1

ANALISIS STATUS PENCEMARAN PERAIRAN DENGAN BIVALVIA SEBAGAI BIOINDIKATOR DI PANTAI PENDARATAN DESA JARING HALUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA

SATRIA 150302029

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

Universitas Sumatera Utara 2

ANALISIS STATUS PENCEMARAN PERAIRAN DENGAN BIVALVIA SEBAGAI BIOINDIKATOR DI PANTAI PENDARATAN DESA JARING HALUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

SATRIA 150302029

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

Universitas Sumatera Utara 3

ANALISIS STATUS PENCEMARAN PERAIRAN DENGAN BIVALVIA SEBAGAI BIOINDIKATOR DI PANTAI PENDARATAN DESA JARING HALUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

SATRIA 150302029

Skripsi Ini Sebagai Salah Satu Diantara Beberapa Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

Universitas Sumatera Utara 4

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

SATRIA. Analisis Status Pencemaran Perairan Dengan Bivalvia Sebagai Bioindikator Di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Dibawah bimbingan RUSDI LEIDONALD.

Pantai Pendaratan adalah salah satu perairan yang terdapat di Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat dengan berbagai aktifitas di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Status Pencemaran Perairan dengan Bivalvia sebagai Bioindikator di pantai Pendaratan Desa Jaring Halus, mengetahui hubungan parameter lingkungan dengan keanekaragaman Bivalvia serta mengetahui kondisi perairan pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Berdasarkan kurva ABC (Abundance and Biomass Comparision)dan berdasarkan Indeks Storet. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2018. Penentuan lokasi pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling pada 3 stasiun pengamatan. Pengambilan Bivalvia digunakan metode kuadrat/plot berpetak. Panjang transek 10 meter dengan ukuran kuadrat 1m x 1m dengan banyak 3 plot setiap stasiun. Hasil penelitian yang didapatkan terdapat 4 spesies yaitu Anadara granosa, Mactra grandis, Meretrix meretrix, Tellina remies. Keanekaragaman bivalvia termasuk dalam kategori keanekaragaman rendah untuk stasiun II sebesar 0.38 dan stasiun II sebesar 0.89 namun pada stasiun I sebesar 1.11 dikategorikan keanekaragaman sedang. Dan menurut PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan dengan menggunakan Indeks Storet menyatakan bahwa kondisi Perairan Pantai Pendaratan Desa jarring Halus dinyatakan tercemar dalam kategori “sedang” dan berdasarkan kurva ABC (Abundance and Biomass Comparison) menyatakan bahwa kondisi perairan dinyatakan tercemar dalam kategori “sedang” dengan kurva kepadatan dan biomassa yang saling tumpang tindih.

Kata Kunci: Perairan Pantai Pendaratan, Bivalvia, Kurva ABC, Parameter Lingkungan, Indeks Storet,

i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

SATRIA. Analysis Status of Water Pollution With Bivalvia as a Bioindicator On the Beach Pendaratan Jaring Halus District Secanggang Langkat Regency of Province. Under the guidanced by RUSDI LEIDONALD.

Pantai Pendaratan is one of the water contained in the Jaring Halus Village Secanggang Langkat with various activities in the vicinity. This study aims to determine the status of Water Pollution with bivalves as bio-indicators on the Pendaratan Beach Jaring Halus Village determine the relationship of environmental parameters with the diversity of bivalves and determine the condition of the coastal waters of the Pendaratan Beach Jaring Halus Village Based on the curve ABC (Abundance and Biomass Comparision) and based on Storet index. This research was conducted in June-July 2018. The determination of the location of the sampling method purposive sampling at three observation stations. Decision bivalves used sampling method purposive sampling at three observation stations. Decision bivalves used sampling method purposive sampling at three observation stations. Decision bivalves used squares method / terraced plots. Transect length 10 meters with a size of 1m x 1m squares with many 3 plots each station. Research results obtained there are four species, namely Anadara granosa, Mactra grandis, Meretrix meretrix, Tellina Remies. Included in the category lower diversity for the second station at 0,38 and the station II of 0,89 but at the station at 1,11 categorized diversity. And according to PP 82 of 2001 on Water Quality Management and Water Pollution Control, and using Storet Index states that the conditions Bodies Pendaratan Beach Jaring Halus Village declared contaminated nets in the category "medium" and based on the curve ABC (Abundance and Biomass Comparison) stating that the conditions stated polluted waters into the category of "moderate" with the density and biomass curves overlap.

Keywords: The Coastal of Pendaratan Beach, Bivalves, curve ABC, Environmental Parameters, Storet index.

ii

Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padangsidimpuan pada tanggal

01 September 1996 dari Ayahanda H. Rahmadi dan

Ibunda Almh. Kurnia Ningsih. Penulis merupakan anak

pertama dari dua bersaudara.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD

Negeri 200201/4 Kelurahan Ujung Padang Kota

Padangsidimpuan pada tahun 2003–2009 dan pendidikan menengah pertama ditempuh dari tahun 2009–2012 di SMP Swasta Nurul `Ilmi

Padangsidimpuan. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA

Swasta Nurul `Ilmi Padangsidimpuan dengan jurusan IPA pada tahun 2012–

2015.

Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2015.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Konservasi Penyu Pantai

Binasi Kecamatan Sorkam Barat, Sumatera Utara.

Selain mengikuti perkuliahan penulis juga menjadi asisten Laboratorium

Ekosistem Perairan Pesisir pada tahun 2017-2018, asisten Laboratorium

Pengelolaan Pesisir Terpadu pada tahun 2018-2019.

iii

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Analisis Status Pencemaran Perairan Dengan Bivalvia Sebagai

Bioindikator di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan

Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada ayahanda

H. Rahmadi dan ibunda Almh. Kurnia Ningsih atas kasih sayang, dukungan doa, materi dan semangatnya sehingga ananda dapat menyelesaikan studi ini. Kepada adik saya Annisa Amalia, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang diberikan, serta kepada seluruh keluarga.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak. Dr. Ir. Hasanuddin, M.S selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Eri Yusni, M.Sc selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan dan Bapak Rizky Febriansyah Siregar S.Pi., M.Si selaku sekretaris

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.

iv

Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Rusdi Leidonald, S.P., M.Sc selaku dosen pembimbing, Ibu Dr. Eri

Yusni, M.Sc dan Ibu Ipanna Enggar Susetya, S.Kel., M.Si selaku dosen penguji

yang telah memberikan masukan, saran, dan ilmu yang berharga bagi penulis.

4. Seluruh Dosen Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas

Pertanian Sumatera Utara, dan staf tata usaha Bapak Ashari Wardana.

5. Fany Nurhidayah Ningsih yang telah membantu dan menjadi penyemangat

penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

6. Team Jaring Halus, M. Bayu Prastama Manurung, Tia Angraini, Dayun Ifanda,

Ronald Prayogo, yang selalu menemani dan memberikan semangat kepada

penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

7. Dwiki Utama Nazar, Desnita Ayu, Nathania Sitompul, Loventia, Nina Puspita

Sari, Vicky Syaaidil Hafid Lubis yang selalu menemani dan memberikan

semangat kepada penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

8. Febri Hermawan, Syahirul Alim, Reza Fahlevi Pohan, yang selalu menemani

dan memberikan semangat kepada penulis selama penelitian hingga selesainya

skripsi ini.

9. Seluruh teman-teman MSP Angkatan 2015 yang telah bersama selama 4

tahun, terima kasih atas semua bantuannya.

10. Seluruh teman sepejuangan Keluarga besar Himapikani yang telah

memberikan semangat kepada penulis selama penelitian hingga selesainya

skripsi ini.

11. Seluruh teman seperjuangan Keluarga Besar IMAKOPASID USU POLMED

yang telah memberikan semangat kepada penulis selama penelitian hingga

selesainya skripsi ini.

v

Universitas Sumatera Utara

12. Seluruh senior MSP yang telah memberikan pembelajaran di Laboratorium

dan junior MSP yang telah memberikan semangat dan dukungannya.

Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang Manajemen

Sumberdaya Perairan.

Medan, November 2019

Satria

vi

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii RIWAYAT HIDUP ...... iii KATA PENGANTAR ...... iv DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR GAMBAR ...... ix DAFTAR TABEL...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ...... 1 Rumusan Masalah ...... 2 Kerangka Pemikiran ...... 3 Tujuan Penelitian ...... 5 Manfaat Penelitian ...... 5

TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Pantai ...... 6 Pencemaran Air ...... 7 Karakteristik Bivalvia ...... 8 Bivalvia Sebagai Bioindikator ...... 10 Parameter Fisika Kimia Pendukung Kehidupan Bivalvia ...... 11

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ...... 18 Alat dan Bahan ...... 19 Deskripsi Setiap Stasiun Pengamatan Stasiun I ...... 19 Stasiun II ...... 20 Stasiun III ...... 20 Prosedur Penelitian ...... 21 Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan ...... 21 Pengambilan Sampel Bivalvia ...... 21 Identifikasi Bivalvia ...... 22 Analisis Data Kepadatan Populasi ...... 22 Kepadatan Relatif ...... 23 Indeks Keanekaragaman (H´)...... 23 Indeks Keseragaman (E) ...... 24 Indeks Dominansi (C) ...... 25 Analisis Substrat ...... 26 Penentuan Status Mutu Air dengan Metode STORET ...... 25 Analisis Kurva Abundance and Biomass Comparison (ABC) ...... 27

vii

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kepadatan Populasi (K) ...... 29 Kelimpahan Relatif (KR) ...... 30 Indeks Keanekaragaman (H´), Keseragaman (E) dan Dominansi(C) ...... 31 Parameter Lingkungan Perairan ...... 31 Tekstur Substrat Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus...... 32 Sifat Fisika Kimia Pantai Pendaratan desa Jaring Halus Berdasarkan Metode Storet ...... 32 Analisis Kurva Abundance and Biomass Comparision ...... 33

Pembahasan Komposisi Bivalvia ...... 35 Kepadatan Populasi (K) dan Kepadatan Relatif (KR) Bivalvia 36 Indeks Keanekaragaman (H´), Keseragaman (E) dan Dominansi(C) ...... 38 Parameter Lingkungan ...... 39 Sifat Fisika Kimia Pantai Pendaratan Berdasarkan Metode Storet ...... 43 Kondisi Perairan Berdasarkan Kurva Abundance and Biomass Comparison (ABC) ...... 46 Rekomendasi Pengelolaan ...... 45

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...... 47 Saran ...... 47

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

viii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...... 4

2. Peta Lokasi Penelitian ...... 18

3. Stasiun I ...... 20

4. Stasiun II ...... 20

5. Stasiun III ...... 21

7. Kepadatan Populasi Bivalvia ...... 30

8. Kurva ABC pada stasiun I...... 34

9. Kurva ABC pada stasiun II ...... 34

10.Kurva ABC pada stasiun III ...... 35

ix

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Alat dan Bahan Penelitian ...... 19

2. Penentuan Status Mutu Air dengan Indeks Metode Storet ...... 26

3. Penetapan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Perairan...... 26

4. Komposisi Bivalvia Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian ...... 29

5. Kepadatan Relatif Bivalvia ...... 30

6. Indeks Keanekaragaman (H´), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks

Dominansi (C) ...... 31

7. Parameter Lingkungan Perairan yang didapatkan Selama Penelitian ..... 32

8. Analisis Substrat Dasar ...... 32

9. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Tanjung Berdasarkan

Metode Storet ...... 33

x

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Alat dan Bahan Penelitian ...... 54

2. Kegiatan Penelitian ...... 56

3. Penentuan Tekstur Substrat ...... 57

4. Gambar Bivalvia ...... 58

5. Biomassa Bivalvia ...... 59

xi

Universitas Sumatera Utara 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Desa Jaring Halus merupakan desa pesisir yang terletak di Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat. pada lokasi ini terdapat ekosistem mangrove yang berada dekat dan berbatasan dengan pemukiman warga dan laut. Desa ini merupakan sebuah perkampungan yang letaknya jauh dari pusat kota. Desa ini berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut yang didominasi oleh tumbuhan mangrove. Hutan mangrove yang berada di desa ini dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di perairan tersebut ditemukan beberapa jenis bivalvia.

Bivalvia merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai gizi yang lengkap. Selain mengandung protein hewani yang relatif tinggi, Bivalvia juga mengandung asam-asam lemak tidak jenuh essensial dan mineral yang diperlukan oleh tubuh manusia. Bivalvia juga memliki nilai ekologis yang luar biasa dengan cara memakan polutan termasuk logam berat yang tersuspensi dalam perairan. Di samping itu, kemampuan hidupnya yang relatif lebih tahan terhadap polutan dibanding ikan mampu hidup dalam lumpur yang kering saat musim kemarau membuat Bivalvia amat tepat dimanfaatkan sebagai pembersih lingkungan, apalagi kerang bisa membersihkan polutan logam berat relatif cepat

(Fitrianti, 2014).

Kerang-kerangan adalah biota yang biasa hidup di dalam substrat dasar perairan (biota bentik) yang relatif lama sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas perairan. Biota ini juga merupakan salah satu

Universitas Sumatera Utara 2

komunitas yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Masukan buangan ke dalam badan perairan akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat mempengaruhi keberadaan pencemaran dan bahan-bahan yang essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan dan mempengaruhi struktur komunitas bentik termasuk bivalvia (Insafitri, 2010).

Banyaknya pencemar pada air limbah akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air tersebut. Sehingga akan mengakibatkan kehidupan biota dalam air yang membutuhkan oksigen terganggu serta mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula disebabkan adanya zat beracun. Salah satu biota yang terdapat di Perairan Desa Jaring Halus

Kabupaten Langkat adalah sejenis kelompok Bivalvia.

Aktivitas yang dilakukan di Desa Jaring Halus akan berpengaruh terhadap keanekaragaman bivalvia dan kualitas air. maka perlu dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman dan kualitas air yang terdapat di perairan tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keadaan alam kita terutama keanekaragaman bivalvia dan kualitas air di Perairan Desa

Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Rumusan Masalah

Aktivitas masyarakat di Perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus banyak dilakukan masyarakat sekitar dengan menangkap ikan, limbah rumah tangga masyarakat sekitar dan kegiatan pariwisata, dari kegiatan tersebut akan mempengaruhi keanekaragaman bivalvia yang terdapat diperairan tersebut.

Bivalvia umumnya dapat menggambarkan kondisi perairan, sehingga

Universitas Sumatera Utara 3

keberadaannya sering dijadikan indikator kualitas perairan. Sejauh ini belum ada diketahui bagaimana kondisi fisik kimia dan keberadaan jenis serta keanekaragaman bivalvia pada perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus.

Maka dari itu diperlukan pengamatan di lapangan. Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Seberapakah besar keanekaragaman bivalvia pada Perairan Pantai Pendaratan

Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi

Sumatera Utara.

2. Seberapakah besar dampak kondisi perairan pada Perairan Pantai Pendaratan

Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera

Utara berdasarkan kurva Abundance and Biomass Comparasion (ABC).

3. Seberapakah besar status pencemaran air pada Perairan Pantai Pendaratan

Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat berdasarkan

Indeks Storet.

Kerangka Pemikiran

Perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Sicanggang

Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara merupakan pantai yang mempunyai aktivitas penting yaitu aktivitas rumah tangga dan aktivitas nelayan dan dikelilingi oleh hutan mangrove. Diduga akibat aktivitas yang terdapat di Pantai Pendaratan

Desa Jaring Halus mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan baik secara fisika, kimia dan biologi berupa bivalvia. Oleh karena itu diperlukan analisis lingkungan perairan dengan menggunakan parameter kualitas air dan keanekaragaman bivalvia untuk mengetahui jenis bivalvia dan kondisi

Lingkungan Perairan yang terdapat di Pantai Desa Jaring Halus serta mengetahui

Universitas Sumatera Utara 4

rekomendasi pengelolaan yang berkelanjutan. Secara ringkas kerangka pemikiran

dapat dilihat pada Gambar 1.

Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus

Aktivitas Rumah Tangga Aktivitas Nelayan Aktivitas Transportasi Laut

Analisis Lingkungan Perairan

Parameter Fisika- Kimia Keanekaragaman Bivalvia - Suhu - Kepadatan Populasi (K) - Kecerahan - Kepadatan Relatif (KR) - pH - Indeks Keanekaragaman (H’) - Oksigen Terlarut (DO) - Indeks Keseragaman (E) - Salinitas - Indeks Dominansi (C) - N-Total

- Fosfat

Kondisi Lingkungan Perairan

Rekomendasi Pengelolaan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara 5

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui keanekaragaman bivalvia pada Perairan Pantai Pendaratan

Desa Jaring Halus Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat Provinsi

Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui kondisi Perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus

Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

berdasarkan kurva Abundance and Biomass Comparasion (ABC).

3. Untuk mengetahui kondisi perairan pada Perairan Pantai Pendaratan Desa

Jaring Halus Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara

berdasarkan Indeks Storet.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi tentang

Analisis Status Pencemaran Perairan Dengan Bivalvia Sebagai Bioindikator Di

Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara 6

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Pantai

Perairan estuaria merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed coastal) yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka. Perairan ini terjadi percampuran antara masa air laut dengan air tawar dari daratan, sehingga airnya menjadi payau. Wilayah ini juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis, karena selalu terjadi proses perubahan lingkungan fisik maupun biologis. Bercampurnya masa air laut dengan air tawar menjadikan wilayah estuaria memiliki keunikan tersendiri, yaitu terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi. Perubahan salinitas ini dipengauhi oleh air pasang dan surut serta musim. Selama musim kemarau, volume air sungai berkurang sehingga air laut dapat masuk sampai ke arah hulu, dan menyebabkan salinitas di wilayah estuaria menjadi meningkat. Pada musim penghujan air tawar mengalir dari hulu ke wilayah estuaria dalam jumlah besar, sehingga sanilitas menjadi berfluktuasi.

Proses terjadinya aliran air tawar secara terus menerus dari hulu sungai dan adanya proses gerakan air akibat arus pasang surut yang mengangkut mineral- mineral, bahan organik dan sedimen, menjadikan perairan estuari memiliki produktifitas perairan yang cukup tinggi, melebihi produktifitas perairan laut lepas dan perairan tawar (Supriadi, 2001).

Potensi suatu kawasan pesisir yang sangat beragam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan perikanan, wisata dan penelitian, seperti Pantai Pandaratan adalah sebuah pantai yang berada di Desa Jaring Halus Kecamatan Sicanggang

Kabupaten Langkat. Pantai ini merupakan suatu pantai yang masyarakat

Universitas Sumatera Utara 7

bermukim disini bermata pencaharian sebagai nelayan, di pantai ini juga dikelilingi oleh kawasan mangrove di Pantai ini juga terdapat Tempat Pelelangan

Ikan (TPI) dimana nelayan dapat langsung menjual hasil tangkapannya.

Pencemaran Air

Pencemaran lingkungan perairan dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan masyarakat yang membuang limbah ke dalam perairan tanpa melakukan pengolahan terlebih dahulu. Misalnya limbah domestik, limbah industri, limbah perkotaaan, dan limbah rumah tangga, salah satu limbah yang dibuang adalah deterjen. Sumber utama air limbah rumah tangga masyarakat berasal dari buangan ratusan ribu ton deterjen yang mengandung fosfor serta bahan organik lainnya ke saluran air, yang akibatnya juga mencemarkan perairan.

Dengan meningkatnya penggunaan deterjen sebagai bahan pembersih dalam masyarakat berpotensi mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan perairan. Kondisi perairan yang semakin buruk akan mempengaruhi organisme yang hidup di dalamnya (Megawati et al., 2012).

Pada dasarnya bahan pencemar yang mencemari perairan dapat dikelompokkan menjadi: bahan pencemar organik; bahan pencemar penyebab terjadinya penyakit; bahan pencemar senyawa anorganik/mineral; bahan pencemar organic yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme; bahan pencemar berupa zat radioaktif; bahan pencemar berupa endapan/sedimen; bahan pencemar berupa kondisi (misalnya panas). Dampak pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia (Fransisca, 2011).

Universitas Sumatera Utara 8

Peraturan pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menyebutkan bahwa pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat. Enegi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga menyebabkan kualitas air menurun ke tingkat tertentu dan tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.

Untuk mencegah adanya penyakit yang timbul oleh pencemaran air maka kualitas badan air harus dijaga sesuai dengan baku mutu air. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001, baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi tau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang di tenggang keberadaannya dalam air.

Kawasan Perairan Pantai Pandaratan Desa Jaring Halus bahan pencemar yang masuk ke aliran tersebut berasal dari aktivitas masyarakat berupa limbah pemukiman , industri, transportasi laut yang dilakukan oleh nelayan juga di duga dapat menyebabkan pencemaran logam berat masuk ke Perairan Pantai

Pandaratan Desa Jaring Halus. Pb yang masuk ke kawasan perairan berasal dari aktivitas masyarakat yang mencemari perairan tersebut. Diantaranya adalah air buangan limbah dari industri di darat.

Karakteristik Bivalvia

Bivalvia adalah Moluska yang secara tipikal mempunyai dua katup, dan kedua bagiannya lebih kurang simetris. Kerangkanya disusun oleh klasifikasi katup yang ada di sisi kanan dan kiri tubuh. Katupnya dikatupkan di sepanjang tepi dorsal yang disebut hinge, dan dihubungkan oleh stuktur kapur yang elastis yang disebut ligamen. Mereka ditutup dengan aksi menarik satu atau dua (kadang tiga) otot aduktor. Byssus atau kaki menonjol keluar dari anterior kerangkanya,

Universitas Sumatera Utara 9

dimana posterior dari kerangkanya adalah dimana ada tonjolan siphon.

Kebanyakan kerang adalah filter feeder, tetapi ada beberapa yang scavenger

(pemakan bangkai) atau bahkan predator. Di dunia, ada 10.0000 spesies kerang

(Insafitri, 2010).

Salah satu anggota Moluska yaitu Bivalvia dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan hal ini dikarenakan Bivalvia menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga apabila terjadi pencemaran lingkungan maka tubuh Bivalvia akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi akumulasi bahan pencemar pada tubuh Bivalvia. Sehingga jika ada bahan tercemar yang masuk di tubuh spesies tersebut, maka tubuh dari spesies yang tidak toleran tidak dapat bertahan hidup, dengan demikian keberadaannya dapat digunakan sebagai bioindikator. Bivalvia yang banyak terdapat di area pesisir biasanya didominasi oleh kelas Bivalvia penggali di permukaan pantai (Nybakken, 1992).

Bivalvia (kerang-kerangan) adalah biota yang biasa hidup di dalam substrat dasar perairan (biota bentik) yang relatif lama sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas perairan. Biota ini juga merupakan salah satu komunitas yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Masukan buangan ke dalam badan perairan akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat mempengaruhi keberadaan bahan-bahan yang essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan dan mempengaruhi struktur komunitas bentik termasuk bivalvia (Insafitri, 2010).

Secara umum bagian tubuh kerang atau Bivalvia dibagi menjadi lima, yaitu kaki (foot, byssus), kepala (head), bagian alat pencernaan dan reproduksi

Universitas Sumatera Utara 10

(visceral mass), selaput (mantle), dan cangkang (shell). Pada bagian kepala terdapat organ-organ syaraf sensorik dan mulut. Bagian kaki merupakan otot yang mudah berkontraksi, dan bagian ini merupakan bagian utama alat gerak. Warna dan bentuk cangkang sangat bervariasi, tergantung pada jenis, habitat dan makanannya. Pada bagian dalam cangkang beberapa jenis kerang dan siput terdapat lapisan mutiara yang mengkilap/ berkilau, misalnya pada oyster, abalon, dan kimah (Setyono, 2006).

Bivalvia Sebagai Bioindikator

Menurut Nugroho (2006), dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas bivalvia, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Melalui sifatnya yang menetap serta perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Beberapa organisme bivalvia sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan dengan pengujian secara fisika kimia.

Potensi kerang di suatu perairan dapat dilihat dari kelimpahan, sebaran jenisnya. Adapun kelimpahan, sebaran dan keragaman jenis spesies tersebut dipengaruhi oleh karakteristik habitat seperti kondisi perairan dan jenis substrat.

Habitat memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup biota perairan. Selain sebagai tempat hidup, habitat berperan sebagai tempat berkembang biak dan pemasok makanan. Oleh karena itu kondisi suatu habitat memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan komunitas yang ada didalamnya (Simangunsong, 2010).

Masukan buangan limbah baik domestik dan limbah industri ke dalam badan perairan akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan

Universitas Sumatera Utara 11

biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat mempengaruhi keberadaan bahan bahan yang essensial sebagai sumber nutrien yang dibutuhkan biota dalam proses pertumbuhan. Adanya perubahan tersebut dapat mengganggu lingkungan perairan dan mempengaruhi struktur komunitas bentik termasuk bivalvia (Insafitri, 2010).

Parameter Fisika Kimia Pendukung Kehidupan Bivalvia

Suhu

Suhu dapat mempengaruhi nilai kelimpahan, karena bila suhu perairan tinggi maka Pelecypoda tidak dapat hidup dengan baik untuk menunjang pertumbuhan. Dan sebaliknya jika suhu rendah juga tidak dapat tumbuh dengan baik. Ketidakstabilan suhu dipengaruhi adanya peningkatan penguapan air laut sehingga menyebabkan organisme laut mati akibat kekurangan kadar air.

Pelecypoda kerang dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang memiliki suhu antara 20 – 30ºC (Akbar et al., 2013).

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya

(Effendi, 2003).

Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan

Berubahnya suhu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik.

Universitas Sumatera Utara 12

Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan sisa pabrik, misalnya dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan komunitasnya berubah (Suin, 2002). pH

Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam mentolerir pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas. Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Marpaung, 2013).

pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. Selain itu ikan dan makhluk makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH antar 7 – 8,5. Besar pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalin). Nilai pH kurang dari

7 menunjukkan lingkungan yang asam, nilai di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin), dan pH = 7 disebut sebagai netral

(Sitorus, 2008).

DO

Oksigen terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam proses respirasi. Secara alami senyawa kimia ini terdapat dalam air laut pada kadar yang sesuai. Perubahan kadar yang terjadi tentu akan mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup dalam perairan. Rendahnya kadar oksigen di perairan ini

Universitas Sumatera Utara 13

diduga karena masuknya bahan-bahan organik ke perairan, sehingga memerlukan banyak oksigen untuk menguraikannya. Semakin banyak buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Patty, 2015).

Kadar oksigen terlarut juga berflukuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).

Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan. Perairan dengan kandungan oksigen terlarutnya sebesar 1,0-2,0 ppm maka organisme moluska masih dapat bertahan hidup karena mereka mampu beradaptasi pada kandungan oksigen yang rendah seperti halnya bivalvia dari famili Osteridae pada pasang surut mereka akan menutup cangkang dan melaakukan respirasi anaerob, karena kandungan oksigen yang rendah

(Aksornkoae, 1993).

Salinitas

Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (‰). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau antara 0,5‰ - 30‰, dan perairan laut 30‰ - 40‰. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40‰ - 80‰. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003).

Pola gradien salinitas bergantung pada musim, topografis, pasang surut dan jumlah air tawar yang masuk. Semakin tinggi tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya semakin tinggi, dan sebaliknya pada daerah yang

Universitas Sumatera Utara 14

rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya

(Nybakken, 1992).

Substrat

Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Penyebaran makrozoobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat.

Makrozoobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos. Komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat

(Susiana, 2011).

Tipe-tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekmposisi di substrat dapat berlangsung secara aerob serta terhindar dari toksik (Nybakken, 1992).

Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran bivalvia karena berkaitan dengan ketersediaan nutrient dalam sedimen. Substrat pada stasiun yang berupa lumpur, dimana substrat berlumpur ini merupakan habitat yang paling disukai oleh bivalvia karena teksturnya halus dan memiliki kadar nutrien yang lebih besar daripada substrat yang bertekstur

Universitas Sumatera Utara 15

kasar. Hal ini dikarenakan zat organik lebih mudah mengendap di partikel yang halus sehingga daerah tersebut kaya akan nutrien dan ini sangat baik bagi kehidupan bivalvia (Febrita et al., 2015).

N-Total

Konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikomsumsi oleh fitoplankton. Selain itu konsentrasi nitrat yang sedikit leboh tinggi di dekat dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen.

Di dalam sedimen nitrat diproduksi oleh biodegradasi bahan-bahan organik menjadi amonia yang selanjutnya menjadi dioksidasi menjadi nitrat. Menurut

KEPMENLH No 51 (2004) disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi nitrat air laut yang layak untuk kehidupan biota air laut adalah 0,008 mg/l.

Sumber utama nitrat di perairan berasal dari dekomposisi organisme, aktivitas pertanian, pertambakan, industri dan rumah tangga. Aktivitas pertanian dan pertambakan banyak menggunakan pupuk yang mengandung unsur N dan P.

Sebagian dari pupuk tersebut kemudian hanyut ke laut melalui aliran sungai dan pada akhirnya menyebabkan variabilitas konsentrasi nitrat secara spasial dan temporal (Faizal et al., 2012).

Salah satu fungsi dari ekosistem muara yaitu sebagai perangkap zat hara seperti nitrat, fosfat, dan bahan organik yang berasal dari perairan disekitarnya.

Nitrat di perairan merupakan makro nutrien yang mengontrol produktivitas primer di daerah eufotik. Kadar nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh asupan nitrat dari badan sungai. Sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga dan pertanian termasuk kotoran hewan dan manusia. Nitrit di perairan biasanya

Universitas Sumatera Utara 16

ditemukan dalam jumlah sedikit karena bersifat tidak stabil. Senyawa nitrit yang terdapat di perairan merupakan hasil reduksi senyawa nitrat atau oksidasi amonia oleh mikroorganisme dan berasal dari hasil ekskresi fitoplankton. Fosfat merupakan nutrisi yang esensial bagi pertumbuhan suatu organisme perairan, namun tingginya konsentrasi fosfat di perairan mengindikasikan adanya zat pencemar. Senyawa fosfat umumnya berasal dari limbah industri, pupuk, limbah domestik dan penguraian bahan organik lainnya (Makmur et al., 2012).

Fosfat

Zat hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses dan perkembangan hidup organisme. Zat hara yang umum menjadi fokus perhatian di lingkungan perairan adalah nitrat dan fosfat. Kedua unsur ini memiliki peran vital bagi pertumbuhan fitoplankton atau alga yang biasa digunakan sebagai indikator kualitas air dan tingkat kesuburan suatu perairan

(Utami et al., 2016). Menurut KEPMEN-LH No 51 (2004), dapat dilihat bahwa baku mutu kandungan fosfat dalam air laut untuk kebutuhan biota laut adalah

0,015 mg/l.

Fosfor di perairan dan sedimen berada dalam bentuk senyawa fospat terlarut dan fospat partikulat. Fospat terlarut terdiri dari fospat organik (gula fospat, nukleo protein, fosfoprotein) dan fospat anorganik (ortofospat dan polifospat). Keberadaan fospat di perairan akan terurai menjadi senyawa ion dalam bentuk H2PO4-, HPO42- , dan PO43- , kemudian akan diabsorbsi oleh fitoplankton dan masuk ke dalam rantai makanan (Amien, 2015).

Fosfat unsur ini terdapat dalam perairan alami dalam jumlah yang sangat sedikit dan berperan sebagai senyawa mineral dan senyawa organik, bila

Universitas Sumatera Utara 17

jumlahnya meningkat itu akan berbahaya bagi biota aquatik yang hidup dalam perairan tersebut. Memang secara alami lingkungan perairan memiliki kadar phospat 10 % dan 90 % sisanya bersumber dari aktifitasmanusia seperti, buangan limbah industri, domestik, dan kegiatan lainnya. Bila kadar phospat di dalam perairan tinggi akan menyebabkan masalah eutrofikasi “ketersediaan nutrient yang berlebihan” (Dewi, 2003).

C-Organik

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organic kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humufikasi maupun senyawa hasil mineralisasi, termasuk mikroba heterotrofik dan ototrofik yang terlibat. Bahan organik biasanya disusun dari komponen karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) bersama-sama dengan nitrogen (N). Seringkali juga ditemukan adanya fosfor (P), belerang (S), dan besi

(Fe) (Habibi et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara 18

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni - Juli 2019 di Perairan Pantai

Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Sumatera Utara. Desa Jaring Halus terletak pada 3º51'30"-3º59'45" LU dan

98º30'-98º42' BT dengan ketinggian ± 1 m dpl. (Gambar 2). Identifikasi bivalvia dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan dan analisis

Sampel substrat di lakukan di laboratorium PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit)

Medan.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Universitas Sumatera Utara 19

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Alat dan bahan penelitian

No Nama Alat dan Bahan Satuan Keterangan Alat 1 Global position system (gps) Menentukan titik koordinat 2 Termometer oC Mengukur suhu 3 Ph mter Mengukur ph air 4 DO meter mg/l Mengukur DO air 5 Secchi disk Cm Mengukur kecerahan air 6 Meteran gulung M Mengukur panjang plot 7 Botol sampel air Menyimpan sampel air 8 Kamera digital Dukumentasi penetian 9 Buku Identifikasi bivalvia Mengidentifikasi jenis bivalvia 10 Alat tulis Mencatat hasil penetilian 11 Refraktometer Ppt Mengukur salinitas air 12 Timbangan analitik G Menimbang biomassa Bahan 1 Sampel Bivalvia Bahan utama peneltian 2 Sampel air Menguji nitrat dan fosfat 3 Sample substrat Menguji kandungan C-Organik 4 Kertas label Menandai sampel bivalvia 5 Aquadest Mencuci bivalvia 6 Tissu Membersihkan alat penelitian

Deskripsi Setiap Stasiun Pengamatan

Stasiun I

Lokasi ini merupakan daerah yang banyak mengalami aktivitas rumah tangga dan langsung berbatasan dengan laut. Stasiun ini berada pada titik koordinat 098°34"11' BT dan 03°56"53' LU Dapat dilihat pada Gambar (3)

Universitas Sumatera Utara 20

Gambar 3. Lokasi Stasiun I

Stasiun II

Stasiun ini tidak ditemukan adanya kegiatan masyarakat.Lokasi ini berada pada koordinat 098°34"15' BT dan 03°56"55' LU. Dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi Stasiun II

Stasiun III

Stasiun ini terjadi pemanfaatan ekosistem mangrove dan merupakan daerah nelayan meletakkan bubu untuk menangkap kepiting bakau dan mencari kerang-kerangan. Stasiun ini berada pada titik koordinat 098°34"17' BT dan

03°56"51' LU dapat dilihat pada Gambar 5.

Universitas Sumatera Utara 21

Gambar 5. Lokasi Stasiun III

Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah purposive sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun berdasarkan keterwakilan karakteristik yang berbeda di lokasi penelitian. Pemilihan stasiun didasarkan karena adanya perbedaan aktivitas yang ada di Pantai Pandaratan Desa Jaring Halus.

Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada saat pasang. Pengukuran parameter fisika dilakukan secara in situ yang terdiri dari

Suhu (oC), kecerahan (cm), kedalaman (cm). Pengukuran parameter kimia yang diukur secara in situ terdiri pH, Oksigen terlarut (mg/l), salinitas (ppt) dan pengukuran kimia yang dilakukan secara ex situ terdiri dari nitrat (mg/l) dan fosfat

(ppm) dan pengukuran parameter substrat dilakukan secara ex situ terdiri dari tekstur substrat (%) dan C- Organik (%).

Pengambilan Sampel Bivalvia

Pengambilan sampel bivalvia dilakukan dengan metode kuadrat/plot berpetak dengan menempatkan kuadrat secara sistematis menurut garis transek.

Universitas Sumatera Utara 22

Panjang transek adalah 10 meter dengan ukuran kuadrat 1 m x 1 m. Banyaknya plot yang digunkan pada setiap stasiun transek adalah 3 plot. Jarak dari plot 1 ke plot lain ialah 3 meter. Jumlah transek dalam satu habitat adalah 3 transek, sehingga jumlah keseluruhan plot dalam satu lokasi adalah 9 plot berbeda

Identifikasi Bivalvia

Identifikasi bivalvia dilakukan dengan mengamati bivalvia yang di dapat di setiap plot dengan mengamati bentuk morfologi dari bivalvia dan idetifikasi jenis bivalvia dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi.

Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menghitung kepadatan populasi, Indeks diversitas/keanekaragaman Shannon-Wiener, Indeks

Keseragaman, Indeks dominansi, analisis Indeks Storet dan analisis Kurva ABC

(Abundance and Biomass Comparison) dengan persamaan sebagai berikut:

Kepadatan Populasi (K)

Kepadatan populasi (K) bivalvia didefinisikan sebagai jumlah individu bivalvia per satuan luas (m2). Contoh bivalvia yang telah diidentifikasi dihitung kepadatannya dengan formula menurut Fachrul (2007) sebagai berikut :

Keterangan :

Ki : Kepadatan bivalvia (individu/m2) ni : Jumlah individu dari spesies ke-i (individu)

A : Luas area pengamatan (m2)

Universitas Sumatera Utara 23

Kepadatan Relatif (KR)

Kepadatan relatif (KR) adalah perbandingan kepadatan jenis bivalvia ke-i dengan jumlah total seluruh jenis bivalvia menurut Fachrul (2007) sebagai berikut

( ) x 100%

Keterangan:

KR : Kelimpahan relatif ni : Jumlah individu ke-i

N : Jumlah seluruh individu

Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman menggambarkan keadaan bivalvia secara matematis agar memudahkan dalam mengamati keanekaragaman populasi dalam suatu komunitas. Dalam perhitungan ini digunakan indeks diversitas Shanon-

Wiener menurut Fachrul (2007) yaitu :

Keterangan :

H' = Indeks Diversitas pi = Jumlah individu masing-masing jenis (i=1,2,3,..) n = Jumlah jenis

Ln = Logaritma nature

Pi = Σ i/푁 (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

Keterangan nilai H’:

H’ < 1 : Keanekaragaman jenis rendah

1 < H’ < 3 : Keanekaragaman jenis sedang

Universitas Sumatera Utara 24

H’ > 3 : Keanekaragaman jenis tinggi

Indeks Keseragaman

Keseragaman (Eveness) dapat dikatakan keseimbangan yaitu komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks seseragaman menurut Fachrul (2007) yaitu sebagai berikut:

Keterangan :

E : Indeks keseragaman

H’ : Indeks keanekaragaman

S : Jumlah spesies

Dengan kriteria sebagai berikut : e > 0,4 : keseragaman populasi kecil

0,4 > e > 0,6 : keseragaman populasi sedang e < 0,6 : keseragaman populasi tinggi

Indeks keseragaman berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati nol semakin kecil keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan kekayaan individu yang dimiliki masing masing spesies sangat berbeda. Semakin mendekati nilai satu, maka penyebarannya cenderung merata dan kemerataan antara spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama.

Universitas Sumatera Utara 25

Indeks Dominansi (C)

Untuk melihat ada tidaknya dominansi oleh jenis tertentu pada bivalvia maka digunakan indeks dominansi Simpson menurut Fachrul (2007) yang dihitung dengan menggunakan persamaan:

∑[ ⁄푁]

Keterangan :

C : Indeks dominansi Simpson ni : Jumlah individu tiap jenis

N : Jumlah total individu i : 1,2,……37 dan seterusnya

Dengan kategori indeks dominansi :

C mendekati 0 ( C < 0,5) : tidak ada jenis yang mendominansi

C mendekati 1 ( C > 0,5) : ada jenis yang mendominansi

Penentuan Status Mutu Air dengan Metode STORET (Strorage and

Retrieval)

Nilai parameter fisika dan kimia perairan yang diperoleh dibandingkan dengan kriteria mutu air dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Metode

Storet dapat digunakan untuk mengetahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Penentuan status mutu air ini didasarkan pada analisis parameter fisika dan kimia. Untuk mengetahui seberapa jauh contoh air tersebut diketahui baik atau tidaknya nilai dengan metode Storet.

Universitas Sumatera Utara 26

Hasil analisis kimia percontohan air kemudian di bandingkan dengan baku mutu yang sesuai dengan pemanfaatan air. Kualitas air dinilai berdasarkan kriteria metode storet untuk mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas yang dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Penentuan Status Mutu Air dengan Indeks Storet Kelas Skor Kriteria A 0 Memenuhi Baku Mutu B -1 s/d -10 Tercemar Ringan C -11 s/d -30 Tercemar Sedang D ≥ -30 Tercemar Berat Sumber: Walukow (2010)

Penentuan status mutu air dengan menggunakan metode Storet dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air

dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

2. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu (hasil pengukuran < baku

mutu) maka diberi skor 0.

3. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu air (hasil pengukuran >

baku mutu) maka diberi skor Dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Penetapan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Perairan

Parameter Jumlah Percontohan Nilai Fisika Kimia Maksimum -1 -2 < 10 Minimum -1 -2 Rata-rata -3 -6 Maksimum -2 -4 ≥ 10 Minimum -2 -4 Rata-rata -6 -12 Sumber: Walukow (2010)

Universitas Sumatera Utara 27

Analisis Kurva Abundance and Biomass Comparison (ABC)

Menurut Khaeksi et al (2015), analisis kurva ABC digunakan untuk mengetahui kondisi perairan dengan menganalisis jumlah total individu per satuan luas dan biomassa (berat kering) total per satuan luas. Kurva ABC (Abundance and Biomass Comparison) dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut

( ) ( ) ( )

( )

( )

( ) x 100%

( ) x 100%

Metode kurva ABC (Abundance and Biomass Comparison) digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan dengan menganalisis jumlah total individu persatuan luas (kelimpahan) dan berat persatuan luas dari komunitas bivalvia

(Warwick, 1986 diacu dalam Khaeksi et al., 2015).

Menurut Khaeksi et al (2015), berdasarkan kurva ABC yang diperoleh, status perairan dan kualitas bivalvia dapat diklasifikasikan menjadi tiga katagori, yaitu:

1. Baik, apabila jika kurva biomassa per satuan luas berada di atas kurva jumlah

individu per satuan luas.

Universitas Sumatera Utara 28

2. Sedang, apabila jika kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah

individu per satuan luas saling tumpah tindih.

3. Buruk, apabila jika kurva biomassa per satuan luas berada di bawah kurva

jumlah individu persatuan luas.

Universitas Sumatera Utara 29

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Bivalvia yang ditemukan di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus diperoleh sebanyak 456 individu terdiri dari 4 famili dan 4 spesies. Pada stasiun I ditemukan sebanyak 4 spesies dengan jumlah 152 individu, stasiun II ditemukan sebanyak 4 spesies dengan jumlah 156 individu dan pada stasiun III ditemukan sebanyak 4 spesies dengan jumlah 148 individu. Komposisi bivalvia dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Bivalvia Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Stasiun No Jenis Bivalvia Nama Lokal I II III 1 Mactra grandis - + + + 2 Tellina remies Tiram + + + 3 Meretrix meretrix Kepah + + + 4 Anadara granosa Kerang Batu + + + Jumlah 4 4 4 Keterangan : (+) ditemukan; Analisis Bivalvia

Kepadatan Populasi (K)

Kepadatan populasi Bivalvia menunjukkan pada stasiun II mempunyai nilai kepadatan (K) tertinggi yaitu 52 ind/m2, diikuti stasiun I dengan nilai kepadatan 51 ind/m2 sedangkan nilai kepadatan terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai 49 ind/m2. Berdasarkan jumlah bivalvia yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, diperoleh nilai kepadatan populasi seperti tertera pada gambar

7.

Universitas Sumatera Utara 30

53 52 52

51 51 50 IND/M² 50 49 49 48 STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3

Gambar 7. Kepadatan Populasi Bivalvia

Kepadatan Relatif (KR)

Nilai kepadatan relatif (KR) tertinggi terdapat pada stasiun I dan terendah pada stasiun II dengan yang paling banyak didapatkan selama penelitian adalah

Meretrix meretrix dan spesies yang paling sedikit ditemukan adalah Anadara granosa. Berdasarkan jumlah bivalvia yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, diperoleh nilai kepadatan populasi seperti tertera pada tabel 5.

Tabel 5. Kepadatan Relatif Bivalvia Kepadatan Relatif (%) No Jenis Bivalvia Jumlah Stasiun Stasiun Stasiun I II III 1 Mactra grandis 122 17,11 36,54 26,35 2 Tellina remies 103 27,63 10,90 29,73 3 Meretrix meretrix 161 40,79 37,82 27,03 4 Anadara granosa 70 14,47 14,74 16,89 Jumlah 100% 100% 100%

Universitas Sumatera Utara 31

Indeks Keanekaragaman (H´), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) pada setiap Stasiun Penelitian

Analisis keanekaragaman bivalvia dapat ditentukan dengan menggunakan

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner. Nilai indeks keanekaragamn (H´) berkisar antara 0,38-1,11 termasuk dalam kategori rendah , nilai Indeks

Keseragaman (E) berkisar antara 0,88-0,93 dengan kategori tinggi dan nilai

Indeks Dominansi (C) berkisar antara 0,27-0,38 termasuk dalam kategori tidak ada jenis yang mendominasi. Nilai Indeks Keanekaragaman (H´), Indeks

Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C) bivalvia pada setiap stasiun dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman (H´), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C) Stasiun H´ E C I 1.11 0.89 0,38 Kategori Sedang Tinggi Tidak Ada yang Mendominasi II 0,89 0,93 0,37 Kategori Rendah Tinggi Tidak Ada yang Mendominasi III 0,38 0,88 0,27 Kategori Rendah Tinggi Tidak Ada yang Mendominasi

Parameter Lingkungan Perairan

Berdasarkan hasil pengamatan nilai rata-rata parameter lingkungan pada

Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat dapat dilihat pada tabel

7.

Universitas Sumatera Utara 32

Tabel 7. Parameter Lingkungan Perairan yang didapatkan Selama Penelitian

Baku Stasiun Pengamatan Parameter Satuan Mutu I II III Fisika Suhu oC 28-32 27 26 27 Salinitas Ppt s/d 34 27 28 25 Kecerahan cm - 27,33 33,17 22 Kimia pH - 7-8,5 7,33 7,33 7,33 DO mg/l >5 6,43 6,80 6,87 N total mg/l 0,008 42,26 4,80 3,96 Phospat mg/l 0,015 0,35 0,16 0,07

Tekstur Substrat Perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus

Dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa hasil tekstur substrat yaang didapat pada Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang

Kabupaten Langkat yaitu lempung berpasir. Hasil analisis substrat dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Analisis Substrat Dasar C-Organik Fraksi Stasiun USDA (%) Pasir (%) Debu (%) Liat (%) I 0,9 86 7 7 Lempung Berpasir II 0,42 86 7 7 Lempung Berpasir III 0,52 80 15 5 Lempung Berpasir

Sifat Fisika dan Kimia Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Berdasarkan

Metode Storet

Sifat fisika dan kimia Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan

Secanggang Kabupaten Langkat dihubungkan dengan metode Storet dengan pemanfaatan kelas tertinggi adalah kelas C untuk kegiatan pariwisata, diperoleh

Universitas Sumatera Utara 33

hasil yaitu untuk stasiun I, Stasiun II dan Stasiun III tercemar sedang. Nilai skor setiap stasiunnya dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Kondisi Fisika dan Kimia Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Berdasarkan Metode Storet

Baku Skor Parameter Satuan Mutu St I St II St III Suhu oC 28-32 0 0 0 pH - 7-8,5 0 0 0 DO mg/l >5 0 0 0 N-Total mg/l 0,008 -18 -10 -10 Phospat mg/l 0,015 -10 -8 -10 Salinitas ppt s/d 34 0 0 0 Jumlah -28 -18 -20

Analisis Kurva Abundance and Biomass Comparison (ABC)

Analisis kualitas air yang ditentukan dengan parameter biologi perairan dapat digambarkan menggunakan kurva ABC. Analisis kurva ABC digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan dengan menganalisis total kepadatan relatif

(ind/m²) dan biomassa relatif dari bivalvia (g/m²). Nilai persentase kumulatif kepadatan relatif dan persentase kumulatif biomassa relatif bivalvia pada setiap stasiun yang diperoleh selama penelitian. Stasiun I, jenis jenis bivalvia ranking yang membentuk kurva ABC terdiri 4 jenis yaitu Mactra grandis, Tellina remies,

Meretrix meretrix, Anadara granosa. Nilai kepadatan relatif bivalvia berkisar antara 14,47-40,79% dan nilai biomassa relatif bivalvia berkisar antara 12,07-40% yang akan membentuk nilai persentase kumulatif pada kurva ABC. Hasil kurva

ABC menggambarkan stasiun I termasuk katagori perairan yang tercemar sedang karena kurva biomassa per satuan luas dan kurva kepadatan per satuan luas saling tumpang tindih. Hasil kurva ABC stasiun I (Gambar 8).

Universitas Sumatera Utara 34

45 40 35 30 25 KR 20 BR PERSENTASE PERSENTASE 15

KUMULATIF (%) KUMULATIF 10 5 0 1 2 3 4 RANGKING

Gambar 8. Kurva ABC pada stasiun I

Pada stasiun II, jenis jenis bivalvia ranking yang membentuk kurva ABC terdiri 4 jenis yaitu Mactra grandis, Tellina remies, Meretrix meretrix, Anadara granosa.

Nilai kepadatan relatif bivalvia berkisar antara 10,90-37,82% dan nilai biomassa relatif bivalvia berkisar antara 10,14-38,60% yang akan membentuk nilai persentase kumulatif pada kurva ABC. Hasil kurva ABC menggambarkan stasiun

II termasuk katagori perairan yang tercemar sedang karena kurva biomassa per satuan luas dan kurva kepadatan per satuan luas saling tumpang tindih. Hasil kurva ABC stasiun II (Gambar 9).

45.0

40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 KR 15.0

PERSENTASE PERSENTASE BR

KUMULATIF (%) KUMULATIF 10.0 5.0 0.0 1 2 3 4 RANGKING `

Gambar 9. Kurva ABC pada stasiun II

Universitas Sumatera Utara 35

Pada stasiun III, jenis-jenis bivalvia ranking yang membentuk kurva ABC terdiri 4 jenis yaitu Mactra grandis, Tellina remies, Meretrix meretrix, Anadara granosa.

Nilai kepadatan relatif bivalvia berkisar antara 16,89-29,73% dan nilai biomassa relatif bivalvia berkisar antara 13,69-34,17% yang akan membentuk nilai persentase kumulatif pada kurva ABC. Hasil kurva ABC menggambarkan stasiun

III termasuk kategori perairan yang tercemar sedang karena kurva biomassa per satuan luas dan kurva kepadatan per satuan luas saling tumpang tindih. Hasil kurva ABC stasiun III (Gambar 10).

40.00 35.00 30.00 25.00

20.00

(%) KR 15.00 BR 10.00 5.00 0.00 PERSENTASE KUMULATIF KUMULATIF PERSENTASE 1 2 3 4 RANGKING

Gambar 10. Kurva ABC pada stasiun III

Pembahasan

Komposisi Bivalvia

Hasil penelitian pada stasiun I, II dan III terdapat 4 spesies bivalvia. Pada stasiun I, II, dan III spesies bivalvia yang ditemukan adalah Mactra grandis,

Tellina remies, Meretrix meretrix dan Anadara granosa. Bivalvia yang ditemukan berada pada daerah pesisir yang masih dipengaruhi oleh adanya air tawar dari sungai seperti pada stasiun III terdapat 4 jenis. Komposisi bivalvia pada setiap

Universitas Sumatera Utara 36

stasiun dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk kehidupan bivalvia di perairan oleh setiap spesies yang berbeda. Hal ini sesuai dengan Setyono (2006) yang menyatakan kekerangan ada yang hidup di air tawar, darat, maupun di perairan pesisir dan laut. Namun demikian, mayoritas kekerangan hidup di perairan laut, baik di perairan pantai (dangkal) maupun di laut dalam.

Meretrix meretrix adalah spesies yang semuanya ada di keempat stasiun.

Meretrix meretrix hidup di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yang akan mendukung kehidupan Meretrix meretrix salah satunya adalah salinitas. Rendahnya salinitas pada stasiun III tetap mendukung kehidupan dari spesies tersebut. Hal ini sesuai dengan Indraswari et al, (2014) yang menyatakan bahwa Meretrix meretrix dapat ditemukan hidup membenamkan diri pada substrat berpasir, mulai dari tepi pantai hingga masuk sekitar 300 m ke badan sungai dengan kisaran salinitas perairan antara 1‰ hingga 30‰.

Kepadatan Populasi (K) dan Kepadatan Relatif Bivalvia (KR)

Secara keseluruhan nilai total kepadatan tertinggi bivalvia yang ditemukan pada setiap stasiun penelitian terdapat pada stasiun II dengan total nilai kepadatan

2 sebesar 52 ind/m , total kepadatan terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar

2 48 ind/m . Hal ini sesuai dengan Simangunsong (2010) yaitu potensi kerang di suatu perairan dapat dilihat dari kelimpahan, sebaran jenisnya. Adapun kelimpahan, sebaran dan keragaman jenis spesies tersebut dipengaruhi oleh karakteristik habitat seperti kondisi perairan dan jenis substrat. Habitat memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup biota perairan. Selain sebagai tempat hidup, habitat berperan sebagai tempat berkembang biak dan pemasok makanan.

Universitas Sumatera Utara 37

Oleh karena itu kondisi suatu habitat memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan komunitas yang ada di dalamnya. Selanjutnya Nybakken (1992) mengatakan bahwa bivalvia tersebar di perairan pesisir seperti estuari, dengan dasar perairan lumpur bercampur pasir. Beberapa diantaranya hidup pada substrat yang lebih keras seperti lempung, kayu atau batu, air tawar serta sedikit yang hidup di daratan seperti, mussels (kepah), clamp (kerang) dan tiram yang merupakan anggota Bivalvia yang hidup di laut.

2 Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 52 ind/m dapat dikategorikan bahwa kepadatan kerang di Pantai Pendaratan Desa Jaring

Halus khususnya pada stasiun II tergolong maksimum. Hal ini sesuai dengan

Apriliani (2012) bahwa kerang dengan kepadatan 50-100 ind/m2 disebut kepadatan maksimum.

Nilai kepadatan relatif di setiap stasiun bervariasi, nilai tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 40,79% dengan jenis Meretrix meretrix dan yang terendah yaitu terdapat pada stasiun II dengan spesies Tellina remies dengan nilai 10,09% dan stasiun III Anadara granosa dengan nilai 16,89%. Nilai kepadatan relatif yang rendah menunjukkan bahwa stasiun II tidak sesuai untuk kehidupan Tellina remies dan stasiun III tidak sesuai untuk Anadara granosa. Menurut Barus

(2004), kepadatan relatif merupakan proporsi dari jumlah total individu suatu jenis yang terdapat pada seluruh sampling area. Sedangkan frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu jenis dalam sampling plot yang ditentukan. Suatu habitat dikatakan sesuai dengan perkembangan suatu organisme apabila nilai KR > 20%.

Universitas Sumatera Utara 38

Indeks Keanekaragaman (H´), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) pada setiap Stasiun Penelitian

Dari Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H´) selama tiga kali pengamatan diperoleh nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 0,38-1,11.

Keanekaragaman bivalvia pada stasiun I tergolong keanekaragaman sedang, pada stasiun II tergolong rendah dan pada stasiun III tergolong rendah Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun I sebesar 1,11 stasiun II sebesar 0,89 dan stasiun III sebesar 0,38. Hal ini sesuai dengan Fitrianti (2014) bahwa H’ < 1 :

Keanekaragaman jenis rendah, 1 < H’ < 3 : Keanekaragaman jenis sedang.

Dari ketiga stasiun nilai H’ yang didapatkan dapat dijadikan sebagai pendugaan bagaimana kondisi perairan tersebut. Pada stasiun I yaitu 1,11 dapat diduga bahwa kondisi perairan berpolusi berat dikarenakan pada stasiun I merupakan dekat dengan pemukiman penduduk yang padat. Pada stasiun II yaitu dan 0,89 berada pada laut daerah peralihan antara air tawar dan air laut dan pada stasiun III yaitu 0,38 dapat diduga dengan kondisi perairan berpolusi rendah dikarenakan berada pada muara sungai. Hal ini sesusai dengan Setyono (2006) yang menyatakan kategori H’ terhadap kondisi perairan yaitu nilai H’ 1,0 - 2,0 : polusi sedang; 0,0 - 1,0: polusi berat. Selanjutnya Dahuri et al, (1996) menjelaskan bahwa muara sungai merupakan daerah peralihan antara air tawar dan air laut, kerang darah biasanya lebih banyak dijumpai pada daerah yang lebih jauh dari muara sungai karena muara sungai merupakan daerah yang paling banyak terkena dampak dari ke tiga faktor yaitu bahan pencemar dan kegiatan perikanan yang mengeksploitasi kerang secara berlebihan.

Universitas Sumatera Utara 39

Berdasarkan hasil pengamatan nilai indeks keseragaman (E) umumnya menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai indeks dominansi. Nilai indeks keseragaman yang tinggi akan menunjukkan nilai indeks dominansi yang rendah, begitu pula sebaliknya. Nilai indeks keseragaman yang tinggi terdapat pada stasiun II yaitu 0,93 dan yang terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,88.

Nilai tersebut menjelaskan bahwa setiap jenis menyebar secara merata. Hal ini sesuai dengan Fitriana (2006) Maka nilai keseragaman yang tinggi berarti bahwa

E > 0,6 yang artinya memiliki keseragaman jumlah individu setiap spesies sama.

Nilai indeks dominansi berkisar antara 0,35-0,38. dapat dilihat bahwa ketiga stasiun nilai indeks dominansinya mendekati nol yang artinya tidak ada jenis yang mendominasi pada setiap stasiun. Nilai indeks dominansi pada setiap stasiun memiliki nilai lebih kecil dari indeks keseragaman jenis artinya ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan indeks keseragaman yang besar. Menurut Dewi et al, (2013) menyatakan bahwa nilai dominansi mempunyai kecenderungan mendekati 0 artinya tidak ada jenis yang mendominansi perairan yang berarti setiap individu pada stasiun pengamatan mempunyai kesempatan yang sama dan secara maksimal dalam memanfaatkan

Sebaliknya, semakin mendekati nilai 1 maka penyebaran cenderung tidak merata dan ada jenis yang mendominasi.

Parameter Lingkungan

Berdasarkan hasil penelitian yag dilakukan di dalam tiga kali pengamatan pada 3 stasiun yang berbeda yaitu stasiun I 27,59 oC, stasiun II 26,22 oC dan stasiun III 27.36 oC. Namun, secara keseluruhan suhu hasil penelitian yang didapatkan hampir merata. Suhu pada stasiun I tinggi disebabkan banyaknya

Universitas Sumatera Utara 40

buangan limbah bahan bakar yang dikeluarkan dari kapal-kapal nelayan. Buangan limbah ini akan memicu proses penguapan di perairan yang lebih tinggi sehingga suhu perairan menjadi lebih meningkat. Pengukuran selalu dilakukan terakhir kali di stasiun ini menyebabkan waktu pengukuran dilakukan pada saat pertengahan hari yaitu pukul 10:00-11:00 WIB sehingga suhu menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang

(latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air kemudian suhu hasil penelitian masih sesuai dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri

Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No.51 Tahun 2004 yaitu 26-32oC.

Nilai kecerahan rata-rata pada stasiun I yaitu 0,27 cm, stasiun II yaitu 0,33 cm dan stasiun III yaitu 0,22 cm. Adanya perbedaan nilai kecerahan pada setiap stasiun salah satunya disebabkan pada saat pengamatan dilakukan pada waktu yang berbeda dan kekeruhan perairan itu sendiri. Kecerahan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari sehingga pada stasiun II ditemukan nilai kecerahan tertinggi dengan waktu pengamatan pukul 10:00-11:00 WIB. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) yaitu kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan.

Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.

Kedalaman pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai yang beragam yaitu stasiun I sebesar 0,56 m, stasiun II sebesar 0.76 m dan stasiun III sebesar

0,48 m. Kedalaman setiap organisme perairan berbeda. Nilai kedalaman setiap

Universitas Sumatera Utara 41

stasiun penelitian merupakan kisaran kedalaman yang sesuai dengan habitat bivalvia. Hal ini sesuai dengan Nybakken (1992) yaitu bivalvia memilih habitat dalam lumpur dan pasir dalam laut serta danau tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter dan termasuk organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak.

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi terdapat pada stasiun I dan yaitu sebesar 7,33, pH pada stasiun III yaitu sebesar 7,33. Nilai pH stasiun I, II dan III masih mendukung kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan Surat Keputusan No.51

Tahun 2004 yaitu 7-8,5. Selanjutnya Marpaung (2013) juga berpendapat bahwa sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda.

Salinitas rata-rata hasil penelitian pada stasiun I sebesar 27‰ stasiun II

28‰ dan stasiun III sebesar 25‰. Nilai kisaran salinitas tertinggi pada stasiun II dan terendah pada stasiun III. Pada stasiun III kisaran salinitas terendah dikarenakan stasiun III merupakan wilayah estuari yang masih dipengaruhi air tawar yang berasal dari aliran sungai dibandingkan stasiun I dan II. Hal ini sesuai dengan pendapat Arinardi et al, (1997) yaitu salinitas perairan estuari biasanya lebih rendah daripada salinitas perairan sekelilingnya dan Nybakken (1992) yaitu distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan dari sungai dan pengaruh perubahan pasang surut.

Universitas Sumatera Utara 42

Pola gradien salinitas bergantung pada musim, topografis, pasang surut dan jumlah air tawar yang masuk.

Nilai DO yang didapatkan dari hasil penelitian berkisar antara 6,4-6,87 dengan nilai terendah terdapat pada stasiun I yaitu 6,4, rendahnya nilai DO di stasiun I diduga disebabkan oleh lebih tingginya suhu di stasiun dibanding stasiun lainnya yaitu 27,59. Namun pada stasiun I masih dapat ditemukan beberapa jenis bivalvia. Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Selanjutnya Brotowidjoyo (1993) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5-7 mg/l tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh Bivalvia baik pada suhu rendah (20-25ºC) maupun tinggi (30ºC) sebagai batas optimum.

Nilai fosfat yang didapatkan pada stasiun I yaitu 0,35 mg/l, pada stasiun II yaitu 0,16 mg/l, pada stasiun yaitu III 0,07 mg/l. Nilai fosfat tertinggi didapatkan pada stasiun I yaitu pada daerah estuari. Pada lokasi penelitian diketahui bahwa adanya buangan limbah yang dilakukan masyarakat sekitar sungai yakni limbah rumah tangga, kegiatan pertambakan, dan tumpahan bahan bakar kapal sehingga memungkinkan kadar fosfat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Makmur et al,

(2012) yaitu fosfat merupakan nutrisi yang esensial bagi pertumbuhan suatu organisme perairan, namun tingginya konsentrasi fosfat di perairan mengindikasikan adanya zat pencemar. Senyawa fosfat umumnya berasal dari limbah industri, pupuk, limbah domestik dan penguraian bahan organik lainnya.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jenis substrat pada stasiun I, II dan

III adalah lempung berpasir, dengan persentase pasir yang lebih mendominasi dari

Universitas Sumatera Utara 43

keseluruhan stasiun penelitian. Substrat perairan berperan penting bagi kehidupan organisme bentik yakni sebagai tempat tinggal, mencari makan maupun berlindung dengan cara membenamkan tubuhnya kedalam substrat tersebut. Pada ketiga stasiun merupakan substrat dengan adanya jenis pasir merupakan jenis substrat yang umumnya bivalvia dapat berkembangbiak. Substrat perairan yang berbeda juga akan memiliki kandungan bahan organik yang berbeda pula yang dipengaruhi proses akumulai oleh substrat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan

Apriliani (2012), yaitu peranan substrat antara lain sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat berlindung dari ancaman predator serta perubahan faktor fisika dan kimia terhadap hewan infauna; kemudian Nontji (2007), juga berpendapat yaitu kerang–kerangan membenamkan diri dalam pasir atau lumpur umumnya mempunyai tabung yang di sebut sifon yang terdiri dari saluran untuk memasukkan air dan saluran lainnya untuk mengeluarkan.

Sifat Fisika dan Kimia Pantai Pendaratan Berdasarkan Metode Storet

Berdasarkan hasil perhitungan status mutu air metode storet dapat dilihat bahwa kondisi perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus tercemar sedang.

Perhitungan metode storet dilakukan dengan menghitung nilai parameter fisika kimia air yang didapatkan jumlah skor pada stasiun I yaitu -28 yang termasuk kedalam kategori tercemar sedang, serta pada stasiun II yaitu -18 dan III didapatkan jumlah skor -20 yang termasuk kedalam kategori tercemar sedang.

Penentuan status mutu air berdasarkan metode storet menurut Matahelumual

(2007), menyatakan bahwa kriteria perairan yang tercemar ringan yaitu pengukuran kualitas air yang memiliki jumlah skor -1 s/d -10 digolongkan kedalam kelas B dan kriteria perairan yang tercemar sedang yaitu pengukuran

Universitas Sumatera Utara 44

kualitas air yang memiliki jumlah skor -11 s/d -30 digolongkan kedalam kelas C.

Selanjutnya Putra et al, (2015) menyatakan bahwa status lingkungan hiidup dapat dilihat dengan indeks storet yang akan memberikan informasi secara keseluruhan status pencemaran pada lingkungan perairan.

Kondisi Perairan Berdasarkan Kurva Abundance and Biomass Comparison

(ABC)

Hasil analisis kurva ABC yang diperoleh dari tiga kali pengamatan terhadap tiga stasiun di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat

Provinsi Sumatera Utara pada Gambar 8 – 10. Berdasarkan data yang diperoleh stasiun I, II dan III tergolong tercemar sedang. Kondisi perairan yang tercemar sedang dapat dicirikan oleh posisi kurva biomassa per satuan luas dan kurva jumlah total individu per satuan saling tumpang tindih. Hasil ini sesuai menurut

Fadillah et al (2015), yang menyatakan kondisi perairan tersebut tercemar sedang yaitu masuknya pencemar ke badan perairan disebabkan karena aktivitas manusia..

Kondisi setiap stasiun di perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus

Kabupaten Langkat yang digambarkan oleh kurva ABC termasuk katagori sedang dapat disebabkan oleh kondisi sedimen yang mengandung pasir yang hampir sama pada setiap stasiunnya sehingga kepadatan relatif dan biomassa relatif bivalvia di setiap stasiun hampir sama. Hal ini dikarenakan substrat pasir merupakan habitat bivalvia yang baik untuk tumbuh. Menurut Anjani et al (2012), sedimen yang mengandung pasir cukup tinggi didominasi oleh jenis-jenis bivalvia, sedangkan dasar sedimen yang cukup berpasir merupakan habitat yang cukup baik bagi kehidupan berbagai jenis biota namun sedikit menghambat.

Universitas Sumatera Utara 45

Dari kurva ABC dapat diketahui bahwa perairan pada setiap stasiun tergolong tercemar sedang hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh dari kualitas air dan masuknya limbah rumah tangga kedalam perairan yang berada pada setiap stasiun sehingga berakibat pada bivalvia dan berpengaruh pada biomassa dan juga kelimpahan bivalvia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khaeksi et al (2015), yang menyatakan bahwa data kelimpahan dan biomassa spesies yang terdiri dari komunitas bentik lautan dapat dieksploitasi secara luas, yang mana bertujuan untuk menaksir tingkatan kondisi perairan yang dianggap terganggu.

Rekomendasi Pengelolaan

Dari hasil penelitian, analisis yang dapat direkomendasikan untuk menentukan kualitas suatu perairan yaitu metode Kurva ABC. Metode ini menggunakan pendekatan bivalvia sebagai penentu kualitas air. Diketahui bahwa bivalvia merupakan organisme yang kehidupannya berada di dasar perairan dan pergerakannya terbatas sehingga akan lebih lama terpapar oleh faktor fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Metode ini mampu menggambarkan adanya gangguan terhadap benthos dimana parameter fisika dan kimia harus tetap diukur sebagai parameter penunjang terhadap hasil dari metode kurva ABC.

Melakukan kegiatan pemantauan secara berkala perlu dilakukan, seperti kondisi fisika dan kimia perairan yang mungkin dapat terjadi perubahan akibat adanya aktivitas yang dilakukan di perairan tersebut sehingga dapat dipertahankan kondisi alamiah. Selain itu, masyarakat wisatawan dan nelayan harus tetap menjaga kondisi lingkungan perairan dengan baik dengan cara memberi sosialisasi tentang pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati demi

Universitas Sumatera Utara 46

kelangsungan hidup bivalvia di perairan agar dapat dimanfaatkan dalam waktu yang panjang.

Adanya kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Pantai Pendaratan

Desa Jaring halus Kabupaten Langkat seperti pembuangan limbah rumah tangga, aktivitas wisata serta penangkapan ikan harusla dilakukan dengan menggunaan azas berkelanjutan sehingga kondisi perairan Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus tetap dapat mendukung kehidupan biota yang ada di perairan tersebut.

Pengontrolan harus lebih aktif lagi agar pencemaran tidak bertambah.

Rekomendasi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran di

Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut:

1. Lebih sering dilakukan gotong royong di sekitar Pantai dan Lingkungan

Masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadi nya pencemaran di sekitar pantai

dan lingkungan masyarakat, dibuatnya tempat pembuangan akhir sehingga

masyarakat tidak membuang sampah sembarangan.

2. Pemantauan kualitas air secara berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh

pemerintah untuk menganalisis perubahan kualitas air yang terjadi di Pantai

Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara 47

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Keanekaragaman bivalvia di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamatan

Secanggang Kabupaten Langkat termasuk dalam kategori keanekaragaman

sedang untuk stasiun I sebesar 1.11 namun pada stasiun II sebesar 0.89 dan

stasiun III sebesar 0.38 dikategorikan keanekaragaman rendah.

2. Hasil analisis kurva ABC yang diperoleh dari tiga kali pengamatan terhadap

tiga stasiun di Pantai Pendaratan Desa Jaring Halus Kecamtan Secanggang

Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh stasiun I, II dan III

tergolong tercemar sedang yang dicirikan oleh posisi kurva biomassa per

satuan luas dan kurva jumlah total individu per satuan saling tumpang tindih.

3. Hasil perhitungan status mutu air metode storet pada Pantai Pendaratan Desa

Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera

Utara dikategorikan tercemar sedang. Perhitungan metode storet didapatkan

pada stasiun I, stasiun II dan stasiun III adalah kelas C.

Saran

Saran dari hasil penelitian ini sebaiknya ada penelitian lanjutan mengenai jenis kandungan logam pada bivalvia di pantai Pendaratan Desa Jaring Halus sehingga dapat diketahui ada tidaknya kandungan logam pada bivalvia yang disebabkan ada nya kegiatan pencemaran, yang ditangkap oleh masyarakat untuk dijual maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Universitas Sumatera Utara 48

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A., L. W. Zen dan A. Zulfikar. 2013. Struktur Komunitas Pelecypoda di Kawasan Konservasi Laut Daerah Malang Rapat Kabupaten Bintan. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Batam.

Aksornkae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN. Bangkok. Thailand. 74-75.

Amien, M. H. 2015. Studi Kadar Nitrat dan Fospat di Perairan Pesisir Kota Tarakan Kalimantan Utara. Universitas Borneo Tarakan, Tarakan. Apriliani. I. 2012. Bioekologi Kerang Tahu (Meretrix meretrix, L. 1758) di Muara Sungai Juru Tulis dan Muara Sungai Terusan, Pantai Mayangan Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Apriliani. I. 2012. Bioekologi Kerang Tahu (Meretrix meretrix, L. 1758) di Muara Sungai Juru Tulis dan Muara Sungai Terusan, Pantai Mayangan Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arifin., Y. Nafie, A. L dan Supriadi. 2004. Studi Kondisi dan Potensi Ekosistem Padang Lamun Sebagai Daerah Asuhan Berbagai Jenis Biota Laut di Perairan Pulau Barranglompo, Makassar. Jurnal Torani, 14 (5): 241-250. ISSN: 0853-4489.

Arinardi, O.H., Sutomo, A.B., Yusuf, S.A., Trimaningsih, Asnaryanti, E., Riyono, S.H. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press, Medan

Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta. Pradya Pramitha. 305 hlm.

Dewi, D. A. N., A. Pratomo dan C. J. Koenawan. 2013. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Pada Sedimen Mangrove di Pulau Los Kelurahan Senggarang Kota Tanjung Pinang, Universitas Maritim Raja Haji Ali, Riau.

Dewi, D., F. 2003. Phosphate Removal by Crystallization in Fluidized Bed Reactor Using Silica Sand. Jurnal Purifikasi, Vol.4, No.4, : 151-156.

Universitas Sumatera Utara 49

Dibyowati, L. 2009. Keanekaragaaman Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) di Sepanjang Pantai Carita, Pandeglang, Banten. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dwiono, S. A. P. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove Geloina Erosa dan Geloina Expansa. Vol 28 (2). Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta, Bumi Aksara.

Fadhilah, N., Masrianih dan Sutrisnawati. 2013. Keanekaragaman Bivalvia di Berbagai Macam Habitat di Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi. Jurnal Jipbio. 2: 13-19.

Faizal, A., J. Jompa, M. N. Nessa, dan C. Rani. 2012. Dinamika Spasio- Temporal Tingkat Kesuburan Perairan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Febrita, E., Darmawati dan Astuti, J. 2015. Keanekargaman Gastropoda dan Bivalvia Hutan Mangrove sebagai Media Pembelajaran pada Konsep Keanekaragaman Hayati Kelas X SMA. Jurnal Biogenisis. 11 (2): 119128.

Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobenthos di Hutan Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Universitas Lampung, Lampung.

Fitrianti. 2014. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia di Estuari Mangrove Belawan Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Fransisca. A. 2011. Tingkat Pencemaran Perairan Ditinjau Dari Pemanfaatan Ruang Di Wilayah Pesisir Kota Cilegon. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota . 22 (2): 145 – 160.

Indraswari, A. G. M., M. Litaay dan E. Soekendrasi. 2014. Morfometri Kerang Tahu Meretrix meretrix Linnaeus, 1758 di Pasar Rakyat Makassar. Jurnal Berita Biologi.

Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan, (3) 1 : 54-59.

Islami, M. M. 2013. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Bivalvia. UPT Balai Konservasi Biota Laut-LIPI, Ambon.

Universitas Sumatera Utara 50

Jumanto., A. Pratomo dan Muzahar. 2013. Struktur Komunitas Echinodermata di Padang Lamun Perairan Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta.

Khaeksi, I. P., Haeruddin dan M. R. Muskananofa. 2015. Status Pencemaran Sungai Plumbon Ditinjau dari Aspek Total Padatan Tersuspensi Dan Struktur Komunitas Makrozoobentos. Journal of Maquares. 4 (3): 1-10.

Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Third Edition. Harper and Row Publisher. New York.

Lina, F., Lestari dan A. Zulfikar. 2015. Struktur Komunitas Gastropoda di Ekosistem Mangrove sungai Nyirih Kecamatan Tanjungpinang Kota Tanjungpinang. Jurnal Elektronik. 1-5.

Lindawaty., I. Dewiyanti dan S. Karina. 2016. Distribusi dan Kepadatan Kerang Darah (Anadara Sp.) Berdasarkan Tekstur Substrat di Perairan Ulee Lheue Banda . Jurnal Perikanan dan Kelautan Unsyiah.

Makmur, M., H. Kusnoputranto., S.S. Moersidik dan D. Wisnubroto.2012. Pengaruh Limbah Organik dan Rasio N/P terhadap Kelimpahan Fitoplankton di Kawasan Budidaya Kerang Hijau Cilincing. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 15 (2) : 6-7.

Makmur, M., Kusnoputranto, H., Moersidik, S.S. dan Wisnubroto, D. 2012. Pengaruh Limbah Organik dan Rasio N/P terhadap Kelimpahan Fitoplankton di Kawasan Budidaya Kerang Hijau Cilincing. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 15 (2) : 6-7.

Marpaung, A. A. F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Matahelumual, B. C. 2007. Penentuan Status Mutu Air dengan sistem Storet di Kecamatan Bantar Gebang. Jurnal Geologi Indonesia, 2 (2):113-118.

Megawati, I. A., Zulfikar, A dan Melani, W. R. 2012. Uji Toksisitas Deterjen terhadap Ikan Nila (Orheochromis niloticus). Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara 51

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Penerjemah: M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 hal.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Oseana. XXXI (1) : 1-3.

Pamungkas, M. T. O. A. 2016. Studi Pencemaran Limbah Cair dengan Parameter BOD5 dan pH di Pasar Ikan Tradisional dan Pasar Modern di Kota Semarang. Universitas Diponegoro, Semarang.

Patty, S. I. 2015. Karakteristik Fosfat Nitrat dan Oksigen Terlarut di Perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 1 (1) : 2-3.

Putra, R. E., b. Utomo dan A. M. Rangkuti. 2015. Analisis Kualitas Perairan Pantai Sei Nypah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Aquacoastmarine. 12 (2): 1-9.

Sari, D. S. P. 2010. Ekosistem Pesisir. Jurnal Saintech, 2 (3). ISSN: 2086-9681.

Sarjono. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, dan Hg Pada Air dan Sedimen di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. [Jurnal]. Institut Pertanian Bogor

Sastrawijaya A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

Setyobudiandi I. Eddy S. Yon V. & Rini S. 2004. Bio-ecologi kerang lamis (Meretrix meretrix) di perairan marunda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan an Perikanan Indonesia 11(1): 61 – 66.

Setyono, D. E. D. 2006. Karakeristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut. Jurnal Oseana. XXXI (1) : 1-3.

Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai. Padang Kota . Universitas Sumatera Utara, Medan.

Simangunsong, E. 2010. Distribusi Spasial Bivalvia Berdasarkan Tipologi Habitat di Teluk Lada Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Banten. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Simanjuntak, M. 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Teluk Klabat Pulau Bangka. Jurnal Kelautan. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

Sinaga, P. R., S. Nedi dan Efriyedi. 2016. Analysis Content of Organic Metter in Sediment and Abundance Macrozoobenthos in Kuala Tanjung Waters Batubara District. University of Riau, Pekanbaru.

Universitas Sumatera Utara 52

Sitorus, D. 2008. Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik-Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Soedibjo, 2008. Analisis Komponen Utama dalam Kajian Ekologi. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Penerbit Universitas Erlangga. Jakarta.

Sukmadewa, W.A. 2004. Analisis Status dan Trend Kualitas Air Sungai Ciliwung di DKI Jakarta 2000-2005. Intitut Teknologi Bandung, Bandung.

Supriadi, I. H. 2001. Dinamika Estuaria Tropik. Jurnal Oseana. 16 (4) : 1-11.

Susiana. 2011. Diversitas dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda dan Bivalvia di Estuari Perancak, Bali. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Suwignyo. S. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tobing, I. S. L. 2009. Kondisi Perairan Pantai Sekitar Merak, Banten Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Benthos. Jurnal VIS VITALIS. 2 (2) : 31.

Utami. T. M. R., Maluskah, L dan Yusuf, M.. 2016. Sebaran Nitrat (NO3) dan Fosfat (PO4) Di Perairan Karangsong Kabupaten Indramayu. Bulletin Oseanografi Marina. 5 (1) : 31 – 37. ISSN :2089 – 3507.

Walukow. A. F. 2010. Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet di Danau Sentani Jayapura Provinsi Papua, Jayapura. Jurnal Biologi. 10 (3):1-5

Warlina, L. 2004. Pencemaran Air: Sumber, Dampak dan Penanggulangannya, Bogor.

Wulandari, T., H. Wahyuni dan A. Muhtadi. 2016. Struktur Komunitas Maakrozoobentos di Kawasan Mangrove Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Jurnal Aquacoastmarine. 14 (4): 1-12.

Universitas Sumatera Utara 53

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara 54

Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian

Cold box Sechi disk

GPS Refraktometer

DO Meter pH Met

Universitas Sumatera Utara 55

Tali plastik Kertas milimeter block

Meteran gulung Plastik

Tisu Kamera

Buku identifikasi Sample Bivalvia

Universitas Sumatera Utara 56

Lampiran 2. Kegiatan Penelitian

Pengambilan sample Bivalvia Pengambilan Substrat

Pengukuran Kecerahan Pengukuran pH

Pengukuran Salinitas Pengukuran DO

Universitas Sumatera Utara 57

Lampiran 3. Penentuan Tekstur Substrat

Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu :

1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi

pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.

2. Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi

presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di

titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi

presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir.

3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang

dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat

menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)

dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA)

Universitas Sumatera Utara 58

Lampiran 4. Gambar Bivalvia

Mactra grandis Anadara granosa

Meretrix meretrix Tellina remies

Universitas Sumatera Utara 59

Lampiran 5. Biomassa Bivalvia

Stasiun 1

Nama Spesies Berat A B Br Rangking

Mactra grandis 16,14 1 5,38 24,66381 2 Tellina remies 16,59 1 5,53 25,35147 3 Meretrix meretrix 24,81 1 8,27 37,91259 4 Anadara granosa 7,9 1 2,633333 12,07213 1 Jumlah 65,44 100

Stasiun 2

Nama Spesies Berat A B Br Rangking

Mactra grandis 21,73 1 7,243333 34,04355 3 Tellina remies 6,47 1 2,156667 10,1363 1 Meretrix meretrix 24,64 1 8,213333 38,60254 4 Anadara granosa 10,99 1 3,663333 17,21761 2 Jumlah 63,83 100

Stasiun 3

Nama Spesies Berat A B Br Rangking

Mactra grandis 16,76 1 5,586667 25,02987 2 Tellina remies 22,88 1 7,626667 34,16965 4 Meretrix meretrix 18,15 1 6,05 27,10573 3 Anadara granosa 9,17 1 3,056667 13,69474 1 Jumlah 66,96

Universitas Sumatera Utara