KUIL KASHIMA SEBAGAI TEMPAT PENYEMBAHAN DEWA KASHIMA

KASHIMA O SUUHAI SURU TOKORO TO SHITE KASIMA JINJA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujuan Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang Ekstensi

Oleh:

LARIS FRANSISKA MARPAUNG

170722011

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG EKSTENSI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus berkat kasih dan rahmatnya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Kuil Kashima Sebagai Tempat

Penyembahan Dewa Kashima” Tujuan dari penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Sarjana

Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

Penulis menyadari skripsi ini belum seperti yang diharapkan baik penyusunan kalimatnya maupun pemecahan masalahnya, untuk itu penulis mengharapkan saran yang membangun.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan, dan penghormatan kepeda:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D selaku Ketua Jurusan

Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara.

3. Ibu Rani Arfianty, S.S,.M.Phil selaku Dosen Pembimbing yang

telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan

masukan, bimbingan, dan penghargaan dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Alimansyar, M.A,. Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang

telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan

masukan, bimbingan, dan penghargaan dalam penyusunan skripsi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Jepang dan Bahasa Jepang

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara yang telah

memberikan banyak ilmu yang bermanfaat sejak awal perkuliahan

sampai selesai. Dan tata usaha yang telah banyak membantu

penulis.

6. Dosen Penguji Ujian Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang

telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji Skripsi ini.

7. Terutama yang paling utama kepada orang tua penulis, Bapak

Marudut Marpaung dan Ibu Nurhayati Naibaho, orang tua yang

hebat dan yang terbaik yang selalu memberikan perhatian dan

nasihat kepada penulis. Terima kasih atas dukungan Bapak dan

Mamak baik itu moril maupun materi, serta doa yang selalu Bapak

dan Mamak panjatkan. Kepada adik-adik penulis Esra Marpaung,

Ester Marpaung, Frendy Marpaung, Cristoper Marpaung terima

kasih atas dukungannya.

8. Kepada Jefriando Sinabang terima kasih atas dukungan dan

semangat yang telah diberikan.

9. Saudara-saudara serta sahabat-sahabat yang telah banyak

memberikan dorongan dan bantuan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selamjutnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa kita kembalikan semua urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khusunya bagi penulis dan para pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Medan, 07 Januari 2019

Penulis

Laris Fransiska Marpaung

NIM 170722011

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i

DAFTAR ISI……………………………………...………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………….…………………….……1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………...... 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………………………………..…...…5

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……………………………..8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………….9

1.6 Metode Penelitian…………………………………………….…..12

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI KUIL DI JEPANG,

KUIL KASHIMA DAN DEWA KASHIMA

2.1 Kuil di Jepang……………………………………...…………..…13

2.1.2 Kuil Buddha…………………………………………....….13

2.1.2 Kuil …………………………………………...……14

2.2 Kepercayaan Masyarakat Jepang terhadap Kuil……...…..…...…16

2.3 Kuil Kashima……………………………………………………..23

2.4 Dewa Kashima………………………………………………....…26

BAB III FUNGSI KUIL KASHIMA DAN PELAKSANAAN

PENYEMBAHAN DEWA KASHIMA

3.1 Fungsi Kuil Kashima di dalam Masyarakat Jepang…………...…28

3.2 Pelaksanaan Penyembahan Dewa Kashima di Kuil Kashim….…30

3.3 Namazu Sebagai Kearifan Lokal…………………………..….…33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan………………………………………………..…..…38

4.2 Saran………………………………………………..………..…..40

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang merupakan negara maju yang tetap menjaga dan melestarikan budaya tradisonalnya. Meskipun Jepang termasuk negara yang sudah unggul dalam berbagai bidang misalnya, ekonomi dan teknologinya. Namun, masyarakat

Jepang sangat memelihara dan menghargai kebudayaan yang diturunkan oleh leluhurnya. Salah satunya adalah ritual penyembahan yang dilakukan di kuil jinja.

Kuil Shinto jinja adalah struktur permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan dewa-dewa berdasarkan kepercayaan Shinto. Shinto adalah agama yang melekat dengan Jepang yang merumuskan penyembahan dewa-dewa dari alam, mitologi, cerita rakyat, dan fakta sejarah serta arwah para leluhur.

(http://id.m.wikipedia.org/wiki/kuil-shinto).

Jinja biasanya diterjemahkan menjadi “Shrine (kuil shinto)” dalam Bahasa

Inggris tetapi terjemahan ini perlu diberi perhatian khusus. Istilah “shrine” dalam

Bahasa Inggris, cendrung berarti sebuah makam atau peti mati berisi relik suci seperti tulang jenazah, atau altar atau ruang sembahyang yang dikuduskan karena adanya peristiwa tertentu, atau dengan asosiasi keagamaan khusus. Jinja Jepang tidak demikian, lebih tepatnya, jinja adalah tempat ibadah yang dihormati sebagai tempat tinggal Kami. Di jinja tidak terdapat relik suci seperti tulang jenazah dan lain-lain. Dalam bahasa Jepang kuil Shinto disebut “jinja”, “jingu”, “taisha”,

“miya”, “gu”, “ku”, “sha”, atau “yashiro”. Jinja yang disebut “X Jingu” seperti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kashibara Jingu, Meiji Jingu, dan Kashima Jingu adalah jinja yang mengabadikan kaisar yang sudah wafat sebagai Kami, atau jinja yang memiliki hubungan erat dengan Keluarga Kekaisaran (Alimansyar, 2017:45).

Kashima Jinja adalah tempat suci untuk dewa pendiri seni bela diri dari

Jepang, Take-mikazichi. Kuil ini terletak di Prefektur Ibaraki, Kashima, dan disebut di dalam buku sejarah tertua di Jepang Nihon-Shoki, dimana telah dibangun di era Kaisar Jimmu.

Di kuil ini rusa dihormati sebagai utusan para dewa, maka di tempat ini terdapat taman rusa. Ada wadah air untuk memurnikan diri di kuil yang disebut

Mitarashi-ike, serta kunci yang disamatkan pada ikan lele dari sebuah legenda kuno Jepang tentang ikan lele raksasa yang menyebabkan gempa bumi. Karena di kuil Kashima ini ikan lele raksasa (Namazu) disembah sebagai yanaoshi daimyojin dan juga Dewa yang menjaga Namazu juga di sembah di kuil ini yaitu

Dewa Kashima.

Di Jepang tumbuh mitos bahwa gempa disebabkan oleh seekor ikan lele raksasa Namazu. Mitos menyebutkan Namazu hidup dalam lumpur di perut bumi dan di kendalikan oleh Dewa Kashima melalui batu bertuah. Suatu ketika,

Namazu lepas dari penjagaan Dewa Kashima dan bergerak-gerak menyebabkan bumi berguncang. Mitos ini di perkirakan datang dari daratan Cina ke Jepang sebagai bagian dari kepercayaan Budha Popoler. Beberapa kuil Budha di Cina banyak bergambar Bhodisatva Guanyin berdiri di atas ikan lele raksasa seperti

Namazu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Namazu dipercaya hidup di hidup di air subtranian di bawah Kashima

Shrine di Provinsi Hatachi yang saat ini dikenal dengan Ibaraki di utara Tokyo.

Satu batu bernama Kaname-ishi menahan Namazu agar tidak bergerak. Berat batu itu lama-kelamaan tidak bisa lagi menahan gerak Namazu, sehingga Dewa

Kashima harus menekan terus batu itu. Namun, setiap bulan kesepuluh tiap tahunnya, Kashima harus ke selatan Jepang bertemu dengan para dewa lainnya tugas menjaga Namazu di serahkan kepada Dewa Ebizu. Akan tetapi, Dewa Ebizu tidak mampu menahan gerak Namazu. Ebizu merupakan dewa keberuntungan asli

Jepang yang merupakan dewa keberuntungan bagi pedagang, pengusaha, dan nelayan. Ebizu tidak dapat menghadiri rapat para dewa yang dilakukan setiap bulan kesepuluh karena dewa Ebizu tuli dan buta. Sehingga setiap bulan kesepuluh Ebizu ditugaskan menjaga Namazu.

Pada Oktober 1855, gempa besar menggoncang kawasan Edo yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo. Gempa menewaskan ribuan orang. Gempa itu dikenal sebagai “bulan tanpa Dewa”. Hal itu karena para dewa harus bertemu di selatan Jepang pada bulan kesepuluh. Inilah yang menyebabkan Namazu bergerak dan menimbulkan gempa. Namazu kemudian disembah sebagai yanaoshi daimyojin atau dewa rektifikasi dunia.

Jika dilihat, topik ini sangat menarik untuk dibahas dan diteliti. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa negara Jepang sudah banyak mengalami proses moderenisasi di dalam berbagai bidang sehingga menjadikannya sebagai negara yang maju. Namun, uniknya masyarakat Jepang masih mempercayai bahwa diluar kehidupan masyarakat masih banyak makhluk-makhluk lainnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang hidup berdampingan dengan masyarakat Jepang itu sendiri, seperti Dewa- dewa dan ikan lele raksasa. Ikan lele raksasa yang dapat menyebabkan gempa bumi di Jepang. Keberadaan ikan lele raksasa yang ada di Jepang telah disembah sebagai yanaoshi daimyojin di Khasima Jinja. Untuk mengetahui bagaimana ikan lele menjadi salah satu hewan yang disembah di kuil Kashima maka penulis tertarik untuk membahas “KUIL KASHIMA SEBAGAI TEMPAT

PENYEMBAHAN DEWA KASHIMA”

1.2 Perumusan Masalah

Di Jepang, kuil adalah sebagai rumah atau tempat tinggal para Kami salah satunya adalah kuil Kashima yang terletak di prefektur Ibaraki, Kashima. Kuil

Kashima adalah kuil yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Jepang karena, sejarah nya salah satu sejarah kuil Kashima yaitu adanya patung ikan lele yang di sembah sebagai yonaoshi daimyojin dan Dewa yang menjaga ikan lele tersebut yaitu Dewa Kashima.

Hori Ichiro dalam Situmorang (2013: 28) mengatakan folk belief adalah kepercayaan rakyat terhadap benda-benda yang dipercayai mempunyai kekuatan supranatural, bahkan kebiasan memberi sesajen adalah lumrah bagi masyarakat

Jepang. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Jepang masih menjaga nilai-nilai tradisi yang merupakan warisan leluhur mereka.

Berdasarkan uraian masalah, maka penulis akan mencoba merumuskan permasalahan yang akan dibahas agar penelitian ini lebih terarah dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memudahkan sasaran yang ingin dikaji. Berdasarkan pernyataan diatas, yang menjadi rumusan masalah pada penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana fungsi kuil Kashima di dalam Masyarakat Jepang?

2. Bagaimana pelaksanaan penyembahan Dewa Kashima di kuil Kashima?

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah supaya dalam membahas masalah tidak terlalu melebar dan peneliti juga dapat lebih terfokus membahas masalah yang ingin diteliti. Serta agar tidak menyulitkan para pembaca dalam memahami pokok permasalahan yang akan dibahas.

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada bagaimana fungsi kuil Kashima di dalam kepercayaan Shinto dan bagaimana bentuk penyembahan di kuil Kashima.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Penulis menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan

Kashima Jinja sebagai Tempat Penyembahan Dewa Ikan Lele. Penelitian tersebut yang berjudul Mitos Kappa Sebagai Kearifan Lokal Dalam Masyarakat Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA oleh Sianturi (2015). Pada skripsi tersebut mengangkat mitos kappa di Jepang serta kearifan lokal dalam mitos kappa di Jepang.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hasibuan (2009) dengan judul

Maneki Neko dalam Pandangan Jepang pada skripsi tersebut mengangkat karekteristik dari maneki neko dan nilai-nilai mitos apa saja yang terkandung dari

Maneki Neko tersebut. Dari skripsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa, Jepang adalah negara yang memiliki banyak legenda.

Selain judul-judul tersebut masih banyak penelitian lain yang mengangkat mitos Jepang. Berdasarkan pengamatan pada penelitian yang dilakukan oleh

Sianturi (2015) dan Hasibuan (2009) penulis melihat perbedaan antara kedua penelitian tersebut dengan yang di lakukan penulis yaitu Sianturi (2015) memaparkan tentang kearifan lokal dalam mitos kappa pada masyarakat Jepang, sedangkan penelitian ini penulis hanya membahas bagaimana fungsi kuil Kashima sebagai tempat penyembahan dewa Kashima. Kemudian, perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2009) membahas tentang nilai-nilai mitos yang terkandung dari Maneki Neko sedangkan penulis membahas tentang pelaksanaan penyembahan di kuil Kashima.

Oleh karena itu, skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah dijelaskan diatas, terutama dari judul karya sastra yang digunakan sebagai objek penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976: 11) berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari dalam abstrak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahasan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Oleh sebab itu, untuk melihat bagaimana sejarah kuil Kashima , penulis menggunakan teori kesejarahan. Sejarah menurut Widja adalah suatu studi yang telah dialami manusia diwaktu lampau dan telah meninggalkan jejak di waktu sekarang, di mana tekanan perhatian diletakan, terutama dalam pada aspek peristiwa sendiri. Dalam hal ini terutama pada hal yang bersifat khusus dan segi- segi urutan perkembangannya yang disusun dalam cerita sejarah (I Gede Widja,

1989: 9). Sejarah adalah kajian tentang masa lampau, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia. Menurut R. Moh. Ali (2005), mempertegas pengertian sejarah sebagai berikut:

1) Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan

disekitar kita.

2) Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian, atau peristiwa dalam

kenyataan di sekitar kita.

3) Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian, dan atau

peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.

(www.Wikipedia.org/wiki.sejarah)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dengan teori ini akan dijelaskan bagaimana sejarah kuil Kashima Jinja.

Oleh sebab itu, untuk melihat penyembahan di kuil Kashima, penulis menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi. Konsep religi itu berhubungan dengan sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Koentjaranigrat (1976: 30) mengatakan bahwa sistem kepercayaan bisa berupa konsepsi tentang paham-paham yang terintegrasikan ke dalam dongeng-dongeng. Adapun berbagai bentuki kepercayaan atau religious beliefs salah satunya adalah percaya akan berbagai hal yang mengandung kekuatan sakti atau kekuatan yang dianggap ada dalam ikan lele raksasa dan masyarakat percaya akan hal itu. Dengan teori ini akan dijelaskan bagaimana masyarakat Jepang bisa mempercayai keberadaan ikan lele raksasa dan sebuah kuil melakukan penyembahan terhadap ikan lele raksasa dan dewa

Kashima.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori kearifan lokal.

Sibarani (2014: 114) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas. Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005: 5), kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengembangkan potensi dan sumber lokal (material dan nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik dan positif.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:.

1. Untuk mendiskripsikan fungsi dan bentuk penyembahan Dewa Kashima di

Kuil Kashima.

2. Untuk mendiskripsikan pelaksanaan penyembahan dewa Kashima di kuil

Kashima.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu baik penulis maupun pembaca, diantaranya yaitu:

1. Menambah wawasan pengetahuan khususnya mengenai sejarah kuil

Kashima Jinja.

2. Menambah wawasan pengetahuan tentang fungsi kuil Kashima.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Memberikan informasi kepada masyarakat luas dan khususnya pada

mahasiswa Sastra Jepang tentang kuil Kashima Jinja menjadi tempat

penyembahan dewa Kashima.

4. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan tambahan informasi atau data

bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan suatu metode dalam sebuah penelitian terhadap sesuatu. Tujuannnya adalah untuk membuat suatu gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifata dan hubungan antara fenomena yang sedang diselidiki untuk mendapatkan interpretasi yang tepat.

Menurut Whitney (1960) dalam buku metode penelitian karangan

Moh.Nazir (2003: 54), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode penelitian ini, mempelajari masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, seperti halnya tata cara berlaku, situasi tertentu, proses- proses yang berlangsung, dan pengaruh-pengaruh terhadap suatu fenomena.

Metode penelitian deskriptif merupakan salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau hubungan antara fenomena yang diuji. Tujuannya untuk menghasilkan gambaran mengenai sebuah kelompok, mekanisme sebuah proses atau hubungan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memberikan gambaran lengkap baik dalam bentuk verbal atau numerikal, menyajikan informasi dasar akan sesuatu hubungan, menciptakan kategori dan mengklarifikasikan subjek penelitian, menjelaskan tahapan atau proses, serta untuk menyimpan informasi bersifat kontradiktif mengenai subjek penelitian.

Analisis secara umum dapat diartikan sebagai proses perencanaan yang terdiri dari beberapa bagian atau komponen yang saling berhubungan agar mendapatkan pengertian berupa sumber informasi yang tepat dan memiliki pemahaman arti secara keseluruhan, sehingga memudahkan untuk mengelompokan informasi.

Dengan demikian, metode metode deskriptif analisis adalah metode yang digunakan untuk menjelaskan suatu gambaran mengenai suatu peristiwa dan memberikan sumber informasi untuk memudahkan dalam pengolahan data.

Selain metode deskriptif, dalam melakukan penelitian ini penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research). Metode ini sangat penting bagi peneliti. Menurut Nasution (1996: 14), metode kepustakkan atau

Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.

Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep kesimpulan serta saran. Dalam hal ini penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menggunakan buku-buku yang ada di Perpustakaan Umum Universitas Sumatra

Utara dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya.

Agar penelitian ini lebih jelas peneliti juga mencari dan mengumpulkan data-data dari beberapa situs diinternet yang mendukung permasalahan yang akan diteliti. Seluruh data-data yang didapat dari situs kepustakaan dan internat akan dianalisis dan kemudian diinterprestasikan agar diperoleh hasil kesimpulan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI KUIL DI JEPANG, KUIL KASHIMA

DAN DEWA KASHIMA

2.1 Kuil di Jepang

Mengunjungi tempat sakral atau kuil menjadi tradisi penting di Jepang, terutama pada saat tahun baru di mana masyarakat Jepang berbondong-bondong datang ke kuil untuk berdoa dan untuk kemanjuran di tahun selanjutnya.

Mengunjungi dan berdoa di kuil disebut dengan omairi. Saat dilakukan di tahun baru disebut dengan hatsu-moude.

2.1.1 Kuil Buddha

Kuil Buddha (Tera) bisa ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan tersebar di berbagai tempat. Kebanyakan dari bangunan Tera yang ada adalah termasuk kuil keluarga yang artinya pengelolanya berada pada perorangan yang diwariskan secara turun temurun.

Kuil Buddha secara fisik, kuil Buddha lebih sering didominasi warna coklat atau gelap seperti warna kayu yang tidak dicat. Gerbang adalah hal pertama yang dapat diperhatikan. Jika gerbangnya bangunan beratap (memiliki genteng atau ornamen yang mirip bangunan yang bisa dimasuki oleh orang) maka itu adalah kuil Buddha. Suasana dalam kuil Budhha selalu terkesan sederhana, terlihat lebih tenang, dengan ornamen-ornamen yang tidak terlalu mencolok.

Memiliki satu lonceng besar yang dipukul dengan kayu untuk membunyikannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selain perbedaan, ada juga persamaan di antara kuil Shinto dan kuil

Buddha yaitu memiliki kertas-kertas berisi doa dari pengunjungnya yang dipasang pada bagian tertentu, dan ada semacam kolam air berisi gayung yang dipakai sebagai tempat “membersihkan diri” sebelum berdoa.

Kuil Buddha, atau Tera yang cendrung megah besar dengan ornamen dan koleksi barang berharga dan barang seni melimpah, kuil Shinto atau Jinja sangat sederhana dan menyatu dengan alam. Dalam altar utama hampir kosong.

Bangunan kuil umumnya tidaklah besar atau bahkan bisa jadi sangat kacil tidak lebih dari satu meter namun arel kuil bisa jadi sebaliknya karena seluruh gunung ataupun hutan adalah termasuk areal kuil itu sendiri. Di beberapa kuil tertentu yang terletak di atas gunung, di tengah laut, danau ataupun tempat yang sulit di jangkau, biasanya akan dibuatkan bangunan atau kuil lain di tempat yang mudah di jangkau. Jadi kuil ini berfungsi sebagai penghubung ke kuil utama jadi peziarah tidak perlu susah payah mendaki gunung atau atau menaiki tangga yang berjumlah sampai ribuan tangga, seperti kuil Kotohiragu yang memiliki 1.368 anak tangga. Biasanya di tengah permukiman penduduk berdiri satu kuil yang berfungsi sebagai kuil penjaga daerah atau sebagai tempat ibadah umum oleh penduduk daerah tersebut.

2.1.2 Kuil Shinto

Kuil Shinto (Jinja) adalah bangunan tempat penyembahan dewa-dewa dalam kepercayaan Shinto. Shinto adalah agama yang melekat dengan Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang merumuskan penyembahan dewa-dewa dari alam, mitologi, cerita rakyat, dan fakta sejarah serta arwah para leluhur.

Kuil Shinto bangunan lebih sering didominasi warna merah atau jingga walaupun tidak selalu seperti itu. Kuil kecil lebih banyak berwarna coklat atau lebih mirip arsitektur rumah khas Jepang secara umum. Bangunan terlihat megah, berwarna warni mencolok, dan biasanya penuh dengan ornamen. Gerbangnya berbentuk torri, atau hanya seperti kayu gelondongan yang ditumpuk membentuk gerbang. Banyak terdapat lonceng kecil-kecil yang digoyangkan dengan kain.

Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol dan doktrin agama. Siapapun bisa bebas untuk berkunjung tampa ada kewajiban untuk harus berdoa. Hampir dari semua bagian dalam area kuil bisa dimasuki ataupun difoto tampa da larangan ataupun pertanyaan apapun atau pertanyaan yang menjurus pada hal agama.

Ketika memasuki kuil Shinto, umumnya akan di sambut oleh seorang atau sekelompok gadis muda berpakaian lebar berwarna putih bersih dan rok lebar berwarna merah menyala menutup sampai mata kaki. Mereka adalah orang yang mengabadikan diri untuk kuil dan dinamai dengan . Tugas tama mereka adalah memimpin ritual tertentu, menari dan juga sekaligus sebagai penjual tiket masuk, penjual (jimat keberuntungan) serta menyapu atau menjaga kebersihan kuil (bersih bersih dianggap juga sebagai bagian dari ritual).

Status untuk menjadi seorang Miko cukup unik karena dituntut harus masih gadis. Jadi adalah hal umum kalau profesi ini cendrung hanya dijalankan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA selama beberapa tahun saja dan harus mengundurkan diri setelah berkeluarga.

Kemudian untuk pendeta pria dikenal dengan nama mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pendeta wanita. Karena Shinto tidak mengenal ajaran maka tugas sebagai penceramah agama khotbah dan sejenisnya tentusaja tidak ada. (http://www.kompasina.com/perbedaankuilshintodanbuddhadijepang)

2.2 Kepercayaan Masyarakat Jepang Terhadap Kuil

Sistem kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Jepang yang selama ini diketahui oleh masyarakat di dunia adalah Shinto atau Budha. Sebenarnya, bila kita meneliti lebih jauh lagi mengenai apa agama yang dianut oleh orang-orang

Jepang adalah hampir semua menyebutkan tidak tahu agama apa yang mereka anut. Bila orang-orang luar banyak yang beranggapan bahwa orang Jepang beragama Shinto, sebenarnya Shinto bukanlah suatu agama meleinkan suatu kebudayaan atau kebiasaan saja. Shinto tidak mengenal ajaran, kitab suci ataupun nabi. Namun uniknya memiliki kuil atau tempat sembahyang. Bukan hanya Shinto saja, melainkan semua agama bagi orang-orang Jepang hanyalah sekedar budaya atau tradisi (kebiasaan) saja, Febriani (2013).

Kuil Shinto (Jinja) adalah bangunan tempat penyembahan dewa-dewa dalam kepercayaan Shinto. Shinto adalah agama yang melekat dengan Jepang yang merumuskan penyembahan dewa-dewa dari alam, mitologi, cerita rakyat, dan fakta sejarah serta arwah para leluhur.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kuil Shinto bangunan lebih sering didominasi warna merah atau jingga walaupun tidak selalu seperti itu. Kuil kecil lebih banyak berwarna coklat atau lebih mirip arsitektur rumah khas Jepang secara umum. Bangunan terlihat megah, berwarna warni mencolok, dan biasanya penuh dengan ornamen. Gerbangnya berbentuk torri, atau hanya seperti kayu gelondongan yang ditumpuk membentuk gerbang. Banyak terdapat lonceng kecil-kecil yang digoyangkan dengan kain.

Sejak zaman kuno hingga sekarang, kuil Shinto sering tidak memiliki . Ada pula kuil yang hanya membangun di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil Omiwa, Kuil

Isonokami, ). Sebagian dari kuil Shinto sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hiro di . Setelah dibuatkan bangunan permanen dalam kuil Shinto juga diperkirakan sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.

Berdasarkan alasan yang tidak diketahui, penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.

Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbol dan doktrin agama. Siapapun bisa bebas untuk berkunjung tampa ada kewajiban untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA harus berdoa. Hampir dari semua bagian dalam area kuil bisa dimasuki ataupun difoto tampa da larangan ataupun pertanyaan apapun atau pertanyaan yang menjurus pada hal agama.

Ketika memasuki kuil Shinto, umumnya akan di sambut oleh seorang atau sekelompok gadis muda berpakaian lebar berwarna putih bersih dan rok lebar berwarna merah menyala menutup sampai mata kaki. Mereka adalah orang yang mengabadikan diri untuk kuil dan dinamai dengan Miko. Tugas tama mereka adalah memimpin ritual tertentu, menari dan juga sekaligus sebagai penjual tiket masuk, penjual Omamori (jimat keberuntungan) serta menyapu atau menjaga kebersihan kuil (bersih bersih dianggap juga sebagai bagian dari ritual).

Status untuk menjadi seorang Miko cukup unik karena dituntut harus masih gadis. Jadi adalah hal umum kalau profesi ini cendrung hanya dijalankan selama beberapa tahun saja dan harus mengundurkan diri setelah berkeluarga.

Kemudian untuk pendeta pria dikenal dengan nama Kannushi mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pendeta wanita. Karena Shinto tidak mengenal ajaran maka tugas sebagai penceramah agama khotbah dan sejenisnya tentusaja tidak ada. http://artikelbuddhist.com/2011/05/doa-dan-penyembahan.html

Devis (1992:68) mengatakan bahwa “Bagi orang-orang Jepang, agama bukanlah hal penting, bagi mereka hal yang terpenting adalah mengenai perilaku dan sopan santun”. Bagi orang Jepang agama adalah suatu kebebasan. Mereka tidak mau terikat oleh faham agama tertentu. Jadi tidak aneh apabila masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jepang menjalankan berbagai ritual agama campur aduk tanpa ada yang mempermasalahkannya.

Hori Ichiro (1968: 1) mengatakan bahwa agama-agama yang beraneka ragam yang tumbuh dan berkembang di dunia secara umum dapat dibagi dua, yaitu agama yang terlembaga (Intitutionalized Religion) dan agama rakyat (Folk

Religion). Yang termasuk kedalam agama terlembaga ini antara lain seperti: agama Shinto, Buddha dan Kristen, sementara yang termasuk ke dalam agama yang tidak terlembaga adalah pemujaan leluhur dan pemujaan alam.

Penyembahan-penyembahan seperti ini disebut dengan shizenshukyo (agama alam, shomin shinko (kepercayaan rakyat), minkan shinkou (kepercayaan penduduk). Kemudian kepercayaan yang tidak melembaga namun hidup di tengah-tengah masyarakat seperti ini kemudian dipengaruhi oleh agama-agama melembaga seperti Buddha dan Konfusionisme.

Diantara beberapa agama yang dianut orang Jepang, Shintoisme adalah agama yang tertua dan dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Menurut

Harumi Befu dalam Danandjaja (1997: 164), walaupun mempunyai satu nama, agama ini merupakan gabungan kepercayaan “primitif” yang sukar untuk digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai suatu sistem kepercayaan. Oleh karenanya agama ini lebih tepat dianggap sebegai satu gabungan dari kepercayaan

“primitif” dan praktek-praktek yang berkaitan dengan jiwa-jiwa, roh-roh, hantu- hantu dan sebagainya. Dalam bentuk ini Shinto mirip dengan kepercayaan

Taoisme di Cina, yang juga diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya

Konfusianisme. Taoisme adalah kepercayaan berdasarkan keyakinan pada tenaga-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tenaga gaib yang ada di alam. Kedua religi ini sama karena mereka tidak begitu mapan organisasinya sebagaimana agama Buddha. Kedua agama ini termasuk kepercayaan rakyat (folk beliefs)

Dalam sikap beragama masyarakat Jepang, mereka disebut sebagai masyarakat politheis, juga mengikuti berbagai agama dalam kehidupan sehari- hari. Ketika mereka di dalam rumah, mereka menyembah dewa leluhur rumah tersebut yang berupa (rak dewa shinto) atau Butsudana (rak dewa buddha). Tetapi, ketika mereka keluar dari rumah, mereka menyembah dewa daerah (Ubusanagami) dan ketika mereka berada di kantor menreka menyembah objek sembahan di kantor, kemudian ketika mereka demi kepentingan negara, mereka meyembah leluhur kaisar (kokka shinto/shinto negara). Kenyataan seperti di atas adalah sistem kepercayaan minkanshinkou (kepercayaan rakyat Jepang).

Yanagawa dalam Situmorang (2013: 32) mengatakan ciri beragama masyarakat Jepang adalah shinkou no nai shukyou (agama tidak mempunyai kepercayaan), Yanagawa menjelaskan bahwa walaupun orang pergi ke gereja namun mereka belum tentu percaya kepada Tuhan di sana, atau walaupun mereka pergi ke kuil Buddha mereka belum tentu percaya kepada Buddha, walaupun mereka tetap melaksanakan ritus-ritus agama tersebut.

Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” atau “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti “jalannya roh”, baik roh-roh yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata

“To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam Taoisme yang berarti “jalannya Dewa”

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA atau “jalannya bumi dan langit”. Sedangkan kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam Taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya.

Agama Shinto timbul dari zaman Prasejarah, namun siapa pembangunnya tidak dapat dikenal secara pasti. Penyebarannya ialah di Asia namun penyebaran yang terbanyak ialah di Jepang. Sekitar abad 6 Masehi agama budha masuk ke

Jepang dari Tiongkok dengan melalui Korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembang dengan pesat. Bahkan seiring waktu berjalannya waktu agama Budha mampu mendesak agama Shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti pada raja pun berusaha untuk melindungi agama Shinto tersebut.

Sehingga pada tahun 1396 Shinto ditetapkan sebagai agama Negara.

Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama

Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa

Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Budha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukan unsur-unsur Budha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Budha. Patung-patung Dewa yang semula tidak di kenal di agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA A. Sistem Kepercayaan Agama Shinto

1. Kepercayaan kepada “Kami”

Dalam agama Shinto merupakan perpaduan antara faham serba

jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap Dewa Matahari (Ameterasu

Omikami) yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan

tertentu.

Jadi inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah

“semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada

hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati”.

Konsep ini memiliki pengaruh langsung didalam kehidupan masyarakat

Jepang.

2. Hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Dewa)

Hubungan anatara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto

juga cukup unik karena polanya cendrung tidak bersifat vertikal, namun

lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup di bawah gunung, hutan, laut,

atau di tengah perkampungan pendudukyang ditandai dengan berdirinya

kuil penjaga desa.

Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi

sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto. Mikoashi atau Dashi

sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai-ramai

bahkan tidak jarang diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang

Herlina Sandra (2011).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3 Kuil Kashima

Kashima Jinja didirikan pada tahun 660 SM. Kuil ini merupakan satu dari tiga kuil agung di timur, beserta dengan kuil Ikisu dan Katori Jinja. Pada tahun baru, kuil ini menarik lebih 600.000 pengunjung dari seluruh Jepang, menjadikan kuil ini dengan tempat pengunjung terbanyak kedua di Ibaraki. Di kuil ini, diadakan lebih dari 90 acara sepanjang tahunnya. Sebuah pedang yang merupakan harta nasional disimpan di kuil ini, dan 7 bangunan, seperti aula utama dan menara gerbang, ditetapkan sebagai peninggalan budaya berharga. Menara gerbangnya disebut sebagai satu dari tiga menara gerbang terbesar di Jepang.

Kashima Jinja adalah tempat suci untuk dewa pendiri seni bela diri dari

Jepang, Take-mikazichi. Kuil ini terletak di Prefektur Ibaraki, Kashima, dan disebut di dalam buku sejarah tertua di Jepang Nihon-Shoki, dimana telah dibangun di era Kaisar Jimmu. Kuil ini memegang sejarah panjang dan di kunjungi oleh klan Fujiwara yang memegang kekuatan besar dari abad ke 6 sampai abad ke-16, dan juga dikunjungi oleh Tokugawa yang menjabat sebagai shogun selaha era Edodari generasi ke generasi. Karena Take-mikazuchi menjadi dewa seni bela diri, kuil ini sangat dihormati oleh para samurai. Kuil ini juga terkenal dengan “Saito-sai” festifal dimana anak-anak dengan umur sekitar 5 tahun menari dengan menggunakan kostum dan musik, dan juga festival “Jinko- sai” di mana kuil portebel diangkat dan dibawa berkeliling di seluruh kota, serta

Minfune-matsuri yang terjadi selama tahun Cina shio kuda.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di kuil ini rusa dihormati sebagai utusan para dewa, maka di tempat ini terdapat taman rusa. Ada wadah air untuk memurnikan diri di kuil yang disebut

Mitarashi-ike, serta kunci yang disamatkan pada ikan lele dari sebuah legenda kuno Jepang tentang ikan lele raksasa yang menyebabkan gempa bumi. Karena di kuil Kashima ini ikan lele raksasa (Namazu) disembah sebagai yanaoshi daimyojin dan juga Dewa yang menjaga Namazu juga di sembah di kuil ini yaitu

Dewa Kashima.

Kuil (jinja) adalah tempat ibadah bagi masyarakat Jepang dan juga sebagai tempat para Kami tinggal di dalamnya. Adapun fungsi kuil adalah sebagai tempat melaksanakan ritual dan festival. Untuk membahas lebih dalam fungsi kuil

Kashima di dalam kepercayaan Shinto, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai perbedaan antara ritual dan festival.

Yanagita Kunio dalam Alimansyar (2017: 70), mengatakan pernah membuat perbedaan antara “ritual” dan “festival”. Ritual dilakukan hanya oleh para pendeta Shinto, dan pihak terkait, sedangkan festival ditonton oleh orang banyak. Misalnya, upacara peletakan batu pertama pembangunan sebuah rumah, biasanya hanya dihadiri ole pemilik rumah, tukang bangunan dan pendeta Shinto, ini dianggap sebuah ritual. Kemudian, upacara yang dilaksanakan di jinja dan hanya dihadiri oleh pendeta Shinto juga disebut ritual. Sedangkan festival biasanya diselenggarakan secara meriah, mencolok dan ditonton banyak orang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adapun fungsi dari kuil Kashima diantaranya adalah sebagai tempat penyelenggaraan festival dan ritual penyembahan dewa Kashima dan ikan lele raksasa.

1. Saito-sai

Festival ini diadakan setiap tahun pada tanggal 9 Maret di prefektur

Kashima Prefektur Ibaraki, yang didedikasikan untuk

Takemikazichi no Okami, dewa pelindung dari pendirian Jepang

dan seni bela diri. Ini adalah festival terbesar untuk berdoa bagi

panen yang baik yang diadakan di kuil, dan asal-usulnya dikatakan

kembali sejauh periode Nara. Dipimpin oleh seorang anak berusia

lima tahun yang mengenakan baju zirah dalam peran gubernur

militer, sekelompok 150 hingga 300 anak-anak dalam kostum

tradisional membentuk barisan dari kiri dan kanan, dan membuat

dan membuat penglihatan saat mereka berbaris menuju kuil.

2. Jinko-sai

Festival yang mengangkat sebuah kuil portebel dan dibawa

berkeliling di seluruh kota.

3. Mifune-matsuri

Mifune matsuri di kuil Kashima terjadi selama tahun Cina shio

kuda dan festival terakhir berlangsung pada tahun 2012.

Mifune matsuri adalah pemeragaan sejarah dari pesta berperahu

imperial di Kyoto. Para peserta mengenakan kostum periode Heian

untuk menciptakan adegan yang lebih daro 1000 tahun. Festival ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menampilkan perahu tradisional yang membawa musisi dan

pemain yang mengambang di sungai. Festival ini sebenarnya

adalah perpanjangan dari festival Kurumazaki.

2.4 Dewa Kashima

Dewa Kashima adalah dewa yang menjaga Namazu menggunakan batu bertuah supaya Namazu tidak bergerak, karena jika Namazu bergerak dapat menyebabkan gempa bumi yang sangat dasyat. Adapun mitos di Jepang yang dapat menyebabkan gempa bumi adalah seekor ikan lele raksasa (Namazu).

Namazu menyebabkan gempa bumi dengan ekornya. Munculnya gempa berkaitan dengan tugas Dewa Kashima. Namazu dipercaya hidup di hidup di air subtranian di bawah Kashima Shrine di Provinsi Hatachi yang saat ini dikenal dengan Ibaraki di utara Tokyo. Satu batu bernama Kaname-ishi batu ajaib yang memiliki kekuatan sihir menahan Namazu agar tidak bergerak. Berat batu itu lama- kelamaan tidak bisa lagi menahan gerak Namazu, sehingga Dewa Kashima harus menekan terus batu itu. Namun, setiap bulan kesepuluh tiap tahunnya, Kashima harus ke selatan Jepang bertemu dengan para dewa lainnya tugas menjaga

Namazu di serahkan kepada Dewa Ebizu. Akan tetapi, Dewa Ebizu tidak mampu menahan gerak Namazu.

Pada Oktober 1855, gempa besar menggoncang kawasan Edo yang sekarang dikenal dengan nama Tokyo. Gempa menewaskan ribuan orang. Gempa itu dikenal sebagai “bulan tanpa Dewa”. Hal itu karena para dewa harus bertemu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di selatan Jepang pada bulan kesepuluh. Inilah yang menyebabkan Nmazu bergerak dan menimbulkan gempa. Namazu kemudian disembah sebagai yanaoshi daimyojin atau dewa rektifikasi dunia yang dapat memperbaiki kondisi dunia. Sebab dengan gempa, ia telah mendistribusikan kekayaan dari yang kaya ke yang miskin. Seniman-seniman Jepang pada masa lalu mengabadikan Namazu dan dewa Kashima dalam sejumlah lukisan untuk menghibur para korban gempa.

Jika lukisan digantung di dinding rumah, itu merupakan harapan bahwa pemilik rumah akan memiliki kebahagian. (http://hlowbos.blogspot.com/2012/hubungan- mitos-tsunami-dan-misteri-lele.html).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

KUIL KASHIMA SEBAGAI TEMPAT PENYEMBAHAN DEWA

KASHIMA

3.1 Fungsi Kuil Kashima di dalam Masyarakat Jepang

Kuil (jinja) adalah tempat ibadah bagi masyarakat Jepang dan juga sebagai tempat para Kami tinggal di dalamnya. Adapun fungsi kuil adalah sebagai tempat melaksanakan ritual, penyembahan dan festival. Untuk membahas lebih dalam fungsi kuil Kashima di dalam masyarakat Jepang, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai fungsi.

Fungsi kuil Kashima dalam masyarakat Jepang yang paling di kenal masyarakat luas Jepang adalah sebagai tempat penyembahan Dewa Kashima sang penjaga Namazu supaya tidak terjadi gempa bumi. Jepang adalah negara yang sangat rawan dengan adanya gempa bumi dan tsunami, dengan adanya hal ini masyarakat Jepang sangat takut atau mewanti-wanti akan bencana tersebut. Dan di

Jepang ada mitos terjadinya gempa bumi disebabkan oleh ikan lele raksasa

(Namazu). Jika Namazu bergerak maka terjadilah gempa, dan ada dewa yang menjaga Namazu agar tidak bergerak yaitu dewa Kashima dengan batu bertuahnya, dewa Kashima dapat membuat Namazu tidak bergerak. Dengan adanya mitos tersebut, dan sangat diyakini oleh masyarakat Jepang maka masyarakat Jepang menyembah dewa Kashima supaya tidak terjadi gempa bumi.

Kuil Kashima menjadi kuil sangat penting bagi masyarakat Jepang, sebagai tempat untuk meminta kepada dewa Kashima agar tidak terjadi gempa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tetapi, setiap bulan oktober atau bulan kesepuluh setiap tahunnya dewa

Kashima selalu pergi ke selatan Jepang untuk bertemu dengan dewa lainnya.

Tugas menjaga Namazu diserahkan kepada dewa Ebizu. Dan gempa bumi di

Jepang sering terjadi pada bulan oktober. Karena hal ini lah gempa yang terjadi di kawasan Edo pada oktober tahun 1855, dikenal dengan “bulan tanpa dewa”.

Saat dewa Kashima harus pergi keselatan Jepang untuk bertemu dengan dewa lainnya, tugas menjaga Namazu diserahkan kepada dewa Ebizu. Karena dewa Ebizu tidak dapat menghadiri rapat tersebut karena buta dan tuli. Setiap bulan oktober atau bulan kesepuluh di Jepang sering terjadi gempa bumi karena

Namazu yang di jaga oleh dewa Ebizu tidak mampu menahan gerak Namazu yang sangat aktif. Walaupu demikian, gempa yang terjadi tidaklah membawa efek yang merugikan yang besar bagi masyarakat Jepang. Di antaranya, gempanya yang terjadi tidak disertai dengan munculnya tsunami. Hal tersebut membuat kerugian yang dialami masyarakat Jepang sedikit karena rumah mereka tidak hancur dan harta benda masih bisa di selamatkan. Juga, yang paling penting adalah mereka tidak kehilangan anggota keluarga disebabkan oleh tsunami ataupun gempa berkekuatan besar. Masyarakat Jepang percaya mengapa kerugian yang dialami sedikit karena, dewa Ebizu adalah dewa keberuntungan di Jepang dan pada saat gempa terjadi pun masih ada keberuntungan yang terjadi.

Dengan adanya keberuntungan yang terjadi pada masyarakat Jepang jika terjadi gempa bumi pada bulan oktober, setiap bulan oktober atau bulan kesepuluh yang disembah di kuil Kashima bukan hanya dewa Kashima tetapi juga dewa

Ebizu pun disembah di kuil Kashima pada bulan oktober karena pada bulan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA oktober yang menjaga Namazu bukan dewa Kashima tetapi dewa Ebizu. Dewa

Ebizu disembah dengan harapan jika gempa tetap terjadi masyarakat berdoa agar keberuntungan melingkupi mereka semua dalam artian rumah dan harta mereka masih bisa diselamatkan dan paling utama adalah nyawa mereka sendiri dan keluarganya.

Setiap masyarakat Jepang yang berkunjung ke kuil Kashima tidak pernah melupakan satu hal yaitu membawa batu kecil dari kuil Kashima untuk dibawa pulang ke rumah mereka dan meletakkannya ditengah-tengah halaman rumah sebagai upaya usaha mereka untuk ikut menahan gempa bumi yang terjadi. Hal ini dipercaya masyarakat Jepang dapat menahan gempa karena disaat gempa terjadi, itu artinya dewa Kashima pun sedang menakan batu bertuahnya supaya Namazu tidak bergerak dan mengapa terjadi gempa itu karena dewa Kashima tidak sanggup menahan gerak Namazu. Oleh karena itu, masyarakat Jepang menyakini bahwa jika menaruh batu kecil di depan rumah dapat membantu menahan gerak

Namazu.

3.2 Pelaksanaan Penyembahan Dewa Kashima di Kuil Kashima

Adapun penyembahan di kuil Kashima, adalah dengan berdoa dan memohon agar Dewa Kashima mau menjaga ikan lele raksasa. Masyarakat menyediakan beberapa sesajen, atau seserahan bagi Dewa Kashima supaya Dewa

Kashima tetap kuat menjaga ikan lele raksasa (Namazu) sesajen tersebut seperti sake, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, air dan sebaginya. Dan ada pula

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA permintaan lainnya yaitu, supaya Dewa Kashima tidak pergi kemanapun dan hanya menjaga Namazu. Dan jika pada bulan kesepuluh setiap tahunnya, Dewa

Kashima agar tidak pergi ke selatan Jepang bertemu dengan para Dewa lainnya.

Munculnya gempa berkaitan dengan tugas Dewa Kashima. Namazu dipercaya hidup di hidup di air subtranian di bawah Kashima Shrine di Provinsi

Hatachi yang saat ini dikenal dengan Ibaraki di utara Tokyo. Satu batu bernama

Kaname-ishi batu ajaib yang memiliki kekuatan sihir menahan Namazu agar tidak bergerak. Berat batu itu lama-kelamaan tidak bisa lagi menahan gerak Namazu, sehingga Dewa Kashima harus menekan terus batu itu.

Namazu kemudian disembah sebagai yanaoshi daimyojin atau dewa rektifikasi dunia yang dapat memperbaiki kondisi dunia. Sebab dengan gempa, ia telah mendistribusikan kekayaan dari yang kaya ke yang miskin.

Dengan adanya mitos tersebut, yang sangat dipercayai oleh masyarakat

Jepang. Maka orang Jepang menyembah Dewa Kashima dengan sangat detail dan sampai membawa sesajian. Agar Dewa Kashima tidak lengah untuk menjaga ikan lele raksasa (Namazu), yang dapat menyebabkan gempa bumi.

Orang Jepang sangat percaya dengan mitos yang beredar di masyarakat.

Masyarakat Jepang juga memiliki kepercayaan untuk memohon keberuntungan agar dijauhi dengan nasib buruk. Kepercayaan ini bahkan masih dianut hingga saat ini. Salah satunya adalah menyimpan barang-barang pembawa keberuntungan, seperti omamori, daruma, maneki neko. Dengan hal ini pula oarang Jepang sangat memelihara dan melestarikan budaya mereka. Supaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kebiasaan ini diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi lainnya, dari mulut ke telinga. Semua mitos dan legenda yang ada di Jepang masih sangat dipercayai oleh masyarakat Jepang. Mempercayai hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang negatif bagi masyarakat Jepang, karena bukan masalah hal itu benar atau tidak, tetapi bisa menambah energi positif dan optimis. Selama mereka percaya dan berusha, hal baik pasti akan datang.

Berdasarkan warisan tradisi budaya masyarakat Jepang, para leluhur sebenarnya telah memikirkan kesejahteraan pada generasi selanjutnya. Hal ini terbukti dalam pikiran-pikiran, gagasan, dan cita-cita leluhur yang tercermin dalam berbagai tradisi lisan. Semua itu dilakukan untuk keselamatan dan kesejahteraan generasi selanjutnya. Seperti ritual atau penyembahan ke kuil

Kashima untuk menyembah dan memberi sesajian kepada Dewa Kashima supaya tidak ada terjadi gempa yang dasyat. Walaupun sebagian besar generasi sekarang hanya menggap semua itu hanya mitos atau fikti belaka yang tidak masuk logika dan akal. Tetapi, hingga saat ini masyarakat Jepang masih sangat menjaga budaya mereka dengan baik.

Di dalam agama Shinto di Jepang dewa (kami) harus disembah, karena mereka mengangggap jika menyembahn dewa tertentu akan mendapatkan yang diminta, misalnya meminta keberuntungan kepada dewa keberuntungan. Sama hal nya dengan menyembah dewa Kashima untuk meminta supaya tidak terjadi gempa bumi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penyembahan yang dilakukan untuk dewa Kashima sama hal nya dengan dewa lainnnya, adapun penyembahn dewa Kashima adalah sebagai berikut:

1. Pertama-tama, pendeta membungkuk di hadapan persemayaman

dewa (kami).

2. Selanjut nya pendeta membuka pintu tempat persemayaman dewa

(kami).

3. Lalu, pendeta memberi sesajian kepada kami berupa sake, beras,

air , buah-buahan dll.

4. Dilanjutkan melakukan doa () yang bertujuan untuk meminta

kepada kami, meminta kepada dewa Kashima supaya tidak terjadi

gempa bumi.

5. Setelah itu pendeta membereskan sesajian yang telah di buat tadi.

6. Pendeta membungkuk kembali ke persemayaman kami.

7. Lalu menutup kembali pintu tempat kami bersemayam.

3.3 Namazu Sebagai Kearifan Lokal

Mitos Namazu yang berkembang di dalam masyarakat Jepang sudah menjadi kearifan lokal. Untuk membahas lebih dalam Namazu sebagai kearifan lokal, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai kearifan lokal itu sendiri.

Sejak dahulu, kearifan lokal telah terbukti mampu menata kehidupan manusia. Disamping kearifan lokal yang berisi ajaran mengenai hungan manusia dengan manusia, banyak juga yang berisi ajaran manusia dengan alam, hubungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA manusia dengan Tuhan. Muatan kearifan lokal dengan tradisi lisan itulah yang merupakan pelajaran yang tersembunyi yang selama ini masih belum banyak digali para ahli dan belum dipahami masyarakat luas. Salah satu contohnya, betapa masyarakat desa mengkeramatkan pohon beringin sebagai pohon yang sakral, dianggap sebagai tempat makhluk-makhluk halus. Bagi orang kota itu adalah hal yang mistis. Tetapi menurut ilmu ekologi, terbukti bahwa pohon beringin mempunyai banyak fungsi. Akar-akarnya mampu menyimpan air sehingga banyak sumber air disekitar tumbuhnya pohon beringin, sementara dahan-dahannya dan daunnya yang rimbun sesungguhnya merupakan habitat berbagai fauna yang nyaman. Pemahaman orang desa, orang kota, dan ahlinya itu, yakni suatu kearifan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Bukankah bayak mitos yang diwariskan nenek moyang yang berisi kearifan menjaga lingkungan dengan kesakralan lubuk ikan tertentu yang diwariskan bahwa ikan dari lubuk itu tidak boleh ditangkap dan dimasak, kalau ditangkap, orang yang menangkap aka sakit dan kalau dimasak, tidak akan masak walaupun dimasak berhari-hari. Dalam itu terdapat kearifan untuk menjaga lingkungan supaya lingkungan tetap lestari, tetapi banyak juga yang telah melanggar mitos tersebut, sehingga keyakinan yang arif itu tidak hidup lagi di masyarakat sehingga lingkungan kita menjadi rusak.

Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang diidam-idamkan masyarakat. Kebenaran seperti itu pada perkembangan selanjutnya disebut dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan manusia. Dengan perkembangan itu, filsafat kemudian diartikan sebagai pencarian kebenaran yakni kebenaran sesungguhnya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia secara arif.

Pada zaman dahulu kearifan itulah yang menjadi satu-satunya pedoman hidup masyarakat karena pada waktu itu belum ada undang-undang yang mengatur. Namun secara historis, kehidupan sosial pada zaman dahulu itu relatif damai, lebih rukun, lebih santun dan lebih bahagia daripada kehidupan zaman sekarang ini. Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan akal budi, pikiran, hati dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Manusia selalu memiliki dua ruang interaksi yakni lingkungan alam dan lingkungan sosial. Menghadapi dua ruang interaksi itu pada umumnya manusia memiliki kearifan dari tiga sumber yaitu dari nilai budaya yang disebut dengan kearifan lokal, dari aturan pemerintah yang lebih modern, dan dari agama.

Dengan adanya mitos Namazu di dalam masyarakat Jepang, maka timbul kerifan lokal yaitu sebagai berikut:

 Lebih memperhatikan alam, dalam artian pada bulan-bulan tertentu

masyarakat Jepang lebih memperhatikan ikan lele karena mereka

menyakini bahwa ikan lele bisa menjadi pertanda. Misalnya ikan lele tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bertingkah seperti biasanya, seperti lebih aktif dari biasanya. Masyarakat

Jepang percaya bahwa pada saat Namazu ingin bergerak ikan lele akan

tahu dan merasa gelisah sebagai pertanda bagi masyarakat. Bulan yang

paling mereka yakini sering terjadi gempa adalah bulan oktober, pada saat

bulan ini lah lele sangat diperhatikan.

 Orang Jepang tidak memakan ikan lele, karena menganggap bahwa ikan

lele adalah sebagai sesuatu yang suci, sehingga masyarakat Jepang hanya

membuat lele sebagai alat pendeteksi gempa dan menurut penelitian

bahwa lele memang bisa mendeteksi akan terjadinya gempa memlalui

kumis-kumisnya karena kumis tersebut mempunyai kemampuan sebagai

sensor.

 Hubungan manusia dengan manusia, dengan adanya mitos Namazu,

manusia dapat menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Saat

terjadi gempa sebagian masyarakat akan banyak kehilangan nyawa dan

harta benda mereka, tetapi banyak juga masyarakat yang tempat

tinggalnya tidak terdampak gempa bumi memberi bantuan kepada mereka

yang terdampak oleh gempa tersebut.

Masyarakat Jepang meyakini bahwa Namazu benar-benar ada, dikarenakan oleh mitos-mitos yang disampaikan secara turun-temurun. Tetapi, dengan adanya mitos ini masyarakat sangat mencintai alam. Masyarakat Jepang sendiri menganggap bahwa alam adalah peninggalan leluhur dan pemberi kehidupan bagi anak cucu, dan merupakan tempat tinggal roh-roh. Pohon dijaga oleh dewa gunung, sehingga air dapat mengalir ke desa ntuk kehidupan anak cucu manusia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA di desa. Binatang buruan juga dijaga oleh dewa gunung, juga kehidupan manusia.

Oleh karena itu, alam adalah sesuatu yang sangat penting dilestarikan oleh manusia.

Berdasarkan warisan tradisi budaya masyarakat Jepang, para leluhur mereka sebenarnya tehah memberikan kesejahteraan pada generasi selanjutnya. Hal ini terbukti dalam pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan cita-cita leluhur yang tercermin dalam berbagai kearifan lokal. Semua itu dilakukan para leluhur mereka supaya untuk keselamatan dan kesejahteraan generasi selanjutnya. Seperti mitos

Namazu ini yang membuat masyarakat Jepang lebih memperhatikan tanda-tanda yang alam berikan untuk mengetahui apa yang akan terjadi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Masyarakat Jepang sangat menghargai keberadaan Dewa bagi kehidupan mereka, begitu juga dengan dewa yang bereda di kuil Kashima.

Maka dari pembahasan “Kuil Kashima Sebagai Tempat Penyembahan Dewa

Kashima” dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1) Kashima Jinja adalah tempat suci untuk dewa pendiri seni bela diri dari

Jepang, Take-mikazichi. Kuil ini terletak di Prefektur Ibaraki, Kashima,

dan disebut di dalam buku sejarah tertua di Jepang Nihon-Shoki, dimana

telah dibangun di era Kaisar Jimmu Kashima Jinja di kenal sebagai kuil

nya para kaisar karena kuil ini mengabadikan kaisar yang sudah wafat

sebagai kami.

2) Munculnya gempa berkaitan dengan tugas Dewa Kashima yaitu menjaga

Namazu supaya dewa Kashima tidak pergi kemanapun dan tetap menjaga

namazu karena ada kebiasaan setiap bulan kesepuluh setiap tahunnya,

Kashima harus keselatan Jepang bertemu dengan para dewa lainnya tugas

menjaga Namazu diserahkan kepada dewa Ebizu tetapi dewa Ebizu tidak

mampu menahan gerak Namazu.

3) Penyembahan dewa Kashima di kuil Kashima, dilakukan dengan berdoa

dan memohon agar Dewa Kashima mau menjaga ikan lele raksasa. Dan

juga ada beberapa sesajen, atau seserahan bagi Dewa Kashima supaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dewa Kashima tetap kuat menjaga ikan lele raksasa (Namazu) sesajen

tersebut seperti sake.

4) Adapun fungsi dari kuil Kashima diantaranya adalah sebagai tempat

penyelenggaraan festival dan ritual penyembahan dewa Kashima dan ikan

lele raksasa, festival yang di lakukan di kuil Kashima adalah festival Saito-

sai, festival Jinko-sai dan Mifune-matsuri.

5) Namazu memiliki fungsi sebagai kearifan lokal dalam masyarakat Jepang

seperti: masyarakat Jepang lebih memperhatikan alam, karena bagi

masyarakat Jepang alam adalah salah satu hal yang harus dijaaga dan di

perhatikan, masyarakat Jepang tidak mengkonsumsi ikan lele dan

hubungan bermasyarakat di Jepang menjadi lebih harmonis karena adanya

mitos namazu ini masyarakat lebih perduli dengan sesama jika terjadi

gempa saling tolong-menolong.

4.2 Saran

Jepang adalah negara yang sangat memelihara dan menjaga, budaya mereka sehingga, pada saat ini dapat kita lihat negara Jepang yang maju adalah negara yang sangat kental dengan budaya nya ditengah kemajuan negara Jepang, masyarakat nya juga sangat perduli dengan tradisi yang rutin di lakukan di kuil- kuil di Jepang. Dengan ada nya hal ini, alangkah baik nya jika masyarakat

Indonesia dapat meniru hal ini dari negara Jepang, supaya negara kita dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia dan dapat menjaga budaya kita dan melestarikannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Dananjaja, James. 1997. Folkor Jepang dilihat dari kacamata Indonesia. Cet. I.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hasibuan M.Mubarak. 2009. Maneki Neko dalam Pandangan Jepang. Skripsi

Jurusan Sastra Jepang. Medan: Fakultas Ilmu Budaya USU.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada

University Press.

______. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada

University Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2012. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

______. 2012. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nazir, Moh. 2013. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nasution, M. Arif. 1996. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Situmorang Hamzon. 2013. Minzokugaku (Ethnologi) Jepang. Medan: USU Press.

Sianturi Eldad S. 2015. Mitos Kappa Sebagai Kearifan Lokal. Skripsi Jurusan

Sastra Jepang. Medan: Fakultas Ilmu Budaya USU. http://artikelbuddhist.com/2011/05/doa-dan-penyembahan.html

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Widja, I Gade. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode

Pengajaran Sejarah. Jakarta: P2LPTK.

Alimansyar. 2017. Shinto Agama Asli Orang Jepang. Medan: USU Press. http://id.m.wikipedia.org/wiki/teoribentuk.

Davis Winston. 1992. Japanese Religion and Society: Paradigms of Structure and

Change.Albany: SUNY Press. http://www.kompasina.com/perbedaankuilshintodanbuddhadijepang.

Malalasekera, Gunapala Piyasena. 1974. Buddhist Publication Society: Sri Lanka:

Greenwood Press.

Ali, R.Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia.Yogyakarta: LKiS. http://www,japanhoppers.com/id/kanto/itako/kanko. http://www.japantimeline.jp/ibaraki/kashima_jingu. https://id.m.wikipedia.org/wi

Nining Haslinda Zainal, Analisis Kesesuaian Tugas Pokok dan Fungsi degan

Kompetisi Pegawai pada Sekertariat Pemerintah kota Makassar,

Universitas Hasanuddin: Skripsi, 2008.

Herlina, Sandra. 2011. Agama dalam Kehidupan Orang Jepang. Jakarta. Jurnal

Al-Azhar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN

Gambar1: Tampak depan Kuil Kashima

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar2: Gerbang Kuil Kashima

Gambar 3 : seekor Namazu yang di kontrol oleh Dewa Kashima dengan

sebuah batu ajaib.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4 : penyembahan kepada Dewa ikan lele di kuil Kashima

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 5: Berdoa di depan Kuil Kashima

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

要旨

KUIL KASHIMA SEBAGAI TEMPAT PENYEBAHAN DEWA KASHIMA

Skripsi ini berjudul kuil Kashima sebagai tempat penyembahan Namazu

(dewa ikan lele). Skripsi ini membahas tentang kuil Kashima sebagai tempat penyembahan dewa Kashima dan ikan lele raksasa. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang modern sekaligus tradisonal.

Kuil adalah tempat tinggal para kami. Kuil juga memiliki fungsi sebagai tempat melaksanakan ritual dan festival. Begitu juga dengan kuil Kashima. Kuil

Kashima adalah salah satu kuil di Jepang yang menyembah hewan sebagai Kami.

Yaitu ikan lele raksasa atau Namazu yang dapat menyebabkan gempa bumi.

Namazu disembah sebagai yanaoshi daimyojin atau dewa rektifikasi dunia. Dewa

Kashima pun juga disembah di kuil ini. Yaitu dewa yang menjaga ikan lele raksasa supaya tidak bergerak dan menyebabkan gempa bumi. Di kuil ini dewa

Kashima disembah dengan ritual, dengan memberikan sesaji untuk dewa Kashima seperti sake, beras, air dan lain sebagainya. Adapun, festival yang dilakukan di kuil Kashima ini adalah festival saito-sai, festival jinko-sai, dan mifune-matsuri.

Selain tempat untuk festival kuil Kashima juga memiliki fungsi sebagai tempat pelaksanaan ritual.

Jepang juga digambarkan sebagai bangsa yang sangat menjaga tradisinya dengan baik. Hingga saat ini masyarakat Jepang masih melestarikan budaya-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA budaya mereka, kepercayaan terhadap hewan, mitos dan sebagainya. Salah satu kepercayaan masyarakat Jepang adalah kepercayaan terhadap mitos. Salah satunya adalah mitos ikan lele raksasa yang dipercaya masyarakat Jepang dapat menyebabkan gempa bumi yang dasyat karena pergerakannya. Karena hal ini lah ikan lele menjadi keramat di Jepang. Sehingga masyarakat Jepang membuat sebuah patung di salah satu kuil di Jepang yaitu kuil Kashima. Di Jepang tumbuh mitos bahwa gempa disebabkan oleh seekor ikan lele raksasa Namazu. Mitos menyebutkan Namazu hidup dalam lumpur di perut bumi dan di kendalikan oleh

Dewa Kashima melalui batu bertuah. Suatu ketika, Namazu lepas dari penjagaan

Dewa Kashima dan bergerak-gerak menyebabkan bumi berguncang.

Oleh sebab itu, untuk melihat bagaimana sejarah kuil Kashima, penulis menggunakan teori kesejarahan. Selain teori di atas, penulis menggunakan teori bentuk konsepsi Plato mengenai bentuk sebenarnya berbeda dari dialog ke dialog, dan dalam hal tertentu hal ini tidak pernah dijelaskan sepenuhnya, sehingga banyak aspek dari teori ini terbuka untuk diinterpretasi.

Jepang adalah negara yang sangat memelihara dan menjaga, budaya mereka sehingga, pada saat ini dapat kita lihat negara Jepang yang maju adalah negara yang sangat kental dengan budaya nya ditengah kemajuan negara Jepang, masyarakat nya juga sangat perduli dengan tradisi yang rutin di lakukan di kuil- kuil di Jepang. Dengan ada nya hal ini, alangkah baik nya jika masyarakat

Indonesia dapat meniru hal ini dari negara Jepang, supaya negara kita dapat menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia dan dapat menjaga budaya kita dan melestarikannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA