KONSEP KETUHANAN DALAM PUISI HANYUT AKU KARYA DAN HIKAYAT BULAN DAN KHAIRAN KARYA HUSNI DJAMALUDDIN SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Maya Novalia Pulungan NIM: 11160130000036

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

KONSEP KETUHANAN DALAM PUISI HANYUT AKU KARYA AMIR HAMZAH DAN HIKAYAT BULAN DAN KHAIRAN KARYA HUSNI DJAMALUDDIN SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Maya Novalia Pulungan NIM. 11160130000036

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089 Tgl. Terbit : 1 Maret 2010 UIN JAKARTA FORM (FR) FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Maya Novalia Pulungan

Tempat/Tgl. Lahir : Tangerang, 1 November 1997

NIM. : 11160130000036

Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi : “Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.”

Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqosyah.

Jakarta, 10 November 2020

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081 Tgl. Terbit : 1 Maret 2010 UIN JAKARTA FORM (FR) FITK No. Revisi: : 01 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1 SURAT BIMBINGAN SKRIPSI

Nomor : B-0398/F1/KM.01.3/03/2020 Jakarta, 14 Maret 2020 Lamp. : ...... Perihal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth., Novi Diah Haryanti, M. Hum. Pembimbing Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing I/II (materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:

Nama : Maya Novalia Pulungan

NIM : 11160130000036

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Semester : VIII (Delapan)

Judul Skripsi : “Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”

Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 15 Januari 2020, abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.

Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu‟alaikum wr.wb.

A.n. Dekan,

Kajur Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. Makyun Subuki, M. Hum. NIP. 19800305 200901 1 015 Tembusan: 1. Dekan FITK 2. Mahasiswa ybs.

ABSTRAK

Maya Novalia Pulungan (NIM: 11160130000036). Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum. Tasawuf menempati segi penting dalam kemunculan karya sastra di Nusantara. Keberadaannya bukan lagi sekadar praktik keagamaan, tetapi menjadi salah satu penggerak tradisi kreatif (sastra), khususnya puisi. Dalam hal ini, sastra telah dijadikan sebagai wadah yang tepat bagi tasawuf untuk menuangkan segala ekspresi ketuhanan. Isu ini terus diartikulasikan sampai pada masa perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan konsep ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin; (2) mendeskripsikan implikasi konsep ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan adalah sastra bandingan dengan teori semiotik Michael Riffaterre. Hasil analisis menemukan bahwa kedua puisi mengeskpresikan corak tasawuf yang secara khusus mengarah pada konsep wahdah al-wujud. Perbedaannya terletak pada pandangan masing-masing penyair tentang dimensi Tuhan. Pada puisi Hanyut Aku, pandangan penyair tentang Tuhan ditekankan pada dimensi transenden-Nya, sedangkan puisi Hikayat Bulan dan Khairan menekankan pada dimensi imanen Tuhan. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, kedua puisi dapat dijadikan bahan ajar materi puisi sekaligus alternatif bagi pengajaran tentang nilai-nilai ketuhanan. Kata kunci: konsep ketuhanan, Amir Hamzah, Husni Djamaluddin, dan implikasi pembelajaran.

i

ABSTRACT

Maya Novalia Pulungan (NIM: 11160130000036). The Concept of Divinity in Poetry Hanyut Aku by Amir Hamzah and Hikayat Bulan dan Khairan by Husni Djamaluddin and Its Implication in Learning Indonesian Language and Literature in Schools. Department of Indonesian Language and Literature Education Faculty of Tarbiah and Teacher Training Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti, M. Hum. Sufism occupies an important in the emergence of literary works in the archipelago. Its existence is no longer just a religious practice, but has become one of the driving forces for the creative tradition (literature), particularly poetry. In this case, literature has been used as the right space for sufism to express all divine expressions. This issue continued to be articulated until the development of modern Indonesian literature. This study aims (1) to describe the concept of divinity in the poem Hanyut Aku by Amir Hamzah and Hikayat Bulan dan Khairan by Husni Djamaluddin; (2) to describe the implications of the divine concept in Hanyut Aku by Amir Hamzah and Hikayat Bulan dan Khairan by Husni Djamaluddin in learning Indonesian language and literature in schools. The method used is comparative literature with Michael Riffaterre‟s semiotic theory. The results of the analysis found that the two poems expressed a style of sufism which specifically led to the concept of wahdah al-wujud. The difference lies in the views of each poet about the dimension of God. In Hanyut Aku poetry, the poet‟s view of God is emphasized on His transcendent dimension, while the poetry of Hikayat Bulan and Khairan emphasizes the immanent dimension of God. In the context of learning at school, both poems can be used as teaching material for poetry as well as a alternatives for teaching about divine values. Keywords: the concept of divinity, Amir Hamzah, Husni Djamaluddin, and learning implications.

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Swt atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw serta para pengikutnya karena syafa‟at mereka lah yang sangat diharapkan di dunia sampai ke akhirat kelak. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan doa kepada penulis. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M. Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan ikhlas memberikan arahan, saran, dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar; 4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 5. Ayah dan Ibu yang selalu menjadi motivasi dan penyemangat utama bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

iii

6. Muhammad Rio Alfin Pulungan sebagai satu-satunya kakak kandung yang selalu menjadi teman diskusi bagi penulis terkait topik permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 7. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2016 yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis;

Penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini agar selalu sehat, bahagia, dan memperoleh keberkahan dari Allah Swt. Kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan oleh penulis demi menjadikan skripsi ini lebih baik lagi sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 10 November 2020

Penulis

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI SURAT BIMBINGAN SKRIPSI ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 7 C. Batasan Masalah...... 8 D. Rumusan Masalah ...... 8 E. Tujuan Penelitian ...... 8 F. Manfaat Penelitian ...... 9 G. Metodologi Penelitian ...... 10

BAB II LANDASAN TEORI ...... 14

A. Puisi ...... 14 1. Pengertian Puisi ...... 14 2. Struktur Puisi ...... 16 B. Tasawuf dan Sastra ...... 23 1. Pengertian Tasawuf ...... 23 2. Sastra Sufistik...... 27 C. Semiotik ...... 29 1. Pengertian Semiotik ...... 29 2. Semiotik Michael Riffaterre ...... 32 D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra ...... 35

v

E. Penelitian Relevan ...... 38

BAB III BIOGRAFI ...... 43

A. Amir Hamzah ...... 43 1. Biografi ...... 43 2. Corak Pemikiran...... 49 3. Kondisi Sosial dan Kebudayaan Langkat ...... 51 B. Husni Djamaluddin ...... 53 1. Biografi ...... 53 2. Corak Pemikiran...... 54 3. Kondisi Sosial dan Kebudayaan Sulawesi Selatan ...... 56

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...... 58

A. Analisis Struktur Puisi ...... 60 1. Batin ...... 60 a) Tema ...... 60 b) Amanat ...... 61 c) Nada dan Suasana ...... 62 d) Perasaan...... 62 2. Fisik ...... 64 a) Tipografi ...... 64 b) Diksi ...... 69 c) Kata Konkret ...... 70 d) Imaji ...... 71 e) Majas ...... 74 f) Versifikasi ...... 74 B. Analisis Semiotik Michael Riffaterre...... 77 1. Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah ...... 77 a) Pembacaan Heuristik ...... 77 b) Pembacaan Hermeneutik (Ekspresi Tidak Langsung) ...... 79 c) Matriks, Model, dan Varian ...... 87

d) Hipogram ...... 89 2. Puisi Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin ...... 92 a) Pembacaan Heuristik ...... 92 b) Pembacaan Hermeneutik (Ekspresi Tidak Langsung) ...... 96 c) Matriks, Model, dan Varian ...... 102 d) Hipogram ...... 104 C. Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin ...... 105 D. Implikasi Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah ...... 116

BAB V PENUTUP ...... 120

A. Simpulan ...... 120 B. Saran ...... 122

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI

TENTANG PENULIS

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, Islam memandang bahwa aspek ketuhanan merupakan suatu keindahan. Gambaran ini menjadi tumpuan istimewa dalam tasawuf yang secara alami berasal dan mengandung inti ajaran Islam. Aspek ketuhanan sebagai suatu keindahan inilah yang dipandang sebagai aspek mistik dari Islam. Pandangan ini yang kemudian mendasari para sufi untuk mengekspresikan rasa ketuhanan sekaligus penghayatan mereka terhadap ajaran Islam dalam bentuk puisi.1 Dari sini dapatlah dipahami bahwa antara tasawuf dan puisi memang memiliki kaitan yang erat. Bagi para penempuh tasawuf, keindahan yang tergambar dalam pengalaman mistik mendorong rasa antusias dan kesiapan mereka untuk mengekspresikannya dalam suatu wadah yang indah pula. Dalam hal ini, wadah yang indah tersebut adalah puisi karena pada dasarnya puisi mengandung unsur-unsur yang menjadikannya indah.

Sejalan dengan kaitan antara tasawuf dan puisi tersebut di atas, di Nusantara pun sastra telah dijadikan sebagai ranah bagi tasawuf untuk menuangkan segala ekspresi ketuhanan. Hal ini berangkat dari sistem kepercayaan dan kebiasaan masyarakat melakukan upacara keagamaan berupa lantunan doa-doa, puji-pujian, jampi-jampi, dan mantra yang ditujukan bagi penguasa alam dan segala sesuatu yang dianggap mempunyai kuasa dan kekuatan. Ritual semacam itu tentu merupakan bentuk permohonan atas suatu harapan. Oleh karena bentuk permohonan, diperlukan pilihan kata dan rangkaian kalimat yang menghasilkan keindahan bunyi sehingga mampu

1 Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, Cetakan Ke-1, 2001), h. 10.

1

2

mewakilkan perasaan mereka. Keindahan bunyi itulah yang kemudian oleh Sutan Takdir Alisjahbana disebut sebagai puisi.2

Puisi Nusantara hadir sebelum agama. Ia hadir atas kesadaran masyarakat terhadap suatu objek yang mempunyai kekuatan lebih dari mereka sehingga muncul perasaan-perasaan seperti kecemasan, ketakutan, dan kekaguman. Oleh sebab itu, terciptalah mitos dan religi yang merupakan bagian dari kreativitas mereka.3 Perkenalan masyarakat dengan puisi mencapai titik puncak bersamaan proses penyebaran Islam di Nusantara. Sekitar abad ke-16, Islam semakin ramai digaungkan. Tradisi menulis kreatif pun menempati posisi penting dalam masyarakat. Semenjak itu, muncul para ulama intelektual, seperti Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Juned al-Batawi (Betawi), dan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (Banjarmasin) dengan sejumlah karya dalam bentuk syair yang merupakan perpaduan antara pantun sebagai puisi produk Nusantara dan nazam sebagai puisi dari Timur Tengah. Karya-karya yang diciptakan tentunya telah menambah opsi mereka untuk menyampaikan gagasan-gagasan ketuhanan.

Fakta di atas memberikan pemahaman bahwa tasawuf telah menempati segi penting dalam kemunculan karya sastra di Nusantara. Keberadaannya bukan lagi sekadar praktik keagamaan, tetapi menjadi salah satu penggerak tradisi kreatif (sastra), khususnya puisi. Semarak perpuisian di masyarakat menghadirkan para intelektual di kalangan ulama dengan sejumlah karya yang berkaitan dengan tauhid, filsafat, antropologi, dan sosiologi. Dengan demikian, puisi telah melahirkan para ulama dan pemikir mumpuni. Sebaliknya, dari tangan dan kreativitas mereka lahir puisi-puisi yang bernafaskan ketuhanan. Bahkan, bagi masyarakat Toraja, puisi adalah alat yang tidak bisa dipisahkan dari ritual keagamaan dan sistem kepercayaan. Tuturan dalam ritual tersebut menjadi lantunan puitik yang hingga kini masih hidup dalam masyarakat.

2 Maman S. Mahayana, Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016), h. 7. 3 Ibid., h. 196.

3

Pelopor ajaran tasawuf di Nusantara ialah Hamzah Fansuri. Ulama sekaligus sastrawan terkemuka ini telah memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya Islam di Melayu, khususnya di bidang filsafat, keruhanian, serta bahasa dan sastra. Aliran dalam tasawuf yang berhasil dikembangkannya adalah wahdah al-wujud. Aliran ini cukup kontroversial sebab berakar pada ajaran wujudiyah yang oleh kebanyakan ulama sezaman, seperti Syaikh Al-Raniri dan Sultan Iskandar Tsani dianggap sesat.4 Padahal, ajaran dalam wahdah al-wujud sudah melalui proses pengkajian ulang dan telah dinyatakan tidak ada yang sesat dari aliran yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.5

Keterikatan antara tasawuf dan karya sastra di Nusantara nyatanya telah menjadi isu penting yang banyak melahirkan sastrawan terkemuka. Bahkan, gagasan tasawuf yang dituangkan dalam karya sastra terus disuarakan sampai periode kesusastraan Indonesia modern. Sebut saja Amir Hamzah (1930), Danarto (1940), Abdul Hadi W. M. (1946), Emha Ainun Nadjib (1953), dan sastrawan pada periode 1970-1979, seperti Sutardzi Calzoum Bachri dan Husni Djamaluddin. Karya-karya mereka identik dengan corak religius yang berorientasi pada gagasan tasawuf. Beberapa di antara mereka bahkan secara intens menunjukkan suatu gagasan filosofis dalam tasawuf yang dikenal dengan paham wahdah al-wujud. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun perkembangannya diwarnai penolakan, pada akhirnya tasawuf tetap dikaji bahkan dengan tegas memperlihatkan relevansinya dalam masyarakat modern.

Dalam relevansinya dengan masyarakat modern, lahir kebutuhan baru dalam tasawuf, mengingat tantangan dan godaan hidup yang semakin besar. Bersamaan dengan kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban, semakin banyak godaan nafsu yang mampu menggelincirkan manusia dari cara hidup dan beragama yang baik. Manusia juga perlu mendapatkan

4 Abdul Hadi W. M. Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, Cet. 1, 1995), h. 13. 5 Miswari, Wahdah al-Wujud: Konsep Kesatuan Wujud antara Hamba dan Tuhan Menurut Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Basabasi, 2018), h. 10.

4

pemuasan spiritual di tengah individualisme dan materialisme era modern. Selain itu, kebudayaan Islam di Indonesia saat ini mengalami kemunduran yang mengarah pada Islam yang mistik, maraknya perdukunan, dan aktivitas irasional lainnya dengan mengatasnamakan tasawuf dan tarekat.6 Akibatnya, tasawuf dikecam dan dianggap gagal dalam menyuarakan inti ajaran Islam. Dalam kasus ini, mengembangkan tasawuf adalah tindakan penting untuk memberikan alternatif bagi keruhanian yang sehat dan progresif.

Berbagai fakta tentang bagaimana tasawuf dan sastra saling terikat, serta perkembangan dan relevansinya dalam kesusastraan Indonesia modern menjadi alasan yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian terhadap dua puisi karya dua penyair Indonesia modern dengan rentang masa kepenyairan yang cukup jauh, yaitu Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Husni Djamaluddin. Keduanya dikenal sebagai sastrwan yang karya-karyanya banyak bercorak tasawuf, bahkan secara intens mengandung suatu gagasan filosofis tentang paham wahdah al-wujud. Dalam konteks ini, kedua puisi dipilih sebagai batasan penelitian karena mengandung paham tersebut. Dalam kesusastraan Indonesia modern, banyak puisi-puisi yang bercorak religius-sufistik, namun yang secara spesifik mengandung gagasan filosofis tersebut sangatlah terbatas.7

Hanyut Aku adalah salah satu dari dua puluh empat puisi karya Amir Hamzah yang terkumpul dalam sajak Nyanyi Sunyi (1937). Karyanya ini terus diperbincangkan karena melahirkan dua perspektif yang berbeda di kalangan sastrawan. Perspektif pertama memandang bahwa kumpulan sajak ini adalah perjalanan rohani pengarang yang menembus batas-batas lahiriah seorang manusia sehingga bernilai khasyah, sedangkan perspektif lain memandang bahwa kumpulan sajak ini tidak lain dokumentasi dari kisah cintanya yang

6 Haidar Baghir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Arasy Mizan, Cetakan Ke-1, 2005), h. 35. 7 Jamal D. Rahman, “Wahdatul Wujud dalam Indonesia Modern: Mendiskusikan Puisi- puisi Emha Ainun Nadjib”, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika/article/view/5303. Diakses pada tanggal 14 Maret 2020, pukul 11.23 WIB.

5

selalu menemui kegagalan. Perbedaan ini bisa saja terjadi karena penggunaan diksi yang umum dan cenderung tidak mengindikasikan ketuhanan sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Dari sinilah kemudian kebesaran nama Amir Hamzah muncul dalam ranah kepenyairan di Indonesia. Sementara itu, puisi Hikayat Bulan dan Khairan (ditulis pada tahun 1976) karya Husni Djamaluddin yang terkumpul dalam sajak Bulan Luka Parah (1986) mengambil jalan baru dalam mengungkapkan keriuhan rohaninya. Karyanya identik dengan diksi-diksi berbau alam sebagai upaya untuk menggali tradisi kebudayaan di tanah kelahirannya. Dengan demikian, mengkaji puisi Husni setidaknya dapat menghasilkan asosiasi antara perspektif ketuhanan dengan tradisi kebudayaannya.

Dalam mengekspresikan rasa ketuhanan yang bercorak pada tasawuf tersebut, kedua penyair memanfaatkan penggunaan simbol dan metafor. Penggunaan simbol dan metafor dalam kedua puisi ini memang menarik untuk digali. Sebagaimana hakikatnya bahwa puisi adalah sistem tanda yang maknanya lebih mendalam dari apa yang tertulis, dan sebab ia bagian sastra, maka sering menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol. Jika digali lebih dalam, penggunaan simbol tersebut akan mengungkap tradisi sosial budaya yang melatari penciptaan puisi mereka. Memang secara tekstual, kedua puisi tersebut tidak memperlihatkan nuansa ketuhanan. Namun, ada tanda-tanda dari hubungan antarbaris yang mengindikasikan bahwa konsep ketuhanan itu ada, yang sekaligus menjadi sudut pandang pengarang dalam memaknai keberadaan Tuhan.

Puisi dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah merupakan salah satu materi yang dianggap sulit oleh peserta didik. Permasalahan seperti sulitnya memahami makna dan pesan dalam puisi, serta kurangnya pengetahuan tentang puisi-puisi karya para sastrawan Indonesia menjadi latar belakang dari kurangnya minat peserta didik terhadap pembelajaran puisi. Permasalahan tersebut bersumber dari metode pengajaran yang hanya menekankan pada teori-teori. Selama ini, pembelajaran puisi di

6

sekolah hanya menekankan pada teori unsur intrinsik dan struktur kepenulisannya, tanpa menuntut penghayatan dan pemahaman terhadap makna dan pesan yang terkandung dalam puisi. Jika diselisik, tidak salah kalau puisi menjadi salah satu materi yang dianggap sulit. Pemilihan diksi yang bermakna konotasi serta konstruksi makna dan pesan yang dipadatkan menjadi aspek yang perlu diinterpretasi secara kritis oleh pembaca. Namun, kesulitan itulah yang harus dipecahkan oleh guru dalam mengajarkan materi puisi kepada peserta didik. Guru sebagai tolok ukur pendidikan yang dibekali berbagai kompetensi akademik harus mampu menyusun kegiatan pembelajaran seefektif mungkin. Materi puisi yang dianggap sulit harus diramu menjadi materi pelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan minat belajar peserta didik. Metode pengajaran jangan terbatas pada teori-teori, tetapi perlu ada praktik yang bertujuan mengasah keterampilan peserta didik. Maka dari itu, guru Bahasa Indonesia harus memiliki keterampilan pengajaran sastra sebagai bentuk apresiasi terhadap karya-karya para sastrawan yang diajarkan kepada peserta didik.

Pada hakikatnya, sastra Indonesia memperkenalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak mereka untuk menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan. Melalui puisi, khususnya pada puisi yang bertema ketuhanan, guru dapat menerapkan nilai-nilai moral kepada siswa, tentunya dengan pemahaman yang kritis tentang makna dan pesan yang terkandung dalam puisi tersebut. Puisi bertema ketuhanan, khususnya puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dapat dijadikan rujukan sekaligus alternatif bagi guru untuk mengajarkan nilai-nilai ketuhanan kepada peserta didik. Kedua puisi tersebut juga dapat menjadi bukti bahwa untuk mempelajari nilai- nilai ketuhanan yang berimbas pada pembentukan nilai moral siswa di sekolah, bisa melalui materi puisi. Untuk itu, analisis terhadap makna dan pesan dalam puisi harus terus diasah dan diprioritaskan dalam pembelajaran di kelas.

7

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana simbol-simbol ketuhanan itu muncul dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin. Perbedaan periodesasi kedua penyair ini tentu akan memiliki perbedaan pemikiran pula. Untuk itu, penelitian terhadap simbol-simbol ini sekaligus memperlihatkan apakah periodesasi mempengaruhi sudut pandang penyair dalam ranah ketuhanan. Apalagi, penelitian terhadap dua puisi tersebut belum pernah dilakukan. Fakta-fakta yang telah disebutkan mempertegas bahwa nuansa ketuhanan selalu penting dan menarik untuk disuarakan, terlebih dalam bentuk puisi. Dengan demikian, penelitian terhadap puisi bertema ketuhanan memang perlu konsisten dilakukan untuk menggali keberagamaan dalam sastra, khususnya fenomena saat ini yang telah mengalami degradasi terhadap nilai-nilai keislaman. Sebagai alat analisis, teori semiotik Riffaterre akan digunakan sebagai alat bedah dalam penelitian ini dengan empat kunci analisis, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian, serta hipogram. Teori ini sangat efektif untuk membedah makna dan simbol-simbol ketuhanan dari kedua puisi yang diungkapkan dan diekspresikan secara tidak langsung oleh penyair. Oleh karena itu, semiotik Riffaterre ini memungkinkan peneliti untuk mengungkap makna dan simbol-simbol puisi secara mendalam serta melihat bagaimana penggunaan simbol itu menjadi sesuatu yang baru pada masa penciptaannya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam penelitan, yaitu:

1. Belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dari sudut pandang ketuhanan.

8

2. Sangat sedikit karya sastra Indonesia modern yang mengartikulasikan paham wahdah al-wujud yang merupakan suatu gagasan filosofis dalam tasawuf. 3. Kurangnya pemahaman siswa tentang makna dan pesan yang terkandung dalam puisi. 4. Kurangnya kreativitas guru dalam menciptakan metode pembelajaran puisi di kelas. 5. Kurangnya pengetahuan peserta didik tentang puisi-puisi sastrawan Indonesia, khususnya puisi Amir Hamzah dan Husni Djamaluddin. C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah perlu dilakukan agar pembahasan dalam penelitian tidak meluas. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah pada konsep ketuhanan yang ada dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dengan pendekatan semiotik Riffaterre. Aspek yang dikaji, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian, serta hipogram. Dalam mengkaji penggunaan simbol tersebut, peneliti akan mengaitkannya dengan tradisi sosial budaya yang melatari penciptaan masing-masing puisi.

D. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep ketuhanan yang ditampilkan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin? 2. Bagaimana implikasi puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah? E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui konsep ketuhanan yang ditampilkan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin?

9

2. Untuk mengetahui implikasi puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah? F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a) Sebagai karya ilmiah, diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya pada materi puisi bertema ketuhanan di SMA. b) Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan pada penelitian berikutnya. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Peserta Didik

Sebagai pengetahuan tentang konsep ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dan implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra di sekolah.

Sebagai motivasi agar peserta didik lebih meningkatkan kepekaan terhadap makna dan pesan yang terkandung dalam puisi, khususnya pada puisi bertema ketuhanan.

b) Bagi Guru

Sebagai bahan informasi bagi guru, khususnya guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA tentang konsep ketuhanan yang terkandung dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin.

c) Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang bermaksud mengadakan penelitian pada permasalahan yang relevan.

10

G. Metode Penelitian 1. Objek, Subjek, Waktu, dan Tempat Penelitian

Objek kajian dalam penelitian ini berupa dua buah puisi, yaitu Hanyut Aku karya Amir Hamzah yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi berjudul Nyanyi Sunyi (2008) terbitan Dian Rakyat, cetakan ke-15 dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin yang terkumpul dalam buku berjudul Bulan Luka Parah (1996) terbitan PT Dunia Pustaka Jaya, cetakan kedua. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah kajian tentang konsep ketuhanan melalui penggunaan simbol dan metafor dari kedua puisi menggunakan teori semiotik Michael Riffaterre serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat karena objek kajian berupa teks karya sastra. Penulis melakukan kegiatan penelitian di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Terbuka (UT), Universitas Indonesia (UI), dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Waktu penelitian dimulai pada bulan April – Oktober 2020.

2. Sumber Data (a) Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi Amir Hamzah berjudul Hanyut Aku yang terdapat dalam buku kumpulan puisi berjudul Nyanyi Sunyi (2011) terbitan Dian Rakyat cetakan ke-15 halaman 12 dan puisi Husni Djamaluddin berjudul Hikayat Bulan dan Khairan yang terkumpul dalam buku berjudul Bulan Luka Parah (1996) terbitan PT Dunia Pustaka Jaya, cetakan kedua halaman 29. Pemilihan karya tersebut sesuai dengan fokus peneliti, yaitu konsep ketuhanan yang terkandung dalam kedua puisi tersebut.

11

(b) Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian. Peneliti menggunakan buku-buku atau dokumen-dokumen dari penulis lain yang relevan dengan objek penelitian, seperti Wahdah al-Wujud, Pengantar Ilmu Tasawuf, Buku Saku Tasawuf, Tasawuf yang Tertindas, dan buku pendukung lainnya.

3. Bentuk dan Strategi Penelitian

Penelitian terhadap konsep ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dilakukan dengan metode kualitatif dan studi kepustakaan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.8 Penelitian ini juga memperlihatkan hakikat nilai-nilai, dan sumber datanya merupakan karya, naskah, serta data formal yang digunakan adalah kata, kalimat, dan wacana.9 Penelitian kualitatif bersifat deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk angka-angka. Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi, mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti dan disajikan dalam bentuk uraian naratif.10 Studi kepustakaan mengacu pada buku-buku, artikel, jurnal, dan dokumen yang relevan dengan objek penelitian.

8 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h.3. 9 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.47. 10 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013),h.87.

12

Kajian terhadap isi karya dilakukan dengan pendekatan semiotik, yaitu ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.11 Sejalan dengan hal tersebut, maka teori semiotik Riffaterre akan digunakan sebagai alat bedah dalam penelitian ini dengan empat kunci analisis, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian, serta hipogram. Teori ini sangat efektif untuk membedah makna dan simbol-simbol ketuhanan dari kedua puisi yang diungkapkan dan diekspresikan secara tidak langsung oleh penyair. Oleh karena itu, semiotik Riffaterre ini memungkinkan peneliti untuk mengungkap makna dan simbol-simbol puisi secara mendalam serta melihat bagaimana penggunaan simbol itu menjadi sesuatu yang baru pada masa penciptaannya.

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, Univertsitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2019.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah bahan penelitian.12 Dalam hal ini, data pustaka yang dijadikan sebagai bahan penelitian

11 Rachmat Djoko Pradopo, “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”, dalam Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h.67-68. 12 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, Cet. 3, 2014), h. 3.

13

bersifat siap pakai. Penulis berhadapan langsung dengan data yang tersedia di perpustakaan.

Setelah semua data penelitian terkumpul, peneliti melakukan teknik penyimakan secara teliti dan terarah terhadap sumber primer. Teknik ini merupakan teknik penyediaan data yang mengharuskan penulis menyimak penggunaan bahasa dari kedua puisi sebagai data primer. Hasil penyimakan itu kemudian dicatat untuk dijadikan bahan penelitian.

6. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

(a) Membaca buku kumpulan puisi Amir Hamzah berjudul Nyanyi Sunyi (2008) terbitan Dian Rakyat, cetakan ke-15 dan buku Husni Djamaluddin berjudul Bulan Luka Parah (1986) terbitan PT Penebar Swadaya, cetakan pertama. (b) Menetapkan puisi Amir Hamzah berjudul Hanyut Aku dan puisi Husni Djamaluddin berjudul Hikayat Bulan dan Khairan sebagai objek penelitian dengan fokus kajian menemukan konsep ketuhanan yang terkandung dalam kedua puisi tersebut. (c) Membaca ulang kedua puisi untuk menemukan konsep ketuhanan yang terkandung serta implikasinya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. (d) Menandai kata, lirik, dan bait yang mengandung konsep ketuhanan. (e) Menganalisis data dan melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan intrepretasi data. (f) Menyimpulkan hasil penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Puisi 1. Pengertian Puisi

Puisi merupakan jenis karya sastra yang cukup sulit untuk didefinisikan. Usaha untuk merumuskan dan menawarkan pengertiannya sering kali tidak memberikan kepuasan. Hal ini dikarenakan banyaknya ragam puisi yang hadir dari waktu ke waktu sehingga rumusan pengertian tersebut tidak sesuai antara ragam puisi yang satu dengan ragam yang lain.1 Namun demikian, melalui ciri dominan yang muncul akhirnya mampu menghasilkan gambaran singkat tentang puisi sebagaimana yang terurai dalam berbagai buku teori sastra. Dalam hal ini, Luxemburg, dkk. menegaskan:

“Jadi, tidak mungkin melukiskan ciri-ciri puisi pada umumnya, seperti telah kita lakukan terhadap ciri cerita dan drama. Yang dapat kita lakukan ialah membahas beberapa ciri yang rupanya di dalam jenis puisi lebih sering kelihatan daripada di dalam jenis- jenis lainnya. Pada hakikatnya, gejala-gejala tersebut tidak dengan sendirinya menunjukkan mana ciri-ciri yang khas bagi puisi, tetapi bahwa gejala-gejala itu relatif sering muncul sekurang-kurangnya merupakan salah satu ciri khas bagi banya sajak”.2

Puisi berasal dari bahasa Yunani poietas dan dalam bahasa Latin disebut poeta yang artinya pembangunan, pembentuk, dan pembuat. Asal katanya poieo, poio, dan poeo yang artinya membangun, menyebabkan, dan menimbulkan menyair. Melalui puisi, pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri yang berisi pesan atau gambaran

1Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Malang: Sinar Baru, Cetakan Pertama, 1987), h. 134. 2 Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terj. Dick Hartoko, (Jakarta: PT Gramedia, Cetakan Pertama, 1984), h. 176.

14

15

suasana tertentu, baik fisik maupun batin.3 Puisi adalah jenis karya sastra yang diciptakan melalui proses pemadatan bahasa, diberi irama dengan bunyi yang padu, dan pemilihan kata-kata yang mampu menimbulkan imajinasi. Kata-kata dalam puisi betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Oleh karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu memiliki makna yang lebih luas sehingga dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif.4

Pemilihan kata-kata atau bahasa merupakan fokus dari puisi. Bahasa menjadi pusat perhatian sekaligus sebagai bahan yang digunakan oleh seorang penyair untuk menciptakan sebuah puisi dengan memanfaatkan segala macam teknik. Sebagai bahan, tentu bahasa menjadi pembeda antara teknik penulisan karya sastra bentuk puisi dengan bentuk lain, seperti drama dan esai. Seorang penyair harus benar-benar mampu merealisasikan tentang bagaimana sesuatu dinyatakan, bukan tentang apa yang dinyatakan. Kemampuan merealisasikan itu akan membuat sesuatu yang ada dalam puisi dinyatakan lebih bagus, gagah, dan agung. Dengan demikian, setiap puisi yang benar selalu terdiri atas organisme yang kompleks, yaitu unsur-unsur yang saling bergantung dan isi-mengisi.5

Esten menyebutkan bahwa dalam puisi, salah satu unsur yang penting adalah musikalitas. Unsur ini berperan membentuk dan membangun suasana dalam sebuah puisi. Hal tersebut membuatnya tidak terbatas pada kemerduan bunyi saja, tapi suasana itu dapat dibentuk dan dibangun melalui makna. Oleh karena itu, unsur musikalitas menyangkut keseluruhan struktur puisi sehingga dapat membentuk dan membangun imaji-imaji. Misalnya saja, penghayatan terhadap kuasa Tuhan akan banyak menentukan bagaimana penyair membentuk unsur-unsur puisinya.

3 Aminuddin, Op.Cit., h. 134. 4 Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kedua, 2003), h. 1. 5 B.P. Situmorang, Puisi: Teori, Apresiasi, Bentuk, dan Struktur, (Ende: Nusa Indah, Cet. Ke-1, 1981), h. 11.

16

Sebaliknya, perkembangan pembentukan unsur-unsur musik tersebut dapat memperlihatkan pula bagaimana proses perkembangan penghayatan para penyair terhadap kuasa Tuhan.6

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa puisi adalah dunia yang diciptakan oleh penyair untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara imajinatif dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa, struktur fisik, dan struktur batin. Keseluruhan unsur itu saling mengisi sehingga membangun suasana dalam puisi. Suasana tersebut merupakan gambaran dari suatu permasalahan yang dimunculkan oleh penyair, yang kemudian memberi kesan bagi pembaca. Puisi disusun menggunakan bahasa yang indah melebihi bahasa yang digunakan sehari- hari. Keindahan bahasa dan pemadatan kosakata mendorong para pembaca ingin menyikapi maksud yang tersirat di dalamnya.

2. Struktur Puisi

Puisi, sebagaimana telah disebutkan merupakan karya seni yang kompleks. Perasaan-perasaan yang mampu menimbulkan kesan bagi pembaca membuktikan keberhasilan dari setiap unsur yang saling mengisi. Dalam puisi, unsur-unsur tersebut diklasifikasikan menjadi dua struktur, yaitu fisik dan batin.

a) Struktur Fisik

Struktur fisik puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Struktur ini mencakup perwajahan puisi, diksi, pengimajian, kata konkret, majas, dan versifikasi.7

(1) Perwajahan Puisi (Tipografi)

Perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan bait dalam puisi. Struktur ini merupakan ciri puisi yang dapat

6 Mursal Esten, Memahami Puisi, (Bandung: Angkasa, Cetakan Pertama, 1995), h. 2. 7 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 113.

17

diamati secara sepintas. Kata-kata pada puisi konvensional diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap larik tidak selalu mengandung satu pernyataan, bisa saja ditulis dalam dua larik atau bahkan lebih. Penulisannya pun tidak terikat pada aturan, seperti mengawali dengan huruf kapital dan diakhiri titik. Setiap pernyataan dalam puisi ditulis dengan bentuk bait. Satu bait mengandung satu pokok pikiran. Melalui perwajahan puisi, pembaca dapat melihat maksud dan jiwa seorang pengarang.

(2) Diksi

Diksi atau pilihan kata merupakan hal esensial dalam struktur puisi karena kata merupakan wacana ekspresi utama. Setiap kata akan mempunyai beberapa fungsi, baik fungsi makna, bunyi, nilai estetika, bentuk, dan lainnya. Oleh karena itu, ketepatan pemilihan kata bukan sekadar bagaimana suatu makna bisa diungkapkan, melainkan kata yang dipilih benar-benar mampu mengungkapkan satu ekspresi yang melahirkan pesan-pesan tertentu tanpa meninggalkan aspek estetisnya. Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya secara tepat sesuai dengan pengalaman batinnya. Maka dari itu, kata-kata yang dipilih harus mampu menjelmakan pengalaman tersebut. Pilihan kata dalam puisi inilah yang disebut dengan diksi.8

(3) Pengimajian/Citraan

Pengimajian atau disebut juga citraan merupakan rangkaian kata dalam puisi yang mampu menggugah pengalaman keinderaan. Istilah citraan sering dipahami dalam dua cara, yaitu secara reseptif dan ekspresif. Reseptif adalah pemahaman dari sisi pembaca sebagai apresiator. Jadi, citraan merupakan pengalaman indera

8 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 55.

18

yang terbentuk dalam ruang imajinasi pembaca melalui sebuah kata atau rangkaian kata. Ekspresif adalah pemahaman dari sisi penyair sebagai kreator. Pemahaman ini menghendaki citraan sebagai bentuk bahasa yang dipergunakan oleh penyair untuk membangun komunikasi estetik atau menyampaikan pengalaman inderanya.9 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa melalui citraan, keseluruhan ekspresi dan perasaan yang terkandung dalam puisi dapat secara nyata menyentuh indra-indra pembaca. Adanya citraan dapat menjadi cara bagi para pembaca untuk menafsirkan keseluruhan makna puisi secara utuh.

Pradopo menyebutkan bahwa citraan dalam puisi terdiri atas beberapa macam, yaitu citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan perabaan (thermal imagery), dan citraan gerak (kinasthetic imagery). Citraan penglihatan adalah jenis yang paling banyak digunakan oleh penyair. Citraan ini memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga sering kali hal-hal yang tidak terlihat seolah- olah jadi terlihat. Sama dengan citraan pendengaran yang banyak digunakan oleh para penyair. Citraan ini sering kali dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan perabaan jarang digunakan dalam puisi. Sementara itu, citraan gerak melukiskan sesuatu seolah-olah bergerak, seperti gerak pada umumnya. Citraan ini membuat hidup dan gambaran jadi dinamis.10

(4) Gaya Bahasa/Majas

Gaya bahasa merupakan cara yang digunakan penyair untuk memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapai. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan

9 Suminto A. Sayuti, Puisi, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019), h. 5.2. 10 Rachmat Djoko Pradopo, Op.Cit., h. 82-83.

19

upaya memperkaya makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya. Gaya bahasa memungkinkan seseorang untuk dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan orang lain yang mempergunakan bahasa tersebut.11 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gaya bahasa (figuratif) merupakan proses pengungkapan gagasan yang mampu memperlihatkan jiwa dan kepribadian seorang penyair dalam puisinya dengan cara yang sama sekali berbeda dari biasanya. Dianggap berbeda karena penyair berusaha membandingkan objek-objek dengan sesuatu yang lain secara imajinatif sehingga dibutuhkan kepekaan terhadap bahasa untuk memaknainya.

Berikut adalah sejumlah gaya bahasa yang sering digunakan para penyair dalam puisinya:

(a) Metafora, yaitu sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan (bukan harfiah) karena berfungsi menjelaskan konsep. Dengan demikian, konsep tersebut menjadi lebih mudah dimengerti dan efeknya lebih kuat. (b) Simile, yaitu ungkapan yang memiliki fungsi membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, namun masih memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Biasanya, keduanya selalu muncul dalam sebuah perbandingan. (c) Personifikasi, yaitu gaya bahasa yang cukup populer dalam puisi. Jenis ini berusaha membandingkan suatu benda alam, seperti matahari dan pohon seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu yang manusiawi.

11 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 113.

20

(d) Metonimi, yaitu suatu ungkapan yang memiliki hubungan dekat dengan hal yang diwakilinya. Misalnya, hubungan karya dengan pengarangnya dan hubungan sebab-akibat.12

(5) Kata konkret

Kata konkret atau kata nyata merupakan kata yang ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Melalui kata konkret, penyair ingin menggambarkan sesuatu secara lebih nyata, namun risikonya bagi pembaca sering lebih sulit untuk menafsirkan makna kata dalam puisi.

(6) Versifikasi

Versifikasi dalam puisi menyangkut rima, irama, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima mencakup (a) onomatope, yaitu tiruan terhadap bunyi yang mampu memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair; (b) bentuk intern pola bunyi, yaitu aliterasi, asonansi, persamaan awal, dan persamaan akhir; dan (c) pengulangan kata/ungkapan, yaitu pengulangan bunyi, kata, dan frasa yang memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni.13

Irama (ritme) berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Dalam puisi (khususnya puisi lama), irama muncul sebagai pengulangan yang teratur pada suatu baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang menciptakan keindahan. Irama dapat juga diartikan sebagai keras-lembut, tinggi-rendah,

12 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 40-41. 13 Wahyudi Siswanto, Op.Cit., h. 122-123.

21

atau panjang-pendek kata secara berulang dengan tujuan memperindah puisi.14

Metrum adalah susunan suku kata dalam bait yang silih berganti. Metrum berbeda dengan bahasa sehari-hari karena urutan suku kata yang tidak menonjol memperlihatkan suatu pola tertentu. Sifat penonjolannya pun berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa lain.15

b) Struktur Batin

Struktur batin (deep structure) adalah makna yang terkandung di balik kata-kata yang disusun sebagai struktur luar (fisik) puisi. Perumusan definisi tentang struktur batin dilakukan karena makna dalam puisi sering kali berbentuk tidak langsung, makna simbolis, perlu interpretasi, atau renungan sehingga perlu dikaitkan antara keberadaan kata yang satu dengan kata yang lain atau fenomena yang satu dengan fenomena yang lain. Makna dalam struktur batin cenderung menuntut kepekaan, pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman intuisi pembaca. Oleh karena itu, makna yang tersirat umumnya bersifat subjektif.16 Struktur batin puisi terdiri atas empat unsur, yaitu tema (sense), perasaan (feeling), nada dan suasana, serta amanat (intension).

(1) Tema (sense), yaitu gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Tema mengacu pada penyair sehingga pembaca sedikit-banyaknya harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (diacu dari

14 Herman J. Waluyo, Op.Cit., h. 12-13. 15 Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 87. 16 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (: Muhammadiyah University Press, 2000), h. 104.

22

penyair), objektif (penafsiran yang sama dari para pembaca), dan lugas.17 (2) Perasaan (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisi. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi, tetapi banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologis penyair.18 (3) Nada dan suasana adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh pancaindera. (4) Amanat (intension) adalah sesuatu yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca melalui puisinya. Amanat disebut juga sebagai tujuan yang ingin dicapai. Bagi penyair, ada tujuan yang mendorongnya untuk menciptakan puisi, baik secara sadar maupun tidak. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum maupun saat menciptakan puisi. Dorongan penciptaan puisi dapat berupa pemuasan nafsu seksual, finansial (mencari uang), keamanan diri, berkomunikasi, mengaktualisasikan diri, berbakti kepada Tuhan maupun manusia.19

17 Herman J. Waluyo, Op.Cit., h. 17. 18 Wahyudi Siswanto, Op.Cit., h. 124-125. 19 Wahyudi Siswanto, Ibid., h. 126.

23

B. Tasawuf dan Sastra 1. Pengertian Tasawuf

Tasawuf memiliki dua aspek, yaitu praktis dan teoretis. Aspek praktis mencakup tata cara hubungan manusia dengan diri sendiri, alam, dan Tuhan. Pembahasan tentang hubungan manusia dengan diri sendiri dan alam merupakan bagian dari konsentrasi tasawuf dalam menyuburkan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam praktiknya, seorang salik (penempuh) akan berhadapan dengan keadaan jiwa yang harus dilakoni tahap demi tahap dan tingkat demi tingkat. Berbagai tahap itu tersebut membuktikan bahwa tasawuf bersifat dinamis. Dengan kata lain, tasawuf bukan saja disiplin dalam makna ketaatan terhadap suatu aturan yang baku, tetapi juga ketaatan terhadap suatu metode khas untuk mencapainya.20

Tasawuf dalam ranah teoretis berkaitan dengan pemahaman tentang wujud, yaitu tentang Tuhan, manusia, dan alam. Wujud sebagaimana adanya dan bukan sekadar atribut bagi keberadaan Tuhan, manusia, dan alam semesta. Jika dikaitkan dengan penemuan mutakhir, tasawuf tidak hanya mengandalkan otak kanan, tetapi pada hati (qalb). Adanya pengandalan ini bukan berarti menjadikan tasawuf identik dengan hal yang aneh-aneh (sesat). Pada setiap praktiknya, tasawuf sebenarnya dapat disejajarkan dengan disiplin ilmu apapun karena mencakup latihan-latihan untuk sampai pada tujuan, tentunya berkenaan dengan kebutuhan spiritual orang-orang yang hendak meraih tataran tinggi dalam hal spiritualitas dan akhlak. Dengan demikian, tasawuf percaya bahwa ketiga ranah pendidikan yang mencakup kognitif (intelektual), afektif (emosi), dan psikomotorik (praktik) sangat diperlukan untuk mencapai akhlak mulia sehingga terhindar dari besarnya nafsu yang mendorong kepada perbuatan buruk. Tidak lupa juga suatu disiplin atau kesungguhan latihan agar ranah

20 Haidar Baghir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Arasy Mizan, Cetakan Ke-1, 2005), h. 37-38.

24

intelektual dan emosi mampu melahirkan tingkah laku yang konsisten sesuai dengan akhlak Islam.21

Salah satu aliran dalam tasawuf yang memuat sebuah gagasan filosofis (tasawuf filosofis) adalah wahdah al-wujud. Secara etimologi, wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al- Wujud. Wahdat berarti penyatuan, satu, atau sendiri, sedangkan al-Wujud berarti ada (eksistens). Bagi kalangan ulama klasik, wahdah diartikan sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi. Al-Wahdah digunakan oleh para sufi sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dengan yang batin, antara alam dengan Allah karena alam dan seisinya berasal dari Allah. Wahdatul Wujud merupakan konsep tentang bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Rumusan pengertian ini sebenarnya merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah Sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan sementara manusia adalah bayangannya.22 Dengan demikian, konsep ini memberikan pemahaman bahwa secara hakikat, hanya Tuhan yang ada, Satu Ada, tidak ada selain-Nya.

Ajaran wujudiyah (turunan dari kata Wahdah al-Wujud) telah berakar lama dalam pemikiran para sufi, seperti Hallaj, Imam Al-Ghazali, dan Ibn „Arabi, yaitu sebelum abad ke-13. Awalnya, istilah ini dikemukakan oleh Qanawi setelah melakukan tafsir mendalam terhadap karya-karya Ibn „Arabi. Wahdah al-Wujud adalah istilah yang menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan perihal penampakkan segala pengetahuan-Nya di alam fenomena („alam al-khalq). Tuhan sebagai Dzat Mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan sehingga Dia adalah transenden. Namun, karena

21 Ibid., h. 40-41. 22 Badrudin, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Serang: A-Empat, Cetakan 1, 2015), h. 79-80.

25

Tuhan menampakkan wajah serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian. Jika tidak demikian, maka Dia bukanlah Yang Zahir maupun Batin. Hal tersebut didasarkan pada ayat Alquran yang menyatakan “kehadiran-Nya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri”. Oleh karena manifestasi pengetahuan-Nya bermacam- macam serta memiliki penampakan zahir dan batin, maka di samping transenden ia juga imanen (tashbih). Gagasan tersebut yang kemudian dikembangkan oleh Iraqi dengan memadukan ajaran Ibn „Arabi dengan Ahmad Al-Ghazali. Menurutnya, penampakan Tuhan melalui pengetahuan-Nya, yaitu Wujud-Nya adalah Cinta. Dengan kata lain, Cinta adalah hakikat wujud Tuhan yang memungkinkan penampakan dari ketersembunyian pengetahuan-Nya atau harta-Nya.23

Ibn „Arabi, tokoh yang sering dijadikan subjek pengasosian paham Wahdah al-Wujud seringkali mengatakan dan meyakinkan bahwa satu- satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Pernyataan tersebut berarti bahwa apapun selain Tuhan, pada hakikatnya tidak mempunyai wujud. Secara logis, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (ma siwa Allah), alam, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun demikian, Ibn „Arabi memakai pula kata wujud untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan, tetapi dengan bahasa metaforis (majas) agar tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya (selain diri-Nya).24 Dalam penjelasannya, hanya ada satu realitas istimewa dalam seluruh penciptaan, yaitu Tuhan mengejawantahkan Dirinya dalam makhluk. Tuhan merupakan sumber segala realitas yang tidak bisa dibagi, kekal, dan tidak berubah-berubah. Berbagai objek di alam semesta ini adalah Tuhan, namun Dia tidak identik

23 Abdul Hadi W.M. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, Cetakan 1, 1995), h. 21-22. 24 Ali Usman, “Memahami Seluk-Beluk Wahdatul Wujud”, https://alif.id/read/ali- usman/219023-b219023p/. Diakses pada Tanggal 15 Desember 2020, pukul 13.34 WIB.

26

dengan objek-objek itu. Tuhan menjadi beraneka ragam hanya melalui sifat-sifat-Nya. Dipandang dari hubungannya dengan sifat-sifat-Nya yang mengejawantahkan dalam beragam entitas, maka manusia adalah ciptaan. Namun demikian, kegandaan itu: satu dan banyak, yang pertama dan terakhir, yang abadi dan temporal, yang wajib dan mungkin pada hakikatnya adalah realitas yang satu dan sama.25

Perlu ditekankan bahwa pandangan tersebut tidak menyamakan segala sesuatu yang bukan Tuhan sebagai atau identik dengan Tuhan. Jika dirumuskan menggunakan pernyataan logis, tidak benar kalau paham ini menyerukan kesamaan Tuhan dengan manusia, begitu pun sebaliknya. Apabila hal demikian dibenarkan, maka sama saja dengan apa yang telah dituduhkan orang-orang yang menyamakan paham Wahdah al-Wujud dengan pantheisme. Munculnya respons-repons negatif terhadap paham ini sebenarnya dikarenakan keterbatasan pemahaman manusia untuk melihat kaitan antara keberadaan Tuhan dengan selain-Nya. Namun, apabila seseorang telah berada pada maqam (tataran) tertentu, maka ia mampu melihat bahwa di antara Tuhan dan ciptaan-Nya tidak ada keterpisahan.26

Dalam konteks paham tersebut, keberadaan makhluk sebagai wujud nisbi tergantung pada keberadaan Tuhan sebagai wujud mutlak, atau manusia tercipta dari wujud ilahiah. Manusia paling sempurna adalah perwujudan dari penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Meskipun demikian, eksistensi manusia bukan berarti identitas akhir manusia itu sama dengan Tuhan, atau sebaliknya. Masing-masing berbeda. Manusia ada karena Tuhan, muncul karena terkondisi dengan status kekurangan yang sesuai dengan dirinya. Tuhan adalah identik sekaligus berbeda alam. Tuhan bersifat transenden dan imanen. Dengan kata lain, alam, khususnya manusia (mumkinul wujud) adalah wujud yang bergantung pada wujud

25 Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 201. 26 Haidar Baghir, Op.Cit., h. 158.

27

Tuhan yang bersifat wajib (wajibul wujud). Tuhan yang transenden mengimanenkan Dirinya agar dapat dikenali oleh makhluk.27

2. Sastra Sufistik

Sastra dalam sejarah awal perkembangan tasawuf telah dipilih sebagai media untuk menyampaikan pengalaman keruhanian para sufi. Pengalaman yang berkenaan dengan makrifat banyak dijelaskan dalam bentuk anekdot-anekdot, kisah perumpamaan atau alegori, dan puisi. Namun demikian, pengaruh sastra terhadap corak kegiatan intelektual mereka bukanlah jalan untuk menjadi sastrawan atau penyair. Tujuan tradisi menulis kreatif itu semata-mata sebagai gerakan keagamaan dan keruhanian untuk menyampaikan hikmah dan mendapatkan berkah. Mereka yakin bahwa karya seni yang bermutu tinggi dapat membangun cinta dalam hati, baik yang bersifat duniawi dan inderawi maupun bersifat ketuhanan dan keruhanian.28 Berkaitan dengan tujuan tradisi menulis tersebut, Emha Ainun Najib sebagaimana dikutip oleh Noor mengatakan:

“Kehidupan ini sangatlah luas, dan tidak membutuhkan kita untuk menjadi penyair atau kiai, melainkan membutuhkan peningkatan kualitas kemanusiaan yang diperkaya oleh kenikmatan keindahan, kesungguhan ber-Tuhan, perjuangan politik peradaban, serta kejernihan hati nurani”.29

Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pecinta seni tampak dalam amalan sama‟ yang telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama‟ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tarian- tarian, penciptaan dan pembacaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh kalangan sufi sejak abad ke-10. Melalui kegiatan sama‟ inilah yang kemudian membuat mereka sadar bahwa puisi memang merupakan media

27 Muhammad Sholikhin, Op.Cit., h. 206. 28 Abdul Hadi W. M., Tasawuf yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, Cetakan Ke-1, 2001), h. 9. 29 Acep Zamzam Noor, Menjadi Sisifus: Esai-esai Pilihan, (Yogyakarta: Diva Press, Cet. 1, 2018), h. 149.

28

yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian secara mendalam, kompleks, dan subjektif.30

Kandungan sastra sufistik tidak lain adalah tasawuf. Sebagaimana telah diuraikan bahwa tasawuf membahas cara-cara bagaimana jiwa manusia mampu menyempurnakan tali hubungannya dengan Tuhan dan peluang-peluang yang memperbolehkan jiwa dapat melakukan pendakian ke alam ketuhanan. Usaha pendakian itu tentunya menuntut seorang sufi untuk mengalahkan segala halangan yang dijumpai dalam perjalanan menjumpai Tuhan. Apabila halangan mampu diatasi, maka tersedia tangga-tangga pendakian yang diperlukan. Istilah “tangga” merujuk pada peringkat dan keadaan ruhani yang akan dicapai oleh para penempuhnya. Secara umum, semua itu merupakan hal-hal penting yang diungkapkan oleh karya-karya sufistik. Penyampaian pengalaman keruhanian penuh makna serta menggunakan bahasa simbolik oleh para sufi bertujuan memberikan pencerahan dan hikmah kepada pembaca, sesuai dengan apa yang telah mereka peroleh. landasan Islam sastra sufistik sangat jelas, yaitu mengekspresikan pengalaman estetik transendental yang berhubungan erat dengan tauhid, penyaksian bahwa Tuhan itu satu, atau dengan sebutan lain hanya Tuhan Yang Ada, sementara yang lain secara hakiki tidak ada. Tidak heran jika sastra sufistik mengungkapkan renungan dan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan hubungan jiwa manusia dengan Tuhan.31

Pengalaman-pengalaman keruhanian itu oleh para sufi disampaikan dalam bentuk simbol. Memang tidak bisa diragukan bahwa simbol merupakan unsur penting dalam pengungkapan ekspresi tidak langsung seperti puisi. Tidak hanya para penyair beraliran simbolisme, banyak penyair modern menganggap bahwa puisi tidak akan berjiwa dan dapat menggerakkan hati, pikiran, dan imajinasi pembaca jika hanya terdiri atas

30 Abdul Hadi W. M., Tasawuf yang Tertindas, Op.Cit., h. 10. 31 Ibid., h. 21-22.

29

metafor. Puisi akan berjiwa dan memiliki ruh apabila terdapat simbol- simbol yang penuh dengan makna di samping menerbitkan imajinasi. Misalnya, dalam tradisi sastra Cina, penggunaan simbol dikaitkan dengan usaha seorang penyair melakukan ekonomisasi makna.32

Simbol, dalam perumusan definisinya, selalu dikaitkan dengan sesuatu realitas atau wujud yang berada di bagian dalam dari realitas luar sebagai tanda simbolik. Tanda itu sendiri menjadi penting artinya apabila secara tepat dapat menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang berada di dalamnya, yakni dunia makna-makna yang hendak dikomunikasikan atau diekspresikan. Dengan kata lain, fungsi simbol bukan sekadar tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi sampai pada tahap memahami tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi, khususnya dalam kaitan tentang pengalaman keagamaan dan mistikal. Alasan serupa pula yang dipakai oleh Imam al-Ghazali dalam memberi arti penggunaan simbol sebagai cara untuk menghubungkan berbagai macam wujud yang tingkatnya berbeda.33

C. Semiotik 1. Pengertian Semiotik

Semiotika adalah ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan. Dengan kata lain, semiotika adalah ilmu yang secara khusus mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh budaya manusia sebagai tanda. Bila diterapkan pada tanda, maka huruf, kata, dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitan dengan pembacanya. Hubungan tanda dengan apa yang ditandakan diinterpretasi oleh pembaca sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.34

32 Ibid., h. 89. 33 Ibid., h. 90. 34 Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra, Yogyakarta: Ombak, Cetakan Kedua, 2016), h. 111.

30

Studi semiotika secara khusus dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure. Keduanya hidup sezaman, namun tidak saling mengenal dan memiliki landasan teori yang sama sekali berbeda. Pierce adalah ahli filsafat dan logika. Ia mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut teori dasarnya, dilakukan melalui tanda-tanda. Hal ini yang memungkinan seseorang berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Berbeda dengan Pierce, Saussure mengemban dasar-dasar linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa bahasa sebagai sistem tanda. Sebagai tambahan, ia menyatakan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum. Untuk hal itu, Saussure mengusulkan nama semiologi.35

Linguistik menurut Saussure merupakan bagian integral teori-teori komunikasi dan keseluruhan hubungan sosial. Sebagai ahli bahasa, konsep-konsep Saussure terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified), ucapan individual (parole) dan bahasa umum (langue), sintagmatis dan paradigmatis, serta diakroni dan sinkroni. Dalam perkembangan selanjutnya, penanda dan petanda dianggap sebagai konsepnya yang paling penting. Penanda adalah aspek material sebagaimana bunyi, citra akustis yang tertangkap pada saat orang berbicara, sedangkan petanda adalah konsep. Menurut Saussure, penanda dan petanda memperoleh arti apabila dipertentangkan dengan penanda dan petanda yang lain sehingga memperoleh hubungan yang bersifat arbitrer. Pertentangan itu dilakukan dengan jenis tanda bahasa yang mempunyai motivasi atau biasa disebut sebagai simbol.36

35 Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 1-2. 36 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2004), h. 99.

31

Berdasarkan kedua nama studi di atas, kata semiotiklah yang populer pada perkembangan berikutnya. Makna tanda bagi Pierce sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebut istilah object untuk menjelaskan apa yang dikemukakan oleh tanda, yang diacunya, dan yang ditunjuknya. Dalam istilah lain disebut juga sebagai designatum atau denotatum yang berarti kelas penunjuk. Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan sehingga representasi adalah fungsi utamanya. Representasi dapat terlaksana atas bantuan sesuatu seperti kode. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi oleh Pierce dalam bahasa Inggris disebut sebagai ground. Sering kali ground suatu tanda merupakan kode, namun tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan yang bersifat trans-individual (melampaui batas individu). Akan tetapi tidak bisa disangkal bahwa banyak tanda yang bertitik tolak dari ground. Selanjutnya, tanda diinterpretasi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Dengan demikian, tanda selalu terdapat dalam hubungan dengan ground, acuan (object), dan interpretant.37

Hubungan tanda dengan ketiga aspek yang telah disebutkan juga terjadi dalam karya sastra. Secara ringkas, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia. Sebagian besar aktivitas itu dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan, dan bahasa merupakan sistem tanda. Bahasa metaforis konotatif dan hakikat kreativitas imajinatif merupakan faktor utama mengapa karya sastra didominasi oleh sistem tanda. Kemampuannya dalam menjelaskan tanda-tanda dapat menentukan ciri- ciri dominan periode tertentu, seperti pandangan dunia dan ideologi kelompok, jenis hegemoni yang terjadi, dan berbagai kecenderungan lain yang ada dalam masyarakat, yang secara objektif sulit untuk dideteksi. Tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara

37 Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.), Op.Cit., h. 7-8.

32

penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Sastra dalam bentuk karya juga mengandung makna tanda-tanda yang bersifat nonverbal, seperti kulit buku, susunan warna, dan tipografi tulisan. Untuk menafsirkannya secara semiotis, maka setiap tanda dihubungkan dengan ground, denotatum, dan interpretant.38

2. Semiotik Michael Riffaterre

Puisi sebagai genre sastra memiliki ciri khusus yang membedakan dengan genre lain. Ciri tersebut ada pada penggunaan komposisi bahasa yang padat sehingga makna yang terkandung lebih banyak daripada apa yang tertulis. Hal-hal yang dibicarakan dalam puisi cenderung diolah menjadi sebuah tanda-tanda bahasa. Oleh karena itu, banyak hal yang diungkapkan dan diekspresikan secara tidak langsung sehingga dibutuhkan penafsiran makna dan kepekaan bahasa dari pembaca.

Semiotik model Riffaterre mengemukakan metode pemaknaan yang khusus, yaitu dengan memberi makna karya sastra sebagai sistem tanda- tanda. Dalam hal ini, pembaca dikehendaki untuk memproduksi makna tanda-tanda dalam karya sastra, khususnya puisi. Oleh karena itu, semiotik Riffaterre paling tepat digunakan dalam sebuah puisi karena kunci analisisnya mengarah pada pemberian makna sebuah karya sastra.39

Pemaknaan dalam karya sastra menurut teori Riffaterre dapat dilakukan dengan empat pokok analisis, yaitu a) ketidaklangsungan ekspresi puisi, b) retroaktif atau pembacaan heuristik dan hermeneutik, c) matriks, model, varian-varian, dan d) hipogram.

38 Nyoman Kutha Ratna, Op.Cit., h. 111-112. 39 Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2016), h. 5.

33

a) Ketidaklangsungan Ekspresi

Menurut Riffaterre, ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creative of meaning). Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan metonimi. Keduanya adalah bahasa kiasan pada umumnya, yaitu metafora, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Sementara itu, penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, yaitu pemenggalan kata, sajak, tipografi, dan homologue.40

b) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pradopo mendefinisikan heuristik sebagai tahap pembacaan puisi berdasarkan tata bahasa normatif. Pembacaan ini menghasilkan arti (meaning) puisi secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama. Sementara itu, retroaktif atau hermeneutik merupakan tahap pembacaan tingkat kedua berdasarkan konvensi sastra.41

Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa pembacaan heuristik dan hermeneutik merupakan sebutan lain dari proses analisis makna denotatif dan konotatif dalam puisi. Tahap analisis denotatif menghendaki pembaca untuk melihat puisi sebagai karya sastra yang bersifat struktural sehingga analisisnya difokuskan pada struktur kebahasaan. Sementara itu, pada tahap analisis konotatif, pembaca bergerak lebih jauh dengan melakukan produksi makna puisi secara utuh. Artinya, tahap ini menuntut pembaca untuk menemukan arti dalam arti yang ditemukannya pada tahap analisis denotatif.

40 Ibid. 41 Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip Kritik Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cetakan Pertama, 1994), h. 227.

34

c) Matriks, Model, dan Varian-varian

Matriks adalah kata kunci atau intisari dari serangkaian teks. Matriks dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat sederhana. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model yang dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Model ini kemudian diperluas menjadi varian- varian sehingga menurunkan teks secara keseluruhan. Ciri utama model adalah sifat puitisnya. Jadi, jika matriks adalah penggerak derivasi tekstual, maka model adalah pembatas derivasi tersebut. Matriks senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang ditentukan oleh model sebagai aktualisasi pertama matriks. Menurut Riffaterre, kesatuan tekstual puisi yang diturunkan dari matriks dan dikembangkan dari model merupakan sebuah struktur yang sering kali terdiri atas satu kesatuan oposisi secara berpasangan.42

d) Hipogram

Hipogram dalam semiotik Riffaterre berkenaan dengan konsep intertekstualitas. Secara luas, interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Hal ini sesuai dengan arti teks secara etimologis, yaitu tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksud tidak hanya melihat persamaan, melainkan melihat pertentangannya. Tujuan pemahaman intertekstual adalah untuk menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks.43

42 Rina Ratih, Op.Cit., h. 7. 43 Nyoman Kutha Ratna, Op.Cit., h. 172-173.

35

Definisi di atas memperlihatkan bahwa prinsip intertekstualitas memiliki kesamaan dengan sastra bandingan. Penelitian intertekstual mengasumsikan bahwa sebuah karya ditulis berdasarkan karya yang lain, yaitu karya yang menjadi hipogramnya. Sama halnya dengan sastra bandingan yang meyakini adanya kemiripan antara deretan sastra yang satu dengan dengan yang lain. Sastrawan tidak mungkin lepas dari karya orang lain, berapa pun persentasenya. Sebuah sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Sebaliknya, ia menjadikan karya- karya sebelumnya sebagai hipogram, baik hanya meliputi unsur-unsur intrinsik tertentu maupun meluas sampai unsur-unsur di luar sastra. Melalui prinsip intertekstual maupun sastra bandingan, usaha pemahaman makna karya sastra tersebut dapat dilakukan secara penuh.44

Berdasarkan tinjauan teori semiotik di atas, maka penelitian konsep ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dilakukan dengan pendekatan semiotik Riffaterre dengan empat kunci analisis, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian, serta hipogram. Menurut peneliti, semiotik Riffaterre ini sangat efektif untuk membedah makna dan simbol-simbol ketuhanan dari kedua puisi, yang diungkapkan dan diekspresikan secara tidak langsung oleh penyair. Oleh karena itu, pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengungkap makna dan simbol-simbol puisi secara mendalam serta melihat bagaimana penggunaan simbol itu menjadi sesuatu yang baru pada masa penciptaannya.

D. Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Pembelajran bahasa dan sastra Indonesia memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia disinyalir menjadi tolok ukur keberhasilan dalam

44 Suwardi Endraswara, Metodologi Sastra Bandingan, (Jakarta: bukupop, Cetakan Kedua, 2014), h. 202-203.

36

mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.45

Sastra sebagai bentuk kreatif manusia sangat erat kaitannya dengan bahasa. Dalam pengembangan bahasa, tentulah peran sastra tidak kecil, baik yang berkenaan dengan struktur bahasa maupun ekologinya. Penggunaan bahasa sebagai medium sastra sebagian besar tergantung pada perpaduan antara aspek sosial dan perseorangan dalam tuturan pengarang. Tujuan pengarang adalah membangkitkan reaksi tertentu pada pendengar atau pembacanya. Biasanya, reaksi itu sama dengan apa yang dipertalikan oleh pengarang kepada dirinya, juga dengan orang lain dalam keadaan tertentu. Ia akan memilih bentuk-bentuk yang menurut pertimbangannya akan membangkitkan reaksi pendengar atau pembaca, yaitu bentuk-bentuk yang mempunyai denotasi dan konotasi.46

Umumnya, pengajaran sastra diberikan dalam rangka menumbuhkan dan membina apresiasi peserta didik terhadap sastra. Sesuai tujuan umum setiap usaha pendidikan, maka pembinaan apresiasi satsra sebagai tujuan kurikuler diberi arah yang positif, yaitu membantu perkembangan aspek-aspek kejiwaan menuju pembentukan kebulatan pribadi anak. Hal tersebut sangat dimungkinkan sebab pengertian apresiasi mencakup tiga kegiatan psikologis, yaitu pemahaman, penikmatan, dan penilaian. Dari pemahaman, dituntut kemampuan anak berpikir secara kritis dan logis. Dari penikmatan, diharapkan mampu mengembangkan berbagai segi emosi anak, sedangkan dari penilaian, mampu menumbuhkan daya imajinatif dan sifat kreatifnya. Pemetaan ketiga kegiatan psikologis tersebut hanya tergambar dalam pikiran. Pada praktiknya,

45 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2016), h. 9. 46 Yus Rusyana, Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan, (Bandung: CV , Cetakan Pertama, 1984), h. 298-299.

37

kegiatan itu sangatlah kompleks. Belum lagi perencanaan segi-segi ideal berupa kekayaan batin dan pengalaman hidup yang dapat diperoleh dari penghayatannya terhadap citra sastra karena pada dasarnya, sastra berisi corak kehidupan sosial masyarakat yang diangkat menjadi bahan penciptaan oleh pengarang. Semua itu memiliki perang besar dalam pembentukan pribadi anak. Dengan demikian, usaha menanamkan rasa cinta anak kepada sastra sekadar suatu langkah untuk mencapai tujuan pendidikan.47

Dalam konteks pembelajaran di sekolah, pengajaran sastra memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

1) Membantu keterampilan berbahasa. Telah diketahui bahwa terdapat empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Melalui pengajaran sastra, keterampilan menyimak dapat dikembangkan melalui kegiatan mendengarkan pembacaan karya sastra oleh guru atau peserta didik lain. Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan ikut berperan dalam drama atau diskusi tentang sastra. Keterampilan membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan membaca puisi dan prosa. Keterampilan menulis dapat dikembangkan melalui kegiatan menuliskan hasil diskusi yang dilakukan oleh siswa.48 2) Meningkatkan pengetahuan budaya. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan sering menyajikan banyak hal, yang jika dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. Walaupun dalam karya satra disajikan fakta-fakta, keterkaitan dalam relasi secara menyeluruh mengenai fakta tersebut menjadi lebih penting dan dianggap mampu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan manusia lengkap dengan konteks budaya yang melatarbelakanginya.

47 Ibid., h. 147. 48 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

38

3) Mengembangkan cipta dan rasa. Peserta didik adalah individu dengan kepribadian, kemampuan, masalah, dan kadar perkembangan masing- masing yang khas dan khusus. Apa yang ada dalam diri peserta didik tersebut pada dasarnya merupakan kecakapan yang dimilikinya. Melalui pengajaran sastra, dapat dikembangkan kecakapan peserta didik yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius.49 4) Menunjang pembentukan watak. Karya sastra dipandang sanggup membuat bebagai medan pengalaman yang sangat luas. Dalam potensi demikian, pengajaran sastra diharapkan mampu memberikan bantuan dalam mengembangkan berbagai kualitas kepribadian. Pengajaran sastra diharapkan mampu memberikan membina perasaan yang tajam dan dalam mengenai berbagai kemungkinan hidup., kebanggaan, kebahagiaan, kesetiaan, kekalahan, dan lain-lain. Melalui karya sastra, seseorang diharapkan tumbuh cita, rasa, dan kepekaan terhadap sesuatu yang bernilai dan tak bernilai. Dengan demikian, akan tumbuh kualitas pribadi peserta didik sebagaimana yang dicita-citakan.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa penempatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai matapelajaran sentral menuntut terlaksananya pembelajaran yang tersistem dan terprogram. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah harus berada pada posisi yang sama dengan pembelajaran lain. Penyediaan sarana dan prasarana perlu dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikan. Tentunya hal ini akan berimbas pada peningkatan kualitas kepribadian peserta didik, khususunya dalam ranah sosial, intelektual, dan emosional.

E. Penelitian Relevan

Tahap ini berisi hasil kajian dari laporan-laporan penelitian terdahulu sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji. Setelah melakukan penelusuran di berbagai media, seperti internet, koran, majalah, dan dokumen-

49 Ibid., 19.

39

dokumen sastra lainnya, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji puisi- puisi Amir Hamzah dan Husni Djamaluddin. Pertama, artikel jurnal berjudul Simbolisasi Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah dari Kajian Semiotik pernah dilakukan oleh Nursalim (2018) yang merupakan mahasiswa STIKom Muhammadiyah Batam. Penelitiannya berusaha memaknai simbol-simbol yang muncul dalam puisi dengan teori semiotik. Pemaknaan simbolisasi itu dibatasi pada enam simbol, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, gerak, dan intelektual. Hasil penelitiannya mengungkap bahwa keenam simbol yang menjadi kunci analisis itu memang muncul dalam puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah.

Kedua, artikel jurnal berjudul Ekspresi Amir Hamzah dan Chairil Anwar dalam Puisi-puisi Percintaan pernah dilakukan oleh Batmang (2019) dari Institut Agama Islam Negeri Kendari. Penelitian ini mengkaji konsep kekasih dalam puisi Amir Hamzah Dalam Matamu dan puisi Chairil Anwar Sajak Putih serta konsep pengkhianatan kekasih dalam puisi Kusangka karya Amir Hamzah dan puisi Penerimaan karya Chairil Anwar. Teori yang digunakan adalah intertekstual karena berfokus pada dua puisi Amir Hamzah yang diyakini sebagai hipogram bagi dua puisi Chairil Anwar. Aspek yang dilihat adalah persamaan dan perbedaan kedua penyair dalam mengekspresikan gagasan tentang konsep cinta dan pengkhianatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua penyair memiliki persamaan tentang konsep cinta, namun cara pengekspresiannya berbeda. Sementara itu, dalam konsep pengkhianatan, kedua penyair memiliki perbedaan gagasan. Amir Hamzah menganggapnya sebagai sesuatu yang membawa kekecewaan dan kehancuran hati, sedangkan Chairil Anwar menganggapnya sebagai sesuatu yang realistis dan harus diterima karena bagian dari kenyataan hidup. Melalui hasil tersebut, peneliti meyakini bahwa kedua puisi Chairil Anwar merupakan transformasi dari kedua puisi Amir Hamzah dengan beberapa penyimpangan dan sudut pandang yang berbeda dalam topik yang sama. Dengan kata lain, puisi Amir Hamzah adalah hipogram bagi puisi Chairil Anwar.

40

Ketiga, skripsi berjudul Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi Nyanyi Sunyi Karya Amir Hamzah: Implikasi bagi Pengajaran Bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Thahir Ma‟a Khairi (2019) yang merupakan mahasiswa Universitas Sriwijaya. Penelitian ini mengkaji tentang struktur fisik yang mencakup penggunaan diksi, citraan, kata konkret, dan bahasa figuratif, serta struktur batin yang mencakup tema dan amanat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah. Keempat, artikel jurnal berjudul Intertekstualitas Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah dan Puisi Doa Karya Chairil Anwar: Menelusuri Cahaya al-Quran dalam Puisi Sufistik Indonesia pernah dilakukan oleh Ali Imrol Al-Ma‟ruf (2005) dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini mendeskripsikan pengaruh puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah sebagai hipogram pada penciptaan puisi Doa karya Chairil Anwar dengan teori intertekstual. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa adanya keterjalinan aspek simbolik dan tematik, khususnya tentang kemanusiaan dan ketuhanan. Oleh karena itu, penelitian Khairi ini juga sekaligus mengkaji kemungkinan sumber inspirasi penciptaan kedua puisi, yaitu Alquran. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan intertekstual puisi Padamu Jua sebagai hipogram bagi penciptaan puisi Doa yang bersifat inovatif. Hubungan tematik tampak pada penggunaan imaji dan simbolik sehingga memungkinkan kedua puisi tersebut merupakan karya sastra sufistik Indonesia yang terilhami oleh ayat suci Alquran.

Kelima, skripsi berjudul Analisis Simbol dalam Puisi Taman Dunia, Hanyut Aku, dan Terbuka Bunga Karya Amir Hamzah pernah dilakukan oleh Eka Sulistiani yang merupakan mahasiswa Universitas Sumatra Utara. Penelitiannya mengkaji penggunaan simbol-simbol dari ketiga puisi dengan teori semiotika Charles Sanders Pierce. Kunci analisis berfokus pada metode hermeneutika, yaitu menafsirkan atau menginterpretasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketiga puisi berisi tentang fase kehidupan Amir Hamzah yang berkutat pada manis-pahitnya cinta.

41

Keenam, artikel jurnal berjudul Gaya Bahasa Metafora dalam Puisi Bulan Luka Parah Karya Husni Djamaluddin pernah dilakukan oleh Musayyedah (2012) dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat. Penelitiannya mengkaji penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah yang berfokus pada klausa metafora, frasa metafora, dan metafora tak langsung. Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam kumpulan puisi Husni tersebut banyak digunakan gaya bahasa berupa klausa metafora dan frasa metafora. Ciri khasnya bisa dilihat pada penggunaan kata yang bernuansa fenomena alam, sepeti laut, ombak, bulan, gunung, mata air, dan sebagainya. Ketujuh, artikel jurnal berjudul Indeksitas dalam Puisi-puisi Bulan Luka Parah Karya Husni Djamaluddin pernah dilakukan oleh Adri (2014) dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat. Penelitian dengan teori semiotik Charles Sanders Pierce ini mengkaji lima puisi Husni yang terkumpul dalam Bulan Luka Parah, yaitu Jika pada Akhirnya, Adalah, Detik-detik Itu, Pada Malam Senyap Ketika Kau Tidur Lelap, dan Orang Tua. Fokus penelitian semiotik hanya pada aspek indeks. Hasil indeksitas yang ditemukan dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah adalah sikap religiositas dan rasa cinta manusia kepada Sang Khalik, kesadaran manusia akan eksistensinya, bentuk cinta antarmanusia secara filosofis, adanya penggambaran ekspresi manusia terhadap budaya setempat, serta pentingnya menuntut ilmu. Kedelapan, artikel jurnal dengan judul Analisis Puisi Jika pada Akhirnya Karya Husni Djamaluddin dengan Pendekatan Semiotik pernah dilakukan oleh peneliti yang sama (2011). Penelitiannya berusaha melihat relevansi puisi dengan ajaran agama Islam melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik serta analisis makna simbol, ikon, dan indeks. Hasil analisis menunjukkan adanya relevansi makna puisi dengan ajaran agama Islam berupa kesadaran akan kepastian datangnya maut, perkara keadaan manusia setelah mati, manusia selalu berada dalam pertanyaan yang tidak pasti, dan keinginan berserah diri secara maksimal kepada Tuhan.

42

Kesembilan, artikel jurnal berjudul Repetisi dalam Puisi Bulan Luka Parah Karya Husni Djamaluddin pernah dilakukan oleh Syamsurijal (2011) dari Balai Bahasa Ujung Pandang. Penelitiannya berfokus pada bagaimana pengarang menggunakan gaya bahasa repetisi dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam kumpulan puisi tersebut terdapat gaya bahasa repetisi berupa anafora, tautotes, anadiplosis, epistrofa, dan simploke.

Kesepuluh, artikel jurnal berjudul The Religious Multicultural Values in the Religiosity Experiences Found in Husni Djamaluddin‟s Poetries pernah dilakukan oleh Muliadi (2017) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar. Penelitiannya mengkaji nilai-nilai multikultural berdasarkan pengalaman religiositas dalam tiga puisi Husni, yaitu Kemerdekaan yang Aku Rindukan, Saat-saat Terakhir Muhammad Rasulullah, dan Kisah Seekor Kucing dengan Seorang Nyonya. Analisis dilakukan dengan pendekatan hermeneutik Ricoeur yang berfokus pada penafsiran simbol-simbol yang digunakan dalam ketiga puisi. Ruang kajian ini terbatas pada nilai-nilai multikultural religius berupa kebebasan pribadi, pengorbanan, dan hasrat seksual yang tidak terkendali (perzinaan). Pada aspek kebebasan pribadi, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu yang menjadi nilai tertinggi bagi kemanusiaan. Kebebasan menjadi tindakan yang dipilih sekaligus konsekuensi dari potensi jiwa yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sebagai sebuah idealitas individu, kebebasan tidak boleh bertabrakan dengan idealitas individu lain sehingga perlu memahami hak dan kewajiban. Maka, penerapan nilai multikultural kebebasan pribadi perlu memahami dua konsep yang saling beriringan, yaitu hak dan kewajiban. Pada aspek pengorbanan, hasil analisis menunjukkan bahwa pengorbanan menjadi suatu kemutlakan bagi manusia. Kebaikan tidak hanya terbatas pada menyembah Tuhan, tetapi harus peduli dan berkorban pada orang lain. Dalam konteks multikultural, pengorbanan berlaku bagi semua manusia dan menjadi inti dari perjalanan meraih kebaikan. Sementara itu, pada aspek perzinaan, hasil analisi menunjukkan bahwa hasrat seksual dalam perzinaan merupakan potensi biologis dari seseorang ketika

43

memasuki masa pubertas. Namun, potensi perzinaan tidak hanya muncul melalui sisi biologis, melainkan didukung oleh kondisi dinamika sosial. Maka, kunci utama mencegah perzinaan adalah merumuskan suatu elemen organik masyarakat meliputi hukum dan agama.

Berdasarkan hasil bacaan terhadap beberapa penelitian di atas, tampaknya belum ada penelitian yang mengkhususkan kajian pada puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan puisi Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin berdasarkan perspektif ketuhanan. Penelitian terkait puisi Amir Hamzah hanya fokus pada unsur kebahasaan berupa penggunaan diksi dan gaya bahasa, serta perpespektif percintaan yang menjadi bagian dari cerita hidup pengarang. Sementara itu, terkait puisi Husni, terlihat ada usaha untuk mengkaji nilai-nilai religi dan kebudayaan. Namun, hal tersebut tidak secara khusus dilakukan pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan dan terbatas pada pemaknaan terhadap simbol-simbol tanpa ada kajian secara mendalam tentang bagaimana pengarang mengonsepkan keberadaan Tuhan. Menyadari kealpaan tersebut, maka penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana konsep pengarang tentang ketuhanan dengan membedah penggunaan simbol-simbol dalam puisi. Teori semiotik Riffaterre dianggap tepat untuk pokok permasalahan penelitian tersebut karena analisisnya tentang pemaknaan simbol cukup mendalam, serta memungkinankan peneliti untuk melihat kebaruan penggunaan simbol-simbol itu pada masa penciptaan kedua puisi. Dalam mengkaji konsep ketuhanan, peneliti akan mengaitkannya dengan tradisi sosial budaya yang melatari penciptaan puisi, khususnya pada aspek keyakinan/kepercayaan.

43

BAB III PROFIL PENGARANG

A. Amir Hamzah 1. Biografi

Amir Hamzah lahir pada hari Selasa, 28 Februari 1911 di kampung Pakubuan, Kecamatan Tanjungpura, Langkat, Sumatra Utara. Dalam silsilah keluarga, ia diketahui seorang keturunan bangsawan Langkat, yaitu Tengku Muhammad Adil yang di masa hidupnya menjabat sebagai pangeran atau wakil sultan di Langkat Hulu dan berkedudukan di Binjai. Tengku Muhammad Adil kemudian diberi gelar Pangeran Bendahara Paduka Raja, suatu gelar tertinggi di daerah tersebut.1 Namun demikian, berstatus sebagai keturunan bangsawan tak lantas membuat seorang Amir Hamzah menjadi sosok yang feodal. Ia tetap rendah hati dan hidup sebagaimana rakyat biasa. Hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana ia menjadi terkenal ke penjuru dunia hanya dengan nama “Amir Hamzah”, tanpa ada penyematan gelar bangsawan, seperti Sultan, Tengku, atau Pangeran.

Amir Hamzah hidup di lingkungan tradisi budaya Melayu yang kental, termasuk tradisi sastra yang sudah mendarah daging. Hal tersebut dapat dibuktikan dari penduduk Tanjungpura yang mayoritas datang dari Siak, Kedah, Selangor, Petani, dan beberapa daerah di tanah Malaysia sehingga secara etnis dikenal sebagai pribumi Melayu. Dalam lingkungan keluarga istana Melayu, ayahnya sering kali menyelenggarakan acara pembacaan hikayat, yang biasanya terdiri atas rangkaian syair yang panjang. Ahlinya didatangkan khusus untuk membacakan hikayat selama acara berlangsung. Hobi ini didasarkan pada kecintaan ayah Amir Hamzah terhadap sejarah dan sastra Melayu, sebagaimana kebanyakan para orang tua pada masa itu.

1 Niken M. D. Maestro-maestro Indonesia, (Jakarta: Edsa Mahkota, 2005), h. 39.

44

Hikayat yang sering dibacakan diantaranya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Ali Hanafiyah, Bustanu‟ssalatin, Sejarah Melayu, cerita para nabi (Qisasul Anbiya), dan sebagainya. Bahkan, nama “Amir Hamzah” merupakan keinginan ayahnya yang sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah. Tidak jarang Amir Hamzah ikut membacakan hikayat-hikayat tersebut atas permintaan ayahnya. Ia juga sering mendengarkan para orang tua bercerita tentang sejarah negerinya, adat- istiadat, dan kesusastraan.2

Tahun 1918 ia menempuh pendidikan pertama di Langkatsche School yang kemudian menjadi HIS, yaitu sekolah dasar bagi pribumi berbahasa Belanda. Amir Hamzah dikenal sebagai anak yang rapi, bersih, tampan, dan pendiam sehingga tidak heran jika banyak yang ingin berteman dengannya. Pagi hari ia bersekolah di HIS, lanjut sore harinya rutin belajar di sekolah agama dan belajar mengaji di lingkungan masjid. Pada masa ini, Amir mulai menampakkan kecenderungannya terhadap sastra dan bahasa Melayu. Hal itu tampak dari koleksi buku bacaannya, seperti karya Abdullah Munsyi, Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, Hikayat Panca Tanderan, Syair Siti Zubaidah, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah, dan riwayat nabi-nabi. Setamat dari HIS, ia melanjutkan sekolah ke MULO Medan, namun, pada tahun 1928, ia pindah ke MULO Kristen di Batavia (Jakarta). Tidak diketahui secara pasti alasannya pindah ke sekolah Kristen. Meskipun hidup dalam lingkungan keyakinan baru, ia tetap memegang teguh agama Islam dan adat-istiadat Kesultanan Langkat.3

Amir Hamzah melanjutkan pendidikan Sastra Timur di AMS Solo. Pada masa inilah ia aktif sebagai tokoh pergerakan, bahkan pernah menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo. Ia banyak menulis puisi

2 Abrar Yusra, “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Amir Hamzah 1911- 1946: Sebagai Manusia dan Penyair, (Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 1996), h. 26-27. 3 Niken M. D., Op.Cit., h. 40-41.

45

dalam bahasa Melayu. Sewaktu kelas II AMS, tepatnya pada 31 Desember 1930, Amir mengikuti kongres pendirian organisasi Indonesia Muda di Solo. Dalam acara tersebut, ia mempromosikan kesatuan suku-suku bangsa di Nusantara sebagai sebuah negara berdaulat. Meski tidak sekeras Perhimpunan Indonesia yang anti-Belanda, organisasi ini masuk sebagai radar intelijen pemerintah kolonial.4

Indonesia Muda merupakan organisasi yang giat menyebarkan roh Sumpah Pemuda, yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Soal bahasa, Amir sudah lebih dulu mengamalkan amanat yang terangkum dalam Kongres Pemuda ini. Ia menjadi mentor bagi teman- teman studinya di AMS karena lingua franca-nya adalah Melayu, akar bahasa Indonesia. Bahkan, tanpa ragu Amir dan kekasihnya, Ilik Sundari, rela keluar-masuk kampung untuk mengajarkan baca, tulis, dan berhitung kepada masyarakat. Mereka meyakini bahwa tiga dasar pendidikan tersebut adalah awal keterbukaan wawasan.5 Amir memang terkenal konsisten dalam memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Melalui kegiatan menulis puisi dan prosa, pertemuan formal, serta dalam lingkup sekolah, ia berupaya untuk menjadikan bahasa tersebut populer di masyarakat dan layak menjadi bahasa seni. Tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi Belanda sehingga memaksa sekolah- sekolah untuk memakai bahasa daerah. Namun, Amir tidak berkecil hati, sebaliknya, ia dan Ilik semakin gencar untuk membumikan bahasa Indonesia.

Solo memang menjadi periode bagi Ami Hamzah dalam mendapatkan dinamika serta orientasi yang luas tentang kesusastraan dan obsesi kepenyairannya. Sebagian besar sajak-sajaknya lahir di sini yang kemudian terkumpul dalam Buah Rindu. Bohang menyebutnya sebagai sajak “periode Solo”. Sementara itu, Ajip Rosidi menganggap bahwa

4 Tim Penyunting, Seri Buku Tempo: Paradoks Amir Hamzah, (Jakarta: PT Gramedia, Cetakan Pertama, 2017), h. 34-35. 5 Ibid., h. 41.

46

kumpulan sajak tersebut merupakan masa-masa latihan kepenyairan bagi Amir Hamzah untuk kemudian melahirkan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi yang lebih kuat dan matang. Hal penting lain dalam periode ini adalah hubungan pribadi Amir Hamzah dengan Armijn Pane dan Achadiat Karta Mihardja. Selain sebagai siswa AMS, mereka merupakan anggota organisasi pemuda nasionalis Indonesia Muda yang kemudian memiliki tempat tersendiri dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern.6 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa periode Solo memang telah memberikan dinamikan perkembangan yang penting bagi Amir Hamzah. Pergaulannya dengan para tokoh pergerakan yang dilandasi oleh rasa nasionalisme dan kesadaran perjuangan pemuda telah mendorongnya untuk melakukan pencarian bentuk dan pengabdian dalam bahasa Indonesia sehingga mampu memberikan dedikasi dalam ranah kepenyairan. Maka, periode ini menjadi penting dalam transformasi hidup Amir Hamzah, baik sebagai manusia maupun penyair.

Tahun 1931, Ibunya meninggal bertepatan ketika Amir Hamzah sedang sibuk menghadapi ujian akhir di Solo. Tidak berselang lama, sewaktu ingin melanjutkan kuliah di Sekolah Hakim Tinggi, ia harus kehilangan sosok Ayah yang menjadi penyokong utama dalam pendidikannya. Tanggung jawab pendidikan kemudian diambil oleh pamannya, yaitu Sultan Machmud. Sebagai mahasiswa RHS, ia tinggal di Laan Holle, Jakarta. Baik di Solo maupun di Jakarta, Amir tidak pernah menunjukkan sikap yang feodal. Kuatnya kesadaran nasional dan sifat kerakyatannya dapat dilihat dalam lingkup pergaulan dan pekerjaan ekstranya di Jakarta. Amir menjadi tenaga pengajar di Peguruan Rakyat Kramat 174 di sudut Gang Kenari dan Kramat Raya (sekarang RS Kodam V Jaya). Selain untuk biaya hidup dan kuliah, Amir menganggap bahwa persatuan dan kemerdekaan dapat dicapai dengan menjadikan masyarakat “melek” terhadap informasi. Perguruan Rakyat adalah bagian dari Taman

6 Abrar Yusra, Op.Cit., h. 35.

47

Siswa yang mempelopori pendidikan nasional di Indonesia. saat itu dipimpin oleh Soemanang (pengganti pemimpin sebelumnya) dan Amir Sjarifuddin (kemudian menjabat sebagai Perdana Menteri RI). Tidak mengherankan jika di Perguruan Rakyat ini banyak tokoh yang berkecimpung dalam dunia pergerakan, seperti Moh. Yamin, Sanusi Pane, Mr. Sahardjo (kemudian menjadi Menteri Kehakiman), Maria Ulfah Santoso (kemudian menjadi Menteri Sosial), dan banyak lagi. Dalam perkumpulan ini, Amir Hamzah bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mendirikan majalah Poedjangga Baroe pada tahun 1933 dengan visi mempopulerkan bahasa Melayu.7

Beralihnya tanggung jawab pendidikan kepada Sultan Machmud bukan tanpa syarat. Amir diminta untuk meninggalkan organisasi pergerakan dan tidak pacaran sehingga hanya fokus untuk meraih gelar Master (Mr.). Namun, hal tersebut tidak mempengaruhinya. Ia semakin aktif dalam rapat-rapat pergerakan mendukung kemerdekaan bersama kekasihnya. Akibatnya, ia terus dipantau. Mengetahui hal tersebut, Sultan Machmud didesak oleh pihak Belanda untuk memulangkan Amir ke Langkat. Pada tahun 1935 atas perintah pamannya, ia kembali ke Langkat untuk bekerja sebagai pembantu sekretaris kesultanan. Beberapa bulan bekerja, ia pun dinikahkan dengan Tengku Kamaliah, putri dari Sultan Machmud. Barulah Amir diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura, kemudian dipindahkan ke Binjai menjadi Kepala Luhak Hulu. Meski bekerja sebagai Luhak untuk kerajaan Belanda, ia tetap setia kepada Republik. Tokoh budaya Melayu, Tengku Mirah Rozanna Sinar sebagaimana dikutip oleh Tempo mengatakan bahwa kiprah Amir Hamzah di Langkat selalu membangkitkan semangat perjuangan. Bahkan ia pernah melatih Tentara Keamanan Rakyat di Binjai, yang diberi nama Batalion Pertama Divisi Gajah.8

7 Ibid., h. 48-49. 8 Tim Penyunting, Seri Buku Tempo: Paradoks Amir Hamzah, Op.Cit., h. 49.

48

Jabatan sebagai pelayan sultan rupanya mengantarkan Amir Hamzah menemui ajalnya. Awal Maret 1946, ia dijemput paksa oleh sekelompok pemuda yang diduga anti-kolonialisme. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali. Ia dibunuh oleh eksekutor Ijang Widjaja atas tuduhan keluarga Sultan pro-Belanda dan tidak mengakui Republik yang belum genap berusia satu tahun. Mereka mengabaikan peran Amir Hamzah sebagai peletak dasar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Nusantara. Bahkan, ketika itu ia menjadi wakil Indonesia sebagai Asisten Residen Langkat di Binjai.9

Ironi yang melanda kehidupan Amir Hamzah, seperti kehilangan orang-orang terkasih, kisah percintaan, kawin paksa, hingga pekerjaan sebagai pelayan kesultanan pada akhirnya banyak melahirkan karya sastra yang membesarkan namanya dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Semua perasaan yang menyebabkan sunyi dan sepi itu ia tuangkan dalam kumpulan sajak Nyanyi Sunyi. Kumpulan sajak ini ditulis setelah Amir menikah di Langkat. Ia meminta izin untuk kembali ke Jakarta menyelesaikan beberapa urusannya. Selama sebulan penuh di Jakarta ia mengurung diri dari keramaian. Rupanya, ia sedang berkonsentrasi menyelesaikan kumpulan sajak tersebut yang kemudian diterbitkan dalam nomor khusus majalah Poedjangga Baroe, November 1937. Sebelumnya, ia juga sudah menulis sajak-sajak yang tersebar di berbagai majalah, seperti Indonesia Muda, Timboel, dan Pandji Poestaka. Sebagian besar sajaknya ditulis ketika bersekolah di Solo, kemudian diterbitkan sebagai kumpulan sajak bertajuk Buah Rindu dalam nomor khusus majalah Poedjangga Baroe, Juni 1941.10

9 Ibid., h. 5. 10 Jamal D. Rahman, dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT Gramedia, Cetakan Pertama, 2014), h. 175.

49

2. Corak Pemikiran

Perkembangan sejarah kesusastraan Indonesia modern dalam konteks kebangkitan karya-karya yang Islami dapat ditelusuri melalui penelaahan berbagai karya sastra yang telah diciptakan. Periode pertama atau biasa disebut dengan periode Balai Pustaka, jika dilihat dari segi genre, didominasi oleh karya-karya prosa. Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, serta Salah Asuhan (1928) karya adalah beberapa karya prosa yang sarat dengan warna lokal. Puisi-puisi karya Muhammad Yamin dan Rustam Effendi terlihat seperti tenggelam oleh ketenaran prosa. Pada periode ini, baik prosa maupun puisi tidak menunjukkan adanya napas Islami. Barulah pada periode berikutnya tanda-tanda keagamaan dalam karya sastra itu muncul. Amir Hamzah dan sebagai penulis puisi dan prosa memberikan warna yang berbeda dalam karya mereka. Keduanya merupakan perintis yang memperkaya penciptaan karya-karya sastranya dengan napas Islami, seperti Amir Hamzah dalam kumpulan puisinya berjudul Nyanyi Sunyi (1937) dan Hamka dalam karyanya Di bawah Lindungan Ka‟bah (1938). Selain itu, hadir J.E. Tatengkeng dengan kumpulan puisinya berjudul Rindu Dendam yang menyuarakan napas Kristiani.11

Perihal kereligiusan tersebut, Mahyudin menganggap bahwa kebanyakan karya Amir Hamzah memperlihatkan gagasan yang sarat dengan nilai-nilai religi, di samping nasionalisme. Bukan tidak mungkin kalau penciptaan karya-karyanya muncul dari gagasan yang dilandasi dengan keyakinan. Jika dalam sikap dan perilakunya menampakkan semangat nasionalis dan humanis, maka melalui karya-karyanya dapat dilihat bagaimana ia menganut Islam dengan sangat baik. Maksud dari kata “baik” adalah benar-benar memahami dan menghayati keberadaan

11 Razali Kasim, “Eksistensi Amir Hamzah dalam Perspekstif Kebangkitan Islam”, dalam T. Amir Hamzah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005), h. 2-3.

50

agama Islam dalam kehidupannya. Keyakinan Amir Hamzah terhadap agama Islam bukan sekadar ditempa oleh lingkungan keluarga dan budaya, atau dengan kata lain keyakinan yang bersifat dogmatis, akan tetapi justru perkembangan wawasan pikirannya lebih sadar terhadap kemuliaan Islam. Hal itu terbukti dari studi perbandingannya terhadap agama-agama yang lain. Demikian pula dalam menjalankan ibadah, kepatuhannya bukan karena diimingi pahala atau ketakutan terhadap dosa.12 Salah satu puisinya berjudul Karena KasihMu memperlihatkan kepercayaan Amir Hamzah tentang kebenaran agama Islam, termasuk kepatuhannya untuk menjalankan ibadah lima waktu. Baginya, salat adalah jalan untuk bertemu dengan Tuhan.

Hal senada juga disampaikan oleh Ajip Rosidi. Menurutnya, kebanyakan isi sajak Amir Hamzah menyerukan kerinduan, penuh ratap, dan kesedihan. Kesedihan itu kemudian yang menyebabkan timbulnya rasa sunyi dan kepasrahan. Sebagai seseorang yang sejak kecil mendapat pendidikan agama Islam, ia pasrah diri kepada Tuhan. Akan tetapi, sebagai seseorang yang pernah mendapat didikan sekolah yang intelektualistis, ia pun mempergunakan rasionya. Hal tersebut yang menyebabkannya terkadang merasa was-was dan ragu terhadap keyakinan yang dianutnya. Akibatnya, ia pun berpikir tentang maut yang kemudian dipanggilnya untuk melepaskan diri dari timpaan nestapa. Keputusasaan itu dapat dilihat melalui salah satu sajaknya yang terkumpul dalam Buah Rindu. Namun, setelah melalui masa kesepian dan kebimbangan, juga menguji keraguan dan kewaswasan sendiri, akhirnya ia menemukan kedamaian dalam Tuhan. Kedamaian serta keikhlasan itu dapat dilihat dalam puisinya berjudul Padamu Jua dan Astana Rela.13

12 Saifuddin Mahyudi, “T. Amir Hamzah dalam Sikap dan Gagasannya”, dalam T. Amir Hamzah, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005), h. 32. 13 Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Pustaka Jaya, Cetakan Pertama, 1968), h. 53-54.

51

Pengkajian diri secara mendalam yang dilakukan oleh Amir Hamzah dapat dilihat dalam kumpulan sajaknya berjudul Nyanyi Sunyi. Ia tidak lagi hanya melukiskan peristiwa-peristiwa lahir manusia, tetapi sudah meningkat kepada pengalaman-pengalaman batin. Ia sepenuhnya telah menjadi seorang makhluk yang menyerah ke bawah kaki Tuhannya. Hal tersebut bisa saja terjadi setelah ia larut dalam kesedihan sehingga mencari pegangan kepada kepercayaan, yaitu agama Islam. Bahkan kemudian tampak keinginan yang mistis untuk menemui Tuhan, saling berhadapan karena ia adalah manusia yang rindu rasa, rindu rupa. Pengalaman- pengalamannya dalam merindukan Tuhan (kekasih) itulah yang menjadi ciri utama dalam Nyanyi Sunyi. Bagi Amir, Tuhan adalah tempat kembali dan pegangan satu-satunya setelah putus asa mencari. Jika manusia telah tiba di jaan buntu, tertumbuk jurang putus asa, serta habis segala cinta, maka Tuhanlah yang menjadi pegangan. Hanya agamalah tempatnya pulang, yaitu agama sebagai dasar kepercayaan kekuasaan di atas kemampuan usahanya.14

3. Kondisi Sosial dan Kebudayaan Langkat

Kerajaan atau Kesultanan Langkat merupakan salah satu dari beberapa Kerajaan Melayu yang eksis di wilayah pesisir timur bagian utara sampai tengah pulau Sumatra. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kawasan ini sering disebut Sumatra Timur (Oostkust van Sumatra). Kesultanan-kesultanan Melayu lainnya adalah Deli, Serdang, Asahan, Panai, Kualuh, Kotapinang, Bailah, ditambah dengan Kedatukan Batubara. Seluruh Kesultanan Melayu ini memiliki tipe yang sama, yaitu berdasarkan sistem kesultanan Islam yang berakar tunjang pada kebudayaan Melayu. Sistem Kesultanan Langkat bertipe keislaman yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan melaui fakta peradaban masyarakatnya dan bentuk-bentuk seni arsitektur Islam, seperti masjid, madrsah, sekolah,

14 Ajip Rosidi, “Amir Hamzah: Hati yang Ragu”, dalam Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair, (Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 1996), h. 105.

52

maktab, dan sebagainya. Perkembangan Kerajaan Melayu yang bertipe Islam seperti ini tentu saja membawa pengaruh yang kuat terhadap perkembangan kebudayaan Islam, khususnya di tanah Langkat. Kebudayaan Islam di daerah ini sangat bersinergi dengan kebudayaan atau adat Melayu yang memang ada sebelumnya. Islam menjadi rujukan utama dalam rangka melaksanakan dan mempraktikkan kebudayaan.15

Salah satu yang aspek yang menjadi identitas khas Langkat adalah pembangunan intelektual dan religi, seperti ditumbuhkannya Tarekat Naqsabandiyah dan sekolah yang dibiayai oleh Kesultanan Langkat baik dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Langkat dalam konteks kerajaan-kerajaan di Nusantara terkenal sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Tidak heran jika daerah ini dijuluki negeri sufi di dunia Melayu. Hal tersebut pada akhirnya telah melahirkan karya- karya peradaban Islam, seperti karya sastra Amir Hamzah yang bercirikan Melayu dan diwarnai oleh berbagai kebudayaan Nusantara dan dunia. Dalam penerapannya pun, Kesultanan Langkat memiliki guru-guru agama yang sekaligus dijadikan penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat Melayu, seluruh warga terikat dengan adat resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau diatur dalam agama Islam berangsur-angsur dihilangkan. Jadi, adat resam Melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat Melayu yang telah diislamisasi. Tentunya peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Langkat.16

15 Muhammad Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin, “Tengku Amir Hamzah: Wira Dunia Melayu Bersenjatakan Pena”, Makalah disampaikan pada Seminar Tengku Amir Hamzah di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 2016, h. 2. 16 Ibid., h. 4.

53

B. Husni Djamaluddin 1. Biografi

Husni Djamaluddin lahir di Tinambung, Mandar, Sulawesi Selatan pada 10 November 1943. Kegiatan menulis puisi sudah dilakukannya sejak SMP, namun mulai serius ketika berusia 35 tahun. Ia juga aktif dalam dunia wartawan. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris PWI Cabang Makassar. Husni adalah salah seorang pendiri Dewan Kesenian Makassar dan menjabat sebagai wakil ketua. Tahun 1981, ia mengikuti Asian Writers Conference yang diselenggarakan oleh PEN International di Manila, Filipina. Kumpulan sajaknya, yaitu Puisi Akhir Tahun (1970), Toraja (1979), Bulan Luka Parah (1986), dan Berenang-renang ke Tepian (1987). Sajak-sajaknya yang lain dimuat dalam Sajak-sajak Makassar (kumpulan sajak bersama Rahman Arge dan lain-lain, 1974) dan puisi ASEAN (Buku III, 1978). Ia pernah diundang membacakan sajak-sajaknya dalam beberapa event Internasional, diantaranya: Istiqlal International Poetry Festival (1995); Asian Writers Conference (1981); Indonesian Poetry Festival di Makassar (dilanjutkan ke Solo dan Bandung). Husni menggaetkan sekaligus mempesona pengunjung yang berdesakan memadati acara. Ia bahkan membuat para penyair dari Belanda, Belgia, Jerman, Austria, Malaysia, serta para pengamat sastra dari Australia terpengaruh. Sebagai penyair yang intens dan setia lebih dari 40 tahun menggeluti dunia kepenyairan, ia tak pelak lagi merupakan penyair terkuat di wilayah Indonesia bagian timur.17 Ia juga pernah menulis naskah drama berjudul Di Pintu Alternatif dan dipentaskan oleh grup teater DKM.

Husni adalah pembaca puisi yang baik, suaranya jernih dan enak didengar. Dialek Makassar timbul tenggelam dalam nada suara yang mampu memekatkan rona puisi yang dibacanya. Setiap pertemuan resmi sastrawan Indonesia, ia selalu diundang untuk membacakan puisi. Terakhir

17 Agus R. Sarjono, “Anak Laut Anak Puisi”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 2, 2004), h. 11-12.

54

di Erasmus Huis, ia bersama 17 sastrawan Indonesia dan Belanda membacakan kumpulan puisi terbaru berjudul Sajak-sajak dari Makassar. Terjun dalam dunia puisi memang telah menjadi pilihan hidupnya. Ia pernah bertanggung jawab terhadap ruang Apresiasi Puisi di TVRI Ujungpandang pada tahun 1979. Acara tersebut berkembang atas jerih payahnya. Setiap bulan, anak-anak, orangtua, guru, dan sastrawan masuk televisi untuk membacakan puisi. Husni juga dikenal sebagai seniman kreatif berjiwa “dagang” yang pernah memimpin PT Perfin Ujungpandang dan beberapa perusahaan lain. Meskipun demikian, usahanya dalam menciptakan puisi-puisi tidak pernah redup. Semakin ia terjun dalam dunia bisnis, semakin kuat pula dorongan untuk menulis puisi.18

2. Corak Pemikiran

Nama Husni Djamaluddin memang tidak terdapat dalam lembaran sejarah, baik samar-samar maupun secara terang. Ia bukanlah tokoh yang meledak-ledak dengan ide yang muluk-muluk. Dalam seluruh sikap dan pikirannya lebih cenderung menampilkan sikap ilmuwan yang sangat cermat dan berpotensi kuat membangun pemahaman dengan penyelesaian tahap demi tahap.19 Penuangan ide dan pemilihan kata-kata dilakukan dengan sangat sederhana. Namun, itulah yang menjadi kekuatan baginya. Nada yang datar, sederhana, namun mengesankan adalah ciri khas yang membawa keberhasilan dalam setiap puisi-puisinya. Hal demikian menandakan bahwa Husni mampu berpijak di atas keyakinannya sebagai seorang penyair. Ia telah memiliki jalan sendiri sehingga tidak perlu lagi mencari atau meraba-raba dalam ranah teknik penulisan.

18 Nurhadie Irawan, “Sajak-sajak Husni Djamaluddin”, Pusat Dokumentasi Sastra, Jakarta, 20 Juli 1981. 19 Harun Rasjid Djibe, “Serpihan Pikiran Tentang Husni Djamaluddin”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 2, 2004), h. 109.

55

Husni memang tidak bisa dipisahkan dari tanah kelahirannya, yaitu Sulawesi Selatan. Daerah ini terdiri atas beberapa suku dengan berbagai adat-istiadat, seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Tiga yang pertama ini adalah suku pelaut, sedangkan yang terakhir adalah suku pegunungan. Warna tanah kelahirannya jelas mempengaruhi puisi-puisi Husni, terutama dalam pengucapan dan pencitraan. Selain mengandung keterlibatan sosial dan sindiran terhadap politik, puisi-puisinya sangat jelas bernapaskan Islam yang bisa sekaligus diasosiasikan dengan tanah kelahirannya. Di sini, Husni bisa dihubungkan dengan ciri utama perpuisian 1970-an atau Angkatan 70, yaitu adanya upaya sadar untuk kembali ke akar.20

Pengaruh tanah kelahiran Husni dapat terlihat melalui imaji pantai, laut, serta matahari dan malam hari yang banyak digunakan dalam puisi- puisinya. Imaji-imaji tersebut sangat akrab kaitannya dengan persajakan sufi, seperti Ibn „Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri yang mengisyaratkan tentang perjalanan hidup manusia menuju Tuhan. Laut dalam persajakan sufi merupakan lambang bagi Dzat Yang Esa sebagai asal kehidupan, sedangkan Dzat Yang Esa adalah lautan yang tak bertepi. Pengimajian semacam itu terdapat dalam sastra Mandar, sebagaimana dalam sastra Melayu, Jawa, dan Madura yang memang besar sekali pengaruh sastra tasawufnya. Husni dengan fasih menyajikan siklus kehidupan dengan cara yang elektis. Misalnya dalam salah satu larik puisinya Laut ditolak/tepinya sendiri menyiratkan makna tentang kenyataan yang sederhana namun hakiki, yaitu bahwa manusia sering menolak atau mengingkari Penciptanya sendiri yang menjadi asal-usul kehidupan. Dalam puisinya yang lain berjudul Saat-saat Terakhir Muhammad Rasulullah mengangkat tema yang berhasil menggelitik pembaca, yaitu bahwa Nabi besar seperti Muhammad pun selalu mawas

20 Abdul Hadi W. M. “Tentang Kumpulan Sajak Husni Djamaluddin, Bulan Luka Parah”, dalam Kumpulan Puisi Husni Djamaluddin: Bulan Luka Parah, (Jakarta: PT Temprint, Cetakan Pertama, 1986), h. 6.

56

diri alias tidak pernah lupa mengaca diri atau melakukan introspeksi diri. Sangat jelas bahwa puisi ini ditujukan kepada semua orang.21

Kumpulan puisi berjudul Toraja mencoba menghadirkan pribadi Husni secara utuh, lengkap, dan dengan kemauan yang keras untuk menghindar dari sekadar sebagai seorang juru potret. Ia tampil sebagai seorang penanya yang emosional dan sentimentil. Berbagai pertanyaan yang diajukan tentang nasib makhluk-makhluk, seperti kerbau, ayam, babi, serta tumbuhan dalam mitologi dan sejarah Toraja cukup menukik dan menyentuh sampai ke dasar. Melalui kumpulan puisi ini, ia mencoba mengangkat Toraja lewat puitika hingga ke tingkat kesemestaan yang utuh dan menyeluruh, serta mampu menggambarkan Toraja berikut mitologinya dalam suatu versi yang khas, yaitu pertemuan di dua persimpangan. Pertama, perjalanan Husni sebagai seorang muslim menuju kekuasaan Allah. Kedua, menghantarkan Toraja kepada alam mistisnya. Hal ini menandakan ketajaman penyair dalam memotret pertanda-pertanda lahiriah yang bersembunyi di balik sesuatu yang tersurat. Namun, ia tidak semata bertumpu pada hal itu, melainkan menyeret pembaca untuk menyusup lebih dalam menembus peristiwa dan secara total meleburkan diri dalam dramatikanya.22

3. Kondisi Sosial dan Kebudayaan Sulawesi Selatan

Masyarakat Sulawesi termasuk masyarakat yang heterogen karena terdiri atas beberapa kelompok etnis dengan kebudayaannya masing- masing sehingga tampak menimbulkan banyak perbedaan. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu khususnya yang berhubungan dengan inti kebudayaan menampakkan kemiripan, bahkan dapat dikatakan memiliki kesamaan. Secara historis, pembentukan masyarakat di kawasan ini berpangkal dari kehidupan keluarga yang sering dipandang sebagai

21 Ibid., h. 8-9. 22 Muhammad Ali, “Sajak-sajak Torajanya Husni Djamaluddin”, Pusat Dokumentasi Sastra, 18 Maret 1980, h. 5.

57

perluasan wilayah pemukiman kelompok kaumnya. Perluasan itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti jarak tempuh lahan mata pencaharian yang jauh, padatnya jumlah penduduk dalam pemukiman awal, persebaran karena wabah dan konflik internal.23

Terkait pranata keagamaan di Sulawesi, khususnya sebelum agama Samawy (Islam dan Nasrani) masuk, penduduknya telah mengenal dan menganut kepercayaan asli, yaitu paham dogmatis yang terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa. Kepercayaan ini lebih menekankan pada aspek kerohanian-kejiwaan. Masyarakat Sulawesi sadar bahwa dunianya terdiri atas dua aspek, yaitu dunia nyata dan dunia yang tidak tampak. Dunia yang disebutkan terakhir ini adalah dunia di luar jangkauan panca inderanya dan terdapat berbagai makhluk serta kekuatan alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa. Mereka tidak memiliki daya untuk menghadapi kemurkaan makhluk dan kekuatan alam tersebut. Oleh karena itu, salah satu jalan paling mudah ditempuh untuk menanggulanginya adalah dengan cara mengambil hati (membujuk) melalui persembahan saji-sajian. Dengan cara tersebut, diharapkan mereka dapat memberi perlindungan dan membantu dalam merealisasikan cita-cita hidup manusia. Berawal dari kepercayaan ini, maka terbentuklah lembaga atau prana sosial keagamaan (perdukunan) yang berfungsi sebagai penghubung antara makhluk (dewa, roh nenek moyang, kekuatan alam) dengan manusia biasa.24

Pada masyarakat Sulawesi Selatan, identitas kebudayaan terbentuk melalui sebuah karya besar yang dikenal dengan nama La Galigo. Boleh dikatakan bahwa karya kesusastraan lisan ini merupakan identitas mereka. La Galigo dipilih sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan karena menjadi rujukan bagi suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja untuk merasakan kesatuan di antara mereka. Salah satu alasan yang menjadikan

23 Mukhlis P., dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995), h. 63. 24 Ibid., h. 34-35.

58

karya ini sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi Selatan adalah dari aspek kepercayaan. I La Galigo adalah anak seorang manusia keturunan dewa bernama Sawerigading. Dalam berbagai cerita La Galigo, Sawerigading menjadi tokoh utama dan perekat suku di Sulawesi Selatan.25 Pada dasarnya, karya ini memuat berbagai hal yang bersifat mitos. Dalam kehidupan sosial, kelompok bangsawan dipandang sebagai kelas terpenting yang dipilih untuk menduduki jabatan politik. Hal demikian berangkat dari anggapan masyarakat biasa bahwa mereka merupakan lapis masyarakat yang memiliki garis keturunan para dewa dan berdarah putih (di Eropa disebut darah biru).

Corak kepercayaan sebagaimana diuraikan di atas masih berlangsung bahkan setelah Islam masuk ke Sulawesi, khususnya pada suku Bugis- Makassar. Terhitung 97 persen masyarakatnya menganut agama Islam secara taat. Masyarakat yang seperti ini lebih banyak menjadikan Islam dalam hati dan pikirannya. Mereka senantiasa memikirkan Islam, tetapi praktik-praktik dalam rukun Islam masih sukar untuk dilakukan. Dengan demikian, realitas keagamaan di Sulawesi Selatan ini tergolong cukup kompleks. Di satu sisi, agama Islam memang telah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Hal tersebut dapat terlihat melalui praktik peribadatan, nama sandang yang bercorak muslim, masjid dan lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren, madrasah, serta bentuk institusi lainnya. namun, di sisi lain, praktik peribadatan mereka masih banyak terdapat unsur kepercayaan pra-Islam yang tersisa, seperti ritual-ritual masyarakat, kepercayaan terhadap mitos, dan persembahan terhadap benda-benda pusaka.26

25 Andini Perdana, “Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan di Museum La Galigo”, https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id/index.php/pangadereng/article/view/16. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.15 WIB. 26 Mustaqim Pabbajah, “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar”, https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/au/article/view/108. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.20 WIB.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hanyut Aku HIKAYAT BULAN DAN KHAIRAN

Amir Hamzah Husni Djamaluddin

Hanyut aku, kekasihku! di langit malam: Bulan Hanyut aku! memancarkan cintanya kepada Khairan Ulurkan tanganmu, tolong aku. Khairan tidak peduli Sunyinya sekelilingku! di kamarnya yang sunyi Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, Khairan menulis puisi tiada air menolak ngelak. lewat celah jendela Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku Bulan mengintip Khairan sebabkan diammu. Khairan tidak peduli Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam. di kamarnya yang sunyi Tenggelam dalam malam. Khairan menulis puisi Air di atas menindih keras. di langit Bulan gelisah Bumi di bawah menolak ke atas. Khairan tidak peduli Mati aku, kekasihku, mati aku!1 di langit Bulan sepi Khairan tidak peduli di langit Bulan rindu Khairan tidak peduli maka Bulan turun ke bumi Khairan tidak peduli Bulan melangkah mendekat Khairan tidak peduli Bulan memanjat dinding Khairan tidak peduli Bulan mengetuk jendela Khairan tetap saja menulis puisi pelan-pelan Bulan menguak jendela Khairan tidak peduli Bulan nekad memasuki kamarnya Khairan tidak peduli Bulan menggamit bahunya

1 Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi, (Jakarta: Dian Rakyat, Cetakan kelimabelas, 2008), h.12.

58

59

Khairan tidak peduli Bulan mengelus lehernya Khairan tidak peduli Bulan membelai pipinya Khairan tidak peduli Bulan mencium dahinya Khairan tidak peduli Bulan mengecup pipinya Khairan tidak bisa lagi tidak peduli Bulan rebah dipangkuannya Khairan tidak lagi menulis puisi Bulan memegang tangannya Khairan membiarkan Bulan menuntunnya ke ranjang Khairan tidak keberatan Bulan buka kutang Khairan mulai gemetaran Bulan buka paha Khairan segera jadi singa syahdan ketika Bulan dan Khairan tuntas di puncak malam sebuah puisi tiba di ujung baitnya Bulan pun kembali ke langit malam memancarkan cintanya ke mana-mana2 Makassar, Januari 1976

Untuk mengetahui bagaimana kedua pengarang beda zaman itu mengartikulasikan konsep tentang ketuhanan dalam puisi mereka, maka pada bab ini akan diuraikan tiga subbab pembahasan, yaitu analisis terhadap struktur puisi, analisis makna menggunakan semiotik Riffaterre, dan analisis konsep ketuhanan dari masing-masing pengarang.

2 Husni Djamaluddin, Bulan Luka Parah, (Jakarta: PT Temprint, Cetakan Pertama, 1986), h. 29-31.

60

A. Analisis Struktur Puisi 1. Batin a) Tema Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin adalah dua puisi beda zaman yang mengangkat tema ketuhanan, yaitu suatu tema yang mampu memantik perasaan manusia untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dalam konteks kedekatan dengan Tuhan ini, kedua puisi bukan lagi membicarakan fenomena-fenomena dalam ranah lahiriah manusia. Lebih dari itu, intensitas tema sudah mencapai pada tataran kompleks yang membahas tentang pengalaman-pengalaman batin manusia dalam perjalanan menuju Yang Tunggal.

Tema ketuhanan dalam puisi Hanyut Aku dapat diidentifikasi pada kata “kekasih”. Kekasih yang disebut-sebut oleh aku lirik ini bukanlah yang maujud, melainkan kekasih mistikal. Selain itu, judul “Hanyut Aku” yang juga muncul dua kali (larik 1 dan 2) dalam puisi dapat menjadi penguat tentang kerinduan aku lirik kepada Tuhan. Tekanan kerinduan itu memuncak sehingga membawanya pada keadaan sunyi. Dengan demikian, diksi-diksi tersebut sebenarnya mewakilkan keriuhan batin pengarang. Sebagai manusia fana yang sedang menempuh perjalanan menuju Tuhan, ia ternyata ditekan rindu dan sunyi yang begitu dalam, bahkan menghanyutkan jiwanya.

Pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, tema ketuhanan dapat diidentifikasi pada kata “Bulan”. Kemunculan kata tersebut mendominasi dalam puisi sehingga menjadi salah satu titik pijak untuk mengungkap makna. “Bulan” adalah analogi yang berarti cahaya Tuhan. Oleh karena pengarang menarasikan Bulan turun menghampiri Khairan saat malam, maka hal tersebut adalah perwujudan dari keadaan batinnya yang sedang menempuh jalan khidmat untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

61

Penganalogian yang dilakukan Husni sebagaimana tersebut di atas menekankan pada kata “cahaya”. Tuhan adalah cahaya. Hal ini serupa dengan penganalogian Ibn „Arabi yang menyebutkan bahwa Wujud (Tuhan) analog dengan cahaya, sedangkan keseluruhan sesuatu analog dengan warna yang spesifik dan khas. Sejalan dengan itu, Abu Yazid al-Bustami juga menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi. Ketika manusia hilang kesadarannya sebagai manusia, pada dasarnya ia telah menemukan asal yang sebenarnya, yaitu Nur Ilahi atau dalam sebutan lain ia telah menyatu dengan Tuhan.3

b) Amanat

Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin setidaknya memiliki dua nilai penting, yaitu nilai karya sastra dan nilai religiositas. Sebagai karya sastra, kedua puisi tersebut adalah produk kata-kata yang lahir dari proses kreatif panjang penyair saleh. Sebagai karya yang bernilai religius, masing-masing pengarang tampak memberi penekanan tentang hakikat hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia adalah fana, dan akan kembali pada Yang Maha Kekal. Dengan demikian, sebagai makhluk yang difasilitasi akal, bekal yang perlu dipenuhi adalah pengetahuan tentang Tuhan.

Hakikat hablu minaallah yang menjadi kecenderungan dalam kedua puisi mampu memperluas perasaan manusia (pembaca) agar keyakinan kepada Tuhan terbentuk dalam dirinya. Ia akan merasa bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap sendi kehidupan. Akibatnya, apapun yang menjadi aktivitas di dunia akan selalu melewati proses pertimbangan yang dapat mendatangkan perkara-perkara baik, bukan sebaliknya. Hal demikian adalah proses untuk meraih ketakwaan.

3 Haidar Baghir, Buku Saku Filsafat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, Cetakan Kedua, 2006), h. 157.

62

Semakin besar ketakwaan manusia, maka semakin besar pula ia dicinta oleh-Nya. c) Nada dan Suasana

Pada puisi Hanyut Aku, pendakian rohani dalam rangka menuju Yang Tunggal diekspresikan oleh Amir Hamzah dengan eksplorasi kata yang mampu menukik ke relung jiwa. Cara itu kemudian membentuk nada yang mengesankan bagi pembaca sehingga selalu menghayati hakikat dirinya sebagai makhluk (sesuatu yang diciptakan). Penggunaan diksi Hanyut Aku (larik 1 dan 2), sunyi (larik 4), Tenggelam dalam malam (larik 8) adalah kesatuan situasi batin yang mampu secara halus membawa pembaca pada perasaan rindu kepada Sang Khalik. Dari diksi-diksi itulah terbentuk suasana sepi, sunyi, khidmat, bahkan menghanyutkan. Suasana batin yang demikian pada hakikatnya tidak bisa dihindari oleh manusia yang menempuh jalan menuju Yang Tunggal.

Pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, nada tercipta melalui pengungkapan yang bersifat naratif. Alur pengungkapan yang mengalir dengan halus mampu mengajak pembaca secara perlahan untuk masuk pada perenungan yang hakiki tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam perenungan itulah tercipta suasana yang hampir sama dengan puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah, yaitu hening dan khusyuk. Gambaran suasana tersebut diperkuat dengan hadirnya diksi, seperti langit malam (larik 1), sunyi (muncul dua kali, larik 4 dan 9), gelisah (larik 11), sepi (larik 13), dan rindu (larik 15). d) Perasaan

Kedua puisi tampak memiliki kesamaan perihal “perasaan”, yaitu sunyi, sepi, dan kerinduan dari manusia yang fana. Namun, hal tersebut diungkapkan dengan tekanan yang berbeda. Pada puisi Hanyut Aku, kesadaran spiritual pengarang menimbulkan perasaan yang begitu

63

kompleks. Tensi kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan sudah mencapai puncak. Akibat kerinduan yang tidak tertangguhkan itu, maka kemudian menimbulkan perasaan sunyi dan sepi yang menghanyutkan jiwanya. Semua perasaan itu tampak pada larik-larik berikut:

Hanyut aku, kekasihku! Hanyut aku! Ulurkan tanganmu, tolong aku Sunyinya sekelilingku!

Ia semakin dirundung oleh hasrat spiritualnya. Dalam kesunyian dan kesepian itu, pengarang merasa terpencil karena tidak ada yang mampu untuk meredam gejolak-gejolak batinnya. Bahkan, keriuhan perasaan sebagai akibat dari kesadaran spiritualnya itu seakan terasa mematikan. Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak ...

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam Tenggelam dalam malam Air di atas menindih keras Bumi di bawah menolak ke atas Mati aku, kekasihku, mati aku!

Pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, perasaan sunyi, sepi, terkadang gelisah, hingga akhirnya mencapai puncak khidmat juga terasa kepada pembaca. Namun, keseluruhan perasaan yang ditimbulkan itu disampaikan oleh pengarang dengan teknik yang sederhana. Teknik naratif yang penuh dengan perulangan diksi seperti alur yang secara perlahan mengajak pembaca untuk menyelami perasaan-perasaan dalam puisi. Tekanan perasaan sunyi dan sepi kemudian semakin memuncak ketika sampai pada larik-larik akhir yang menyentak pembaca. Hasrat yang menggebu untuk bersatu

64

dengan Tuhan rupanya menjadikan pengarang seolah singa yang siap menerkam kenikmatan di depan mata. Pada akhirnya, ia melebur (khidmat) dengan kenikmatan itu, sebagaimana terlihat pada larik-larik berikut: Bulan buka paha Khairan segera jadi singa syahdan ketika Bulan dan Khairan tuntas di puncak malam sebuah puisi tiba di ujung baitnya Bulan pun kembali ke langit malam memancarkan cintanya ke mana-mana 2. Fisik a) Tipografi

Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin memperlihatkan tipografi (perwajahan) yang berbeda. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena perbedaan zaman yang relatif jauh sehingga menimbulkan penghayatan unsur yang berbeda dari masing-masing penyair. Perbedaan tipografi pada kedua puisi dapat diamati dari pengaturan larik dan bait, serta penggunaan ejaan (termasuk tanda baca).

Puisi Hanyut Aku memperlihatkan bentuk tipografi yang bebas. Artinya, ada upaya penyimpangan terhadap konvensi-konvensi puisi. Penulisannya tidak lagi terikat oleh bentuk bait-bait, melainkan larik- larik yang hanya membentuk satu bait. Jumlah lariknya hanya 13 sehingga tergolong pada puisi pendek. Penulisan larik-larik tersebut masih seperti puisi pada umumnya, yaitu dimulai dari tepi kiri yang teratur menuju tepi kanan. Namun, bagian tepi kanan tampak tidak teratur karena ketidaksamaan jumlah kata dalam setiap lariknya. Hal

65

tersebut semakin menambah bentuk penyimpangan struktur puisi yang umumnya memiliki kesamaan jumlah kata dalam setiap larik.

Bentuk penyimpangan tersebut lebih lanjut menciptakan keunikan puisi secara visual. Ada pemenggalan terhadap beberapa larik yang kemudian membentuk larik baru. Sebagaimana terlihat, pemenggalan terjadi pada larik ke-5 sehingga menghasilkan larik baru, yaitu larik ke-6 yang ditulis dengan posisi menjorok ke dalam. Begitu juga pemenggalan pada larik ke-7 yang menghasilkan larik ke-8 yang ditulis dengan posisi sama. Jadi, antara larik ke-5 dengan larik ke-6 merupakan satu pernyataan yang mengandung satuan makna, juga dengan larik ke-7 dan larik ke-8. Hal demikian membuktikan bahwa larik dalam puisi tidak terikat pada jumlah, melainkan kandungan maknanya. Artinya, setiap larik dalam puisi tidak harus menyatakan satu kalimat sebagaimana aturan pada kalimat prosa. Dalam puisi, satu kalimat yang mengandung satuan makna bisa saja ditulis dalam beberapa larik. Terkait aturan ini, Suryaman dan Wiyatmi menegaskan bahwa satuan makna di dalam puisi dapat dilihat pada satu baris atau lebih. Bahkan, sangat mungkin ditemukan dalam satu baris sekaligus satu kalimat hanya terdiri atas satu kata, namun mengandung satuan makna.4

Perlu diketahui juga bahwa letak pemenggalan larik dalam puisi Hanyut Aku terdapat perbedaan pada beberapa cetakan. Pada cetakan pertama, larik ke-6 yang merupakan hasil dari pemenggalan larik ke-5 ditulis dengan posisi menjorok ke luar kiri. Begitu juga dengan larik ke-8 yang merupakan hasil pemenggalan larik ke-7. Pada cetakan kelima, hasil pemenggalan ditulis dengan posisi rata kiri sehingga sejajar dengan larik-larik yang lain. Sementara itu, pada cetakan ke-14, hasil pemenggalan larik ditulis dengan posisi menjorok ke dalam.

4 Maman Suryaman dan Wiyatmi, Puisi Indonesia, http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873962/pendidikan/buku+Ajar+Puisi.pdf. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020 pukul 14.17 WIB, h. 72.

66

Cetakan terakhir ini pula yang dipakai oleh peneliti dalam melakukan penelitian karena penulisannya sudah mengikuti ejaan saat ini. Meskipun terdapat perbedaan letak larik, tampaknya tidak mempengaruhi terhadap keutuhan makna. Artinya, hal yang demikian tidak menimbulkan pergeseran makna dalam puisi, khususnya pada larik-larik yang mengalami pemenggalan.

Penulisan dengan bentuk larik-larik juga dilakukan oleh Husni Djamaluddin dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan. Puisinya mencirikan bentuk naratif karena jumlah larik yang panjang, yaitu 58 larik. Namun, terdapat perbedaan pada bagian akhir, tepatnya dari larik ke-51 sampai 58. Larik-lariknya ditulis dengan bentuk bait-bait pendek yang terdiri atas dua bait. Larik ke-51 sampai 55 membentuk bait pertama, dan larik ke-56 sampai 58 membentuk bait kedua. Hal demikian dapat dilihat melalui penulisan larik-larik yang padat dan rapat, serta adanya jarak/alinea yang memisahkan antarbait. Sementara itu, larik-larik awal yang tidak membentuk bait, yaitu larik pertama sampai larik ke-50 ditulis dengan dua posisi sehingga membentuk tipografi yang khas. Posisi pertama adalah larik yang ditempatkan di sebelah kiri, sedangkan posisi kedua adalah larik yang ditempatkan di sebelah kanan. Larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri tersebut menempati posisi yang lebih tinggi dibanding larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kanan. Dengan pengaturan yang demikian, tepi kanan dan kiri puisi tampak lebih teratur.

Pemosisian larik-larik yang dilakukan oleh Husni Djamaluddin tersebut tentunya bukan sebatas penciptaan tipografi, namun berkaitan dengan pengonstruksian makna dalam puisi. Jika diamati, larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri mengandung satu pernyataan dengan larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kanan. Pada larik pertama di langit malam: Bulan dan larik kedua memancarkan cintanya kepada Khairan yang secara tipografi berada

67

di sebelah di kiri sebenarnya masih mengandung satu pernyataan dengan larik ketiga Khairan tidak peduli yang secara tipografi berada di sebelah kanan. Begitu pula seterusnya sampai larik ke-50. Penyusunan demikian kemudian menciptakan bentuk pemenggalan terhadap larik-larik puisi, sebagaimana yang dilakukan oleh Amir Hamzah dalam puisi Hanyut Aku. Hal tersebut semakin terlihat pada bait-bait akhir puisi.

Persoalan pemenggalan yang membentuk variasi larik dalam puisi ini sebenarnya terkait dengan tiga hal. Pertama, bisa jadi makna sudah utuh dalam satu larik, atau mungkin larik itu harus diselesaikan dengan larik selanjutnya. Kedua, keutuhan baru sebatas satuan makna seperti halnya satuan makna dalam kalimat prosa. Pada kenyataannya, keutuhan itu masih terkait dengan larik-larik selanjutnya. Dalam hal ini, pemenggalan dilakukan sebagai upaya untuk menata rima atau persajakan sehingga mampu memuculkan unsur musikalitas puisi. Ketiga, larik merupakan tatanan makna yang terangkai melalui kata. Kata-kata yang dirangkai bisa utuh, tetapi sebagian besar penyair melesapkan beberapa bentuk kata agar lebih padat.5 Pada konteks puisi Hanyut Aku dan Hikayat Bulan dan Khairan, selain satuan makna itu harus diselesaikan oleh beberapa larik, kedua penyair tampaknya ingin menciptakan suatu rima yang kemudian memunculkan irama tertentu melalui pemenggalan larik-larik tersebut. Dengan demikian, akan mendukung pula pada proses penciptaan makna dalam keseluruhan puisi.

Perbedaan tipografi selanjutnya dari kedua puisi adalah pada aspek ejaan. Penulisan larik-larik pada puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah diawali dengan huruf kapital, kecuali pada larik yang merupakan hasil pemenggalan. Penyair juga tampak konsisten mengakhiri setiap larik dengan tanda baca. Pada larik ke-1, ke-2, ke-4, dan ke-13, tanda seru

5 Ibid, h. 73.

68

berfungsi sebagai penegasan atau intonasi tinggi. Tanda seru ini seolah menjadi penegasan terhadap kompleksitas perasaan penyair yang menghanyutkannya dalam perjalanan bertemu Tuhan. Tanda titik yang digunakan oleh penyair untuk mengakhiri larik-lariknya menandakan bahwa larik tersebut merupakan satu pernyataan yang mengandung satuan makna. Tanda koma yang digunakan untuk merinci keriuhan batin penyair pada larik ke-5, ke-7, dan ke-9 menjadi penegas pula terhadap konsekuensi keinginannya yang memuncak untuk bertemu Tuhan. Sementara itu, puisi Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin secara keseluruhan tidak didahului dengan huruf kapital. Penggunaan huruf kapital hanya terdapat pada judul serta awal kata Bulan dan Khairan yang berarti menunjukkan nomina konkret. Penghilangan tanda baca ini memang sudah menjadi ciri khas dalam puisi-puisi Angkatan 70. Pelopornya tentu saja Sutardzi Calzoum Bachri. Puisi-puisinya, seperti Colonnes Sans Fin, Pot, Tragedi Winka & Sihka yang panjang dan penuh perulangan itu nyaris tanpa tanda baca atau hanya diberi pada larik terakhir. Hal yang sama juga dilakukan oleh Husni Djamaluddin dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan. Puisi tersebut ditulis dengan larik-larik panjang yang penuh perulangan, berderet tanpa koma, serta tanda baca lain yang mengakhiri setiap larik maupun pada larik akhir. Bentuk penyimpangan yang demikian sebenarnya tidak serta-merta dilakukan tanpa mempertimbangkan makna puisi. Penghilangan tanda baca tersebut akan memunculkan efek yang memberikan ambiguitas atau aliran pikiran yang tidak terkendali dari bawah sadar. Dengan demikian, pembaca pun akan terangsang untuk terus berkontemplasi terhadap larik-larik yang diucapkan secara berulang-ulang tersebut.

69

b) Diksi

Perihal penggunaan diksi pada kedua puisi, terdapat kekhasan yang menjadi kecenderungan masing-masing penyair. Pada puisi Hanyut Aku, Amir Hamzah cenderung menggunakan diksi-diksi liris yang turut membangun emosi pembaca. Untuk menggambarkan perjalanan spiritualnya, ia memilih frasa Hanyut Aku sebagai judul puisi juga larik ke-1 dan ke-2. “Hanyut” memiliki arti terbawa; terlalu asyik. Arti tersebut memperjelas situasi batin penyair yang sudah dipenuhi dengan hasrat kuat untuk bertemu dan bersatu dengan Tuhan. Ia terlalu asyik dan terlena oleh kesadaran spiritual yang akhirnya mencapai puncak tekanan. Pengalaman rasa yang menghanyutkan itu ternyata menimbulkan kesunyian bagi penyair. Untuk menyatakannya, penyair memilih diksi Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak pada larik ke-5 sampai ke-6. Pilihan kata tersebut mempertegas tentang bagaimana pengembaraan spiritual yang ditempuhnya itu telah membentuk ekstase mistik, yaitu puncak dari seluruh guncangan dan pengalaman batin. Dalam dunia tasawuf, berbagai guncangan batin yang dialami oleh seorang salik yang menempuh perjalanan menuju Tuhan memang menjadi suatu konsekuensi yang tidak terelakkan. Konsekuensi yang juga digaungkan oleh tasawuf tentang jenis hubungan penuh cinta kasih antara Tuhan dan manusia, yaitu ketika segenap diri dan nafsu-nafsu duniawi manusia telah sirna oleh jiwanya yang telah tersucikan kembali lebur (fana) dan tetap tinggal (baqa) di dalam Tuhan. Berbagai guncangan sebagai konsekuensi hubungan tersebut adalah puncak (ekstase) dari seluruh perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan.6

6 Haidar Baghir, Buku Saku Tasawuf, (Bandung: Arasy Mizan, Cetakan Ke-1, 2005), h. 84.

70

Berbeda dengan Amir Hamzah, penggunaan diksi pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan cenderung sederhana sebagaimana bahasa sehari-hari. Gaya pengungkapannya terkesan bercerita. Hal tersebut dapat diidentifikasi melalui penggunaan kata “Hikayat” pada judul yang menandakan bahwa isi puisi merupakan sebuah cerita antara Bulan dan Khairan. Kesederhanaan diksi penyair terlihat pada larik ke- 1 sampai 50. Pernyataan yang datar dan penuh perulangan cenderung mendorong pembaca untuk merenung tentang larik-lariknya. Dengan demikian, penyair berhasil menciptakan sebuah alur tentang bagaimana manusia menempuh perjalanan menuju Tuhan. c) Kata Konkret

Kata konkret dalam puisi Hanyut Aku terdapat pada kata kekasih. Kata yang muncul pada larik ke-1 dan ke-13 tersebut digunakan untuk menyebut objek yang membuatnya hanyut dalam kesadaran spiritual, yaitu Tuhan. “Kekasih” berarti seseorang yang dicintai; belahan jiwa. Pengkonkretan kata tersebut menandakan bagaimana hubungan Aku lirik dengan Tuhan sangat dekat. Lebih dari itu, arti “belahan jiwa” tentunya memunculkan kesan adanya upaya peleburan diri antara Aku lirik dengan Tuhan. Selanjutnya, kata-kata yang mengkonkretkan gagasan penyair terdapat pada larik ke-7 sampai 8, Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu, larik ke-9, Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam, dan larik ke- 10, Tenggelam dalam malam.

Pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, kata Bulan dan Khairan adalah pengkonkretan dari usaha manusia untuk bertemu dengan Tuhan. Dua kata itu mendominasi dalam puisi karena muncul hampir di setiap larik. Kata konkret lainnya terdapat pada larik ke-44, yaitu ranjang, larik ke-46 kutang, dan larik ke-50 jadi singa. Penggunaan kata-kata tersebut menunjukkan awal puncak kekhidmatan dan

71

keintiman dari usaha manusia dalam perjalanannya untuk bertemu Tuhan.

Berdasarkan identifikasi kata konkret di atas, dapat diketahui kecenderungan dari masing-masing penyair. Amir Hamzah cenderung memilih kata-kata liris yang menekankan pada aspek emosional. Pemahaman terhadap puisi yang demikian tentu sedikit sulit karena melibatkan emosi yang mendalam. Untuk itu, mengkaji puisi Amir memang diperlukan kepekaan rasa dan bahasa yang tinggi. Sementara itu, Husni Djamaluddin cenderung memilih kata-kata yang merujuk pada alam. Kata dalam puisinya sangat akrab dengan benda-benda yang ada di lingkungan sekitar. Dengan demikian, puisi Husni cenderung mudah untuk dipahami karena pemanfaatan kata yang sederhana dan pembaca dapat secara langsung mengasosiasikannya dengan alam sekitar. d) Imaji

Identifikasi kata konkret yang dilakukan sebelumnya secara lebih lanjut menghasilkan gambaran-gambaran dalam pikiran sehingga menjadi lebih nyata. Melalui imaji yang dipilih secara tepat, penyair berhasil melukiskan secara jelas, menciptakan suasana yang khusus, serta menyulap lebih hidup tentang apa yang ingin disampaikan. Tabel berikut adalah klasifikasi imaji yang digunakan oleh masing-masing penyair.

72

Tabel 1

Imaji Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah

Jenis Imaji Larik Keterangan

1 dan 2 Hanyut aku

6 tiada air menolak ngelak.

Imaji Visual 9 Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.

12 Bumi di bawah menolak ke atas.

13 Mati aku, kekasihku, mati aku!

4 Sunyi

Imaji Pendengaran 5 Tiada suara kasihan

8 ....diammu

Tabel 2

Imaji Puisi Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin

Jenis Imaji Larik Keterangan

1 di langit malam: Bulan

2 Memancarkan

Imaji Visual 4 Di kamarnya

5 Khairan menulis puisi

7 Mengintip

73

17 ....turun ke bumi

19 ....melangkah mendekat

21 ....memanjat dinding

23 ....mengetuk jendela

50 jadi singa

Imaji Pendengaran 4 dan 9 ....sunyi

34 ....membelai Imaji Perabaan 32 ....mengelus

Berdasarkan klasifikasi penggunaan imaji dalam kedua puisi di atas, dapat dilihat bahwa masing-masing penyair memiliki keunikan tersendiri untuk membangun pengalaman inderawi pembaca. Kekhasan puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah adalah nuansa yang liris. Liris selalu berkaitan dengan permainan emosi yang terkesan abstrak dan cenderung sulit dipahami. Namun, hal demikian mampu divisualisasi oleh penyair melalui pemilihan imaji yang tepat. Dengan demikian, penggunaan imaji ini, yang kemudian berkolaborasi dengan kata konkret, telah berhasil mengkonversi keabstrakan emosional menjadi lebih nyata dalam pikiran pembaca. Sementara itu, keunikan pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan adalah kata konkret yang mengacu pada benda alam diimajikan seolah hidup. Dalam hal ini, kata Bulan yang merupakan benda (mati) langit dibuat bergerak dan beraktivitas seperti manusia. Bentuk-bentuk pengimajian, khususnya imaji visual yang mendominasi dalam puisi itu kemudian ditegaskan dan diekspresikan melalui banyaknya penggunaan kata kerja. Hal

74

tersebut mendukung pada teknik naratif yang digunakan penyair sehingga terasa lebih hidup dan jelas bagi pembaca. e) Majas

Pembahasan tentang penggunaan majas oleh masing-masing penyair akan dibahasa pada subbab analisis semiotika Riffaterre. Pada subbab tersebut akan dibahas secara rinci tentang penggunaan majas dari masing-masing penyair serta maknanya. f) Versifikasi

Pada puisi Hanyut Aku, rima (persamaan bunyi) hadir pada setiap kata dalam larik. Artinya, antara satu kata dengan kata lain dalam larik memiliki persamaan bunyi huruf yang mampu menciptakan suatu irama. Pada larik pertama, bunyi [u] hadir pada setiap akhir kata, yaitu Hanyut, aku, dan kekasihku. Bunyi dan kata yang sama juga terdapat pada larik kedua, namun, tanpa kata kekasihku. Antara larik pertama dan kedua, penyair menjaga rima dengan pengulangan kata Hanyut dan aku. Bunyi [u] pada larik ketiga terdapat pada kata tanganmu dan aku. Bunyi dalam masing-masing kata tersebut dipisah oleh kata dengan bunyi yang tidak senada. Dalam hal ini, bunyi [u] pada kedua kata tidak saling berdekatan dan masing-masing didahului oleh kata Ulurkan dan tolong yang secara bunyi tidak memiliki kesamaan. Hal demikian menandakan bahwa penyair memberikan penekanan bunyi dalam larik melalui kata secara berselang. Berbeda dengan baris sebelumnya, kata-kata dalam larik keempat tidak memiliki persamaan bunyi. Namun, tampaknya penyair tetap menjaga bunyi [u] melalui pertautan antara akhir larik pertama dengan keempat, yaitu pada kata sekelilingku. Dengan demikian, larik pertama sampai keempat masih memiliki persamaan bunyi akhir.

75

Selanjutnya, rima yang tercipta pada larik kelima adalah bunyi [a], [i], dan [n]. Bunyi [a] terdapat pada kata Tiada dan suara, bunyi [i] pada kata angin, mendingin, dan hati yang masing-masing ditempatkan secara berdekatan sehingga tercipta kesejajaran bunyi. Selain itu, kata angin dan mendingin juga menciptakan bunyi [n] yang sama pada kata kasihan. Larik keenam memiliki pertautan bunyi dengan larik kelima, yaitu bunyi [a] pada kata tiada, sedangkan bunyi [e] serta kombinasi vokal dan konsonan [ak] pada kata menolak dan ngelak ditempatkan sejajar sehingga menciptakan bunyi yang sejajar pula. Pada larik ketujuh, bunyi yang hadir adalah [a] dan [n] pada kata Dahagakan dan hauskan, serta bunyi [u] pada kata kasihmu, bisikmu, yang kemudian dipertautkan dengan kata diammu pada akhir larik kedelapan.

Pada larik kesembilan, bunyi [e] hadir secara berselang, yaitu pada kata menyerkap, berlepas, dan tenggelam. Kemudian, bunyi pada larik kesepuluh hadir secara berjajar melalui kombinasi vokal [a] yang diapit oleh bunyi likuida [l] dan bunyi sengau [m], yaitu kata Tenggelam, dalam, dan malam. Kombinasi bunyi seperti ini menimbulkan suatu irama efoni yang kemudian mampu menciptakan bunyi merdu untuk mendukung suasana yang mesra dan memberi kesan bahagia. Pada larik kesebelas, bunyi [s] hadir pada kata di atas dan keras. Bunyi ini juga dijaga oleh penyair dengan pilihan kata yang berakhiran [s] pada kata ke atas di larik kedua belas. Terakhir, yaitu larik ketiga belas, bunyi [i] dan [u] hadir pada perulangan kata secara penuh, yaitu Mati aku, kekasihku, mati aku.

Perihal pengulangan kata, frasa, dan kalimat atau biasa disebut irama (ritme) dalam puisi Hanyut Aku, penyair tidak melakukannya secara keseluruhan larik. Pengulangan tersebut hanya dilakukan pada beberapa larik. Misalnya, frasa Hanyut aku pada larik pertama juga muncul pada larik kedua. Meskipun tanpa kata kekasihku, tekanan alunan pada larik kedua ini memiliki persamaan dengan larik pertama.

76

Selanjutnya, larik terakhir puisi, yaitu Mati aku, kekasihku, mati aku juga memiliki tekanan alunan yang sama dengan larik satu dan dua. Andai larik pertama dan kedua digabung menjadi satu larik Hanyut aku, kekasihku, hanyut aku, maka baik secara alunan maupun struktur larik akan sama dengan larik ketiga belas.

Pada puisi Hikayat Bulan Khairan, larik yang kehadirannya berderet-deret telah menciptakan kesamaan rima. Kesamaan tersebut secara dominan hadir pada larik yang secara tipografi berada di sebelah kanan. Bunyi yang hadir adalah huruf [i], yaitu pada kata puisi dan peduli. Secara berulang, kata peduli hadir sebanyak 15x, sedangkan kata puisi hadir sebanyak 4x. Meskipun jumlah kata puisi tergolong sedikit, namun kehadirannya mampu menjaga bunyi akhir larik yang secara tipografi berada di sebelah kanan. Sementara itu, rima pada larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri adalah bentuk intern pola bunyi berupa persamaan akhir [nya]. Bunyi ini tidak hadir dalam setiap larik, namun cukup mendominasi, yaitu sebanyak 8x. Berbeda dengan larik-larik yang secara tipografi terbagi menjadi dua, pada larik-larik akhir puisi yang membentuk bait justru tidak terikat oleh rima. Tidak ditemukan adanya persamaan bunyi, baik di awal maupun di akhir sehingga penulisannya cenderung bebas.

Selanjutnya, irama atau bentuk pengulangan kata pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan mencakup seluruh larik-larik yang secara tipografi terbagi menjadi dua bagian. Pada larik-larik bagian kiri, kata yang mengalami pengulangan adalah Bulan dan di langit, sedangkan pada larik-larik bagian kanan, kata yang mengalami pengulangan adalah Khairan, tidak, peduli, menulis, dan puisi.

Berdasarkan uraian rima di atas, terlihat bahwa penyair sama-sama menciptakan bunyi melalui huruf-huruf vokal. Pada puisi Hanyut Aku, bunyi vokal yang hadir adalah [a], [i], [u], dan [e]. Menurut Wahyudi,

77

bunyi yang berkaitan dengan huruf-huruf vokal ini dapat menciptakan efoni, yaitu suatu irama merdu yang menimbulkan perasaan lembut, mesra, khidmat, dan bahagia. Efoni tersebut semakin dipertegas dengan adanya kombinasi antara vokal [a], bunyi likuida [l], dan bunyi sengau [m] yang mendukung terciptanya perasaan bahagia. Sementara itu, bunyi vokal yang hadir pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan adalah [i]. Namun, suasana dan perasaan dalam puisi tampaknya diciptakan melalui kata-kata yang dihadirkan secara berulang. Efek dari perulangan kata ini tentunya dapat menimbulkan suasana magis. Suasana demikianlah yang terasa menonjol dalam puisi Husni Djamaluddin. Apalagi tekanan alunan setiap larik puisi terasa sama sebagai efek dari perulangan kata tersebut.

B. Analisis Semiotik Riffaterre 1. Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah a) Pembacaan Heuristik

Pada tahap ini, puisi akan dikonversi menjadi bahasa yang lebih natural. Artinya, pemaknaan bahasa dalam puisi disesuaikan dengan makna referensial yang didasarkan pada sistem dan konvensi bahasa. Tahap ini bertujuan mengonstruksi pemahaman terhadap puisi pada tingkat pertama berdasarkan makna secara bahasa sehingga membantu pada proses pemaknaan tingkat kedua (sastra).

Kata Hanyut pada judul di atas memiliki arti „terbawa oleh arus‟, „terbawa mengalir‟, dan „terlalu asyik‟, sedangkan Aku berarti „kata ganti orang pertama‟ atau menunjuk „diri sendiri‟. Jadi, judul puisi Hanyut Aku secara bahasa berarti seseorang yang terbawa oleh arus karena sesuatu hal atau seseorang yang terlalu asyik dengan sesuatu hal. Lebih lanjut, bahasa puisi akan dinaturalkan sebagai berikut:

”//Aku hanyut (oleh) (arus) (cinta), kekasihku! (Tuhanku)/ Aku hanyut (oleh) (arus) (cinta)/ (Aku) (butuh) ulur(an) tanganmu (yang)

78

(mampu) (membimbingku), tolong aku/ (Keadaan) (di) sekelilingku (sangat) sunyi/ Tidak (ada) suara (orang-orang) (yang) mengasihaniku, tidak (ada) (hembusan) angin (yang) (mampu) (menyejukkan) hati (ku), (dan) tidak (ada) air (yang) (mampu) menolak (mendorong) dan (me)ngelak (untuk) (membantuku) (keluar) (dari) (keadaan) (sunyi) (ini)/ (Aku) (hanya) (merasa) dahaga (oleh) kasih (cinta) mu (Tuhan), haus (oleh) bisikmu (petunjuk) (Tuhan), (sehingga) (hidupku) (akan) (mati) (karena) diammu (Tuhan)/ (Aku) (melihat) langit (yang) (terbentang) (luas) menyerkap (diriku) (dengan) (tiba-tiba), air (suci) (dan) (bersih) lepas (dari) (genggaman) tanganku, aku (pun) tenggelam/ Tenggelam dalam (suasana) malam (yang) (sunyi)/ Air (yang) (mengalir) (dari) atas menindih (tubuhku) (dengan) keras/ (sementara) (tanah) bumi di bawah menolak (naik) ke atas (untuk) (aku) (pijak)/ Aku mati, kekasihku (Tuhanku), aku mati!//”

Berdasarkan hasil konversi di atas, secara keseluruhan, puisi Hanyut Aku dapat dibaca dengan metode pembacaan heuristik sebagai berikut. Seorang (Aku lirik) terbawa oleh arus yang sangat deras sambil memanggil kekasihnya. Tanda seru yang mengakhiri larik pertama dan kedua berfungsi sebagai seruan serta menandakan adanya emosi yang kuat.7 Pada konteks puisi, seruan itu ditujukan kepada kekasih „aku lirik‟. Tanda seru tersebut juga sekaligus menegaskan bahwa kegentingan kondisi „aku lirik‟ yang terbawa arus itu sangat emosional. Pada kondisi demikian, „aku lirik‟ meminta bantuan berupa uluran tangan kekasihnya karena tidak ada satu orang pun di sekitarnya. Tidak ada suara orang-orang, tidak ada angin yang berhembus, bahkan air pun enggan mengeluarkan gelombangnya untuk menyelamatkan „aku lirik‟ dari arus yang menghanyutkan. „Aku lirik‟ benar-benar hanya membutuhkan suara belas kasih dari kekasihnya. Rasa cinta „aku lirik‟ sangatlah kuat sehingga diam kekasihnya itu

7 Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), h. 51.

79

mampu membunuh dirinya. Kondisi „aku lirik‟ yang dihanyutkan dan dimabukkan oleh rasa cinta kepada kekasihnya itu memang menimbulkan emosi yang kuat seperti langit yang secara tiba-tiba mengurung dirinya dan air yang tidak mampu digenggam oleh tangan. Semua emosi itu menenggelamkan „aku lirik‟ dalam kesunyian malam. Tenggelam dalam kesunyian malam digambarkan „aku lirik‟ seperti air yang terus menghujani dirinya dari atas sehingga kakinya tidak lagi mampu menginjak tanah di bumi karena seluruh badannya sudah mengambang. Semua hal tersebut bagi „aku lirik‟ terasa mematikan. b) Pembacaan Hermeneutik (Ekspresi Tidak Langsung)

Pembacaan heuristik di atas baru pada tahap menghasilkan arti puisi berdasarkan konvensi bahasa sehingga perlu dilakukan penggalian makna melalui metode pembacaan hermeneutik. Tahap ini akan menguraikan interpretasi makna puisi berdasarkan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh penyair, meliputi penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.

(1) Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Penggantian arti dalam konteks puisi adalah kata-kata yang memiliki arti lain atau biasa disebut dengan kata kiasan. Menurut Riffaterre, penggantian arti ini disebabkan oleh penggunaan metafora. Dalam puisi Hanyut Aku, kata yang mengalami penggantian arti adalah kekasih. Kata tersebut merupakan metafora yang berarti Tuhan. Kata kekasih yang secara bahasa memiliki arti orang yang dicinta atau belahan jiwa, mengkiaskan pula tentang bagaimana hubungan antara „aku lirik‟ dengan Tuhan terjalin sangat erat. Bahkan, arti tersebut secara lebih lanjut memunculkan kesan tentang upaya „aku lirik‟ untuk menyatukan jiwa dengan Tuhan. Dengan demikian, pemilihan kata kekasih sebagai metafora untuk menyebut Tuhan adalah simbol dari perasaan cinta „aku

80

lirik‟ yang begitu besar sehingga ia menganggap Tuhan sebagai kekasihnya.

Terkait dengan penggunaan diksi kekasih ini, ada interpretasi lain yang mengartikan diksi tersebut sebagai kekasih dunia (manusia/perempuan). Dalam konteks ini, NH. Dini menyebut kata kekasih dalam puisi Hanyut Aku ditujukan kepada Ilik Sundari, yaitu perempuan yang pernah menjadi kekasih Amir Hamzah selama di Solo. Ia mengatakan bahwa diksi tersebut merupakan bentuk komunikasi penyair dengan orang yang dicinta dan disayangi. Penyair selalu berusaha berbicara dalam bahasa kekasihnya atau setidaknya menyelinapkan beberapa kata karena bisa lebih mendekatkan perasaan mereka. Lebih lanjut NH. Dini mengatakan bahwa tidak masalah jika ada yang mengartikan diksi tersebut sebagai Tuhan atau bentuk komunikasi penyair dengan Tuhan karena hal demikian bersifat tafsiran pribadi terhadap suatu karya sastra. Ia meninjau bahwa kebanyakan puisi Amir Hamzah berisi perkataan Kekasih (dengan huruf awal kapital) atau sebutan Mu. Dua panggilan yang seringkali digunakan penyair untuk menyapa Tuhan, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu. Tuhan adalah Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan oleh karena itu, Tuhan adalah cinta itu sendiri.8

Setelah meninjau buku kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah, penulis menemukan bahwa semua kata kekasih dalam puisi-puisinya ditulis tanpa awalan kapital. Puisi-puisinya yang mempergunakan kata kekasih, yaitu Padamu Jua; Hanya Satu; Permainanmu; Doa; Hanyut Aku; Taman Dunia; Terbuka Bunga; Memuji Dikau; Didalam Kelam; dan Ibuku Dehulu. Baik kata mu, kau, dan kekasih tidak ditulis dengan awalan kapital.

8 NH. Dini Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, (Jakarta: PT Gaya Favorit Press, Cet. 2, 2011), h. 104.

81

Penulisan huruf kapital hanya ditulis pada awal kalimat. Dalam hal ini, penulis memiliki interpretasi yang berbeda dalam mengartikan kata kekasih dalam puisi Hanyut Aku sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dan akan diperkuat lagi dalam analisis selanjutnya.

Selanjutnya, kata yang mengalami penggantian arti adalah aku yang terdapat pada judul Hanyut Aku serta larik pertama dan kedua. Aku dalam konteks puisi bukan mengacu pada keseluruhan diri seseorang secara fisik, melainkan bagian tertentu yang ada dalam diri „aku‟, yaitu perasaan atau jiwa. Penggantian arti pada kata aku tersebut merupakan bentuk penggunaan majas sinekdoke, yaitu totem pro parte yang berarti sebutan nama secara keseluruhan sebagai pengganti nama bagiannya. Kata aku yang secara bahasa berarti keseluruhan diri, ternyata mengalami transformasi dalam puisi menjadi gaya ungkapan untuk menyebut bagian tertentu dari dalam diri seseorang, yaitu perasaan/jiwa. Dengan demikian, objek yang hanyut atau terbawa arus itu bukanlah keseluruhan aku secara fisik, melainkan perasaan atau jiwanya yang dihanyutkan oleh rasa cinta kepada „kekasih‟.

Pada larik ketiga, bentuk metafora Ulurkan tanganmu memiliki arti permohonan bantuan. Arus cinta „aku lirik‟ yang begitu deras memang memiliki tekanan emosi yang tidak terbendung sehingga menghanyutkan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, „aku lirik‟ mengharapkan bantuan dari kekasihnya (Tuhan) yang menjadi objek dari perasaan cintanya. Bentuk metafora selanjutnya terdapat pada larik 5 Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati sampai larik 6 tiada air menolak ngelak yang menjadi rincian dari rasa sunyi yang dialami oleh „aku lirik‟. Bentuk-bentuk metafora tersebut juga sekaligus menjadi penegas dari larik 4 Sunyinya sekelilingku! yang menggambarkan perasaan sunyi „aku lirik‟

82

sebagai konsekuensi dari perasaan cinta yang begitu besar kepada Tuhan. Dalam konsepsi tasawuf, perasaan demikian memang menjadi tahap yang hampir pasti dialami oleh seseorang yang menempuh jalan menuju Tuhan. Tahap tersebut dikenal dengan istilah fatrah, yaitu tahap atau cobaan paling berat ketika seorang sufi merasa ditinggalkan atau berada jauh dengan Tuhan. Fatrah adalah masa-masa ketidaksinambungan seorang sufi dengan Tuhan. Momen ini menjadi momen paling genting dan menyakitkan karena Tuhan yang ia cintai telah meninggalkannya. Namun, ketika tahap ini mampu dilalui, dengan berpijak pada pengalaman Ibn „Arabi, perjalanan tasawuf seseorang akan memperoleh banyak anugerah dan kemudahan.9

Larik ke-7 Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu menandakan krisis atau kekosongan perasaan „aku lirik‟ sebagai seseorang yang mencintai sehingga selalu membutuhkan isi berupa kasih (sayang) dari Tuhan. Penggunaan hiperbola tersebut berfungsi untuk menyangatkan, mengintensifkan, serta mengekspresikan sesuatu yang dibutuhkan „aku lirik‟. Pada umumnya, ketika seseorang merasakan cinta yang sangat dalam, maka hal yang paling dibutuhkan dan diharapkan adalah balasan cinta dan kasih sayang serupa dari orang yang dicintai. Apalagi jika cinta yang terjalin itu terjadi antara manusia dengan Tuhan. Sementara itu, frasa bentuk hiperbola mati aku yang kemudian berkorelasi dengan larik ke-8 sebabkan diammu menjadi penegas terhadap bentuk hiperbola larik sebelumnya. Kesan „menyangatkan‟ dari ungkapan tersebut menjadi rambu-urgensi terhadap perasaan „aku lirik‟ yang sangat membutuhkan dan mengharapkan balasan/respons dari kekasihnya.

9 Muhammad Al-Fayyald, Teologi Negatif Ibn „Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LkiS, 2012), h. 43.

83

Penggantian arti juga terdapat pada larik ke-9 Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam. Frasa bentuk personifikasi Langit menyerkap menandakan seolah-olah seluruh alam menyerang „aku lirik‟ secara tiba-tiba. Sementara frasa bentuk metafora air berlepas tangan menandakan adanya sesuatu yang tidak terbendung sehingga membanjiri perasaan „aku lirik‟. Hal-hal demikian yang terjadi pada „aku lirik‟ pada akhirnya menenggelamkan perasaannya sebagaimana tergambar pada frasa bentuk hiperbola aku tenggelam. Frasa tersebut menyiratkan makna bahwa „aku lirik‟ sudah masuk dan melebur dalam perasaannya. Ungkapan dalam larik ke-9 adalah bentuk dari tekanan-tekanan emosi yang dihasilkan oleh rasa cinta „aku lirik‟ kepada Tuhan. Dengan kata lain, larik ke-9 ini merupakan bentuk intensitas dan nuansa dari rasa cinta manusia yang begitu kuat ketika hendak melakukan perjalanan untuk bersatu dengan Tuhan.

Pada larik ke-10, bentuk hiperbola Tenggelam dalam malam menjadi penegas dari larik sebelumnya yang menyiratkan peleburan jiwa dengan rasa cinta „aku lirik‟ kepada Tuhan. Kata Tenggelam menyiratkan makna tentang kondisi yang sudah melebur atau menyatu, sedangkan kata malam memberi kesan sunyi dan khusyuk. Dua kata tersebut bersekutu menciptakan suasana hening dan khusyuk yang kemudian mampu menggugah perasaan „aku lirik‟ dalam perjalanannya untuk melebur dengan Tuhan. Berangkat dari kepercayaan umum, kesunyian yang dimunculkan oleh malam hari memang menjadi waktu dan kondisi yang tepat bagi seseorang untuk mendapatkan hasil dari kegiatan atau ritual yang sedang dilakukan. Dengan demikian, dalam konteks puisi, kata „malam‟ memang telah membentuk korelasi yang tepat dengan upaya „aku lirik‟ untuk melakukan peleburan jiwa dengan Tuhan. Kondisi tenggelamnya perasaan „aku lirik‟

84

semakin dipertegas pada larik ke-11 Air diatas menindih keras dan larik ke-12 Bumi dibawah menolak keatas. Bentuk personifikasi pada larik ke-11 menyiratkan makna tentang perasaan „aku lirik‟ yang terus dibanjiri oleh rasa cinta yang kuat. Keadaan itu membuatnya benar-benar tenggelam hingga terasa melambung karena tidak ada lagi yang bisa dipijak atau ditopang sebagaimana tersirat dalam bentuk personifikasi larik ke-12.

(2) Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)

Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas adalah kata yang mempunyai tafsir ganda. Dalam puisi Hanyut Aku, ambiguitas terdapat pada larik ke-7, yaitu kata bisikmu. Kata tersebut sebenarnya memiliki beberapa makna, yaitu suara seseorang, seruan, dan petunjuk. Namun, untuk memperoleh keutuhan makna puisi, maka dari beberapa makna kata bisikmu tersebut dapat ditentukan mana yang lebih tepat jika dikorelasikan dengan tema puisi secara keseluruhan. Makna „petunjuk‟ lebih tepat dikorelasikan dengan tema puisi yang mengkiaskan perjalanan manusia (aku lirik) menuju Tuhan melalui rasa cinta yang sangat kuat. Dalam perjalanan spiritual itu, tentu manusia sangat mengharapkan petunjuk atau ilham dari Tuhan untuk menuntunnya agar tidak tersesat atau hilang arah.

Kontradiksi adalah sesuatu yang dinyatakan secara berlawanan berupa paradoks atau ironi. Meskipun sesuatu itu dinyatakan secara berlawanan, tetapi jika direnungkan lebih dalam akan menemukan kebenaran. Dalam puisi, dinarasikan bahwa „aku lirik‟ memiliki cinta yang sangat kuat kepada Tuhan. Rasa cinta yang kuat itu tersirat pada larik pertama Hanyut aku, kekasihku! Namun, hal tersebut justru membuat „aku lirik‟ berada dalam tekanan-tekanan

85

emosi yang tidak tertahankan dan terkesan menyakitkan, seperti tersirat pada penggalan larik ke-7 sampai 8 mati aku sebabkan diammu, larik ke-9 Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam, larik ke-11 Air diatas menindih keras, dan larik ke-12 Bumi dibawah menolak keatas. Hal demikian jika direnungkan memang benar. Setiap manusia yang menempuh aktivitas spiritual pasti memiliki tekanan dan nuansa rohani yang berbeda. Ada yang mengalir tenang dan khusyuk, ada pula yang merasa bergejolak sebagai konsekuensi dari kompleksitas perasaannya selama menempuh perjalanan untuk melebur dengan Tuhan. Abdul Hadi W. M. menyebutkan bahwa karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, bahkan juga Setanggi Timur merupakan dokumentasi pencarian dan perjalanan kerohanian Amir Hamzah menuju Yang Satu. Ia adalah suluk mengarungi „tujuh lembah‟ Attar (Mantiq at-Tayr). Dalam perjalanan itu, penyair seringkali mengalami godaan, konflik, dan sebagainya yang dapat mengguncangkan perasaannya.10 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa puisi Hanyut Aku ini adalah bentuk upaya penyair untuk menggambarkan pengalaman spiritualnya yang ternyata menimbulkan tensi kuat dan bergejolak sehingga terasa hanyut, bahkan mematikan.

(3) Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Penciptaan arti dalam teori Riffaterre dapat ditelaah melalui empat aspek, yaitu pola persajakan, tipografi, enjambemen, dan homologue. Pada puisi Hanyut Aku, penciptaan arti yang tampak menonjol adalah aspek enjambemen dan homologue. Enjambemen adalah perloncatan larik yang berfungsi memberi penekanan makna dan membentuk pola persajakan. Larik yang mengalami

10 Abdul Hadi W.M., “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu”, dalam Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair, (Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 1996), h. 141.

86

perloncatan dalam puisi Hanyut Aku terdapat pada larik ke-5 Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, yang kemudian dilanjutkan pada larik ke-6 tiada air menolak ngelak. Kedua larik yang mengalami enjambemen ini memberi penekanan terhadap makna kesunyian yang dirasakan oleh „aku lirik‟ sebagaimana disebutkan pada larik ke-4 Sunyinya sekelilingku!

Enjambemen juga terdapat pada larik ke-7 Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku yang dilanjutkan pada larik ke-8 sebabkan diammu. Kata kasihmu, bisikmu, aku, dan diammu memiliki pola rima yang sama, yaitu [u]. Jadi, larik ke-8 yang merupakan hasil enjambemen dari larik ke-7 berfungsi untuk menekankan pola persajakan akhir kedua larik sehingga menciptakan persamaan bunyi [u]. Penekanan tersebut terdapat pada akhir kata setiap larik, yaitu kata aku pada larik ke-7 dan kata diammu pada larik ke-8. Selain membentuk pola persajakan, larik yang mengandung enjambemen ini secara tidak langsung memberi penekanan makna terhadap kata kekasihku. Meskipun kata kekasihku merupakan metafora untuk menyebut Tuhan, bisa saja di sisi lain makna yang muncul adalah kekasih dunia (manusia) karena huruf awal tidak ditulis kapital. Namun, ternyata penyair mengunci ketaksaan makna tersebut dengan melakukan penekanan pada larik yang mengalami enjambemen ini. Akhir larik ke-7 mati aku yang kemudian dilompatkan pada larik ke-8 sebabkan diammu memberi penegasan makna bahwa kekasih „aku lirik‟ tersebut adalah Tuhan. Jika konteks kata kekasih di sini adalah manusia, tidak mungkin sampai membuat „aku lirik‟ mati hanya karena diamnya. Sebaliknya, pengabaian (diam) dari Tuhan justru menjadi celaka bagi manusia.

87

Homologue adalah persejajaran larik-larik yang menyiratkan kesejajaran arti. Homologue ini sebenarnya umum terjadi pada puisi lama, seperti pantun karena secara tipografi terdiri atas bait- bait. Dalam puisi Hanyut Aku, larik ke-1 dan ke-2 berhomologue dengan larik ke-13. Larik 1 Hanyut aku, kekasihku! jika digabung dengan larik ke-2 Hanyut aku! akan memiliki kesejajaran bentuk seperti larik ke-13 Mati aku, kekasihku, mati aku! Kesejajaran bentuk ini meliputi kesamaan irama (ritme) dan struktur larik. Sementara itu, dari segi makna, kedua larik tersebut saling menyiratkan kesejajaran. Keadaan hanyut yang merupakan akibat dari arus deras, pada kondisi yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang mati. Dalam konteks puisi, keadaan hanyut „aku lirik‟ menandakan gejolak perasaan cinta yang kuat sehingga terasa seolah mematikan. Tentu ini bukan berarti cinta kepada Tuhan adalah hal yang menyakitkan, tetapi hanyut dan mati tersebut menjadi simbol dari nuansa dan intensitas pengalaman spiritual penyair yang sangat bergejolak. c) Model, Varian, dan Matriks.

Model merupakan aktualisasi tahap pertama dari matriks yang menjadi konsep abstrak dalam teks. Matriks tidak muncul dalam teks karena bersifat abstrak sehingga perlu diaktualisasikan dan dibatasi oleh model. Ciri utamanya adalah bersifat puitis. Model dalam puisi Hanyut Aku terdapat pada larik ke-1 Hanyut Aku, kekasihku! Selain bersifat puitis dan monumental, larik tersebut menjadi sumber dari timbulnya peristiwa-peristiwa rohani yang dirasakan oleh „aku lirik‟. Rasa cinta dan rindu yang kuat (hanyut) kepada Tuhan (kekasih) ternyata menimbulkan gejolak-gejolak yang kuat pula pada perasaan „aku lirik‟. Larik yang menjadi model tersebut ekuivalen dengan larik ke-13 puisi, yaitu Mati aku, kekasihku, mati aku! Larik ini menggambarkan keadaan „aku lirik‟ yang seolah hampir mati. Jadi,

88

rasa cinta dan rindu ilahi yang kuat (menghanyutkan) itu bagi „aku lirik‟ terasa mematikan.

Model Hanyut aku, kekasihku! kemudian diekspansi ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi. Menurut teori Riffaterre, matriks senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang ditentukan oleh model sebagai aktualisasi pertama matriks.11 Jadi, dapat dikatakan bahwa varian adalah bentuk-bentuk perluasan dari model dalam puisi. Varian-varian dalam puisi Hanyut Aku terwujud dalam larik ke-4 dan larik ke-10. Larik ke-4 Sunyinya sekelilingku! adalah gambaran perasaan sunyi yang dialami oleh „aku lirik‟. Rasa cinta dan rindu yang kuat, sebagaimana tergambar dalam larik ke-1 yang menjadi model dalam puisi ternyata membawanya pada keadaan dan suasana yang sunyi. Varian pertama ini divisualisasikan pada larik ke-5 Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, yang dilanjutkan pada larik ke-6 tiada air menolak ngelak. Kedua larik tersebut menjadi bentuk sekaligus penegas dari peristiwa-peristiwa yang dialami „aku lirik‟ ketika merasakan kesunyian.

Larik ke-10 Tenggelam dalam malam adalah puncak dari perasaan „aku lirik‟. Malam menjadi puncak dari kesunyian dan sering dikonotasikan sebagai suatu kekhidmatan atau kekhusyukan. Dengan demikian, larik tersebut menggambarkan tentang „aku lirik‟ yang sudah masuk pada keadaan khusyuk dengan perasaan cinta dan rindunya kepada kekasih. Varian kedua ini divisualisasikan pada larik ke-9 Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam, larik ke- 11 Air diatas menindih keras, dan larik ke-12 Bumi dibawah menolak keatas. Larik-larik tersebut adalah perwujudan dari perasaan „aku lirik‟ yang seolah tenggelam.

11 Rina Ratih, Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2016), h. 7.

89

Setelah diketahui model dan varian-variannya, maka matriks dapat diidentifikasi. Matriks dalam puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah membangun citra hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan tersebut terjalin atas dasar cinta dan kerinduan yang begitu kuat. Perasaan yang kuat itu kemudian menjadi gambaran dari perjalanan spiritual manusia sebagai upaya untuk melebur dengan Tuhan. Pada keadaan tertentu, pengalaman spiritual dapat menyebabkan gejolak-gejolak rohani yang tidak tertahankan sebagai akibat dari kompleksitas perasaan. Hal tersebut menandakan bahwa setiap manusia yang melakukan aktivitas spiritual memiliki tekenan dan nuansa yang berbeda. Puisi Hanyut Aku ini memperlihatkan pengalaman spiritual manusia dengan nuansa dan tekanan yang kuat sehingga terasa seolah mematikan.

d) Hipogram

Aspek penting yang perlu diperhatikan dalam memaknai puisi adalah hipogram. Hipogram merupakan pijakan atau landasan yang menjadi latar bagi penciptaan karya yang baru. Aspek ini mungkin saja dipatuhi, namun bisa juga dikesampingkan oleh penyair. Dalam teori semiotika Riffaterre, hipogram terbagi menjadi dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah inti puisi (matriks) yang dapat berupa satu kata, frasa, atau kalimat sederhana. Jadi, perwujudan hipogram potensial ini bukan dari keseluruhan teks karya sastra sebelumnya, tetapi berupa sebuah ide, konsep, atau gagasan yang kemudian dikembangkan menjadi karya baru. Sementara itu, hipogram aktual dapat berupa teks nyata, kata, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks. Perwujudannya adalah dari teks yang ada sebelumnya. Baik berupa mitos, maupun karya sastra lainnya.12

12 Ibid., h. 7-8.

90

Puisi Hanyut Aku menekankan perasaan cinta dan rindu Ilahi yang begitu kuat. Perasaan itu terabstraksikan dalam kata kekasihku yang sekaligus menjadi metafora untuk menyebut Tuhan. Melalui perasaan tersebut, tampak bahwa puisi Amir Hamzah ini tergolong pada puisi sufistik yang mentransformasikan konsep tentang cinta Ilahi. Artinya, konsep tentang cinta Ilahi ini merupakan hipogram potensial yang diabstrasikan dalam puisi. Pada umumnya, karya-karya sufi selalu memiliki tema yang sama, yaitu cinta atau „isyq. Tema ini selalu diungkap oleh mereka sejak dulu hingga masa paling akhir, yaitu sejak Rabi‟ah al-Adawiyyah pada abad ke-8 sampai Muhammad Iqbal pada abad ke-20. Cinta dipilih menjadi tema utama karena merupakan peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting dalam ilmu tasawuf. Menurut para penyair sufi, hanya cinta yang dapat membawa seorang salik (orang yang menempuh jalan tasawuf) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi. Cinta (mahabbah atau „isyq) dalam estetika sufi memiliki makna luas dan bersegi-segi. Ia bukan cinta dalam arti yang lazim, tetapi merupakan suatu keadaan ruhani yang mampu membawa seseorang mencapai suatu jenis pengetahuan yang sangat penting, yaitu pengetahuan ketuhanan. Cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa, seperti uns (kehampiran), syawq (kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati), dan lain-lain.13

Kata kekasih yang dipilih oleh penyair dapat pula diasosiasikan dengan ciri syair seorang sufi terkenal dari Melayu, yaitu Hamzah Fansuri. Disebutkan bahwa salah satu ciri yang menonjol dari karya- karyanya adalah struktur batin yang merupakan ungkapan perasaan fana, cinta ilahi, kemabukan mistik, pengalaman batin yang diperolehnya dalam melakukan perjalanan keruhanian atau pengetahuannya tentang ilmu tasawuf yang didapat melalui ilham dan

13 Abdul Hadi W. M., Tasawuf yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 35.

91

kasyf (tersingkapnya mata batin). Puisi-puisi Hamzah Fansuri banyak menggunakan tamsil khas terutama yang berkenaan dengan kekasih, perjalanan, lautan, malam, dan lain-lain.14 Dalam hal ini, Abdul Hadi menegaskan bahwa Amir Hamzah memang banyak menggunakan ungkapan simbolik yang menjadi ciri dari karya-karya sufi Hamzah Fansuri, seperti faqir, anak dagang, anak hulubalang, sedangkan Amir mengadopsi dalam puisinya yang lain menjadi musafir lata.15 Pengadopsian ini sangat mungkin terjadi karena keduanya sama-sama berasal dari Melayu, meskipun dengan rentang masa kepenyairan yang relatif jauh. Melayu, khususnya Sumatra memang menjadi wilayah dengan pusat penyebaran ajaran tasawuf terbesar di Nusantara, dan Hamzah Fansuri menjadi tokoh penting di dalamnya. Amir Hamzah sendiri merupakan pengikut jamaah tarekat Naqsabandiyah yang pusat persebarannya berada di Babussalam Langkat. Ia kemudian diangkat menjadi mursyid, yaitu seseorang (guru) yang ahli dalam membimbing aktivitas spiritual dalam ranah tasawuf.16 Dengan demikian, kepenyairannya banyak berpijak pada gagasan-gagasan sufi yang bertapak kuat di daerah Langkat.

Berdasarkan uraian hipogram potensial dan fakta latar belakang yang mendukungnya, maka dapat dikatakan bahwa penyair memang telah menempuh jalan sufisme atau biasa disebut dengan suluk untuk menuju Tuhan, terlebih ia adalah seorang mursyid. Aktivitas tersebut yang kemudian mewarnai kebanyakan karyanya karena ia mencoba menuangkan pengalaman-pengalaman spiritual yang menimbulkan beragam nuansa dalam rohaninya. Hal terpenting dari pentransformasian konsep tasawuf dalam puisi Hanyut Aku adalah

14 Ibid., h. 205. 15 Abdul Hadi W. M., “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu”, dalam Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair, Op.Cit., h. 140. 16 Muhammad Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin, “Tengku Amir Hamzah: Wira Dunia Melayu Bersenjatakan Pena”, Makalah disampaikan pada Seminar Tengku Amir Hamzah di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 2016, h. 3.

92

penggunaan kata kekasih yang memang tergolong baru pada masa kepenyairan Amir Hamzah, yaitu Pujangga Baru. Masa ini menjadi awal kebangkitan napas-napas keislaman dalam perkembangan sejarah kesusastraan di Indonesia.

2. Puisi Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin a) Pembacaan Heuristik

Pada tahap ini, puisi akan dikonversi menjadi bahasa yang lebih natural. Artinya, pemaknaan bahasa dalam puisi disesuaikan dengan makna referensial yang didasarkan pada sistem dan konvensi bahasa. Tahap ini bertujuan mengonstruksi pemahaman terhadap puisi pada tingkat pertama berdasarkan arti secara bahasa sehingga membantu pada proses pemaknaan tingkat kedua (sastra).

Secara bahasa, kata Hikayat pada judul puisi di atas memiliki arti karya sastra lama berbentuk prosa yang berisi cerita. Disebut berbentuk prosa karena tidak terikat dengan aturan-aturan puisi. Arti kata pada judul tersebut terlihat dalam bentuk puisi secara visual yang tidak terikat oleh bait demi bait. Apalagi bentuk puisi yang terdiri atas larik-larik panjang dan bersifat naratif semakin mempertegas arti dari judul. Bulan berarti benda langit yang bersinar pada malam hari, namun, bisa juga menunjukkan sebuah nama. Sementara itu, Khairan menunjukkan nama dari seseorang. Jadi, judul puisi Hikayat Bulan dan Khairan secara bahasa berarti cerita atau kisah tentang Bulan dan Khairan. Lebih lanjut, bahasa puisi akan dinaturalkan sebagai berikut.

(Larik 1-16)

di langit malam: Bulan memancarkan cintanya kepada Khairan Khairan tidak peduli di kamarnya yang sunyi Khairan menulis puisi lewat celah jendela Bulan mengintip Khairan

93

Khairan tidak peduli di kamarnya yang sunyi Khairan menulis puisi di langit Bulan gelisah Khairan tidak peduli di langit Bulan sepi Khairan tidak peduli di langit Bulan rindu

Khairan tidak peduli

“//di langit malam (ada) Bulan/ (yang) (sedang) memancarkan (cahaya) cinta kepada Khairan/ (tapi) Khairan tidak peduli/ di kamarnya yang (terasa) sunyi/ Khairan (sedang) (sibuk) menulis puisi/ Bulan mengintip Khairan lewat celah jendela/ (tapi) Khairan tidak peduli/ (masih) di kamarnya yang (terasa) sunyi/ Khairan (sibuk) menulis puisi/ Bulan (merasa) gelisah di langit (malam)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan (merasa) (ke)sepi(an) di langit (malam)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan merindukan Khairan (dari) langit (malam)/ (tapi) Khairan tidak peduli//”

(Larik 17-29)

maka Bulan turun ke bumi Khairan tidak peduli Bulan melangkah mendekat Khairan tidak peduli Bulan memanjat dinding Khairan tidak peduli Bulan mengetuk jendela Khairan tetap saja menulis puisi pelan-pelan Bulan menguak jendela Khairan tidak peduli Bulan nekad memasuki kamarnya Khairan tidak peduli

“//maka Bulan (pun) turun ke bumi/ (tapi) Khairan tidak peduli/ (dengan) (perlahan) Bulan melangkah mendekat(i) (Khairan)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan memanjat dinding (kamar) (Khairan)/

94

(tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan mengetuk jendela (kamar) (Khairan)/ (tapi) Khairan tetap saja/ (sibuk) menulis puisi/ (lalu) pelan- pelan Bulan (membuka) jendela/ (tapi) Khairan tidak peduli/ (akhirnya) Bulan nekad memasuki kamar (Khairan)/ (tapi) Khairan tidak peduli//”

(Larik 30-50)

Bulan menggamit bahunya Khairan tidak peduli Bulan mengelus lehernya Khairan tidak peduli Bulan membelai pipinya Khairan tidak peduli Bulan mencium bibirnya Khairan tidak peduli Bulan mengecup bibirnya Khairan tidak bisa lagi tidak peduli Bulan rebah di pangkuannya Khairan tidak lagi menulis puisi Bulan memegang tangannya Khairan membiarkan Bulan menuntunnya ke ranjang Khairan tidak keberatan Bulan buka kutang Khairan mulai gemetaran Bulan buka paha Khairan segera

jadi singa

“//Bulan menggamit bahu (Khiaran)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan mengelus (dengan) (lembut) leher (Khairan)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan membelai (mesra) pipi (Khairan)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan mencium dahi (Khairan)/ (tapi) Khairan tidak peduli/ Bulan mengecup (kuat) bibir (Khairan)/ (kali) (ini) Khairan tidak bisa lagi (untuk) tidak peduli/ Bulan (berbaring) di pangkuan (Khairan)/ Khairan tidak lagi (sibuk) menulis puisi/ Bulan memegang tangan (Khairan)/ Khairan (tidak) (melarang)/ Bulan menuntun (Khairan) (menuju) ranjang/ Khairan (menuruti) (Bulan)/ Bulan

95

(mem)buka kutang(nya)/ Khairan (mulai) (merasa) gemetaran/ Bulan (memperlihatkan) paha(nya) (kepada) (Khairan)/ (saat) (itu) (juga) Khairan menjadi ganas (seperti) singa (yang) (siap) (menyerang) (mangsa) (di depannya)//”

(Larik 51-58)

syahdan ketika Bulan dan Khairan tuntas di puncak malam sebuah puisi tiba di ujung baitnya

Bulan pun kembali ke langit malam memancarkan cintanya

ke mana-mana

“//(lalu)/ ketika Bulan dan Khairan/ (saling) menuntaskan (birahi) di (ujung) malam/ sebuah puisi (yang) (ditulis) (oleh) (Khairan) (sampai) di ujung baitnya (selesai)/ Bulan pun kembali ke langit malam/ (dan) memancarkan (cahaya) cintanya/ (ke seluruh) (bumi)//”

Berdasarkan hasil konversi di atas, secara keseluruhan, puisi Hikayat Bulan dan Khairan dapat dibaca dengan metode pembacaan hereustik sebagai berikut. Pada malam hari, Bulan muncul di langit untuk memancarkan cahayanya. Tanda titik dua sebelum kata Bulan berfungsi sebagai pernyataan tentang keberadaan/kemunculan Bulan pada malam itu. Huruf kapital yang mengawali kata Bulan secara bahasa menunjukkan unsur sebuah nama. Artinya, Bulan dalam konteks puisi bukan sekadar benda langit, melainkan sebuah tokoh yang memiliki sifat seperti manusia. Ternyata kemunculan Bulan pada malam tersebut untuk memancarkan cahaya sebagai bentuk cintanya kepada Khairan. Namun, Khairan tidak menghiraukan hal itu karena sedang sibuk menulis puisi di kamarnya yang begitu sunyi. Melihat ketidakpedulian Khairan tersebut, Bulan yang berada di langit malam

96

merasa gelisah dan kesepian karena sangat merindukan Khairan. Namun, ia masih tidak peduli. Akhirnya Bulan turun dari langit. Berbagai cara ia lakukan untuk mendapat perhatian Khairan, seperti melangkah mendekat, memanjat dinding kamar, mengetuk jendela kamar, dan memasuki kamarnya. Bahkan, usaha pendekatan itu dilakukan dengan cara yang mesra, seperti memegang bahu, mengelus leher, membelai pipi, dan mencium dahi Khairan layaknya sepasang kekasih yang dimabuk perasaan cinta. Namun, Khairan belum tergoda. Bulan semakin agresif dan vulgar dengan mengecup bibir Khairan, duduk di pangkuannya, memegang tanggan sambil membawanya ke ranjang, membuka kutang, dan memperlihatkan pahanya kepada Khairan. Ia pun goyah dan menuruti semua perlakuan Bulan. Sampai akhirnya Khairan seperti singa yang dikuasai nafsu untuk menyerang mangsa di hadapannya. Keduanya saling menuntaskan birahi hingga ujung malam. Di saat yang bersamaan, puisi Khairan selesai ditulis. Bulan kembali ke langit dan memancarkan cahaya ke seluruh bumi sebagai tanda kepuasannya. b) Pembacaan Hermeneutik (Ekspresi Tidak Langsung)

Pembacaan heuristik di atas baru pada tahap menghasilkan arti puisi berdasarkan konvensi bahasa sehingga perlu dilakukan penggalian makna melalui metode pembacaan hermeneutik. Tahap ini akan menguraikan interpretasi makna puisi berdasarkan ketidaklangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh penyair, meliputi penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.

(1) Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Penggantian arti dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan terdapat pada kata Bulan. Kata Bulan yang dalam puisi dinarasikan turun menghampiri Khairan, bukan lagi diartikan sebagai benda langit yang muncul saat malam, melainkan sebuah simbol dari

97

Cahaya Tuhan. Pemaknaan “Cahaya” diambil dari visual bulan yang memang terlihat bersinar di malam hari sebagai pantulan dari cahaya matahari. Sementara itu, dimaknai “Tuhan” karena posisi bulan yang berada jauh di atas manusia. Hal tersebut bukan berarti bahwa Tuhan menempati ruang atau berposisi, namun merujuk pada sifat Maha Kuasa-Nya. Artinya, Kuasa Tuhan jauh di atas kuasa manusia.

Nuansa ketuhanan dalam puisi diperkuat lagi melalui kata langit dan malam yang memberi kesan sunyi. Bulan, langit, dan malam adalah persekutuan kata dalam menciptakan suatu keheningan yang menembus relung jagat alam. Keheningan dan kesunyian yang dipancari oleh Cahaya Tuhan inilah yang menggugah kesendirian Khairan sehingga mencapai pada suatu kekhidmatan.

Selanjutnya, kata yang mengalami penggantian arti adalah Khairan. Selain menunjukkan nama, Khairan adalah kata dari bahasa Arab yang berarti „kebaikan‟. Asal katanya adalah khair yang berarti „baik‟ atau „yang baik‟. Dengan demikian, kata Khairan menunjukkan nama yang memiliki arti kebaikan. Tidak terbatas pada nama, arti „kebaikan‟ tersebut juga mengkonotasikan perilaku dari pemiliknya. Nama Khairan mencerminkan tentang kehidupan seseorang yang diisi dengan aktivitas-aktivitas kebaikan yang berorientasi pada Tuhan. Jadi, tidak heran jika dalam puisi dinarasikan Bulan (Cahaya Tuhan) turun menghampiri Khairan (hamba). Alasannya adalah arti nama tersebut yang mencerminkan aktivitas kebaikan pemiliknya sehingga disenangi Tuhan. Maka, Cahaya Tuhan pun datang bagi hamba yang dikehendaki-Nya.

98

Penggantian arti selanjutnya terdapat pada frasa menulis puisi. Bentuk metafor ini mengkonotasikan ibadah yang dilakukan oleh Khairan secara khusyuk demi mendekatkan diri dengan Tuhan. Pengkonotasian ini berangkat dari aktivitas menulis puisi yang tentunya butuh perenungan panjang dan kematangan ide sehingga dapat tersusun dengan baik. Terlebih puisi disusun bukan dengan bahasa sehari-sehari, melainkan dengan pemilihan kata-kata yang bersifat puitis dan dapat mewakili semua unsur pembangunnya. Semua aktivitas menulis puisi yang berorientasi pada penghayatan intens dari penulisnya mengkonotasikan pula tentang bagaimana seorang hamba berusaha semaksimal mungkin untuk mengkhusyukkan diri dalam beribadah. Tujuannya tentu berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dengan demikian, dalam konteks puisi, frasa menulis puisi sebagai bentuk aktivitas yang disibukkan oleh Khairan adalah metafor dari kekhusyukan ibadahnya untuk memperoleh Cahaya Tuhan.

Pada larik ke-49 Khairan segera yang dilanjutkan dengan larik ke-50 jadi singa juga mengalami penggantian arti. Singa menjadi lambang dari kebuasan dan nafsu yang tinggi. Sifat-sifat itu akan terlihat ketika singa melihat mangsa di hadapannya. Dalam konteks puisi, Khairan segera jadi singa mengkonotasikan nafsu yang memuncak untuk menjalin keintiman dengan Bulan. Artinya, proses ibadah yang dilakukan Khairan dengan khusyuk itu telah mencapai pada keintiman sehingga memperoleh Cahaya Tuhan. Keintiman itu kemudian dipertegas pada larik-larik berikut.

ketika Bulan dan Khairan tuntas di puncak malam sebuah puisi tiba di ujung baitnya

99

Larik-larik di atas menandakan bahwa antara Bulan dan Khairan telah melebur dalam birahi mereka. Nafsu ibadah Khairan yang tinggi pada akhirnya mampu mengantarkannya pada keadaan bersatu dengan Cahaya Tuhan. Frasa puncak malam menjadi inti dari ibadah Khairan. Sementara itu, larik sebuah puisi tiba di ujung baitnya adalah metafora dari keberhasilan ibadah Khairan dalam memperoleh Cahaya Tuhan.

(2) Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)

Penyimpangan arti pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan meliputi ambiguitas dan kontradiksi. Ambiguitas dalam puisi terdapat pada larik-larik berikut.

Bulan buka kutang Khairan mulai gemetaran Bulan buka paha Khairan segera jadi singa

Ambiguitas yang dimunculkan dalam larik-larik puisi Hikayat Bulan dan Khairan di atas adalah kutang dan paha siapa yang dibuka oleh Bulan? Apakah kutang dan paha Bulan? atau Khairan? Struktur dari kedua larik yang tidak mengandung kata ganti milik/kepunyaan “nya” sebagaimana yang terdapat pada larik-larik sebelumnya menyebabkan munculnya pemahaman yang ambigu. Penentuan terkait kepemilikan tersebut dapat ditelaah melalui nama tokoh Khairan. Nama yang berasal dari bahasa Arab ini menunjuk kepada „laki-laki‟ karena tidak diakhiri dengan huruf ta Dalam bahasa Arab, huruf ta marbuthoh berfungsi .( ﺓ ) marbuthoh sebagai penanda isim muannas (jenis perempuan) sehingga kata yang tidak mengandung huruf tersebut dikategorikan isim muzakkar (jenis laki-laki). Dengan demikian, kutang dan paha yang dibuka itu bukanlah milik Khairan karena ia adalah laki-laki.

100

Namun, perlu ditegaskan bahwa tidak berarti bahwa kutang dan paha itu milik Bulan yang secara metafora berarti Cahaya Tuhan. Hal tersebut dapat menimbulkan kesesatan berpikir yang mengkategorikan Tuhan sebagai perempuan.

Dalam puisi, kutang dan paha adalah bentuk metafora yang diartikan sebagai hijab/tabir yang membatasi antara Tuhan dengan manusia. Hijab/tabir ini umum dikenal sebagai tajalli dalam ranah spiritualitas, khususnya bagi orang-orang yang menempuh jalan spiritual untuk bertemu dengan Tuhan. Tajalli merupakan barang yang dibukakan bagi hati seseorang tentang Nur (Cahaya) dari ghoib.17 Tentunya hanya kehendak Tuhan yang mampu menentukan kepada siapa saja pembatas tersebut dibuka. Tampaknya pemilihan kata kutang dan penyair oleh penyair didasarkan pada posisi keduanya yang disembunyikan karena bersifat privat sehingga tidak diperlihatkan secara sembarang. Begitu juga dengan tajalli yang menjadi tahap sekaligus tujuan inti dari perjalanan spiritual penempuhnya. Jadi, pengintegrasian unsur-unsur badani ini bukan lah kategori dari unsur pornografi, melainkan bagian dari tahapan dalam konsep tasawuf tentang hijab/tabir yang menjadi penghalang antara manusia dengan Tuhan.

Kontradiksi dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan dapat diidentifikasi pada larik-larik yang secara tipografi terbagi menjadi dua posisi. Pada larik-larik tersebut dinarasikan bahwa Bulan yang diartikan sebagai Cahaya Tuhan melakukan berbagai usaha untuk mendekati Khairan, namun selalu mendapatkan pengabaian. Padahal Khairan sedang dalam usaha untuk bertemu dengan Tuhan, yaitu melakukan ibadah dengan khusyuk. Hal demikian tentu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin seorang

17 Badrudin, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Serang: A-Empat, Cetakan Pertama, 2015), h. 48.

101

hamba yang menempuh perjalanan spiritual dengan tujuan bertemu dengan Tuhan, justru mengabaikan-Nya. Namun, karena bentuk pengabaian Khairan adalah menulis puisi, maka sebenarnya ia sedang pada tahap memantapkan kualitas ibadahnya sehingga mampu memastikan bahwa yang menghampirinya itu benar Cahaya Tuhan. Dengan demikian, ketika hijab pembatas terbuka, barulah ia merasa yakin dan Cahaya Tuhan pun melebur dalam dirinya.

(3) Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, penyair tampaknya juga menciptakan keutuhan makna melalui tatanan larik atau biasa disebut tipografi. Penciptaan makna melalui tipografi ini telah diuraikan pada subbab analisis unsur puisi. Namun, analisis yang dilakukan masih dari segi penggunaan ejaan. Pada subbab ini, analisis tipografi akan didasarkan pada segi visual, lalu dikaitkan dengan makna puisi yang sudah diidentifikasi sebelumnya.

Visual puisi yang terdiri atas larik-larik panjang dan berulang mencirikan jenis puisi lama, yaitu mantra. Hal tersebut tentu menimbulkan irama yang berulang pula sehingga terasa seperti memiliki efek magis atau kekuatan gaib. Hasil dari mantra akan terlihat setelah kalimat-kalimat berulang itu diucapkan oleh seseorang. Cara kerja mantra demikian yang kemudian diadopsi oleh penyair dalam puisinya. Larik-larik yang secara tipografi terdiri atas dua bagian menyiratkan makna tentang proses atau usaha ibadah yang dilakukan oleh Khairan untuk bertemu dengan Cahaya Tuhan. Sementara itu, larik-larik yang ditulis padat dan membentuk bait pada bagian akhir puisi menyiratkan makna tentang hasil yang diperoleh oleh Khairan setelah melakukan serangkaian ibadah khusyuk, yaitu bertemu dengan Cahaya Tuhan.

102

Proses pertemuan antara Khairan dan Bulan berlangsung dengan tenang dan hening. Suasana demikian ditunjukkan oleh penyair melalui huruf-huruf yang dari awal sampai akhir puisi tidak ditulis kapital, kecuali pada kata Bulan dan Khairan. Teknik penulisan demikian mencerminkan suasana kesederhanaan dan ketenangan.

Penciptaan arti puisi juga dapat ditelaah melalui larik-larik yang secara tipografi terdiri atas dua bagian. Posisi sebelah kanan yang di dalamnya terdapat kata Bulan berada lebih tinggi dari posisi larik sebelah kiri yang di dalamnya terdapat kata Khairan. Pemosisian ini menunjukkan kedudukan antara keduanya. Bulan yang bermakna Cahaya Tuhan tentu memiliki kekuasaan atas seluruh alam, termasuk manusia. Sementara itu, Khairan yang berkedudukan sebagai hamba, berada jauh di bawah kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, meskipun puisi tersebut mengandung makna tentang bersatunya Tuhan dengan manusia, namun penyair tetap memandang bahwa Tuhan di atas segalanya. c) Model, Varian, dan Matriks

Model dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan terdapat pada larik Khairan menulis puisi. Penentuan larik tersebut sebagai model adalah sifat puitisnya dan merupakan bentuk metafora yang berarti suatu aktivitas spiritual berupa ibadah khusyuk dan penuh perenungan untuk bertemu dan bersatu dengan Tuhan. Selain karena bersifat puitis, segala bentuk peristiwa yang dialami oleh Khairan bersumber dari keinginannya tersebut. Larik yang menjadi model tersebut ekuivalen dengan larik Khairan tidak peduli. Larik ini bukan semata-mata bentuk ketidakacuhan, melainkan penegas dari kekhusyukkan ibadah Khairan. Jadi, ketika seorang hamba (Khairan) menjalani aktivitas ibadah dengan penuh perenungan yang mendalam dan panjang (menulis puisi), maka ia akan mengeluarkan seluruh fokusnya

103

sehingga mengabaikan (tidak peduli) keragu-raguan sebelum memperoleh kebenaran.

Model Khairan menulis puisi kemudian diekspansi ke dalam wujud varian-varian yang menyebar ke seluruh puisi. Varian-varian dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan terwujud dalam larik-larik berikut.

di langit malam: Bulan memancarkan cintanya kepada Khairan

Larik yang menjadi varian pertama tersebut merupakan bentuk rasa cinta dari Tuhan (Bulan) kepada Khairan. Pancaran cinta yang diberikan oleh Tuhan bukan tanpa alasan. Hal tersebut bersumber dari aktivitas ibadah yang dilakukan oleh Khairan dengan tujuan bertemu dan bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan memancarkan cahaya cinta-Nya adalah bentuk perluasan dari model Khairan menulis puisi. Varian pertama ini divisualisasikan pada larik-larik yang secara tipografi berada di sebelah kiri, yaitu ketika Bulan digambarkan melakukan aktivitas seperti manusia sebagai bentuk pendekatan kepada Khairan yang sedang beribadah khusyuk. Pendekatan tersebut menjadi penegas dari rasa cinta Tuhan kepada Khairan yang menjadi simbol dari „kebaikan‟ sesuai dengan arti namanya. Varian selanjutnya terwujud dalam larik-larik berikut.

Bulan buka kutang Khairan mulai gemetaran Bulan buka paha Khairan segera jadi singa

Larik-larik yang menjadi varian kedua tersebut menggambarkan puncak ibadah yang dilakukan oleh Khairan. Ibadah yang awalnya mengundang cahaya dan cinta dari Tuhan, secara lebih lanjut mampu membuka dinding-dinding pembatas hati (buka kutang dan buka paha)

104

manusia dengan Tuhan. Hal demikian tentu menimbulkan suatu keadaan bersatunya manusia dengan Tuhan sebagaimana divisualisasikan dalam larik-larik puisi berikut.

syahdan ketika Bulan dan Khairan tuntas di puncak malam sebuah puisi tiba di ujung baitnya

Setelah model dan varian-varian puisi teridentifikasi, barulah dapat diketahui matriks yang mendasarinya. Matriks dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan membangun citra hubungan antara manusia dengan Tuhan yang sudah mencapai tahap ekstase mistis. Tahap ini yang kemudian membuka peluang bersatunya manusia dengan Tuhan atas dasar cinta yang kuat. Cinta kepada Tuhan, kekhusyukkan beribadah, serta kesadaran bertauhid menjadi ciri insan kamil yang diejawantahkan dalam diri seorang Khairan. Hal tersebut yang mengundang Cahaya Tuhan (Nur Ilahi) untuk menghampirinya. Dengan demikian, selain memperlihatkan suatu fenomena spiritual tentang bersatunya Tuhan dengan manusia, puisi ini juga sekaligus memperlihatkan tentang bagaimana ciri insan kamil yang melekat dalam diri seorang hamba itu telah menjadi suatu kemutlakan untuk mencapai fenomena spiritual tersebut. d) Hipogram

Puisi Hikayat Bulan dan Khairan menggambarkan tentang bersatunya manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini, penyair tampaknya mengabstraksikan salah satu paham dalam tasawuf, yaitu wahdah al- wujud. Paham yang dalam sejarah perkembangannya cukup kontroversial ini merupakan salah satu aliran dalam tasawuf yang titik pikir utamanya adalah tentang kesatuan wujud. Artinya, satu-satunya yang ada (wujud) di alam ini hanyalah Tuhan. Dengan kata lain,

105

keseluruhan wujud alam ini sebenarnya berasal dari Wujud Yang Satu, yaitu Tuhan. Tuhan mengejawantahkan (bertajalli) Diri-Nya dalam alam semesta.

Perlu ditekankan untuk menghindari kesesatan berpikir bahwa konsep ini bukan berarti menyamakan Tuhan dengan alam. Kata „kesatuan‟ dalam pengertian konsep wahdah al-wujud bukan diartikan sebagai „kesamaan‟ atau „kemiripan‟, melainkan harus diartikan dan dipahami sebagai „ketidak-terpisahan‟ atau „keterpautan‟. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa seluruh yang ada di alam semesta (khususnya manusia) tidak berada secara terpisah dengan Tuhan. Alam ini adalah bagian yang berpartisipasi dalam wujud Tuhan. Oleh karena wujud Tuhan mengejawantahkan Diri-Nya ke dalam alam, maka pada hakikatnya Tuhan mengandung dua dimensi, yaitu transenden (batiniah) dan imanen (lahiriah). Tuhan mengejawantahkan Diri-Nya ke dalam keseluruhan alam berarti alam mengandung sifat batiniah Tuhan atau dalam kata lain Tuhan bersifat transenden. Sebaliknya, oleh karena keseluruhan alam ini adalah wujud Tuhan, artinya Tuhan bersifat lahiriah atau dengan kata lain Tuhan bersifat imanen.

C. Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin

Analisis semiotik Riffaterre, khususnya pada uraian hipogram, telah membuktikan bahwa kedua puisi sama-sama mengandung isu religius yang secara spesifik bercorak tasawuf. Lebih lanjut corak tasawuf dari masing- masing puisi memperlihatkan suatu konsep ketuhanan yang mengarah pada paham wahdah al-wujud. Dalam konteks ini, kedua puisi merupakan perwujudan dari sastra sufistik, yang oleh Abdul Hadi W. M. didefinisikan sebagai karya sastra yang mampu memaparkan pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, serta persatuan mistikal dengan Yang Transenden

106

(Tuhan).18 Pengalaman yang demikian itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis. Pengalaman-pengalaman tersebut terartikulasi dalam kedua puisi dengan penekanan yang berbeda, khususnya pada aspek dimensi Tuhan. Dengan demikian, di samping memiliki persamaan, keduanya juga memperlihatkan perbedaan pandangan tentang ketuhanan. Perbedaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah, sebagaimana telah disebutkan pada analisis hipogram, lebih menekankan pada aspek cinta ilahi dalam perjalanannya bertemu dengan Tuhan. Cinta yang kuat ini merupakan kesadaran murni dan panggilan rohani penyair yang tentunya mendasari seluruh pengalaman spiritualnya untuk bertemu Tuhan. Apalagi cinta juga menjadi dasar bagi aktivitas spiritual yang bercorak tasawuf. Penyair benar- benar terlalu asyik dengan cintanya kepada Tuhan sehingga membuatnya hanyut, sebagaimana diungkapkan dalam puisinya, Hanyut aku, kekasihku! Ia bahkan menyebut Tuhan sebagai kekasihnya untuk memperlihatkan keakraban dan kemesraannya. Sebutan ini juga sekaligus menyiratkan bahwa keasyikan penyair dengan rasa cinta itu telah membawanya pada keadaan menyatu dan melebur dengan Tuhan. Bagi penyair, Tuhan adalah titik tuju utama hidupnya. Apapun tentang-Nya selalu bertransformasi menjadi kerinduan yang penting untuk dicapai, seperti diungkapkan oleh penyair, Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu,...

Dalam pandang sufi, cinta menjadi faktor utama yang mendorong Tuhan untuk mengejawantahkan Diri-Nya. Cinta adalah rahasia sekaligus sebab penciptaan alam semesta. Dari sini dapat dipahami bahwa Tuhan meniupkan cinta kepada manusia sehingga dalam diri mereka terkandung sifat-sifat Tuhan. Oleh karena Tuhan meniupkan Cinta-Nya, maka atas dasar cinta pula manusia terpanggil untuk bertemu dengan-Nya. Lebih lanjut, cinta kepada Tuhan atau cinta mistikal mewujudkan kesatuan hakiki di antara pencinta,

18 Abdul Hadi W. M., Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 23.

107

Yang Dicinta (Kekasih), dan cinta. Cinta mistikal dapat menyebabkan perasaan bersatu dengan Tuhan serta membentuk pengetahuan tentang hakikat cinta. Pada tahap inilah kaitan antara cinta dengan Wujud Tuhan. Dengan demikian, aspek cinta yang ditekankan oleh penyair adalah bagian dari paham wahdah al-wujud karena puisinya mengandung konsep cinta sebagaimana yang telah disebutkan.

Cinta yang mendorong perasaan bersatu dengan Tuhan ternyata menimbulkan gejolak kuat bagi penyair sehingga terasa menyakitkan, bahkan mematikan. Penyair mengungkapkan rasa sakit itu seperti Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam. Rasa sakit lain yang mematikan diungkapkan sebagai Air di atas menindih keras, Bumi di bawah menolak ke atas, Mati aku, kekasihku, mati aku! Kembali pada pandangan sufi, cinta kepada Tuhan memang bisa saja menimbulkan gejolak yang demikian. Pengejawantahan Tuhan adalah hal yang menyakitkan bagi manusia karena menimbulkan jarak-pisah secara eksistensial. Dengan kata lain, manusia sebenarnya berada jauh dengan Tuhan secara eksistensial. Tuhan bersifat rohani, sedangkan manusia bersifat jasmani dan rohani. Oleh karena adanya jarak-pisah tersebut, maka manusia terpanggil secara rohani untuk menyatu kembali dengan Tuhan. Jarak tersebut juga menjelaskan bahwa manusia dan Tuhan adalah dua entitas berbeda. Pandangan ini yang kemudian menjadi titik fokus dalam puisi Hanyut Aku. Meskipun penyair menyuarakan konsep kesatuan wujud dengan Tuhan melalui aspek cinta, namun tetap memperlihatkan dualitas antara dirinya dengan Tuhan. Hal Ini berarti bahwa penyair memandang sekaligus menekankan kesatuan wujud dengan Tuhan dari segi transenden-Nya. Tuhan adalah transenden, yang oleh sebab itu penyair masih merasakan jarak antara dirinya dengan Tuhan. Apalagi puisi ini juga merupakan pengalaman penyair dalam pencarian mistis yang ternyata menemui kesakitan sehingga menjadi konsekuensi atas munculnya jarak tersebut.

108

Masa kepenyairan Amir Hamzah, yaitu Pujangga Baru, adalah masa perkembangan dalam Puisi Indonesia Modern. Masa ini memperlihatkan bentuk sastra yang merupakan hasil dari persentuhan dengan tradisi sastra Barat. Perubahan dan gelaja yang terlihat dari persentuhan ini tidak hanya mencakup struktur, melainkan proses perubahan dalam tema, sikap, dan visi kepengarangan yang tentunya dapat terlihat melalui struktur tersebut. Pada puisi-puisi Pujangga Baru, kemerdekaan bukan lagi diungkapkan sebagai cita- cita bersama, melainkan sebuah pernyataan yang paling dalam dari sebuah pribadi. Namun, ternyata hal tersebut mengimplikasikan ketidakberdayaan. Emosi yang paling dalam dari sebuah pribadi sampai kepada kekhusukan dan akhirnya luluh bersama Yang Maha Merdeka.

Amir Hamzah berdiri sebagai penyair yang tetap mempertahankan ketimuran dalam puisi-puisinya. Namun, di sisi lain ia memperlihatkan corak baru melalui pemilihan diksi yang emotif, pengimajian yang kuat, serta penjelajahan rima yang sempurna. Pemertahanan budaya sekaligus sumbangan baru dalam dunia kesusastraan yang dilakukan oleh Amir Hamzah adalah konsekuensi dari perkembangan kejiwaan suatu bangsa yang bangki kesadaran kemerdekaannya. Masa kepenyairaannya dibarengi dengan perkembangan manusia modern yang perlahan mulai keluar dari kungkungan kultur lama dan memasuki kultur baru yang banyak disentuh oleh Barat. Maka, berbagai ketegangan sebagai konsekuensi dari peralihan zaman tersebut tidak terelakkan. Di samping itu, ia harus dihadapkan pada kisah cinta yang selalu menemui kegagalan serta nasib yang sepenuhnya diatur oleh keluarganya.

Ketegangan zaman, negara, percintaan, dan nasib kehidupan tersebut membuat Amir Hamzah sadar akan sesuatu yang mampu mengatasi segalanya. Tuhan adalah tujuan akhir setelah menghadapi berbagai tegangan yang tentunya meriuhkan batinnya. Ia mulai berpaling untuk melakukan perjalanan menuju Tuhan. Dari sinilah puisi-puisinya, khususnya yang terkumpul dalam buku Nyanyi Sunyi, mulai memperlihatkan corak religius. Nyanyi Sunyi adalah kumpulan puisi yang secara intens merekam pencarian mistikalnya. Dalam

109

pencarian mistikal itu, tidak jarang ia menghadapi gejolak rohani yang pedih dan menyakitkan. Semua itu dituliskannya dengan penuh penghayatan sehingga menghasilkan diksi yang emotif. Salah satunya dituangkan dalam puisi Hanyut Aku. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa masa kepenyairan Amir Hamzah bukan saja memperlihatkan manusia-manusia baru sebagai akibat dari peralihan zaman, tetapi sekaligus awal dari kemunculan corak religius dalam perkembangan puisi Indonesia modern.

Berbeda dengan puisi Amir Hamzah, konsep wahdah al-wujud dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin diartikulasikan dengan sangat intens. Puisi ini memperlihatkan secara konkret tentang bersatunya manusia (Khairan) dengan Tuhan. Penyair secara lugas menganalogikan Tuhan sebagai Bulan, yaitu sesuatu yang tampak oleh indra penglihatan. Tuhan adalah imanen yang bersemayam dalam seluruh alam melalui cinta, sebagaimana diungkapkan dalam larik di langit malam: Bulan / memancarkan cintanya kepada Khairan. Khairan sendiri merupakan bagian dari alam. Dalam hal ini, Khairan merupakan pengejawantahan Tuhan karena dalam dirinya terkandung sifat-sifat-Nya. Imanen Tuhan diartikulasikan lebih intens lagi pada larik maka Bulan turun ke bumi. Larik ini mengartikulasikan tentang bagaimana Tuhan hadir dan terlibat dalam kehidupan Khairan melalui imanensinya. Selanjutnya, segi imanensi Tuhan digambarkan dengan melangkah, memanjat, mengetuk, menguak, memasuki, menggamit, mengelus, membelai, mencium, mengecup, rebah, memegang, menuntun, buka paha, dan buka kutang. Penggambaran konkret ini memperlihatkan bagaimana Tuhan bermain-main dengan Khairan. Sekali lagi, diksi-diksi tersebut mengartikulasikan tentang kehadiran dan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan Khairan. Oleh karena Khairan adalah bagian dari alam, maka dapat dikatakan bahwa Tuhan hadir dan terlibat dalam alam.

Pernyataan lain yang mengartikulasikan bahwa Tuhan meliputi segala alam diungkapkan pada larik-larik Bulan pun kembali ke langit malam / memancarkan cintanya / ke mana-mana. Cinta adalah salah satu sifat Tuhan

110

yang menjadi dasar dan penyebab penciptaan alam. Atas dasar cinta pula Tuhan mengejawantahan Diri-Nya dalam alam semesta. Diksi ke mana-mana menunjuk ke segala tempat, yang berarti merujuk pada keseluruhan alam. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa dalam keseluruhan alam ini tidak berada terpisah dengan Tuhan, dan Tuhan meliputi segala alam merupakan bukti pengejawantahan Diri-Nya.

Dalam puisi, Khairan menjadi objek penting bagi pengejawantahan Tuhan. Hal tersebut tidak lepas dari nama Khairan yang berarti „kebaikan‟. Maka, Tuhan memilih Khairan sebagai pengejawantahan-Nya karena kebaikan yang ada dalam dirinya. Tentu tidak sembarang manusia bisa merasakan kesatuan dengan Tuhan. Dalam pandangan Ibn „Arabi, yaitu tokoh utama paham wahdah al-wujud, insan kamil merupakan cermin bersih yang menjadi tempat paling sempurna untuk memancarkan sifat-sifat Tuhan. Dalam dirinya, terpancar sifat-sifat Tuhan secara menyeluruh. Insan kamil disebut juga sebagai „biji mata Tuhan‟ karena Tuhan dapat melihat Diri-Nya dengan jelas. Ciri insan kamil ini dapat diasosiasikan kepada Khairan sebagai manusia sempurna yang mampu membuka tabir penghalang untuk bersatu dengan Tuhan.

Penelaahan konsep ketuhanan dalam puisi Husni di atas sebenarnya sekaligus memperlihatkan tentang kemampuan penyair dalam menangkap realitas insaniah, khususnya dalam sebuah dunia ilahiah. Dimensi-dimensi Tuhan yang ditangkap melalui matanya sangat jelas terasa. Mata-mata Husni bergerak ritmis bertengger di berbagai realitas insaniah dan ilahiah. Dalam paham sufisme, mata pada hakikatnya terdiri atas dua macam, yaitu indrawi (zahir) dan batin. Mata indrawi adalah mata yang hanya menjangkau alam atau disebut alam kasat mata, sedangkan mata batin adalah sebuah alam malakut (malaikat). Oleh karena itu, manusia yang mampu mensinergikan kedua mata itu dengan baik untuk semakin dekat dengan Tuhan sebagai upaya penghambaan secara total, maka ia akan berpotensi menjadi insan kamil, yaitu manusia yang di dalamnya teradapat ruh dan wahyu ilahi. Selain itu,

111

kemampuan Husni dalam menangkap kedua hakikat realitas tersebut adalah bagian dari sebuah persinggungan positif antara dua kosmos, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam teori kosmos, manusia dianggap sebagai mikrokosmos, sedangkan alam semesta merupakan makrokosmos. Manusia dianggap sebagai ringkasan alam semesta. Meski demikian, sesungguhnya manusia merupakan sebab awal dan akhir dari alam semesta. Maka yang terpenting adalah terdapatnya wilayah transenden dalam diri manusia. Orang yang mengenal dirinya, niscaya mampu mengenali Tuhannya. Itu merupakan suatu keharusan bagi pencinta untuk terus dicintai. Sesungguhnya dalam diri manusia juga ada Tuhan yang kadang memang lalai untuk disadari keberadaannya.19 Dengan demikian, melalui puisi-puisinya, khususnya puisi Hikayat Bulan dan Khairan yang memang sangat intens mengartikulasikan gagasan filosofis tentang ketuhanan, Husni hendak menegaskan bahwa pada hakikatnya dalam diri manusia terdapat dimensi- dimensi Tuhan. Mengenali diri menjadi proses mutlak yang harus dilakukan. Mencari jejak Tuhan dalam diri akan mampu menjadikan manusia sebagai pencinta sejati.

Pengartikulasian yang begitu intens tentang ketuhanan tentunya tidak lepas dari pengaruh masa kepenyairan dan latar budaya penyair. Dekade 70-an adalah masa yang subur bagi perkembangan puisi Indonesia. Tahun ini menjadi gerakan bagi para penyair untuk kembali ke akar atau kembali ke sumber. Gerakan ini mengembalikan puisi ke asalnya, yaitu mantra sebagai warisan budaya mistik sejak dulu. Namun, mantra dalam penyair tahun 70-an bukanlah ungkapan tradisional untuk menyihir, melainkan bagaimana menghasilkan kata-kata yang menyarankan kebaruan dengan cara tersendiri. Mantra merupakan puisi yang menjadikan kekuatan batin sebagai unsur pokoknya. Cirinya bernuansa mistis yang menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

19 Idwar Anwar, “Jejak Tuhan di Mata Puisi Husni Djamaluddin”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. 2, 2004), h. 120.

112

Dekade 70 perpuisian Indonesia sebagai gerakan kembali ke sumber telah berhasil melahirkan sebuah diskursus yang dikenal dengan sebutan „sastra sufistik‟. Ditegaskan pula oleh Abdul Hadi W.M. (1999:21) bahwa sejak awal, semangat dan pandangan dunia yang melatari kemunculannya mempunyai pertalian dengan tasawuf dan sastra sufi. Sejak awal pula para pendukungnya menjadikan tasawuf dan karya para penulis sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya mereka. Di antara penulis sufi yang memberi ilham mereka ialah Rabi‟ah al-Adawiyah, Mansur al-Hallaj, Fariduddin „Attar, Ibn „Arabi, Jalaluddin Rumi, Hafiz, Sa‟di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal.20 Sejalan dengan itu, Pradopo juga menyatakan bahwa puisi bergaya mantra, yang menjadi ciri khas dalam dekade 70 berkembang ke arah puisi mistik, yang di Indonesia dikenal dengan nama puisi sufistik, yaitu puisi bernafaskan sufistik atau mistik Islam yang mengikuti pandangan ketuhanan para tokoh sufi.21 Jadi, mantra sebagai tujuan para penyair untuk kembali ke akar adalah bentuk upaya mereka untuk lebih menghayati hubungan dengan Tuhan. Tidak heran jika pada tahun ini artikulasi-artikulasi filosofis tentang ketuhanan dalam puisi tampak begitu intens. Sebab, motto yang digaungkan menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Faktor lain yang memperkuat pengartikulasian ketuhanan, khususnya paham wahdah al-wujud tidak lepas dari kondisi budaya di Sulawesi, khususnya etnis Mandar yang menjadi latar geografis penyair. Mandar merupakan etnis yang hidup berdampingan dengan Bugis, Makassar, dan Toraja. Jauh sebelum Islam masuk, etnis Mandar telah menganut sistem kepercayaan terhadap kekuatan alam. Roh, dewa, dan benda-benda alam yang diyakini memiliki kekuatan menjadi dasar bagi kepercayaan mereka. Awal mula munculnya kepercayaan yang di maksudkan, adalah didasarkan pada rasio tentang kehidupan di atas dunia dengan kejadian-kejadiannya yang dihubungkan kepada persoalan gaib, kemudian menyimpulkan pengertian

20 Abdul Hadi W. M., Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Op.Cit., h. 21. 21 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 49.

113

bahwa pada alam terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia, baik suka maupun duka. Oleh karena itu, untuk menghindari nasib buruk, masyarakat Mandar melakukan berbagai ritual pemujaan, baik yang bersifat fisik maupun persembahan sesajen.

Sistem kepercayaan sebagaimana tersebut di atas mulai hilang setelah Islam masuk ke wilayah Mandar pada abad ke-17. Sejak itu, masyarakat menganut suatu konsep kepercayaan tauhid yang landasi iman dan taqwa. Islam menjadi bagian prinsipil dalam aspek kehidupan sehingga menyatu dalam stuktur sosial dan budaya mereka. Hal ini ditandai pula dengan berkembanganya ajaran tasawuf oleh ulama yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Tahir atau dikenal dengan Imam Lapeo. Berkembangnya ajaran ini tentunya tidak lepas dari pemahaman dan keyakinan masyarakat Mandar tentang Tuhan. Penerimaan Islam, khususnya ajaran tasawuf yang berlangsung damai dan tanpa konfilik bagi masyarakat Mandar sebenarnya disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, telah terdapat benih-benih religi pada masyarakat, seperti praktik ritual. Kedua, ajaran Islam dipandang memiliki kemiripan dengan kepercayaan lama yang mereka anut, seperti makhluk halus dan kekuatan gaib dari alam. Ketiga, nilai-nilai ajaran Islam dipandang sebagai kebenaran.22

Sampai pada titik uraian di atas, maka apa yang menjadi jembatan bagi Husni Djamaluddin dalam mengartikulasikan tentang ketuhanan tidak lepas dari kondisi kebudayaan tanah kelahirannya. Sistem kepercayaan pada kekuatan alam menyiratkan pula tentang hubungan masyarakat Mandar dengan alam raya sehingga tidak heran jika puisi-puisinya yang menggagas tentang ketuhanan banyak menggunakan diksi-diksi alam. Maka, di samping memperlihatkan hubungan dengan alam, Husni juga telah menyuarakan konsepsi filosofis dalam tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dengan alam raya. Perlu ditegaskan bahwa bukan berarti Tuhan dalam kepercayaan Islam

22 A. Ismail, Agama Nelayan: Islam Lokal di Tanah Mandar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 5.

114

disamakan dengan alam, namun lebih kepada membantu masyarakat dalam memahami ajaran-ajaran dalam Islam, khususnya paham wahdah al-wujud sebagai suatu konsep filosofis dalam tasawuf yang menekankan kesatuan wujud alam dengan Tuhan.

Satu hal penting lainnya adalah ajaran tasawuf yang bertransformasi menjadi tarekat di Mandar. Konsepsi tasawuf Imam Lapeo yang berkembang di Mandar menekankan pada Nur (cahaya) Muhammad yang menjadi asal- usul kejadian alam semesta. Konsep tasawuf ini berangkat dari pernyataan al- Hallaj tentang sumber dari segala sesuatu, segala kejadian alam, dan ilmu pengetahuan adalah Nur Muhammad. Dalam hal ini, Nur Muhammad menurut Ibn „Arabi adalah sesuatu yang pertama menitis Nur Ilahi (Cahaya Tuhan). Jadi, Nur Muhammad merupakan tahapan pertama dari tahapan-tahapan emanasi Zat Tuhan dalam bentuk-bentuk wujud. Dengan demikian, Nur Muhammad ada sebelum terjadinya tahapan-tahapan tajalli Zat Tuhan. Secara luas Ibn „Arabi mengemukakan bahwa Nur Muhammad, di samping sebagai sesuatu yang paling awal melimpah dari Cahaya Tuhan, juga darinya lah terbit alam semesta. Terkait dengan konsepsi cahaya ini, al-Hallaj mengatakan:

Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali. Sinar itu pun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan. Sesungguhnya cahaya-cahaya itu memancar dari Cahaya-Nya. Cahaya-cahaya mereka pun terbit dari Cahaya-Nya.23

Konsep Nur (cahaya) tersebut yang kemudian terlihat dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan. Dalam konsepsi Husni, Tuhan adalah Cahaya yang kemudian memancarkan partikel-partikelnya dalam alam semesta. Maka, alam merupakan partikel-partikel cahaya yang berasal dari Cahaya Yang Satu, yaitu Tuhan. Selain itu, penggunaan unsur-unsur badani yang memberi kesan vulgar pada puisinya tidak bisa dipandang sebagai unsur pornografi. Sebagaimana telah disebutkan dalam subbab analisis semiotik sebelumnya, diksi paha dan

23 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 302.

115

kutang adalah analog dari hijab/tabir penghalang antara manusia dengan Tuhan yang menjadi tahapan (maqam) dalam tasawuf. Tahapan ini dikenal dengan tajalli, yaitu terlepasnya hijab/tabir sehingga manusia mencapai keadaan bersatu dengan Tuhan. Terkait hal ini, ajaran tasawuf Imam Lapeo yang berkembang di Mandar juga mengaktualisasi tiga prinsip penting, yaitu 1) Takhalli, pengosongan diri dari sifat-sifat buruk; 2) Tahalli, tahapan sifat yang telah mampu menghilangkan segala sifat buruk; dan 3) Tajalli, tahapan sifat yang telah mampu melepas segala penghalang antara manusia dengan Tuhan.24

Uraian tentang konsep ketuhanan di atas memperlihatkan titik perbedaan dari kedua penyair adalah dimensi transenden dan imanen Tuhan. Pada puisi Hanyut Aku, meskipun cinta yang kuat membawa rasa bersatu dengan Tuhan, penyair tetap memandang Tuhan sebagai sesuatu yang transenden sehingga terasa masih ada jarak. Hal ini berkaitan dengan kondisi zaman yang menjadi awal bagi tumbuhnya manusia modern. Dalam kondisi itu, konflik dan ketegangan yang terjadi memicu penyair untuk beralih kepada pencarian mistikal. Sebagai manusia baru yang melakukan pencarian mistikal, ternyata penyair banyak menemui gejolak kepedihan yang kemudian memunculkan perasaan berjarak antara dirinya dengan Tuhan. Dengan kata lain, konsep wahdah al-wujud dalam puisi Hanyut Aku ini masih terasa samar. Sementara pada puisi Hikayat Bulan dan Khairan, konsep tersebut diartikulasikan dengan sangat intens. Hal ini dikarenakan penyair menekankan titik pandang pada dimensi imanen Tuhan. Oleh karena Tuhan adalah imanen, maka akan terasa bahwa antara manusia dengan Tuhan bukan sesuatu yang terpisah.

24 Muh. Yusuf Naim dan Muh. Natsir, Ajaran Imam Lapeo, (Makassar: Pustaka Refleksi, 2007), h. 53.

116

D. Implikasi Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah

Sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Ia membawa nilai-nilai budaya yang tentunya menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat pula dikatakan bahwa munculnya sastra sebagai produk budaya adalah untuk merespon hal- hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, sastra menjadi penting untuk dijadikan sebuah studi karena turut serta dalam membina perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, Moody menegaskan bahwa studi sastra telah diyakini dan benar-benar dijamin dapat memberikan andil yang penting dalam masyarakat maju yang dihadapkan kepada berbagai masalah nyata dan keras.25

Dalam konteks pembelajaran, pernyataan di atas menjadi dasar tentang pentingnya sastra untuk diajarkan di sekolah. Nilai-nilai budaya yang condong ke segi humaniora merupakan doktrin yang harus ditanamkan kepada peserta didik. Sastra selalu menampilkan fenomena kehidupan sebagai rangsangan untuk lebih memahami dan menghayatinya.26 Hal demikian tentu dapat membantu peserta didik dalam merumuskan sudut pandang tentang kehidupan individu dan bangsanya karena sastra mampu membuka jalan bagi terciptanya pengalaman-pengalaman baru yang dapat memperkaya dimensi kehidupan.

Lebih lanjut, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Standar kompetensi matapelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan berbahasa. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami

25 Suminto A. Sayuti, “Pengantar Pengajaran Puisi”, dalam Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 1994), h. 4. 26 Ibid., h. 5.

117

dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Kurikulum yang didesain harus dapat dijadikan dasar bagi guru untuk mengajarkan sastra kepada peserta didik. Seyogyanya memang kurikulum tersebut peka terhadap tantangan zaman agar peserta didik mampu mengikuti perkembangan zaman.

Pembelajaran sastra dapat digunakan sebagai jembatan untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan sosial, sebab secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk berada dalam alam nyata dan alam tak nyata. Pada kenyataannya memang kita berada dalam kedua alam itu, dan sastra memberikan wadah untuk itu. Pembelajaran sastra harus dapat menanamkan kesadaran pada peserta didik akan pentingnya mengapresiasi sastra. Kemampuan mengapresiasi sastra akan mendorong mereka pada kemampuan melihat persoalan secara objektif, membentuk karakter, merumuskan watak dan kepribadian. Singkatnya, bila salah satu tujuan pendidikan adalah meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang, maka pembelajaran sastra harus diletakkan sama pentingnya dengan pembelajaran lain.27

Puisi sebagai salah satu karya sastra menjadi bagian dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang tepat bagi pendidik untuk menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra sebagaimana telah diuraikan di atas kepada peserta didik. Agar semua tujuan pengajaran sastra dapat tercapai melalui materi puisi, langkah yang tepat adalah dengan memilih bentuk dan isi puisi berdasarkan pertimbangan yang mampu mengembangkan aspek dalam sastra. Artinya, puisi yang diajarkan harus mampu berperan sebagai sarana pendidikan menuju arah pembentukan kepribadian peserta didik. Sesuai dengan fungsi dan peran pembelajaran sastra, puisi pun diharapkan mampu membangun dan membentuk aspek kejiwaan peserta didik, seperti perasaan, pikiran, dan yang terpenting adalah aspek rohaniah. Dengan demikian, masalah pokok seperti

27 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2016), h. 10.

118

pembinaan mental yang selalu melanda bangsa Indonesia perlahan bisa diatasi.

Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dapat memberikan nilai-nilai yang sejalan dengan fungsi dan peran pembelajaran sastra di sekolah. Nilai spiritualitas yang menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablu minaallah) dalam kedua puisi tersebut menjadi doktrin penting untuk diejawantahkan kepada peserta didik sehingga mampu memperkaya kehidupan rohaniah mereka. Peserta didik adalah tanah subur bagi penanaman pengetahuan tentang ketuhanan yang sejatinya merupakan pengetahuan paling mulia dalam kehidupan manusia. Pengetahuan ini yang nantinya menjadi arah bagi kehidupan yang lebih baik serta membentuk kemuliaan dalam diri mereka sehingga dapat mengatasi segala kecenderungan jahat.

Puisi Hanyut Aku dan Hikayat Bulan dan Khairan juga memberikan penekanan tentang ciri insan kamil yang sejatinya menjadi modal dalam meraih pengetahuan tentang ketuhanan. Ciri yang ditekankan adalah cinta kepada Tuhan, kesadaran bertauhid, serta mengkhusyukkan diri dalam beribadah. Dalam konteks pembelajaran sastra di sekolah, tentunya semua ciri tersebut penting untuk diajarkan kepada peserta didik dalam rangka membina mental dan membentuk generasi yang berlandaskan pada sifat-sifat insan kamil. Mereka akan selalu merasa bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap sendi kehidupan. Akibatnya, apapun yang menjadi aktivitas di dunia akan selalu melewati proses pertimbangan yang dapat mendatangkan perkara- perkara baik, bukan sebaliknya. Hal demikian adalah proses untuk meraih ketakwaan. Semakin besar ketakwaan manusia, maka semakin besar pula ia dicinta oleh-Nya.

Perihal bagaimana mengajarkan nilai-nilai ketuhanan yang terkandung dalam kedua puisi adalah dengan merancang pembelajaran sastra yang tentunya mampu menemukan nilai-nilai tersebut. Dalam pembelajaran bahasa

119

Indonesia kelas X Kurikulum 2013, terdapat materi tentang Unsur-unsur Pembangun Puisi. Pendidik dapat menyusun aktivitas pembelajaran di kelas dengan membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok. Pendidik menampilkan kedua puisi dalam salindia power point untuk dicermati oleh peserta didik. Secara berkelompok, peserta didik ditugaskan untuk menelaah unsur-unsur pembangun puisi yang terdiri atas intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu, peserta didik juga diarahkan untuk menelaah ekspresi tidak langsung tentang ketuhanan yang terkandung dalam puisi. Penelaahan terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik dapat membantu dalam menemukan makna dan pesan puisi yang diungkapkan secara tidak langsung. Penelaahan terhadap ekspresi tidak langsung dalam puisi tentunya perlu dilakukan karena pada hakikatnya, puisi merupakan karya sastra yang bersifat tidak langsung sehingga alur analisisnya dapat menguraikan makna dan pesan ketuhanan secara mendalam. Dengan demikian, selain sebagai bahan ajar, kedua puisi tersebut juga mampu berperan sebagai alternatif pengajaran tentang nilai-nilai ketuhanan.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut.

1. Analisis semiotik Michael Riffaterre telah memperlihatkan bahwa kedua puisi mengandung religiusitas yang bercorak tasawuf. Lebih lanjut, corak tasawuf tersebut mengarah pada gagasan wahdah al- wujud yang menekankan tentang bersatunya manusia dengan Tuhan. Namun, keduanya tetap memiliki perbedaan dalam memandang dimensi Tuhan. Pada puisi Hanyut Aku, dimensi transenden Tuhan terasa sangat menonjol. Dalam mengungkapkan dimensi tersebut, penyair memanfaatkan diksi-diksi liris sehingga memberikan tekanan emosi yang kuat. Dominasi penggunaan majas metafora dalam mengartikulasikan gagasan ketuhanan yang merupkanan bagian dari ekspresi tidak langsung memperlihatkan bahwa proses pencarian mistik penyair dihadapkan pada gejolak-gejolak rohani yang menyakitkan. Rasa sakit ini menyebabkan adanya perasaan berjarak antara dirinya dengan Tuhan. Jarak ini bersifat eksistensial karena Tuhan bersifat rohani, sedangkan manusia bersifat jasmani dan rohani. Jarak ini mengartikulasikan pula bahwa antara manusia dengan Tuhan merupakan dua entitas yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa artikulasi wahdah al-wujud dalam puisi ini masih terasa samar karena penyair masih memandang dualitas antara manusia dengan Tuhan. Sementara itu, artikulasi gagasan wahdah al-wujud dalam puisi Hikayat Bulan dan Khairan terasa sangat intens. Dalam pandangan penyair, Tuhan adalah imanen yang hadir dan terlibat dalam kehidupan manusia.

120

121

Dalam diri Khairan yang merupakan bagian dari alam, mengandung pengejawantahan Tuhan sehingga dalam hal ini Tuhan bersifat transenden (batiniah). Sementara itu, oleh karena Tuhan mengejawantahkan Diri-Nya dalam wujud konkret seorang Khairan, maka Tuhan bersifat imanen (lahiriah). Dengan demikian, di samping memandang Tuhan sebagai imanen, penyair tetap mengartikulasikan Tuhan sebagai transenden. Namun, dimensi imanen Tuhan dalam puisinya memang terlihat menonjol karena digambarkan dengan sangat konkret. Hal terpenting dari perbedaan pandangan ini adalah adanya perkembangan yang baik dari gagasan ketasawufan dan paham- pahamnya di Indonesia modern. Dalam kasus puisi Hanyut Aku dan Hikayat Bulan dan Khairan, rentang waktu kepenyairan yang relatif jauh membuktikan bahwa perbedaan titik pandang ketuhanan itu merupakan suatu perkembangan yang baik dalam ranah perpuisian Indonesia modern. Perbedaan ini juga sekaligus memperlihatkan keberterimaan ajaran-ajaran tasawuf dalam masyarakat modern, khususnya pada gagasan wahdah al-wujud yang cukup kontroversial. 2. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan karya Husni Djamaluddin dapat dijadikan sebagai bahan ajar oleh guru untuk menerapkan nilai- nilai religius tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Nilai- nilai tersebut penting bagi peserta didik dalam rangka memperkaya rohani dan pembinaan mental bangsa yang dilandasi dengan sifat-sifat ketuhanan. Telaah terhadap unsur-unsur dalam puisi dapat melatih peserta didik dalam menemukan makna dan pesan dalam puisi serta meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.

122

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, serta simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang ingin diajukan penulis, yaitu:

1. Penelitian tentang konsep ketuhanan ini hanya mengambil satu puisi dari masing-masing kumpulan puisi penyair. Demi memperoleh pembuktian yang lebih konkret, diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk secara khusus menganalisis kumpulan puisi dari masing-masing penyair berdasarkan sudut pandang ketuhanan. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi para peserta didik dan pendidik tentang bagaimana menemukan makna dan pesan dalam puisi melalui unsur-unsur pembangunnya. 3. Pendidik diharapkan mampu meningkatkan kemampuannya dalam menelaah makna dan pesan puisi sehingga pembelajaran sastra di sekolah tidak hanya sebatas teori, tetapi mampu meningkatkan apresiasi peserta didik terhadap karya sastra Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyald, Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn „Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan. Yogyakarta: LkiS. Ali, Muhammad. “Sajak-sajak Torajanya Husni Djamaluddin”. Pusat Dokumentasi Sastra, 18 Maret 1980. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru. Cetakan Pertama. Anwar, Idwar. 2004. “Jejak Tuhan di Mata Puisi Husni Djamaluddin”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Cetakan Kedua. Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Badrudin. 2015. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat. Cetakan Pertama. Baghir, Haidar. 2005. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Arasy Mizan, Cetakan Pertama.

______. 2006. Buku Saku Filsafat. Bandung: PT Mizan Pustaka. Cetakan Kedua.

Budianti, Melani, dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. Dini, NH. 2011. Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. Jakarta: PT Gaya Favorit Press. Cetakan Kedua. Djamaluddin, Husni. 1986. Bulan Luka Parah. Jakarta: PT Temprint. Cetakan Pertama. Djibe, Harun Rasjid. 2004. “Serpihan Pikiran Tentang Husni Djamaluddin”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Cetakan Kedua. Endraswara, Suwardi. 2014. Metodologi Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop. Cetakan Kedua. Esten, Mursal. 1995. Memahami Puisi. Bandung: Angkasa. Cetakan Pertama.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hamzah, Amir. 2008. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. Cetakan Kelimabelas. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Irawan, Nurhadie. “Sajak-sajak Husni Djamaluddin”. Pusat Dokumentasi Sastra. Jakarta, 20 Juli 1981. Ismail, A. 2012. Agama Nelayan: Islam Lokal di Tanah Mandar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kasim, Razali. 2005. “Eksistensi Amir Hamzah dalam Perspekstif Kebangkitan Islam”, dalam T. Amir Hamzah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan Pertama. M. D., Niken. 2005. Maestro-maestro Indonesia. Jakarta: Edsa Mahkota. Mahayana, Maman S. 2016. Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Mahyudi, Saifuddin. 2005. “T. Amir Hamzah dalam Sikap dan Gagasannya”, dalam T. Amir Hamzah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Miswari. 2018. Wahdah al-Wujud: Konsep Kesatuan Wujud antara Hamba dan Tuhan Menurut Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Basabasi.

Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Naim, Muh. Yusuf dan Muh. Natsir. 2007. Ajaran Imam Lapeo. Makassar: Pustaka Refleksi.

Noor, Acep Zamzam. 2018. Menjadi Sisifus: Esai-esai Pilihan. Yogyakarta: Diva Press, Cetakan Pertama. P., Mukhlis, dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Pradopo, Rachmat Djoko. 1991. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ______. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan Pertama. ______. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______. 2002. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”, dalam Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Rahman, Jamal D., dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan Pertama. Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan I. Rosidi, Ajip. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya. Cetakan Pertama. ______. 1996. “Amir Hamzah: Hati yang Ragu”, dalam Amir Hamzah 1911- 1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro. Cetakan Pertama. Sarjono, Agus R. 2004. “Anak Laut Anak Puisi”, dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: Catatan dari Teman-teman. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cetakan Kedua.

Sayuti, Suminto A. 1994. “Pengantar Pengajaran Puisi”, dalam Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama. ______. 2019. Puisi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Sehandi, Yohanes. 2016. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak. Cetakan Kedua. Sholikhin, Muhammad 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Narasi. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Situmorang, B.P. 1981. Puisi: Teori, Apresiasi, Bentuk, dan Struktur. Ende: Nusa Indah. Cetakan Pertama. Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed.). 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Takari, Muhammad, A. Zaidan B.S., dan Fadlin. 2016. “Tengku Amir Hamzah: Wira Dunia Melayu Bersenjatakan Pena”, Makalah disampaikan pada Seminar Tengku Amir Hamzah di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur. Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tim Penyunting. 2017. Seri Buku Tempo: Paradoks Amir Hamzah. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan Pertama. W. M., Abdul Hadi. 1986. “Tentang Kumpulan Sajak Husni Djamaluddin, Bulan Luka Parah”, dalam Kumpulan Puisi Husni Djamaluddin: Bulan Luka Parah. Jakarta: PT Temprint. Cetakan Pertama. ______. 1995. Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung: Mizan. Cetakan Pertama.

______. 1996. “Amir Hamzah dan Relevansi Sastra Melayu”, dalam Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

______. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus. ______. 2001. Tasawuf yang Tertindas. Jakarta: Paramadina. Cetakan Pertama.

Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan kedua. Warsiman. 2016. Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang: Universitas Brawijaya Press. Yusra, Abrar. 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Amir Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Zed, Mestika. 2014. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Cetakan Ketiga.

Sumber lain: Rahman, Jamal D. “Wahdatul Wujud dalam Indonesia Modern: Mendiskusikan Puisi-puisi Emha Ainun Nadjib”. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika/article/view/5303. Diakses pada tanggal 14 Maret 2020, pukul 11.23 WIB.

Usman, Ali. “Memahami Seluk-Beluk Wahdatul Wujud”, https://alif.id/read/ali- usman/219023-b219023p/. Diakses pada Tanggal 15 Desember 2020, pukul 13.34 WIB. Perdana, Andini. “Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan di Museum La Galigo”. https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id/index.php/pangadereng/article/ view/16. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.15 WIB. Pabbajah, Mustaqim. “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis- Makassar”. https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/au/article/view/108. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.20 WIB.

Suryaman, Maman dan Wiyatmi, Puisi Indonesia. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873962/pendidikan/buku+Ajar+Puisi.pdf. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020 pukul 14.17 WIB.

Lampiran

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : X/Genap

Materi Pokok : Unsur-unsur Pembangun Puisi

Alokasi Waktu : 2x45 menit (1 Pertemuan)

A. Kompetensi Isi (KI) 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleransi, damai), santun, responsive, dan proaktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam, serta menemptkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, procedural, berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian spesifik dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari apa yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kadah keilmuan. B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator Pencapaian Kompetensi Kompetensi Dasar (KD) (IPK)

3.17 Menganalisis unsur-unsur 3.17.1 Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi. pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

3.17.2 Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

3.17.3 Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

4.17 Menginterpretasi unsur-unsur 4.17.1 Menguraikan hasil identifikasi pembangun puisi. unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

4.17.2 Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

C. Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu:

1. Mendefinisikan unsur-unsur pembangun puisi. 2. Mengklasifikasi unsur-unsur pembangun puisi. 3. Mengidentifikasi unsur-unsur pembangun puisi. 4. Menguraikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi. 5. Mempresentasikan hasil identifikasi unsur-unsur pembangun puisi. D. Materi Pembelajaran 1. Pengertian puisi. 2. Unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

E. Pendekatan, Metode, dan Model Pembelajaran

Pendekatan : Saintifik

Model : Discovery Learning

Metode : Diskusi, tanya jawab, penugasan

F. Media, Bahan, dan Sumber Belajar 1. Media/Alat - Laptop

- Infokus - Power Point 2. Bahan - Puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah. 3. Sumber Belajar

Priyatni, Endah Tri. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.

Kemendikbud. Buku Guru: Bahasa Indonesia Kelas XI. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017.

G. Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan Ke-1 (2x35 menit)

4C No Urutan Kegiatan PPK Literasi HOTS Waktu Berpikir Komu Kolabo Kreatif Kritis nikatif ratif

Kegiatan Pendahuluan

Orientasi  Guru datang tepat waktu

Guru mengucapkan salam dan direspon oleh peserta didik sebagai  tanda syukur kepada Tuhan.

Guru menanyakan kabar peserta didik, mengecek kebersihan kelas,  10 1 dan absensi. Menit Mendoakan peserta didik yang tidak hadir karena sakit atau halangan  lainnya.

Apersepsi

Peserta didik menerima informasi  tentang materi pelajaran yang akan dibahas.

Peserta didik menerima informasi  tentang kompetensi, tujuan, dan

manfaat pembelajaran yang akan dicapai.

Peserta didik menerima informasi secara proaktif tentang keterkaitan  materi sebelumnya dengan materi yang akan dibahas.

Motivasi

Peserta didik diberi tahu bahwa materi pelajaran harus dikuasai dan dikerjakan secara sungguh- sungguh, sehingga mereka mampu  memahami dan menjelaskan informasi yang ada dalam karya ilmiah, baik yang didengar maupun yang dibaca.

Kegiatan Inti

Pemberian Rangsangan

Peserta didik dibagi menjadi empat  kelompok belajar.

Peserta didik diberi pertanyaan tentang definisi puisi dan unsur-  unsur pembangunnya: intrinsik dan ekstrinsik.

Peserta didik membaca secara 50 2 cermat unsur-unsur pembangun  puisi: intrinsik dan ekstrinsik. Menit

Guru menanyakan informasi yang ditangkap oleh peserta didik berkaitan dengan definisi dan  unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

Identifikasi Masalah

Peserta didik membaca secara  cermat tentang definisi dan unsur- unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik yang ditampilkan

melalui power point.

Peserta didik menyimak penjelasan guru tentang definisi dan unsur-  unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

Pengumpulan Data

Secara berkelompok, peserta didik ditugaskan untuk mengidentifikasi   unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

Pengolahan Data

Peserta didik mendiskusikan unsur-   unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik yang diidentifikasi.

Pemeriksaan Data

Masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil  identifikasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.

Penarikan Simpulan

Setiap kelompok dibimbing untuk menyimpulkan hasil identifikasi  unsur-unsur pembangun puisi: intrinsik dan ekstrinsik.

Kegiatan Penutup

Guru menilai hasil diskusi dan identifikasi dari masing-masing kelompok. 10 3 Guru memberikan penghargaan  kepada kelompok yang dianggap Menit paling tepat dan mampu bekerja sama dengan baik.

Peserta didik dibimbing untuk  menyimpulkan keseluruhan

materi yang telah diajarkan.

Guru memberikan tugas dan menyampaikan rencana  pembelajaran berikutnya.

H. Penilaian 1. Teknik Penilaian  Sikap : Pengamatan guru terhadap sikap peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.  Tes Praktik : Perintah kerja  Tes Tulis : Pertanyaan 2. Instrumen Penilaian

(Terlampir)

Jakarta, 6 November 2020

Mengetahui,

Kepala Madrasah Guru Mata Pelajaran

…………. Maya Novalia Pulungan

A. Instrumen Penilaian 1. Penilaian Sikap

No Waktu Nama Perilaku Positif/Negatif Tindak Lanjut

1

2

3

2. Tes Praktik Soal: 1. Secara berkelompok, baca dan identifikasi unsur-unsur pembangun puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah, kemudian susunlah dalam bentuk ringkasan menggunakan bahasa Anda! 2. Secara bergilir, masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil ringkasan di depan kelompok lain untuk ditanggapi!

Hanyut aku, kekasihku! Hanyut aku! Ulurkan tanganmu, tolong aku. Sunyinya sekelilingku! Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak. Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu. Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam. Air di atas menindih keras. Bumi di bawah menolak ke atas. Mati aku, kekasihku, mati aku!

a) Rubrik Penilaian Ringkasan

Identifikasi Unsur-unsur Pembangun Puisi Skor Skor Maksimal

Tipografi 5

Rima 5 Intrinsik 20 Majas 5

Diksi 5

Tema 5

Amanat 5 Ekstrinsik 20 Perasaan 5

Suasana 5

Penyimpangan arti 5 Ekspresi Tidak Langsung 10 Penciptaan arti 5

Total Skor 50

b) Rubrik Penilaian Presentasi

Aspek Penilaian Total No Nama Kelengkapan Ketepatan Kelancaran Nilai Informasi Identifikasi

Aspek Penilaian Kriteria Rentang Skor Skor Maksimal

Sangat lancar 8-10

Cukup lancar 5-7 Kelancaran 10 Kurang lancar 4-6

Tidak lancar 1-3

Sangat lengkap 8-10

Cukup lengkap 5-7 Kelengkapan 10 Informasi Kurang lengkap 4-6

Tidak lengkap 1-3

Sangat tepat 8-10

Cukup tepat 5-7 Ketepatan 10 Identifikasi Kurang tepat 4-6

Tidak tepat 1-3

Total Skor 30

3. Tes Tulis

Soal

1. Jelaskan pengertian puisi! 2. Apa yang dimaksud dengan unsur-unsur pembangun puisi? 3. Sebutkan unsur-unsur pembangun puisi! 4. Setelah melakukan identifikasi terhadap puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah, uraikan makna serta citra yang terkandung secara singkat dan jelas menggunakan bahasa Anda? 5. Jelaskan nilai religius dari puisi Hanyut Aku karya Amir Hamzah dan dampaknya bagi pembinaan rohaniah peserta didik!

a) Rubrik Penilaian Tes Tulis

No. Skor Aspek yang Dinilai Skor Soal Maksimal

Peserta didik menjawab dengan sangat tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 20 ejaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

Peserta didik menjawab dengan tepat

1 Peserta didik menggunakan bahasa baku 15 20 dengan baik

Peserta didik menjawab dengan tidak tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 10 ejaan bahasa Indonesia dengan buruk

Peserta didik menjawab dengan sangat tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 20 ejaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

Peserta didik menjawab dengan tepat

2 Peserta didik menggunakan bahasa baku 15 20 dengan baik

Peserta didik menjawab dengan tidak tepat

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 10 ejaan bahasa Indonesia dengan buruk

Peserta didik menjawab dengan sangat lengkap

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 20 ejaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

Peserta didik menjawab dengan lengkap

3 Peserta didik menggunakan bahasa baku 15 20 dengan baik

Peserta didik menjawab dengan tidak lengkap

Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai 10 ejaan bahasa Indonesia dengan buruk

Peserta didik menjawab dengan sangat tepat dan sangat lengkap 20 Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar 20 Peserta didik menjawab dengan tepat

4 Peserta didik menggunakan bahasa baku 15

dengan baik

Peserta didik menjawab dengan tidak tepat dan tidak lengkap 10 Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan buruk

Peserta didik menjawab dengan sangat tepat dan sangat lengkap 20 Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

Peserta didik menjawab dengan tepat

5 Peserta didik menggunakan bahasa baku 15 20 dengan baik

Peserta didik menjawab dengan tidak tepat dan tidak lengkap 10 Peserta didik menggunakan bahasa baku sesuai ejaan bahasa Indonesia dengan buruk

Total 100

Nilai = Skor Perolehan / Skor Maksimal x 100

DAFTAR UJI REFERENSI

Nama : Maya Novalia Pulungan

NIM : 11160130000036

Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas : Ilmu Tarbiah dan Keguruan

Judul Skripsi : “Konsep Ketuhanan dalam Puisi Hanyut Aku Karya Amir Hamzah dan Hikayat Bulan dan Khairan Karya Husni Djamaluddin serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”

Halaman Halaman Paraf No Dafar Referensi Kutipan dalam Skripsi Pembimbing

Ali, Muhammad. 1980. “Sajak- sajak Torajanya Husni 1 5 56 Djamaluddin”. Pusat

Dokumentasi Sastra. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. 2 134 14 dan 15 Malang: Sinar Baru. Cetakan Pertama.

Anwar, Idwar. 2004. “Jejak Tuhan di Mata Puisi Husni Djamaluddin”. Dalam Husni 3 Djamaluddin yang Saya Kenal: 120 111 Catatan dari Teman-teman. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Cetakan Kedua.

Al-Fayyald, Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn „Arabi: 4 43 82 Kritik Metafisika Ketuhanan.

Yogyakarta: LkiS.

Asmaran. 2002. Pengantar 5 Studi Tasawuf. Jakarta: PT 302 114

Raja Grafindo Persada. Badrudin. 2015. Pengantar 79, 80, dan 6 24 dan 100 Ilmu Tasawuf. Serang: A- 48 Empat. Cetakan Pertama. Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Arasy 37, 38, 40, 4, 23, 24, 26, 7 Mizan. Cetakan Pertama. 41, dan 158 dan 69

Baghir, Haidar. 2006. Buku Saku Filsafat. Bandung: PT 8 157 61 Mizan Pustaka. Cetakan

Kedua.

Budianta, Melani, dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar 9 Memahami Sastra untuk 40 dan 41 20 Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.

Dini, NH. 2011. Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. 10 Jakarta: PT Gaya Favorit Press. 104 80 Cetakan Kedua.

Djamaluddin, Husni. 1986. Bulan Luka Parah. Jakarta: PT 6, 8, 9, 29, 11 59 Temprint. Cetakan Pertama. dan 31

Djibe, Harun Rasjid. 2004. “Serpihan Pikiran Tentang Husni Djamaluddin”. Dalam 12 Husni Djamaluddin yang Saya 109 54 Kenal: Catatan dari Teman- teman. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Cetakan Kedua.

Endraswara, Suwardi. 2014. Metodologi Sastra Bandingan. 13 202 dan 203 35 Jakarta: bukupop. Cetakan Kedua.

Esten, Mursal. 1995. 14 Memahami Puisi. Bandung: 2 16 Angkasa. Cetakan Pertama.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: 15 104 21 Muhammadiyah University

Press.

Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori & 16 87 11 Praktik. Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Hamzah, Amir. 2008. Nyanyi 17 Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat. 12 58 Cetakan kelimabelas.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di 18 87 21 Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Irawan, Nurhadie. 1981. “Sajak-sajak Husni 19 - 54 Djamaluddin”. Pusat Dokumentasi Sastra.

Ismail, A. 2012. Agama Nelayan: Islam Lokal di Tanah 5 113 Mandar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kasim, Razali. 2005. “Eksistensi Amir Hamzah dalam Perspekstif Kebangkitan 20 2 dan 3 49 Islam”. Dalam T. Amir

Hamzah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan 21 Gaya Bahasa. Jakarta: 113 19 Gramedia Pustaka Utama.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 22 1984. Pengantar Ilmu Sastra. 176 14 Terj. Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. Cetakan Pertama.

M. D., Niken. 2005. Maestro- 39, 40, dan 23 maestro Indonesia. Jakarta: 43 dan 44 41 Edsa Mahkota.

Mahayana, Maman S. 2016. Jalan Puisi dari Nusantara ke 24 7 dan 196 2 Negeri Poci. Jakarta: Kompas

Media Nusantara.

Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian 25 3 11 Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Mahyudi, Saifuddin. 2005. “T. Amir Hamzah dalam Sikap dan 26 Gagasannya”. Dalam T. Amir 32 50 Hamzah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Miswari. 2018. Wahdah al- Wujud: Konsep Kesatuan Wujud antara Hamba dan 10 3 Tuhan Menurut Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Basabasi.

Noor, Acep Zamzam. 2018. Menjadi Sisifus: Esai-esai 27 149 27 Pilihan. Yogyakarta: Diva

Press. Cetakan Pertama.

Naim, Muh. Yusuf dan Muh. Natsir. 2007. Ajaran Imam 28 53 115 Lapeo. Makassar: Pustaka

Refleksi.

P., Mukhlis, dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. 34, 35, dan 29 Jakarta: Proyek Inventarisasi 57 63 dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1991. Pengkajian Puisi. 55, 82, dan 30 17 dan 18 83 Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsip-prinsip Kritik 31 Sastra. Yogyakarta: Gadjah 227 33

Mada University Press. Cetakan Pertama. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, 32 Metode Kritik, dan 49 112

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik”. 33 67 dan 68 12 Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. Rahman, Jamal D., dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia 34 Paling Berpengaruh. Jakarta: 175 48 PT Gramedia. Cetakan Pertama.

Rahmanto, B. 1988. Metode 35 Pengajaran Sastra. 16 dan 19 37 dan 38 Yogyakarta: Kanisius.

Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael 32, 33, 34, 88, 36 Riffaterre. Yogyakarta: 5, 7, dan 8 dan 89 Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. 47, 99, 111, Teori, Metode, dan Teknik 11, 30, 32, dan 37 112, 17, dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: 34 173 Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1968. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. 38 53 dan 54 50 Bandung: Pustaka Jaya.

Cetakan Pertama.

Rosidi, Ajip. 1996. “Amir Hamzah: Hati yang Ragu”. Dalam Amir Hamzah 1911- 39 1946: Sebagai Manusia dan 105 51 Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan 298, 299, 40 36 dan 37 Pendidikan. Bandung: CV dan 147

Diponegoro. Cetakan Pertama.

Sayuti, Suminto A. 1994. “Pengantar Pengajaran Puisi”. 41 Dalam Pengajaran Sastra. 4 dan 5 112 Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan Pertama.

Sayuti, Suminto A. 2019. 42 Puisi. Tangerang Selatan: 5.2 18 Universitas Terbuka.

Sarjono, Agus R. “Anak Laut Anak Puisi”. Dalam Husni Djamaluddin yang Saya Kenal: 43 11 dan 12 53 Catatan dari Teman-teman.

Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cetakan Kedua.

Sehandi, Yohanes. 2016. Mengenal 25 Teori Sastra. 44 111 29 Yogyakarta: Ombak. Cetakan

Kedua.

Siswanto, Wahyudi. 2008. 113, 122, Pengantar Teori Sastra. 123, 124, 45 16, 20, dan 22 Jakarta: PT Grasindo. 125, dan

126

Situmorang, B.P. 1981. Puisi: Teori, Apresiasi, Bentuk, dan 46 11 15 Struktur. Ende: Nusa Indah.

Cetakan Pertama.

Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed.). 1992. Serba-serbi 1, 2, 7, dan 47 30 dan 31 Semiotika. Jakarta: PT 8

Gramedia Pustaka Utama.

Sholikhin, Muhammad 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan 48 Nalar, Pengalaman Mistik, dan 201 dan 206 26 dan 27 Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta: Narasi.

Takari, Muhammad, A. Zaidan B.S., dan Fadlin. 2016. “Tengku Amir Hamzah: Wira Dunia Melayu Bersenjatakan 49 2, 3, dan 4 52 dan 91 Pena”. Makalah disampaikan

pada Seminar Tengku Amir Hamzah di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.

Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa 50 51 78 Indonesia. Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Tim Penyunting. 2017. Seri Buku Tempo: Paradoks Amir 5, 34, 35, 51 45, 47, dan 48 Hamzah, (Jakarta: PT 41, dan 49

Gramedia. Cetakan Pertama.

W. M., Abdul Hadi. 1995. Hamzah Fansuri Risalah 13, 21, dan 52 Tasawuf dan Puisi-puisinya. 3 dan 25 22 Bandung: Mizan, Cetakan Pertama.

W. M., Abdul Hadi. 1996. “Amir Hamzah dan Relevansi 53 Sastra Melayu”. Dalam Amir 140 dan 141 85 dan 91 Hamzah 1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra

H.B. Jassin.

W. M., Abdul Hadi. 2001. 9, 10, 21, Tasawuf yang Tertindas. 1, 27, 28, 29, 54 22, 89, 90, Jakarta: Paramadina. Cetakan 90, dan 91 35, dan 205 Pertama.

W. M., Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke 55 23 dan 21 106 dan 112 Sumber. Jakarta: Pustaka

Firdaus.

Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT 1, 12, 13, 56 15, 21, dan 22 Gramedia Pustaka Utama. dan 17

Cetakan kedua.

Warsiman. 2016. Membumikan Pembelajaran Sastra yang 57 9 dan 10 36 dan 117 Humanis. Malang: Universitas

Brawijaya Press.

Yusra, Abrar. 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”. Dalam Amir 26, 27, 35, 58 Hamzah 1911-1946: Sebagai 44, 46, dan 47 48, dan 49 Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Zed, Mestika. 2014. Metode Penelitian Kepustakaan. 59 3 12 Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor. Cet. 3.

Perdana, Andini. “Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan di Museum 60 La Galigo”. - 58 https://jurnalpangadereng.kem dikbud.go.id/index.php/pangad ereng/article/view/16. Diakses

pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.15 WIB.

Pabbajah, Mustaqim Pabbajah. “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar”. https://journal.iaingorontalo.ac. 61 - 58 id/index.php/au/article/view/10

8. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2020, pukul 15.20 WIB.

Suryaman, Maman dan Wiyatmi, Puisi Indonesia. http://staffnew.uny.ac.id/uploa 62 d/131873962/pendidikan/buku 72 dan 73 65 dan 67 +Ajar+Puisi.pdf Diakses pada tanggal 1 Agustus 2020 pukul 14.17 WIB.

Usman, Ali. “Memahami Seluk-Beluk Wahdatul Wujud”, https://alif.id/read/ali- 63 usman/219023-b219023p/. - 25 Diakses pada Tanggal 15 Desember 2020, pukul 13.34 WIB.

Rahman, Jamal D., “Wahdatul Wujud dalam Indonesia Modern: Mendiskusikan Puisi- puisi Emha Ainun Nadjib”. 64 - 4 http://journal.uinjkt.ac.id/index

.php/dialektika/article/view/53 03. Diakses pada tanggal 14 Maret 2020, pukul 11.23 WIB.

TENTANG PENULIS

Maya Novalia Pulungan lahir di Tangerang, 1 November 1997. Anak kedua dari pasangan Alfian Pulungan dan Elfi Zulaidah Martha Harahap. Riwayat pendidikan: TK al- Ghiffary, Tangerang Selatan (2003-2004); SD Negeri Pamulang Indah (2004-2006); SD Negeri Tapian Jorbing (2007-2010); MTs. Al- Hakimiyah Paringgonan, Sumatra Utara (2010- 2013); MA Swasta Al-Hakimiyah Paringgonan, Sumatra Utara (2013-2016). Melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2016).

Beberapa prestasi yang pernah diraih selama menempuh pendidikan menengah, yaitu: Juara I MTQN Cabang Debat Bahasa Inggris Tingkat Kabupaten Padang Lawas (2016); Juara II MTQN Cabang Khattil Quran Tingkat Kabupaten Padang Lawas (2011); Juara II MTQN Cabang Khattil Quran Tingkat Kabupaten Padang Lawas (2013); Juara III lomba Karya Tulis Ilmiah yang diadakan oleh Dispora Kabupaten Padang Lawas, Sumatra Utara (2015).