BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Hukuman Dalam Pendidikan Islam

1. Pengertian Hukuman Dalam Pendidikan Islam

Pengertian hukuman (punishment) yang berkaitan dengan proses

pendidikan menurut Tanlain ialah tindakan pendidikan terhadap siswa karena

melakukan kesalahan, dan dilakukan agar siswa tidak lagi melakukannya.

Menurut Suwarno menghukum adalah memberikan ataumengadakan nestapa atau

penderitaan dengan sengaja kepada siswa yang menjadi anak asuh kita dengan

maksud supaya penderitaan itu betul-betul di rasakan untuk menuju kebaikan.

Menurut Mursal pengertian punishment adalah suatu perbuatan dimana

orang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk

memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani

sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Menurut Djiwandono maksud

dari hukuman adalah mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan

mengingatkan siswa untuk tidak melakukan apa yang tidak boleh. Hukuman yang

diberikan kepada siswa adalah hukuman yang edukatif yang berarti pemberian

nestapa pada diri siswa akibat dari kesalahan dari perbuatannya atau tingkah laku

yang tidak sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungan hidupnya.

15

16

Punishment secara bahasa mempunyai arti hukuman.1 Sedangkan hukuman diartikan sebagai sanksi atas pelanggaran hukum atau suatu yang dijatuhkan atau dikenakan kepada seseorang yang melanggar hukum yang membuat dia menderita.2

Adapun dalam istilah pendidikan hukuman memiliki pengertian antara lain:

a. Menurut Sarwono, menghukum ialah memberikan atau mengadakan

nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak (didik) yang menjadi

asuhan kita (guru) dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul

dirasanya, untuk menuju ke arah perbaikan.3

b. Menurut Muhammad Qutb, hukuman adalah tindakan tegas (yang

diterapkan oleh guru kepada siswa) yang dapat meletakkan persoalan di

tempat yang benar.4

c. Menurut Syahidin, metode tarhīb (hukuman) adalah strategi untuk

meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui ancaman dengan

siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau

tidak melaksanakan perintah Allah.5

d. Menurut Arifin, hukuman yang edukatif adalah pemberian rasa nestapa

pada diri siswa akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang

1S. Wojowasito & W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Lengkap : Inggris-, Indonesia- Inggris,(Bandung: Hasta, 2007), hal. 164. 2J.S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 520. 3Sarwono, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 115. 4Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, Penerj. Salman Harun (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 341. 5Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an, (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 125. 17

tidak sesuai dengan nilai yang diberlakukan dalam lingkungan hidupnya,

misalnya di sekolah, di dalam masyarakat sekitar, di dalam organisasi

sampai meluas pada organisasi kenegaraan atau pemerintahan.6

Dari beberapa pengertian di atas, maka peneliti dapat mengambilkan kesimpulan bahwa hukuman dalam pendidikan adalah cara yang ditempuh dalam proses pendidikan oleh guru terhadap siswa yang telah melampaui batas-batas tertentu dengan memberikan ancaman maupun tindakan tegas. Artinya hukuman dapat menjadi alat dalam pendidikan dengan memperhatikan faktor-faktor yang terkait dengan situasi dan kondisi guru dan siswa serta tujuan dari pada pendidikan itu sendiri.Sehingga pemahaman bahwa yang di maksud dengan hukuman (punishment) adalah tindakan yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang telah melakukan kesalahan, dengan tujuan agar siswa tidak akan mengulanginya lagi dan akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.

Senada dengan hal di atas, disebutkan pula bahwa beberapa metode yang digali dan dikembangkan dari ayat-ayat al-Qur’an antara lain metode hiwār

(dialog), ‘Ibrah-Mau’iẓah (nasihat), amthāl (perumpamaan), Qiṣṣah (cerita),

Tajrībah (latihan), Targhīb-Tarhīb (rangsangan-ancaman) dan Uswah Hasanah

(keteladanan).7

Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa di antara metode yang dapat dipergunakan di dalam pendidikan adalah metode hukuman dan ganjaran. Tentunya, dengan memperhatikan segala aspek yang berkaitan dengan

6H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indterdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 158. 7Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an, (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 45. 18

pendidikan dan pembelajaran, maka hukuman dapat efektif efisien sebagai metode di dalam pendidikan.

Metode ini mungkin telah dipahami oleh sebagian pihak, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada banyak pihak lain juga yang belum memahami tentang metode ini dengan baik, khususnya di kalangan pendidikan Islam pada masa sekarang. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama pada tataran pelaksana pembelajaran di sekolah pada masa sekarang, yang menurut sebagian orang, metode hukuman hanyalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru maupun lembaga pendidikan yang merugikan bagi perkembangan anak, karena di dalamnya terjadi praktik kekerasan terhadap anak.

Hal ini sejalan dengan UU. RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Yang berbunyi: Anak di dalam dan di luar lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembagapendidikan lainnya.8

Padahal sesungguhnya tidak demikian. Walaupun ada yang memberikan pengertian menghukum di dalam pendidikan adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu dirasanya, untuk menujuperbaikan,9 tetapi hal ini dilakukan bila teladan tidak mampu, dan begitu

8Undang-Undang Republik Indonesia. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 54. 9Sarwono, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 115. 19

pula nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar. Tindakan tegas itu adalah hukuman.10

Sebab, keadaan siswa yang beragam menuntut kita untuk menerapkan metode yang bervariasi pula. Ada kalanya pula cukup dengan ancaman hukuman yang akan dilaksanakan nanti, tetapi ada pula yang harus didekatkan tongkat kepadanya sampai betul-betul melihatnya di depan matanya.11 Demikian pula, hukuman yang diterapkan para guru di rumah atau sekolah berbeda dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang umum.12

Di sisi lain‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān di dalam kitabnya tersebut mengatakan bahwa ada 5 (lima) macam metode di dalam pendidikan Islam, yakni: metode teladan, metode pembiasaan, metode nasehat, metode pengawasan, metode hukuman.13 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān telah menawarkan kepada para guru untuk menggunakan metode tertentu yang sesuai dengan materi dan kondisi pendidikan yang dilaksanakan, walaupun metode yang ditawarkan oleh Ulwan masih relatif lebih sedikit dibandingkan dengan metode pendidikan masa sekarang.

Beberapa ahli mengatakan bahwa dilihat dari segi langkah-langkah dan tujuan kompetensi yang ingin dicapai, terdapat sejumlah metode yangdikemukakan para ahli, yaitu metode ceramah, tanya-jawab, demonstrasi,

10Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, Penerj. Salman Harun (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 341. 11Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, hal. 347. 12Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām,(Kairo: Dar al-Salam, Cet. XXXI, 1997), hal. 563-564. 13 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, Juz I (Kairo: Dar al-Salam, Cet. XXXI, 1997), hal. 475. 20

karyawisata, penugasan, pemecahan masalah, diskusi, simulasi, eksperimen, penemuan dan proyeksi unit.14

Terkait dengan konsepsi hukuman dalam pendidikan, perlu dijelaskan pengertian tentang hukuman dalam pendidikan, bahwa selain hukuman dalam pendidikan terdapat beberapa istilah lain yang mempunyai kaitan serta arti dan makna yang sama dengan hukuman. Beberapa istilah tersebut antara lain punishment, ancaman, sanksi dan tarhīb. Diluar keempat istilah tersebut mungkin masih ada istilah lain yang memiliki kesamaan maksud dengan hukuman, hal itu lumrah digunakan khususnya di dunia pendidikan Islam. Sedangkan yang paling digunakan dari sekian istilah tersebut adalah hukuman dan punishment.

2. Dasar Sandaran Hukuman dalam Pendidikan Islam

Sistem pendidikan Islam yang memiliki sumber al-Qur’an dan al-Hadis tidak pernah terlepas dari segala apa yang terkadung di dalam kedua dasar hukum

Islam tersebut, termasuk juga dalam penggunaan metode pendidikan. Metode pendidikan dengan hukuman dilandaskan pada al-Qur’an yang diantara substansinya adalah adanya kabar dan berita dari Allah akan adanya suatu balasan

(ancaman) bagi setiap perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan menangkap kesan dari al-Qur’an tentang perlunya strategi dalam mengarahkan kehidupan manusia, maka dalam konteks pendidikan dianggap urgen keberadaan metode tersebut.

14Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 181. 21

Beberapa ayat al-Qur’an yang memberikan gambaran tentang adanya metode tersebut antara lain; al Maidah ayat 87, al Baqarah ayat 279, at Taubah ayat 74, al Maidah ayat 38, al Furqon ayat 68-69, al Baqarah ayat 39. Dari beberapa ayat al-Qur’an di atas dapat difahami bahwa dalam rangka menanamkan sikap disiplin terhadap aturan di dalam Islam, maka Allah memberikan ancaman

(hukuman) bagi setiap orang yang dengan sadar dan sengaja melanggar hukum

Islam. Dengan qiyās terhadap model yang dipergunakan al-Qur’an maka di dalam proses pendidikan juga perlu adanya strategi pemberian ancaman (hukuman).

Sedangkan dalam hadis Nabi yang terkait dengan cara yang dianggap efektif dalam rangka menanamkan sikap disiplin serta konsistensi terhadap aturan, dapat kita temukan antara lain:

َو َقا َل َص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم : َما تَ ِل َف َما ٌل فِى بَ ٍّ ر َو َال بَ ْح ٍّر ِا َّال بِ َح ْب ِس ال َّز َكاةِ ) الطبرانى فى االوسط, وكذا منذري ص 142 ج 1 (15

Sabda Rasulullah SAW. “ Tidaklah binasa harta di darat dan di bumi, kecuali sebab menahan zakat “. (Tabrani dalam al-Awsat. Mundhari, halaman 142 juz I)

َو َقا َل َص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم : َم ْن تَعَ َّل َم ا ْل ِع ْل َم ِليُبَا ِه ْي بِ ِه ا ْلعُ َل َما َء َوي ُ َما ِرى بِ ِه ال ُّس َف َها َء ُوي ْص ِر َف بِ ِه ُو ُج ْوهَ ال َّنا ِس 16 اَ ْد َخ َلهُ هللاُ َج َه َّن َم.)ابن ماجه. كذا منذري ص 36 ج 1(

Sabda Rasulullah SAW. : “ Barangsiapa menuntut ilmu untuk bermegah-megah terhadap para ulama, dan merendahkan orang-orang yang bodoh, serta berpaling dengan ilmunya dari manusia, Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam “. (Ibn Majah, Mundhari, halaman 36 juz I).

َو َقا َل َص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم : َمثَ ُل ا َّل ِذى يُعَ ِ ل ُم ال َّنا َس ا ْل َخ ْي َر َويُ ْن ِسى نَ ْف َسهُ َك َمثَ ِل ال ِ س َر اجِ يُ ِض ُئ ِلل َّنا ِس َويُ َح ِ ر ُق نَ ْف َسهُ ) الطبرانى فى الكبير. كذا منذري ص 38 ج 1(17

15Al-Shaikh Husein Matar, dkk, al-Targhīb wa al-Tarhīb, Penerj. A. Hafez Anshari AZ. (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), hal. 78. 16Al-Shaikh Husein Matar, dkk, al-Targhīb wa al-Tarhīb, hal. 6. 17Al-Shaikh Husein Matar, dkk, al-Targhīb wa al-Tarhīb, hal. 7. 22

Sabda Rasulullah SAW. : “ Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia dan lupa pada dirinya sendiri, seperti lampu yang menerangi manusia, menghanguskan dirinya “. (Tabrani dalam al-Kabir, Mundhari halaman 38 juz I).

Demikianlah beberapa hadis Nabi yang menegaskan bahwa Islam telah menunjukkan bahwa di dalam proses pendidikan terutama yang menyangkut pembentukan ketaatan manusia terhadap aturan dan ajaran yang telah ditetapkan diperlukan penegasan akan adanya ancaman dan hukuman bagi setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan ajaran tersebut. dengan penegasan tersebut diharapkan muncul pemahaman di dalam pemikiran setiap individu untuk menghindarkan dirinya dari resiko ancaman hukuman tersebut.

Sedangkan secara filosofis, penerapan hukuman dibutuhkan dalam proses pendidikan karena setiap individu pada pertumbuhan dan perkembangannya akan mengalami dinamika yang diakibatkan oleh interaksinya dengan lingkunganya.

Dengan kemampuan akalnya manusia akan menemukan dua bentuk dan keadaan yang biasa diidentifikasi dengan kabaikan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan

(QS: al-Balad: 10)18, kejujuran dan kebohongan, serta segala sesuatu yang paradok, ditambah lagi dengan potensi yang dimiliki oleh manusia. Bahwa di dalam diri manusia telah terdapat potensi (fiṭrah) (QS: al- Rum: 30)19 yang melahirkan kecenderungan untuk berbuat baik. Dengan potensi yang dimiliki tersebut, maka manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya yang terdiri dari dimensi positif dan negatif (kefasikan dan ketaqwaan) (QS.:al- Syam: 7-8)20.

18Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahnya ( Surabaya: Al-Hidayah, 1998),hal. 1061. 19Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, hal. 645. 20Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, hal. 1064. 23

Berdasarkan potensinya, manusia selalu berusaha mencari kebenaran dan kebaikan, terutama bagi orang yang menggunakan akal pikirannya secara benar dan jujur. Kecenderungan untuk berbuat salah dapat mengotori jiwanya, yang akan membawanya kepada kehinaan baik di mata manusia terlebih di mata Allah.

Kecenderungan pada kebaikan dapat dibimbing dengan rangsangan-rangsangan

(targhīb), sedangkan potensi yang cenderung pada kejahatan dipagari melalui ancaman-ancaman dan hukuman yang akan ditimpakan kepadanya dan cara ini disebut dengan tarhīb.21

Artinya, manusia di dalam proses pendidikanya (mengenal baik dan buruk) diperlukan sebuah langkah tertentu yang dapat memberikan penguatan

(reinforcement)22terhadap pengetahuannya. Penguatan ini dapat diperoleh oleh siswa ketika dia telah menemukan kesesuaian antara teori yang didapatkan dari belajarnya dengan kondisi kenyataan di lapangan. Sehingga dengan adanya hukuman di dalam pendidikan akan dapat menguatkan pengetahuan dan pengalaman siswa bahwa suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma dan nilai akan memberikan akibat negatif yang antara lain adanya hukuman tertentu yang harus diterima oleh pelaku tersebut.

Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan

21Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an, hal. 122-123. 22Menurut Bandura, penguatan memberi pengamat informasi yang berhubungan dengan hal-hal yang menimbulkan sesuatu hal dalam suatu lingkungan, sehingga pengamat dapat mengantisipasi hasil tertentu yang berasal dari prilaku tertentu. Menurut Guthrie, salah satu dari banyak kejadian yang dapat mengubah pola stimulus, dan karenanya memungkinkan asosiasi antara pola stimulus sebelumnya dengan respon terakhir yang diberikan terhadap stimulus itu tetap utuh. Penguatan menurut Guthrie, tidak lain adalah tatanan mekanis yang mencegah terjadinya unlearning. Menurut Hull, reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorongan. Lihat B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theoris of Learning Penerjemah: Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, Cet. Ke 2, 2009), hal, 507. 24

Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud) Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya guru bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa :

“Tindakan tegas itu adalah hukuman”

3. Syarat Penerapan Hukuman dalam Pendidikan Islam

Ibnu Sina memberikan saran (syarat) dalam penerapan hukuman dalam pendidikan Islam antara lain:

a. Penerapan hukuman atas anak dilakukan sesudah diberi peringatan keras

b. Penerapan hukuman karena keadaan yang terpaksa, karena tak ada jalan

lain

c. Jika hukuman yang diberikan berupa pukulan, maka pukulan tersebut

haruslah ringan dan menimbulkan rasa sakit.23

Abu Hasan al-Qabisyi al-Qaeruwany menambahkan agar hukuman pukulan tidak lebih dari 10 kali dan sebaiknya 3 kali saja.24 Begitu juga Ibnu

Sachnun menyarankan agar jangan mamukul kepala atau muka anak, karena membahayakan kesehatan otak dan merusak mata atau berbekas buruk pada muka

(wajah), sebaiknya pukulan hukuman diberikan pada kedua kakinya, karena kaki

23H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indterdisipliner,hal.159. 24H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 159. 25

lebih aman dan lebih tahan untuk pukulan.25 Serta hukuman hendaknya diberikan secara individual khusus pada anak yang berbuat kesalahan atau pelanggaran.26

Demikianlah syarat penerapan hukuman dalam pendidikan yang harus dipenuhi oleh guru yang hendak memberikan hukuman. Syarat tersebut dapat diringkas menjadi :

a. Hukuman diberikan dengan penuh kasih sayang.

b. Hukuman-hukuman yang mungkin akan diberikan sebaiknya telah

diketahui dan difahami sebelumnya.

c. Hukuman harus didahului oleh nasihat dan peringatan.

d. Hukuman diberikan dimulai dari hukuman yang paling ringan.

e. Hukuman pukulan dilakukan hanya dalam keadaan darurat.

f. Hukuman fisik tidak menimbulkan bahaya terhadap tubuh si anak.

g. Hukuman harus betul-betul berdampak positif bagi siswa maupun guru.

Cara yang dapat ditempuh untuk mengubah perilaku anak, sebagaimana metode yang diberikan Rasulullah Saw. adalah 27:

a. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.28

b. Menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah.29

c. Menunjukkan kesalahan dengan isyarat.30

d. Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.31

e. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan (Memboikot).32

25H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 159. 26H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 160. 27Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 566-569. 28 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 566. 29‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 566-567. 30‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 567. 31 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 567. 26

f. Menunjukkan kesalahan dengan memukul.33

g. Menunjukkan kesalahan dengan hukuman yang membuat jera.34

Strategi atau teknik penerapan hukuman dalam pendidikan Islam:

a. Hukuman dilaksanakan dengan lemah lembut dan kasih sayang yang

menjadi dasar pembenahan anak.35

b. Hukuman dilaksanakan dengan tetap menjaga tabiat anak yang salah.36

c. Hukuman dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang

paling keras.37

Sistem pendidikan Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, mempunyai metode tersendiri yang antara lain mendidik dengan hukuman. Di antara hukuman dalam pendidikan Islam adalah hukuman pukulan. Walaupun demikian, bukan berarti pendidikan Islam menerapkan metode kekerasan, atau melegalisasi tindak kekerasan, atau guru dapat semena-mena bertindak otoriter.

Karena menurut Islam hukuman dalam pendidikan dapat diterapkan dengan harus memenuhi beberapa persyaratan yang ketat.

Menurut Ulwān, syarat-syarat penerapan hukuman pukulan antara lain :

a. Guru tidak terburu menggunakan hukuman pukulan, kecuali setelah

menggunakan semua metode yang lemah lembut.38

b. Guru tidak memukul ketika dalam keadaan marah, karena dikhawatirkan

menimbulkan bahaya terḥadap anak.39 Hal ini berdasarkan ḥadith Nabi

32‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 567-568. 33‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 568. 34 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 568. 35‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 564. 36‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 564. 37‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 565. 38 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 570. 27

) َالتَ ْغ َض ْب (Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari : lah kamu n“ janga 40

marah”.

c. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka,

seperti kepala, muka, dada atau perut.41 Hal ini karena pada bagian tubuh

tersebut terdapat alat-alat tubuh yang sensitif dan mudah terganggu serta

sangat vital bagi kelangsungan hidup setiap orang.

d. Pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak

menyakiti. Pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak besar.

Diharapkan pula, pukulan berkisar antara satu hingga tiga kali bagi anak di

bawah umur, dan jika bagi orang dewasa, setelah tiga pukulan tidak

membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga sepuluh kali.42

Sebagaimana sabda Nabi Saw. :

..اليَ ْج ِلدُ اَ َحدٌ َف ْو َق َع ْش َرةِ اَ ْس َوا ٍّط ِا َّال فِى َح ٍّد ِم ْن ُحدُ ْو ِد هللاِ..43

“Janganlah seseorang mendera (memukul) lebih dari sepuluh deraan, kecuali dalam hukuman (ḥudūd) yang ditentukan Allah ta’ala“. e. Tidak memukul anak sebelum berumur sepuluh tahun.44

f. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi

kesempatan untuk bertobat (memperbaiki) dari perbuatan yang telah

dilakukan, memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan

39‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 570. 40 Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Matn Mashkūl al-Bukhāribi Ḥāshiyat al- Sanadiy IV (Beirut: Dar al-Fikr, tt. ), hal. 68 41 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal., 570. 42 ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 43Abu al-Husayn Muslim bin al-Hujjaj al-Naysabury, Ṣahīh Muslim II (Bandung: al-Ma’arif, tt),hal. 58. 44 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 28

untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi

mengambil janji untuk tidak mengulanginya itu.45

g. Guru harus mengeksekusi sendiri tanpa diwakilkan kepada orang lain.46

Karena jika diwakilkan akan berpotensi menimbulkan ekses dendam

ataupun benci kepada yang mewakili ekskusi hukuman pukulan.

h. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan guru melihat bahwa pukulan

sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka boleh ia menambah dan

mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.47

Demikianlah syarat-syarat penerapan hukuman pukulan dalam pendidikan

Islam menurut ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān yang harus menjadi bahan pertimbangan bagi setiap guru (orang tua / guru) sebagai wujud keseimbangan sistem pendidikan Islam. Ulwān mengatakan : “ Dari sini jelas bahwa pendidikan Islam telah memberikan perhatian besar terḥadap hukuman, baik hukuman spiritual maupun material. Hukuman ini telah diberi batasan dan persyaratan, dan guru tidak boleh melanggarnya.48

Sedangkan dalam konteks tanggung jawab guru dalam menerapkan metode, strategi maupun cara dalam mendidik anak agar terbentuk menjadi insan yang cerdas dan berakhlak karimah, maka Ulwān mengatakan : “ Sangat bijaksana jika guru meletakkan hukuman pada proporsi yang sebenarnya, seperti juga meletakkan sikap ramah tamah dan lemah lembut, pada tempat yang sesuai.

45 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 46 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 47 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 48 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 571. 29

Dan sangat dungu (inproporsional) jika guru bersikap lemah lembut ketika membutuhkan sikap keras dan tegas, atau bersikap keras dan tegas pada saat membutuhkan kasih sayang dan lapang dada”.49Sehingga yang dibutuhkan dari seorang guru adalah kejelian dan ketelitian terḥadap situasi dan kondisi psikologis, serta pemahaman yang lengkap tentang metode pendidikan dalam

Islam.

Hukuman dalam pendidikan adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu dirasanya, untuk menuju perbaikan,tetapi hal ini dilakukan bila teladan tidak mampu, dan begitu pula nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar.

Keadaan siswa yang beragam menuntut kita untuk menerapkan metode yang bervariasi pula. Ada kalanya pula cukup dengan ancaman hukuman yang akan dilaksanakan nanti, tetapi ada pula yang harus didekatkan tongkat kepadanya sampai betul-betul melihatnya di depan matanya. Demikian pula, hukuman yang diterapkan para guru di rumah atau sekolah berbeda dari segi jumlah dan tata caranya, tidak sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang umum.Sehingga dalam memandang suatu masalah harus arif dan bijaksana serta disesuaikan dengan konstekstualisasi masalah tersebut.

Adapun hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus memenuhi syarat sebagai berikut : Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih

49 ‘Abdullāh Nāşih ‘Ulwān, Tarbiyat al-Awlād fi al-Islām, hal. 572. 30

dan saying. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”.Harus menimbulkan kesan di hati anak.Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada siswa.Diikuti pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.50Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan.Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak.Hukuman harus diberikan dengan adil.51

4. Jenis Hukuman dalam Pendidikan Islam

Adapun jenis hukuman secara umum di dalam Islam terdiri dari al-

Hudūd52, al-Qiṣaṣ53, al-Diyah54, al-Kaffārah55dan al-Ta’zir56. Masing-masing jenis hukuman tersebut dikenakan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan

50Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002)., hal. 131. 51Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teori dan Praktis,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 192 52 Al-ḥūdūd (al-ḥad) adalah hukuman yang ditetapkan oleh Syari’at yang wajib dilaksanakan karena Allah SWT. Seperti had bagi orang yang meminum minuman keras, orang yang berbuat zina, orang melakukan qadhaf, orang yang mencuri dan lain sebagainya. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II (t.k. Dar al-Thaqafah al-Islamiyah, t.t), hal.228-323. 53Al-Qiṣaṣ adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang yang dilakukan dengan sengaja. Seperti jika membunuh maka dibunuh, jika memotong telinga maka dipotong telinganya, dan lain-lain. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah II, hal.323-351. 54 Al-Diyah adalah denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dikenakan hukum qisas, dengan membayarkan sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum qisas karena dimaafkan oleh anggota keluarga yang dibunuh. Seperti orang yang sengaja membunuh ttetapi diamaafkan oleh keluarga yang dibunuh maka ia wajib membayar 100 ekor unta. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II,hal.351. 55 Kaffārah adalah tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syariat Islam, karena melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan oleh Allah SWT. Seperti berpuasa berturut-turut bagi orang yang melakukan pembunuhan, berpuasa tiga hari karena melanggar sumpah dan lain sebagainya. Lihat al-Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Shata al- Dimyati, Hāshiyah I’ānat al-Ṭālibīn alā Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (Indonesia: Karya Insan, t.t.), hal. 131-132. 56Al-Ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak dikenai had maupun kaffarah. Sehingga hukuman ta’zir ini tidak ditentukan oleh syara’ besar, kecilnya, karena pelaksanaannya diserahkan kepada hakim atau pihak yang terkait. Tetapi ada tiga macam orang yang diperbolehkan melaksanakan ta’zir tanpa hakim: (1) Orang tua terhadap anaknya, (2) Tuan terhadap budaknya dan (3) Suami terhadap isterinya, dan begitu juga pendidik terhadap siswanya. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II, hal. 375-378. 31

menurut hukum Islam (fiqh). Pembahasan tentang sangat banyak dijelaskan di dalam buku-buku fiqh Islam.

Dengan demikian, hukuman dalam pendidikan dapat digolongkan ke dalam jenis hukuman ta’zir, karena di dalam pelaksaan hukuman dalam pendidikan tidak ditentukan kuantitas hukumannya oleh syari’at Islam, namun tentunya tidak akan melebihi kadar serta keadaan si terhukum.

Adapun jenis hukuman bagi siswa menurut tingkatannya, W. Stern membaginya dalam tiga tingkatan:

a. Hukuman Asosiatif. Di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat

hukuman tadi ada asosisinya (pertautan) dengan kesalahan anak.

Misalnya seorang anak yang akan mengambil sesuatu di atas meja

dipukul jarinya. Hukuman asosiatif digunakan pada anak kecil.

b. Hukuman Logis. Di mana anak dihukum hingga mengalami penderitaan

yang ada hubungan logis dengan kesalahannya. Hukuman logis ini

dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah mampu

memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan

hukuman yang diterimanya.

c. Hukuman Moril. Tingkatan ini tercapai pada anak-anak yang lebih besar,

di mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis antara

kesalahan dan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaanya atau

terbangun kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai

sesuatu yang harus dialaminya.57

57Sarwono, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 117. 32

Sehingga dengan tingkatan hukuman ini, maka pelaksanaan hukuman akan benar-benar sesuai dengan kaidah dan tujuan pendidikan. Serta juga bahwa hukuman dalam pendidikan dapat dikategorikan menjadi hukuman fisik

(badaniyah) dan psikis (kejiwaan). Hukuman fisik berkaitan dengan akibat atau obyek hukuman yang berupa badan atau bagian tubuh terntu, seperti hukuman pukulan pada bagian tubuh tertentu. Sedangkan hukuman psikis lebih menekankan pada dampak kejiwaan yang diakibatkan oleh adanya perasaan tidak enak terhadap hukuman yang diterima, seperti kesan malu, diisolasi dari pergaulan maupun rasa takut.

Muhammad Qutb berpendapat bahwa tingkat-tingkat hukuman yang berbeda, karena perbedaan tingkat manusia. Ada orang yang sudah cukup baginya isyarat dari kejauhan, hatinya sudah tergetar dan perasaannya sudah kecut, dan akan memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Tetapi ada pula orang yang hanya bisa tergerak oleh marah yang jelas dan keras. Adakalanya pula cukup hanya dengan ancaman hukuman yang akan dilaksanakan nanti, tetapi ada pula yang harus didekatkan tongkat kepadanya sampai betul-betul melihatnya di depan matanya. Dan ada pula jenis orang yang harus merasakan sengatan hukuman itu lebih dahulu pada kulitnya untuk bisa kembali baik.58

Pada dasarnya hukuman dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: a. hukuman preventif adalah hukuman yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Contoh: perintah, pengawasan, larangan, dan ancaman. b. Hukuman

58Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman Harun (Bandung: Al Ma’arif, 1993), hal. 347. 33

represif adalah hukuman yang dilakukan karena adanya pelanggaran. Jadi hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan.59

Dari penjelasan di atas dapat dijabarkan lagi terkait bentuk-bentuk hukuman dalam pendidikan diantaranya: a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak. b.

Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak dengan bijaksana dan bila para guru atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suaranya. c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan memperingatkan lewat isyarat.d.Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.

5. Manfaat Metode Hukuman dalam Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan sebuah proses transformasi ilmu dan pengetahuan terhadap siswa dalam rangka pembentukan individu yang sesuai dengan harapan dan tujuan kehidupan di dalam masyarakat. Pendidikan adalah usaha yang bersifat mendidik, membimbing, membina, mempengaruhi, dan mengarahkan dengan seperangkat ilmu pengetahuan.60

59Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teori dan Praktis,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 189 60Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 21. 34

Dalam konteks penerapan metode pendidikan, al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, dalam menyampaikan materi pendidikan. Metode tersebut antara lain: metode teladan, metode kisah-kisah, metode nasihat, metode pembiasaan, metode hukuman dan ganjaran, metode ceramah, metode diskusi, metode lainnya.61

Hukuman sebagai metode di dalam pendidikan Islam tidak dapat disamakan dengan masalah kekerasan yang umum dibicarakan orang. Karena kekerasan disebut sebagai suatu tindakan (perbuatan) yang didasari pemaksaan, kemarahan, kejengkelan, frustasi, emosi, depresi dan lain-lain, yang disebabkan berbagai alternatif faktor dalam kehidupan, baik sosial, ekonomi, psikologis, budaya dan lain sebagainya.62 Secara umum, guru di dalam menerapkan hukuman terhadap siswanya dengan berbagai pertimbangan sehingga tidak mengakibatkan dampak fisik maupun psikis yang negatif bagi siswa itu sendiri.

Keberadaan dan fungsi hukuman di dalam pendidikan tidak hanya menurut kalangan pendidik Islam, tetapi menurut para ahli pendidikan Barat pun punishment tetap diperlukan di dalam pendidikan karena dapat berfungsi sebagai reinfocement. Misalkan, Edwyn Ray Guhtrei, salah seorang pakar pendidikan

Barat menempatkan penerapan punishment (hukuman) sebagai cara untuk mengubah perilaku yang dianggap tidak sesuai. Selanjutnya Guthrei mengatakan

:” Hukuman bekerja baik bukan karena adanya rasa sakit yang dialami oleh individu terhukum, tetapi karena hukuman mengubah cara individu merespon

61Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 147-160. 62Bashori Muchsin & Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 128. 35

stimuli tertentu.Hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum.63

Guru sebagai pendidik tidak hanya berkewajiban menempa kemampuan berfikir (intelegensi), tetapi juga harus dapat mengembangkan potensi siswa dalam ranah yang lain yakni afektif (spiritual) dan psikomotorik. Selain dari itu juga, guru harus dapat mengembangkan potensi akhlaqiyah siswa, sehingga sikap, moral dan tentunya akhlak Islam terbina dengan baik. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sikap tegas guru, guna membina, mengarahkan dan membentuk moralitas dan akhlak Islami siswa.

Hal ini, juga menunjukkan bahwa keberadaan hukuman di dalam pendidikan mempunyai posisi tersendiri, sesuai dengan relevansinya terhadap materi pendidikan itu sendiri. Serta, bahwa cukuplah bagi kita alasannya untuk mencoba memahami persoalan hukuman secara komprehensif di dalam pendidikan sebagai wujud implementasi sabda Nabi:

َع ْن َع ْم ِرو ْب ِن ُشعَ ْي ٍّب َع ْن اَبِ ْي ِه َع ْن َج ِد ِه َقا َل : َقا َل َرسُو ُل هللاِ َص َّلى هللاُ َع َل ْي ِه َو َس َّل َم :" ُم ُر ْوا ا َ ْو َالدَ ُك ْم بِال َّص َالةِ ِاذَا ْ 64 بَ َل ُغ ْوا َس ْبعًا, َوا ْض ِربُ ْو ُه ْم َع َل ْي َها ِاذ َا بَ َل ُغ ْوا َع ْش ًرا, َو َف ِ ر ُق ْوا بَ ْينَ ُه ْم فِى ال َم َضا ِجعِ") رواه احمد(

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata : Rasulallah SAW telah bersabda “ suruhlah anal-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. (HR. Ahmad).

Dari hadis tersebut kita dapat mengetahui bahwa (hukuman) pukulan dapat dijadikan sebagai metode pendidikan yang dicontohkan dengan pengajaran

63B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theoris of Learning. Penerjemah: Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, Cet. Ke 2, 2009), hal. 238. 64Musnad Ahmad Ahmad bin Hanbal, (t.k.: Muassasah al-Risalah, 1999), hal. 284. 36

tentang shalat. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah (hukuman) pukulan yang

bagaimana agar dapat benar-benar efektif? Dari sinilah kajian dan pembahasan

tentang hukuman di dalam pendidikan Islam ini dibutuhkan oleh setiap guru.

B. Tinjauan Tentang Pembelajaran Al Qur’an

1. Pengertian Pembelajaran

Definisi Belajar Belajar merupakan proses perubahan yang terjadi pada

diri seseorang melalui penguatan (reinforcement), sehingga terjadi perubahan

yang bersifat permanen dan persisten pada dirinya sebagai hasil pengalaman

(Learning is a change of behaviour as a result ofexperience), demikian pendapat

John Dewey, salah seorang ahli pendidikan Amerika Serikat dari aliran

Behavioural Approach.65 Perubahan yang dihasilkan oleh proses belajar bersifat

progresif dan akumulatif, mengarah kepada kesempurnaan, misalnya dari tidak

mampu menjadi mampu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, baik mencakup

aspek pengetahuan (cognitive domain), aspek afektif (afektivedomain) maupun

aspek psikomotorik (psychomotoric domain). Belajar merupakan suatu proses

usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri

dalam interaksi dengan lingkungan.66

Belajar bukan merupakan tujuan melainkan suatu proses untuk mencapai

tujuan, jadi belajar merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh

sehingga dapat dikatakan belajar sebagai suatu kegiatan yang berproses dan

merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan setiap jenis

65M Ngalim Purwanto, Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 12 66M Ngalim Purwanto, Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 13 37

dan jenjang pendidikan.67 Hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung dari proses yang dialami siswa, baik ketika di sekolah, lingkungan rumah atau keluarga. Belajar mempunyai pengertian yang sangat kompleks, sehingga banyak ahli yang mengemukakan pengertian belajar dengan ungkapan dan pandangan yang berbeda-beda. Ada empat pilar belajar yang dikemukakan oleh UNESCO, yaitu:

a. Learning to Know, yaitu suatu proses pembelajaran yang

memungkinkansiswa menguasai tekhnik menemukan pengetahuan dan

bukan sematamata hanya memperoleh pengetahuan.

b. Learning to do adalah pembelajaran untuk mencapai kemampuan

untukmelaksanakan Controlling, Monitoring, Maintening,Designing,

Organizing. Belajar dengan melakukan sesuatu dalam potensi yang

kongkret tidak hanya terbatas pada kemampuan mekanistis, melainkan

juga meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain

serta mengelola dan mengatasi konflik

c. Learning to live together adalah membekali kemampuan untuk hidup

bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, saling

pengertian dan tanpa prasangka.

d. Learning to be adalah keberhasilan pembelajaran yang untukmencapai

tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua

dan ketiga. Tiga pilar tersebut ditujukan bagi lahirnya siswa yang mampu

mencari informasi dan menemukan ilmu pengetahuan yang mampu

67Oemar Hamalik, Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 16 38

memecahkan masalah, bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleransi

terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan

menumbuhkan percaya diri pada siswa sehingga menjadi manusia yang

mampu mengenal dirinya, berkepribadian mantap dan mandiri, memiliki

kemantapan emosional dan intelektual, yang dapat mengendalikan dirinya

dengan konsisten, yang disebut emotional intelegence (kecerdasan

emosi).68

Dari berbagai pendapat mengenai belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dan kemampuan seseorang karena bereaksi dengan keadaan.

2. Ciri-ciri Pembelajaran

Menurut Darsono dkk, ciri-ciri pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis.

b. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam

belajar. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan

menantang bagi siswa.

c. Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan

menarik.

d. Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan

menyenangkan bagi siswa

68Nurhadi dan Senduk, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran,(Jakarta: Graha Ilmu, 2004), hal. 62 39

e. Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara

fisik maupun psikologis.69

Belajar mengajar di bidang pendidikan berhubungan dengan kegiatan mengajar. Pengertian yang umum dipahami orang terutama mereka yang awam dalam bidang-bidang studi kependidikan ialah bahwa mengajar itu merupakan penyampaian pengetahuan dan kebudayaan kepada siswa. Menurut Nasution mengajar adalah suatu usaha dari pihak guru, yakni mengatur lingkungan sehingga terbentuklah suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar.

Teaching is the guidance oflearning, artinya dalam mengajar yang aktif adalah siswa yang mengalami proses belajar dan guru hanya membimbing dan menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa.70

Menurut Rusyan ada tiga pandangan mengajar, yaitu1) mengajar adalah menyampaikan pengetahuan dari seseorang kepada kelompok; 2) mengajar adalah membimbing siswa untuk belajar; 3) mengajar adalah mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar yang baik.71 Sedangkan menurut Hasibuan dan

Moedjiono berpendapat bahwa mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Lebih lanjut dikatakan bahwa mengajar adalah melatih ketrampilan, menyampaikan pengetahuan, membentuk sikap dan memindahkan nilai-nilai.72

Mengajar adalah kegiatan terorganisasi yang bertujuan membantu atau

69Darsono dkk, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Cipta, 2000), hal. 25 70Nasution, Kurikulum dalam Pengajaran, (Jakarta: Rajawali, 1999), hal. 14 71Rusyan, Teknik Belajar Mengajar, (Bandung,Alfabeta, 1994), hal. 27 72Hasibuan dan Moedjiono, Konsep dan Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Studia Press, 2004), hal. 47 40

membimbing siswa untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skill

(keahlian), tingkah laku dan pengetahuan dengan cara penyajian konsep secara bertahap sehingga terjadi proses belajar. Mengajar menurut Sardiman dalam

Hasibuan, adalah menyampaikan pengetahuan pada siswa. Mengajar diartikan sebagai aktivitas mengorganisasikan atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.73

Menurut Joni dalam Sumantri dan Permana bahwa mengajar sebagai pencipta dan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi yaitu tujuan intruksional yang ingin dicapai, guru dan siswa yang memainkan peran senada dalam hubungan sosial tertentu, materi yang diajarkan, bentuk kegiatan yang dilakukan serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.74

3. Pengertian Pembelajaran Al Qur’an

Pembelajaran Al-Qur’an terdiri dari dua kata yakni “kata pembelajaran”dan “kata Al-Qur’an”. Kata pembelajaran yang kami analisa adalah pembelajaran dalam arti membimbing dan melatih anak untuk membaca Al-

Qur’an dengan baik dan benar serta dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari- hari.

Kata pembelajaran, sebelumnya dikenal dengan istilah pengajaran. Dalam bahasa arab di istilahkan “ta’lim” Pengertian tersebut sejalan dengan ungkapan

73Hasibuan dan Moedjiono, Konsep dan Strategi Belajar Mengajar, hal. 47 74Sumantri dan Permana, Metode Belajar Mengajar, (Jakarta: Graha Ilmu, 2004), hal. 62 41

yang dikemukakan Syah, yaitu “allamal ilma”. Yang berarti to teach atau to intruct (mengajar atau membelajarkan).75

Menurut Tardik, pembelajaran disebut instruction yaitu proses kependidikan yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Dan Degeng mengistilahkan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan pembelajar (siswa).Kata pembelajaran tersebut tidak dapat dipisahkan dengan masalah belajar. Karena sebagai objek dari pembelajaran, maka siswa mempunyai tugas untuk memberdayakan kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan belajar.

Mengenai belajar ini ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, sebagai berikut:

a. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam

interaksi dengan lingkungan.76

b. M. Arifin dalam Ramayulis menyatakan, belajar adalah suatu kegiatan

siswa dalam menerima, menganggapi, serta menganalisa bahan-bahan

pelajaran yang disjikan oleh pengajar, yang berakhir pada kemampuan

untuk menguasai bahan pelajaran yang telah disajikan.

Dari kedua definisi tersebut dapat dilihat ciri-ciri belajar yaitu:

a. Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri

75 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996).hal 22. 76Slameto,Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). 42

individu yang belajar, baik aktual maupun potensial.

b. Perubahan tersebut pada pokoknya adalah didapatkannya kemampuan

baru, yang berlaku dalam waktu relatif lama.

c. Perubahan tersebut terjadi karena usaha.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pembelajaran adalah suatu proses belajar-mengajar yang direncanakan sebelumnya dan diarahkan untuk mencapai tujuan melalui bimbingan, latihan dan mendidik.

Sedangkan Al-Qur’an diambil dari bahasa arab yakni “Qara’a, Yaqro’u,

Qiroatan atau Qur’anan” yang berarti menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian yang lain secara teratur. Al-Asy’ari menyatakan kata

Al-Qur’an diambil dari kata Qarana yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain, karena surat, ayat dan huruf-hurufnya beriringan yang satu dengan yang lain dan ada pula yang mengatakan Al-Qur’an berasal dari kata Qara’in mengingat bahwa ayat Al-Qur’an satu sama lainnya saling membenarkan. Dari kedua pendapat tersebut dapat diketahui bahwa Al-Qur’an harus dibaca dan diusahakan untuk dimengerti isinya.

Dari berbagai definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW bukan sekedar mukjizat saja tetapi disamping itu untuk dibaca, dipahami, diamalkan, dan dijadikan sumber hidayat dan pedoman bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi

Muhammad yang mengandung unsur-unsur petunjuk-petunjuk bagi umatmanusia.

Al-Qur’an ini diturunkan untuk dijadikan pegagang dan pedoman bagi mereka 43

yang ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran Al-

Qur'an adalah proses perubahan tingkah laku siswa melalui proses belajar yang berdasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an dimana dalam Al-Qur’an tersebut terdapat berbagai peraturan yang mencakup seluruh kehidupan manusia yaitu meliputi

Ibadah dan Muamalah. Ibadah adalah perbuatan yang berhubungan dengan Allah dan muamalah adalah perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah meliputi tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan. Sehingga dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Metode Pembelajaran al Qur’an

Mendidik di samping sebagai ilmu juga sebagai "suatu seni". Seni mendidik atau mengajar dalam aturan adalah keahlian dalam menyampaikan pendidikan dan pengajaran kepada siswa. Sesuai dengan kekhususan yang ada pada masing-masing bahan atau materi pembelajaran Al-Qur'an, baik yang sudah lama dipakai ditengah-tengah masyarakat maupun metode yang sekarang sedang ramai dan mendapat respon dari masyarakat semuanya dengan satu paket atau tujuan untuk mempermudah dalam belajar Al-Qur'an. Bagi generasi kegenerasi serta mengembangkan pembelajaran Al-Qur'an dengan mudah.

Metode pengajaran adalah cara penyampaian bahan pengajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, metode pengajaran adalah suatu cara yang dipilih dan dilakukan guru ketika berinteraksi dengan siswanya dalam upaya menyampaikan bahan pengajaran tertentu, agar bahan pengajaran 44

tersebut mudah dicerna sesuai dengan pembelajaran yang ditargetkan.

Metode pembelajaran Al-Qur'an secara umum yang berkembang dimasyarakat adalah sebagai berikut:

a. Metode Tradisional (Qawaidul Baghdadiyah).

Metode ini paling lama digunakan dikalangan ummat Islam Indonesia dan metode pengajaran memerlukan waktu yang cukup lama. Adapun pengajaran metode ini adalah siswa terlebih dahulu harus mengenal dan menghafal huruf hijaiyah yang berjumlah 28 (selain Hamzah dan Alif). Sistem yang diterapkan dalam metode ini adalah:

Hafalan yang dimaksud adalah diberi materi terlebih dahulu harus menghafal huruf hijaiyah yang berjumlah 28. Demikian juga materi-materi yang lain.Eja maksudnya adalah eja ini harus dilakukan oleh siswa sebelum membaca

perkalimat. Hal ini dilakukan ketika belajar pada semua materi. Contoh ِِ ِِ ABA tidak langsung di baca AbA tetapi dieja terlebih dahulu; Alif fatha A, Ba' fatha

Ba jadi ABA

Modul adalah siswa terlebih dahulu menguasai materi, kemudian ia dapat melanjutkan materi berikutnya tanpa menunggu siswa yang lain.

b. Metode Iqra'

Metode pengajaran ini pertama kali disusun oleh H. As'ad Human, di

Yogyakarta. Dalam metode ini garis besar sistem ada dua yaitu buku Iqra' untuk usia TPA, dan buku Iqra' untuk segala umur yang masing-masing terdiri dari 6 jilid ditambah buku pelajaran praktis bagi mereka yang telah tadarrus Al-

Qur'an. Selain itu terdapat pula doa sehari-hari, surat-surat pendek, ayat-ayat 45

pilihan, praktek sholat, cerita dan menyanyi yang islami, dan menulis huruf-huruf

Al-Qur'an (bagi TPA). System ini dibagi menjadi kelompok kelasnya pada TKA dan TPA dengan berdasarkan usia siswa, dengan waktu pendidikan selama satu tahun yang dibagi menjadi dua semester.

Semester pertama menghatamkan 6 jilid buku Iqra', sedangkan semester dua siswa menghatamkan Al-Qur'an 30 juz. Metode Iqra' adalah suatu metode membaca Al-Qur'an yang menekankan langsung pada latihan membaca Adapun buku panduan Iqra' terdiri dari 6 jilid di mulai dari tingkatan yang sederhana, tahap demi tahap sampai pada tingkatan sempurna.

Prinsip-prinsip dasar metode Iqra' terdiri dari lima tingkatan pengenalan

yaitu:

1) Tariqat Asshautiyah (penguasaan atau pengenalan bunyi).

2) Tariqat Adtadrij (pengenalan dari yang mudah pada yang sulit).

3) Tariqat Biriyadhotil Athfal (pengenalan melalui latihan-latihan dimana

lebih menekankan pada siswa untuk aktif).

4) Attawassuk Fi Maqosid La Fil Alat adalah pengajaran yang berorientsi

pada tujuan bukan pada alat yang dipergunakan untuk menacapi tujuan itu.

Yakni anak bisa membaca Al-qur'an dengan baik dan benar sesuai dengan

kaidah kaidah tajwid yang ada.

5) Tariqot Bimuraat Al Isti'dadi Wattabik adalah pengajaran yang yang harus

memperhatikan kesiapan, kematangan, potensi-potensi dan watak siswa

Sedangkan sifat metode Iqra' adalah bacaan lansung tanpa di eja, artinya tidak diperkenalkan nama-nama huruf hijaiyah. Dengan cara belajar siswa aktif 46

(CBSA) dan lebih bersifat individual.

Tujuan dari pengajaran Iqra' adalah untuk menyiapkan siswa menjadi generasi yang qur'ani yaitu generasi yang mencintai Al-Qur'an, komitmen dengan

Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai bacaan dan pandangan hidup sehari-hari.

Sedangkan target operasionalnya adalah sebagai berikut:

1) Dapat membaca dengan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid.

2) Dapat melakukan sholat dengan baik dan terbiasa hidup dalam suasana

yang Islami.

3) Hafal beberapa surat-surat pendek, ayat-ayat pilihan dan doa sehari-hari.

4) Dapat menulis huruf Al-Qur’an

c. Metode Qiroati.

Metode qiraati adalah suatu metode membaca Al-Qur'an yang langsung memasukkan dan mempraktekkan bacaan tartil sesuai dengan kaidah ilmu tajwid.

Dalam pengajarannya metode qiroati, guru tidak perlu memberi tuntunan membaca, namun langsung saja dengan bacaan pendek.

5. Kemampuan Membaca Al Qur’an

Al Qur'an secara etimologi merupakan mashdar (kata benda) dari kata

keduanya berarti: membaca atauتال( ]) yang bermakna Talaaقرأ( ) kerja Qara-‟a bermakna Jama‟a (mengumpulkan, mengoleksi)1. Atau dapat dikatakan Qara-‟a

sama seperti mengucapkan, Ghafaroقرأ قرءا وقرآنا( ) Qar‟an Wa Qur‟aanan

:Berdasarkan makna pertama (Yakniغفر غفرا وغفرانا (. ) Ghafran Wa Qhufroonan

Talaa) maka ia adalah kata benda yang semakna dengan Ism Maf‟uul, artinya 47

Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama‟a) maka ia adalah kata benda dariIsim Faa‟il, artinya Jaami‟ (Pengumpul,

Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum- hukum.77

Membaca Al Qur’an dengan tartil bertujuan agar dapat membaca Al

Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Dengan membaca Al

Qur’an dengan baik dan benar sesuai kaidah, maka dalam kegiatan beribadah, terutama ibadah wajib maka akan dapat melafalkan ayat-ayat Al Qur’an dengan fasih sehingga ibadahnya menjadi lebih baik dan khusyuk.78

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al A’raf ayat 204:

َوإِ َذا قُ ِر َئ ٱۡلقُ ۡر َءا ُن َف ٱ ۡستَ ِمعُوا َله ُۥ َوأَن ِصتُو ا َل َع َّل ُك ۡم تُ ۡر َح ُمو َن ٢٠٤

204. Dan apabila dibacakan Al , maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.79

Tujuan lain yang dapat dicapai dengan pembelajaran Al Qur’an dengan metode iqro’ adalah mampu menghafal surat-surat pendek Al Qur’an, ayat-ayat pilihan serta do’a dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dengan metode iqro’ dalam pembelajaran Al Qur’an banyak sekali faedah dan kegunaannya yang berhubungan dengan ibadah yang dilaksanakan sehari-hari. Selain itu metode tersebut juga melatih agar terampil dalam menulis huruf-huruf hijaiyah.

Kebenaran menurut akal pikiran bersifat nisbi sulitlah menentukan ukuran dan takaran, antara kebenaran dan kebatilan. Masing-masing mengukur dengan

77Kementerian Agama RI, Bimbingan Membaca Al Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 1996), hal. 12 78Kementerian Agama RI, Metode Belajar Membaca Al Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 2000), hal. 6. 79Kementerian Agama RI, Metode Belajar Membaca Al Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 2000), hal. 386. 48

ruang lingkup dimana mereka berada dan hawa nafsuyang sedang berkuasa.80

Tuhan kemudian menurunkan pedoman, sebagai penerang penunjuk jalan.

Pedoman tersebut adalah Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW sebagai penyempurnaan kita-kita suci terdahulu. Karena Al Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai pedoman dalam kehidupannya, maka manusia diperintahkan untuk mengkajinya secara keseluruhan, bahkan perintah untuk mengkajinya merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah. Untuk mengkajinya seorang muslim harus dapat membaca dan mengetahui maksud yang terkandung didalamnya.

Di dalam Asy-Syiasyahnya Ibnu Sina, menasehati agar kita mengajari anak-anak mulai mengajarkan Al Qur’an. Segenap potensi anak, baik jasmani maupun akalnya, hendaknya dicurahkan untuk menerima pelajaran ini, agar anak mendapat bahasa asli dan agar aqidah dapat mengalir tertanam kokoh dalam kalbunya Dalam muqoddimah Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina dapat menunjukkan betapa pentingnya mengajarkan dan menghafal Al Qur’an kepada anak-anak. Ia menjelaskan bahwa pelajaran Al Qur’an merupakan pondasi pengajaran bagi seluruh kurikulum, sebab Al Qur’an merupakan syiaraddin yang menggunakan aqidah dan mengkokohkan keimanan.

C. Tinjauan Tentang Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

1. Karakteristik Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

Laki-laki dan perempuan memiliki kondisi psikologis yang berbeda.

80Abu Ahmadi, Belajar Membaca Al Qur’an, (Semarang: Thoha Putra, 2000), hal. 14. 49

Kondisi psikologis yang secara aktif sangat berpengaruh pada cara memahami, berbuat, dan merespon sesuatu. Perbedaan tersebut membuat masing-masing menjadi jelas dan sepertinya tidak akan mungkin bisa bersandar pada dunia yangsama, cara berfikir yang sama. Inilah kodrat manusia. Selain perbedaan yang mencolok secara fisik, tentu banyak perbedaan lainnya secara lahiriah. Salah satu contoh karakteristik perempuan adalah:

a. Cara Berfikir

Jika seorang lelaki dalam konsentrasi penuh melakukan suatu hal, maka akan sulit baginya untuk membagi konsentrasi pada hal lainnya.

b. Seni Berkomunikasi

Sudah umum dikatakan bahwa perempuan adalah makhluk cerewet yang banyak omong. Sebenarnya pendapat itu tidak salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Kaum lelaki juga sangat suka berbicara. Kaum lelaki banyak berbicara saatdi luar, saat ia berjuang dan berkorban untuk mendapatkan kebutuhannya.Di lain sisi, kaum perempuan menyukai memberikan pertolongan dan bantuan kepada sesama. Keadaan berbeda pada kaum lelaki. Perbedaan memang selalu ada selayaknya tulang rusuk yang bengkok bagi kaum lelaki, selalu berseberangan sifatnya. Tujuan memberikan bantuan bagi kaum perempuan adalah untuk membuat dia merasa dicintai. Inilah gambaran perbedaan karakter antara laki- laki dengan perempuan.81

Perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya itu akan memberikan dampak bagi perilaku anak nantinya. Laki-laki akan berusaha menyikapi berbagai masalah

81Thariq Kamal An-Nu’aimi Kado Pernikahan, Psikologi Suami-Istri., Jakarta: Mitra Pustaka (http://bungazahrah.wordpress.com/2008/11/07/psikologi-suami-istri 50

yang dihadapinya dengan cara berfikir tenang atau mencari kesibukan atau menyibukkan dirinya dengan berbagai macam cara serta perilaku laki-laki cenderung agresif. Hal ini dikarenakan pada saat kanak-kanak, laki-laki dituntut untuk dapat menahan dan menangani emosinya. Di lain pihak, perempuan akan merasa terbebani dan memikirkan semua masalahnya, sehingga perempuan akan merasa perlu mendapatkan seseorang untuk diajak berbicara. Perempuan telah beradaptasi dengan peranannya sebagai pengasuh dan telah belajar mengatasi perasaan dan masalahnya dengan jalan berbicara atau berbagi dengan orang lain.

2. Keistimewaan Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan

Menurut Buddulph dan Biddulph ada yang istimewa dan berharga dalam diri anak laki-laki. Setiap orangtua punya anak laki-laki dan perempuan tentu bisa melihat perbedaan pembawaan di antara keduanya. Anak laki-laki punya sifat loyal, mampu menahan diri saat berhadapan dengan sesuatu yang menyenangkan, dan memiliki rasa keadilan yang kuat. Mereka suka humor, optimis, dan senang berada di posisi paling depan.

Kaum laki-laki lebih banyak menggunakan pikirannya, laki-laki senantiasa memegang inisiatif, sifatnya progresif dan hampir memberikan stimulus.

Sehubungan dengan ini laki-laki senantiasa berusaha agar dunianya bisa dijadikan area kerja. Segenap keberadaan dirinya dilibatkan pada proyek-proyek tertentu dan pada material dari pekerjaanya. Biddulph dan Biddulph menyebutkan orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan bersyarat biasanya sangat cermat serta kaku, menerapkan standar yang sangat tinggi bagi dirinya sendiri dan bagi 51

semua orang yang berada bersamanya. Anak perempuan yang menerima masukan ini akan merasakan dirinya selalu kurang, merasa tak pernah bisa memenuhi apa yang dituntut dari dirinya karena siapapun tak akan pernah sempurna.

Kemungkinannya, anak perempuanakan tumbuh menjadi seorang dewasa yang selalu ingin lebih dan lebih dan selalu memaksa diri untuk meraih apa yang ia inginkan. Pada hakekatnya perempuan mampu bekerja yang sama baiknya dengan laki-laki, namun cara kerja perempuan berbeda dengan kaum laki-laki yaitu khas dengan sifat keperempuannya. Pada umumnya perempuan cenderung untuk mengeluarkan energi yang lebih atau cenderung bekerja dengan berat karena di dorong oleh kesadaran yang dalam akan tugas-tugas dan kewajiban yang membuat perempuan lebih tangguh ketika menghadapi hambatan dan tekanan dari lingkungannya.

3. Karakteristik Siswa Laki-laki dan Siswa Perempuan Menurut Islam

Dari penjelasan beberapa mufasir, maka tampak jelas adanya banyak pendapat mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan baik dari segi fisik maupun akal. Seperti ath-Thabari, ia menyatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan tercermin dalam kalimat wa bimaa anfaqu min amwaalihim yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar dan memberi nafkah.

Selain itu, dalam memahami kalimatbimaa fadhdhala Allaahu ba’dhahum alaa ba’adh (oleh karena Allah telahmelebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)), ath-Thabari mengatakan bahwa kelebihan laki- 52

laki atas perempuan itu adalah berupa kelebihan akal dan kekuatan fisik.82

Adapun menurut ar-Razi, kelebihan laki-laki atas perempuan itu berdasarkan pada dua aspek, yaitu sifat-sifat hakiki dan hukum syara’. Sifat-sifat hakiki yang menjadi kelebihan laki-laki atas perempuan tersebut dibagi dua, yaitu ilmu dan kekuatan. Ar-Razi meyakini bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak, begitu juga dengan kemampuan laki-laki dianggap lebih sempurna dari perempuan83. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memahami kelebihan laki-laki atas perempuan, ar-Razi hampir sependapat dengan Ath-Thabari, hanya saja arRazi lebih luas pembahasannya.

Namun tidak demikian dengan Muhammad Abduh dan Quraish Shihab.

Abduh mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan dalam QS. An

Nisa’ ayat 34 tersebut adalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Jika merujuk pada ayat sebelumnya, maka ayat ini merupakan gambaran tentang kekhususan yang dimiliki laki-laki atas perempuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah bentuk dari kelebihan yang diberikan Allah kepada laki-laki sebagai anugerah, dan Allah melarang keduanya (laki-lak dan perempuan) saling iri atas anugerah tersebut.

Menurutnya, kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu adalah sesuai dengan fitrah karena laki-laki telah membayar mahar dan memberi nafkah kepada perempuan. Jadi, kepemimpinan laki-laki atas perempuan merupakan suatu

82Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan al Ta’ wil ay al-Quran,Jilid IV,(Beirut:Dar al Fikr, 1995), hal.85. 83Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Ghaib,cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1990), hal. 72. 53

kewajaran.84

Untuk menopang tugas laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan, menurutnya, Allah juga memberi kelebihan bagi laki-laki dalam dalam hal asal penciptaannya (baca:fisik). Laki-laki diberi kekuatan dan kekuasaan yang tidak ada pada diri perempuan.85

Tidak jauh berbeda dengan Quraish Shihab, menurutnya, yang dimaksud kelebihan laki-laki atas perempuan adalah keistimewaan laki-laki yang sangat menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan. Di sisi lain keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai kepada laki-laki serta potensi besar dalam mendidik dan membesarkan anaka-anaknya.86 Artinya secara tidak langsung penjelasan ayat ini bermuara pada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa sesuatu diciptakan berdasarkan fungsinya masing-masing87

Demikianlah pandangan para mufassir dari empat zaman (ath-Thabari, arRazi, Muhammad Abduh dan Quraish Shihab). Mereka sepakat bahwa laki-laki memang mempunyai kelebihan atas perempuan tapi mereka berbeda pendapat mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Penafsiran ath-Thabari dan ar-Razi tampaknya hampir sama. Mereka sama-sama berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan terletak pada akal dan fisiknya. Karena kelebihan itulah laki-laki dianggap lebih pantas menjadi

84Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar,(Bandung: Mizan, 1999),hal. 67. 85Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, hal. 68. 86M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. II, cet.VIII, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 425. 87M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. II, cet.VIII, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 425. 54

pemimpin dari pada perempuan. Kesamaan pemikiran ini mungkin karena mereka sama-sama penafsir yang ada pada periode klasik. Mereka lebih terkesan mensuperiorkan laki-laki dari pada perempuan.

Sedangkan Muhammad Abduh yang merupakan icon penafsir modern, pendapatnya mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan hampir senada dengan

Quraish Shihab. Tampaknya keduanya sepakat bahwa kelebihan laki-laki bukan keunggulan jenis kelamin melainkan keunggulan fungsional, yakni karena laki- laki membayar mahar dan memberi nafkah kepada perempuan (istri).

Fungsi sosial yang diemban laki-laki sama dengan fungsi sosial yang diembanoleh perempuan, yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik rumah tangga.

Adanyakesamaan pendapat mereka bukan sesuatu yang aneh, sebab mereka merupakanmufassir yang nota bene telah berpikir modern yang berusaha menafsirkan ayatAlquran dengan keilmuan yang sudah modern pula.

D. Perbandingan Efek Hukuman Membaca Al Qur’an Antara Siswa Laki –

Laki Dan Perempuan

Hukuman dalam pendidikan adalah cara yang ditempuh dalam proses pendidikan oleh guru terhadap siswa yang telah melampaui batas-batas tertentu dengan memberikan ancaman maupun tindakan tegas. Artinya hukuman dapat menjadi alat dalam pendidikan dengan memperhatikan faktor-faktor yang terkait dengan situasi dan kondisi guru dan siswa serta tujuan dari pada pendidikan itu sendiri.Sehingga pemahaman bahwa yang di maksud dengan hukuman

(punishment) adalah tindakan yang diberikan oleh guru terhadap siswa yang telah 55

melakukan kesalahan, dengan tujuan agar siswa tidak akan mengulanginya lagi dan akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.

Terkait dengan konsepsi hukuman dalam pendidikan, perlu dijelaskan pengertian tentang hukuman dalam pendidikan, bahwa selain hukuman dalam pendidikan terdapat beberapa istilah lain yang mempunyai kaitan serta arti dan makna yang sama dengan hukuman. Beberapa istilah tersebut antara lain punishment, ancaman, sanksi dan tarhīb. Diluar keempat istilah tersebut mungkin masih ada istilah lain yang memiliki kesamaan maksud dengan hukuman, hal itu lumrah digunakan khususnya di dunia pendidikan Islam. Sedangkan yang paling digunakan dari sekian istilah tersebut adalah hukuman dan punishment.

Abu Hasan al-Qabisyi al-Qaeruwany menambahkan agar hukuman pukulan tidak lebih dari 10 kali dan sebaiknya 3 kali saja.88 Begitu juga Ibnu

Sachnun menyarankan agar jangan mamukul kepala atau muka anak, karena membahayakan kesehatan otak dan merusak mata atau berbekas buruk pada muka

(wajah), sebaiknya pukulan hukuman diberikan pada kedua kakinya, karena kaki lebih aman dan lebih tahan untuk pukulan.89Serta hukuman hendaknya diberikan secara individual khusus pada anak yang berbuat kesalahan atau pelanggaran.90

Adapun jenis hukuman secara umum di dalam Islam terdiri dari al-Hudūd, al-Qiṣaṣ, al-Diyah, al-Kaffārahdan al-Ta’zir.Masing-masing jenis hukuman tersebut dikenakan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan menurut hukum Islam (fiqh).Pembahasan tentang sangat banyak dijelaskan di dalam buku- buku fiqh Islam.

88H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 159. 89H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 159. 90H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 160. 56

Dengan demikian, hukuman dalam pendidikan dapat digolongkan ke dalam jenis hukuman ta’zir, karena di dalam pelaksaan hukuman dalam pendidikan tidak ditentukan kuantitas hukumannya oleh syari’at Islam, namun tentunya tidak akan melebihi kadar serta keadaan si terhukum.

Pada dasarnya hukuman dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu: a. hukuman preventif adalah hukuman yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Contoh: perintah, pengawasan, larangan, dan ancaman. b. Hukuman represif adalah hukuman yang dilakukan karena adanya pelanggaran. Jadi hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan.91

Dari berbagai keterangan dapat dijabarkan lagi terkait bentuk-bentuk hukuman dalam pendidikan diantaranya: a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak. b.

Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan anak dengan bijaksana dan bila para guru atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suaranya. c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan memperingatkan lewat isyarat. d.Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.

Keberadaan dan fungsi hukuman di dalam pendidikan tidak hanya menurut kalangan pendidik Islam, tetapi menurut para ahli pendidikan Barat pun

91Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teori dan Praktis,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 189. 57

punishment tetap diperlukan di dalam pendidikan karena dapat berfungsi sebagai reinforcement.

Pembelajaran adalah suatu proses belajar-mengajar yang direncanakan sebelumnya dan diarahkan untuk mencapai tujuan melalui bimbingan, latihan dan mendidik. Pembelajaran Al-Qur'an adalah proses perubahan tingkah laku siswa melalui proses belajar yang berdasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an dimana dalam

Al-Qur’an tersebut terdapat berbagai peraturan yang mencakup seluruh kehidupan manusia yaitu meliputi Ibadah dan Muamalah. Ibadah adalah perbuatan yang berhubungan dengan Allah dan muamalah adalah perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah meliputi tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan. Sehingga dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan lain yang dapat dicapai dengan pembelajaran Al Qur’an dengan metode iqro’ adalah mampu menghafal surat-surat pendek Al Qur’an, ayat-ayat pilihan serta do’a dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dengan metode iqro’ dalam pembelajaran Al Qur’an banyak sekali faedah dan kegunaannya yang berhubungan dengan ibadah yang dilaksanakan sehari-hari. Selain itu metode tersebut juga melatih agar terampil dalam menulis huruf-huruf hijaiyah.

Di sisi lain siswa laki-laki dan perempuan memiliki kondisi psikologis yang berbeda.Kondisi psikologis yang secara aktif sangat berpengaruh pada cara memahami,berbuat, dan merespon sesuatu. Perbedaan tersebut membuat masing- masingmenjadi jelas dan sepertinya tidak akan mungkin bisa bersandar pada dunia yangsama, cara berfikir yang sama. Inilah kodrat manusia. Selain perbedaan yangmencolok secara fisik, tentu banyak perbedaan lainnya secara lahiriah. 58

Menurut Buddulph dan Biddulph ada yang istimewa dan berharga dalam diri anak laki-laki setiap orangtua punya anak laki-laki dan perempuan tentu bisa melihat perbedaan pembawaan di antara keduanya. Anak laki-laki punya sifat loyal, mampu menahan diri saat berhadapan dengan sesuatu yang menyenangkan, dan memiliki rasa keadilan yang kuat. Mereka suka humor, optimis, dan senang berada di posisi paling depan.

Kaum laki-laki lebih banyak menggunakan pikirannya, laki-laki senantiasa memegang inisiatif, sifatnya progresif dan hampir memberikan stimulus.

Sehubungan dengan ini laki-laki senantiasa berusaha agar dunianya bisa dijadikan area kerja. Segenap keberadaan dirinya dilibatkan pada proyek-proyek tertentu dan pada material dari pekerjaanya. Biddulph dan Biddulph menyebutkan orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan bersyarat biasanya sangat cermat serta kaku, menerapkan standar yang sangat tinggi bagi dirinya sendiri dan bagi semua orang yang berada bersamanya. Anak perempuan yang menerima asukan ini akan merasakan dirinya selalu kurang, merasa tak pernah bisa memenuhi apa yang dituntut dari dirinya karena siapapun tak akan pernah sempurna.

Menurut Buddulph dan Biddulph ada yang istimewa dan berharga dalam diri anak laki-laki setiap orangtua punya anak laki-laki dan perempuan tentu bisa melihat perbedaan pembawaan di antara keduanya. Anak laki-laki punya sifat loyal, mampu menahan diri saat berhadapan dengan sesuatu yang menyenangkan, dan memiliki rasa keadilan yang kuat. Mereka suka humor, optimis, dan senang berada di posisi paling depan. 59

Kaum laki-laki lebih banyak menggunakan pikirannya, laki-laki senantiasa memegang inisiatif, sifatnya progresif dan hampir memberikan stimulus.

Sehubungan dengan ini laki-laki senantiasa berusaha agar dunianya bisa dijadikan area kerja. Segenap keberadaan dirinya dilibatkan pada proyek-proyek tertentu dan pada material dari pekerjaanya. Biddulph dan Biddulph menyebutkan orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan bersyarat biasanya sangat cermat serta kaku, menerapkan standar yang sangat tinggi bagi dirinya sendiri dan bagi semua orang yang berada bersamanya. Anak perempuan yang menerima masukan ini akan merasakan dirinya selalu kurang, merasa tak pernah bisa memenuhi apa yang dituntut dari dirinya karena siapapun tidak akan pernah sempurna.