PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

i

IMAJI (KOLONIAL) ATAS PEREMPUAN PRIBUMI: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto, 1850-1912

Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelas Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma

Oleh: Dyah Indrawati 156322012

Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

KATA PENGANTAR

Tesis ini bermula dari aktivitas saya yang sering menjumpai dan menggunakan arsip-arsip, termasuk arsip kolonial, dalam penulisan di bidang sejarah. Foto adalah salah satunya. Perjalanan menuju ke penulisan tesis ini melalui banyak “onak dan duri” tapi bagaimana pun setelah mendapatkan buku- buku referensi dan pemilihan fokus atas karya foto yang diteliti, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Tentu tanpa bimbingan dan kesabaran Mbak Katrin Bandel, saya tidak yakin bisa merampungkan tesis ini—“saya mengucapkan banyak terima kasih, Mbak!” Bukan hanya itu, proses pembelajaran di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma—sebagai almamater saya sebelumnya di Ilmu Sejarah—awalnya tanpa perhitungan yang cermat hingga di tengah jalan saya kehabisan “amunisi”. Perjalanan itu tidak mungkin berlanjut tanpa “infus” dari orang-orang baik yang saya jumpai—seorang donatur beasiswa anonim dari Jakarta (terima kasih); pekerjaan-pekerjaan di antara masa studi berkat kebaikan hati Romo G. Budi Subanar (terima kasih), Romo Baskara T. Wardaya (terima kasih) dan pilihan untuk kembali ‘melanglang’ di tengah tagihan tesis yang belum kunjung usai—Mas Dedy (terima kasih). Pengetahuan dari para Guru: Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, SJ., Dr. Albertus Budi Susanto, SJ., Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ., Dr. Katrin Bandel, Dr. Tri Subagya, M.A., Ph.D., Dr. Yustina Devi Ardhiani, Prof. Dr. A. Supratiknya, Dr. phil. Vissia Ita Yulianto, kesemuanya saya ucapkan terima kasih. Tentu ruang dan IRB tidak akan indah tanpa Mbak Desy, Mbak Dhita, Mas Mul yang melahirkan kehangatan. Juga Angkatan 2015—saya yang terakhir ya jadi jangan ada “cemburu” di antara kita! Dukungan terbesar dalam hidup saya adalah keluarga besar saya: Bapak Moelyono, Edy Susilo, Yeni Puspitasari, Ibu Suyati almr. (kalian adalah berkah terbesar yang aku miliki dalam kehidupan ini: terima kasih telah mencintaiku dan menjagaku!). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii

Saya berharap penelitian ini dapat memberi secercah arti dalam bidang sejarah dan fotografi. Saya sadar bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan.

Yogyakarta, 24 Juli 2020 Dyah Indrawati

d PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

viii

ABSTRAK

Fotografi pada masa kolonial merepresentasikan perempuan pribumi dalam berbagai citra. Arsip-arsip foto perempuan dari masa kolonial menyimpan citra yang dibangun oleh para operator pada masa kolonial, termasuk perempuan Jawa dan Bali yang menjadi fokus di sini. Arsip seringkali dipandang menyimpan kebenaran atas suatu peristiwa di masa lalu. Hingga hari ini sebagian besar orang menilai foto-foto perempuan pribumi dalam arsip kolonial dianggap sebagai kebenaran. Fenomena itu cukup mengganggu dan menggelisahkan saya. Kenyataannya, sebuah foto tidak bisa dilepaskan dari operator yang mengoperasikan kamera dengan segala kuasanya. Pada awal masuknya teknologi fotografi di Hindia Belanda, hanya orang- orang Eropa yang bisa mengoperasikan kamera. Melalui kamera pemerintah kolonial Belanda dapat melihat lebih dekat tanah koloninya. Kamera dan foto menjadi alat legitimasi baru sebagai bagian dari aparatus kolonialisme. Penelitian ini mengemukakan tiga rumusan masalah (1) bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali); (2) bagaimana imaji/ citra yang diproduksi tersebut berhasil mengkonstruksi tubuh perempuan hingga dipahami sebagai sesuatu yang bersifat natural; dan (3) Bagaimana relasi kuasa kolonial mempengaruhi performativitas gender dalam foto? Ada tiga operator yang 10 karya fotonya digunakan dalam analisis ini, yaitu Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, dan “Woodbury & Page”. Di tangan operator bermain kode-kode kultural yang ditempatkan secara sadar guna membentuk konotasi yang dapat dengan mudah dipahami oleh spectator Barat. Melalui studium dan punctum dalam “Camera Lucida” Roland Barthes, gagasan pada foto diuraikan. Makna fotografis diungkapkan. Yang dijumpai tentu serangkaian wacana Orientalisme yang “dilekatkan” pada foto-foto perempuan pribumi. Melalui teori performativitas gender karya Judith Butler yang saya peroleh dari kajian Reina Lewis tentang Rethinking Orientalisme, saya memahami ada ketimpangan relasi kuasa dalam kaitan antara operator dan subjek dalam foto. Operator membentuk citra perempuan pribumi lebih pada apa yang diimajikan operator atas subjek, bukan bagaimana subjek “ingin tampil” seperti apa dan sebagai siapa. Subjek hanya “perform” sesuai arahan operator. Ia mem-“perform”-kan subjek yang bukan diri mereka hingga performativitas yang dihadirkan adalah performativitas yang “direkayasa”. Namun melalui teori ambivalensi Homi K. Bhabha dapat diketahui bahwa sesungguhnya baik dari pihak “colonizer” maupun “colonized”, pada masing-masing subjek terjadi tarik menarik sikap yang memunculkan kemampuan mimikri dan hibrid, termasuk dalam mem-“perform”-kan citra subjek sesuai dengan identitas yang hendak dibentuk oleh operator.

Kata Kunci: Fotografi, imaji kolonial, perempuan, Orientalisme, performativitas gender PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix

ABSTRACT

Photography in the colonial era represented indigenous women in various images. Women’s photo archives from the colonial era preserve images which built by operators in the colonial period, including Javanese and Balinese women whose are our focus in here. Archives are often considered to keeping the truth of an event in the past. Today most people seen the photographs of indigenous women in the colonial archives to be regarded as the truth. This phenomenon is quite disturbing and unsettling me. In fact, a photo cannot be released from the operator who operates the camera with all his power. At the beginning of the coming of photography technology in the , only Europeans could operate the cameras. Through the camera the Dutch colonial government can get a look at the land of its colonies closer. Cameras and photos became new tools of legitimacy as part of the colonialism apparatus. This study presents three problems: (1) how photographers during the colonial period (1850-1912) presented the bodies of indigenous women (Javanese and Balinese); (2) how the image produced constructs a woman’s body successfully to be understood as something that is natural; and (3) How does the relations of colonially power affect gender performative in the photographs? There are three operators whose 10 photographic works are used in this analysis, namely Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, and “Woodbury & Page”. Operator playing cultural codes consciously to form connotations that can be easily understood by Western spectators. Through the “studium” and “punctum” of Roland Barthes in “Camera Lucida”, the ideas in the photo are elaborated. The meaning of photography is expressed. What I found is of course a series of discourses of Orientalisme which are “attached” to photograph of indigenous women. Through the theory of gender performative by Judith Butler that I obtained from Reina Lewis's research in “Rethinking Orientalisme”, I understood that there was an imbalance of power relations in between operators and subjects in the photos. Operators form the image of indigenous women more on what his believe on the subject, not on how the subject “wants to appear” as what and as who she is. Subjects only “perform” according to the direction of the operator. They “performs” subjects that are not themselves until the performative presented it is a “engineered” performativity. However, through the theory of Homi K. Bhabha's ambivalence it could be seeing that in fact both from the "colonizer" and "colonized", in each subject there is a tug of war that raises the abilities of mimicry and hybrid, including in "performing" the image of the subject by accordance with the identity to formed by the operator.

Keywords: Photography, colonial images, women, Orientalism, gender performative PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...... v KATA PENGANTAR ...... vi ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix DAFTAR ISI ...... x DAFTAR ILUSTRASI ...... xii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Tema ...... 11 C. Rumusan Masalah ...... 11 D. Tujuan Penelitian ...... 11 E. Manfaat Penelitian ...... 11 F. Kajian Pustaka ...... 12 G. Kerangka Teori ...... 16 1. Teori “Orientalisme” Edward W. Said ...... 17 2. Teori “Male Gaze” ...... 18 3. Teori “Camera Lucida” Roland Barthes ...... 19 4. Teori “Performative Gender” Judith Butler dalam Reina Lewis “Rethinking Orientalisme” ...... 22 5. Teori“Ambivalensi” Homi K. Bhabha ...... 25 H. Metode Penelitian ...... 26 1. Sumber Data ...... 26 2. Seleksi Foto ...... 26 3. Kategorisasi dan Analisis ...... 27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi

I. Sistematika Penulisan ...... 28 BAB II FOTOGRAFI DI JAWA DAN BALI KURUN 1850-1912 ...... 30 A. Ketika Daguerreotype Tiba di Hindia Belanda ...... 30 B. Kisah Tiga Fotografer ...... 36 1. Kassian Cephas (1845-1912) ...... 36 2. Isidore van Kindsbergen (1821-1905) ...... 39 3. “Woodbury & Page” ...... 40 C. Jejaring: dari Lembaga Pemerintah ke Studio Foto, Kartu Pos, hingga Ruang- ruang Pameran ...... 42 D. Rangkuman ...... 47 BAB III MENGUNGKAP MAKNA DALAM ARSIP FOTO ...... 49 A. Fotografi Orientalis dan Male Gaze ...... 49 B. Wacana Orientalisme dalam Foto Perempuan Pribumi ...... 50 1. Erotisme Perempuan Pribumi ...... 51 2. Eksotisme Perempuan Pribumi ...... 61 3. Figur yang Terdomestikasi ...... 65 4. “Liyan”, Sisi Lain Potret Perempuan Pribumi ...... 72 C. Rangkuman ...... 73 BAB IV PERFORMATIVITAS GENDER DAN AMBIVALENSI WACANA KOLONIAL ...... 76 A. Mengurai Kode-kode Kultural dalam Arsip Foto Perempuan Pribumi ...... 76 B. Performativitas Gender dalam Arsip Foto ...... 96 C. Ambivalensi Wacana Kolonial ...... 102 D. Rangkuman ...... 110 BAB V PENUTUP ...... 111 A. Kesimpulan ...... 111 B. Rekomendasi ...... 115 DAFTAR PUSTAKA ...... 116 LAMPIRAN ...... 119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

DAFTAR ILUSTRASI

Gambar 1. Women in Traditional Javanese dress ...... 3 Gambar 2. Het Meisje met de Parel atau “Girl with a Pearl Earring” ...... 4 Gambar 3. “Demi Mondaine”: Perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa ...... 50 Gambar 4. Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen ...... 53 Gambar 5. Iloeh Sari, budak raja Buleleng, Bali ...... 56 Gambar 6. Dua budak Raja Buleleng: I Luh Sari dan I Mriyakti ...... 57 Gambar 7. Foto studio gadis Jawa duduk di atas dedaunan, jerami, dan batang pohon ...... 62 Gambar 8. Foto studio gadis Jawa dengan latar kanvas berlukiskan bunga dan pohon ...... 63 Gambar 9. Tiga Putri dari Hamengku Buwana VI ...... 65 Gambar 10. Dua istri Raja Buleleng, Singaraja: Djero Trena dan I Djampiring ...... 67 Gambar 11. Gusti Kangjeng Ratu Hemas, permaisuri Sultan Hamengku Buwana VII sejak 1883 ...... 69 Gambar 12. Albert John Leonard Woodbury dengan baboe-nya ...... 71 Gambar 13. “Odalisque” karya Edouard Manet ca. 1862-1866 ...... 81 Gambar 14. Visualisasi perempuan Jawa dalam “Serat Damar Wulan” yang dibuat orang Jawa ...... 108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Abad ke-19 adalah zaman kolonisasi dan imperialisme yang diiringi dengan temuan berbagai teknologi modern. Fotografi adalah salah satunya. Perkembangan teknologi memungkinkan negeri-negeri koloni yang jauh dapat dihadirkan dalam beragam gambar. Dalam fotografi Orientalis, salah satu tema yang paling sering dihadirkan adalah perempuan pribumi. Gambaran visual tentang perempuan pribumi seolah-olah sebagai representasi netral atau apa adanya namun sebenarnya perempuan-perempuan itu dipandang secara rasis. Mereka ditatap sebagai “the Orient” yang identik dengan penggoda, liar, terbelakang atau bahkan dipandang sebagai “liyan”. Begitu pun tanah jajahan yang merupakan Timur secara geografis yang dimetaforakan sebagai perempuan. Untuk itu, fotografi dari masa kolonial yang menggambarkan gagasan-gagasan semacam itu layak dibicarakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Edward Said bahwa Timur yang tampak dalam Orientalisme tak lain merupakan sejenis sistem representasi yang dirangkai oleh seluruh kekuatan yang membawa Timur itu sendiri ke dalam keilmuan Barat, kesadaran Barat, dan kemudian, keimperiuman Barat.1 Gagasan itu dipertegas Said dengan mengemukakan bahwa Orientalisme tak lain adalah produk-produk dari kekuatan-kekuatan dan kegiatan-kegiatan politis tertentu. Fotografi menjadi salah satu produk Orientalisme yang mengimajikan Timur dan peradabannya, orang-orangnya, lokalitasnya sebagai objek dengan kesan tertentu dan berhasil menghadirkan detail yang memikat saban orang yang melihatnya. Kehadiran produk fotografi di Hindia Belanda pada awalnya “dikontrol” dalam berbagai bentuk, seperti: melalui serangkaian penelitian peradaban eksotik, dokumen antropologi, pelengkap kajian etnografi hingga bergerak ke arah turisme, konsumerisme, dan sebagainya.

1 Edward W. Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek, hlm. 311 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

Hal tersebut menciptakan relasi antara “Timur” dan “Barat”, antara penjajah dan yang terjajah, tidak seimbang. Hasil penelitian Sarah Graham-Brown terkait fotografi Orientalis di wilayah Timur Tengah pada masa kolonial mengungkapkan bahwa yang mendasari semua tema itu adalah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara penjajah dan yang terjajah.2 “Timur” direpresentasikan dan dijadikan subjek yang menyokong superioritas identitas “Barat”. Yang terjajah seringkali dilihat oleh penjajah sebagai subjek yang lemah atau inferior. Fotografi Orientalis seolah melengkapi gambaran keilmuan, laporan- laporan dan cerita-cerita yang telah disusun oleh “Barat”. Sistem representasi memperkuat Orientalisme sebagai aparatus kebudayaan dan mempersembahkan “Timur yang diciptakan untuk Barat.”3 Arsip foto kolonial menyimpan banyak representasi atas sejumlah perempuan pribumi. Gagasan penelitian ini salah satunya dipantik oleh sebuah kejadian viral di media sosial. Dea, seorang aktivis dan feminis, pada sekitar awal tahun 2016 mengunggah 22 foto perempuan pribumi di laman Facebook. Akun yang ia buat langsung booming namun kemudian dilarang tayang oleh Facebook. Bukan hanya itu, akun Dea dihapus. “22 Pictures of The Real Culture of Indonesian Women”, demikian foto-foto itu diberi label, mengandung apa yang menurut Facebook ketelanjangan dalam taraf ringan sehingga dianggap tidak pantas tayang. Foto-foto tersebut dipahami sebagai representasi realitas kehidupan perempuan pribumi dari masa lalu. Tidak sebatas itu, foto-foto perempuan Bali misalnya, seringkali diasumsikan sebagai potret kebebasan perempuan di masa lalu yang paling sering dibandingkan dengan kebebasan perempuan di masa kini. Bukan itu saja, foto-foto perempuan pribumi dari masa kolonial juga kerap menghiasi sampul buku, misalnya dalam buku “Bila Perempuan Tidak Ada Dokter”, “Sejarah Perempuan ”, “Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh”, dan sebagainya, yang dihadirkan sekadar visual.

2 Sarah Graham-Brown. Images of Women: The Portrayal of Women in Photography of the Middle East 1860-1950, hlm. 4 3 Edward W. Said. Op.Cit, hlm. 314 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

Gambar 1. Women in Traditional Javanese dress, ca. 19344

Kasus Dea pada mulanya belum “mengganggu” saya. Foto 1. di atas adalah satu di antara 22 foto yang ditayangkan. Sebagai spectator kesan yang saya dapat, betapa eloknya gambaran perempuan Jawa dengan punggung setengah terbuka berdandan ayu, terkesan anggun dan natural. Namun semakin saya amati, ada rasa bahwa pose5-nya itu tidak biasa. Pada foto, ia terlihat berkacak pinggang, duduk dengan membelakangi kamera sambil memperlihatkan separuh wajahnya yang seakan-akan hendak berpaling. Ia mengenakan kain jarik tulis denganan giwang yang menyolok, merias wajah dan bersanggul rapi. Dari sorot matanya, saya menangkap sekilas ia sadar akan kehadiran operator. Asumsi saya, ia adalah seorang model. Foto itu hasil karya fotografer P.N. de Leeuw yang dibuat ca. 1928-1932.

4 Diunduh dari https://www.wowshack.com/the-real-culture-of-indonesian-woman- historical-pictures-facebook-didnt-want-you-to-see/ 5 Pose adalah hasil penangkapan dari proyeksi imobilitas foto pada tembakan terakhir, dalam Roland Barthes. Camera Lucida: Reflections On Photography, hlm. 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

Gambar 2. Het Meisje met de Parel atau “Girl with a Pearl Earring”6 karya Johannes Vermeer, koleksi Museum Maurithuis

Pose perempuan Jawa itu mengingatkan saya pada lukisan Het Meisje met de Parel (“Girl with a Pearl Earring”)7 karya Johannes Vermeeer yang dibuat pelukisnya sekitar tahun 1665—karya monumental dari periode Barok, Masa Keemasan dalam seni rupa Belanda. “Girl with a Pearl Earring” ini lebih sering disebut dengan Mona Lisa Belanda. Pose pada foto dengan di lukisan tidak sama persis memang, tetapi giwang yang dikenakan model di foto terasa paling menarik mata, seperti halnya anting mutiara yang dipakai sosok si gadis dalam lukisan. Pose dalam lukisan itu, rasa-rasanya pun mirip, hingga saya merasa bahwa apa yang saya lihat seperti diturunkan dari seni rupa ke seni fotografi. Menurut Roger Benjamin, seni lukis dan fotografi adalah impor kolonial, yang praktiknya penting untuk mewakili yang dijajah dan karenanya membawa mereka ke ruang lingkup orang Eropa.8 Termasuk perkara selera. Produk impor itu lantas digunakan untuk membentuk persepsi masyarakat terjajah dan yang digarisbawahi oleh Benjamin sebagai prejudices informing the typical Orientalist

6 Diunduh dari https://www.mauritshuis.nl/en/explore/the-collection/artworks/girl-with- a-pearl-earring-670/ 7 Lukisan tersebut saat ini menjadi koleksi Museum Maurithuis di Den Haag 8 “The arts of painting and photography were colonial imports, whose practice was central to representing the colonized and hence bringing them into the purview of Europeans” dalam Roger Benjamin. Orientalist Aesthetics: Art, Colonialism, and French North Africa, 1880-1930, hlm. 221 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

picture9, atau menjadi semacam prasangka yang menginformasikan tentang bagaimana gambaran khas Orientalis. Gagasan itu dipertegas oleh Ali Behdad terkait pandangannya atas fotografi Orientalis dalam Camera Orientalist: Reflections on Photography of the Middle East sebagai berikut:

“An Orientalist photograph is an imaginary construct, through always historically and aesthetically contingent; it is marked by iconic fractures and ideological fissures yet is nonetheless regulated by a visual regime that naturalizes its particular mode of representation.10”

Fotografi Orientalis adalah bentuk konstruksi imajiner yang secara historis dan estetis, ditandai dengan potongan-potongan ikonik dan celah ideologis yang diatur sedemikian rupa oleh rezim visual, yakni operator, yang menaturalisasikan dengan serangkaian mode representasi khusus. Hasil dari konstruksi imajiner itu akan menampakkan hasil yang tampak natural, alami, seolah begitulah adanya. Sebagaimana pose pada gambar di Gambar 1. yang tertangkap dalam sekali tatapan mata, tentu tidak akan menimbulkan kegelisahan, karena bagaimana pun mata kita telah terbiasa melihat pose-pose sejenis, terlebih dalam perkembangan fotografi modern pose itu masih sering dipertahankan. Namun mengingat bahwa foto adalah produk yang berbasis waktu, maka nalar saya mempertanyakan, apakah pose semacam itu pada waktu itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi perempuan Jawa? Satu hal yang menarik, gagasan yang setidaknya bisa saya contoh adalah ulasan yang cukup mendetail dari Adrian Vickers dalam paparannya yang menjelaskan pose “The Dancing Girl”11, foto yang dipotret oleh Thilly Weissenborn. Foto Thilly Weissenborn terkait gadis penari Bali, menurut Vickers menunjukkan bagian Bali yang misterius. Ia bak memberi iming-iming spectator agar datang ke Bali. Tangan gadis itu seolah mengisyaratkan kita untuk ke sana, tapi pada saat yang bersamaan si gadis tidak melihat langsung ke arah kamera. Ia tampak indah, sekaligus rumit. Ia mengenakan kostum penari dan tidak topless,

9 Roger Benjamin. Op.Cit, hlm. 221 10 Ali Behdad. Camera Orientalis: Reflections on Photography of the Middle East, hlm. 17-18 11 Adrian Vickers. Bali: A Paradise Created, hlm. 139-141 (foto terlampir) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

sebagaimana gambaran umum potret perempuan Bali yang dipresentasikan secara terus menerus ke publik “Barat”. Pose gadis itu pun tidak biasa. Gadis-gadis Bali tidak duduk bersila. Tapi ia bersila. Apakah ia bersila atas inisiatif sendiri atau Weissenborn mengatur posenya untuk tampil seperti itu? Meski terasa ganjil, foto sejenis itu menjadi foto yang cukup sering direproduksi untuk pamflet wisata Bali di kemudian hari. Fokus tulisan ini berupaya mengetahui imaji apa yang dilekatkan oleh operator atau fotografer atas perempuan pribumi, khususnya Jawa dan Bali, dalam arsip foto yang diproduksi pada era 1850-1912. Pertanyaannya kemudian, mengapa penelitian ini membatasi diri pada potret perempuan Jawa dan Bali, sementara persentuhan wilayah di Nusantara dengan kolonialisme nyaris meliputi seluruh kepulauannya? Bukankah sudah banyak foto perempuan di pelosok lain dari wilayah di Nusantara yang telah dibuat oleh para operator? Sebagai sebuah bangsa, Indonesia lahir dari gagasan yang “dibayangkan” pada awal abad ke-20 mengacu pada pandangan Imagined Community12, Benedict Anderson. Komunitas terbayang tercipta berkat “kapitalisme percetakan” (print- capitalism): mulai dari penerbitan koran, buku-buku, dan perkembangan pasar berhasil mempercepat laju komunitas yang dibayangkan ini hingga nasionalisme muncul sebagai fenomena atas kolonialisme. Sebelum fenomena nasionalisme mengemuka, Jawa dan Bali sebagai sebuah wilayah dengan sistem pemerintahan berbasis kraton, telah mewakili perjumpaan dengan kolonialisme dalam rentang waktu yang cukup panjang. Perjumpaan itu jelas telah berebut ruang secara kultural untuk kemudian melahirkan wacana-wacana baru melalui beragam produk budaya. Jawa terhitung telah bersinggungan dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak era Panembahan Senapati Ingalaga (ca. 1584-1601) dengan kedatangan Rijklof van Goens, duta VOC yang mengunjungi Mataram, pada pertengahan abad ke-17.13 Orang Belanda sendiri tiba di Jawa pada akhir abad ke-16. Hubungan yang terjalin pada waktu itu lebih berelasi pada kontrak- kontrak dagang dan perijinan antara Kongsi Dagang dari Belanda itu dengan

12 Benedict Anderson. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, hlm. 127 13 M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern, hlm. 61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

Mataram. Hingga pada tahun 1625, muncul suatu kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia.14 Mataram yang awalnya melakukan penaklukan atas beberapa kerajaan di Jawa mulai beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram menyerang Batavia dua kali, yakni pada tahun 1625 dan 1629. Pada serangan kedua, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterszoon Coen meninggal karena kolera— akibat taktik perang Mataram yang mengusung siasat wabah. Kedua serangan itu tidak berhasil mematahkan kekuatan VOC di Batavia hingga kemudian yang terjalin adalah hubungan dagang antara Mataram dan VOC. Fase selanjutnya, VOC lebih agresif melihat kekuatan Jawa yang tidak begitu saja bisa diremehkan. Mereka mulai mengembangkan kekuatan militer. Kondisi politik Jawa pada masa Amangkurat I (ca. 1646-1677) yang otoriter dan banyak pembantaian atas rakyatnya sendiri menyebabkan munculnya pemberontakan atas kekuasaanya sebagai penguasa Jawa. Ia sampai melarikan diri ke Tegal Wangi. Berkat kerja sama dengan VOC, tampuk kekuasaannya bisa dikembalikan kepada anaknya. Sejak saat itu, VOC seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kraton-kraton di Jawa hingga masa-masa berikutnya. Perjumpaan yang cukup lama dengan kolonialisme berwajah kongsi dagang itu menampilkan Jawa sebagai wilayah yang memiliki historisitas panjang dengan Eropa. Demikian kiranya mengapa kemudian Jawa dengan peradabannya yang panjang dan memiliki nilai—salah satunya dilabeli Javanese antiquarian— menjadi representasi Hindia Belanda di Eropa. Pada tahun 1799, VOC sebagai perusahaan dagang berhenti beroperasi karena bangkrut dan digantikan dengan kolonialisme resmi Belanda atas Hindia Belanda. Berbeda halnya dengan Bali. Pulau di seberang Jawa ini pada awal perjumpaan dengan Belanda sebagai pemberontak. Bali bahkan memiliki sejarah sebagai pemasok prajurit-prajurit Belanda telah menghadapi prajurit-prajurit Bali di Jawa pada abad ke-18 dan juga menjadi pembeli utama budak-budak Bali, yang banyak di antaranya bertugas dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial.15 Bali sebagai wilayah yang dekat dengan Jawa memiliki posisi unik. Mereka sering melakukan perampokan dan perampasan kapal-kapal kolonial Belanda dan itu membuat geram. Pada akhir tahun 1840 ada dua faktor yang meyakinkan pihak

14 M.C. Ricklefs. Op.Cit, hlm. 67 15 Ibid, hlm. 202 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

Belanda bahwa Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka (kolonial), yaitu perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal-kapal yang terdampar dan adanya kemungkinan kekuatan Eropa lainnya akan menguasai Bali.16 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan duta Belanda kepada raja-raja Bali guna membuat perjanjian. Namun ketegangan masih terus terjadi setelah itu hingga puncaknya adalah aksi puputan—tindakan menyongsong kematian dalam pertempuran yang terakhir—dari raja-raja Bali beserta keluarga dan pengikutnya. Bali yang pemberontak perlahan diubah citranya oleh Belanda sebagai pulau eksotis. Dua wilayah tersebut jelas memiliki ruang geo-politik yang berbeda dan menjadi daya tarik tersendiri sehingga imaji kolonial tentang perempuannya pun ditampilkan secara berbeda. Kedua wilayah itu dalam masa kemunculan daguerreotype telah dikunjungi oleh para fotografer yang “mengabadikan” manusia dan budayanya, termasuk para perempuannya. Melalui tulisan ini saya hendak merunut pemahaman tentang bagaimana sebuah wacana Orientalisme bekerja melalui produk budaya seperti foto. Gagasan ini mengambil pijakan penelitian sejenis dari wilayah di Timur Tengah sebagai karya-karya pendahulu. Dalam konteks Timur Tengah, perjumpaan kolonialisme dan teknologi fotografi menandai perkembangan Orientalisme visual modern. Ali Behdad dalam “Camera Orientalis” mengemukakan bahwa asal fotografi adalah “the Orient” atau “Timur”17. Pandangan Ali Behdad tersebut dikemukakannya untuk memberi perhatian lebih atas sentralitas Timur Tengah sebagai “the Orient”. Namun “the Orient” atau “Timur” yang disebut Behdad adalah “Timur” yang memainkan peran penting bukan semata dalam pengembangan teknologi fotografi, tetapi juga sebagai objek penting dalam imajinasi fotografi Orientalisme. Di sini dapat dipahami “Timur” yang dimaksud Behdad adalah objek sekaligus subjek. Kajian atas pandangan Orientalisme fotografi di Hindia Belanda memang tidak sekaya hasil penelitian sejenis di Timur Tengah. Teknologi yang dipatenkan atas nama Jean Louis Daguerre, seorang Prancis, yang mendapatkan haknya pada Agustus 1839, kemudian dikenal luas dengan daguerreotype akhirnya memasuki

16 M.C. Ricklefs. Op.Cit, hlm. 203 17 “At the Origin of photography is ‘the Orient’,” dalam Introduction, Ali Behdad. Camera Orientalis, hlm. 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

wilayah Hindia Belanda. Isidore van Kindsbergen adalah salah satu “pioner” fotografi di Hindia Belanda yang meletakkan jejak karya fotografis yang berhasil mendokumentasikan Hindia Belanda dalam kaitannya dengan bidang antropologi, antiquarian, etnografi, budaya dan sebagainya. Mengapa arsip fotografi pada masa kolonial dipandang penting untuk diselidiki kembali? Meminjam gagasan Walter Benjamin, “Dalam fotografi, proses reproduksi dapat memunculkan aspek-aspek asli yang tidak dapat dicapai ke mata telanjang namun dapat diakses oleh lensa, yang dapat disesuaikan dan memilih sudutnya sesuka hati. Reproduksi foto, dengan bantuan proses-proses tertentu, seperti argumentasi atau gerak lamban, dapat menangkap gambar yang luput dari penglihatan alami.”18 Artinya, foto dapat dipandang memiliki kemampuan membuat salinan dari yang “asli” bahkan ke dalam bentuk dan situasi di luar jangkauan dari yang “asli” itu sendiri. Sebelum itu, arsip visual lebih banyak dibuat dalam bentuk sketsa, lukisan atau litografi. Kedatangan teknologi fotografi mengubah wajah arsip kemudian. Foto mampu menyajikan detail meski pada awal kehadirannya hanya menyajikan warna hitam dan putih. Foto-foto perempuan pribumi dari masa kolonial adalah salah satu yang “memukau” dan “mengikat” mata saya. Saya bisa berlama-lama memperhatikannya. Sebagai spectator pengamatan saya tidak lagi tanpa dasar dan tanpa tanya. Ada beberapa hal yang “mengganggu” ketika saya merasai studium, seolah saya berada di satu zaman tertentu. Foto seperti memiliki kekuatan untuk membawa spectator menembus sekat waktu, sesuatu yang sepertinya ingin dibagikan oleh operator, mata fotografer yang seolah berubah sebagai lensa. Tapi rasanya bukan itu saja. Semakin diperhatikan, kadang ada foto yang semakin “mengganggu” pikiran saya. Berbekal atas asumsi dan kegelisahan itu, saya berniat mengkaji lebih mendalam karya foto dari tiga fotografer yang ketiganya pernah bekerja di Hindia Belanda. Mereka adalah: Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, dan “Woodbury & Page”—yang terakhir ini sebenarnya adalah satu merek firma studio foto yang dikelola oleh Woodbury dan Page (dua orang).

18 Walter Benjamin. Illuminations: Essays and Reflections, hlm. 220 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

Dalam foto, tubuh perempuan diartikulasikan bukan oleh perempuan itu sendiri, melainkan oleh operator. Di sini, perempuan dalam arsip foto tidak memiliki kapasitas untuk membebaskan diri. Ia tampil dan ditampilkan atas hasrat si maskulin—rerata teknologi fotografi pada masa kolonial dioperasikan oleh laki- laki. Sayangnya, di negeri bekas jajahan ini, arsip foto perempuan dari masa kolonial masih dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa dilandasi pikiran kritis bahwa foto adalah produk budaya, yang dalam hal ini produk budaya kolonial, dan sudah tentu menjadi kepanjangan tangan dari kolonialisme. Tanpa bekal pemahaman atas kode-kode visual yang ada pada sebuah foto, kita bisa saja menganggap arsip foto sebagai sebuah kebenaran hakiki hingga kemudian tidak mempersoalkan, tampak natural, dan begitulah adanya. Dengan mengamati fenomena itu, saban produk budaya (kolonial) layak untuk dikritisi supaya sebagai konsumen, kita tidak “terjebak” dalam wacana yang sama terus menerus. Mengapa? Karena beberapa arsip foto tersebut masih terus direproduksi hingga hari ini misalnya sebagai sampul buku, pelengkap arsip hingga pemanis belaka. Dengan teknologi fotografi, tanah koloni kian mudah dilihat. Reproduksi foto secara massal telah membuat visibilitas koloni meningkat secara drastis khususnya pada tahun 1900-an. Sirkulasi itu semakin berkembang melalui kartu pos bergambar, koran, majalah bergambar hingga buku panduan perjalanan. Pada era eksploitasi dan kolonisasi, imaji/ citra tanah jajahan digambarkan sebagai sosok inferior dengan gambaran “budaya asli” dan sering dianggap sebagai objek seksual yang eksotis. Gagasan tentang eksotisme sendiri memiliki dua dimensi, salah satunya ruang—daya tarik tanah dan orang-orang yang jauh; dan waktu—pencarian akan sejarah yang “lain”19. Pengalaman menjumpai perempuan dengan “rasa” (taste) pribumi, berkulit cokelat, berambut hitam dan bermata hitam adalah sebagian imaji yang ingin diabadikan setelah perjalanan yang panjang mengarungi lautan dan melampaui waktu yang lama. Imaji eksotik memberikan bayang-bayang perjumpaan nan elok nun jauh di sana—begitu kiranya tanah koloni Hindia Belanda ingin dijumpai.

19 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

B. Tema Tema penelitian ini membahas seputar “Imaji (Kolonial) atas Perempuan Pribumi: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto, 1850-1912”.

C. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, ada tiga rumusan masalah yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan penelitian, yakni: 1. Bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali)? 2. Bagaimana imaji/ citra yang diproduksi tersebut berhasil mengkonstruksi tubuh perempuan hingga dipahami sebagai sesuatu yang bersifat natural? 3. Bagaimana relasi kuasa kolonial mempengaruhi performativitas gender dalam foto?

D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis secara spesifik bagaimana tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali) diimajikan oleh para fotografer pada rentang masa 1850- 1912. 2. Melakukan analisis “teks visual” terhadap arsip foto perempuan pribumi (Jawa dan Bali) dalam masa 1850-1912 dengan teori fotografi “Camera Lucida” karya Roland Barthes, berikut analisis Reina Lewis dalam “Rethinking Orientalisme” yang berbasis pada teori performativitas gender Judith Butler. 3. Memahami identitas yang ditampilkan oleh subjek dalam arsip foto kolonial di bawah relasi kuasa operator.

E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini di antaranya: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

1. Penelitian ini menambah sumbangsih pada wacana mengenai perempuan dan fotografi yang sudah ada dalam bidang Kajian Budaya di Indonesia. 2. Penelitian ini menambah sumbangan wacana dalam Kajian Perempuan mengenai konstruksi imaji atas perempuan pribumi pada masa kolonial. 3. Penelitian ini memberikan sumbangan kritis bagi bidang Arsip dan Ilmu Sejarah, khususnya dalam pemanfaatan arsip-arsip foto kolonial sehingga peneliti bersikap lebih jeli dan kritis ketika berhadapan dengan arsip-arsip. 4. Penelitian ini bagi masyarakat secara umum berguna sebagai informasi dan media refleksi atas masa lalu perempuan pribumi.

F. Kajian Pustaka Sudah ada peneliti-peneliti pendahulu yang telah bekerja dalam bidang dan tema sejenis. Berikut adalah informasi tentang kajian bidang yang saya teliti dan menjadi bahan rujukan pembelajaran dalam penelitian saya ini. Sebagian besar kajian pustaka tersebut saya peroleh dari hasil penelitian terkait arsip-arsip foto di kawasan Timur Tengah.

1. Sarah Graham-Brown dalam buku Images of Women: The Portrayal of Women in Photography of the Middle East 1860-1950 (1988) menulis tentang sejarah fotografi di Timur Tengah. Graham-Brown menunjukkan detail foto-foto yang memotret perempuan di Timur Tengah dalam berbagai citra, “Timur eksotis”, di antara citra Orientalisme yang paling dominan yang dapat ditangkap dari foto-foto perempuan Timur Tengah: lingkup harem, burkah, terasing hingga terpenjara. Ia mengeksplorasi kajian tentang imaji/ citra perempuan Timur Tengah dalam foto pada rentang waktu tersebut dan menjumpai bagaimana stereotip dibentuk dan diabadikan dalam foto, di antaranya melalui studio foto komersial, pelancong, misionaris, dan antropolog. Foto-foto mereka banyak yang mendokumentasikan perempuan pribumi (indigenous). Poin menarik dari penelitian Graham-Brown adalah ia menekankan bagaimana melalui “Mata/ Lensa Barat”, fotografer Eropa memotret objeknya dalam stereotip tertentu. Guna kepentingan turisme dibangunlah beberapa studio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

foto yang melahirkan fantasi-fantasi atas objek yang dipotretnya, utamanya foto perempuan sebagian sebagai oleh-oleh yang dijual di pasar foto komersial di Timur Tengah. Perempuan sebagai subjek foto: kuasa dan patriarki, kuasa dan persuasi (kemampuan mempengaruhi), harem—pengasingan & pemisahan, perempuan yang tersembunyi dari dunia, perempuan dalam potret keluarga, imaji perempuan atas perkawinan, kehidupan berkeluarga, hingga potret hubungan antara ibu dan anak, sampai pada kostum (dressing the part), pekerjaan, kehidupan perempuan di muka publik, sebagai entertainment/ penghibur hingga pendidikan adalah detail yang dikupas tuntas oleh Graham-Brown. Penelitian Graham-Brown mendudukkan perempuan dalam ruang yang tidak sempit, perempuan pun hadir dalam ruang publik dan mampu menentukan nasib mereka sendiri dalam skala lebih luas dan modern, seperti peran perempuan berpendidikan, dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa meski melepaskan stereotip masa lalu tidaklah mudah. Karya Graham-Brown membuka cakrawala terkait cara melihat arsip foto sekaligus membangun cara pandang atas arsip-arsip tersebut. Tentu ini adalah gagasan yang sangat menarik untuk bisa dikerjakan dalam konteks arsip foto perempuan di Indonesia. Gagasan Graham-Brown sangat sejalan dengan penelitian ini meski dalam wilayah yang berbeda. Setidaknya karya Graham- Brown cukup menginspirasi dan memandu akan ke arah mana penelitian saya.

2. Roger Benjamin dalam bukunya yang berjudul Oriental Aesthetics: Art, Colonialism and French North Africa, 1880-1930 (2003) dengan perspektif Frantz Fanon, Edward Said dan Homi Bhabha, menguraikan wacana estetika Orientalis dengan menganalisis lukisan-lukisan orang Prancis di Afrika Utara. Benjamin juga meneliti lembaga, masyarakat hingga museum yang diasosiasasikan dengan estetika Orientalis yang dinaturalisasi dari warisan Prancis. Benjamin meneliti peran negara dalam memproduksi seni, termasuk bagaimana pameran, museum dan sekolah digunakan untuk menyebarkan ideologi kolonial melalui sarana estetika. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

Gagasan Benjamin adalah untuk mempertimbangkan kembali seni Orientalis di tangan subjek atau “the Orient” sendiri sebagai siasat untuk membebaskan mereka dari interpretasi sebagaimana yang dipakai Edward Said saat mempelajari literatur Orientalis. Namun di sini, Orientalisme bukan lagi perjalanan satu-arah, sebagaimana yang dibekukan oleh petualang Eropa dan diangkut pulang lantas dikonsumsi tanpa referensi terhadap tanggapan objektif dalam proses tersebut. Seperti halnya bahasa, Benjamin mengungkapkan bahwa lukisan atau foto bisa berbicara balik pada pihak kolonial. Pada tahun 1893, The Society for French Orientalist Painters didirikan untuk menegaskan seni estetika Orientalis yang menempatkan Orientalisme dalam sejarah lukisan di Prancis. Pelukis Orientalis pun memiliki komitmen untuk mempromosikan kesadaran akan negeri koloni. Untuk menyelenggarakan hal itu, beasiswa diberikan kepada para pematung, arsitek hingga pelukis untuk singgah selama satu tahun di Afrika Utara. Sementara lembaga seperti The National Museum of Antiquities and Muslim Art (didirikan pada tahun 1892) dan Ecole des Beaux-Arts (didirikan pada tahun 1880-an) bekerja dalam rangka mendorong produk seni tersebut agar dipamerkan di Paris. Di titik ini, Benjamin mengungkap bahwa sebuah lembaga dan seni saling terkait dalam agenda Orientalisme. Adapun metodologinya, ia berhasil mencatat adanya keterkaitan antara kepribadian kolonial, organisasi seni yang bekerja sama dalam aktivitas kolonial. Benjamin melakukan pemetaan atas patronase konstitusional, pendidikan, asosiasi pekerja profesional, pasar, hingga penonton untuk seni Orientalis, bahkan dalam brosur pariwisata. Prancis juga menjual kolonialisme. Buku Benjamin cukup mengesankan sekaligus dapat dijadikan rujukan dalam kecenderungan wacana kolonial dengan lokus yang berbeda. Meskipun karya Roger Benjamin berfokus pada penelitian seni rupa Orientalis, setidaknya itu membantu saya dalam memetakan jejaring foto di wilayah kolonial. Pemetaan jejaring fotografi ini memang bukan yang menjadi fokus utama dalam penelitian saya tetapi dengan memahami jejaring tersebut, setidaknya dapat diketahui bagaimana sebuah produk budaya dalam konteks ini foto diproduksi dan disebarluaskan pada masa kolonial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

3. Ali Behdad dalam Camera Orientalis: Reflection on Photography of the Middle East (2016) menghubungkan gagasan Orientalisme dengan sejarah fotografi dan kondisi politik di Timur Tengah. Behdad menempatkan posisi foto dalam dinamika lintas budaya yang memainkan fungsi performatif dalam menghasilkan makna budaya dan politik tertentu. Tulisan Behdad berkontribusi dalam bidang sejarah, yakni sejarah seni dan sains, juga antropologi. Behdad menempatkan foto-foto dari Timur Tengah untuk menggerakkan pembicaraan tentang gambaran eksotis, ilmiah, dan melampaui batas-batas wacana kanonik yang menjadikan pengalaman fotografi dan Orientalisme yang berpusat pada sejarah Timur Tengah. Behdad menggunakan pendekatan Edward W. Said dan teksnya yang sangat penting adalah teori relasi kuasa ideologis yang membuat Orientalisme memiliki semacam jejaring seni, ekonomi, dan hubungan politik yang melampaui negara dan batas-batas historis. Ia mengungkapkan bahwa peredaran foto-foto secara internasional yang muncul dari turisme memicu ide-ide fantastik tentang Timur Tengah. Termasuk, studi biografi atas fotografer dan konsumen foto. Cara fotografer melihat objek juga dikaji Behdad, seperti ketika teknik pengambilan foto lebih banyak diambil dari ketinggian seperti dari menara Galata atau Beyazit, semacam ada proses (penciptaan) hubungan hierarkis antara penonton dengan apa yang dilihatnya— yang memposisikan diri sebagai penonton Eropa. Behdad juga mengemukakan persoalan terkait sirkulasi fotografi yang menterjemahkan gambar dengan fragmen, reinterpretasi, dan agensi yang menyajikan “pandangan yang tetap dan stabil tentang subjek”. Itu seperti melihat gambar yang sama, berulang-ulang, yang mengaktifkan wacana kekuasaan, erotisme, hingga perbedaan pada diri penonton Eropa. Kelebihan Behdad, ia memiliki kemampuan dalam menampilkan citra Orientalis Iran yang mencerminkan praktik politik yang juga mirip di seluruh dunia, baik di Ottoman, Belanda, dan Amerika. Keistimewaan lokal ini, yang diperlukan, setidaknya untuk mengarahkan kembali narasi Eurosentris yang dominan dalam sejarah fotografi, yang cenderung membuat medium fotografi terasa homogen dan dapat mengaburkan koneksi transnasional yang terhubung antara berbagai sejarah fotografi di seluruh dunia. Sayangnya, Behdad tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

menggunakan teknik analisis visual untuk mencari petunjuk tentang apa yang dapat dimaknai dari foto-foto itu. Camera Orientalis berhasil mengikuti jaringan foto-foto Orientalisme—tentang bagaimana mereka melakukan perjalanan lintas batas dan melampaui waktu, hingga membentuk kesadaran populer. Namun pada akhirnya, masih ada pertanyaan: Apakah foto-foto itu, baik dari dan di Timur Tengah selalu menyimpan gagasan Orientalisme? Apakah ada logika fotografis pada kode optik global (cara melihat dan dilihat) atau (ways of seeing and being seen)? Jika begitu, mengapa foto-foto Orientalisme begitu fasih dengan gambar yang nyaris serupa di seluruh dunia? Di sinilah titik penting mengapa penelitian semacam ini masih perlu untuk terus dikembangkan. Karya Ali Behdad dalam konteks penelitian ini berguna untuk memahami bagaimana konstruksi foto pada masa kolonial, termasuk atas relasi kuasa yang digambarkannya saling berkelindan antara “Barat” dan “Timur”.

Adapun dalam penelitian saya, objek yang saya teliti berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada. Pertama, karena foto-foto yang saya teliti bersumber dari arsip foto kolonial Belanda pada masa kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Kedua, teori yang saya kembangkan untuk mengurai persoalan dalam penelitian ini sebagian memang merujuk pada penelitian tersebut tetapi tidak secara keseluruhan melainkan dikembangkan lagi sesuai dengan rumusan masalah yang mendasari penelitian ini.

G. Kerangka Teori Teori sebagai sebuah perangkat ilmiah digunakan untuk membantu melihat data secara unik sekaligus untuk menganalisis data. Untuk membahas rumusan masalah di atas, penelitian ini menggunakan beberapa kerangka teori sebagai pisau analisis yang berfungsi untuk membantu saya dalam melakukan analisa. Berikut adalah teori-teori yang dikembangkan sebagai argumentasi serta alat analisis atas sumber data dalam penelitian ini: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

1. Teori “Orientalisme” Edward W. Said Edward W. Said dalam Orientalism mengemukakan bahwa: “The term Orient nor the concept of the West has any ontological stability; each is m a d e up of human effort, partly affirmation, partly identification of the Other.”20

Istilah “Orient” atau konsep “Barat” tidak memiliki stabilitas ontologis; masing-masing adalah upaya manusia, sebagian sebagai penegasan, sebagian untuk identifikasi “liyan”. Hal terpenting yang saya garis bawahi dari gagasan Said adalah identifikasi atas “the Other”—atau “liyan”. Proses identifikasi tentu menuntut serangkaian daftar. Daftar yang disusun tersebut bertujuan untuk menegaskan “Barat” sebagai subordinat. Maka, produk-produk Orientalisme selalu memiliki maksud tertentu. Pengalaman perjumpaan dengan “Timur” membangun apa yang disebut Said sebagai “kebenaran-kebenaran” dari sistem Orientalisme. Label-label lantas ditempelkan atas “Timur”: yang lemah, barbar, aneh, liar, eksotis, telanjang, dan banyak lagi. Maka, dalam tesis ini gagasan Edward W. Said saya gunakan untuk mengkategorisasikan atau sebagai alat identifikasi atas serangkaian identitas yang dibuat oleh operator atas subjek perempuan pribumi. Sebagaimana diungkapkan Said, “Orientalism as a Western style for dominating, restructuring, and having authority over the Orient.” Orientalisme menjadi gaya “Barat” untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki otoritas atas “Timur”. Foto-foto yang diproduksi oleh operator pada masa kolonial merupakan bagian dari produk Orientalisme, yang menciptakan “Timur” dalam citra tertentu yang diperuntukkan bagi spectator Eropa. “Timur” dalam konteks ini Hindia Belanda, dihadirkan menurut etnisnya dan diidentifikasi secara rasial, misalnya berkulit gelap, berambut hitam hingga prasangka tertentu seperti perempuan penggoda dan liar yang layak untuk diperadabkan dalam mission civilizatrice.21 Celakanya, identifikasi yang dibuat “Barat” atas “Timur” itu dipandang sebagai representasi “Timur” yang sebenarnya, sehingga “Timur” diterima dalam pengetahuan dan wacana “Barat” dan investasi itu telah berlangsung lama. Sebagaimana yang dikemukakan Said:

20 Edward W. Said. 2003. Orientalism, hlm. xi 21 Ibid, hlm. xvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

“Orientalism, therefore, is not an airy European fantasy about the Orient, but a created body of theory and practice in which, for many generations, there has been a considerable material investment. Continued investment made Orientalism, as a system of knowledge about the Orient, an accepted grid for filtering through the Orient into Western consciousness, just as that same investment multiplied—indeed, made truly productive—the statements proliferating out from Orientalism into the general culture.”22

Jadi, Orientalisme itu bukan fantasi Eropa tentang “Timur”, tetapi serangkaian teori dan praktik yang dibuat dengan investasi material yang besar. Investasi terus-menerus membuat Orientalisme, sebagai sistem pengetahuan tentang “Timur”, sebuah jaringan yang diterima untuk menyaring “Timur” ke dalam kesadaran “Barat”.

2. Teori Male Gaze Laura Mulvey dalam Visual and Other Pleasures (1989) mengemukakan:

In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active/male and passive/female. The determining male gaze projects its fantasy onto the female figure, which is styled accordingly. In their traditional exhibitionist role women are simultaneously looked at and displayed, with their appearance coded for strong visual and erotic impact so that they can be said to connote to-be-looked-at-ness.23

Singkatnya, pandangan laki-laki menentukan dalam memproyeksikan fantasinya ke sosok perempuan. Perempuan ditata dan ditampilkan sedemikian rupa secara simultan. Tampilan itu “dikodekan” hingga menimbulkan dampak visual sekaligus erotis.

The actual image of woman as (passive) raw material for the (active) gaze of man takes the argument a step further into the content and structure of representation, adding a further layer of ideological significance demanded by the patriarchal order24 ... yang dalam penelitian ini terdapat dalam bentuk foto.

22 Edward W. Said. 2003. Op.Cit, hlm. 6 23 Laura Mulvey. Visual and Other Pleasures, hlm. 19 24 Ibid, hlm. 25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

Foto menjadi satu bentuk representasi dalam mencitrakan sosok perempuan yang di dalamnya terdapat lapisan-lapisan penanda dari tuntutan tatapan laki-laki. Atau sederhananya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Margherita Abbozzo, bahwa secara substansi, male gaze menggambarkan perempuan dan dunia dari perspektif heteroseksual maskulin yang menghadirkan dan mewakili perempuan sebagai objek seksual untuk kesenangan spectator laki- laki.25 Male gaze menampilkan diri perempuan sesuai yang dibayangkan oleh operator. Foto-foto dalam penelitian ini pun akan sulit terbebas dari cara pandang itu karena ketiga operator tersebut adalah laki-laki. Dalam konteks penelitian ini teori male gaze dapat digunakan untuk menemukan kode-kode atau substansi apa saja yang kiranya terdapat dalam sumber data, yang menimbulkan dampak erotis dan memiliki kecenderungan memberi kesenangan untuk spectator laki-laki. Kode-kode yang cenderung menonjolkan sisi sensualitas perempuan.

3. Teori “Camera Lucida” Roland Barthes Roland Barthes, filsuf Prancis, mengungkapkan “cara” untuk membaca foto dalam “Camera Lucida: Reflections on Photography”. Ada tiga tahap yang dilalui oleh spectator di saat melihat foto, yakni studium, punctum, dan satori. Studium adalah selera, antusiasme, menerima dan menikmatinya. Dalam tahap ini, spectator menemukan apa yang dimaksud oleh operator. Konotasi yang hadir dalam studium dapat dijumpai melalui tokoh, wajah, gestur, latar dan aksi. Studium adalah keinginan yang sangat luas, dari berbagai minat, dengan rasa: aku suka/ tidak suka. Studium menarik spectator, tertarik secara simpatik. Mengenali studium sama halnya menemukan niat operator—sang fotografer, memperdebatkan karyanya sehingga menjadi semacam wadah perjumpaan antara operator dan spectator. Meski begitu, spectator tidak mesti percaya pada operator, karena bagaimana pun, operator menyimpan alibi atas informasi yang dibuatnya sendiri, termasuk representasi yang dibangun hingga kejutan yang ia tawarkan, misalnya sampai pada taraf provokatif. Beberapa foto memiliki daya tarik seperti itu.

25 Margherita Abbozzo. Male and Female Gaze in Photography, ANNO LXXIV, 2019-N. 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

Studium menunjukkan makna historis, sosial atau budaya yang dapat diekstraksi melalui analisis semiotik. Foto sekali pun itu tiruan dari realitas memiliki pesan analogis yang menurut Barthes mengandung dua pesan, denotatif dan konotatif.26 Lapis pesan denotatif adalah analogon itu sendiri. Namun pada lapis pesan konotatif, ada pandangan tertentu yang sengaja disodorkan oleh operator kepada spectator. Pesan pada lapis kedua ini membutuhkan konvensi kode-kode tertentu yang dapat dipahami oleh masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, studium berguna untuk meneliti detail yang disajikan dalam foto, meliputi gestur subjek dalam foto, bagaimana ia berpose, menampilkan ekspresi wajah, hingga pada ornamen, properti, dan busana yang dikenakannya. Pada lapis makna denotatif, proses pembacaan dilakukan dari apa yang tampak oleh mata. Namun pada lapis konotatif, sebagai peneliti saya perlu melakukan studi pustaka guna memahami kode-kode yang digunakan oleh operator yang mungkin secara kultural tidak saya pahami. Adapun punctum ibarat luka, lubang kecil, kecelakaan yang menusuk, kejutan tertentu yang membuat trauma, menyakiti, menyayat. “Very often the Punctum is a ‘detail,’ i.e., a partial object.”27 Punctum adalah detail. Punctum menunjuk ke fitur-fitur foto yang tampaknya menghasilkan atau menyampaikan makna tanpa menerapkan sistem simbolik yang bisa dikenali. Makna semacam ini unik, tergantung pada respons individu yang melihat gambar. Punctum menusuk spectator bukan sekadar seberapa banyak itu diproyeksikan oleh operator ke dalam foto. Sebaliknya, itu muncul dari detail yang tidak disengaja atau tidak terkendali oleh fotografer. Ini menjelaskan betapa pentingnya emosi dan subjektivitas dalam berinteraksi dengan foto. Foto sebagaimana diungkapkan Barthes berkutat pada “yang-sudah-ada” (that-has-been). Spectator berhubungan langsung dengan “flat death”, yang mengungkapkan sifat fana dari kehidupan sekaligus membuat kita mengenali singularitas keberadaan, sekali dan tidak berulang, begitulah “the referent” sebagai “yang-sudah-ada” itu lantas terbingkai dalam foto. Dalam konteks fotografi historis, terdapat punctum yang lain selain detail yakni stigmatum. Stigmatum

26 Roland Barthes. Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra, hlm. 2 27 Roland Barthes. 1981. Op.Cit. hlm. 43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

bukan lagi bentuk melainkan intensitas, yaitu waktu sebagai representasi murni. Stigmatum dari “yang-sudah-ada” itu secara fisik telah remuk dan tidak berbentuk melainkan hanya menawarkan semacam “titik-titik” untuk dibaca oleh mata. Tubuh yang nyata di foto, secara harfiah tidak ada. Tapi ada semacam gelombang yang menyentuh saya selaku spectator seperti ada penghubung dan itu yang membangun hubungan khusus antara subjek dalam foto dengan spectator-nya. Dalam konteks penelitian ini, stigmatum semacam jembatan bagi peneliti untuk memahami kesadaran waktu yakni kesadaran historis sekaligus keberjarakan antara peneliti dan subjek dalam foto. Sementara satori adalah pengalaman subjektif spectator. Satori menjadi tahap melihat foto dengan mata tertutup, tahap setelah melewati luka, bagian dari kekosongan. Tahap ketika spectator tak lagi melihat foto. Ia sudah melampauinya.

“The photograph is no longer in front of me and I think back on it. I may know better a photograph I remember than a photograph I am looking at, as if direct vision oriented its language wrongly”28.

Di situlah kekuatan fase satori. Ketika foto itu tidak lagi ada di depan spectator, ia mungkin tahu lebih baik foto yang ia ingat daripada yang ia lihat. Ada waktu berpikir kembali. Fase ini memungkinkan guna menemukan “bahasa” yang ditangkap sebelumnya salah. Satori dalam penelitian ini digunakan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan atas pemaknaan baru. Barthes juga mengemukakan bahwa foto tidak sebatas merepresentasikan pesan denotatif melainkan juga pesan konotatif. Salah satu cara untuk memahami lapis konotatif adalah dengan mengenali kode-kode kultural yang tersedia dari sebuah foto. Pada lapis pesan konotatif ini, operator mengkomunikasikan apa yang dipikirkannya, apa yang dibayangkannya, termasuk imajinya terkait perempuan pribumi ke publik spectator Eropa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roland Barthes:

In short, all these ‘imitative’ arts comprise two messages: a denoted message, which is the analogon itself, and a connoted message, which is

28 Roland Barthes. Op.Cit. hlm, hlm, 53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

the manner in which the society to a certain extent communicates what it thinks of it.29

Foto sebagai seni “imitasi”' terdiri dari dua pesan: pesan yang dilambangkan, yang merupakan analog itu sendiri, atau pesan yang dikonotasikan, yang menjadi cara bagi satu masyarakat mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan hingga pada batas tertentu. Konotasi itu dibangun dengan “bahasa” atau “kode-kode” yang di sini saya sebut dengan kode kultural yang dapat dipahami oleh komunitas tersebut hingga terjadi komunikasi. Kode-kode itu, masih menurut Barthes, kemungkinan didasari oleh tatanan simbolik universal atau retorika tertentu, yang ada dalam stok stereotip (seperti skema, warna, grafik, gestur, ekspresi hingga pengaturan elemen-elemen tertentu).30 Dalam operasionalnya, operator biasanya akan menambahkan detail/ elemen tertentu ketika ia menampilkan subjek dalam foto, termasuk saat menghadirkan serangkaian identitas perempuan Hindia Belanda.

4. Teori “Performative Gender” Judith Butler dalam Reina Lewis “Rethinking Orientalisme” Reina Lewis, seorang ahli sejarah seni dari Inggris, dalam bab “Eroticised Bodies: Representing Other Women31 pada Rethinking Orientalisme: Women, Travel, and Ottoman Harem (2004) mengemukakan gagasannya terkait kodifikasi/ penggolongan tubuh perempuan Oriental yang cantik dengan mempertimbangkan bagaimana perempuan dilihat menurut ras dan seksual dari saat produksi hingga penerimaan. Lewis menggunakan perspektif Judith Butler terkait identitas performativitas gender yang diterapkan berdasarkan ras dan etnis. Identitas performativitas gender digunakan sebagai mekanisme untuk memasukkan subjek ke tatanan sosial, frasa performatif seperti: ungkapan seorang bidan ketika melihat anak yang baru lahir, “Oh, ini perempuan!” di mana kualitas pengulangan itu yang dilihat Judith Butler sebagai identifikasi yang didapatkan melalui kinerja berulang

29 Roland Barthes. 1977. Op.Cit, hlm. 17 30 Ibid, hlm. 17 31 Reina Lewis. Rethinking Orientalisme: Women, Travel and the Ottoman Harem, hlm. 142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

secara terus-menerus atas tanda-tanda maskulinitas atau feminitas yang diterima secara sosial.32 Kinerja berulang tersebut lantas diperformatifkan oleh subjek secara terus menerus sehingga ia diakui sebagai “perempuan”. Misalnya diperlihatkan dengan cara berbusana. Hal serupa dapat diterapkan ketika melihat perempuan pribumi saat mereka memperformatifkan diri hingga dikenali sebagai perempuan Jawa, misalnya. Dalam hal ini, Butler mengemukakan teori performativitas untuk menekankan bagaimana gender dikonstruksi dan itu tidak bersifat alami. Performativitas gender awalnya lebih banyak dikembangkan untuk menganalisis seni teater, film hingga seni pertunjukan. Reina Lewis menggunakan penekanan pada ketidakstabilan identitas yang dilatarbelakangi oleh teori-teori performativitas untuk memikirkan konstruksi identitas rasial dan etnis dalam teks sastra, di antaranya dalam Haremlik: Some Page from the Life of Turkish Women karya penulis Demetra Vaka Brown (1877-1946). Vaka Brown terlahir sebagai Turki dan menjadi diaspora di Amerika Serikat. Ia menceritakan tiga kisah interaksinya dengan wanita Turki ketika pulang ke kampung halamannya. Ia mengajak teman-temannya melakukan perjalanan dengan gaya “lama”, berbusana sebagaimana dulu perempuan Turki yang pernah hidup dalam masa empat puluh tahun akhir Kekaisaran Utsmani. Kisah Vaka Brown mencatat performativitas- performativitas itu sebagai bagian dari upaya penulisnya untuk membangun wacana “perempuan Turki” yang bebas dari wacana Orientalisme. Namun di sinilah keterlibatan performativitas penulis dan teman-teman Turkinya yang didalami Lewis memperlihatkan ketidakstabilan identitas, misalnya pada Vaka Brown yang kemudian menilai, “Orang ‘Timur’ lebih baik daripada orang ‘Barat’,” namun di sisi lain ketika ia ditanya, “Apa kau dari Turki?”, ia menjawab, “Tidak, aku orang Yunani Bizantium, lahir dan besar di Konstantinopel. Dua gadis itu adalah temanku.”33 Dalam konteks penelitian ini, saya akan menggunakan penekanan teori performativitas gender untuk memahami performativitas subjek dalam foto. Foto tentu tidak seterbuka teks, namun sebagaimana diungkapkan Lewis, “Fotografi tidak hanya mendokumentasikan, tetapi memainkan peran penting dalam

32 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 142-143 33 Ibid, hlm. 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

klasifikasi, konseptualisasi, dan visualisasi masyarakat “liyan” menurut protokol dari disiplin yang tengah melambung, meski itu bukannya tanpa masalah dan rasa was-was.”34 Untuk mengurai itu, konsep performativitas gender dipandang relevan dalam membongkar stereotip, pandangan rasial dan etnis tadi. “The concept of performativity is helpful for thinking through these varieties of racial and ethnic identity.”35 Atas gagasan itu, dengan meminjam perspektif Judith Butler, “Tindakan performatif hanya memiliki peluang sukses jika mereka telah mengumpulkan ‘kekuatan otoritas melalui pengulangan atau kutipan seperangkat praktik sebelumnya, otoritatif’.”36 Elemen berulang dari tindakan performatif harus terus dilakukan oleh subjek bagi pemirsanya/ spectator sebelum hal itu masuk akal, “otentik”, sehingga penampilannya mudah dikenali oleh Barat. Hal itu bisa dihubungkan dengan serangkaian stereotip yang sudah tersedia yang beroperasi dalam sistem klasifikasi yang sudah ada sebelumnya. Karena setiap pengulangan performatif adalah peristiwa intersubjektif dan dinamis, keberhasilan atau kegagalannya tergantung pada siapa yang terlibat, sejarah dan kualitas individu seperti apa yang mereka “perform”-kan dalam aktivitas tersebut. Tindakan performatif itu dikodekan sehingga dapat dikenali dan dipahami oleh komunitas interpretatif, yakni konsumen foto. Stereotip di sini adalah kode- kode kultural yang ada pada sistem klasifikasi. Kode-kode kultural tersebut menyimpan serangkaian pengetahuan yang sudah ada yang disampaikan oleh operator tidak semata dalam detail melainkan dalam tindakan performatif subjek dalam foto. Pertanyaannya kemudian, tindakan performativitas gender dalam foto tersebut apakah tindakan performatif subjek atau tindakan yang di-“perform”-kan atas arahan operator? Teori performativitas gender digunakan untuk memahami bagaimana subjek melakukan tindakan performatif atas kesadarannya sendiri. Performativitas menurut Butler bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual yang dampaknya adalah naturalisasi dalam konteks tubuh, dipahami, sebagian, dalam durasi yang berkelanjutan secara budaya.37 Gender bersifat performatif karena 34 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 209 35 Ibid, hlm. 144 36 Judith Butler (1993: 19) dalam Ibid, hlm. 166 37 Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, hlm. xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

diproduksi melalui serangkaian tindakan. Tindakan performatif itu dilakukan dalam bentuk stilisasi gender dari tubuh, yakni gerakan yang telah mengalami proses penghalusan sehingga tampak indah. Intinya, gender adalah “stylized repetition of acts”38 atau serangkaian pengulangan tindakan yang penuh gaya.

5. Teori “Ambivalensi” Homi K. Bhabha Homi K. Bhabha dalam The Postcolonial and The Postmodern: the Question of Agency pada “The Location of Culture” (1991) mengemukakan:

“... political positioning is ambivalently grounded in an acting-out of political fantasies that require repeated passages across the differential boundaries between one symbolic bloc and an other, and the positions available to each.”39

Tindakan yang dibuat dari posisi ambivalen ini membutuhkan kecakapan melintasi batas-batas diferensial, antara “colonizer” dan “colonized” secara simbolis dan masing-masing bisa memposisikan diri di situ. Teori ini digunakan untuk melengkapi gagasan posisi agency dalam relasi kuasa yang terjalin antara operator dan subjek dalam foto. Ambivalensi memunculkan agency pada kedua belah pihak—“colonizer” atau “colonized”— yang melahirkan “anxiety” atau kecemasan dari pihak penjajah dan “resistence” atau resistensi dari yang dijajah. Ini juga yang kemudian menghadirkan sikap hibrid dan mimikri, sebagai bentuk representasi yang tumpang tindih, yang dalam perspektif Bhabha sebagai suatu strategi agar “survive”. Hal tersebut diperjelas Bhabha sebagai berikut:

“The metonymic strategy produces the signifier of colonial mimicry as the affect of hybridity - at once a mode of appropriation and of resistance, from the disciplined to the desiring.”40

Bahwa, strategi metonimik yang berawal dari perubahan kebiasaan tersebut menghasilkan penanda mimikri sebagai pengaruh hibriditas, sekaligus modus apropriasi dan resistensi, dari disiplin hingga hasrat. Ketika mereka yang terdiskriminasi, dalam hal ini pribumi, berubah menegaskan diri hibrid, lambang

38 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 191 39 Homi K. Bhabha. The Location of Culture, hlm. 29 40 Ibid, hlm. 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

otoritas justru menjadi topeng, ejekan—“the insignia of authority becomes a mask, a mockery41.” Di situlah, relasi kuasa bekerja dalam simbol-simbol yang terkadang hanya diketahui oleh masyarakat penggunanya.

H. Metode Penelitian 1. Sumber Data Sumber foto dipilah dari tiga buku karya tiga fotografer dari masa itu yaitu (1) Isidore van Kindsbergen, (2) Kassian Cephas, dan (3) “Woodbury & Page”. Seleksi foto dipilah yang mewakili wacana yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Foto-foto yang diseleksi diperoleh dari 3 buku yang membahas ketiga fotografer dimaksud, yaitu: (1) Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies (Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005); (2) Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (Gerrit Knaap, 1999); dan (3) Woodbury & Page: Photographers (Steven Wachlin, 1994).

2. Seleksi Foto Pemilahan/ seleksi foto didasarkan pada fenomenologi sinis Roland Barthes, di mana:

“As Spectator I was interested in Photography only for “sentimental” reasons; I wanted to explore it not as a question (a theme) but as a wound: I see, I feel, hence I notice, I observe, and I think.”42

Pemilahan itu tentu berdasar atas alasan “sentimental”. Dari keseluruhan foto-foto perempuan pribumi Jawa dan Bali yang terdapat dalam ketiga sumber data tersebut saya seleksi berdasarkan atas foto-foto yang paling membuat pikiran dan perasaan saya tergerak untuk menelisik dan memikirkan foto itu lebih jauh. Hal tersebut memang sangat subyektif, namun rasanya akan sulit melakukan penelitian tanpa unsur ketertarikan atas objek. Pilihan atas foto-foto itu bisa jadi sangat “sentimental”, seperti didorong oleh “luka” masa lalu yang membuat saya mengamati, merasakan, memperhatikan secara seksama, mengobservasi lantas

41 Homi K. Bhabha. Op.Cit, hlm. 120 42 Roland Barthes. 1981. Op.Cit. hlm. 21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

memikirkannya. Dari memikirkan “luka” itu muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi daya tersendiri dalam mengembangkan penelitian ini.

3. Kategorisasi dan Analisis Foto yang dianalisis dalam penelitian ini keseluruhannya berjumlah 10 (sepuluh) foto yang saya kategorikan dalam tema-tema yang menyangkut wacana Orientalisme yang mewakili kecenderungan umum yang muncul dari keseluruhan foto perempuan pribumi yang saya amati dari ketiga buku tersebut. Pertimbangan lain adalah kesadaran akan male gaze yang menjadi bagian penting dalam seleksi foto karena foto-foto itu diproduksi oleh operator laki-laki. Fase selanjutnya adalah pembacaan foto berdasarkan logika berpikir yang merujuk pada gagasan Barthes. Saya urai bagian termudah terlebih dahulu, yakni studium sehingga analisis saya terfokus pada detail yang ditampilkan dalam foto. Pada tahap selanjutnya adalah punctum. Namun tidak semua foto menyimpan “luka” bagi spectator. Intinya, sebagai spectator, saya cenderung mengamati foto dan menjawab keingintahuan melalui apa yang tersaji dari foto. Keterpukauan saya itu pun lebih didorong oleh perasaan bahwa saya seperti melihat sepotong “realitas” dari masa lalu, entah karena gaya berbusananya, detail asesorisnya, posenya atau “luka” yang ditimbulkan akibat menatapnya. Pada tahapan ini saya juga menggali makna denotatif dan konotatif yang terdapat dalam foto dengan mempertimbangkan kode-kode kultural dengan diimbangi studi pustaka yang memiliki relevansi dengan gagasan yang dibicarakan. Analisis lanjutan adalah membahas hasil temuan dari “pembacaan foto” dengan teori “performativitas gender” yang telah dikembangkan oleh Reina Lewis dalam Rethinking Orientalisme berbasis pada teori Judith Butler dalam Gender Trouble termasuk bagaimana foto menjadi medium guna mengkonstruksi identitas secara gender, rasial, dan etnis. Pada tahap lebih lanjut, analisis secara spesifik dseperti stereotip dan gaya berbusana sebagai bagian dari kode-kode kultural yang membentuk konstruksi identitas rasial, etnis, dan Orientalisme digunakan untuk mengurai kode-kode dalam foto guna menjadi bukti pendukung penelitian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

Pada analisis terakhir teori “agency” Homi K. Bhabha digunakan untuk membedah peran model dan operator sebagai agensi dari dua pihak: “colonized”—yang terjajah—dan “colonizer”—penjajah—, seperti bagaimana memahami resistensi “colonized” atau kecemasan dari “colonizer” dalam konteks relasi kuasa tersebut. Penelitian ini dilengkapi dengan studi pustaka yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Grhatama Pustaka BPAD Yogyakarta, Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakan Universitas Gadjah Mada dan Perpustakaan Nasional Jakarta.

I. Sistematika Penulisan Tesis ini disusun atas lima bab. Bab Pertama, membahas latar belakang dipilihnya tema penelitian ini, termasuk penelitian pendahulu yang sudah ada. Penelitian ini dimulai dengan Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian. Teori dipilih sejak tahap ini guna membantu memahami data secara jernih, sekaligus Metode Penelitian yang dilakoni dari tahap seleksi data hingga analisis. Bab Kedua, akan menguraikan konteks sosio-historis kedatangan daguerreotype di Hindia Belanda di tangan tiga operator dimaksud, hingga jejaring produksi dan persebaran karya fotonya. Bab Ketiga, mengamati foto berdasarkan tatapan male gaze dan wacana Orientalisme, dilanjutkan dengan menganalisis foto-foto terpilih dengan analisis fenomenologi sinis dalam Camera Lucida, Roland Barthes. Bab Keempat, mengembangkan analisis dari proses pembacaan foto ke tahap lebih lanjut yakni pemahaman atas performativitas gender melalui kode- kode kultural yang diperoleh dari tahap sebelumnya. Hasil analisis ini akan menjumpai kecenderungan tampilan atas perempuan pribumi dalam foto yang paling sering diimajikan oleh para operator sekaligus kesadaran bahwa tampilan tersebut adalah “rekayasa”, hasil atas relasi kuasa yang timpang antara operator dan subjek. Guna menggambarkan relasi kuasa tersebut digunakan teori “agency” Homi K. Bhaha untuk menguraikannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

Bab Kelima, menjadi bagian akhir dari tesis dan merupakan rangkuman utuh dari keseluruhan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, termasuk kesimpulan akhir. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

BAB II FOTOGRAFI DI JAWA DAN BALI KURUN 1850-1912

Bab ini akan membicarakan sejarah singkat kedatangan teknologi fotografi di Hindia Belanda yang pada awalnya dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk mendokumentasikan proyek-proyek antiquarian dan memotret perjalanan dinas petinggi kolonial. Lebih lanjut akan diuraikan juga narasi singkat tentang kisah tiga fotografer yang karyanya dijadikan sumber penelitian ini. Ulasan akhir akan menguraikan tentang jejaring fotografi di Hindia Belanda yang bergerak dari lembaga pemerintah ke studio foto, kartu pos, hingga dipajang di ruang-ruang pamer.

A. Ketika Daguerreotype Tiba di Hindia Belanda Nicephore Niepce (1765-1833) dengan kamera Obscura dan teknik “sun drawing” pada tahun 1826 menemukan metode untuk menghasilkan gambar permanen pada pelat tembaga yang dilapisi bitumen setelah dieksposur selama delapan jam. Louis Jacques Mande Daguerre (1787-1851) bermitra dengan Niepce dan terus melakukan eksperimen atas kamera Obscura guna mendapatkan teknik fotografi terbaik. Niepce meninggal pada tahun 1833. Daguerre kemudian mengajukan hak paten atas karya dan mendapatkannya pada tahun 1838. Pemerintah kolonial Belanda dengan cepat menyadari bahwa fotografi bisa digunakan untuk merekam tanah koloni. Hanya berselang setahun saja setelah daguerreotype dipatenkan pada 1839, seorang fotografer dikirim ke Hindia Belanda. Jurriaan Munnich (1817-1865)43, sebenarnya berprofesi sebagai petugas medis, namun berkat keahlian amatir mampu mengoperasikan daguerreotype, maka Munnich diminta Kementerian Koloni Belanda melakukan ujicoba pemotretan di wilayah tropis, “tes dan gunakan fotografi di wilayah kami!”44 Begitu perintah yang disampaikan kepadanya. Pada prinsipnya, ia diminta mengumpulkan representasi foto-foto dari wilayah koloni, seperti ragam

43 John Hannavy. (ed.). Encyclopedia of Nineteenth-Century Photography, hlm. 739-740 44 Loc.Cit. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

tanamannya yang khas, memotret bangunan hingga temuan atas barang-barang antik. Ia juga diminta untuk membantu seorang arkeolog, W.A. Van Den Ham, yang pada saat itu tengah melakukan penelitian di Jawa dengan memotret benda- benda kuno dan prasasti. Di Hindia Belanda, Munnich menghadapi banyak kendala teknis dalam mengoperasikan daguerreotype, diperparah lagi dengan kondisi cuaca tropis. Hasilnya, foto-foto yang dibuatnya dinilai kurang maksimal. Namun begitu secara historis, ia tetap dikenal sebagai “toekang potret” pertama di Hindia Belanda. Lalu pada tahun 1844, Adolf Schaefer45, pria kelahiran Jerman yang bisnis studio fotonya di Den Haag kurang berhasil, mengajukan diri untuk ditugaskan sebagai fotografer di Hindia Belanda. Kementerian Koloni Belanda kemudian mengirimnya ke Bogor (Buitenzorg). Pada 1845, Batavian Society of Arts and Sciences46 di Batavia memintanya untuk memotret koleksi barang-barang antik mereka. Setahun kemudian, ia diminta mendokumentasikan Candi . Berbekal daguerreotype, Scaefer menghasilkan 58 foto-foto pertama dari candi tersebut. Proyek-proyek antiquarian—ketertarikan atas benda-benda antik & kuno memicu karya fotografi pertama di tanah koloni yang sebagian besar didanai oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, pada tahun 1850-an, beberapa fotografer mulai membuka studio foto dan itu semakin menarik minat para fotografer untuk kemudian berdatangan ke Hindia Belanda, di antaranya L. Saurman, C. Duben, Antoine Francois Lecouteux, dan lain sebagainya. Isidore van Kindsbergen47 yang tiba di Hindia Belanda pada tahun 1851 adalah fotografer pertama yang secara resmi ditugaskan mengikuti kunjungan

45 John Hannavy. (ed.). Op.Cit, hlm. 739 46 Batavian Society of Arts and Sciences atau Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah lembaga kebudayaan yang didirikan atas inisiatif Jacob Cornelis Radermacher pada 1778, di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777-1780). Lembaga itu bertujuan untuk menganalisis aspek budaya dan sains di Hindia Belanda, termasuk memfasilitasi berbagai penelitian para ahli. Hasil penelitian kemudian diterbitkan dalam bentuk artikel dan jurnal, di antaranya melalui Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG, yang dipublikasikan antara tahun 1779-1950) dan Tidjschrift voor Indische taal-land en volkenkunde (TBG, yang dipublikasikan antara tahun 1853-1952). Lembaga ini sekarang yang kita kenal sebagai Museum Nasional. Lihat: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/542/ 47 John Hannavy. (ed.). Op.Cit, hlm. 1436-1438 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

Gubernur Jenderal dalam misi diplomatik ke negara Siam () pada tahun 1862. Kedekatannya dengan beberapa petinggi Hindia Belanda yang sudah ia jalin selama beberapa kurun waktu dan hasil foto-fotonya yang memikat, membuatnya dipercaya mengikuti berbagai kunjungan resmi pemerintah kolonial hingga ke berbagai pelosok di Hindia Belanda. Awalnya, fotografi di Hindia Belanda digunakan untuk pendokumentasian situs-situs kuno, candi, barang antik, arca dan prasasti. Proyek antiquarian memang yang paling mengemuka dari bidang fotografi. Mekanisme kerja dan minat ini saya jumpai hampir mirip di berbagai belahan lain dunia, sebagaimana yang digambarkan oleh Nissan N. Perez dalam Focus East: Early Photography in the Near East, 1839-1885 (1988) tentang bagaimana bangunan-bangunan kuno dan bernilai historis didokumentasikan oleh para fotografer dan penjelajah, seperti di kawasan Timur Tengah hingga Afrika. Francois Arago, sebagaimana dikutip Perez, pernah berbicara di depan French Academy of Sciences pada Januari tahun 1839 terkait nilai fantastis yang dapat diperoleh berkat kehadiran teknologi fotografi:

“To copy the millions and millions of hieroglyphs covering only the exterior of the great monumen of Thebes, Memphis, Karnak, twenty years and scores of draughtsmen are required. With the daguerreotype, a single man could execute this immense task ... (and) the new images will surpass in fidelity and local color the work of the most capable among our painters.”48

Sebelumnya, untuk menyalin jutaan hieroglif dari kuil-kuil besar seperti di Thebes, Memphis, dan Karnak dapat dibayangkan hal itu bisa dikerjakan dalam waktu dua puluh tahun oleh sejumlah ahli gambar. Tapi hanya dengan daguerreotype, satu pria saja bisa melakukan pekerjaan besar itu dengan kualitas gambar yang bahkan setara dengan hasil karya seorang pelukis paling mumpuni yang ada. Kehadiran teknologi mekanik ini benar-benar mendapatkan momentumnya seiring gelombang wacana “the Orient” atau “Timur”. Distribusi teknologi fotografi diiringi juga dengan penelitian di bidang arkeologi dan berkembang ke

48 Nissan N. Peres. Focus East: Early Photography in the Near East, 1839-1885, hlm. 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

minat-minat penelitian yang lain. Cukup dengan mengirim seseorang yang bisa mengoperasikan daguerreotype dan beberapa peneliti saja, mereka akan membawa pulang hasil penelitian dan foto-foto dari tanah koloni yang memberikan informasi tak ternilai. Begitu pun praktik yang diselenggarakan di Hindia Belanda. Teknologi fotografi kian berkembang pesat. Fotografer tidak perlu lagi mengangkat daguerreotype atau kamera Mammoth yang berat. Fotografer pun tidak hanya berkarya di dalam studio foto. Kemudahan teknologi memungkinkan eksposure cahaya tropis yang tajam mulai bisa diredam dan fotografer bisa melakukan pemotretan di luar ruangan dengan latar yang lebih alami. Salah satunya dengan kemunculan kamera Kodak pada pada tahun 1892 yang menciptakan fenomena jamuan minum teh dengan disertai foto di rumah-rumah Indies di Hindia Belanda. Kemajuan itu seiring dengan kehadiran studio foto menciptakan pasar baru dalam bidang fotografi. Operator menjadi lebih leluasa. Ia memiliki kapasitas untuk memasang latar pada foto secara lebih bebas—biasanya berupa lukisan kanvas dalam ukuran besar untuk menutup sebagian atau keseluruhan latar dengan berbagai ornamen tambahan. Hal itu misalnya, dapat kita lihat dalam foto-foto karya Kassian Cephas, ketika memotret perempuan Jawa. Latar yang kita jumpai adalah kanvas yang dilukisi bunga-bunga. Masa “booming” studio foto memunculkan foto-foto yang melibatkan “pribumi” pun kian banyak yang kemudian memasok perempuan berada di bingkai dalam bidikan lensa. Lantas mengapa penelitian ini hanya berfokus pada foto perempuan Jawa dan Bali? Adrian Vickers mengungkapkan bahwa Bali telah menjadi pulau yang paling eksotis dari tempat eksotis lain di dunia—fantasi semua kemegahan ‘Orient’ dan keindahan Pasifik.49 Eksotisme Pulau Bali ini bukan semata karena tanahnya yang elok tetapi didukung oleh cita rasa seni yang dimiliki masyarakat Bali. Vickers mengatakan:

“Gambaran tentang Bali dengan sifat-sifatnya muncul gambar-gambar visual—foto, lukisan, dan sketsa yang menunjukkan pohon-pohon palem dan sawah yang subur; para wanita bertelanjang dada yang tak terhindarkan, dan pria-pria muda yang tampan dengan tubuh lentur; dan,

49 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

seni eksotis, tarian kesurupan yang aneh, dan imam besar Brahman yang melakukan upacara esoterik.”50

“Bali adalah ‘pulau mempesona’, ‘surga terakhir’, salah satu mimpi romantis terbaik di dunia51,” gagasan itu seakan melengkapi imaji tentang bagaimana Bali dibayangkan. Imaji itu ditawarkan ke para pelancong, ke orang- orang “Barat”, atas Bali yang sekaligus diikuti dengan pembentukan Bali sedemikian rupa—mewujudkannya sebagaimana konstruksi imajinasi tersebut. Perubahan-perubahan di Bali kemudian dipercepat salah satunya oleh kolonialisme, khususnya terkait proyek Bali sebagai “surga terakhir”.52 Imaji yang paling mengemuka di antara gagasan penciptaan Bali sebagai “surga terakhir” itu adalah visualisasi perempuan Bali dalam foto. Potret perempuan Bali adalah yang paling fenomenal dalam sejarah fotografi di Hindia Belanda dan paling laris manis di pasaran. Mengapa? Banyak foto-foto perempuan Bali yang beredar luas adalah foto-foto mereka yang bertelanjang dada, memperlihatkan sepasang payudara, tanpa rasa sungkan. Jika ada tolok-ukur yang jelas, barangkali ini bisa disejajarkan popularitasnya dengan imaji “Barat” atas perempuan-perempuan harem di Timur Tengah—yang justru hadir sebaliknya—sangat tertutup, misterius, penuh wacana poligami, berhijab dan terkekang, sebagaimana diungkapkan Sarah Graham- Brown:

“The power of the harem image lay in the notion of a forbidden world of women, of sexuality caged and inaccessible, at least to Western men, except by a leap of imagination.”53

Kekuatan imaji atas harem justru terletak pada gagasan tentang dunia perempuan yang terlarang, seksualitas yang dikurung dan tidak dapat diakses, setidaknya bagi pria Barat. Sedang Bali seperti menawarkan imaji yang sepenuhnya berbeda. Perempuan Bali sebagaimana ditampilkan oleh Gregor Krause (1883-1960) dalam Bali 1912, adalah perempuan yang bertelanjang dada.

50 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 136 51 “Bali is the “enchanted isle,” “the last paradise,”one of the world’s great romantic dreams.” Ibid, hlm. 16 52 Loc.Cit. 53 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

Foto-foto Krause adalah yang pertama dari banyak foto yang pernah dipublikasikan tentang Bali.54 Bagian-bagian tubuh yang terbuka—terutama payudara yang terbuka—ibarat kunci atas hasrat yang dibuat untuk menginformasikan dan diproduksi oleh pariwisata di Bali.55 Bali yang hadir dan ditawarkan adalah sebentuk imaji/ citra yang diseleksi demi menarik minat para pengunjung untuk datang ke “surga terakhir” yang ada di Bumi. Hal yang tentu berbeda dari perspektif orang Bali sendiri. “The Balinese images have been different in kind from the western images of Bali.”56 Demi memperkuat imaji tentang “surga terakhir” itu, dari tahun 1920 dan seterusnya ada sejumlah studio foto yang berbasis di Jawa dan Bali yang menghasilkan kartu pos dan foto pertama untuk promosi biro wisata resmi pemerintah.57 Dan yang paling menarik adalah pembingkaian atas perempuan Jawa dan Bali melalui foto hingga kemudian menjadi kartu pos—produk yang secara oplah berlipat ganda dan tersebar ke pasar dengan harga murah yang kemudian turut menyemarakkan fenomena tersebut. Pada tahun 1900, Jawa berada dalam keadaan peralihan dengan zaman lama yang telah berakhir tetapi bentuk zaman baru pun belum jelas.58 Jawa yang disimbolkan dengan dua tatanan kraton yang terbagi dua yakni, Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, pasca Perjanjian Giyanti (1755) tengah bergerak memasuki fase “modern” dengan munculnya sekolah dan media cetak yang sayangnya, tidak banyak mencatat peristiwa yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama. Pendokumentasian perempuan Jawa secara visual dapat dijumpai dari arsip litografi yang dikerjakan oleh para litografer dari Eropa. Kedatangan teknologi fotografi pada pertengahan abad ke-19 adalah salah satu bentuk “modernisasi” yang dialami Jawa dan kian kentara memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam arsip visual. Isidore van Kindsbergen salah satu yang ditugasi untuk melakukan dokumentasi atas “antiquarian” Jawa, termasuk di antaranya di lingkup Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta. Selain Kassian Cephas, Van

54 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 138 55 Adeline Marie Masquelier (ed.). Dirt, Undress, and Difference: Critical Perspectives on the Body’s Surface, hlm. 62 56 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 21 57 Ibid, hlm. 138-139 58 M.C. Ricklefs. Op.Cit, hlm. 199 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

Kindsbergen, dan “Woodbury & Page” ada beberapa fotografer lain yang pernah memasuki istana. Mereka juga melakukan pemotretan atas bangsawan-bangsawan Jawa termasuk berbagai ritual dan prosesi adat yang terkait dengan aktivitas kultural di dalam istana. Wajah-wajah perempuan pribumi baik masyarakat umum maupun mereka para putri yang tinggal di istana menjadi bagian dari objek fotografi pada masa itu. Namun fokus penelitian ini hanya berbasis pada ketiga fotografer yang sudah disebut di muka tanpa menafikkan karya-karya dari fotografer lain, agar dijumpai kajian dengan hasil yang lebih spesifik.

B. Kisah Tiga Fotografer

1. Kassian Cephas (1845-1912) Ia lahir dengan nama Kassian di Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1845. Gerrit Knaap dalam Cephas, Yogyakarta: Photography in the service of the Sultan (1999), menulis bahwa menurut akta nikah Cephas yang berangka tahun 1893, tercatat ayahnya adalah “penduduk asli” bernama Kartodrono, sedang ibunya “penduduk asli” bernama Minah. Namun yang menarik di situ adalah pernyataan Knaap lebih lanjut yakni, “His 100% Javanese descent, however, has been questioned, notably by some of Kassian’s own descendants.”59 Masa lalu Cephas dipertanyakan bahkan oleh keturunannya sendiri. Pernyataan Knaap didukung pendapat mengapa “identitas” Cephas seakan jelas secara data, salah satunya melalui akta nikah, tetapi sekaligus tidak jelas (atau diragukan), bahkan oleh sejarawan Belanda, H.J. de Graaf, yang mengungkapkan bahwa Cephas adalah putra dari Frederik Bernard Franciscus Schalk.60 Masa kecil Cephas hidup di keluarga Ny. Philips-Steven di Bagelen, kemungkinan sebagai pelayan. Pada awal 1860-an, Cephas kembali ke Yogyakarta dan di situlah ia memulai karirnya sebagai fotografer. Ia belajar fotografi sejak tahun 1861 di bawah bimbingan Simon Willem Camerik, seorang fotografer istana. Karir Cephas sendiri di Kraton Yogyakarta dimulai sejak 1871. Selain

59 Gerrit Knaap. Cephas, Yogyakarta: Photography in the service of the Sultan, hlm. 5 60 “In his second article on Kassian Cephas, he claimed that Kassian was the natural son of a certain Schalk, probably Frederik Bernard Franciscus Schalk, a Dutchman living in Yogyakarta during the early mid-nineteenth century (De Graaf 1981: 47 dalam Gerrit Knaap. Loc.Cit.) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Camerik, Isaac Groneman, yang bekerja sebagai dokter istana sejak 1885-1889 pernah berkolaborasi dengan Cephas. Pada 1888, Cephas muncul dengan karya fotografi perdananya, sebuah portofolio yang dipublikasikan oleh Groneman berjudul In den Kedaton te Jogjakarta, yang berisikan 16 “photograms” (dengan teknik collotype). Dengan diterbitkannya buklet itu, Groneman berharap dapat menciptakan minat pada aspek budaya “Oriental” di antara masyarakat di Belanda.61 Penerbitan karya itu diinisiasi oleh KITLV62 dan dicetak untuk kepentingan komersial di Leiden oleh penerbit Brill. Tidak hanya itu, publikasi lainnya yang masih melibatkan “photograms” Cephas oleh Groneman adalah De garebeg’s te Ngajogjakarta. Produk-produk Oriental dibuat tidak untuk ditujukan bagi masyarakat Oriental itu sendiri—pada mulanya, tetapi dipersembahkan bagi negeri induk. Ini adalah proyek Orientalisme yang disokong oleh lembaga resmi yakni pemerintah kolonial. Cephas pun terlibat dalam beberapa proyek kolonial, di antaranya pada tahun 1888-1889, ia turut andil dalam pendokumentasian Candi melalui Archaeologische Vereeniging (Archeological Union) di Yogyakarta. Roger Benjamin berpendapat bahwa karya seniman pribumi, dalam konteks ini karya fotografi Cephas, dapat ditafsirkan sebagai ekspresi perbedaan budaya meskipun memiliki kesamaan visual dengan Orientalisme Barat sebagaimana diungkapkan: “A minority of Europeanized évolués (indigenous who had ‘evolved’ toward the colonialists’ culture) who savored the visual arts.”63 Atau sebagian kecil évolués Eropa (pribumi yang “berevolusi” ke budaya penjajah) dan tentunya ia bisa menikmati seni visual, termasuk kemudian memproduksinya. Teka-teki identitas masa lalu Cephas dan hasratnya untuk “naturalisasi” di kemudian hari seperti mendukung keraguan atas asal-usul Cephas. Keturunan Cephas, Sem dan Fares, juga mendapatkan hak naturalisasi, yang artinya memiliki derajat setara orang Eropa. Menurut Gerrit Knaap, “The word ‘naturalisation’ strongly suggest that those who followed this procedure become Dutch.”64 Status

61 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm, 15 62 KITLV atau Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi yang berkantor pusat di Leiden yang didirikan pada tahun 1851. 63 Roger Benjamin. Op.Cit, hlm. 3 64 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

sebagai “gelijkgesteld met European” atau sejajar dengan orang Eropa secara hukum, diperoleh Cephas dan anak-anaknya pada bulan Oktober 1891. Menurut Knaap, pilihan itu dibuat Cephas karena ia mengelola bisnis modern dan terlibat dalam berbagai kontrak baik secara komersial maupun sosial.

Pengetahuannya dalam memproduksi fotografi sangat mungkin digunakan Cephas sebagai alat untuk “meniru” yang dalam perspektif Homi K. Bhabha disebut mimikri. Kemampuan menguasai teknik fotografi diperoleh Cephas langsung dari orang Eropa. Dalam Orientalist Aesthetic, Roger Benjamin mengungkapkan, “Homi Bhabha suggested how indigenous people in colonial situations could live their mental life, strategically mimicking the Other to retain a space for the self.”65 Adaptasi dengan meniru “Yang Lain” secara strategis dilakukan untuk mempertahankan ruang bagi diri sendiri.

Bahkan jika mimikri seperti itu berarti membelah diri, ada dugaan bahwa situasi kolonial sangat memungkinkan adanya agen lokal. Proyek-proyek kolonial, dalam konteks ini proyek fotografi, diadaptasi dan dikerjakan oleh Cephas hingga ada kemungkinan subjektivitasnya terbelah—setengah Jawa, setengah Eropa (Belanda).

Namun yang menarik, setelah ia pensiun dari dunia fotografi di usia 60 tahun, menurut Guillot, Kassian mengambil peran sebagai wedana-rodonas atau hoofd-ordonnans66 untuk Kraton Yogyakarta. Peran itu kemudian menempatkannya sebagai penghubung antara kraton dan residen, dengan tugas khusus sebagai pembawa pesan yang membawa surat-surat atau berperan sebagai ‘perantara’ untuk kontak khusus dengan residen atau kantor resmi kolonial lainnya. Cephas lantas memilih tinggal di kompleks Musikan di sekitar kraton, pindah dari Loji Ketjil, tempat sebelumnya ia tinggal.

Karya-karya Cephas adalah salah satu di antara karya fotografer dari masa itu yang dapat dibilang legendaris dan sering direproduksi hingga hari ini. Kehadiran buku, menurut Knaap, guna menyajikan gambaran yang lebih lengkap tentang kehidupan dan karya-karya Kassian Cephas, keluarga dan lingkungan sosialnya. Buku itu didanai oleh KITLV Leiden, termasuk foto-foto Cephas

65 Roger Benjamin. Op.Cit, hlm. 4 66 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

sebagian besar diambil dari koleksi Departement of Historical Documentation. Cephas sendiri tercatat sebagai angggota KITLV sejak tahun 1896 hingga ia meninggal di tahun 1912.

Lantas, apakah foto-foto Cephas memiliki kecenderungan mengartikulasikan dan merepresentasikan perempuan pribumi sebagaimana fotografer Eropa? Kajian lebih spesifik dari ini dapat diketahui dengan mempelajari foto-foto yang diproduksi oleh Kassian Cephas, di antaranya yang direproduksi dalam karya Gerrit Knaap (1999) pada bab-bab setelah ini.

2. Isidore van Kindsbergen (1821-1905) Dalam Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies67 disebutkan Isidore van Kindsbergen bernama kecil Isodorus Waegemaeker lahir di Bruges, 3 September 1821. Ia tiba di Batavia pada 26 Agustus 1851 setelah sebelumnya sempat tinggal di Prancis sejak 1847 dan mengasah bakatnya melukis dekor panggung teater. Ia adalah seorang seniman, litografer, pelukis, penata dekor teater, penyanyi opera dan sutradara teater. Berbekal kecakapannya, ia mendapat dukungan dari pemerintah kolonial untuk tugas fotografi. Sejak 1855, ia menambah satu lagi spesialisasinya yakni di bidang fotografi. Pengetahuannya atas fotografi diperolehnya dari pioner fotografi Prancis, Antoine Francois Lecouteux. Baru setelah tahun 1960, Van Kindsbergen lebih serius menekuni bidang fotografi. Misi pertamanya, ia ikut menjadi bagian dari delegasi yang berkunjung ke Kerajaan Siam (Thailand) pada tahun 1862 dan 1865 mendokumentasikan perjalanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele, dan memotret hal-hal yang menarik minatnya. Ia juga diminta Batavian Society of Arts and Sciences untuk memotret situs-situs kuno selama kurun 1863-1867. Hasil kerjanya itu dipublikasikan dalam portofolio Oudheden van Java [The Antiquities of Java]. Karya fotografis Van Kindsbergen memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri dibandingkan

67 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser. Isidore van Kindsbergen (1821-1905), Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

fotografer lain semasanya, seperti kemampuan menghadirkan kekuatan dramatik dan karakteristik dari subjek yang difoto. Di tahun 1873, ia dipercaya memotret Candi Borobudur, dua dekade setelah Schaefer, yang menjadi seri The Antiquities of Java yang dibuatnya. Tidak hanya itu, Van Kindsbergen juga membuat foto di Kraton Yogyakarta, Kraton Surakarta, dan Istana Buleleng di Bali, juga memotret pemandangan, membuat potret orang Jawa kebanyakan, dan beberapa di antara itu ditemukan foto perempuan telanjang. Perjalanannya kadang disertai liputan oleh koran lokal dan foto-fotonya ikut dipublikasikan di media massa. Capaiannya jelas memberinya keuntungan bukan semata kematangan artistik tetapi juga finansial. Distribusi foto-foto itu berada di tangan pemerintah kolonial sekaligus sebagai pemilik negatif, berbeda dari karya Van Kindsbergen komersial yang lain. Foto-foto yang dibuat di studionya menampilkan kecenderungan dan kekuatannya sebagai sutradara teater. Mereka yang tampil—bahkan dari kelas sosial bawah, tampak rileks. Seri potret yang dibuat Van Kindsbergen mewakili berbagai jajaran masyarakat pribumi. Karya-karyanya didistribusikan secara internasional dan hadir di berbagai pameran bergengsi. Sebagian besar masih diawetkan dalam koleksi, antara lain, KIT Tropenmuseum dan Rijksmuseum di Amsterdam, Museum Etnologi Nasional, Institut Kern dan KITLV di Leiden, Arsip Kerajaan di The Hague, Perpustakaan Inggris di London, Bibliothèque Nationale de France dan Société Asiatique di Paris.68 Tidak hanya itu, fotonya menjadi sumber inspirasi pelukis Prancis, Paul Gauguin dan dikoleksi oleh Pangeran Roland Bonaparte yang sekarang disimpan di Société de Géographie di Paris.

3. “Woodbury & Page”69 Walter Bentley Woodbury lahir di Manchester, 26 Juni 1834. Woodbury sudah tertarik dengan fotografi sedari kecil. Ia menjadi fotografer amatir sejak 1851, ketika buku “On the Collodion Process” yang ditulis Frederick Scott Archer

68 John Hannavy. (ed.). Op.Cit, hlm. 1437 69 Firma studio foto ini juga termuat dalam Ibid, hlm. 1509-1512 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

terbit.70 Pada tahun 1852 hobinya surut sejenak ketika ia berangkat ke Australia guna mencari peruntungan hidup dengan berburu emas. Nasibnya kurang beruntung dalam berburu emas hingga minatnya ke fotografi muncul lagi. Ketika pada tahun 1854, ia mengikuti Melbourne Exhibition dan dianugerahi medali kedua, jalan menjadi fotografer profesional terbuka. Woodbury pun kemudian mencoba peruntungan di bidang fotografi dengan membuka studio foto “Woodbury’s Potrait Rooms” di Beechwoeth, Victoria bermitra dengan James Page. James Page71 lahir di St. Marylebon, London, 21 September 1833. Ia berambisi memiliki peluang mengelola perusahaan besar. Sebelumnya, ia bekerja di bidang artistik dan meraih beberapa capaian di antaranya sebagai fotografer amatir. Sayang kemitraan mereka hanya memperoleh sedikit kesuksesan di Australia. Hingga keduanya memutuskan untuk pindah ke Hindia Belanda, “dengan tujuan membangun profesi fotografi di sana”.72 18 Mei 1857, dua fotografer tersebut tiba di Batavia. Pada 5 Juni masih di tahun yang sama, keduanya membuka studio foto “Woodbury & Page” di Weltevreden, Batavia. Persisnya dengan menyewa rumah Ny. Bain, perempuan Skotlandia yang tinggal di Batavia. Segera, peluang bisnis terbuka untuk mereka, termasuk respon dari koran berbahasa Belanda, Java-Bode pada tanggal 23 Mei 1857 yang memberitakan kedatangan mereka sekaligus memuji karya fotografi mereka. “Woodbury & Page” mengklaim diri sebagai fotografer komersial pertama yang beroperasi di Jawa. Meski mereka bukan fotografer pertama yang membuka studio dan bekerja di Jawa. Bisnis mereka terbilang sukses dibandingkan dari yang pernah mereka capai di Australia. Woodbury lantas mengundang adiknya, Henry James, untuk ikut bergabung mengelola bisnis mereka. Suplai material produksi didatangkan dari Inggris dan Amerika. Tak jarang dalam perjalanan bisnis saat- saat membeli perlengkapan produksi tersebut dimanfaatkan juga oleh Woodbury untuk menjual beberapa koleksi fotonya ke pasar Eropa, di antaranya yang

70 Steven Wachlin. Woodbury & Page: Photographers Java, hlm. 9 71 John Hannavy. (ed.). Op.Cit, hlm. 1509 72 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm. 11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

dipublikasikan oleh firma “H.M. van Dorp & Co”. Gambar-gambar itu mewakili hampir seluruh kepulauan—dari Aceh di Barat hingga Ternate di Timur.73 Peluang pasar tersebut dibaca oleh Woodbury. Dengan basis mencari peruntungan dan bekal profesi, firma mereka bekerja dengan memperluas beragam pasar yang bisa dijangkau. Mereka tidak hanya membuka studio temporer di berbagai kota yang mereka singgahi, firma ini juga terlibat dalam pendokumentasian Aceh pada masa Perang Aceh (1896-1901) melalui sederet foto-foto, “50 different views of Atjeh”, yang mulai dijual pada 16 November 1877.74 Firma “Woodbury & Page” terhitung yang paling produktif melanglang di kepulauan Hindia Belanda. Selain mengeruk keuntungan dari bisnis studio fotografi, “Woodbury & Page” juga mengelola kepentingan kolonial melalui foto- foto yang mereka produksi. Mereka memiliki kemampuan mengkapitalisasi bisnis sekali pun beberapa kali berganti kepemilikan, “Woodbury & Page” sebagai merek dagang tidak aus dengan cepat. Nilai lebih lainnya, sosok Woodbury juga memiliki capaian tidak kurang dari dua puluh satu paten di bidang fotografi antara tahun 1864-1884, yang paling monumental adalah Woodburytype process. Sayang, foto-foto perempuan pribumi dan gambaran Hindia Belanda Oriental di Woodbury & Page: Photographers Java tidak banyak dijumpai jika dibandingkan dengan karya fotografi yang telah dihasilkan oleh firma ini.

C. Jejaring: dari Lembaga Pemerintah ke Studio Foto, Kartu Pos, hingga Ruang-ruang Pameran Harus dicatat bahwa kerja-kerja fotografi pada masa kemunculan teknologi reproduksi mekanik ini di Hindia Belanda melibatkan Batavian Society of Arts and Sciences yang didirikan oleh Jacob Cornelis Radermacher pada tahun 1778. Lembaga ini melibatkan fotografer dalam pendokumentasian objek penelitian mereka. Baru setelah tahun 1851, sekitar lima dasawarsa setelah kekuasaan pemerintah Belanda secara resmi mengambil-alih peran VOC (Vereenigde

73 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm. 25 74 Ibid, hlm. 24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

Oostindische Compagnie) yang berhenti beroperasi di Hindia Belanda pada 31 Desember 1799, didirikanlah sebuah lembaga resmi yang dinamai KITLV atau Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau The Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi yang berkantor pusat di Leiden. Lembaga ini menggunakan dokumentasi fotografi sebagai salah satu bentuk dokumen dan arsip. Beberapa fotografer dipekerjakan untuk merampungkan pendokumentasian situs, candi, etnis, bangunan, hingga kultur masyarakat di tanah jajahan. KITLV mengkhususkan pada pengumpulan informasi dan memajukan penelitian mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-daerah bekas koloni Belanda dan wilayah sekitarnya.75 Di abad ke-21 ini, karena isu pendanaan, sejak 1 Juli 2014, Perpustakaan KILTV di Leiden bergabung dengan Perpustakaan Universitas Leiden, begitu pun keberadaan kantor KITLV di Jakarta juga dialihkan di bawah naungan lembaga yang sama. Lembaga ini hingga saat ini masih memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Ketiga buku yang menjadi sumber utama penelitian ini diterbitkan oleh KITLV Press, Leiden. Buku Woodbury & Page: Photographers Java yang ditulis oleh Steven Wachlin, terbit pada tahun 1994. Untuk kurasi foto, melibatkan kontribusi dari Marianne Fluitsma dan Gerrit Knaap. “Woodbury & Page” barangkali yang memproduksi dan mencetak foto-foto Orientalis dari Hindia Belanda di studionya secara masif. Sayangnya dalam buku itu, foto-foto tersebut tidak banyak dijumpai—melainkan lebih mengunggulkan bangunan Indies yang secara arsitektur dibangun oleh kolonial, lanskap di Hindia Belanda, perjalanan yang menyertai pejabat kolonial dan kehidupan masyarakat kolonial yang dipotret dari kejauhan. Buku Cephas, Yogyakarta: Photograph in the service of the Sultan terbit pada tahun 1999, ditulis oleh Gerrit Knaap, sejarawan dan alumni Utrecht University. Minat penelitian Gerrit Knaap menyangkut sejarah Belanda di Asia dan Atlantik Selatan, khususnya pada masa kolonial, dalam konteks sejarah global.76 Buku ini dikerjakan dengan kurasi foto dilakukan oleh Yudhi Soerjoatmodjo. Dalam buku tersebut, Yudhi Soerjoatmodjo menulis The

75 https://kitlv.universiteitleiden.id/tentang-kami/ diakses pada 12 Maret 2020 76 https://www.uu.nl/staff/GJKnaap&t=0 diakses pada 11 Maret 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

Transfixed Spectator: The World as a Stage in the Photograph of Kassian Cephas77 yang menganalisa gaya Cephas memotret, menurut Yudhi, “dia memposisikan diri sebagai a spectator”, meski dalam konsep Barthes, Cephas adalah operator. Empat puluh foto Cephas—termasuk yang terbit dalam buku tersebut— pernah dipamerkan di Kraton Yogyakarta atas kerjasama Kraton, KITLV, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), dan diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwana X.78 Pameran digelar sejak awal bulan Juni 1999 mengiringi kehadiran buku tersebut. Buku Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies yang ditulis oleh Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser terbit pada tahun 2005. Buku ini tergolong yang paling ambisius karena disusun dalam dua bahasa, Inggris dan Belanda, dan pengerjaannya didahului oleh seminar Searching for and researching Isidore van Kindsbergen, 19th Century photography and drama in the Netherlands Indies79 yang diselenggarakan pada 14-15 Oktober 2004 dan dihelat oleh IIAS (International Institute for Asian Studies, Leiden) dan Huis Marseille, Foundation for Photography di Amsterdam. Foto-foto Van Kindsbergen juga dipamerkan di Huis Marseille pada 10 Desember 2005 hingga 26 Februari 2006 dengan tajuk sama persis dengan judul buku. Awal abad ke-20, kunjungan orang-orang Eropa tidak lagi terkait kolonialisme belaka tetapi juga turisme. Di masa ini beberapa pelancong pulang membawa foto sebagai oleh-oleh. Sedang mereka yang tinggal sedikit lebih lama memilih untuk mengirimkan kartu pos. Kartu pos menjadi medium baru dalam memperkenalkan Hindia Belanda ke Belanda dan masyarakat lain di luar sana. Kartu pos tertua yang dikoleksi oleh Olivier Johannes Raap, peneliti kartu pos Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, berasal dari tahun 1870-an yang diterbitkan oleh pos negara. Kartu pos dari periode itu belum bergambar. Baru sekitar 1900-an kartu pos bergambar mulai diterbitkan.80 Kartu pos bergambar itu menampilkan

77 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 25-27 78 https://majalah.tempo.co/read/layar/95455/cephas-fondasi-awal-fotografi-indonesia diakses pada 11 Februari 2020 79 https://www.iias.asia/event/searching-researching-isidore-van-kinsbergen-19th- century-photography-drama-netherlands-indies diakses pada 20 Maret 2020 80 Olivier Johannes Raap. Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, hlm. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

berbagai gambar indah, beberapa berwarna, bahkan penerbitnya tidak lagi pos negara tetapi juga penerbit-penerbit swasta. Kartu pos itu dibuat untuk memenuhi keinginan para pembeli yang sebagian besar peminatnya adalah orang asing sehingga sudut pandang yang ditawarkan adalah pandangan spectator asing. Tema yang diusung memang luas, meski tidak bisa dipungkiri bahwa foto-foto perempuan pribumi, di antara yang dihasilkan oleh para operator yang pernah bekerja di Hindia Belanda turut meramaikan “pasar” kartu pos—utamanya yang menunjukkan citra kehidupan eksotisme Timur dan hal-hal yang tidak ditemui di negeri mereka. Foto-foto karya Chepas, Van Kindsbergen, dan “Woodbury & Page” bertransformasi ke dalam bentuk kartu pos, beberapa dengan diberi sentuhan warna. Wajah-wajah “pribumi”, begitu pun perempuan mulai beredar dalam skala global dan ternyata sangat diminati. Kartu pos memperluas lagi skala persebaran wajah-wajah “pribumi” di pasar global. Olivier Johannes Raap, mengungkapkan bahwa tradisi itu, yang semula mengoleksi foto atau album foto terkait potret orang-orang pribumi berlanjut beberapa dasawarsa kemudian dalam wujud kartu pos yang mempunyai pasar lebih luas dan harga lebih murah.81 Kehadiran studio foto mempermudah produksi foto-foto yang mampu memenuhi pangsa pasar tersebut. Di luar proyek pemerintah Belanda di Hindia Belanda, para fotografer pun secara mandiri membuka studio foto. Beberapa teknik marketing dan upaya komersialisasi foto saat itu telah didukung oleh media cetak seperti koran. Iklan terkait studio foto dan tawaran pemotretan menghiasi koran-koran. Harga pun diusung. Elitisme foto mulai berkembang ke arah komersial. Siapa yang memiliki uang dapat mengaksesnya. Pada tahun 1862 jumlah fotografer di Batavia meningkat berlipat ganda.82 Nama dan studio foto para fotografer itu seringkali muncul di koran-koran, beberapa masih bertetangga dengan Isidore van Kindsbergen. Van Kindsbergen sendiri tidak beriklan, ia memiliki jaringan dan kontak yang cukup untuk mendapatkan mandat dan penugasan secara resmi dari pemerintah kolonial, salah satunya melalui jaringan Alexis Loudon, Sekretaris Jenderal Hindia Belanda, yang

81 Olivier Johannes Raap. Op.Cit, hlm. xiv 82 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser. Op.Cit, hlm. 26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

memainkan peran cukup besar. Liputan dari media massa atau koran lokal yang menyertai perjalanan petinggi kolonial Hindia Belanda saat berkunjung ke daerah seringkali memperlihatkan foto-foto Van Kindsbergen. Tentu itu memperkuat nama Van Kindsbergen sebagai fotografer terkemuka dibandingkan iklan di satu kolom khusus dan memberinya keuntungan tersendiri. Meski begitu, Van Kindsbergen tetap membuka studio foto di Batavia dan di Surabaya. Saat Cephas membuka studio di dekat rumahnya di Loji Ketjil, di Yogyakarta beroperasi juga dua studio foto lain yang dioperasikan oleh orang Tionghoa. Sementara ketika Woodbury membuka studio foto, ia pernah mengungkapkan dalam salah satu suratnya tertanggal 2 September 185783, bahwa di Batavia sudah ada beberapa fotografer yang bekerja dan datang lebih dulu sebelum mereka membuka studio, yakni: C. Duben dan A.F. Lecouteux. Dua fotografer ini juga mengiklankan bisnis mereka di koran. Iklan di koran menjadi salah satu daya tarik dan daya jual bagi studio foto. Iklan pendek itu biasanya mencantumkan nama studio foto, tempat/ alamat pemotretan atau studio foto, hingga harga cetak foto. Masa ini menandai komersialisasi foto. Komersialisasi fotografi dimulai pada 1850-an, termasuk halnya iklan. Konsumen terbesar “Woodbury & Page” yang paling utama adalah orang Belanda, beberapa orang Inggris dan Prancis, beberapa dari orang Tionghoa dari kelas kaya—sedang orang Melayu dipandang terlalu miskin untuk bisa membayarnya.84 Sebaliknya, orang- orang “Orient” itu justru banyak mengisi lensanya untuk kemudian dijual dan laris manis di pasaran. Tak jarang, nama fotografer menjadi merek dagang tersendiri dalam bisnis ini—dan ini dibuktikan oleh firma “Woodbury & Page” yang pernah berganti kepemilikan ketika dijual kepada Carl Kruger pada tahun 1864 dan mereka membangun merek baru yaitu “H.J. Woodbury & Co.” —yang sempat membikin pusing pemilik koran tempat mereka memasang iklan, sehingga memasang nama lama, dapat menjadi gambaran bisnis di era modern. Klien fotografer keliling ini, yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, untuk mencari klien baru, terutama pejabat kolonial Eropa yang kaya, kelas atas orang Tionghoa, dan penguasa lokal masih terus bertahan sampai awal abad ke-20.

83 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm 11 84 Ibid, hlm. 13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

Pada akhir 1850-an, teknologi fotografi telah berkembang menggunakan proses collodion yang jauh lebih efektif—dengan negatif dari plat kaca tunggal sehingga foto dapat dicetak dalam jumlah yang banyak dan bisa menekan harga— dibandingkan dengan daguerreotype.85 Penjualan negatif foto tidak hanya dilakukan Woodbury di dalam negeri tetapi hingga ke firma Negretti & Zambra, satu firma yang beroperasi di London. Dari sini potret ‘Timur’ Jawa terlihat nyata di mata para konsumennya yang diliputi rasa ingin tahu—dan hasrat itu terbayarkan secara visual melalui foto. Selain itu, karya-karya fotografi “Woodbury & Page” juga dipublikasikan di British Journal of Photography pada akhir tahun 1860 dan awal tahun 1861.86 Jurnal ini kini hadir dalam versi online dan masih bisa diakses hingga hari ini. Perkembangan fotografi komersial kian meningkat drastis pada periode 1900-an, harga sesi pemotretan pun merosot tajam. Beberapa studio foto gulung tikar, termasuk di antaranya “Woodbury & Page”. Firma “Woodbury & Page” di masa paling akhir dikelola oleh Busenbender dan beralih nama “Busenbender & Co.” pun gulung tikar dan menutup operasinya pada 27 Februari 1908. Seluruh aset dijual, termasuk peralatan di ruang gelap hingga keseluruhan isi studio foto. Cephas pensiun lebih dini dan bisnis dilanjutkan oleh anaknya, Sam Cephas—sayang bisnis ini kandas oleh kematiannya pada tahun 1912. Isidore van Kindsbergen telah lebih dulu meninggal pada 10 September 1905 di Batavia. Sebagian besar fotografer itu banyak yang kembali ke negeri asalnya, namun teknologi fotografi tetap berkembang di negeri koloni dan terus beralih tangan serta tetap memproduksi foto.

D. Rangkuman Dari bab ini dapat disimpulkan bahwa teknologi fotografi berkembang di wilayah koloni Hindia Belanda secara masif dikelola oleh orang asing, Cephas adalah perkecualian. Hasil produk foto pada awalnya memuat proyek-proyek yang diagendakan oleh pemerintah kolonial, memuat unsur Javanese Antiquities dan

85 Steven Wachlin. Op.Cit, 11-12 86 Ibid, hlm. 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

menjadi salah satu agenda utama, termasuk mendokumentasikan Candi Borobudur dan situs-situs lainnya. Seiring perkembangannya, fotografi mengiringi perjalanan petinggi kolonial, memotret kalangan bangsawan, hingga kemudian ada dorongan untuk memotret indigenous people atau orang kebanyakan—penduduk pribumi. Pangsa pasar fotografi meluas sejak dibukanya studio foto. Produk foto menjadi komoditas yang menarik, hingga harganya menjadi jauh lebih murah ketika hadir dalam bentuk kartu pos. Tiga fotografer yang menjadi sumber utama dari penelitian ini semuanya terkait dengan jejaring pihak kolonial dalam mendokumentasikan proyek-proyek pemerintah Hindia Belanda. Menariknya, ketiganya memiliki keunikan masing- masing, bukan semata karena asal-usul dan kebangsaaan yang berbeda, namun orientasi dan wacana yang mendasari karakter dari masing-masing fotografer juga sangat beragam. Dalam konteks penelitian ini, terkait dengan arsip perempuan (Jawa dan Bali), ketiga fotografer tersebut juga membidik perempuan pribumi dalam bingkai foto yang mereka buat. Dengan memahami latar belakang biografi dari masing- masing fotografer, diharapkan hal ini mempermudah pemahaman dalam membaca arsip foto—terkait foto perempuan pribumi (Jawa dan Bali) yang telah diseleksi untuk penelitian ini yang dibahas pada bab lebih lanjut. Setidaknya, foto-foto itu tidak akan berumur panjang tanpa keterlibatan lembaga dan aktor-aktor yang terus menerus mereproduksi arsip foto dan berulangkali memperkenalkannya kepada publik hingga muncul foto-foto yang seakan-akan akrab di mata spectator hari ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

BAB III MENGUNGKAP MAKNA DALAM ARSIP FOTO

Pada bab ini akan diuraikan bagaimana foto adalah sebentuk representasi. Representasi itu sebagian besar diproduksi oleh fotografer laki-laki. Fotografi pada masa kolonial tidak bisa terbebas dari male gaze atau tatapan laki-laki. Perempuan sebagai subjek dalam foto ditampilkan sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh operator. Citra perempuan ditampilkan sebagai objek kesenangan untuk dilihat, sensual, erotis, eksotik sekaligus simbol reproduksi seksual. Bab ini menjawab permasalahan pertama, tentang bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali) dengan menganalisis sepuluh foto dari sumber data yang telah saya seleksi. Sepuluh foto tersebut diseleksi menurut kecenderungan umum yang muncul dari keseluruhan foto perempuan pribumi yang saya amati dari ketiga buku yang menjadi sumber utama penelitian ini. Kesepuluh foto yang dijadikan sumber utama dalam penelitian ini sekaligus diuraikan dengan pemaknaan melalui teori studium dan punctum Roland Barthes dan pengkategorisasian berdasarkan tema yang relevan dengan wacana fotografi Orientalis.

A. Male Gaze atau Tatapan Laki-laki Teknologi fotografi di Hindia Belanda datang seiring kolonialisme. Sebelum teknologi itu tiba, gambaran tentang perempuan pribumi sudah dibuat oleh para litografer dan pelukis yang pernah berkunjung atau bekerja di Hindia Belanda, yang kemudian menyertai laporan dan dokumen yang dikirim ke Belanda. Kekuatan litografi sebagai salah satu dokumen visual telah mencapai jumlah produksi yang cukup banyak pada waktu itu. Sejak kehadiran teknik litografi, atau menggambar pada batu kapur untuk kemudian diberi tinta dan ditimpakan pada kertas—yang dalam perkembangannya menjadi bentuk awal teknik cetak bergambar dalam pelat logam, visualisasi gambar perempuan pribumi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

sudah bisa dijumpai di sana. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Walter Benjamin:

“Lithography enabled graphic art to illustrate everyday life, and it began to keep pace with printing. But only a few decades after its invention, lithography was surpassed by photography.87”

Litografi sebagai bagian dari seni grafis sudah digunakan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari pada masa itu, termasuk melukiskan perempuan pribumi. Namun hanya dalam kurun beberapa dekade saja, penemuan teknologi fotografi segera menggeser fungsi litografi. Sejak itu, fotografi lebih mendominasi sebagai produk budaya sekaligus dokumen yang dipandang penting untuk mengabadikan karena memiliki kekuatan detail visual dan produksi. Untuk menjawab permasalahan pertama, tentang bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali), saya akan menganalisis sepuluh foto dari ketiga buku yang saya sebut di muka. Karena para fotografer dari foto-foto itu laki-laki, saya memaknai foto dengan konsep male gaze yang mempengaruhi cara pandang operator ketika memproduksi foto. Perspektif maskulin menghadirkan perempuan sebagai objek seksual untuk kesenangan spectator laki-laki. Dalam sumber data ini, hampir keseluruhan foto ditampilkan untuk itu. Male gaze atau tatapan laki-laki menentukan dalam memproyeksikan fantasinya atas tubuh perempuan. Fantasi yang ditata sedemikian rupa menampilkan perempuan sebagai objek seksual di antaranya melalui motif erotis yang menggoda, memancing keingininan, hingga memprovokasi laki-laki. Kecenderungan tersebut muncul, misalnya pada foto “Demi Mondaine”, “Dua Perempuan Telanjang”, “Iloeh Sari”, dan “Gadis Jawa”.

B. Wacana Orientalisme dalam Foto Perempuan Pribumi Sub bab ini akan membicarakan bagaimana imaji operator bekerja atas perempuan pribumi (Jawa dan Bali) menurut wacana Orientalisme. Kesepuluh foto dalam penelitian ini dibedah sesuai dengan kategorisasi dalam tema-tema

87 Walter Benjamin. Op.Cit, hlm. 219 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

tertentu yang merepresentasikan mereka sesuai citra yang hendak dibangun oleh operator dan citra yang paling sering dimunculkan dalam wacana Orientalisme terkait perempuan pribumi (Jawa dan Bali) dengan teori “Camera Lucida” Roland Barthes.

1. Erotisme Perempuan Pribumi Dalam foto-foto Isidore van Kindsbergen saya menjumpai beberapa foto dengan gagasan erotis, baik itu pada perempuan Jawa maupun Bali. Misalnya pada foto berikut, saya melihat posenya yang sensual dan menggoda namun bernuansa elegan.

Gambar 3. “Demi Mondaine”: Perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1870 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 166

Ia rebahan, meski tidak di atas kasur, melainkan di sofa dengan punggung dialasi bantal bermotif dengan tangan kanan bertumpu pada lengan sofa guna menyangga kepalanya biar tetap tegak menatap kamera. Saya terpesona melihatnya. Ia muda, cantik alami, dan hanya mengenakan rias wajah tipis. Rambutnya yang hitam ikal dibiarkannya tergerai di bahu kiri. Ia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

memakai perhiasan: kalung, subang dan cincin yang melingkari jemari tangan kanan dan kiri menandakan ia cukup berpunya. Sofa itu sengaja dilapisi kain tebal seakan membiarkan tubuhnya bakal nyaman dalam pose seperti itu. Operator sepertinya memikirkan detail properti untuk mendukung hasil fotonya secara maksimal. Sendal selop bordir berhias bunga terlihat hanya sebelah di sisi bawah sofa, setidaknya itu menambah kualitas selera “fashion”-nya. Mata gadis itu tajam menatap ke arah kamera. Ia menawarkan senyum tipis tidak berlebih. Mendadak mata saya mengarah pada bagian dadanya yang ternyata polos tanpa kemban. Pose sensual terbit manakala tatapan mata kita, spectator, jatuh pada bagian dadanya yang nir-kemban itu, hanya disampiri selendang sedemikian rupa. Betis sisi kanannya menyemburat di balik kain jarik motif udan liris yang melilit pinggangnya, menambah efek menggoda. Gagasan erotis muncul manakala beberapa lapis kain itu, yang secara sengaja dilucuti atau tidak dipakai atau dibiarkan tersingkap oleh subjek, hingga memperlihatkan bagian-bagian dari tubuhnya. Bagian tubuh yang dibiarkan terekspos umumnya yang cenderung menimbulkan rangsangan. Hal itu masih didukung dengan pose rebahan. Pose itu memiliki konotasi negatif, mengandung makna “mengundang” hasrat. Erotisme yang dihadirkan Van Kindsbergen dari foto itu sebenarnya masih menampakkan sisi kelembutan sekaligus sisi menggoda dari perempuan Jawa yang tampil tidak buka-bukaan tetapi mengundang hasrat. Tidak cukup itu, operator menempelkan pesan tersembunyi atas subjek. Pesan tersembunyi yang disampaikan dari visualisasi subjek itu muncul pada judul foto yakni, “Demi Mondaine”: perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa. Siapa Demi Mondaine? Mengapa Demi Mondaine dilekatkan atas subjek dalam foto? Apa kaitannya subjek dengan Demi Mondaine? Sedang sebutan Nonna, umumnya merujuk pada sapaan untuk perempuan muda yang belum menikah. Bukankah itu kian menggoda? Dia adalah gadis muda, belum menikah, sosoknya lekat dengan Demi Mondaine dan tampil sensual di depan kamera. Demi Mondaine adalah istilah yang diambil dari bahasa Prancis yang berarti perempuan yang melakukan hubungan seks bebas—sinonim untuk pelacur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

atau perempuan simpanan. Demi Mondaine adalah judul drama yang terkenal karya Alexander Dumas yang pernah dipentaskan di Prancis pada tahun 1855. Paris adalah salah satu tempat Van Kindsbergen pernah tinggal dan mendalami ketrampilan melukis untuk dekor opera.88 Gagasan itu semakin menegaskan bahwa wacana dan referensi dalam pikiran operator berpengaruh dalam setiap bidikannya dan dalam konteks ini terlihat dari pose, pemilihan model hingga judul foto. Cerita “Demi Mondaine” sendiri mengisahkan tentang pelacuran yang mengancam institusi pernikahan. Imaji itu sangat berbeda dengan foto berikutnya: Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen89. Entah mengapa saat menatap foto sepasang model yang bugil itu saya cukup terganggu. Bukan karena ketelanjangannya, tetapi karena kecanggungan model yang saya rasakan. Berbeda dengan model Demi Mondaine yang jauh lebih rileks dan nyaman—senyaman sofa tempat ia rebahan, kedua perempuan itu tampil telanjang namun berpose membelakangi kamera. Perempuan yang di sebelah kiri mengangkat kaki kirinya dan menumpukannya pada kursi dengan kain jarik menggantung, sementara lengan kanannya merangkul perempuan di sebelahnya yang menyilangkan kaki kirinya ke belakang seolah menyiratkan keragu-raguan.

88 Lihat Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, Op.Cit, hlm. 14 89 Ibid, hlm. 167 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Gambar 4. Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1870 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 167

Foto Van Kindsbergen menimbulkan “rasa malu” pada diri saya sebagai spectator, perasaan ini bisa jadi sangat subjektif. Ada “luka” dalam konteks Barthes dan itu susah hilang. Apa penyebabnya? Saya pun bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Efek perasaan itu barangkali didorong oleh perilaku sepasang perempuan dalam foto—menyaksikan mereka telanjang, berangkulan, tapi ada kesan canggung atas adegan di mana mereka terlibat—sehingga kesan yang saya dapatkan dari foto itu saya tidak mendapatkan kenikmatan saat memandangnya. Berulangkali saya coba, hasilnya tetap merisaukan. Ketidaknyamanan pada diri subjek itu salah satunya dapat dilihat dari ekor mata mereka yang sadar bahwa ada yang sedang mengamati adegan tersebut: kamera dan operator. Lokasi pemotretan sebagaimana disebut dari judul foto berada di studio foto Van Kindsbergern. Foto berlatar polos itu berhasil menonjolkan subjek yang difoto sebagai fokus utama. Jika menilik dari postur tubuh model, keduanya perempuan dewasa dan matang secara fisik atau cenderung kekar, kemungkinan dalam rentang usia sekitar PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

20-an tahun. Rambut hitam yang dibiarkan tergerai mengundang kesan santai atau ingin tampil apa adanya. Jika ditilik dari properti yang ditampilkan oleh Van Kindsbergen, operator menempatkan kursi di sebelah kiri. Kursi adalah simbol status sosial. Penempatan kursi di situ menegaskan status sosial perempuan tersebut bukan dari kalangan biasa. Perempuan di sebelah kiri, menempatkan kaki kiri jigang atau mengangkat sebelah kakinya, memperlihatkan ia memiliki kuasa baik secara kelas sosial atau pun usia dan tampak lebih mendominasi dibandingkan perempuan di sebelah kanan. Jika merujuk pada upacara adat Jawa, ada prosesi “nontoni” sebelum dilangsungkan suatu pernikahan. “Nontoni” berarti saling melihat. Prosesi ini biasanya diwakilkan kepada kerabat perempuan guna menilai dari dekat calon yang akan dilamar sebagai istri, termasuk secara fisik. Dari proses tersebut akan menentukan apakah tahap lamaran akan dilangsungkan atau tidak. Selembar kain jarik yang tidak dikenakan itu kemungkinan dari pihak yang “nontoni”, supaya pihak yang “ditontoni” merasa lebih rileks dalam prosesi tersebut. Dari situ dapat diketahui tubuh mereka yang tampak gemuk berarti mereka dari kalangan yang berkecukupan, sedang panggul lebar sebagai simbol kesuburan karena memiliki peluang melahirkan secara normal. Tampak di situ figur perempuan yang di sebelah kiri bersikap melindungi perempuan di sebelahnya—semacam sikap maskulin merujuk pada keluarga calon suami— dengan rangkulan yang menunjukkan kedekatan satu sama lain meski dalam sikap ini sebenarnya tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat intim tetapi lebih tampak sebagai sikap menguatkan atau menenangkan kegelisahan si perempuan yang “ditontoni” tersebut. Dalam konteks “nontoni” kehadiran Van Kindsbergen dan kamera memang semestinya tidak ada dan di situlah letak “gangguan” yang saya maksud yang menghasilkan “luka”. Replikasi atas adat Jawa yang semestinya berlangsung dalam ruang tertutup dan hanya disaksikan oleh pihak yang dipercaya dari keluarga laki-laki ke dalam studio foto atau ruang yang disulap sedemikian rupa semacam studio dengan kanvas di belakang model menghadirkan “kecanggungan” dari model. Van Kindsbergen memang memiliki keahlian dramaturgi dalam foto- fotonya. Hal itu didasari oleh latar belakang dan kapasitasnya malang melintang di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

dunia opera. Adegan dalam foto itu seperti sebuah “scene” yang ingin menampilkan sisi lain dari perempuan Jawa dan adatnya. Namun pada “scene” itu keduanya ditampilkan dengan saling merapatkan badan. Dalam konteks penonton “Barat” yang tidak memiliki referensi kultural Jawa, sisi erotis yang ditangkap dari foto itu adalah keduanya tampak seperti pasangan lesbian. Bagaimana pun kemampuan dramaturgi Van Kindsbergen memberikan masing-masing foto tafsir dan pemaknaan yang unik, dan tentu membuat saya kian berhati-hati saat berhadapan dengan foto-fotonya. Pose-pose yang ditawarkan pun beberapa terasa sangat tidak familiar bahkan hingga kini. Kedua foto di atas mewakili potret erotisme perempuan Jawa. Beda lagi dengan yang ditawarkan Van Kindsbergen dari perempuan Bali. Sebenarnya sangat disayangkan dari ketiga buku itu hanya buku Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies yang menampilkan foto perempuan Bali, meski sebenarnya “Woodbury & Page” juga pernah berkunjung ke sana, namun dalam Woodbury & Page: Photographers Java tidak ditemukan satu pun foto-foto mereka terkait Bali padahal foto ketika mereka berkunjung ke Aceh dimunculkan. Foto-foto Van Kindsbergen di Bali diambil saat ia mengikuti perjalanan resmi Gubernur Jenderal Sloet van de Beele pada tahun 1865-1866. Selama di Bali, Van Kindbergen berperan sebagai operator. Selain memotret beberapa situs kuno, ia mengambil foto Gusti Ngurah Ketut Jilantik—Raja Buleleng, dan beberapa orang di dalam puri Singaraja, termasuk putri raja dan istrinya. Menariknya, Van Kindsbergen juga sempat mengambil foto budak-budak raja. Gadis Bali itu, awalnya saya anggap sebagaimana umumnya citra perempuan Bali yang telah terekam dari berbagai foto yang diabadikan oleh sejumlah fotografer tentang mereka yang umumnya tampil bertelanjang dada. Imaji itu juga yang saya tangkap dari foto Van Kindsbergen. Tapi tunggu dulu, cerita menjadi berbeda ketika saya baca judul foto yang menuliskan bahwa ia adalah Iloeh Sari, budak Raja Buleleng. Sepertinya Van Kindsbergen sengaja menawarkan sesuatu yang berbeda yang jarang dijumpai tentang Bali—yakni budak, termasuk budak perempuan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

Gambar 5. Iloeh Sari, budak raja Buleleng, Bali Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1865-1866 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 62 KITLV, Leiden 4390

Saat melihatnya, saya menangkap citra perempuan Bali di masa lalu sebagaimana referensi visual yang saya miliki tentang perempuan Bali yang umumnya bertelanjang dada. Referensi pengetahuan saya tentang perempuan Bali telah terkontaminasi oleh wacana yang umum beredar dan saya konsumsi. Jadi penampilan Iloeh Sari tampak biasa dan tidak mengejutkan. Operator memasang latar kanvas polos di belakangnya, menampilkan figur lebih menonjol persis di tengah bidang foto. Teknik pengambilan foto seperti itu menampakkan ia sebagai pusat objek. Gaya berbusananya mencitrakan ia dari kelas biasa. Antingnya unik berukuran besar tapi sepertinya tidak dibuat dari emas. Cara ia mengenakan kain sarung pun kelewat sederhana. Rambut Iloeh Sari diikat ke belakang, tampak tidak tertata dengan rapi. Ada kesan digelung dengan terburu-buru atau memang tatanan itu sudah mulai serawutan setelah ia bekerja. Tubuhnya tidak kekar. Duduknya pun dengan punggung melengkung ke depan. Pose duduk itu menegaskan bahwa ia sedang tidak berdaya. Ia duduk di atas tenggok—kotak anyaman bambu yang berfungsi sebagai wadah atau alat angkut—yang dilapisi tatakan kayu. Selendangnya, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

di situ berfungsi sebagai alat kerja, ditaruhnya di atas paha. Pose ini menyiratkan Iloeh Sari sedang beristirahat. Properti yang digunakan Van Kindsbergen mendukung pose figur yang dipotretnya. Ekspresi wajahnya biasa, dengan bibir tertutup. Ada kesan percaya diri di raut wajahnya yang masih remaja. Usianya kemungkinan di rentang 14-an tahun dengan buah dada yang baru tumbuh. Pada foto berikutnya, ada Iloeh Sari dan I Mriyakti yang ditampil bersama. Kain selendang tadi justru digeletakkan begitu saja di lantai oleh Iloeh Sari. Artinya, ia sedang tidak bekerja. Ia berdiri di sebelah I Mriyakti dengan tangan mengarah ke I Mriyakti. I Mriyakti berpose mengenakan kemban sebagai penutup dada. Ia duduk sambil membelakangi kamera, menyisakan kesan misterius dari sosok budak, berkebalikan halnya dengan Iloeh Sari. I Mriyakti tampil tanpa memperlihatkan wajah. Hanya geraian rambut hitam dengan hiasan kepala seperti jengger, besar kemungkinan dari emas, di atas kepala. Hiasan pada rambut umumnya dikenakan perempuan Bali pada upacara atau acara-acara resmi. Sayangnya rambut itu tidak digelung. Apa Iloeh Sari berencana mendandaninya?

Gambar 6. Dua budak Raja Buleleng: I Luh Sari dan I Mriyakti Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1865-1866 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 194 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Punggung I Mriyakti lebih kekar, begitu pun postur duduknya lebih tegak dibandingkan Iloeh Sari. Pasti ia lebih spesial. Tapi siapa I Mriyakti? Mengapa ia ditampilkan secara misterius? Subjek misterius selalu terkait dengan identitasnya yang tersamarkan. Secara psikologis, posenya menimbulkan tanda tanya. Menilik detail busana yang ia kenakan, ia seperti sedang dipersiapkan untuk sesuatu. Dari dua pose yang berlawanan itu, barangkali Van Kindsbergen hanya ingin menonjolkan sosok budak Iloeh Sari. Atau operator sengaja ingin menampakkan sisi misterius atau yang tak terpahami dari si budak. Di satu sisi, budak Iloeh Sari memperlihatkan wajah yang menyenangkan, percaya diri, badan berpenampakan gesit karena tangannya memegangi selendangnya yang menunjukkan ia siap kerja. Tapi apa yang tampak dari I Mriyakti dalam posisi duduk, pasif, membelakangi kamera, tak tampak sama sekali wajahnya, rambut yang terurai seakan menyimpan sisi liar, meski ia mengenakan kemban. Di sini misteri ditawarkan oleh operator. Bahwa memiliki budak seperti memiliki dua sisi mata uang—seperti ada hal-hal yang tidak diketahui dari asal muasal budak-budak itu dan bagaimana karakter mereka sesungguhnya. Sekali pun ada sisi erotis yang ditawarkan, ada sisi lain—dengan konotasi negatif, gelap, misterius yang dipresentasikan Van Kindsbergen untuk menjadi pengingat bagi spectator. Dari dua foto yang sama-sama menampilkan dua perempuan tersebut jika dibandingkan, Gambar 6. dapat dimaknai bahwa dalam kultur Bali, perempuan sudah disiapkan “sebagai pekerja” bahkan ketika fisiknya bahkan belum siap, seperti tidak kekar dan belum berdaya. Semacam ada asumsi nanti postur itu akan terbentuk seiring dengan aktivitas fisik. Hal itu merujuk pada maraknya praktek perbudakan, termasuk perbudakan di Bali masih pada masa yang sama. Pada Gambar 4. tampilan “Dua Perempuan Telanjang” dengan profesi yang tidak jelas memperlihatkan fisik perempuan matang, kekar, rumahan, dan siap untuk diperistri. Detail fisik kekar barangkali tidak sepenuhnya merujuk pada aktivitas sebagai “pekerja”, tetapi berkat olah tubuh yang baik. Kesadaran olah tubuh dan cara berbusana lambat laun bisa membentuk fisik seseorang. Praktik ini ada dalam tradisi Jawa. Van Kindsbergen seperti menyiratkan bahwa ada dua kesan sekaligus dari sosok budak perempuan yang perlu dicermati: kecantikan dan daya kerja, serta PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

ketidaktahuan majikan atas masa lalu budak yang membuatnya menjadi tidak dikenali secara baik seperti konotasi yang dihadirkan oleh Van Kindsbergen melalui pose I Mriyakti. Dan sekali lagi, di sini, adegan dan pose itu ditata dengan apik oleh sang operator sehingga menyimpan makna-makna konotatif. Meski begitu, foto budak perempuan itu berhasil memperlihatkan kesan mengapa budak perempuan Bali dihargai mahal di pasar budak kala itu. Terlebih, keduanya, Iloeh Sari dan I Mriyakti, adalah budak perempuan Raja Buleleng. Semua foto-foto yang ditampilkan Van Kindsbergen terkait perempuan Bali hadir dengan penutup dada, kecuali foto para budak perempuan. Sejarah perbudakan di Hindia Belanda sendiri termasuk jarang sekali disinggung dalam penelitian sejarah, namun foto Van Kindsbergen dengan jelas menunjukkan bahwa perdagangan budak pernah terjadi selama kurun kolonialisme Belanda. Bali adalah salah satu wilayah pemasok budak, selain menyediakan budak-budak dari Bali, pulau itu juga menjadi tempat transit bagi budak-budak lain dari luar Bali, seperti terekam dalam kamera Van Kindsbergen ada budak perempuan dari Papua. ‘Brit’90, si budak Papua itu, berdandan layaknya perempuan Bali—ia bertelanjang dada. Budak Bali di pasar dikenal memiliki harga tinggi, utamanya budak perempuan. Barangkali tampilan “Brit” ditujukan supaya ia memiliki harga setinggi budak perempuan Bali. Sejak abad ke-10, Bali telah menjual budaknya sendiri dan dari wilayah Indonesia Timur lain, tetapi dengan adanya Batavia dan kondisi perdagangan baru memungkinkan perdagangan budak tumbuh subur sampai orang Bali menjual hingga dua ribu orang, perempuan dan anak-anak dalam setahun.91 Perempuan Bali, sebagaimana diungkapkan Vickers, memiliki harga tinggi dalam pasar budak di Batavia, bukan sebatas dijual sebagai pembantu atau pekerja kasar, mereka ada yang dibeli untuk dijadikan istri, yang di masa begitu laku bukan karena citra erotisnya tetapi karena ketrampilan kuliner mereka hingga perempuan Bali kadang ada yang memiliki posisi sebagai Nyai, istri simpanan pria Belanda. Lalu mulai pertengahan abad ke-17, perdagangan budak membuat Bali tampak menarik sekaligus mengancam, tempat untuk memperoleh perempuan

90 Foto budak “Brit” karya Van Kindsbergen ca. 1865 terdapat dalam Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 51 91 Ibid, hlm. 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

yang berguna, tapi budak laki-lakinya seringkali menunjukkan temperamen gampang memberontak.92 Budak-budak dari Bali dan wilayah Indonesia Timur diperdagangkan tidak hanya ke Batavia, tetapi hingga mencapai belahan bumi yang lain sebagaimana halnya budak-budak dari Jawa yang diperdagangkan dan dibawa hingga ke Suriname sebagai buruh perkebunan. Belanda berangsur-angsur menerima bahwa perbudakan melanggar kebebasan dasar manusia. Pada tahun 1830-an Belanda telah menghentikan semua perdagangan budak, meskipun perdagangan budak di Bali masih berlanjut hingga 1860-an.93 Perdagangan budak itu baru dihentikan sejak awal abad ke-19 ketika ada pelarangan memperjualbelikan budak, termasuk praktik satia atau pengorbanan janda sebagai tanda setia pada suaminya. Di balik citra eksotisme Bali, ada cerita tentang perdagangan budak yang memiliki sejarah panjang dengan kolonialisme. Bahkan budak-budak dari Jawa yang dibawa ke Suriname pun kisahnya seakan menghilang bersama kapal-kapal yang membawa mereka berlayar jauh dari tanah asal. Belanda paling akhir memberlakukan pelarangan perdagangan budak di antara negara-negara di Eropa, yakni pada tahun 1860-an. Perbudakan secara resmi dihapuskan di Hindia Belanda pada tahun 1860.94 Imaji erotis yang paling menonjol dari para fotografer di Hindia Belanda atas perempuan pribumi umumnya muncul dari citra perempuan Bali. Sayangnya, dari ketiga buku itu, foto perempuan Bali yang ditampilkan jauh dari kesan erotis sebagaimana yang muncul di buku-buku lain, misalnya dari karya-karya Gregor Krause dalam Bali 1912, atau dapat diamati dari karya sepasang suami-istri etnografer Gregory Bateson & Margaret Mead dalam Balinese Character: a Photographic Analysis (1942).

2. Eksotisme Perempuan Pribumi Gagasan eksotis muncul dalam perspektif Barat ketika melihat perempuan Timur sebagai “the Orient”. Gagasan itu nyaris mendominasi keseluruhan sudut

92 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 26 93 Ibid, hlm. 40 94 Dienke Hondius (et.al.), Amsterdam Slavery Heritage Guide, hlm. 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

pandangan operator dalam penelitian ini yang menghadirkan foto terkait perempuan pribumi Jawa dan Bali. Ada daya tarik khas yang ditampilkan oleh masing-masing operator. Kekhasan tentang perempuan pribumi yang tampil dengan rambut hitam gelap, berkulit cokelat, dalam balutan busana batik atau wastra yang dipakai dengan teknik dibebatkan menutup bagian bawah tubuh mereka dan di bagian dada kadang ditutup kemban atau asesoris lokal. Dalam masyarakat adat, perempuan sering digambarkan sebagai tempat penyimpanan nilai-nilai dan cara-cara tradisional.95 Termasuk dalam hal berpakaian. Kekhasan fisik tetap dipertahankan oleh operator guna memperkuat gagasan eksotis, kadang dilengkapi dengan detail latar untuk mendukung penampilan subjek. Fantasi eksotisme atas “the Orient” ini didorong oleh Timur sebagai tanah koloni yang tersubordinasi dan dieksploitasi secara terang-terangan, termasuk para perempuannya. Kassian Cephas pun tidak terbebas dari wacana tersebut. Ia menampilkan eksotisme perempuan Jawa yang ayu, lembut sekaligus kalem. Foto studio yang dibuatnya ca. 1900 memperlihatkan kecantikan alami perempuan Jawa. Dua foto dengan model yang berbeda itu dibuat Cephas di studio yang sama. Kanvas berlukiskan bunga yang digunakan sebagai latar pun sama seolah menjadi pendukung gagasan keelokan yang ditawarkan oleh operator.

95 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

Gambar 7. Foto studio gadis Jawa duduk di atas dedaunan, jerami, dan batang pohon Foto Kassian Cephas ca. 1900 Sumber: Gerrit Knaap, 1999: 93

Seperti model di atas, gadis itu duduk sambil bertopang dagu, entah sedang memikirkan siapa. Ia menatap ke arah samping memperlihatkan raut wajahnya yang ayu. Tangan kanannya diletakkan di pangkuan. Kaki kirinya yang menjadi tumpuan badan, tersembunyi di balik kain jarik yang ia kenakan. Ia mengenakan busana pinjung kencong dengan semekan tanpa rasukan. Menurut Mari S. Condronegoro, semekan dalam pengertian ini berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain panjang biasa, berfungsi sebagai penutup dada.96 Pada bagian penutup dada kain disimpul berbentuk segitiga. Busana seperti itu umumnya digunakan sebagai busana sehari-hari baik untuk remaja menjelang dewasa di atas 10 tahun atau belum mengalami mestruasi. Sosok dalam foto itu mencitrakan figur perempuan Jawa ideal dalam perspektif operator. Rambut ditata rapi ke belakang, berkonde tipis, ukel tekuk polosan dan hanya memakai subang. Bahunya dibiarkan terbuka. Seperti inilah khas gadis Jawa dalam imaji Cephas yang ia sodorkan kepada spectator—nya, baik Barat maupun pribumi. Tambahan detail seperti dedaunan, jerami, dan batang pohon menegaskan kealamian figur model.

96 Mari S. Condronegoro. Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937, hlm. 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Gambar 8. Foto studio gadis Jawa dengan latar kanvas berlukiskan bunga dan pohon Foto Kassian Cephas ca. 1900 Sumber: Gerrit Knaap, 1999: 94

Foto kedua dari Cephas di atas diambil di studio yang sama dengan latar kanvas yang sama tapi tanpa menggunakan properti tambahan. Gadis Jawa ayu itu tampil dengan menggeraikan rambutnya secara bebas. Beda halnya jika ia tampil berkonde, itu artinya ia telah bersuami. Tangan kanannya tampak memegang bunga seolah baru saja memetik bunga-bunga yang ada di latar foto, sekaligus ingin menegaskan keelokannya yang tampil natural. Tubuhnya dililit kain jarik motif nitik hingga kakinya pun nyaris tak tampak, berkemban dengan pundak dibiarkan terbuka. Ia memakai busana ubet-ubet atau semekan bedinan yang umumnya dikenakan dalam busana sehari-hari. Ia mengenakan sabuk wala, sabuk dari kain batik yang dililitkan dari pinggang sampai perut lalu dilipat pada bagian muka. Ia mengenakan sepasang subang menambah kesan elok. Senyumnya tipis saja. Usianya kemungkinan sekitar 16 tahun. Foto-foto Cephas adalah sekian di antara foto yang bermetamorfosa ke dalam bentuk kartu pos dan sangat digemari. Dalam Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe (2017), kartu pos dari foto kedua itu diberi judul Perpaduan Gadis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

dan Bunga yang Menawan97, dan satu di antara kartu pos yang dikoleksi oleh Olivier Johannes Raap pernah dikirim ke Belanda pada tahun 1932. Kedua foto Cephas itu meskipun menampilkan kelembutan tergolong menggoda dan nikmat dipandang. Tidak seperti foto-foto Van Kindsbergen, Cephas menampilkan perempuan Jawa secara lebih halus. Tidak tampak misteri. Mereka terlihat kalem. Tidak liar. Tapi sekaligus mereka menampilkan ciri khas etnis Jawa yang berkulit agak gelap dengan rambut dan bola mata hitam—hal yang mungkin dipahami Cephas dan ia potret dari masyarakatnya. Citra itu ditegaskan dari cara berbusana, sikap tubuh dan pose yang cenderung sangat dekat dengan kultur Jawa. Artinya, sekali melihat pun kita seperti diajak Cephas mengenali masyarakatnya—tidak menebarkan lapis-lapis konotatif atau pesan- pesan tersembunyi yang rumit. Namun, justru di situlah letak kegelisahan saya kemudian, terlebih terkait foto-foto figur perempuan aristokrat yang dibuat oleh Cephas.

3. Figur yang Terdomestikasi Apa yang menarik dari perempuan-perempuan bangsawan? Bagaimana operator menampilkan mereka? Apa figur aristokrat perempuan Jawa dan Bali dipotret dalam karakter yang sama? Perempuan-perempuan bangsawan itu banyak yang menjadi subjek foto pada saat kunjungan para fotografer ke istana. Itu tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di Bali. Dalam Local Representations of Power: on Royal Portrait Photography in Iran diungkapkan bahwa foto-foto terkait bangsawan atau raja memiliki fungsi sebagai objek material yang mewakili kekuatan absolutnya, sayangnya, foto-foto itu terbukti tidak memadai sebagai ilustrasi wujudnya yang tertinggi.98 Sebagaimana dalam konteks Jawa terdapat konsep dewa-raja atau konsep khalifatullah, yang tentu akan sulit dihadirkan dalam foto. Di Hindia Belanda, figur kraton adalah bagian dari representasi penguasa di Jawa, termasuk tradisi dalam kraton—sebagaimana didokumentasikan oleh Isidore van Kindsbergen, "Woodbury & Page", dan Kassian Cephas yang didaulat

97 Olivier Johannes Raap. Op.Cit, hlm. 26 98 Ali Behdad. Op.Cit, hlm. 141 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

sebagai fotografer istana. Namun sosok semacam itu hanya dapat dijumpai dari figur laki-laki, seperti potret Sultan yang dilengkapi dengan berbagai atribut kekuasaan bukan semata dalam berbusana tetapi regalia yang menunjukkan ia berdaulat dan berkuasa. Lantas apa yang ditunjukkan dari foto-foto dengan subjek perempuan bangsawan? Rata-rata pose yang disodorkan oleh operator melalui foto-foto yang mereka produksi terkait perempuan-perempuan di lingkungan kraton sangat mirip: sosok raden ayu duduk di kursi dengan dampar penyangga kaki. Kursi memiliki konotasi strata sosial dalam fotografi. Mayoritas potret bangsawan, jika tidak difoto dalam pose berdiri, mereka akan berpose dengan duduk di kursi. Ini yang membedakan kelas sosial mereka. Citra yang berbeda setidaknya dihadirkan oleh Van Kindsbergen selain pose sebagaimana umumnya, ia mengarahkan pose seperti pada foto di bawah ini:

Gambar 9. Tiga Putri dari Sultan Hamengku Buwana VI Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1862-1865 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 178

Pose Van Kindsbergen dalam menampilkan ketiga putri itu cukup menarik bagi saya karena menampilkan para putri dalam pose modern—saling berangkulan, semacam memperlihatkan sikap saling mendukung satu sama lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Keluarga bangsawan umumnya memiliki selera berbusana yang berbeda dari rakyat kebanyakan. Kraton Yogyakarta membuat serangkaian paugeran (aturan tertulis) bagi para bangsawan bahkan dalam hal berbusana. Busana dipandang sebagai pendukung kelas sosial. Mereka mengenakan subang dan sederet cincin menghias jemari tangan kanan dan kiri. Lalu ornamen bros dikenakan pada bagian tengah kebaya bertingkat tiga. Perhiasan juga menjadi salah satu simbol kelas sosial. Putri yang paling tengah memegang kipas dari bulu —kemungkinan angsa dengan bandul menjulur jatuh ke bawah. Tatapan mereka jauh melampaui lensa kamera memperlihatkan tatapan visioner. Sayangnya, visi apa yang ada di situ tidak terjangkau oleh saya. Ketiganya mengenakan rasukan panjang peniti sungsun dan kain batik motif parang klithik yang dikenakan dengan model seredan. Motif batik itu umumnya dikenakan oleh para puteri raja yang belum menikah. Busana model ini biasanya digunakan untuk menghadiri acara-acara Gupernuran atau acara kerajaan yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal dan para pejabat Belanda. Kelengkapannya cenela atau alas kaki berupa selop beludru bermotif bordiran kembang, rambut ukel tekuk, peniti sungsun tiga, subang dan cincin. Royal costume di atas berbeda dengan yang diperlihatkan oleh kedua istri raja Buleleng berikut yang tampil dengan asesori sejenis mahkota hingga gelang kaki yang membedakan mereka dari figur-figur umum lainnya, termasuk kelas sosial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

Gambar 10. Dua istri Raja Buleleng, Singaraja: Djero Trena dan I Djampiring Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1865-1866 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 60

Istri raja Buleleng tersebut tampil dengan payas agung dan mengenakan hiasan kepala bercorak bunga-bunga. Keduanya memakai kamben—kain yang digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah—dan penutup dada. Van Kindsbergen menampilkan dua figur istri raja Buleleng dalam satu bingkai yang dipisahkan dengan meja kecil. Mari S. Condronegoro dalam Busana Adat Kraton Yogyakarta 1877-1937: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara (1995) mengungkapkan jika para bangsawan, termasuk perempuannya, mempertegas penampilannya agar berbeda dengan rakyat biasa. Bahkan ada aturan berbusana di kalangan Kraton Yogyakarta yang sudah dibuat sejak masa Hamengku Buwana II melalui paugeran yang berisi etika berbusana dan bertata krama di lingkungan kraton bagi para bangsawan sebagaimana termuat dalam “The Archive of Yogyakarta Vol 1.”:

Pada Kamis, 2 Agustus 1792 oleh Hamengku Buwana II dibuat instruksi yang memuat rincian etiket yang benar bagi semua pejabat kraton ketika menghadiri pertemuan publik, termasuk bagi anggota keluarga kraton, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

pejabat pengadilan senior, hingga para pengikut mereka. Klausul itu terdiri dari 18 prakara, yang berhubungan dengan penggunaan tandu, songsong, kuda, jenis batik dan keris.99

Gusti Kangjeng Ratu Hemas dalam foto berikut setidaknya mempresentasikan itu. Ia tampil dengan jarik motif larangan yang hanya boleh digunakan oleh keluarga istana. Motif batik, dulu, memperlihatkan derajat pemakainya. Motif-motif itu juga memiliki makna simbolik. Ia mengenakan jarik motif parang rusak. Motif parang rusak masih menjadi motif larangan hingga Sultan Hamengku Buwana VIII. Menurut Mari S. Condronegoro:

Corak kain berpola pedang ini dikenakan oleh para ksatria atau penguasa. Komposisi miring pada parang melambangkan kekuasan dan gerak cepat, oleh karenanya para pemakai parang diharapkan dapat bergerak cepat dan gesit.100

Busana yang dikenakan oleh Gusti Kangjeng Ratu Hemas itu termasuk busana resepsi ageng atau upacara resmi Kraton Yogyakarta. Ia memakai rasukan panjang peniti sungsun. Kebayanya berbahan broklat berbordir manik-manik emas. Selopnya juga berbordir benang emas. Ia mengenakan subang dan riasan wajah. Cara berbusana bagi perempuan bangsawan Kraton Yogyakarta tergolong rumit dan memiliki banyak detail meskipun sekilas terkesan sederhana. Melalui pakaian yang dikenakan, para bangsawan sebagai koreografer busana adat, berusaha memperlihatkan adanya konsep gung binathara yang memperkuat stabilisasi kedudukannya di mata umum.101 Dalam perspektif visual para operator, gagasan berbusana dan pose aristokrat itu masih dipertahankan, tetapi pertanyaannya kemudian, makna apa yang dapat ditangkap dari visualisasi tersebut selain menunjukkan bahwa mereka adalah perempuan bangsawan?

99 P.B.R. Carey (ed.). The Archive of Yogyakarta Vol 1: Document Relating to Politics and Internal Court Affairs 100 Mari S. Condronegoro. Op.Cit, hlm. 19 101 Ibid, hlm. 40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

Gambar 11. Gusti Kangjeng Ratu Hemas, permaisuri Sultan Hamengku Buwana VII sejak 1883 Foto Kassian Cephas sebelum 1890 Sumber: Gerrit Knaap, 1999: 32

Saya menangkap citra yang lain dari presentasi operator. Mereka ditampilkan sekadar sebagai istri atau disebut “permaisuri” bagi istri pertama Sultan. Dalam teks yang menyertai foto saya jumpai keterangan bahwa Gusti Kangjeng Ratu Hemas, “ia melahirkan sebelas anak, lima laki-laki dan enam perempuan.102” Kursi dengan sandaran menempatkan posisi duduknya tegak. Wajahnya lurus menghadap ke arah kamera dengan sorot mata tegas. Tangan di atas paha dengan kipas kecil memperlihatkan gestur perempuan berwibawa dan berkelas. Sebagaimana diungkapkan terkait kedua istri Raja Buleleng di atas, yakni Djero Trena dan I Djampiring, yang dipotret dalam satu bingkai oleh Van Kindsbergen seakan menunjukkan poligami adalah praktik yang umum bagi bangsawan Bali. Meski di Jawa, Sultan umumnya mempunyai istri lebih dari satu, kuasa operator nyatanya tidak sanggup menghadirkan mereka bersamaan sehingga teks atau judul yang menyertai foto cenderung seperti ini, misalnya: “Ratu Kencana, istri pertama dari Hamengku Buwana VI”103. Dengan ungkapan

102 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 32 103 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, Op.Cit, hlm. 178 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

seperti itu tersirat makna adanya istri kedua dan seterusnya. Wacana poligami tersebut dalam pandangan saya membelenggu pemaknaan atas foto. Saya kehilangan orientasi dalam memaknai mereka sebagai simbol perempuan elite yang ikut memegang tampuk kekuasaan bersama raja. Saya melihat mereka terdomestikasi, sehingga cara saya melihat foto Tiga Putri dari Sultan Hamengku Buwana VI pun demikian karena saya dipengaruhi oleh teks, “Tiga perempuan keturunan dari Hamengku Buwana VI: istri dari bupati Ledok dan anak perempuannya, Moorsilag dan Saripag”104. Tiga figur tersebut sosok ibu berada pada sisi paling kiri dengan tangan kiri memegang pundak dan tangan kanan memegang lengan putrinya, sikap yang menandai dukungan sekaligus perlindungan. Sementara figur paling kiri yang menempatkan kedua tangan di pundak kiri saudarinya menyiratkan kesan mendukung. Dari foto-foto tersebut, penyebutan “istri” pada perempuan-perempuan bangsawan itu seperti menegaskan identitas yang ingin dilekatkan atas subjek dalam foto. Belum ditambah dengan uraian ibu dari kedua putri yang mempersonifikasi gagasan bahwa perempuan sebagai alat reproduksi sebagaimana dalam foto Gusti Kangjeng Ratu Hemas pada Gambar 11. Mengapa gagasan itu saya pandang mendomestikasi perempuan elite Jawa dan Bali? Teks yang menyertai foto menyebutkan hingga pada jumlah anak yang dilahirkan yang jelas mengarah pada gagasan bahwa perempuan di Jawa dilihat sebagai alat reproduksi. Teks-teks sejenis dapat dijumpai pada begitu banyak foto terkait elite perempuan Jawa.

104 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, Op.Cit, hlm. 178 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

4. “Liyan”, Sisi Lain Potret Perempuan Pribumi

Gambar 12. Albert John Leonard Woodbury dengan baboe-nya Foto "Woodbury & Page" ca. 1880-an, Koleksi Luanne Woodbury Sumber: Steven Wachlin, 1994: 25

Dalam foto tersebut, tampak seorang bocah berkulit putih, berambut pirang berada dalam gendongan baboe Jawa. Baboe adalah pengasuh anak, biasanya perempuan Jawa. Di foto itu, sosok baboe berkulit cokelat gelap, mengenakan gendongan kain batik—sebagaimana umumnya untuk menggendong anak-anak Jawa dengan rambut digelung ke belakang. Usianya lewat separuh baya, tanpa nama. Ia adalah baboe di keluarga Woodbury ketika mereka tinggal di Jawa. Baboe adalah figur perempuan Jawa yang cenderung dianggap dalam status sosial kelas bawah. Yang paling memikat saya dari foto itu adalah sikap si baboe sewaktu menggendong Albert, si bocah pirang. Ia terlihat tenang—mungkin karena sudah akrab dengan keluarga Woodbury. Ia tidak tampak canggung di depan kamera. Kedua tangannya menjaga tubuh Albert dengan erat. Dan bocah itu nyaman saja berada dalam gendongan si baboe. Si baboe sekilas terasa ‘menguasai’ si bocah. Sikap itu dalam konotasi lain bisa ditafsirkan sangat protektif. Ia tentu tidak ingin terjadi apa-apa pada anak asuhnya itu. Si bocah terasa ‘penting’ untuk dilindungi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Namun apa sesungguhnya yang hendak ditampilkan "Woodbury & Page" dari foto tersebut? Yang tampil menyolok dari keduanya adalah perbedaan fisik, si baboe berkulit gelap dan si bocah tampak terang berkilau. Selain itu, si bocah meskipun masih tampak sebagai makhluk lemah telah diberi posisi superior. Ia menjadi sosok yang dijaga oleh si baboe. Ironisnya, nama baboe-baboe itu sendiri seringkali tidak diketahui atau diingat bahkan oleh anak asuhnya sendiri. Termasuk dalam foto "Woodbury & Page" tidak dijumpai identitas yang berarti dari sosok baboe itu. Baboe ibarat makhluk tanpa nama. Sebuah film dokumenter berjudul Ze Noemen Me Baboe105 atau Mereka Menamaiku Babu yang dirilis pada tahun 2019 lalu oleh Sandra Beerends mengungkapkan kisah salah satu baboe dari keluarga Belanda yang dipanggil Alima—dan itu bukan nama asli baboe tersebut. Sofia Lovegrove dari Shared Cultural Heritage programme mengemukakan:

“Baboe adalah kata yang digunakan oleh keluarga Belanda untuk merujuk pada pengasuh anak Indonesia mereka selama pemerintahan kolonial Belanda. Nama asli mereka, serta kisah mereka, masih sering tidak diketahui.”106

Baboe menjadi identitas yang dilekatkan menggeser nama asli mereka. Dari situ dapat dipahami bahwa mereka tidak setara, mereka adalah ‘liyan’. Istilah baboe menjadi label baru dan menghapus identitas personal mereka. Jika pun dijumpai nama dalam arsip foto, sebutan nama yang sering muncul adalah Siti, nama yang khas Jawa.

C. Rangkuman Dari keseluruhan foto di atas, apa yang paling mengganggu saya bahkan setelah saya tidak melihat sebagian besar adalah pose mereka. Sebagian besar pemilihan pose digunakan operator guna membayangkan figur seperti apa yang akan dihadirkan dalam foto. Beberapa foto membuat saya terus berpikir, mengapa

105 Berikut adalah tautan terkait film tersebut https://theycallmebabu.com/ 106 https://dutchculture.nl/en/news/they-call-me-babu-documentary diakses pada 14 April 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

pose itu yang dipilih. Beberapa kegamangan saya belum terjawab, misalnya terkait pose, dan saya berpikir itu bukan sebatas peniruan belaka. Saya mengingat lagi memori saya atas apa yang saya lihat sebelumnya, saya rasai—dari arsip foto perempuan pribumi (Jawa dan Bali) itu—ada satu hal yang belum saya dapatkan uraiannya adalah beberapa pose yang tidak familiar bagi saya. Pose mereka tidak biasa. Dalam ukuran pemotretan di studio foto, bahkan hingga hari ini, pose-pose semacam itu, misalnya pada foto Demi Mondaine hanya dikuasai oleh model karena ia berhasil menunjukkan sikap yang rileks tanpa kecanggungan di depan kamera. Bagi saya, pose menjadi alat mutlak operator dalam mengarahkan subjek yang dipotretnya. Pose itu menyimpan kode- kode tertentu. Dengan memahami kode-kode dalam pose itu ibaratnya saya bisa mengaktifkan makna dari apa yang hendak disampaikan operator, termasuk lapis makna konotatif. Selain imaji erotis, eksotisme, figur aristokrasi dan ‘liyan’-sosok yang bahkan dianggap tidak ada, masih dijumpai gagasan lain yang diperlihatkan oleh para operator tentang perempuan pribumi, seperti domestikasi perempuan dalam rumah tangga, perempuan-perempuan pekerja: buruh perkebunan, pembatik, penari, sinden, abdi dalem dan pedagang. Isidore van Kindsbergen barangkali dapat disebut sebagai fotografer Orientalis Hindia Belanda dengan kekuatan estetika dan dramaturgi dengan kemampuan mempresentasikan subjek dalam foto dengan tema-tema khusus. Ia membingkai perempuan pribumi dalam foto-foto yang dibuatnya dengan beberapa lapis budaya sebagai referensi. Imajinya atas perempuan pribumi Jawa dan Bali pun terasa berbeda. Citra yang ditampilkan dari perempuan pribumi dari kacamata operator satu ini selalu memperlihatkan makna-makna berlapis, termasuk makna konotatif. Ia juga suka memperlihatkan sisi erotis sekaligus liar dari perempuan Jawa. Sedang Kassian Cephas yang lebih lekat dikenal sebagai fotografer pribumi menghadirkan perempuan-perempuan Jawa secara eksotis, ayu, dan kalem. Figur perempuan di dalam dan di luar istana hadir dalam gagasan tersebut. Setidaknya, tidak tampak sisi gelap, liar, buruk dari perempuan Jawa dalam pandangan Cephas atau barangkali itu bentuk kehati-hatiannya dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

mempresentasikan perempuan pribumi ke khalayak Barat sebagai spectator yang beberapa di antara mereka adalah para Residen yang berdinas di Yogyakarta yang sering ia beri hadiah berupa album-album foto yang dibuatnya. Berbeda dengan "Woodbury & Page", fotografer yang menuai sukses besar secara komersial ini, setidaknya memiliki cara pandang dan wacana yang sejalan dengan Van Kindsbergen. Sisi-sisi primitif, liar, hingga liyan dipotret dari perempuan Jawa. Pose semacam itu diulang-ulang di studio foto mereka dengan model-model yang berbeda. Setidaknya dari mencermati hanya sepuluh foto dari ketiga fotografer tersebut, saya menjumpai male gaze yang begitu kental yang memperlihatkan perempuan pribumi (Jawa dan Bali) secara erotis, erotik, terdomestikasi meskipun tetap diposisikan dalam kelas terhormat melalui pose mereka sekaligus tetap dilekati dengan simbol etnik dan ras Jawa atau Bali—yang menjadi ciri khas sisi “the Orient” di Hindia Belanda, hingga sosok “liyan” yang kehadirannya “antara ada dan tiada”. Pada bab berikutnya, saya akan menghubungkan judul foto, visualisasi foto, dengan teks lain atau referensi visual sejenis sehingga membentuk ko-operasi yang dapat digunakan untuk memahami pesan yang ditransmisikan dari foto tersebut. Saya akan mengurai kode-kode kultural yang terikat pada pose dan performativitas gender yang menyajikan visualisasi subjek dalam pengulangan performatif secara terus menerus yang meneguhkan seperti apa perempuan yang diimajikan oleh operator. Di sinilah kita akan menjumpai imaji fotografer (kolonial) atas perempuan pribumi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

BAB IV PERFORMATIVITAS GENDER DAN AMBIVALENSI WACANA KOLONIAL

Bab ini akan menghubungkan hasil pembacaan foto pada bab sebelumnya dengan teori performativitas gender Judith Butler yang diadaptasi oleh Reina Lewis dalam Rethinking Orientalism: Women, Travel and the Ottoman Harem (2004). Meski demikian, saya masih merujuk langsung pada perspektif Butler untuk melengkapi gagasan yang ada pada tulisan ini. Bab ini menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga sekaligus. Sub-bab pertama secara eksplisit mengurai masalah kedua terkait bagaimana operator mengkonstruksi foto perempuan pribumi yang melibatkan wacana dan referensi di luar diri subjek dalam foto. Sedang rumusan masalah ketiga dibahas dalam sub- bab performativitas gender dan ambivalensi wacana kolonial.

A. Mengurai Kode-kode Kultural dalam Arsip Foto Perempuan Pribumi Sarah Graham-Brown mengungkapkan, subjek yang umum terdapat dalam lukisan Orientalisme—harem, odalisque, Nyonya berkulit putih dengan budak hitamnya—semuanya itu kemudian direplikasi di studio foto.107 Replikasi mengandung arti penduplikatan, diperbanyak, sebagai cara meniru, hingga pengulangan.108 Dalam konteks Hindia Belanda, secara umum yang direplikasi di studio foto bukanlah subjek dengan detail ornamen ala harem dan budaya Timur Tengah guna menampilkannya sebagai “the Orient”, melainkan cukup melalui pose atau sikap subjek ketika dipotret atau sebagaimana dikemukakan Barthes hanya dengan menambahkan detail/ elemen dari stok stereotip. Mengapa pose menjadi salah satu elemen yang sering direplikasi? Di studio foto, operator memiliki kemampuan untuk mengembangkan fantasinya dengan menciptakan ‘dunia baru’ guna mendukung imajinya, seperti

107 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 40 108 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/replikasi diakses pada 10 Mei 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

dengan membuat latar dan elemen pendukung melalui berbagai properti hingga ornamen yang mampu menghidupkan apa yang ia bayangkan. Di sini gagasan replikasi menjadi penting untuk diketahui dan dianalisis secara cermat. Gagasan replikasi menyimpan kode-kode kultural yang tidak mudah dipahami hanya melalui pemaknaan punctum. Kode-kode kultural yang ditampilkan oleh operator setidaknya sudah dipahami sebagai suara-suara kolektif oleh suatu masyarakat— sejumlah spectator yang ditujunya—yang telah memiliki pengetahuan Orientalisme melalui sastra, jurnal ilmiah, kisah-kisah pelancong, lukisan, sketsa, hingga berbagai produk budaya lainnya. Awalnya saya mengalami sedikit kesulitan dalam memahami kode-kode kultural yang disampaikan oleh operator. Barangkali itu yang membuat beberapa foto terkesan janggal di mata saya. Kemudian dengan menggali referensi yang dimaksud oleh operator, pada akhirnya saya memiliki kemampuan memahami kode-kode kultural yang ada pada foto hingga semakin jelas apa yang dimaksudkan. Dalam analisis ini pun, saya perlu berhati-hati ketika menghadirkan referensi kultural dari budaya masyarakat penerima terkait pesan yang dimaui oleh operator. Jadi apa yang dibayangkan oleh operator ketika mereka memotret perempuan pribumi (Jawa dan Bali)? Konsep performativitas sangat membantu untuk memikirkan varietas identitas ras dan etnis.109 Maka elemen utama dalam menampilkan perempuan pribumi (Jawa dan Bali) di antaranya dengan menonjolkan tindakan berulang-ulang atas gender, ras, dan etnis sehingga identitas itu dikenali secara baik oleh spectator. Performativitas gender di sini merupakan tindakan yang diciptakan dengan pengulangan performatif, yaitu lewat pengulangan atas kode-kode kultural yang dikonsumsi oleh Barat yang berawal dari replikasi pose-pose figur perempuan pribumi dalam foto. Menurut Judith Butler110, kualitas pengulangan dianggap penting untuk identitas pervormativitas gender yang praktiknya dapat diterapkan pada identitas

109 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 144 110 “Their efforts to explain regional Ottoman differentiations of race and ethnicity –that are unremittingly gendered and classed– to a readership of presumed outsiders is suggestive for an analysis of how the reiterative qualities that Judith Butler (1990) sees as essential to performative gender identities can be applied to identities based on race and ethnicity.” dalam Reina Lewis, hlm. 142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

berdasarkan gender, ras, dan etnis. “Lihat, seperti ini loh perempuan pribumi!”, dan itu yang dikumandangkan terus menerus, hingga diterima secara umum. Referensi atas kode-kode kultural tentu berasal dari wacana yang telah diketahui oleh operator. Konsepsi performatif tadi tunduk pada kuasa tertentu yang dalam konteks ini adalah kolonisasi Belanda di Hindia Belanda. Operator mengkonstruksinya sedemikian rupa sehingga mendapatkan performativitas ideal demi memenuhi gagasan yang hendak ia tampilkan. Tampilan seksual tubuh perempuan ‘Orient’ adalah gagasan sentral dari Orientalisme Barat, yang sepenuhnya dikembangkan dan dikenal pada paruh kedua abad ke-19.111 Seni Orientalisme sepertinya hanya memprioritaskan kesenangan visual laki-laki. Hal itu barangkali benar, tetapi konsumen/ spectator budaya visual yang Orientalis itu juga ada yang perempuan. Mereka perempuan dan laki-laki yang memandang tubuh perempuan yang di-Orientalisasi itu bisa mengonsumsi gagasan tersebut karena telah dididik dengan wacana Orientalisme. Guna mendukung gagasan itu, perempuan pribumi Jawa dan Bali diidentifikasi secara parsial, yakni dibedakan antara perempuan di satu wilayah dan yang ada di wilayah lain. Selain karena ras dan etnis berbeda, secara kultural juga menampilkan identitas berbeda, namun yang lebih utama adalah penegasan atas perbedaan itu menjadi bagian penting dalam membangun stereotip. Dari situ dapat dipahami bahwa konstruksi atas perempuan dan tubuhnya, benar tidak alamiah merujuk pada gagasan Butler112. Ras dan etnis dijadikan elemen pendukung dalam merepresentasikan perempuan pribumi yang dalam pandangan operator bisa memenuhi ‘selera’ specatator Barat. Kode-kode kultural itu bukan saja memberi bahasa ke spectator Barat, tetapi meneguhkan sifat rasial atas “the Orient”. Dalam foto atau arsip visual ini, performativitas gender dihadirkan dengan ‘bahasa’ yang dipahami oleh spectator melalui serangkain kode-kode kultural, kode-kode visual hingga referensi historis dan tekstual. Artinya, tindakan performatif terlebih dahulu tetap harus mempertimbangkan apa yang telah diakrabi oleh spectator Barat sebagai

111 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 143 112 “Butler uses theories of performativity to emphasise how gender is constructed and non-natural, seeing it as an identification that is secured through the repeated performance of socially accepted signs of masculinity or femininity.” dalam Reina Lewis, hlm. 143 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

konsumen. Penampilan tersebut juga dihubungkan dengan serangkaian stereotip yang telah beroperasi dalam sistem klasifikasi Barat yang sudah ada sebelumnya. Reina Lewis mengungkapkan:

Karena setiap pengulangan performatif adalah peristiwa intersubjektif yang dinamis, itu akan berhasil atau gagal tergantung pada siapa yang terlibat dan sejarah dan kualitas individu mana yang mereka bawa untuk berpartisipasi dalam acara tersebut.113

Di sini yang dibutuhkan adalah semacam skenario transkultural—di mana model melakukan tindakan performatif dengan referensi kultural yang dimiliki oleh Barat, tanpa itu, ide pengulangan tindakan performatif belum tentu berhasil diterima. Isidore van Kindsbergen adalah salah satu operator yang memiliki kemampuan mengatur model berbekal atas pengalamannya sebagai sutradara. Ia menata mereka dalam pose tertentu secara teaterikal atau semacam berada di ruang dramatik menuruti ‘selera’ dan gagasannya. Jika identifikasi itu diubah, spectator Barat mungkin tidak akan mengenali atau gagasan itu tidak lagi memiliki makna. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Lewis, identifikasi regional apakah itu Hindia Belanda atau Jawa sekali pun tidak sama dengan identifikasi rasial yang dikonstruksi Barat dalam wacana Orientalisme. Pengulangan secara terus menerus kode-kode kultural melalui performativitas subjek dalam foto akan melahirkan suatu gagasan bahwa apa yang dilihat spectator adalah hal yang natural, termasuk apa yang diimajikan oleh operator dari perempuan pribumi. Pengulangan itu sekaligus merupakan pengaktifan kembali dan pengeksploitasian ulang seperangkat makna yang telah diterima secara sosial, dan itu biasa, sebagai sebentuk tindakan legitimasi.114 Perempuan pribumi di Hindia Belanda dipertontonkan dalam foto secara berulang- ulang, dikonsumsi secara visual, dipandang natural dan produk itu disebarkan dengan mudah ke skala global. Di Timur Tengah, odalisque menjadi simbol seksualitas, eksotisme dan adegan sensual dari harem sekaligus tempat telanjangnya keindahan mereka berada di hamam (pemandian umum).115 Sedang di Hindia Belanda gagasan

113 Reina Lewis. Op.Cit, 167 114 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 193 115 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

semacam itu melekat pada perempuan Bali yang dianggap secara natural tampil bertelanjang dada. Berkebalikan dengan perempuan di harem yang terpenjara, perempuan Bali hadir di depan publik tanpa ragu memperlihatkan payudara mereka. Odalisque dalam khasanah Orientalisme seringkali menjadi metafora seksual. Posenya mudah dikenali, dikaitkan dengan aksi provokatif secara seksual. Tubuh dipresentasikan seolah-olah dalam posisi beristirahat atau rebahan namun menyimpan apa yang menurut Damian Sutton sebut sebagai “kekuatan gairah”116 hingga mudah dikodekan sebagai erotisme Orientalis. Foto Van Kindsbergen itu diberi judul Demi Mondaine, merujuk pada kode-kode kultural yang tentu sangat familiar bagi orang-orang Prancis—Le Demi Mondaine—karya drama yang ditulis oleh Alexandre Dumas Filho, sastrawan Prancis, dan diterbitkan pada tahun 1855. Sedang pose model dibuat dengan merujuk pada pose khas odalisque. Van Kindsbergen pasti telah mempertimbangkan secara cermat gagasannya ketika memproduksi foto tersebut. Foto itu dapat dikatakan telah mengantarkan imaji sang operator terkait gagasan perempuan pribumi Jawa, seperti apa yang ingin ia perlihatkan ke spectator-nya, “Hei, di Jawa ada Demi Mondaine loh!”—atau setidaknya ia mau berkata, “Beginilah Demi Mondaine Jawa!” Bagi spectator laki-laki, gagasan seperti itu cukup provokatif. Gagasan Demi Mondaine jelas berbeda dengan performativitas seorang Nyai—yang sama- sama pribumi tetapi sosok Nyai memiliki peran sebagai istri pengganti dari istri pegawai kolonial. Dalam praktiknya Nyai benar-benar ada di Hindia Belanda. Nyai adalah kode-kode kultural yang tercipta di tanah koloni yang belum tentu sebagian besar spectator Barat memahaminya, seperti halnya baboe, sehingga penting dibuat teks-teks pendukung. Sayangnya dalam penelitian ini tidak dijumpai foto Nyai atau yang terkait dengan itu.

116 Damian Sutton. Photography, Cinema, Memory: The Crystal Image of the Time, hlm. 177 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

Gambar 13. “Odalisque” karya Edouard Manet ca. 1862-1866 Sumber: Gerard-Georges Lemaire (2000: 256)

Kembali pada konsep foto Demi Mondaine, jika diperhatikan secara jeli sangat mirip dengan pelukisan odalisque (perempuan harem) atau selir di Timur Tengah seperti lukisan di atas. Lukisan itu berjudul Odalisque karya Edouard Manet ca. 1862-1866117, berukuran 13 x 20 cm, koleksi Musee du Louvre, Orsay Collection, Paris118. Pose yang dihadirkan dalam Odalisque—Manet, tidak jauh beda dengan Demi Mondaine—Van Kindsbergen namun dengan media yang berbeda. Dalam Orientalism: The Orient in Western Art (2000) karya Gerard- Georges Lemaire setidaknya Lemaire mempresentasikan sekitar 300-an lukisan yang bertema Orientalisme. Dari keseluruhan jumlah itu, yang dapat diidentifikasi menggambarkan odalisque dalam pose yang mirip dengan yang dilukis oleh Manet terdapat enam lukisan, yaitu: Odalisque, Mariano Fortuny y Marsal, 1861; Odalisque with a Slave, Jean Auguste Dominique Ingres, 1842; Grande Odalisque, Jean Auguste Dominique Ingres, 1814; Odalisque (or Algerian Woman), Auguste Renoir, 1870; dan Odalisque with Red Trousers, Henri Matisse, 1922. Tema odalisque bertahan cukup lama dan terus menginspirasi para pelukis Eropa dalam rentang 1814 hingga 1922 jika didasarkan pada lukisan-lukisan tersebut. Pose-pose yang dihadirkan dalam lukisan-lukisan itu umumnya adalah

117 Gerard-Georges Lemaire. Orientalism: The Orient in Western Art, hlm. 256 118 https://en.muzeo.com/art-print/lodalisque/edouard-manet diakses pada 13 April 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

perempuan rebahan dengan tubuh telanjang atau setengah telanjang, penuh kesan erotis dengan pose-pose agresif. Dengan merujuk pada pose itu, Van Kindsbergen mengkonstruksi imaji perempuan di Hindia Belanda sebagaimana halnya di belahan Timur Tengah. Karakter odalisque menjadi replikasi sekaligus simbol figur perempuan ‘Orient’. Upaya penciptaan produk budaya sebagaimana yang dilakukan Van Kindsbergen memiliki logika internalnya sendiri yang perlu untuk dipahami secara jeli sebagaimana diungkapkan Sarah Graham-Brown:

Di dunia visual yang menampilkan gambar-gambar tentang Timur, proses peminjamannya sama, dari literatur satu dari sumber-sumber visual lain, lantas digabungkan untuk menciptakan semacam budaya semu dengan logika internalnya sendiri.119

Pada 1840-an, ada permintaan tinggi untuk gambar Orientalis di Eropa tapi tidak cukup foto asli yang tersedia.120 Meningkatnya pangsa pasar itu bertahan hingga bertahun-tahun kemudian dan mendorong "Woodbury & Page" mulai menjual foto-fotonya di pasar Eropa, di antaranya melalui beberapa agen foto di Inggris. Di antara gambar yang ditunggu-tunggu adalah gambar-gambar yang tidak dikenali, yang aneh, dan yang eksotis.121 Banyak studio foto lantas membuat foto dengan stereotip Hindia Belanda. "Woodbury & Page" adalah salah satu firma yang memiliki koleksi foto “pribumi” terbesar di Hindia Belanda.122 Berkat tingginya permintaan pasar, replikasi kode-kode kultural semakin berkembang pesat di studio foto. Spectator tanpa perlu identifikasi rasial dan etnis, akan langsung tereferensi pada wacana Orientalisme dari Hindia Belanda. Maka yang muncul kemudian adalah pengulangan tema-tema sejenis di berbagai studio foto, seperti pose odalisque yang benar-benar hadir sangat ikonik bahkan di wilayah dengan kultur yang berbeda. Hal itu senada dengan yang diungkapkan oleh Sarah Graham-Brown:

“Banyak gambar yang berubah menjadi klise, terutama dalam fotografi perempuan, diambil dari repertoar tema yang sudah ada yang telah 119 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 7 120 Nissan N. Peres. Op.Cit, hlm. 102 121 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm. 19 122 Loc.Cit. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

dibentuk oleh genre lukisan Orientalis yang telah berkembang, terutama di Prancis dan Jerman, dari paruh pertama abad ke-19.”123

Kembali pada gagasan Barthes, foto bisa memiliki makna konotatif— bahkan hingga berlapis-lapis dan letak semua pemaknaan itu bisa dijangkau salah satunya melalui kode-kode kultural. Kode-kode kultural dimaksud adalah kode- kode yang telah ada sebelumnya, sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, dari lukisan lantas diturunkan ke foto atau mungkin dari bidang lain seperti sastra. Namun apakah semua pose odalisque berkonotasi negatif? Sarah Graham- Brown menunjukkan sesuatu yang berbeda dari pose Huda pada sebuah foto. Huda adalah seorang gadis di keluarga Timur Tengah yang fotonya menjadi sumber penelitian Sarah Graham-Brown. Ia mendeskripsikan begini:

“Huda bersandar, dalam pose yang hampir mengingatkan kita pada banyak gambar Orientalis, namun ekspresinya tidak menyiratkan kepasifan atau kelesuan yang terkait dengan pose-pose itu.”124

Pose Huda mirip pose odalisque. Namun sorot matanya tajam menatap kejauhan. Sarah Graham-Brown menangkap gagasan operator yang memberi visi atas tatapan mata subjek dalam foto, yakni menampilkan sisi kegigihan yang tercermin di wajahnya, membuat subjek memiliki harapan yang tinggi dalam kehidupannya, seperti kesempatan sekolah. Jika diperbandingkan dengan foto Van Kindsbergen, visi seperti itu tidak saya jumpai dalam foto Demi Mondaine. Demi Mondaine lebih menawarkan performativitas erotis. Dalam pandangan Butler, tindakan performatif itu hanya memiliki peluang keberhasilan jika mereka telah mengakumulasi “kekuatan otoritas melalui pengulangan atau kutipan dari serangkaian praktik sebelumnya yang berwibawa”.125 Karenanya, performativitas bukan sesuatu yang mengada-ada, melainkan memiliki sejarah, kultur, dan referensi yang dapat dikenali. Penggunaan pose odalisque seringkali direplikasi karena odalisque sudah dikenal dalam kultur Barat bukan semata karena tindakan performativitasnya melainkan ia sudah dihadirkan berulang-ulang oleh banyak perupa-perupa kenamaan, dalam catatan perjalanan yang ditulis para pelancong Eropa yang pernah mengunjungi Timur 123 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 40 124 Ibid, hlm. 82 125 Judith Butler (1993: 19) dalam Lewis, Reina. Op.Cit, hlm. 166 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

Tengah, dikenali simbol-simbol yang menyertainya dengan kode-kode kultural tertentu, sehingga ketika Van Kindsbergen menggunakan model untuk berpose ala odalisque, spectator Barat akan langsung memiliki referensi atas sosok perempuan harem, selir, dan ketika foto itu diberi judul Demi Mondaine, model segera teridentifikasi sebagai perempuan simpanan, pelacur, perusak rumah tangga orang dan wacana di seputaran itu. Demi Mondaine hanya salah satu bentuk gagasan operator terkait imaji erotisnya atas perempuan pribumi. Dalam penelitian ini penulis juga menjumpai foto telanjang sepasang perempuan yang dipresentasikan bak pasangan lesbian. Judul foto itu Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen yang menampilkan sepasang perempuan telanjang seperti sedang beradegan mesra satu sama lain dan Van Kindsbergen sebagai operator seperti memergoki mereka. Gagasan adegan itu tentu berkat kepiawaian dramaturgi Van Kindsbergen. Tidak sebatas pada aksi atau tindakan model, kostum memiliki fungsi penting dalam tindakan performatif sebagai bagian dari kode-kode kultural yang referensi dimiliki oleh subjek foto, yakni etnis Jawa. Salah satu model Van Kindsbergen dalam foto telanjang itupun dilekati kain batik yang dibiarkan menjuntai jatuh di tangan kirinya. Batik di situ menjadi alat identifikasi guna membiasakan spectator Barat akan pengulangan sejenis. Identifikasi performatif secara rasial dan etnis diperlukan untuk memperkenalkan “the Orient” ke spectator Barat. Begitu pun kehadiran para perempuan aristokrat dalam foto dimunculkan sebagaimana dalam busana keseharian mereka ketika berada di kraton atau dalam balutan busana ritual upacara adat di kraton. Menurut Reina Lewis, identifikasi perempuan Ottoman dapat dipahami sebagai performatif, sebagai identifikasi yang bekerja melalui pengulangan dari tanda-tanda perbedaan yang dapat dikenali secara sosial dan budaya, di antaranya melalui kerudung,126 yang dalam konteks perempuan pribumi, pakaian tradisional —seperti jarik, kemban, kebaya, konde, dan sebagianya—tidak dilenyapkan karena itu bagian dari performativitas mereka. Bagaimana pun, budaya yang berbeda tidak akan memiliki mode pengaturan dan diskursif kekuasaan yang memacu tindakan performatif yang

126 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 231 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

berulang-ulang, tetapi ketika seseorang mencoba untuk menghadirkan identitas baru, subjek yang ditampilkan akan berisiko tidak dapat dikenali jika kode itu tidak dapat diterjemahkan lintas budaya.127 Kode-kode kultural itu ada yang bereferensi pengetahuan Barat yang sudah ada atau kode-kode yang mereka jumpai di tanah koloni dan dilaporkan, dicatat, dipublikasikan sehingga itu menjadi bagian dari referensi pengetahuan baru. Namun apakah pemaknaan atas kode-kode kultural terkait pribumi sesuai dengan apa yang berlaku di Hindia Belanda? Misalnya, perempuan Bali dilekati dengan imaji perempuan bertelanjang dada—“sebagai temuan Jacobs”—sebagaimana yang dikemukakan oleh Vickers128 ketika ia tiba di Bali pada 1881, sekitar lima belas tahun setelah Isidore van Kindsbergen. Di masa Van Kindsbergen, imaji perempuan bertelanjang dada hadir melalui potret para budak perempuan, di antaranya Iloeh Sari, I Mriyakti, ‘Brit’ atau beberapa budak lain. Di kalangan perempuan aristokrat maupun penari Bali, istri pendeta, hal semacam itu tidak dijumpai. Ketika perempuan Bali ada yang dicitrakan lesbian sebagaimana ditulis dalam catatan perjalanan Jacobs yang informasinya sebagian besar ia peroleh dari Van der Tuuk, ahli bahasa dan etnogafer yang lebih dulu bermukim di Bali dan berselibat, apakah gagasan tersebut sejalan dengan pemaknaan yang ada pada masyarakat Bali? Julius Jacobs, dokter yang ditugaskan di Hindia Belanda, yang memunculkan disposisi rasial dalam konklusi catatan perjalanannya bahwa orang pribumi, dalam konteks ini perempuan Bali, lebih rendah dari perempuan Eropa. Mereka “primitif”, bukan saja karena payudaranya yang terbuka tetapi Jacobs dengan asumsi ilmiahnya melakukan perbandingan terkait ukuran kelamin perempuan Bali yang dihubungkan dengan kecenderungan aktivitas seksual mereka yang berlebihan. Catatan perjalanan Jacobs, menurut Vickers, adalah tonggak penting dalam transformasi citra Bali dalam imajinasi Eropa.129 Bali yang sebelumnya pemberontak dan berjiwa amok kemudian dikenal sebagai Bali yang eksotis dengan citra perempuan bertelanjang dada yang terus menerus dipelihara bahkan bagi penulis dan peneliti sesudah Jacobs. Imaji itu terus menginspirasi 127 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 167 128 Vickers menyebutnya dengan “the man who discovered the Balinese female breast”, dalam Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 119 129 Ibid, hlm. 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

penulis yang berkunjung ke Bali kemudian. Payudara perempuan Bali adalah bagian erotis yang paling menggoda tatapan Barat. Menurut Hickman Powell dalam The Last Paradise:

“Janji erotis pulau itu menampakkan dirinya manakala ‘syal di bahu itu jatuh dengan cerobohnya dan mangkuk perunggu dari buah dada gadis itu menggambarkan bentuk segitiga, bayangan yang begitu hidup.”130

Nuansa erotis sangat kental dari catatan itu bahwa Bali adalah sebuah pulau yang menyuguhkan gadis-gadis dengan buah dada terbuka dan itu bukan bayangan. Itu adalah kenyataan yang bisa dijumpai di Bali sehari-hari. Bagi mereka yang belum mengunjungi pulau tersebut, narasi semacam itu sangat menjanjikan dan menimbulkan hasrat untuk berkunjung ke sana. Kembali pada gagasan lesbian dalam foto Van Kindsbergen, lesbian dipandang sebagai “the third gender” atau “liyan”. Hal itu dianggap sebagai suatu praktik irasional, seperti siapa yang lantas akan berperan sebagai “ayah” dan “ibu” di antara mereka; atau gagasan bahwa perempuan mengingkari kodratnya dalam fungsi reproduksi, dan sebagainya. Butler sendiri menunjukkan barangkali itu hanya semacam “ketakutan” laki-laki dalam wilayah heteroseksual yang terancam:

Significantly, this description of lesbian experience is effected from the outside and tells us more about the fantasies that a fearful heterosexual culture produces to defend against its own homosexual possibilities than about lesbian experience itself.131

Dengan menunjukkan keberadaan lesbian dalam suatu masyarakat tertentu, imaji ‘terbelakang’, ras yang rendah, mudah dilekatkan atas kelompok mereka. Kiranya itu yang dimaui oleh operator, sebagaimana Jacobs yang memberikan alasan-alasan ilmiah, termasuk bukti-bukti fisik dari tubuh perempuan atas perilaku ‘menyimpang’ semacam itu. Dalam penelitian semacam ini fisiognomi ras bukan sekadar masalah warna kulit atau struktur tulang, tetapi dari perkembangan semua bagian tubuh, terutama payudara, organ seksual dan bokong.132 Semua bagian tubuh perempuan seakan tidak boleh lepas dari pemeriksaan.

130 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 16 131 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 118 132 Sander L. Gilman, 1986: 223-261 dalam Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

Menampilkan erotisme melalui foto, bagi Barthes ibarat:

“Like a shop window which shows only one illuminated piece of jewelry, it is completely constituted by the presentation of only one thing: sex: no secondary, untimely object ever manages to half conceal, delay, or distract ...”133

Erotisme dalam foto ditampilkan layaknya perhiasan yang dipajang di etalase kaca yang diterangi cahaya. Barthes mengemukakan bahwa presentasi utama yang ada di situ hanya seks. Tak ada objek lain yang dibuat untuk mengalihkannya atau bahkan menyembunyikannya. Dalam konteks erotisme dari Dua Perempuan Telanjang, saya kurang sependapat dengan Barthes, sebab foto itu bukan sekadar “shop window” yang menawarkan seks melainkan menunjukkan bahwa perilaku perempuan pribumi Jawa ada yang suka berbuat mesum di antara sesama mereka yang dapat memunculkan perspektif bahwa mereka tidak beradab. Imaji Van Kindsbergen seperti hendak menjungkirbalikkan citra eksotisme perempuan aristokrat yang anggun dan berkelas. Dengan sadar, Van Kindsbergen bermaksud memperlihatkan bagaimana corak ras dan etnis Jawa dalam konstruksi yang ia bayangkan dan diproduksi dalam bentuk foto. Ras dipandang penting dalam skema karena setiap ras dianggap memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang, pada gilirannya, menentukan karakter.134 Identifikasi rasial dan etnis bukan saja memperjelas perbedaan tetapi juga memperbandingkan ras yang satu lebih unggul dari yang lain, begitu pun sebaliknya. Lebih lanjut, imaji atas budak-budak perempuan di Bali tidak banyak dijumpai tanpa kehadiran foto-foto Isidore van Kindsbergen. Campur tangan kolonial atas Bali dalam penaklukan secara administratif dimulai sejak awal 1850- an. Seperti imperialis lainnya pada waktu itu, Van Bloemen Waanders (administrator Belanda) berpendapat bahwa negara-negara Asia akan jauh lebih baik jika dikendalikan oleh orang Eropa daripada oleh “penduduk asli”.135 Di tangannya, Bali mulai diubah citranya dan itu terus menerus berlangsung secara sistematis.

133 Roland Barthes. 1977. Op.Cit, hlm. 41 134 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 121 135 Ibid, hlm. 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Mengapa Van Kindsbergen memotret budak perempuan Bali? Kode-kode kultural terkait kisah budak sebagaimana yang dipotret oleh Van Kindsbergen sesungguhnya benar-benar tidak seindah yang dibayangkan oleh para pemilik budak di manapun sebagaimana dikisahkan oleh pelancong dan penulis Prancis, Gerard de Nerval dalam catatan perjalanannya, Voyage en Orient136. Dikisahkan, ia tiga bulan tinggal di Kairo. Ia diejek oleh tetangganya di Kairo, tidak pantas laki- laki tinggal sendirian. Maka, ia membeli budak perempuan bernama Zeynab. Zeynab adalah budak muslim asal Jawa yang tidak serta merta mau menuruti kemauannya dengan mengutip hukum Islam terkait kaidah bagaimana memperlakukan budak. Nerval bahkan sampai frustasi dengan sikap Zeynab. Hingga ia memilih berfantasi akan romansa yang lebih familiar dalam kulturnya dengan jatuh cinta pada perempuan “Orient” yang ironisnya tidak pernah ia nikahi hingga ia balik ke Eropa. Kisah tragis Nerval barangkali hanya salah satu kisah kurang menyenangkan terkait hubungan antara majikan dengan budak. Jika merujuk pada narasi itu, saya membayangkan keberanian sekaligus kecerdasan dari budak Zeynab dalam menolak hasrat majikannya dengan mengutip hukum Islam terkait kaidah bagaimana memperlakukan budak. Mengapa hal itu mampu menakuti Nerval? “Anxiety” atau rasa kecemasan Nerval muncul karena ia berada di wilayah yang memberlakukan hukum Islam dan ia hanya seorang pelancong yang secara hukum bisa sewaktu-waktu dirugikan oleh tindakannya yang salah. Di sini sekali pun Nerval memiliki kuasa atas budak yang dibelinya, budak Zeynab memiliki ruang guna menyelamatkan diri dari perilaku sewenang-wenang majikannya atas dirinya. Konsep foto Van Kindsbergen bisa dianggap relevan dengan kisah Nerval, sebagaimana penampilan foto budak Iloeh Sari dan I Mriyakti bahwa memiliki budak belum tentu memberikan keuntungan, ada hal-hal yang “misterius” dari sosok budak, sehingga pemilik budak perlu bersikap hati-hati. Beberapa kode- kode kultural yang disampaikan Van Kindsbergen juga dimunculkannya pada foto lain, masih dalam konteks budak perempuan Bali, yang dapat dimaknai bahwa budak-budak itu lebih cocok menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan kasar saja, seperti tampak dalam foto budak yang di kepalanya

136 Ringkasan kisah tersebut terdapat dalam Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

menyunggi gerabah atau si “Brit” yang memangku gerabah, misalnya. Membayangkan budak perempuan berperan sebagai istri atau Nyai, sepertinya tidak terbayangkan dalam benak Van Kindsbergen, terlebih jika Si Majikan mengalami nasib kurang mujur seperti yang dialami oleh Nerval. Lantas bagaimana dengan karya fotografi Cephas ketika mempresentasikan perempuan pribumi Jawa untuk spectator Barat? Foto-foto yang dihasilkan Kassian Cephas memperlihatkan figur perempuan Jawa yang eksotis. Rata-rata model yang ditampilkan berwajah lembut dan kalem seolah merepresentasikan begitulah perempuan Jawa pada umumnya. Citra ini muncul dari berbagai foto yang dibuat operator yang memiliki selera cukup baik atas kecantikan perempuan Jawa. Gagasan itu sepertinya bisa melahirkan standar baru dalam menilai seperti apa cantik ala Jawa di masa itu. Cantik ala Jawa dalam gagasan Cephas dimetaforakan dengan bunga- bunga, sementara kealamiannya dikonotasikan melalui visual dedaunan, jerami, pepohonan. Kode-kode kultural yang sangat kental dengan hal-hal yang berkonotasi “the Orient” yang alami sangat mudah dikenali oleh spectator Barat. Bahasa itu cukup umum sebagaimana dipraktikkan oleh Isidore van Kindsbergen maupun "Woodbury & Page". Perbedaannya, Cephas memilih sisi anggun dari figur perempuan-perempuan yang dipotretnya. Nyaris sulit dijumpai karya fotografinya yang berbau erotis atau pun berkonotasi negatif. Sementara, pancaran pesona arsitokrasi perempuan dalam kraton di Jawa banyak juga yang diproduksi oleh Cephas. Mengapa yang ditampilkan Cephas hanya citra keindahan belaka? Karya Cephas menampilkan kesan perempuan cantik Jawa, kelak dalam seni rupa modern dikenal istilah “Mooie Indie”, Hindia molek yang kemudian melekat atas imaji umum perempuan Jawa. Menurut Yudhi Soerjoatmodjo, kurator dari foto-foto Cephas yang ditampilkan dalam buku Cephas, Yogyakarta: Photography in the service of the Sultan, cara Cephas memandang objek mirip spectator dalam melihat dunia sebagai sebuah panggung.137 Bagi saya, gagasan itu tampaknya kurang sejalan dengan identitas Cephas yang ‘ambigu’, ‘membelah diri’, atau ‘mimikri’ dengan

137 “While William Shakespeare may have written about the world as a stage, the Javanese photographer Kassian Cephas truly saw the world as a stage.” Yudhi Soerjoatmodjo dalam Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

pengetahuan Eropa-nya sekaligus kedekatannya dengan pejabat kolonial dan perannya sebagai fotografer istana sekaligus sebagai abdi dalem. Posisi Cephas dalam tafsir Yudhi yang memandang subjek foto ibarat spectator sebenarnya menguntungkan. Sebagaimana diungkapkan Yudhi, foto Cephas yang paling dikenal adalah seri foto studio yang menggambarkan potret perempuan Jawa muda dalam balutan busana Jawa, mengenakan kain jarik dan berkemban. Sosok perempuan pribumi yang eksotis itu tampaknya pas menurut selera spectator tapi dalam proses produksinya Cephas selaku operator tetap mengarahkan pose subjek. Tahun-tahun sebelum meletusnya Perang Jawa (1825-1830), peran perempuan elite sangat menentukan di berbagai bidang, termasuk politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa tengah selatan.138 Peter Carey juga mengemukakan bahwa citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial sepertinya perlu direvisi. Gagasan Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang terkungkung di balik tembok seakan membentuk keseluruhan citra perempuan elite pribumi di masa itu bahkan hingga jauh sebelumnya seperti itulah kondisinya—terpenjara, tidak memiliki kebebasan bukan semata untuk belajar tapi untuk memiliki kemampuan sebagaimana laki- laki. Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX setidaknya mengisahkan sosok-sosok perempuan Jawa yang memiliki karakter ‘perkasa’ sebagaimana yang ia kemukakan, di antaranya sebagai prajurit perempuan atau dikenal dengan prajurit estri—sebagaimana ditulis juga oleh Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Lalu ada Raden Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang—keduanya memiliki kecerdasan taktik berperang dan bersiasat. Raden Ayu Yudokusumo adalah satu dari beberapa panglima kavaleri senior Diponegoro di wilayah mancanegara. Sedang Raden Ayu Serang, sosoknya angkat senjata demi membantu putranya Pangeran Serang II melawan Belanda setelah pecah Perang Jawa (1825-1830). Ia disebut-sebut dalam laporan-laporan militer Belanda telah memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama perang.139 Sementara dari Kraton Yogyakarta, sosok Ratu

138 Peter Carey. Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, hlm. x 139 Berkas laporan Louw dan De Klerck 1894-1909, I: 369-391 dalam Ibid, hlm. 32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

Kencono Wulan (1780-1859), istri ketiga dari Sultan Hamengku Buwana II adalah figur perempuan pebisnis pada era itu. Dalam laporan-laporan kolonial sebelum terjadinya Perang Jawa, perempuan-perempuan elite istana banyak yang dideskripsikan cantik, cerdas, berpikiran tajam, dan tangguh. Tidak hanya itu, sosok perempuan elite dalam istana juga memainkan intrik yang tajam di dalam kraton dan memiliki kemampuan menggalang faksi guna menyokong Sultan baru bertakhta. Lantas, apakah citra itu ada dalam foto-foto yang diproduksi oleh para operator dalam penelitian ini? Foto koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen berkode TM- 10018822140 yang berangka tahun 1905 (fotografer tidak diketahui), memperlihatkan sosok Cut Nyak Dien (1848-1908) setelah penangkapannya yang ditampilkan tak berdaya, tampak kesakitan, kurus, menderita, duduk dengan kepala tertunduk dan tangan menengadah yang bertumpu pada pahanya— semacam berdoa—sungguh, foto itu seperti memberangus kegagahan Cut Nyak Dien sebagai panglima perang menggantikan suaminya Teuku Umar yang meninggal dalam perang di Aceh melawan Belanda. Foto itu semacam menawarkan performativitas ‘terlemah’ dari subjek yang menurut asumsi saya bukan semata dokumen historis tetapi bernilai guna mendekonstruksi figurnya yang melegenda. Carey masih menambahkan daftar perempuan yang terlibat dalam pemberontakan petani, seperti Nyai Kamsidah di Cilegon 9 Juli 1888 hingga ia divonis mati oleh Belanda.141 Ia difoto dalam pose berdiri diapit dua rekannya, Kamidien dan Jaro, yang juga divonis mati. Raut muka Kamsidah tidak memperlihatkan rasa takut atau gentar sedikit pun. Dalam kasus foto-foto perempuan aristokrat, saya lebih banyak menjumpai figur perempuan dalam busana bangsawan dengan pose terhormat di kursi dan di sekitar tempat duduknya terdapat ornamen pendukung atau detail-detail kecil guna memperkuat derajat kelas sosialnya—dan hanya itu. Gagasan ‘perempuan perkasa’ sebagaimana dikemukakan Carey tidak terdeteksi melalui foto-foto itu, sekali pun itu yang dibuat oleh Kassian Cephas. Saya tidak menjumpai penandaan khusus

140 https://collectie.wereldculturen.nl/#/query/9d356db0-7e7e-4f8e-a4fb-93c2dcdebc2d (foto terlampir) 141 Peter Carey. Op.Cit, hlm. 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

terkait gagasan ‘perempuan perkasa’ sebagaimana diuraikan dalam tulisan Carey yang bersumber pada arsip-arsip kolonial dan historiografi tradisional. Setidaknya ilustrasi tentang Korps Srikandi142 (laskar perempuan) yang dibuat dari era Mangkunegoro VII (1916-1944) memperlihatkan sosok perempuan di atas pelana kuda dengan pedang diselempang di sebelah pinggul kiri dan senapan di tangan kanan, sedang kendali kekang kuda ia pegang dengan tangan kirinya, bersanggul, dengan pakaian kebaya dan bercelana menjadi salah satu arsip penting yang merepresentasikan citra perempuan Jawa di masa lalu. Ketiadaan kode-kode kultural yang merepresentasikan gagasan “perempuan perkasa” dengan memunculkan pose yang mirip satu sama lain di antara para elite perempuan bangsawan dari berbagai era dalam asumsi saya hanya menegaskan kehadiran figur-figur cantik, ayu, dan berbudaya yang ironisnya sekaligus menghapus kesan cerdas, berpikiran tajam, tangguh, terampil berkuda dan bersenjata sebagaimana pernah disaksikan oleh Gubernur Jendral Willem Daendels ketika mengunjungi Yogyakarta pada 30 Juli 1809.143 Sebagaimana dicemaskan oleh Carey, ada kemungkinan bahwa foto-foto tersebut menjadi “cerminan pandangan Belanda atas budaya Jawa yang dinilai telah menjadi budaya museum”. Di sinilah kebekuan arsip-arsip foto perempuan pribumi perlu dicairkan dan didiskusikan terus menerus. Tidak jauh berbeda dengan Cephas, imaji Van Kindsbergen atas perempuan aristokrat di Jawa dan Bali bahkan diulas oleh P.J. Veth (1814-1895)144, ahli Orientalisme dan spesialis Hindia Belanda yang mengomentari empat “engraving” berdasar karya fotografi Van Kindsbergen dalam esai “Sketches of Java”, yang salah satunya, disebut Van Kindsbergen dengan The Javanese graces, tiga putri Sultan Hamengku Buwana VI, yang menurutnya sebenarnya lebih dikenal sebagai The three graces atau tiga perempuan anggun.145 P.J. Veth menambahkan:

142 Ilustrasi tersebut terdapat dalam Peter Carey. Op.Cit, hlm. 20 (terlampir) 143 “Dia sempat menyaksikan pertandingan (tournament) atau perang-perangan oleh 40 pasukan prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.” dalam Peter Carey. Op.Cit, hlm. 22 144 P.J. Veth adalah salah satu ilmuwan yang dikirim ke Hindia Belanda. Karya utamanya adalah Java, geographisch, ethnologisch, historisch dengan ketebalan 2000 halaman —dalam W. Otterspeer (ed.). Leiden Oriental Connection: 1850-1940, hlm. 286-289 145 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser. Op.Cit, hlm. 134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

And even if they were not, they themselves evoked that description when you take into account the pose and the position in which photographer has depicted them.146

Jika pun mereka diam saja, dengan sendirinya foto itu akan membangkitkan deskripsi terkait siapa sesungguhnya mereka hanya dengan mempertimbangkan pose dan bagaimana fotografer mengambil foto mereka. Veth mengemukakan bahwa foto juga harus diambil dari contoh utama budaya Jawa kuno sehingga dapat digunakan ‘untuk seluruh bidang ilmiah’.”147 Pose dan posisi yang sudah diperhitungkan oleh fotografer dalam menggambarkan mereka, menentukan performativitas subjek, didukung oleh gaya berbusananya. Apa yang paling menarik bagi Veth dalam potret itu adalah kesederhanaan pakaian dan gaya rambut mereka, yang sangat kontras dengan perempuan Barat dengan rambut palsu yang menjulang tinggi, rok bustle yang dikenakan di bagian belakang dan gaun yang menyeret di lantai yang menurutnya, “semua sosok itu membentuk segitiga sama sisi”148, suatu perspektif ideal dalam komposisi fotografi yang juga bisa berkonotasi keseimbangan dan harmonisasi. Dari keseluruhan foto-foto perempuan aristokrat yang saya jumpai terdapat problem dalam foto-foto tersebut karena performativitas subjek seakan memiliki kemampuan menggeser pandangan perempuan pribumi yang ‘kuat’ atau ‘perkasa’ sebagaimana diungkapkan Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa Abad XVIII-XIX. Perempuan yang memperformatifkan diri atau mempertontonkan dirinya itu yang kemudian terus menerus direproduksi melalui foto atau kartu pos akan memperlihatkan citra mereka sebagai sesuatu yang natural dan historiografi yang mencatat kisah ‘perempuan perkasa’ menjadi mitos belaka. Foto-foto itu tidak melahirkan citra negatif tetapi menggeser karakter perempuan pribumi, satu hal yang menurut saya jauh lebih laten dibandingkan stereotip negatif. Dari foto-foto yang telah saya bahas, masih ada satu potret perempuan Jawa yang berkonotasi negatif yakni dalam karya fotografi "Woodbury & Page", salah satunya ketika ia memotret baboe di keluarganya sendiri ketika menggendong si kecil Albert. Kode-kode kultural terkait rasisme sangat kental

146 Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser. Op.Cit, hlm. 134 147 Ibid, hlm. 36 148 Ibid, hlm. 134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

mewarnai foto-foto baboe, misalnya dengan terang-terangan mereka disandingkan dengan anak majikan, seperti yang dipresentasikan oleh "Woodbury & Page" melalui foto tersebut. Tidak hanya foto "Woodbury & Page", kebanyakan foto-foto terkait baboe seringkali menampilkan mereka sebagai ‘liyan’—dalam identitas pun jarang dari mereka yang memiliki nama, sebagaimana sudah saya uraikan pada bab sebelumnya. Baboe adalah identitas hasil konstruksi kolonial atas sosok perempuan pembantu rumah tangga di keluarga kolonial Belanda di Hindia Belanda. Baboe adalah sosok ‘liyan’ yang tidak lagi dilekati identitas asal. Analisis berikut ini sengaja saya sandingkan dengan teks yang ditulis lebih anyar oleh Frances Gouda yang menyinggung baboe di Hindia Belanda sebagai perbandingan untuk memahami bagaimana kode-kode kultural bekerja bagi spectator Belanda. Berikut adalah wacana yang masih bertahan dalam memori Frances Gouda, tentang baboe di rumahnya:

“Ada juga sebuah foto bergambar perempuan Jawa cantik yang mengenakan sarong dan kebaja—namanya baboe Siti, jelas ibu saya— dialah pengasuh kakak tertua saya, yang menggendong kakak layaknya memegang bayi kayangan berambut emas di tangannya.”149

Apa yang dikisahkan Gouda melalui foto yang dilihatnya, dengan potret yang dibuat "Woodbury & Page" menunjukkan kemiripan visual. Apakah itu kebetulan? Saya melihat itu sebagai kode kultural bukan kebetulan belaka. Kode apa yang ‘similar’ yang ditampilkan? Pemujaan atas ‘bayi kayangan berambut emas’ menunjukkan superioritas rasial yang hendak dipertegas, bahkan dalam narasi Gouda, meskipun baboe Siti tampak cantik, ia menjaga bayi itu dengan sangat hati-hati di tangannya. Anak majikannya itu diperlihatkan sebagai sosok ‘surgawi’ hingga dilekati kata ‘kayangan’. Louis Couperus, penulis novel The Hidden Force (1900), juga mengungkapkan hal senada bahwa anak-anak Belanda di Hindia Belanda hidup seperti ‘pangeran’ kecil berkat kesetiaan para baboe mereka.150 Memori Gouda, dalam hal ini, memperlihatkan wacana yang bertumbuh dalam diri seorang bocah keturunan Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda—sebagaimana halnya Louis Couperus. Inilah yang membantu saya

149 Frances Gouda. Op.Cit, hlm. 32 150 Ibid, hlm. 324 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

memahami bagaimana spectator Barat melihat secara berbeda visualisasi atas orang-orang pribumi melalui foto. Gouda mengisahkan:

“Ketika kecil, saya tak pernah heran mengapa berjuta-juta orang Indonesia tak pernah tampak di berbagai foto tersebut (keluarga Gouda—penulis), kecuali satu foto baboe Siti dengan kakak saya dalam gendongannya.”151

Gouda pada akhirnya menyadari dan memiliki kegelisahan mengapa begitu banyak orang yang bekerja di rumahnya sewaktu mereka tinggal di Hindia Belanda tak satu pun tampak, kecuali baboe Siti. Mereka seperti ‘ditiadakan’, ‘liyan’, bahkan baboe dalam kesehariannya pun selalu berada dalam posisi di bawah, di lantai, konotasi dari derajatnya yang rendah. Kode-kode visual yang ditampilkan oleh "Woodbury & Page" yang memperlihatkan ‘bayi pirang’ Albert dengan baboe-nya yang anonim sangat tegas memperlihatkan perbedaan rasial. Baboe-baboe itu tampil dalam performatif yang hampir mirip; diperbandingkan dengan anak yang diasuhnya, atau berada di sudut ruangan, atau duduk di lantai, atau wajahnya tampak kabur. Performativitas bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual, yang mencapai efeknya melalui naturalisasi dalam konteks tubuh, dipahami, sebagian, sebagai durasi temporal yang berkelanjutan secara budaya.152 Begitulah foto-foto baboe itu ditampilkan dalam kamera Orientalis sehingga menjadi familiar bagi spectator Belanda selain didukung melalui wacana yang diterbitkan dalam novel yang menyertakan baboe dalam kisah-kisah yang disebarluaskan yang menampilkan sisi jahat dan bengis mereka. Melalui kekuasaan mereka atas tata budaya dalam kehidupan keseharian masyarakat kolonial, orang Eropa menciptakan sejumlah klise yang berbeda tentang ‘liyan’ pribumi, baik di Jawa atau di tempat lain.153 Penciptaan klise, awalnya didasarkan pada retorika evolusi biologis dengan ciri-ciri stereotip rasisme dan diidentifikasi sedemikian rupa yang lama-kelamaan didukung oleh kebijakan resmi pemerintah kolonial. Dalam lima puluh tahun terakhir menurut peraturan kolonial, masyarakat Hindia Belanda dipisahkan ke dalam bentuk-

151 Frances Gouda. Op.Cit, hlm. 33 152 Judith Butler. Op.Cit, hlm. xv 153 Ibid, hlm. 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

bentuk rasial.154 Hindia Belanda lantas diklasifikasikan atas tiga grup yang terbagi ke dalam tiga golongan, yakni Eropa, Pribumi, Tionghoa termasuk bangsa Asia lainnya. Hal tersebut menurut Maier diatur oleh Law of December 31, 1906 yang mengawali cara pandang rasisme secara sistematis di Hindia Belanda. Baboe dan sosok-sosok pribumi yang terlihat gelap bak bayangan dalam foto-foto keluarga kolonial yang pernah tinggal di Hindia Belanda menegaskan bahwa “liyan”, jika perlu, tidak pernah masuk dalam memori mereka, termasuk dalam album foto keluarga. Tindakan performatif yang dimunculkan dalam foto oleh operator itu membentuk identitas tertentu. Dalam konteks baboe, identitas kelas sosial rendahan pribumi dipertontonkan.

B. Performativitas Gender dalam Arsip Foto Gagasan utama dari pemikiran Judith Butler yang digunakan dalam kajian ini adalah performativitas gender. Dalam pandangan Butler, gender adalah performativitas atau “pertunjukan”, bukan esensi biologis. Setiap tindakan subjek menjadi bentuk material dari performativitas tersebut. Sehingga untuk membuktikan kualitas feminitasnya, subjek mesti menunjukkannya melalui serangkaian tindakan, misalnya dari gerak-gerik yang luwes, sikap yang anggun, lembut sekaligus kecantikannya. Subjek akan terus menerus berproses hingga menjadi subjek yang utuh atau dipandang sempurna sebagaimana idealnya yang diterima oleh masyarakat. Hal itu diungkapkan Butler dengan menegaskan perbedaan antara seks dan gender sebagaimana berikut:

“Awalnya (seks dan gender—pen.) dimaksudkan untuk membantah rumusan biologi-adalah-takdir (“the biology-is-destiny”), perbedaan antara seks dan gender mendukung argumen apapun terkait jenis kelamin yang dimiliki yang tidak dapat dipraktikkan secara biologis, gender dikonstruksi secara budaya: karenanya, gender bukanlah hasil kausal seks atau terlihat pasti sebagai seks.”155

Gender dikonstruksi secara budaya juga dapat dilihat dalam kultur Jawa. Performativitas perempuan, khususnya perempuan elite bangsawan bahkan sudah diatur melalui Paugeran, misalnya dalam bertindak laku dan berbusana. Alhasil, 154 H.M.J. Maier, From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies, Indonesia Vol 56 (Oktober, 1993), hlm. 38 155 Judith Butler, Op.Cit, hlm. 8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

performativitas subjek tidak pernah bebas melainkan berada dalam lingkar kuasa kultural. Tatanan itu sudah dibuat secara tertulis sejak masa Sultan Hamengku Buwana II yang naik tahta ca. 1792. paugeran itu dibuat sebagai bagian dari pembentukan identitas orang Jawa yang secara instruksional diturunkan lagi ke dalam 18 prakara dengan detail-detail yang mengatur bukan sebatas orang dewasa (laki-laki dan perempuan) tetapi hingga anak-anak dan kuda. Terkait untuk kawula atau masyarakat umum di luar istana, tidak ada catatan baku—termasuk dalam cara bertindak dan berbusana. Namun dalam kultur Jawa umumnya kawula atau rakyat selalu merujuk pada kedudukan “yang lebih tinggi” dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah para bangsawan. Ini dapat kita lihat melalui performativitas subjek dalam foto karya Isidore van Kindsbergen atas subjek di dalam istana, yakni para perempuan elite bangsawan (lihat Gambar 9 dan Gambar 11) dan foto karya Kassian Cephas atas subjek (model) di studio foto (lihat Gambar 7 dan Gambar 8), cara berbusana mereka dapat dianalisis menurut tata berbusana yang umum dikenakan menurut paugeran meski subjek Cephas hanya seorang model dan bukan dari kelas bangsawan. Subjek perempuan Jawa sejak anak-anak ketika ia mem-“perform”-kan diri sebagai perempuan telah dihadapkan dengan serangkaian tatanan agar diakui sebagai perempuan Jawa, utamanya pada kelas bangsawan. Performativitas itu merupakan tindakan yang dilakukan oleh subjek untuk memperlihatkan diri mereka. Di sini, sebagai perempuan pribumi, umumnya subjek tampil dalam balutan wastra—kain tradisional dengan makna dan simbol tersendiri, yang mengacu pada kultur, corak, warna, ukuran hingga bahan. Pakaian yang dikenakan akan menjelaskan subjek adalah perempuan. Lazimnya perempuan Jawa, memakai kain jarik atau sarung batik dengan berkemban atau berkebaya. Mereka tampil dalam normativitas atau mengacu pada umumnya perempuan pada masa itu. Termasuk dalam ritual berdandan. Perempuan Jawa pada masa itu umumnya tampil dengan rambut digerai bagi mereka yang belum menikah. Berbeda halnya bagi yang sudah menikah, rambutnya dikonde, disanggul atau diukel tekuk dengan berbagai asesoris dan hiasan pendukung, utamanya dalam acara-acara resmi. Namun tidak berhenti di situ, performativitas subjek juga diikuti oleh sikap tubuh. Performativitas subjek perempuan Jawa dan Bali menghadirkan detail PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

karakterisasi yang berbeda jika ditinjau dari sikap atau gestur mereka. Sikap dan tindakan perempuan Jawa misalnya, cenderung memperlihatkan gestur tubuh yang lebih kalem dibandingkan perempuan Bali. Hal itu dipengaruhi oleh konstruksi tubuh, contohnya dalam tari. Lirikan mata perempuan Bali lebih tajam dan berani sekaligus menggoda sebagaimana di-“perform”-kan oleh penari Bali. Sikap tubuh itu tentu dipengaruhi oleh kultur mereka. Tari Bali sebagian besar menghadirkan gerak cepat dan tangan terangkat tinggi hingga bahu ikut terangkat. Sedang dalam tarian Jawa, khususnya tari klasik, sikap tubuh seringkali hadir melalui gerakan- gerakan lambat dan teknik mengangkat tangan yang berbeda dari tarian Bali. Maka gerak-gerik perempuan Jawa dapat dimaknai lebih lamban dibandingkan dengan gerak-gerik perempuan Bali—dalam konteks “budak”, nilai perempuan Bali lebih tinggi dibandingkan budak perempuan Jawa, bisa merujuk pada kecapakan dan kesigapan dalam bertindak. Performativitas itu menampilkan kualitas feminitas dari perempuan Jawa dan Bali. Artinya, dalam mem-“perform”- kan diri, subjek tidak pernah bebas dari lingkup dia berada. Karena imbal baliknya berupa pengakuan yang berasal dari lingkungan dan kultur di mana ia terus menerus mengulang tindakannya. Namun dalam konteks kajian ini, performativitas tersebut harus dikritisi karena bukan sepenuhnya dihasilkan oleh tindakan subjek. Operator yang memproduksi foto memiliki kuasa dalam mengarahkan subjek agar melakukan tindakan, gaya, gestur sesuai dengan yang diinginkannya. Bahkan dalam menentukan bagaimana cara mereka berbusana— hal ini dapat jelas disaksikan dalam Gambar 3. “Demi Mondaine”. Gagasan untuk menyampirkan kain selendang untuk menutupi sebagian dari dada si gadis yang tak berkemban tentu bukan tindakan yang dirancang oleh subjek, melainkan gagasan operator. Lalu bagaimana subjek dalam foto melakukan tindakan performatif? Apakah tindakan performatif tersebut atas kesadarannya sendiri? Performativitas menurut Butler bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual yang dampaknya adalah naturalisasi dalam konteks tubuh, dipahami, sebagian, dalam durasi yang berkelanjutan secara budaya.156 Gender bersifat performatif karena diproduksi melalui serangkaian tindakan. Tindakan performatif itu dilakukan

156 Judith Butler. Op.Cit, hlm. xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

dalam bentuk stilisasi gender dari tubuh, yakni gerakan yang telah mengalami proses penghalusan sehingga tampak indah. Intinya, gender adalah “stylized repetition of acts”157 atau serangkaian pengulangan tindakan yang penuh gaya. Tindakan, ekspresi, gestur, mengimplikasikan identitas gender yang paling esensial. Femininitas pun merupakan tindakan meniru—dan itu tidak hanya dapat dilakukan oleh perempuan menurut perspektif biologis. Tindakan performatif, misalnya, dalam pementasan Ludruk ditampilkan oleh laki-laki yang meniru sikap, perilaku, hingga cara berbusana feminin. Kinerja berulang tersebut lantas diperformatifkan oleh subjek secara terus menerus sehingga ia diakui sebagai “perempuan”. Hal serupa, misalnya, dapat diterapkan ketika melihat perempuan pribumi saat mereka memperformatifkan diri hingga dikenali sebagai perempuan Jawa. Tentu konteks performativitas ini juga mengacu pada zaman. Di sinilah, teori Butler terkait performativitas untuk menekankan bagaimana gender dikonstruksi dan itu tidak bersifat alami menemukan bukti-buktinya. Tindakan performatif dalam produksi foto sekilas tampaknya dihasilkan oleh subjek dalam foto. Namun dalam produksi foto, subjek dihadapkan dengan operator sebagai pencipta foto. Di situ ada dominasi kuasa yang dimiliki oleh operator. Judith Butler mengemukakan:

Tindakan, gerak tubuh, diberlakukan, umumnya ditafsirkan bersifat performatif dalam arti bahwa esensi atau identitas yang ingin mereka ungkapkan untuk diekspresikan adalah rekayasa yang dibuat dan dan dipertahankan melalui tanda-tanda tubuh dan cara diskursif lainnya.158

Citra perempuan pribumi yang ditampilkan dalam foto memperlihatkan serangkaian aksi, gestur tubuh, cara tersenyum, melirik, yang kesemuanya bersifat performatif. Dalam konteks Butler, performativitas itu dilakukan oleh subjek sebagai bagian dari identitas yang ingin diekspresikannya melalui detail gerak- gerik tersebut. Namun dalam memproduksi foto, operator memproduksi performativitas itu “secara palsu” atau “direkayasa” guna mendapatkan identitas yang mereka inginkan—terkait imaji atas perempuan pribumi dalam masa kolonial—yang terus

157 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 191 158 Ibid, hlm. 185 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

dipertahankan dan disusun dengan berbagai kode-kode kultural sebagai sarana diskursifnya, baik visual maupun didukung wacana tekstual. Butler menegaskan jika tubuh yang ber-gender itu secara performatif menunjukkan bahwa ia tidak memiliki status ontologis selain dari tindakannya yang membentuk realitas.159 Namun realitas sebagai efek dari wacana publik yang diserap oleh operator yang dilahirkan lagi dalam bentuk foto melalui subjek, sepenuhnya dikendalikan oleh operator. Subjek di situ pun bertindak dalam kontrol, yakni di bawah pengawasan operator. Performativitasnya sebagai perempuan pribumi dicitrakan, dikodekan, dikategorisasikan hingga membentuk identitas yang berkonotasi erotis, eksotis, rendahan, namun sekaligus mereka juga diposisikan sebagai “liyan” dan kurang beradab. Mereka tak lebih dari tanah koloni yang butuh diperadabkan oleh Barat, sebagaimana yang dikemukakan Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas:

“Melalui kekuasaan mereka atas tata budaya dalam kehidupan keseharian masyarakat kolonial, orang Eropa menciptakan sejumlah klise yang berbeda tentang ‘liyan’ pribumi, baik di Jawa atau di tempat lain. Orientalisme yang semula ‘tak terduga’ mereka ubah menjadi Orientalisme yang secara hakiki mempunyai ‘ciri utama, tetapi mudah ditebak’: percaya takhayul, berbelit-belit, tidak berkepribadian, atau banci.”160

Pengulangan performatif tersebut dibuat untuk menegaskan stereotip- stereotip yang telah ditetapkan bagi perempuan pribumi. Mereka dianggap “liyan”, terbelakang, banal, tidak terpuji, sementara dari kelas aristokrat ditampilkan lembut, ayu, bersahaja namun tanpa kuasa. Tindakan performatif yang cukup jelas justru ketika saya merasakan keganjilan dari foto Dua Perempuan Telanjang, betapa kecangungan dan kekikukan mereka adalah bahasa tubuh yang tidak bisa didustakan bahwa ada rasa tidak pas dengan apa yang sedang mereka lakukan, semacam ungkapan, “Kami tidak seperti ini!” Jadi, foto yang terkesan ganjil dan membuat perasaan saya tidak nyaman itu bukan karena mereka berpose telanjang tetapi dari dalam diri subjek dalam foto ada “kecanggungan performativitas” yang lantas melahirkan perlawanan sebagaimana diungkapkan melalui bahasa tubuh mereka. Mereka hanya “perform” sesuai arahan Van

159 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 185 160 Frances Gouda. Op.Cit, hlm. 49-50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

Kindsbergen untuk mengkonstruksi identitas pribumi “lesbian” dalam perspektif “Barat”, anggaplah mereka begitu, tetapi kenyataan mengungkapkan performativitas yang dalam kultur dipandang aib bisa sangat mengganggu pemikiran subjek. Terlebih saat mereka sadar ada kamera yang mendokumentasikan tindakan mereka. Sementara para model yang telah terbiasa “perform” tentu akan menampilkan “subjek” yang diperankannya demi memuaskan harapan operator yang dalam arti yang lebih luas memuaskan fantasi spectator Eropa atas “the Orient”. Mereka tentu berhasil sebagai “performance”. Penelitian ini justru menjumpai performativitas-performativitas yang “direkayasa”. Hal yang juga tampak dalam foto baboe, budak Iloeh Sari, dan potret para aristokrat perempuan yang hadir seolah tanpa beban yang seakan-akan itu adalah performativitas nyata atau yang sehari-hari mereka tampilkan sebagai perempuan pribumi, namun mereka tetap tidak bisa membebaskan diri dari mem-“perform”-kan apa yang dikehendaki oleh operator. Hal itu terbaca dari ulasan saya pada bab sebelumnya, terkait bagaimana operator memiliki kelihaian untuk menyisipkan makna-makna ganda (konotatif) bagi spectator Eropa. Misal, budak Iloeh Sari—dengan tampil bertelanjang dada meski itu merupakan bagian dari performativitas keseharian sebagian perempuan Bali, dan tentu itu bukan masalah, namun ketika ia berpose dengan I Mriyakti, performativitas keduanya melahirkan wacana yang hanya dimiliki oleh operator dan kedua subjek itu lagi- lagi hanya muncul sebatas sebagai “performance”. Performativitas subjek dalam foto-foto tersebut alhasil adalah performativitas yang “direkayasa” karena bukan subjek dalam foto yang menghendaki penampilan semacam itu, melainkan ia hadir melalui serangkaian arahan. Operator mengkonstruksi citra yang ingin dimunculkan dalam foto. Operator, meski dalam hal ini Kassian Cephas yang “pribumi” namun ia bergender laki-laki tidak sepenuhnya bebas, dalam teknik ia merepresentasikan perempuan pribumi tetap menggunakan perspektif male gaze, seperti bagaimana imajinya atas citra perempuan pribumi ideal—yang ayu, lembut dan santun. Performativitas itu masih merupakan performativitas ideal perempuan pribumi Jawa namun di bawah tatap mata maskulin. Lapis dari lapis performativitas itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

membentuk efek yang kemudian dianggap alamiah atau begitulah adanya. Padahal secara historis performativitas itu tidak pernah tetap.

C. Ambivalensi Wacana Kolonial Homi K. Bhabha melihat adanya dua kutub biner yang berbeda dari sudut pandang pascakolonial, yaitu “colonized” (yang dijajah) dan “colonizer” (penjajah). Misalnya, dalam memotret perempuan bangsawan Jawa, meskipun bukan rahasia lagi jika Sultan Yogyakarta diketahui memiliki istri lebih dari satu, namun dalam arsip foto-foto kolonial nyaris tidak dijumpai potret yang menampilkan mereka secara bersamaan, begitu pun dalam lukisan atau sketsa— hal yang jauh berbeda dengan perempuan-perempuan harem atau perempuan bangsawan Bali (Buleleng). Operator kolonial maupun pribumi tidak lantas bebas memasuki kaputren—wilayah di mana para putri dan perempuan bangsawan beraktivitas, termasuk Kassian Cephas. Di sini ada kuasa dan batas teritori yang tidak lantas semuanya dapat dimasuki secara bebas oleh kolonial. Sekali pun mereka datang dengan membawa teknologi modern. Strategi semacam itu menjadi bentuk resistensi pribumi, termasuk dari kalangan elite bangsawan, atas kuasa kolonial Hindia Belanda. Karena tidak bebas, sikap anxiety atau rasa cemas muncul dalam diri “colonizer”. Sikap semacam itu dapat dilihat dalam beberapa foto, seperti ketika Van Kindsbergen menampilkannya figur I Mriyakti semacam pengingat atau sikap jaga-jaga dalam relasi antara Tuan dengan budaknya, sedang dalam “Woodbury & Page” yang memotret figur baboe, sekalipun baboe sebenarnya berperan dalam membantu kehidupan orang-orang Eropa di Hindia Belanda, namun keberadaannya sekaligus memunculkan “anxiety” berkat kedekatan baboe dengan anak-anak mereka hingga baboe seringkali dinarasikan dalam perspektif buruk yang dipandang bisa “meracuni” jiwa-jiwa murni Eropa dengan kultur “Timur” melalui sikapnya yang menjaga secara keibuan dan sekaligus meninabobokan. Dalam foto, kecemasan semacam itu hampir-hampir tidak kentara jika tidak dihubungkan dengan teks-teks dan catatan lain seperti yang ditulis Frances Gouda sebagaimana yang saya jelaskan di muka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

Tarik menarik antara sikap “colonized” yang resisten dan sikap “colonizer” yang “anxiety” ini tidak berlangsung selamanya. Sebab pihak yang dijajah tidak selalu resisten, melainkan juga menerima kehadiran penjajah, meski juga tidak sepenuhnya. Di sini “agency” berperan. Contoh menyolok muncul dari para elite bangsawan perempuan. Mereka tampil dengan busana tradisi yang dalam Paugeran dan tatanan masyarakat memiliki nilai dan makna. Sikap dalam menerima ketika dipotret sebenarnya menjadi siasat menyelamatkan kultur, di antaranya cara berbusana menurut Paugeran yang mereka junjung. Ini menjadi semacam strategi pertahanan, tentang bagaimana tradisi memasuki modernitas dan kultur didokumentasikan oleh teknologi modern. Melalui “agency”, termasuk dalam hal ini peran operator seperti Kassian Cephas, banyak tradisi dari masa lalu terdokumentasikan dengan baik secara visual yang kemudian di masa kini digunakan sebagai referensi dalam merekonstruksi budaya, seperti tari, wayang orang, dan upacara-upacara. Tanpa arsip-arsip visual dimaksud, beberapa penggal masa lalu sudah pasti menghilang tak berjejak. Di sini sikap menerima dari pihak “colonizer” menciptakan museum ingatan yang sewaktu-waktu dapat dikunjungi dan direproduksi. Strategi pertahanan tersebut dilakukan oleh “agency” dari kedua belah pihak. Dalam konteks arsip foto, budaya lokal digunakan oleh operator guna mengatasi rasa cemas dan resistensi pada diri mereka sendiri. Cephas paling memahami itu. Ia seringkali menghadirkan figurnya di antara artefak dan situs- situs yang dipotretnya yang dikirimnya ke “Barat”, seperti mengukuhkan kesaksian sekaligus sebagai pewaris atas Javanese antiquarian. Ia menciptakan kesaksian sebagai operator dan pemilik budaya tersebut dengan melebur dan hadir menjadi bagian dari monumen, situs-situs masa lalu yang dipotretnya. Berkat foto- fotonya pula, detail masa lalu dapat dijangkau hari ini dan bisa dimaknai kembali. Di sini “colonized” mendapatkan ruang dan medium untuk memaknai kembali budayanya sendiri. Dalam perjumpaan budaya itu, ada simbol-simbol yang kemudian saling bersilang, simbol lokal digunakan “colonizer” untuk mengukuhkan kekuasaannya, sebaliknya simbol kolonial digunakan “colonized” untuk menguatkan identitasnya. Strategi budaya itu digunakan sebagai alat dari kedua belah pihak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

untuk “survive” dan memainkan “strategi”. Pada konteks ini, profesi baboe, model, budak bisa sebagai strategi untuk “survive” pada masa kolonial. Sedang bagi para elite perempuan bangsawan, itu menjadi strategi untuk mempertahankan kultur dan wilayah mereka. Alhasil, ambivalensi memperlihatkan proses saling melihat sekaligus meniru hingga mempengaruhi satu sama lain. Operator yang mewakili “colonizer” menempatkan subjek dalam foto sebagai representasi dari “tanah jajahan” sehingga pribumi seringkali ditampilkan secara inferior dan eksotis. Eksotisme diwakili dari foto-foto studio yang menampilkan perempuan dari kelas sosial tertentu, misalnya menengah ke atas. Sementara mereka yang berasal dari kelas bawah, seperti budak dan baboe cenderung dihadirkan sebagai subjek inferior. Semua foto yang dijadikan sumber penelitian ini menghadirkan subjek-subjek perempuan eksotis—dengan daya tarik yang khas, misalnya dalam mode berpakaian. Berkat kekhasan itu, “colonized” kemudian bisa dikenali. Subjek-subjek itu pun meniru “colonizer” sebagai yang berkuasa dengan harapan memiliki akses atas kekuatan yang sama. Ia menekan budayanya sendiri, mengalami perjumpaan budaya asing yang dominan hingga sebagian dari identitasnya tertutupi. Peniruan ini akan tampak pada pose atau gestur dan seringkali menampilkan sikap yang tidak sesempurna yang ditiru. Kehadiran subjek mimikri cenderung ditakuti karena bisa jadi mereka cukup terpelajar untuk memainkan “peran” sebagai “agen” yang meskipun dalam pandangan “colonizer” tetap dilihat rendah dan inferior namun sesungguhnya sikap itu untuk menutupi “anxiety” atau ketakutan “colonizer” sendiri. Dalam konteks penelitian ini sikap mimikri dipertunjukkan hampir dalam pose dari keseluruhan foto yang diteliti mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi modern, maka sikap tubuh seolah dikonstruksi untuk menyesuaikan diri atas media baru tersebut. Namun yang paling menarik dari kesemua itu adalah foto Tiga Putri dari Sultan Hamengku Buwana VI karya Isidore van Kindsbergen (lihat Gambar 9.). Foto itu sebenarnya dapat dimaknai subversif atau dapat digunakan sebagai alat propaganda mengingat sikap dan gestur tubuh mereka tidak hadir layaknya sikap tubuh perempuan pribumi pada masa itu. Tatapan mereka juga memperlihatkan visi yang jauh yang dapat dimaknai menyimpan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

gagasan atau rencana. Foto itu di masa kini digunakan di antaranya sebagai sampul buku Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian meski secara historis keterlibatan ketiga puteri tersebut dalam aktivitas gerakan perempuan belum dikaji. Adapun hibriditas saya anggap lebih produktif karena menciptakan bentuk artistik baru dan mengembangkan ide-ide baru secara kultural, misalnya dalam berbusana raja-raja Jawa atau pada kostum penari kraton. Dalam tinjauan yang lebih mendalam, hibriditas dapat merongrong narasi kekuasaan kolonial dan budaya dominan. Misalnya, ketika Sultan Yogyakarta hadir dengan pakaian kebesaran yang merupakan hibridasi dari pakaian pembesar kolonial dilengkapi dengan bintang dan anugerah dari Kerajaan Belanda. Hibriditas menghasilkan “mixed sense” atau campuran rasa sebagai berkah sekaligus kutukan. Namun operator juga menyadari bahwa subjek tidak lantas menjadi orang Belanda ketika meniru pose atau gestur yang diarahkannya. “Mimicking Performance” atau meniru performativitas dari “colonizer” dapat ditangkap dari pose-pose yang memang lebih umum dikenali sebagai cara bergaya atau bersikap ketika subjek dipotret mengikuti sikap yang umumnya dipraktikkan dalam budaya “Barat”. Subjek dalam foto mencoba untuk melakukan dan bertindak seperti orang lain—yang dalam konteks ini adalah “colonizer”. Subjek mem-“perform”-kan itu dengan aspek sensitivitas bukan untuk menjadi “itu” atau “ini”, yang artinya ia berada di ruang antara—ia adalah “agen”. Mereka mem-“perform”-kan identitas yang diinginkan untuk diproduksi oleh pihak kolonial. Namun secara sadar subjek sewaktu-waktu dapat sekaligus “pose a threat to the system” atau menimbulkan ancaman bagi sistem kolonial. Dengan menempatkan perempuan elite bangsawan di atas kursi kebesarannya, sesungguhnya kolonial sulit menjangkau lebih jauh para perempuan elite bangsawan tersebut karena gerak operator sendiri terbatasi oleh ruang atau studio foto yang diciptakannya. Ke mana-mana para perempuan elite bangsawan tidak pernah hadir sendiri. Ia akan diiringi oleh beberapa Abdi dalem dan orang-orang di sekitar mereka inilah yang bersikap sebagai pengingat atas tindakan operator—hal yang tidak akan dapat kita tangkap melalui foto. Tindakan yang dibuat dari posisi ambivalen itu membutuhkan kecakapan dalam melintasi batas-batas diferensial, antara “colonizer” dan “colonized” secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

simbolis dan masing-masing bisa memposisikan diri di situ. Misalnya, subjek terjajah ketika ia meniru pose tertentu, ia menyadari bahwa dengan berpose seperti itu ia tampil menyerupai sikap “colonizer”, ia akan dilihat modern, tampak moderat—berada di antara: namun tidak melebihi “colonizer” pun tidak tampak inferior sebagai “colonized”. Mereka menggunakan kemampuan meniru mereka sehingga tampak “setara”, utamanya hal itu dapat dilihat dalam foto para elite bangsawan pria, seperti sultan versus residen Belanda yang seringkali ditampilkan dalam satu frame. Sedang dari foto elite perempuan bangsawan, umumnya kehadiran mereka dalam foto masih merepresentasikan kelas sosial bangsawan, terdidik dalam sikap, memiliki selera berbusana, dan dikelilingi oleh properti dan detail lain yang tidak memotret mereka secara inferior. Konteks “mimicking abilities” atau kemampuan meniru ini tentu belajar dari “colonizer” yang sebenarnya bersifat revolusioner dan bisa dianggap sebagai sikap politik di mana secara tidak langsung subjek memperlihatkan bahwa mereka tidak dapat direndahkan—sekali pun posisi mereka dipandang sebagai “yang terjajah”. Tidak tampak rantai yang membelenggu dan membelit mereka atau memperlihatkan mereka tertindas. Di situ, operator menempatkan cara pandangnya dalam sudut “colonized”, yang artinya ia pun memiliki kesadaran menggunakan subjek untuk mencapai tujuannya karena elite bangsawan dipandang sebagai bagian dari proyek penjajah—namun sekaligus menjadi pisau bermata ganda. Itu semacam kompromi yang ironis. Mimikri kolonial adalah bentuk keinginan akan “the Other” yang direformasi, subjek tampil hampir sama dengan “colonizer”, tetapi tidak sepenuhnya. Foto kolonial merepresentasikan hal tersebut. Wacana mimikri dibangun di area ambivalen, yang jika ingin berhasil, justru melebih-lebihkan dari asalnya guna menunjukkan perbedaan. Artinya, mimikri sendiri muncul sebagai representasi dari suatu perbedaan yang merupakan proses dari penolakan. Itu adalah artikulasi ganda, strategi reformasi, regulasi dan disiplin yang kompleks, yang sekaligus memvisualisasikan kekuasaan. Dari situ akhirnya bisa menimbulkan ancaman terhadap pengetahuan yang sudah dinormalisasi atas “the Orient”. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

Efek utamanya adalah membuat “gangguan” atas otoritas wacana kolonial. Dari sikap-sikap mimikri, yang sejujurnya dapat dijumpai sebagai strategi subjek “colonized” atas “colonizer”, begitu pun sebaliknya. Misal, dari foto baboe. Baboe dapat dibayangkan sebagai subjek inferior atau potret dari negeri jajahan. Derajat sosialnya seringkali ditampilkan tidak lebih tinggi dari anak-anak “colonizer” yang diasuhnya. Namun di sisi lain, baboe menciptakan “anxiety” dalam diri “colonizer” sehingga narasi-narasi yang mengiringi sosok baboe kemudian adalah sikap takut dan waspada. Strategi yang diciptakan operator dalam konteks ini justru memperjelas posisi baboe sebagai subjek inferior yang sekaligus berguna untuk mengatasi kecemasannya sendiri. Di sisi lain, baboe menjadi sarana bagi subjek untuk membebaskan diri dan “survive”. Profesi baboe barangkali dipandang sebagai kelas rendahan. Namun subjek memperlihatkan sisi bangga ketika ia menjadi pengasuh anak-anak “colonizer” bahkan dalam gendongannya sebagaimana diperlihatkan dalam foto (lihat Gambar. 12). Di sini subjek menghadirkan dirinya, sekali pun dipersonifikasikan sebagai “budak” atau “baboe”. Identitas subjek justru yang dicari dan yang dibayangkan sebagai pembeda antara kolonial dan negara jajahan. Pihak kolonial tergantung pada keterwakilan pihak-pihak jajahan dan foto-foto tersebut dihadirkan sebagai bentuk representasi dari tanah jajahan. Untuk mendukung gagasan itu, “colonizer” membutuhkan sistem pembentukan subjek, di antaranya melalui reformasi tata krama, sikap yang dimunculkan dalam foto. Dalam kultur Jawa, umumnya perempuan divisualisasikan sebagai berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

Gambar 14. Visualisasi perempuan Jawa dalam “Serat Damar Wulan” yang dibuat orang Jawa Dibuat ca. pertengahan abad ke-18161

Sikap itu kemudian direformasi atau dimodernkan dengan rujukan kultur Eropa sehingga tampil menurut rasa identitas yang mereka kenal. Namun secara subversif reformasi sikap itu berujung pada perbaikan diri subjek “colonized” dan membangun pemahaman baru. Subjek kolonial yang “direformasi” kemudian mampu membayangkan hingga pada tahap menjadi “colonizer” dan itu sebenarnya rentan melahirkan perlawanan. Bahaya yang tidak cukup disadari oleh “colonizer” itu sendiri. Mengapa? Sebab mimikri tidak menyembunyikan keberadaan atau identitas di balik topengnya. Subjek justru tampil secara terbuka meniru “Tuannya”. Ancamannya, adalah visi ganda yang mengungkapkan ambivalensi wacana kolonial hingga kemungkinan mengganggu otoritasnya. Pada foto-foto perempuan bangsawan, mereka merepresentasikan elite negeri jajahan dengan kesan dan pandangan lokal dalam pose modern yang justru meletakkan visualisasi dan kesan setara sebagaimana elite Eropa berkuasa. Penegasan ini dapat ditinjau sebagai kedaulatan atas diri subjek. Mimikri menjadi upaya kembalinya subjek yang tertindas dan sebagai strategi representasi. Dalam mimikri, representasi identitas dan makna diartikulasikan kembali. Seperti yang diingatkan Lacan yang dirujuk oleh Homi K.

161 http://www.bl.uk/manuscripts/Viewer.aspx?ref=mss_jav_89_fs001r PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

Bhabha, bahwa efek mimikri seperti kamuflase1. Teknik kamuflase itu bukan berarti mengharmonisasi penindasan, tetapi bentuk kemiripan digunakan sebagai strategi untuk mempertahankan diri dengan menampilkannya secara mirip atau hanya sebagian. Bentuk kemiripan itu adalah hal yang paling menakutkan untuk dilihat. Tafsirnya pun bisa ganda—sebagai agen kolonial, dalam konteks ini dapat disebut sebagai kepanjangtanganan kolonialisme di Jawa atau demi mempertahankan wilayah namun dengan merepresentasikan identitas ganda. Ambivalensi melahirkan pandangan dalam diri “colonizer”. “Colonizer” pun lama kelamaan mengalami kesadaran historis sebagai subjek yang terjajah. Tak jarang kemudian mereka menggunakan kesempatan itu sebagai bentuk perlawanan. Mereka mengubah dirinya, mengubah cara mem-”perform”-kan diri meski awalnya hanya di depan kamera atau melalui cara berbusana. Yang satu mempertimbangkan kenyataan, sementara yang lain menolaknya dan menggantinya dengan menciptakan produk yang kemudian diulang-ulang, mengartikulasikan kembali “realitas” sebagai mimikri. Dalam kultur Jawa ini seringkali muncul dalam produk budaya dan menjadi olok-olok atas “colonizer”, sederhananya dalam penulisan babad, nama-nama tokoh kolonial biasanya menjadi lelucon saban diperdengarkan. Hal yang juga muncul dalam wayang, ketoprak, dan sebagainya. Ambivalensi sesungguhnya memperlihatkan bahwa kolonisasi tidak sepenuhnya “tidak putih”, pun “tidak hitam”, tidak sepenuhnya “colonizer” dan bukan seutuhnya “colonized”. Hal itu juga dapat ditangkap dari arsip foto kolonial, termasuk potret perempuan pribumi Jawa dan Bali. Di balik pembentukan identitas yang diciptakan oleh operator, subjek yang tidak utuh itu memiliki kemampuan mimikri sekaligus hibrid—meniru sekaligus memproduksi budaya baru, yang dapat ditafsirkan sebagai bagian dari kemunculan atas modernisasi Jawa. Sementara “colonizer” mengamankan tanah jajahan dan tafsirnya atas subjek-subjek pribumi, mereka tetap membutuhkan ruang aman dari rasa “anxiety” di tanah jajahan di antaranya melalui tangan para pembesar Jawa dan menempatkan perempuan elite bangsawan tanpa tafsir cela. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

D. Rangkuman Dari bab ini ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi, yakni performativitas gender dan konteks kolonial. Operator kolonial acap memandang perempuan pribumi yang mereka potret dengan tatapan yang tidak netral, yakni dengan male gaze. Dari situ, sebenarnya foto-foto tersebut sama sekali bukan representasi perempuan pribumi yang apa adanya, natural, sehingga arsip-arsip semacam itu perlu digunakan dengan lebih hati-hati. Penting bagi spectator memandang foto-foto tersebut dengan teliti, hingga akan tampak bahwa ada sesuatu yang tidak beres di situ. Operator berusaha menciptakan kesan “natural”, ia seakan-akan menampilkan perempuan lokal secara apa adanya. Hal itu sejalan dengan wacana Orientalisme, yang berdalih menyampaikan kebenaran tentang “the Orient”. Usaha operator itu tidak sepenuhnya berhasil. Relasi kuasa yang timpang antara operator dan subjek dalam foto—colonizer dan colonized—memberi keleluasaan bagi operator guna memaksakan pose, pakaian hingga ketelanjangan tertentu. Dari foto-foto yang diteliti dalam tesis ini gagasan tersebut ada yang ditampik oleh beberapa subjek, tercermin dari sikap subjek yang canggung dan memperlihatkan rasa tidak nyaman. Dari situ, apa yang tadinya hendak disampaikan oleh operator, tidak sepenuhnya tersampaikan sesuai dengan pesan yang dikehendakinya. Foto-foto itu justru berbicara tentang ketertindasan, rasa terintimidasi, dan sekaligus memberi kesan penolakan dari subjek. Praktik itu adalah upaya menciptakan “Timur”, bukan menyampaikan kebenaran tentang “Timur”. Menariknya, berdasarkan teori ambivalensi Homi K. Bhabha dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya dalam tindakan antara “colonizer” dan “colonized” selalu ada tarik menarik sikap, misalnya mereka yang dipandang inferior nyatanya adalah sikap “survive” atas kolonialisme yang dipraktikkan oleh subjek. Begitu pun ketika operator tidak memiliki kuasa memasuki wilayah yang dipandang sebagai ruang privat, ia menutupi “anxiety” atau kecemasannya dengan tetap menempatkan subjek elite perempuan Jawa atau Bali di kedudukan yang terhormat sebagai bagian dari “strategi” otoritas kolonial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dalam Orientalisme, “the Orient” dihadirkan dalam bentuk representasi melalui seperangkat kekuatan guna masuk dalam kesadaran “Barat”. Fotografi hanya salah satu bagian dari perangkat yang mendukung wacana Orientalisme di Hindia Belanda guna melegitimasi kolonialisme. Fotografi digunakan untuk mendapatkan pengetahuan tentang tanah koloni, sekaligus mengkontruksinya sesuai dengan gagasan-gagasan yang dikehendaki oleh “Barat” yang dalam hal ini melalui perspektif operator. Mayoritas fotografer yang bekerja di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 adalah orang asing dan laki-laki. Isidore van Kindsbergen dapat saya sebut sebagai fotografer Orientalis Hindia Belanda. Ia memiliki kekuatan estetika dan dramaturgi dengan kemampuan merepresentasikan subjek dalam tema-tema spesifik. Ia membingkai perempuan pribumi menurut identitas ras dan etnis yang berbeda, antara perempuan Jawa dan Bali, namun masih dalam wacana yang sama yakni sama-sama sebagai “the Orient”. Lapis-lapis makna foto yang dibuatnya juga cukup kaya. Ia menghadirkan referensi dan kode-kode kultural yang mudah dipahami dan diakrabi oleh spectator Eropa, sebagaimana tampak dalam Demi Mondaine. Van Kindsbergen tidak membatasi diri menggunakan kode kultural yang sering hadir dalam versi visual melainkan ia juga menggunakan karya sastra sebagai bagian dari referensi gagasan foto yang dibuatnya. Artinya, kerja-kerja Van Kindsbergen selalu bukan saja melibatkan banyak pendukung, seperti penata set dekorasi, tetapi juga kekayaan wacana yang dimiliki oleh sang operator. Sedang “Woodbury & Page” yang berkebangsaan Inggris memiliki studio foto yang terhitung paling sukses secara komersial di Hindia Belanda. Cara mereka “mengoperasikan” kameranya hampir sejalan dengan Van Kindsbergen namun lebih gemar menampilkan sisi-sisi primitif, liyan, terbelakang, demikian halnya dari perempuan pribumi—biasanya Woodbury menampilkan model dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

orang-orang yang berprofesi rendahan atau dari kelas sosial miskin—bukan model pilihan; dan tentunya di luar itu mereka tetap meladeni minat para kelas kaya yang memesan khusus jasa fotografi mereka untuk memotret langsung di rumah-rumah mereka. Kassian Cephas, hanya perkecualian. Sejak tahun 1861, Kassian Cephas mendapatkan pengetahuan fotografi dari Simon Willem Camerik hingga kemudian ia mulai bekerja untuk lembaga, seperti Archaeologische Vereeniging (Archeological Union) di Yogyakarta dalam pendokumentasian Candi Prambanan. Karirnya setelah itu terus mengemuka. Ia juga menjadi salah satu fotografer yang mendokumentasikan Candi Borobudur. Sebagai pribumi, wacana yang ditampilkan Cephas melalui kameranya menghadirkan perempuan Jawa dalam figur eksotis, ayu, dan kalem. Cephas sebagai orang yang sejak kecil lahir dan besar di Jawa memiliki gagasan tentang citra perempuan pribumi ideal yang bisa menjadi standar ideal kecantikan perempuan Jawa kala itu seperti figur perempuan yang “lemah lembut” dan itu yang cenderung hadir dalam foto-fotonya. Dalam proyek-proyek fotografi di Hindia Belanda, Javanese Antiquities hanya salah satu proyek utama yang pernah digulirkan pada awal-awal kemunculan teknologi fotografi di tanah koloni yang di antaranya dikerjakan oleh para fotografer tadi: Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, dan “Woodbury & Page” yang sekaligus proyek itu menyertai penelitian ilmiah di bidang arkeologi di Hindia Belanda. Seiring perkembangannya, fotografi digunakan untuk mengiringi perjalanan para petinggi kolonial, hingga mendokumentasikan perjumpaan mereka dengan pejabat dan bangsawan lokal yang kemudian dimanfaatkan untuk memotret kalangan bangsawan, hingga ada dorongan untuk memotret indigenous people—masyarakat pribumi. Seiring kemunculan studio foto, produk-produk foto yang menampilkan kekhasan masyarakat pribumi kian meningkat. Bukan semata karena harga foto studio lebih murah, namun karena produk yang menghadirkan “the Orient” kian diminati di pasar Eropa dan celah ini yang dimanfaatkan oleh firma “Woodbury & Page”. Mereka menjual karya-karya mereka langsung ke Inggris melalui jejaring firma fotografi. Fotografi akhirnya menjadi salah satu perangkat kekuasaan yang membawa visualisasi perempuan pribumi, yang dalam konteks penelitian ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

perempuan Jawa dan Bali, ke dalam sistem representasi untuk dikonsumsi oleh spectator Eropa. Penelitian ini mempresentasikan bagaimana foto-foto itu dikonstruksi, di antaranya dengan menghadirkan sebagian kode-kode kultural yang menjadi referensi spectator “Barat”. Perempuan-perempuan pribumi dijadikan sebagai objek untuk ditampilkan, ditata, diatur, ditafsir sedemikian rupa sebagaimana yang direpresentasikan dalam foto. Perempuan-perempuan itu diatur sedemikian rupa oleh operator yang kesemuanya laki-laki di bawah tatapan mata maskulin. Foto-foto perempuan yang ditampilkan oleh ketiga fotografer tersebut erat kaitannya dengan wacana Orientalisme yang berkembang secara sistematis di Hindia Belanda. Di bawah sorotan “male gaze” perempuan-perempuan pribumi dicitrakan sebagai objek erotisme, tampil secara eksotik, terdomestikasi, namun sekaligus menyimpan sisi gelap, berbahaya, misterius dan sebagai subjek yang dipandang sebagai “liyan” yang kehadirannya antara ada dan tiada. Gagasan- gagasan itu sangat kental dengan wacana Orientalisme, yang ironisnya, foto-foto itu yang paling laku di pasaran Eropa. Semakin banyak studio foto yang buka di Hindia Belanda, semakin banyak pula replikasi atas wajah-wajah perempuan pribumi yang ditampilkan sebagai “the Orient”. Melalui studio fotonya, operator memiliki kuasa dalam mengkonstruksi subjek mulai dari pemilihan latar studio (yang umumnya terbuat dari lukisan kanvas) tempat subjek akan “perform” di depan kamera, kostum, interior ruangan, asesoris, hingga mengarahkan posenya. Dalam hal ini, diri subjek tidak hadir sepenuhnya di depan kamera melainkan tindakannya semata-mata dilakukan memenuhi kemauan operator. Mereka hanya “perform” sesuai arahan. Maka wajar jika pose-pose yang hadir seakan-akan “meniru” gaya Eropa. Itu bukan “meniru” sebagai bentuk supaya nampak setara melainkan sekadar mereplikasi. Kecenderungan replikasi telah nampak sejak dari lukisan, umumnya dalam bentuk pose. Berangkat dari memahami apa yang ditampilkan oleh operator dari sebuah foto, saya mendapati “luka” akibat tatapan saya yang membuat saya gelisah saat melihat sebagian foto-foto itu. Dalam kasus foto Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto van Kindsbergen, dengan perspektif performativitas gender saya memperoleh kesadaran bahwa kecanggungan pose yang menampilkan kesan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

“lesbian” itu bukan tampilan yang dikehendaki oleh kedua subjek dalam foto. Itu bukan diri mereka. Itu tampak sebagai adegan yang dibuat-buat, yang menjadi bagian dari dramaturgi yang dirancang oleh Van Kindsbergen. Keganjilan dari foto itu bukan semata karena kode-kode kultural yang dibuat oleh fotografer mulanya kurang familiar bagi saya, namun justru di situlah subjek menampilkan diri mereka, subjek semacam “tidak sepakat”, “berontak”, “melawan” dalam mem-“perform”-kan subjek yang bukan diri mereka namun hanya kehendak operator sehingga bahasa tubuh mereka mempresentasikan pose yang canggung dan tidak nyaman. Para perempuan pribumi tentu memerankan gender dengan cara tertentu, namun mereka terpaksa tunduk pada arahan operator. Dalam relasi kuasa yang terjalin antara operator dan subjek dalam foto, operator memiliki kuasa dominan dalam menentukan latar pemotretan, menyiapkan properti, dekorasi atau desain interior studio foto sampai kepada bagaimana ia menata penampilan subjek. Operator tidak selalu menampilkan sisi negatif dalam foto-foto tersebut, sebagaimana penampilan para perempuan bangsawan yang masih dicitrakan sesuai kelas sosial mereka sebagai elite di tanah Jawa. Namun selalu, citra pelemahan bisa dimunculkan di sana. Jawa dan Bali sebagai bagian dari tanah koloni yang disubordinasi memang “perlu” dilemahkan secara terus menerus agar tidak melakukan perlawanan, dalam hal ini termasuk karakter manusianya—perempuan hanya salah satu objek yang paling empuk sebagai sasaran dalam masyarakat patriarki. Fotografer membangun citra perempuan pribumi lebih pada apa yang diimajikannya atas subjek, bukan bagaimana subjek “ingin tampil” seperti apa dan sebagai siapa. Kenyataan bahwa perempuan pribumi Jawa pada masa itu sebagian besar memang menampilkan diri dengan berbusana dengan memakai wastra (jarik atau tenun), berkebaya, berkonde, justru dimanfaatkan oleh operator untuk menegaskannya sebagai bagian dari gagasan identitas ras dan etnis yang kian mendukung wacana Orientalisme secara visual. Subjek di sini hanya membentuk identitas ras dan etnis melalui detail busana yang dipakainya karena begitulah ia tampil terus menerus. Akhirnya dapat dipahami bahwa, foto-foto Orientalis Hindia Belanda adalah wacana yang dikonstruksi bukan semata untuk pendokumentasian atas PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

wajah pribumi, khususnya perempuannya, melainkan menghadirkan potret mereka sesuai dengan gagasan yang mendukung wacana Orientalisme. Dari kesadaran atas wacana tersebut, penggunaan arsip kolonial sebagai bukti-bukti sejarah perlu ditinjau ulang secara kritis sehingga sejarawan tidak terjebak dalam gagasan reproduksi wacana Orientalisme dan “tanpa sadar” menjadi bagian dari “pelemahan” atas perempuan. Kehati-hatian atas arsip sejarah, termasuk arsip- arsip foto kolonial akan membangun perspektif yang diupayakan bisa terbebas dari karakter “the Orient” yang dibangun “Barat”, yang ironisnya, jangan-jangan justru digunakan untuk mensubordinasi diri mereka terus-menerus. Namun jika dikaji dengan lebih jeli, sebenarnya subjek dalam foto pun memainkan strategi dalam perspektif ambivalensi Homi K. Bhabha bahwa mereka meniru atau bersikap mimikri dan hibrid sebagai bagian dari siasat. Siasat itu dilakukan oleh kedua belah pihak, baik “colonizer” maupun “colonized”. Siasat itu dapat dikaji lebih jauh dengan memahami konteks historis pada masa itu.

B. Rekomendasi Penelitian ini baru permulaan, artinya masih terbuka peluang untuk melakukan penyempurnaan dan penambahan sumber data sehingga terbentuk hasil yang lebih komprehensif. Penulis berharap penelitian sejenis masih terus dikembangkan secara intens, khususnya atas arsip-arsip foto kolonial yang seringkali dianggap “beku” dan dapat dianalisis dalam konteks kolonialisme, historis atau pun untuk keperluan lain sebagaimana dilakukan oleh para peneliti di Timur Tengah. Membicarakan arsip foto tentu tidak semata membicarakan foto itu sendiri. Sebagaimana dipaparkan dalam tesis ini, ada begitu banyak hal yang dapat ditinjau kembali atas arsip tersebut dan masih terbuka ruang untuk penelitian- penelitian sejenis. Kekayaan arsip kolonial senyatanya menyediakan sumber data bagi penelitian-penelitian lain. Dengan memanfaatkan arsip-arsip tersebut, khususnya foto, setidaknya kita dapat belajar bagaimana kolonialisme mengkonstruksi wacana dan membuat produk-produk budaya yang sekaligus menyimpan sejarah bangsa ini, termasuk sejarah perempuan pribumi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Bennedict. 2006. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Revised Edition. London & New York: Verso Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida: Reflections On Photography (translated by Richard Howard). New York: Hill and Wang A Division of Farrar, Straus and Giroux ______. 1977. Image Music Text: Essays selected and translated by Stephen Heath. London: Fontana Press Behdad, Ali. 2016. Camera Orientalis: Reflections on Photography of the Middle East. Chicago and London: The University of Chicago Press Behdad, Ali and Gartlan, Luke (ed.). 2013. Photograph’s Orientalism: New Essays on Colonial Representation. Los Angeles: The Getty Research Institute Benjamin, Roger. 2003. Orientalist Aesthetics: Art, Colonialism, and French North Africa, 1880-1930. London, England: University of California Press Benjamin, Walter. 2007. Illuminations. Translated by Harry Zohn. New York: Schocken Books Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. Routledge: London and New York Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge: New York and London Boer, Gerda Theuns-de and Asser, Saskia (with contributions by Steven Wachlin). 2005. Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies. Leiden & Huis Marseille, Amsterdam: KITLV Press Carey, P.B.R. (ed.). 1980. The Archive of Yogyakarta Vol 1: Document Relating to Politics and Internal Court Affairs. Oxford: Oxford University Press Condronegoro, Mari S. 1995. Busana Adat Kraton Yogyakarta: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara 1877-1937. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Cetakan II. Tr. Jugiarie Soegiarto & Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta Graham-Brown, Sarah. 1988. Images of Women: The Portrayal of Women in Photography of the Middle East 1860-1950. New York: Columbia University Press Hannavy, John. (ed.). 2008. Encyclopedia of Nineteenth-Century Photography Volume 1 (A-I) Index. New York & London: Routledge, Taylor & Francis Group Hondius, Dienke (et.al.). 2014. Amsterdam: Slavery Heritage Guide. Arnhem: LM Publishers Knaap, Gerrit (with a contribution by Yudhi Soerjatmodjo). 1999. Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan. Leiden: KITLV Press Lemaire, Gerard-Georges. 2000. Orientalism: The Orient in Western Art. Germany: h.f.ullmann publishing Lewis, Reina. 2004. Rethinking Orientalism: Women, Travel & the Ottoman Harem. London & New York: I.B. Tauris Mulvey, Laura. 1989. Visual and Other Pleasures. New York: Palgrave Otterspeer, Willem (ed.). 1989. Leiden Oriental Connections 1850-1940. Leiden, The Netherlans: E.J. Brill Perez, Nissan N. 1988. Focus East: Early Photography in the Near East, 1839- 1885. New York: Harry N. Abrams, Inc., Publishers in association with The Domine Press, Jarussalem and The Israel Museum, Jerusalem Raap, Olivier Johannes. 2017. Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe. Cetakan Ketiga. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Rabate, Jean-Michel (ed.). 1997. Writing the Image After Roland Barthes. Philadelphia: University of Pennsylvania Press Ricklefs, M.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern. Dharmono Hardjowidjono (terj.) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

Said, Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Tr. Achmad Fawaid. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sutton, Damian. 2009. Photography, Cinema, Memory: The Crystal Image of the Time. Minneapolis, London: University of Minnesota Press Vickers, Adrian. 2012. Bali: A Paradise Created. Second Edition. Singapore & Japan: Tuttle Publising Wachlin, Steven (with a contribution by Marianne Fluitsma and Gerrit Knaap). 1994. Woodbury & Page: Photographers Java. Leiden: KITLV Press

Artikel: Abbozzo, Margherita. Male and Female Gaze in Photography, ANNO LXXIV, 2019-N. 1 Maier, H.M.J., From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies, Indonesia Vol 56 (Oktober, 1993)

WEB: https://www.wowshack.com/the-real-culture-of-indonesian-woman-historical- pictures-facebook-didnt-want-you-to-see/ https://www.mauritshuis.nl/nl-nl/verdiep/de-collectie/kunstwerken/meisje-met-de- parel-670/ https://kitlv.universiteitleiden.id/tentang-kami/ https://majalah.tempo.co/read/layar/95455/cephas-fondasi-awal-fotografi- indonesia? https://www.iias.asia/event/searching-researching-isidore-van-kinsbergen-19th- century-photography-drama-netherlands-indies https://huismarseille.nl/en/exhibitions/isidore-kinsbergen-1821-1905/ https://theycallmebabu.com/ https://dutchculture.nl/en/news/they-call-me-babu-documentary PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/replikasi https://en.muzeo.com/art-print/lodalisque/edouard-manet http://www.bl.uk/manuscripts/Viewer.aspx?ref=mss_jav_89_fs001r PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

LAMPIRAN

Lampiran 1. “The Dancing Girl” karya Thilly Weissenborn ca. 1925 Dimuat dalam Adrian Vickers, 2012: 141 Didownload dari https://artsearch.nga.gov.au/detail.cfm?irn=182482

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

Lampiran 2. Sketsa Korps Srikandi (laskar perempuan) masa Raden Mas Said atau Mangkunegoro I bertakhta (1757-1795) yang dibuat pada era Mangkunegoro VII (1916-1944) Sumber: Peter Carey, 2019: 20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

Lampiran 3. Groepsportret met Cut Nyak Dhien, de vrouw van Teuku Umar, na haar gevangenneming Potret Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, setelah penangkapannya ca. 1905 Pada tahun 1905 ia ditangkap dan meninggal di pengasingan di Sumedang. Sumber: Nationaal Museum van Wereldculturen TM-10018822