PENGARUH IRINGAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Agustina Erisusanti NIM: 051124034

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

ii

iii PERSEMBAHAN

Dengan sepenuh hati penulisan Skripsi ini kupersembahkan Kepada:

Kehidupanku yang menakjubkan Bapak Ignatius Sumidi dan Ibu Cicilia Dwi Sutini Florentina Fibrianingtyas Bpk. Agustinus Sukarno Umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Sor Asem Community Teman-teman angkatan 2005 tercinta Dosen-dosenku yang tersayang Adik-adik angkatan Gregorius Natalius

iv MOTTO

“Hidup menyisakan perjuangan yang gigih,

maka jangan takut menghadapinya”

v

vi

vii ABSTRAK

Judul skripsi PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN diangkat berdasarkan ketertarikan penulis pada budaya Jawa khususnya pada inkulturasi kebudayaan Jawa dalam Gereja. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu- satunya paroki di kota Yogyakarta yang masih rutin menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi tiap Minggunya. Unsur-unsur budaya Jawa melekat dan dihidupi oleh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis menguraikan dua hal pokok. Pada bagian pertama, melalui studi pustaka penulis menggali penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi. Gamelan Jawa adalah hasil budaya masyarakat Jawa yang pada umumnya dipakai untuk menyajikan karawitan. Mulai pada tahun 1925 gendhing Jawa mulai digunakan dalam liturgi gereja. Setelah tahun 1958 gamelan Jawa dapat digunakan dalam Perayaan Ekaristi namun tidak semua alat musiknya dapat dimainkan. Sekitar tahun 1967 setelah Konsili Vatikan II berlangsung, seluruh alat musik gamelan Jawa dapat dimainkan dalam liturgi Gereja. Pada bagian kedua, penulis menguraikan pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Iringan gamelan Jawa membawa pengaruh positif bagi penghayatan iman dalam Perayaan Ekaristi. Iringan gamelan Jawa membawa umat memasuki suasana khidmad dan tenang untuk mempersiapkan hati bertemu dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi sehingga mampu memberi daya dan kekuatan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui besarnya pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman, penulis melakukan wawancara pada umat, anggota dewan paroki dan pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka untuk melengkapi data yang diperlukan.

viii ABSTRACT

This thesis entitles THE IMPACT OF JAVANESE GAMELAN ACCOMPANIMENT TOWARD THE LIVING FAITH OF THE CONGREGATION IN THE EUCHARIST IN THE SACRED HEART OF JESUS PARISH PUGERAN. It is chosen based on the writer’s interest on Javanese culture especially on its inculturation in the church. The Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran is the only parish that is still using the Javanese gamelan accompaniment and language at every weekly Sunday mass. The elements of Javanese culture are still used by the congregation of this parish. Therefore, the writer describes two basic points. At the first part, the writer discovers the use of Javanese gamelan accompaniment during the Eucharist by an investigation of the literature about Javanese gamelan music. Javanese gamelan is a product of 's culture, commonly used as karawitan. Since 1925, Javanese sacred tunes have been used in the church's liturgy. After 1958, the Javanese gamelan orchestra partly has been used in the celebration of Eucharist. Round the year 1967, after the Second Vatican Council, all the instruments of the Javanese gamelan can be played in the Catholic liturgy. At the second part, the writer describes the impact of Javanese gamelan accompaniment toward the living faith of the congregation during the Eucharist in the Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran. The accompaniment of Javanese gamelan brings a positive influence to the living faith of the Eucharist. It creates a meditative and sacred atmosphere in the church so that the celebrations give strength and faith into the hearts to meet God in the Eucharist and in daily lives. The writer interviewed a couple of people among the congregation, the members of the parish’ council and the parish priest of the Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran to know the impact of the accompaniment of Javanese gamelan onto the living faith of the faithful. The writer also made a bibliographical study the complete the needed data.

ix KATA PENGANTAR

Ribuan terima kasih yang tidak terhingga atas hidup dan Kasih Karunia

Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul

PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN

IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI

KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA ini dengan baik.

Skripsi ini ditulis berangkat dari ketertarikan penulis pada inkulturasi budaya khususnya budaya Jawa dalam Gereja. Bentuk bangunan gereja, ornamen- ornamen dalam gereja, pakaian liturgi serta kesenian Jawa membantu umat untuk semakin menghayati imannya sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran merupakan satu-satunya Paroki di kota Yogyakarta yang tetap melestarikan budaya Jawa hingga saat ini. Salah satu hasil budaya yang tetap dipertahankan keberadaannya dan penggunaannya adalah gamelan Jawa.

Gamelan Jawa memberikan peran positif untuk menciptakan suasana hening dan khusuk bagi umat yang berdoa. Gamelanpun memiliki nilai dan makna filosofis yang kuat bagi masyarakat Jawa. Diharapkan dengan masuknya unsur-unsur budaya setempat iman umat semakin mengakar dan kokoh. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rm. Karl Edmund Prier, SJ Lic. Phil selaku dosen pembimbing utama yang

senantiasa membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan senantiasa

memberi dorongan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

x 2. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung SJ, M.Ed sebagai dosen pembimbing ke

dua sekaligus Dosen Pembimbing Akademik, terimakasih atas inspirasi yang

telah romo berikan baik dalam perkuliahan ataupun saat membimbing skripsi.

3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen pembimbing ke tiga yang telah

membantu penulis, memberikan semangat yang tak kan ada habisnya.

4. Seluruh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

5. Segenap dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah membimbing dan

membantu penulis selama kuliah 4,5 tahun di IPPAK.

6. Kedua orang tua Bapak Ignatius Sumidi, Ibu Cicilia Dwi Sutini dan

saudaraku satu-satunya Florentina Fibrianingtyas atas hidup yang indah yang

telah penulis rasakan selama ini juga atas semangat yang senantiasa penulis

dapatkan lewat senyum kalian.

7. Romo Suhardiyanto SJ, yang telah mengijinkan penulis tinggal di pondok

asem sehingga proses studi dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan

suatu semangat tak terhingga dari teman-teman yang selalu datang dan bekerja

dengan keras di tempat ini.

8. Semua teman-teman angkatan 2005 baik yang masih bertahan, sudah lulus

ataupun yang sempat meninggalkan kami, terima kasih atas semangat yang

senantiasa diberikan, atas semua kehangatan cinta dan persahabatan yang

terjalin di IPPAK.

9. Semua teman yang tergabung dalam Sor Asem Community terima kasih untuk

dukungan dan kerja keras kita bersama selama ini.

xi 10. Dominikus yang banyak membantu penulis dan memberi dorongan serta

semangat selama 4 tahun ini.

11. Semua teman yang pernah bekerja dengan penulis yaitu Tim Sexen 2006,

Sexen 2007, Sexen 2009, Tim Van Lith 2007-2008, Tim Retret Regina Pacis,

dan Gregorius Natalius, terimakasih atas dukungan, kerja keras dan kenangan

indah yang senantiasa memacu penulis.

12. Yohanes Itto, terimakasih untuk semangat dan dukungan yang tak pernah

habis meskipun tak pernah lagi bertemu.

13. Semua pihak yang tidak dapat penuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak mengalami kekurangan. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan penulisan ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya

Yogyakarta, 9 September 2009

Penulis,

Agustina Erisusanti

xii DAFTAR ISI

JUDUL ...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING...... ii PENGESAHAN ...... iii PERSEMBAHAN...... iv MOTTO ...... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA...... vii ABSTRAK ...... viii ABSTRACT...... ix KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI...... xiii DAFTAR SINGKATAN ...... xvi BAB I. PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Penulisan...... 1 B. Rumusan Masalah...... 5 C. Tujuan Penulisan...... 5 D. Manfaat Penulisan...... 5 E. Metode Penulisan...... 6 F. Sistematika Penulisan ...... 7 BAB II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI...... 9 A. Gamelan Jawa ...... 10 1. Deskripsi Gamelan Jawa...... 10 2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa...... 12 3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa...... 17 a. Alat yang Memainkan Balungan...... 17 b. Alat yang Menunjukkan Struktur Kalimat...... 20 c. Alat Penghias...... 21 4. Fungsi Iringan Gamelan Jawa...... 22

xiii 5. Gendhing...... 24 B. Paduan Suara...... 25 1. Sejarah Singkat paduan Suara...... 25 2. Fungsi Paduan Suara dalam Gereja Katolik...... 26 C. Perayaan Ekaristi...... 27 1. Pengertian Sakramen ...... 27 2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja ...... 28 a. Ritus Pembuka...... 30 b. Liturgi Sabda...... 32 c. Liturgi Ekaristi ...... 33 d. Ritus Penutup ...... 35 3. Peran Serta Umat dalam Perayaan Ekaristi...... 36 4. Makna Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari...... 41 D. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi ...... 42 1. Masuknya kebudayaan setempat dalam liturgi ...... 42 2. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Liturgi ...... 46 BAB III PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA...... 49 A. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ...... 50 1. Letak dan Wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran...... 50 2. Sejarah Singkat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran...... 55 a. Sebelum Kemerdekaan...... 55 b. Masa Pendudukan Jepang/ Sebelum Perang Dunia II...... 57 c. Sesudah Perang Dunia II ...... 58 d. Sebelum Konsili Vatikan II...... 59 e. Masa Sesudah Konsili Vatikan II...... 63 3. Penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ...... 65 B. Pengaruh Iringan Gamelan Jawa bagi Penghayatan Perayaan Ekaristi ... 71 1. Mengalami Kehadiran Allah Melalui Iringan Gamelan Jawa...... 72 2. Cara Penghayatan Iman dipengaruhi Oleh Usia Umat ...... 73

xiv 3. Unsur Budaya Jawa memberi Daya yang membawa pada Relasi lebih Mendalam...... 75 4. Gerakan Batin yang Terjadi pada Perayaan Ekaristi...... 77 5. Hal-Hal yang Diperoleh dalam Perayaan Ekaristi ...... 79 6. Unsur-Unsur Budaya Jawa sebagai Saran Pewartaan Karya Allah ... 80 C. Usaha Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Guna Membantu Umat Menghayati Iman Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ...... 81 1. Peluang Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ...... 81 2. Hambatan-Hambatan dalam Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran...... 83 3. Usaha yang Akan Dilakukan Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa yang Membantu Penghayatan Iman Umat Dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ...... 85 4. Usulan Katekese Untuk Kaum Muda...... 87 BAB IV PENUTUP ...... 113 A. Kesimpulan ...... 113 B. Saran...... 115 Daftar Pustaka ...... 117 Lampiran ...... 119 Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian ...... (1) Lampiran 2: Surat dari Mgr. A. Soegijapranata, SJ ...... (2) Lampiran 3: Hasil Wawancara...... (4) Lampiran 4: VCD “Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran” ...... (21)

xv DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama

Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Chatechesi Tradendae

LG : Lumen Gentium

PUMR : Pedoman Umum Missale Romanum

SC : Sacrosanctum Concilium

GS :Gaudium et Spes

C. Daftar Singkatan Lain

Art : Artikel

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

dll : dan lain-lain

G 30 S/ PKI : Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia

HUT : Hari Ulang Tahun

ISI : Institut Seni Indonesia

KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia

xvi MAWI : Majelis Agung Wali Gereja Indonesia

Mgr. : Monseigneur

MSF : Missionaris Sanctae Familiae

PML : Pusat Musik Liturgi

PNS : Pegawai Negeri Sipil

Pr : Praja

Rm : Romo

Sdr. : Saudara

SJ : Society of Jesus

SMP : Sekolah Menengah Pertama

xvii BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup Kristiani (LG artikel 11).

Sebagai sumber hidup Kristiani, Ekaristi memiliki makna yang sangat dalam. Dengan ikut serta dalam kurban Yesus Kristus, umat Kristiani memperoleh kekuatan rohani untuk kehidupan selanjutnya. Perayaan Ekaristi menjadi puncak karya keselamatan

Allah bagi manusia melalui kurban Yesus yang dirayakan. Kristus sungguh hadir dalam Perayaan Ekaristi melalui tubuh dan darah-Nya yang digambarkan dalam rupa roti dan anggur. Dalam perayaan Ekaristi Kristus sendirilah yang hadir dan menjadi sumber keselamatan melalui sabda yang diwartakan. Hal itu ditegaskan dalam dokumen Ad Gentes atrikel 9 “melalui sabda yang diwartakan dan perayaan sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi maha kudus, Gereja membuat Kristus, sumber keselamatan, menjadi hadir”. Tidak hanya dalam wujud roti dan anggur serta sabda yang dibacakan dalam perayaan Ekaristi, Kristus pun hadir dalam diri para pelayan Ekaristi serta umat sendiri.`Perayaan ekaristi merupakan pengungkapan iman

Gereja sehingga seluruh umat Allah yang hadir turut serta ambil bagian secara sadar dan aktif.

Perayaan Ekaristi yang bersumber pada peristiwa perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya sebelum ia menderita sengsara dan wafat di kayu salib dilaksanakan oleh seluruh umat Katolik di penjuru dunia. Ekaristi sebagai perayaan kehidupan menuntut partisipasi secara sadar dan aktif dari seluruh umat. Oleh karena 2

itu perayaan Ekaristi tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya yang dimiliki oleh umat digunakan dalam rangkaian perayaan Ekaristi yang bertujuan membantu umat menghayati iman sesuai dengan budaya yang dihidupinya. Perayaan Ekaristi yang dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur budaya Eropa belum tentu dapat diterima dan dihayati oleh umat yang berada di wilayah Asia karena bahasa, simbol, kesenian yang digunakan dalam liturgi tidaklah sama. Semua unsur budaya tersebut adalah sarana dan bukanlah tujuan yang ingin dicapai dalam menghayati misteri keselamatan Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya.

Masing-masing budaya memiliki kekhasan dan nilai yang sungguh dihidupi oleh masyarakat setempat tak terkecuali dalam hal peribadatan. Perayaan Ekaristi di

Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan unsur-unsur budaya setempat misalnya bahasa daerah, simbol-simbol, seni musik, seni tari, dan lagu-lagu dengan gaya daerah tertentu. Daerah Jawa khususnya di Keuskupan Agung Semarang hingga saat ini masih menggunakan unsur-unsur budaya Jawa dalam liturgi, meskipun di banyak tempat unsur-unsur itu perlahan-lahan mulai pudar. Sebagian umat di Keuskupan

Agung Semarang menggunakan bahasa Jawa, nyanyian berbahasa Jawa, iringan gamelan Jawa, tarian Jawa dalam perayaan Ekaristi dan lain-lain.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan manusia mengalami perkembangan dan perubahan. Banyak unsur-unsur kebudayaan tradisional yang perlahan-lahan ditinggalkan sehingga banyak orang jaman sekarang khususnya kaum muda kurang memahami kebudayaan daerahnya sendiri. Demikian pula halnya yang terjadi dalam Gereja Katolik, kebudayaan daerah yang bertujuan untuk membantu 3

umat menghayati imannya perlahan-lahan mulai luntur dan jarang digunakan lagi.

Hal itu sangat terasa di daerah perkotaan seperti kota Yogyakarta. Jika sepintas diamati, perayaan Ekaristi yang menggunakan unsur budaya Jawa seperti bahasa

Jawa hanya ada satu kali dalam satu minggu yaitu misa pertama di beberapa paroki di kota Yogyakarta. Saat ini juga tidak banyak gereja di kota Yogyakarta memiliki alat musik gamelan Jawa yang dipergunakan setiap minggunya. Peminat misa dengan bahasa dan iringan gamelan Jawa pun terasa kurang. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya umat yang menghadiri perayaan Ekaristi dibandingkan dengan perayaan

Ekaristi dengan bahasa Indonesia. Alasan yang biasanya dikemukakan khususnya oleh kaum muda adalah kurang pahamnya mereka akan bahasa Jawa, kurang minatnya mendengarkan iringan gendhing yang dirasa lambat dan membosankan sehingga membuat misa berlangsung lebih lama dari biasanya. Di sisi lain, saat ini banyak gereja menggunakan liturgi dengan gaya yang lebih modern, dengan pilihan lagu modern, dan alat musik pendukung yang juga modern. Tampaknya ini menjadi alternatif bagi umat yang tidak lagi memahami budaya tradisional yang sudah ada.

Padahal sebagai masyarakat Jawa, sudah selayaknya unsur-unsur tradisi tersebut membantu penghayatan iman, bukan ditinggalkan begitu saja. Setiap orang memiliki latar belakang yang menjadi sebuah identitas bagi orang tersebut. Salah satu identitas tersebut adalah tradisi kebudayaannya sendiri. Meskipun sebagai kaum muda terkadang kurang paham dengan tradisi kebudayaannya, namun hal itu menjadi identitas yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dimanapun berada identitas sebagai orang Jawa melekat pada diri orang tidak bisa dihapuskan. Oleh sebab itu sudah 4

semestinya sebagai orang Jawa, kaum mudapun harus mengenal dan mengerti akan kebudayaan tradisinya.

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu-satunya paroki di kota

Yogyakarta yang masih rutin menggunakan iringan gamelan pada misa tiap hari minggunya. Hal ini merupakan keunikan dan kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Bangunan gedung gereja Paroki Hati Kudus

Yesus Pugeran dibangun dengan corak Jawa. Selain itu hal penting yang hingga kini dipertahankan sekaligus menjadi kekhasan gereja Hati Kudus Pugeran adalah dalam hal liturgi dengan digunakannya bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa. Inkulturasi ini dimantapkan sejak tahun 1958 oleh Romo E. Hardjawardjaya, Pr bersama dengan

F. Atmadarsana, C. Hardjasoebrata, dll. Dengan sarana-sarana tersebut umat Katolik diharapkan senantiasa dapat dengan sungguh-sungguh beriman Kristiani dan berakar pada kebudayaannya. Dari satu pihak umat tetap hidup dalam kesatuan dengan Gereja universal dan dari lain pihak tetap hidup dan berakar pada budayanya sendiri. Selain membuat iman umat mengakar dan berdiri kokoh, juga menjadikan Gereja bukanlah sesuatu yang asing tapi merupakan budaya umat sendiri.

Melihat hal tersebut di atas, tampak adanya suatu keterkaitan antara kebudayaan umat setempat dalam hal ini penggunaan iringan gamelan Jawa dengan penghayatan iman umat akan Kristus di Paroki Pugeran. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana iringan gamelan Jawa mempengaruhi penghayatan iman umat di Paroki Hati Kudus Pugeran serta seberapa besar iringan gemelan Jawa tersebut berpengaruh dalam perayaan Ekaristi sebagaimana penulis jabarkan dalam skripsi yang berjudul: Pengaruh Iringan Gamelan Jawa Terhadap 5

Penghayatan Umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran Yogyakarta.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

2. Seberapa besar peran iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat

dalam perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran?

C. TUJUAN PENULISAN

Skripsi ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

2. Mengetahui peranan iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat

dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

3. Sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan.

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran a. Memberi informasi tentang proses masuknya iringan gamelan Jawa dalam Gereja

dan penggunaannya yang berlangsung hingga sekarang. b. Memberi informasi manfaat iringan gamelan Jawa bagi penghayatan iman umat

dalam perayaan ekaristi

2. Bagi Pastor dan Pengurus Dewan paroki Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran 6

Dengan diketahui seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi, maka selanjutnya dapat dikembangkan usaha-usaha yang dapat semakin memperkembangkan penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi melalui bidang inkulturasi kebudayaan Jawa

3. Bagi Penulis a. Memberikan informasi seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap

penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran. b. Memberi informasi pentingnya penggunaan unsur-unsur budaya setempat dalam

pengembangan penghayatan iman umat yang mendalam.

E. METODE PENULISAN

Metode yang penulis gunakan dalan tulisan ini adalah deskriptif analisis.

Dalam tulisan ini penulis memaparkan proses inkulturasi dalam Gereja khususnya di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Penulis juga menganalisis seberapa besar pengaruh kebudayaan Jawa dalam hal ini adalah iringan gamelan Jawa pada penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Yogyakarta. Dalam penulisan ini penulis juga mencari informasi mengenai inkulturasi budaya Jawa di Paroki Hati Kudus Yesus dengan membaca buku-buku penunjang antara lain Buku Kenangan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran,

Buku Kenangan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, Majalah Warta Musik edisi 04/ 2007, dan Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus di Gereja Katolik

Yogyakarta. 7

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I PENDAHULUAN

Menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN

EKARISTI

Menguraikan berbagai macam informasi pertama tentang gamelan Jawa yang terdiri dari deskripsi gamelan Jawa, sejarah dan perkembangan gamelan Jawa, jenis dan komponen gamelan Jawa, fungsi iringan gamelan Jawa, gendhing; kedua tentang paduan suara yang terdiri dari sejarah singkat paduan suara, fungsi paduan suara dalam Gereja Katolik; ketiga tentang perayaan Ekaristi yang terdiri dari pengertian

Sakramen Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja, peran serta umat dalam perayaan Ekaristi, makna Ekaristi dalam hidup sehari-hari; keempat tentang penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi yang terdiri dari

Masuknya gamelan Jawa dalam liturgi, dan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam liturgi.

Bab III PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP

PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN

Menguraikan informasi pertama tentang Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang terdiri dari letak paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, sejarah singkat Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran, dan penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus yesus Pugeran; kedua tentang Pengaruh iringan Gamelan Jawa 8

bagi Penghayatan perayaan Ekaristi yang terdiri dari mengalami kehadiran Allah melalui iringan gamelan Jawa, cara penghayatan iman dipengaruhi oleh usia umat, unsur budaya Jawa memberi daya yang membawa pada relasi lebih mendalam, gerak batin yang terjadi dalam perayaan Ekaristi, hal-hal yang diperoleh dari perayaan

Ekaristi, unsur-unsur budaya Jawa menjadi sarana pewartaan karya Allah; ketiga tentang usaha pengembangan penggunaan iringan Gamelan Jawa guna membantu umat menghayati iman pada perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang terdiri dari peluang untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, hambatan-hambatan dalam pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan Ekaristi di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usaha yang akan dilakukan untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa yang membantu penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usulan program katekese untuk kaum muda.

Bab IV PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran dari seluruh tulisan yang telah dibuat.

BAB II

PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA

DALAM PERAYAAN EKARISTI

Pada bab sebelumnya penulis memaparkan latar belakang yang mendasari skripsi berjudul PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP

PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI

HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA. Salah satu tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan

Ekaristi. Hal tersebut akan dibahas pada bab ini.

Gamelan Jawa merupakan hasil budaya masyarakat di daerah Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan. Secara khusus penulis membahas gamelan sebagai hasil budaya masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gamelan tidak saja merupakan hasil seni tradisional Jawa, melainkan merupakan gambaran filosofis masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, keharmonisan dan kepemimpinan yang dekat dengan masyarakat. Gamelan Jawa pada umumnya berfungsi untuk menyajikan karawitan dan uyon-uyon. Seturut dengan perkembangan, maka gamelan juga digunakan dalam ibadat di gereja.

Pada bab II ini penulis memaparkan informasi tentang gamelan Jawa; paduan suara; perayaan Ekaristi; dan Penggunaan Iringan gamelan Jawa dalam perayaan

Ekaristi.

10

A. Gamelan Jawa

1. Deskripsi Gamelan Jawa

Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain masyarakat Jawa tahu benar apa yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Gamelan adalah hasil budaya masyarakat

Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan

(Dinas Kebudayaan DIY, 1999:2). Gamelan Jawa adalah salah satu orkes tradisional di Indonesia. Gamelan dalam bahasa Jawa disebut juga gangsa atau dalam bahasa

Jawa Kuno disebut pradonggo yang berarti gamelan (Winter, 1983:339). Kebanyakan alat musik gamelan dibuat dari perunggu atau dari besi (Wisnubroto, 1997: 1).

Menurut Prof. Dr. Mantle Hood (1958: 9) dalam tulisannya , gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira memiliki 75 alat dan dimainkan oleh 30 niyaga dengan disertai

10 atau 15 pesinden dan atau gerong.

Setiap instrumen gamelan terdiri atas wadhah dan isi. Wadhah merupakan tempat untuk meletakkan atau menggantungkan bilah-bilah atau pencon-pencon gamelan. Wadhah tersebut biasanya dibuat dari kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu jati dan kayu nangka. Ada berbagai macam bentuk wadhah dalam gamelan atara lain adalah gerobog, rancak, plangkan, gayor, dan pangkon. Sedangkan yang dimaksud dengan pencon adalah bagian dari instrumen gamelan itu sendiri. Bilah dan pencon yang baik kualitasnya dibuat dari perunggu yaitu paduan antara timah putih

(Sn) dan tembaga (Cu) dengan perbandingan antara Sn : Cu = 3:10.

Bagi masyarakat Jawa gamelan bukan hanya sekedar seperangkat alat musik yang terlihat secara fisik, namun juga memiliki nilai bagi kehidupan masyarakat 11

tersebut. Pandangan hidup masyarakat Jawa akan keselarasan dan keharmonisan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak, serta perwujudan toleransi antar sesama tertuang dalam musik gamelan tersebut.

Perwujudan nyata dalam musiknya adalah adanya tarikan rebab yang sedang, paduan yang seimbang antara bunyi kenong, saron, , dan gambang serta suara pada setiap penutup irama (Utomo Wiji, accesed on Februari, 7, 2009).

Alat musik gamelan pada umumnya dimainkan oleh kurang lebih 15 orang.

Hal itu disebabkan karena alat musik gamelan dapat berbunyi sebagaimana mestinya jika semua alatnya dimainkan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa, dengan bermain gamelan masyarakat Jawa mengalami suasana kekeluargaan sama halnya dengan orang berkumpul untuk berbicara tentang masalah sehari-hari. Kebersamaan dalam memainkan gamelan merupakan suatu kegiatan gotong royong yang hanya menarik bila dikerjakan bersama-sama. Gotong royong adalah peristiwa sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Ciri yang khas dari musik gamelan Jawa adalah heterofoni.

Heterofoni artinya not balungan (lagu inti pada umumnya dengan nada-nada yang sama panjangnya) dimainkan secara lurus oleh saron-saron dan slenthem sebagai cantus firmus dan sekaligus dengan diberi “bunga” seperti teknik imbal dalam permainan bonang atau dengan pola khusus untuk main gender ataupun dengan teknik menghias oleh siter dan gambang (Prier, 2009: 21)

Dengan begitu semua pemain gamelan membunyikan balungan yang sama namun dengan variasi-variasi yang juga dimainkkan pada waktu yang sama sehingga apa yang dimainkan menjadi satu bunyi yang indah. Dalam permainan gamelan ada semacam dialog antar para pemainnya. Pemain kendhang memberi kode untuk mengundang bunyi gong, kenong dan kempul pada para pemain yang lainnya untuk 12

merubah tempo permainan lagu. Dialog dalam permainan gamelan memakai kalimat- kalimat yang diakhiri secara jelas dengan bunyi gong (Prier, 2009: 21)

Permainan gamelan sama halnya dengan suatu musyawarah di kampung.

Dalam musyawarah semua orang berbicara bersama, mengutarakan maksud dan usulan, meskipun hati masyarakat belum bisa menyatu, namun ada suatu usaha untuk menjalin sebuah persatuan. Pimpinan dalam permainan gamelan dipegang oleh pemain kendhang yang duduk bersama-sama dengan pemain yang lain, sehingga kerjasama antar pemain dapat terjalin dengan mudah. Demikian halnya dengan pemimpin dalam masyarakat Jawa yang tidak jauh dengan masyarakat karena pemimpin amat menyadari bahwa ia membutuhkan dukungan dari rakyat dan pada saat tertentu ia dihormati dan selalu diingatkan bahwa ada bawahan yang tergantung padanya. Pada tulisannya, Prier (2009:22) menyatakan bahwa “tempo musik gamelan klasik umumnya lambat”. Hal ini merupakan suatu gambaran dari hidup sehari-hari masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terkenal sabar. Kesabaran adalah suatu keutamaan dengan menahan emosi, menguasai diri. Hal tersebut merupakan suatu nilai yang luhur dan tinggi dalam tata masyarakat Jawa.

Alunan nada dalam gamelan Jawa yang lambat, seimbang dan harmonis misalnya suara gong dengan gaung yang dihasilkannya mampu menciptakan suasana tenang yang menggugah hati para pendengar untuk mencari yang transenden, yang tidak nampak namun memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan.

2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa 13

Alat musik gamelan Jawa mulai ada sejak jaman pra sejarah. Sekitar tahun

2500-1500 sebelum masehi terjadi suatu perpindahan bangsa dari Asia Tengah ke

Asia Tenggara yang disebut Imigrasi Pra-Melayu atau proto Melayu. Perpindahan bangsa-bangsa ini membawa hasil-hasil budaya mereka. Salah satu hasil budaya yang mereka bawa adalah alat musik dari bambu. Setelah mengalami perkembangan beberapa waktu kemudian muncullah alat musik seperti , seruling dan gambang yang termasuk dalam salah satu komponen musik gamelan jawa hingga saat ini (Prier, 2006:74-74).

Pada abad 4 Sebelum Masehi, kembali terjadi imigrasi besar atau disebut

Deutero Melayu yang berpusat di daerah Cina Selatan bernama Annam. Abad 4 disebut juga dengan jaman perunggu, maka kedatangan orang-orang tersebut membawa pengaruh juga di bidang musik. Diperkirakan bahwa gong-gong yang pertama berasal dari Asia Selatan di Desa Dong Son daerah Annam. Pada penggalian kurang lebih tahun 1930 ditemukan banyak sekali alat dari perunggu, sehingga terbukti bahwa dari sinilah kebudayaan perunggu tersebar tidak hanya ke Indonesia tapi ke seluruh Asia Tenggara. Tangga nada pelog juga ikut dibawa ke Indonesia oleh kelompok proto melayu. Tangga nada pelog ini tersebar di seluruh Asia Tenggara namun kemudian terutama dipelihara di Jawa dan Bali. Gong-gong yang dibawa oleh orang-orang proto Melayu dari Cina Selatan ke Indonesia ditemukan dalam penggalian di Jawa. Gong-gong ini pada jaman dahulu digunakan orang-orang dalam upacara adat antara lain untuk mendatangkan hujan secara magi (Prier, 2006: 75-78).

Revolusi besar terjadi pada abad pertama dengan dibuatnya kapal-kapal besar di Teluk Persia dan Laut Cina. Hal itu menyebabkan lalu lintas ke Indonesia menjadi 14

intensif. Para pedagang India mendatangi daerah-daerah Indonesia sejak abad 2 dan 3 untuk mencari bahan perdagangan, sehingga pengaruh India di Indonesia menjadi besar terutama dalam hal perdagangan, politik, agama dan kebudayaan. Pada abad ke

IV Agama Budha masuk ke Indonesia dan mendirikan pusatnya di Sumatera awal abad ke VII dengan nama Kerajaan Sriwijaya dan di Jawa dengan Kerajaan

Syailendra pada tahun 750-850. Pada masa itu berkembanglah kebudayaan Jawa berupa musik dan tari, arsitektur dan seni rupa, serta dibangunnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Selain tangga nada pelog, dipakai juga tangga nada slendro yang diperkenalkan oleh Dinasti Syailendra pada abad VIII. Perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh drama Hindu Ramayana (Prier, 2006: 78-80).

Pada waktu orang Hindu datang ke Jawa, mereka telah menemukan bermacam-macam alat musik. Dalam relief Candi Borobudur terdapat alat musik lokal maupun alat musik yang diimpor dari India. Musik-musik tersebut adalah gendang, termasuk gendang dari tanah dengan kulit di salah satu sisinya, angklung, alat tiup (semacam hobo), xylofon (bentuknya setengah gambang setengah calung), sapeq, sitar dan harpa dengan 10 dawai, lonceng dari perunggu dalam berbagai macam ukuran, gong, saron, bonang. Alat-alat tersebut mula-mula dimainkan menurut kebiasaan India. Selain itu dari penggalian-penggalian di Jawa Tengah telah ditemukan sejumlah besar bonang, nada-nada gender dan saron, lonceng, gendang, gong-gong namun belum diketahui berasal dari abad berapa. Alat-alat musik ini telah digunakan sebelum jaman Hindu (Prier, 2006: 80).

Pada akhir jaman Hindu gamelan sudah lengkap seperti sekarang ini hanya saja saat itu alat musik rebab belum masuk dalam seperangkat gamelan. Tahun 1389- 15

1520 merupakan jaman kemunduran dan kehancuran Majapahit. Pada tahun itu juga di Malaka terjadi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa sampai di

Sumatera. Pada tahun 1511 Malaka direbut Portugis dan masuk pula ke kepulauan

Maluku pada tahun 1522. Sementara itu di Jawa berdiri Kerajaan Demak, kerajaan

Islam yang pertama. Kesultanan Demak menguasai seluruh Jawa dan sebagian besar kepulauan di luar Jawa. Bersama dengan agama Islam masuk Indonesia, alat musik

Arab seperti rebana, gambus dan rebab masuk. Alat musik rebab berkembang dan hingga saat ini senantiasa digunakan untuk memainkan gendhing bersama dengan komponen gamelan yang lain (Prier, 2006: 81).

Gamelan sebagai alat musik tradisional Jawa dilestarikan dalam dua jalur.

Pertama, gamelan dipakai dan dilestarikan sebagai musik rakyat dalam bentuk jathilan, reog, salawatan, rinding, siteran, lesungan, gamelan mulut, gamelan bambu atau gumbeng dan lain sebagainya. Kedua gamelan digunakan sebagai musik istana untuk mengiringi tari klasik dan wayang, digunakan sebagai musik sakral (sekaten) serta vokal tunggal berupa Sekar Ageng, Sekar Alit, Macapat, Panembrama dan sebagainya. Selama berabad-abad gamelan dipelihara di keraton sebagai suatu kebiasaan dan fasilitas hidup yang mewah dan mahal. Namun pada umumnya kesenian tidak dinikmati secara pribadi oleh raja sehingga rakyat sering diberi kesempatan untuk ikut menikmatinya pula (Prier, 2009: 22).

Mulai pada abad 20 orkes gamelan perunggu tak hanya terdapat di keraton tapi juga ditemukan di luar keraton dalam masyarakat pada umumnya. Pada saat itu rakyat berusaha memainkan gamelan dengan cara yang sama seperti di keraton yaitu secara klasik, khidmad, dan agung. Hal itu disebabkan karena hidup masyarakat Jawa 16

masih di bawah perlindungan dan dalam ketergantungan dari keraton. Pada tahun

1945 Indonesia mengalami kemerdekaan dan sejalan dengan politik Indonesia yang mulai berkembang maka tradisi dan kehidupan sosial masyarakat Solo dan

Yogyakarta pun turut berubah dan berkembang. Hal itu menyebabkan terbentuknya suatu jurang antara tradisi dan perkembangan kontemporer. Tradisi keraton tetap dipelihara, sementara di luar keraton termasuk dalam sekolah dan Gereja gamelan dimainkan dengan adanya kreasi yang baru. Dari situ permainan gamelan dihayati secara sungguh-sungguh sehingga mampu menghubungkan batin dengan roh nenek moyang (Prier, 2009: 23). Perkembangan yang ada pun menimbulkan suatu perubahan yang mencolok. Prier (2009:23) dalam bukunya mengemukakan bahwa

Bukan rahasia juga bahwa generasi muda merasa tidak tertarik lagi dengan gamelan tradisional. Dunia jaman sekarang dialami berputar lebih cepat daripada hidup di lingkungan Kraton dan musik gamelan klasik. Hidup sederhana dirasa lebih tepat dari pada hidup mewah seperti dapat disaksikan dalam kraton Yogya dan Solo. Adat Jawa makin kurang dikenal oleh generasi muda yang lahir dan tumbuh di kota.

Seiring dengan perkembangan jaman, musik gamelan Jawa tidak terbatas pada gaya klasik Keraton. Saat ini terdapat bermacam-macam eksperimen kreasi baru misalnya memukul gong tidak pada kepala gong tapi pada bagian lain yang menghasilkan bunyi yang lain pula, memukul kayu rancakan gender, bonang dan sebagainya untuk menciptakan bunyi kotekan. Perkembangan lebih jauh lagi adalah penggunaan tambahan alat musik lain seperti terompet, keyboard, gitar dan lain-lain yang disebut dengan Campursari.

Campursari mengandung arti campuran dari dua atau lebih sari-sarinya musik.

Dari campuran tersebut terbentuklah musik baru tanpa harus menghilangkan musik 17

asli. Campursari terdiri dari tiga jenis musik yaitu keroncong, uyon-uyon atau karawitan dan musik diatonis. Ketiga jenis musik tersebut disatukan sehingga menjadi bentuk yang harmonis. Banyak orang menyukai jenis musik ini karena ketiga jenis musik campuran ini telah mengakar dalam hati masyarakat (Redaksi Tembi,

2004: 9-10). Musik Campursari ini merupakan suatu cermin dari masyarakat Jawa yang sedang berkembang hingga saat ini (Prier, 2009: 24).

3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa

Satu perangkat gamelan terdiri dari bagian-bagian alat musik yang memiliki fungsi tertentu dalam memainkan gamelan. Dalam buku Deskripsi Umum Gamelan

Jawa (Dinas Kebudayaan DIY, 1999: 4-22), tugas alat-alat musik gamelan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Alat yang Memainkan Balungan

Gamelan Jawa memiliki komponen-komponen pokok yang memainkan balungan

dalam sebuah lagu. Komponen-komponen tersebut antara lain adalah:

1) Alat Musik Metalofon

Komponen gamelan Jawa yang termasuk dalam jenis metalofon memiliki

bentuk bilah. Alat musik metalofon ini dibagi dalam tiga jenis yaitu:

a) Saron Demung

Dalam seperangkat gamelan Ageng yang lengkap, terdapat 4 pangkon

saron demung. Dari keempat pangkon tersebut, terdapat 2 pangkon untuk 18

laras pelog yang masing-masing berisi 7 bilah dan 2 pangkon yang lain

untuk laras slendro yang masing-masing pangkon berisi 6 bilah.

b) Saron Ricik

Dalam seperangkat gamelan ageng yang lengkap, terdapat 8 pangkon

saron ricik, 4 pangkon di antaranya untuk laras pelog yang masing-masing

pangkon berisi 7 bilah dan 4 pangkon yang lain untuk laras slendro yang

masing-masing pangkon berisi 6 bilah

c) Saron Peking

Jenis saron ini memiliki bentuk yang lebih kecil dari saron ricik. Saron ini

memiliki 2 pangkon untuk laras pelog dan laras slendro.

2) Gong Kecil

Gong kecil adalah instrumen gamelan yang berbentuk pencon. Komponen

gamelan Jawa yang berbentuk gong kecil ini dibagi dalam 3 jenis yaitu:

a) Bonang Panembung

Bonang penembung adalah ricikan yang berbentuk pencon yang

diletakkan di atas rancakan dengan sususan dua deret yakni bagian deret

atas yang disebut brunjung dan bagian deret bawah disebut dhempok.

Bonang panembung terdiri dari 2 rancak, 1 rancak untuk laras slendro

yang berisi 10 pencon dan laras pelog berisi 14 pencon.

b) Bonang Barung

Bonang barung memiliki bentuk lebih sedang (lebih kecil) dari bonang

penembung. Bonang barung terdiri dari 2 rancak, 1 rancak untuk laras

slendro yang berisi 10 pencon dan laras pelog yang berisi 14 buah. 19

c) Bonang Penerus

Bonang penerus memiliki bentuk lebih kecil dari bonang barung. Bonang

penerus memiliki 2 rancak yaitu satu rancak untuk laras slendro yang

berisi 10 pencon dan satu rancak pelog yang berisi 14 buah pencon.

3) Alat lembut dengan gema panjang

Komponen ini adalah ricikan bentuk bilah berukuran besar yang

menggunakan tabung atau bumbungan yang dibuat dari bambu atau seng

sebagai resonator. Alat musik ini dibagi dalam 3 jenis yaitu:

a) Slenthem

Alat musik slenthem terbagi menjadi dua rancak yaitu satu rancak untuk

laras pelog yang terdiri dari 7 bilah dan satu rancak yang lain untuk laras

slendro yang berisi 6 bilah.

b) Gender Barung

Komponen gender barung memiliki tiga rancak yaitu satu rancak untuk

laras slendro, satu rancak untuk laras pelog bem dan satu rancak yang

lain untuk laras pelog barang yang masing-masing rancaknya biasanya

terisi 14 bilah.

c) Gender Penerus

Komponen ini memiliki bentuk lebih kecil dari pada gender barung.

Gender penerus memiliki tiga rancak masing-masing satu rancak untuk

laras slendro, satu rancak untuk pelog barang dan satu rancak yang lain

untuk pelog barang yang masing-masing rancak berisi 14 bilah.

20

b. Alat yang Menunjukkan Struktur Kalimat

Gamelan Jawa memiliki komponen alat musik yang menunjukkan struktur

kalimat dalam memainkan sebuah lagu. Komponen tersebut antara lain:

1) Kendhang

Kendhang termasuk ricikan gamelan yang menggunakan kulit atau selaput

tipis yang direnggangkan sebagai sumber bunyi. Ricikan kendhang menurut

bentuk dan ukurannya dibagi menjadi beberapa macam yaitu teteg (bedhug),

kendhang ageng, kendhang batangan, kendhang penunthung, dan kendhang

ketipung. Fungsi kendhang adalah menentukan bentuk gendhing, mengatur

irama, dan jalannya laya. Mengatur mandheg (berhenti) dan manyuwuk

(memulai) gendhing.

2) Gong Ageng

Alat musik gong dalam gamelan Jawa disebut pemangku irama. Fungsi gong

adalah menguatkan permainan kendhang dalam menentukan bentuk gendhing.

3) Kempul

Kempul adalah jenis gong yang memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran dari

gong ageng dan digantung pada gayor. Kempul untuk laras slendro memiliki

5 buah pencon yang bernada dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (1) dan

jangga (2). Sedangkan untuk gamelan laras pelog terdapat 6 buah pencon

yang bernada dhadha (3), lima (5)

4) Kethuk

Kethuk adalah jenis gong yang berukuan kecil dan diletakkan di dalam sebuah

rancakan. Ukuran kethuk ini sedikit lebih besar dari pada bonang. Kethuk 21

memiliki 2 rancak, untuk laras slendro 1 rancak dengan nada jangga (2),

slendro dan untuk laras pelog 1 rancak dengan nada jangga (2) pelog.

5) Kenong

Kenong adalah alat musik sejenis gong yang berukuran lebih kecil dan

diletakkan dalam sebuah rancakan. Untuk gamelan laras slendro terdapat 5

pencon, yang nadanya: dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (i), dan

jangga(2): sedangkan untuk gamelan laras pelog terdapat 6 pencon, yang

nadanya dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (7), panunggul/ bem (i) dan

jangga (2).

c. Alat Penghias

Gamelan Jawa memiliki komponen alat musik yang berfungsi sebagai penghias

yang memperindah sebuah lagu. Komponen tersebut antara lain adalah:

1) Siter

Siter adalah ricikan gamelan dengan kawat yang diregangkan sebagai sumber

bunyinya. Siter adalah alat musik dimainkan dengan cara dipetik.

2) Gambang/ Xilofon

Gambang adalah komponen gamelan Jawa yang berbentuk bilah kayu.

Gambang berjumlah 3 rancak dengan bilah yang terbuat dari kayu berlian,

yaitu 1 rancak laras slendro, 1 rancak laras pelog bem dan 1 rancak lagi untuk

laras pelog barang yang masing-masing rancakan berisi 21 bilah.

3) Suling 22

Suling adalah ricikan gamelan berbentuk pipa yang terbuat dari buluh

(bambu). Suling untuk laras slendro memiliki 4 buah lubang sedangkan suling

untuk laras pelog terdiri dari 6 lubang. Setiap suling bila dibuka semua

lubangnya kemudian di-sebul masing-masing bernada jangga (2) dan bila

semua lubangnya ditutup lalu di-sebul masing-masing akan bernada dhadha

(3).

4) Rebab

Rebab termasuk instrumen gesek yang menggunakan dua buah kawat sebagai

sumber bunyinya. Dalam seperangkat gamelan terdapat dua macam rebab

yaitu rebab byur (polos satu warna) dan rebab ponthang.

4. Fungsi Iringan Gamelan Jawa

Sebagai orkes tradisional, gamelan Jawa memiliki banyak fungsi baik fungsi secara umum dan khusus. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: a. Pada umumnya fungsi gamelan adalah menyajikan karawitan. Gamelan Ageng

disajikan dalam bentuk uyon-uyon baik soran maupun lirihan. b. Selain itu gamelan berfungsi untuk mengiringi pementasan wayang orang,

wayang kulit, kethoprak, dagelan mataram, tari-tarian Jawa dan lain-lain.

Penyajian karawitan pada umumnya dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1) Soran, adalah penyajian gendhing-gendhing dengan volume tetabuahan yang

keras, semua instrumen ditabuh kecuali gender, gambang, rebab, suling, siter,

penyajian soran dapat dimainkan dengan tempop seseg, tanggung dan antal. 23

2) Lirihan, adalah bentuk penyajian gendhing-gendhing dengan volume

tetabuhan yang halus atau pelan, semua instrumen ditabuh meskipun yang

diutamakan adalah tabuhan ngarep seperti gender, gambang, rebab,

calempung/ siter, dan suling dengan menggunakan variasi permainan tempo

yang berbeda-beda. c. Selain berfungsi untuk menyajikan gendhing-gendhing seperti yang telah

disebutkan, gamelan juga mempunyai fungsi sebagai sarana upacara. Gamelan

upacara tersebut adalah:

1) Gamelan sekati.

Di daerah Yogyakarta gamelan sekati bernama Kangjeng Kyai Guntur Madu

dan Kangjeng Kyai Nagawilaga. Gamelan ini memiliki laras pelog. Gamelan

ini ditabuh dalam perayaan sekaten mulai tanggal 15 Maulud petang hari

sampai tanggal 12 Maulud di pagongan masjid besar. Gamelan sekati juga

ditabuh pada saat menyambut tamu Agung, Supitan, Tetesan putra-putri

Sultan dan Sakarsa Dalem (Dinas Kebudayaan DIY, 2000: 2).

2) Gamelan Munggang

Gamelan munggang berlaras slendro. Gamelan ini ditabuh untuk menyambut

penobatan Sultan, maleman, mantu, rampog macan, grebegan dan lain-lain

(Dinas Kebudayaan DIY, 2000: 2)

3) Gamelan Kodhok Ngorek

Gamelan ini memiliki laras pelog. Jenis gamelan ini hanya dimiliki oleh

kraton dan lembaga pendidikan seni untuk kepentingan pendidikan.

24

d. Gamelan juga menjadi salah satu musik Gereja.

Mulai tahun 1925 gendhing digunakan dalam ibadat sebagai langkah pertama ke arah inkulturasi musik Jawa ke dalam Gereja. Pada saat itu penggunaan lagu pelog banyak tidak mendapat dukungan, namun karena usaha keras Bapak C.

Hardjosoebroto dan dukungan Br. Clementius, gendhing Gereja dalam Bahasa

Jawapun diperbolehkan digunakan dalam Gereja Katolik. Sekitar tahun 1955-1956 gamelan mulai diperbolehkan untuk mengiringi gendhing. Namun meskipun demikian komponen gamelan yang diperbolehkan adalah komponen gamelan yang memiliki suara lembut. Sesudah tahun 1967, semua komponen gamelan diperbolehkan digunakan dalam Gereja (Prier, 1986: 11-13).

5. Gendhing

Gendhing dimengerti sebagai sebuah lagu, nyanyian atau ragam bunyi yang memiliki irama (Susantina, 2001: 108). Gamelan memiliki tiga gendhing yaitu: a. Gendhing lancaran

Gendhing ini disebut gendhing lancaran karena termasuk gendhing kecil yang

biasanya disajikan dalam tempo yang cepat. Satu gong lancaran terdiri dari 8

balungan (Siswanto, 2007:18). b. Gendhing Ladrang

Gendhing Ladrang dalam satu gongan terdiri dari 32 balungan dibagi menjadi 4

baris. Setiap baris terdiri dari 8 balungan atau gotro (baris) (Siswanto, 2007: 19). c. Gendhing Ketawang 25

Dalam gendhing ketawang satu gongan terdiri dari 16 balungan yang dibagi

menjadi dua baris dan setiap baris terdiri dari 8 balungan atau dua gotro (baris)

(Siswanto, 2007: 23).

Selain jenis-jenis gendhing tersebut di atas, terdapat juga bentuk-bentuk lain seperti slepegan.

B. Paduan Suara

1. Sejarah Singkat Paduan Suara

Paduan suara atau koor adalah sebuah kelompok yang bertugas menyanyikan sebuah lagu. Dalam Gereja Katolik paduan suara bertugas untuk meyanyikan sebuah lagu mazmur dengan cara bergantian dengan umat dan juga menyanyikan lagu rohani lain dalam perayaan liturgi (Heuken, 2005: 55). Pada abad-abad pertama sampai abad ke 4 nyanyian dalam ibadat hanya menggunakan satu suara saja. Penggunaan nyanyian tersebut berkembang di Roma dan Milano (Heuken, 2005: 250).

Pada abad empat muncullah paduan suara berupa schola atau kelompok penyanyi terlatih yang terdiri dari kaum klerikal yang menerima pelantikan rendah sampai sub diakon dan dari anak laki-laki (Heuken, 2005: 72). ”Sesudah abad ke empat ketika nyanyian liturgi mulai dikembangkan menjadi lebih indah dan sulit maka dibentuklah Schola Cantorum (sekolah para penyanyi) yaitu kelompok terlatih yang mengambil peranan umat dalam hal menyanyi” (Heuken, 2005: 55).

Mulai abad 12 berkembanglah musik polifon sehingga schola yang ada berkembang menjadi paduan suara tersendiri. Tujuannya adalah memeriahkan ibadat terutama pada hari raya. Perkembangan selanjutnya mencatat bahwa peran umat 26

beriman makin dikesampingkan, paduan suara bernyanyi tanpa partisipasi umat sehingga lagu yang dinyanyikan umat merupakan lagu selingan saja (Heuken, 2005:

72).

2. Fungsi Paduan Suara dalam Gereja Katolik

Dalam suatu perayaan liturgi Gereja, paduan suara atau koor amat diperlukan.

Keberadaan koor dalam liturgi sangat mempengaruhi tingkat kemeriahan perayaan.

Paduan suara berperan untuk mendorong dan menumbuhkan semangat umat dalam bernyanyi. Koor juga berperan untuk mengiringi dan memberikan suasana tersendiri dalam perayaan liturgi, sehingga umat sangat terbantu dalam berdoa (Martasudjita,

2000:61). “Perayaan liturgis menjadi lebih agung bila dirayakan dengan nyanyian dimana berbagai tingkat petugas menunaikan tugas pelayanannya dan umat berpartisipasi di dalamnya” (Musicam Sacram art. 5). Paduan suara secara khusus bertugas untuk menjadi pewarta sabda dan misteri Allah sendiri.

Dengan demikian peranan koor sangat penting dan berbobot dengan adanya kaidah-kaidah konsili tentang pembaharuan liturgi. Koor mendapat peran penting untuk mendorong partisipasi aktif dari kaum beriman di dalam menyanyi, oleh karena itu penempatan posisi paduan suara sebaiknya di depan samping sehingga dapat berkomunikasi dengan umat dan pemimpin liturgi. Penempatan koor demikian melambangkan bahwa koor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari umat.

Keberadaan koor juga bertujuan untuk membantu umat dalam menguasai lagu baru secara cepat dan benar. Oleh karena itu sebelum bertugas hendaknya paduan suara 27

berlatih terlebih dahulu agar lebih menguasai lagu–lagu yang baru (Martasudjita.

2000: 61).

Koor dengan bahasa Jawa dalam gereja pertama kali dilakukan pada tahun

1925 di gereja Kidul Loji Yogyakarta oleh sekelompok koor dari Muntilan di hadapan pembesar Gereja dan para umat. Hal ini menimbulkan banyak suara yang menyatakan keberatan jika gendhing masuk dalam Gereja. Namun para pembesar

Gereja tidak merasa keberatan asalkan penggunaan lagu-lagu tersebut tidak digunakan dalam misa. Pada pentas lain tanggal 31 Januari 1926 di Kidul Loji masih terdapat juga suara yang menyatakan keberatan akan lagu gereja berbahasa Jawa karena lagu tersebut dirasa mirip dengan lagu keraton. Seiring berjalannya waktu mulai tahun 1956 gendhing Gereja mulai digunakan dengan iringan gamelan Jawa dan paduan suara. Pada tahun yang sama juga Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan gerejani (Prier, 1986:11).

C. Perayaan Ekaristi

1. Pengertian Sakramen

Yesus yang telah bangkit hidup dengan jaya bersama Bapa di surga. Secara istimewa Yesus hadir dan hidup di tengah-tengah Gereja-Nya untuk melanjutkan karya penyelamat-Nya di dalam Gereja yaitu di dalam para anggota Gereja. Yesus hadir dalam Gereja ingin memanggil dan menguduskan orang-orang yang percaya kepada-Nya serta menggabungkan mereka ke dalam Gereja. Oleh karena itu Yesus menciptakan sarana untuk menyampaikan kepada umatNya secara nampak dan kelihatan yang disebut sakramen (Bakker, 1988: 23-24). 28

Kata sakramen berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin yaitu sacrare yang berarti menguduskan. Cara Yesus menguduskan umat-Nya disebut dengan tindakan sakramental. Bakker (1988: 24) memberikan definisi sakramen sebagai “suatu tanda atau perbuatan simbolis dan suatu sabda yang menyatakan apa yang secara tak kelihatan dibuat oleh Yesus dalam karya penyelamatan-Nya”. Sakramen juga diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan tanda dan sarana karya penyelamatan Allah (Banawiratma, 1989: 13).

Pada abad pertengahan istilah sakramen mulai dibatasi pada bidang liturgi saja. Sakramen memiliki unsur ‘materia’ dan unsur ‘forma’. Unsur material adalah barang atau tindakan tertentu yang terlihat dan menghubungkan dengan karya Allah.

Sedangkan unsur forma adalah kata-kata yang menyertai karya penyelamatan Allah dalam sakramen. Gereja katolik memiliki tujuh sakramen yaitu sakramen Baptis,

Krisma, Ekaristi, Tobat, Pernikahan, Imamat dan Pengurapan Orang Sakit. Sakramen yang hanya diterima satu kali seumur hidup adalah sakramen pembaptisan, krisma dan imamat. Sedangkan sakramen yang bisa diterima berulang kali adalah sakramen

Ekaristi, Tobat, Pengurapan Orang Sakit dan perkawinan apabila salah satu pasangannya telah meninggal dunia

2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja

Sakramen Ekaristi yang merupakan sumber keselamatan dan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam hidup umat Kristiani dirayakan dalam Perayaan Ekaristi.

Perayaan Ekaristi merupakan peristiwa pengenangan akan perjamuan terakhir Yesus bersama dengan para murid-Nya sebelum ia ditangkap, sengsara, dan wafat di kayu 29

salib. Pada perjamuan terakhir Yesus memecah roti dan membagikannya pada para murid-Nya dan berkata “Ambilah dan makanlah, inilah tubuhKu” (Mat. 26:26). Roti adalah tubuh Kristus yang dibagikan sebagai tanda pemberian Kristus. Dalam roti tersebut Yesus mempersatukan para rasul dengan diri-Nya yang merupakan kesatuan rahmat, kesatuan iman dan kesatuan pribadi. Yesus juga memberikan piala yang berisi anggur pada para muridNya. Angur dan piala melambangkan perjanjian baru yang sangat terkait dengan darah yang ditumpahkan. Dengan minum dari piala, para rasul mengambil bagian dalam penyerahan diri Yesus kepada Bapa, berpartisipasi dalam kurban Yesus (Jacobs, 1989: 144-145).

Atas perintah Yesus sendiri Gereja katolik melaksanakan perayaan Ekaristi pada hari minggu dan juga pada hari-hari biasa. Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG art. 11). Melalui perayaan ekaristi umat Allah mendapatkan kekuatan rohani untuk kehidupan selanjutnya. Hal tersebut juga disampaikan dalam Pedoman Umum Misale Romanum artikel 16 sebagai berikut:

Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Baik bagi Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap umat beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen. Sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia dimuliakan Bapa lewat Kristus , Putra Allah dalam Roh Kudus. Kecuali itu perayaan ekaristi merupakan pengenangan misteri penebusan sepanjang tahun. Dengan demikian boleh dikatakan misteri penebusan tersebut dihadirkan untuk umat. Segala perayaan ibadat lainnya juga pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristen berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi bersumber pada-Nya dan tertuju Pada-Nya.

Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengatur sebuah perayaan Ekaristi atau perjamuan Tuhan dengan sebaik mungkin sehingga para pelayan misa serta para umat beriman yang mengikuti dapat memetik buah hasil perayaan Ekaristi sepenuhnya. 30

Dalam perayaan Ekaristi umat dihimpun di bawah imam sebagai pimpinan sekaligus wakil Kristus. Melalui perayaan Ekaristi umat berkumpul untuk mengenangkan Tuhan seperti yang dijanjikan Kristus “Dimana ada dua atau tiga orang berhimpun dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat

18: 20). Dalam seluruh perayaan Ekaristi Kristus benar-benar hadir baik dalam jemaat yang berkumpul maupun dalam pribadi pelayan ibadat, dalam sabda dan secara hakiki dalam rupa roti dan anggur ekaristis (Pedoman Umum Missale

Romanum art. 27).

Perayaan Ekaristi terdiri dari dua bagian yakni Liturgi Sabda dan Liturgi

Ekaristi. Dalam Liturgi Sabda Allah dihadirkan melalui sabda-sabda-Nya dalam

Kitab Suci. Sedangkan di dalam Liturgi Ekaristi Allah dihadirkan dalam roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Kristus santapan rohani umat Kristiani. Dalam

Pedoman Umum Missale Romanum Perayaan Ekaristi dibagi menjadi empat bagian utama yang terdiri dari: a. Ritus Pembuka

Ritus pembuka meliputi bagian-bagian yang mendahului Liturgi Sabda yaitu:

1) Perarakan masuk

Setelah semua umat berkumpul, imam bersama dengan petugas liturgi yang

lain berarak menuju altar diiringi dengan lagu pembuka. Tujuan nyanyian

pembuka adalah membuka misa, membina kesatuan umat yang berkumpul,

mengantar masuk ke dalam misteri masa liturgi atau pesta yang dirayakan

(PUMR art 47). 31

2) Penghormatan Altar dan Salam kepada Umat

Setiba di panti imam, imam, diakon dan pelayan menghormati altar dengan

membungkuk khidmad. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan.

Setelah itu imam menyampaikan salam kepada umat untuk menunjukkan

bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah mereka (PUMR art 49 dan 50).

3) Pernyataan Tobat

Pernyataan tobat diawali dengan hening sejenak dan dilanjutkan dengan

rumusan pengakuan umum. Melalui pengungkapan tobat umat disadarkan

kembali untuk mau kembali pada Allah Bapa yang baik (Lukasik, 1991: 19).

4) Tuhan Kasihanilah

Melalui ungkapan atau nyanyian Tuhan Kasihanilah, umat berseru kepada

Tuhan dan memohon belas kasihan-Nya (PUMR art 52).

5) Kemuliaan

Melalui madah kemulian baik dinyanyikan maupun didaraskan, Gereja yang

berkumpul atas dorongan roh kudus memuji Allah Bapa dan memohon belas

kasihan-Nya (PUMR art 53).

6) Doa Pembuka

Dalam doa pembuka ini, imam membawakan doa pembuka yang

mengungkapkan inti perayaan liturgi hari yang bersangkutan (PUMR art 54).

Semua bagian tersebut mempunyai ciri khas sebagai pembuka, pengantar dan persiapan. Ritus pembuka mempunyai tujuan untuk mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan umat agar dapat mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian. 32

b. Liturgi Sabda

Melalui liturgi Sabda, Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani. Lewat sabda-Nya Kristus sendiri hadir di tengah- tengah umat beriman (PUMR art 55).

Liturgi sabda meliputi bagian-bagian sebagai berikut:

1) Saat Hening

Saat hening merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah

dengan dukungan roh kudus dan untuk menyiapkan jawaban dalam doa

(PUMR art 56).

2) Bacaan-bacaan dari Alkitab

Melalui pembacaan Alkitab, Sabda Allah dihidangkan bagi mereka dan

khasanah harta Alkitab dibuka bagi umat (PUMR art 57).

3) Mazmur Tanggapan

Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting

karena menopang permenungan atas Sabda Allah (PUMR art 61).

4) Bait Pengantar Injil

Dengan aklamasi bait pengantar Injil, umat menyambut dan menyapa Tuhan

yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil dan sekaligus menyatakan

iman (PUMR art 62).

5) Homili

Homili merupakan bagian liturgi yang penting untuk memupuk semangat

hidup Kristen (PUMR art 65).

6) Pernyataan Iman 33

Tujuan pernyataan iman atau syahadat adalah agar seluruh umat yang

berhimpun dapat menanggapi Sabda Allah yang dimaklumkan dalam Alkitab

dan dijelaskan dalam Homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman

lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis umat mengingat

kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka

merayakannya dalam liturgi ekaristi (PUMR art 67).

7) Doa Umat

Dalam doa umat jemaat menanggapi Sabda Allah yang mereka terima dengan

penuh iman. Lewat doa umat, umat memohon keselamatan semua orang dan

dengan demikian mengamalkan tugas imamat yang mereka peroleh dalam

pembaptisan (PUMR art 69).

c. Liturgi Ekaristi

Liturgi Ekaristi berpangkal pada perjamuan malam terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Kristus menetapkan kurban dan perjamuan paskah yang terus menerus menghadirkan kurban salib dalam Gereja. Hal ini dilaksanakan terus menerus oleh Gereja sebagai kenang-kenangan akan Yesus (PUMR art 72).

Liturgi ekaristi meliputi bagian-bagian sebagai berikut:

1) Persiapan Persembahan

Persiapan persembahan meliputi persiapan meja altar, pengumpulan uang

(kolekte), perarakan mengantar persembahan, persiapan roti dan anggur oleh

imam, pendupaan roti anggur, petugas liturgi dan umat serta pembasuhan 34

tangan imam yang melambangkan persiapan akan hati yang bersih (PUMR art

73-76).

2) Doa Syukur Agung

Pusat dan puncak seluruh perayaan Ekaristi dimulai pada Doa Syukur Agung

yaitu sewaktu doa syukur dan pengudusan. Tujuan Doa Syukur Agung ini

adalah agar seluruh umat beriman menggabungkan diri dengan Kristus dalam

memuji karya Allah yang agung dan mempersembahkan kurban (PUMR art

78).

3) Bapa Kami

Dalam doa Bapa Kami, umat beriman mohon rezeki sehari-hari. Bagi umat

Kristen rezeki sehari-hari ini terutama adalah roti Ekaristi. Umat juga

memohon pengampunan dosa supaya anugerah kudus diberikan pada seluruh

umat. Dalam doa Bapa Kami umat memohon agar dibebaskan dari segala

kejahatan (PUMR art 81).

4) Ritus Damai

Pada ritus damai ini umat memohon damai dan kesatuan bagi Gereja sendiri

dan bagi seluruh umat manusia, sedangkan umat beriman menyatakan

persekutuan jemaat dan cinta kasih satu sama lain sebelum dipersatukan

dalam tubuh Kristus (PUMR art 82).

5) Pemecahan Roti

Pemecahan roti menandakan bahwa umat beriman yang banyak itu menjadi

satu karena menyambut komuni dari satu yaitu Kristus sendiri yang wafat dan

bangkit demi keselamatan dunia (PUMR art 83). 35

6) Komuni

Melalui komuni seluruh umat berpartisipasi dalam kurban Kristus yang

sedang dirayakan (PUMR art 85).

d. Ritus Penutup

Ritus penutup meliputi bagian-bagian sebagai berikut

1) Doa Sesudah Komuni

Doa sesudah komuni ini diarahkan untuk masa depan ke hidup yang akan

dijalani. Doa ini terdiri dari dua bagian yaitu mengingat akan pemberian yang

baru diterima dan permohonan agar pemberian yang telah diterima

menghasilkan buah dalam hidup sehari-hari umat (Lukasik, 1991: 120).

2) Salam dan Berkat Imam

Salam ini merupakan salam perpisahan dengan umat dan tempat suci. Salam

ini bertujuan untuk mengingatkan umat bahwa mereka akan berjalan bersama-

sama dengan Kristus. Imam memberi berkat sebagai tanda bahwa Kristuslah

yang memberi berkat lewat perantaraan imam (Lukasik, 1991: 121).

3) Pengutusan Jemaat

Sebagai umat Allah yang telah menerima berkat , maka umat diutus untuk

mewujud nyatakan sehingga menjadi berkat bagi orang lain yang akan

dijumpai (Lukasik, 1991 :122-123).

4) Penghormatan Altar 36

Pada saat penghormatan altar, imam dan diakon mencium altar kemudian

bersama dengan pelayan lain membungkuk khidmad ke arah altar (PUMR art

90).

3. Peran Serta Umat dalam Perayaan Ekaristi

Ekaristi adalah perayaan umat, sehingga diperlukan suatu kehadiran dan partisipasi aktif dari umat beriman (PUMR 17). Pembaharuan liturgi pada abad ke 20 menghasilkan dokumen pertamanya yaitu Sacrosanctum Concilium yang secara ekplisit pada artikel 14 menegaskan bahwa

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman, dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan- perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh hakikat liturgi sendiri dan berdasarkan baptis merupakan hak serta kewajiban umat Kristiani sebagai bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri.

Dengan demikian Gereja mengajak agar umat terlibat secara sadar dan aktif.

Keterlibatan umat secara aktif mengarah pada partisipasi umat yang sungguh- sungguh. Umat bukanlah penonton namun umat adalah pelaku liturgi sendiri. Umat bukanlah objek tetapi termasuk subjek yang berliturgi. Jadi istilah “aktif” menunjuk pada keterlibatan umat yang total dalam liturgi (Martasudjita 1998:49).

Partisipasi secara sadar mengacu pada peran serta yang dilakukan dengan penuh pengertian dan pemahaman. Dengan kata lain orang tahu dan paham tentang apa yang sedang dilakukan. Dalam liturgi umat diharapkan untuk terlibat secara sadar, artinya umat terlibat dengan tahu apa yang sedang dijalaninya. Umat yang menjalankan liturgi secara sadar memahami dan mengetahui tentang liturgi

(Martasudjita, 1998: 49) 37

Partisipasi umat yang sadar dan aktif diwujudkan dalam tindakan nyata.

Panggilan Allah pada umatNya ditanggapi dengan suatu tindakan untuk hadir ke perayaan Ekaristi dengan tepat waktu bukan semata-mata hanya untuk kepentingan sopan santun saja namun karena umat merasa wajib berada tepat waktu di tengah- tengah umat Kristus yang hadir untuk menjawab panggilanNya. Berkumpulnya umat merupakan unsur pokok dan penting dalam mempersiapkan perayaan Ekaristi.

Namun perayaan tersebut bukan hanya bersifat lahiriah atau hadir begitu saja, melainkan kesadaranlah yang harus dipersiapkan. Umat benar-benar sadar tujuan mereka datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi (Lukasik, 1991: 11).

Selain persiapan-persiapan pokok tersebut perlu juga dipersiapkan alat-alat yang dipergunakan dalam misa, karena semua peralatan yang digunakan memiliki tujuan masing-masing. Semua alat yang dipersiapkan akan digunakan oleh Kristus sendiri untuk menyampaikan misteriNya pada umat.

Selama mengikuti perayaan ekaristi umat dapat mengambil sikap-sikap badan sebagai berikut: a. Berjalan

Berjalan dengan tegap dan khidmad serta pandangan ke arah depan merupakan

tanda penghormatan dan kesungguhan niat untuk bertemu dengan Tuhan

(Windhu, 1997: 11) b. Membuat Tanda Salib

Umat membuat tanda salib selama perayaan Ekaristi yang mengingatkan umat

akan pembaptisan yang telah diterima (Windhu, 1997: 12). c. Perarakan 38

Perarakan dilakukan oleh imam dan misdinar serta pembantunya. Selain itu

perarakan juga dilakukan oleh beberapa wakil umat untuk mengantar bahan

persembahan (Windhu,1997: 15) d. Membungkuk

Membungkukkan badan merupakan tanda penghormatan yang lebih besar

daripada menundukkan kepala. Rombongan imam dan misdinar juga melakukan

penghormatan terhadap alatar Tuhan (Windhu, 1997: 15) e. Mengecup

Mengecup adalah tanda cinta dan penghormatan terhadap seseorang atau barang.

Sikap ini dilakukan oleh imam terhadap meja altar sebelum dan sesudah perayaan

Ekaristi (Windhu, 1997:17). f. Mendupai

Maksud pendupaan ini adalah untuk menciptakan suasana doa dan kurban bagi

Allah. Pendupaan altar bergerak dari bagian kiri ke kanan mengelilingi altar

(Windhu, 1997: 19) g. Menundukkan kepala

Menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan (Windhu, 1997: 21) h. Berlutut

Sikap ini menunjukkan sikap rendah hati, sembah sujud dan tobat (Lukasik,

1991:12) . i. Menebah Dada

Menebah dada sebagai tanda tobat atau penyesalan (Windhu, 1997: 23) j. Duduk 39

Sikap ini adalah sikap rileks, istirahat, sikap yang cocok untuk berfikir, berefleksi,

merenung. Sikap seperti ini mempermudah umat untuk mendengarkan dan

menerima Sabda Allah dan merenungkannya (Lukasik, 1991: 12). k. Bersila

Bersila atau bersimpuh merupakan sikap doa yang umum di Asia bagian selatan

dan Timur seperti India Jepang dan Indonesia (Windhu, 1997: 27) l. Berdiri

Sikap berdiri ini menunjukan kesiap siagaan yaitu sikap untuk menerima, sikap

untuk diutus, siap untuk berkarya. Sikap ini mengungkapkan juga rasa syukur,

harapan akan kebangkitan, kebebasan anak-anak Allah yang menghadap kepada

Bapa dan berbicara padaNya lewat doa (Lukasik, 1991:11). m. Merentangkan Tangan

Merentangkan tangan adalah tanda penyerahan kepada kehendak Allah. Dengan

merentangkan tangan orang membuka seluruh genggaman dan mau menyerahkan

yang dimilikinya pada Tuhan (Windhu, 1997: 29) n. Menengadahkan Kepala

Menengadahkan adalah sikap doa yang mengungkapkan permohonan dengan

kekuatan hati o. Mengangkat TanganMengangkat kedua tangan ke atas melambangkan

permohonan yang disertai pengharapan penuh (Windhu, 1997: 31) p. Menyembah

Menyembah dengan mengatupkan kedua tangan di atas dahi, merupakan tanda

bakti dan hormat pada Tuhan (Windhu, 1997: 32) 40

q. Mengatupkan Tangan

Mengatupkan tangan merupakan ungkapan kesetiaan. Dengan tangan mengatup

umat mau menutup sementara segala kegiatan sehari-hari untuk bertemu dengan

Tuhan (Windhu, 1997:33) r. Bergandeng Tangan

Bergandeng tangan merupakan tanda kesatuan dan kebersamaan (Windhu, 1997:

34) s. Bersalaman

Bersalaman adalah sikap untuk mengungkapkan kasih sayang persaudaraan,

dalam perayaan Ekaristi sikap ini dilakukan pada saat Salam Damai (Windhu,

1997: 35) t. Mencium

Mencium merupakan tanda cinta dan penghormatan (Windhu, 1997: 36) u. Menumpangkan Tangan

Menumpangkan tangan merupakan tanda menyerahkan wewenang sambil

menyerukan turunnya Roh Allah atas diri orang yang ditumpanginya (Windhu,

1997:37) v. Memerciki

Pemercikan air merupakan tanda penyucian dan peringatan akan pembaptisan

umat (Windu, 1997: 38) w. Menelungkup

Menelungkup atau bertiarap merupakan ungkapan tidak pantas merasa berdosa di

hadapan Allah (Windhu, 1997:39) 41

x. Memberkati

Memberkati adalah doa, ungkapan permohonan pada Tuhan, semoga yang

diminta umatNya terkabulkan, terjadi, atau terlaksana (Windhu, 1997: 43).

Sikap-sikap seperti di atas membantu umat untuk berkomunikasi dan bertemu dengan

Allah (Lukasik, 1991:11-12).

4. Makna Ekaristi dalam Hidup Sehari-Hari

Dalam perayaan Ekaristi umat beriman merayakan peristiwa penyelamatan

Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Melalui Yesus dan oleh darahNya yang tertumpah umat memperoleh pengampunan dosa. Oleh sebab itu, maka liturgi merupakan jalan dan peristiwa bagi umat merayakan penebusan Allah yang menjadikan umat sebagai anak-anakNya. Karya penebusan yang terlaksana dalam

Kristus kini dihadirkan dan diwujudkan “melalui kurban dan sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis” (SC art 6).

Karunia penyelamatan Allah yang diperoleh dan dinikmati umat beriman dalam perayaan Ekaristi sesungguhnya berisi persatuan umat dengan Allah. Melalui perayaan ekaristi umat dimasukkan dalam hidup Allah yang berupa hubungan kasih antara Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian perayaan ekaristi memiliki daya untuk menyatukan Allah dan sesama dalam kehidupan (Marasudjita, 1998: 67-68)

Perayaan Ekaristi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan hidup sehari-hari.

Liturgi dalam perayaan Ekaristi memiliki tempat yang khas dan unggul. Liturgi 42

dipandang sebagai sumber dan puncak kegiatan hidup umat kristiani (Martasudjita,

1998:75). Pandangan demikian ditegaskan oleh Konsili Vatikan II sebagai berikut

Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta merta sumber daya kekuatannya. Sebab usaha-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putra-putra Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah-tengah Gereja, ikut serta dalam kurban dan menyantap perjamuan Tuhan (SC 10)

Liturgi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja, karena semua kegiatan dan fungsi Gereja memiliki arah dan tujuan satu dan sama, yakni perayaan misteri karya keselamatan Allah (Martasudjita, 1998: 75). Dalam liturgi yang berpuncak pada perayaan Ekaristi, umat berjumpa dengan Allah serta menerima daya kekuatan dan penyalamatan dari Allah untuk hidup umat sehari-hari (Martasudjita, 1998: 76).

Kebersamaan umat beriman dengan Allah terlaksana dalam kehidupan sehari- hari baik yang bersifat pribadi maupun bersama dengan orang lain. Kebersamaan dengan Allah yang dihayati setiap saat dalam hidup sehari-hari tersebut dirayakan, disadari, diakui, dinyatakan dan disyukuri serta dimohonkan dalam perayaan Ekaristi.

Dengan demikian segala suka dan duka kehidupan yang dialami umat sehari-hari dibawa dan dimasukkan ke dalam liturgi pada perayaan Ekaristi (Martasudjita,

1998:77-80).

D. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi

1. Masuknya Kebudayaan Setempat dalam Liturgi

Kebudayaan berkaitan erat dengan kata kultur yang berasal dari bahasa Latin cultura yang dalam kata kerja disebut colere yang berarti mengolah tanah. Menurut

Th. Koenjono (1985: 9) kultur ialah “segala karya yang membantu kehidupan 43

manusia”. “Sinonimnya dengan kata lain adalah ‘kebudayaan’, dari ‘budi-daya’ dan

‘peradaban’ dari kata Arab ‘adaba’ yang berarti mendidik”. Kultur atau kebudayaan diartikan sebagai semua hasil karya manusia yang meliputi cara pengolahan tanah, cara berfikir, sastra, kesenian, ilmu dan teknik, cara penghayatan nilai-nilai moral serta nilai-nilai lainnya.

Menurut Sir Edward B Taylor sebagaimana dikutip oleh Karl Edmund Prier

(Prier, 2009: 4) kebudayaan adalah “keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup organisasi sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu”. Konsili Vatikan II dalam konstitusi Gaudium et Spes artikel 53 memberikan suatu deskripsi sebagai berikut:

Kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa- raganya….Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai- nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang menampung manusia dari bangsa dan jaman manapun, dan yang menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

Jadi budaya terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Ibadat adalah unsur dari budaya itu. Dalam ibadat diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia, asal-usul serta tujuannya.

Dalam kehidupan bersama, tak jarang suatu kebudayaan bertemu dengan kebudayaan lain. Salah satu bentuk perjumpaan budaya satu dengan budaya yang lain adalah inkulturasi. Inkulturasi adalah suatu proses transformasi antara budaya lama dan budaya yang baru sehingga menimbulkan suatu budaya yang baru tanpa 44

menghilangkan kepribadian kedua budaya sebelumnya (Prier, 2009: 7). Inkulturasi dapat digambarkan sebagai berikut

Budaya asli Budaya baru Budaya lama dan baru mengalami transformasi

Gereja Katolik mengenal inkulturasi dalam pewartaan imannya. Istilah inkulturasi pertama kali dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977, yaitu oleh sinode para uskup di Roma mengenai katekese dalam naskah “Pesan kepada umat

Allah” (Banawiratma, 1985: 19) yang disampaikan sebagai berikut

Warta dan pesan Kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan dan untuk itu penyampaian pesan itu mesti sanggup tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan-kebudayaan yang mendengarkan Injil.

Menurut Giancarlo Collet sebagaimana dikutip Karl Edmund Prier ( Prier, 2009: 8) inkulturasi didefinisikan sebagai berikut:

Inkulturasi merupakan “suatu proses yang berlangsung terus di mana Injil diungkapkan di dalam situasi sosio politik dan religius budaya sedemikian rupa hingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja universal”.

45

Inkulturasi dalam gereja katolik merupakan sarana bukanlah tujuan yang hendak dicapai. Maka unsur-unsur kebudayaan haruslah membantu umat untuk menghayati

Kerajaan Allah dan Injil. Suatu unsur kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya jika tidak membantu umat menghayati imannya maka tidak layak dimasukkan sebagai sarana penghayatan iman (Koenjono, 1985: 11).

Dalam Gereja Katolik terdapat bermacam-macam inkulturasi. Bentuk-bentuk inkulturasi itu antara lain adalah inkulturasi liturgi yang terdiri dari musik liturgi serta arsitektur dan desain gedung gereja; Inkulturasi hidup rohani; inkulturasi struktur

Paroki sampai yang paling sulit yaitu inkulturasi teologi misalnya gambar tentang

Allah (Prier, 2009: 8). Dalam tulisannya Prier menyebutkan bahwa “Inkulturasi liturgi adalah suatu proses timbal balik antara budaya setempat dengan ‘budaya’

Gereja berupa pewartaan dan ungkapan iman dalam ibadat”.

Inkulturasi musik liturgi adalah suatu usaha untuk menciptakan musik-musik baru yang bernilai luhur dan tinggi yang dipergunakan dalam ibadat. Oleh karena itu musik tersebut dapat langsung mengena dan dapat dimengerti oleh umat sekaligus menjadi ungkapan iman mereka (Prier, 2009: 8). Tujuan inkulturasi Liturgi dalam

Pedoman Inkulturasi Komisi Liturgi (MAWI, 1984:2) adalah “pengungkapan perayaan liturgi Gereja dalam tata cara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya umat yang beribadat”. Oleh Karena itu umat yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang, hiasan, dan tata upacaranya karena langsung dapat dimengerti dan dinilai sesuai dengan budaya umat setempat (Prier, 2009: 13). Hal itu juga disampaikan dalam dokumen Gereja Sacrosanctum Concilium art. 37-40 sebagaimana berikut: 46

Inkulturasi membuka pintu untuk memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terikat pada tahayul dan ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi

sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli.

Gereja adalah orang-orang beriman akan Kristus yang terikat pada budaya lokal dan dari kelompok-kelompok tertentu. Sejak semula Gereja tidak pernah bisa melepaskan diri dari musik. Liturgi sebagai perayaan iman Gereja senantiasa tidak dapat lepas dari unsur musik dari tradisi setempat. Khususnya tentang musik liturgi, konstitusi dalam art. 119-120 menentukan bahwa

Tradisi musik yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat hendaknya mendapatkan penghargaan selayaknya dan sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka. Alat-alat musik (selain orgel) dapat juga dipakai dalam ibadat suci sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman.

Sesudah Konsili Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II memperkembangkan gagasan teologis ini dengan menegaskan bahwa Allah berkarya dalam segala budaya, berkat karya Kristus yang tersembunyi di dalamnya

Istilah “Inkulturasi”....dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung inkarnasi....Pewartaan Injil pada umumnya dipanggil untuk mengantar kekuatan Injil merasuki inti kebudayaan ... Katekese akan mampu menyumbangkan kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang tersembunyi serta membantunya membuahkan dari tradisi-tradisinya yang hidup ungkapan-ungkapan asli bagi kehidupan (CT art 53).

2. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Liturgi 47

Mulai tahun 1925 inkulturasi gendhing mulai digunakan dalam ibadat. Bapak

C. Hardjosoebroto atas dukungan Br. Clementius memberanikan diri untuk mengarang beberapa gendhing Gereja dalam bahasa Jawa di antaranya adalah Atur

Roncen dengan tangga nada pelog yang dinyanyikan tanpa iringan. Lagu tersebut dinyanyikan pertama kali oleh koor dari Muntilan di Gereja Kidul Loji Yogyakarta di hadapan pembesar Gereja dan para umat. Meski pada saat itu ada pihak yang berkeberatan dengan penggunaan gamelan serta lagu berahasa Jawa, namun di sisi lain pembesar Gereja saat itu tidak keberatan. Maka untuk selanjutnya Bapak C.

Hardjasoebrata diperbolehkan untuk terus membuat dan menggunakan lagu berbahasa Jawa dengan diiringi gamelan, hanya saja tidak dipergunakan dalam misa.

Sebuah pentas lain pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertempat di Gereja Kidul Loji meyakinkan orang-orang yang tadinya berkeberatan dengan penggunaan gendhing

Jawa hingga akhirnya mereka menyadari bahwa lagu gereja ini mirip dengan lagu

Keraton (Prier, 1986: 11).

Setelah Bapak C. Hardjosoebroto pindah ke Solo maka eksperimen tadi diperluas juga di lain tempat seperti Ganjuran, Wedi dan Kalasan. Setelah perang dunia II berakhir, Mgr. Soegijopranoto menjadi pendorong untuk memajukan gamelan dalam Gereja. Pada tahun 1955 dibentuklah panitia khusus untuk gendhing

Gereja dan pada tahun 1956 untuk pertama kali diadakan demonstrasi gendhing

Gereja karangan Bapak Atmodarsono dan Bapak C. Hardjosoebroto dengan iringan gamelan yang disaksikan oleh Bapak Uskup. Karena hasilnya dirasa sangat positif,

Bapak Uskup memintakan ijin ke Roma agar gendhing Gereja boleh juga digunakan dalam misa, namun tetap menggunakan bahasa Latin (Prier, 1986: 11). 48

Mulai tahun 1956 Paroki Pugeran Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan Gerejani. Pada saat itu Romo Harjowardoyo menerbitkan kumpulan

Gendhing Gereja dengan judul Kyriale dan Natalia. Setelah Konsili Vatikan II, dukungan terhadap inkulturasi semakin kuat sehingga berkembanglah banyak sekali gendhing mazmur antara lain ditulis oleh M. Siswanto, Ign. Pujoharsono, RI.

Suwarja, Z. Sudiro, V. Marsudi. Buah karya mereka lalu dikumpulkan oleh Romo

Wahyosudibyo Pr dan diterbitkan di awal tahun 1970an dengan judul Kidung

Masmur Gendhing Jawi, Gendhing Pangiring Bojana Kurban, Gendhing Suci-

Gendhing Jawi Minggu Adi. PML menerbitkan pada tahun 1978 suatu kumpulan lagu gereja non gendhing dengan judul Cahya Sumunar. Tahun 1983 suatu panitia khusus dari Keuskupan Agung Semarang bersama PML menyusun buku Kidung Adi” yang merupakan suatu perpaduan antara gendhing dan lagu Gereja dengan nada diatonik, baik dengan lagu dan doa (Prier, 1986: 12).

Meskipun gamelan telah secara resmi diterima dalam Gereja, namun masih banyak juga pihak-pihak yang berkeberatan akan penggunaan gamelan untuk mengiringi musik liturgi. Sebelum tahun 1965 bunyi kendhang, saron dan bonang tidak diperbolehkan digunakan dalam Gereja. Gendhing Gereja mengikuti pola tenang, khidmad sedangkan dalam liturgi diperlukan juga suasana yang lain, sehingga menimbulkan pertentangan (Prier, 1986: 13).

BAB III

PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA

TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS

YESUS PUGERAN YOGYAKARTA

Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan penggunaan iringan gamelan

Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah Paroki yang dinaungi oleh budaya Jawa yang kuat karena letaknya yang berdekatan dengan keraton Yogyakarta. Hingga tahun 2009 ini Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ini tetap mempertahankan unsur-unsur budaya Jawa yang ada dalam liturgi. Bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa masih tetap digunakan secara rutin tiap Minggu dalam

Perayaan Ekaristi. Penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi membawa peran yang positif bagi umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Iringan

Gamelan membawa umat memasuki suasana tenang dan khidmad untuk bertemu dengan Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

Pada bab ini akan dipaparkan pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran melalui penjelasan tentang Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Besarnya pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat serta usaha pengembangan inkulturasi guna membantu umat menghayati iman pada perayaan ekaristi di paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran juga akan dibahas dalam bab ini..

50

A. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

1. Letak dan Wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran terletak di Jalan Suryaden no. 64

Yogyakarta. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran terletak di Kelurahan

Suryodiningratan Kecamatan Mantrijeron Kotamadya Yogyakarta. Gereja Pugeran terletak kurang lebih 500 meter arah selatan keraton Yogyakarta atau 150 meter arah selatan Pojok Beteng Kulon Keraton Yogyakarta. Wilayah Paroki Pugeran meliputi

Kotamadya Yogyakarta bagian selatan dan Kabupaten Bantul bagian utara. Umat

Pugeran adalah masyarakat yang tinggal di 7 kecamatan yaitu Kecamatan

Mantrijeron, Kecamatan Keraton, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mergangsan,

Kecamatan Kasihan, Kecamatan Bangunharjo, dan Kecamatan Sewon.Gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran berbentuk Joglo yang merupakan rumah adat masyarakat Jawa dengan atap tingkat tiga yang puncaknya mengarah ke hadapan yang Maha Tinggi.

Bangunan tersebut memiliki kerangkan besi, berdinding beton dan ditopang dengan empat buah pilar sebagai sokoguru (Susantina, 2001:74). Umat yang memasuki

Gereja Pugeran akan disambut oleh satu regol sebagai pintu gerbang halaman gereja.

Pada pintu masuk gereja tersebut terdapat tulisan Ad Maiorem Dei Dei Gloriam yang berarti “demi kemuliaan Tuhan” (Susantina, 2001: 78). Pada halaman depan gereja terdapat patung Yesus maha Kudus. Di bawah pahatan patung tersebut terdapat tulisan Ija Ingsoen Karaharjanira yang memiliki arti “Akulah Keselamatanmu” .

Selain patung Hati Kudus Yesus, terdapat juga 2 bangsal yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan gerejani. Di sebelah kanan bangunan utama gereja terdapat pastoran tempat tinggal romo, sedangkan di halaman balakang terdapat pohon sawo 51

kecik berjumlah sembilan batang. Bentuk joglo dari bangunan gereja ini menyimbolkan warga Gereja adalah satu keluarga besar yang merupkan bagian dari

Gereja di dunia. Pada bagian dalam gereja terdapat senthong (kamar utama) dalam rumah Jawa, sedangkan dalam gereja Pugeran terdapat tabernakel sebagai tempat bertahtanya sakramen maha kudus yang merupakan inti dari sebuah gereja. Dalam gereja terdapat empat tiang penyangga atau disebut saka guru yang melambangkan empat penulis Injil dalam Kitab Suci yaitu Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Gereja

Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki gandok yang dulu hanyalah pastoran, kini ditambah dengan bangunan wisma Rosari di belakang gereja. Bagian depan rumah

Jawa sebagaimana juga terdapat di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran terdapat sumur yang menurut peletakannya disebut Sumur Pendhita untuk menyucikan diri. Sumur ini dipercaya memiliki pengaruh positif bagi orang yang menggunakannya. Pohon yang ditanam di sekitar gereja adalah pohon sawo kecik yang bermakna memberi perlindungan dari bencana bagi para penghuninya (Alexander, 2004:11-13).

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki corak Jawa yang amat kuat. Hal itu disebabkan oleh letak paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang dekat sekali dengan

Keraton Yogyakarta. Hampir seluruh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah masyarakat Jawa, kecuali sebagian umat yang termasuk pendatang. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Pugeran adalah bahasa Jawa yang terkadang diselingi dengan bahasa Indonesia.

Pada umumnya masyarakat Pugeran bermata pencaharian buruh industri, buruh bangunan, pedagang, PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan pensiunan. Hal ini didukung oleh sarana ekonomi yang ada seperti koperasi, badan kredit, bank, pasar, 52

toko, kios, warung, perusahaan besar, sedang maupun kecil, hotel, angkutan kota. Di wilayah Pugeran kehidupan beragama sangatlah harmonis. Hal itu bisa dilihat dengan adanya banyak masjid, mushola, dan kapel. Masyarakat di wilayah Pugeran, mayoritas beragama Islam, namun mereka tetap menjaga kerukunan umat beragama.

Paroki Pugeran adalah paroki yang besar dan mempunyai bentuk wilayah yang unik. Paroki Pugeran terdiri dari Gereja Pusat dan Gereja Wilayah dengan gedung gereja yang besar dan berdekatan. Gereja-gereja tersebut antara lain adalah

Gereja Brayat Minulyo Wirobrajan, Gereja Salib Suci Gunung Sempu, Gereja Santo

Yusup Padokan, dan Gereja Santo Martinus Bangunharjo (Jayasewaya, 2004: ix).

Paroki Pugeran dibagi menjadi 15 wilayah yaitu a. Wilayah Keraton

Wilayah Keraton terdiri dari 10 lingkungan yaitu Lingkungan Gamelan,

Lingkungan Kadipaten Kidul, Lingkungan kadipaten Wetan, Lingkungan

Ngasem, Lingkungan Langensastran, Lingkungan Ngadisuryan, Lingkungan

Patehan, lingkungan Suryoputran, Lingkungan Taman Utara dan Lingkungan

Taman Selatan. b. Wilayah Gereja Barat

Wilayah Gereja Barat terdiri dari 7 lingkungan yaitu Lingkungan Dukuh,

Lingkungan Gedongkiwo Selatan, Lingkungan Gedong Kiwo Tengah,

Lingkungan Gedongkiwo Utara, Lingkungan Serangan, Lingkungan

Suryonegaran Selatan dan Lingkungan Suryonegaran Utara. c. Wilayah Gereja Tengah Utara 53

Wilayah Gereja Tengah Utara terdiri dari 4 lingkungan yaitu Lingkungan Pugeran

Barat, Lingkungan Pugeran Timur, Lingkungan Kumendaman Utara, dan

Lingkungan Kumendalaman Selatan. d. Wilayah Gereja Tengan Selatan

Wilayah Gereja Tengan Selatan terdiri dari 5 lingkungan yaitu Lingkungan

Suryodiningratan Barat, Lingkungan Suryodiningratan Timur, Lingkungan

Minggiran Utara, Lingkungan Minggiran Selatan dan Lingkungan Pelem Sewu. e. Wilayah Gereja Timur.

Wilayah Gereja Timur terdiri dari 7 lingkungan yaitu Lingkungan

Brontokusuman, Lingkungan Danunegaran, Lingkungan Jogokaryan, Lingkungan

Mangkuyudan, Lingkungan Mantrijeron, Lingkungan Ngadinegaran dan

Lingkungan Timuran. f. Wilayah Jogonalan

Wilayah Jogonalan terdiri dari 6 lingkungan yaitu Lingkungan Jogonalan Lor 1,

Lingkungan Jogonalan Lor 2, Lingkungan Jogonalan Kidul 1, Lingkungan

Jogonalan Kidul 2, Lingkungan Dongkelan 1 dan Lingkungan Dongkelan 2 g. Wilayah Padokan

Wilayah Padokan terdiri dari 4 lingkungan yaitu Lingkungan Padokan 1,

Lingkungan Padokan 2, Lingkungan Padokan 3 dan Lingkungan Padokan 4. h. Wilayah Ngestiharjo Kidul

Wilayah Ngestiharjo Kidul terdiri dari 4 lingkungan yaitu Lingkungan

Ngestiharjo Kidul 1, Lingkungan Ngestiharjo Kidul 2, Lingkungan Ngestiharjo

Kidul 3, dan Lingkungan Ngestiharjo Kidul 4. 54

i. Wilayah Patangpuluhan

Wilayah Patangpuluhan terdiri dari 8 lingkungan yaitu Lingkungan Bugisan Lor,

Lingkungan Bugisan Kidul, Lingkungan Bugisan Wetan, Lingkungan

Patangpuluhan Lor 1, Lingkungan Patangpuluhan Lor 2, Lingkungan

Patangpuluhan Lor 3, Lingkungan Wirobrajan Kulon 1, Lingkungan Wirobrajan

Kulon 2, Lingkungan Wirobrajan Kulon 3, Lingkungan Sindurejan 1 dan

Lingkungan Sindurejan 2. j. Wilayah Wirobrajan

Wilayah Wirobrajan terdiri dari 6 lingkungan yaitu Lingkungan Wirobrajan

Wetan 1, Lingkungan Wirobrajan Wetan 2, Lingkungan Wirobrajan Wetan 3,

Lingkungan Wirobrajan Kulon 1, Lingkungan Wirobrajan Kulon 2, dan

Lingkungan Wirobrajan Kulon 3 k. Wilayah Ngestiharjo Lor

Wilayah Ngestiharjo Lor terdiri dari 4 lingkungan yaitu Lingkungan Nitipuran,

Lingkungan Sonosewu, Lingkungan Sonopakis, dan Lingkungan Sidorejo. l. Wilayah Ketanggungan

Wilayah Ketanggungan terdiri dari 3 lingkungan yaitu Lingkungan Ketanggungan

Lor, Lingkungan Ketanggungan Kidul dan Lingkungan Ketanggungan Wetan. m. Wilayah Bangunjiwo

Wilayah Bangunjiwo terdiri dari 5 lingkungan Lingkungan Bangunjiwo Barat 1,

Lingkungan Bangunjiwo Barat 2, Lingkungan Puspaprima, Lingkungan

Kasongan Permai dan Lingkungan Bangunjiwo Timur n. Wilayah Tamantirto 55

Wilayah Tamantirto terdiri dari 5 lingkungan yaitu Lingkungan Gunung Sempu 1,

Lingkungan Gunung Sempu 2, Lingkungan Kembaran, Lingkungan Taman Tirto,

dan Lingkungan Ngebel. o. Wilayah Bangunharjo

Wilayah Bangunharjo terdiri dari 4 lingkungan yaitu Lingkungnan Semail,

Lingkungan wojo, Lingkungan Grojogan dan Lingkungan Drowo.

2. Sejarah Singkat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran a. Sebelum Kemerdekaan

Hingga tahun 1925 Yogyakarta hanya memiliki satu Gereja Katolik yaitu

Gereja Santo Fransiscus Xaverius di Secodiningratan (Kidul Loji). Pada saat itu umat

Gereja Santo Fransiscus Xaverius terutama adalah orang-orang Belanda yang tinggal di loji-loji sekitar Malioboro dan Kampemen Straat (Secodiningratan atau yang saat ini adalah Jalan Panembahan Senopati). Sesuai dengan perkembangan waktu, kemudian orang-orang pribumi sedikit demi sedikit ada dan bahkan menjadi banyak dan menjadi Katolik. Akhirnya pada tahun 1934 di sebelah timur gereja Belanda tersebut dibangun gereja Santo Yusup Bintaran yang khusus menyelenggarakan ibadat berbahasa Jawa. Waktu itu masyarakat Jawa belum terbiasa duduk di bangku.

Mereka masih mengenakan kain baik pria maupun wanita sehingga mereka mereka nyaman duduk di lantai. Berkat jasa Romo van Driessche, SJ yang tekun belajar bahasa Jawa dan mampu mempersembahkan misa kudus dalam bahasa Jawa dengan lancar, orang Jawa yang menjadi Katolikpun lantas bertambah (Suharjendro, 1994:

8). 56

Untuk menampung banyaknya umat dan sebagai wadah untuk memperluas

Pasamuan Suci (Gereja) selanjutnya, maka didirikanlah berturut-turut gereja Santo

Antonius Kotabaru pada tahun 1926, gereja Santo Yusup Bintaran pada tahun 1934 sebagai pengganti gereja Santo Yusup Secodiningratan. Pada tahun 1934 gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran didirikan (Suharjendro, 1994: 9). Gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran dibangun di atas tanah milik beberapa penduduk di Jalan Suryaden yaitu jalan antara Pojok Beteng Barat dan jalan Bantul. Tanah tersebut dibeli oleh yayasan misi yaitu Yayasan Papa Miskin atas nama Romo Djajasepoetra SJ. Pugeran yang berada di bagian selatan Yogyakarta dipilih sebagai lokasi untuk mendirikan gereja.

Saat itu tahun 1934 di Yogyakarta bagian selatan telah dibangun gereja Katolik di

Ganjuran Bantul. Maka sejak awal Gereja Pugeran memang ditargetkan untuk menampung umat di Yogya bagian Selatan dan Bantul bagian Utara (Suharjendro,

1994: 8-9).

Pada tanggal 5 November 1933 diadakanlah upacara peletakan batu pertama untuk membangun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Upacara tersebut dipimpin oleh Romo W. Rietra, SJ dari Paroki Kidul Loji didampingi Romo A. De Kuyper SJ dan Romo A. Soegijapranata SJ dari Bintaran. Sedangkan tokoh awam yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah L. Yama Sastrawinata dan seorang arsitek dari

Belanda J. Th van Oyen. Pembangunan gereja yang berbentuk joglo yang kokoh dengan beton tebal itu berjalan lancar, sehingga pada 16 April 1934 pembangunan gereja dapat diselesaikan. Karena telah siap untuk ditempati maka Romo superior van

Kalken menugaskan Romo Djajasepoetra SJ dan Romo A. De Kuyper SJ sebagai pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Pada tanggal 8 Juli 1934 Gereja Hati Kudus 57

Yesus diberkati oleh Romo van Kalken. Pemberkatan Gereja Hati Kudus Yesus ini bertepatan juga dengan peringatan 75 tahun karya Pastor Serikat Jesus di Indonesia

(Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, 2004: 6).

b. Masa Pendudukan Jepang/ Sebelum Perang Dunia II

Romo Djajasepoetra, SJ menjadi pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sampai pada zaman penjajahan Jepang yaitu tahun 1942. Mulai tahun 1942, suasana

Gereja cukup suram akibat penjajahan Jepang. Sampai tahun 1946, setelah setengah tahun mengalami kemerdekaan dan setelah putra-putri Indonesia termasuk pemuda- pemudi Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran berjuang lalu keadaan menjadi sedikit lega. Saat itu pastor yang bertugas di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah Rm.

Sandiwan Soebroto, Pr (Susantina, 2001:76). Setelah itu Romo M. Reksaatmaja, SJ menggantikan tugas Romo A. Djajasepoetra, SJ sebagai pastor Paroki Hati Kudus

Yesus Pugeran sampai tahun 1947. Saat itu umat di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran berjumlah kurang lebih 2000 orang, dengan kegiatan penggembalaan yang berjalan lancar, adanya baptisan-baptisan baru, penerimaan komuni pertama dan sakramen krisma. Selain itu dikembangkan juga usaha kemasyarakatan yang meliputi poliklinik, usaha sosial fakir miskin, pendidikan, wanita Katolik, muda wanita

Katolik dan lain-lain. Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, kehidupan rakyat amatlah sulit demikian juga dengan hidup menggereja. Pemerintahan Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa Latin dan Jawa. Selain digunakan untuk misa bahasa Latin juga digunakan untuk menulis buku catatan harian Gereja (Suharjendro, 1994: 12-13). Pada masa 58

sebelum merdeka antara tahun 1934-1945 umat Paroki Hati Kudus Pugeran digembalakan oleh dua orang Romo Paroki yang keduanya berasal dari Jawa, sehingga cocok dengan ungkapan Gereja Pugeran yang njawani. Pastor yang turut membantu dalam berkarya di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah R.H Snijder,

SJ (1934-1936), Romo Josh Dieben SJ (1936-1937), Romo B. Bos MSF (1938-1939),

Romo J. Van Beek MSF (1938), Romo A. Hibreek SJ (1938-1939), Romo JH Ten

Haaf SJ (1939), Romo Th. Borst SJ (1940), Romo W. Hoffman SJ (1940), Romo K.

De Hoog SJ (1941), dan Romo D.C Wammes SJ (1942-1946).

c. Sesudah Perang Dunia ke II

Setelah penjajah Jepang pergi dari Indonesia, Belanda datang lagi ke

Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Pada tahun 1947 terjadilah agresi militer yang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada tanggal 17

Januari 1948. Namun pada tanggal 11 Desember 1948 Belanda memutuskan perjanjian dengan Indonesia yang mengakibatkan agresi militer ke II (clash ke II).

Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda mengebom Bandara Maguwo. Kota

Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibu Kota Negara menjadi lumpuh dan jatuh ke tangan Belanda. Presiden Sukarno dan sejumlah pejabat negara diasingkan ke

Sumatera. Pada hari itu juga banyak orang berlarian dan mengungsi ke Yogyakarta bagian selatan. Halaman gereja Pugeran penuh dengan orang yang mengungsi.

Suasana saat itu makin kacau atas pendudukan Belanda di Pojok Beteng Barat dan pembakaran rumah-rumah penduduk di sebelah selatan Pojok Beteng Barat. Dalam keadaan genting seperti itu Romo Sandiwan Brata, Pr benar-benar tergugah hatinya 59

untuk melindungi dan mengayomi para pengungsi. Ia juga menjamin keselamatan pengungsi yang berada dalam nDalem Condronegaran. Akhirnya pada tanggal 29

Juni 1949 tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta sehingga keadaan menjadi aman kembali (Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, 2004: 7-8).

Setelah keadaan aman, pada tahun 1950-1959 pembangunan-pembangunan segera dirintis kembali. Tekanan-tekanan yang dialami dari pemerintah Jepang justru membangkitkan semangat putra-putri Katolik Pugeran untuk mengabdikan dirinya pada Tuhan, Gereja dan negara (Susantina, 2001: 76).

d. Sebelum Konsili Vatikan II

Pada masa itu antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1960 Mgr.

Soegijapranata bertugas sebagai Vikaris Apostolik di wilayah Semarang. Saat itu ia mulai menitik beratkan perhatian pada pembangunan Gereja di wilayahnya yang sempat kacau pada masa penjajahan. Monseigneur berusaha memimpin umatnya agar mereka berani menyatukan diri dengan masyarakat di mana mereka berada

(Moeryantini, 1975: 28). Ia adalah seorang patriot bangsa yang memiliki jiwa 100%

Katolik dan 100% Indonesia. Dengan jiwa patriot tersebut ia teringat akan kebudayaan sendiri yaitu kebudayaan Jawa. Monseignur Soegijapranata menilai bahwa kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang memiliki nilai tinggi. Oleh sebab itu Monseignur Soegijapranata mempunyai gagasan untuk memadukan antara seni budaya dan iman. Ia memiliki pandangan bahwa seni dan budaya Jawa bisa digunakan untuk mewadahi iman yang berupa liturgi atau cara-cara memuliakan

Tuhan di Gereja. Hal itu disebabkan karena pada masa sebelum Konsili Vatikan II 60

bahasa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi adalah bahasa Latin. Orang pribumi

Jawa merasa asing dengan lagu-lagu Gregorian dan lagu berbahasa Latin yang digunakan saat itu. Alangkah baiknya apabila seni dan budaya Jawa bisa dimanfaatkan untuk upacara di gereja dan memuliakan Tuhan sehingga lebih dekat di hati dan menyebabkan cara penyembahan lebih khusuk karena dibungkus oleh kebudayaan Jawa setempat (wawancara dengan Bapak JB Sukodi 12 Mei 2009).

Monseignur Soegijapranata juga menjalin komunikasi dengan sahabatnya

Monseignur Fulton J. Sheen yang bertugas di Katedral St. Michael Sidney Australia.

Mereka saling bertukar pikiran tentang usaha penyesuaian diri Gereja dengan budaya setempat. Karena gagasan itu lalu pada tanggal 12 Desember, 1955 Mgr.

Soegijapranata memanggil tokoh-tokoh ahli karawitan yang dihimpun dalam Pusara

Panitya Lagu Djawi Jogjakarta. Mereka diberi tugas untuk mencari, mempelajari, melaraskan dan mengarang lagu Jawa yang pantas dan menggugah rasa samadi dalam mengikuti upacara liturgi bersama baik di dalam gereja maupun di luar gereja (Warta

Musik, 2007: 100). Adapun susunan Pusara Panitya Lagu Djawi Jogjakarta adalah sebagai berikut:

1) Rama P. Zoetmulder, SJ sebagai pelindung;

2) Sdr. C. Hardjasoebrata sebagai ketua;

3) Sdr. F. Atmadarsana sebagai wakil ketua;

4) Sdr. E. Hardjapranata sebagai sekretaris;

5) Rama E. Hardjawardaja, Pr sebagai bendahara;

6) Sdr. Daljana sebagai anggota;

7) Sdr. Harsaja sebagai anggota; 61

8) Sdr. Isdjumadi sebagai anggota;

9) Sdr. Gardana sebagai anggota;

10) Sdr. Budiono dari Paguyuban Tjiptabudaja sebagai pelaksana

11) Sdr. Sastrapustaka dari Paguyuban Tjiptabudaja sebagai pelaksana (susunan

panitia terlampir pada halaman 109)

Panitia tersebut di atas mulai menghimpun, mempelajari dan mengarang lagu gendhing Jawa berdasarkan kebudayaan Jawa dan berpedoman pada dokumen

Gereja Motu Proprio dari Paus Pius X tanggal 22 November 1903 yang menyebutkan syarat-syarat lagu-lagu ibadat. Syarat-syarat tersebut adalah:

1) Suci, artinya lagu ibadat haruslah membawa umat pada suasana doa dan

khidmat. Isi syairnyapun harusah suci dengan menggunakan bahasa yang

berbobot dan mengandung nilai biblis

2) Indah namun tidak bertentangan dengan prinsip kegunaan

3) Umum yang berarti seluruh umat bisa menyanyikan dan bukan merupakan

lagu yang asing.

Pada tanggal 7 Oktober 1957, Mgr. Soegijapranata kembali menulis surat untuk Panitya Pusara Lagu Djawi Jogjakarta yang isinya antara lain:

1) Melaraskan serta mengarang sendiri gendhing Gereja

2) Mendukung serta menuntun semua orang yang terlibat dalam hal tersebut

3) Mengumpulkan dan mengedit atau menyempurnakan semua naskah-naskah

yang masuk pada panitia 62

4) Menyerahkan hasilnya kepada panitia untuk diperiksa dan setelah disahkan

kemudian diumumkan dan diedarkan untuk dipakai dalam lingkungan vikariat

Semarang.

Panitia yang sudah dibentuk sebelumnya dan telah bekerja selama 2 tahun mengalami perkembangan sebagai berikut:

1) Rama P. Zoetmulder, SJ sebagai pelindung

2) Bapak C. Hardjasoebrata sebagai ketua

3) Bapak F. Atmadarsana sebagai wakil ketua

4) Rama E. Hardjawardaya, Pr sebagai sekretaris merangkap bendahara

5) Bapak Isdjumadi sebagai pembantu sekretaris

6) Bapak Harsaja sebagai anggota

7) Bapak Budiono sebagai anggota

8) Bapak Sastrapustaka sebagai anggota

9) Saudara JB Sukodi sebagai anggota

10) Saudara VJ Marsudi sebagai anggota (Susunan panitia terlampir pada halaman

110)

Keterlibatan Bapak JB. Sukodi pada waktu itu merupakan sesuatu yang istimewa.

Latar belakang beliau adalah putera seorang Lurah desa yang hidup dalam suasana tradisi yang kental. Sejak kecil ia sudah tertarik dengan kesenian Jawa khususnya seni karawitan. Sejak ia masuk menjadi angota Panitya Pusara lagu Djawi Jogjakarta, bapak JB Sukodi mulai menulis lagu-lagu Jawa dengan iringan gamelan Jawa. Dari

11 karangan lagu yang masuk ke dalam panitia hanya 2 lagu saja yang diterima yaitu

Nata Agung (Madah Bakti nomor 404) atau disebut juga dalam Madah Bakti lagu 63

Raja Agung dan Atur Roncen (Madah Bakti nomor 279). Lalu Bapak Sukodi mengarang beberapa lagu lagi namun yang diterima hanya 3 lagu yaitu Ave Maria,

Pianis Angelicus dan O Kenya Ibu Maria lagu-lagu ini masuk dalam buku Natalia.

Hingga kini Bapak YB Sukodi masih aktif mengarang lagu gendhing Gereja dan bekerja sama dengan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (Warta Musik, 2007: 101-102).

Mulai tahun 1958 Romo E. Harjawardjaya, Pr bersama dengan F.

Atmadarsana dan C. Hardjasoebrata memantapkan Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sebagai Gereja dengan corak budaya Jawa yang kental dengan memasukkan iringan gamelan dalam Gereja.

e. Masa Sesudah Konsili Vatikan II

Pada rentang waktu menjelang Konsili Vatikan II tahun 1960 sampai sesudah

Konsili vatikan II berlangsung pada tahun 1967 jumlah umat katolik di Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran bertambah. Saat penumpasan G 30S/ PKI tahun 1965 peminat pelajaran agama Katolikpun meningkat. Hal itu disebabkan banyak warga takut dicap sebagai PKI karena tidak secara nyata memeluk agamanya. Menjelang Pancawindu tahun 1973 perkembangan umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran amat pesat sehingga jumlahnya mencapai 8.000 jiwa lebih. Jumlah lingkungan yang semula hanya 10 kring berkembang menjadi 20 kring dan pada tahun 1974 menjadi 30 lingkungan (Suharjendro, 1994: 14-15).

Pada saat peringatan dalam rangka pesta emas tahun 1984, Paroki Hati Kudus

Yesus Pugeran mengadakan kegiatan yaitu: 64

1) Melestarikan ciri khas gereja Pugeran yang bercorak budaya Jawa berupa

renovasi lantai altar, pembangunan tempat gamelan di sebelah selatan altar

dan menyesuaikan ornamen tabernakel dengan ornamen Keraton Jawa. Ibadat

dengan bahasa Jawa, koor, dan gendhing Jawapun dimantapkan.

2) Membangun monumen Pesta Emas dan prasastinya dibangun di depan gereja

(di belakang patung Hati Kudus Yesus) diresmikan oleh wakil gubernur DIY

Sri Paku Alam VIII dan Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmaja SJ

dalam resepsi HUT ke 50 Gereja Pugeran pada tanggal 29 Juli 1984.

Dalam kurun waktu 1984-1994, peristiwa penting yang terjadi dalam periode ini adalah dibangunnya Gereja Salib Suci di Gunung Sempu wilayah Padokan yang kemudian berkembang menjadi wilayah sendiri yakni wilayah Gunung Sempu atau

Wilayah Salib Suci dengan 6 lingkungan yaitu Gunung Sempu, Kembaran, Ngebel,

Sembungan (Bangun Jiwo Timur), Karang Jati (Bangun Jiwo Barat) dan Kasongan

Permai. Perkembangan umat dalam dasawarsa ini berlanjut dengan pesat

(Suharjendro, 1994: 16-17). Pada tahun 2001 jumlah umat di Proki Hati Kudus

Pugeran terus bertambah menjadi 10.710 jiwa. Tahun 2002 perkembangan umat semakin bertambah menjadi 10.881 jiwa sedangkan pada tahun 2003 jumlah umat berkembang menjadi 11.494 (Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja hati Kudus Yesus

Pugeran, 2004: 80). Pada pertengahan tahun 2009 ini jumlah umat di Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran mengalami peningkatan sehingga berjumlah 12.756 Jiwa.

Wilayah serta lingkungan Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran juga mengalami pemekaran. Pada tahun 2004 Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki 7 wilayah, 65

1 stasi dan 51 lingkungan. Sedangkan pada tahun 2009 ini Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran memiliki 15 wilayah dan 82 lingkungan.

3. Penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran

Penggunaan gamelan di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran dilakukan sejak tahun 1958 sebelum Konsili Vatikan II berlangsung. Saat itu jenis gamelan yang diperbolehkan untuk digunakan hanyalah gender, slenthem, kethuk, kenong, dan gong. Kendhang tidak diperbolehkan untuk digunakan karena irama gamelan haruslah tunduk pada dirigen. Penggunaan gamelan secara lengkap baru dilaksanakan mulai tahun 1968 (Suharjendro, 1994: 79). Penggunaan gamelan Jawa ini merupakan suatu gambaran nyata umat Paroki Pugeran yang mayoritas masyarakat Jawa dan masih menjunjung tinggi nila-nilai budaya Jawa. Umat Katolik yang mengikuti perayaan Ekaristi dengan iringan gamelan seolah-olah diajak untuk memasuki rumah atau lingkungannya sendiri. Hal itu diungkapkan oleh A. Heru Kesowo Murti

(1994:79) bahwa gendhing gamelan Jawa adalah milik masyarakat Jawa sehingga dengan digunakannya gendhing dan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi umat dapat semakin mendekatkan diri pada Gereja.

Hingga tahun 2009 ini, setelah 51 tahun gamelan mulai digunakan dalam khasanah liturgi, gamelan Jawa masih dipakai secara rutin sebagai iringan dalam peribadatan di Paroki Hati Yesus Pugeran. Gamelan tetap dipertahankan keberadaan maupun penggunaannya karena memiliki ikatan yang sangat erat dengan awal berdirinya Gereja Hati Kudus Pugeran. Sejak awal mula didirikan pada tahun 1934, 66

Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran sudah memiliki corak khas Jawa. Gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran boleh dikatakan sebagai Gereja “Wong Jawa” karena memang sebagian besar umatnya adalah orang Jawa yang juga masih kental dengan budaya

Jawanya. Selain itu, budaya Jawa terlihat dari bangunan gereja yang berbentuk joglo dan sarat akan nilai filosofi rumah Jawa serta dimulainya penggunaan bahasa Jawa dalam peribadatan (Wawancara dengan Rm. A. Dodit Haryono, Pr 24 Juni 2009).

Dalam dokumen Konsili Vatikan II Sacrosanctum Concilium art 120 tentang pembaharuan liturgi dinyatakan bahwa “Alat-alat musik (selain orgel) dapat juga dipakai dalam ibadat suci sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman”. Namun jauh sebelum itu Paroki Pugeran sudah mulai memasukkan dan memantapkan corak khas Jawa agar umat lebih menghayati imannya. Maka pada tahun 1958 mulailah gendhing dan iringan gamelan Jawa digunakan (Wawancara dengan Rm. A. Dodit Haryono, Pr 24

Juni 2009).

Gereja merupakan kumpulan umat Allah yang dipanggil dan dikuduskan dalam Yesus (KWI, 1996: 332). Gereja menjadi tempat jemaat Allah untuk semakin menghayati iman yang dimilikinya. Gereja senantiasa mengupayakan cara-cara yang bisa membuat umat merasa nyaman dan masuk ke dalam perjumpaan dengan Allah.

Dalam perjumpaan itu umat menyembah Allah yang maha Tinggi sehingga hal tersebut membantu umat mencapai apa yang diharapkannya. Bagi umat di Pugeran masuk ke dalam gereja berarti datang dan mendekat pada Tuhan. Dengan digunakannya iringan gamelan dan gendhing Jawa, maka umat yang datang ke gereja 67

terbantu untuk masuk dalam perjumpaan dengan Allah (Wawacara dengan Bapak

Wianjono, 23 Juni 2009).

Penghayatan iman umat tidak dapat begitu saja dilepaskan dari budaya yang ada. Demikian juga dengan umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, dalam menghayati imannya mereka tidak dapat dilepaskan dari budaya Jawa yang melingkupinya. Tujuan utama penggunaan iringan gamelan Jawa dalam liturgi di

Paroki Pugeran adalah untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang sudah sejak semula menjadi ciri khas Paroki Pugeran sendiri. Penggunaan gamelan secara rutin dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Pugeran tidak disepakati secara tertulis. Namun umat dan pengurus paroki berusaha untuk tetap mempergunakan gamelan Jawa sebagai iringan dalam Perayaan Ekaristi. Umat paroki Hati Kudus Yesus Pugeran merasa ada sesuatu yang kurang bila perayaan Ekaristi tidak menggunakan iringan gamelan (Wawancara dengan Ibu Hendrojati 22 Juni 2009).

Upaya pelestarian kebudayaan Jawa ini sangat didukung oleh Gereja dengan diadakannya Kongres Musik Liturgi. Kongres Musik Liturgi yang pertama diselenggarakan pada tanggal 24 sampai 30 Agustus 1975 di kota Yogyakarta. Tujuan dari kongres ini adalah untuk berkomunikasi, berdialog, bertukar pikiran dan saling memberi informasi. Kongres Musik Liturgi yang pertama ini melihat pentingnya langkah Indonesianisasi Musik Liturgi agar mengena di hati umat. Indonesianisasi

Musik Liturgi dimengerti sebagai proses untuk mencari bentuk bagaimana umat katolik di Indonesia mengungkapkan diri dalam bentuk ibadat. Selain itu

Indonesianisasi musik liturgi juga bertujuan untuk memperkembangkan unsur-unsur musik daerah dan mempertemukannya menjadi suatu kesatuan yang mencerminkan 68

kebhinekaan (Warta Musik Liturgi, 2007: 105). Pada tanggal 26 Juni sampai dengan

2 Juli 1983 diadakan kembali Kongres Musik Liturgi yang ke II yang juga bertempat di Yogyakarta. Tujuan dari kongres Musik Liturgi ke II ini adalah pertama-tama menjabarkan dokumen Kongres Musik Liturgi I tentang inkulturasi. Kedua, menyusun pedoman inkulturasi Musik Liturgi yang memperhatikan: a. Pergumulan mengenai keanekaragaman adat yang majemuk unsur-unsurnya,

seperti rasa gembira, bangga, syukur, dsb. b. Peningkatan unsur-unsur positif yang terkandung dalam budaya setempat agar

menjadi harta liturgi serta musiknya.

Selain itu, tujuan Kongres Musil Liturgi ke II adalah menjelaskan struktur organisasi

Komisi Wali Gereja Indonesia untuk Liturgi dan seksi musiknya, mulai dari pusat sampai daerah atau keuskupan (Warta Musik Liturgi, 2007: 105).

Pada awalnya sekitar tahun 1957-1958 gereja Pugeran hanya memiliki gamelan berlaras pelog yang komponen di dalamnya kurang lengkap. Laras pelog digunakan karena memiliki sifat tenang dan hormat. Gendhing yang dimainkan oleh para pengrawit pada umumnya berbentuk ladrang dan ketawang. Jenis gendhing ini sering digunakan di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran karena dianggap paling memiliki sifat yang agung dan khidmad. Bentuk ladrang biasa digunakan misalnya gendhing Surak-Suraka (Kidung Adi nomor 341), Cempening Allah (Kidung Adi nomor 229), Srikaton, dll. Sedangkan bentuk ketawang antara lain pada gendhing- gendhing Winedharna Gusti (Kidung Adi nomor 192), Alleluiya, Monggo Samya

Sowan (Kidung Adi nomor 204) , Amba Pratiknya (Kidung Adi nomor 354), dll. 69

Pada umumnya lagu-lagu tersebut bersumber pada buku Kidung Adi (Susantina,

2001: 84-85).

Masuknya gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi mengalami proses yang panjang. Susantina (2001: 92) menguraikan langkah-langkah inkulturasi gamelan

Jawa di gereja Katolik Hati Kudus Yesus Pugeran sebagai berikut: a. Tahap Penyesuaian.

Tahap ini dimulai sekitar tahun 1955-1956. Bentuk gendhing yang digunakan adalah ladrang dan ketawang sebagai iringan misa suci. Pada tahap ini litani dengan bentuk gregorian dibuat dalam bentuk ladrang. Acuannya adalah Kidung Adi, sebagai contoh gendhing-gendhing hasil penyesuaian ini adalah Cempening Allah dan

Gusti Nyuwun Kawelasan. Dalam tahap penyesuaian ini yang ditekankan adalah nada-nada religius yang harus disesuaikan dengan peribadatan atau misa kudus.

Misalnya dalam suasana sedih, tentu nada-nada keras seperti bunyi kendang dapat dikurangi. Dalam suasana gembira misalnya misa paskah, kebangkitan Yesus, pemakaian kendang dapat ditampilkan lebih dominan karena menyambut kebahagiaan. Peribadatan merupakan suatu pertemuan dan hubungan manusia dengan

Allah. Sesuai konteks inkulturasi maka lagu-lagu tersebut memberi kemungkinan untuk mengekspresikan iman umat akan kehadiran Tuhan. Untuk itu gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran perlu memperhitungkan waktu dan suasana serta jenis gendhing yang harus dimainkan.

70

b. Tahap Penerjemahan.

Pada tahap ini sekitar tahun 1957, gereja Hati Kudus Yesus Pugeran yang dipelopori oleh Romo E. Hardjowardojo, Pr membentuk Gereja yang berkepribadian

Indonesia. Nyanyian-nyanyian Gereja yang semula berbahasa Latin diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan disesuaikan dengan gamelan Jawa. Pada tahap ini gereja

Pugeran mendapat bantuan dari Mgr. Soegijapranata berupa seperangkat gamelan

Jawa pada tahun 1958 bersamaan dengan 25 tahun usia gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran.

c. Tahap Perpindahan.

Perpindahan dimaksudkan sebagai usaha mengambil alih lagu-lagu tradisional yang sudah ada dengan mengganti syairnya. Hal itu dapat dilihat pada lagu Kumohon

Ya Tuhan.

d. Tahap Penciptaan atau Kreasi Baru.

Tahap ini dimulai kurang lebih sekitar tahun 1957 setelah Mgr.

Soegijapranata mengirim surat pada Pusara Panitya Lagu Djawi (surat terlampir pada halaman 109-110). Pada tahap ini kreativitas umat cukup dihargai. Bapak M.

Siswanto dikenal karena menciptakan gendhing Pahargyan Ekaristi Gusti Nyuwun

Kawelasan Pelog 6, Suci-suci pelog 6 dan Cempening Allah pelog 6. Dua nama lain yang turut menciptakan gendhing gereja adalah Bapak JB Sukodi dengan gendhing berjudul Nata Agung dan Bapak Pujoharsono dengan gendhing yang berjudul Asmara 71

Gusti. Umat lain di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang cukup kreatif menciptakan gendhing Jawa adalah Bapak Sumartono dan Bapak Sudiroharjono.

Makna inkulturasi pada gamelan Jawa adalah pengungkapan kehadiran Roh

Kudus pada seni gamelan itu sendiri, Jadi semua tahap dalam inkulturasi tersebut harus diartikan ada dalam bimbingan Tuhan. Dengan demikian ibadat gerejani berpusat pada pertemuan konkret manusia dengan Tuhan. Berkaitan dengan peribadatan macam itu maka gamelan sebagai salah satu sarana yang bersifat serius sesuai dengan suasana yang dihadapinya, sehingga nada-nada yang tercipta juga dirasa pas menjiwai baik secara religius, fiosofis dan ritual (Susantina, 2001: 93).

B. Pengaruh Iringan Gamelan Jawa bagi Penghayatan Perayaan Ekaristi

Untuk mengetahui besarnya pengaruh iringan gamelan Jawa bagi penghayatan perayaan Ekaristi, penulis mengadakan wawancara di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran Yogyakarta. Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang.

Penulis melakukan wawancara di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Yogyakarta pada tanggal 31 Mei 2009 s.d 6 Juli 2009. Dalam kegiatan ini penulis melakukan wawancara dengan responden yang berjumlah 13 orang (3 romo, anggota dewan paroki 2 orang, ahli musik gamelan 2 orang, pengurus kelompok gitararia 1 orang, selebihnya umat di paroki tersebut). Selama proses wawancara penulis merekam setiap pembicaraan yang berlangsung, dengan menggunakan MP 3.

72

1. Mengalami kehadiran Allah melalui iringan gamelan Jawa

Umat Katolik di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran kebanyakan orang Jawa yang tinggal di wilayah sekitar Keraton Yogyakarta bagian selatan dan Bantul bagian utara. Umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sangat menjunjung tradisi budaya

Jawa yang adi luhung. Tradisi yang adi luhung tersebut tercermin dalam setiap sudut bangunan gereja yang memiliki arsitektur Jawa. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran tetap melestarikan tradisi memakai bahasa Jawa dalam upacara peribadatan karena hal ini dirasa amat membantu umat untuk mengimani Kristus secara lebih mendalam.

Menurut Bapak Wianjono (wawancara tanggal 23 Juni 2009), “sebagai bagian dari masyarakat Jawa, umat Paroki Pugeran sangat menjunjung tinggi tata cara penggunaan bahasa Jawa dalam berkomunikasi khususnya dengan para gembala

Gereja Paroki Pugeran”. Salah satu budaya yang hingga kini dipertahankan bahkan tetap dilestarikan adalah penggunaan gamelan sebagai iringan perayaan Ekaristi di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

. Gamelan yang merupakan hasil budaya masyarakat Jawa amat amat melekat di hati umat yang mendengarkannya. Namun gamelan tidak hanya menjadi hasil budaya semata, lebih dari itu gamelan benar-benar menjadi milik umat seutuhnya.

Untuk itu penggunaan gamelan dalam peribadatan memberikan peranan yang penting bagi umat untuk membantu mereka menemukan Tuhan dalam hidup mereka. Peranan positif dari gamelan yang dipakai sebagai iringan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki

Hati Kudus Yesus Pugeran dirasakan oleh sebagian besar umat di kalangan orang dewasa. Bapak Valentinus Sarijo (50 tahun) mengungkapkan bahwa ia sangat terbantu untuk mengalami kehadiran Allah melalui penggunaan iringan gamelan Jawa 73

pada perayaan Ekaristi hari minggu di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Hal itu juga dialami karena gereja Hati Kudus Pugeran memiliki corak Jawa yang sangat kental sehingga mampu membantu beliau untuk lebih menghayati imannya sebagi orang

Katolik (Hasil wawancara dengan bapak V Sarijo, 7 Juni 2009). Nuansa Jawa yang ditimbulkan baik oleh bangunan gereja maupun suasana tenang yang dibentuk oleh penggunaan iringan gamelan Jawa mampu membawa umat masuk dalam kehidupannya sendiri hingga akhirnya mampu menemukan Allah. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Ibu Wiwik (45 tahun) umat dari lingkungan Ngestiharjo Kidul. Ibu

Wiwik merasa bahwa pada saat mengikuti misa dengan iringan gendhing dan gamelan Jawa ia mampu merasakan kehadiran Allah dan membantunya juga untuk lebih menghayati iman Katolik dalam budaya Jawa yang dimilikinya. Tidak hanya dengan iringan gamelan dan gendhing Jawa saja, beliau merasa benar-benar masuk dan berjumpa dengan Allah lewat nuansa Jawa yang ada di gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran (Wawancara dengan Ibu Wiwik, 31 Mei 2009)

2. Cara penghayatan iman dipengaruhi oleh usia umat

Penghayatan iman tidak dapat dilepaskan dari latar belakang dan usia umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi. Cara penghayatan iman bagi kaum muda akan sangat berbeda dengan cara penghayatan iman orang dewasa. Kebutuhan akan suasana yang ditimbulkan untuk membantu menghayati iman pun berbeda. Menurut

Bapak Wianjono yang saat ini (2009) menjabat sebagai Ketua Dewan Paroki Paroki

Hati Kudus Yesus Pugeran, kaum muda saat ini lebih menyukai suasana yang gegap gempita, pengungkapan syukur yang meluap-luap. Hal itu membuat mereka mampu 74

mengalami kehadiran Allah. Sedangkan orang dewasa khususnya umat Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran memahami dan mengalami keikutsertaan mereka dalam perayaan Ekaristi merupakan suatu pisowanan (datang untuk menghadap) kepada

Allah. Karena itu nuansa yang ditimbulkan adalah nuansa penyembahan. Dalam nuansa penyembahan ini, suasana yang dibutuhkan adalah suasana yang tenang dan khidmad. Untuk itu kehadiran gamelan yang membawa nuansa tenang, amat membantu kalangan dewasa untuk dekat dan mengalami kehadiran Allah dalam suasana penyembahan seperti sebuah pisowanan di Kraton (Wawancara dengan

Bapak Wianjono, 23 Juni 2009).

Melalui pengamatan penulis, umat yang mengikuti misa dengan menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan serta gendhing Jawa sebagian besar adalah orang dewasa yang diperkirakan berumur 35 tahun ke atas. Meskipun begitu ada juga sebagian kecil mudika, remaja, dan anak-anak yang juga mengikuti misa dengan bahasa Jawa, iringan gamelan serta gendhing Jawa. Orkes gamelan biasanya bersifat statis. Hal itu bisa dilihat dari cara memainkan gamelan yang memerlukan konsentrasi dan waktu yang cukup panjang karena gendhing yang dimainkan harus sesuai pakem dan harus menunggu sekian gongan. Pola permainan yang seperti itu membuat misa dengan irigan gamelan menjadi sangat panjang jika dibandingkan dengan misa yang menggunakan iringan organ. Tampaknya hal itu yang membuat kaum muda pada umumnya kurang menyukai misa yang menggunakan iringan gamelan (Susantina, 2001: 97). Beberapa anggota dewan paroki dan Romo Paroki

Pugeranpun mengungkapkan hal yang sama. Saat ini umumnya kaum muda kurang tertarik dengan musik tradisional Jawa yaitu gamelan, sehingga merekapun juga 75

kurang tertarik mengikuti misa dengan iringan gamelan Jawa. Mereka merasa bosan, jenuh dan mengantuk bila mengikuti perayaan Ekaristi dengan menggunakan iringan gamelan Jawa. Kurangnya minat kaum muda akan perayaan Ekaristi yang menggunakan iringan gamelan Jawa juga disebabkan karena mereka kurang menguasai bahasa Jawa yang digunakan selama Perayaan Ekaristi berlangsung.

Mereka akan lebih mudah memahami apa yang disampaikan pastor dan juga bacaan

Kitab Suci serta doa-doa jika menggunakan bahasa Indonesia.

Meskipun demikian masih ada juga kaum muda yang tertarik dan mau mengikuti perayaan Ekaristi dengan iringan gamelan Jawa dan menggunakan bahasa

Jawa sebagaimana diungkapkan oleh Venny seorang mahasiswi ASMI Yogyakarta.

Sebagai orang Jawa yang sudah lama tinggal di Yogyakarta, meskipun usianya tergolong muda masih 22 tahun, namun Venny mengungkapkan bahwa ia sangat antusias dengan iringan gamelan Jawa yang dipakai pada saat misa. Sejak kecil ia sudah memiliki ketertarikan khusus dengan gamelan Jawa sehingga meskipun ia banyak tidak tahu soal bahasa Jawa dan gamelan Jawa, ia dapat menikmati dan merasakan kehadiran Tuhan dalam Perayaan Ekaristi (Wawancara dengan Venny, 7

Juni 2009).

3. Unsur budaya Jawa memberi daya yang membawa pada relasi lebih mendalam

terhadap Allah

Jika ditilik lebih dalam, unsur-unsur kebudayaan Jawa khususnya gamelan dan bahasa Jawa yang senantiasa digunakan di Paroki Hati Kudus Pugeran dalam peribadatan membawa banyak kesan dan daya yang memberi kekuatan dalam hati 76

umat yang mengikutinya. Pada saat umat mendengarkan irama musik gamelan yang tenang dan lembut, mereka merasakan ketenangan dan kedamaian yang amat dalam

(wawancara dengan Bapak Sepnu tanggal 3 Juli 2009). Dengan perasaan seperti itu umat merasakan benar-benar bertemu dengan Allah dalam perayaan Ekaristi.

Gamelan yang dimainkan dalam perayaan Ekaristi memberi nuansa yang agung, tenang dan khidmad. Nuansa tersebut amat melekat di hati umat yang mengikutinya, sehingga mereka memiliki rasa hormat yang mendalam pada orang-orang kudus dalam Gereja (wawancara dengan Romo Fitri, Pr tanggal 3 Juli 2009). Seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa bagi penghayatan iman umat juga amat bergantung pada minat dan kebiasaan umat. Sebagaimana diungkapkan oleh Romo

Wiyana, Pr (wawancara pada tanggal 6 Juli 2009) bahwa “bagi umat yang dekat dengan gamelan hal itu memberi pengaruh tapi bagi orang yang tidak biasa menikmati gamelan maka itu tidak memberikan pengaruh”. Bagi umat yang sudah terbiasa sejak kecil mendengarkan irama musik gamelan, tentu hal ini akan sangat berpengaruh untuk selanjutnya. Lagu-lagu dengan syair yang ditulis dengan bahasa

Jawa jika dirasakan lebih dalam maka akan menyentuh hati umat yang mendengarkannya (wawancara dengan Ibu Ch Rini Suharsih, tanggal 4 Juli 2009).

Setiap orang menjalin komunikasi dengan bahasa yang digunakannya dalam hidup sehari-hari. Bahasa membantu seseorang mengalami relasi yang lebih dengan sesamanya. Menurut Paus Yohanes Paulus (Sinaga,1984: 38)

Bahasa adalah suatu bentuk yang kita beri pada pemikiran kita. Bahasa memainkan peranan khusus dari suatu bangsa atau suku secara khas. Dalam suatu arti bahasa adalah suatu denyut jantung bangsa, sebab dalam bahasa, dalam bahasa sendiri, ungkapan diberikan kepada hakekat hidup pribadi dalam persekutuan keluarga, bangsa dan sejarah.

77

Demikian pula halnya yang terjadi dalam Gereja. Tidak hanya unsur musik dalam hal ini gamelan Jawa, bahasa yang digunakan dalam ibadat dan Perayaan Ekaristi membawa seseorang mengalami relasi yang lebih mendalam dengan orang-orang kudus terlebih dengan Allah sendiri. Kedatangan umat di dalam gereja sebagaimana sebuah pisowanan membawa dampak sikap yang hormat pada Allah dan orang-orang kudus sebagaimana rakyat yang datang dan hormat pada rajanya. Misalnya untuk menyebut Maria, orang Jawa menggunakan “Sembah bekti kawula Dewi Maria”. Hal ini menunjukkan rasa penghormatan yang amat mendalam pada orang kudus. Bagi orang Jawa yang amat dekat dengan budaya Jawa, hal ini sangat membantu mereka merasakan kehadiran dan relasi yang dekat dengan Allah (Wawancara Rm. Fitri, tanggal 3 Juli 2009).

4. Gerak batin yang terjadi dalam perayaan ekaristi

Pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi ada suatu gerak batin yang terjadi dari awal hingga akhir Perayaan Ekaristi. Pada saat berangkat menuju ke gereja tujuan yang timbul dalam hati adalah mengkhususkan diri berjumpa dengan Allah. Pertama- tama yang terjadi adalah mensyukuri apa yang telah diperoleh dalam hidup sehari- hari baik dalam diri sendiri maupun dalam keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar. Hal itu benar-benar disadari datang atas kemurahan Tuhan sendiri pada manusia.

Sebagai manusia biasa tentulah memiliki banyak sekali kekurangan. Untuk itu proses yang kedua adalah menyadari sebagai manusia biasa terkadang merasa kurang sabar, selalu merasa kurang puas dengan apa yang sudah diperoleh, kurang 78

mensyukuri pemberian Tuhan dalam hidup, dsb. Proses tersebut membawa pada suatu pertobatan. Dalam hal ini gendhing amat berperan untuk membantu menyadari kekurangan sebagai manusia melalui irama dan syair-syair yang mengena di hati.

Gendhing mampu membantu menciptakan suasana yang mendukung ke arah pertobatan dalam perayaan Ekaristi.

Setelah menyadari semua keterbatasan diri sebagai manusia, maka gerak yang terjadi selanjutnya adalah meminta dan memohon pada Tuhan untuk kehidupan selanjutnya sesuai dengan keadaan masing-masing pribadi yang bersangkutan misalnya mohon untuk dijauhkan dari penderitaan, sakit dan meminta umur yang panjang. Selanjutnya, gerak yang terjadi adalah penyerahan diri total pada Allah.

Seluruh hidup diserahkan dan dipercayakan pada penyelenggaraan-Nya. Hal yang terjadi selanjutnya adalah merasa bahwa kerinduan pada Allah yang dialami sebelumnya telah terobati dan merasa lega.

Dengan demikian gendhing dan iringan gamelan Jawa memiliki peran penting untuk membangun suasana sehingga tercipta gerak batin dari awal hingga akhir perayaan Ekaristi. Apa yang telah didapat dalam perayaan ekaristi menjadi daya dorong untuk tugas-tugas dan kehidupan selanjutnya. Daya dorong tersebut juga membawa pada perubahan sikap hidup sehari-hari, kekurangan dan kesalahan yang sudah disadari sebisa mungkin dirubah dan diusahakan menjadi lebih baik

(wawancara Bapak Wianjono, 6 Juli 2009).

79

5. Hal-hal yang diperoleh dalam perayaan Ekaristi

Setelah mengikuti perayaan Ekaristi dari awal hingga akhir ada banyak hal yang didapatkan. Di antaranya adalah semangat, kegembiraan, ketenangan, suatu rasa percaya bahwa Allah akan menjaga dan selalu menyertai dalam kehidupan. Menurut penuturan bapak Sepnu (wawancara tanggal 3 Juli 2009) setelah mengikuti misa, ia merasa menjadi orang yang sunguh merdeka dalam arti tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi di luar, namun juga tidak masa bodoh dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia sangat percaya bahwa Tuhan akan selalu menyertai hidupnya.

Kepercayaan akan penyertaan Allah dalam hidup juga dirasakan oleh Ibu Ch. Rini

Suharsih. Sebagai seseorang yang berkarya di bidang pendidikan, Ia mengabdikan semua talenta yang ia miliki untuk memuliakan nama Tuhan (wawancara dengan Ibu

Ch. Rini Suharsih, tanggal 4 Juli 2009).

Romo Wiyana membuat kelompok anak-anak dan melatih mereka gemelan.

Kelompok tersebut sering diminta untuk bertugas mengiringi koor sejumlah lingkungan yang bertugas pada Perayaan Ekariristi di Paroki Pugeran. Romo Wiyana senantiasa mengamati perkembangan anak-anak tidak hanya pada saat latihan namun juga prestasi belajar mereka di sekolah. Dalam menabuh gamelan pemain haruslah memperhatikan satu sama lain. Pemain haruslah memperhatikan suara dari masing- masing alat musik agar mengahasilkan irama yang indah. Kebiasaan memperhatikan dalam latihan tersebut terjadi juga dalam proses belajar di sekolah. Mereka menjadi terbiasa untuk memperhatikan guru dan teman-temannya sehingga prestasi belajarpun meningkat. Kebiasaan memperhatikan juga membuat anak-anak yang kurang terbiasa 80

bersosialisasi dengan teman menjadi lebih akrab satu sama lain (wawancara dengan

Romo Wiyana, tanggal 6 Juli 2009).

6. Unsur-unsur budaya Jawa menjadi sarana pewartaan karya Allah

Proses inkulturasi amat berkaitan erat dengan budaya setempat, karena tujuan inkulturasi adalah membantu kaum beriman dalam setiap kebudayaan supaya dapat menghayati iman Kristen dengan cara yang serba selaras dengan kebudayaan mereka

(Maryanto, 2004: 85). Orang Jawa hidup dalam keseluruhan budaya yang dimilikinya. Unsur-unsur budaya tersebut digunakan supaya mereka dapat menghayati iman Kristiani dalam konteks budaya yang melingkupinya. Budaya adalah sarana untuk membantu umat beriman merasakan serta mengalami kehadiran dan keagungan Tuhan di dalam hidup mereka. Melalui kebudayaan yang dimiliki pesan Kristus pada segala bangsa disampaikan. Paus Yohanes Paulus II (Sinaga,

1984: 47) menyatakan bahwa “Kristus dan Gereja-Nya tak boleh asing bagi suku, bangsa atau kepada semua orang....Di mana saja pun ia berada, Gereja harus menanamkan akar-akarnya dalam-dalam ke dalam tanah rohani dan budaya setiap negeri”. Budaya Jawa adalah sebagai sarana merasul dan mewartakan kemuliaan

Allah. Ibu Ch. Rini Suharsih (wawancara tanggal 3 Juli 2009) menuturkan bahwa seni macapat yang syairnya mengambil dari Kitab Suci, mampu menyentuh batin orang-orang yang mendengarkan sehinga mulailah banyak orang tertarik pada ajaran

Kitab Suci. Hal ini dirasa sebagai suatu keberhasilan bahwa melalui budaya yang dimiliki, Kabar Gembira Kristus dapat disampaikan sekaligus mengajak orang untuk membagi kasih dengan sesamanya. 81

Namun tidak semua unsur dan hasil budaya dapat dijadikan sarana pewartaan.

Hanyalah unsur-unsur budaya yang sesuai dengan tradisi Kristiani saja yang dapat digunakan sebagai sarana inkulturasi. Suatu unsur kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya jika tidak membantu umat menghayati imannya maka tidak layak dimasukkan sebagai sarana penghayatan iman (Koenjono, 1985: 11). Dalam inkultulturasi, Kristuslah yang menjadi pusatnya. Jika tidak demikian maka inkulturasi hanyalah sekedar tempelan saja dan tidak memberikan makna (wawancara dengan bapak Sepnu, 3 Juli 2009).

C. Usaha PengembanganPenggunaan Iringan Gamelan Jawa Guna Membantu

Umat Menghayati Iman Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran

1. Peluang Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada

Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Gereja Pugeran memiliki beberapa gereja wilayah seperti gereja Brayat

Minulya, gereja Salib Suci Gunung Sempu, gereja Santo Yusuf padokan dan gereja

Santo Martinus Bangunharjo. Setiap gereja wilayah memiliki kelompok penabuh gamelan. Hal itu merupakan salah satu peluang yang ada di Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran untuk tetap melestarikan penggunaan iringan gamelan Jawa (wawancara dengan Ibu Santirini Hendrojati, 22 Juni 2009).

Pada sekitar tahun 1990 PML menyelenggarakan kursus karawitan untuk orang dewasa. Dari paroki hati Kudus Yesus Pugeran sendiri telah berkali-kali ada sekelompok pemain yang berjumlah kurang lebih 15 orang dari lingkungan yang 82

sama mengikuti kursus karawitan yang diadakan selama satu tahun. Hingga sekarang

(2009) PML mendidik anak-anak SMP untuk bermain gamelan dalam rangka kursus

Con Brio sebagai pelengkap pelajaran organ.

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki kelompok dengan anggota anak- anak usia Sekolah Dasar sampai SMP yang bernama Gitararia. Kelompok ini dibentuk pada tanggal 30 September 2004. Awal mulanya kelompok ini adalah kelompok koor anak-anak yang sering mengikuti lomba di beberapa acara. Mulanya kelompok ini hanya beranggotakan 13 anak kemudian anggota ini menambah anggota berjumlah 7 orang dengan kriteria mau melayani Tuhan lewat bernyanyi. Pada bulan

Agustus 2007 di sebuah misa pemberkatan rumah, Romo Wiyana, Pr menawarkan pada anak-anak untuk mengikuti latihan karawitan yang akan dibimbing sendiri oleh beliau. Dengan penuh sukacita anak-anak anggota Gitararia menyambut tawaran tersebut. Sampai saat ini kelompok Gitararia memiliki jadwal rutin untuk latihan dan kerap diminta untuk mengiringi Koor pada Perayaan Ekaristi di gereja (Wawancara dengan Ibu Ati tanggal 23 Juni 2009). Adanya kelompok Gitararia ini sangat membantu Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran mengingat sangat kurangnya peminat dari kaum muda untuk ikut serta melesetarikan kebudayaan Jawa khususnya gamelan.

Anak-anak anggota kelompok Gitararia ini merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang lain, sehingga hal ini terus menjadi pemacu semangat pelayanan mereka pada Tuhan dan Gereja (Wawancara dengan Ibu Hendrojati, tanggal 22 Juni 2009).

Yogyakarta adalah kota pelajar yang menjadi tempat banyak orang menjalani pendidikan. Sebagai kota Pelajar, Yogyakarta juga memiliki banyak seniman serta 83

musisi baik yang masih belajar maupun yang sudah bekerja dalam bidang tersebut.

Hal ini menjadi suatu peluang khusus bagi pengembangan penggunaan gamelan Jawa di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Banyak seniman yang sangat tertarik dengan kelompok Gitararia di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Hal tersebut dikarenakan oleh semangat dan ketertarikan mereka di bidang karawitan. Oleh karena itu, beberapa tawaran muncul dari beberapa mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia) maupun seniman-seniman Yogyakarta untuk menggabungkan penggunaan gamelan

Jawa dengan musik akustik. Para mahasiswa ISI sejauh ini juga memberikan pelatihan bagi kaum remaja dan anak-anak di wilayah Pugeran dan Gunung Sempu secara gratis. Hal ini menjadi salah satu peluang bagi pengembangan iringan gamelan

Jawa di Paroki Pugeran (wawancara dengan Romo Fitri Gutanto Pr, tanggal 3 Juli

2009). Sejauh ini pendamping Gitararia sangat senang dengan tawaran ini karena akan memperkaya musik Gereja sejauh tidak menyimpang dari aturan-aturan liturgi yang ada (Wawancara dengan Ibu Ati, tanggal 23 Juni 2009). Baik Romo Paroki,

Dewan Paroki serta umat berharap dengan adanya kelompok Gitararia ini, kebudayaan Jawa tetap lestari dan tidak hilang begitu saja seiring dengan perkembangan zaman.

2. Hambatan-Hambatan Dalam Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa

Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran dapat dikatakan memiliki jumlah umat yang sangat banyak dan cakupan wilayah yang luas. Saat ini Paroki Hati Kudus

Yesus Pugeran memiliki 82 lingkungan. Masing-masing lingkungan ataupun wilayah 84

memiliki tugas rutin secara bergilir untuk bertugas koor pada Perayaan Ekaristi di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Namun dari 82 lingkungan yang ada, Paroki

Pugeran hanya memiliki 9 lingkungan yang memiliki penabuh gamelan. Keberadaan penabuh gamelan dalam usaha melestarikan penggunaan iringan gamelan dalam peribadatan di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sangatlah penting. Tanpa adanya penabuh gamelan maka Paroki akan merasa kesulitan untuk melestarikan kebudayaan

Jawa khususnya pada penggunaan gamelan sebagai sarana peribadatan (Wawancara dengan Romo Dodit Haryono, Pr, tanggal 24 Juni 2009).

Banyak umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran tertarik untuk mengikuti misa dengan iringan gamelan Jawa khususnya bagi mereka yang menaruh minat terhadap gendhing Jawa serta iringan gamelan Jawa. Kebanyakan umat lebih senang menikmati gendhing dan iringan gamelan Jawa dari pada turut serta secara aktif memainkannya. Lingkungan-lingkungan yang memiliki potensi serta minat memainkan gamelan justru berasal dari lingkungan pinggiran seperti Gunung Sempu,

Padokan dan Ngestiharjo. Lingkungan-lingkungan yang berada di pusat paroki seperti lingkungan Keraton, Mangkuyudan, Wilayah Gereja Timur dan Gereja Barat lebih memilih menikmati gamelan sebagai sarana untuk membantu mereka bertemu dan mengalami kehadiran Allah dalam Perayaan Ekaristi, namun mereka kurang tertarik untuk belajar memainkannya (Wawancara dengan Bapak Wianjono, tanggal 23 Juni

2009).

Kesulitan pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan

Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran datang dari Kaum muda. Memainkan gamelan tidak bisa dilakukan secara individu atau personal. Untuk dapat memainkan 85

gamelan dengan baik, maka dituntut adanya kekompakan, dan kerjasama yang baik antar anggotanya. Hal ini rupanya tidak diminati oleh sebagian besar kaum muda.

Kaum muda saat ini banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan sehingga sulit untuk menyatukan mereka dan berlatih gamelan bersama-sama (wawancara dengan

Ibu Santirini Hendrojati, tanggal 22 Juni 2009). Selama ini penggunaan iringan gamelan Jawa di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran diimbangi juga dengan penggunaan bahasa Jawa dalam misa maupun gendhing-gendhing yang dibawakan.

Kurang tertariknya Kaum Muda terhadap penggunaan iringan gamelan Jawa di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran juga disebabkan karena mereka kurang memahami bahasa Jawa yang benar. Oleh karena itu mereka pun juga kurang menaruh minat terhadap gamelan Jawa (Wawancara dengan Romo Dodit Haryono Pr, tanggal 24

Juni 2009).

3. Usaha Yang Akan Dilakukan Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan

Gamelan Jawa yang membantu Penghayatan Iman Umat dalam Perayaan Ekaristi

di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

Sejak awal paroki Hati Kudus Yesus Pugeran telah mengangkat nilai budaya dalam peribadatannya. Usaha yang akan dilakukan selanjutnya adalah tetap mempertahankan penggunaan iringan gamelan jawa dalam peribadatan di paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran satu kali dalam seminggu yaitu pada misa hari minggu pukul

08.00 pagi. Selain itu penggunaan iringan gamelan Jawa juga tetap dipertahankan pada kegiatan-kegiatan besar seperti Natal, Paskah dan perayaan-perayaan paroki

(Wawancara dengan Bapak Wianjono, tanggal 23 Juni 2009). 86

Melihat kurang minatnya kaum muda terhadap Perayaan ekaristi dengan menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan maka Paroki Hati Kudus Yesus

Pugeran mengupayakan untuk mengadakan perayaan Ekaristi dengan bahasa

Indonesia dan iringan gamelan Jawa pada perayaan-perayaan tertentu. Hal itu dilakukan agar umat khususnya kaum muda mengerti dan paham dengan apa yang disampaikan Romo serta lebih menghayati imannya (Wawancara dengan Romo Dodit

Haryono, Pr, tanggal 24 Juni 2009). Dalam hal ini Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran banyak memakai lagu-lagu terbitan PML yang menggunakan Bahasa Indonesia namun memiliki irama khas Jawa (Wawancara dengan Ibu Santirini Hendrojati, 22

Juni 2009).

PML bekerjasama dengan Keuskupan Agung Semarang menyusun buku

Kidung Adi. Tersusunnya buku Kidung Adi merupakan langkah inkulturasi yang berarti. Buku ini tersusun atas 457 nyanyian yang terdiri dari lagu terjemahan dari

Eropa serta lagu diatonis yang diciptakan di Indonesia, nyanyian hasil inkulturasi non gendhing sejumlah 15 lagu, gendhing pelog 180 lagu dan gendhing slendro 49 buah

(Susantina, 2001: 84).

Dalam rangka 75 tahun Gereja Pugeran hadir di tengah-tengah umat, Romo

Paroki Antonius Dodit Haryono, Pr mengajak berbagai pihak khususnya pakar gamelan untuk membuat lagu Jawa beserta iringan gamelannya. Hal itu bertujuan untuk menambah khasanah lagu-lagu Gereja khususnya lagu Gereja yang bernuansa

Jawa. Salah satu kesulitan yang dialami kaum muda adalah kurang memahami penggunaan bahasa Jawa dalam peribadatan di gereja. Untuk itu pelatihan-pelatihan terus dilakukan agar kaum muda semakin mengenal kebudayaannya sendiri yang 87

memiliki nilai sangat tinggi (Wawancara dengan Romo Dodit Haryono, Pr, Tanggal

24 Juni 2009).

Kehadiran kelompok Gitararia di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran mendapat tanggapan yang sangat positif dari berbagai kalangan. Antusiasme dan semangat pelayanan yang tinggi yang dimiliki kelompok ini diharapkan mampu melestarikan kebudayaan Jawa yang telah dirintis di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Untuk mengembangkan kemampuan dan semangat pelayanan mereka, maka secara rutin mereka diberi tugas oleh seksi liturgi untuk mengiringi koor dengan gamelan Jawa.

Bukan hanya tugas rutin dalam misa setiap hari minggu, namun dalam kegiatan- kegiatan besar seperti Pesta peringatan 75 Tahun Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, mereka diminta secara khusus untuk mengiringi koor. Kerjasama dengan Pusat Musik

Liturgi dalam hal pengadaan lagu-lagu baru sangat membantu memicu semangat kelompok Gitararia ini untuk lebih bersemangat dalam melayani Tuhan di Gereja

(Wawancara dengan Ibu Ati, tanggal 23 Juni 2009).

4. Usulan Program Katekese untuk Kaum Muda

Setelah melakukan penelitian di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, penulis menemukan keprihatinan akan kurang pahamnya umat khususnya kaum muda terhadap kebudayaan Jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi. Maka untuk membantu kaum muda mengenal dam memahami pentingnya penggunaan unsur- unsur budaya Jawa dalam Liturgi, penulis membuat suatu usulan program Katekese. a. Pengertian Program 88

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, program adalah rancangan mengenai asas-asas serta usulan yang akan dijalankan (Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1988:702). Program bertujuan untuk membantu dan mempermudah seluruh proses pelaksanaan kegiatan sehingga dapat berjalan dengan lancer.

Penyusunan program meliputi tema, tujuan, sub tema, tujuan sub tema, materi metode, sarana, sumberbahan dan proses kegiatan.

b. Latar Belakang Program

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah paroki yang tetap memelihara dan melestarikan unsur-unsur budaya Jawa dalam peribadatannya. Unsur-unsur budaya

Jawa terdapat pada bentuk bangunan, ornamen-ornamen gereja, seni musik gamelan

Jawa, dll. Jaman senantiasa berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Saat ini banyak sekali kaum muda yang tidak lagi mengenal dan memahami kebudayaan Jawa yang dimilikinya. Mereka lebih memilih budaya pop yang sesuai dengan selera kaum muda, sehingga mengakibatkan berkurangnya atau bahkan tidak adanya peminat kaum muda pada perayaan Ekaristi yang menggunakan unsur-unsur budaya Jawa seperti bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa. Tidak bisa dipungkiri bahwa kurang tertariknya kaum muda pada iringan gemelan disebabkan oleh aturan penggunaan gemelan yang halus, tenang, dan khidmad. Sebagai orang Jawa, tradisi dan hasil budaya Jawa merupakan identitas yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Maka perlu bagi kaum muda mengenal budayanya sendiri.

Melihat hal tersebut maka penulis tergerak untuk mencari jalan keluar untuk membantu kaum muda mengenal dan memahami proses inkulturasi di Paroki Hati 89

Kudus Yesus Pugeran melalui katekese dengan model SCP (Shared Christian Praxis)

Katekese dipilih karena melalui katekese peserta dalam hal ini kaum muda dapat berdialog mengungkapkan apa yang mereka alami dan rasakan sehubungan dengan penggunaan unsur-unsur budaya Jawa yang ada di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran.

Katekese dipilih menjadi suatu program yang bertujuan memperkenalkan unsur-unsur budaya Jawa yang ada dalam gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Dengan mengenal lebih dalam diharapkan juga muncul suatu keinginan dalam diri kaum muda untuk tetap melestarikan budaya Jawa yang dimilikinya khususnya gamelan dengan cara baru yang sesuai dengan keadaan kaum muda saat ini. Melalui katekese peserta diajak untuk lebih mendalami pesan-pesan Kitab Suci sehubungan dengan pewartaan dan penghayatan iman secara lebih mendalam.

c. Usulan Tema

Usulan tema yang penulis sajikan dalam program ini adalah “Inkulturasi

Budaya Jawa dalam Gereja sebagai Sarana untuk Mengalami Kehadiran Allah”.

Usulan tema ini dipilih karena gereja Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki banyak unsur budaya Jawa yang senantiasa dihidupi dan digunakan dalam pewartaannya.

Penggunaan unsur-unsur budaya Jawa ini adalah sebagai sarana bagi umat untuk mengalami kehadiran Allah khususnya pada saat Perayaan Ekaristi. Melalui Tema ini peserta diharapkan mengenal unsur budaya apa saja yang digunakan gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran untuk membantu umat menghayati imannya sehingga peserta dapat juga turut ambil bagian dalam karya pewartaan khususnya dalam peribadatan di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Tema besar ini akan dijabarkan dalam, 2 sub tema 90

yaitu “Allah berkarya dalam segenap bangsa di dunia” dan “Mengalami kehadiran

Allah dalam unsur-unsur budaya Jawa”. Kedua sub tema ini akan dijabarkan lagi dalam 5 sub bagian tema dengan tujuannya masing-masing sebagai berikut.

Tema I : Roh Kudus sebagai Kekuatan Atas Pewartaan

Tujuan : Membantu peserta memahami kekuatan Roh Kudus sebagai dasar

dalam pewartaan hingga saat ini.

Tema II : Kasih Allah Melampaui Batas Bangsa-Bangsa

Tujuan : Membantu peserta untuk menyadari dan memahami bahwa Allah

mencintai seluruh umat manusia tidak terbatas pada suku, bangsa

dan golongan.

Tema III : Memasuki Rumah Tuhan dalam gerejaku

Tujuan : Membantu peserta untuk menyadari bahwa mereka memasuki

rumah Tuhan dalam wujud bangunan gereja yang sarat akan nilai-

nilai filosofis Jawa sehingga peserta mempunyai rasa cinta yang

mendalam pada Gereja.

Tema IV : Gamelan sebagai Gambaran Hidup Masyarakat Jawa

Tujuan : Membantu peserta untuk memahami bahwa gamelan bukan hanya

hasil kesenian masyarakat Jawa namun juga merupakan gambaran

hidup masyarakat Jawa sehingga peserta semakin mampu

menghidupi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Tema V : Mewartakan Kabar Gembira Melalui Unsur-Unsur Budaya Jawa

Tujuan : Membantu peserta menyadari bahwa Injil diwartakan melalui

bahasa dan kebudayaan umat setempat sehingga dapat turut serta 91

ambil bagian dalam perayaan ekaristi dengan menggunakan bahasa

Jawa dan iringan Gamelan Jawa.

Sasaran dari program ini adalah seluruh umat termasuk di dalamnya adalah kaum muda di Paroki hati Kudus Pugeran mengingat kaum muda kurang menaruh perhatian terhadap penggunaan unsur-unsur budaya Jawa di gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran. Padahal kebudayaan Jawa adalah budaya lokal yang harus tetap dijaga kelestariannya karena dalam budaya ini masyarakat Jawa menghidupi imannya.

Program ini dilaksanakan setiap dua minggu sekali dalam kurun waktu 3 bulan dimulai dari bulam Oktober 2009 sampai pertengahan bulan Desember 2009.

92

d. Penjabaran Usulan Program Katekese

PROGRAM PENDAMPINGAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESADARAN UMAT AKAN KEKAYAAN

NILAI UNSUR-UNSUR BUDAYA JAWA YANG TERDAPAT DALAM GEREJA HATI KUDUS YESUS

PUGERAN YOGYAKARTA.

Tema Umum : Inkulturasi Budaya dalam Gereja Sebagai Sarana Untuk mengalami Kehadiran Allah

Tujuan Umum : Membantu umat untuk mengenal dan memahami nilai-nilai unsur budaya Jawa melalui pembinaan kesadaran akan peran dan fungsinya sebagai anggota Gereja yang beriman Kristiani.

NO SUB TUJUAN JUDUL TUJUAN URAIAN METODE SARANA SUMBER

TEMA SUB PERTEMUAN PERTEMUAN MATERI BAHAN

TEMA

1 2 3 4 5 6 7 8 9 a Allah Membantu 1) Roh Kudus Membantu • Arti pewartaan • Nonton • Film • Matius berkarya peserta sebagai peserta • Peran Roh film tentang 28:16-20 93

dalam untuk Kekuatan memahami Kudus Dalam tentang Pentakosta • Bergant segenap memahami Atas kekuatan Roh Pewartaan Pentakosta • Kitab Suci Diane bangsa di bahwa Allah Pewartaan Kudus sebagai • Pewartaan • Informasi • Madah (2002). dunia hadir dan dasar dalam yang dilandasi • Sharing Bakti Tafsir berkarya pewartaan semangat Roh • Diskusi • Teks Lagu Alkitab melalui dan hingga saat ini kelompok • DVD Perjanjian di dalam • Pleno Player Baru. seluruh • Dialog Yogyakarta: bangsa di (Tanya Kanisius dunia. Jawab) • KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius

2) Kasih Allah Membantu • Allah sebagai • Nonton • Kitab Suci • Yoh 1: 14 melampaui peserta untuk Bapa yang Slide • Teks Lagu • Slide Kasih Batas Bangsa- menyadari dan mencintai • Informasi • Gambar • KWI. 94

bangsa memahami manusia • Sharing Yesus (1996). bahwa Allah • Yesus Kristus • Dialog • Kertas Flap Iman mencintai diutus sebagai (Tanya • Spidol Katolik. seluruh umat wujud Kasih Jawab) • LCD Yogyakarta: manusia tidak Kanisius Allah pada • Diskusi • Laptop terbatas pada manusia Kelompok • Bakker, suku, bangsa • Perintah untuk • Pleno A.(1988). dan golongan saling Ajaran mengasihi Iman Katolik 2. Yogyakarta. Kanisius b. Mengalami Membantu 1) Memasuki Membantu • Mengenal • Informasi • Gambar • Matius 21: Kehadiran peserta Rumah peserta untuk gereja Hati • Sharing gereja Hati 12-17 Allah untuk Tuhan dalam menyadari Kudus Yesus • Diskusi Kudus • Alexander, dalam memahami gerejaku bahwa mereka Pugeran kelompok Yesus RS. (2004). unsur- bahwa Allah memasuki • Menilik • Pleno Pugeran Menuju unsur hadir dalam rumah Tuhan arsitektur • Dialog • Teks lagu Paroki budaya setiap unsur dalam wujud gereja Hati (Tanya • Kitab Suci Mandiri Jawa budaya bangunan gereja Kudus Yesus Jawab) • Spidol dan manusia yang sarat akan Pugeran • Kertas flap Dewasa. 95

sehingga nilai-nilai • Nilai-nilai • Bergant semakin filosofis Jawa filosofis pada Diane mampu sehingga peserta bangunan (2002). mengimani mempunyai rasa gereja Hati Tafsir Allah seturut cinta yang Kudus Yesus Alkitab dengan mendalam pada Pugeran Perjanjian budayanya Gereja • Bersama- Baru. sama memuji Yogyakarta: Tuhan dalam Kanisius gerejaku

2) Gamelan Membantu • Gamelan • Informasi • Teks lagu • Mazmur 33: sebagai peserta untuk sebagai hasil • Dialog • Madah 1-3 gambaran memahami budaya (Tanya bakti • Panitia 60 hidup bahwa gamelan masyarakat jawab) • Kertas flap tahun masyarakat bukan hanya Jawa • Diskusi • Spidol Gereja Hati Jawa hasil kesenian • Nilai-nilai • Pleno • Kitab Suci Kudus masyarakat filosofis • Sharing Yesus Jawa, namun gamelan Pugeran. juga merupakan (1994). • Masuknya 96

gambaran hidup gamelan Jawa Peringatan masyarakat dalam liturgy 60 tahun Jawa sehingga gereja Gereja Hati peserta semakin • Penggunaan Kudus mampu gamelan Jawa Yesus. menghidupi di gereja Hati Yogyakarta: nilai-nilai yang Kudus Yesus Winonggo terkandung di Pugeran Offset dalamnya. hingga saat • Prier, KE ini. (1986). Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: PML

3) Mewartakan Membantu • Roh Kudus • Nonton • Kitab Suci • Kis 2:1-13 Kabar peerta turun atas video • Madah • Video Gembira menyadari para rasul “Gereja Bakti “Gereja Melalui bahwa Injil • Kekuatan Roh Hati • Gambar Hati Kudus Unsur-Unsur diwartakan Kudus yang Kudus gereja Hati Yesus 97

Budaya Jawa melalui bahasa mengobarkan Yesus Kudus Pugeran” dan kebudayaan semangat Pugeran Yesus • Darmawijay umat setempat • Unsur-unsur • Sharing PUgeran a, St. sehingga dapat budaya Jawa • Informasi • Gambar (2005). turut serta ambil yang terdapat • Diskusi gamelan Kisah Para bagian dalam di gereja Hati kelompok Jawa Rasul. perayaan Kudus Yesus • Dialog • Spidol Yogyakarta: ekaristi dengan Pugeran • Pleno • Kertas flap Kanisius menggunakan • Turut serta • Alexander, bahasa Jawa dan ambil bagian RS. (2004). iringan gamelan dalam Ekaristi Menuju Jawa. Kudus dengan Paroki menggunakan Mandiri bahasa Jawa dan dan iringan Dewasa. gamelan Jawa • Lembaga Biblika Indonesia. (1981). Tafsir Kisah Para Rasul. 98

Yogyakarta: Kanisius

99

d. Katekese Bagi Umat Paroki Pugeran

1) Tema : Mewartakan Kabar Gembira melalui unsur-unsur

budaya Jawa

2) Tujuan Pertemuan : Bersama pendamping peserta menyadari bahwa Injil

diwartakan melalui bahasa dan kebudayaan umat

setempat sehingga dapat turut serta ambil bagian

dalam perayaan ekaristi dengan menggunakan bahasa

Jawa serta iringan gamelan Jawa.

3) Peserta : Kaum muda di Paroki Pugeran

4) Model : SCP (Shared Christian Praxis)

5) Metode : Sharing, menonton video, refleksi, informasi dan

Tanya jawab

6) Sarana : Kitab Suci, Teks Lagu,

7) Waktu : 60 menit

8) Sumber bahan : - Kis 2: 1-13

- Alexander, RS. (2004). Menuju Paroki Mandiri

dan Dewasa

- Darmawijaya, St. (2005). Kisah Para Rasul.

Yogyakarta: Kanisius

- Lembaga Biblika Indonesia. (1981). Tafsir Kisah

Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius

9) Pemikiran Dasar. 100

Umat Kristiani di seluruh penjuru dunia dipanggil dan diutus untuk mewartakan kasih kebaikan Allah yang menyelamatkan umat manusia. Setiap umat hidup dalam kebudayaan masing-masing. Umat yang berada di wilayah

Eropa akan hidup dengan budaya dan tatacara masyarakat Eropa. Orang Asia pun juga hidup dengan budaya dan tatacara masyarakat Asia. Demikian pula orang yang berada di daerah Jawa akan hidup dengan budaya dan tatacara masyarakat Jawa. Jika dicermati lebih dalam, budaya Jawa memiliki kekayaan nilai yang terdapat dalam setiap unsurnya antara lain bahasa Jawa, Kesenian

Jawa dan serta benda-benda lain yang memiliki makna yang dalam. Dalam

Gereja Katolik unsur-unsur budaya tersebut dipakai untuk membantu umat khususnya yang tinggal di daerah Jawa untuk lebih menghayati iman seturut dengan budayanya. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran adalah salah satu gereja di kota Yogyakarta yang masih mempertahankan unsur kebudayaan Jawa baik dalam bentuk bangunan fisik maupun liturginya. Hal itu tampak dalam bangunannya yang berbentuk joglo, liturgi dengan menggunakan bahasa Jawa, lambang-lambang khas Jawa yang terdapat dalam gereja serta digunakannya iringan gamelan Jawa dalam liturgi. Tentu saja hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Paroki Pugeran. Namun pada kenyataannya hal ini kurang mendapat perhatian umat khususnya kaum muda yang ada di Paroki Hati

Kudus Yesus Pugeran. Menurut pengamatan sepintas dan melalui penelitian yang penulis lakukan, kebanyakan dari mereka merasa bahwa mengikuti perayaan ekaristi dengan menggunakan iringan gamelan Jawa dan berbahasa

Jawa sangat membosankan. Kaum muda lebih tertarik dengan hal-hal yang 101

lebih modern daripada yang bernuansa tradisional. Padahal jika ditilik lebih jauh unsur-unsur budaya tradisional Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang amat berguna bagi hidup sehari-hari.

Periope dalam Kisah Para Rasul 2: 1-13 menguraikan peristiwa turunnya

Roh Kudus atas para rasul. Karena Roh Kudus yang berkarya dalam diri para rasul, maka mereka mampu mewartakan kabar sukacita Allah dengan bahasa masing-masing orang yang mendengarkannya. Semua orang yang mendengar pewartaan para rasul tercengang-cengang dan heran karena orang-orang tahu bahwa para rasul adalah orang Galilea. Pewartaan Kerajaan Allah oleh para rasul dimulai pada peristiwa ini. Pewartaan yang dilakukan melampaui segala bahasa dan segala bangsa di bumi ini. Pewartaan tidak terbatas pada kalangan

Yahudi saja namun juga semua bangsa dengan kebudayaannya di dunia ini.

Perutusan para murid Yesus terus berlangsung hingga sekarang. Pewartaan

Kabar Gembira ke seluruh penjuru dunia tidak bisa begitu saja dilepaskan dari budaya setempat. Karena melalui budaya setempatlah Injil mendapatkan maknanya. Oleh sebab itu Injil dan kebudayaan lokal saling berkaitan dan saling mendukung. Kebudayaan setempat membantu umat untuk menghayati iman

Katolik mereka sesuai dengan apa yang mereka hidupi setiap harinya.

Melalui pertemuan ini diharapkan peserta semakin menyadari bahwa Injil diwartakan melalui bahasa dan kebudayaan masing-masing umat sehingga peserta mampu semakin mengenal dan turut ambil bagian dalam pewartaan Injil yang dilalukan dengan menggunakan unsur-unsur budaya Jawa setempat.

102

10) Pengembangan langkah-langkah

a) Pembukaan

Teman-teman yang terkasih di saat yang penuh rahmat ini kita kembali

berkumpul untuk melihat bagaimana Sabda Allah diwartakan di dunia ini

dalam bahasa dan budaya masing-masing bangsa. Seperti kita ketahui

bersama umat Katolik tersebar di segala penjuru dunia, mulai dari Eropa,

Asia, Amerika, Afrika dan masih banyak lagi tempat di dunia ini. Dalam

pewartaan Injil tentu saja kebudayaan suatu suku atau bangsa memegang

peranan penting. Kekhasan masing-masing unsur budaya suatu tempat

dapat digunakan sebagai sarana agar umat lebih mendalami pesan yang

mau disampaikan Allah melalui Injil. Di Indonesia Injilpun disampaikan

pada umat menurut kebudayaan masing-masing daerah. Hal itu akan

membantu umat menemukan pesan yang terkandung dalam Injil. Di

daerah Jawa seperti Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ini, Sabda Allah

diwartakan dan diimani seturut dengan budaya lokal yaitu budaya Jawa.

Banyak sekali unsur budaya lokal yang digunakan dalam peribadatan di

Paroki kita ini. Khususnya pada hari minggu pukul 08.00, gereja Pugeran

menyelenggarakan Perayaan Ekaristi dengan menggunakan bahasa Jawa

dan iringan gamelan Jawa. Selain itu gereja Pugeran dibangun dengan

corak Jawa yang sangat kental. Namun terkadang kita sebagai kaum muda

kurang menaruh perhatian dan minat terhadap hal itu. Padahal jika mau

dilihat lebih jauh unsur-unsur budaya tersebut memiliki maka yang sangat

dalam dan bernilai tinggi. Terlebih lagi kita adalah orang Jawa yang 103

tinggal dan hidup dalam budaya Jawa, sepatutnyalah kita mengenal dan

mempertahankan budaya kita agar tidak hilang begitu saja seiring dengan

berjalannya waktu.

Lagu Pembuka Madah Bakti no 449

Doa Pembuka

Allah Bapa yang Maha Kasih, terimakasih atas kesehatan yang telah

Engkau berikan pada kami hingga dapat kembali berkumpul di tempat ini

dengan selamat. Terimakasih pula atas tanah air dan bangsa yang Engkau

berikan pada kami, semua keragaman dan keindahan pada alam kami.

Bapa terkadang kami kurang mensyukuri anugerah Mu kami kurang

mengenal kekayaan nilai yang ada dalam budaya kami, sehingga kami pun

kurang menaruh perhataian dan kurang mencintai budaya kami sendiri.

Bapa, pada malam ini kami ingin mendengarkan sabda-Mu, curahkanlah

roh kudus Mu Tuhan agar kami mengerti pesan-pesan yang Engkau

sampaikan pada kami. Mampukalah kami Tuhan mengenal Engkau dan

memahami seluruh pesan yang Engkau sampaikan lewat budaya Jawa

yang kami miliki dan kami hidupi selama ini. Amin.

b) Langkah 1: Mengungkap dan mendalami Pengalaman Hidup Peserta

(1) Pendamping mengajak peserta untuk menonton video “Gereja Hati

Kudus Yesus Pugeran” 104

(2) Penceritaan kembali isi video: pendamping meminta salah satu peserta

untuk menceritakan kembali dengan singkat tentang isi pokok video

“Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran”

(3) Intisari video ”Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran”

Dalam video yang telah kita saksikan tadi, kita melihat setiap detail

bangunan dan unsur-unsur budaya Jawa lain yang ada dalam Paroki

Hati Kudus Yesus Pugeran. Kita bisa lihat ukir-ukiran yang terdapat

pada tabernakel, Patung hati Kudus Yesus, relief peristiwa masa lalu

yang terjadi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sebelum merdeka,

Sumur yang berada di depan gereja, gamelan Jawa dan masih banyak

lagi. Seluruh bagian dalam video ingin menggambarkan bahwa Gereja

Hati Kudus Yesus Pugeran sangat kental dengan tradisi Jawa yang

dihidupi oleh umat setempat. Dengan masuk dalam gereja umat akan

dibawa masuk ke dalam Rumah Tuhan yang sangat dekat sekali

dengan kepribadian umat setempat.

(4) Pengungkapan pengalaman: Peserta diajak untuk mendalami video

tersebut dengan pertanyaan

• Unsur budaya Jawa macam apa yang biasa digunakan dalam

Perayaan Ekaristi di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran?

• Ceritakanlah pengalaman teman-teman dalam mengikuti Perayaan

Ekaristi dengan menggunakan unsur budaya Jawa seperti bahasa

Jawa dan iringan gamelan jawa di gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran? 105

(5) Suatu Contoh arah rangkuman

Selain unsur-unsur budaya seperti yang telah kita lihat dalam video

tadi, Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran juga hingga saat ini tetap

mempertahankan penggunaan bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa

dalam Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi tersebut dilaksanakan

setiap hari minggu pukul 08.00. Digunakannya iringan gamelan Jawa

dan bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi merupakan suatu

penghargaan dan pelestarian kebudayaan Jawa dalam liturgi. Iringan

gamelan Jawa yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi melalui proses

yang panjang dan tidak mudah pada masa lalu. Gamelan selain

merupakan hasil kesenian Jawa, juga menjadi suatu simbol dari

kehidupan masyarakat Jawa. Alunan nada yang harmonis, lambat

ingin menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa yang harmonis,

memiliki rasa kesabaran, toleransi yang tinggi, pemimpin yang dekat

dengan masyarakat. Namun ada kalanya sebagai kaum muda kita

merasa unsur-unsur budaya Jawa tersebut kurang sesuai dengan diri

kita sehingga kita enggan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi dengan

menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa. Kita semua

yang ada di sini rata-rata kurang memahami bahasa Jawa. kekurang

pahaman itu membuat kita malas mengikuti Perayaan Ekaristi. Alunan

gamelan yang lembut membuat kita terkadang menjadi kurang

bersemangat dan mengantuk.

106

c) Mendalami Pengalaman Hidup Peserta

(1) Peserta diajak untuk mereflekasikan pengalaman dengan dibantu

pertanyaan sebagai berikut:

• Bagaimana cara teman-teman mengatasi kesulitan yang teman-

teman alami?

(2) Dari jawaban yang diungkapkan oleh peserta, pendamping memberi

rangkuman singkat.

(3) Suatu Contoh arahRangkuman

Saat ini musikyang banyak berkembang adalah musik pop. Musik ini

sesuai dengan selera kaum muda. Tak jarang hal ini yang medmbuat

kita kurang tertarik dengan gamelan Jawa yang halus dan lambat.

Namun dengan mencoba menyadari bahwa gamelan adalah bagian

dari budaya Jawa yang kita miliki yang harus kita lestarikan, maka kita

pun berusaha untuk menghargainya. Kesulitan memahami bahasa

Jawa sejauhini dapat diatasi dengan cara bertanya pada orang lebih

tahu akan bahasa Jawa. Hal itu cukup membantu kita mengatasi

kesulitan-kesulitan

d) Langkah III : Menggali Pengalaman Iman Kristiani

(1) Salah seorang peserta diminta untuk membaca perikope Kitab Suci

Kis 2:1-13.

(2) Peserta diberi waktu untuk membaca sekali lagi perikope Kitab Suci

tersebut. 107

Peserta diberi pertanyaan untuk mendalami isi perikope Kis 2: 1-13

sebagai berikut:

• Ayat-ayat mana yang menunjukkan kuasa Roh Kudus atas Para

Rasul?

• Nilai-nilai apa yang dapat dipetik dari perikope tersebut

sehubungan dengan Pewartaan Injil?

• Sikap-sikap apa yang mau ditanamkan oleh perikope tadi

sehubungan dengan pewartaan Injil kepada seluruh umat?

(3) Pendamping memberikan interpretasi atau tafsir dari bacaan Kitab

Suci dari Kis 2: 1-13

Teman-teman yang terkasih, semasa hidup Yesus senantiasa

mewartakan Kerajaan Allah melalui pengajaran maupun tindakan serta

mukjizat-mukjizat yang Ia dibuat. Hingga akhirnya sebelum Yesus

diangkat ke surga Yesuspun memberikan perintah pada para muridNya

untuk mewartakan Injil ke seluruh penjuru dunia. Hingga sekarang

pewartaan itu terus berlangsung meski Yesus bahkan para Rasul-

Nyapun telah tiada. Perikope dalam Kis 2:1-13 menguraikan peristiwa

yang disebut pentakosta. Dalam suasana itu sangat terasa ada

ketegangan antara menanti dan terpenuhinya rencana yang sudah lama

dinantikan. Begitu juga jemaat perdana yang waktu itu menantikan

kehadiran Roh Kudus. Hal itu bisa kita lihat pada ayat 1, semua murid

dan jemaat perdana berkumpul di satu tempat. Pada ayat 2, tiba-tiba

turun dari langit bunyi seperti tiupan angin keras dan tampaklah pada 108

mereka semua lidah-lidah seperti nyala api hinggap pada mereka masing-masing. Melalui api dan Roh Kudus para rasul dibaptis. Hal ini merupakan titik awal pewartaan para rasul dimana mereka dipenuhi kuasa Roh Kudus yang menyala dalam hati mereka. Karena Roh

Kudus pula para rasul mulai berbicara dalam berbagai bahasa. Hal itu bisa kita lihat pada ayat 4. Para rasul berbicara dalam bahasa-bahasa yang ditangkap oleh para peziarah dan musafir dari berbagai negeri.

Daftar bangsa-bangsa seperti yang terdapat dalam ayat 9-11 ingin menunjukkan dan menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan saksi peristiwa pentakosta. Kebhinekaan tersebut merupakan saksi

Allah. Keselamatan Allah diwartakan tak terbatas pada kalangan

Yahudi atau di sekitar-orang-orang yang pernah mengalami hidup

Yesus. Keselamatan Allah melampaui batas-batas wilayah, negara dan kebudayaan. Sumber keselamatan adalah satu yaitu Yesus melalui kuasa Roh Kudus ia hidup dan memberi semangat di hati setiap orang, akhirnya keselamatan itu diwartakan dalam bahasa masing-masing orang seluruh penjuru bumi.

Perikope tersebut memberi gambaran bagaimana kehidupan jemaat perdana saat itu. Mereka bertekun dalam ajaran para rasul dan hidup bersama dalam kasih. Kebersamaan yang mereka alami sehari- hari membuat mereka bertumbuh dalam harapan akan kekuatan Roh

Kudus yang akan membangkitkan mereka. Para rasul dan pengikut

Yesus dengan sabar menanti kedatangan Roh Kudus. Kepercayaan 109

mereka akan pemenuhan janji Yesus yang akan mengkaruniakan Roh

Kudus dalam diri mereka membuat mereka bersemangat dan mampu

melakukan hal-hal besar dalam pewartaan.

e) Langkah IV : Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Peserta

Konkrit.

(1) Pengantar

Dalam perbincangan tadi kita sudah menemukan sikap-sikap mana

yang dilakukan oleh para rasul sehubungan dengan perintah Yesus

untuk mewartakan karya keselamatan Allah ke seluruh penjuru dunia

tanpa melihat batasan-batasan wilayah dan bangsa. Karya keselamatan

Allahpun diwartakan dalam unsur-unsur budaya Jawa. Namun

terkadang kita enggan untuk mengenal dan memahami kebudayaan

kita sendiri. Dalam pertemuan yang penuh rahmat ini Allah

menyadarkan kita bahwa Ia berkarya dalam setiap bangsa tanpa

melihat batas-batas budaya termasuk dalam budaya Jawa yang kita

miliki.

(2) Sebagai bahan refleksi agar kita dapat semakin memahami bahwa

Allah juga berkarya dalam budaya Jawa yang kita miliki maka kita

mencoba merenungkan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

• Sikap-sikap mana yang bisa kita perjuangkan agar semakin mampu

memahami peran budaya Jawa dalam pewartaan kabar gembira? 110

• Apakah teman-teman semakin disadarkan dan diteguhkan untuk

semakin memahami peran budaya Jawa dalam pewartaan kabar

gembira?

Saat hening diiringi dengan instrumen gambang untuk mengiringi

renungan pribadi peserta. Kemudian peserta diberi kesempatan untuk

mengungkapkan hasil renungan pribadinya tersebut.

(3) Suatu contoh arah rangkuman

Untuk semakin memahami peran budaya Jawa dalam pewartaan kabar

gembira maka yang perlu kita lakukan adalah mengenal budaya Jawa

secara lebih dekat. Dengan mengenal kita akan mengerti makna

sehingga kita semakin memahami peran budaya dalam usaha

pewartaan kabar gembira di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

f) Langkah V : Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit

(1) Pengantar

Teman-teman yang terkasih dalam Kristus pada awal pertemuan kita

telah melihat video “Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran”. Banyak

sekali unsur-unsur budaya Jawa yang terdapat di gereja Hati Kudus

Yesus Pugeran. Semuanya itu tetap dipertahankan penggunaannya

hingga saat ini. Namun sebagai kaum muda kita masih enggan untuk

mengenal dan terlibat langsung dalam Perayaan Ekaristi. Perikope

dalam Kis 2: 1-3 menguraikan peran Roh Kudus dalam pewartaan para

rasul. Karya pewartaan kabar Allah melampaui batas bangsa-bangsa. 111

Allahpun berkarya dalam kebudayaan masing-masing bangsa

termasuk dalam budaya Jawa. Untuk semakin mampu memahami

peran budaya Jawa, maka yang perlu dilakukan adalah mengenal

budaya Jawa itu sendiri dengan terlibat secara aktif dalam Perayaan

ekaristi di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran.

(2) Memikirkan niat-niat dan bentuk keterlibatan baru (pribadi, kelompok

atau bersama) untuk semakin mengenal budaya Jawa dalam liturgi

sehingga semakin memahami peran budaya Jawa dalam pewartaan.

Berikut ini adalah pertanyaan penuntun untuk membantu peserta

membuat niat-niat:

• Niat apa saja yang hendak kita lakukan untuk semakin mampu

terlibat aktif dalam pewartaan kabar gembira pada perayaan

ekaristi di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran?

• Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan

niat-niat tersebut?

Selanjutnya peserta diberi kesempatan dalam suasana hening memikirkan

sendiri-sendiri tentang niat-niat pribadi atau bersama.

g) Penutup

(1) Setelah peserta mengungkapkan niat-niat yang akan dilakukan maka

pendamping mengajak peserta untuk mengungkapkan doa spontan

oleh pendamping dengan menghubungkan kebutuhan situasi peserta.

(2) Doa Penutup 112

Bapa terimakasih atas pencurahan Roh Kudus Mu atas para rasul.

Melalui Roh Kudus semangat dalam diri para rasul berkobar sehingga

pewartaan tentang kuasa Mu dapat kami dengar hingga sekarang. Bapa

kami memiliki banyak sekali unsur budaya yang mendukung

pewartaan Sabda Mu. Namun seringkali kami kurang menghargainya.

Bantulah kami Tuhan agar kami mampu semakin menghargai

kebudayaan kami tersebut dengan turut serta memuliakan namaMu

dalam peribadatan di gereja kami yang tercinta ini. Semua ini kami

mohon dengan perantaraan Kristus Tuhan Kami. Amin.

(3) Sesudah doa penutup, pertemuan diakhiri dengan doa nyanyian

penutup dari Madah Bakti no. 509.

BAB IV

PENUTUP

Setelah uraian dalam bab I sampai dengan bab III disampaikan, maka selanjutnya dalam bab IV ini akan disampaikan beberapa hal sebagai kesimpulan dari seluruh pembahasan. Selain itu penulis juga akan menyampaikan saran yang merupakan masukan untuk paroki Pugeran baik bagi Pastor, Dewan Paroki maupun umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta.

A. Kesimpulan

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran hingga kini tetap mempertahankan corak budaya Jawa yang terwujud dalam bangunan gereja, ornamen gereja, pakaian liturgi dan kesenian tradisonal Jawa yaitu gamelan. Gendhing-gendhing masuk dalam liturgi

Gereja dimulai sejak tahun 1925 jauh sebelum Konsili Vatikan II berlangsung.Mula- mula gendhing hanya dinyanyikan secara acapela (tanpa iringan). Masuknya gamelan dalam liturgi Gereja tidaklah berjalan dengan mudah, banyak keberatan muncul dari berbagai pihak karena gamelan dianggap sebagai musik keraton yang khas dengan nuansa pesta. Pada waktu Mgr. Soegijapranata bertugas menjadi vikaris apostolik

Semarang, ia memiliki gagasan untuk memadukan seni budaya dan iman. Melalui berbagai usaha, akhirnya gamelan Jawa dapat digunakan dalam peribadatan, meskipun hanya alat-alat tertentu saja yang bisa digunakan. Gereja Hati Kudus Yesus

Pugeran memasukkan iringan gamelan Jawa sebagai pengiring dalam ibadat sejak 114

tahun 1958. Setelah Konsili Vatikan II, seluruh alat musik gamelan Jawa dapat digunakan dalam peribadatan di gereja.

Gamelan Jawa merupakan hasil budaya masyarakat Jawa yang memiliki nilai yang tinggi. Gamelan Jawa yang digunakan dalam peribadatan di gereja Hati Kudus

Yesus Pugeran memberi peranan yang positif dalam penghayatan iman umat. Melalui iringan gamelan Jawa, umat mampu merasakan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Gamelan Jawa menciptakan suasana yang khidmad, tenang sehingga sangat membantu umat untuk mempersiapkan hati untuk masuk dalam peribadatan dan bertemu dengan Allah. Gamelan juga memberikan daya kekuatan bagi siapa saja yang mendengarkannya, sehingga dapat merasakan tenteram dan damai. Iringan gamelan menciptakan suatu gerak batin seseorang untuk menemukan Tuhan dalam proses peribadatan di gereja. Lewat unsur budaya setempat Injil diwartakan ke seluruh dunia. Budaya Jawa menjadi suatu sarana pewartaan karya keselamatan

Allah. Namun meskipun begitu, sebagian besar kaum muda di Paroki Hati Kudus

Yesus Pugeran kurang tertarik dengan perayaan ekaristi yang menggunakan iringan gamelan. Mereka merasakan mengantuk, dan bosan jika mengikuti misa dengan iringan gamelan Jawa. Untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa khususnya gamelan, Romo Wiyana, Pr membentuk suatu perkumpulan anak bernama Gitararia yang rutin mengadakan latihan memainkan gamelan dan juga sering diminta untuk bertugas pada misa di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Program katekese diusulkan sebagai suatu langkah untuk membantu kaum muda untuk mengenal dan memahami unsur-unsur budaya Jawa yang ada di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran, sehingga 115

mereka mampu menghargai dan turut melestarikan serta berpartisipasi secara aktif dalam perayaan Ekaristi.

B. Saran

Proses inkulturasi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran telah berjalan hingga sekarang. Unsur-unsur kebudayaan Jawa yang relevan senantiasa digunakan untuk membantu umat beriman menghayati iman mereka. Berbagai usahapun telah dilakukan untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang memiliki nilai yang tinggi.

Untuk itu penulis memberikan saran sehubungan dengan penggunaan unsur-unsur budaya Jawa dalam rangka membantu umat menghayati iman mereka.

1. Umat diharapkan semakin mampu melestarikan penggunaan unsur-unsur budaya

Jawa khususnya gamelan dengan turut terlibat aktif dalam tugas koor lingkungan

di gereja hati kudus Yesus Pugeran.

2. Kaum muda diharapkan untuk semakin memiliki kesadaran yang tinggi akan

pelestarian kebudayaan yang dimiliki sehingga mau datang terlibat dalam

perayaan ekaristi dengan menggunakan iringan gamelan Jawa yang

diselenggarakan di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran tiap minggunya.

3. Bagi dewan Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, inkulturasi merupakan suatu

proses yang berlangsung secara terus menerus seiring dengan perkembangan

jaman. Oleh karena itu diharapkan dewan paroki berkerjasama dengan pihak-

pihak yang mampu di bidang seni karawitan untuk membuat suatu variasi dalam

hal iringan gamelan Jawa sehingga juga dapat dinikmati oleh kaum muda. 116

4. Bagi Romo Paroki, diharapkan untuk terus memberi dukungan bagi setiap usaha

pengembangan inkulturasi budaya Jawa yang sesuai dengan iman Kristiani di

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

5. Liturgi menjaadi suatu perayaan yang berarti tidak hanya mencari ketenangan saja

tapi juga mencari semangat dan keberanian dalam hidup sehari-hari. Nampaknya

hal ini merupakan salah satu kekurangan musik gamelan Jawa yang kurang bisa

memberikan nuansa semangat sehingga menimbulkan kurangtertariknya kaum

muda pada gamelan Jawa. Untuk itu perlu adanya suatu eksperimen yang

berlangsung terus menerus dalam hal musik liturgi. Selain untuk tetap

melestarikan kebudayaan Jawa, juga untuk mencari suatu cara di mana kenyataan

hidup harus dicerminkan dalam liturgi sehingga musik perlu dirubah sedikit agar

sesuai dengan keadaan kaum muda di Paroki Hati Kudus Pugeran.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, RS. (2004). Perjalanan Arsitektur Gereja melintasi Waktu. Dalam Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugreran. Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran Bakker, A. (1988). Ajaran Iman katolik 2. Yogyakarta: Kanisius Banawiratma, J.(1989). Baptis, Krisma, Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius Darmawijaya, St. (2005). Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius Dinas Kebudayaan. (1999). Deskripsi Umum Gamelan Jawa. Yogyakarta: Pemerintah Provinsi DIY Heuken, A. (2005). Ensiklopedi Gereja jilid 5. Jakarta: Obor ______. (2005). Ensiklopedi Gereja jilid 6. Jakarta: Obor Hood, Mantle. (1958). Javanese Gamelan in the world of music. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat Jacobs Tom. (1989). Refleksi Teologis Tentang Ekaristi. Dalam Banawiratma, J (ed). Baptis, Krisma, Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius Jayasewaya, Ign. (2004). Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran Kesowo Murti Heru. (1994). Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus. Yogyakarta: Winonggo Offset. Keuskupan Agung Semarang. (1988). Keuskupan Agung Semarang Indonesia. Semarang: KAS Koenjono, Th. (1985). Bina Liturgia I: Inkulturasi. Jakarta: Obor Komisi Liturgi KWI. (2002). Pedoman Umum Missale Romanum. Ende: nusa Indah KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius Lecaro, G, dkk (2007). Musicam Sacram (Salinan). Yogyakarta: PML Lembaga Biblika Indonesia. (1981). Tafsir Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius. Lukasik, A . (1991). Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan tentang Unsur-Unsur Perayaan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius Martasudjita. E. (1998). Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius ______. (2000). Musik dan Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. ______. (2003). Spiritualitas Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. Maryanto Ernest. (2004). Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius Moeryantini Henrika (1975). Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Ende Flores: Nusa Indah. Moleong, M.A. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Remaja Rosdakarya. Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus yesus Pugeran. (2004). Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: panitia Peringatan 70 Tahun Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta Paulus, Yohanes II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II, (terjemahan R. hardawiryana, SJ). Jakarta: Dokpen KWI. 118

PML. (2007). Warta Musik edisi 04/ 2007. Yogyakarta: PML Prier, KE (1986). Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: PML ______(2006). Sejarah Musik. Yogyakarta:PML. ______(2009). Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: PML. Redaksi Tembi. (2002). Majalah Tembi, no. 8 Tahun II Edisi Maret-April 2002). Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Jawa. Sinaga, Anicetus. (1984). Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius. Siswanto, M. (2007). Tuntunan Karawitan I. Yogyakarta: PML Suharjendro, E. (1994). Sejarah Gereja Pugeran dalam 60 Tahun. Dalam Panitia Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus. Yogyakarta: Winonggo Offset. Susantina Sukatmi. (2001). Inkulturasi Gamelan Jawa, Study Kasus di Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta: Philosophy Press Utomo Wiji. http:// www.duniasastra.com accesed on Februari, 7, 2009. Windhu Marsana. (1997). Mengenal 25 Sikap Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. Winter, CF. (1983). Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan. Wisnu Subroto Sunardi. (1997). Sri Lestari an Introduction to gamelan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

119

LAMPIRAN

1

2 3 HASIL WAWANCARA

4 Hasil Wawancara dengan Ibu Santirini Hendrojati seksi Liturgi paroki Hati Kudus Yesus Pugeran pada tanggal 22 Juni 2009.

Apakah ibu terbantu untuk menghayati Iman dalam perayaan ekaristi yang menggunakan iringan gamelan Jawa?

Mungkin terkait dengan usia, dengan iringan gamelan ibu merasa terbantu untuk menghayatiu iman. Gamelan sekarang tidak mendayu-dayu seperti dulu, gamelan sekarang sangat menyesuaikan dengan kondisi. Ada juga misa bahasa Indonesia dengan iringan gamelan jawa.

Apakah Gereja Pugeran memiliki tujuan / kebijakan khusus terkait dengan penggunaan gamelan sebagai pengiring dalam Perayaan Ekaristi, mengingat penggunaannya sudah berlangsung lama?

Tujuan dan kebijakan karena dari berdirinya Gereja Pugeran adalah Gereja Jawa jadi kita pertahankan untuk mempunyai cirri khas kejawaan. Jadi bagaimanapun kita nguri-uri budaya jawa, karena di lain Gereja kalau orang tidak mau menikmati gamelan bisa di lain Gereja. Tapi orang mau menikmati gamelan hanya ada di Pugeran.

Apakah dari awal berdirinya Paroki Pugeran memiliki kesepakatan tertulis untuk terus menggunakan Iringan Gamelan di setiap misa?

Kesepakatan tidak tertulis, tapi itu terus menerus berlangsung dan tidak ada yang protes, kesepakatan tertulis tidak ada. Misalnya pada hari besar, tidak menggunakan maka banyak umat yang protes. Itu bukan keputusan tertulis tapi memang itu consensus, komitemen dari umat

Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak muda kurang tertarik ikut misa dengan iringan gamelan?

Faktornya karena mereka memandang sangat lelet, mereka tidak begitu dong dengan bahasa Jawa, karena seluruh misa menggunakan bahasa Jawa. kita sangat gembira adanya kelompok gamelan anak2 sd.

Program apa yang akan dikembangkan oleh seksi liturgi untuk kelompok gamelan anak gitararia?

5 Untuk mengembangkan itu mereka sejak sekarang kita beri tugas mereka tenyata senang sekali bisa menabuh gamelan mereka merasa punya kelebihan dari teman2 yang lain, jadi mereka secara rutin kita beri tugas dan mereka menyambut tugas dengan gembira.

Hal-hal apa yang menghambat pengembangan penggunaan gamelan jawa di Paroki Pugeran? Belajar gamelan itu tidak bisa individual, pertama kekompakan, kerjasama, harus terjalin prosesnya lebih lama dari belajar organ. Belajar organ sendiri bisa tapi belajar gamelan sendiri pasti tidak bisa. Jadi, anak-anak muda itu kurang telaten,dan untuk bekerjasaama itu juga bagi mereja dirasa kurang menarik untuk belajar bersama sering sulit karena punya kepentingan sendiri-sendiri.

Peluang apa saja yang terdapat di Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa?

Setiap gereja wilayah memiliki kelompok penabuh gamelan, kami berharap ada kesinambungan kami upayakan dengan kerja keras agar gamelan semakin berkembang. lewat gereja wilayah

Usaha apa saja yang bisa dilakukan Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa?

Kita berusaha menarik umat dan gamelan dibuat tidak begitu nglantur dan lebih dinamis tapi tidak keluar dari pakem. Bisa mengiringi nyanyian bahasa Indonesia, banyak lagu2 pk paul syair bhs Indonesia, tapi cengkok jawa.

Bagaimana tanggapan Romo paroki dengan adanya penggunaan Irirngan Gamelan jawa di Paroki Pugeran?

Romo dimanapun berkarya, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, Romo Tut wuri umat sebagai gembala tut wuri dombanya. Romo tidak bisa mengubah menurut selera mereka harus berusaha ngipuk-ipuk, mengembangkan talenta, kekuatan yang terdapat dalam umat. Sejauh ini belum pernah ada romo yang kontra dengan gamelan. Meskipun mereka harus menyesuaikan dan belajar bahasa Jawa dan nyanyian yang tidak mudah. Wawancara dengan Bapak Wianjono, Ketua Dewan paroki Hati Kudus yesus Pugeran pada tanggal 23 Juni 2009

6 Apakah bapak terbantu untuk menghayati Iman dalam perayaan ekaristi yang menggunakan iringan gamelan Jawa?

Pertama harus dilihat latar belakang Pugeran sejak didirikan, nuansa Jawa masih digemari, Nuansa Jawa lebih bercorak pada penyembahan dari pada pujian syukur yang gegap gempita. Penyembahan bernuansa tenang. Gamelan membawa nuansa ketengan Untuk kalkangan tua itu sangat membantu dalam mereka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga irama gamelan yang tenang membantu mendekatkan diri pada Allah yaitu pada pisowanan seperti di kraton

Apa yang mendasari Paroki Pugeran menggunakan Iringan gamelan sebagai musik pengiring dalam Perayaan Ekaristi hingga saat ini?

Dari Gereja selalu mengupayakan cara-cara apa yang bisa membantu umat untuk benar-benar dalam perjumpaan dengan Allah merasa sreg dan “In”. Salah satunya karena latar belakangnya itu adalah penyembahan, dan umat pugeran senang dengan corak penyembahan, maka kalau hal itu diadakan berarti membantu umat dalam mencapai apa yang diharapkan. Ke Gereja bagi mereka adalah sowan, marak, mendekat pada Tuhan. Dengan digunakannya gendhing jawa dan iringan gamelan maka merka yang datang ke gereja terbantu untuk bisa “in” dan merasa terpenuhi hasratnya untuk meluangkan waktu berjumpa dengan Allah.

Faktor-Faktor apa yang membuat kaum muda kurang tertarik mengikuti misa dengan iringan gamelan jawa?

Nuansa kaum muda sudah berbeda, mereka ingin yang lebih bersyukur dengan sukacita. Gaya penyembahan tidak disukai oleh mereka. Bagi mereka dekat berarti meluapkan sukacita, sedangkan luapan suka cita tidak bisa dilakukan dengan irama gamelan. Gamelan di gereja memiliki corak serba tenang dan tidak menghentak- hentak. Sedangkan mereka suka dengan sukacita yang meluap-luap. Oleh karenanya untuk memetri budaya ini kita memulainya dengan anak-anak. Mereka mulai merawit dan nembang. Kita berharap resapan ini sampai pada mudika. Beberapa lingkungan sudah memulai, sejak rm Wiyana tugas sekitar 2 tahun lalu. Hasilnya, untuk kelompok anak-anak sudah mulai maju. Sedangkan Mudika belum tertarik, mereka senang dengan luapan emosi mereka, dengan sukacita bukan dengan penyembahan. Ini tidak hanya pada lagu namun juga pada devosi ekaristi. Umat yang banyak datang pada acara devosi adalah ibu dan bapak. Jarang sekali ada kaum muda. Ada semacam kerterputusan perubahan gaya orang tua saat ini dan dulu. Saat saya muda dulu saya menyukai gamelan, namun tidak demikian dengan remaja sekarang.

7 Hal-hal apa saja yang menghambat perkembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada liturgi?

Pengrawit/ penabuh gamelannya ternyata lebih banyak yang menikmati dari pada yang main, sehingga setiap kali, hanya daerah pinggiran yang umumnya tertarik untuk itu misalnya daereh sempu, padokan, ngestiharjo. Jadi daerah pinggiran selalu lebih stabil tumbuhnya, namun untuk lingkungan sentral, misalnya kraton, mangkuyudan gereja timur, barat yang masih susah. Mereka menikmati gendhing tapi kurang tertarik untuk memainkannya. Belum menyeluruh yang mau aktif. Demikian juga gendhingnya, mereka menikmati tapi kurang berpartisipasi, tidak ikut nyanyi. Ternyata dalam penghayatan ini perwujudannya ada 2 yaitu menolong umat dalam nuansa menghadap sowan tapi tidak ikut, artinya pasif. Ada juga yang betul2 tidak hanya mau mendengar tapi juga mau memainkan gamelan dan gendhingnya. Kendalam tidak semua umat mau aktif menabuh dan nyanyi gendhing. Sebagian penikmat sebagian aktif.

Peluang apa saya yang terdapat di Paroki Pugeran dalam Pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan ekaristi?

Situasi yang ada di Pugeran dalam berkomunikasi dengan gemabala gereja. Umat pada umumnya menggunakan bahaja Jawa yang halus dalam berkomunikasi dengan Imam. Dengan begitu nuansa kultur jawa masih terasa. Nuansa Jawa yang penuh denhan unggah umngguh tetap terpelihara di pugeran, sejauh anak muda dengan selera seperti, manakala nuansa Jawa tetap terpelihara, maka akan enak. Romo setelah misa tidaj langgusng pulang tapi

Usaha-usaha apa yang dilakukan Paroki Pugeran dalam melestarikan penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

Penggunaan gamelan dan gendhing Jawa tetap dipertahankan ada satu misa di hari miggu yang menggunakan hal itu. Ini dirturunkan dalam generasi-generasi berikut. Harapannya anak-anak ketika remaja dan mudika tetap berlanjut. Setelah jadi remaja dan mudika tetap diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri. Tidak hanya hari minggu, tapi dalam even-even tertentu (Paska, Natal, Hari Raya lain) selalu menggunkana gendhing. Diharapkan remaja dan mudika tetap diberi kesempatan. Dengan begitu ada kelompok orang tua, mudika, remaja dan anak-anak sehingga penggunaan gamelan akan tetap lestari. Wawancara dengan Rm. Antonius Dodit Haryono, Pr Pastor Kepala Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran pada tanggal 24 Juni 2009

8 Bagaimana antusiasme umat dengan penggunaan gamelan jawa sebagai iringan dalam misa di Paroki Pugeran?

Penggunaan gamelan diparoki Pugeran bisa dikatakan biasa-biasa saja karena sudah menjadi rutinitas. Masalahnya petugas yang menggamel dari 84 lingkungan yang ada yang bisa bertugas hanya 9 lingkungan. Akhir-akhir ini sejak rm wiyana bertugas di sini lalu beliau punya kemampuan dalang dan gamel, mulai mengajak kelompok anak-anak dan beberapa kali dipentaskan di berbagai sekolah dan bertugas beberapa kali di Gereja Pugeran. Untuk lingkungan yang sangat minim akan penggamel, maka Rm wiyana menggali kemampuan menggamel di kalamgan anak dan remaja. Namun yang sudah ok adalah anak-anak. Seperti juga di radio ada peminat, demikian juga dengan peminat gamelan juga memiliki penggemar. Kaum muda kurang punya respon yang ok terhadap gamelan. Meskipun gamelan merupakan bagian yang integral dan rutin tapi untuk beberapa lingkungan dari 84 lingkungan yang ada hanya ada 9 yang siap. Kaum muda kesulitan menggunakan bahasa Jawa mereka lebih suka pakai bahasa gaul.

Peluang apa saja yang dimiliki oleh Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan gamelan Jawa?

Mencampur iringan gamelan dengan koor bahasa Indonesia, tidak murni iringan gamelan jawa dengan bahasa Jawa. Hal itu sangat tidak ok dengan rekan-rekan muda. Lalu diberbagai kesempatan pahargyan-pahargyan tertentu digunakan gendhing tapi menggunakan bahasa Indonesia. Nanti tanggal 12 Juli Perayaan Ekaristi puncak syukur 75 tahun Gereja Pugeran, digunakanlah gendhing tapi menggunakan bahasa Indonesia. Gendhing tetap coba ditampilkan dan diberi nuansa yang berbeda. Tidak hanya untuk kaum muda saja tapi juga orang-orang yang dewasa yang bahasanya masih kacau. Kita coba gendhing untuk dimix dgn bhas Indonesia di perayaan tertentu. Memperkenalkan gamelan pada anak2 karena merupakan investasi untuk ke depan, ada juga pelatihan-pelatihan yang ditawarkan, tapi masih saja kurang tanggapan dari kaum muda, hanya yang sepuh2. Anak muda kurang berminat dan serius terhadap gamelan. Masalahnya adalah soal regenasi. Kebanyakan oerang bangga dengan misa yang menggunakan band, kurang mencintai budaya sendiri, berkebalikan dengan orang luar negeri yang tertarik dengan budaya kita. Bayak mereka bilang ngantuk, lama dll. Biasanya misa dengan iringan gamelan berlangsung satu jam 10 menit. Regenerasi adalah usaha yang akan dikembangkan terus menerus.

Kebijakan atau tujuan macam apa yang diambil oleh Paroki Pugeran untuk tetap menggunakan iringan gamelan jawa dalam misa?

9 Dari sejarahnya Pugeran diberkati pada 8 Juli 1934, jauh sebelum KV II (63-65). Pertama kali Gendhing Jawa di masukkan dalam liturgi ekaristi di Gereja Pugeran jauh sebelum KVII (40an). Hal itu diterima, karena konsep Gereja Pugeran adalah konsep Gereja Wong Jawa. Dari gedung gerejanya sudah dapat dilihat adanya konsep Jawa dengan bentuk Joglo dan memiliki tajuk yang merupakan campuran bentuk barat. Joglo sangat jawa sekali. Untuk lebih tahu, dari gedung Gerejanya, filosofi rumah jawa kena semua. Untuk lebih memantapkan maka dimasukkan juga gendhing jawa . Penggunaan gamelan disiarkan oleh RRI. Sehingga sampai kini tetap eksis jam 8 dengan bahasa jawa dan gamelan kecuali ada perubahan Pada jaman itu wong Jawa dengan kekayaan budayanya akan lebih mudah nyantel, meskipun saat itu sebelum konsili vatikan II bahasa yang digunakan adalah bahasa lati, orang Jawa banyak tidak tahu. Shdg dengan bahawa jawa dan gamelan umat lebih mengetahui dan memahami. Gereja Pugeran yang pertama kali memasukkan Gendhing Jawa dalam PE.

Harapan dan usaha-usaha apa yang dikembangkan di Paroki Pugeran untuk melestarikan penggunaan gamelan Jawa dalam peribadatan?

Saat ini memang ada ketegangan, di satu pihak ingin melestarikan budaya Jawa yang adi luhung, tapi di lain pihak banyak umat yang mengurung diri yang tidak sungguh bangga dgn kekayaan budaya. Gerakannya baik tapi lama-lama kalau tidak dipahami bahwa ini merupakan suatu kekayaan pengungkapan iman, maka ini seperti museum, indah, baik tapi hanya tontonan padahal harusnya menjadi tuntunan, bukan hanyan tontonan sekedar show sehingga tidak merasuk dalam hati. Sementara di Pugeran yang bisa nggendhing hanya beberapa kelompok, dari 84 lingkungan hanya 9 lingkungan yang bisa itu hanyalah beberapa persen saja. Dalam 75tahun paroki saya mengajak untuk menambah khasanah lagu-lagu Jawa. Karena lagu-lagu Jawa lebih sedikit dari yang diatonis. Ada lomba membuat lagu pentatonic dan diatonis, adanya pelatihan lector bahasa jawa dan menarik kaum muda untuk mengenal bahasa Jawa dan gamelan Jawa. Banyak anak yang lebih menyukai bahasa inggris, mandarin, Jepang karena bisa menjual. Kita juga punya gamelan yang mempunyai aspek-aspek sosial yang kaya, harus dimainkan bersama-sama sehingga menbangun persaudaraan, kerukunan, persatuan dan kebersamaan. tidak seperti organ yang individual.

10 Wawancara dengan Romo J.B Fitri Gutanto, Pr pada tanggal 3 Juli 2009. Beliau bertugas sebagai Pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran sejak 1 Agustus 2006 hingga saat ini (2009).

Bagaimana antusiasme umat di Pugeran terhadap penggunaan Gendhing dan gamelan Jawa?

Gereja Katolik Pugeran menyelenggarakan misa dengan menggunakan iringan gamelan Jawa dan gendhing Jawa setiap hari minggu pukul 08.00 pagi. Mungkin Gereja Pugeran adalah satu-satunya gereja di Keuskupan Agung Semarang yang secara rutin menggunakan iringan gamelan Jawa tiap minggunya. Hal ini terpelihara dengan baik di Paroki Pugeran. Misa ini menjadi daya tarik bagi kaum tua dan keluarga-keluarga muda di Paroki Pugeran. Namun bagi kaum muda misa ini kurang menjadi daya tarik. Dalam perayaan-perayaan penting misalnya Natal, Paskah, dan Pesta-pesta besar lain, gereja Pugeran senantiasa menggunakan gamelan sebagai iringan. Meski tidak terlalu banyak peminat, tampaknya misa ini tetap menjadi kebanggaan di Paroki Pugeran.

Apa penyebab kurang tertariknya akaum muda terhadap misa dengan gendhing dan gamelan Jawa (dari segi iringan atau bahasanya)?

Sebagian besar umat di Paroki Pugeran memilih misa dengan bahasa Indonesia karena dirasa mudah dimengerti.

Kesulitan apa saja yang dialami oleh Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan gendhing dan gamelan Jawa dalam peribadatan?

Kesulitan yang dialami sehubungan dengan penggunaan gamelan Jawa di Paroki Pugeran adalah soal regenerasi. Saat ini tidak semualingkungan mau dan berani bertugas dengan menggunakan gendhing. Di sisi lain para pengiringnya sudah tua . Lalu setelah Romo Wiyana datang, ia melatih anak-anak dan sering bertugas untuk mengiringi misa. Romo juga melatih kaum muda namun belum siap digunakan.

Peluang dan usaha apa yang ada di Paroki Pugeran untuk mempertahankan atau mengembangkan penggunaan gamelan Jawa?

Usaha yang dilakukan adalan mencoba menggarap iringan gemalan secara lebih modern. Gamelan yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1958 menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Pugeran. Selain metode gamelan klasik juga mulai diusahakan metode alternative diatonis agar lebih segar sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri. Ga,melan tidak hanya untuk mengiringi misa berbahasa Jawa tapi juga misa dengan berbahasa Indonesia. Gereja Pugeran bekerjasama dengan ISI

11 memberikan pelatihan gratis bagi remaja dan kaum muda baik di wilayah Pugeran sendiri dan Wilayah Gunung Sempu.

Bagi romo sendiri apakah budaya Jawa dalam hal ini gendhing Jawa dan gamelan Jawa mampu memberi daya/ kekuatan untuk menjalani tugas romo sehari-hari?

Gamelan memberi nuansa yang melekat di hati masyarakat. Hal itu juga saya alami. Adanya rasa hormat yang mendalam pada orang-orang kudus. Ada rasa yang berbeda ketika saya mempersembahkan misa dengan bahasa Indonesia dan misa dengan bahasa Jawa. Faktor budaya dalam hal ini budaya Jawa memberi sentuhan yang khas sehingga saya merasa lebih mantap. Bahasa mampu mengajak orang mengalami relasi yang berbeda. Misalnya doa Salam Maria dan Sembah Bekti. Pada kalimat “Salam Maria” dan “Sembah Bekti Kawula Dewi Maria”. Akan terasa lain jika saya mengucapkan dengan bahasa Jawa. Hal itumenimbulkan rasa sangat hormat pada orang kudus. Saya datang ke gereja seperti saya sowan terhadap Raja. Ada suatu sikap hormat. Bagi orang yang dekat dengan budaya Jawa, hal ini akan mendukung penghayatan, tapi bagi yang tidak dekat dengan budaya Jawa hal ini tidak mendukung. Iman dihayati dalam bahasa orang beriman. Orang yang biasa berbahasa Jawa akan mendalami iman dalam Bahasa Jawa. Perlu diingat bahwa Religiositas itu menyentuh sisi harian tapi juga menyentuh sisi asing yang memberi makna yang sacral. Religiositas menyentuh sisi harian hal ini dapat dilihat dalam penggunaan bahasa Jawa dan juga gendhing Jawa dalkam misa, tapi juga menyentuh sisi asing seperti penggunaan roti dan anggur dalam misa.

Menurut Pengamatan Romo apakah kehadiran Budaya Jawa dalam hal ini Gendhing, Gamelan Jawa mampu membantu umat menghayati imannya?

Semua harus kita lihat sesuai konteksnya. Bagi umat yang dekat dan kental dengan budaya Jawa tentu hal ini sangat membantu, tapi bagi umat yang tidak dekat bahkan tidak kenal dengan budaya maka hal ini tidaklah membantu.

12 Wawancara dengan Bapak Sepnu (50 tahun) Umat wilayah Gunung Sempu. Pekerjaan sehari-hari sebagai karyawan di Fakultas Geografi UGM, selain itu ia adalah seorang seniman Yogyakarta dan aktivis Gereja.

Apakah bapak terbantu menghayati iman dalam Perayaan Ekaristi dengan menggunakan iringan gamelan?

Karena saya sudah tua maka saya lebih bisa merasakan. Saat saya masih muda berusia di bawah 30 tahun saya juga kurang menyukai gamelan.

Hal apa saja yang bapak peroleh selama mengikuti Perayaan Ekaristi?

Saya merasakan setelah 3 tahun mulai bisa merasakan sesuatu yang saya tidak tahu itu apa, hal itu beda. Itu saya ikuyi dari awal sampai akhir mengalami merasakan . Ada sesuatu hal yang saya dapatkan, saya semangat, gembira, percaya, ketenangan dan segala macam.

Apakah hal itu berpengaruh dalam hidup bapak sehari-hari?

Saya menjadi manusia merdeka. Tidak terpengaruh oleh yang ada diluar tapi juga tidak masa bodoh, saya percayta dan saya alami Allah selalu beserta kita.

Apakah Inkulturasi dalam Gereja benar-benar membantu bapak menjadi 100%Katolik?

Seharusnya begitu namun akan menjadi bahaya menurut saya jika inkulturasi hanya sekedar….Pernah ada ide “mubeng beteng” yang merupakan tradisi Jawa. Karena Gereja merupakan warga masyarakat, ingin juga melakukan ritual “mubeng beteng” dengan membawa panji2 kristiani ( misalnya salib). Pertama kita harus tahu arti “mubeng beteng”. “Mubeng beteng” adalah “mubengi dhampar ratu” kalo kita melakukan hal itu dengan membawa salib berarti kita kalah dengan “ratu”. Kita punya tabernakel kenapa tidak mubengi Gereja. Sama-sama tradisi. Terkadang inkulturasi hanyalah asal tempel yang akhirnya menjadi tidak pas.

Apakah Dengan Budaya Jawa Bapak terbantu menjadi orang Katolik?

Jawa adalah olah rasa, katolik juga banyak pada oleh rasa sama-sama melaksanakan tapi akan beda. Yang membedakan adalah rasa Yang diolah rasa bukan apa yang terlihat tapi yang tidak terlihat yaitu hatimu.

13 Wawancara dengan Ibu Ch Rini Suharsih umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Wilayah Padokan pada tanggal 4 Juli 2009. Sehari-hari bekerja sebagai Kepala Sekolah SMA Stella Duce II. Beliau adalahseorang aktivis Gereja.

Apa yang Ibu rasakan ketika mengikuti misa dengan iringan gamelan Jawa?

Sejak kecil saya memang suka dengan Kebudayaan Jawa khususnya Gamelan Jawa. Saya bisa lebih ngeh dengan bahasa Jawa dan iringan, karena jika saya rasakan lagu- lagu dan syairnya sangat menyentuh.

Hal-hal apa saja yang ibu dapatkan setelah mengikuti misa dengan bahasa Jawa?

Tiap kali mengikuti Ekaristi tidak hanya di Gereja Pugeran saya merasakan adanya kedamaian, saya merasa bahwa Tuhan senantiasa menyertai hidup saya dan juga memberi kekuatan dalam menempuh hidup dan memberi kekuatan untuk melaksanakan tugas-tugas yang saya emban.

Lalu hal tersebut memberi Pengaruh apa bagi karya Ibu di bidang pendidikan juga dalam idup sehari-hari?

Dengan menerima ekaristi dan tubuh kristus seperti saya telah katakan hal itu memberi kekuatan bagi hidup saya. Saya merasa yakin bahwa apa yang saya lakukan dan saya dapatkan dalam hidup tidak lepas dari campur tangan Tuhan sendiri. Dan saya akan mengabdikan apa yang saya miliki untuk memuliakan nama Tuhan. Mengajak siapapun untuk merasakan kasih. Di lingkungan Jogonalan lor iringan….mencoba menghayatiajaran katolik dalam budaya Jawa yang ada. Serig mengadakan macapat dengan menggubah bacaan Ks dalam macapat. Kami mengundang para penggemar macapat untuk menyanyikan syair dari KS yang digubah dalam macapat. Akhirnya ,mereka merasakan syair yangaada dalam lagu2 macapat menyentuh, sehingga banyak umat yang mulai tertarik untuk menjadi katolik dan itu bukan merupakan paksaan kami. Dulu yang menabuh gamelan tidak hanya katolik, melalui hal itu mereka tertarik. Hal itu dirasa menjadi keberhasilan, ternyata melalui kebudayaan kami turut mangrasul mewartakan Kabar Gembira pada banyak orang. Sehingga sebagian bersar umat di Jogonalan lor sekarang banyak yang katolik. Saat ini juga dalam kepengurusan PKK, panitia kegiatan-kegiatan tertentu banyak juga orang katolik, kami saling menghargai dan tidak membeda-bedakan.

Apakah melalui kebudayaan Jawa apakah mampu menjadikan ibu Katolik 100%

14 Saya menjadi katolik 100% dan saya ingin menjunung kebudayaan di daerah ini. Sesuai dengan pesan almarhum bapak untuk mengembangkan budaya Jawa karena kami juga memiliki seperangkat gamelan, sukur2 itu bisa nenjadi sarana untuk mewartakan kabar gembira. Kami sekeluarga mendirikan Bebana……kami mendirikan berbagai kursus misalnya macapat, bahasa Jawa, karawitan. Kebetulan di Wilayah Padokan saya menjadi Seksi Liturgi, saya mulai kembangkan misa di Padokan dengan menggunakan iringan gamelan 2 kali sebulan tidak hanya dengan bahasa Jawa tapi juga dengan Bahasa Indonesia.

15 Sejauh Romo melihat apakah penggunaan gendhing Jawa, Bahasa Jawa mampu memeri pengaruh bagi umat Paroki Pugeran?

Saya kira tergantung orang mendengar dan orang menikmati. Ada orang yang bisa menikmati gamelan menjadi sesuatu yang enak ada juga orang yang tidak rterbiasa menikmati gamelan dari kecil merasa gamelan tidak cocok untuk saya. bagi yang ocok ia bisda menikmati gamelan sewaktu2. Hal itu tidak bisa dipaksakan. Bagi umat yang dekat dengan gamelan hal itu memberi pengaruh tapi bagi orang yang tidak biasa menikmati gamelan maka itu tidak memberikan pengaruh. Makin langka orang memiliki gamelan makin sedikit orang yang menikmati. Bagi generasi muda yang kurang menikmati ya gamelan tidak memberikan pengaruh apa2. Ada juga orang2 eropa yang terbiasa dengan musik, yang mendengar dan menikmati, mereka akan belajar dan mampu memainkan melebihi dari orang Jawa. Pernah ada orang Perancis mendengar uyon-uyon gamelan Jawa menikmati gamelan dari bunyi masing-masing komponen, ia seperti mendengar suara surga. Saya belum pernah mengadakan survey pada umat Pugeran, tapi saya melatih sekelompok anak muda. Sekelompok anak-anak muda , saya amati setelah saya melatih, mereka mempunyai kepekaan musik karena mereka dulu adalah anak2 kelompok menyanyi. Tahun 2007 saat saya memimpin misa lingkungan kebetulan anak2 gitararia bertugas koor, saya tawari mereka belajar gamelan. Setelah mereka mengenal musik gamelan, mereka seneng apalagi setelah mereka bisa memainkan musik gamelan bersama-sama. Jika satu minggu saja mereka tidak bertemu, mereka akan memaksa ibu mereka supaya mereka bisa latihan gamelan. Demi bermain gamelan dengan teman-teman, mereka mau belajar dahulu baru baru bermain gamelan. Buktinya dalam satu semester nilai mereka meningkat. Dalam kelompok gamelan anak2 saling memperhatikan suara, mereka saling memperhatikan suara . Hal itu membuat anak2 memperhatikan gurunya dalam kelas juga teman2nya satu kelas. Teman-teman mereka pun juga rata- rata nilainya naik. Sampai sekarang mereka aktif dan sering diminta tugas lingkungan lain untuk tugas. Ada anak yang tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar, oleh orang tuanya imasukkan ke dalam kelompok gamelan. Ia terbiasa mendengarkan musik gamelan dan harus menyesuaikan dengan yang lain. Hal itu membuat anak mampu bersosialisasi dengan yang lain.

16 Hasil wawancara hari minggu tanggal 31 Mei 2009

IQBAL (23) LUAR JAWA Bagaimana perasaan mas setelah mengikuti misa dwengan Bahasa dan iringan gamelan jawa?

Karena masih baru dan baru dengar sekali ini saya merasa beda dengan sebelunya dan harus saya ikuti

Apakah Anda terbatu bertemu dengan Tuhan saat mengikuti misa dengan Bahasa Jawa?

Saya lihat dari renungannya sangat menyentuh sekali membuat saya kuat dan tabah.

IBU WIWIK (40)dari Ngestiharjo Kidul Apakah Anda terbantu bertemu dengan Tuhan pada saat mengiukuti misa dengan iringan gamelan Jawa?

Lebih sering dengan kidungan jawa , nuansa Jawa lebih merasakan kehadiran, Iringan inisangat mempengaruhi penghayatan saya.

17 VENNY (22TH) Apakah Anda terbantu bertemu dengan Tuhan pada saat mengiukuti misa dengan iringan gamelan Jawa? Saya sejak dulu ada ketertarikan dengan gamelan, saya terbantu meskipun kadang saya tidak mengerti tapi saya bisa menikmati.

VALENTINUS SARIJO (50) Apakah Anda terbantu bertemu dengan Tuhan pada saat mengiukuti misa dengan iringan gamelan Jawa? Sangat membantu karean G. Pugeran beruansa Jawa jadi disesuaikan dengan tradisi umat setempat. Keuskupan Agung Semarang Pugeran ditunjuk center Gereja bercorak kejawen, Gamelan mendukung sekali untuk liturgi dalam ibadat umat.

Sebelum bertugas misa latihan koor dengan iringan gamelan dilakukan berapa kali? Latihan 3-4 kali latihan rutin satu bulan sekali untuk memperlancar pengrawit/ penabuh

18 Bagaimana Proses masuknya Gamelan Jawa dalam Liturgi khususnya di Paroki Pugeran?

Pada waktu itu sebelum Konsili Vatikan II monseignur SP mempunyai gagasan. Mgr. SP adalah orang yang nasionalis, patriot, anjurannya pada umat diharapkan menjadi katolik yang 100% dan juga menjadi warga negara yang baik 100%. Terkenal yang patriot, nasionalis, lalu dengan jiwanya yang patriot dan nasionalis, teringat dengan budayanya sendiri yaitu seni dan budaya Jawa. Bahwa seni dan budaya jawa tingkatannya tinggi dan mrpk. Seni budaya yang adi luhung. Mgr mpy gagasan memadukan antr. Seni budaya dan iman lalu gagasannya itu bahwa seni dan budaya jawa itu bisa untuk mewadahi iman yang berupa liturgi/ cara-cara memuliakan Tuhan di Gereja, lalu mempunyai harapan supaya lagu-lagu Gereja yang sungguh2 sangat asing bg. Para pribumi Jawa karena bahasanya masih bahasa latin, lagu Gregorian, sangat asing, alangkah baiknya apabila seni dan budaya jawa bisa dimanfaatkan untuk upacara di gereja memiuliakan tuhan shg lbh dekat di hati menyebabkan juga cara penyembahan lebih khusuk karena dibungkus oleh kebudayaan sendiri yaitu Jawa. Karena gagasan itu lalu mgr SP memanggil tokoh2 ahli karawitan, mereka dihimpun dan diberi tugas mengarang pepudyan suci: lagu-lagu Gereja yang menggunakan musik Jawa, dilakukan pada th 1946. Dari Jogja sini yang ditujuk yang saya ingat ada 7 orang: Ketua Rm. Hardjawardjaja, Pr; rm Zoet Moelder SJ; Bp C. Hardjasoebrata, F Atmadarsana, Bp. Sastrapustaka berasal dari kraton, Bp. YB Sukodi, PY Marsudi, diberi dokumen/ surat pengangkatan untuk mengarang lagu. Situasi sebelum tahun itu 56 memang ada awam yang sngt aktif yaitu bp c hardjasubrata mengarang lagu gereja dengan iringan gamelan. Dimulai tahun 29 bp harjasubrata mengarang lagu gereja dengan iringan musik gamelan. Saat mgr melihat itu sbg nasionalis dan patriot ingn mengembangkan maka dibentuk panitia pengarang, lalu stl dibentuk panitia mulai bekerja didapat komposisi baru dan mulai hasilnya terbit tahun 59. Lagu yang disahkan paniatia berjumlag 12 judul. Bp atmadarsana dengan 1 set lagu ordinarium, kriale, tatum ergum, Bapak harjasubrata mengarang 1 set lagu ordinarium beberapa lagu escavitorium.

Bagaimana Proses Penetapan Pugeran Sebagai Gereja yang menggunakan Iringan Gamelan sehingga dapat berjalaan seperti sekarang? Sebetulnya tidak hanya pugeran kebetulan Pugeran dekat dengan kraton masih memiliki tradisi budaya jawa yang kental dan memiliki seniman2 yang mengerti perkara gamelan sehingga memungkinkan setiap mingu mengadakan misa dengan menggunakan iringan gamelan, sayang sekali dengan surutnya bahasa jawa makin tidak dimengerti dan dikenal angkatan muda, lalu makin terpinggirkan. Di gereja- gereja lain riwayatnya juga spt itu karena adatnya sudah tidak lagi menggunakan bahasa jawa, gemelan tersingkir. Pakai musik gamelan lama, ngantuk. Ini tantangan bagi generasi muda sekarang, inkulturasi sudah dirintis, sudah jalan tinggal melestarikan…mampukah Anda??? Kalo ketetapan pugeran sebagai ditunjuk untuk

19 melestarikan ibadat dgn gamelan, tidak ada bukti tertulis, mungkin hanya ucapan lisan saja, kerena itu yang bisa dikatakan banyak fasilitas dan pendukungnya. Kala itu ketuanya adalah Rm P hardjawardjaja yang ditugaskan di Pugeran. Saat itu ada instansi yang diminta mengesahkan lagu2 yang diketuai oleh Rm Adisudjono, MSF.

20