ILMUIMAN.NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik

Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2016 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel- cerpen percintaan atau romance.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca.. karya kami, anda, kita semua. Peringatan: Selazimnya romance-percintaan, karya ini bukan untuk anak/remaja di bawah umur. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab pembaca. Tokoh & alur cerita adalah fiksi belaka. Terima kasih & salam.

*** Kira-kira Sejarah

Jawa Bagian Barat Adalah Kunci

Masa kini, jawa bagian barat adalah daerah termaju di , terbagi menjadi tiga propinsi, DKI Jaya, Banten, dan Jabar. Depok dan Bekasi juga ada di situ, dua daerah paling sering dibuli di sosial media tertentu. Hehehe... Sorry.

Bagaimana sejarah daerah ini?

Selain termaju di masa kini, dulu pun sebelum adanya interaksi senusantara, dia juga termaju. Kerajaan-kerajaan tertua nusantara, kira-kira juga pertama muncul di jawa barat ini. Yaitu yang tercatat kerajaan tua Salakanagara, bercorak Hindu ala India. Nehi- nehi. Salakanagara diperkirakan sudah ada setidaknya sejak 130M. Abad ke-2. Mohon maklum, kerajaan tua nusantara yang lain, yang dikenal sejarah, yaitu di , eksisnya baru abad ke-4, atau dua abad setelah Salakanagara. Di jawa bagian tengah-timur, kerajaan tuanya adalah Ho-ling atau Kalingga, beneran mulai eksis di blantika sejarah baru sekitar abad ke-6. Sorry, jek.

Salakanagara itu setelah ganti-ganti raja, rajanya namanya belum ada yang Ujang, Cecep, atau Engkos. Semuanya nama India. Lalu, ada jagoan India datang lagi, kawin dengan putri Salakanagara, dan kemudian 'mentransformasi Salakanagara', jadi negara yang lebih digdaya, namanya kerajaan . Jayanya di masa raja , dan di puncak kejayaannya, dia lebih besar dari kerajaan manapun di Nusantara. Kekuasaannya sampai Sungai Pamali di Brebes sana di pesisir utara, dan pesisir timurnya bahkan sampai Sungai Bogowonto, lebih menjorok lagi ke timur.

Di masa Tarumanagara ini, bermunculanlah kerajaan-kerajaan bawahan yang kecilan, yang menonjol adalah Kendan di Nagreg masa kini, lalu Galuh, di Ciamis masa kini. Lalu Sunda atau Kalapa di daerah kota tua . Satu titik, Tarumanagara lalu tidak punya putra mahkota. Putrinya lantas dinikahkan dengan pangeran Sunda, dan bersama mereka memimpin kerajaan. Pusat kerajaannya dipindahkan ke Sunda Kalapa, tapi Galuh tidak mengakui tuan baru ini, sehingga kemudian jawa bagian barat terbelah jadi dua: kerajaan Sunda di sisi barat, dan kerajaan Galuh di timur.

Galuh ini, kemudian berkembang, dan sempat dikudeta sehingga kepemimpinannya lepas dari tangan trah Tarumanagara. Kemudian, trah Tarumanagara yang asli dari daerah Sunda, berkongsi dengan raja Sanjaya dari Mataram Kuno alias Medang melawan Galuh. Medang ini kelanjutan kerajaan jawa tua Kalingga, tapi Sanjayanya mungkin masih bersaudara dengan trah Syailendra yang menguasai Nusantara masa itu melalui tahta Sriwijaya, dan ada kemungkinan juga, masih mambu-mambu trah Tarumanagara. Aliansi Medang-Sunda sukses menekuk Galuh. Sanjaya merangkap menduduki tahtanya sebentar, tapi karena kedekatan budayanya lebih ke Sunda, ujungnya.. pada satu titik, Galuh itu menyatunya dengan Sunda (lagi). Lama-lama, bahkan pusat kekuasaannya adalah di Galuh, Ciamis itu, yang relatif lebih terlindung oleh benteng alam, dan sulit diserang oleh marinir penyerang dari mancanegara.

Sunda-Galuh ini, untuk waktu yang lama sekali relatif independen. Mungkin sempat 'menghamba' ke raja yang lebih digdaya macam , Kediri, Singosari, Sriwijaya, dan , tapi tidak pernah beneran dijajah. Bahkan, sampai berjaya, Sunda-Galuh ini relatif merdeka, independen.

Sampai suatu ketika, Hayam Wuruk dari Majapahit terpikat putri Galuh Dyah Pitaloka, dan sekaligus berniat menjalin aliansi. Tapi, rupanya, faksi-faksi tertentu di Majapahit menentang rencana ini, dan berujung di peristiwa geger Bubat. Segenap pasukan dan raja Galuh, termasuk sang putri, tumpas pada peristiwa itu.

Habis itu, Sunda-Galuh ini ngeri, takut kalau terus diluruk oleh Majapahit, sehingga dia pindahkanlah ibukotanya, ke pedalaman di arah barat, yang lebih jauh dari Majapahit, daripada area sekitar Ciamis. Pindahan ini, kemungkinan terjadi di masa Wastukencana yang disebut juga Prabu Wangi, yang namanya mewangi kemana-mana.

Ibukota baru adalah di sekitar masa kini, disebut sebagai Pakuan atau Pajajaran. Corak kerajaannya tetap solid Hindu. Untuk mengimbangi kingkong Majapahit di sisi timur, Pakuan-Pajajaran ini lalu kerja keras membangun negeri, dan berusaha mengcover teritorial seperti orang Jawa. Mohon maklum, di masa itu, selain Jawa Tengah-Timur, corak kerajaan Nusantara tidaklah teritorial luas, tapi penguasaannya cuma bersifat penguasaan penjuru-penjuru, titik-titik kunci, yang terus dijadikan kota. Di antara kota-kota itu, kebanyakannya adalah daerah tak bertuan.

Kira-kira yang paling yahud dalam memodernisir Pakuan-Pajajaran, agar bisa mengimbangi Jawa, di masa lalu adalah cucu Prabu Wangi atau cucu Wastukencana itu, yang terus dijuluki sebagai 'Pengganti Sang Prabu Wangi' atau 'Sulihnya Wangi' atau lama-lama di cerita rakyat jadi Siliwangi. Siliwangi ini juga yang memperkenalkan konsep tanam paksa atau kerja paksa pertama kali di Nusantara. Yang kelak ditiru secara masif oleh orang Belanda. Yang idenya: orang kaya bayar pajak dengan harta, orang miskin bayar dengan tenaga. Kerja atau bertanam secara paksa sebagai bentuk pajak itu, merupakan inovasi unik, tapi mungkin juga rada sadis. Lazimnya, yang mesti bayar pajak itu kan orang kaya. Ini orang miskin pun wajib! Tapi, berkat konsep itu, Pakuan-Pajajaran yang penduduknya relatif sedikit, jadi tetap eksis, independen, beserta segenap negeri bawahannya, di tengah percaturan bangsa dan negeri-negeri yang lebih digdaya di nusantara, untuk waktu yang lama. Kota pelabuhan utamanya mestinya adalah Banten di timur, Sunda-Kalapa di tengah, dan Cirebon di timur. Ibukota tetap di Pakuan-Pajajaran sekitar Bogor masa kini.

Negeri bawahannya apa saja? Banyak. Sebelum masa Tarumanagara, ada dikenal nama-nama lama seperti Jampang Manggung, Agrabintapura, Malabar, dan Karang Sindulang. Sedang di jaman Tarumanagara, muncul: Indraprahasta, Cupunagara, Nusa Sabey, Purwanagara, Ujung Kulon, Gunung Kidul, Purbolinggi, Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala, Legon, Manukrawa, Sindangjero, Purwakarta, Wanagiri, Purwagaluh, Cangkuwang, Sagara, Kubang Giri, Cupugiri, Alangka, Manik Parwata, Salaka Gadang, Bitung Giri, Tanjung Kalapa, Pakuwan Sumurwangi, Kalapa Girang, Tanjung Camara, Sagara Pasir, Rangkas, Pura Dalem, Linggadewa, Setyaraja, Wanadatar, Wanajati, Sundapura, Rajatapura, Dua Kalapa, Pasir Muara, Pasir Sanggarung, Indihiyang, Pasir Batang. Nama itu semua sudah dikenal sejak sebelum tahun 500M.

Dari bentukan baru kerajaan daerah timur Kendan (Nagrek), kemudian berkembang ada kerajaan Medangjati, Galuh, Galunggung, Sunda, Saunggalah. Di masa Sunda- Galuh muncul lagi Talaga, Panjalu, Tanjung Singuru, Kawali (Galuh), Timbanganten, Sindang Parang, Sindangkasih, Pajagaluh, Pajajaran, Arcamanik. Lalu Sumedang Larang, Cirebon, Wahanten, Banten muncul belakangan. Semua sudah dikenal sebelum tahun 1600. Sedangkan bila ada nama lain, di luar nama-nama di atas, semua munculnya belakangan, yaitu setelah tahun 1600.

***

Kisruhnya Status Quo

Di penghujung abad ke-15, saat kesultanan Demak mulai kuat, Majapahit meluruh, dan Portugis mulai muncul, barulah status-quo Pakuan-Pajajaran goyah. Tidak lama setelah Cirebon yang menyempal dan bergabung jadi bawahan kesultanan Demak, Pakuan- Pajajaran yang jeri dengan ekspansifnya Demak dan islamisasi lalu beraliansi dengan Portugis, yang sama-sama anti-islam, bahkan mungkin punya hobi menistakan agama islam secara amat terang-terangan, karena orang-orang islam itu sudah merebut salah satu pelabuhan kunci Pajajaran, yaitu Cirebon. Toh oleh orang-orang Sunda masa kini yang islam.. dipuja-puji kerajaan tua ini, dijadikan nama jalan, nama universitas, dan seterusnya. Sementara, satu oknum yang cuma selip lidah dikit, didemo besar-besaran beberapa gelombang. Waduh. Tidak usahlah kita bahas panjang lebar. Dalam konteks aliansi tersebut, kemudian Portugis oleh Pajajaran diijinkan mendirikan benteng dan mengkonsentrasikan pasukan di Sunda-Kalapa. Yaitu sejak 1513. Sejak itu, Sunda-Kalapa jadi sulit diserang kesultanan islam. Demak dan segenap aliansinya, lantas coba mengincar pelabuhan satu lagi, yaitu Banten di sisi barat.

Pajajaran yang secara militer nyadar tidak bisa melawan Demak, lama-lama minta tolong Portugis lagi, untuk ikut menjaga Banten. Lha, ini sebetulnya dilema. Kalau ujungnya yang berkuasa di Banten itu Portugis lagi seperti mereka berkuasa di Sunda- Kalapa, Pajajaran jadi tidak punya pelabuhan dagang! Pilih mana? Telek kucing atau telek pithik? Dua-duanya telek. Dua-duanya tidak mengenakkan. Toh akhirnya, Portugis yang dipilih. Pajajaran tahu, selicik-liciknya Portugis, mereka cuma napsu menguasai kota dagang, tidak ingin menguasai teritorial luas seperti orang-orang Jawa. Jadilah, akhirnya, Portugis dapat konsesi keamanan di Banten tahun 1522.

Kalau nekat frontal nyerang Sunda-Kelapa dan Banten, Demak bisa mejret disembur moncong meriam Portugis. Akhirnya.. orang-orang Demak, kemungkinan dipimpin oleh Gunungjati mengubah taktik. Gunungjati ini bertahta di Cirebon, bawahan Demak, kemungkinan adik ipar Sultan Demak Trenggono. Gunungjati konon baru pulang dari Mekah tahun 1523, terus menikahi saudara perempuan Trenggono itu. Bisa jadi, Gunungjati itu asalnya dari Samodra-Pasai, hengkang ke Mekah 1521 saat Pasai diserbu Portugis. Jadi, dia punya dendam mendalam terhadap Portugis, dan kemungkinan tahu keunggulan dan kelemahan musuhnya.

Gunungjati, dibantu orang-orang Demak, Cirebon, dan lain-lain bawahan Demak melakukan infiltrasi dari daratan. Islamisasi diam-diam ini, sukses tahun 1524. Dan di tahun itu juga, tanpa tempur meriam berkepanjangan dengan Portugis, tahu-tahu pemimpin lokal di Banten jadi Islam! Dan dibeking oleh Demak dan Cirebon.

Portugis kecolongan. Pajajaran kecolongan. Tidak bisa apa-apa saat kemudian orang- orang Cirebon melenggang mengambil alih pelabuhan Banten. Bahkan, tahun 1524 itu juga, atau mungkin 1525, tanah Lampung yang semula menginduk ke Pajajaran, ikut beralih jadi menghamba ke Demak. Yang getol dakwah di Lampung adalah Hasanudin, anak Gunungjati, atau orang-orangnya dia.

Demak jadi dapat momentum, dan ini tidak disia-siakan oleh mereka. Bersekutu dengan Banten, Cirebon, dan mungkin juga orang Lampung, kemudian tahun 1527 mereka menghancurkan kekuatan gabungan Portugis-Pajajaran di Sunda-Kelapa. Oleh orang Demak dan Cirebon, panglima penakluknya dijuluki Fatahillah, tapi oleh lidah Portugis, Fatahilah diplesetkan jadi Faletehan, mungkin dengan maksud menghina atau apa. Bisa jadi, Fatahilah itu Gunungjati juga. Pendapat lain, Fatahilah itu menantunya. Setelah perebutan ini, Sunda-Kelapa diganti nama jadi Jayakarta. Dendam Gunungjati terbayar lunas. Dan sejak itu, pesisir jawa bagian barat, jadi milik kesultanan islam, yang induknya adalah Kesultanan Demak. Portugis hengkang, tidak pernah punya pijakan militer lagi di jawa bagian barat. Jadi, mereka eksis di jawa barat cuma 1513-1527 atau sekitar 14 tahun saja. Sedang kerajaan Hindu tua yang sudah eksis 14 abad sejak abad ke-2, mundur bertahan di pedalaman Jawa Barat, mengandalkan benteng alam Pakuan-Pajajaran.

Di wikipedia ada cerita versi lain. Disebutkan: Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama Pangeran Walangsungsang mendakwah di Banten alias Wahanten sejak lama. Berhubung muslim sudah banyak di pesisir, di Wahanten Pesisir dakwah cukup berhasil, termasuk di kalangan para pemimpin atau pucuk umum. Masa itu, selain Sang Surosowan (anak prabu Jaya Dewata, Siliwangi, leader di Pakuan/Pajajaran) yang berkuasa di Wahanten Pesisir, ada lagi pucuk umum wilayah Wahanten Girang (area kota Serang masa kini), Arya Suranggana namanya. Katanya, Syarif Hidayatullah lalu kawin dengan Nyai Kawung Anten (putri Sang Surosowan), punya anak Ratu Winaon (alias Ratu Ayu, lahir 1477) dan Pangeran Maulana Hasanudin (alias Pangeran Sabakingkin, lahir 1478). Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon, untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon 1479, pasca rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

Tahun 1511, Ratu Ayu alias Ratu Winaon itu lantas kawin dengan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir alias Pati Unus, yang merupakan Senapati Sarjawala atau Panglima Angkatan Laut Demak, yang kelak menjadi Sultan Demak 1518). Perkawinan 1511 itulah yang memicu kecemasan Jaya Dewata, leader di Pakuan/Pajajaran, sehingga tahun 1512, anak rajanya, Pangeran Surawisesa diutus membangun pakta dengan panglima Portugis, Afonso de Albuquerque di Malaka yang baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Belakangan, Gunungjati dan Hasanudin ke Mekah. Dan sepulang dari sana, dakwah lagi ke Banten. Begitu... Cuma akurasi cerita yang ini wallahualam. Andai ini benar, maka saat infiltrasi Cirebon 1524-an itu, Hasanudin umurnya sudah 47 tahunan, dan Gunungjati sang ayah harusnya sudah 65-an tahun minimal. Kita balik lagi saja ke cerita inti kita.

Tahun 1930, Lampung yang semula menghamba ke Demak berganti majikan, jadi menghamba ke Banten. Relatif secara damai, karena Demak yang sibuk invasi ke daerah-daerah lain, sepertinya tidak punya cukup sumber daya untuk cekcok dengan Cirebon dan Banten kerajaan bawahan dia. Lagi pula, kemungkinan yang memimpin Lampung kala itu adalah Hasanudin. Jadi, terasa natural kalau dia menghamba ke Demak melalui perantaraan ayahnya Gunungjati yang dipertuan di Banten-Cirebon, dan bukannya secara langsung.

***

Munculnya Kesultanan Banten Merdeka

Tahun 1552, Hasanudin putra Gunungjati yang sudah bertahta di Banten dan Lampung, lalu memisahkan diri dari Demak dan Cirebon, dan menjadi negeri merdeka sejak itu. Ada yang bilang hal ini didukung oleh ayahnya, Sunan Gunungjati, yang bertahta di Cirebon. Atau bahkan, sang ayah inilah yang mengatur agar Banten mandiri dan Hasanudin itu dikukuhkan oleh sang ayah. Andai benar cerita versi kedua di atas, tahun 1552 ini Maulana Hasanudin sudah 75 tahun! Dan ayahnya paling tidak 92 tahun! Wuih. Manula kelas berat. Bisa saja sih, tapi kalo bener ini luar biasa.

Demak tidak kuasa untuk mencegahnya karena repot ekspansi ke negeri-negeri kecilan di sekelilingnya, dan senusantara, dan juga terus urusan dengan musuh-musuh eropa. Lagi pula, Demaknya tidak lagi dipimpin oleh Sultan Trenggono, tapi sudah dipimpin oleh Sultan Prawata. Hasanudin ini jugalah yang membangun istana Surosowan di Banten Lama masa kini, di Serang. Ada bentengnya juga, dan itulah istana pusatnya kesultanan Banten sampai kelak dihancurkan Belanda. (Bisa saja, istilah Surosowan baru muncul setelah istana itu jadi?)

Masa berganti... Tahun 1570, Maulana Yusuf naik tahta jadi Sultan Banten. Pada masa ini, mungkin demi mengimbangi Demak, Banten sudah damai lagi dengan Portugis, atau malah beraliansi, dan kapal-kapal Portugis sudah bebas dagang lagi di Banten.

Tahun 1579, Banten menundukkan Pakuan-Pajajaran, menyatukan seluruh Jawa Barat dan Lampung. Kalangan garis keras yang tidak mau diislamkan, lalu bubar, menyebar ke pedalaman. Seiring waktu, satu demi satu luruh, di masa kini, yang sisa hanyalah komunitas Baduy. Di ujung 1579, Maulana Yusuf coba menaklukkan Palembang, demi mengecilkan peran Portugis, tapi gagal. Bahkan dia meninggal dalam usahanya itu.

Sepeninggal sang ayah, 1580, Maulana Muhammad naik tahta jadi Sultan Banten berikutnya. Kemungkinan, di puncak kejayaannya ini, Banten meliputi seluruh bekas kerajaan Tarumanagara, termasuk Cirebon, Sunda-Kalapa. Plus Lampung. Dan di jantung Jawa-Baratnya sendiri, mereka tidak cuma menguasai penjuru-penjuru, tetapi menguasai teritorial luas, mewarisi pembangunan yang dimulai era Siliwangi.

Ketika Juni 1596 Cornelis De Houtman orang Belanda mengunjungi Banten, kesultanan itu sudah berjaya sekitar 72 tahun! Mereka relatif berdamai dengan orang Portugis, dan Portugis diberi kesempatan hilir mudik di Banten. De Houtman awalnya disambut ramah, tapi karena kurang respek pada kesultanan Banten, ujungnya ditembaki rame- rame bersama orang-orang Portugis yang punya meriam-meriam besar. Konon, ada cerita menyebutkan: De Houtman dan rombongan berusaha membeli paksa lada yang diangkut dari selatan dengan harga murah. Ditolak tentu saja. Lantas mereka melaut, merangsek dua kapal Jawa penuh lada. Mereka rampas dua kapal yang kalah persenjataan itu. Lalu, sambil kabur mereka menembaki kota pelabuhan Banten.

Okelah, urusan meriam kapal, orang Banten kalah teknologi, tapi.. dalam perang man to man, Banten yang sudah lama memantau tentara-tentara komando sejak jaman Sriwijaya, Singosari, Majapahit,.. punya juga pendekar-pendekar, tentara komando. Tugas komando pun lalu dilancarkan, dan ujungnya, pendekar Banten berhasil menciduk Cornelis De Houtman pimpinan armada Belanda. Dipalak abislah dia. Dipaksa menebus dirinya 45 ribu gulden. Lalu diusir dari tanah Banten Oktober 1596.

Tahun 1596 itu juga, Banten berganti sultan baru: Abul Mufakir. Semula, nama raja baru ini Pangeran Ratu. Saat naik tahta, dia inilah raja pertama di pulau Jawa yang pakai gelar Sultan. Konon mulai pakainya tahun 1638 dengan nama Arabnya Abu Al Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Sebelum pakai Sultan, mestinya leader pada pakai kata Sunan atau Susuhunan alias bermakna kurang lebih sesembahan atau 'yang selalu diiyakan permintaannya'. Apa-apa yang dia minta sumuhun, siap, iya, yes, Sir.

Catatan: kalau sebelum masa ini ada yang digelari Sultan, itu secara retrospek saja. Dicocok-cocokin, tapi padahal, pada eranya, belum beneran diadress sebagai sultan. Konon, saat naik tahta, Sultan Abdulkadir ini masih amat belia, sehingga eksekutifnya dijalankan oleh para tetua dan Mangkubumi secara kolektif.

Courtesy dari wikipedia, gambaran teritorial Banten kurang lebih seperti di peta.

Apakah setelah De Houtman kabur, terus orang-orang Banten tutup pintu terhadap pedagang Belanda? Ternyata tidak. Orang-orang Belanda lain, kemudian bisa berniaga dan mampir di Banten seperti juga umumnya pedagang lain dari negera manapun, tapi tidak bawa kekuatan militer. Tahun 1597, sejumlah orang Portugis yang kalah saing dengan Belanda dalam perdagangan, dipimpin Lourenzo de Brito nekat menyerang kesultanan Banten yang mereka anggap memanjakan Belanda. Serangan ini, bertentangan dengan perintah induk kerajaan Portugis, tapi cukup masif juga. Toh kesultanan Banten di titik ini bukanlah kesultanan ecek-ecek. Armada Portugis berhasil dipukul mundur.

Tahun 1597 selepas serangan portugis, orang-orang Jawa menduga, Banten jadi lemah. Setelah waktu berlalu, yang bersinar di Jawa bukan lagi Demak, tapi sudah bergeser ke Pajang, dan saat itu Mataram. Lalu, Senopati bersama bala Mataram coba menaklukkan Banten. Tapi gagal, dipukul balik. Karena ternyata: Banten masih solid, secara militer, maupun ekonomi. Daerah Lampung sampai Bengkulu sana, yang kala itu penghasil lada kelas wahid, perdagangannya dimonopoli oleh Banten. Jadi, Banten itu termasuk pelabuhan perdagangan rempah-rempah paling top sedunia kala itu.

Di ujung abad ke-16, Belanda yang lebih siap dari Portugis lantas kirim armada besar- besaran. Puncaknya 25-27 Desember 1601, terjadilah pertempuran laut di dekat pelabuhan Banten, 5 kapal Belanda yang canggih, melawan 30 kapal Banten-Portugis yang lebih kuno. Belanda pun menang!

Di titik ini, Belanda kelihatannya cerdik. Lebih cerdik dari Portugis yang kurang memahami konstelasi kerajaan di pulau Jawa. Belanda tahu, inti kekuatan Banten bukanlah sekedar satu atau beberapa kota. Tapi meliputi teritorial luas. Kalaupun istananya direbut, para pendekarnya bisa menyebar ke segenap wilayah, yang pasti bikin pusing lagi bertahun-tahun kalau mereka merongrong kota-kota pelabuhan. Untuk menundukkan wilayah seluas propinsi Banten yang hutannya lebat, Belanda gak bisa.

Jadi, bukannya merebut ibukota Banten, para pemimpin Belanda malah berbaik-baik pada kesultanan Banten. Sultannya diberi hadiah-hadiah. Dan ujungnya, terbentuklah persekutuan. Banten untung, banyak kado dan dilindungi Belanda yang kapal-kapalnya termasuk paling top. Dari serangan orang-orang Jawa, Palembang, dan seterusnya. Jadi, tidak ada yang kuasa mengganggunya.

Belandanya juga hoki, dapat akses ke rempah-rempah. Ini jadi untung sama untung. Tapi, sejak itu, Banten pun surut di bawah bayang-bayang Belanda. Di daratan, dia tetap eksis, nyaris memasuki tahun ke-80. Tapi di jalur perdagangan laut, Belandalah yang digdaya. Toh kesultanan Banten tetap bisa membina hubungan diplomatik dengan negeri-negeri Eropa. Diketahui, ada surat Sultan Banten untuk raja Inggris James I (1605) dan Charles I (1629). Selain Portugis dan Belanda, kawasan Banten ini banyak disinggahi orang-orang Inggris, Denmark, dan Tionghoa. Perdagangan juga intensif dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina, dan Jepang. Lebih ramai, jauh, dibanding Jayakarta di sisi timurnya.

Di pihak lain, selepas tempur dengan Portugis 1601, tahun 1602-nya Belanda mendirikan VOC. Tiru-tiru Inggris yang membentuk EIC (East India Company) 1600. Tapi VOC ini jauh lebih berjaya bertahun-tahun dari siapapun di dunia ini. Multi-national company yang tertua, dan juga disebut sebagai perusahaan pertama yang menjual saham ke masyarakat luas. Sejak berdiri itu, VOC berkembang pesat. Tahun 1602 mendirikan trading post dan benteng di Banten. Tahun 1610 mulai mengangkat gubernur jenderal, dan 1611 VOC mulai mendirikan benteng Batavia di Jayakarta. Yang berkat keunggulan militernya, usaha perluasan ini dibiarkan saja oleh Sultan Banten.

Tahun 1619, Gubernur Jenderal baru, Jan Pieterszoon Coen punya visi: VOC merajai Asia! Secara ekonomi dan politik. Lalu, 30 Mei 1619, dia kerahkan segenap tentara bersama 19 kapal perang, untuk menyapu segenap kekuatan Banten yang ada di Jayakarta. Jayakarta pun terbakar hebat, dan kekuasaan Banten di situ punah. Sejak itulah, Batavia yang semula cuma nama benteng, terus jadi nama kota yang merupakan ibukota VOC untuk selamanya. Dibangun di atas abu reruntuhan Jayakarta. VOC yang semula cuma punya trading posts, menguasai pelabuhan dagang, berubah taktik, jadi seperti raja-raja Jawa dan Pajajaran, berusaha membina teritorial seluas mungkin.

Toh bagi Banten, bercokol kuatnya Belanda di Batavia dan sekitarnya itu membentengi dia dari serangan kesultanan-kesultanan Jawa dari arah timur yang jauh lebih besar massa tentara infanterinya. Jadi masih ada manfaatnya juga.

Kita lanjutkan cerita Banten. Walau Belanda unggul di teknologi maritim, meriam, dan perbentengan, kesultanan Banten tetap berkibar di teritorial Jawa Barat. Masa kejayaan Banten, dianggap terjadi lagi saat Sultan Ageng Tirtayasa bertahta 1651-1682, yaitu 50 tahun setelah armada Belanda memenangkan pertempuran laut itu. Cirebon yang dulu saudara tua sekarang seperti dianggap adik oleh Banten.

Belajar dari Belanda, Tirtayasa membangun armada lagi, ala Eropa. Bahkan dia mempekerjakan orang-orang Eropa di armadanya. Dia sempat menaklukkan Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (di Kalbar sekarang) tahun 1661, demi mengamankan jalur pelayarannya, menembus blokade VOC yang sejak membakar Jayakarta, merupakan musuh besar Banten. Toh di sini, harus diakui, Belanda itu digdaya.

Seluruh Eropa, itu saingan dia. Di Jawa, sisi baratnya yaitu Banten, itu musuh dia. Sisi timurnya: Cirebon, Mataram, dan kerajaan-kerajaan bawahan di selatan, itu juga memusuhi dia... Se-Nusantara, yang berteman dengannya juga cuma sedikit. Kecil- kecil. Tapi pada akhirnya,... Belanda tetap unggul dan eksis.

Di tahun 1673, diteliti oleh Belanda, di ibukota Banten total penduduk ada 150 ribu, termasuk lansia, perempuan, dan anak/remaja. Di antaranya, 55 ribu dianggap siap perang. Tahun 1676 banyak pelarian Cina Selatan dari daerah Fujian yang kisruh.. migrasi dan mencari suaka ke Banten. Sejak itu, turunan Cina secara proporsi lebih banyak dari turunan India dan Arab. Orang-orang Eropa, utamanya Inggris, Belanda, Perancis, Denmark, Portugis jumlahnya banyak tapi tidak terlalu mencolok, umumnya membangun pondokan dan gudang di sekitar Ci Banten. Ibukota Banten pada masa ini, kalau dibanding kota-kota lain di dunia, mungkin bisa termasuk jajaran elit. Ekonomi pun canggih. Sementara di pesisir perdagangan mendominasi, di pedalaman, masyarakat melanjutkan budaya jaman Siliwangi, banyak yang berladang, bersawah, menyadap, dan berburu. Tahun 1663-1667, Banten membangun irigasi meniru raja-raja Jawa. Ada 30-40 km kanal dibangun oleh 16 ribu orang, mengairi 30-40 ribu hektar sawah baru. Dikerahkan 30 ribu petani baru di sawah-sawah tersebut, termasuk turunan Bugis dan Makasar. Kelapa ditanam ribuan hektar, dan tebu yang diperkenalkan saudagar Cina juga dikembangkan.

Ibukota, lokasinya di antara dua sungai, yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di situ ada pasar (pasar utama disebut Kapalembangan, berlokasi antara Mejid Agung dan Ci Banten), lalu ada alun-alun, istana Surosowan yang dikelilingi tembok dan parit, dan di utaranya ada Masjid Agung Banten dengan menara model mercu suar yang kemungkinan sekaligus sebagai menara pengawas kapal-kapal. Kesultanan sudah menerapkan pola cukai atas kapal yang singgah. Pemungutnya adalah syahbandar dan para anggota. Pemungutan dilakukan di tempat bernama pabean. Salah satu syahbandar terkenal masa Sultan Ageng namanya Syahbandar Kaytsu.

Pusat kotanya masih model mandala seperti konsep masa Hindu-Budha. Di sekeliling, residential area dibuat per etnis tertentu Ada kampung pekojan (etnis persia), kampung pecinan (etnis tionghoa), dan seterusnya.

Toh ketentraman tidak berlangsung terus. Tahun 1680, kesultanan Banten kisruh Sultan Ageng berebut kekuasaan dengan Sultan Haji anaknya yang dibeking VOC. Sultan Haji alias Sultan Abu Nashar Abdul Qohar juga sempat mengirimkan dua utusan menemui raja Inggris di London 1682 untuk minta dukungan persenjataan. Sultan Ageng terpukul mundur ke daerah Tirtayasa (di sekitar muara Sungai Ciujung, dan mungkin baru sejak inilah dia disebut Sultan Ageng Tirtayasa?). Di Tirtayasa dia bersama putranya yang lain, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf dari Makasar. Lalu terdesak ke pedalaman tanah Sunda di Selatan sampai 14 Maret 1683 tertangkap, kemudian ditahan di Batavia.

Sementara sang raja ditawan, Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf terus berjuang. VOC mengerahkan Letnan Untung Surapati dan pasukan Bali-nya. Yaitu untuk membantu pasukan Letnan Maurits van Happel. Membantu, tapi ternyata lebih jagoan. Syekh Yusuf dikalahkan di Pamotan dan Dayeuh Luhur Desember 1683. Lalu ditawan.

Pangeran Purbaya pun menyerahkan diri pada pasukan Kapten Johan Ruisj dan Letnan Untung Surapati. Tapi, saat dia dibawa Untung Surapati ke Batavia, rombongan ini dicegat pasukan VOC lain pimpinanan Willem Kuffeler. Untung Surapati dan pasukannya mengamuk. Markas dan pasukan Kuffeler dihancurkan. Untung Surapati dan pasukan lalu kabur jadi buronan VOC. Sedang Pangeran Purbaya ujungnya kebawa juga ke Batavia Februari 1684. Sejak itu, Banten praktis jadi vasal atau kerajaan bawahan VOC, kemudian Hindia Belanda setelah VOC bubar tahun 1800-an kelak. Sultan Haji naik tahta 1682.

Lampung diserahkan kepada VOC tahun 1682 itu juga. Monopoli lada pun diserahkan. Plus Sultan Haji masih hutang biaya perang yang hitungannya baru selesai 1684. Saat Sultan Haji meninggal 1687, penggantian sultan mesti ijin dulu pada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Apa yang terjadi? Ini konyol. Sultan Haji itu menjual negerinya sendiri kepada VOC 1680.. sekedar untuk berkuasa sebagai pimpinan boneka, selama 5 tahun saja (1682-1687), habis itu mahfud, eh wafat!

Bila direnungkan, mengapa oh mengapa, minuman itu haram? Begitu kata Bang Haji. Kata kita, mengapa Sultan Haji (tapi bukan Bang Haji) memberontak pada ayahnya Sultan Ageng? Godaan duniawi sepertinya membuai. Entah dikomporin, takut kalau dia dipinggirkan bila tahta jatuh ke tangan Pangeran Purbaya saudaranya, atau karena terusik melihat ayahnya terlalu anti Belanda, sedang Sultan Haji melihat, memusuhi Belanda itu kontra produktif, dan mestinya noni-noni Belanda itu dirangkul saja? Atau bagaimana? Secara persis, sejarah tidak mencatat. Yang jelas, tentu pertentangan anak dan bapak ini mendalam. Kalau enggak? Tentu di kerajaan yang sudah sematang Banten waktu itu, perselisihan bisa cepat diselesaikan oleh mekanisme internal. Saat Cirebon kisruh, Sultan Ageng yang memediasi. Masak dia tidak bisa atur istana sendiri?

***

Keruntuhan Kesultanan Banten

Bisa juga kita pandang, masa Sultan Ageng Tirtayasa itu, awal kejatuhan Banten. Dia kurang melihat realita, atas unggulnya VOC. Banten terbuai. Arogan. Tidak fleksibel. Kaku. Tidak luwes menyiasati perubahan jaman. Setelah istana Surosowan dibakar, mungkin Banten baru nyadar, tapi kesadaran itu terlambat. Andai luwes seperti sultan- sultan Mataram, bisa saja Banten itu ujungnya jatuh ke bawah kendali Belanda dengan lebih elegan, dan para bangsawannya tetap bisa eksis di singgasana seperti para bangsawan Mataram yang masih ada sampai sekarang. Tapi sudahlah. Hidup adalah pilihan. Mungkin bagi rakyat Banten, lebih terhormat bertempur sampai mati daripada mesti berluwes-luwes seperti orang Jawa. Wallahualam.

Toh perhitungan VOC pun tidak jitu. Dia pikir, setelah Banten berhasil 'dibina', sultannya disetir gubernur jenderal, terus wilayah Banten jadi terkendali. Nyatanya tidak! Selepas masa Sultan Haji, segenap akar rumput di Banten cenderung berontak terus, sampai akhirnya... sultan-sultannya, para keturunan Sultan Haji, makin tergantung pada beking VOC. Puncaknya, tentara Belanda sempat turun tangan lagi meredam pemberontakan hebat 1752, dan sejak itu, Banten barulah resmi secara 'de jure' menjadi vasal VOC, yang sebetulnya, secara 'de facto' hal itu sudah terjadi sejak 1680-an.

Setelah itu, beberapa lama Banten relatif anteng di bawah kekuasaan Belanda. Perannya sebagai pelabuhan dagang utama tergusur oleh Batavia. Sampai kemudian.. di Eropa meletus perang Napoleon, yang kurang lebih merupakan Perang Dunia 0. Yaitu 1803-1815. Dalam periode ini, negeri induk Belanda jatuh ke tangan Napoleon, dan terus jadi jajahan Perancis. Otomatis, segenap koloni, termasuk Banten dan koloni lain di seantero nusantara pun jadi jajahan Perancis juga. Gubernur Jenderalnya diduduki oleh 'orangnya Napoleon', yaitu Herman Willem Daendels, yang terus jadi Gubernur Jenderal 1808-1810. Dia orang Belanda kelahiran Perancis).

Di Jawa, demi persiapan melawan kemungkinan serbuan Inggris, Daendels memerintah segenap tentara Perancis, Belanda, dan rakyat Jawa di bawah kekuasaannya, untuk membangun jalan raya pos atau "de grote postweg" atau mungkin "la grande route postale" kalau bahasa Perancis, 1000 kilometer dari Anyer (Banten) ke Panarukan (di Jawa timur). Masa itu, Hindia-Belanda adalah satu-satunya koloni besar Belanda- Perancis yang belum kerebut Inggris.

Toh di lautan, Inggris saat itu tak terkalahkan. Daendels menyadari ini, terutama saat Inggris mulai infiltrasi ke Pulau Onrust, lalu Gresik-Surabaya. Dia mikir, kalau tidak dilakukan sejumlah tindakan strategis, Perancis bisa keok abis di Jawa dan koloni sekitarnya. Orang-orang Belanda asli, dia ragukan. Sebagian setia kepada Perancis, tapi lebih banyak yang setianya kepada Belanda asli semula (Dinasti Oranye) yang pro- Inggris dan anti-Napoleon. Selain nyuruh bikin jalan raya pos, Daendels pun mulai mengisi jabatan-jabatan tentara lokal di Hindia dengan orang-orang pribumi, agar melipatganda jumlahnya, untuk mengimbangi kekuatan Inggris dan pro-Inggris. Dia juga bangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya, dia bangun pabrik senjata dan amunisi. Di Semarang, dia bangun pabrik meriam. Di Batavia dia bangun sekolah militer. Kastil di Batavia dia hancurkan, dia ganti dengan benteng di Meester Cornelis (Jatinegara masa kini). Di Surabaya juga dibangun benteng Lodewijk. Jadi, berkat usaha pertahanan perang itu, Jawa mengalami pembangunan kilat cukup signifikan, yang tidak ada padanannya di nusantara ini.

Sayangnya, terhadap raja-raja lokal, Daendels kelewat keras. Semua yang semula kerajaan bawahan, dia paksa jadi jajahan mutlak yang harus mengakui raja Belanda sebagai sesembahannya, yang mana raja Belanda itu adalah bonekanya Napoleon dari Perancis pada masa itu. Utusan-utusan yang ditempatkan di keraton, diharuskan tidak lagi merespek raja-raja lokal, tapi disuruhnya untuk duduk sejajar raja-raja itu. Dan bahkan harus dihormat oleh para raja itu. Ini menimbulkan kesumat. Sehingga, saat kemudian Inggris masuk, rame-rame para bangsawan 'mengkhianati' orang Belanda dan bersikap pro-Inggris.

Khusus Banten, terkait penyiapan jalan pos, Sultannya diminta memindahkan ibukota ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan di Ujung Kulon. Sultan Banten dan segenap rakyat menolak. Dan sebagai jawabannya, Daendels beserta para komandan Perancis menggerakkan pasukan menyerang Banten dan menghancurkan istana Surosowan (lagi). Sultan beserta keluarga disekap di Puri Intan (di bekas kompleks istana), lalu dipindah ke bui di benteng Spellwijk, Batavia. Lalu dari markas di Serang, Deandels mengumumkan hapusnya kesultanan Banten. Diserap ke Hindia Belanda (yang waktu itu jajahan Perancis), 22 November 1808.

Soal jalan pos itu, kenyataannya juga beda dengan mitos selama ini. Sebelum Daendels datang, jalan dari Batavia ke Anyer rupanya sudah ada. Begitu juga, jalan dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor, bekas ibukota Pakuan/Pajajaran). Jadi, Daendels mulainya membangun dari Buitenzorg saja, ke Cisarua, terus ke Sumedang. Dimulainya Mei 1808. Dia bangun juga kota baru di antaranya, yaitu Bandung alias Bandoeng.

Di Bandoeng itu Daendels memerintahkan pemimpin lokal untuk pindah ibukota dari Dauyeh Kolot di tepi Citarum, ke tepi jalan pos yang baru akan dibangun. Dan pemimpin lokal menurut saja. Mungkin takut 'di-Banten-kan'. Di Sumedang, saat disuruh kerja paksa membelah cadas, Pangeran Kornel pemimpin setempat nekat menentang perintah Daendels. Daendels pun mikir. 'Pem-banten-an' akan kontra produktif, dan dia lihat, penentangan disebabkan soal teknis. Medannya tidak memungkinkan para pekerja lokal membelah cadas. Akhirnya,.. Daendles mengalah sedikit. Dia perintahkah pasukan zeninya untuk memborbadir dulu daerah Cadas Pangeran itu dengan meriam. Baru setelah itu digarap jalan. Nama Cadas Pangeran mungkin mulai diabadikan rakyat karena terinspirasi kenekatan sang pangeran menentang Daendels itu.

Semula, untuk konstruksi, Daendels membayar upah 10 sen per orang per hari, tambah garam per minggu. Tapi ternyata, 30.000 gulden yang disediakan cepat ludes. Jalan baru sampai Karangsambung di Jawa Barat. Jadilah, Daendels lalu mengerahkan para bupati dan rakyatnya untuk bekerja gratis 'demi kesejahteraan rakyat'. Karangsambung terus bablas ke Pekalongan. Dari Pekalongan ke Surabaya tidak dibikin jalan baru, karena dari lama sudah ada. Cuma dilebarkan saja. Dibangun baru lagi, dari Surabaya ke Panarukan, yang dia jadikan pelabuhan ekspor paling ujung timur saat itu.

Terkait jalan ini, di Belanda banyak fitnahan-fitnahan menyerang Daendels yang akurasinya juga wallahualam. Dan manfaat dari adanya jalan itu sering kali dikecilkan. Padahal, berkat jalan itu, perhubungan di Jawa dan perekonomian berkembang lebih pesat dari daerah lain senusantara. Semula Jawa sudah paling maju, jadi makin leading berkat jalan itu. Jalan darat Batavia-Surabaya yang sebelumnya 40 hari, memendek jadi cuma 7 hari!

Daendels terus dipanggil pulang oleh Napoleon, diangkat jadi Kolonel Jenderal untuk memimpin salah satu unit pasukan Wurtemberg yang disiapkan ikut menyerbu Rusia Juni 1812. Oleh para pemfitnahnya, Daendels dibilang dipulangkan karena korup. Sedang kenyataannya, Daendels itu disambut oleh Napoleon sendiri dengan karpet merah. Dan di Hindia, dia membabat birokrasi dan membabat korupsi, yang selama itu mengakar di antara para birokrat Belanda sebagai kelanjutan masa VOC.

Setelah pertempuran Waterloo, Napoleon dan Perancis keok, Belanda merdeka lagi. Daendels sang tokoh kontroversial menawarkan diri pada Raja Willem I, tetapi raja Belanda itu cuma ngasih jabatan Gubernur-Jenderal di Ghana. Di situlah, Daendels meninggal malaria Mei 1818.

Setelah Daendels pulang, penggantinya di Hindia Belanda Jan Willem Janssens. yang tiba di istana Bogor Mei 1811. Saat itu sudah genting. Kewalahan menghadapi Inggris, Janssens pun menyerah dalam Kapitulasi Tuntang kepada komandan Inggris Thomas Stamford Raffles, 18 September 1811. Sejak itu, Hindia Belanda jadi jajahan Inggris keseluruhan wilayahnya, yang sebelumnya sempat dijajah Perancis enam tahun (1805- 1811, atau efektifnya cuma 1808-1811 alias tiga tahunan saja!) Bagi Hindia, khususnya Jawa, diakui atau tidak diakui, perang Napoleon ini membawa pembaharuan.

Isi Kapitulasi Tuntang: (1) Pemerintah Belanda-Perancis menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India); (2) Semua tentara Belanda-Perancis menjadi tawanan perang Inggris; (3) Orang Belanda-Perancis dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris; dan (4) Hutang Belanda-Perancis tidak menjadi tanggungan Inggris. Tempat kapitulasi adalah di resort peristirahatan di tepi danau Rawa Pening, dekat barak-barak tentara, di Kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang masa kini, tempat mengalirnya sungai Tuntang yang bermuara di Laut Jawa di wilayah Demak.

Saat mengambilalih Hindia Belanda, Raffles itu baru 30 tahun! Sebelum menguasai Jawa dan jadi Letnan-Gubernur-Jenderal, Raffles duluan jadi Gubernur Sumatra tidak lama setelah Sumatra kerebut Inggris dari tangan Belanda-Perancis.

Seperti juga Perancis... yang walau sebentar banyak melakukan perubahan, masa kekuasaan Inggris dan Raffles ini walau sebentar juga banyak bikin perubahan....

Raffles mengintroduksi otonomi terbatas, menyetop perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur, Prambanan, sastra Jawa, sejarah Melayu, serta banyak hal lain. Raffles bisa bahasa Melayu. Dibantu dua asisten, Raffles menerbitkan buku "History of " (di London 1817) dan "History of the East Indian Archipelago" (di Eidenburg, 1820). Bataviaach Genootschap, perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan makin maju. Kebun Raya Bogor muncul. Penyelidikan flora dan fauna asli Indonesia juga pesat. Salah satu yang diingat orang: penemuan bunga raksasa Rafflesia Arnoldi. Prasasti Airlangga dipindah ke Calcutta, India, dan diganti nama jadi Prasasti Calcutta.

Jawa dibagi jadi 18 keresidenan, yang terus berlangsung sampai 1964, itu juga jaman Raffles. Bahkan nopol kita saat ini, masih mengacu ke konsep keresidenan itu. Peran administrasi penguasa pribumi, direduksi, diganti sistem pemerintahan kolonial bercorak barat ala Inggris. Bupati-bupati turun temurun distop, tidak turun temurun lagi. Yang masih turun temurun tinggal di level bawah, macam lurah. Atau level atas, kalau memang statusnya masih kerajaan bener.

Pengadilan juga pakai sistem juri model Inggris. Sistem hukum yang memandang warna kulit (rasis) diubah jadi berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan. Ada court-of- justice (terdapat di tiap residen, kelak jadi pengadilan negeri). Tingkat berikutnya court- of-request (pengadilan banding, terdapat pada setiap divisi/propinsi, kelak jadi pengadilan tinggi), dan Police of Magistrate (kelak jadi Mahkamah Agung?).

Walau rodi (kerja paksa) dan perbudakan secara formalnya dihapuskan, kenyataannya di masa Raffles ada perbudakan terselubung. Hukuman sadis melawan harimau sampai mati seperti jaman gladiator juga ditiadakan (yang sebelumnya eksis di tempat tertentu).

Oleh Raffles, petani lebih diberi kebabasan menanam komoditas ekspor. Pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem wajib-serah-panen (verplichte leverantie) yang muncul di jaman VOC (dan bahkan di Jawa Barat sejak masa Siliwangi) dihapuskan. Pola sewa tanah (landrent) diubah. Juga sistem pajak perorangan dimunculkan.

Berkat kuasa Raffles pula, nyupir mobil di Indonesia itu di sebelah kiri seperti negeri persemakmuran Inggris. Padahal, di semua koloni Eropa-kontinental, jalan mobil itu di kanan! Sebaliknya dari kita, adalah di Amerika Serikat. Mereka itu jajahan Inggris, tapi mobilnya jalan di kanan, karena pengaruh Perancis waktu itu kuat.

Istri Raffles, Olivia Mariamne, meninggal November 1814 di Bogor, dan dibuatkan monumen kenangan di dalam kebun raya, terus dimakamkan di Batavia, di tempat yang sekarang jadi Museum Prasasti.

Di masa Raffles, Banten dianeksasi penuh. Dan sejak itu, kesultanan Banten yang eksis selama 280-an tahun, nyaris 3 abad.. ditiadakan beneran, sempat digantikan oleh pemerintah kolonial Belanda-Perancis lima tahun (1805-1811), lalu dioper pemerintah kolonial Inggris empat tahun (1811-1815), sebelum kemudian dikembalikan ke Belanda lagi setelah perang Napoleon tuntas dan Belanda merdeka kembali.

Hindia Belanda sendiri, eksis di Banten berarti 127 tahun (1815-1942), dan bukannya 3.5 abad seperti yang dimitoskan! Setelah itu, Banten dijajah Jepang 3 tahun (1942- 1945), terus Hindia Belanda gagal eksis lagi walau keras mencoba 1946-1949. Jadi, ya sudah.. Banten lantas menjadi bagian dari Indonesia. Sampai sekarang.

Sejak 1817, melanjutkan jaman Raffless, Banten itu satu keresidenan. Lalu sejak 1926, keresidenan Banten dimasukkan jadi bagian provinsi Jawa Barat. Kelak, setelah jaman reformasi, kejayaan masa lalunya menginspirasi terbentuknya propinsi baru, propinsi Banten (berdasar UU tahun 2000).

Kuatnya pengaruh kebudayaan lama ikut juga mewarnai corak islamnya orang Banten. Berdasar hikayat, silsilah sultan Banten bisa dirujuk terus sampai ke Nabi Muhammad. Walau Hindu-Buddha lama terkikis, tarekat dan tasawuf mistis bertahun-tahun juga berkembang di sana. Kesenian debus kayak begitu, wajar muncul di Banten. Di jaman kesultanan, ada peran kunci Kadi, yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di pengadilan umum dan pengadilan agama islam. Walau dominan muslim, toleransi amat tinggi karena pelabuhan-pelabuhannya cukup lama jadi kota internasional. Dari 1673 di dekat pelabuhan Banten sudah ada klenteng. Kawin campur nusantara mulai dari Jawa, Sunda, Melayu, Makasar, Bugis, Bali sudah ada di Banten sejak jaman Pajajaran.

Pada masa lalu, top leader Banten itu Sultan. Lalu pewarisnya disebut Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom. Di pemerintahan ada Mangkubumi (menteri atau perdana menteri, menjalankan fungsi eksekutif), Kadi (hakim, menjalankan fungsi judikatif), Patih (menjalankan fungsi penguasaan teritorial darat?), serta syahbandar (menjalankan fungsi penguasaan maritim). Sementara, kelas bangsawannya menggunakan gelar tubagus (ratu-bagus) yang gelar ini masih ada yang pakai sampai sekarang. Lalu ada golongan khusus lain yang dikenal di masyarakat antara lain: ulama (pemuka agama, seperti brahmana jaman lama), pamong praja (aparat birokrat, administratur), serta jawara (para pendekar, ksatria).

(ilmuiman.net / Selesai)