarekat Syattariyyah pada khususnya. 3. Tarekat Syattariyyah di Minangkabau hendaknya menerima perkembangan zaman mulai dari teknologi dan infomasi pada khususnya pada penentuan awal bulan hijriah ini dengan tidak menghilangkan tradisi-tradisi yang telah dipelajari secara berabad-abad tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Syafii Tungklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Azra,, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.

Burhanuddin, Jajat, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012.

Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Ed. II, Jakarta: Yayasan Obor, 2015.

Damanhuri, Umdah Al-Muhtajin: Rujukan Tarekat Syattariyyah Nusantara, dalam Jurnal Ulumuna Vol. 17 No.2 Desember 2013, Mataram: Institute Agama Islam Negeri Mataram, 2013.

Fanani, Ahwan, Ajaran Tarekat Syattariyah dalam Naskah Risalah Shattariyyah, Gresik: Walisongo 20, no. 2 November 2012,

Fathurahman, Oman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

______, Tarekat Syattariyyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

______, Tarekat Syattariyyah Memperkuat Ajaran Neosufisme, dalam Sri Mulyati et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Jones, Pip, Liza Brad Bradbury, Shaun Le Boutillier, Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor, 2016.

Jong, P. E. De Josselin de, Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Stucture in Indonesia, Den Haag: Martinus Nijhoff Uitgeverij.

Kadrianto, “Teks Takwim dalam Naskah-Naskah Koleksi Surau Calau: Teks dan Konteks”, Padang: Hantaran FIB UNAND, 2013.

Kahin, Audrey R., Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatra Barat Dan Politik Indonesia, 1926-1998, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Katkova, Irana, Endangered Manuscripts of Westren Sumatera Collection of Sufi Brotherfood, British Library, 2008.

Kato, Tsuyoshi, Adat Minangkabau dan Merantau Dalam Prespektif Sejarah, Jakarta, Balai Pustaka, 2005.

Lubis, Nabilah, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2007.

Mulyati, Sri et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Murtadho, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Na‟im, Akhsan dan Hendry Syaputra, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2010.

Poesponegoro, Marwati Djeoned, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Pranomo, Naskah Rowayat Hidup Abdul Manaf: Pengantar dan Suntingan Teks, Padang: Surau Institute for Conservation, 2015.

______, Surau dan Tradisi Pernaskahan di Minangkabau: Studi Atas Dinamika Tradisi Permaskahan di Surau-surau Padang dan Padang Pariaman, dalam Jurnal Hunafa. Vol. 6 No. 3, Desember 2009, Padang: Universitas Andalas.

Rafli, Zainal, Ninuk Lustyantie, Teori Pembelajaran Bahasa: Suatu Catatan Singkat, Jokjakarta: Garudhawaca, 2016.

Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, Jakarta: Amythas Publica, 2007.

Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat dan Hilal, Jakarta: Amythas Publica, 2007.

Shohibah, Ida Fitri, Mengenal Nama Bulan dalam Kalender Hijriah, Jakarta: Balai Pustaka, 2012.

Siregar, Parlindungan, Penanggalan Hijriah Sebuah Peradaban dan Identitas Umat Islam, dalam Jurnal Al-Turas Vol. 9 No. 2, Juli 2003, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Yokyakarta: Kanisius, 2005.

Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi , Jakarta: Gramedia, 2009.

Website: eap.bl.uk “EAP144/3/38 Compilation of Bilangan Bulan, Thaharah, and Takwil Mimpi (Kumpulan Bilangan Bulan, Thaharah, dan Takwil Mimpi)” diakses pada tanggal 1 desember 2016. eap.bl.uk “EAP144/4/25: Perhitungan Bulan Komariah (The Islamic Calendar)” diakses pada tanggal 1 desember 2016.

Iskandar, Harry “Surau Syech Gadang Burhanuddin dan Surau Tinggi Calau”, artikel diakses pada 25 Juli 2016 dari http://kebudayaan. kemdikbud.go.id/ bpcbsumbar/2016/02/02/surau-syech-gadang-burhanuddin-dan-surau-tinggi- calau/.

Sufinewss.com, Tarekat Syattariyyah, tanggal 3 Maret 2004, diakses pada tanggal 21 Desember 2016, jam 22:00.

WAWANCARA

Nama : Ismail Marzuki, S.H

Alamat : Malalo, Malalo, Padang Laweh Malalo, Batipuh Selatan Kabupaten Tanah Datar Pekerjaan : Dagang Tanggal : 23 September 2017

1. Apa landasan yang digunakan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah setempat dalam penentuan awal bulan hijriah? Dalam menentukan awal bulan hijriah kami (pengikut Tarekat Syattariyyah) berlandaskan atau mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. 2. Apakah ada surat keterangan pengesahan bahwa telah melihat bulan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah setempat seperti surat keterangan sidang isbath yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia? Tidak, kami (pengikut Tarekat Syattariyyah) tidak menggunakan surat keterangan pengesahan bahwa telah melihat bulan maupun kami belum melihat bulan, tidak sama seperti pemerintah Indonesia yang ada surat keterangan sidang isbath dalam penentuan awal bulan hijriah bahkan kami (pengikut Tarekat Syattariyyah) tidak menggunakan alat dan teknologi dalam mancaliak bulan (melihat bulan), kami (pengikut Tarekat Syattariyyah) hanya menggunakan mata telanjang. 3. Bagaimana cara penetapan awal bulan hijriah oleh pengikut Tarekat Syattariyyah setempat? Dalam penentuan awal bulan hijriah oleh Tarekat Syattariyyah di kampung kami, Tuanku mengutus orang untuk mancaliak bulan (melihat bulan) ke daerah Koto Tuo (Kabupaten Agam), Bunguih (Padang), dan Ulakan (Pariaman) sehari sebelum jatuhnya hari pertama bulan hijriah berikutnya. Setelah diutusnya orang-orang ke beberapa daerah tersebut,

para ulama Tarekat Syattariyyah di kampung kami mengadakan musyawarah mufakat membicarakan perihal penetapan awal bulan hijriah. 4. Siapa yang mengutus dan diutus untuk melihat bulan ke tempat tersebut? Tuankulah yang mengutus orang-orang ke beberapa daerah tersebut (daerah Koto Tuo Kabupaten Agam, Bunguih Padang, dan Ulakan Pariaman) untuk melihat apakah bulan sudah tampak atau belum, dan yang diutus oleh Tuanku adalah orang-orang dalam kampung tersebut yang bertarekat Syattariyyah dan apabila orang-orang tersebut telah melihat bulan mereka disumpah atas nama Allah jika mereka telah mancaliak bulan (melihat bulan). 5. Siapa yang mengumumkan bahwa bulan telah terlihat ataupun belum terlihatnya bulan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah? Yang mengumumkan bahwa telah terlihatnya bulan ataupun belum terlihatnya adalah Tuanku yang diumumkan di Surau.

WAWANCARA

Nama : A. Rafi, S. Pt

Alamat : Padang Alai, Kec. V Koto Timur, Kab. Padang Pariaman

Pekerjaan : Dagang

Tanggal : 23 September 2017

1. Dalam perihal penentuan awal bulan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah di daerah setempat, apa landasan yang digunakan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah di daerah setempat? Dalam penentuan awal bulan hijriah oleh tarekat syattariyyah di sini menggunakan landasan Al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW. 2. Apakah ada surat keterangan pengesahan bahwa telah melihat bulan oleh pengikut Tarekat Syattariyyah setempat seperti surat keterangan sidang isbath yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia?

Tidak, kami (pengikut Tarekat Syattariyyah di Padang Alai, Kec. V Koto Timur, Kab. Padang Pariaman) tidak menggunakan surat keterangan pengesahan bahwa telah melihat bulan maupun kami belum melihat bulan, sejauh pengetahuan saya bahwa pemerintah dalam penentuan dan menetapkan awal bulan hijriah khususnya bulan Ramadhan dan juga bulan Syawal menggunakan teknologi terkini dan juga pengesahannya dilakukan oleh pemerintah yang terkait dalam hal ini Mentri Agama hal tersebut berbeda dengan kami (pengikut Tarekat Syattariyyah di Padang Alai, Kec. V Koto Timur, Kab. Padang Pariaman) dalam penentuan awal bulan hijriah, kami masih tradisional yang mana Tuanku atau disini disebut Guru mengutus beberapa orang ke Ulakan (Kec. Tapakis) untuk melihat bulan. Setelah orang yang diutus tersebut melihat mereka melaporkan kepada Tuanku bahwa mereka telah melihat bulan dengan cara mereka disumpah atas Nama Allah.

Silsilah Tarekat Syattariyyah di Minangkabau

Silsilah Khalifah Tarekat Syattariyyah di Ulakan, Pariaman