EKSISTENSI BADIK DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS

DI DESA SANGLAR KECAMATAN RETEH

KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

PROVINSI RIAU

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah Peradaban Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

Oleh :

Heri Sandi

NIM : AS.140382

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

2018

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional, seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, cerita rakyat, permainan tradisional, tekstil tradisional, pasar tradisional, dan upacara tradisional. Keragaman seni, budaya, dan tradisi yang merupakan hasil karya budaya ini perlu untuk dipelihara, dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat.

Pengembangan seni, budaya, dan tradisi memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat dari generasi ke generasi terhadap keragaman budaya, yang adaptif terhadap pengaruh budaya global yang positif untuk kemajuan bangsa.

Dalam pengertiannya, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari transmisi biologis atau 1 pewarisan melalui unsur genetis. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan 2 masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

1 T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18 2 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Hlm. 144

1

2

Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada gilirannya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan- 3 perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.

Setiap Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, 4 ataupun berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacamnya.

Keragaman budaya di Indonesia merupakan keunikan tersendiri dalam membentuk identitas serta persatuan Negara Indonesia. Namun disatu sisi, keragaman budaya juga dapat menyebabkan perselisihan antar masyarakat terlebih mengenai kepercayaan yang sering mengalami benturan dengan kebudayaan lain. Kepercayaan merupakan salah satu unsur kebudayaan

5 universal, dimana kepercayaan merupakan suatu keyakinan bahwa hal-hal yang dipercayai itu benar dan nyata, ada harapan dan keyakinan di dalamnya, serta terdapat orang yang dipercayai dalam pelaksanaannya.

Salah satu kepercayaan masyarakat yang masih bertahan adalah kepercayaan masyarakat bugis akan kesakralan benda pusaka berupa badik. Istilah badik sendiri sering juga disebut sebagai kawali oleh masyarakat bugis. Bugis adalah nama salah satu suku di Indonesia. Suku Bugis adalah suku yang berada di

Sulawesi, tepatnya Selatan. Suku Bugis memiliki berbagai macam keunikan budaya. Keunikan dan kespesifikan kebudayaan masyarakat Bugis tercermin, antara lain dalam sistem pengetahuan dan teknologi senjata tradisional yang telah tumbuh dan berkembang sejak zaman yang silam hingga sekarang.

3 T.O Ihromi,pokok-pokok antropologi budaya,hlm. 18. 4 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi,..hlm. 150. 5Ibid., hlm. 78

3

Apabila sistem pengetahuan dan teknologi senjata tradisional tersebut dapat bertahan selama berabad-abad, maka hal itu dimungkinkan kelangsungannya karena masyarakat pemangku senantiasa berusaha melestarikan melalui proses transmisi budaya, dari satu generasi ke generasi lainnya. Terjadinya transmisi budaya itu sendiri didorong oleh faktor kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis senjata yang diperlukan untuk memudahkan bagi mereka dalam menghadapi dan mengatasi tantangan lingkungannya. Salah satu senjata tradisional yang sangat identik dengan Bugis adalah badik.

Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Masyarakat bugis di Desa Sanglar

Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau, masih menggunakan badik sebagai alat tradisional mereka. Badik sebagai benda budaya dan hasil kebudayaan masyarakat Bugis telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya khususnya bagi kaum laki-laki. Bahkan sudah melekat sebagai bagian dari sistem adat, hal ini tampak dari adanya pandangan masyarakat Bugis yang mengklaim bahwa badik merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka, bahkan dianggap sebagai “saudara”. Bagi mereka badik dianggap dapat memberikan kekuatan batin agar pemiliknya berani menghadapi segala ancaman. Namun di satu sisi, terdapat beberapa masyarakat yang menyalah gunakan fungsi badik dalam keseharian mereka. Badik dijadikan sebagai senjata yang mengancam kerukunan masyarakat khususnya di Desa Sanglar Kecamatan

4

Reteh. Hal ini tentu bertentangan dengan hukum dan nilai badik yang sesungguhnya.

Melihat fenomena di atas, penting rasanya bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Eksistensi Badik Dalam Kepercayaan

Masyarakat Bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir

Provinsi Riau.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok-pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana eksistensi badik di masyarakat bugis Desa Sanglar Kecamatan

Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau ?

2. Mengapa eksistensi badik di Desa Sanglar diyakini sebagai benda sakral ?

3. Apa fungsi badik bagi masyarakat di Desa Sanglar Kecamatan Reteh

Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau ?

C. Tujuan Penelitian

Setelah diketahui pokok-pokok permasalahan dari penelitian ini, maka tujuan yang hendak dicapai dari kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan perkembangan badik di Desa Sanglar Kecamatan

Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

2. Untuk mengetahui penyebab masyarakat bugis di Desa Sanglar meyakini

badik sebagai benda sacral.

3. Untuk mengetahui fungsi badik bagi masyarakat di Desa Sanglar

Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

5

D. Manfaat penelitian

Ada dua manfaat dari penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat teoritis adalah hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu-ilmu Kebudayaan. Sedangkan manfaat praktisnya adalah hasil penelitian dapat digunakan:

1. Untuk menambah wawasan pengetahuan serta pengalaman bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora pada

Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

3. Untuk menambah Referensi Pustaka dan dapat digunakan dalam penelitian

selanjutnya dalam skala yang lebih luas.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini membutuhkan berbagai kajian sumber tertulis yang berasal dari buku, hasil penelitian, maupun di luar itu, seperti artikel-artikel, jurnal dan lainnya sehingga dapat menunjang dan memahami serta menunjukkan kemurnian kajian penelitian. Penelitian mengenai masyarakat bugis dan badik sudah banyak dikaji baik dalam bentuk buku, jurnal, atau karya ilmuan lain. Meskipun demikian, penelitian yang fokus mengkaji masyarakat bugis dan badik di Desa

Sanglar belum ada yang mengkaji. Sebagai bahan perbandingan, adapun beberapa kajian yang bertema masyarakat bugis dan badik diantaranya:

Pertama, “Strategi Budaya Orang Bugis Pagatan Dalam Menjaga Identitas

Kebugisan Dalam Masyarakat Multikultur.” Kajian ini ditulis oleh Andi

6

Muhammad Akhmar, Burhanuddin Arafah, dan Wahyuddin Padirman dalam jurnal Kapita Arkeologi. Menurut tulisan ini, Orang Bugis Pagatan adalah sebuah komunitas yang tinggal di kawasan Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi

Kalimantan Selatan, yang secara kultural diidentifikasi sebagai orang Bugis.

Meskipun Orang Bugis Pagatan mengakui jika leluhurnya berasal dari sejumlah daerah Sulawesi Selatan, namun tetap mengidentifikasi diri sebagai sebuah entitas tersendiri, yaitu orang Bugis Pagatan. Penelitian yang menggunakan perspektif sejarah, sosiolinguistik, dan kajian budaya ini mengungkapkan bahwa keberadaan orang-orang Bugis di Pagatan berlangsung dalam beberapa periode. Periode pertama migrasi orang Bugis ke Pagatan pada abad ke-18, adalah kalangan perintis sekaligus pendiri kerajaan Pagatan. Periode kedua migrasi orang Bugis ke

Pagatan berlangsung pada paruh awal abad-abad ke-20, merupakan migrasi dalam skala besar yang diakibatkan oleh pecahnya perang Bone tahun 1908. Periode ketiga migrasi orang Bugis ke Pagatan pada paruh kedua abad ke-20, yaitu saat berlangsungnya peristiwa pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar. Selain itu, pada akhir abad ke-20, terdapat pula kelompok-kelompok nelayan Bugis yang pada awalnya hanya mencari ikan di Pagatan, berangsur-angsur membawa keluarga mereka menetap di sana, yang dikenal dengan istilah pappagatang.

Dominasi orang Bugis pada sektor sosial budaya, ekonomi, dan politik disebabkan oleh kemampuan mereka beradaptasi dengan komunitas lain, khususnya orang- orang Banjar sebagai penduduk asli Kalimantan. Orang Bugis memiliki sejumlah keunggulan dalam bidang pertanian, perikanan, kelautan, dan perdagangan, serta

7

memiliki etos kerja yang tinggi yang bersumber dari nilai-nilai budaya siri napesse (harga diri dan rasa iba) serta filosofi hidup orang Bugis lainnya.

Kedua,“Pamor Kawali Dalam Masyarakat Bugis” yang ditulis oleh Satriadi dalam Tesis di Program Pascasarjana ISI Surakarta. Satriadi menjelaskan bahwa

Kawali merupakan salah satu senjata tradisional masyarakat Bugis. Kawali tidak hanya difungsikan sebagai senjata perang. Namun melalui motif pamor dapat menunjukan harapan atau cita-cita pemiliknya. Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kebudayaan. Penelitian ini merumuskan permasalahan sebagai berikut; (1) Bagaimana keberadaan kawali dalam masyarakat Bugis? (2)

Bagaimana bentuk kawali dan pamor kawali dalam masyarakat Bugis? dan (3)

Bagaimana makna simbolik motif pamor kawali dalam masyarakat Bugis?

Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan konsep estetika

Nusantara, untuk menganalisis makna simbolik motif pamor pada bilah kawali.

Hasil penelitian ini menunjukkan pemahaman yaitu: (1) Kawali merupakan senjata tradisional yang sangat dihormati orang Bugis. Istilah kawali merupakan ungkapan personifikasi dari manusia itu sendiri. Pandangan-pandangan mengenai kawali dihubungkan dengan nilai-nilai dalam masyarakat ikut memperkuat eksistensi kawali juga ikut mempengaruhi bentuk dan fungsi kawali dalam masyarakat Bugis. Adapun fungsi kawali sebagai senjata; fungsi sosial sebagai simbol kedewasaan, sebagai penanda garis keturunan, simbol status, alat peraga, pelengkap busana; dan fungsi religius digunakan dalam ritual maddojabine, penawar penyakit dan tula’ bala. (2) Bentuk kawali secara utuh terdiri dari tiga elemen pokok, yaitu pangulu, wanoa dan laca’. Masing-masing elemen tersebut

8

memiliki ragamnya sendiri. Pamor kawali terdiri dari pamor tiban (ure’ tuo) dan pamor rekan (ure’ ebbureng). ure’ ebbureng dapat dibuat dengan bebrapa teknik yaitu teknik lonjok, tapping, kurissi, dan dekke’ (3) Pada analisis dengan konsep estetika Nusantara, selain penghias pada bilah Kawali, motif pamor merupakan doa dan harapan pemiliknya. Selain itu, motif-motif pamor yang ada pada kawali menunjukkan gambaran mengenai kehidupan ideal masyarakat pendukungnya yaitu tentang kekayaan (abbarampanrangeng), kelaki-lakian (arowanengeng), kekuasaan dan kemuliaan (arajang), keselamatan (asalamakeng), dan kerukunan dan ketenteraman dalam rumah tangga (alaibinengeng) yang kesemua itu merupakan faktor sebab-akibat tegaknya siri’.

Ketiga,“Diaspora Bugis Di Menyelusuri Seni dan Budaya Bugis di

Provinsi Jambi” yang ditulis oleh Makmur Haji Harun, Bukhari Katutu dan Siti

Rachmawati Yahya. Tulisan ini menjelaskan Suku Bugis yang mendiami provinsi

Jambi merupakan salah satu suku perantau berasal dari Sulawesi Selatan

Indonesia. Kehidupan orang Bugis lebih memilih pesisir pantai sebagai tempat aktivitas sehari-hari mereka dalam memudahkan kehidupannya. Cara hidup suku ini memiliki budaya saling berhubungan antar sesama, amalan hidup selalu mengikut adat istiadat, pemali dan pantangan, tolak ansur, dan berasaskan persaudaraan. Orang Bugis kebanyakan menganut agama Islam sebagai keyakinan hidup, terkenal dalam bidang maritim, politik, pertanian, perkebunan, perikanan, ekonomi, dan perdagangan. Tradisi mereka memegang prinsip siri, pesse dan ade’ yang diwariskan turun-temurun sebagai prinsip hidup tak terbantahkan. Suku ini memiliki aksara tersendiri untuk bertutur dan pandai berlagu dan berzanji. Orang

9

Bugis juga memiliki seni dan budaya tertentu yang mentradisi di tempat mereka tinggal, dan menjadi pembuka terulung hutan belantara dalam pertanian, perkebunan atau perkampungan. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengungkap suku Bugis sebagai satu suku bangsa Indonesia yang mengembangkan kehidupan masyarakatnya yang khas dan unik sekaligus dapat menentukan arah hidup mereka. Pembahasan ini diharapkan juga mampu menjadi wacana ilmu untuk mengungkap diaspora Bugis di Sumatra sebagai suku pewaris khazanah perantau bersama suku bangsa dan etnik pribumi lainnya di provinsi Jambi.

F. Kerangka teori

Agar tidak terjadi kesalahan serta keraguan dalam memahami isi skripsi ini dan tercapainya pemecahan masalah serta tujuan penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan maka diperlakukan telaah berbagai sumber guna memberi teori untuk menjelaskan keberadaan istilah yang dianggap penting yakni sebagai berikut :

1. Kebudayaan

Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif

klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara

belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang

merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk

didalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam

perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan

10

sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia

yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan 6 sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.

Seperti yang dijelaskan Herbert Blumer, manusia berelasi dengan

manusia dan benda-benda disekitarnya dalam rangka menghasilkan suatu

makna. Dengan kata lain, suatu tindakan sosial yang dipahami Blumer lebih

kepada bagaimana manusia menciptakan dan mempergunakan makna-makna

dari pada bagaimana petunjuk dan norma serta nilai kultural menyediakan

7 penjelasan atas makna tindakan tersebut.

Aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat

memiliki norma dan nilai sosial, sistem sosial tersebut juga dikenal dengan

tradisi yang merupakan wujud kebudayaan yang kedua.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Tradisi di artikan sebagai adat

kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam

8 masyarakat. Atau boleh juga dikatakan sikap dan cara berfikir serta bertindak

yang selalu berpegang teguh kepada norma dan adat kebiasaan secara turun

temurun yang terdapat dalam masyarakat.

2. Wujud Kebudayaan

Koentjaraningrat menyebutkan, ada tiga wujud kebudayaan : 1) Wujud

Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, peraturan dan sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu

6 Anonim “ Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”, Sinar Harapan, (Jakarta), 27 Mei 2004, hlm. 5 7 Mudji sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Teori-teori kebudaayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm, 77. 8Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia,hlm. 22.

11

kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata dan merupakan hasil karya masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai sistem- sistem yang erat kaitannya satu sama lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang lebih konkrit, sedangkan aktivitas dalam sistem sosial menghasilkan kebudayaan material (artifact). Sebaliknya sistem yang berada di bawah dan bersifat konkrit memberi energi kepada yang di atas. Adanya ide dan gagasan mengakibatkan terjadinya aktivitas yang menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik). Selanjutnya kebudayaan fisik berpengaruh terhadap lingkungan tertentu sehingga makin lama makin menjauhkan manusia dari kondisi asli lingkungan alam, hal yang selanjutnya mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga cara bergaul, dan cara bertindak. Dalam hal ini, badik merupakan artifak kebudayaan masyarakat Bugis yang memuat idea dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari serta mempengaruhi aktivitas sosial masyarakat Bugis, oleh karena itu secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan budaya untuk mengkaji permasalahan yang diajukan dalam penelitian.

Badik sebagai salah satu wujud kebudayaan memiliki jangkauan yang terbatas pada masyarakat pendukungnya, karena dihadirkan sebagai penanda identitas dari masyarakat pendukungnya. Dalam konteks ini kita kenal istilah badik Bugis, badik Makassar, dan lain-lain. Tiap-tiap badik dengan segala

12

aspeknya didukung oleh masyarakat penggunanya secara terbatas. Demikian juga, badik tidak hadir secara tiba-tiba, namun berkembang secara perlahan hingga menjadi identitas masyarakat pendukungnya. Badik hadir dalam lingkup masyarakat Bugis secara luas sehingga bukan menjadi milik dari satu kelas masyarakat tertentu. Badik hadir dalam konsep “kosmos‟ yang tidak dapat dibatasi oleh spesialisasi apapun, namun hadir secara dalam konsep spiritual dan magis. Begitu pula dalam proses penciptaannya, badik hadir sebagai buah karya kolektif atau kolaborasi dari berbagai macam spesialisasi yaitu profesi panre yang membuat bilah serta perajin yang membuat warangka dan hulu.

3. Unsur Kebudayaan

Badik sebagai artefak kebudayaan masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat Bugis memiliki kompleksitas nilai. Merujuk pada klasifikasi

Koentjaraningrat, setiap kebudayaan yang ada di dunia mempunyai unsur- unsur yang bersifat esensial, yaitu berupa: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Manusia sebagai mahluk yang berbudaya, yang memiliki kemampuan untuk belajar, pada akhirnya meninggalkan banyak artefak-artefak dari hasil yang diperoleh melalui aktivitas dan proses belajar tersebut. Artefak yang dihasilkan menunjukkan tingkat kemampuan (teknologi), lingkungan

(alam) dan keberadaan masyarakatnya (sosial) di masa silam, serta melaluinya

13

dapat dilihat sejauh mana tingkat ide kreatif, norma, dan aktivitas yang mereka lakukan.

4. Difusi Kebudayaan

Difusi kebudayaan adalah suatu proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari satu kelompok ke kelompok lainnya atau dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Selanjutnya ditambahkan oleh Fritz Graebner dan Pater

Wilhelm Schmid, mereka berpendapat bahwa manusia lebih suka meminjam kebudayaan lain, karena pada dasarnya manusia itu bukan pencita ide baru.

Mereka mengemukakan, bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar

9 secara berkelompok, atau secara individu melalui jarak yang jauh.

Badik atau kawali yang merupakan salah satu wujud kebudayaan lokal masyarakat Sulawesi Selatan tidak serta merta muncul di tanah melayu.

Keberadaan badik di Desa Sanglar khususnya tidak lepas dari kedatangan masyarakat bugis Sulawesi selatan yang membawa kebudayaannya ke tanah melayu ini. Penyebaran kebudayaan bugis berupa badik bersamaan dengan migrasi besar-besaran masyarakat bugis ke Desa Sanglar. Keberadaan badik hingga saat ini diyakini bahwa badik merupakan identitas budaya masyarakat bugis serta memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya.

5. Masyarakat Bugis

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan.

Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad

9T.O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 58

14

ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah

terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Masyarakat bugis sering

disebut juga orang ugi. Suku bangsa ini mendiami beberapa wilayah di

Provinsi Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Bulu Kumba, Soppeng, Sinjai,

Wajo, Bone, Sidenreng, Pinrang, Polewali, Pare-Pare, Barru, Maros dan

Kepulauan Pangkajene. Selain itu Orang Bugis juga banyak merantau dan

10 menetap di berbagai wilayah di Indonesia.

6. Badik

Badik atau sering disebut Kawali adalah senjata tradisional orang Bugis yang memiliki fungsi sosial seperti Tappi’ atau Keris Bugis. Hanya terdapat sedikit perbedaan dalam hal lingkup penggunaannya. Tappi’ pada umumnya digunakan oleh para bangsawan, sedangkan Badik digunakan oleh Todeceng dan

11 Tosama. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor.Teknologi logam pada umumnya merupakan indikator perkembangan peradaban tinggi yang telah dicapai manusia.Salah satu pencapaian teknologi seni tempa Nusantara adalah seni tempa pamor pada bilah senjata tradisional.Pamor berasal dari akar kata amor atau wor yang berarti campur bercampurnya beberapa unsur logam. Jadi pamor adalah lukisan pada bilah keris atau badik yang terjadi dari bercampurnya beberapa unsur logam yang terbentuk dengan seni tempa. Kata pamor dapat berarti bahan pencampur yang digunakan

10 Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Obor, 2015), hlm. 11 88. Todeceng, Tosama dan Ata merupakan strata sosial masyarakat Bugis dibawah kaum bangsawan.Pananrangi Hamid dkk, Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), hlm. 65.

15

dalam pembuatan keris atau badik, dapat juga berarti teknik-teknik tempa lapisan pamor dan juga bisa diartikan “jenis pola” yang tampak pada permukaan bilah keris atau badik.

Pamor dalam istilah bugis disebut ure’. Ure’ secara etimologi berarti

“urat”. Pamor atau ure’ dalam badik bukanlah satu-satunya indikator penentu baik buruknya sebuah badik. Indikator penentu yang lain ialah tanda-tanda yang bersifat fisik, ukuran dan letaknya di bilah badik. Kedua gagasan ini dirangkum dalam suatu konsep yang disebut sisi’.Dalam hal ini, konsep sisi’ mengandung dua pengertian, yakni pamor dengan struktur motif dan polanya, serta tanda-tanda fisik, ukuran dan letaknya pada bilah badik. Sisi’ pada pamor dibuat menurut suatu konsep teknis dan ideal tertentu, meskipun diluar pengetahuan dan keterampilan teknis atau karena kesalahan yang tidak disengaja, sering kali tercipta sebuah tanda-tanda khusus pada bagian bilah yang pada hakikatnya merupakan cacat atau kesalahan produk, tetapi secara simbolis dan religi dapat juga dijadikan indikasi baik atau buruk suatu badik. Dengan demikian, konsep sisi’ mempertegas pola pikir tradisional bahwa baik atau buruk suatu badik tidak semata-mata karena kehendak manusia, tetapi juga karena kehendak dan hidayah

12 dari Allah SWT. Sebagai benda tradisional yang merupakan identitas masyarakat bugis, fungsi badik bukan hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai identitas diri, benda pusaka, bahkan digunakan sebagai peralatan yang khusus dalam upacara-upacara adat.

12Ahmad Ubbe dkk, Pamor dan Landasan Spiritual Senjata Pusaka Bugis, (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 92-93.

16

7. Sakral

Sakral dapat diartikan suci. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu seperti Al Qur’an, bulan Ramadhan, Tanah Haram,

Ka’bah yang dipercayai suci dalam agama Islam. Tanda Salib, Gereja, Hari Natal juga dipercayai suci oleh penganut agama Kristen. Kitab Weda, Kasta Brahmana,

Hari Raya Nyepi juga dianggap suci oleh penganut agama Hindu dan masih banyak lagi sesuatu yang dianggap suci dalam kehidupan beragama. Sakral adalah perasaan religious yang mempercayai suatu benda yang memiliki kekuatan. Sakral juga dapat mempersatukan sebuah komunitas masyarakat. Seperti Badik atau

Kawali yang dianggap sakral oleh masyarakat bugis khususnya di Desa Sanglar.

Badik dipercaya sebagai benda suci, dan mampu mempererat kesukuan karena

Badik juga berfungsi sebagai identitas masyarakat bugis.

G. Jadwal penelitian

Penelitian dilakukan dengan pembuatan proposal, kemudian dilanjutkan dengan perbaikan hasil seminar proposal skripsi. Setelah pengesahan judul dan riset, maka penulis melakukan pengumpulan data, verifikasi data dan analis data dalam waktu yang berurutan. Hasilnya penulis melakukan konsultasi dengan pembimbing sebelum diajukan kepada sidang munaqosah. Hasil sidang munaqosah dilanjutkan dengan perbaikan dan pengadaan laporan skripsi.

17

Tabel 1. JADWAL PENELITIAN

BULAN NO TAHAP Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan PENELITIAN ke 1 ke 2 ke 3 ke 4 ke 5 ke 6 ke 7 ke 8 1 Obeservasi awal dan X pencarian data 2 Pembuatan Proposal X Skripsi 3 Penunjukkan Dosen X Pembimbung 4 Konsultasi dengan X Dosen Pembimbing 5 Seminar Proposal X 6 Perbaikan Hasil X Seminar Proposal 7 Pengesahan Judul X dan Permohonan Riset 8 Pengumpulan Data X X X 9 Penyusunan Data X 10 Analisis Data X X 11 Penyusunan Draf X X Skripsi 12 Penyusunan dan X Penggandaan 13 Ujian Skripsi X (Munaqosah)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian Etnografi yang berbentuk deskriptif

kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Desa Sanglar Kecamatan Reteh

Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau dengan fokus penelitian tentang

fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat bugis.

B. Jenis dan sumber data

1. Jenis data

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,

diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Data primer yang penulis

maksudkan dalam penelitian ini adalah data wawancara, observasi, dan

dokumentasi mengenai fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat

bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir

Provinsi Riau.

Data Sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung

dari sumbernya. Data skunder yang dimaksud adalah data yang

diperoleh dari data yang sudah terdokumentasi dan mempunyai

hubungan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun data sekunder

terebut adalah sebagai berikut: Historis dan geografis Desa Sanglar

Kecamatan Reteh, Struktur organisasi perangkat desa dan keadaan

sosial masyarakat.

18

19

2. Sumber data

Sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh,

sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah orang dan materi

yang terdapat di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri

Hilir Provinsi Riau yang meliputi: Kepala Desa, Tokoh agama, tokoh

adat serta tokoh masyarakat dan arsip serta dokumen yang terkait.

C. Metode Pengumpulan data

1. Observasi

Observasi atau disebut juga dengan pengamatan merupakan

kegiatan pemuatan perhatian semua objek dengan menggunakan 1 seluruh indera. Berdasarkan situasinya, Observasi terbagi dalam

beberapa macam seperti :

a. Free Situation : adalah observasi yang dijalankan dalam situasi

bebas, tidak ada hal-hal atau faktor-faktor yang membatasi

jalannya observasi.

b. Manipulated Stuation : adalah observasi yang situasinya

dengan sengaja diadakan. Sifatnya terkontrol (dalam

pengontrolan observer).

c. Partially Controlled Situation : adalah campuran dari keadaan

observasi freesituation dan manipulated situation.

Penulis menggunakan bentuk observasi partially controlled

situation dan merupakan Observer Non Partisipan dimana penulis tidak

1 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Insan Madani, 2009) Hlm. 234

20

ikut aktif didalam kegiatan yang akan diteliti atau dengan kata lain

penulis hanya mengamati dari jauh.

2. Wawancara

2 Wawancara adalah a conversation with purpose. Pewawancara

merupakan wahana strategis pengambilan data mengenai fungsi badik

dalam kepercayaan masyarakat bugis di Desa Sanglar Kecamatan

Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

Penulis menggunakan bentuk wawancara terstruktur dan tidak

terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara dimana

Pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan yang

diajukan. Wawancara ini digunakan untuk masyarakat biasa dalam

mencari informasi tentangfungsi badik dalam kepercayaan masyarakat

bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir

Provinsi Riau. Sedangkan Wawancara tidak terstruktur adalah

wawancara dimana peneliti maupun subyek penelitian lebih bebas

menggunakan pandapatnya, namun peneliti tidak terkesan mengajari

3 kepada informan. Wawancara ini digunakan untuk mencari informasi

dari kepala desa atau tokoh agama di Desa Sanglar Kecamatan Reteh.

3. Dokumentasi

Dokumentasi sebagai cara mencari data mengurai hal-hal atau

variabel-variabel yang merupakan catatan manuskrip, buku,

2 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2006) hlm 212. 3Ibid, Hlm 213.

21

4 suratkabar, majalah, notulen rapat, prasasti, agenda, dan sebagainya.

Dokumentasi penulis gunakan untuk memperoleh data yang

berhubungan dengan fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat

bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir

Provinsi Riau.

4. Penentuan Sampel dan Informan

Sampel adalah sumber informasi data itu sendiri, sampel dapat

berupa peristiwa, manusia, situasi, dan sebagainya. Penentuan sampel

dilakukan dengan cara purposive sampling, artinya sampel yang

bertujuan. Jumlah sampel tidak ada batas minimal atau maksimal yang

penting telah memadai dan mencapai data jenuh sehingga tidak

5 ditemukan informasi baru lagi dari subjek penelitian. Sedangkan yang

menjadi informan dalam penelitian ini adalah; 1) Kepala Desa Sanglar,

Bapak Alfian T. Data yang diharapkan dari Kepala Desa Sanglar

adalah data mengenai monografi desa dan yang berhubungan dengan

masyarakat Desa Sanglar; 2) Panre bessi atau orang yang ahli dalam

membuat badik, yakni Bapak Abu Sakar. Data yang diperoleh adalah

mengenai proses pembuatan badik, pamor, serta cara perawatan badik;

3) Tokoh Masyarakat Bugis Desa Sanglar, yakni Bapak H. Daeng

Malandre dan Bapak Daeng Sudi. Data yang diperoleh mengenai

makna badik, fungsi badik, perawatan badik, serta kesakralan badik; 4)

Kolektor Badik di Desa Sanglar, yakni Suharman dan M. Yusup. Data

4 Suharsimi Arikunto,... Hlm 149 5 Suwardi Endaswara,,... hlm. 206

22

yang diperoleh adalah mengenai fungsi badik, makna badik, perawatan

badik dan kesakralan badik.

D. Teknik Analisis Data

Setelah selesai penelitian ini, maka data yang diperoleh terlebih

dahulu diseleksi menurut kelompok variabel-variabel tertentu dan

dianalisis melalui segi kualitatif, data ini dianalisis dengan tekhik sebagai

berikut :

1. Analisis Domain

Analisis domain basanya dilakukan untuk memperoleh gambaran

atau pengertian yang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa

6 yang tercakup disuatu fokus atau pokok permasalah yang diteliti.

Analisis domain ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh

dari tempat penelitian secara garis besarnya yaitu mengenai Desa

Sanglar Kecamatan Reteh.

2. Analisis taksonomis

Analisis taksonomis baru dilakukan setelah analisis domaint,

dengan menggunakan pertanyaan struktural dapat membuktikan

domain-domain dan memperoleh data yang diteliti yang termasuk

kedalam domain-domain itu. Dengan analisis taksonomi akan

mengarahkan perhatian pada struktur internal dari domain-domain

7 tersebut. Analisis taksonomis ini digunakan dalam menganalisis data

6 Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang : YA3. 1990) hlm 91 7 James P Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997) Hlm. 185

23

mengenai fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat bugis di Desa

Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

3. Analisis Komponensial

Analisis komponensial merupakan suatu pencarian sistematik

berbagai komponen makna yang berhubungan dengan simbol-simbol

8 budaya. Analisis komponensial ini diperoleh setelah adanya analisis

domain dan taksonomis yang mampu menjawab permasalah-

permasalahan mengenai fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat

bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir

Provinsi Riau.

4. Analisis tema budaya

Analisis tema budaya yaitu dengan cara mencari tema konseptual

yang dipelajari oleh anggota masyarakat hubungan antar ranah.

Konsep tema budaya jauh berakar pada ide, dan tidak sekedar

potongan tingkah laku, atau kebiasaan atau kumpulan potongan-

9 potongan tersebut.

E. Triangulasi data

Triangulasi data adalah teknik pemerikasaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

10 pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data itu. Triangulasi

data bertujuan untuk memeriksa kembali kebenaran dan keabsahan data-

8Ibid, Hlm. 229 9 Suwardi Endaswara,.., Hlm. 216 10 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) Hlm. 178

24

data yang diperoleh di lapangan tentang fungsi badik dalam kepercayaan masyarakat bugis di Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri

Hilir Provinsi Riau.

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Desa

Sejarah, tentang apapun ia, merupakan suatu rangkaian peristiwa pada masa lampau yang banyak memberikan pelajaran, renungan, hikmah dan pemicu kepercayaan bagi generasi sesudah peristiwa tersebut berlalu. Demikian pula halnya dengan sejarah Desa Sanglar yang telah berlalu puluhan tahun lamanya.

Oleh sebab itu masyarakat harus memaknai sejarah dan menjadikannya sebagai pelajaran dimasa sekarang.

Desa Sanglar adalah pindahan dari Desa seberang Sanglar yang pada waktu itu sebagai Ibu Desa Sanglar atau dikenal dengan nama Pasar Baru Sanglar.

Sebelum pemindahan Lokasi Ibu Desa dilakukan, pada tahun 1984 terjadilah

Pengikisan Arus Sungai yang mengakibatkan Erosi sehingga menimbulkan

Bencana Tanah Longsor di Desa kami, kejadian ini tidak ada menimbulkan korban hanya saja kerugian material dan lebih kurang 300 rumah penduduk yang terkena tanah longsor. Berkat bantuan dan kerja sama yang baik dari Pemerintah dengan

Pemerintah Desa maka dengan keadaan terpaksa diambillah satu kesimpulan bahwa Ibu Desa akan dipindahkan atau di alokasikan ke tempat yang aman. Pada tahun 1997 Desa Sanglar memiliki luas wilayah sebesar 14.000 Hektar dan jumlah penduduk sekitar 9.636 Jiwa atau 2.036 KK. Tingkat kehidupan Masyarakat

Sanglar dan Sumber Daya Manusianya pada waktu itu cukup baik, penduduknya bermata pencaharian petani yakni bersawah dan berkebun kelapa. Petani pada waktu itu sudah cukup maju dalam hal bertanam

25

26

padi mereka sudah menggunakan paket tekhnologi pertanian seperti pupuk dan insektisida. Oleh sebab itu, Desa Sanglar Kecamatan Reteh terpilih sebagai Lokasi

Panen Raya Padi Sawah yang dilakukan oleh Menteri Pertanian Prof. Dr.

Syarifudin Baharsyah, tentunya membuat warga Desa Sanglar merasa sangat berbangga.

Demikianlah sebagian kecil sejarah atau latar belakang berdirinya Desa

Sanglar yang dipimpin langsung Oleh Bapak H. Mhd. Hasan. T. dan pada akhirnya beliau jatuh sakit pada Tahun 2001. Kemudian pada tahun 2004 / 2005 habislah masa jabatan beliau dan selanjutnya diadakanlah pemilihan Kepala Desa kembali. Dengan berjalannya waktu maka keluarlah Peraturan Daerah sehingga

Desa Sanglar dimekarkan menjadi dua wilayah yaitu : Desa Sanglar dan Desa

Seberang Sanglar.

Berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan bahwa, Desa atau yang disebut nama lain yang selanjutnya disebut Desa adalah Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridis, kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

Masarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Kabupaten

/kota, sebagaimana dimasksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Desa adalah Keanekaragaman, Partisipasi, Otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat.

Dengan kata lain kewenangan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat dan diakui atau

27

dibentuk dalam sistim Pemerintah Nasional dan berada di Kabupaten / Kota, maka sebuah Desa harus mempunyai perencanaan yang matang berdasarkan Partisipasi dan Transparansi serta demokrasi yang berkembang di Desa, maka Desa Sanglar mengharapkan ada pengaruhnya dan meningkatkan Perekonomian Masyarakat demi menunjang kelancaran pendapatan setiap Kepala Keluarga. Searah dengan persoalan peningkatan perekonomian masyarakat tentunya dapat berkaitan dengan kondisi daerah Desa Sanglar. Penghasilan masyarakatnya rata-rata bergerak dibidang Pertanian, baik itu petani kelapa dan petani lainnya.

Segi sarana dan prasarana untuk bidang Pendidikan, Sosial Budaya,

Kesehatan, Agama dan bidang lainnya, Desa Sanglar memiliki fasilitas yang cukup memadai sehingga dapat menciptakan pelayanan prima bagi Masyarakat sekitar Desa Sanglar yang pada umumnya diperuntukkan bagi Kesejahteraan

Masyarakat. Namun dilihat dari sisi 1.559KK = 6.075 Jiwa sebagian hanya keluarga kelas menengah kebawah dan dalam kategori keluarga miskin, oleh sebab itu butuh bantuan yang dapat menjamin kehidupan masa mendatang. Maka dengan demikian tersebut diatas, Pemerintah Desa Sanglar Kecamatan Reteh beserta masyarakat berupaya menggali potensi yang ada, tetapi itu semua tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit, dan perlu penunjang perekonomian yang mapan, mandiri dan sejahtera.

B. Letak Geografis

Desa Sanglar merupakan salah satu desa dari sebelas desa dan tiga kelurahan diwilayah Kecamatan Reteh, yang terletak 18 Km ke arah Timur dari

Ibu kota Kecamatan Reteh, Desa Sanglar mempunyai Luas wilayah 8.994 Hektar.

28

Sebagaimana desa lain di wilayah Indonesia, Desa Sanglar mempunyai Iklim

Kemarau dan penghujan, hal tersebut berpengaruh langsung terhadap pola tanam

yang ada di Desa Sanglar Kecamatan Reteh. Penggunaan tanah di Desa Sanglar

sebahagian besar adalah untuk pertanian, baik pertanian Padi/Palawija maupun

Perkebunan Kelapa lokal. Dari luas wilayah keseluruhan Desa Sanglar, 7.094 Ha

digunakan untuk perkebunan dan 870 Ha digunakan untuk persawahan, sisanya

untuk pemukiman dan sarana yang lain. Hampir rata-rata mata pencaharian

masyarakat Desa Sanglar memang bergantung pada hasil alam, baik itu yang

bekerja sebagai petani ataupun bekerja sebagai tukang kebun. Dari data

kecamatan diketahui bahwa 2124 Orang masyarakat Desa Sanglar bekerja sebagai

pekebun. Sementara itu, 1802 Orang masyarakat Desa Sanglar bekerja sebagai

petani. Selain petani dan pekebun, masyarakat Desa Sanglar juga ada yang

berprofesi sebagai PNS, beternak, pedagang dan lain-lain.

Pendapatan masyarakat Desa Sanglar yang cukup tinggi didukung dengan

letak geografis Desa yang strategis, sehingga pendapatan masyarakat semakin

tinggi dan perekonomian masyarakat tergolong cukup tinggi. Desa Sanglar secara

administratif berbatasan langsung dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Provinsi Jambi, sehingga tidak jarang masyarakat Desa Sanglar juga mengirim

hasil alam ke daerah tersebut. Selain Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Desa

Sanglar diapit oleh tiga desa dari Kecamatan Reteh dan Kecamatan Keritang.

Adapun batas-batas wilayah Desa Sanglar adalah:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Seberang Sanglar   Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi

29

 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Seberang Pebenaan Kecamatan

Keritang Inhil   Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pulau Kecil Kecamatan Reteh Kab.

Inhil

Desa Sanglar secara administratif merupakan wilayah hukum Kabupaten

Indragiri Hilir. Jarak antara Desa Sanglar dengan pusat pemerintahan Kecamatan

sangat jauh, terlebih jika ingin ke Kabupaten Indragiri Hilir.Jarak Dari Ibu Kota

Kabupaten kurang lebih sekitar 94 Km, sedangkan jarak dari Pusat Pemerintahan

Kecamatan sekitar 18 Km, dan jarak Dari Ibu Kota Propinsi kira-kira 394 Km.

Transportasi yang digunakan masyarakat beraneka ragam, baik dari

kendaraan roda dua (sepeda motor) hingga berkendaraan roda empat. Ada juga

sebagian warga masyarakat yang menggunakan alat transportasi laut seperti

perahu, kapal, dan sejenisnya. Kondisi jalan di Desa Sanglar kurang baik, sebab

kendaraan yang keluar masuk desa adalah kendaraan berat. Muatan kendaraan

juga tidak jarang bermuatan penuh, sebab kendaraan yang keluar masuk adalah

kendaraan yang mengangkut hasil alam yang ditanam di Desa Sanglar. Tidak

hanya dari buah-buahan, tetapi juga dibidang perikanan air tawar dan air laut yang

langsung dibawa keluar desa bahkan hingga keluar pulau sumatera.

C. Kependudukan

Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah yang

terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain

secara terus menerus atau continue. Penduduk juga dapat diartikan sebagai

kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.

30

Penduduk di Desa Sanglar adalah orang-orang yang berada di dalam wilayah hukum Desa Sanglar Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.

Berdasarakan data dari laporan balai desa, Desa Sanglar memiliki jumlah penduduk 6.075 jiwa, dari 1.559 KK yang tersebar di 15 wilayah Rukun Warga

(RW) dan 42 Rukun Tetangga (RT).

Dari laporan Balai Desa dapat dijelaskan jumlah penduduk Desa Sanglar tahun 2017 dalam tabel berikut:

Laki-laki Perempuan Jumlah

3.066 Jiwa 3.009 Jiwa 6.075 Jiwa

Masyarakat Desa Sanglar dapat dikatakan sebagai masyarakat yang multi kultur, dimana masyarakatnya berasal dari berbagai daerah dan memiliki berbagai suku bangsa, baik itu Melayu, Bugis, Batak, Jawa dan lain-lain. Meskipun demikian, sifat kebersamaan, gotong royong, dan saling membutuhkan satu sama lain masih terlihat jelas pada masyarakat Desa Sanglar. Dari solidaritas yang tinggi inilah yang membuat keberadaan Desa Sanglar terus berkembang hingga saat ini.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup perlu adanya mata pencaharian dalam masyarakat. Mata pencaharian adalah sarana mutlak bagi manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk itu manusia harus berusaha sekuat tenaga agar mendapatkan hasil yang diinginkan semaksimal mungkin. Masyarakat Desa Sanglar mayoritas bermata pencaharian sebagai petani atau bergerak di bidang pekebunan. Hal ini dapat

31

dilihat dari penggunaan tanah di Desa Sanglar yang sebagian besar dipakai untuk pertanian atau perkebunan. Beberapa masyarakat juga berprofesi sebagai Pegawai

Negeri Sipil, Nelayan, Buruh dan lain-lain, tujuannya untuk memenuhi kebutuhan tiap keluarga dan berdampak pada pembangunan Desa Sanglar. Meskipun tingkat perekonomian masyarakat Desa Sanglar tergolong cukup tinggi, khususnya dibidang perkebunan, yang berdasarkan data Balai Desa Sanglar tertulis pendapatan masyarakat Desa Sanglar dari perkebunan berkisar 4.178.000/bulan, namun untuk sarana kesehatan di Desa Sanglar masih sangat minim. Tidak jarang masyarakat Desa Sanglar melakukan pengobatan atau perawatan kesehatan di luar daerah yang terdekat seperti Kuala Tungkal, Jambi, atau ke Pekan Baru.

Data sarana kesehatan di Desa Sanglar dapat dilihat di tabel berikut, berdasarkan dari laporan Balai Desa Sanglar tahun 2017:

No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit -

2 Puskesmas -

3 Puskesmas Pembantu (PUSTU) 1 Unit

4 Posyandu 3 Unit

5 Rumah bersalin -

6 Polindes 1 Unit

D. Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk kemajuan bangsa, sebab maju mundurnya suatu bangsa dapat diukir dari segi mutu pendidikan bangsa itu sendiri, terutama dari generasi muda. Oleh sebab itu pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini selaras dengan tujuan

32

peningkatan pengetahuan serta proses terciptanya masyarakat yang cerdas dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sanglar,

Pendidikan merupakan faktor penting dan sangat mendasar. Untuk mewujudkan semua itu, sarana dan prasarana pendidikan haruslah memadai. Di Desa Sanglar dapat dikatakan cukup, hal ini dapat dilihat dengan adanya Taman kanak-kanak,

SD, SMP, SMU, Madrasah, dan Pondok Pesantren yang mampu mengeluarkan

1 siswa-siswi yang dapat bersaing untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun, ada beberapa masyarakat yang masih kurang berminat untuk melanjuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Masyarakat lebih memilih bekerja mengurus perkebunan atau pekerjaan lain yang mampu menghasilkan uang dibandingkan dengan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang masih beranggapan bahwa pendidikan formal hanya berguna untuk mengetahui tulis dan baca agar mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Perkembangannya, Pada dewasa ini Masyarakat mulai menyadari pentingnya pendidikan formal bagi mereka.

Untuk lebih mengetahui gambaran banyaknya sekolah umum negeri dan swasta menurut jenis di Desa Sanglar Tahun 2017, dapat dilihat pada laporan

Tahunan yang diperoleh dari Kantor Balai Desa Sanglar sebagai berikut:

1 Observasi penulis di Desa Sanglar.

33

No Lembaga Pendidikan Jumlah

1 TK/PAUD 3 Unit

2 SD/MI 9 Unit

3 SLTP/MTS 3 Unit

4 SLTA/MA 2 Unit

5 Pondok Pesantren 1 Unit

6 Perguruan Tinggi -

E. Agama

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah lepas dari hubungan sesama manusia dan hubungan kepada Sang Pencipta, oleh karena itu harus ada keserasian antara keduanya dalam menjalani kehidupan. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai kedudukan dan martabat yang sama dimata sang Khalik dan semua manusia mempunyai hak dalam menentukan hidupnya seendiri, diantaranya adalah hak azazi untuk memeluk agama yang diyakini.

Indonesia merupakan Negara yang memberikan kebebasan kepada warga nya untuk memeluk agama sesuai kepercayaan mereka. Di Indonesia terdapat enam Agama yang diakui yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan

Konghutchu.

Berdasarkan Observasi dilokasi penelitian bahwa secara keseluruhan masyarakat Desa Sanglar memeluk Agama Islam. Berikut laporan dari Balai Desa

Sanglar mengenai jumlah sarana tempat ibadah di Desa Sanglar:

34

No Tempat Ibadah dan organisasi agama Jumlah Banyak anggota

1 Masjid 13 -

2 Mushallah 7 -

3 Gereja 0 -

4 Wihara 0 -

5 Pura 0 -

6 Majelis Taklim 16 817

7 Majelis Gereja 0 0

8 Majelis Bhuda 0 0

9 Majelis Hindu 0 0

10 Remaja Masjid 13 347

11 Remaja Gereja 0 0

12 Remaja Bhuda 0 0

13 Remaja Hindu 0 0

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Sejarah Masyarakat Bugis di Desa Sanglar

Sejarah masyarakat bugis dalam perjalanannya diawali dengan berbagai suku bangsa yang banyak merantau dan mendiami berbagai kepulauan yang ada di

Nusantara. Pada perkembangannya, berbagai suku ini mendiami berbagai kepulauan Nusantara dan berbaur dengan kebudayaan lokal sekitar. Sejak zaman dahulu masyarakat bugis cenderung merantau dan melaut untuk mencari kehidupan baru dan tempat baru. Kegiatan merantau inilah yang menjadikan hubungan sejarah antara masyarakat melayu dengan masyarakat bugis di Negeri

Melayu khususnya di Indragiri Hilir Riau. Sejak abad ke-17 sudah terdapat pemukiman masyarakat bugis di Negeri Melayu, namun kedatangan kelompok masyarakat bugis dalam jumlah yang besar baru terjadi pada akhir abad ke-19 karena faktor tekanan kolonial Belanda. Meskipun jumlah populasi mereka tidak diketahui dengan tepat, namun kehadiran masyarakat bugis dapat dilihat dari perkampungan khususnya di Indragiri Hilir tepatnya di daerah tepi laut, sungai dan parit. Perkampungan ini tampak jelas di Desa Kuala Enok, Desa Pulau

Kijang, Desa Benteng, Desa Pulau Kecil, Desa Pebenaan, Desa Kota Baru

Seberida, Desa Teluk Kelasa, Desa Pengalihan, Desa Sungai Akar, dan Desa

Sanglar.

Kepercayaan masyarakat bugis, berlayar, mengembara, berdagang, dan merantau merupakan suatu tradisi utuh dalam kehidupan mereka. Sebagai suku

35

36

bangsa yang terkenal dalam aktivitas pelayaran, pelaut bugis telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad yang lalu.

Perahu-perahu bugis dari jenis pinishi dan lambo telah berlayar mengelilingi perairan Nusantara untuk berdagang dan merantau. Istilah sompe (berlayar) dalam masyarakat bugis yang juga berarti merantau adalah sebagai faktor pendorong dikalangan masyarakat bugis untuk meninggalkan kampung halamannya demi mencari kehidupan yang lebih layak. Terjadinya migrasi besar-besaran pada abad ke 17 dan awal abad ke 18 di kalangan masyarakat bugis Sulawesi Selatan disebabkan adanya tekanan dari kolonial Belanda. Oleh sebab itu, banyak perantau bugis mencari kehidupan yang lebih layak di daerah lain seperti

Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, , hingga ke Sumatera khususnya ke

Indragiri Riau. Peran masyarakat bugis pendatang yang membuka lahan serta membangun perkampungan desa di pelosok daerah inilah titik awal dalam sejarah masyarakat bugis di Riau.

Haji Daeng Malandre sebagai tokoh masyarakat bugis di Desa Sanglar mengatakan bahwa “Tau ugi'e riolo pole tana ogi'e matama ko di kamponge iyede ma kapla wai depa gaga riasenge kendaraang labe dare, letuk konyede mabuka lahangi, natebang mane kajung-kajunge ye makale'e untuk nonroi na untuk nagalungi. Yanaro tau ogi'e maega magalung, kareb pole tau matuanna riolo napoji metoni magalung.”1 Orang bugis dahulu dari Sulawesi masuk ke Desa ini pakai kapal layar. Belum ada kendaraan lewat jalur darat. Sampai di Desa Sanglar langsung buka lahan, menebang pohon-pohon besar untuk dijadikan tempat

1Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

37

tinggal dan dijadikan lahan perkebunan. Oleh sebab itu banyak orang bugis berkebun, karena dari dahulu nenek moyangnya suka berkebun.

Tidak dapat dibuktikan dengan pasti kapan masyarakat bugis pertama kali datang ke Indragiri Hilir Riau. Bukti yang paling banyak berbicara mengenai masyarakat bugis Riau baru terlihat sejak abad ke-18. Menurut cerita rakyat yang beredar dikalangan masyarakat bugis Riau, kedatangan masyarakat bugis diawali dengan kehadiran keturunan bangsawan bugis yaitu Daeng Parani, Daeng

Manambun, Daeng Marewa, Daeng Cella’ dan Daeng Kemase. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa sudah ada beberapa perkampungan bugis sejak abad ke 17 di Riau setelah Kota Makasar jatuh ke tangan Belanda. Bahkan seorang bangsawan Makasar yang bernama Daeng Makkita tercatat ikut membantu kerajaan Indragiri dalam peperangan besar pada tahun 1679.

Pada akhir tahun 1670, dengan hancurnya Kota Tosara yang mengakibatkan keruntuhan kerajaan Bugis Wajo, juga telah menambahkan peningkatan arus migrasi masyarakat bugis dari Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu, jumlah migrasi masyarakat bugis Wajo setelah tahun 1670 menjadi lebih besar dibandingkan dengan kelompok bugis lain di daerah Sulawesi Selatan.

Disamping itu, setelah perjanjian Bongaya dan setelah Belanda berhasil menundukkan Makassar, telah terjadi perubahan dalam bidang perdagangan.

Belanda telah memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar dan hal ini telah menutup peluang bagi negara-negara lain untuk menguasai Makasar. Seiring dengan itu, Belanda juga memberlakukan pembatasan kekuasaan Makasar terhadap pelabuhan-pelabuhan besar yang pernah menjadi milik Makasar.

38

Kolonial Belanda juga menjadikan mata uang Belanda sebagai salah satu alat tukar yang diakui di Makasar. Peristiwa inilah awal berkuasanya kolonial Belanda di Makasar. Selain itu, setelah kolonial Belanda memperluas wilayah kekuasaannya hingga pedalaman tanah Bugis, kolonial Belanda juga memberlakukan sistem bea cukai yang membebankan penduduk. Tidak hanya itu, kolonial juga menerapkan sistem kerja paksa di pedalaman tanah Bugis untuk menggarap tanah pertanian dan gudang atau pabrik yang ada di Makasar.

Peristiwa ini dianggap sebagai pelecehan oleh masyarakat bugis, terlebih bagi bangsawan kecil yang tidak dihargai oleh kolonial Belanda. Keadaan inilah yang menyebabkan jiwa masyarakat bugis memberontak. Ada yang menyikapinya dengan melakukan perlawanan secara langsung, namun tidak sedikit masyarakat bugis yang memutuskan untuk pergi ke daerah lain mencari kehidupan yang lebih baik.

Migrasi masyarakat bugis ke daerah lain khususnya ke negeri-negeri

Melayu juga disebabkan oleh kebiasaan mereka yang suka merantau. Sifat seperti ini sudah tergambar dalam karya agung sastra bugis yang terkenal dengan nama

La Galigo, yang menceritakan pengembaraan tokoh mitos bugis, Sawerigading, yang mengelilingi lautan dengan perahunya yang luar biasa. Selain itu, dalam masyarakat bugis juga dikenal dengan kebiasaan masompe’, atau berlayar.

Kebiasaan ini biasanya dilakukan oleh pemuda bugis untuk mencari kehidupan di daerah lain demi mematangkan diri dan mendalami wawasannya. Bukan hanya itu, budaya sirri’ juga menjadi pendorong masyarakat bugis melakukan perjalanan ke luar daerah. Sirri’ merupakan unsur dasar dalam setiap individu bugis. Tidak

39

ada satu nilai yang berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain dari pada sirri’ karena sirri’ adalah jiwa, harga diri dan martabat mereka.

Oleh sebab itu, setiap masyarakat harus memiliki sirri’ dalam dirinya supaya ia dapat meneruskan hidupnya sebagai manusia yang dipandang baik dan mulia.

Sirri’ emmi ri onroang ri lino; hanya untuk menjaga sirri’ (malu) saja kita hidup di dunia. Sirri’ dijadikan sebagai identitas sosial, martabat, serta memperkuat atau membangkitkan masyarakat bugis dari keterpurukan demi menjaga harga dirinya.

Untuk tetap menjaga eksistensinya, masyarakat bugis terus berjuang mempertahankan sirri’ dengan melakukan migrasi ke daerah-daerah lain, dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, bahkan masyarakat bugis berlayar dan membuka perkampungan hingga ke daerah terpencil seperti pedalaman

Indragiri Riau.

Pada tahun 1945, ketika masyarakat bugis sudah membuat perkampungan di beberapa desa yang ada di pedalaman Indragiri, jumlah penduduknya masih tergolong sedikit. Masyarakat bugis hanya berada di desa-desa atau parit-parit yang awalanya merupakan hutan belantara. Masyarakat bugis memang dikenal dengan pembuka terulung terhadap hutan-hutan belantara untuk dijadikan perkampungan dan lahan pertanian. Aktivitas pembukaan lahan baru ini biasanya dilakukan dengan seluas yang mereka mampu dengan tujuan untuk mendapatkan kediaman dan perkampungan disamping akan menghasilkan sumber daya alam yang melimpah dari pertanian dan perkebunan. Strata sosial masyarakat bugis di

Indragiri pada awalnya dilihat dari luasnya garapan lahan yang dibuka oleh seseorang. Semakin luas wilayah garapannya maka dia dianggap kaya bahkan

40

dianggap sebagai tokoh masyarakat di daerahnya. Menurut Bapak Alpian selaku

Kepala Desa Sanglar, tradisi menebang hutan untuk dijadikan lahan perkebunan di

Desa Sanglar sudah ada sejak dahulu. Biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga bugis yang datang dari Sulawesi. Baru pada Orde Baru pembukaan lahan juga banyak dilakukan oleh orang Jawa. Tetapi keberadaan masyarakat bugis tetap mendominasi, bahkan terkadang tidak sedikit masyarakat bugis membeli lahan yang sudah digarap untuk dijadikan lahan perkebunan. Bapak Alpian juga menjelaskan, wilayah Indragiri yang banyak terdapat perkampungan bugis bermula dari kecamatan Reteh hingga kecamatan Kritang. Bahkan di Desa Pulau

Kijang Indragiri dikenal tokoh bugis bernama Tuan Guru Kyai Haji Husein

Ahmad yang dianggap sebagai panrita loppona ugi’e. Begitu pula di Kecamatan

Reteh juga terdapat tokoh masyarakat dari bugis bone bernama Tuan Guru Kyai

Haji Dahlan yang juga merupakan panrita loppona ugi’e. Di Indragiri Tembilahan

Riau, diantara kawasan yang menjadi tumpuan migrasi masyarakat bugis salah satunya adalah Kecamatan Reteh yang meliputi Desa Benteng, Desa Pulau

Kijang, Desa Pulau Kecil, Desa Pebenaan, dan Desa Sanglar.2

Berdasarkan pendataan penduduk pada tahun 1999 di Kecamatan Reteh, hampir 80% masyarakatnya adalah bugis yang berada di berbagai desa seperti

Desa Benteng, Desa Pulau Kijang, Desa Pulau Kecil, dan Desa Sanglar. Mayoritas masyarakat bugis di beberapa daerah ini bekerja sebagai petani dan pekebun, seperti padi, nenas, jagung, pinang, pisang dan kelapa. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah masyarakat bugis mengalami peningkatan karena banyaknya

2Hasil Wawancara dengan Bapak Alpian T, Kepala Desa Sanglar.

41

masyarakat bugis pendatang dari Jambi, Lampung, Palembang, bahkan dari

Sulawesi Selatan.

Abu Sakar seorang panre bessi (pengrajin atau pembuat badik) dan juga sebagai warga masyarakat Desa Sanglar menjelaskan; “Ri wetunna tahung 1975 riolo tau ogie kena tama kodi desa sanglar. Tau rioloe makapla wai neceweri anginge.Pole tana ogi'e.Pole tana ogi jokka konyede natempui lalenge sedi uleng si tenga.Riwetunna pada taung 70 dehe nasipada makoang -koange, nasaba riolo po ega riaasenge bajak laut.Tauwe pada metauwi kapala jokka kodi di Desa

Sanglar.Ri wetunna tahung 1990 maegani tau ogi'e de kodi desa sanglar untuk magalung. Ri taung 1990 dena gagah riaseng bajak lauk, pakna maegani ri asenge polisi kodi tasik e.”3 Tahun 1975 dahulu orang bugis sudah ada yang masuk ke Desa Sanglar. Orang dahulu memakai sebuah kapal yang ikut dengan sesuai arah angin. Dari Sulawesi Selatan ke Desa Sanglar sekitar satu bulan setengah. Orang bugis pada tahun 70-an tidak sebanyak sekarang, karena dahulu banyak bajak laut. Orang takut mau berlayar ke Desa Sanglar. Sekitar tahun 1990- an mulai banyak orang bugis di Desa Sanglar untuk berkebun. Tahun 1990 sudah jarang bajak laut, karena sudah banyak polisi yang menjaga di jalur laut.

Kedatangan suatu masyarakat di suatu daerah diiringi dengan budaya lokal yang turut dibawanya dari daerah asal. Tidak terkecuali masyarakat bugis yang ada di Desa Sanglar. Salah satu kebudayaan yang paling menonjol adalah badik atau kawali. Sejarah badik di Desa Sanglar diawali dengan kedatangan masyarakat bugis ke Desa Sanglar. Sejak migrasi besar-besaran abad ke-17 dan 18, badik

3Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar.

42

menjadi senjata pelengkap masyarakat bugis untuk menjaga diri dan dipercaya dapat menghindari “bala” atau bahaya baik yang terlihat maupun bahaya yang tidak terlihat. Pada perkembangannya, memasuki abad ke 20, ketika perkampungan bugis sudah banyak dibuka di Kabupaten Indragiri Hilir, keberadaan badik semakin eksis di tokoh masyarakat. Badik bukan hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai symbol masyarakat bugis dan menjadi kebutuhan seni bagi yang mempercayai keindahan badik dari seni bilah dan penghulunya.

Keberadaan badik yang semakin berkembang di Desa Sanglar juga tidak terlepas dari melonjaknya jumlah masyarakat bugis yang ada di Desa Sanglar. Sejak banyaknya perkampungan bugis, banyak imigran bugis yang turut berdatangan dengan membawa kebudayaan badik ini. Bahkan menurut informan di Desa

Sanglar, masyarakat bugis jaman dahulu ditandai dengan badiknya. Badik dibawa kemanapun oleh orang bugis, baik itu di rumah, di kebun, di pasar dan di tempat keramaian lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan H. Daeng Malandre sebagai berikut; “Riolo, tau ugie engka nasaba mega selesurengna punna dare kodi konye, tandranna tau ugi, tegi-tegi jokka pasti tiwiwi kawali kodi benrenna lalena. Riolo dehe namagaga tiwi kawali, nasaba depa gaga polisi mecangi, makuang mani dehe gaga polisi pakna engkana hukumanna.”4Menurut H. Daeng

Malandre, jaman dahulu masyarakat bugis banyak yang datang ke Desa Sanglar karena banyak saudaranya yang punya kebun di daerah ini. Tandanya orang bugis, dia kemana-mana membawa badik di pinggangnya. Dahulu tidak apa-apa masyarakat membawa badik ke mana-mana, hal ini dikarenakan belum ada

4Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

43

ketegasan dari pihak kepolisian. Berbeda dengan keadaan saat ini, badik tidak boleh dibawa kemana-mana karena ada ketegasan hukum yang mengatur senjata tajam. Sejarah badik juga dipertegas dengan pernyataan Daeng Sudi, menurutnya:

“Ri wetunna riolo, napakewi mewawi perennonge. Engkato pake kawali napekuganni majaga-jaga, makuang-kuang mani kawali nataroe sebagi benda karamek, nalawi barakkanna, nala mabalu-balu, oba-oba, sappai makunrai, na maiga mofa laingnge.”5 Menurut Daeng Sudi, sejarah badik sudah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat bugis menggunakan badik pada zaman dahulu untuk melawan perampok, ada juga yang menggunakan badik untuk berjaga-jaga. Saat ini, badik tidak lagi dibawa kemana-mana, badik hanya disimpan di rumah sebagai benda keramat untuk diambil berkahnya, untuk jualan, untuk mengobati penyakit tertentu, untuk mencari jodoh dan lain-lain.

Perkembangan badik memasuki tahun 2000an mulai menurun, seiring banyaknya aksi criminal yang terjadi sehingga di semua daerah di Indonesia termasuk Desa Sanglar segala bentuk senjata tajam dilarang dibawa bebas. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir tingkat kriminalitas. Dampaknya terhadap perkembangan badik adalah berkurangnya masyarakat bugis yang membawa badik untuk bepergian karena takut ditahan polisi dengan alasan membahayakan masyarakat sekitar. Namun bukan berarti badik hilang dari kebudayaan masyarakat bugis Desa Sanglar, badik tetap dipercaya dan diyakini memiliki fungsi lain selain sebagai senjata tajam, yaitu sebagai benda sacral yang dipercaya mampu menarik rejeki atau jodoh, bahkan dipercaya mampu mengobati orang

5Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar.

44

sakit. Meskipun badik tidak lagi dibawa kemana-mana, namun keberadaan badik selalu ada seiring kepercayaan masyarakat bugis terhadap badik di Desa Sanglar.

Melihat fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa badik merupakan kebudayaan yang dibawa langsung oleh masyarakat bugis dari Sulawesi Selatan.

Badik merupakan senjata masyarakat bugis dari ancaman bahaya yang datang.

Selain itu, badik juga menjadi symbol identitas diri masyarakat bugis karena selalu dijadikan perlengkapan hidup yang dibawa kemana-mana. Meskipun pada perkembangannya, eksistensi badik tidak seperti dahulu akibat dari larangan membawa senjata tajam ditempat keramaian untuk alasan keamanan dan kenyamanan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, pada perkembangannya badik banyak disimpan di rumah sebagai benda keramat yang dipercaya mampu member berkah atau keuntungan bagi pemiliknya.

B. Eksistensi Badik dalam Masyarakat Bugis Desa Sanglar

Badik adalah senjata tradisional yang terdapat di sejumlah daerah di

Indonesia. Ada banyak jenis badik yang berkembang di Indonesia, dibanding yang lainnya badik yang berasal dari Sulawesi Selatan terbilang yang paling dikenal luas. Badik Sulawesi Selatan atau badik bugis umumnya seperti pisau dengan satu atau dua sisi tajam, dengan bentuk asimetris dan sebagian diantaranya dihiasi dengan pamor. Bagi orang Bugis, badik adalah identitas. Badik sering dijadikan perlambang keberanian mereka. Maka tak heran badik menjadi salah satu item simbolik yang terdapat dalam lambang Sulawesi Selatan, tanah asal masyarakat

Bugis.

45

Hingga kini badik Sulawesi Selatan yang memiliki sejumlah ragam ini masih lestari di lingkungan masyarakat Bugis, bahkan masyarakat bugis yang berada di luar Sulawesi Selatan juga masih mempertahankan keberadaan badik, tidak terkecuali masyarakat bugis di Desa Sanglar Indragiri Hilir Riau. Menurut pandangan orang Bugis Desa Sanglar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti

(gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran atau sebaliknya; kemelaratan, kemiskinan bahkan bencana bagi pemiliknya. Hal ini dijelaskan oleh Daeng Sudi’ bahwa; “Badik punya guna baik kalo cocok sama kita, tapi kalo tidak cocok itu bahaya, biasanya panas kalo dibawa. Kita sering kena balak di jalan.”6

Badik sudah identik dengan masyarakat bugis dan masyarakat Sulawesi

Selatan. Badik, yang dalam istilah bugis juga disebut kawali adalah senjata tradisional khas masyarakat bugis khususnya di Sulawesi Selatan. Seperti layaknya senjata-senjata tradisional dari daerah-daerah lain di nusantara, kawali atau badik tidak hanya berfungsi sebagai senjata tajam tetapi juga sebagai simbol yang menunjukkan pribadi pemiliknya, serta menunjukkan cita-cita dan harapan.

Zaman dahulu kala, di tanah bugis, setiap anak laki-laki dibekali dengan sebuah badik. Keinginan dan harapan orang tua terhadap anak biasanya dimanifestasikan melalui badik atau kawali yang dipesan khusus kepada seorang panre bessi

(pembuat badik). Apabila orang tua mengharapkan anak keturunannya hidup

6Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar.

46

sejahtera tanpa kekurangan sesuatu apapun, maka siorang tua akan memesan badik yang berpamor kurisi atau madaung ase. Begitu pula apabila orang tua menginginkan anaknya menjadi pemimpin yang disegani, pemberani dan berkharisma, maka yang dipesan adalah pamor makkure’ cillampa.7 Daeng Sudi menambahkan, apabila anak laki-laki sudah lahir maka akan diberi kawali atau badik. Orang kita bugis menyebutnya lisse baku baku (cindera mata). Penjaga anak biar nanti besar punya wawasan yang tajam seperti tajamnya badik.8

Pengertian badik secara berbeda diartikan oleh H. Daeng Malandre. Menurut beliau,“Yatu diaseng kawali ndik yanaritu tapi pagene arsu pa idi uranewe kurangi sedi arsuta yanatu tujuanna makkawaliki supaya genei arsue.”9 Artinya kawali atau badik adalah pelengkap tulang rusuk laki-laki yang kurang, oleh sebab itu laki-laki bugis meletaknya di pinggang agar melengkapkan tulang rusuk yang dianggap kurang. Ditambahkan lagi oleh beliau, badik merupakan sumber keberanian, bukan keberanian yang tidak benar melainkan keberanian menjaga siri’ jika ada yang merendahkan derajatnya.

Badik yang selalu dibawa oleh masyarakat Bugis Desa Sanglar memiliki fungsi dan tujuan masing-masing. Seperti yang dijelaskan oleh Daeng Sudi,“jenis badik banyak sekali rupanya tapi setiap badik ada semua kegunaannya, tapi iyya utiwi ya denelo runtuk abala, kenapa saya tidak mau bawak badik yang jumpa musibah sebab atuengeta sitongeng-tongena rilino loki sappai adecenge magelo sifatta padata rupa tawe.”10Menurut Daeng Sudi, badik banyak jenis dan

7Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar. 8Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar. 9Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar. 10Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar.

47

kegunaannya, ada yang membawa keberuntungan dan ada juga yang sebaliknya, membawa bencana. Baik tidaknya sebilah badik bukan hanya dilihat dari pamornya, namun juga dari ukurannya yang harus sesuai dengan pemiliknya.

Teknik mengukur badik atau yang sering disebut sukek dalam memilih badik merupakan syarat yang dianggap paling penting untuk sebagian orang. Namun tidak sedikit orang juga yang memiliki keyakinan bahwa ukuran badik tidak menjadi permasalahan. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu masyarakat bugis

Desa Sanglar yang juga memiliki badik bugis; “Narekko engka parewa bessi na ompori sissiq madeceng, dek na ripakei sukek’e .”11Jika sebilah badik sudah memiliki pamor yang bagus tidak perlu lagi melihat ukuran badik. Meskipun beberapa orang menganggap sukek tidak terlalu penting, namun kebiasaan ini sudah menjadi turun temurun pada masyarakat bugis, dan telah menghasilkan tekhnik sukek yang bermacam-macam.

Sukek secara bahasa berarti ukur atau mengukur. Sukek sering kali dihubungkan oleh pengguna badik sebagai penanda cocok atau tidaknya seseorang dengan badik tersebut. Hasil yang tepat dapat dipahami sebagai proporsionalitas badik tersebut. Menurut Abu Sakar sebagai panre bessi, “banyak cara masukek parewa bessi, ada yang pakai bahan daun lontarak atau daun kelapa atau sejenisnya, ada juga sukek watakkale pakai jari tangan atau anggota badan yang lain.”12 Lebih lanjut informan menambahkan bahwa sukek yang sering dia pakai adalah sukek reccok atau menggunakan daun kelapa. Dari gambaran yang dipraktikkan informan,sukkekreccok dilakukan dengan diawali mengukur besi

11Hasil Wawancara dengan Suharman, Orang Bugis di Desa Sanglar. 12Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar.

48

badik secara keseluruhan, kemudian melipat dua hasil ukuran badik sebelumnya untuk mengetahui bagian tengah badik, selanjutnya memotong kecil-kecil daun kelapa tersebut sesuai lebar bagian tengah badik hingga selesai. Hasil potongan daun kelapa inilah yang disebut reccok. Jumlah reccok yang dianggap paling ideal adalah berjumlah sembilan atau lima belas. Sementara jumlah reccok genap dipercaya merupakan badik yang tidak baik atau disebut de’ gaga cappa’na.13

Berbeda dengan H. Daeng Malandre, menurutnya sukek yang sering dipakai adalah sukek dengan menggunakan indok jari (ibu jari). Cara sukek dengan menggunakan ibu jari adalah dengan menempelkan ibu jari pada bilah badik mulai dari pangkal badik hingga ujung bilahnya secara bergantian kiri- kanan dengan menyebutkan capak pong.14Perbedaan dalam mengukur badik di

Desa Sanglar tergantung kebiasaan dan kepercayaan orang masing-masing, namun tidak mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap badik tersebut, bahkan menambah warna budaya lokal masyarakat bugis di Desa Sanglar.

Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Secara umum badik terdiri atas tiga bagian yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan pemiliknya. Pamor adalah urek (urat) atau rupa berupa motif dan guratan tertentu yang dihasilkan dari proses penempaan bahan pamor senjata pusaka sehingga menghasilkan bentuk disebut pamor. Lebih lanjut

13Hasil observasi penulis di Desa Sanglar. 14Hasil observasi penulis di Desa Sanglar.

49

dijelaskan oleh Abu Sakar bahwa pamor pada badik itu ibarat do’a atau sara’ berwujud pamor yang dititipkan pembuat badik kepada badik karyanya yang punya guna baik bagi pemilik badik nantinya.15Atau dengan kata lain dapat dibahasakan bahwa pamor adalah manifestasi dari do’a dan niat sang pembuat badik beserta calon pemilik badik.

Pamor juga menjadi pembeda antara badik yang menggunakan besi tua dan besi biasa. Menurut H. Daeng Malandre “kalau besi tua itu ada ure’ nya, itulah yang disebut pamor, kalo deaga pangoro tuona kodi tengana, termasuk besi biasa.”16Pamor yang terdapat dalam badik besi tua selain sebagai do’a dan harapan juga merupakan representasi karakter pemilik. Sehingga pemilik bilah pusaka itu akan mewariskan pusaka tersebut pada anak atau keturunan dengan harapan mewarisi karakternya. Sebaliknya, pamor menjadi alat komunikasi leluhur dalam menjelaskan identitas karakternya pada keturunannya, sehingga keturunannya dapat memahami karakter leluhur pemilik awal pusaka tersebut.

Berdasarkan fenomena di atas penulis menyimpulkan bahwa pamor tersebut bukanlah dibuat dengan tujuan semata-mata keindahan seni estetika semata, melainkan ada makna filosofi, do’a dan harapan yang lebih luas terkandung di dalamnya. Termasuk identitas karakter pemilik pusaka yang dapat menjadi komunikasi lintas generasi melalui pamor.

Di Desa Sanglar, masyarakat bugis memiliki berbagai macam jenis badik atau kawali. Terdapat tiga jenis badik yang banyak digunakan oleh masyarakat bugis Desa Sanglar, yaitu badik gecong, badik luwu dan badik sari.

15Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar. 16Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

50

Badik gecong memiliki bentuk yang sedikit membungkuk, memiliki pangkal yang membesar kemudian mengecil dan semakin ketengah semakin membesar kemudian meruncing hingga bagian ujungnya. Perbedaan bentuk dengan badik lainnya adalah badik gecong sedikit lebih ramping dengan bagian tengah yang tidak terlalu membesar. Karena bagian tengah badik gecong lebih ramping dari pada badik yang lainnya maka hasil sukek reccoknya (ukuran sukatnya) pun juga berjumlah tiga belas keatas.17Inilah salah satu ciri penentu antara badik gecong dengan badik lainnya.

Badik luwu memiliki bentuk yang cenderung lurus namun ada yang sedikit membungkuk. Pada bagian punggung badik juga kebanyakan tidak rata namun membentuk segitiga meruncing keatas dimana dalam bahasa bugis disebut bentuk

Alekke’ Tedong (punggung kerbau) atau ada juga yang menyebutnya dengan

Macoppok Bola (ujung rumah).18

Badik sari berbeda dengan badik lainnya, badik sari adalah pisau yang sebelumnya digunakan untuk massari (alat untuk proses penyulingan air aren).

Pada saat bilahnya sudah tidak ideal untuk digunakan massari disinilah kemudian pisau ini dipusakakan dan disebut badik sari. Badik ini banyak disukai karena memiliki filosofi yang bagus, karakter bahan baku baja yang sangat tajam dan kokoh, dek nakennai sukek atau tidak perlu diukur. Badik ini juga dipercaya cocok untuk pusaka memanggil rezeki karena manre ele arewieng (makan pagi dan sore) itu disebabkan badik sari awalnya digunakan untuk massari diwaktu pagi dan

17Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar. 18Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar.

51

sore. Ciri umum badik sari yaitu tidak tajam pada bagian pangkal dan diistilahkan memiliki leher dekat hulu badik, serta semakin ke ujung semakin melebar.19

C. Kepercayaan Masyarakat Bugis Desa Sanglar terhadap Badik

Masyarakat bugis Desa Sanglar mempercayai bahwa badik atau kawali memiliki kedudukan yang tinggi. Badik bukan hanya berfungsi sebagai senjata tajam, melainkan juga melambangkan status, pribadi, dan karakter pembawanya.

Kebiasaan membawa badik oleh orang-orang bugis di Desa Sanglar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut tidak menceminkanbahwa masyarkaat bugis Desa Sanglar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan, melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat dalam badik tersebut.

Pentingnya kedudukan badik pada masyarakat bugis Desa Sanglar membuat masyarakat berusaha membuat dan mendapatkan badik yang istimewa.

Baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor, maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.

Badik yang bagus dan istimewa dapat dilihat dari beberapa unsur, yakni dari sisi fisik dan sisi mistisnya. Dari sisi fisik, badik dapat dilihat dari bahan baku dan pamornya. Dari sisi fisik, biasanya badik berbahan baku dari besi dan baja pilihan, biasanya mengandung bahan meteorid dan ringan. Wilayah Sulawesi sejak dulu terkenal dengan besi Luwu’ yang berkualitas tinggi. Dari pamornya,

19Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar.

52

biasanya terdiri dari jenis pamor kurrisi, lasoancale, parinring, bungapejje, madaong ase, kuribojo, teba jampu, timpak lajja’ dan balo pakki.20

Dari segi sissi’ (tuah) atau hal yang mistis, biasanya dilihat dari banyak hal seperti uleng puleng, dan battu lappa, mabelesse, sumpangbuaja, ure’ tuo, tolongeng, sippa’ sikadong, pamussa’, dan pangulu.

Uleng puleng dan battu lappa’ sebenarnya merupakan kandungan meteorid. Sebagian orang percaya bahwa badik yang mempunya uleng puleng

(jika kecil) atau battu lappa (jika besar) akan membawa kebaikan pada pemiliknya baik berupa kemudahan rejeki, kharisma, maupun peningkatan karir.

Posisi uleng puleng atau battu lappa yang dicari adalah yang terletak di punggung badik kira-kira berjarak 5cm dari hulu (pangulu) karena dipercaya akan memudahkan rejeki dan karir. Badik yang memiliki uleng puleng dan battu lappa juga dipercaya dapat menghindari gangguan makhluk halus, sihir, dan tolak bala.

Mabelesse adalah keretakan di atas punggung badik sehingga seakan-akan badik tersebut akan terbelah dua. Badik seperti ini dipercaya akan memudahkan rejeki bagi pemiliknya sehingga banyak dicari oleh yang berprofesi sebagai pedagang.

Sumpangbuaja sama juga seperti mabelesse, hanya saja retakannya pada bilah dekat ujung badik. Tuahnya sama seperti mabelesse namun yang dicari yang diletaknya pada bilah sebelah kanan dekat ujung badik.

Ure’ tuo adalah garis yang muncul pada bilah badik. Ure’ yang dicari adalah yang tidak terputus-putus. Jika letaknya di punggung badik dan tidak

20 Ahmad Ubbe dkk, Pamor Landasan Spiritual Senjata Pusaka Bugis, (Jakarta: Gramedia,

2011), hlm. 169-170.

53

terputus dari hulu sampai ujung tuahnya, maka dianggap akan membuat sang pemilik disegani dan dituruti semua perkataannya. Jika melingkar ke atas dari bilah ke bilah sebelahnya seperti badik luwu’ sambang maka tuahnya adalah untuk melindungi pemiliknya dari malapetaka dan kalau turun ke baja maka untuk memudahkan rejeki.

Tolongeng adalah lubang pada punggung badik yang tembus kebawah terletak dekat hulu (Pangulu) sehingga kalau dilihat seperti teropong. Pada zaman dahulu, sebelum berangkat biasanya panglima perang meneropong pasukannya melalui badik tolongeng.

Sippa’ sikadong adalah retakan pada tengah bilah badik dari punggung badik. Tuahnya adalah membuat pemiliknya disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Pada zaman dahulu, apa bila ada seseorang akan melamar gadis maka utusan dari laki-laki akan membawa kawali sippa’ sikadong dengan tujuan agar memudahkan lamarannya diterima oleh pihak perempuan.

Pamussa’ adalah upaya memperkuat daya magis badik yang diletakkan dalam hulu badik. Biasanya dengan menggunakan bahan-bahan tertentu tergantung akan digunakan untuk apa badik yang akan diberi pamussa’.

Di kalangan masyarakat bugis Desa Sanglar berkembang suatu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki sebagian orang yang mampu membuat pihak lawan tidak mampu mencabut badik ketika akan digunakan. Ilmu ini dalam istilah bugis dikenal dengan istilah pakkuraga atau pabinrung. Pangulu yang caredo

(terbelah atau memiliki mata) secara alami dipercaya mampu mengatasi orang yang memiliki ilmu tersebut.

54

Untuk menjaga sisi’ atau tuah dalam badik agar tidak hilang, terdapat pantangan serta ritual mattompang yang sering dilakukan oleh masyarakat bugis di Desa Sanglar. Menurut Suharman,“karna badik di anggap suatu benda yang disakralkan maka badik tidak boleh diperlakukan sembarang tidak boleh di- jatuhkan di tanah dan tidak boleh ditarok di tempat sembarang tempat.

Contohnya misalna dehe weding di taro diawana angklungunge na diasena bocok e nasaba magai maderi mate madarawi anak’e.Adapun pantangannya adalah tidak boleh di bawak kencing, nasaba magawi yatu di tiwie anu suci.”21 Badik merupakan benda yang sakral, tidak boleh diletakkan di sembarang tempat seperti di bawa bantal atau di atas kelambu tidur. Badik juga benda yang suci, pantangannya tidak boleh membawa ke dalam kamar mandi atau tolilet. Selain itu, ditambahkan lagi oleh M. Yusup bahwa badik harus dirawat dan diperlakukan

22 sebaiknya biar nanti badik juga memberi kebaikan untuk pemiliknya. Dengan kata lain, masyarakat bugis Desa Sanglar masih mempercayai tuah atau kekuatan gaib yang ada di dalam badik, oleh sebab itu terdapat adab dalam memperlakukannya.

Setiap ritual dalam memperlakukan badik sesuai adat bugis terdapat baca- baca yang menambah kesakralan badik tersebut, hal ini bertujuan agar sisi’ atau tuah badik tersebut tidak hilang. Mulai dari mengambil badik, membuka bilah badik, menutup bilah badik, membawa badik, menyimpan badik, matompang, dan ritual-ritual lainnya selalu diiringi dengan baca-bacaan yang dipercaya memperkuat tuah badik. Meskipun demikian, tidak semua orang yang tau dan

21Hasil Wawancara dengan Suharman, Orang Bugis di Desa Sanglar. 22Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar.

55

mengerti baca-bacaan tersebut, bahkan informan yang merupakan panre bessi

(pembuat badik) tidak mau menunjukkan baca-bacaan tersebut. Alasan mereka agar tuah badik masih tetap terjaga, jika sudah banyak yang mengetahui maka kesakralan badik sudah tidak ada lagi.

Selain menghindari pantangan dan menjaga adab dalam membawa badik, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan pembersihan karat besi pada badik atau disebut dengan mattompang. Seperti dijelaskan oleh Suharman,“kalau badik sudah kelihatan ada karatnya maka harus ditompang agar badik atau kawali dapat terlihat bersih lagi atau bagus untuk di lihat.Matompang tidak bisa dilakukan hari apa saja akan tetapi matompang kawali atau badik hanya bisa dilakukan di hari tertentu saja misalanya hari senin, kamis, atau jum’at, karena menurut orang tua dulu hari itulah hari yang bagus untuk dilakukan matompang.”23

Hal senada juga dikatakan olehAbu sakar sebagai pandre bessi.

Menurutnya,“hari yang bagus untuk dilakukan matompang adalah hari senin, kamis, dan jum’at tapi yang sering saya laukan matompang adalah hari jum’at.

Pada saat matompang tidak boleh berpakaian yang tidak sopan sebab itu salah satu perlakuan yang tidak baik, dan terlebih dahulu jeruk tersebut di potong menjadi 3 bagian lalu diteteskan di atas besi tersebut.Kalau matompang cara meletakan kawali atau badik tidak boleh meletakkannya mengolo papada to matewe nasaba iyahe kawali e papada anu tuo, yang bagusnya adalah meletakkan sama dengan manusia yang tertidur. Kawali sebenarnya telu

23Hasil Wawancara dengan Suharman, Orang Bugis di Desa Sanglar.

56

pacappana ujungna matarenge, ujungna pangoro tengae kodi laleng ujung memeng ni, ujungna kodi pangoroe kodi seliweng ujung toi.”24Abu Sakar berpendapat dalam matompang harus berpakaian sopan, diawali dengan memotong jeruk nipis menjadi tiga bagian kemudian meneteskannya ke besi badik. Selain itu, dalam prosesnya badik tidak boleh diletakkan mengarah seperti arah orang meninggal, karena badik dipercaya sebagai benda yang hidup bukan benda mati.

Pendapat lain dalam proses matompang dijelaskan oleh M. Yusup.

Menurutnya,“kalau kita matompang atau membersihkan karat yang terdapat di kawali, kawali tidak boleh di pake mengiris limau tersebut,ditakutkan suatu hari nanti badik itu sendiri yang akan mengenai tuannya.Apabila ada warisan pusaka atau titipan badik dari seorang ayah maka tidak boleh dijual, apabila dijual maka balak akan terjadi pada seorang anak tersebut.”25Meskipun terdapat perbedaan dalam prosesnya, namun untuk hari yang baik dalam matompang menurut M.

Yusup sependapat dengan informan sebelumnya, yakni senin, kamis dan jum’at.

Haji Daeng Malandre memiliki pendapat berbeda mengenai hari yang baik dalam matompang. Menurutnya,matompang yang bagus adalah ompona ulengesepulo eppa sepulo lima. Selain itu ditambahkan beliau bahwaTania tau ogi alo deaga awalinna, diasenge kawali mana kalo tomattuanta sendiri parengi kawali atau badik yede.26Matompang yang baik menurut H. Daeng Malandre adalah ketika timbul bulan, dan tidak ada orang bugis yang tidak punya badik, dikatakan badik jika badik itu adalah pemberian langsung dari orang tuanya.

24Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar. 25 Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar. 26Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

57

D. Fungsi Badik bagi Masyarakat Desa Sanglar

Masyarakat Sulawesi Selatan merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa etnis atau suku bangsa.Etnis yang paling besar mendiami wilayah

Sulawesi Selatan adalah etnis Bugis.Etnis Bugis memiliki corak budaya yang khas, unik dan spesifik.Keunikan dan spesifikasi yang dimaksud tercermin dalam bentuk artefak berupa senjata tradisional yang oleh orang Bugis disebut sebagai kawali atau badik.Badik atau kawali merupakan ekspresi kebudayaan masyarakat

Bugis dalam bentuk senjata tajam yang hanya memiliki satu sisi tajam pada bilahnya.Keberadaan senjata badik dalam masyarakat Bugis Desa Sanglar telah muncul bersamaan terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang kemudian membentuk identitas Bugis.

Bagi masyarakat bugis Desa Sanglar, setidaknya ada empat fungsi penting dalam badik, yakni sebagai senjata tajam atau perlindungan diri, sebagai identitas sosial, fungsi artistik dan fungsi spiritual.

1. Badik sebagai perlindungan diri.

Fungsi badik yang utama tidak lain adalah sebagai sarana untuk

membentengi diri sipemilik dari berbagai ancaman-ancaman yang bisa

mencelakakannya. Dalam bahasa sederhana, badik merupakan senjata

untuk berjaga-jaga dan melindungi diri. Hal ini seperti yang dijelaskan

oleh Daeng Sudi sebagai tokoh masyarakat bugis di Desa Sanglar;

“Kawali yaro untuk pajaga-jaga dilinrungi wata kaleta, tenia untuk

masegek-segek tapi ripakewi untuk dipajaga watakale sareko amengi

engka abala kenaki nadeaga riseng mapewangi pole tau yamabetae,

58

yanatu gunana kawalie riapewang, pole ri dotie, kalo engka ganggui tau

ogie, pajaga siri’napai wedding ripake kawalie. Bahkan makedai

tomatoae kalo ri kawalie mesui pole onronna pantang matama paineng

kodi onronna kalo depa nalaksanakangi tugasna.”27Badik fungsinya untuk

jaga-jaga, untuk melindungi diri, bukan untuk kejahatan tapi untuk

membentengi orang yang memiliki badik dari bala atau ancaman orang

jahat.Jika ada yang ingin mengganggu ketenangan orang bugis, untuk

menjaga sirri’ (harga dirinya) baru boleh menggunakan badik.Bahkan

pesan orang tua terdahulu, jika badik sudah keluar dari penghulu harus

segera dipakai, karena pantangannya tidak boleh dimasukkan ke penghulu

badik sebelum digunakan.

Hal serupa juga disebutkan oleh Suharman; “badik banyak gunanya,

kebetulan badik saya badik sari, bisa dipakai untuk membuat tuak tapi

juga sering saya bawak kemana-mana, karena kalau saya tidak bawak

badik perasaan saya ada yang kurang atau seperti tidak enak, takut

terjadi yang tidak diinginkan.”28

M. Yusup menambahkan, “dahulu orang bugis selalu membawa

badik kalau bepergian, karena dahulu banyak penjahat, perampok,

jalanan tidak aman, jadi untuk jaga-jaga kita orang bugis selalu bawak

badik. Kebiasaan itu sampai sekarang terus dipakai, meskipun kejahatan

di jalanan tidak banyak seperti dulu.”29

27Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar. 28 Hasil Wawancara dengan Suharman, Orang Bugis di Desa Sanglar. 29Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar.

59

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor bertahannya

keberadaan badik di Desa Sanglar adalah karena fungsinya sebagai senjata

tajam, namun badik tidak disalah gunakan untuk kepentingan yang negatif.

2. Badik sebagai identitas sosial.

Orang bugis memandang badik sebagai identitas mereka.Bahkan

badik dijadikan simbol keberanian mereka.Meskipun dalam ilmu budaya

badik adalah perlengkapan hidup sebuah masyarakat, namun menurut

orang bugis bahwa badik adalah identitas diri, identitas sosial, perilaku

seseorang atau harapan seseorang dapat dilihat dari badik yang dia

miliki.Oleh sebab itu, sering ditemukan kalimat “bukan orang bugis jika

tidak punya badik.” Pernyataan serupa juga disampaikan oleh H. Daeng

Malandre, “tenia diasenge kawali mana kalo tenia to matuangta sendiri

parengi kawali yede, tau ugie riarengi kawali pole tomatuangna sebagai

tanrang kalo alena urane ogiwi, tenia tau ogi kalo deaga

kawalinna.”30Bukan disebut kawali atau badik jika bukan orang tua kita

yang memberi badik tersebut, orang bugis diberikan badik oleh orang

tuanya sendiri sebagai tanda jika dirinya adalah sebagai lelaki bugis, sebab

orang bugis harus punya badik.

Daeng Sudi juga menjelaskan bahwa, “Mapamula becuna riareng

metoni kawali, palise baku-baku naseng to riolotak, penjaga anak lolo

baja atau sangadinna anak iyede ri lorangi iya anak e masifai matarengi

30Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

60

papada iya hede kawalie.”31Masih anak-anak sudah harus diberi badik,

badik sebagai cinderamata kata orang-orang terdahulu, tujuannya untuk

menjaga anak kecil, selain itu harapannya adalah agar anak kecil tersebut

kelak dewasanya memiliki wawasan yang tajam (wawasan yang luas)

seperti tajamnya badik.

Dengan demikian, badik juga bertujuan untuk menjaga identitas

sipemilik.Eksistensi badik bersamaan dengan berlangsungnya keberadaan

komunitas masyarakat bugis.Sudah sewajarnya keberadaan badik dalam

masyarakat bugis khususnya di Desa Sanglar tetap bertahan meskipun

banyak hasil kebudayaan serupa (badik) yang berkembang di Desa

Sanglar.

3. Badik sebagai artistik atau kebutuhan seni.

Estetika sebagai ilmu dan pengetahuan yang selalu bermuara pada

sudut pandang kesenian, dan kesenian sebagai sesuatu yang dapat

membangkitkan perasaan menyenangkan. Suatu kegiatan akan

membangkitkan perasaan keindahan, apabila ia diwujudkan melalui proses

yang memenuhi persyaratan tekhnis tertentu sehingga mencapai standard

of excellent, nilai puncak atau tertinggi. Oleh karena itu, dua aspek

kesenian yang perlu diperhatikan yaitu konteks estetika dan

makna.Merujuk pada konsep estetika Nusantara, badik merupakan produk

budaya leluhur yang di dalamnya terdapat tontonan dan tuntunan.Badik

dibuat dengan sentuhan rasa dan ekspresi untuk memenuhi kaidah-kaidah

31Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar.

61

keindahan bentuk visualnya (tontonan).Demikian juga, badik dibuat

dengan pemenuhan kaidah-kaidah yang rumit pada kedalaman makna

yang religious, magis dan mistis.Badik dengan segala bentuk dan

kelengkapannya memiliki tuntunan perilaku dan pemaknaan kehidupan

masyarakat bugis.

Hal serupa juga dipertegas oleh M. Yusup, menurutnya; “banyak

orang punya badik hanya melihat bagusnya, bagus pasukekna, bagus

pamornya, bagus penghulunya, tapi yang terpenting itu badik untuk

menjaga diri dan harga diri (sirri’) kita.Makanya orang yang punya badik

tidak bisa macam-macam dengan badiknya, jangan sampai badik disalah

gunakan sehingga harga dirinya malah hancur karena melanggar

hukum.”32

Mengenai keindahan badik, Daeng Sudi mengatakan; “Yaro kawalie

engka tu yasengi urek tuo, yanaro tomalajue nasengi pamor. Mega

modelekna yaro pamor e. Engkatu yaseng kurrisi,bungapejje, madaong

ase, kuribojo, teba jampu, timpak lajja’, yanaro nasengi senni, keindahan,

gello rita.”33Dalam sebuah badik ada yang dinamakan urat hidup, itulah

dalam bahasa melayu disebut pamor. Jenis pamor dalam badik banyak

sekali, ada yang disebutkurrisi,bungapejje, madaong ase, kuribojo, teba

jampu, timpak lajja’, dan lain-lain. Itulah yang dinamakan seni, keindahan

dalam badik, karena indah dilihat.

32Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar. 33Hasil Wawancara dengan Daeng Sudi, Orang Bugis di Desa Sanglar.

62

Hal senada juga disampaikan oleh H. Daeng Malandre,

menurutnya;“Tau ogie mapake kawali kadang untuk gayana mani bawang,

mansana wetunna mapake waju boting, engkato pujiwi bentunna,

modelekna, gambarak kawalinna, kawali yaro engka metto bentuk-bentuk

sennina.”34Ada beberapa orang bugis yang menggunakan badik hanya

sebagai pelengkap busana, seperti pada pakaian pernikahan adat bugis.Ada

pula orang bugis yang hanya mengoleksi badik karena keindahan

bentuknya, keindahan pamornya, itulah seni menurut orang bugis dalam

sebuah badik.

Pemilik badik bugis bukan hanya dari kalangan masyarakat bugis,

terkadang juga ada dari kalangan masyarakat melayu, jawa dan lain-lain.

Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengoleksi benda pusaka tersebut,

selain itu yang menjadi nilai atau daya tariknya adalah keindahannya, baik

dalam bentuk bilah, penghulu bahkan pamornya yang dipandang memiliki

keunikan.

4. Badik sebagai kebutuhan spiritual.

Fungsi spiritual dalam badik juga mengandung arti bahwa sipemilik

badik memaknai badiknya sebagai pusaka yang memiliki tuah, yang bisa

mengirimkan energi tertentu kepada pemilik badik.Menurut cerita rakyat

bugis yang berkembang, jaman dahulu seorang ayah biasanya meminta

kepada panre bessi (pembuat badik) membuat badik untuk anaknya, agar

pusaka itu bisa membangun karakter si anak dan berharap anak tersebut

34Hasil Wawancara dengan H.Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

63

sukses ketika dewasa.Kepercayaan-kepercayaan seperti ini masih

berkembang dalam masyarakat bugis yang ada di Desa Sanglar.

Salah satu badik yang dianggap memiliki tuah adalah badik luwu,

menurut Suharman, badik luwu dipercaya sebagai pusaka yang memiliki

tuah agar dijauhkan malapetaka (bala). Suharman meyakini bahwa dengan

membawa badik luwu dia akan selamat dalam perjalanan, tidak ketemu

musuh, dan disenangi orang lain. Semua itu tentu dengan izin Allah SWT

yang menjadikan badik luwu sebagai perantaranya.35

Badik Cippe Kodong, yang dimiliki oleh M. Yusup merupakan

pusaka dengan tuah seperti pengasihan. Menurutnya, badik Cippe Kodong

bagus digunakan untuk melamar wanita, karena tuahnya membuat

sipemilik terlihat baik, tampan dan sempurna.36 Istilah lain dari badik

Cippek Kodong adalahSippa’ Sikadong,yaitu retakan pada tengah bilah

badik dari punggung badik. Tuahnya adalah membuat pemiliknya

disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Perbedaan dalam penyebutan

badik tersebut biasanya karena perbedaan bahasa daerah yang

mempengaruhi nama badik tersebut. Seperti di Sulawesi Selatan, istilah

yang sering dipakai adalahSippa’ Sikadong.Orang bugis di Desa Sanglar

kebanyakan menyebutnya denganCippe Kodong, namun ada juga yang

menyebutnya dengan Sippa’ Sikadong.

Badik yang dimiliki oleh Abu Sakar sedikit berbeda dengan badik

yang ditemukan di Desa Sanglar. Menurut Abu Sakar, badik tersebut

35Hasil Wawancara dengan Suharman, Orang Bugis di Desa Sanglar. 36Hasil Wawancara dengan M. Yusup, Orang Bugis di Desa Sanglar.

64

dinamai dengan Anak Lette’. Badik ini diyakini tidak dibuat oleh manusia,

dan tuahnya untuk mengobati berbagai macam penyakit.Dari penjelasan

Abu Sakar, badik Anak Lette’ ditemukannya ketika terjadi sambaran petir

di sawah.37

Badik yang tidak kalah uniknya adalah badik sari, berbeda dengan

badik lainnya, badik sari adalah pisau yang sebelumnya digunakan untuk

massari (alat untuk proses penyulingan air aren atau membuat

tuak).Menurut H. Daeng Malandre yang memiliki badik sari, orang bugis

percaya jika badik sari membawa keberuntungan, membawa rejeki, dan

38 cocok untuk perdagangan.

Masih banyak lagi fungsi spiritual badik dalam kepercayaan

masyarakat bugis di Desa Sanglar, semua kepercayaan itu tidak terlepas

dari sissi’ atau tuah yang terdapat dalam sebuah badik.Kepercayaan inilah

yang menjadikan badik serta kebudayaan bugis berkembang di Desa

Sanglar.

37Hasil Wawancara dengan Abu Sakar, Panre Bessi (pembuat badik) di Desa Sanglar. 38Hasil Wawancara dengan H. Daeng Malandre, Orang Bugis di Desa Sanglar.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan permasalahan dari tujuan penelitian maka dapat diambil kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

1. Terkait dengan permasalahan eksistensi badik dalam masyarakat Bugis di

Desa Sanglar, penulis mendapatkan sebuah pemahaman bahwa keberadaan

badik dalam masyarakat Bugis tidak terlepas dari pandangan-pandangan

masyarakat pendukungnya. Pandangan mengenai badik tersebut

dihubungkan dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat Bugis,

baik dari segi bilahnya, pamornya dan penghulunya. Eksistensi Badik pada

masa-masa awal sangat berkembang seiring perkembangan masyarakat

bugis yang ada di Desa Sanglar. Namun pada perkembangannya eksistensi

badik mengalami penurunan akibat larangan membawa senjata tajam demi

keamanan dan kenyamanan masyarakat sekitar.

2. Eksistensi badik diyakini sebagai benda sacral di Desa Sanglar karena

faktor keyakinan masyarakat bugis Desa Sanglar yang menganggap bahwa

selain memiliki fungsi sebagai senjata tajam untuk membela diri, badik

juga berfungsi sebagai benda spiritual yang berguna untuk membawa

keberuntungan. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesakralannya, masyarakat

bugis Desa Sanglar memperlakukan badik dengan sangat hati-hati.

65

66

3. Terkait dengan fungsi badik dalam masyarakat bugis di Desa Sanglar,

ditemukan empat fungsi utama yaitu; sebagai senjata tajam; sebagai

identitas sosial; sebagai kebutuhan artistik; dan sebagai kebutuhan

spiritual. Fungsi yang utama tentu badik sebagai senjata tajam atau untuk

perlindungan diri. Selain sebagai senjata tajam, badik juga berfungsi

sebagai identitas atau penanda bahwa sipemilik badik adalah lelaki bugis.

Fungsi artistik dimaknai sebagai kebutuhan perlengkapan busana atau bisa

juga sebagai kebutuhan seni karena keindahan dan keunikan dari badik

tersebut. Sementara itu yang berhubungan dengan fungsi spiritual adalah

kepercayaan masyarakat bugis itu sendiri terhadap tuah atau hal magis

yang diperoleh dari sebilah badik.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa saran untuk memberikan masukan terhadap eksistensi badik bagi masyarakat Suku

Bugis khususnya di Desa Sanglar, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir, sebagai berikut:

1. Selalu menerapkan prinsip-prinsip hukum islam yang sesuai dengan Al-

Quran dan Al-hadis agar hidup lebih terarah.

2. Menjaga dan melestarikan kearifan lokal badik sebagai senjata pusaka

yang memiliki tuah. Namun tetap meyakini bahwa semuakuatan yang

terdapat dalam badik merupakan kekuatan yang hanya dari Allah semata,

hanya saja jalannya melalui badik. Agar tidak ada unsur “syirik” di

dalamnya.

67

3. Untuk masyarakat sebaiknya tidak memberikan label negatif terhadap

badik, karena badik tidaklah digunakan untuk pertarungan atau

perkelahian yang dilakukan untuk kesenangan semata.

4. Perlu dipertimbangkan pada masyarakat Suku Bugis untuk menghindari

membawa badik ketika ingin bepergian ke kota-kota besar dan berjarak

yang jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-munawwar, Said Husin, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun

Masyarakat Madani, Jakarta: Pena Madani, 2003.

Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”.Sinar Harapan. 27

Mei 2004.

Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, Jakarta : IKAPI, 2002.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta : 1998.

Chatib, Andrianus, Acuan penulisan skripsi/tesis untuk mahasiswa fakultas adab

sastra dan kebudayaan IAIN Sulthan thaha saifuddin, 2006.

Departemen pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Jakarta :

Balai Pustaka, 1999 .

------, Senjata Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi

Selatan : Balai Pustaka, 1990.

Endaswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta : Gadjah

Mada University Press. 2006.

Faisal, Sanapiah, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi, Malang : YA3,

1990.

Hidayah, Zulyani, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Obor, 2015.

Ihromi, TO, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta :Obor, 2006.

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, jakarta : Dian Rakyat,

1992.

------, Pengantar ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2004.

Nurdin, Ali, Komunikasi Magis: Fenomena Dukun di Pedesaan, Yogyakarta:

LKIS, 2015.

Spradley, James, P. Metodologi Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

1997.

Suparlan, Parsudi, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1996.

Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto (ed.), Teori-teori kebudayaan, Yogyakarta:

Kanisius, 2005.

Ubbe, Ahmad dkk, Pamor dan Landasan Spiritual Senjata Pusaka Bugis, Jakarta:

Gramedia, 2011.