Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi”

UNSUR KOMPETISI MUSIKAL DALAM SAJIAN GENDING SEKATEN

Sigit Setiawan Program Studi Televisi dan Film Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember [email protected]

Abstrak

Sekaten merupakan sebuah refleksi kebudayaan di Keraton Surakarta. Saat ini, perayaannya dimaknai sebagai bentuk eksistensi Keraton Surakarta sebagai tonggak penyangga kebudayaan. Perayaan Sekaten dengan berbagai kepentingan masyarakat di Surakarta telah menjadikannya peristiwa yang patut diapresiasi oleh mereka yang masih menjadikan Keraton Surakarta sebagai kiblat lingkup kebudayaan Jawa. Salah satu yang mencerminkan situasi tersebut adalah keberadaan yang di dalam penyajiannya terdapat unsur “kompetisi” musikal. Hal ini tidak dapat lepas dari penambahan perangkat Gamelan Sekaten yang semula berjumlah satu perangkat menjadi dua perangkat yakni di masa pemerintahan Paku Buwono IV. Situasi tersebut membuat para pengrawit (pemain gamelan) harus kreatif dan mempunyai referensi gending yang banyak. “Iklim kompetisi” – yang hingga kini masih berlangsung – tersebut akhirnya melahirkan konsep musikal berdasarkan pertimbangan-pertimbangan estetika musikal karawitan seperti konsep sisihan. Konsep inilah yang digunakan sebagai “standar kompetisi” seperti kemiripan nama, kemiripan garap, golongan gending dan bentuk kemiripan (lagu) balungan gending. Kata Kunci: gamelan, sekaten, kompetisi musikal.

Abstract Sekaten is a reflection of the culture within the Keraton Surakarta. Currently, this celebration is understood as one way the Keraton Surakarta exists to support cultural institutions. Sekaten, which serves many interests of Surakarta’s community, has become an event that should be appreciated by those who still consider the Keraton Surakarta as the mecca of . One phenomenon that reflects the aforementioned situation is the existence of musical “competition” in the presentation of Gamelan Sekaten. This is closely tied to the addition of a second set of instruments during the reign of Paku Buwono IV to the original one. This situation spurs the pengrawit (gamelan musicians) towards creativity and knowledge of a wide repertoire of gendhing. The “climate of competition” - still found today - finally gave rise to musical concepts based on considerations of musical aesthetics, such as the idea of “sisihan” found in karawitan. This concept is used as the “standard of competition”: the similarities of names, similarities in garap (musical interpretation), the grouping of gending and melodic (lagu) similarities in the balungan gending.

Keywords: gamelan, sekaten, musical competition.

Pengantar sih dapat kita jumpai. Perayaan Sekaten ada- lah salah satunya. Sekaten dalam makna yang Keraton dalam perannya sebagai pa- sebenarnya adalah perangkat gamelan yang tron kebudayaan masyarakat Jawa, pada ta- kemudian popular di masyarakat sebagai alih taran tertentu menunjukkan eksistensi dan nama perayaan Maulud. kewibawaannya. Legitimasi tersebut dapat kita lihat pada unsur-unsur ketradisian dilingkup Guna membatasi teba diskusi, tulisan ini keraton seperti bahasa, tingkah laku, kesenian, mengeksplanasikan kebudayaan sekaten yang bangunan fisik dan beberapa upacara ada di Surakarta, karena gamelan Sekaten tidak keraton yang hingga kini tetap lestari dan ma- hanya terdapat di keraton Surakarta tetapi ter-

14 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 Unsur Kompetisi Musikal dalam Sajian Gamelan Sekaten Sigit Setyawan dapat juga di keraton dan keraton kaian, makanan, aksesoris dan lain sebagain- Cirebon. Ketiganya, membunyikan gamelan ya. Lebih menarik dari peristiwa ini, bahwa sekaten dengan tujuan yang sama yakni untuk terdapat nenek-nenek atau ibu-ibu yang ber- memperingati kelahiran Nabi jualan cemethi, klonthong sapi, dhadhung (tali SAW (Waridi, 2006: 148). Pertimbangan lainn- untuk menarik sapi yang ditempatkan pada ya, bahwasannya Keraton Surakarta – apabila leher) kuda-kudaan, serta bunga-bunga di dibandingkan dari dua keraton lainnya – mas- dekat tempat gamelan Sekaten dibunyikan yarakatnya dapat dikatakan masih dapat me- atau ditempat lain. Sebenarnya ini merupa- maknai perayaan sekaten daripada Yogyakarta kan simbolisme dari kebudayaan masyarakat dan Cirebon. Pendapat ini didukung dengan agraris yang dalam kehidupannya tidak dapat fakta bahwa, masyarakat yang terlibat – ter- lepas dari kehidupan bertani dan bercocok ta- utama dalam perayaan “rebutan gunungan” nam serta keberadaan sapi atau kerbau untuk –masyarakat umum Surakarta banyak yang membantu dalam bercocok tanam. Sedangkan hadir. Begitu banyak elemen masyarakat yang bunga merupakan salah satu persyaratan un- terlibat hingga timbul beberapa perspektif ter- tuk ngalap berkah4 melalui juru penunggu gong kait perayaan Sekaten. Perayaan Sekaten beber- yang dikeramatkan dan dipercaya membawa apa di antaranya dapat dipandang mulai dari berkah. sisi pengrawit1, pedagang , mas- Dari sisi pemerintah kota dalam hal ini yarakat umum, pemerintah kota hingga kera- pemerintah kota Surakarta, perayaan sekat- ton Surakarta. en merupakan ikon pariwisata yang besar. Sudut pandang pengrawit berpendapat Terbukti dengan datangnya wisatawan asing bahwa membunyikan gamelan sekaten mer- maupun lokal untuk berkunjung diperayaan upakan wujud darma bakti kepada keraton sekaten ini. Kebanyakan para pengunjung juga (Waridi, 2006: 149). Pandangan para pengraw- disesaki oleh masyarakat yang berada diluar it ini sangat wajar, bila kita melihat masa pra wilayah kota Surakarta lepas dari keinginann- kemerdekaan di mana ketika keraton masih ya datang untuk ngalap berkah atau untuk ber- memiliki legitimasi baik kebudayaan dan pe- ekrasi. Yang pasti keberadaan perayaan sekat- merintahan hingga menjadi satu kesatuan den- en telah memberi nilai kepariwisataan kota gan NKRI, para pengrawit masih berpatron ter- Surakarta sebagai kota budaya. Dukungan pe- hadap keraton terutama mengenai karawitan, merintah kota berupa dukungan materiil, hal bahkan hingga saat ini. Selain sebagai bentuk ini dapat dimaklumi karena pertama keraton penghormatan, pengakuan masyarakat terh- Surakarta tidak lagi berdiri sebagai pusat pe- adap pengrawit keraton masih dinilai manjur merintahan sehingga sangat mustahil untuk untuk mengukuhkan wibawa seorang pen- dapat merayakan acara sebesar sekaten tanpa grawit itu sendiri. Anggapan masyarakat jaban ada sumber dana yang cukup. Sumber dana 2 rangkah keraton masih mendudukan pengraw- inilah kemudian menjadi wujud dukungan it keraton sebagai pengrawit unggulan yang dari pemerintah kota terhadap keraton. Kedua menjadi kiblat dalam dunia karawitan. kota Solo yang mempunyai lima wilayah ka- Pandangan kedua dari sisi para peda- residenan, yakni Boyolali, Wonogiri, Klaten, gang. Sekaten bagi para pedagang merupakan Sukoharjo dan Karanganyar, secara politik juga ajang untuk menawarkan barang dagangann- melibatkan diri sebagai pendukung adanya ya guna meraih penghasilan yang lebih. Per- perayaan sekaten. Wujud dari dukungan dapat ayaan Sekaten juga merupakan tempat berda- dilihat pada akhir-akhir perayaan sekaten yaitu gang atau pasar kaget. Perayaan sekaten jauh saat grebeg dilaksanakan. Arak-arakan hari sebelum prosesi upacara sekaten hingga grebeg terdapat tumpeng yang diberi label (tan- grebeg3 dilaksanakan telah diawali dengan da nama) dari kabupaten yang mengirimkan. pasar malam dan swalayan terbuka. Dalam Pada perayaan sekaten sebenarnya hanya ada perayaan ini banyak dijumpai pedagang pa- dua buah tumpeng yakni simbol dari lingga

Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 15 Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi” dan yoni dan disebut tumpeng lanang wadon. Robiulawal (Mulud) (Rustopo dalam Waridi, Dampak dari peran serta daerah dalam per- 2007: 114). ayaan sekaten maka tumpeng yang dihadirkan Keberadaan sekaten disinyalir telah ada pada waktu grebeg dapat lebih dari dua bahkan pada masa pemerintahan raja Demak. Kon- pernah mencapai 12 tumpeng. septor dari gamelan sekaten konon adalah Bagi masyarakat umum, sekaten mer- sembilan wali yang diprakarsai oleh Kalijaga. upakan tempat untuk berekreasi. Selain dapat Tujuan awal dibuatnya perangkat gamelan menonton pertunjukan gamelan sekaten, mas- sekaten ini digunakan sebagai media dakwah. yarakat umum juga dapat menikmati pasar Ketika kerajaan Demak berdiri dengan misi malam atau semacam permainan anak-anak menyebarkan agama , salah satu media seperti tong setan dan sebagainya. Dari sisi ke- dakwah yang digunakan adalah seperangkat beradaan Keraton Surakarta sebagai “penye- gamelan yang disebut gamelan Sekaten. Beri- lenggara”, perayaan sekaten dimaknai sebagai kut pendapat Pradjapangrawit yang dialih-ba- suatu legalitas keberadaan keraton, yakni se- hasakan oleh Waridi: bagai hajat dalem. Oleh karenanya, kegiatan ini disertai dengan upacara-upacara ritual yang “ ... konon saat gamelan sekaten dibun- yikan rakyat berduyun-duyun datang dilengkapi dengan sesaji-sesaji. Upacara ritual untuk menyaksikannya. Setiap yang dimulai sejak membersihkan gamelan sekaten akan memasuki halaman masjid, terlebih sampai upacara grebeg sekaten (Waridi, 2006: dahulu diwajibkan untuk mengambil 148). Pada proses inilah sebenarnya banyak air wudlu, kemudian mengucapkan dua kita jumpai bentuk-bentuk akulturasi dalam kalimat syahadat ... .”(Pradja-pangrawit perayaan sekaten. Bentuk-bentuk yang men- dalam Waridi, 2006: 148). gandung unsur Islam tetapi dengan nuansa Pernyataan tersebut jelas menunjukan ritual Jawa – animisme dan dinamisme, Hindu bahwa gamelan sekaten diciptakan sebagai dan Budha – yang juga masih sangat pekat. salah satu cara penyebaran agama Islam di Terlepas dari bagaimana memaknai Jawa yang notabene penduduknya waktu itu hal tersebut, masyarakat umum banyak yang memeluk agama Hindu. menafsirkan sekaten sebagai waktu untuk ngal- ap berkah guna keberlangsungan hidup yang Perjalanan sejarah sekaten telah menjad- lebih baik. Masyarakat yang hadir juga banyak ikannya sebagai salah satu bentuk manisfes- dari luar daerah Surakarta, seperti Wonogiri tasi kekuasaan raja atas adat, yaitu bentuk le- bahkan ada pengunjung dari Jawa Timur yang gitimasi budaya bahwasannya keraton masih masih berlokus budaya Surakarta. berpengaruh dan tetap diakui keberadaannya oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan masih digelarnya perayaan sekaten dengan Keberadaan Gamelan Sekaten suasana yang mewah, megah, besar dan agung Gamelan Sekaten pertama kali disajik- sebagai satu simbolisme kekuasaan raja. Sua- an sebagai acara peringatan kelahiran Nabi sana tersebut tidak lain merupakan cerminan Muhammad SAW, yaitu pada tanggal 12 dari aktivitas orang-orang keraton –– Robiulawal Tahun Dal dengan acara prose- dengan sikap hedonisme dan keglamorannya. si arak-arakan dari kedhaton menuju Masjid Keberadaan sekaten juga diinformasikan Agung melewati alun-alun. Sekaten mula-mu- oleh Srikarongron. Rustopo mengutip-nya se- la dibunyikan setiap delapan tahun sekali. bagai berikut: Sejak zaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram, sekaten tidak hanya berulang setiap Kunenga gantya winursito, Rebo tanggal 8 tahun, melainkan setiap tahun. Juga tidak ping lima Mulud Alip, sami angkanire- hanya berlangsung sehari, melainkan sepekan, ng taun, lan ingkang wus winarna, wanci yang dimulai sejak tanggal 5 sampai dengan 12 siang abdidalme anggong sanggung, pepak

16 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 Unsur Kompetisi Musikal dalam Sajian Gamelan Sekaten Sigit Setyawan

aneng sitibentar, saking belebang ngusungi. tuk kreatif. Selain fokus pada kajian musikal, // Kagungan dalem pradangga, Sekaten geng tulisan ini mengarah pada ulasan makna kata miwah Sekaten alit, binakta mring Masjid sekaten dan juga perangkat gamelan sekaten. Agung, tinateng bangsal ngarsa, kanan-ker- ing kadya adat wulan mulud, bakda Asar nuli munya, Gending Rambu amiwiti. Bentuk Fisik Gamelan Sekaten (Pangkur pupuh 1-2). Secara fisik gamelansekaten keraton Sura- Terjemahan : karta terdiri dari perangkat pencon, bilah dan Perlu diketahui bahwa, Rabu tanggal 5 membran. Masing-masing terbagi dalam per- Mulud tahun Alip, dengan angka tahun an dan tugas sesuai dengan kodratnya. Secara yang sama, dan yang sudah diketahui, keseluruhan perangkat gamelan terdiri dari waktu siang semua abdidalem yang ber- instrumen sebagai berikut; (1) Ricikan5 bonang tugas, komplit di Sitibentar, mengusung dari Balebang.// Gamelan kagungan dan penembung yang terpasang dalam satu ran- 6 dalem, Sekaten besar dan Sekaten kecil, di- cak , (2) Dua rancak demung, (3) Dua pasang sa- usung ke Masjid Agung, ditata dibangsal ron barung, (4) Sepasang saron penerus, (5) Satu depan, kanan-kiri seperti tradisi bulan rancak kempyang, (6) Sebuah bedhug, dan (7) Se- Mulud, sesudah shalat Asar disajikan, pasang gong. pertama gending Rambu (Purbadipura dalam Rustopo, 2007: 115). Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa masing-masing instrumen memiliki peran Serat Srikarongron lainnya yakni Jilid musikal sendiri-sendiri sesuai dengan kodrat- III pupuh 20-25 karangan Purbadipura telah nya. Sebagai contoh, ricikan bonang – berbentuk menunjukan bahwa perayan sekaten dilakukan pencon yang lebih kecil, sedangkan yang besar dengan situasi kolosal, besar-besaran mewah disebut (bonang) penembung – bertugas sebagai dan megah (Rustopo, 2007: 116-119). Disebut- pembuka ketika akan menyajikan gending kan pula bahwa perangkat gamelan sekaten atau disebut racikan, sedangkan penembung telah berjumlah dua perangkat, artinya pada sebagai penentu seleh kalimat lagu bonang. masa tersebut atau masa sebelumnya telah dic- Sedangkan demung selain sebagai pemimpin iptakan gamelan sekaten kedua. Informasi ini dalam peralihan irama dan tempo, juga ber- diperoleh dari Wedhapradangga bahwa pada fungsi sebagai penentu gending yang disajikan masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788- setelah racikan. Saron dan saron penerus sebagai 1820), dibuat gamelan sekaten yang secara fisik penguat balungan, atau memainkan balungan lebih besar dari periode Sultan Agung sebagai gending. Ricikan kempyang sebagai penguat pasangan gamelan sekaten pertama. Kemudi- irama, dan sebagai tanda kapan gending an gamelan ini diberi nama Gunturmadu akan disuwuk, atau akan ada peralihan irama sebagai imbangan gamelan sekaten sebelum- serta peralihan tempo. Pembagian tersebut nya, yakni Kyai Guntursari (Pradjapangrawit, serta merta dilakukan karena dalam perangkat 1990: 55). Konsep berpasangan inilah kemudi- gamelan sekaten tidak ada seorang pemimpin an menjadikan pemilihan repertoar komposisi seperti halnya gamelan ageng yang diperankan gamelan sekaten bersifat atau mengandung un- oleh ricikan kendang. sur kompetisi. Hal tersebut di atas rupanya menyebab- Dibalik segala yang berbau hedonitas kan penatan gamelan ditata sedemikian rupa terdapat beberapa aspek yang menarik untuk hingga sebenarnya merupakan salah satu solu- dikupas mengenai komposisi gamelan Sekaten si untuk lebih mudahnya bagi para pengrawit yang mengandung unsur kompetisi di dalam- untuk saling berkomunikasi secara visual dan nya. Hal ini menjadi menarik karena secara dikombinasikan dengan komunikasi musikal tidak langsung atmosfir “kompetisi” tersebut (adu rasa). Menurut Waridi, penataan gamelan menuntut para pengrawit gamelan saketan un- sekaten merupakan simbolisasi dari nilai-nilai

Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 17 Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi” keselarasan dan keseimbangan yang terkand- pengrawit memukul gamelan sekaten ada yang ung dalam budaya Jawa (Waridi, 2006: 159). dapat mematahkan bilahan – khususnya bagi Adapun skema penataan gamelan sekaten ada- pengrawit balungan – maka akan mendapatkan lah sebagai berikut: hadiah tertentu. Sayembara ini kemungkinan digunakan untuk memotivasi para pengrawit dalam menyajikan gamelan sekaten. Pentingn- ya volume yang keras dalam penyajian sekaten maka alat pemukul bagi instrumen bilah ada yang terbuat dari tanduk kerbau (sungu). Satu hal yang penting bahwasannya laras gamelan sekaten apabila disejajarkan dengan gamelan ageng pada umumnya, ketika kita tan- ya pada seorang pengrawit maka mereka akan mengatakan bahwa laras gamelan sekaten ada- lah pelog. Tetapi dalam praktiknya pelarasan Keterangan : gamelan sekaten menurut keterangan Rusdian- 1. Penembung, toro seperti yang dituturkan oleh Martopan- 2. Demung (1), grawit, bahwa laras gamelan sekaten adalah 3. Bonang, gamelan ageng yang dinaikan dua gembyang 4. Demung (2) (oktaf) kemudian diturunkan satu oktaf (Rus- 5. Saron 1 diantoro, wawancara 2006). Sehingga apabi- 6. Saron 2 la melodi gamelan sekaten ditirukan dengan 7. Saron 3 ambitus suara manusia, bila mengambil nada 8. Saron 4 9. Saron Penerus (1) rendah akan terasa terlalu rendah dan apabila 10. Saron Penerus (2) ditirukan dengan mengambil nada-nada ting- 11. Kempyang gi akan terasa terlalu tinggi atau dengan kata 12. Gong lain pelarasannya tidak menggunakan ambitus 13. Bedhug normal manusia seperti tercermin dalam susu- nan nada-nada ricikan gender gamelan Ageng. Konsekuensinya, apabila menirukan keseluru- Seperti dijelaskan di atas, bahwa penata- an melodi gamelan sekaten akan terasa sangat an gamelan sekaten tidak semata-mata karena pertimbangan musikal saja tetapi sebenarn- sulit. ya mengandung konsep-konsep keseimban- gan dan keselarasan yang oleh masyarakat Unsur Kompetisi Musikal Jawa sering direfleksikan melalui perwujudan fisik, seperti bangunan rumah dan sebagainya (Waridi, 2006: 154). Masing-masing perangkat Keberadaan gamelan sekaten Kyai Gun- gamelan diletakkan pada sisi kanan dan kiri tursari yang diciptakan pada masa pemerin- halaman Masjid Agung Keraton Surakarta. tahan Paku Buwana IV, mengubah atmosfir Kyai Gunturmadu ditata di sebelah kanan dan penyajian gamelan sekaten. Perubahan tersebut Kyai Guntursari ditata di bangsal sebelah kiri. antara lain terdapatnya unsur kompetisi yang Perwujudan gamelan yang besar akan “memaksa” pengrawit untuk saling berinterak- 7 memerlukan energi lebih untuk memainkann- si antara pengrawit gamelan sekaten Gunturma- ya. Sehingga permainan gamelan sekaten me- du dan Guntursari. Di antaranya harus saling nekankan pada bunyi yang keras, nyaring, bah- mendengarkan, dan merespon. Dilihat dari kan kemampuan pengrawit dalam memukul kompositorisnya, repertoar yang disajikan gamelan tersebut diusahakan sekeras mun- merupakan repertoar gending-gending klasik gkin. Hingga ada semacam sayembara, ketika atau gending klenengan pada umumnya. Teta- pi ada tiga gending wajib yang harus disajikan

18 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 Unsur Kompetisi Musikal dalam Sajian Gending Gamelan Sekaten Sigit Setyawan sebelum menyajikan gending-gending klasik kut. Pukul 09.00-hingga sebelum Dzuhur disa- lain, yakni gending Rambu, Rangkung dan Ba- jikan gending pelog pathet barang. Pada pukul rang Miring. 13.00-14.30 disajikan gending yang berpathet pelog nem. Pada pukul 14.30-16.00 disajikan Sedikit menyinggung tentang gending wajib ini, sebenarnya ada ke- gending yang berpathet pelog barang., sedang- percayaan dari masyarakat karawitan, kan malam hari disajikan antara pukul 19.30- bahwa gending Rambu dan Rangkung 24.00. Adapun pembagian pathetnya sebagai merupakan gending pusaka dan wajib berikut. Pukul 19.30-22.30 disajikan gending disajikan sebelum menyajikan gend- pelog pathet lima, pada pukul 22.30-12.30 disa- ing-gending lain. Khusus untuk gend- jikan gending pelog pathet nem dan selanjutnya ing Barang Miring disajikan bila akan berpindah pathet atau untuk mengawa- menyajikan gending-gending yang berpathet li gending yang berpathet barang. pelog pathet barang. Beberapa sumber mengatakan bahwa Dilihat dari bentuknya, gending yang gending Rambu merupakan ciptaan Sunan Ka- disajikan untuk gending yang mempunyai lijaga, dan Rangkung merupakan ciptaan Sul- struktur merong dan inggah, maka hanya disa- tan Agung. Kedua gending tersebut kemudian jikan bagian inggah saja sedang untuk ben- dijadikan gending pusaka keraton Surakarta tuk-bentuk ladrang, disajikan apa adanya. (Rustopo dalam Waridi (ed) 2007: 115). Versi Bentuk gending yang tidak masuk dalam rep- lain menyebutkan bahwa Rambu dan Rangkung ertoar gending sekaten adalah bentuk-bentuk merupakan simbol keseimbangan dan kese- ketawang, lancaran, langgam, palaran, srepegan larasan, serta adanya konsep kesuburan, lingga dan sampak. Hal ini senada dengan apa yang yoni. disampaikan Supanggah bahwasannya salah Penyajiannya dimulai dari pagi sekitar satu hal yang mempengaruhi garap karawi- pukul 09.00 hingga istirahat sebelum shalat Dz- tan adalah dari ensemble gamelan yang di- uhur, kemudian mulai kembali sekitar pukul gunakan atau dari sarana garap yang digu- 13.00 gamelan mengalun hingga sebelum nakan (Supanggah, 2007: 189). Perwujudan shalat Ashar dan kembali berbunyi setelahn- fisik gamelan sekaten telah menjadikan garap ya. Berikutnya gamelan berbunyi hingga men- permainan sekaten menjadi berbeda dengan jelang shalat Maghrib lalu istirahat kemudian gamelan yang lain. dilanjutkan setelah waktu Isya’ hingga pukul Seperti yang telah disinggung di atas, 24.00. Hal tersebut dilakukan dalam satu pekan bahwa penyajian gamelan sekaten mengand- atau tujuh hari tujuh malam kecuali hari Jumat. ung unsur kompetisi. Kemudian yang menjadi Khusus untuk hari Jumat untuk menghormati pertanyaan bagaimana bentuk-bentuk kompe- umat muslim yang akan melaksanakan ibadah tisi tersebut, sampai sejauh mana persaingan Shalat Jumat di Masjid Agung. Ini merupakan di antara kubu Gunturmadu dan Guntursari? wujud dari keterkaitan antara tujuan pencip- Kata kompetisi disini mohon tidak diartikan taan sekaten untuk pertama kali, yakni sebagai secara extrim artinya ada semacam hadiah bentuk syiar agama (Waridi 2006, hal: 148-149). yang diperebutkan. Kompetisi dalam hal ini Dilihat dari waktu penyajian, repertoar adalah kemampuan pengrawit untuk mere- yang disajikan berhubungan dengan wak- spon dengan cara menyajikan gending yang tu penyajiannya. Untuk itu dirasa perlu un- satu makna, satu rasa, sifat atau karakter yang tuk menyampaikan waktu penyajian sekaten mirip, atau dalam bahasa karawitan terdapat berdasarkan waktu penyajiannya, rangkaian istilah gending-gending sisihan. gending dibagi menjadi dua macam, yaitu Sisihan, berasal dari kata sisih yang be- rangkaian gending siang hari dan rangkaian rarti samping bila diimbuhi dengan akhiran gending malam hari. Untuk siang hari disajikan -an mempunyai arti sampingan. Sampingan dengan urutan pembagian pathet sebagai beri- di sini tidak bermakna seperti dalam memak-

Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 19 Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi” nai kata benda seperti pekerjaan, istri dan lain Gending Glendeng kethuk 4 arang minggah sebagainya sehingga terkesan tidak penting. 8 laras pelog pathet lima – guna disajikan dalam Sisihan lebih bermakna pasangan atau dapat repertoar sekaten, maka diambil pada bagian dianalogikan seperti suami istri, siang malam inggah saja – (Mloyowidodo, 1976 : 9-10). dan lebih pada konsep dualisme. Sisihan di sini dimaknai sebagai gending pasangan, karena j.rjtrjtrjtr jtrt y 1 j y2j.y1 jy2 j.y1 y t pada dasarnya di dalam karawitan terdapat gending-gending sisihan. Sisihan dapat terben- .rjtrjtrjtr jtrt y 1 j y2j.y1 jy2 j.y1 y t tuk karena adanya kemiripan – kalau bukan- .rjtrjtrjtr jtrt y 1 jy2j.y1 jy2 j.y1 y t nya kesamaan – beberapa hal di dalamnya. Seperti kemiripan karakter musikal, kemiripan w r t r w q w q 2 3 5 3 2 1 2 n3 nama, kemiripan garap, golongan gending, 5 6 5 3 2 1 2 3 5 6 5 3 2 1 2 3 bentuk kemiripan balungan gending (Waridi, 2006: 154). 2 2 . . 2 2 . . 4 4 4 4 2 1 y t Karakter musikal adalah rasa gending .rjtrjtrt q w r t .rjtrjtrt q w r t yang dirasakan oleh masyarakat karawitan se- j.yjtrt j.y jtrt y q jywj.y qjyw j.yq y gt bagai sesuatu yang mempunyai atsmosfir ter- tentu ketika sedang atau setelah mendengar- kemudian kita bandingkan dengan gending kan alunan gending. Karakter musikal tersebut Klentung dengan bentuk, laras dan pathet yang diwadahi dalam istilah-istilah masyarakat sama, berikut notasinya (Mloyowidodo, 1976: karawitan itu sendiri, yang biasanya diiden- 10-11). tikan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti rasa prenes, gumyak, agung, wibawa, gecul, sigrak, 2 1 2 . 2 1 y jtr jtrjtrjtrj54 jtrt y q luruh, trenyuh dan lain sebagainya. Rasa-rasa tersebut mempunyai kriteria tersendiri dan 2 1 2 . 2 1 y jtr jtrjtrjtrj54 jtrt y q kita tidak dapat begitu saja mengkorelasikan 2 1 2 . 2 1 y jtr jtrjtrjtrj54 jtrt y q secara langsung dengan istilah sehari-hari. Se- bagai contoh, ketika kata gecul di dalam karaw- 2 3 1 2 . 1 6 5 . 4 . 2 . 4 . n5 itan dimaknai sebagai gending lucu, maka . 4 . 2 . 4 . 5 . 4 . 2 . 4 . 5 lucu di sini tidak berarti ketika kita menden- garkan gending tersebut lantas akan tertawa 2 4 2 5 2 4 5 6 6 6 7 6 5 4 2 1 terbahak-bahak, tetapi lebih dimaknai sebagai . 2 4 5 2 4 2 1 . 2 4 5 2 4 2 1 rasa yang terkesan tidak serius, gojek, dan tidak formal. Artinya guna memahami istilah-istilah . 2 2 . 2 1 y jtr jtrjtrjtrj54 jtrt y gq tersebut maka paling tidak harus mengerti tentang karawitan itu sendiri. Dari sisi analisis Bagian yang digaris bawah, merupakan per- karakter musikal, terdapat gending-gending wujudan dimana terdapat kemiripan rasa yang oleh masyarakat karawitan diklaim ada musikal. Rasa musikal disini sebenarnya telah kemiripan bahkan kesamaan karakter musikal. mencakup – kalau bukannya sebagai penen- Sebagai contoh gending sisihan adalah gend- tu karakter musikal – unsur-unsur kesamaan ing Glendheng dengan gending Klentung yang garap, dan kemiripan balungan gending. keduanya berasal dalam satu pathet yang sama yaitu pelog pathet lima. Mari kita bandingkan Pertimbangan seperti di atas merupa- mengapa kedua gending tersebut menjadi sisi- kan salah satu pertimbangan guna merespon han dan diklaim mempunyai kemiripan rasa salah satu kelompok pengrawit dengan kelom- musikal. pok yang lain. Artinya dalam konsep ini, para pengrawit gamelan sekaten, dituntut untuk mengerti tentang rasa musikal, garap dan susu-

20 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 Unsur Kompetisi Musikal dalam Sajian Gending Gamelan Sekaten Sigit Setyawan nan balungan gending. Kepekaan terhadapnya Tidak jauh berbeda dengan pembahasan sebel- merupakan sesuatu yang wajib diketahui bagi umnya, kedua gending tersebut hanya berbeda para pengrawit. pada bagian tertentu bahkan pada nada-nada tertentu (lihat yang digaris bawah). Perbedaan Berdasarkan kemiripan nama, misalkan lain adalah pada tiga kenongan hanya berbeda kelompok pengrawit Gunturmadu menyajikan pada nada 3 gending Denggung Sulurkangkung gending Denggung Sulurkangkung maka pen- menjadi nada 7 di gending Denggung Asma- grawit Guntursari merespon dengan menya- radana. Letak nada 7 yang tidak berada pada jikan gending Denggung Mloyo atau Denggung seleh nada berat, mengakibatkan tidak banyak Asmaradana, atau gending lain yang berawalan berpengaruh pada susunan kalimat lagunya. dengan kata Denggung (Waridi, 2006: 154). Se- Sehingga hanya terkesan sebagai sisipan serta cara musikal, sebenarnya telah merefleksikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rasa musikal yang terbentuk dari garap dan garap keseluruhannya. Lihat contoh berikut. balungan gendingnya. Untuk memperjelas per- nyatan tersebut, akan dibandingkan notasi ses- Sulurkangkung Asmaradana egan gending Denggung Sulurkangkung dengan Denggung Asmaradana. y e y t y u y t 8 Notasi sesegan bagian inggah gending Contoh tersebut memberikan perbedaan yang Denggung Sulurkangkung (Mloyowidodo, 1976: jelas tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap 17). garap gending. Dari perbendingan dua gend- ing di atas, maka secara keseluruhan didom- e w e q e w e t y e y t e w e t inasi oleh kemiripan balungan gending, seh- y e y t e w e t y e y t e w e nq ingga rasa musikalnya tetap sama atau mirip. Perbandingan tersebut menunjukan bahwa e w e q e w e t y e y t e w e t pertimbangan kesamaan nama gending seka- y e y t e w e t y e y t e w e nq ligus menunjukan pula karakter musikalnya. Pengrawit tidak perlu repot menganalisa per- e w e q e w e t y e y t e w e t samaan balungan gending, tetapi dengan men- y e y t e w e t y e y t e w e nq gacu pada nama gending yang hampir mirip tersebut, sesungguhnya para pengrawit telah . 1 1 1 y 1 2 3 6 5 2 1 y 1 2 3 melakukan analisa terhadap balungan gending dan rasa musikalnya. Sisi lain, kemiripan-ke- 6 5 2 1 3 2 y t e w e t e w e gq miripan tersebut membawa konsuekuensi pengrawit menjadi rancu dalam merasakan Notasi inggah gending Denggung Sulur- karakter gending, sehingga tidak menutup ke- kangkung (Mloyowidodo, 1976: 18). mungkinan akan tledhor dengan gending yang berkarakter sama lainnya. e w e q e w e t y u y t e w e t Wujud kompetisi lainnya adalah ketika y u y t e w e t y u y t e w e nq pengrawit menyajikan gending berdasarkan e w e q e w e t y u y t e w e t golongan gending bonang dan rebab. Perbedaan terakhir ini menurut salah satu pengrawit mer- y u y t e w e t y u y t e w e nq upakan aturan baku. Baku dalam arti merupa- e w e q e w e t y u y t e w e t kan aturan yang sudah mentradisi sejak dulu. Kemungkinan pembagian ini lebih tampak y u y t e w e t y u y t e w e nq apabila dilihat dari sudut pandang pengrawit. 5 6 7 6 5 4 2 1 5 6 7 6 5 4 2 1 Gending klasik Jawa pada dasarn- 3 2 1 3 2 1 y t e w e t e w e gq ya ada dua jenis golongan gending, yakni

Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 21 Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi” gending-gending rebab dan gending-gending bonang. Pembagian ini berdasarkan penyajian . 3 3 . 3 1 3 2 3 1 3 2 1 6 r t karawitan dalam konteks klenengan. Hal ini ditengarai dengan adanya pembagian jenis . y 1 2 1 y t y . 6 6 6 5 3 5 n6 gending berdasarkan instrumen yang terdapat . 5 5 6 7 6 5 3 2 2 . 3 5 . 6 5 ada perangkat gamelan Ageng, yakni ricikan re- bab. Pembagian tersebut mempertegas bahwa 2 3 2 5 2 3 5 6 6 6 7 6 5 4 2 n1 repertoar gending sekaten merupakan reper- 3 . 3 2 1 y r t 3 . 3 2 1 y r t toar gending-gending klenengan kecuali gend- ing baku Rambu, Rangkung dan Barang Miring. . 3 3 . 3 1 3 2 3 1 3 2 1 6 r gt Inggah gending Gondrong kategori gend- Pembagian gending rebab dan bonang dili- ing rebab (Mloyowidodo, 1976; 46-47) hat dari pertimbangan-pertimbangan tertentu. Gending bonang merupakan gending yang 2 2 . . 2 3 2 1 . 6 5 4 2 4 r t termasuk dalam kategori musik instrumental tanpa melibatkan unsur vokal (manusia) di da- 2 2 . . 2 3 2 1 . 6 5 4 2 4 r nt lamnya, serta tidak melibatkan instrumen-in- 2 2 . . 2 3 2 1 . 6 5 4 2 4 r t strumen bersuara lembut (Sumarsam, 2003:

295). Sebagai pengertian mendasar, gending re- . y 1 2 1 y t y . 6 6 6 5 3 5 n6 bab merupakan kebalikan dari gending bonang, . 5 5 6 7 6 5 3 2 2 . 3 5 . 6 5 meski tidak menutup kemungkinan ada beber- apa ciri-ciri tertentu yang menjadi pembeda 2 3 2 5 2 3 5 6 6 6 7 6 5 4 2 n1 dasar antara gending bonang dan rebab.9 Selain 3 . 3 2 1 y r t 3 . 3 2 1 y r t alasan tersebut, penggolongan jenis gending yang telah dikelompokan sejak dahulu, tidak . 3 3 . 3 1 3 2 3 1 3 2 1 6 r gt mungkin bila tidak ada pertimbangan tertentu Menurut analisis yang dilakukan Wari- atau dengan kata lain asal dibedakan saja. di, gending gondrong rebab dan bonang perbe- daannya hanya terletak pada melodi kalimat Kembali pada pembahasan konsep kom- lagu pertama, setengah melodi kenong kedua, petisi dalam sekaten dari unsur penggolongan dan setengah melodi kenong keempat men- gending. Secara praktik apabila pengrawit Gun- jelang memasuki wilayah seleh gong (lihat yang turmadu menyajikan gending rebab maka pen- digaris bawah). Pada melodi selanjutnya sama grawit Guntursari menyajikan gending bonang. . Hal ini juga menunjukan meski dibatasi Hal tersebut akan lebih tampak ketika men- dengan jenis rebab dan bonang, susunan balun- yajikan satu nama gending yang sama tetapi gan gending tetap didominasi dengan kemiri- gending tersebut terdapat di gending bonang pan diantara keduanya. Artinya pertimbang dan rebab. Sebagai contoh, gending bonang musikal kembali menjadi pertimbangan uta- Gondrong pelog lima maka akan direspon ma dalam memilih sisihan gendhing. Contoh dengan menyajikan gending Gondrong pelog gendhing lain yang terdapat dalam gendhing lima yang termasuk dalam gending rebab. Sep- bonang dan rebab diantaranya adalah Bremara erti ilustrasi yang diangkat oleh Waridi. Kebe- gending bonang dan Kombangmara gending re- tulan gending yang disajikan adalah gending bab, Jalaga gending bonang dan Jalaga gending Gondrong. Berikut analisinya: rebab. Inggah gending Gondrong kategori gend- Selain pertimbangan-pertimbangan yang ing bonang (Mloyowidodo, 1976; 13) dilakukan para pengrawit ketika merespon pen- grawit lain tersebut di atas, maka mengingat . 3 3 . 3 1 3 2 3 1 3 2 1 6 r t lamanya waktu pertunjukan otomatis memer- . 3 3 . 3 1 3 2 3 1 3 2 1 6 r nt lukan jumlah gending yang disajikan menjadi

22 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 Unsur Kompetisi Musikal dalam Sajian Gending Gamelan Sekaten Sigit Setyawan lebih banyak. Hal ini membawa konsekuensi semula hanya satu perangkat kemudian ber- pengrawit sekaten harus memiliki bothekan gend- tambah satu lagi hingga menjadi dua perang- ing yang banyak pula. Untuk mengatasi hal kat. Konsep ini diawali dengan adanya konsep tersebut, dan mencegah pengulangan gend- “sisihan” dalam repertoar gending yang disa- ing menjadi lebih banyak, maka pertimbangan jikan pada gamelan sekaten. “Sisihan” hadir bentuk gending juga menjadi diperlukan. Ben- karena berbagai faktor, pertama adanya faktor tuk dalam arti, dari masing-masing kelompok kemiripan, baik mirip secara karakter musikal, harus menyajikan bentuk gending yang sama. nama, garap, golongan gending dan kemiri- Sebagai contoh apabila pengrawit Gunturmadu pan balungan gending. Pengrawit harus kreat- memainkan gending kethuk 4 kerep maka pen- if dalam menentukan respon sajian gending grawit Guntursari juga memainkan gending yang dimainkan dari satu perangkat gamelan berbentuk 4 kerep pula. Konsep ini berlaku pula Sekaten terhadap sajian gending dari perangkat bagi bentuk-bentuk yang lain. Perlu diketahui gamelan yang lain. bentuk terkecil yang disajikan adalah bentuk ladrang, hal ini menuntut permainan bedhug yang dalam satu gongan terdapat tiga tabuhan (Endnotes) bedug. Pada bentuk terakhir ini, tabuhan bedhug 1 Pemain Gamelan (Sekaten) terletak pada tabuhan kempul. Pada akhirnya unsur-unsur di atas di- 2 Luar lingkup keraton. gunakan sebagai pertimbangan “kompeti- 3 Secara harfiah (Jawa) bermakna perayaan. si” dalam musikalitas gamelan sekaten. Perlu diketahui bahwa pertimbangan-pertimbangan 4 Mengharap berkah – dari peristiwa Sekaten. tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling ter- kait antara satu unsur dengan unsur yang lain. 5 Instrumen. Unsur musikalitas serta kemiripan karakter secara tidak langsung menjadi pertimbangan 6 Tempat menempatkan bilah, pencon atau membran dan menjadi satu dengan isntrumen utama dalam penyajian sekaten. atau dapat disebut tempat ricikan.

Kesimpulan 7 Pemain gamelan.

Perangkat gamelan pusaka keraton Sura- 8 Bagian inggah yang disajikan pada saat irama tanggung dengan tempo cepat. karta yang dulu menjadi salah satu sara dak- wah agama Islam, kini mempunyai pemaknaan 9 Pembahasan tentang gending bonang yang lebih luas. Sekaten telah dimaknai lebih tidak akan dibahas lebih lanjut, untuk lebih dari sekedar nama dan perangkat gamelan ser- jelasnya baca Sumarsam 2003. ta sara dakwah tetapi juga dimaknai sebagai peristiwa sosial terutama oleh masyarakat Ka- residenan Surakarta. Sedemikian hingar bing- Kepustakaan ar perayaan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W tersebut, Sekaten sebagai Martopangrawit. Pengetahuan Karawitan I dan sebuah perangkat gamelan menyimpan be- II. Surakarta : ASKI Surakarta. 1975. berapa kemenarikan. Pertama adalah wujud Mloyowidodo. Gending-Gending Jawa Gaya instrumennya yang tergolong raksasa apabila Surakarta Jilid I, II, III. Surakarta: ASKI dibandingkan perangkat gamelan Ageng Jawa Surakarta. 1977. (Surakarta). Kedua, dalam aplikasi permainan- Pradjapangrawit. Wédhapradangga, Serat Suja- nya terdapat konsep yang menarik, yaitu, kon- rah Utawi Riwayating Gamelan. Dilatinkan sep kompetisi musikal. Hal ini tidak dapat lep- oleh Sogi Sukijo dan Renggosuhono. Ed. as dari keberadaan perangkat gamelan yang Sri Hastanto dan Sugeng Nugraha. Sura-

Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018 23 Kêtêg Jurnal Pengetahuan, Pemikiran, dan Kajian tentang “Bunyi”

karta: STSI dan The Ford Foundation. 1990. Rustopo, T. Slamet Suparno, Waridi. Seri Seja- rah Karawitan I. Kehidupan Karawitan Pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X, Mang- kunagara IV, dan Informasi Oral. Surakar- ta: ISI Press Surakarta. 2007. Soeratman, Darsiti. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogjakarta: Taman Siswa, 1989. Sumarsam. Gamelan Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakar- ta: Pustaka Pelajar, 2003. Supanggah, Rahayu. Bothékan Karawitan II: GARAP. Surakarta: ISI Press Surakarta. 2007.

Waridi. Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X: perspektif Historis dan Teoritis. Surakar- ta: ISI Press Surakarta. 2006

24 Volume 18 Nomor 1 Bulan Mei 2018