Buku ini merupakan salah satu referensi terkait dengan perkembangan politik di , khususnya ulama dan partai politik pasca-Orde Baru. Sebuah realitas peta politik yang perlu dicermati, khususnya oleh akademisi, politisi, dan praktisi. Bagaimana masa lalu dan masa depan iklim politik di tanah air telah disenaraikan dengan baik oleh penulis dalam buku ini. Buku yang ditulis oleh seorang dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Dr. Saiful, S.Pd., M.Si., dan diedit oleh Dr. Rusli Yusuf, M.Pd, yang mempunyai kapasitas keilmuan dibidang ini yang sangat memadai dan kedua beliau ini hidup dalam hiruk pikuk masyarakat ini. Buku ini baik untuk dijadikan salah satu referensi alternatif terkait dengan perpolitikan di Aceh, apalagi karya akademik ini terorbit dari suatu proses penelitian yang intens yang telah dilakukan oleh penulis buku ini.

Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh boleh dikatakan cermin atau penguak tabir kekinian politik di Aceh yang komprehensif, baik pada peran idealis tokoh agama maupun track record politisi partai politik. Dengan sistematika penyajian dan teknik penyampaian gagasan yang sistematis serta bahasa yang mudah dipahami, buku ini layak menjadi salah satu referensi akademik dan politik.

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si. Profesor Komunikasi Politik, dosen tetap Universitas Pendidikan , Bandung

Penerbit BKA: Jalan Kuta Inöng Balèe 69 Darussalam, Banda Aceh, 23111

IG: @penerbitbka Fb: Bina Karya Akademika Aceh ULAMA DAN PARTAI POLITIK PASCA-ORDE BARU DI ACEH

Dr. Saiful, S.Pd., M.Si. Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh

Penulis Dr. Saiful, S.Pd., M.Si.

ISBN: 978-602-5919-56-5

Editor Dr. Rusli Yusuf, M.Pd.

Pendesain Kover Tauris Mustafa

Layouter Ichsan Mantovani, S.Pd.

Penyunting Bahasa Azwardi, S.Pd., M.Hum. Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M.Hum.

Penerbit Bina Karya Akademika (Anggota IKAPI)

Alamat Kantor Jalan Inöng Balèe 69 Darussalam, Banda Aceh, 23111 Nomor Kontak 085260410772 E-Mail [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Saiful, Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Banda Aceh, 2020 xii+216 hlm.; 15,5 cmx23 cm

©2020, Saiful Hak cipta yang dilindungi undang-undang ada pada penulis. Dilarang memperbanyak, baik sebagian maupun seluruh isi buku ini, tanpa izin dari penulis atau penerbit.

ii Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PENGANTAR PENERBIT

Alhamdulillah, buku Ulama dan Partai Politik Pasca- Orde Baru di Aceh ini telah terbit, dan kini telah terdaftar dalam sistem perpustakaan nasional. Buku ini merupakan karya Dr. Saiful, S.Pd., M.Si., dosen tetap pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaran Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Kehadiran buku ini dipandang penting, khususnya untuk membahani publik, khususnya publik akademik dan praktisi yang berkecimpung di bidang politik dalam memahami sepak terjang ulama dan partai politik pasca-Orde Baru di Aceh. Substansi yang disajikan dalam buku ini merupakan napak tilas partai politik, baik partai lokal, maupun partai nasional. Oleh karena itu, buku ini akan membantu mereka dalam memahami konsep akademik dan realitas pergerakan politik di Aceh pasca-Orde Baru. Buku yang dirancang khusus sebagai buku referensi ini

iii Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh memiliki keunggulan tersendiri karena penulis menyajikannya dengan bahasa Indonesia yang benar, rigan, dan relatif mudah dipahami oleh berbagai kalangan pembaca. Urutan materi tersaji secara logis dan sistematis. Konsep akademik, deskripsi fakta, dan realitas politik yang disampaikan di dalam buku ini diredaksikan dengan bahasa yang sederhana sesuai dengan kebutuhan pembaca. Berdasarkan hasil telaah kritis pakar terkait, pada hemat kami, buku ini urgen untuk dipersembahkan kepada publik, khususnya publik akademik dan politisi sebagai referensi dalam menjaga citra keilmiahan sebagai salah satu ruh tridarma perguruan tinggi. Selamat membaca.

Banda Aceh, April 2020

Penerbit,

Bina Karya Akademika

iv Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-nya penulisan buku Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Selawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Baginda Rasulullah Muhammad saw. karena dengan lahirnya beliaulah manusia menjadi makhluk yang beradab dan berakhlak mulia. Buku ditulis berdasarkan hasil penelitian saya pada saat menyelesaikan Program Magister (S-2) dalam kajian Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, . Karena banyak dorongan dari berbagai pihak, terutama Prof. Dr. I Ketut Putra Erawan, M.A. dan Alm. Drs. Samsurizal Panggabean, M.Sc. (pembimbing), dan pihak- pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebukan satu per satu. Buku ini juga mengetengahkan berbagai data, baik dari berbagai

v Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) (KPU Daerah atau KPU Pusat), maupun dari informan, seperti ulama kharismatik dan ulama muda Aceh, tokoh partai politik, imeum mukim, dan tokoh masyarakat. Terkait degan hal itu, buku ini ditulis dalam konteks upaya memfasilitasi stakeholder, dan menjadi referensi bagi peminat kajian sejarah dan politik, terutama kajian politik kontemporer, khususnya bagi akademisi, praktisi, dan politisi dalam penyediaan referensi akademik, khususnya yang berkaitan dengan sepak ulama dan partai politik pasca-Orde Baru di Aceh. Buku ini berisi pokok-pokok materi di seputar peran ulama dan sepak terjang partai politik pasca-Orde Baru di Aceh, yaitu masa awal transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Fokus substansi materi difokuskan pada dua pemilihan umum, yakni Pemilihan Umum 1999 dan 2004 karena momentum tersebut merupakan tonggak baru demokrasi di Indonesia. Selain itu, dinamika kehidupan politik terus berkembang, bahkan begitu cepat seuai dengan dinamika perkembangan zaman sehingga pada satu sisi diperlukan perubahan-perubahan terhadap materi politik, dan pada sisi lainnya berakibat pada keterbatasan masyarakat dan mahasiswa dalam memperoleh referensi, terutama tentang dinamika politik lokal. Oleh karena itu, buku ini dimaksudkan sebagai rujukan alternatif bagi stakeholder di atas dalam memperkaya referensi akademiknya. Penulisan buku ini dapat berjalan dengan lancar berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

vi Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh itu, melalui pengantar ini, saya mengucapkan terima kasih kepada mereka, terutama Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., IPU (Rektor Universitas Syiah Kuala), Prof. Dr. Ir. Marwan (Wakil Rektor I Bidang Akademik), Prof. Dr. Djufri, M.Si. (Dekan FKIP Universitas Syiah Kuala), Dr. M. Hasan, M.Si. (Wakil Dekan I Bidang Akademik FKIP Universitas Syiah Kuala), dan Dr. Sanusi, S.Pd., M.Si. (Ketua Jurusan PPKn FKIP Universitas Syiah Kuala) yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis. Selanjutnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada guru saya, Dr. Rusli Yusuf, M.Pd. (editor) yang telah mengedit substansi draf buku ini. Kemudian, ucapan terima kasih juga tidak lupa saya sampaikan kepada Penerbit Bina Karya Akademika (BKA) Banda Aceh yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini. Kecuali itu, ungkapan rasa terima kasih juga patut saya sampaikan kepada guru saya, Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si. yang telah membaca draf final buku ini dan menukilkan komentarnya terhadap buku ini, dan sahabat saya, Azwardi, S.Pd., M.Hum. Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M.Hum. yang telah menyunting bahasa draf buku ini dengan begitu baik. Semoga Allah Swt. membalas segala kontribusi yang telah mereka berikan dalam proses penulisan buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini belumlah cukup sempurna, baik secara substansi maupun tampilannya, masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, buku ini pada suatu saat masih perlu direvisi sehingga substansi dan tampilannya menjadi lebih sempurna. Berkaitan dengan hal

vii Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tersebut, saya mohon maaf, sangat mengharapkan saran-saran dari berbagai pihak, khususnya dari para pengguna dan atau pembaca buku ini.

Banda Aceh, April 2020

Penulis,

Dr. Saiful, S.Pd., M.Si.

viii Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh KOMENTAR PAKAR

Assalamualaikum wr. wb.

Buku ini penting dimiliki dan dibaca oleh siapa saja yang bergelut di bidang politik. Selain mengiris tipis tali temali ulama dan politik, buku ini juga merekam bagaimana episentrum politik Indonesia bergeser dari kekuatan serba negara ke arah serba masyarakat dengan dinamika aktor, strategi, dan appearance yang juga berubah. Oleh karena itu, selain belajar dari kearifan sejarah, penulis buku ini juga menawarkan kecerdasan publik dalam membaca dan menerka tanda-tanda atau arah perubahan politik pada masa yang akan datang. Buku ini merupakan salah satu referensi terkait dengan perkembangan politik di Aceh, khususnya ulama dan partai politik pasca-Orde Baru. Sebuah realitas peta politik yang perlu dicermati, khususnya oleh akademisi, politisi, dan praktisi. Bagaimana masa

ix Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh lalu dan masa depan iklim politik di tanah air telah disenaraikan dengan baik oleh penulis dalam buku ini. Buku yang ditulis oleh seorang dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Dr. Saiful, S.Pd., M.Si., dan diedit oleh Dr. Rusli Yusuf, M.Pd, yang mempunyai kapasitas keilmuan dibidang ini yang sangat memadai dan kedua beliau ini hidup dalam hiruk pikuk masyarakat ini. Buku ini baik untuk dijadikan salah satu referensi alternatif terkait dengan perpolitikan di Aceh, apalagi karya akademik ini terorbit dari suatu proses penelitian yang intens yang telah dilakukan oleh penulis buku ini. Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh boleh dikatakan cermin atau penguak tabir kekinian politik di Aceh yang komprehensif, baik pada peran idealis tokoh agama maupun track record politisi partai politik. Dengan sistematika penyajian dan teknik penyampaian gagasan yang sistematis serta bahasa yang mudah dipahami, buku ini layak menjadi salah satu referensi akademik dan politik.

Wasalamualaikum wr. wb.

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si.

Profesor Komunikasi Politik, dosen tetap Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

x Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT...... iii PENGANTAR PENULIS...... v KOMENTAR PAKAR ...... ix DAFTAR ISI...... xi

BAB I PENDAHULUAN...... 1 1.1 Pengantar...... 1

BAB II ULAMA SEBAGAI ELITE MASYARAKAT ACEH ...... 16 2.1 Elite ...... 16 2.2 Ulama ...... 27 2.3 Ulama dan Partai Politik ...... 37 2.4 Ulama dan Negara ...... 43

BAB III ULAMA DAN PEMILU SEBELUM REFORMASI ...... 49 3.1 Ulama dan Pemilu pada Masa Orde Lama ...... 49

xi Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 3.2 Ulama dan Pemilu pada Masa Orde Baru ...... 56

BAB IV PEMILU PASCA-ORDE BARU (REFORMASI) DI INDONESIA...... 83 4.1 Pemilu Legislatif Tahun 1999 di Indonesia...... 83 4.2 Pemilu Legislatif pada Tahun 2004 di Indonesia ...... 93 4.3 Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama di Indonesia ...... 110 4.4 Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua di Indonesia ...... 125

BAB V ULAMA DAN PEMILU PASCA-ORDE BARU (REFORMASI) DI PROVINSI ACEH ...... 130 5.1 Ulama dan Pemilu ...... 130 5.2 Ulama dan Pemilu Legislatif Tahun 1999 di Provinsi Aceh ...... 145 5.3 Ulama dan Pemilu Legislatif Tahun 2004 di Provinsi Aceh ...... 161 5.4 Ulama dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama di Provinsi Aceh ...... 178 5.5 Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua di Provinsi Aceh ...... 191

BAB VI PENUTUP ...... 199 6.1 Simpulan ...... 199

DAFTAR PUSTAKA ...... 204 DAFTAR TABEL ...... 211 TENTANG PENULIS ...... 213

xii Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pengantar Aceh merupakan salah satu provinsi yang mempunyai karakter tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Aceh mendapat julukan sebagai “daerah modal” bagi negara yang berdasarkan Pancasila. Julukan ini diberikan oleh sang proklamator, yaitu Soekarno. Presiden Soekarno pernah menyebutkan Aceh sebagai daerah modal dalam pidatonya tanggal 4 September 1959 di Meulaboh, Aceh Barat (Abdullah dalam Alfian, 1999:211). Disebut daerah modal karena pada bulan Agustus 1948, Aceh menyumbangkan dua buah pesawat terbang kepada Republik Indonesia, salah satunya dikaryakan di Burma dan menjadi cikal bakal Garuda Indonesian Airways. Selanjutnya, tahun 1949 Aceh juga menyumbangkan dana kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk biaya

1 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta (Amin dalam Alfian, 1999:211). Keikhlasan hati rakyat Aceh dalam menyumbang pesawat dan dana merupakan sesuatu yang selalu dikenang oleh rakyat Indonesia. Aceh sebagai daerah modal tidak hanya dalam sisi ekonomi dan politik, tetapi juga merupakan modal pada sisi keagamaan karena Aceh merupakan pintu masuk agama Islam di Nusantara sehingga Aceh diberi gelar dengan “Serambi Mekkah”. Dengan berbagai keistimewaan yang melekat pada daerah paling barat ini, terutama dalam bidang keagamaan. Tentunya tidak dapat dipungkiri tentang besarnya peran ulama (teungku) dalam membina kehidupan keagamaan dari berbagai sisi kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhannya maupun hubungan sesama manusia, proses itu tidak bisa terlepas daripada peran tokoh masyarakat, diantaranya adalah ulama (teungku). Teungku adalah gelar atau panggilan yang ditujukan kepada pemangku jabatan yang berhubungan dengan agama atau karena orang tersebut berpengetahuan lebih banyak atau lebih banyak beribadah daripada masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan terminologi teuku yang bermakna gelar atau panggilan yang ditujukan kepada kelompok masyarakat yang memegang jabatan-jabatan duniawi maupun karena berasal dari turunan bangsawan (C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya Jilid I, 1996, INIS, , hlm. 55). Identiknya Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh merupakan peranan dan kekuasaan ulama (teungku)

2 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sebagai “penguasa” tunggal dalam ranah agama Islam menjadi sangat besar (Nirzalin, 2003:1—2). Kemampuan ulama untuk memobilisasi massa mengalahkan semua pemimpin-pemimpin formal di dalam masyarakat Aceh (Sufi dalam Nirzalin, 2003:5). Keterlibatan dan pengaruh seorang ulama dalam konfigurasi sosiopolitik masyarakat Aceh tidak hanya pada kondisi-kondisi bentrokan bersenjata (in the war conditions) saja, seperti yang terjadi pada masa perjuangan dan awal kemerdekaan, tetapi juga pada kondisi sosial yang stabil. Dalam realitasnya apa yang dikatakan atau difatwakan oleh mereka (ulama), lebih didengar dan dipatuhi oleh masyarakat dari pada apa yang dikatakan oleh pemimpin-pemimpin formal. Oleh kerena itu, tidak mengherankan bahwa pemimpin-pemimpin formal tidak bisa dengan serta merta melepaskan diri dari dukungan para ulama. Semenjak masa kerajaan, masa penjajahan, dan hingga kemerdekaan para ulama selalu mendampingi para pemimpin formal (umara) dalam melaksanakan pemerintahan, mulai dari unit pemerintahan tertinggi (kesultanan) hingga unit pemerintahan terkecil yang disebut gampong, gampong adalah sebutan desa di Aceh (Sufi dalam Nirzalin, 2003:5). Pengaruh ulama dayah (pesantren), terutama dalam segi hubungan batin dengan murid-muridnya (santri) dan masyarakat yang berada dalam orbit pengaruhnya, senantiasa tampak kuat. Mereka mempunyai murid (santri) yang bakal menjadi pengikut yang setia dan biasanya, kalau muridnya sudah mencapai tingkat ulama akan mendirikan dayah (pesantren) dan

3 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh mempunyai muridnya pula. Pengaruh ulama ini menyebar melalui murid-muridnya. Antara guru dan murid terjalin ikatan spiritual yang mendalam. Murid-murid yang kemudian berhasil menjadi tokoh masyarakatnya, menambah pengaruh gurunya (Amin, 1988:20). Dengan kemampuan ulama yang begitu strategis dalam masyarakat Aceh, tidaklah meherankan kalau tokoh- tokoh (elite) partai politik di Aceh berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan dukungan dari para ulama dalam upaya untuk memenangkan partai politiknya dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Baik itu yang dilakukan oleh partai politik pada masa Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) maupun partai politik pasca-Orba (reformasi). Pada awal kemerdekaan yang merupakan masa-masa paling indah bagi demokrasi Indonesia karena pada masa itu semua institusi demokrasi dapat memainkan fungsinya secara maksimal. Partai-partai politik tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi, terutama dalam menentukan kepengurusan, pemilihan platform, dan aktivitas mobilisasi dukungan (Gaffar, 2004:60—61). Keluarnya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, maklumat ini merupakan tonggak awal upaya menjawab persoalan yang diwarisi sejak masa Hindia Belanda, melalui maklumat itu Hatta sebenarnya hendak membumikan partai politik, hendak membuat partai politik tumbuh dari bawah (Imawan, 2004:6). Akan tetapi, ironisnya

4 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh partai politik mempunyai nasib yang sama seperti dari jaman kolonial Hindia Belanda, Jepang, dan masih terus berlangsung hingga masa Orde Baru. Partai yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mudah diberangus dan para tokohnya dijebloskan ke penjara, Partai yang tidak mendukung upaya Jepang memenangi Perang Asia Timur Raya, dibungkam. Partai yang berseberangan dengan kebijakan Presiden Soekarno bernasib serupa, partai yang tidak mendukung konsep Presiden Soeharto tentang stabilitas keamanan untuk pembangunan ekonomi, tetapi dibutuhkan sebagai penciteraan rezim yang demokratis, dibonsai (Imawan, 2004:5—6). Dalam situasi dan kondisi politik ketika itu para ulama di Aceh juga turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik khususnya dalam mendukung partai politik Islam pada masa pemerintahan Orde Lama, baik itu sebagai anggota atau simpatisan, pengurus, maupun sebagai juru kampanye, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Namun, di Aceh Perti merupakan salah satu partai politik Islam yang didukung oleh sebagian besar ulama, karena Perti didukung oleh sebagian besar ulama, bahkan ulama itu sendiri yang menjadi pengurusnya, seperti Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy adalah pendiri Dayah (Pesantren) Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, yang didirikan pada tahun 1940, selang satu tahun

5 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh setelah kembalinya dari Sumatera Barat. Beliau terkenal sebagai ulama besar Perti karena kebanyakan murid (santri) beliau anggota Perti (Waly, 1997:127), baik itu santri yang berasal dari Aceh Selatan maupun dari daerah lain di Aceh sehingga Perti ketika itu menjadi partai yang mendapatkan dukungan besar dari masyarakat Aceh dibandingkan dengan partai Islam lainnya, baik pada pemilu pada tahun 1955 (Orla) maupun pemilu pada awal pemerintahan Orde Baru (1971). Besarnya dukungan para ulama Aceh terhadap Perti, pada satu sisi selain disebabkan oleh azas partai yang religius, tetapi pada sisi lain Perti merupakan partai Islam yang dibentuk oleh para ulama tradisional (pesantren) di Sumatera, yang berpusat di Sumatera Barat. Perti merupakan organisasi yang dibentuk oleh para ulama yang beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah yang bermuara dari mazhab Syafi’ie, alirannya ini sebagian besar sama dengan aliran para ulama dayah (pesantren) di Aceh, mungkin atas dasar inilah Perti mendapat dukungan besar dari para ulama tradisonal di Aceh, sedangkan NU ketika itu tidak begitu populer di Aceh. Hal ini disebabkan karena organisasi (NU) yang dibentuk di Pulau Jawa ini terlambat masuk ke Aceh sehingga kepopuleran Perti di Aceh telah mengalahkan kepopuleran NU sehingga ketika itu Perti merupakan satu- satunya wadah dalam mempertahankan dan memperjuangkan akidah dan ‘Amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah di daerah Aceh (Waly, 1997:127). Ketika Pemerintahan Orde Lama masih berkuasa,

6 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh khususnya setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konfigurasi politik Indonesia praktis berubah. Momen ini merupakan titik awal munculnya otoritarianisme di Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa Soekarno sangat kecewa dengan perilaku partai-partai politik pada masa pascakemerdekan. Pada Oktober 1956, misalnya, Soekarno mendesak partai- partai politik untuk menguburkan demokrasi liberalnya dan mengantikan dengan demokrasi terpimpin, yakni demokrasi dengan kepemimpinan yang kuat, untuk keluar dari kemelut ketidakstabilan politik (Feith dalam Gaffar, 2004:61). Hal ini disebabkan oleh pertentangan-pertentangan antarpartai politik dalam penentuan ideologi negara dalam konstituante dan ketika itu pula berkembangnya konsep Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) yang dijadikan sebagai salah satu pilihan ideologi yang harus di pilih oleh partai politik. Selanjutnya, kekuatan Orde Lama ini diperkuat oleh tiga kekuatan, yaitu Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat. Kegagalan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kemunculan Soeharto merupakan babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak 1965, mulailah kurun waktu yang dikenal sebagai Orde Baru. Orde Baru adalah suatu pengertian politis sebagai upaya meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa berlandaskan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NRI) tahun 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen karena Orde Lama dinilai telah menyimpang dari landasan UUD NRI Tahun 1945 dan

7 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pancasila (Eksiklopedi Politik dalam Sitompul, 1989:146). Orde Baru dalam kiprah politiknya ditandai dengan makin kuat dan meluasnya peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) serta kemunculan kekuatan politik baru yaitu Golkar, serta naiknya kaum teknokrat di panggung pemerintahan. Kenyataannnya di lapangan politik Orde Baru melancarkan apa yang disebut Demokrasi Pancasila sebagai antitesis dari Demokrasi Terpimpin yang dinilai telah menyimpang dari UUD NRI Tahun 1945 (Sitompul, 1989:146). Akibatnya, kehidupan politik dalam pemerintahan Orde Baru berlangsung dalam dua kekuatan besar, partai adalah Golkar, Golkar adalah militer, dan militer adalah panglimanya, serta semuanya tertuju kepada satu orang, yaitu panglima dari semua panglima yaitu , yang diberikan gelar “Jenderal Besar” meskipun perang yang dipimpinnya tidak pernah dimenangkannya dan sudah terjadi puluhan tahun lalu (Dhakidae, 2003:461). Sejak timbulnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia sesudah terjadinya pengkhianatan Gestapu/PKI dan runtuhnya pemerintahan Orde Lama, ABRI merupakan suatu faktor yang dominan dalam kehidupan nasional dalam berbagai bidang. Lebih daripada itu, ABRI (dwifungsi) merupakan stabilisator dan dinamisator serta pengaman bagi politik Orde Baru (Moertopo dalam Dhakidae, 2003:675). Setelah dibubarkannya PKI dan turunnya Soekarno, satu-satunya tantangan terhadap dominasi politik anggkatan bersenjata dalam Orde Baru adalah partai-partai politik,

8 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh terutama partai-partai Islam. Oleh karena itu, “penyederhanaan” sistem kepartaian pada tahun 1973 itu bisa dipandang sebagai salah satu cara untuk memakai Pancasila sebagai alasan dan pembenarannya, membatasi oposisi politik dengan menempatkan organisasi dan perilaku politis yang sesuai dengan Pancasila (Ramage, 2002:53). Soeharto mengatakan pada tahun 1982 bahwa “penyederhanaan” sistem kepartaiaan itu dibenarkan karena bangsa Indonesia telah memberikan dukungannya kepada Orde Baru, yang pada gilirannya menjanjikan kepada rakyat bahwa pemerintah akan melaksanakan Pancasila dengan benar (Moertopo dalam Dhakidae, 2003:675). Pada awal pemerintahan Orba, partai Islam masih tetap mendapat jumlah suara terbanyak hingga pada akhirnya pada tanggal 5 Januari 1973, konstelasi politik di negeri ini memasuki babak baru. Ketika empat pemimpin partai politik Islam, yakni KH. Idham Khalid (NU), H.M.S. Mintaredja (Parmusi), Anwar Tjokrominoto (PSII), dan Rusli Khalil (Perti) menandatangani sebuah deklarasi untuk melakukan fusi (pengelompokan) politik ke dalam satu partai yang belakangan dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan yang singkat dengan PPP (Media Indonesia 11 Mei 1992), penandatanganan deklarasi tersebut menggunakan Islam sebagai asas partai dan Ka’bah sebagai gambar partai. Dengan bergabungnya (fusi) Perti dalam PPP sehingga para ulama di Aceh turut serta aktif dalam PPP, yang menjadi salah satu pilihan bagi mereka (ulama) ketika partai politik (Perti) berubah wujud yang bergabung dengan

9 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh partai Islam lain dengan membentuk PPP. Pada awal-awal pemerintahan Orba di Aceh PPP selalu memperoleh suara terbanyak dalam pemilu (1977 dan 1982). Unggulnya PPP dalam pemilu pada awal pemerintahan Orba tidak terlepas dari berubahnya dukungan para ulama di Aceh, yang sebelumnya mendukung Perti, tetapi setelah terjadinya fusi dukungan mereka (ulama) berpindah ke PPP, sikap yang diambil oleh para ulama tersebut juga dikuti oleh para santri dan masyarakatnya. Setelah tahun 1982 dengan melakukan perubahan asas partai dari Islam ke asas tunggal (Pancasila) dan tanda gambar dari Ka’bah menjadi Bintang, yang seolah-olah telah menghilangkan “roh” partai yang didasari oleh nilai-nilai Islam. Berubahnnya asas dan tanda gambar tersebut berpengaruh terhadap dukungan bagi PPP, pemilu pada awal Orde Baru PPP lebih unggul daripada partai politik lainnya (Golkar dan PDI), tetapi pada pemilu dari pertengahan hingga berakhirnya pemerintahan Orde Baru jumlah suara PPP sudah mulai menyusut dari partai Golkar, bertambahnya jumlah dukungan terhadap Golkar dari pertengahan sampai berakhirnya Orde Baru mungkin disebabkan oleh adanya pergeseran dukungan para ulama terhadap partai Islam tersebut, yang dulunya aktif di PPP kemudian beralih ke Golkar. Akibatnya, dengan terjadinya perubahan dukungan ulama terhadap partai tertentu ketika itu, dengan sendirinya pendukungnya pun akan bergeser seiring dengan perubahan arah dukungan panutannya (ulama). Meskipun pada waktu itu masih ada ulama yang masih tetap

10 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh eksis di PPP, jumlahnya ulama tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah ulama besar yang mendukung partai pemerintah (Golkar), kebanyakan yang aktif pada PPP adalah para ulama muda, yang sedang meniti karier dalam kehidupan politik praktis dan pengaruhnya pun tidak terlalu besar dibandingkan dengan ulama besar (karismatik) yang dukungannya sudah berpindah ke Golkar. Ulama Aceh dari pertengahan hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru banyak yang aktif dalam mendukung partai pemerintah (Golkar), baik itu sebagai pengurus, sebagai anggota, juru kampanye, maupun sebagai simpatisan biasa yang turut serta dalam pemilu dan bahkan mereka (ulama) dijadikan sebagai motor penggerak untuk memobilisasikan massa pendukunnya, baik santri maupun masyarakatnya dalam upaya untuk memenangkan pemilihan umum sehingga pemilu tahun 1987 sampai dengan pemilu 1997 Golkar selalu menang dengan perolehan suara yang signifikan yaitu sebanyak 51% lebih (Hasil Pemilu di Aceh selama Orde Baru, Tabloid Kontras No. 36, Tahun I, 15 Juni 1999, dari DPD Golkar Tingkat I Aceh). Sebagai tokoh agama, ulama saling melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan, dan simpati dari masyarakat, baik itu melalui pendekatan wacana, ritual maupun melalui simbolisme keagamaan. Namun, ada kecenderungan bahwa ulama dalam mendukung Golkar tidak terlepas dari sistem politik yang didominasi oleh kekuatan militer dan sistem kepartaian pada

11 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masa itu (Orba), ditambah dengan faktor ekonomi dalam upaya membangun dayah (pesantren) dan diperkeruh dengan situasi konflik (DOM) sehingga ulama tidak ada pilihan lain selain mendukung partai tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa Orde Baru ditujukan untuk membatasi kekuasaan partai- partai politik Islam dan partai-partai lainnya (Ramage, 2002:52). Akibatnya, dukungan ulama terhadap Golkar ketika itu lebih didasari atas dasar diskriminasi dan intervensi dari pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman pada masa Pemerintahan Orde Baru berkuasa, bagi ulama yang mendukung partai selain partainya pemerintah (Golkar) sudah barang tentu mereka tidak mempunyai banyak akses dalam pembangunan baik itu dalam posisi politik maupun ekonomi, bahkan adakalanya para ulama yang tidak mendukung partai penguasa, setiap aktivitasnya dalam masyarakat selalu dicurigai sehingga dengan posisi yang seperti itu mereka tidak bebas beraktivitas dalam masyarakat, termasuk dalam bidang politik. gerak-gerik mereka (ulama) selalu dikontrol oleh penguasa. Akibatnya, jika ada ulama yang melakukan kritikan pedas terhadap kinerja pemerintah di lembaga legislatif, tidak jarang mereka akan recall dari posisinya, tidak mendapatkan bantuan (ekonomi) sebagai pendukung pembangunan dayah. Paling kurang jika mereka (ulama) itu sedang duduk di lembaga legislatif maka tidak akan mendapatkan kursi/posisi pada pemilu berikutnya, bahkan mereka dianggap sebagai pihak yang dianggap tidak mendukung pembangunan

12 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh yang didasari atas semangat Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang dapat merongrong keutuhan negara. Ketika pemerintahan Orba yang telah berkuasa selama lebih kurang 32 tahun jatuh pada tahun 1998 dan digantikan oleh pemerintahan selanjutnya, banyak beban yang dipikul salah tugas adalah persiapan pemilu 1999. Namun, sayangnya pelaksanaan pemilu 1999 di Aceh tidak dapat berjalan dengan optimal seperti daerah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh intimidasi (ancaman) dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melarang masyarakat untuk mengikuti pesta demokrasi, kotak-kotak suara dijarah atau dirampas, Tempat Pemungutan Suara (TPS) dirusak, bahkan panitia dan masyarakat yang akan mengikuti pemilu diancam dengan ancaman pembubuhan (tembak). Dengan kondisi keamanan yang seperti itu pemilu hanya terlaksana di beberapa daerah saja di Aceh, itu pun dengan kawalan pihak keamanan yang begitu ketat dalam upaya menyukseskan pelaksanaan hajatan bersejarah tersebut. Daerah-daerah pemilihan tersebut terletak di perkotaan dan pinggiran kota, baik kota provinsi maupun kota kabupaten dan keamanannya tergolong relatif aman dibandingkan dengan daerah-daerah pemilihan lain, yang terletaknya agak jauh dari perkotaan. Kondisi keamanam yang tidak terjamin tersebut telah menyebabkan rasa takut bagi masyarakat untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sehingga pelaksanaan pemilu di Aceh tidak efektif seperti yang diharapkan. Hasil perolehan

13 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh suara pada pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai dengan berbagai asas dan simbol tidak ada partai yang mendapatkan suara mutlak. Yang menarik menjelang pemilu tahun 1999 ini adalah tentang sikap politik ulama. Biasanya setiap pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru ulama turut mengambil peran dalam memenangkan salah satu partai, baik partai Islam (PPP) maupun partai non-Islam (Golkar). Namun, menjelang pelaksanaan pemilu pada tahun 1999 kebanyakan ulama di Aceh terutama ulama karismatik cenderung bersikap diam. Artinya tidak turut aktif dalam mendukung partai politik tententu baik terhadap partai Islam maupun partai non-Islam. Kedekatan ulama dengan massa sampai ke lapisan akar rumput (grassrood) baik itu ulama besar maupun ulama muda sehingga menjadi objek rebutan bagi partai politik dari dulu sampai sekarang. Ulama direkrut baik itu sebagai pengurus, anggota, dan sebagai juru kampanye. Hal ini tentunya sebagai salah satu upaya partai politik untuk memperoleh massa pendukung sebanyak-banyaknya. Karena pada dasarnya ulama, apalagi ulama besar biasanya mempunyai pengaruh dan pengikutnya yang begitu besar karena didukung oleh para muridnya (santri), sesama koleganya, dan masyarakat di lingkungannya. Terlepas dari berbagai alasan tentang ulama di Aceh, khususnya ulama dalam mendukung atau menolak parpol tertentu pada masa pemerintahan Orba yang telah bekuasa selama lebih kurang 32 tahun, yang katanya tidak memberikan

14 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh kebebasan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam politik secara terbuka, tetapi seiring dengan baiknya kondisi keamanan di Aceh, artinya bahwa masyarakat sudah ada jaminan keselamatannya dari pihak kemanan ketika hendak mengikuti pemilu pada tahun 2004. Hal tersebut tentunya sangat berbeda dengan situasi pada pelaksanaan pemilu tahun 1999. Pada saat itu masyarakat tidak hanya merasa takut untuk mendatangi TPS, tetapi hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat, termasuk para ulama dalam berpartisipasi untuk menjadi pengurus, anggota/simpatisan atau juru kampanye partai, sebagaimana yang sebelumnya pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis mempunyai keinginan untuk menulis kembali tentang bagaimana dukungan ulama terhadap partai politik di Aceh pada dua pemilu diawal pascareformasi, dengan mengambil kasus dua pemilu di awal runtuhnya rezim Orde Baru, yang katanya pula telah memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, tanpa adanya unsur diskrimanasi dan intervensi dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah (penguasa) yang sedang berkuasa.

15 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB II ULAMA SEBAGAI ELITE MASYARAKAT ACEH

2.1 Elite Elite yang maksud dalam tulisan ini adalah ulama (elite agama) yang mempunyai kekuasaan dalam bidang ilmu keagamaan (Islam). Dalam masyarakat Aceh, ulama ditempatkan pada posisi teratas dalam struktur sosial masyarakat Aceh. Setelah kekuasaan kesultanan dan uleebalang di Aceh hilang pada awal kemerdekaan Indonesia (kemenangan ulama dalam perang Cumbok), ulama tidak hanya memiliki kemampuan dalam bidang keagamaan dan kehidupan sosial kemasyarakatan saja, tetapi dengan adanya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, ulama juga mempunyai pengaruh dalam setiap pengambilan keputusan, yang diperkuat pula dengan UU No. 22 Tahun 1998 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Ditambah lagi

16 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan UU No. 11 Tahun 20016 tentang Pemerintahan Aceh yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga memperkuat lagi pengaruh ulama dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mulanya “teori elite politik” lahir dari diskusi seru para ilmuwan sosial Amerika tahun 1950-an, antara Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuwan politik) dan sosiolog C. Wright Mills, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya Fasisme, khususnya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset yang berkebangsaan Spayol (Varma, 2001:199—200). Menurut Pareto dan Mosca setiap masyarakat pasti terdapat sekelompok kecil (minoritas) individu yang memerintah anggota masyarakat lainnya (manoritas). Selanjutnya, sekelompok kecil individu tadi atau yang merupakan lapisan elite di masyarakatnya dibagi menjadi kelompok elite yang sedang memerintah atau “governing elite” dan kelompok elite yang tidak sedang memerintah atau “non governing elite”. Kelompok elite yang sedang memerintah terdiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politis dan kelompok yang tidak sedang memerintah terdiri dari orang-orang yang tidak menduduki jabatan-jabatan politis, tetapi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung pembuatan kebijaksanaan (Gurr dalam Haryanto, 1991:8). Teori elite menegaskan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup (1)

17 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah (ingin berkuasa), dan (2) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah atau dikuasai (Varma, 2001:197). Kenyataan ini agaknya memang tidak bisa dihindari dan memang tidak perlu dihindari karena sesungguhnya hal itu mungkin lebih tepat untuk dikatakan sebagai konsekuensi logis dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dua kelompok masyarakat akan selalu terformat secara dikotomi dengan tolok ukur kesetaraan yang tidak pernah seimbang. Artinya, ditinjau dari segi kuantitatif, kelompok elite selalu memiliki jumlah yang jauh lebih kecil ketimbang kelompok massa, sementara dilihat dari aspek kualitatif, elite yang jumlahnya kecil itu ternyata memiliki peran politik jauh lebih besar (Sulchan dalam Varma, 2001:10). Lasswell menyatakan bahwa elite merupakan suatu kelas yang terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan dominasi dalam masyarakat. Artinya, bahwa nilai- nilai (values) yang mereka bentuk (ciptakan, hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai- nilai atau values tersebut mungkin dapat berwujud kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan, dan lain-lainnya. Mereka yang berhasil memperoleh dan menguasai nilai-nilai tersebut dalam jumlah yang banyak pada gilirannya akan menduduki lapisan atas dari pada stratifikasi yang ada di masyarakat yang bersangkutan, dan sebaliknya mereka yang kurang atau

18 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tidak berhasil sama sekali memperoleh dan menguasai nilai- nilai tersebut akan berada pada lapisan bawah dari stratifikasi. Selanjutnya, Laswell mengatakan bahwa elite adalah individu- individu yang berhasil memiliki sebagian terbanyak dari nilai- nilai karena kecakapan-kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka. Dengan keunggulan yang melekat pada dirinya, elite terlihat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan- keputusan (Haryanto, 1991:16). Putnam menyatakan bahwa di kalangan kelompok yang berkuasa (elite) sebenarnya hanya terdapat beberapa individu di antara mereka saja yang secara langsung dapat memutuskan kebijaksanaan sehingga dengan demikian harus dapat dibedakan antara elite yang mempunyai pengaruh langsung dalam proses pembuatan kebijaksanaan dan elite yang pengaruhnya tidak langsung dalam proses tersebut. Elite dinyatakan mempunyai pengaruh langsung apabila yang bersangkutan ikut terlibat secara langsung dalam proses pembuatan kebijkasanaan dan ikut dalam menentukan kebijaksanaan final, sedangkan elite yang dinyatakan mempunyai pengaruh tidak langsung apabila yang bersangkutan hanya dapat mempengaruhi elite lainnya dan elite yang lainnya inilah yang terlibat dan memutuskan dalam proses pembuatan kebijaksanaan (Haryanto, 1991:19). Riestedt memahami pengertian elite dari sisi peranan simbolisnya. Menurut Riestedt, elite adalah penentu atau perantara simbolis atau lambang. Tindakan mereka di depan umum atau penampilan mereka, baik yang bersifat instrumental

19 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh maupun ekspresi, dapat mempengaruhi cara pandang dan pola hidup masyarakat atau ummat. Pemahaman Reistedt tersebut secara tegas menunjukkan bahwa pengertian elite sangat berhubungan dengan problema adaptif dalam pencapaian tujuan dan nilai melalui apa yang mereka selesaikan. Elite cenderung dipahami dari sisi kemampuan kerja atau kharisma, integritas diri, dan solidaritasnya. Mereka cenderung dipahami dari sisi nilai yang mereka wakili. Teori-toeri tentang elite ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan elite agama adalah mereka yang memiliki posisi dan peranan strategis dalam agama, status, dan peran strategis elite agama ini diakui dan dihargai secara luas dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih berperan di dalam konteks kehidupan sosial yang luas daripada sekedar menyampaikan misi yang sempit. Hakikat dan peran yang ditampilkan selalu harus terkait dengan konteks budaya sehingga memiliki nuansa nilai-nilai hidup masyarakat yang dapat mengakses peran dan tanggung jawabnya dalam permasalahan yang bersifat kontekstual (Haryanto, 1991:20). Elite (agama), Keller dalam Lexi A. Lonto menjelaskan bahwa istilah elite (dari bahasa Latin eligere) pertama-tama menunjuk kepada suatu minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial. Menurutnya, elite merupakan sekelompok (minoritas) yang memegang posisi terkemuka dalam masyarakat. Mereka adalah minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab. Posisi atau status terkemuka para elite ini diperoleh dari

20 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pengakuan masyarakat, bukan pemberian pemerintah (Lexi A. Lonto, 2001:19). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Schoorl bahwa elite adalah kelompok orang dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh, berkedudukan paling tinggi di dalam struktur sosial, politik, pemerintahan, ekonomi, dan agama. Schoorl secara khusus menyebut elite agama bagi mereka yang terkemuka di bidang agama (Schoorl dalam Lonto, 2001:19). Sebagai elite agama, ulama saling melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan dan simpati dari masyarakat, baik itu melalui pendekatan wacana, ritual, maupun melalui simbolisme keagamaan. Dengan semangat keyakinan masyarakat Aceh bahwa ulama dayah (pesantren) lebih dihargai oleh masyarakat yang tinggal di pedalaman, karena ulama adalah “pewaris” nabi dan penafsir yang legitimate terhadap ajaran-ajaran agama Islam telah menempatkan para ulama menjadi kelompok elite masyarakat Aceh yang sangat berkuasa, telah menjadikan para ulama sebagai kelas masyarakat Aceh yang “suci” dan tak tersentuh (untouchable man). Otoritas keilahian menjadi basis utama bagi munculnya kepatuhan yang tak terbatas dari masyarakat Aceh kepada para ulama dalam pelbagai horizon sosial. Intervensi ulama dalam khasanah sosial dipandang sebagai sesuatu yang sah dan “suci” (Nirzalin, 2003:119—120). Ulama dalam konfigurasi sosiokultural masyarakat Aceh merupakan sosok yang berkuasa. Kekuasaan ulama ini terus bersemai dalam “lahan subur” psikososial masyarakat Aceh

21 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh yang religius. Ulama merupakan elite agama yang menguasai ranah keagamaan. Dalam ranah inilah terlihat sekali bagaimana kekuasaan mereka berlangsung secara hegemonik dan dominatif. Praktek kekuasaan yang hegemonik dan dominatif ini oleh para ummatnya dianggap sebagai sesuatu praktek kekuasaan yang “wajar” dan sudah seharusnya. Hal ini dikarenakan ulama diyakini sebagai pewaris-pewaris yang legitimate dari ajaran Islam (Nirzalin, 2003:119—120). Dalam banyak hal, ulama dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad saw. Salah satu hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Oleh karena itu, ulama sangat dihormati kaum muslimin lainnya. Pendapat-pendapat ulama dianggap mengikat dalam berbagai masalah, tidak hanya menyangkut masalah keagamaan, tetapi sering pula dalam masalah-masalah lain, seperti sosial, kultural dan kehidupan politik (Azra dalam Nirzalin, 2003:13). Ditempatkannya kiai (ulama) pada posisi tertinggi (elite) adalah sebagai salah satu ciri terpenting pesantren (dayah). Ciri ini, misalnya, terlihat pada pola hubungan antara kiai dengan santrinya dan masyarakat di sekitarnya. Para santri patuh dan taat tanpa reserve kepada kiai, apa yang difatwakan kiai biasanya selalu diikuti, bahkan pola hubungan demikian telah diwujudkan ke dalam suatu doktrin: Sami’na wa Atha’na ‘kami mendengar dan kami patuh’ (Asfar, 1995:29). Dengan posisi dan pengaruhnya tersebut ulama di Aceh

22 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tidak hanya sebagai elite (agama) yang mempunyai otoritas dalam bidang keagamaan saja, tetapi pengaruh ulama di Aceh juga telah dilibatkan secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya keistimewaan keempat, yang memberikan peran kepada ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Selain ulama sebagai kelompok elite dalam kehidupan masyarakat Aceh terdapat juga kelompok elite lainnya. Dalam lintasan sejarah, di Aceh pada masa kesultanan dulu, terdapat tiga kelompok elite, yaitu sultan, ulèebalang (kaum bangsawan) dan ulama. Ulèebalang merupakan semacam raja-raja kecil di wilayah atau negerinya. Kedudukan ulèebalang bersifat turun temurun. Pada zaman kesultanan, ulèebalang diangkat oleh sultan melalui sarakata (surat pengangkatan) yang dibubuhi cap sikureueng. Sarakata memberikan legitimasi terhadap kekuasaan ulèebalang atas wilayahnya, dan sekaligus merupakan pengakuan si uleebalang atas kekuasaan sultan. Meskipun sultan memberi otonomi yang luas kepada para ulèebalang, sarakata menunjukkan bahwa sultan dapat mengontrol mereka. (Alfian (peng), 1988:3). Namun, setelah dihapusnya kesultanan, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok elite pribumi yang menonjol adalah ulèebalang dan ulama (Amin, dalam Alfian (peng), 1988:12). Kaum ulama, terutamanya para ulama reformis

23 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dan golongan ulèebalang semakin ketat bersaing dalam berebut pengaruh dan kekuasaan. Persaingan tersebut terus berlangsung di zaman Jepang sampai pada awal kemerdekaan. Puncak dari persaingan ini adalah peristiwa berdarah Cumbok yang terjadi beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan RI. Kaum ulama keluar sebagai pemenang dan hal itu banyak berpengaruh terhadap perkembangan Aceh selanjutnya (Alfian (peng), 1988: 4). Seiring dengan perkembangan zaman, yang hanya dapat mempertahan diri sebagai kelompok elite dalam masyarakat Aceh sampai sekarang ini adalah elite agama (ulama) yang mempunyai kemampuan dalam bidang keagamaan dan elite adat, seperti imeum mukim sebagai pemimpin ditingkat mukim dan keuchik sebagai pemimpin di tingkat gampông. Mereka ini mempunyai kemampuan dalam bidang adat-istiadat dan pemerintahan di Aceh. Imeum mukim adalah pimpinan sebuah pemerintahan tradisional di Aceh yang dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah Aceh dalam tahun 1607—1636 Masehi. Dalam strukrur pemerintahan kesultanan Aceh waktu itu, kedudukan kemukiman merupakan unit pemerintahan tingkat ketiga setelah pemerintahan sagoe pada tingkat kedua dan kerajaan (raja) pada tingkat pertama. Namun, sekarang ini kedudukannya berada antara camat dan gampông (sebutan desa di Aceh) yang mempunyai otoritas dalam bidang pemerintahan dan adat sehingga mereka juga berperan sebagai penghubung antara keuchik dan camat. Semantara mukim adalah lembaga tradisional di Aceh yang perperan

24 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sebagai lembaga koordinator atas beberapa gampông yang setiap kemukiman biasanya terdapat satu buah mesjid yang dipimpin oleh imeum mesjid. Keuchik adalah sebutan kepala desa di Aceh yang memimpin gampông. Gampông adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim. Setiap gampông biasanya terdapat satu buah meunasah yang dipimpin oleh imeum meunasah. Pada tahun 1979 terjadi perubahan besar terhadap lembaga-lembaga tradisional ini. Perubahan ini akibat dari lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Meskipun UU Nomor 5 Tahun 1979 tidak mengatur secara jelas tentang keberadaan lembaga pemerintahan mukim, dalam kenyataannya pengaruh dan peranan lembaga kemukiman masih sangat terasa, bahkan masih dibutuhkan seperti dalam setiap rapat-rapat gampông (sebutan desa di Aceh). Imeum mukim masih tetap diikutsertakan dalam setiap pengabilan keputusan. Namun, dengan adanya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik), Hal ini menjadi sumber munculnya berbagai macam ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Lembaga pemerintahan mukim merupakan organisasi lokal yang meliputi kekuasaan yang bersifat tradisional di Aceh. Sekarang lembaga ini mulai diatur kembali dalam berbagai undang-undang walaupun secara substansinya masih

25 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh diperdebatkan, seperti: (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dalam BAB XI pasal 95 tentang Pemerintahan Desa dan pasal 104 tentang Badan Perwakilan Desa, serta Pasal 106 tentang lembaga-lembaga lain, (2) UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Khususnya mengenai Pemerintahan Desa BAB VI dalam pasal 7 sampai dengan pasal 10. Pasal 10 Undang- undang ini menyebutkan khusus mengenai lembaga mukim, dan (3) UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. mukim adalah wilayah yang meliputi beberapa gampông di bawah satu kecamatan yang luasnya disesuaikan dengan batas-batas mukim yang sudah ada atau ditentukan lain oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kemukiman sebagai pusat interaksi masyarakat dengan medianya adalah masjid. Artinya, masjid sebagai pusat komunikasi dalam rangka menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang menyangkut dengan kegiatan mukim. Dari sekian banyak jumlah masjid dalam setiap kemukiman ada satu yang disebut sebagai masjid Jamik. Masjid ini merupakan sarana kegiatan imeum mukim atas dasar kerja sama dalam bidang keagamaan yang pada mulanya antar-gampông sehingga terbentuk kesatuan hukum yang bercorak agama. Wilayah kemukiman dipimpin oleh seorang imeum mukim yang mengurus masalah umum, termasuk di dalamnya masalah adat, sedangkan imeum masjid mengurus masalah keagamaan. Kedua pejabat administrasi masyarakat pedesaan ini

26 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh mengalami perbedaan proses legitimasi, imeum mukim dan keuchik, disebut pemimpin formal tradisional dipilih oleh masyarakat menurut syarat tradisional, diangkat, dan disahkan serta diberi honor oleh pemerintahan, sebagai mana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 32/GA/1961 tentang Peraturan Memilih, Mengakui dan Memberhentikan Keuchik di Daerah Istimewa Aceh. Legitimasi imeum masjid (sebutan Imam Masjid di Aceh) dan Imeum Menasah (sebutan Imam Surau/Musalla di Aceh) tetap ada pada tradisi masyarakat pedesaan, termasuk penghasilannya yang bersama- sama bersumber dari biaya pemeliharaan masjid dan meunasah (sebutan musalla atau surau di Aceh) yang diperoleh dari tanah komunal yang disebut umang sara menurut istilah masyarakat setempat.

2.2 Ulama Perkataan ulama berasal dari bahasa Arab, jamak (plural) dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmuwan. Pemakaian kata ulama di Indonesia agak bergeser sedikit dari pengertian aslinya dalam bahasa Arab. Di Indonesia, ‘alim diartikan seorang yang jujur dan tidak banyak bicara, di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya, perkataan ulama hanya digunakan untuk para ahli agama Islam saja (Ismuha dalam Abdullah (ed.), 1983:3). Di Indonesia ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda di setiap daerah, seperti

27 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh kiai (Jawa), ajengan (Sunda), syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), buya (Minangkabau), tuan guru kalau di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah (Muhammad, 2003:73). Dalam masyarakat Aceh, ulama dipanggil dengan sebutan teungku, tetapi tidak semua panggilan teungku merujuk pada sosok ulama. Terminologi teungku merupakan terminologi yang masih bersifat general, istilah teungku sering digunakan dalam konsumsi dialektika sehari-hari, seperti dalam menyapa seseorang yang baru dikenalnya, menyambut tamu yang belum dikenal, sebutan bagi orang yang sedang menuntut ilmu agama, dan panggilan murid (santri) terhadap gurunya (ulama). Dalam realitasnya sebutan teungku di Aceh mempunyai tiga makna, yang pertama sebutan teungku sebagai titel panggilan, yang kedua sebutan teungku sebagai titel keturunan, dan yang ketiga adalah sebutan teungku sebagai panggilan kehormatan terhadap kapasitas keilmuan agama yang dimiliki oleh seseorang. Berkaitan dengan sebutan teungku yang masih bersifat general dalam masyarakat Aceh, maka di sini perlu ditekankan bahwa yang dipanggil dengan sebutan teungku adalah individu yang mempunyai kapasitas keilmuan agama yang luas dan tinggi. Inilah disebut sebagai ulama dalam masyarakat Aceh. Dalam memperoleh gelar keulamaan dalam masyarakat Aceh, ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh sesorang, pertama individu itu mempunyai pengetahuan agama Islam yang luas, kedua individu tersebut mendapatkan pengakuan

28 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh (legitimasi) dari masyarakatnya. Syarat pertama dapat dipenuhi setelah seseorang menempuh masa belajar agama Islam yang cukup lama, sedangkan syarat yang kedua baru dapat dipenuhi setelah masyarakat melihat ketaatan dari seseorang terhadap ajaran agama Islam. Apabila seseorang memiliki pengetahuan agama dengan luas dan tinggi, tetapi jika tidak diamalkan, orang tersebut tidak akan mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai seorang ulama. Pengakuan sebagai seorang ulama harus diiringi dengan penghormatan terhadap orang yang diakui tersebut, sedangkan bagi orang yang mengetahui agama dengan luas, tetapi tanpa diamalkan, individu tersebut tidak diakui dan dihormati terhadap keulamaannya, bahkan mendapatkan celaan umatnya (Ismuha dalam Abdullah, 1983:18). Ulama di Aceh secara garis besar dapat dikategorikan dalam dua kelompok, kelompok pertama adalah ulama yang belatar belakang pendidikan agamanya dari dayah (pesantren). Dayah (pesantren) merupakan lembaga tradisional di Aceh bersifat nonformal, yang hanya mempelajari tentang ilmu keagamaan saja. Kelompok yang kedua adalah ulama yang pendidikan agamanya ditempuh pada lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Muhammadiyah, dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan formal lainnya yang lebih bersifat modern, yang tidak hanya mempelajari ilmu keagamaan saja, tetapi juga mempelajari ilmu pengetahuan lainnya (umum). Selanjutnya, dari dua kategori ulama tersebut, hanya ulama dayah (pesantren) tradisional yang

29 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh diakui oleh masyarakat Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh sikap masyarakat yang sangat fanatik terhadap para ulama (sebagai pewaris Nabi) dan mungkin disebabkan pula oleh keberadaan dayah (pesantren) itu sendiri karena sebelum adanya lembaga pendidikan lain di Aceh, dayah sudah ada duluan dalam masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, ulama diidentikkan dengan teungku. Secara kultural, teungku merupakan orang-orang tamatan dayah (pesantren) atau yang pernah hidup di lingkungan dayah ataupun orang-orang yang dipercayai menduduki jabatan keagamaan dalam masyarakat seperti teungku khatib (imam khutbah), teungku imeum (sebutan imam surau di Aceh), teungku balèe (balai pengajian), dan teungku bileu (sebutan muazin di Aceh). Kenyataan ini dapat dipahami karena sampai hari ini dayah untuk kultur masyarakat Aceh tetap dipandang sebagai sokoguru pendidikan agama dan keulamaan, serta orang- orang yang terlibat dalam lembaga keagamaan desa umumnya dari kalangan dayah dengan pengecualian di beberapa tempat, terutama daerah perkotaan. Secara ideal, tidak semua teungku identik dengan ulama karena tidak semua santri berhasil menyelesaikan studinya di dayah sampai jenjang terakhir. Ada orang yang karena pernah beberapa bulan mengaji di dayah sudah melekat label ke-teungku-an pada dirinya. Dengan demikian, secara kultural tidak semua teungku disebut ulama dan tidak semua ulama disebut teungku. Orang-orang yang secara ideal/ substansial dapat disebut ulama, untuk masyarakat Aceh tidak

30 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh disebut teungku jika bukan alumni dayah/pesantren (Djuned, 1998:3). Dalam masyarakat yang religius dan fanatik, seperti masyarakat Aceh tentunya ulama mempunyai peran yang sangat besar dalam berbagai konfigurasi kehidupan kemasyarakatan. Dalam realitasnya, ulama tidak hanya menjadi “suluh” dalam kehidupan agama, tetapi juga dalam aspek sosial lainnya termasuk juga aspek politik. Eksistensi kekuasaan ulama dalam masyarakat Aceh tercermin dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tingkat paling bawah (desa) sampai ketingkat paling tinggi (provinsi). Eksistensi ulama tersebut bukan hanya tercermin pada masa sekarang, melainkan secara historis, keberadaan ulama dalam masyarakat sudah tercermin mulai dari masa kerajaan dan masa revolusi. Begitu juga dengan eksistensi kekuasaan ulama dalam kancah politik (Nirzalin, 2003:22—24). Pada dasarnya ulama di Aceh berperan sebagai penasehat raja atau penguasa. Ketika kesultanan Aceh akhirnya terputus, sebagai akibat langsung dari Perang Aceh, para ulama makin memunculkan diri sebagai “perumus ke-Aceh-an” yang otentik (Abdullah, 1996:61). Hal ini tercermin dalam sepenggal kata bijak orang Aceh yang menyebutkan bahwa, Adat bak Poteu Meureuhom, Hukôm bak Syiah Kuala ‘Adat berada ditangan Sultan, Hukum berada ditangan Ulama’, yang menunjukkan bahwa betapa besarnya peran ulama ketika itu, bahkan pada masa sekarang peran ulama dalam masyarakat Aceh diperkuat dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

31 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, khususnya keistimewaan keempat, yang memberikan peran kepada ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Dalam masyarakat Aceh golongan ulama adalah salah satu kelompok yang amat penting karena posisi ulama sebagai pemimpin-pemimpin informal. Dalam sejarah masyarakat Aceh ditemukan masa-masa hubungan antara ulama dan masyarakat sangat intim. Salah satu contoh yang paling utama ialah pada masa perang kolonial Belanda di Aceh. Para ulama pada masa itu berada pada posisi yang dominan dalam masyarakat. Posisi ulama yang demikian, tidak saja disebabkan mereka (ulama) dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi juga sebagai pemimpin-pemimpin dan panglima perang. Ulama juga selalu dapat membuat interpretasi situasional berdasarkan nilai agama (Alfian dalam Ismail, 1998:3). Dalam sejarah Aceh, ulama sebenarnya memiliki peran sebagai penyebar ilmu dan dakwah Islam serta pandamping kekuasaan atau sultan. Ulama dan sultan adalah mitra sejajar yang bekerja untuk memimpin dan mendidik masyarakat serta menciptakan kehidupan yang adil dan makmur. Sebagai kerajaan Islam di kesultanan Aceh berlaku hukum Islam, bahkan agama dan politik menyatu sehingga memberi posisi penting bagi ulama sebagai kelompok elite. Pengaruh ulama ini cukup besar dalam perpolitikan istana. Ulama juga dapat dikatakan duduk dan berperan dalam kehidupan masyarakat serta menjadi salah satu golongan penjamin kekuasaan (Syamsuddin, 1998:9).

32 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Keadaan seperti ini sebenarnya tidak sulit dikembalikan, apalagi mengingat bahwa masyarakat Aceh dan juga para pemimpin di Aceh adalah orang-orang muslim yang diyakini masih memiliki kemauan dan komitmen keagamaan yang tinggi. Fungsi dan peran ulama sebagai penyebar ilmu dan dakwah Islam barangkali tidaklah sulit dijalankan. Namun, perannya sebagai pemantau kekuasaan ataupun sebagai mitra kekuasaan dalam rangka menentramkan dan memakmurkan kehidupan rakyat barangkali akan berhadapan dengan sejumlah tantangan (Muhammad, 2003:80). Menurut Zamakhsyari Dhofier, ulama mempunyai kekuasaan yang besar dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh aturan hukum agama Islam yang mengaturnya, tidak hanya hubungan antara individu dengan Tuhannya, tetapi juga dengan hubungan sosial dan personal sehingga memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada para kiai (ulama) dalam masyarakat Jawa. Dengan demikian, massa pendukung di Jawa akan mempercayakan kepada ulama untuk membimbing dan dalam memutuskan keputusan- keputusan tentang hak milik, perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya. Itulah sebabnya pengaruh ulama sangat kuat dalam masyarakat, apalagi disertai oleh sikap ulama yang enggan terhadap urusan-urusan kenegaraan. Pengaruh ulama yang besar tersebut memberikan pula kekuasaan moral yang luar biasa sehingga ulama mendapatkan kedudukan sebagai kelompok intelektual yang menonjol (Dhofier, 1982:57).

33 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Besarnya kekuasaan ulama dalam masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Dhofier di atas, secara analogi ternyata tidak jauh berbeda dengan realitas ulama dalam kehidupan masyarakat Aceh, bahkan besarnya kekuasaan ulama di Aceh tidak hanya terletak dalam tataran teologi dan sosial saja, tetapi juga merambah dalam kehidupan lainnya, termasuk dalam kehidupan politik praktis, seperti yang dapat terlihat dalam beberapa dekade pemerintahan di Indonesia. Ulama merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren, ulama seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi ulamanya (Dhofier, 1982:55). Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional. Para siswa atau santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai” di pulau Jawa dan “teungku” di Aceh. Asrama untuk para santri (siswa) tersebut berada dalam lingkungan kompleks pesantren yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Peranan ulama di dalam masyarakat Aceh dapat dibagi dalam tiga bidang, yaitu bidang pengembangan ilmu, lembaga pendidikan, dan pembinaan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, seperti telah disebutkan di atas bahwa muara dari kedudukan dan peranan para ulama di Aceh adalah dayah (pesantren) dan masyarakat. Kebesaran

34 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh seseorang ulama dalam pandangan masyarakat tergantung kepada berapa lama dan berapa banyak ilmu pengetahuan agama Islam yang dimiliki ulama itu pada waktu menjadi santri di dayah. Selain itu, juga diukur seberapa besar dayah yang dapat dikembangkan (termasuk kedalamnya ilmu yang ia ajarkan dan jumlah santri yang menjadi muridnya). Disamping itu, juga berapa besar pengaruhnya terhadap masyarakat yang ada disekitarnya sehingga dengan demikian dayah (pesantren) adalah faktor kunci bagi peranan ulama. Para ulama di Aceh telah memainkan peranan penting dalam pengembangan ilmu, lembaga pendidikan (dayah), dan pembinaan umat sepanjang sejarah perkembangan masyarakat Aceh. Peranan yang mereka mainkan itu dimungkinkan karena kedudukan sosial mereka sebagai kelompok dominan dalam sistem sosial masyarakat Aceh yang ditandai oleh nilai-nilai sosial agama Islam (Ismail, 1998:10—12). Dalam pola kepemimpinan Islam, secara konseptual kita berhadapan dengan beberapa situasi konflik atau ketegangan, seperti ketegangan yang bersifat doktrinal, yaitu keharusan adanya kesesuaian total antara substansi ajaran atau doktrin agama (jadi aspek kultural dari agama) dengan pengaturan institusional atau kepranataan dari para pemeluk (jadi aspek struktural agama. Selanjutnya, ketegangan konseptual, yaitu menyangkut hubungan antara konsep manusia yang sama di sisi Tuhan (yang hanya dibedakan oleh taqwa) dengan keharusan ikatan struktural dari komunitas “mereka yang percaya” dari

35 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sudut ini kedudukan yang strategis, dan sekaligus kritis, dari ulama, yaitu mereka yang menyediakan diri untuk menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kapada yang baik (ma’ruf) dan mencegah dari yang jahat (mungkar). Dari sudut ajaran, ulama hanyalah berfungsi sebagai penerus aqidah (kepercayaan) dan syari’ah kepada mereka yang awam. Jadi, peranannya lebih bersifat kultural. Mereka menggumuli masalah-masalah yang bersifat nilai, bukan yang menyangkut masalah tempat dan hirarki dalam tatanan sosial. Oleh karena itu, kita pun selalu berhadapan dengan idealisasi dari peranan ulama, sebagai pemimpin, tetapi sekaligus juga dihantui oleh sarkasme yang tanpa batas, yang menyatakan bahwa “ulama adalah pewaris nabi”. Demikian kata tradisi dan begitu pula harapan sosial yang selalu diperkuat (Abdullah, 1983:59). Dalam realitas aktual, ulama di Aceh telah mengalami polarisasi ke dalam dua kutub yang berbeda, yaitu ulama kultural dan ulama politik. Ulama kultural adalah ulama yang hanya terlibat dalan bidang kultural, mereka hanya menyibukkan diri dalam bidang pendidikan di dayah (sebutan pesantren di Aceh) yang tersebar di berbagai daerah di Aceh. Kelompok ulama ini masih memiliki legitimasi yang kuat dari pengikut dan masyarakatnya, mereka menjadi tempat mengadu dan rujukan berbagai elemen masyarakat terhadap pelbagai problema yang dihadapi. Sementara ulama politik adalah ulama yang terlibat atau dilibatkan dalam aktivitas politik, baik dari pemerintah maupun Parpol, terutama Golkar. Dalam “roh”

36 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sosial masyarakat Aceh, kekuasaan kelompok ulama politik ini sudah mengalami delegitimasi (Nirzalin, 2003:249—250).

2.3 Ulama dan Partai Politik Partai politik merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis, sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan konpromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Oleh karena itu, partai politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Mark N. Hagopian mendefinisikan partai politik merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip- prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan sehingga dengan batasan-batasan seperti itu tampak jelas bahwa basis sosiologis suatu partai politik adalah ideologi

37 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dan kepentingan yang diarahkan pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan (Amal, 1996:xv). Dalam teori demokrasi modern partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dengan pemerintah. Partai- partai dianggap memainkan peranan menyeluruh sebelum, selama, dan sesudah pemilihan umum. Berbeda dengan kelompok kepentingan, partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Mereka mengidentifikasi, memilah, menentukan, dan mengarahkan pelbagai kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Partai-partai yang bersaing mengemukakan program-program lintas-kebijakan di dalam konteks persaingan memperebutkan pemerintahan. program- program itu menstrukturkan pilihan para pemilih. Sekali telah duduk dipemerintahan, partai-partai merupakan lembaga pengorganisasi utama yang membentuk, melaksanakan, dan mengawasi proses penyusunan kebijakan sehingga parpol mendapatkan peran sebagai penghubung dan pengintegrasi yang diembannya sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah (Klingeman, dkk., 2000:392—393). Partai dengan berbagai fungsi yang dimilikinya, seperti fungsi partai sebagai representasi (perwakilan), konversi dan agregasi, integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), persuasi, represi, rekrutmen, pemilihan pemimpin, pertimbangan- pertimbangan, dan perumusan kebijaksanaan, serta kontrol

38 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh terhadap pemeritah. Dengan fungsi-fungsi tersebut dapat mencapai tujuan politis yang telah rencanakan sehingga dalam realitasnya Orba merupakan rezim yang secara sadar memasukkan ulama sebagai salah satu instumen untuk mengejar berbagai kepentingan-kepentingannya. Orba “memaksa” para ulama untuk melakukan minimal salah satu dari tiga peran berikut: turut menyukseskan program- program pembangunan, sebagai legitimator stabilitas sosial politik, dan menaikkan perolehan suara Golkar. Selain itu, Orba juga berhasil membentuk suatu orientasi yang jauh dari etika ulama. Orientasi ini terbentuk sebagai implikasi psikologis atas terbentuknya organisasi bentukan negara seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipupuk dan diberi fasilitas. Pembentukan organisasi ini ternyata tidak lebih dari organisasi perpanjangan tangan negara sehingga menciptakan mentalitas orientasi vertikal, terutama pada sebagian ulama muda yang meniti karir. Tak pelak lagi pada masa Orba persoalan ulama mengalami cobaan yang berat ketika pemerintah mengitervensi mereka untuk mendukung partai yang lagi berkuasa (Golkar) sehingga secara etika ulama mulai tercemar. Bila kita mau memperdebatkan lebih besar, perbincangan pun barang kali mirip gagasan Julien Benda pengkhianatan para intelektual. Rumusan klasik tentang etika ulama dapat dijumpai pada gagasan pada imam Al-Ghazali. Rumusannya ini lebih difokuskan pada hubungan ulama dengan kekuasaan. Etika

39 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ulama dalam pandangan Al-Ghazali, kurang lebih adalah upaya untuk berhati-hati bahkan mesti menjaga jarak dengan kekuasaan karena kewibawaan personal dan keluasan ilmu ulama bisa menjadi pengabsah kekuasaan. Sementara sebaliknya, jika tidak berhati-hati, kekuasaan bisa merusak pribadi dan misi ulama sehingga dalam perkembangannya banyak ulama sekarang ini untuk berusaha mengoreksi diri mereka, yang dulunya fatwa- fatwa politik tidak mau didengarkan oleh publik sehingga dengan pergeseran dukungan mereka terhadap partai baru sekarang ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki citra mereka dihadapan publik. Boleh jadi di antara kita memandang bahwa gerakan “kembali ke umat” yang dilakukan oleh ulama sebagai reaksi psikologis dari berbagai bentuk tekanan yang ada. Hal ini disebabkan oleh begitu menyempitnya ruang gerak ulama pada masa Orba. Namun, gerakan tersebut justru sangat menjanjikan, baik di masa transisi sekarang maupun pada masa mendatang. Bila perlembagaan demokrasi kita berhasil, secara teoretis ulama tidak akan mengalami peminggiran dan penjinakan seperti yang terjadi pada era Orba. Ulama masih memiliki akses dan terlibat dalam proses-proses politik meskipun berada di luar kekuasaan. Keterlibatan ulama ini justru karena berada di tengah-tengah umat. Kecakapan dan dukungan ulama membuat mereka dengan sendirinya diperhitungkan sehingga dapat menjadi pengontrol perilaku pemerintah sehingga nantinya dalam proses perkembangan demokrasi tidak ada pihak-pihak tertentu

40 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh untuk mendiskriminasi terhadap kebebasan dalam berpolitik, termasuk kehidupan perpolitikan para ulama. Pemuka agama merupakan golongan fungsional yang pada umumnya memiliki kharisma dalam lingkungan tertentu dan menjadi panutan bagi masyarakat. Apalagi di lingkungan masyarakat yang bersifat sosialistis religius, maka petunjuk- petunjuk ulama pada umumnya dipatuhi oleh pengikutnya dan rakyat di sekitarnya. Banyak di antaranya yang menjadi tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh sehingga parpol sangat menyadari tentang peran ulama dalam masyarakat, ulama sangat didengar dan lebih efektif dalam membina masyarakat (Nirzalin, 2003:213). Komunitas Islam sebagai ikatan sosial, yang menentukan nilai dasar dari peranan dan tempat seseorang dalam hubungan sosial, komunitas Islam pertama-tama adalah suatu ikatan sosial yang kehadirannya dimungkinkan oleh komitmen yang sakral dan yang secara transendental dipertanggungjawabkan. Sebagai kelompok dari mereka yang percaya, maka komunitas ini bersifat universal, setidaknya demikianlah halnya dari sudut doktrin dan konsepsi ideal tentang “umat”. (Abdullah, 1996:58—59). Hal tersebut tidak terlepas dari budaya politik dari suatu masyarakat. Setiap masyarakat memiliki budaya politiknya masing- masing, baik masyarakat yang masih tergolong tradisional maupun masyarakat yang sudah maju. Almond dan Powell mendefinisikan budaya politik sebagai suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan keterampilan yang

41 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola-pola kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola- pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok masyarakat. Lebih lanjut Almond dan Verba menjelaskan pula bahwa istilah budaya politik mengacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagian serta peranan masyarakat itu dalam sistem tersebut (dan G. Bigham Powell dalam Waris, 1994:15—16). Menurutnya orientasi politik mengacu pada orientasi cognitif, orientasi afectif, dan orientasi evaluatif. Yang disebut pertama, orientasi cognitif, menyangkut pengetahuan dan kepercayaan pada politik, peranan, dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya; orientasi afectif bersangkut paut dengan masalah perasaan terhadap sistem politik, peran yang bersangkutan, dan penampilan para aktor; sementara itu orientasi evaluatif berkenaan dengan masalah keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria informasi serta perasaan (Waris, 1994:16—17). Mengacu pada pola orientasi politik tersebut, Almond dan Verba kemudian memunculkan tipe-tipe kebudayaan politik. Menurutnya ada tiga tipe budaya politik, yaitu budaya politik parokial, budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan. Menyangkut pengertian ketiga tipe budaya politik tersebut, Almond mengemukakan bahwa berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki, kita dapat menggolongkan orientasi-orientasi warga negara

42 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh terhadap kehidupan politik dan pemerintahan negaranya; atau dengan kata lain, kita bisa menggolongkan kebudayaan politiknya, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara (voting), dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan politik kita sebut budaya politik partisipan. Orang- orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintah dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik atau memberikan suara dalam pemilihan, kita sebut budaya politik subjek. Golongan ketiga adalah orang-orang yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik (Almond dalam Waris, 1994:16—17). Berdasarkan konsep seperti yang digambarkan di atas, masyarakat Aceh juga mempunyai budaya politiknya sendiri, sebagai paduan yang mengarahkan masyarakat ke arah bagaimana sebaiknya berperilaku dalam kehidupan politik. Tentunya budaya politik masyarakat Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai Islam yang menempatkan posisi ulama sebagai posisi teratas dalam kehidupan sosial kemasyarakat, sehingga apa yang di sampaikan oleh mereka harus dipatuhi, dan juga tidak terlepas pula dari nilai-nilai budaya lokal yang tercermin dalam kehidupan adat-istiadatnya yang sarat dengan nilai-nilai agama (Islam).

2.4 Ulama dan Negara Hubungan agama dan negara dalam konteks Islam memang masih menimbulkan perdebatan, dalam beberapa kasus terjadi

43 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh berbagai bentuk ketegangan yang cukup mendasar antara agama (Islam) dengan negara. Di Indonesia, hubungan antara Islam dan negara tak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kawasan dunia Islam lainnya (misalnya, Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair, dan sebagainya) yang kenyataannya bahwa pada masa penjajahan kolonialime Barat (bekas-bekas Kerajaan Islam) dan pasca-kolonialisme Barat dunia Islam mengalami kesulitan dalam upaya menciptakan sintesa yang memungkinkan (viable) antara Islam dan negara. Di wilayah- wilayah tertentu, hubungan antara Islam dan negara ditandai oleh ketegangan politik. hal ini mungkin disebabkan oleh posisi Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh negara-negara tersebut. Selanjutnya, untuk waktu yang agak lama, sejarah Islam Indonesia kontemporer ditandai oleh kemandekan politik dalam hubungannya dengan negara. Islam politik (political Islam) pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Karena adanya persepsi yang sedemikian itu, pihak negara berusaha untuk menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideologi negara Pancasila (Effendy, 1995:3-4). Dalam situasi semacam ini, banyak pemikir dan aktivis politik Islam memandang dengan rasa curiga terhadap negara. terlepas dari kesediaan negara untuk memberikan fasilitas dan bantuan bagi komunitas Muslim untuk menjalankan ajaran Islam, mereka menganggap negara berusaha untuk menghilangkan

44 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh arti penting Islam secara politik serta menerapkan kebijakan sekuler, bahkan berkembang anggapan bahwa negara tengah menjalankan kebijakan ganda (dual policy) terhadap Islam. Sementara membiarkan atau bahkan mendorong dimensi ritual Islam untuk tumbuh, negara tidak memberikan kesempatan bagi Islam politik untuk berkembang (Benda dalam Effendy, 1995:3— 4). Dalam konteks hubungan semacam ini, dapatlah dikatakan bahwa rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis politik Islam dan negara muncul di sebuah wilayah yang mayoritas penduduk muslim (Jay dalam Effendy, 1995:3—4), seperti halnya Aceh yang terus berkecamuk (konflik), dengan menggunakan isu-isu agama (Islam) untuk melakukan perlawanan terhadap kekusaan negara. Berpegang pada sebuah paradigma hubungan antara Islam dan negara pada dasarnya bersifat “organik” (Smith dalam Effendy, 1995:5). Sejumah teori beranggapan bahwa Islam secara inheren adalah agama politik (Lewis dalam Effendy, 1995:5). Karena itu, mereka melihat hubungan Islam dan negara yang antagonis itu sebagai pencabangan lebih lanjut dari konflik antara ortodoksi (santri) dengan sinkretisme (abangan) agama daripada sebagai sebuah benturan pandangan antar orang Islam tentang konstruk (negara) Indonesia yang ideal (Effendy, 1995:5). Sejarah bergulirnya politik Indonesia, mulai dari masa Orla dan Orba menunjukkan bahwa kedudukan politik Islam tidak pernah diuntungkan oleh penguasa (negara), yang selalu dihadapkan dengan kekerasan. Kekerasan itu pun tampaknya sengaja dilakukan oleh penguasa sebagai salah satu upaya untuk

45 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh mempertahankan kekuasaannya. Dalam masa pemerintahan Orla posisi politik Islam tidak pernah diperhatikan dengan baik, mungkin disebabkan oleh ketakutan penguasa tentang munculnya pemikiran-pemikiran mengenai penciptaan negara yang berdasarkan Islam sehingga Sukarno menggalang kekuatan politiknya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang nyata-nyata berseberangan secara ideologis dengan politik Islam sehingga dalam perjalanannya kekuatan Islam politik selalu ditekan oleh penguasa (negara). Sebagai salah satu bukti terlihat ketika Masyumi dikucilkan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada bulan April 1960 dan diperintahkan bubar empat bulan kemudian (Maarif, 1987:187). Pembubaran partai Islam ini mungkin disebabkan oleh gencarnya sikap politik mereka dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Hal ini juga dialami oleh partai Islam ketika Orba berkuasa, selain keempat partai Islam (NU, Parmusi, Perti, PSII) difusi sebagai PPP, dengan pimpinan yang konon kabarnya selalu sesuai dengan prioritas intel Orba (Castles, 2004:8), juga tentang penekanan terhadap Organisasi Partai Politik (OPP) dan Organisasi Massa (Ormas) untuk menggunakan asas tunggal, yaitu Pancasila serta penyesuaian tanda gambar partai harus sesuai dengan tanda gambar yang jadikan simbul dalam Pancasila. Penguasa Orba dengan kekuatan militer dan Golkar, terus melalukan aktivitas politiknya dalam upaya mempetahankan kekuasaannya sehingga dengan kekuatan

46 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh militer dan partai pemerintah (Golkar, partai Islam (yang membawa nilai-nilai agama) tidak mempunyai pilihan lain selain untuk mendukungnya walaupun ada yang mencoba untuk melakukan kritikan, itupun dianggap sebagai riak kecil yang dilakukan oleh oknum partai tertentu. Kekuasaan mengubah agama menjadi sesuatu yang lain dari maksud agama semula dan Orde Baru mengubah agama untuk melayani tujuannya sendiri. Pergumulan diskursus tidak mampu diselesaikan oleh para penganut agama akibat mengambil-alih wacana politik Orde Baru bagi kehidupan agama. Terhadap “aliran kepercayaan” negaralah yang harus mengambil alih peran untuk menertibkannya dengan kekerasan, bukan dalam kompetisi bebas mencari kebenaran. Dengan demikian agama melegitimasikan kekuasaan itu. Dengan begitu agama-agama (Islam) berada dalam cengkeraman kekuasaan negara sehingga negara dan agama bersama-sama membela atau menjadi bagian dalam the regime of truth yang sama, salah satu akibatnya adalah hampir tidak ada satu agama pun mampu memegang otonominya. Semua agama (Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha) adalah subordinat dari kekuasaan negara. Politik kolonial terhadap Islam menjadi dasar politik Orde Baru terhadap agama-agama, pada satu sisi diberikan kesempatan seluas-seluasnya bagi kegiatan khas agama-agama. Namun, pada sisi lain agama yang berpolitik ditumpas sampai habis (Dhakidae, 2003:708—709). Dari hasil tekanan terhadap partai Islam pada masa

47 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pemerintahan Orla dan Orba, selain melahirkan partai-partai Islam yang lain dalam masa pemerintahan pascapemerintahan Orba (reformasi) juga melahirkan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan parpol dan pemilu, yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berpatisipasi dalam politik sesuai dengan aturan main atau mekanisme yang berlaku.

48 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB III ULAMA DAN PEMILU SEBELUM REFORMASI

3.1 Ulama dan Pemilu pada Masa Orde Lama Sejarah partai politik di Indonesia menyatu dengan sejarah pergerakan Indonesia. Pergerakan Indonesia membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Sejak dini, partai-partai menjadi wahananya. Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa partai politik lebih besar peranannya dalam pergerakan dan perjuangan Indonesia merdeka daripada setelah Indonesia merdeka. Dihitung dari Boedi Oetomo 1908 sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, kalau kita merujuk pada tahun berdirinya, menunjukkan bahwa usia pergerakan lebih tua (37 tahun) daripada usia partai politik (18 tahun), apabila dihitung dari berdirinya PNI pada tahun 1927 sampai dengan proklamasi (Oetama, 1999:xi).

49 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Setelah Indonesia merdeka, peran partai politik bergeser dari posisi perlawanan dan oposisi terhadap kekuasaan kolonial, berpindah tempat menjadi partai yang memerintah. Baik karena kondisi objektif, yakni revolusi dan perang kemerdekaan maupun karena tidak ada pengalaman, partai politik gamang ketika harus menyelenggarakan pemerintahan. kegamangan partai politik untuk memerintah amat sangat kedodoran dalam periode yang kenal sebagai periode pemerintahan parlementer (Oetama, 1999:xi). Pada masa revolusi tidak ada dewan, tetapi UUD NRI Tahun 1945 memungkinkan penetapan Komite Nasioanal Indonesia Pusat (KNIP) untuk bertindak sebagai dewan perwakilan untuk menjalankan beberapa fungsi yang biasanya dikerjakan oleh suatu dewan perwakilan. Setelah penyerahan kekuasaan oleh Belanda hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), dewan perwakilan adalah dewan Republik Indonesia Serikat yang merupakan leburan dari KNIP dari republik dan dewan- dewan yang ada di setiap negara bagian dari sistem federal yang ciptakan oleh Belanda. Semuanya dileburkan ke dalam dua badan, yaitu dewan senat dan dewan perwakilan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949 beranggotakan 146 orang, dengan komposisi, KNIP 49 orang, Dewan Negara Indonesia Timur 17 orang, Jawa Timur 15 orang, Jawa Tengah 2 orang, Madura 5 orang, Pasundan 21 orang, Sumatera Timur 4 orang, Sumatera Selatan 4 orang, Bangka 2 orang, Belitung 2 orang, Riau 2 orang, Kalimantan Barat 4 orang, Dayak Besar 2 orang, Banjar 3 orang, Kalimantan Tenggara 2

50 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh orang, dan Kalimantan Timur 2 orang. Dewan ini hanya bertahan delapan bulan, kira-kira dari Desember 1949 sampai dengan bulan Agustus 1950 ketika Sukarno membubarkan Republik Indonesia Serikat dan menjadikannya Republik Indonesia sebagai negara kesatuan (Dhakidae, 1999:xvii). Karena belum ada pemilihan umum ketika itu, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sementara periode 16 Agustus 1950 sampai dengan 26 Maret 1956 dengan komposisi, gabungan DPR-RIS dan KNIP 146 orang. Selanjutnya, anggota lainnya diangkat berdasarkan penunjukan presiden yang berjumlah 235 orang, yang komposisinya, Masyumi 43 orang, PNI 42 orang, PIR-Hazairin 19 orang, PIR-Wongsonegoro 3 orang, PKI 17 orang, PSI 15 orang, PRN 13 orang, Persatuan Progresif 10 orang, Demokrat 9 orang, Partai Katolik 9 orang, NU 8 orang, Parindra 7 orang, Partai Buruh 6 orang, Parkindo 5 orang, partai Murba 4 orang, PSII 4 orang, SKI 4 orang, Sobsi 2 orang, BTI 2 orang, PPTI 1 orang, Perti 1 orang, dan yang tidak berfraksi 11 orang. Dewan inilah yang bertahan sampai dengan pemilihan umum pertama tahun 1955 (Dhakidae, 1999:xvii— xviii). Pemilihan umum pada tahun 1955 telah menghasilkan suatu dewan definitif hasil pilihan rakyat yang sesungguhnya bukan dewan dari hasil penunjukan. DPR hasil pemilu pada tahun 1955, periode 26 Maret 1956 sampai dengan 22 Juli 1959 dengan jumlah anggota 272 orang yang terdiri dari berbagai fraksi, dengan komposisi, Fraksi PNI 58 orang, Fraksi Masyumi

51 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 60 orang, Fraksi NU 47 orang, Fraksi PKI 32 orang, Fraksi Nasional Progresif (gabungan dari partai/organisasi: Baperki, Permai, Acoma, Murba, PRN, Grinda, PIR-Wongsonegoro, dan anggota Perorangan R. Soedjono Prawirosoedardjo) 11 orang, Fraksi Pendukung Proklamasi (gabungan partai/organisasi: IPKI, Partai Buruh, PRI, dan PRD) 11 orang, Fraksi PSII 8 orang, Farksi Parkindo 9 orang, Fraksi Katolik yang bergabung dengan Wakil Persatuan Dayak 8 orang, Fraksi Pembangunan yang terdiri dari anggota-anggota yang di dalam pemilihan umum dicalonkan oleh PKI 7 orang, Fraksi PSI 5 orang, Fraksi Perti 4 orang, Fraksi Gerakan Pembela Pancasila 2 orang, Fraksi P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) 2 orang, Fraksi Perorangan AKUI 1 orang, Fraksi PPTI 1 orang, Fraksi PIR-Hazairin 1 orang, Fraksi Persatuan yang mewakili daerah Irian Barat 3 orang, dan ditambah dengan yang tidak berfraksi 2 orang. Dewan Perwakilan Rakyat ini mulai bekerja kira-kira pada bulan maret 1956 (Dhakidae, 1999:xvii—xviii). Ketika keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD NRI Tahun 1945, lalu terjadi apa yang disebut sebagai retooling (melengkapi kembali) semua aparatur negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) definitif hasil pemilu langsung oleh rakyat pada tahun 1955. Hal ini merupakan suatu mega proyek politik pertama yang paling berhasil bagi Republik Indonesia yang masih sangat muda pada waktu itu. Akibatnya, terjadi pergeseran anggota-anggota dewan. Ada dua jenis DPR di sini yang bisa disebut sebagai dewan transisi.

52 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pertama, DPR transisi yang hanya berjalan satu tahun, 22 Juli 1959 sampai 29 Juni 1960, DPR ini masih merupakan kelanjutan dari DPR hasil pemilihan umum 1955. Namun, kini berada di bawah sistem dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga komposisi DPR pemilihan umum berlandaskan pada UUD NRI Tahun 1945, periode 22 Juli 1959 sampai dengan 29 Juni 1960 yang beranggotakan 262 orang, dengan komposisinya, PNI 58 orang Masyumi 53 orang, NU 45 orang, PKI 33 orang, Nasional Progresif (gabungan dari partai/organisasi: Baperki, Permai, Acoma, Murba, PRN, Grinda, PIR-Wongsonegoro, dan anggota Perorangan R. Soedjono Prawirosoedardjo) 12 orang, Pendukung Proklamasi (gabungan partai/organisasi: Partai Buruh, PRIM, PRI, dan PRD) 5 orang, IPKI 5 orang, PSII 8 orang, Parkindo 8 orang, Fraksi Pembangunan 6 orang, PSI 5 orang, Perti 4 orang, Gerakan Pembela Pancasila 1 orang, P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) 2 orang, Fraksi Persatuan 3 orang, Fraksi Perorangan PPTI 1 orang, Fraksi PIR-Hazairin 1 orang dan ditambah dengan yang tidak berfraksi 4 orang (Dhakidae, 1999: xviii—xix). Kedua adalah DPR hasil “Retooling Aparatur Negara” atau yang dikenal dengan DPR Gotong Royong (DPRGR) ketika pemerintahan Orla dalam sistem Demokrasi Terpimpin periode 24 Juni 1960 sampai dengan 15 November 1965 dengan jumlah 283 orang, sesungguhnya lebih dari separuh anggota atau diangkat langsung atau ditunjuk untuk mewakili partai dan golongan fungsional, dengan komposisi, yang mewakili partai

53 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh berjumlah 130 orang, yaitu dari PNI 44 orang, NU 36 orang, PKI 30 orang, Parkindo 6 orang, Partai Katholik 5 orang, PSII 5 orang, Perti 2 orang, Partai Murba 1 orang, dan Partindo 1 orang, sedangkan yang mewakili golongan-golongan fungsional berjumlah 153 orang, terdiri dari Angkatan Bersenjata (AD, AL, AU, Kepolisian, dan OKD/OPR) 35 orang, Tani 25 orang, Buruh 26 orang, Alim Ulama (Islam 24 orang, Protestan 3 orang, Katholik 2 orang, Hindu Bali 2 orang) totalnya 31 orang, Angkatan 45 berjumlah 4 orang, Wanita 8 orang, Cendikiawan/Pendidik 5 orang, Koperasi 3 orang, Pengusaha Nasional 2 orang, Veteran 2 orang, Seniman 2 orang, Wartawan 2 orang, ditambah dengan 1 orang yang mewakili Irian Barat. Namun, yang tercatat tentang jumlah anggota yang mewakili golongan-golongan fungsional hanya 146 orang. Dengan terjadinya pergeseran tersebut ada orang-orang yang dikeluarkan dan ada yang dimasukkan kedalam DPR secara arbiter sehingga pada waktu itu yang mewakili rakyat bukan lagi orang yang dipilih dalam pemilihan umum. Akan tetapi, mereka yang mewakili golongan-golongan funsional di dalam masyarakat ditambah dengan mereka yang mewakili partainya (Dhakidae, 1999:xix—xx). Sistem pemilu yang dianut pada pemilu 1955 dapat disebutkan sebagai sistem proposional murni dengan sistem daftar (list systems). Para pemilih diberi kesempatan secara teoretis untuk memilih tanda gambar atau orang yang ada dalam daftar calon yang diajukan organisasi sosial politik peserta pemilu dan perorangan. Akan tetapi, dalam praktiknya, hal tersebut

54 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tidak dilaksanakan oleh organisasi sosial politik peserta pemilu sehingga hanya berlaku untuk calon perseorangan saja (Saragih, 1997:33). Karena pemilu tahun 1955 tidak menghasilkan partai yang memperoleh mayoritas mutlak, pemerintah dibentuk atas koalisi partai-partai. Ada partai pemerintah, ada partai oposisi (Oetama, 1999:xii). Dalam konteks politik lokal pada masa-masa setelah kemerdekaan seperti halnya di Aceh, para ulama Aceh juga tidak ketinggalan dalam memberikan kontribusinya bagi Indonesia, pergulatan ulama di Aceh telah menemukan beberapa fragmentasi yang cukup merugikan daerah ini. Proses distorsi peran ulama mulai ketika Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ulama mulai diarahkan kembali ke dayah dan tidak dilibatkan dalam proses sosial-politik di Aceh. Era ini ditandai dengan kebangkitan peran ulèebalang dan sejumlah elite politik yang terlibat dalam membina hubungan Aceh dan Jakarta. Akibatnya, banyak para ulama Aceh yang tidak lagi mempercayai janji-janji pemerintah RI (Amiruddin, 2003:xii—xiii). Akibatnya, dapat memperkeruh hubungan antara ulama dan uleebalang yang berujung pada perang saudara. Peristiwa ini lebih populer dikenal dengan peristiwa Perang Cumbok yang terjadi di tengah-tengah bergolaknya Revolusi Nasional, yakni sekitar penghujung tahun 1945 dan pada awal tahun 1946 berakhir dengan kekalahan dipihak uleebalang. Pada pemilu umum tahun 1955 wilayah Aceh masih

55 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sehingga wilayah Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu terdiri dari wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ada sekarang dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang menjadi Provinsi Aceh). Dalam sejarah pemilu di Aceh, dukungan untuk partai politik yang berbasis Islam cukup kuat, bahkan pada pemilu tahun 1955 partai yang berbasis Islam sangat dominan, yakni meraih 90 persen suara. Partai Islam sangat kuat pengaruhnya di Aceh, seperti Persatuan Tarbiyah Islmiyah (Perti) khususnya di Aceh Selatan, yang mampu meraih suara 40 persen (Evans, 2003:56). Kuatnya dukungan terhadap partai yang berbasis Islam tidak terlepas dari pengaruh para ulama dalam mempengaruhi masyarakat untuk memilih partai yang berasaskan Islam sebagai sarana dalam proses penegakan nilai-nilai agama (Islam).

3.2 Ulama dan Pemilu pada Masa Orde Baru Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 dibentuk suatu dewan sementara (DPRS) yang hanya berlangsung satu tahun, kemudian dibentuk suatu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) versi Orde Baru yang bertahan sampai dengan pemilihan umum 1971. Dewan ini bekerja dari tanggal 19 November 1966 sampai dengan 29 Agustus 1970 yang anggotanya berjumlah 414 orang, dengan komposisi sebagai berikut: PNI 78 orang, NU 75 orang, Parkindo 17 orang, Partai Katholik 15 orang, PSII 20 orang, IPKI 11 orang, Perti 9 orang, Partai Murba 4 orang, Partai Muslimin 18 orang, ABRI 75

56 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh orang (AD 29 orang, AL 14 orang, AU 14 orang, Kepolisian 14 orang), Fraksi Karya Pembangunan A 32 orang, Fraksi Karya Pembangunan B 32 orang, Fraksi Karya Pembangunan C 28 orang (di dalamnya termasuk anggota Pertahanan Sipil (Hansip), dan Pertanahan Rakyat (Hanra) berjumlah 2 orang, dan Veteran 2 orang (Dhakidae, 2003:xix). Pada masa pemerintahan Orde Baru ini fenomena peran ulama di Aceh semakin terasa, sebagian ulama di Aceh hanya menjadi alat legitimasi doktrinal partai tertentu dalam memenangi pemilihan umum di Aceh. Kenyataan ini seolah- olah ingin memposisikan ulama sebagai alat kepentingan pemerintah. Hal ini disebabkan pada era Orde Baru, ulama yang dekat dengan pemerintah akan menuai bantuan, sebaliknya yang tidak dekat, tidak akan terpedulikan, bahkan kalau ada konflik pendapat mereka (ulama) dapat mendekam dalam penjara atau diculik oleh oknum aparat pemerintah (Amiruddin, 2003:xiii), seperti yang dialami oleh Teungku H. Ahmad Dewi, seorang ulama muda yang kritis, enerjik, dan lantang. Beliau memimpin sebuah dayah di Kabupaten Aceh Timur. Beliau juga memiliki pengaruh yang sangat kuat di dalam masyarakat baik masyarakat di Kabupaten Aceh Timur maupun masyarakat di kabupaten lainnya di Aceh. Nama beliau semakin hari semakin dikenal dalam masyarakat Aceh karena beliau sering mengkritik setiap kebijakan pemerintah di Aceh ketika Orde Baru berkuasa. Akibat silang pendapat tersebut sampai saat ini kuburannya tidak diketahui.

57 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pemuka agama (ulama) merupakan golongan fungsional yang pada umumnya memiliki karisma dalam lingkungan tertentu dan menjadi panutan bagi masyarakat. Apalagi di lingkungan masyarakat yang bersifat sosial- relegius, petunjuk-petunjuk mereka pada umumnya dipatuhi oleh pengikut dan rakyat sekitarnya. Banyak di antaranya yang menjadi tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh sehingga partai politik sangat menyadari bahwa peran ulama dalam masyarakat sangat besar. Karena peran ulama yang begitu besar, masyarakat menempatkan elite agama (ulama) sebagai sumber referensi nilai dalam menentukan pilihan-pilihan politik yang ditawarkan sehingga apa yang menjadi pilihan ulama akan mereka nilai sebagai pilihan terbaik untuk diikuti (Zakaria dalam Nirzalin, 2003:213—214). Proses instrumentalisasi ulama dalam Golkar berlangsung sistematis dan efektif dan ini berlangsung di seluruh wilayah Indonesia. Dalam masyarakat Aceh upaya Golkarisasi ulama dilakukan dengan cara-cara yang sangat persuasif dan hegemonik. Umumnya dilakukan dengan cara memanfaatkan “kelemahan” mereka, pada masalah-masalah kekurangan finansial dalam membangun dayah (pesantren). Karena itu, upaya menarik ulama ke dalam Golkar di Aceh dilakukan lewat bantuan-bantuan material ataupun fisik, seperti membangun pondok dan sebagainya (Zakaria dalam Nirzalin, 2003:216-217), disesuaikan dengan kebutuhan dari dayah yang bersangkutan.

58 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Cara yang paling tepat untuk memenangkan Golkar di Aceh tidak lain adalah dengan mengajak serta para ulama karismatik, seperti Abu Tumin Blang Blahdeh untuk bergabung dengan Golkar (Zakaria dalam Nirzalin, 2003:216—217). Dari hasil perangkulan tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pengaruh dan dukungan ulama terhadap Golkar dapat meningkatkan perolehan suaranya dalam beberapa pemilu di Aceh, sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini: Tabel 3.1 Hasil Pemilu di Aceh pada Masa Orde Baru

Jumlah PPP Golkar PDI Tahun Pemilih Penduduk (%) (%) (%)

1971 2.002.655 1.032.805 44,10* 49,50 1,40

1977 2.276.029 1.221.508 57,27 41,17 1,55

1982 2.601.126 1.411.491 59,08 36,97 5,07

1987 3.036.264 1.645.986 42,97 51,95 5,07

1992 3.378.424 1.936.172 34,51 58,41 7,08

1997 3.722.179 2.208.101 31,86 64,81 3,33

Sumber : Tabloid Kontras No. 36 Tahun I, 15 Juni 1999, dari DPD Golkar Tk I Aceh. * Hasil Gabungan Suara Partai-Partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti)

59 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pemilihan umum pertama sejak kembali ke UUD NRI Tahun 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) dan setelah jatuhnya Soekarno dari tapuk kekuasaan RI diadakan pada tahun 1971 (pada awal-awalnya Soerhato berkuasa dalam pemerintahan Orde Baru). Pemilu tersebut ternyata terlaksana setelah dua belas tahun setelah UUD NRI TAHUN 1945 diberlakukan kembali di Indonesia. Pemilihan umum 1971 menghasilkan suatu dewan yang lain lagi. Karena dewan ini merupakan hasil dari pemilu, dewan ini memiliki sebutan “Gotong Royong” yang pernah diadobsi dari Orde Lama dihapus dan hanya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja. Namun, dewan ini dikuasai oleh Golongan Karya (Golkar) yang menjadi partner setia militer selama masa Orde Baru berkuasa. Hasil pemilu pada tahun 1971 yang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 itu pada dasarnya telah melahirkan dewan sebagai dewan korporatis yang mewakili jenis-jenis profesi di dalam masyarakat versi Orde Baru (Dhakidae, 2003:xx). Pemilu 1971 dilaksanakan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum (Manan, 2004:18). Dengan rujukan kepada undang-undang tersebut terlaksanalah enam kali pemilu di Indonesia dalam pemerintahan Orde Baru, begitu juga pelaksanaan pemilu di Aceh sebagaimana hasilnya tertera dalam Tabel 3.1 di atas. Dari Tabel 3.1 tersebut terlihat bahwa pada awal-awal Orde Baru hasil pemilu di Aceh dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1982 partai Islam (PPP) selalu mendapatkan suara yang signifikan (antara 57,27% dan 59,08%) di bandingkan dengan

60 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Golkar (antara 41,17% dan 36,97%) dan PDI (antara 1,55% dan 5,07%). Kemenangan PPP di Aceh tersebut tentunya tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan para ulama. Keterlibatan ulama dalam Organisasi Peserta Politik (OPP) ketika itu sangat menentukan jumlah perolehan suara dalam pemilu. Ulama di Aceh ketika menjelang pemilu 1971, 1977, dan 1982 selain mereka (ulama) aktif sebagai pengurus atau anggota biasa dalam partai- partai Islam (1971) dan PPP (setelah berfusi) sangat giat dalam mencari dukungan pemilih (konstituen) baik melalui cara-cara pendekatan personal (sesama ulama) maupun dalam bentuk kampanye yang mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk memilih partai yang berideologi Islam ini. Pada pemilu 1971, 1977, dan 1982 ada suatu kecenderungan bahwa partai telah berlaku sebagai sarana artikulasi aspirasi- aspirasi lokal dalam rangka yang sifatnya parochial, karena partai-partai menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, kesetiaan dan keagamaan sangat kuat (Liddle, 1994:2). Pada pemilihan umum 1971, sebagai pemilu pertama sejak kelahiran Orde Baru, tatkala partai-partai Islam belum berfusi sekalipun telah terbentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar) yang dinilai sebagai kekuatan penghancur Partai Komunis Indonesia (PKI), meraih hampir 50 persen suara sendiri. Akan tetapi, setelah keempat partai Islam berfusi dalam PPP, dalam pemilu 1977 dengan lambang Ka’bah pula, pembawa bendera Islam ini mendominasi suara. PPP memperoleh 57,27 persen suara, sementara Golkar tertinggal

61 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan meraih hanya 41,17 persen dan PDI memperoleh suara 1,55 persen saja. Keadaan bertambah gawat bagi Golkar ketika pada pemilu berikutnya pada tahun 1982 angka yang diperoleh PPP meningkat menjadi 59,08 persen, sebaliknya dengan Golkar yang merosot menjadi 36,97 persen (Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1992:142). Suara PDI juga bertambah dalam pemilu tersebut. Namun, PDI harus puas dengan perolehan suara 5,07 persen. Kenaikan perolehan suara Golkar dalam pemilu 1987 yang mencapai 52 (51,95) persen merupakan satu prestasi luar biasa yang diperoleh Golkar dalam sejarah pemilu di Aceh. Dengan kerja keras yang luar biasa, Golkar mampu menekan PPP ke bawah 50 persen (42,97), sekalipun PDI ikut mengambil manfaat dengan mendapatkan satu dari sepuluh kursi jatah Aceh di DPR RI. Kalau pada dua pemilu sebelumnya, perbandingan kursi untuk Aceh di DPR RI PPP 6 kursi: Golkar 4 kursi, PDI tidak mendapat kursi, maka semenjak tahun 1987, berubah menjadi PPP 4 kursi, Golkar 5 Kursi, dan PDI 1 kursi. Pada pemilu 1992 Golkar benar-benar mampu memantapkan posisinya di urutan pertama di provinsi ini dengan meraih 58,41 persen suara sehingga komposisi kursi di DPR RI menjadi, Golkar 6 kursi, PPP 3 kursi, dan PDI 1 kursi. Yang lebih memuaskan Golkar adalah baru untuk pertama kalinya, yaitu dalam pemilu 1992 OPP pendukung pemerintah ini memperoleh kemenangan di semua daerah tingkat II di seluruh provinsi (Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1992:142—143).

62 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Meskipun pada pemilu 1987 Golkar mencatat kemenangan pada tingkat provinsi di Aceh, masih ada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Utara (termasuk Bireuen di dalamnya), Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Besar yang dimenangkan oleh PPP. Yang membuat Golkar belum merasa puas dengan hasil pemilu 1987 itu justru karena ketiga kabupaten tersebut merupakan daerah yang paling diperebutkan, baik karena jumlah pemilihnya yang melebihi 50 persen dari seluruh Aceh maupun karena ketiga daerah itu termasuk kawasan yang relatif lebih maju dari kabupaten lain di Aceh. Akan tetapi, mulai tahun 1992 Golkar benar-benar sudah dapat menepuk dada karena berhasil memperoleh kemenangan dalam pemilu di tiga kabupaten tersebut sehingga OPP ini ketika itu bisa menyakinkan dengan menyatakan diri sebagai pemenang sejati dalam pemilu di Aceh (Profil Provinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1992:142—143). Kemenangan Golkar dalam pemilu di Aceh terus belanjut sampai dengan pelaksanaan pemilu terakhir yang dilaksanakan pada masa rezim Orde Baru, Golkar memperoleh suara 64,81 persen, PPP memperoleh suara yang terus berkurang dengan mendapatkan 31,86 persen suara, dan PDI ketika pemilu 1992 sudah mulai ada peningkatan perolehan suara, yaitu 7,08 persen, tetapi dalam pemilu 1997 PDI hanya memperoleh suara 3,33 persen. Fenomena kemenangan PPP dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu di awal pemerintahan Orde Baru tidak terlepas dari dasar sejarah terbentuknya PPP (gabungan dari

63 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh partai-partai Islam) dan ideologi serta tanda gambar yang digunakan tentunya telah membawa pengaruh besar bagi para ulama di Aceh untuk mempengaruhi masyarakat dalam setiap kampanye untuk memilih partai politik yang berorientasikan kepada Islam sehingga masyarakat yang berkarakteristik sosial-religius seperti masyarakat Aceh secara keseluruhan dan masyarakat Bireuen pada khususya cukup mudah terpengaruh untuk memilih PPP dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu pada masa awal-awal pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini PPP sangat mudah untuk merangkul para ulama, baik itu ulama-ulama besar (karismatik) maupun ulama-ulama muda. Kecenderungan besar bahwa ulama di Aceh ketika itu mudah dirangkul oleh PPP disebabkan karena partai ini adalah partai yang merupakan gabungan partai-partai politik yang berasaskan Islam (seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti), pendirinya banyak terlibat kaum ulama dan para intelektual Islam, lalu asas (Islam) dan tanda gambar (Ka’bah) juga sangat berpengaruh bagi PPP dalam merangkul para ulama di Aceh. PPP sebagai kekuatan politik Islam karena itu tidak akan mengherankan apabila PPP memajukan identitas Islam. Dalam setiap menghadapi pemilu, PPP sejak awal kampanyenya sudah menangkap isu agama sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya. Sasaran kampanye PPP adalah memusatkan diri pada para pemilih (konstituen), yaitu umat Islam yang selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam (organisasi massa Islam) atau yang bernaung di bawah organisasi pendukung

64 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PPP, Seperti NU, PSII, Parmusi dan Perti sehingga dalam setiap kampanyenya PPP selalu mengemukakan bahwa PPP adalah satunya-satunya wadah umat Islam (Sitompul, 1989:128). Fenomena ini bukan hanya berlangsung pada tingkat nasional secara keseluruhan. Akan tetapi, fenomena itu sangatlah kental pula di tingkat daerah (lokal) seperti di Aceh secara keseluruhan dan di Bireuen pada khususnya yang sangat tergantung pada peran ulamanya. Akibatnya, apa yang diperintahkan atau diajak melakukan sesuatu oleh ulamanya langsung diikuti. Kemenangan Golkar atas PPP dan PDI dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu di Aceh, yaitu dari tahun 1987 sampai dengan tahun 1997 tidak terlepas dari adanya perubahan dukungan ulama terhadap OPP itu sendiri. Ulama-ulama karismatik yang sebelumnya mendukung PPP, tetapi menjelang pemilu 1987 mulai berpindah kepada Golkar. Fenomena perpindahan dukungan para ulama ke Golkar juga tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam PPP, semula merupakan partai yang berasaskan Islam dan tanda gambarnya adalah Ka’bah berubah menjadi partai yang memiliki asas yang sama dengan OPP yang lainnya, bahkan tanda gambarnya pun berganti dari Ka’bah menjadi gambar bintang. Dengan adanya perubahan tersebut tampaknya telah membawa partai Islam ini tidak jauh berbeda dengan orientasi OPP lainnya. Diterimanya asas tunggal oleh PPP telah membuat partai Islam tersebut kehilangan identitas dan semakin memperlemah kekutannya dalam kehidupan perpolitikan.

65 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Selain pengunaan asas tunggal dan tanda gambar bagi OPP dan Ormas pada masa pemerintahan Orde Baru, juga adanya perubahan pola rekrutmen terhadap orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat, baik itu bagi masyarakat Aceh secara umum maupun masyarakat Bireuen secara khusus. Ulama merupakan orang yang cukup berpengaruh dalam masyarakat Aceh sehingga ulama menjadi rebutan bagi setiap OPP di Aceh. Kalau ulamanya sudah dapat dirangkul oleh salah satu OPP, tidaklah heran kalau dukungan masyarakat terhadap OPP tersebut akan bertambah. Hal tersebut terbukti bahwa dalam setiap pelaksanaan pemilu dari tahun 1971 sampai dengan 1982 PPP selalu memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan Golkar dan PDI. Kemenangan PPP ketika itu tidak terlepas dari pengaruh ulama di dalamnya. Mereka (ulama) merupakan orang-orang yang aktif dalam membesarkan PPP, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota biasa, dengan menggunakan imbauan- imbauan agama para ulama sangatlah mudah untuk memperoleh dukungan. Walaupun Golkar memperoleh suara terbanyak pada pemilu 1987, ada beberapa daerah tingkat II yang belum dikuasainya sebagai mana telah disebutkan di atas. Tentunya para ulama di tiga daerah tersebut belum mampu dirangkul oleh Golkar hingga menjelang pelaksanaan pemilu tahun 1992 yang terus berlanjut pada pemilu tahun 1997. Pada tahun tersebut (1992 dan 1997) para ulama baik itu ulama karismatik maupun ulama muda di tiga daerah tersebut telah dapat dirangkul oleh

66 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Golkar dengan memberikan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh para ulama yang bersangkutan. Ulama karismatik di Bireuen yang mampu rangkul oleh Golkar, seperti Tgk. H. M. Amin (Abu Tumin) Blang Blahdeh dan Tgk. H Usman Kuta Krueng (Abu Kuta Krueng) sehingga dengan adanya kedua beliau (Tumin dan Abu Kuta Krueng) di dalam tubuh Golkar, telah membawa perubahan terhadap jumlah suara Golkar dalam pemilu 1992 dan pemilu 1997 yang mampu mendongkrak suara Golkar di Aceh. Pada hakikatnya keterlibatan para ulama (karismatik) dalam Golkar di Aceh tampaknya bukan berdasarkan kehendak murni dari dirinya. Akan tetapi, lebih cenderung didasari oleh situasi dan kondisi politis ketika itu. Intervensi pemerintah terhadap mereka (ulama) cukuplah besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi keamanan di Aceh yang mulai bergejolak kembali, dengan adanya proklamasi kemerdekaan Aceh oleh Muhammad Hasan di Tiro (Hasan Tiro) bersama teman-temannya pada tahun 1976 dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan tersebut mulai bergema pada era 80-an walaupun dalam skala kecil. Namun, cukup diperhitungkan oleh pemerintah dalam menjaga keutuhan NKRI. Dengan situasi dan kondisi keamanan yang seperti itu, para ulama dituntut untuk lebih selektif dalam mendukung OPP tertentu. Kalau salah atau keliru dalam mendukung OPP tertentu, bisa berakibat fatal bagi keselamatan jiwa para ulama tersebut. Para ulama ketika itu dituntut oleh penguasa untuk mendukung

67 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh OPP-nya pemerintah (Golkar), dengan berkedok pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, serta dengan berdalih pada upaya pembangunan. Memang para ulama diberikan kebebasan untuk mendukung OPP lainnya. Namun, setiap gerak-gerik mereka (ulama) selalu dipantau oleh penguasa di daerah. Ulama tidak diberikan ruang gerak yang leluasa dalam kehidupan politik di Aceh dan tidak dibenarkan untuk mengkritik setiap kebijakan pemerintah baik yang sudah ataupun yang sedang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Kalau para ulama terlalu memaksakan diri untuk tidak mendukung OPP penguasa Orde Baru (Golkar) dan terus mengkritik setiap kebijakan pemerintah dalam masyarakat, tidak heran kalau nasib mereka (ulama) akan dianggap sebagai orang-orang yang anti Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dan penghambat pembangunan, serta mendapat diskriminasi dalam pembangunan. Akibatnya, dengan keadaan yang seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi para ulama selain mendukung OPP pemerintah (Golkar) yang diperkuat dengan kekuatan militer. Para ulama pada masa pemerintahan Orde Baru mendukung Golkar karena faktor keamanan dan faktor ekonomi. Dengan kedekatannya antara ulama dan pejabat dapat menghilangkan atau mengurangi rasa kecurigaan penguasa terhadap mereka (ulama) di tengah-tengah kehidupan sehari- hari dalam masyarakat, kemudian dengan kedekatan ulama dan pejabat juga dapat mempermudah mereka (ulama) dalam mendapatkan bantuan materi untuk mengembangkan fasilitas

68 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pendidikan di dayah (pesantren). Pada masa pemerintahan Orde Baru bekuasa memang tampak jelas bahwa di Aceh secara keseluruhan dan di Bireuen secara khusus, terlihat adanya sikap diskriminasi yang ditunjukkan oleh penguasa terhadap ulama- ulama yang tidak mendukung Golkar. Biasanya diskriminasi dalam penyaluran bantuan. Perhatian pemerintah dalam penyaluran bantuan lebih diutamakan terhadap ulama-ulama yang mendukung Golkar dan pendukung setiap kebijakan pemerintah di daerahnya. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh beberapa orang ulama, hanya beberapa orang ulama saja, yang pernah mengikuti atau merasakan pengalaman pelaksanaan pemilu pada masa pemerintahan Orde Lama, seperti Teungku (Tgk) H. M. Amin (Tumin) Blang Blahdeh, Tgk. H. M. Kasem TB (Abu Kasem) Geulanggang Teungoh, dan Tgk. H. Abdullah (Abu Lipah) Lipah Rayek, sedangkan ulama-ulama lainnya pada waktu itu pada umumnya masih berumur belasan tahun. Para ulama pada masa Orde Lama berkuasa pada umumnya aktif dalam mendukung Perti. Hal tersebut disebabkan ulama-ulama tersebut merupakan alumni dari Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang pimpin oleh Tgk. Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy. Beliau merupakan pendiri Perti di Aceh sehingga murid-muridnya pun, yang sekarang ini menjadi ulama karismatik menjadi pengikut Perti pula. Pengaruh tersebut baik ketika mereka masih belajar di Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan maupun setelah pulang

69 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ke daerahnya masing-masing, yang juga ikut membesar Perti di daerahnya. Hal tersebut sebagimana disampaikan oleh Tumin Blang Blahdeh yang mengatakan bahwa pada masa awal kita merdeka, saya pernah menjadi pengurus Perti, yaitu sebagai salah seorang ketua Perti di Kabupaten Aceh Utara (termasuk Bireuen di dalamnya). Meskipun pada awalnya Perti bukan partai politik (sebelum merdeka), Perti adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan, terutama pendidikan dayah. Selanjutnya, setelah merdeka, baru Perti dibentuk sebagai salah satu Parpol yang akan mengikuti pemilu pada tahun 1955. Saya aktif di kepengurusan Perti. Hal ini disebabkan oleh guru kami. Guru kami, Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, adalah pendiri Perti di Aceh. Selanjutnya, kami dari beberapa orang pernah berguru langsung kepada beliau, seperti Abu Abdullah Tanoh Mirah, dan Abu Abdul Aziz Samalanga ketika pulang ke Bireuen. Kami juga membawa pengaruh Perti di Bireuen dan daerah-daerah lain di Aceh melalui murid-murid kami sehingga Perti ketika itu sangat kuat di Aceh (Wawancara tanggal 18 Januari 2005). Dari ungkapan Abu Tumin Blang Blahdeh di atas telah terbukti bahwa dukungan mereka terhadap partai politik tertentu sangat dipengaruhi oleh sang guru. Hai ini berlaku seterusnya terhadap mereka (ulama) yang akan diikuti oleh santri-santri dan masyarakatnya dalam mendukung partai politik tertentu. Akibatnya, pola relasi sosial yang terbentuk antara mereka sangat patriarkhis, seorang ulama menjadi patron,

70 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sedangkan santri dan umatnya menjadi klien yang berada dalam pengaruh kekuasaannya. Lebih lanjut Abu Tumin Blang Blahdeh mengatakan bahwa ketika beliau sedang belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, Abu Tumin Blang Blahdeh dan teman-teman di dayah tersebut turut aktif dalam Perti. Perti pada saat itu (sebelum merdeka) sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan dan ketika kita merdeka barulah Perti menjadi sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Perti di Aceh didirikan oleh gurunya, yaitu Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dan saat itu Perti tidak hanya didukung oleh kebanyakan ulama dayah di Aceh, tetapi juga didukung oleh sebagian besar masyarakat. Setelah Abu Tumin Blang Blahdeh kembali dari dayah Darussalam Labuhan Haji ke kampung asalnya (Blang Blahdeh, Bireuen), beliau menjadi Ketua Perti di Aceh Utara (Wawancara tanggal 18 Januari 2005). Informasi dari Abu Tumin di atas menunjukkan bahwa pengaruh para ulama, terutuma ulama karismtik, telah membawa dampak yang cukup besar terhadap sebuah partai. Artinya, ketika mereka (ulama) turut mendukungnya akan diikuti oleh para santrinya, baik yang masih belajar di dayah maupun yang sudah menjadi pimpinan dayah (pesantren), bahkan akan didukung oleh masyarakat yang simpati kepadanya. Di sisi lain, ulama- ulama dayah lainnya pada saat itu ada yang usianya masih anak- anak dan belum tahu betul tentang perkembangan politik ketika itu. Hal tersebut sebagaimana informasi yang disampaikan oleh

71 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh beberapa ulama muda yang mengatakan bahwa pada umumnya mereka ketika pelaksanaan pemilu pada masa Orde Lama belum dewasa, sebagian masih duduk di bangku sekolah dasar, pada masa itu dikenal dengan Sekolah Rakyat Islam (SRI) dan ada pula yang sudah menjadi santri sehingga mereka tidak tahu persis tentang bagaimana sebenarnya dukungan ulama terhadap salah satu partai. Namun, secara sekilas mereka mengetahui bahwa pada saat itu para ulama di Aceh ini pada umumnya mendukung Perti. Dukungan itu tidak hanya diikuti oleh murid-muridnya dalam mendukung Perti, tetapi juga diikuti oleh masyarakat (Wawancara tanggal 11 Desember 2004-18 Januari 2005). Besarnya pengaruh ulama dalam kehidupan masyarakat Aceh, tidak hanya jadi panutan dalam bidang keagamaan saja, tetapi juga para ulama juga dijadikan sebagai panutan dalam berbagai hal, termasuk juga dalam menentukan sikap politiknya, karena pada masa Orde Lama Perti merupakan salah satu partai Islam yang dominan didukung oleh para ulama di Aceh, terutama ulama-ulama besar alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Akibatnya, dukungan mereka (ulama) kepada Perti juga diikuti oleh sebagian besar santrinya dan masyarakat. Hal yang sama juga disampaikan oleh para imeum mukim yang mengatakan bahwa Perti pada masa Orla banyak didukung oleh para ulama di Aceh (Wawancara tanggal 14-18 Desember 2004). Dengan pernyataan para imeum mukim tersebut, telah menguatkan informasi tentang besarnya dukungan para ulama di Aceh terhadap Perti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru.

72 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam setiap pelaksanaan pemilu di Aceh pada awal pemerintahan Orde Baru, partai politik Islam selalu mendapatkan dukungan yang lebih besar dibandingkan dengan perolehan suara partai politik non Islam. Meskipun partai yang berkuasa (sebelumnya Golongan Karya) selama lebih kurang 32 tahun di Indonesia, di Aceh pada awal rezim Orde Baru tidak mendapatkan dukungan besar dari masyarakat. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa selama pelaksanaan pemilu di awal pemerintahan Orde Baru, yaitu pemilu pada tahun 1971 (sebelum partai Islam berfusi), pemilu pada tahun 1977 (setelah partai-partai Islam berfusi dalam PPP), dan pemilu pada tahun 1982 perolehan suara bagi PPP selalu unggul daripada Golkar dan PDI dengan memperoleh suara yang signifikan (50% lebih). Meskipun Golkar unggul pada tingkat nasional, kenyataan ini berbeda di Aceh. Pada umumnya para ulama di Aceh pada pemilu di awal Orde Baru mendukung PPP, baik dukungan yang berbentuk keterlibatan ulama sebagai pengurus partai, anggota atau simpatisan biasa, maupun sebagai juru kampanye. Keterlibatan mereka (ulama) sebagai pengurus PPP sebagaimana diungkapkan oleh Abu Tumin Blang Blahdeh, Abu Kasem Geulanggang Teungoh, Tgk. Hasanoel Basri (Abu Hasanoel) Samalanga, Tgk. H. Abdul Wahab, Tgk. H. Abdullah Ali, Tgk. H. Anwar, Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy, Tgk Nuruzzahri (Waled Nu), dan Tgk. H. Sofyan Mahdi, yaitu pada saat itu di Aceh Perti yang dominan didukung oleh para ulama karena Perti

73 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh itu lahir dari pimpinan pondok pesantren (dayah), yang pertama kali membentuk Perti di Aceh adalah Syeikh Buya Muda Waly. Setelah Perti berfusi dalam PPP secara otomatis dukungan ulama berpindah ke PPP (Wawancara tanggal 10 Desember 2004—18 Januari 2005). Dari penyataan para ulama tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya para ulama mendukung PPP pada awal Orde Baru karena selain disebabkan oleh ideologi partai yang religius, juga disebabkan oleh keterikatan mereka terhadap partai lama, yaitu Perti yang dipengaruhi oleh Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy di dalamnya. Akibatnya, ulama di Aceh, yang merupakan murid (santri) dari Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy turut mendukung PPP ketika Perti turut bergabung di dalamnya. PPP pada saat itu menjadi partai dominan yang memperoleh dukungan para ulama. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Tgk. H. Abdullah Ali Lipah Rayek, yang mengatakan bahwa pada waktu itu di Aceh yang menjadi pegangan mutlak orang-orang Islam adalah PPP (Wawancara tanggal 15 Desember 2005). Besarnya dukungan terhadap PPP pada awal Orde Baru tidak terlepas dari pengaruh ulama di dalamnya, ulama pada saat itu sangat aktif dalam berkampanye untuk mencari dukungan terhadap PPP sehingga menjelang pelaksanaan pemilu pada awal Orde Baru, para ulama menjadi juru kampanye PPP. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa ulama, seperti, Tumin Blang Blandeh, Abu Kasem, Tgk. H. Abdullah Ali, Waled Nu, Abu Hasanoel, Tgk. H. Anwar,

74 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy, yang mengatakan bahwa para ulama pada waktu itu turut menjadi juru kampanye PPP (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Sementara itu, Tgk. H. Abdul Saleh, Tgk. H. Abdul Wahab, dan Tgk. H. Abbas mengungkapkan bahwa meskipun tidak menjadi juru kampanye yang berbicara di atas panggung, mereka ikut serta dalam kegiatan tersebut. Mereka selalu diundang untuk menghadiri acara tersebut dan baisanya selalu diminta untuk membaca doa ketika acara kampanye berakhir (Wawancara tanggal 15 Desember 2004—18 Januari 2005). Ketelibatan ulama dalam PPP ada yang menjadi pengurus, anggota atau simpatisan, da nada juga sebagai juru kampanye (Wawancara M. Nur Ismail, Sekretaris DPC PPP Kabupaten Bireuen pada tanggal 17 Januari 2005). Banyak ulama yang aktif sebagai pengurus salah satu partai politik, pada awal-awalnya ulama sangat aktif di PPP (hasil fusi). Di PPP ulama-ulama sangat giat dalam berkampanye untuk mencari dukungan bagi PPP karena PPP sebagai satu-satu partai yang berasaskan Islam, ulama di Aceh ketika itu berjuang keras untuk memenangkan PPP (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Besarnya dukungan ulama kepada PPP di awal Orde Baru telah menjadikan PPP sebagai partai yang dominan yang tidak hanya didukung oleh para santrinya, tetapi juga didukung oleh sebagian besar masayarakat di Aceh. Pelaksanaan Pemilu pada awal Orde Baru, santri (murid) dari para ulama-ulama karismatik tersebut, juga turut mendukung PPP. Hal tersebut

75 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh karena guru mereka (ulama) juga turut mendukung PPP sehingga para santri mengikuti gurunya dalam mendukung PPP, baik itu sebagai pengurus, anggota atau simpatisan, maupun sebagai juru kampanye (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Keberhasilan Golongan Karya (Golkar) di Aceh baru terlaksana pada pelaksanaan pemilu pada tahun 1987. Saat itu Golkar memperoleh suara signifikan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Provinsi Aceh sekarang), yaitu dengan memperoleh suara berbanding terbalik dengan perolehan suara PPP dalam pelaksanaan pemilu pada tahun 1977 dan pemilu tahun 1982, ketika itu Golkar mendapat suara 50 persen lebih. Walaupun Golkar memperoleh suara lebih besar dalam pemilu tahun 1987 di Aceh, tetapi ada beberapa kabupaten yang belum mampu dikuasai oleh Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Utara. Namun, pada pemilu tahun 1992 ketiga daerah tersebut dimenangkan oleh Golkar yang berlanjut sampai pelaksanaan pemilu tahun 1997 dengan memperoleh suara dari 50 sampai 60 persen lebih dari jumlah total pemilih di Aceh. Kemenangan Golkar di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh ulama yang sudah dapat dirangkul oleh Golkar, berpindahnya arah dukungan ulama di Aceh yang dulunya mendukung PPP, tetapi pada pemilu 1987, 1992 dan pemilu 1997 cenderung mendukung Golkar. Golkarisasi terhadap para ulama di Aceh, dilakukan dengan cara-cara yang sangat persuasif dan hegemonik. Umumnya dilakukan dengan cara memanfaatkan

76 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh kelemahan-kelemahan mereka (ulama), seperti masalah kekurangan finansial dalam membangun dayah (pesantren). Hal tersebut sebagimana diungkapkan oleh Tgk. H. Abdullah Ali, yang mengatakan bahwa pada akhir Orde Baru ulama banyak yang berpindah dari PPP ke Golkar karena pada waktu itu ulama lebih mudah hubungannya dengan para pejabat jika bergabung dengan Golkar. Hal ini berdampak pada pemberian bantuan untuk membangun dayah atau pesantren (Wawancara tgl 15 Desember 2004). Oleh karena itu, upaya menarik dukungan ulama ke Golkar dilakukan melalui pemberian bantuan-bantuan material maupun fisik, seperti membangun balai (pondok), pemberian kitab, sajadah, cat, pompa air, dan bantuan-bantuan lainnya sesuai dengan kebutuhan dayah (pesantren) yang sedang dibantu. Gerakan perangkulan ulama lewat strategi ini utamanya dilakukan pada era Ibrahim Hasan sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golkar di Aceh pada periode 1984—1988 (Nirzalin, 2003:216-217). Saat itu beliau juga menjabat Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Strategi perangkulan ulama, terutamanya ulama karismatik yang dilakukan oleh Golkar di bawah komando Ibrahim Hasan pada tahun 80-an, yang dikenal dengan strategi Peu Hu Panyôt (lampu terang). Saat itu Ibrahim Hasan berargumen bahwa Aceh adalah daerah yang kaya raya, tetapi “listriknya tidak menyala dengan terang”. Artinya bahwa pembangunan di Aceh jauh tertinggal dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia meskipun secara kuantitas sumber

77 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh daya ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya ekonomi di Aceh. Akibatnya, solusi yang diberikan oleh mantan Rektor Universitas Syiah Kuala itu adalah jika listriknya mau menyala dengan terang. Artinya, jika pembangunan di Aceh dapat berjalan lancar, tidak ada cara lain kecuali Golkar harus menang di Aceh sehingga pada waktu itu cara yang paling tepat untuk memenangkan Golkar di Aceh, tidak lain dengan cara mengajak serta para ulama karismtik, seperti Abu Tumin Blang Blahdeh, almarhum Abu Abdullah Tanoh Mirah, almarhum Abu Abdul Aziz Samalanga untuk bergabung dengan Golkar (Sayed Fuad Zakaria dalam Nizarlin, 2003: 216—217). Dengan bergabungnya para ulama karismatik tersebut, ikut meningkat pengaruh Golkar di Aceh sehingga pemilu pada tahun 1992 dan pemilu tahun 1997 Golkar memperoleh suara yang signifikan di Aceh. Strategi Golkar merangkul para ulama karismatik dan ulama-ulama muda yang mulai mempunyai pengaruh dalam masyarakat agar berada dalam barisan politik Golkar terbukti ampuh. Hal ini berdampak pada berhasilnya Golkar memenangi pemilu di Aceh mulai dari tahun 1987. Dengan kemampuan Golkar merangkul ulama, berarti sudah mampu juga merangkul ribuan para pemilih di Aceh. Karena keterikatan masyarakat terhadap para ulama sangat kuat, masyarakat akan memilih partai politik dalam pemilu sesuai dengan partai yang dipilih atau didukung oleh para ulama. Hal ini tidak hanya diikuti oleh para santri atau mantan santrinya saja, tetapi juga diikuti oleh

78 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masyarakat yang berada di bawah pengaruhnya. Masyarakat akan mengetahui bahwa ulama mendukung partai politik tertentu dalam pemilu ketika menjelang penyelenggaraan kampanye partai pemilu. Jika menjadi juru kampanye, berarti ulama tersebut mendukung partai tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh ulama karismatik Aceh yang berdomisili di Kabupaten Bireuen, yaitu Abu Tumin Blang Blahdeh, yang mengatakan bahwa pada saat itu beliau tidak pernah menjadi juru kampanye, untuk menyampaikan visi misi Golkar di atas panggung, saya cuman diikut sertakan dalam kampanye (Wawancara tanggal 18 Januari 2005). Dengan melihat bahwa ulama karismatik itu hadir dalam kegiatan kampanye Golkar, baik sebagai undangan biasanya maupun sebagai pembaca doa ketika kegiatan kampanye berakhir, masyarakat akan cenderung mengikutinya. Akibatnya, partai yang dipilih atau yang didukung oleh ulama dianggap partai yang benar, artinya partai tersebut merupakan partai yang akan memperhatikan dan merealisasikan kepentingan rakyat. Namun, setelah Golkar menjadi pemenang dalam pemilu di seluruh Aceh, hal ini telah mengantarkan OPP ini menjadi orgnisasi politik yang disegani dan segala aktivitasnya di Aceh berjalan dengan lancar, tanpa adanya rintangan yang berarti. Dukungan para ulama, terutama ulama karismatik dalam Golkar pada masa Orde Baru, telah mampu mendongkrak suara Golkar di Aceh meskipun mereka (ulama karismtik) tidak diikuti oleh keseluruhan santrinya dalam mendukung

79 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Golkar, artinya masih ada santrinya (ulama muda) yang masih tetap eksis PPP. Akan tetapi, pengaruh mereka (ulama) dalam masyarakat masih berada pada para ulama karismatik tersebut sehingga dengan adanya para ulama karismatik tersebut dalam Golkar telah terjadi perubahan arah dukungan pemilih dalam setiap pelaksanaan pemilu dari pertengahan hingga berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut terjadi seiring dengan adanya perubahan arah dukungan para ulama terhadap partai politik. Hal ini sebagaiman disampaikan H. Syamaun Arifin (Ketua DPC Golkar Kabupaten Bireuen), yang mengatakan bahwa para ulama pada masa Orde Baru juga turut mendukung Golkar, terutama ulama karismatik, seperti Abu Tumin Blang Blahdeh yang menjadi penasehat Golkar di Kabupaten Bireuen. Hal ini juga diikuti oleh beberapa ulama muda lainnya, baik yang menjadi pengurus, anggota, maupun sebagai juru kampanye (Wawancara tanggal 18 Januari 2004). Banyak ulama yang menyangkal tentang keterlibatannya dalam Golkar pada masa Orde Baru, hal tersebut telah dibenarkan oleh keseluruhan ulama muda yang mengatakan bahwa sikap ulama-ulama karismatik yang dulunya mendukung PPP, kemudian berubah ke Golkar. Namun, pada dasarnya mereka lebih cenderung untuk melihat manfaat kepada umat, bukan tujuan untuk menjadi manfaat bagi pribadinya, tetapi demi umat. Inilah yang menjadi tujuan dari para ulama. Mungkin ada pandangan dari sebagian orang tentang perubahan dukungan ulama tersebut untuk mencari keuntungan. Namun,

80 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ulama tersebut tidak punya sifat dan sikap yang seperti itu, kecenderungan ulama yang semula di PPP kemudian pindah ke Golkar. Pada prinsipnya mereka (ulama) hanya untuk mengingat kepada umat. Mungkin pada saat ini organisasi politik ini yang lebih cocok, sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi yang berkembang dalam kehidupan umat (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Informasi dari beberapa ulama muda di atas menunjukkan bahwa para ulama karismatik, seperti Abu Tumin Blang Blahdeh telah turut mendukung Golkar pada masa Orde Baru. Hal tersebut tampaknya dilakukan oleh para ulama tersebut untuk kepentingan umat. Apabila Golkar tidak menang di suatu daerah pemilihan, pembangunan di daerah itu akan terhambat, apalagi diperkeruh dengan kondisi Aceh pada saat itu sudah mulai tidak kondusif (konflik), sehingga mereka tampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain untuk mendukung Golkar. Dukungan ulama karismtik ini terhadap Golkar pada saat itu juga diikuti oleh para ulama muda, para santri dan masyarakat di Aceh. Keterlibatan libatan ulama dalam Golkar juga dibenarkan oleh beberapa imeum mukim (informan) yang mengatakan bahwa pernah melihat ketika pertengahan hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Ulama- ulama karismatik di Aceh sering tampil di muka umum ketika Golkar melakukan kegiatan, seperti kehadiran mereka (ulama) dalam kampanye Golkar meskipun tidak berbicara di atas panggung, biasanya ulama tersebut menjadi pembaca doa ketika

81 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh acara berakhir (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Informasi dari beberapa imeum mukim di atas menunjukkan bahwa para ulama, terutama ulama karismatik mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pemenangan jumlah suara Golkar pada masa Orde Baru. Dengan sering tampilnya mereka (ulama) di hadapan publik dalam acara Golkar, seperti acara kampanye menjelang pemilu meskipun mereka tidak berbicara di atas panggung. Akan tetapi menjadi momen penting bagi Golkar ketika ulama kharismatik menghadiri acara tersebut sehinnga mampu mempengaruhi pemilih (voters) yang dulunya mendukung PPP, kemudian berubah mendukung Golkar.

82 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB IV PEMILU PASCA-ORDE BARU (REFORMASI) DI DONESIA

4.1 Pemilu Legislatif Tahun 1999 di Indonesia Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan yang digenggamnya selama 32 tahun. Gerakan reformasi juga membawa angin segar bagi perkembangan demokrasi di negara ini. Dengan adanya gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasisawa dan akademisi (Amien Rais) telah memberikan secercah harapan bagi masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari berbagai unsur diskriminatif selama lebih kurang 10 tahun terakhir ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Munculnya harapan dari berbagai kalangan supaya penyelesaian kasus Aceh dari pelbagai kasus kekerasan dapat terlaksana dengan adil sesuai dengan aspirasi rakyat. Ternyata ketika Presiden Soeharto turun tahta dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie, persoalan yang dialami oleh

83 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masyarakat Aceh belum selesai. Hanya sebatas janji-janji belaka, realisasi tidak kunjung datang. Aspirasi rakyat Aceh yang paling keras ketika itu adalah pasukan militer nonorganik ditarik dari Aceh, para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) ketika Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) dapat diadili di pengadilan. Namun, penyelesaian kasus-kasus ini tidak pernah terselaikan sampai hari ini, bahkan pelanggaran HAM terus berlanjut seperti kasus penembakan Tgk. Bantakiah dan santri-santrinya di Desa Blang Brandeh, Kecamatan Beutong, Kebupaten Aceh Barat dan banyak kasus-kasus serupa lainnya yang dilakukan oleh pihak militer. Dari pelbagai kasus yang tidak terselasaikan itu muncullah gerakan yang dimotori oleh mahasiswa di bawah koordinator Solidaritas Idenpenden Rakyat Aceh (SIRA). Gerakan ini didukung oleh beberapa ulama muda di Aceh yang meminta kepada pemerintah untuk melakukan referendum. Namun, dampak dari proses penyelesaian kasus Aceh bukan hanya pada masalah permintaan referendum saja. Akan tetapi, juga berdampak pada proses pelaksanaan pemilu pada tahun 1999. Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan yang digenggamnya selama 32 tahun. Selanjutnya, digantikan oleh BJ Habibie dinilai banyak pihak “masih hijau” dalam dunia politik. Gambaran sebagai anak emas mantan Presiden Soeharto membuat Presiden Habibie berada di bawah tekanan yang sangat berat untuk melakukan reformasi di segala bidang, terutama bidang politik (King

84 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dalam Imawan, 2004:7). Salah satu cara untuk melakukan refomasi pada bidang politik tersebut adalah dengan menyelenggarakan pemilu lebih cepat, semestinya pemerintahan hasil pemilu tahun 1997 akan berakhir pada tahun 2002. Percepatan penyelenggaraan pemilu akan melahirkan pemimpin bangsa, yang betul-betul hasil pilihan rakyat. Dengan lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, sehingga menjelang pemilu pada tahun 1999, telah lahir 168 partai politik yang tercatat di Makamah Agung (MA) untuk berpatisipasi dalam pemilu pada tahun 1999. Namun, hanya 48 partai politik saja yang dapat mengikuti pemilihan umum kedelapan dalam sejarah Republik Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 7 Juni 1999 telah melahirkan pemimpin bangsa yang baru, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) meskipun partainya (PKB) berada pada peringkat ketiga dalam perolehan suara. Untuk lebih jelas tentang jumlah perolehan suara partai-partai politik pada pemilu tahun 1999 dapat lihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Hasil Perolehan Suara Partai Politik di Indonesia pada Pemilu 1999

No Nama Partai Politik Jumlah % 1. PIB 192.712 0,18 2. KRISNA 369.719 0,35 3. PNI 377.137 0,36 4. PADI 85.838 0,08

85 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 5. KAMI 289.489 0,27 6. PUI 269.309 0,25 7. PKU 300.064 0,28 8. P. Masyumi Baru 152.589 0,14 9. PPP 11.329.905 10,71 10. PSII 375.920 0,36 11. PDI Perjuangan 35.689.073 33,74 12. P. Abulyatama 213.979 0,20 13. PKM 104.385 0,10 14. PDKB 550.846 0,52 15. PAN 7.528.956 7,12 16. PRD 78.730 0,07 17. PSII 1905 152.820 0,14 18. PKD 216.675 0,20 19. PILAR 40.517 0,04 20. PARI 54.790 0,05 21. PPI I Masyumi 456.718 0,43 22. PBB 2.049.708 1,94 23. PSP 49.807 0,05 24. PK 1.436.565 1,36 25. PNU 679.179 0,64 26. PNI Front Marhaen 365.176 0,35 27. IP-KI 328.654 0,31 28. P. Republik 328.564 0,31 29. PID 62.901 0,06 30. PNI Massa Marhaen 345.629 0,33

86 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 31. Murba 62.006 0,06 32. PDI 345.720 0,33 33. Golkar 23.741.749 22,44 34. PP 655.052 0,62 35. PKB 13.336.982 12,61 36. PUDI 140.980 0,13 37. PBN 140.980 0,13 38. MKGR 204.204 0,19 39. PDR 427.854 0,40 40. P. Cinta Damai 168.087 0,16 41. PKP 1.065.686 1,01 42. SPSI 61.105 0,06 43. PNBI 149.136 0,14 44. PBI 364.291 0,34 45. SUNI 180.167 0,17 46. PND 96.984 0,09 47. PUMI 49.839 0,05 48. PPI 63.934 0,06 Jumlah 105.786.661 100 Sumber : Data olahan dari berbagai sumber, KPU dalam Angka, KPU Nasional 1999

Kalau dilihat dari hasil perolehan suara dari masing- masing partai politik peserta pemilu tahun 1999 (48 Parpol) pada skala nasional seperti yang tercantum dalam Tabel 4.1 di atas, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapat

87 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh peroleh suara terbanyak dibandingkan dengan partai politik lainnya, sebuah prestasi yang luar biasa bagi partai sekuler ini dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999. Hai ini tentunya sebuah prestasi yang tidak pernah dibayangkan karena eksistensi partai ini (gempalan PDI) tergolong baru walaupun elitnya adalah orang-orang lama. PDIP yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen mampu menduduki posisi pertama dalam perolehan suara. Namun, sayangnya partai pemenang pemilu tahun 1999 ini tidak menjadi partai yang berkuasa, figur yang dicalonkan untuk menjadi presiden dari PDIP hanya mampu menjadi wakil presiden, yang mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid dari PKB. Golongan Karya, yang dikucilkan ketika itu karena kedekatannya dengan rezim (partai pemerintah), ternyata Golkar masih tetap sebagai OPP yang masih diperhitungkan dan masih mempunyai dukungan besar dari konstituennya. Golkar memperoleh 23.741.749 suara atau 22,44 persen, suatu hal yang mengejutkan tentang perolehan suara bagi partai yang baru menamakan dirinya sebagai partai politik yang pada masa Orde Baru merupakan OPP yang sangat dekat dengan pemerintah, lalu partai yang posisinya serba sulit di tengah- tengah gunjingan publik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Hal ini disebabkan kedekatannya dengan rezim Orde Baru, tetapi ternyata masih mempunyai pendukung yang lumayan banyak. Walaupun mendapatkan posisi diurutan kedua dan tidak mampu merebut kursi orang nomor satu (presiden)

88 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh di Indonesia, Golkar mampu mendapatkan posisi orang nomor satu di lembaga legislatif (DPR). Partai politik yang lahir setelah jatuhnya rezim Orde Baru hanya dua partai politik saja yang dapat mengikuti kontestan dalam pemilu 2004, yaitu PKB dengan perolehan 13.336.982 suara atau 12,61 persen dan menempati urutan ketiga. Meskipun partai yang dibidani oleh Gusdur ini berada pada peringkat ketiga dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999, partai ini didukung oleh beberapa partai lainnya (yang bergabung dalam poros tengah). Gabungan poros tengah ini telah mengantar Gusdur ke Istana Negara. Selanjutnya, PPP yang juga salah satu partai politik yang telah mempunyai pengalaman dalam pemilu pada masa Orde Baru harus puas pada urutan keempat dengan perolehan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, sedangkan PAN yang dipimpin oleh Amien Rais “bapak reformasi” harus puas pada urutan kelima dengan perolehan 7.528.956 suara atau 7,12 persen. Walaupun partai yang diidentikkan dengan Muhammadiyah ini berada pada posisi kelima dalam perolehan, partai ini telah melahirkan ketua lembaga tertinggi yang baru, kepemimpinnnya telah dipisahkan dengan kepemimpinan lembaga legislatif, yang didasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang juga merupakan salah satu partai politik lama, yang sudah mempunyai pengalaman dalam beberapa pemilu pada masa pemerintahan Orde Baru hanya memperoleh 345.720 suara atau hanya 0,33 persen.

89 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Hasil dari perolehan suara masing-masing dari 48 partai politik pada pemilu tahun 1999, hanya lima partai politik saja yang memperoleh suara signifikan. Partai-partai tersebut memperebutkan 462 kursi di DPR RI. Setelah peristiwa nasional yang kerap disebut pesta demokrasi ini usai, lebih dari lima puluh persen partai yang berkontes ternyata tidak mendapat kursi. Dengan demikian, jumlah kursi di DPR dibagi kepada 21 partai saja (Litbang Kompas, 2000:vii). Untuk lebih jelas tentang pembagian kursi bagi partai politik pada pemilu tahun 1999 dapat dilihat dalam tabel di bawah in. Tabel 4.2 Perolehan Kursi DPR RI Pemilu Tahun 1999

No Nama Partai Politik Jumlah Kursi 1. PDI Perjuangan 153 2. P. Golkar 120 3. PPP 58 4. PKB 51 5. PAN 34 6. PBB 13 7. PK 7 8. PDKB 5 9. PNU 5 10. PKP 4 11. PDI 2 12. P. Bhinneka Tunggal Ika 1

90 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 13. PKD 1 14. PDR 1 15. IP-KI 1 16. PP 1 17. PSII 1 18. PNI Massa Marhaen 1 19. PNI Front Marhaen 1 20. PPII Masyumi 1 21. PKU 1 Jumlah 462 Sumber: Hasil olahan dari Harian Kompas, 2000, hlm. vii

Dari 21 wakil partai politik ini beserta wakil dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi kemudian membentuk DPR RI periode 1999-2004 yang jumlahnya 500 orang. Mereka terbagi ke dalam sepuluh fraksi, yaitu Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Fraksi Reformasi (F-Reformasi) yang merupakan fusi dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI). Fraksi ini merupakan fusi dari delapan partai, masing-masing Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI) Massa Marhaen, Partai Nasional (PNI) Front Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan

91 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Indonesia, Partai Persatuan, dan Partai Katolik Demokrat. Selanjutnya, Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (F-PDU). Fraksi ini merupakan fusi dari Partai Nahdlatul Ummat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Kebangkitan Umat, Partai Daulat Rakyat, dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, dan fraksi terakhir adalah Fraksi TNI/Polri (Litbang Kompas, 2000: vii—viii). Pelaksanaan pemilu tahun 1999 adalah sebuah bukti yang paling nyata penolakan bangsa ini terhadap berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Dengan adanya pemilu tahun 1999 berarti semua hasil proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya, baik secara legal formal maupun substansi demokrasi. Meskipun masa persiapan tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya. Ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa kekacauan yang berarti (Putra, 2003:87—88). Pemilu pada tahun 1999 di Indonesia pada dasarnya memang terlaksana dengan damai dan tertib walaupun banyak terjadi berbagai kecurangan dalam pelaksanaannya, tetapi lain halnya dengan pelaksanaan pemilu 1999 di Aceh. Tampaknya hanya di Aceh yang mempunyai kendala berarti, tentunya hal tersebut tidak terlepas dari situasi dan kondisi keamanan pada saat itu. Sebenarnya pelaksanaan pemilu 1999 di Aceh tetap dilaksanakan

92 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh seperti halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia, tetapi hanya terlaksana di beberapa daerah saja.

4.2 Pemilu Legislatif pada Tahun 2004 di Indonesia Pemilihan umum tahun 2004 menggunakan sistem pemilihan yang baru. Sistem yang digunakan adalah sistem proporsional daftar calon terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, dalam pemilu tahun 2004 juga menggunakan sistem distrik. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota DPD dan sistem pemilihan langsung (Pilsung) untuk memilih presiden dan wakil presiden (tahap I dan II). Pada pemilu tahun 2004 setiap partai politik peserta pemilu menyusun daftar calon anggota DPR (D) dengan preferensi urutan “nomor jadi”. Namun, pemilih diharuskan memilih tanda gambar partai politik atau tanda gambar dan nama calon. Jika pilihan pada nama calon tanpa disertai tanda gambar, suara dinyatakan tidak sah. Akan tetapi, pilihan pada tanda gambar tanpa nama calon adalah sah. Calon yang memperoleh dukungan suara ekuivalen dengan “harga kursi” Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau lebih otomatis menjadi anggota dewan. Kelebihan dukungan suara pada calon anggota menjadi milik partai politik. Partai politik menentukan sendiri calon yang dikehendaki untuk menjadi calon anggota dewan berdasarkan dukungan suara yang dihimpun dari tanda gambar dan kelebihan suara pada “calon jadi” menurut nomor urut. Pemilu 2004 juga ditandai dengan adanya skeptis masyarakat pemilih terhadap pemilu

93 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 2004 ini dan pada proses transisi demokrasi. Hal ini dikarenakan hasil pemilu 1999 dilihat masyarakat tidak membawa pengaruh berarti bagi perbaikan keadaan umum di negeri ini (Sparringa, 2004:13-15). Ada pendapat yang menyatakan bahwa pemilu 2004 merupakan sarana paling baik untuk menganti atau memperbaiki pemerintahan menjadi lebih baik dan efektif untuk mengatasi krisis nasional. Pemilihan umum pada tahun 2004 masih berlangsung dalam konteks transisi politik nasional. Transisi politik dari rezim Orde Baru ke pemerintahan demokrasi pasca- Soeharto hingga kini belum menghasilkan konsolidasi demokrasi yang kuat. Pengikut rezim Orde Baru masih kuat bercokol dalam struktur politik. Sementara, pemerintahan demokratis belum terkonsolidasi, sangat lemah, belum mampu mengatasi krisis ekonomi dan gejolak politik nasional. Di sisi lain, bangsa ini masih menghadapi berbagai masalah sosial yang akut, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, dan praktik korupsi yang makin merajalela di masyarakat (Cahyono dan Lambang Trijono (ed), 2004:57—58). Mereka masih memimpikan kembali ke masa lalu, dalam kepartaian misalnya, para pengikut Orde Baru mulai lebih berani terang-terangan menampakkan diri, bahkan dalam masa kampanye pemilu 2004 tanpa ragu mengajak rakyat untuk tidak malu menjadi “antek Seoharto”. Menurutnya, menjadi antek Soeharto baik karena di zaman Presiden Soeharto kehidupan sejahtera. Namun, bisa dimengerti bagaimana tawaran kembali ke masa Orde Baru mendapat

94 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh angin segar karena pemerintahan transisi pasca-Soeharto belum mampu melakukan konsolidasi yang memadai hingga mampu menjawab krisis nasional (Cahyono dan Lambang Trijono (ed), 2004:3—4). Pada pemilu 2004 ini rakyat tidak hanya memilih DPR (D), Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, tetapi rakyat juga ikut memilih secara langsung anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai penganti keanggotaan Utusan Daerah (yang dulunya dipilih oleh DPRD provinsi) dalam lembaga tertinggi negara (MPR), dalam pemilu-pemilu sebelumnya belum pernah ada. Pemilu 2004 mengunakan mekanisme atau aturan main yang baru. Mekanisme yang dimaksud adalah sistem baru (proporsional daftar terbuka untuk memilih anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan sistem distrik untuk memilih anggota DPD) berdasarkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Namun, yang jelas bahwa di Indonesia telah menghasilkan dua kali pemilu setelah lengsernya kekuasaan Orde Baru. Pemilu pertama pada tahun 1999 (7 Juni 1999) walaupun saat itu masih tetap menggunakan sistem lama (proporsional daftar tertutup) sesuai dengan UU Nmor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. UU ini telah mengalami beberapa kali perubahan, perubahan pertama terjadi pada tahun 2000, yaitu keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2000 dan perubahan kedua pada tahun 2003 yaitu dengan keluarnya UU Nomor 31 Tahun 2003). Walaupun pada pemilu tahun 1999 menggunakan sistem pemilihan yang tidak berbeda

95 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan sistem pemilihan sebelumnya. Akan tetapi, pada pemilu yang pertama pasca-Orde baru, sudah ada kebebasan tentang keberadaan partai-partai baru dengan berbagai ideologi yang dianutnya. Hal ini berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Parpol yang hasilnya sudah disampaikan di atas. Pemilu kedua pasca-Orde Baru terjadi pada tahun 2004. Pemilu 2004 dilaksanakan dalam beberapa tahap, tahap I (pertama) adalah pemilu DPR, DPD dan DPRD (5 April 2004), tahap II (kedua) adalah pemilu calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tahap pertama (5 Juli 2004), sedangkan tahap ketiga dalam pemilu tahun 2004 adalah pemilu capres dan cawapres tahap kedua (20 September 2004). Hasil pemilu pada tahun 2004 secara nasional telah melahirkan anggota parlemen yang berasal dari berbagai partai politik, baik partai politik lama (Orba dan 1999), maupun partai politik baru (2004). Pemilu legislatis pada tahun 2004 memberikan tanda-tanda bahwa pada tataran masyarakat telah terjadi perkembangan yang positif bagi politik Indonesia ke depan. Pertama, sebagian perilaku pemilih meskipun masih banyak yang menjadi pendukung fanatik partai politik tertentu, sebagian telah mulai bergeser dari pola panutan (tradisional) menjadi lebih rasional. Dalam arti mereka tidak lagi berorientasi kepada tokoh yang dianggap sebagai panutan atau patronnya. Hal ini yang dapat disebutkan di sini adalah pergeseran pola tersebut terjadi dari sikap pemilih (suporter) yang semula menganggap pemilu sebagai kewajiban telah mulai bergerk ke

96 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh arah sikap yang menunjukkan pilihan mereka yang didasari atas dasar kesadaran bahwa memilih itu adalah hak (voter). Kedua, pemilu pada tahun 2004 juga memberikan indikasi yang kuat bahwa masyarakat menginginkan perubahan dan tahu bagaimana menghukum partai politik yang ingkar janji. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat (civil society) yang dengan gencar melakukan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat, suatu tugas yang seharusnya dilakukan oleh partai politik (Koirudin, 2004:xvii). Ketiga, meskipun masih ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kecenderungan pemilih dalam masyarakat diwarnai oleh sikap primordial keagamaan, tetapi kenyataan isu- isu yang lebih rasional dan sikap yang inklusif mempunyai daya tarik yang lebih besar. Oleh sebab itu, pada masa mendatang kiranya partai yang inklusif dan menawarkan isu yang secara rasional dapat dianggap menjanjikan perubahan nasib rakyat adalah partai yang akan didukung oleh masyarakat. Keempat, partai yang mampu mendidik dan membentuk kader partai yang mempunyai integritas dan membuktikan satunya kata dengan perbuatan adalah partai politik yang akan menjadi partai yang tangguh karena mendapat dukungan rakyat (Koirudin, 2004:xvii—xviii). Akibatnya, pada pemilu legislatif (DPR) RI tahun 2004 telah menghasilkan anggota parlemen yang baru, yang dianggap lebih plural karena terpilih dari berbagai partai politik. Untuk lebih jelas tentang hasil pemilu legislatif (DPR) RI dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

97 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Tabel 4.3 Hasil Perolehan Suara Partai Politik (Legislatif) pada Pemilu 2004 di Indonesia

No Nama Partai Politik Jumlah % 1. Partai Nasional Indonesia 923.159 0,81 Marhaenisme 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56 3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62 4. Partai Merdeka 842.541 0,74 5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15 6. Partai Persatuan Demokrasi 1.313.654 1,16 Kebangsaan 7. Partai Perhimpunan Indonesia 672.952 0,59 Baru 8. Partai Nasional Banteng 1.230.455 1,08 Kemerdekaan 9. Partai Demokrat 8.455.225 7,45 10. Partai Keadilan dan Persatuan 1.424.240 1,26 Indonesia 11. Partai Penegak Demokrasi 855.811 0,75 Indonesia 12. Partai Persatuan Nahdlatul 895.610 0,79 Ummah Indonesia 13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44 14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11 15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57

98 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34 17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44 18. Partai Demokrasi Indonesia 21.026.629 18,53 Perjuangan 19. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13 20. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58 21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95 22. Partai Syarikat Indonesia 679.296 0,60 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58 24. Partai Pelopor 878.932 0,77 Jumlah Suara Sah 113.462.414 76,7 Jumlah Suara Golput 23.551.321 16 Jumlah Suara Tidak Sah 10.957.925 7,4 Jumlah Pemilih 147.971.166 100 Sumber : KPU Nasional, 5 Mei 2004

Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa Golkar yang dulunya anti disebut partai politik, tetapi pada pemilu tahun 2004 Golkar menjadi salah satu partai politik dari 24 partai yang ada di Indonesia. Sebagai partai besar yang pernah berkuasa lebih kurang 32 tahun di Indonesia dan juga partai yang pernah dikalahkan oleh partainya wong cilik (PDIP) pada pemilu 1999, Golkar kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Salah satu penyebab dari sebagian besar penyebab lainnya, tentang berkurangnya jumlah pemilih Golkar dalam pemilu tahun 1999, tentunya tidak terlepas dari eksistensi Golkar pada masa lalu. Golkar dianggap sebagai

99 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh organisasi politiknya rezim Orde Baru yang didukung kuat oleh kekuatan militer (TNI/Polri) yang divonis oleh sebagian orang sebagai penghacur NKRI. Dengan terkuaknya (terbuka) segala rahasia kinerja Orde Baru ketika itu, yang menuai cercaan dari berbagai elemen masyarakat, terutama elemen mahasiswa dan akademisi yang cenderung lebih banyak tahu tentang kebobrokan pemerintahan Orde Baru sehingga Golkar pada pemilu pada tahun 1999 hanya mampu memperoleh 23.741.749 suara atau 22,44 persen, serta menduduki posisi kedua setelah PDIP. Pada pemilu tahun 2004 peroleh suara bagi partai yang berlambang pohon beringin ini mengalami perubahan (peningkatan), Golkar mampu mebuat sejarah baru dalam kehidupan politik di tanah air. Dengan berbagai hal yang bersifat negatif yang ditempelkan kepadanya dan Golkar telah menyatakan diri untuk mereformasi partainya, tetapi sebagian orang berpendapat bahwa pernyataan itu tidak sebanding dengan dosa-dosa yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru berkuasa, apalagi elite-elite di tubuh Golkar masih warisan dari Orde Baru. Partai Golkar mampu memposisikan dirinya pada urutan teratas (pertama) walaupun tidak memperoleh prestasi seperti dalam pemilu pada masa Orde Baru berkuasa. Pada pemilu tahun 2004 Golkar memperoleh 24.480.757 suara atau 21,58 persen. Meskipun tidak mendapat suara mutlak (50 persen lebih), sebuah keberhasilan yang luar biasa bagi sebuah partai yang eksistensinya sedang diuji karena kedekatannya dengan rezim Orde Baru.

100 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Sebaliknya nasib bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagai partai jawara (pemenang) pada pemilu tahun 1999, tetapi pada pemilu tahun 2004 harus puas disalip dan ditempatkan pada posisi kedua oleh partai yang menjadi lawan kuatnya pada pemilu sebelumnya, yaitu partai Golkar. Pada pemilu tahun 2004 PDIP harus puas dengan memperoleh 21.026.629 suara atau 18,53 persen. Perolehan suara PDIP pada pemilu tahun 2004 mengalami penurunan yang luar biasa, baik dari segi jumlah pemilih yang memilih PDIP, maupun dari segi jumlah persentase jumlah pemilih secara keseluruhan yang menjadi perserta pemilu pada tahun 2004 dibandingkan dengan perorehan suara pada pemilu tahun 1999 yang memperoleh 35.689.073 suara atau 33,74 persen. Menurunnya jumlah pemilih (konstituen) terhadap PDIP pada Pemilu tahun 2004, tidak terlepas dari kinerja elite PDIP pada masa lalu. Sebelum berlangsungnya pemilu tahun 2004, PDIP merupakan partainya penguasa walaupun hasil penggulingan Gusdur (Abdurrahman Wahid) dari tampuk kepemimpinan, mundurnya Gusdur dari orang nomor satu di Indonesia karena tersadung kasus dana hibah dari Sultan Brunai Darussalam (Sultan Hasanul Bolqiah), yang dikenal dengan kasus ”Brunaigate”. Akibatnya, dengan dasar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) terpilihlah Megawati Sukarno Putri yang berpasangan dengan Hamzah Haz, sebagai penerus Gusdur hingga masa pemerintahannya berakhir

101 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pada tahun 2004 yang masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden dan nama kabinetnya diganti dari Kabinet Pembangunan (Gusdur) menjadi Kabinet Gotong Royong. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai yang sedang berkuasa ketika Megawati Sukarno Putri menjadi presiden. Akan tetapi, pada masa pemerintahannya berjalan, banyak kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, yang menurut sebagian orang tidak berpihak kepada rakyat kecil, seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan tarif listrik, telpon, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Padahal PDIP itu sendiri diidentikkan sebagai partainya wong cilik (orang kecil). Kinerja yang seperti itu telah membuat kekecewaan dari sebagian konstituennya (pemilih) yang beranggapan bahwa pemerintahan yang beliau pilih atau dukung tidak lagi berpihak kepadanya, sebagai salah satu contoh bahwa pada pemilu tahun 1999 PDIP memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan partai lainnya, sebagian besar konstituennya adalah rakyat kecil (menengah ke bawah) dengan harapan ketika mereka memilih PDIP pada pemilu tahun 1999 (walaupun kekuasaannya tertunda) nasib mereka dapat diperhatikan, tetapi kenyataannya tidak. Bagaimana supaya kasus-kasus yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru berkuasa, yang kerap dialami oleh mereka seperti kasus 27 Juli 1976 (penyerangan terhadap kantor PDI di jalan Diponogoro Jakarta Pusat) dapat terselesaikan, tetapi sampai akhir jabatannya persoalan tersebut tidak ada titik terang penyelesaiannya.

102 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Berdasarkan pengalaman tersebut masyarakat mulai kritis untuk menentukan pilihannya pada pemilu selanjutnya, termasuk pada pemilu tahun 2004. Pemilih (voters) yang memilih pada pemilu tahun 2004 mulai hati-hati dalam memberikan hak suaranya karena suaranya sangat menentukan jalannya pemerintahan selam lima tahun kedepan (one man one vote). Ada unsur evaluasi yang dilakukan oleh pemilih terhadap partai atau figur (orang) yang dijagokan pada pemilu sebelumnya, yang ternyata tidak banyak perubahan yang dilakukan ketika terpilih (memimpin). Mungkin inilah salah satu hal yang menyebabkan sebagian konstituen dari PDIP yang dulunya didukung, tetapi pada pemilu tahun 2004 justru berubah pikiran untuk mendukung partai atau figur lainnya di luar PDIP. Pada pemilu tahun 2004 PDIP tidak mampu lagi merangkul dan mengelola sebagian dari konstituennya, yang akhirnya hanya mampu memperoleh suara 18,53 persen. Artinya, mengalami penurunan yang luar biasa dibandingkan pada pemilu tahun 1999 mampu memperoleh suara 33,74. Partai politik yang mendapat posisi ketiga dalam pemilu legislatif pada tahun 2004 diduduki oleh partai politik yang sama, yaitu PKB walaupun jumlah pemilihnya mengalami penurunan, pada pemilu tahun 1999 mampu memperoleh 13.336.982 suara atau 12,61 persen, tetapi pada pemilu tahun 2004 berubah menjadi 11.989.564 suara atau 10,57 persen. Meskipun mendapat posisi diperingkat yang sama seperti pada pemilu tahun 1999 dan 2004, PKB juga mengalami penurunan jumlah suara yang

103 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh lumayan besar, kalau dibandingkan dengan hasil perolehan suara antara pemilu tahun 1999 dan 2004 mengalami penurunan sebesar 1.347.418 suara. Menurunnya jumlah suara PKB dalam pemilu tahun 2004, salah satu indikasi atau penyebabnya adalah karena konflik internal PKB itu sendiri, terjadi dualisme kepemimpinan (dua kubu), yaitu kubu yang mendukung kepemimpinan Matori Abdul Jalil (yang dipecat oleh Gusdur) dan kubu yang mendukung kepemimpinan Alwi Sihab atau juga kenal dengan kubu Kuningan (yang didukung oleh Gusdur). Walaupun pada pemilu tahun 2004 PKB Alwi Sihab, yang karena keputusan pengadilan diakui sebagai partai yang sah sebagai peserta pemilu tahun 2004, tetapi sedikit kurangnya mempengaruhi hasil perolehan suara PKB pada pemilu tahun 2004, paling tidak ada kemungkinan bergesernya suara pemilih (voters) pendukung PKB kubu Matori Abdul Jalil berpindah ke partai politik lain, yang merupakan konstituen (pendukung) yang telah dikhianati oleh elite PKB (Gusdur). Partai politik yang bernasib sama seperti PKB dalam menduduki peringkat peroleh suara adalah PPP. Pada pemilu tahun 1999 PPP menduduki peringkat keempat dan posisi yang sama ditempati oleh PPP pada pemilu tahun 2004. Meskipun peringkatnya sama, tetapi PPP juga mengalami penurunan jumlah perolehan suara dibandingan pemilu tahun 1999. Pada pemilu 1999 PPP mampu memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71 persen, sedangkan pada pemilu 2004 hanya mampu memperoleh 9.248.764 suara atau 8,15 persen. Dengan demikian, perolehan

104 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh suara PPP pada pemilu tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 2.081.141 suara jika dibandingkan dengan perolehan suara PPP pada pemilu tahun 1999. Berkurangnya jumlah perolehan suara partai berlambang Ka’bah ini pada pemilu tahun 2004, pada prinsipnya mempunyai nasib yang sama seperti yang nasib yang dialami oleh PKB, yaitu adanya konflik internal partai. Menjelang pemilu tahun 2004 PPP mengalami perpecahan dalam tubuh partai, PPP Reformasi yang dipimpin oleh KH. Zainuddin MZ, lahirnya PPP Reformasi karena adanya sikap kecewa dari sebagian elite di PPP. Selanjutnya, PPP Reformasi ini berubah menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) yang menjadi salah satu partai peserta pemilu tahun 2004 sehingga dengan lahirnya PBR telah menyebabkan penurunan jumlah suara bagi PPP karena sebagian pemilih (voters) berpindah ke PBR. Selanjutnya, PBR pada pemilu tahun 2004 mengalami keuntungan yang luar biasa karena PBR mampu menarik simpati massa pendukung dari kantong-kantong baisnya PPP. Akibatnya, PBR pada pemilu tahun 2004 mampu memperoleh 2.764.998 suara atau 2,44 persen. Walaupun tidak mendapat perolehan suara 3 persen (electoral threshold) yang menjadi batas minimal bagi sebuah partai untuk menjadi peserta dalam pemilu selanjutnya, hal ini menujukkan sebuah prestasi yang luar biasa bagi sebuah partai baru yang baru pertama kali mengikuti pemilu. Peserta pemilu pada pemilihan umum tahun 2004 yang meraih prestasi yang luar biasa adalah Partai Demokrat (PD). Partai ini merupakan partai politik yang identik dengan

105 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PD pada pemilu tahun 2004 mampu memposisikan diri pada peringkat kelima dalam perolehan suara, yaitu dengan memperoleh 8.455.225 suara atau 7,45 persen, mampu melewati persentase yang menjadi batas perolehan suara minimal (3 persen). Posisi kelima yang ditempati oleh PD merupakan posisi yang sebelumnya ditempati oleh Partai Amanat Nasioanal (PAN). Besarnya dukungan terhadap PD pada pemilu tahun 2004 tidak terlepas dari kepopuleran figur SBY pada satu sisi, sebagai tokoh PD yang berpenampilan santun dianggap mempunyai kontribusi yang jauh lebih besar dari mesin partai itu sendiri dalam mengumpulkan jumlah suara (Koirudin, 2004:xvi), dan pada sisi lain juga dengan isu-isu yang dibangun oleh PD. Isu diskriminatif (pengucilan) merupakan salah satu isu terpenting bagi PD dari sebagian banyak isu-isu lainnya. Konflik antara Presiden Megawati Soekarno Putri dan SBY yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) menjelang pemilu tahun 2004, ternyata membuahkan efek yang luar biasa besar dalam pada pemilu tahun 2004, baik terhadap Megawati maupun terhadap SBY. SBY secara terus terang mengemukakan pengucilan dirinya dalam kabinet Megawati kepada pers. Berbagai sumber menyebutkan sejak Januari hingga Februari 2004, SBY tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan. Sebagai contoh, SBY tidak diajak bicara mengenai kunjungan menteri dan pejabat lingkungan

106 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Polkam ke Aceh, padahal SBY adalah Penguasa Darurat Militer Pusat. Pernyataan SBY mengenai pengucilan dirinya segera memancing reaksi bahkan, tak kurang, the first gentleman, Taufuk Kiemas, merespon tindakan SBY tersebut dengan mengatakan SBY sebagai “bintang empat yang bersikap seperti anak kecil” (Koirudin, 2004:126—127). Merasa diperlakukan tidak wajar, SBY kemudian berusaha menemui Presiden Megawati namun selalu ditolak. SBY mengaku bahwa dirinya ingin mengkarifikasi berita- berita seputar dirinya sebagaimana yang dimuat di media massa. Sementara itu, Megawati yang dalam pernyataan Taufik Kiemas sebelumnya disebut “tidak akan menanggapi anak kecil”. Konflik ini akhirnya terus berlanjut dengan permohonan pengunduran diri SBY dari Kabinet Megawati pada tanggal 11 Maret 2004 bersamaan dengan digelarnya Rapat Kabinet di Istana Negara. Menanggapi permohonan pengunduran diri SBY ini akhirnya Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36/M/2004 tanggal 12 Maret 2004 berisi persetujuan atas permintaan pengunduran diri Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden lalu menunjuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno sebagai Menkopolkam ad interim (Koirudin, 2004:127—128). Hal inilah salah satu indikasi tentang meningkatnya popularitas SBY dan PD pada pemilu tahun 2004. Peringkat keenam dalam perolehan suara pada pemilu

107 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tahun 2004 ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Posisi yang pada pemilu tahun 1999 ditemapati oleh Partai Bulan Bintang (PBB). Terjadi perubahan nama partai dari Partai Keadilan (PK) pada pemilu tahun 1999 menjadi PKS pada pemilu tahun 2004. Pada pemilu tahun 2004 PKS telah mampu memperbaiki posisinya dari peringkat ketujuh pada pemilu tahun 1999 dengan memperoleh 1.436.565 suara atau 1,36 persen, satu peringkat di bawah peringkat perolehan suara PBB menjadi peringkat keenam pada pemilu tahun 2004 dengan memperoleh 8.325.020 suara atau 7,34 persen. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mengembirakan bagi partai Islam yang mampu merangkul sebagian konstituennya dari kalangan kampus (mahasiswa yang aktif pada organisasi dakwah kampus) sehingga mampu meningkatkan jumlah pemilih (voters) secara signifikan dari satu (1) juta lebih pemilih (1,36 persen) menjadi delapan (8) juta lebih pemilih (7,34 persen). Partai Amanat Nasional (PAN) pada pemilu tahun 1999 mampu menduduki posisi kelima, tetapi dalam pemilu tahun 2004 mendapatkan posisi pada peringkat ketujuh dalam perolehan suara. Peringkat PAN pada pemilu sebelumnya (1999) digantikan oleh PD pada pemilu tahun 2004. Meskipun jumlah pemilih bagi PAN tidak terlalu jauh berubah, pada pemilu tahun 1999 PAN mampu memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12 persen dan pada pemilu tahun 2004 mampu memperoleh 7.303.324 suara atau 6,44 persen. Meskipun tidak terlalu jauh selisih jumlah perolehan suara antara kedua pemilu tersebut, PAN harus puas

108 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh mendapat posisi pada peringkat ketujuh dalam perolehan suara pemilu tahun 2004, satu peringkat di bawah perolehan suara PKS yang pada pemilu tahun 1999 berada pada peringkat ketujuh. Posisi ketujuh PK pada pemilu tahun 1999 digantikan oleh PAN pada pemilu tahun 2004. Menurunnya jumlah persentase jumlah pemilih bagi partai yang sangat populer di Aceh dan Sumatera Barat (PAN) ini tidak terlepas dari meningkatnya perolehan suara terhadap beberapa partai politik lainnya, seperti PD dan PKS. Selanjutnya, Partai Bulan Bintang (PBB) yang mempu memposisikan dirinya pada peringkat keenam dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999 dengan memperoleh 2.049.708 suara atau 1,94 persen, sedangkan pada pemilu tahun 2004 pada posisi peringkat kedelapan dalam perolehan suara, yang mampu memperoleh 2.970.487 suara atau 2,62 persen. Meskipun PBB mendapatkan posisi kedelapan pada pemilu tahun 2004, PBB telah mampu mendongkrak jumlah suaranya dari 1,94 persen pada pemilu tahun 1999 menjadi 2,62 persen pada pemilu tahun 2004. Partai politik yang mampu memposisikan dirinya pada peringkat sepuluh besar perolehan suara pada pemilu 2004 adalah PBR (partai gempalan PPP) dengan memperoleh 2.764.998 suara atau 2,44 persen yang mampu mendapatkan posisi pada peringkat kesembilan, sedangkan posisi kesepuluh ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan memperoleh 2.414.254 suara atau 2,13 persen. Selanjutnya, partai politik lainnya hanya beberapa partai politik saja yang mengalami nasib lebih baik

109 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan mendapatkan suara tidak kurang dari satu persen, seperti Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang menempati pada posisi satu peringkat di bawah PDS (peringkat kesebelas) dengan memperoleh 2.399.290 suara atau 2,11 persen. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) memperoleh 1.424.240 suara atau 1,26 persen, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) memperoleh 1.313.654 suara atau 1,16 persen dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) memperoleh 1.230.455 suara atau 1,08 persen. Selanjutnya, bagi partai-partai yang lainnya hanya mampu memperoleh suara di bawah satu (1) persen, ini merupakan persentase jumlah perolehan suara yang sangat jauh selisih antara jumlah persentase minimal (tiga persen), yang dijadikan electoral threshold bagi setiap partai politik untuk dapat menjadi peserta pada pemilu selanjutnya.

4.3 Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama di Indonesia Berbeda dengan pemilu tahun 1999, pemilu pada tahun 2004 merupakan sejarah baru bagi demokrasi di Indonesia karena pada pemilu tahun 2004 pertama kalinya masyarakat Indonesia memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Pemilu tahun 2004 secara khusus ditandai oleh tahapan-tahapan pemilu yang memberi peluang besar bagi terjadinya ledakan partisipasi politik masyarakat. Selain masalah klasik pemilu di Indonesia bahwa massa pada masa kampanye sering menjadi ajang bagi munculnya ledakan mobilisasi dan partisipasi politik massa

110 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh yang luas, pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama di Indonesia, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung, selain memilih langsung anggota parlemen (Cahyono dan Lambang Trijono (ed), 2004:60). Pemilu presiden dan wakil presiden baru pertama kali dilaksanakan secara langsung. Pemilihan sistem ini mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Presiden/Wakil Presiden). Pelaksanaan pemilu presiden/ wakil presiden secara langsung memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk menentukan pilihannya sehingga dengan adanya pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden secara langsung diharapkan akan melahirkan pemimpin bangsa yang ideal, presiden yang betul-betul dipilih berdasarkan kehendak rakyat. Meskipun dalam pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden dilakukan secara langsung, pelaksanaan pemilu ini juga tidak terlepas dari pengaruh partai-partai politik yang menjadi pemenang pemilu karena partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada pemilu anggota DPR sekurang-kurangnya tiga persen dari jumlah kursi DPR atau lima persen dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR pada tahun 2004 yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, kalau yang menang adalah partai-partai yang lahir dan punya komitmen untuk menjalankan agenda reformasi, tentunya kita masih bisa berharap. Akan tetapi,

111 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh jika menang adalah partai-partai lama yang “anti reformasi”, tentunya kita tidak punya harapan lagi (Koirudin, 2004:31—32). Oleh karena itu, calon presiden dan wakil presiden yang akan menjadi kandidat dalam pemilu sangat ditentukan oleh partai politik meskipun hal tersebut bukan menjadi satu-satunya kekuatan bagi partai politik dalam memenangkan kandidatnya. Kalau rakyatnya tidak mau memilih terhadap kandidat calon yang dijagokan oleh partai politik tertentu, partai politik itu pun tidak bisa berbuat banyak. Sebagai contoh kandidat capres dan cawapres dari PDIP dan partai Golkar, ternyata tidak terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, padahal PDIP dan partai Golkar adalah partai pemenang pada urutan pertama dalam perolehan suara pada pemilu legislatif tahun 2004. Mandulnya mesin politik ini jelas mengarah pada sistem pemilihan presiden yang diselenggarakan secara langsung. Salah satu indikasi kuatnya bisa ditelisik melalui fenomena otoritas partai politik terhadap massa pemilihnya yang mulai melemah karena sistem tersebut. Sebagai salah satu mesin, secara teoretis idealnya kebijakan partai bisa mengendalikan suara pemilih atau pendukungnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, peranan partai politik ternyata tidak seefektif seperti yang diprediksikan, fungsi partai politik, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama yang lalu, partai kurang begitu berpengaruh bagi konstituennya di bawah. Masyarakat pemilih pada pemilu legislatif tahun 2004 memberikan suaranya pada partai tertentu, tetapi pada pemilu

112 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh presiden/wakil presiden masyarakat tidak lagi memberikan suaranya pada partai yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa massa pemilih memang tidak selamanya bisa dipengruhi oleh kebijkan partai atau dalam hal ini keputusan di tingkat elite. Mungkin tipe semacam inilah yang biasa diistilahkan sebagai swing voters (Koirudin, 2004:88—89). Rakyat saat ini tampaknya sudah mulai berhati-hati untuk menentukan pilihannya meskipun partai tertentu merupakan partai pemenang pemilu legislatif (DPR) dengan memperoleh dukungan kuat, tetapi belum tentu menang dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Adanya perubahan sikap dari pemilih (voters) ketika menentukan pilahannya sehingga nantinya akan melahirkan sosok pemimpin yang terpilih bukan karena faktor uang (money politic), tetapi pemimpin yang lahir berdasarkan dari keyakinan bahwa pemimpin tersebut dapat membawa perubahan-perubahan pada masa yang akan datang. Di sisi lain, masih adanya berbagai polemik dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden sebagai kandidat pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 oleh berbagai fraksi di DPR, seperti strata pendidikan dan status calon yang tidak dalam status terdakwa, yang akan dijadikan kandidat capres dan cawapres oleh partai-partai yang memenuhi syarat threshold (tiga persen). Pada akhirnya telah melahirkan lima pasangan calon sebagai kandidat pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004. Kelima pasangan calon tersebut adalah adalah (1) Partai Golkar mencalonkan, H. Wiranto, S.H. dan Ir. H. Salahuddin Wahid, (2)

113 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PDIP mencalonkan Hj. Megawati Soekarno Putri dan K.H. A. Hasyim Muzadi, (3) PAN mencalonkan Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo, (4) PD mencalonkan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. M. Yusuf Kalla, dan (5) PPP mencalonkan Dr. H. Hamzah H dan H. Agum Gumelar, M.Sc. Pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dalam dua tahap, apabila tahap pertama tidak menghasilkan calon presiden dengan perolehan suara yang signifikan, dalam artian jika tidak mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen (50+1). Pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004, masing-masing pasangan calon telah menghasilkan perolehan suara dari para massa pendukungannya, untuk lebih jelasnya lihatlah tabel di bawah ini. Tabel 4.4 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2004 Putaran Pertama di Indonesia

Nama Pasangan Capres No. Jumlah (%) & Cawapres 1. H. Wiranto, SH – Ir. H. 26.286.788 22,15 Salahuddin Wahid 2, Hj. Megawati Soekarno Putri 31.569.104 26,61 – KH. A. Hasyim Muzadi

114 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 3. Prof. Dr. H. M. Amien Rais 17.392.931 14,66 – Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo 4. H. Susilo Bambang 39.838.184 33,57 Yudhoyono – Drs. H. M. Yusuf Kalla 5. Dr. H. Hamzah H – H. Agum 3.569.861 3,01 Gumelar, M.Sc Jumlah Suara Sah 118.656.868 77,13 Jumlah Suara Tidak Sah 2.636.976 1,71 Jumlah Golput 31.026.700 20,17 Jumlah Pemilih 153.842.735 100 Sumber: KPU Nasioanal 19 Juli 2004

Dari tabel 4.4 di atas terlihat bahwa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu presiden/wakil presiden pada tahun 2004 putaran pertama dari 153.842.735 jumlah pemilih adalah pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Drs. H. M. Yusuf Kalla (YK), dengan perolehan suara 39.838.184 atau 33,57 persen. Meskipun pasangan ini tidak mampu memperoleh suara yang signifikan (50%+1) pada pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama, paling tidak bisa menjadi jembatan bagi pasangan tersebut untuk menjadi kandidat calon pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden pada putaran kedua. Banyaknya dukungan terahadap pasangan SBY-YK pada pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama, tidak

115 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh terlepas dari figur kandidat capres dari PD, figur SBY yang mengusung isu-isu diskriminastif, yang menjadi polemik dengan pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagaimana telah disampaikan di atas dan figur YK yang merupakan salah seorang fungsionaris Partai Golkar meskipun YK pada akhirnya dipecat oleh Pimpinan Partai Golkar (Akbar Tanjung) karena tidak mengindahkan aturan main atau mekanisme partai. Namun, YK masih mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi massa pendukung yang ada di Partai Golkar, terutama massa pendukung Partai Golkar wilayah timur Indonesia. Ternyata sikap optimisnya pasangan ini untuk menjadi menjadi pemenang pada pemilu presiden/wakil presiden tahap pertama dapat terbukti. Pasangan ini mampu memposisikan diri pada peringkat pertama dalam perolehan suara meskipun tidak mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen lebih. Perolehan suara bagi kedua pasangan kandidat capres dan cawapres ini merupakan prestasi yang luar biasa bagi PD yang merupakan partai baru, yang hanya memperoleh suara 7,45 persen dari keseluruhan jumlah pemilih pada pemilu legislatif tahun 2004 di Indonesia, saat itu PD berada pada peringkat kelima dalam perolehan suara jauh berada di bawah jumlah perolehan suara Partai Golkar dan PDIP. Partai Demokrat yang diidentikkan dengan SBY telah membuat kejutan dalam pemilu legislatif tahun 2004. PD berhasil menembus deretan partai-partai besar dalam perolehan

116 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh suaranya. Semua orang menyebut fakta tersebut terjadi karena penampilan, figur, dan sosok SBY yang anggun, sopan dan santun. PD menjadikan citra dan pesona SBY untuk menarik simpati masyarakat, terutama, setelah SBY sendiri merasa “dilecehkan” dalam kabinet Megawati. Publik pun jauh-jauh hari sudah menduga akan kemenangan SBY-YK pada pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama, paling tidak mereka akan lolos ke final. Ternyata dugaan tersebut sama sekali tidak meleset. SBY-YK bahkan unggul jauh di atas pasangan Megawati-Hasyim dan pasnagan Wiranto-Salahuddin Wahid, meskipun dalam Pemilu legilatif sebelumnya partai-partainya menjadi jagoan (Koirudin, 2004:87—88). Pasangan calon presiden dan wakil presiden dari PDIP, yaitu Hj. Megawati Soekarno Putri dan K.H. A. Hasyim Muzadi hanya mampu memperoleh 31.569.104 suara atau 26,61 persen, pasangan calon tersebut menempati posisi kedua dalam perolehan suara. Posisi ini tidak jauh berbeda dengan posisi perolehan suara PDIP pada pemilu legislatif tahun 2004 yang juga berada pada posisi kedua. Kurangnya dukungan terhadap pasangan capres dan cawapres dari PDIP tidak terlepas dari rasa kekecewaan atas kinerja Megawati Soekarno Putri pada masa pemerintahan sebelumnya yang beliau pimpin, yang dianggap tidak mampu melakukan perubahan sebagaimana agenda reformasi, dalam bidang hukum misalnya, Megawati tidak mampu menyelesaikan kasus hukum yang berkaitan dengan korban 27 Juli 1996 (penyerangan kantor DPP PDI di

117 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Jalan Diponegoro Jakarta Pusat) yang telah mehilangkan nyawa ratusan jiwa. Padahal kasus tersebut merupakan salah satu masalah paling dasar yang dituntut oleh massa pendukung PDIP. Dengan tidak terselesaikannya kasus ini dan juga beberapa masalah di daerah yang belum terselesaikan, seperti Aceh dan Papua, masyarakat merasa kecewa atas kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Dari berbagai bentuk kekecewaan itu, tampaknya sebagian massa pendukung PDIP yang dulunya konsen dan simpati terhadap figur Megawati yang selalu menuntut pemerintah pada masa Orba untuk menyelesaikan kasus tersebut tak urung diselesaikan ketika Megawati menjadi Presiden. Oleh karena itu, sebagian massa pendukung PDIP merasa kecewa, sebagai bentuk perlampiasannya itu massa pendukung PDIP lebih cenderung memilih pasangan lain, yang lebih konsen terhadap penegakan hukum. Mungkin ada juga massa pendukung PDIP yang tidak mendukung pasangan calon lainnya, cenderung lebih memilih golongan putih (golput). Hal tersebut tampaknya terbukti karena pada tabel 3.8 di atas menunjukkan bahwa jumlah golput juga lumanyan besar, yang berjumlah 31.026.700 atau 20,17 persen yang tidak memilih dan ditambah dengan jumlah suara yang tidak sah sebanyak 2.636.976 suara atau 1,71 persen. Selain faktor kekecewaan yang menyebabkan pasangan calon dari PDIP tidak terlalu unggul dalam memperoleh suara pada pemilu presiden/wakil presiden tahap pertama, apabila

118 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dibandingkan dengan pasangan capres dan cawapres dari PD yang merupakan partai yang tidak mempunyai dukungan besar pada pemilu legislatif tahun 2004 jika dibandingkan dengan dukungan terhadap PDIP, juga dipengaruhi oleh figur K.H. A. Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tidak mendapat dukungan dari Gusdur. Pasangan K.H. A. Hasyim Muzadi dan Megawati dari PDIP dapat dikatakan simbol nasionalis dan religius (Islam) meskipun Hasyim Muzadi tidak mendapat dukungan dari Gusdur yang merupakan salah seorang yang mempunyai pengaruh besar dikalangan warga NU. Namun, dengan adanya Hasyim Muzadi sebagai pasangan Megawati sudah mampu mendongkrak perolehan suara pada pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama hingga menjadi kandidat dalam pemilu presiden/wakil presiden tahap kedua. Pasangan H. Wiranto, S.H. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang dijagokan oleh Partai Golkar ternyata hanya mampu memperoleh 26.286.788 suara atau 22,15 persen. Terpilihnya Wiranto sebagai calon presiden dalam konvensi Partai Golkar merupakan hal di luar dugaan dari berbagai kalangan. Sebelumnya Akbar Tanjung diprediksi akan terpilih dari konvensi dari Partai Golkar. Kenyataannya Akbar Tanjung menuai kekalahan bersama beberapa kandidat lainnya. kemenangan Wiranto merupakan kemenangan nurani konvensi Partai Golkar. Perjalanan panjang konvensi Partai Golkar yang penuh persaingan ketat dan mungkin disertai intrik-intrik politik

119 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh telah berakhir dengan hasil yang sangat spetakuler. Wiranto, tokoh di luar Partai Golkar, telah memenangi konvensi Partai Golkar mengalahkan Akbar Tanjung, seorang tokoh dan Ketua Umum Partai Golkar (J. Kristiadi dalam Koirudin, 2004:72—73). Kemenangan Wiranto dalam konvensi tersebut tidak hanya memperoleh pujian, tetapi tidak sedikit kalangan yang mengkhawatirkan karena Wiranto merupakan salah seoarang mantan jenderal yang dianggap terkait dengan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pelanggaran HAM di Aceh (DOM) dan di Timor Timur, kerusuhan 27 Juli 1996 (penyerangan kantor DPP PDI), dan kerusuhan Mei 1998. Bentuk kekhawatiran lain tentang munculnya Wiranto sebagai calon presiden dari Partai Golkar adalah akan melahirkan pemimpin bangsa meskipun tidak kembali seperti pemimpin seperti pada era Orde Baru berkuasa yang dianggap sebagai rezim otoriter. Namun, paling tidak bangsa ini berpotensi besar dipimpin oleh “orang lama” dan “seorang militer” yang di era Orde Baru turut mendukung otoritarianisme (J. Kristiadi dalam Koirudin, 2004:75). Kemungkinan besar dari dua kekhawatiran tersebut Wiranto tidak memperoleh suara yang dapat mengantarkannya pada pemilu presiden/wakil presiden putaran kedua. Munculnya Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang mendapat dukungan dari kakak kandungnya, yaitu mantan Presiden Abdurrahaman Wahid (Gusdur) dan PKB, dipinangnya Salahuddin Wahid sebagai wapres, tampaknya hanya sebagai pembersihan diri (citra) dari berbagai kasus pelanggaran

120 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh HAM, seperti disebutkan di atas. Adanya Salahuddin Wahid yang merupakan sosok pejuang HAM, paling tidak dapat memperbaiki citra Wiranto pada masa lalu sehingga Wiranto dapat menunjukkan kepada publik bahwa dia adalah calon presiden yang bersih dari kasus pelanggaran HAM. Ketika Wiranto bergandengan tangan dengan Salahuddin Wahid untuk menjadi kandidat capres dan cawapres pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2004. Meskipun demikian, ternyata Salahuddin Wahid tidak dapat berbuat banyak untuk mendapat dukungan dari massa pendukung. Cita-cita pasangan capres dan cawapres dari Partai Golkar ternyata tereliminasi pada pemilu presiden/wakil presiden putaran pertama. Selanjutnya, hanya menjadi pemilih (voters) pada pemilu presiden/wakil presiden putaran kedua. Pasangan Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo yang dijagokan oleh PAN dalam pemilu presiden/wakil presiden 2004 putaran pertama hanya mampu memperoleh 17.392.931 suara atau 14,66 persen. Dengan jumlah perolehan suara sebanyak itu pasangan Amien-Siswono dikalahkan oleh jumlah pendukung golput yang mencapai 290.512 orang atau 14,66 persen. Padahal sosok Pak Amien yang identik dengan PAN dan Muhammadiyah berusaha mencitrakan dirinya sebagai figur calon pemimpin yang bersih dan kesanggupan untuk ngopeni nasib wong cilik (memperhatikan nasib orang/rakyat kecil), seperti yang disampaikan dalam kampanye-kampanye, serta penegasan untuk memperjuangkan

121 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Indonesia yang bersih dari Korupsi, Kolisi, dan Nepotisme (KKN) tidak mampu mendongkrak suara pasangan ini. Pak Amien juga berusaha untuk mencitrakan dirinya sebagai pengayom wong cilik. Posisinya sebagai dosen (Guru Besar Ilmu Politik di Fisipol UGM) dimanfaatkannya sebagai relevansi pejuangannya dalam mengangkat harkat dan kesejahteraan guru di Indonesia (J. Kristiadi dalam Koirudin, 2004:272). Meskipun Pak Amien sebagai tokoh intelektual yang sangat dikagumi di Indonesia, yang mempunyai mesin politik ganda (PAN dan Muhammadiyah), ternyata tidak mampu mengantarkan mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini untuk menjadi kandidat capres pada pemilu presiden 2004 putaran kedua. Selanjutnya, Pak Amien memutuskan untuk kembali ke barak (kampus) menjadi guru yang akan mendidik ahli-ahli politik masa depan. Dengan tidak terpilihnya Pak Amien sebagai presiden pada pemilu presiden/wakil presiden 2004, banyak kalangan mengatakan selain belum adanya ridha dari Allah, juga ada kalangan yang mengatakan bahwa masanya Pak Amien untuk menjadi presiden sudah lewat. Pak Amien ketika meminang Pak Siswono sebagai pasangannya untuk bersama-sama berjuang dalam pemilu presiden/wakil presiden 2004 berharap mampu mendongkrak suara pemilih sehingga nantinya menjadi peserta kontestan pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden putaran kedua. Memang pada dasarnya sosok Pak Siswono juga merupakan sosok yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia,

122 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh apalagi ketika beliau ini menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat (1988—1993) dan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (1993—1998) pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa. Ketika reformasi bergulir seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru, Pak Siswono dipercayakan sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Kesediaannya untuk bergabung dengan Pak Amien Rais didasarkan platformnya yang tidak banyak berbeda, kejelasan yang pasti akan hal-hal mendasar, seperti tekat mempertahankan NKRI dan Pancasila; otonomi daerah yang luas untuk percepatan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan serta kesetaraan. Keduanya sudah sepakat bahwa presiden dan wakil presiden adalah dwitunggal yang bersama-sama memutuskan hal-hal tentang pemerintahan (J. Kristiadi dalam Koirudin, 2004:144). Meskipun Pak Siswono adalah sosok yang sangat dikenal luas dalam masyarakat kita, perjuangan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mantan aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam mendapat dukungan dari rakyat secara luas sehingga cita- citanya untuk bermaskas di istana harus ditanggalkannya. Pansangan capres dan cawapres dari PPP, yaitu Dr. H. Hamzah H dan H. Agum Gumelar, M.Sc. hanya mampu memposisikan dirinya pada posisi urutan nomor buntut (lima) dalam perolehan suara pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama. Pasangan ini hanya mampu memperoleh 3.569.861 suara atau 3,01 persen. Tampaknya

123 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh jumlah suara yang diperoleh oleh pasangan ini menjadi pengalaman berat bagi mantan wakil presiden pada Kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh Megawati Soekarno Putri, pada pilpres tahun 2004 menjadi saingannya untuk melangkah ke istana. Pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 ini, Pak Hamzah Haz tampaknya tidak mampu lagi menggerakkan mesin politknya (PPP) secara maksimal, sebagaimana halnya pada pemilu presiden/wakil presiden sebelumnya yang mampu menngatar dirinya sebagai wakil presiden berpangan dengan Ibu Megawati. Padahal sosok beliau adalah sosok yang tidak asing dikalangan warga NU dan PPP. Namun, pasangan dari partai yang sudah terpecah ini (PPP dan PBR) tidak mendapat suara yang luas dari massa pendukungnya. Ketika mengikuti kontestan sebagai calon presiden, Pak Hamzah Haz meminang Pak Agum Gumelar sebagai pasangannya, harapannya tampaknya hampir sama dengan pasangan calon lainnya, yaitu untuk mampu meraup massa pendukung yang lebih banyak. Ternyata kenyataannya ketika beliau bepasangan dengan mantan militer ini yang pernah menjabat dalam berbagai jabatan, baik jabatan di militer, menteri maupun jabatan dalam dunia olah raga, tidak mampu mengantarkannya sebagai presiden Indonesia yang ke enam. Pada dasarnya memang Pak Agum juga sangat dikenal oleh publik, baik ketika beliau masih menjadi seorang militer, menteri maupun ketika memimpin organisasi olah raga sehingga beliau ini menjadi figur yang cukup dikenal oleh publik, karena

124 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh keterlibatanya dalam berbagai bidang. Namun demikian, tampaknya beliau sudah menyadari ketika dipinang oleh Pak Hamzah Haz untuk menjadi calon wakil presiden pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, beliau tidak bisa berbuat banyak untuk memperoleh suara yang lebih banyak untuk lolos pada putaran kedua. Ternyata prediksi beliau tidak jauh meleset, pasangan ini hanya mampu memperoleh 3,01 persen suara, yang mempunyai selisih yang sangat jauh dengan perolehan suara partai politik lainnya, bahkan dengan suara golput.

4.4 Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua di Indonesia Pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 putaran kedua ini telah meloloskan dua pasangan kondidat calon presiden dan wakil presiden. Pemilu presiden/wakil presiden tahap kedua ini merupakan tahap penentuan bagi masing-masing pasangan calon sehingga pada tahap ini tidak hanya riskan terhadap konflik. Namun, juga persaingan yang begitu ketat, baik bagi partai politik maupun bagi masing-masing kandidat dalam mempengaruhi massa pendukung, yang nantinya akan mengantarkan mereka ke istana. Pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden putaran ke dua ini, yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004, telah menyisakan dua pasangan kandidat capres dan cawapres yang merupakan hasil dari pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama. Kedua pasangan ini diambil dari masing-masing calon kandidat yang

125 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh memperoleh suara pada peringkat pertama dan ke dua. Hal tersebut dilakukan karena tidak ada satu pasangan kandidatpun yang mampu memperoleh suara manyoritas (50%+1) sehingga yang menjadi kondidat dalam pemilu presiden/wakil presiden putaran kedua tersisa dua pasangan capres dan cawapres, yaitu pasangan SBY-YK dan Mega-Hasyim. Perolehan suara masing- masing calon terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.5 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Kedua di Indonesia

Nama Pasangan Capres No. Jumlah (%) & Cawapres 1. Hj. Megawati Soekarno 44.990.704 39,38 Putri – KH. A. Hasyim Muzadi 2. H. Susilo Bambang 69.266.350 60,62 Yudhoyono – Drs. H. M. Yusuf Kalla Jumlah Suara Sah 114.257.054 100 Sumber: KPU Nasioanal 4 Oktober 2004

Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa perolehan suara pasangan SBY-YK sangat signifikan pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 putaran kedua, yaitu dengan memperoleh 69.266.350 suara atau 60,62 persen, tentunya

126 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan jumlah suara sebanyak itu, telah mengantar pasangan ini ke istana nagara. Melonjaknya jumlah suara perolehan suara bagi pasanangan SBY-YK, yang pertama tidak terlepas dari apa yang telah disampaikan di atas, yaitu tentang adanya sikap diskriminatis dari pemimpin Kabinet Gotong Royong (Megawati) terhadap SBY ketika menjabat Menko Polkam sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Hal lain juga disebabkan oleh besarnya peran mesin politik (PD) dalam mencari dukungan menjelang pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua. Dengan hasil perolehan suara sebanyak itu pada pilpres tahun 2004 putaran kedua, pasangan SBY-YK ditetapkan sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2004—2009. Perolehan suara bagi pasangan SBY-YK jauh di atas perolehan suara pasangan Mega-Hasyim yang hanya mampu memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38 persen. Rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU terhadap masing-masing pasangan calon kandidat dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 pada putaran kedua di Hotel Borobudur (Jakarta), pasangan SBY-YK mengungguli perolehan suara pasangan Mega-Hasyim di 28 provinsi, hanya tiga provinsi saja yang dapat dimenangi oleh pasangan Mega-Hasyim, yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat. Dengan kemenangan pasangan SBY-YK atas pasangan Mega-Hasyim pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua, akhirnya pasangan SBY-YK ditetapkan sebagai

127 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh presiden dan wakil presiden terpilih, sebagaimana termuat dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 98/SK/KPU/2004 tepatnya pada tanggal 4 Oktober 2004. Pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua menjadi pengalaman pahit bagi calon kandidat dari PDIP meskipun saat itu PDIP membuat koliasi kebangsaan yang mampu mengait partai politik pemenang pemilu legislatif tahun 2004, yaitu Partai Golkar. Bergabungnya partai politik yang memperoleh suara terbesar dalam pemilu legisltif tahun 2004 tidak dapat mengantarkan pasangan ini ke istana. Pasangan ini dikalahkan oleh pasangan SBY-YK dari koalisi kerakyatan. Pengalaman tersebut telah menunjukkan bahwa partai politik tidak menjadi satu-satunya kekuatan politik yang menentukan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin bangsa. Hal tersebut terjadi seiring dengan adanya sistem pemilihan yang baru (pilsung). Sosok atau figur dari seorang calon juga sangat menentukan terpilih atau tidaknya pasangan yang dicalonkan meskipun partai politik tertentu itu menang dalam pemilu. Hal tersebut belum dapat menjamin pasangan calon yang dijagokan itu terpilih dalam pemilu presiden/ wakil presiden. Faktanya telah terjadi, PDIP yang bergabung dengan Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu tahun 2004 tidak dapat mengantarkan pasangan Mega-Hasyim sebagai presiden dan wakil presiden lima tahun ke depan pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran

128 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh kedua. Para pemilih (voters) sangat menentukan terpilihnya seorang pemimpin yang baru, yang tidak dapat dipengaruhi lagi seperti pada pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, yang menggunakan sistem proporsional tertutup.

129 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB V ULAMA DAN PEMILU PASCA-ORDE BARU (REFORMASI) DI PROVINSI ACEH

5.1 Ulama dan Pemilu Secara umum kebanyakan ulama dayah (pesantren) sejak awal kemerdekaan hanya belajar di Aceh saja. Pusat belajarnya adalah Dayah Darussalam Labuhan Haji (Kabupaten Aceh Selatan) yang dipimpin oleh Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy (1917—1961) atau juga dikenal dengan panggilan Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy. Kendatipun ada dayah dan teungku dayah lain yang menonjol namanya di kala itu, seperti Teungku Haji Hasan Krueng Kalee (1886—1973), tetapi perannya dalam kepemimpinan dayah sekarang telah hilang (Amiruddin, 2004:35). Walaupun demikian, Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy juga pernah berguru pada Syeikh Haji Hasan Krueng Kalee.

130 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Teungku-teungku (ulama) yang memimpin dayah (pesantren) di Aceh kebanyakan juga adalah para teungku alumni dari Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, seperti Teungku H. Muhammad Amin pimpinan Dayah Al- Madinatuddiniyah Babussalam Blang Blahdeh atau di kalangan masyarakat Aceh beliau ini sangat dikenal dengan sebutan Abu Tumin Blang Blahdeh yang mempunyai karisma besar, tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat di Kabupaten Bireuen saja, tetapi beliau juga cukup dikenal di seluruh Aceh. Abu Tumin merupakan salah seorang ulama yang tertua dibandingkan dengan pemimpin dayah lainnya di Aceh. Beliau pernah berguru langsung kepada Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy. Ulama di Kabupaten Bireuen selain Abu Tumin Blang Blahdeh yang ketika hidupnya juga pernah berguru langsung kepada Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, seperti alm. Teungku H. Abdullah Hanafi (1927—1989), dalam masyarakat Aceh beliau dikenal dengan panggilan Abu Tanoh Mirah yang karismanya masih dikenang oleh masyarakat Aceh sampai hari ini. Beliau tidak hanya disegani oleh masyarakatnya, tetapi juga sangat disegani oleh ulama-ulama lain baik yang ada di Kabupaten Bireuen maupun ulama di daerah-daerah lain di Aceh, baik yang pernah berguru kepadanya maupun yang mengetahui tingkat keilmuannya. Abu Tanoh Mirah adalah pimpinan Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah yang sekarang ini dipimpin oleh putranya yang bernama Teungku H. Muhammad Waly Al-Khalidy. Abu Tanoh Mirah selain sebagai orang tua juga

131 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh sebagai guru bagi Teungku H. Muhammad Waly Al-Khalidy yang juga pernah berguru kepada alm. Teungku H. Ibrahim Ishak (1936-1996), di kalangan masyarakat Aceh beliau dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno. Abu Budi Lamno adalah pimpinan Dayah Budi Lamno Aceh Barat (sekarang Kabupaten Aceh Jaya) yang merupakan sahabat ayahnya Teungku H. Muhammad Muda Waly Al-Khalidy ketika berguru di Dayah Darussalam Labuhan Haji. Pemberian nama Teungku H. Muhammad Waly Al- Khalidy oleh ayahnya (Abu Tanoh Mirah) ini merupakan salah satu bentuk sikap kesetiaan, kedekatan, serta panutan beliau (Abu Tanoh Mirah) terhadap sang guru (Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy) sehingga ketika Abu Tanoh Mirah dikaruniai seorang putra, beliau langsung memberi nama putranya itu serupa dengan nama gurunya. Kecenderungan besar sikap Abu Tanoh Mirah atas pememberian nama putranya serupa dengan gurunya, pada satu sisi untuk dapat mengobati rasa rindu beliau terhadap Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy ketika hidupnya dan pada sisi lain supaya putranya itu dapat menjadi besar, seperti gurunya, baik dari segi keilmuwannya maupun pengaruhnya. Ulama lainnya yang juga pernah berguru langsung pada Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy adalah alm. Teungku H. Abdul Aziz (1930—1989). Di kalangan masyarakat Aceh beliau dikenal dengan panggilan Abu Samalanga yang juga sangat disegani oleh masyarakat Aceh. Beliau adalah pimpinan

132 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudi Mesra) yang terletak di Kecamatan Samalanga. Sekarang dayah ini dipimpin oleh salah seorang menantunya yang bernama Teungku H. Hasanoel Basri atau di kalangan masyarakat beliau dikenal dengan sebutan Abu Hasanoel, Abu Hasanoel bukan hanya sebagai menantu dari Abu Samalanga, tetapi juga sebagai santrinya yang semasa hidupnya pernah berguru padanya. Ulama lainnya yang mempunyai pengaruh di Kabupaten Bireuen, walaupun agak lebih muda dibandingkan dengan Abu Tumin Blang Blahdeh, adalah Teungku H. Muhammad Kasem TB atau di kalangan masyarakat di Kabupaten Bireuen dikenal dengan panggilan Abu Kasem TB. Beliau adalah pimpinan Dayah Darul Istiqamah Geulanggang Teungoh yang tempatnya tidak berapa jauh dengan pusat Kota Kabupaten Bireuen. Abu Kasem ini adalah pengganti dari Teungku H. Basyah Haspy sebagai pimpinan Dayah Darul Istiqamah. Ketika Teungku H. Basyah Haspy meninggal, dayah ini dipimpin oleh Abu Kasem TB yang juga sahabat Teungku H. Basyah Haspy ketika belajar di dayah Mudi Mesra Samalanga di bawah bimbingan Abu Abdul Aziz Samalanga. Dari pengakuan Abu Kasem TB, beliau sebelum belajar di Dayah Mudi Mesra Samalanga, Abu Kasem juga pernah belajar di Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan (Wawancara tanggal 15 Desember 2004). Ulama lain yang berpengaruh di Kabupaten Bireuen, walaupun tidak dikenal luas di dalam masyarakat Aceh, peran mereka (ulama) cukup berpengaruh dalam masyarakat di

133 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Kabupaten Bireuen, adalah Tgk. H. Nuruzzahri atau di kalangan masyarakat dikenal dengan panggilan Waled Nu. Beliau adalah salah seorang murid dari Abu Abdul Aziz Samalanga. Saat ini beliau sedang memimpin Dayah Ummul Aiman dan Dayah Muslimat di Kecamatan Samalanga, kemudian Teungku H. Anwar yang merupakan murid dari Abu Tanoh Mirah dan Abu Budi Lamno. Saat ini beliau juga sedang memimpin Dayah Miftahul Ulum di Tanoh Mirah, Teungku H. Abdullah Ali atau dikenal dengan sebutan Abu Lipah yang sedang memimpin Dayah Darussa’adah Lipah Rayeek, Teungku H. Sofyan Mahdi pimpinan Dayah Thautihiatut Tullab Arongan Samalanga, Teungku H. Abdul Wahab pimpinan Dayah Babussalam Blang Me Barat, Teungku H. Abbas pimpinan Dayah Dhia’ul Huda Blang Tambue, Teungku H. M. Yusuf Ali pimpinan Dayah Darussa’adah cabang Gandapura, Teungku Asnawi pimpinan Dayah Darussa’adah cabang Makmur, dan masih banyak lagi ulama-ulama (teungku) dayah lainnya di Kabupaten Bireuen yang juga mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Keseluruhan mereka (ulama) itu adalah para pimpinan dayah yang pernah berguru pada ulama- ulama besar baik yang berada di Kabupaten Bireuen maupun di daerah lain di Aceh. Namun, pada akhirnya pertalian ilmu yang mereka miliki bermuara dari Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan yang dipimpin oleh Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy semasa hidupnya. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Kalidy itu sendiri sebelum mendirikan dayah di Darussalam Labuhan Haji Aceh

134 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Selatan (1940) juga pernah belajar ilmu agama di beberapa tempat. Mungkin untuk lebih jelasnya alangkah baiknya penulis juga memberikan sedikit gambaran umum tentang ulama besar ini yang mempunyai pengaruh besar dan mempunyai murid begitu banyak yang tersebar di seluruh Aceh, baik itu lewat bimbingannya langsung maupun melalui murid-muridnya secara turun-temurun. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917, tidak ada famili satupun yang mengetahui tanggal dan bulan lahir beliau secara pasti. Hal ini memang sesuatu yang wajar pada zaman dahulu bahwa orang tua tidak mengingat tanggal, bulan atau bahkan tahun kelahiran anaknya. Ulama ini adalah putera bungsu dari Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito yang berasal dari Batusangkar Sumatera Barat yang datang ke Aceh Selatan sebagai dai dan guru agama dan ibunya bernama Jaat, putri seorang kepala desa (keuchik) yang bernama Keuchik Nya’ Ujud yang berasal dari desa Kota Palak Kecamatan Labuhan Haji (Shabri A. dkk, 2003:80—81). Nama pada waktu kecil Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy ialah Muhammad Waly. Setelah berada dalam jajaran para ulama besar di Sumatera Barat, beliau bergelar Mangku Mudo atau Tuanku Mudo Waly, atau Angku Aceh, di Kecamatan Labuhan Haji, masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Beliau sendiri menulis namanya

135 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan Muhammad Waly atau secara lengkapnya Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy (Waly, 1997:55). Beliau selain belajar pada orang tuanya (Syeikh Haji Muhammad Salim) khususnya belajar Alquran dan kitab-kitab kecil, setelah beliau menamatkan sekolah di Volks-School (sekolah dasar yang dibentuk oleh Belanda) Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy melanjutkan pendidikan agamanya di Dayah (Pesantren) Jami’iyyah Al Khairiyyah di ibu kota Labuhan Haji yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali, yang dikenal oleh masyarakat Labuhan Haji dengan panggilan Teungku Lampisang Aceh Besar. Sambil belajar di dayah beliau juga melanjutkan ke sekolah umum Vervolgschool (sekolah lanjutan pada masa Belanda) hingga selesai (Waly, 1997:58). Setelah Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy belajar di Dayah Jami’iyyah Al Khairiyyah Labuhan Haji, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di Dayah Bustanul Huda Blang Pidie, sebuah Dayah Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti Dayah Jami’iyyah Al Khairiyyah. Dayah ini dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar, yaitu Syeikh Mahmud. Setelah beberapa tahun belajar di dayah ini, beliau berangkat ke Aceh Besar untuk memperdalam ilmunya, beliau mengikuti pendidikan di dayah (pesantren) besar Krueng Kalee yang dipimpin oleh Syeikh Haji Hasan Krueng Kalee (ayahanda Syeikh Haji Marhaban, bekas Menteri Muda Pertanian RI) yang juga gurunya Teungku Syeikh Mahmud Blang Pidie dan Teungku Muhammad Daud Beureueh (Pimpinan PUSA

136 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dan DI/TII Aceh). Setelah beberapa waktu belajar di Dayah Krueng Kalee, Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy melanjutkan pendidikannya di dayah (pesantren) Indrapuri yang dipimpin oleh Teungku Syeikh Hasballah Indrapuri, di dayah inilah Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy memperdalam ilmu Alqurannya (Waly, 1997:59—67). Setelah sekian lama Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy belajar ilmu agama di Aceh, beliau berangkat ke Sumatera Barat untuk melanjutkan pendidikannya di lembaga pendidikan Normal Islam School yang didirikan tahun 1931 M, di Padang Provinsi Sumatera Barat. Lembaga pendidikan ini merupakan kebanggaan bagi masyarakat Padang pada zamannya karena didirikan oleh Bapak Mahmud Yunus alumnus Al-Azhar, Cairo, Mesir. Setelah beberapa bulan belajar di lembaga pendidikan ini Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al- Khalidy mengundurkan diri secara hormat. Selanjutnya, beliau menetap di Kota Padang selain sebagai guru pengajian di surau- surau beliau juga sudah mulai dikenal sebagai dai (pendakwah). Ketika itulah Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al- Khalidy berkenalan dengan ulama-ulama besar di Kota Padang, seperti Syeikh Haji Khatib Ali, seorang ulama besar yang mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan ijazah Tharekat Naqsyabandiayah dari Syeikh Usman Fauzi Jabal Qubais Mekkah Al-Mukaramah. Syeikh Haji Khatib Ali yang terkenal di Padang sebagai ulama mazhab Syafi’i dan aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak hanya sebagai guru

137 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh bagi Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, tetapi juga sebagai kakek mertuanya (dikawinkan dengan cucunya yang bernama Hajjah Rasimah). Ulama-ulama lainnya di Kota Padang yang menjadi kenalan Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, Seperti Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Haji Rasul (ayahanda Buya Hamka), Syeikh Haji Hasan Basri, Syeikh Jamil Jaho, seorang ulama Minangkabau (murid dari Syeikh Ahmad Khatib) yang kemudian hari hubungan antara Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al- Khalidy dengan Syeikh Jamil Jaho Padang Panjang tidak hanya sebagai murid (santri) dengan gurunya, tetapi menjadi hubungan antara murid dan ayahnya ketika Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy mempersunting salah seorang putri Syeikh Jamil Jaho yang bernama Hajjah Rabi’ah Jamil (Muhibuddin Waly, 1997:71—76). Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy juga pernah belajar pada Syeikh Haji Abdul Ghani Al-Kamfari, bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangking Sumatera Barat. Khususnya beliau belajar tentang Tharekat Naqsyabandiyah yang dikemudian populer di Aceh Selatan. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy selain mempunyai guru di Aceh dan Padang Sumatera Barat, beliau juga mempunyai beberapa guru di Mekkah Al-Mukaramah, seperti ulama besar Mekkah, yaitu Syeikh Ali Maliki. Ketika Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al- Khalidy kembali ke Padang, beliau mendirikan sebuah dayah (pesantren) bernama Bustanul Muhaqqiqien di Lubuk Bagalung Padang. Namun, dayah ini tidak mempunyai umur panjang

138 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh karena Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy kembali lagi ke Aceh Selatan. Setelah tiba di Aceh selatan beliau mendirikan sebuah dayah yang bernama Dayah Darusalam Labuhan Haji Aceh Selatan, yang tidak hanya didatangi oleh murid-murid (santri) dari Kecamtan Labuhan Haji, tetapi juga didatangi oleh santri- santri dari daerah lain di seluruh Aceh, bahkan dari Sumatera Barat. Kiprah Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy tidak hanya dalam bidang keagamaan saja, tetapi beliau juga sangat berpengaruh dalam bidang politik. Beliau adalah salah seorang ulama yang sangat konsisten dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan serta mempertahankan kemerdekaan. Sebagai salah satu contoh sikap konsistennya Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy terhadap NKRI ketika mengalami masa-masa sulit. Pada awal kemerdekaan RI, Aceh terus bergolak dalam bentuk kekerasan yang mengorbankan ribuan jiwa, baik itu dalam bentuk perang saudara (Perang Cumbok), maupun dalam bentuk kekerasan (perang) dengan negara (DI/TII). Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy bersikap untuk menentang pergerakan itu. Menurut Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy bahwa DI/TII yang dibentuk oleh Teungku M. Daud Beureueh bertentangan dengan hukum Islam dan bagi mereka yang telah tersesat melakukan cara-cara kekerasan diserukan agar kembali kapada Alquran dan Sunnah Nabi. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy memberi pula fatwa bahwa tentang tiga isu

139 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh yang hangat waktu itu, yakni pemerintah Republik Indonesia dari tinjauan agama Islam, pemberontakan ditinjau dari sudut hukum Islam, dan Infak. Pemerintah Republik menurut Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, bukanlah kufur karena menjalankan hukum nasional atau hukum adat negeri. Kalau dijalankan hukum Islam, akan terpecah belah penduduk Indonesia ini sehingga nantinya akan hilang kemerdekaan kita. Pemerintah bukan memandang leceh hukum agama, kata Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy, justru mereka cukup mengerti betul bagaimana sulitnya penempatan hukum Islam, seperti rajam, jiyad, dan had dalam masyarakat yang majemuk (Sulaiman, 1997:361). Terkait dengan pemberontakan kepada pemerintah Republik Indonesia menurut Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy adalah haram karena telah sah sulthanah atau imamah presiden sekarang dengan istilaz (dengan kekuatan tentara dan senjata), sedangkan presiden sekarang adalah Islam. Jadi, kita tidak bisa menghukum kufurnya dengan terka saja melainkan mesti dengan yakin, apalagi ia (Soekarno) sudah naik haji. Berkenaan dengan infq kepada pemberontak Darul Islam menurut Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy adalah haram hukumnya karena pemberontakan itu sendiri adalah haram (Sulaiman, 1997:362). Pengikut-pengikut Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy di bawah pimpinan M. Yusuf Alami, menantunya yang mengorganisasi diri dalam organisasi Safinatussalamah

140 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Wannajah (kapal keselamatan dan kemenangan) di Labuhan Haji, mereka telah pula melakukan kajian tentang dalil pemberontakan di dalam kitab Bughyah El Mustarsyidin, Tuhfah dan Tafsir Shawi Sjamani. Dari kajian tersebut mereka menarik kesimpulan bahwa “Pemerintah RI waktu itu bukanlah pemerintah kafir, zalim ataupun fasiq sebagaimana didakwakan oleh gerombolan (DI/TII)”. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pemberontakan Darul Islam adalah “buqhah mazmun” (pemberontak tercela) hukumnya dan menolong pemerintah dalam memerangi mereka adalah wajib di atas orang-orang Islam berdekatan (Amin dalam Sulaiman, 1997:361). Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy termasuk ulama yang menentang pergerakan DI/TII yang diproklamasikan oleh Teungku M. Daud Beureueh, tepatnya 21 September 1953. Saat itu para ulama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) banyak yang terjun dalam pergerakan tersebut, tetapi Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy ketika itu justru berfatwa “Tidak sah menentang pemerintah yang sah” (Hasyimi dalam Waly, 1997:185). Selanjutnya, perjuangan Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy setelah tahun 1955, yakni setelah berakhirnya peristiwa berdarah di Aceh, hingga tahun 1961, semata-mata istiqamah dalam mengajar dan memimpin pondok pesantren (dayah). Selain itu, beliau juga tempat tumpuan kembalinya umat, khususnya di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat, dalam hal-hal yang bersifat keagamaan. Oleh karena itu, dalam waktu lebih kurang 6 tahun,

141 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh banyaklah yang telah beliau kerjakan dalam membangun dayah (pesantren) dan yang terpenting beliau (Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy) dapat menghasilkan ulama di Aceh. Karena itulah, sampai sekarang ini, kepemimpinan semua dayah (pesantren) di Aceh tidak terlepas dari alumni dayah (pondok pesantren) Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan (Hamzah dalam Waly, 1997:183). Ditangannyalah lahir puluhan ulama yang kini menjadi pemimpin dayah di seluruh Aceh dan juga di luar daerah. Hampir tidak ada pimpinan dayah di Aceh yang bukan muridnya. Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy sukses mencetak kader-kader ulama dan berhasil mendidik anak- anaknya untuk mewarisi dayah-nya. Yang sampai sekarang ini Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan masih berfungsi sebagai dayah yang termegah di Aceh (Hamzah dalam Waly, 1997:183). Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy sangatlah berjasa bagi para ulama dan masyarakat Aceh sehingga dalam perkembangan keilmuwan dalam bidang keagamaan sampai sekarang ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik Dayah Darussalam Labuhan Haji. Hal tersebut tentunya disebabkan oleh pendiri-pendiri dayah di Kabupaten Bireuen ketika itu kebanyakan adalah alumni dari Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan langsung binaan dari Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy. Dalam partai politik Teungku Syeikh Buya Muda

142 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Waly Al-Khalidy aktif dalam Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiah (PI Perti). Beliau terkenal sebagai ulama besar Perti dan kebanyakan dari murid (santri) beliau juga sebgai anggota Perti. Saat itu Perti merupakan satu-satunya wadah dalam memperjuangkan dan mempertahankan akidah dan amaliah Ahlussunnah Wal Jama’ah di daerah Aceh (Waly, 1997:127). Beliau merupakan pemimpin spiritual PI Perti di Aceh yang rantingnya pada mulanya di bangun di Labuhan Haji pada bulan Mei 1942 (Sulaiman, 1997:163) walaupun ketika masih berperan dalam bidang sosial dan pendidikan. Namun, ketika merdeka PI Perti menjadi salah satu partai politik peserta pemilu pada tahun 1955 dan perolehan suaranya di Aceh patut menjadi saingan ketat dengan partai politik lainnya hingga pada akhirnya partai ini pada masa Orde Baru harus menerima keputusan pemerintah untuk berfusi dalam PPP. Pengaruh Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dalam PI Perti sampai hari ini masih terbukti, sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh salah seorang ulama kharismatik Aceh, yaitu Abu Kasem Geulanggang Teungoh. Beliau pada waktu itu aktif dalam partai tersebut dan juga adalah alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Menurut Abu Kasem Geulanggang Teungoh, sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka dan pada awal-awal kemerdekaan, beliau sudah aktif dalam organisai Perti walaupun pada awalnya bukan partai politik, baru setelah Indonesia merdeka Perti berubah menjadi salah satu partai politik. Saat itu beliau menduduki jabatan sebagai

143 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Wakil Ketua Perti Kabupaten Pidie dan Beliau juga aktif sebagai juru kampanye (jurkam) dalam partai tersebut. Abu Kasem Geulanggang Teungoh pada waktu itu baru saja menyelasaikan pendidikannya di Dayah Mudi Mesra Samalanga dan gurunya (Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dan Abu Samalanga) juga aktif dalam mendukung PI Perti (Wawancara tanggal 15 Desember 2004). Pernyataan Abu Kasem tersebut menunjukkan bahwa ketelibatannya dalam partai politik tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengaruh gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy tidak hanya menjadi panutan dalam bidang keagamaan semata, tetapi beliau juga panutan dalam bidang-bidang lainnya, termasuk bidang politik di dalamnya. Kalau kita lihat dari hubungan hierarki antara ulama di Aceh, sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai keagamanaan dari Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan, yang hubungan emosionalnya dapat kita gambarkan dengan hubungan patron-client antara dayah-dayah di Aceh sekarang ini dengan Dayah Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan. Begitulah sedikit gambaran umum tentang perkembangan dayah (pesantren) di Aceh, yang kondisinya pada saat ini terus diberdayakan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan yang bersifat keagamaan serta dalam upaya mendukung pelaksanaan Syariat Islam sebagai mana telah diamantkan oleh UU Nomor 44 Tahun 1999, UU Nomor 18 Tahun 2001

144 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh serta Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan salah satu penyelenggaraan keistimewaan (penyelenggaraan kehidupan beragama).

5.2 Ulama dan Pemilu Legislatif Tahun 1999 di Provinsi Aceh Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, peta politik ulama di Aceh telah mengalami perubahan, dalam mendukung salah satu partai politik. Sebelumnya mereka (ulama) turut mendukung Golkar dari pertengahan hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Namun, menjelang pelaksanaan pemilu tahun 1999, dukungan ulama terhadap partai telah mengalami perubahan, bahkan sulit sekali bagi kita untuk menebak arah dukungan ulama terhadap partai politk tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh situasi konflik yang terjadi di Aceh. Dalam situasi konflik tersebut, apalagi dengan adanya image negatif terhadap ulama, terutama ulama karismtik yang dianggap dekat dengan penguasa karena mendukung Golkar, ternyata pada pelakasanaan pemilu pertama pasca-Orde Baru para ulama cenderung menarik diri dari kancah politik, dengan tidak mendukung partai politik manapun menjelang pemilu tahun 1999. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru ulama tidak lagi terlibat dalam salah satu partai politik, baik itu sebagai pengurus, anggota, maupun sebagai juru kampanye, bahkan semakin jauh dari partai politik. Hal tersebut disebabkan munculnya berbagai partai politik, baik itu partai

145 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh politik Islam maupun non-Islam, sehingga menjadi kendala ketika mendukung partai tertentu, apalagi dengan banyaknya partai politik, semakin jauh untuk menyatukan persepsi karena masing-masing partai mempunyai kepentingannya masing- masing. Akibatnya, ulama Aceh saat itu cenderung bersikap untuk menjauhkan diri dari partai politik (Wawancara tanggal 11 Desember 2004—18 Januari 2005). Ungkapan para ulama di atas menunjukkan bahwa ulama, terutama para ulama karismatik telah mengalami perubahan sikap dalam mendukung partai politik tertentu pasca-Orde Baru. Baik itu dukungan ulama sebagai pengurus, anggota/simpatisan, maupun sebagai juru kampanye partai ketika menjelang pemilu tahun 1999. Penarikan dukungan ulama untuk tidak mendukung partai politik manapun dalam pemilu tahun 1999 disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah pertama, adanya kritikan tajam dari masyarakat terhadap para ulama, yang dulunya mendukung Golkar pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua, adanya anjuran dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang menganjurkan bagi orang Aceh untuk memboikot pelaksanaan pemilu tahun 1999. Ketiga, dengan adanya kedua penyebab di atas itulah, ulama cenderung untuk menarik diri, dalam artian tidak mendukung partai politik tertentu. Ulama lebih memilih untuk beristikamah di dayah-nya masing-masing. Arah dukungan ulama terhadap partai politik biasanya dapat dilihat menjelang pelaksanaan pemilu. Jika menjelang pelaksanaan pemilu mereka (ulama) cenderung tidak pernah

146 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh keluar dari dayah-nya, dan tidak pernah terlihat berhubungan erat dengan salah seorang pemimpin partai politik, hal tersebut sudah hampir dapat dipastikan bahwa ulama tersebut tidak memihak atau mendukung terhadap salah satu partai. Ketika para ulama telah menarik diri kancah politik praktis, bukan berarti ulama itu sudah tidak laku lagi dalam dunia politik. Ulama masih tetap dihormati dalam kehidupan masayarakat Aceh. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terpilihnya elite- elite lama sebagai wakil rakyat. Meskipun ulama mengalami image negatif ketika mendukung salah satu partai (Golkar) pada masa Orde Baru, tidak berarti bahwa ulama ditinggalkan begitu saja. Mereka (para ulama) masih sangat dihormati dan didengar oleh masyarakat. Hanya saja sekarang ini para ulama lebih cenderung memilih untuk tidak mendukung salah satu partai, mereka (para ulama) lebih memilih netral dan ingin mendidik dan mengembangkan dayah-nya. Pemilu tahun 1999 di Aceh secara umum tidak mengahasilkan suara yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan keamanan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam situasi keamanan yang tidak stabil pemilu tahun 1999 di Aceh tetap terlaksana walaupun tidak mendapatkan hasil secara maksimal seperti pemilu di daerah-daerah lain di Indonesia. Akibanya, di Aceh ketika itu anggota legislatif (DPRD) diangkat berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 110 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2000. Pemilu di Aceh tahun 1999 tidak terlaksana dengan efektif,

147 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh selain disebabkan oleh faktor kondisi keamanan yang tidak kondusif, juga disebabkan Provinsi Aceh yang kemampuannya masih sangat terbatas. Menjelang pemilihan umum tahun 1999 di Aceh saat itu masih sangat kental tentang gerakan-gerakan menentang rezim Orde Baru yang selama 32 tahun berkuasa serta telah menyuburkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Di Aceh ketika itu selain penentangan terhadap perilaku penguasa Orde Baru, juga disebabkan oleh perjuangan GAM yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI yang dipimpin oleh Muhammad Hasan di Tiro atau juga dikenal dengan Teungku Hasan Tiro yang pada saat itu bermukim di Swedia. Gerakan-gerakan GAM pada saat menjelang pemilu tahun 1999 di Aceh, selain gerakan yang dilakukan dalam bentuk kekerasan (fisik) dengan sejata antara GAM dan TNI/ Polri, baik dalam bentuk penyerangan maupun dalam bentuk penculikan yang berakhir dengan penghilangan nyawa, juga gerakan dalam bentuk diplomasi dalam rangka mencari dukungan dari rakyat dengan berbagai slogan, seperti ungkapan bahwa Aceh akan merdeka dalam jangka waktu singkat sibak rokok teuk ‘satu batang rokok lagi’, maupun dalam bentuk pemboikotan terhadap pemilu di Aceh tahun 1999. Ada daya tarik tersendiri ketika menjelang pemilu tahun 1999 di Aceh, para ulama yang sebelumnya mendukung Golkar, tetapi menjelang pemilu tahun 1999, ulama karismatik

148 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dan ulama muda seperti Abu Tumin Blang Blahdeh cenderung menarik dukungan dari Golkar. Sikap politik mereka saat itu sulit diprediksi, apakah tetap mendukung Golkar atau mendukung kembali partai Islam (PPP atau partai Islam lainnya). Di sisi lain, ulama muda yang mendukung PPP juga turut menarik diri k earah yang lebih netral dengan tidak mendukung partai politik apapun. Hal ini tentunya disebabkan kondisi keamanan yang tidak kondusif karena ada ajakan dari pihak GAM untuk tidak mengikuti pemilu, apalagi menjadi pengurus, anggota, ataupun sebagai juru kampanye. Selanjutnya, ketika menjelang pemilu tahun 1999 di Aceh, diawali kegiatan kampanye untuk merangkul pemilih, yang biasanya pada pemilu sebelumnya ulama ikut serta dalam kegiatan tersebut, baik sebagai juru kampanye maupun sebagai undangan atau pendengar. Pemilu 1999 telah membuka kran bagi munculnya partai-partai baru. Sistem pemilihannya sama seperti pada masa pemerintahan Orde Baru (sistem representasi proporsional tertutup) yang hanya memilih tanda gambar partai saja. Namun, dari sekitar 4.144.400 jiwa penduduk Aceh yang terdaftar sebagai pemilih pada pemilu tahun 1999 hanya berjumlah 1.427.679 jiwa, terdiri dari 703.628 laki-laki dan 724.051 perempuan, dari 1.427.679 pemilih, hanya 1.032.435 orang yang datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Sementara 395.244 sisanya memilih untuk tidak memilih atau golput (KPU dalam Angka, KPU Nasional 1999). Pemilu tahun 1999 tidak dapat terlaksana dengan baik, sebagimana daerah-daerah lainnya di

149 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Indonesia. Hal tersebut disebabkan Aceh saat itu dalam situasi konflik, kekuatan GAM cukup besar seiring dengan penarikan pasukan TNI nonorganik dari Aceh, pihak GAM dengan mudah mengitiminasi masyarakat untuk tidak mengikuti pemilu sehingga pemilu tahun 1999 di Aceh hanya terlaksana di daerah-daerah tertentu yang keamanannya dapat terjamin dari gangguan GAM. Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu yang sangat meresahkan semua komponen masyarakat Aceh karena pelaksanaan pemilu ketika situasi keamanan di Aceh betul-betul dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, situasi itu dipicu ketika pemeritah pusat mengumumkan penarikan pasukan nonorganik dari Aceh, yang merupakan tuntutan dari berbagai kalangan di Aceh, mulai dari kalangan mahasiswa, akedemisi, intektual, ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena kehadiran pasukan nonorganik di Aceh dianggap telah menyengsarakan rakyat Aceh, seperti di Kabupaten Aceh Timur, di Kabupaten Aceh Utara, dan di Kabupaten Pidie. Tiga daerah inilah yang merasakan pahit manisnya perlakuan militer dalam kehidupan mereka ketika Aceh sabagai Daerah Operasi Militer (DOM). Namun, sayangnya seiring dengan penarikan pasukan tersebut, di Aceh muncul masalah baru, yaitu kekuatan GAM yang menuntut untuk memisahkan diri dari NKRI. Dominannya kekuatan GAM di Aceh pada saat itu, yang ingin mencoba merangkul masyarakat untuk mendukung gerakan mereka, tampaknya saat itu sebagian masyarakat

150 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Aceh sudah mulai terpengaruh dari bujuk rayu GAM, apalagi masyarakat Aceh pada saat itu sangat kecewa atas perlakuan militer yang bertindak di luar hukum. Dengan kuatnya pengaruh GAM dalam masyarakat Aceh ketika itu telah menyebabkan situasi keamanan yang kurang kondusif. Sering terjadinya kontak senjata antara pasukan GAM dan TNI/Polri menjadi keresahan baru bagi masyarakat Aceh. Dalam situasi keamanan yang seperti itulah pemilu tahun 1999 dilaksakan, masyarakat mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Di satu pihak GAM melarang masyarakat untuk tidak mengikuti pemilu pada tahun 1999 dan pihak lain TNI/Polri mengajak masyarakat untuk mengikuti pemilu. Akan tetapi, saat itu tampaknya pihak kemanan TNI/Polri tidak mampu menjamin atas keselamatan masyarakat yang akan mengikuti pemilu. Hal tersebut disebabkan pihak TNI/ Polri kesulitan dalam memisahkan antara GAM dan masyarakat karena pasukan sipil bersenjata itu berbaur dalam masyarakat. Pihak TNI/Polri hanya mampu memberi rasa aman terhadap masyarakat dalam mengikuti pemilu tahun 1999 hanya di daerah-daerah tertentu saja, seperti di kota provinsi, kabupaten, dan kecamatan saja, sedangkan daerah-daerah pemilihan yang lokasinya agak terpencil, yang biasanya menjadi daerah basisnya pihak GAM, pemilu tahun 1999 tidak dapat terlaksana sehingga pemilu tahun 1999 di Aceh tidak berjalan lancer, seperti di daerah- daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, hasil pemilu tahun 1999 di Aceh hanya beberapa partai politik saja yang mendapat

151 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh suara signifikan. Untuk lebih jelasnya tentang hasil perolehan suara bagi partai-partai politik peserta pemilu tahun 1999 di Aceh dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5.1 Hasil Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu tahun 1999 di Provinsi Aceh

No Nama Partai Politik Jumlah % 1. PIB 5.062 0,49

2. KRISNA 1.414 0,14

3. PNI 2.446 0,24

4. PADI 1.163 0,11

5. KAMI 6.267 0,61

6. PUI 12.714 1,23

7. PKU 9.728 0,94

8. P. Masyumi Baru 4.814 0,47

9. PPP 285.014 27,61

10. PSII 2.288 0,22

11. PDI Perjuangan 126.038 12,21

12. P. Abulyatama 16.607 1,61

13. PKM 1.598 0,16

14. PDKB 4.285 0,42

15. PAN 177.069 17,15

152 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 16. PRD 611 0,06

17. PSII 1905 1.520 0,15

18. PKD 306 0,03

19. PILAR 346 0,03

20. PARI 627 0,06

21. PPI I Masyumi 9.149 0,89

22. PBB 30.628 2,97

23. PSP 509 0,05

24. PK 16,251 1,57

25. PNU 21.131 2,05

26. PNI Front Marhaen 1.781 0,17

27. IP-KI 1.364 0,13

28. P. Republik 2.705 0,26

29. PID 1.367 0,13

30. PNI Massa Marhaen 1.854 0,18

31. Murba 727 0,07

32. PDI 8.007 0,78

33. Golkar 154.373 14,95

34. PP 13.928 1,35

35. PKB 11.750 1,14

36. PUDI 7.346 0,71

37. PBN 1.433 0,14

153 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 38. MKGR 2.107 0,20

39. PDR 8.040 0,78

40. P. Cinta Damai 4.125 0,49

41. PKP 19.651 1,90

42. SPSI 692 0,07

43. PNBI 721 0.07

44. PBI 1.771 0,17

45. SUNI 2.642 0,26

46. PND 329 0,03

47. PUMI 1.088 0,11

48. PPI 3.236 0,31

Jumlah Suara Sah 988.622 95,76

Jumlah Suara Tidak Sah 43.813 4,24

Jumlah 1.032.435 100

Sumber : KPU Dalam Angka, KPU Nasional 1999.

Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa PPP memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan partai lainnya, yaitu 285.014 suara atau 27,61 persen. Hal ini tentuntanya berbeda dengan hasil perolehan suara bagi partai politik pada tingkat nasional, PDIP mendapat posisi teratas dalam perolehan suara dibandingkan dengan partai politik lainnya. Peringkat teratas dalam peroleh suara bagi PPP di Aceh tentunya tidak menimbulkan rasa heran karena Aceh merupakan salah satu

154 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh daerah basis dari partai politik yang berasaskan Islam, seperti halnya PPP yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh. Di sisi lain, ada juga partai-partai Islam lainnya, seperti PNU, PKU, PBB, PPII Masyumi, Masyumi Baru, PUI dan PK. Partai-partai baru tersebut tidak mendapatkan suara signifikan di Aceh, PNU misalnya yang juga partai yang diidentikkan dengan NU hanya memeroleh 21.131 suara atau 2,05 persen, PKU hanya memperoleh 9.728 suara atau 0,94 persen, PBB yang membawa kembali semangat Masyumi di era Orde Lama hanya mampu memperoleh 30.628 suara atau 2,97 (posisi kelima), sedangkan Partai PPII Masyumi hanya memperoleh 9.149 suara atau 0,89 persen dan Partai Masyumi Baru mampu memperoleh 4.814 suara atau 0,47 persen, jauh dari perolehan suara yang diperoleh oleh PBB yang juga membawa bendera Masyumi. Selanjutnya, PUI yang juga partai yang berasaskan Islam hanya mampu memperoleh 12.714 atau 1,23 persen, sedangkan PK hanya mampu memperoleh 16,251 suara atau 1,57 persen. Walaupun PK mampu memperoleh suara sebanyak itu, partai ini lebih beruntung daripada PKU, PPII Masyumi, dan Masyumi Baru yang memperoleh suara tidak mencapai satu persen. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan partai K.H. Abdurahman Wahid alias Gusdur, yang juga membawa semangat NU walaupun tidak menggunakan Islam sebagai asas partai, pada pemilu tahun 1999 di Aceh hanya mampu memperoleh 11.750 suara atau 1,14 persen, jauh dari perolehan suara PPP dan PNU yang sama-sama di dalam

155 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh partainya membawa bendera NU. Minimnya suara PKB dalam pemilu tahun 1999 di Aceh disebabkan oleh sikap Gusdur sendiri yang cenderung plin-plan atau plintat-plintut (Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam Kedaulatan Rakyat) sehingga dengan sikapnya yang plin-plan itu beliau (Gusdur) tidak begitu disenangi oleh masyarakat Aceh, sebagai buktinya PKB harus puas dengan perolehan suara sebanyak itu. Kecilnya jumlah suara yang diperoleh partai-partai Islam tersebut disebabkan juga partai tersebut merupakan partai baru yang belum dikenal oleh masyarakat. Proses pensosialisasian bagi partai-partai baru tersebut mengalami kendala yang cukup berat karena kondisi keamanan di Aceh waktu itu yang tidak memungkinkan, pengaruh kekuatan GAM di daerah- daerah cukup besar ketika pasukan nonorganik TNI/Polri yang ditugaskan di Aceh ketika pemerintahan Orba berkuasa ditarik dari Aceh. Waktu itu pihak TNI/Polri cenderung tidak memaksakan diri untuk menghacurkan kekuatan GAM secara serius. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, status Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang pada waktu itu bukan dalam status Darurat Militer (DM) walaupun pihak Pemerintah RI (B.J. Habibie) telah memberikan sinyal kepada pihak TNI/Polri untuk mengambil langkah tegas terhadap para pelaku makar (gerakan memisahkan diri dari NKRI). Kedua, karena TNI/Polri tidak mengenal pasti yang mana kawan (rakyat) dan yang mana lawan (GAM) karena mereka berbaur dengan masyarakat biasa sehingga pihak TNI/ Polri tidak mau gegabah dalam betindak.

156 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Posisi kedua dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999 di Aceh ditempati oleh PAN dengan meraup 177.069 suara atau 17,15 persen. Perolehan suara terbanyak kedua bagi PAN di Aceh kemungkinan besar disebabkan karena PAN identik dengan Pak Amien. Ketokohan Pak Amien saat itu sangat populer di Aceh terutama di kalangan mahasiswa dan Muhammadiyah. Akan tetapi, ada suatu kendala bagi PAN untuk memperoleh suara lebih banyak di Aceh. kendalan tersebut adalah pemilu di Aceh hanya terlaksana di kota provinsi dan kota kabupaten/ kotamadya yang kondisi keamanannya relatif lebih kondusif, adanya tekanan dari pihak GAM terhadap masyarakat untuk memilih dalam pemilu tahun 1999 sehingga masyarakat tidak dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas, padahal ketika itu yang mendukung PAN (Pak Amien) lumayan besar. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan OPP-nya pemerintahan Orde Baru, yang pada waktu itu sarat dengan kritikan dan gunjingan dari masyarakat tetapi mampu menduduki posisi ketiga dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999 di Aceh. Golkar hanya memperoleh 154.373 suara atau 14,95 persen. Menurunnya jumlah pendukung Golkar pada pemilu tahun 1999 dibandingkan dengan perolehan suara pada pemilu sebelumnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Golkar pasca-Orba mengalami kritikan dan hasutan dari masyarakat, yang menyatakan bahwa Golkar selama pemerintahan Orba telah mendukung penguasa yang otoriter dan telah melakukan tindak kekerasan di Aceh, baik terhadap kekerasan dalam bidang

157 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ekonomi (pembagian hasil bumi yang tidak adil) maupun dalam bidang sosial politik, yang telah menerapkan berbagai operasi militer yang telah memakan korban ribuan jiwa dan berbagai kasus lainnya, yang tidak diketahui oleh pihak manapun hingga menjelang reformasi baru mulai tercium oleh publik secara umum dan tidak dapat disembunyikan lagi tentang kezaliman mereka di Aceh. Kedua, Golkar tidak mampu lagi merangkul para ulama karismatik dan ulama-ulama muda yang kritis. Ulama-ulama tersebut mempunyai pengikut yang mengakar dalam masyarakat Aceh, seperti Tgk. H. Muhammad Amin (Abu Tumin Blang Blahdeh) di Kabupaten Bireuen dan Tgk. H. Usman Kuta Krueng (Abu Kuta Krueng). Ketiga, Golkar tidak mampu memperthankan konstituennya di daerah-daerah yang sudah mengakar semenjak pemerintahan Orba berkuasa. Walaupun Golkar harus puas dengan perolehan suaranya yang sebanyak itu, Golkar lebih beruntung daripada partai-partai lain yang perolehan suara jauh di bawahnya. Yang menyebabkan Golkar lebih beruntung waktu itu adalah pertama kondisi keamanan yang kurang kondusif sehingga pelakasanaan pemilu tahun 1999 pada umumnya hanya terlaksana di kota provinsi dan kota kabupaten/kotamadya yang merupakan daerah basis pendukung Golkar ketika Orde Baru berkuasa, yang dijaga ketat oleh pihak keamanan (TNI/Polri). Kedua, Golkar lebih dikenal dalam masyarakat (OPP lama) dibandingkan dengan partai-partai politik baru, yang tidak berani berkampanye untuk mensosialisasikan partainya secara bebas dalam masyarakat

158 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Aceh karena faktor keamanan yang tidak terjamin. Apabila faktor tersebut tidak diperhatikan risikonya akan berakibat pada penganiayaan, baik secara fisik maupun finansial, bahkan risiko kehilangan nyawa bagi orang-orang yang tidak mengindahkan peringatan dari kelompok tersebut. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada pemilu tahun 1999, skala nasional mampu memperoleh suara terbanyak (peringkat pertama) dibandingkan dengan partai-partai lainnya sebagaimana telah disampaikan di atas, tentunya merupakan suatu prestasi yang luar biasa bagi sebuah partai politik yang baru lahir (partai gempalan PDI). Namun, berbeda halnya dengan perolehan suara bagi partai yang berlambang kepala banteng dalam lingkaran yang matanya selalu merah ini pada pemilu tahun 1999 di Aceh, perolehan suara PDIP di Aceh hanya mampu memperoleh 126.038 suara atau 12,21 persen. Partai ini harus puas pada posisi keempat dalam perolehan suara pada pemilu tahun 1999 di Aceh. Partai ini dikalahkan oleh dua partai lama (PPP dan Golkar) dan satu partai baru, yaitu PAN walaupun dalam perolehan suara pada skala nasioanl jauh berada di bawahnya. Namun, sebuah prestasi bagi PDIP karena untuk pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia, partai “sekuler” PDIP berhasil meraih kepercayaan 12,21 persen pemilih di wilayah Aceh. Bagi PDI yang merupakan partai lama, yang sudah memperoleh berbagai pengalaman dalam beberapa pemilu di Indonesia, harus menerima hasil pemilu tahun 1999 dengan perolehan 8.007 suara atau 0,78 persen, jauh tertinggal dari

159 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh perolehan suara bagi partai-partai yang pernah menjadi rivalnya (PPP dan Golkar) pada beberapa pemilu ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Di sisi lain, Partai Abulyatama (PAY) yang dinahkodai oleh putra Aceh (Rusli Bintang) hanya mampu menggoda rakyat Aceh, dengan memperoleh 16.607 suara atau 1,61 persen. Perolehan suara bagi partai-partai pada pemilu tahun 1999 di Aceh hanya beberapa partai politik saja yang dapat dikatakan lebih beruntung dari 48 partai peserta pemilu tahun 1999. Sumber lain menyebutkan bahwa pada pemilu tahun 1999 dari 4.144.400 jiwa penduduk Aceh, yang mempunyai hak pilih dalam pemilu berjumlah 2,3 juta jiwa. Namun, hanya 702,295 orang yang datang ke TPS, hanya 30 persen, sementara 70 persen sisanya memilih untuk tidak memilih atau golput (Majalah Aceh Kita, Edisi Agustus 2004:6). Akan tetapi, sumber ini tidak menjelaskan secara rinci tentang hasil pemilu tahun 1999 di Aceh. Walaupun demikian, ada sesuatu yang menarik, yaitu meningkatnya jumlah pemilih (konstituen) untuk tidak memilih pada pemilu 1999 tentunya dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah disebabkan oleh situasi konflik antara GAM dan pemerintah RI setelah penarikan status Aceh dari status Daerah Operasi Militer (DOM). Mungkin yang menjadi faktor lainnya adalah gerakan yang dilakukan oleh beberapa elemen mahasiswa seperti Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), yang mengajak rakyat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Alasannya adalah karena pemerintah tidak pernah serius memperhatikan aspirasi rakyat Aceh. Akan tetapi, secara umum sikap golput pada masa itu diambil karena

160 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masyarakat Aceh merasa tidak lagi percaya kepada pemerintah, yang telah memberlakukan status sebagai DOM di Aceh selama kurun waktu 10 tahun (dari 1989—1998), yang telah menewaskan ribuan warga sipil (Majalah Aceh Kita, Edisi Agustus 2004:6). Penyelesaiannya pun belum dilakukan sampai pada hari ini.

5.3 Ulama dan Pemilu Legislatif Tahun 2004 di Provinsi Aceh Pemilihan umum legislatif tahun 2004 di Aceh mempuyai karakteristik pemilih yang hampir sama dengan karakteristik pemilih dalam pemilu legislatif tahun 1999. Hal tersebut paling tidak dapat dilihat dari hasil perolehan suara bagi setiap partai politik pada pemilu legislatif tahun 2004. Tertutama terhadap arah dukungan ulama terhadap partai politik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Tumin Blang Blahdeh bahwa saat ini beliau tidak terlibat lagi dalam partai politik, baik sebagai pengurus, anggota, maupun sebagai juru kampanye, bahkan beliau semakin jauh dengan partai politik, apalagi dengan munculnya berbagai partai politik baru. Beliau tidak mau menyibukkan diri lagi dalam partai politik (Wawancara tanggal 18 januari 2005). Sikap tidak mendukung terhadap partai politik peserta pemilu legislatif tahun 2004 juga diambil oleh sebagian besar ulama di Aceh, mereka (para ulama) mengatakan bahwa ulama tidak turut mendukung salah satu partai politik karena sebelumnya ulama merasakan bahwa keikutsertaan dalam partai politik akan menganggu tugas di dayah. Akan tetapi, ulama tetap ikut memilih (Wawancara tanggal 11 Desember 2004—18 Januari 2005). Meskipun para ulama di

161 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Aceh pada pemilu Legislatif tahun 2004 tidak mendukung partai politik tertentu, mereka (para ulama) mempunyai pandangan, baik terhadap partai politik maupun terhadap capres dan cawapres pada pemilu tahun 2004. Ketidakikutsertaan ulama dalam mendukung partai politik tertentu juga dibenarkan oleh keseluruhan imeum mukim (informan pendukung). yang mengatakan bahwa dalam pemilu, baik pada tahun 1999 maupun pemilu pada tahun 2004, kita tidak pernah melihat adanya keterlibatan ulama dalam aktifitas partai politik, seperti dalam kampanye (Wawancara tanggal 14—18 Desember 2004). Meskipun para ulama tidak lagi mendukung salah satu partai pada pemilu legislatif tahun 2004, mereka (para ulama) mempunyai sikap simpati terhadap figur-figur tertentu. Dulunya mereka memilih partai politik atas dasar ideologi partai, tetapi pada pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 lebih cenderung disebabkan oleh faktor kepopuleran figur elite partai politik tertentu. Tampaknya dengan menggunakan mekanisme pemilihan yang baru (pemilihan langsung) telah menyebabkan dukungan terhadap partai politik sudah menurun. Ulama memilih figur tertentu bukan atas dasar partainya (ideologi), tetapi mereka (para ulama) memilih karena figur calon itu sendiri. Banyaknya dukungan terhadap PANdi Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Pak Amien Rais (personal) dalam partai politik tersebut, adanya pandangan terhadap diri Pak Amien sebagai “bapak reformasi” telah mempengaruhi sedikit banyaknya perilaku pemilih di Aceh pada pemilu tahun 2004.

162 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pandangan dari para ulama di atas terhadap PAN tampaknya tidak terlalu berlebihan. Sebagai buktinya kita dapat melihat dari jumlah suara yang diperolehnya pada pemilu legislatif tahun 2004 meskipun PAN pada tingkat nasional hanya mampu menduduki posisi peringkat ketujuh dalam perolehan suara. Pak Amien sebagai pendiri PAN merupakan tokoh akademisi, yang tidak hanya tahu dalam bidang keagamaan saja, tetapi juga mengetahui banyak dalam bidang-bidang lainnya, terutama dalam bidang sosial-politik. Oleh karena itu, masyarakat Aceh sangat mengharap banyak pada PAN, sebagai tempat penyaluran aspirasinya. PAN diharapkan mampu melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, terutama dalam penanganan konflik di Aceh, yang saat itu belum terselesaikan. Dengan kepopuleran Pak Amien secara personal di dalam PAN telah menjadikan partai ini keluar sebagai juara dalam pemilu legislatif pada tahun 2004 di Aceh dengan memperoleh suara yang signifikan. Ironisnya bagi partai Islam (PPP), dulunya mendapat dukungan kuat dari para ulama dan para pengikutnya. Ada beberapa elite di PPP masih meyakini bahwa mereka masih tetap didukung oleh ulama kharismatik, dalam PPP umumnya adalah para ulama, dan kami memegang teguh bahwa PPP sebagai warisan dari ulama. Para ulama yang pernah bersama-sama kita di PPP, seperti Abu Kasem Geulanggang Teungoh, Abu Adullah Lipah Rayek, Abu Abdullah Tanoh Mirah (almarhum), Abu Tumin Blang Blahdeh, dan banyak ulama lainnya yang aktif di

163 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PPP, dari awal Orba sampai sekarang. kami masih tetap meminta nasehat-nasehat dan pendapat kepada ulama (Wawancara M. Nur Ismail/ Sekretis DPC PPP di Kabupaten Bireuen pada tanggal 17 Januari 2005). Dukungan ulama terhadap PPP saat itu apakah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak M. Nur Ismail di atas, ataukah hanya sebatas klaim yang dilakukan oleh PPP dalam rangka mempengaruhi pengikut-pengikut dari para ulama tersebut untuk mendukung PPP. Karena pada kenyataannya perolehan suara PPP tidak sebanyak dengan partai politik yang tidak berasaskan Islam, seperti PAN. Berkurangnya dukungan terhadap PPP tidak terlepas dari fenomena eksistensi PPP itu sendiri. PPP telah mengalami perpecahan dalam tubuh partainya, yang berakhir dengan terbentuknya partai baru, yaitu PPP Reformasi, kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Dengan terpecahnya PPP tersebut secara otomatis mempengaruhi bagi dukungan PPP, yang dulunya konsen memilih partai ini. Akan tetapi, setelah terjadinya perpecahan, peta politik pemilih (voters) juga terpecah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung PPP dan ada juga berubah me dukung PBR. Menurut Tgk. H. Muhammad Kasem TB munculnya partai politik Islam lainnya di Indonesia merupakan hal yang mengembirakan. Semua partai itu bagus, tetapi yang perlu diingat bahwa kita umat Islam tidak mau bersatu, padahal kalau semua partai-partai Islam bersatu lagi, partai Islam pasti menang lagi. Seperti halnya

164 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dalam pemilu-pemilu pada awal Orde Baru dulu (1971, 1977, dan 1982). Namun, apa boleh buat, semua ingin menjadi ketua partai (Wawancara tanggal 15 Desember 2004). Ungkapan Tgk. H. Muhammad Kasem TB tersebut menujukkan bahwa yang menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan dukungan PPP di Aceh adalah adanya konflik internal PPP. Namun, tidak hanya persoalan konflik partai saja yang menyebabkan PPP mengalami penurunan jumlah dukungan dari masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh munculnya partai- partai Islam lainnya sehingga pemilih mempunyai banyak pilihan untuk memilih ketoka pemilu, sesuai dengan keinginan terhadap partai yang dianggap mampu menyalurkan aspirasinya. Pemilu ketika itu banyak muncul partai-partai politik baru, baik partai yang berasaskan Islam atau partai yang berasaskan non-Islam sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih partai mana yang disukai, tidak hanya PPP. Jadi, terserah kepada masyarakat untuk memilih mana yang dianggap dapat menyalurkan aspirasi mereka (Wawancara Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy pada tanggal 14 Desember 2004). Dengan munculnya partai politik baru pada pemilu tahun 2004, setidaknya telah membawa dampak bagi perubahan peta politik pemilih, setiap pemilu pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa, pemilih (voters) tidak mempunyai banyak pilihan untuk menyalurkan aspirasinya, yang hanya terfokus kepada PPP, PDI, dan Golkar. Dengan munculnya partai-partai baru tersebut pemilih mempuyai banyak kebebasan untuk memilih

165 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh partai mana yang diyakini mampu menyalurkan aspirasi mereka dalam pemerintahan yang akan datang. Organisasi politik lama (PPP, PDI, dan Golkar) yang dianggap tidak jauh perbedaannya kalau dilihat dari unsur ideologisnya (Pancasila), kemudian kiprahnya pun dalam pemerintahan seperti adanya “perselingkuhan” politik antara ketiga organisasi politik itu. Perdasarkan pengalaman tersebut para pemilih lebih cenderung untuk memilih partai politik baru, yang belum pernah berada dalam pemerintahan dan dianggap atau diyakini mampu menyalurkan aspirasinya. Dengan harapan partai-partai baru tersebut mampu melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Di Indonesia pemilu tahun 2004 mengalami berbagai perubahan yang menjadi suatu fenomena baru bagi masyarakat demokratis dibandingkan dengan proses pelaksanaan pemilu sebelumnya. Fenomena itu muncul tidak terlepas dari perubahan aturan main atau mekanisme yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu di tanah air. Pemilu secara langsung yang dilaksanakan sekarang ini membawa implikasi yang luar biasa terhadap perilaku pemilih dalam memberikan suara. Seperti diketahui bersama bahwa pemilu di Indonesia yang dilaksanakan sebelumnya mempunyai aturan main atau mekanisme ketika memilih para pejabat untuk berkuasa atas nama rakyat dianggap tidak lebih bagaikan memilih kucing dalam karung sehingga dalam perjalanan proses demokrasi di Indonesia mengalami berbagai perubahan sebagai salah satu upaya untuk mencari

166 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh suatu format yang ideal tentang cita-cita demokrasi yang sangat diidam-idamkan oleh masyarakat. Nantinya demokrasi di Indonesia dapat memberikan kebebasan kepada rakyat untuk beraktivitas dalam berbagai demensi kehidupan setara dengan negara-negara penganut demokrasi lainnya yang ada dunia. Seiring dengan adanya perubahan tentang pelaksanaan pemilu Indonesia memungkinkan terbebasnya masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan berpolitik. Tanpa dihantui oleh berbagai tekanan dari pihak-pihak tertentu, terutama dari pihak kelompok yang berkuasa sebagaimana yang pernah terjadi pada setiap pelaksanaan pemilu sebelumnya. Fenomena rasa tidak amannya pemilih (voters) dalam memberikan hak suaranya dalam pemilu pada pertengahan hingga sampai berakhirnya pemerintahan Orde Baru sangatlah terasa di provinsi paling barat nusantara ini, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh). Yang terus dihadapkan pada tantangan pahit apabila partainya penguasa (Golkar) tidak memperoleh suara lebih banyak daripada partai politik peserta pemilu lainnya, baik itu berupa tekanan (diskriminasi) terhadap tokoh-tokoh (elite) tertentu yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di Aceh, seperti halnya ulama, yang bisa dianggap sebagai duri dalam daging oleh penguasa apabila elite masyarakat itu tidak mendukung program-program mereka (penguasa) sehingga penguasa dengan mudah mempertahankan eksistensi kekuasaannya ditingkat lokal, maupun tantangan yang dihadapkan pada persoalan ekonomi, yang membatasi pembangunan di suatu daerah pemilihan jika

167 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh di daerah tersebut Golkar tidak unggul dalam perolehan suara dibandingkan dengan perolehan suara partai politik lainnya (PPP dan PDI). Jatuhnya rezim Orde Baru telah memberikan sedikit titik terang terhadap kekebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, baik itu kebebasan untuk berpartisipasi dalam organisasi politik, maupun kebebasan dalam memberikan hak suaranya ketika pemilihan umum, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, sudah dilakukan dua kali pemilu, yaitu pemilu tahun 1999 dan pemilu tahun 2004. Kalau melihat fenomena terhadap pelaksanaan pemilu pada tingkat lokal, seperti di Aceh, tentunya pemilu tahun 1999 tidak terlaksana dengan baik, sebagaimana telah disampaikan di atas. Pemilu tahun 2004 dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) serta pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan dalam dua tahap. Meskipun pemilu pada tahun 2004 di Provinsi Aceh dilaksanakan dalam situasi konflik, bahkan status daerah ini ditetapkan dengan status Darurat Militer (DM). pelaksanaan pemilu tahun 2004 tersebut dapat dikatakan berhasil walaupun dari beberapa kalangan merasa was-was terhadap pelaksanaan pemilu tahun 2004. Hal ini didasari dari pengalaman pelaksanaan pemilu pada tahun 1999. Ketika itu adanya tekanan dari pihak tertentu (GAM) yang melarang masyarakat untuk mengikuti pemilu. Akan tetapi, menjelang pelaksanaan pemilu tahun 2004

168 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masyarakat telah diberikan jaminan keamanan oleh pemerintah, dengan menindak tegas terhadap orang-orang yang menggangu jalannya pelaksanaan pemilu sehingga pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh dapat terlaksana dengan sukses meskipun ada juga letusan sejata api di beberapa daerah, tetapi tidak mempengaruhi jalannya pemungutan suara dalam pemilu tahun 2004 di Provinsi Serambi Mekkah ini. Hasil pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh sebagaimana terdapat dalam tabel di bawah ini. Tabel 5.2 Hasil Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 di Provinsi Aceh

No Nama Partai Politik Jumlah % 1. Partai Nasional Indonesia 7.652 0,64 Marhaenisme 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 8.089 0.68 3. Partai Bulan Bintang 68.190 5,71 4. Partai Merdeka 23.233 1,95 5. Partai Persatuan Pembangunan 170.201 14,25 6. Partai Persatuan Demokrasi 34.327 2,87 Kebangsaan 7. Partai Perhimpunan Indonesia 14.152 1,19 Baru 8. Partai Nasional Banteng 16.866 1,41 Kemerdekaan 9. Partai Demokrat 69.152 5,79

169 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 10. Partai Keadilan dan Persatuan 32.269 2,70 Indonesia 11. Partai Penegak Demokrasi 9.726 0,81 Indonesia 12. Partai Persatuan Nahdlatul 40.330 3,38 Ummah Indonesia 13. Partai Amanat Nasional 183.404 15,36 14. Partai Karya Peduli Bangsa 23.072 1,93 15. Partai Kebangkitan Bangsa 34.241 2,87 16. Partai Keadilan Sejahtera 105.001 8,79 17. Partai Bintang Reformasi 91.969 7,70 18. Partai Demokrasi Indonesia 41.090 3,44 Perjuangan 19. Partai Damai Sejahtera 824 0,07 20. Partai Golongan Karya 137.639 11,53 21. Partai Patriot Pancasila 28.160 2,36 22. Partai Syarikat Indonesia 19.408 1,63 23. Partai Persatuan Daerah 16.700 1,40 24. Partai Pelopor 18.334 1,54 Jumlah Pemilih 1.194.029 100 Sumber: KPU Nasional, 5 Mei 2004

Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa hasil pemilu di Aceh tahun 2004 telah mengalami perubahan dibandingan dengan hasil pemilu tahun 1999. Hasil pemilu di Aceh pada masa Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar, hanya pemilu tahun 1971

170 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh (gabungan partai Islam), pemilu tahun 1977, dan pemilu tahun 1982 yang selalu dimenangkan oleh partai yang berbasiskan Islam (PPP) di Aceh dengan memperoleh dukungan (suara) lima puluh (50) persen lebih. Namun, hasil pemilu selanjutnya, yaitu pemilu tahun 1987, 1992, dan 1997 justru mengalami perubahan yang sangat drastis, pada pemilu sebelumnya PPP selalu mendapatkan suara melebihi jumlah suara Golkar. Akan tetapi, pada pemilu selanjutnya justru Golkar lebih unggul daripada PPP dengan memperoleh jumlah suara lima puluh persen lebih. Pemilihan umum (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) di Aceh tahun 2004 juga mengalami perubahan-perubahan. Banyaknya partai politik dengan berbagai ideologi yang gunakan, sebagai peserta pemilu pada tahun 2004 telah menjadi salah satu penyebab dari terjadinya perubahan-perubahan itu. Hasil pemilu legislatif di tingkat nasional (RI) pada pemilu tahun 2004 dimenangkan oleh Partai Golkar walaupun hasil perolehan suaranya hanya 21,58 persen, merupakan jumlah persentase yang jauh menurun dibandingkan dengan perolehan suara Golkar pada setiap pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru dengan memperoleh jumlah suara lima puluh (50) persen lebih. Namun, pemilu tahun 2004 yang memperoleh suara terbanyak adalah Partai Amanat Nasional (PAN), yaitu 183.404 suara atau 15,36 persen. Jika dilihat, PAN memperoleh suara tidak terlalu signifikan, dalam artian tidak mendapat perolehan suara secara mutlak, seperti halnya perolehan suara PPP dan Golkar pada masa Orde Baru.

171 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh PAN telah membuat sejarah baru di Provinsi Serambi Mekkah, sebuah partai yang bukan berasaskan Islam, tetapi mampu memperoleh suara terbanyak dalam pemilu tahun 2004. Kemenangan PAN di Provinsi Aceh tidak terlepas dari kepopuleran Pak Amien Rais sebagai bapak lokomotif reformasi. Dengan diidentikkan Pak Amien dengan partai yang berlambangkan matahari terbit tersebut telah mampu mendongkrak jumlah pemilih di Aceh, kalau pada pemilu sebelumnya (1999) PAN hanya mampu memperoleh 177.069 suara atau 17,15 persen, menempati posisi pada peringkat kedua setelah PPP. Pada pemilu tahun 2004 jumlah pemilih untuk PAN mengalami peningkatan, yaitu mampu menduduki pada posisi pertama pada perolehan suara yang mengungguli partai-partai besar lainnya, seperti PPP, Partai Golkar, PDIP, PKS, dan PD. Meningkatnya jumlah pemilih PAN pada pemilu tahun 2004 tidak terlepas dari faktor keamanan di Provinsi Aceh, selain dari faktor popularitas Pak Amien. Faktor keamanan yang sudah mulai kondusif pada pelaksanaan pemilu tahun 2004 dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu tahun 1999, yang memungkinkan bagi PAN untuk lebih leluasa dalam mensosialisasikan dirinya. Dengan kondisi keamanan yang mulai kondusif tersebut juga memungkinkan terlaksanakannya pemilu tahun 2004 sehingga pemilih lebih leluasa untuk menyalurkan aspirasinya. Posisi kedua dalam perolehan suara setelah PAN di Aceh ditempati oleh PPP, yaitu 170.201 suara atau 14,25 persen. Meskipun jumlah suaranya tidak terlalu jauh selisih

172 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dengan jumlah suara PAN, PPP harus puas pada posisi kedua. Sebagai partai yang berasaskan Islam, yang selalu mendapatkan dukungan dari masyarakat luas di Aceh (yang menang pada pemilu 1971, 1977, 1982, dan 1999), ternyata PPP tidak mampu lagi mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat Aceh sebagai satu-satunya partai politik yang selalu tampil di depan, sebagaimana telah dibuktikan dalam beberapa kali pemilihan umum. Menurunnya jumlah pemilih PPP pada pemilu tahun 2004, pada satu sisi telah munculnya partai-partai politik Islam lainnya, seperti PKS, PKB, PBB, dan partai Islam lainnya sehingga jumlah pemilih yang dulunya hanya terfokus pada PPP, sekarang telah terpecah dukungannya kepada partai Islam lainnya. Selanjutnya, pada sisi lain PPP menjelang pemilu tahun 2004 tidak mampu lagi memengaruhi para ulama karismatik beserta para santrinya untuk mengambil bagian dalam aktivitas PPP. Dengan mundurnya para ulama dari dunia politik praktis, yang sudah terlihat menjelang pemilu tahun 1999 karena adanya cercaan terhadap diri mereka (para ulama) pada masa Orde Baru sehingga cenderung tidak memihak ke partai politik manapun. Hal ini membawa pengaruh terhadap jumlah dukungan bagi PPP. Partai Golkar pada pemilu tahun 2004 di tingkat nasional (RI) mampu memposisikan dirinya pada peringkat pertama dalam perolehan suara. Namun, pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh, partai Golkar hanya mampu memposisikan dirinya pada peringkat ketiga, di bawah PAN dan PPP. Partai

173 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Golkar di Provinsi Aceh hanya mampu memperoleh 137.639 suara atau 11,53 persen. Menurunnya jumlah pemilih Partai Golkar di Aceh secara garis besar disebabkan oleh dua hal. Pertama, eksistensi Partai Golkar yang mengalami berbagai kritikan dalam masyarakat karena kebijakan-kebijakannya pada masa Orde Baru yang tidak memihak kepada nasib rakyat kecil (tidak populer). Kedua, Partai Golkar tidak mampu lagi merangkul para ulama di Aceh, sebagaimana yang telah dilakukan pada Orde Baru, ulama yang sangat berpengaruh dalam Golkar telah menarik diri seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Meskipun hanya mampu memposisikan dirinya pada peringkat ketiga dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004, partai Golkar lumanyan beruntung dibandingkan dengan partai politik lainnya, yang mampu memperoleh suara di bawah Partai Golkar. Bertahannya jumlah suara terhadap Partai Golkar, dalam artian jumlah perolehan suaranya tidak terlalu terpuruk disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Partai Golkar merupakan salah satu partai Orba yang umurnya lumanyan tua sehingga memungkinkan pengalamanan dan pengaruhnya masih sangat kuat dalam masyarakat, terutama di kalangan birokrat (PNS dan keluarga TNI/Polri). Kedua, meskipun para ulama telah mengundurkan diri dari Golkar, partai ini masih tetap mengatasnamakan mereka (ulama) yang dulunya mendukung Golkar untuk mempengaruhi massa pemilih dalam pemilu tahun 2004. Posisi keempat ditempati oleh Partai Keadilan Sejahtera

174 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh (PKS), pada pemilu tahun 1999 PK (sekarang PKS) hanya mampu memperoleh 16,251 suara atau 1,57 persen. Namun, pada pemilu tahun 2004 Jumlah suara PKS bertambah, yaitu 105.001 suara atau 8,79 persen dan mampu menempati posisi keempat dalam perolehan suara di Provinsi Aceh. Bertambahnya jumlah suara partai Islam ini, pada intinya mampu merangkul sebagian mahasiswa yang aktif pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK). LDK merupakan sebuah organisasi yang memiliki hubungan kekerabatan dan emosional dengan PKS, serta tingkat partisipasi yang cukup aktif sehingga mampu meningkatkan jumlah suara PKS. Selanjutnya, Partai Bintang Reformasi (PBR) yang merupakan partai pecahan dari PPP, pada pemilu tahun 2004 mampu memperoleh 91.969 suara atau 7,70 persen. Sebagai partai yang baru pertama mengkuti pemilu, di Aceh partai ini mampu memposisikan dirinya pada peringkat kelima dalam perolehan suara. Meskipun pada tingkat nasioanal (RI) hanya mampu memposisikan dirinya pada peringkat kesembilan dengan memperoleh 2.764.998 suara atau 2,44 persen. Besarnya pemilih bagi PBR di Provinsi Aceh tidak terlepas dari popularitas K.H. Zainuddim MZ sebagai dai (dai sejuta umat) sehingga setidaknya mempengaruhi masyarakat untuk memilih PBR pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh. Partai Demokrat (PD) yang diidentikkan dengan figur SBY pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh mampu memperoleh 69.152 suara atau 5,79 persen. Partai ini mampu memposisikan dirinya pada peringkat keenam dalam perolehan suara di Aceh.

175 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Meskipun pada tingkat nasional hanya mampu memperoleh 8.455.225 suara atau 7,45 persen dan menempati peringakat kelima. Perolehan suara bagi partai baru yang berasaskan Pancasila ini dianggap lebih beruntung daripada partai-partai baru lainnnya. Perolehan suara yang sebesar itu tidak terlepas dari kepopuleran SBY dalam masyarakat di Provinsi Aceh. Partai Bulan Bintang (PBB) pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh hanya mampu memposisikan dirinya satu peringkat di bawah peringkat PD atau peringkat ketujuh, dengan memperoleh 68.190 suara atau 5,71 persen. Pada pemilu tahun 1999 di Provinsi Aceh PBB mampu mendapat posisi pada peringkat kelima dalam perolehan suara, dengan memperoleh 30.628 suara atau 2,97 persen, tetapi pada pemilu tahun 2004 mengalami peningkatan persentase jumlah pemilih walaupun hanya mendapat posisi pada peringakat ketujuh dalam perolehan suara. Peringkat PBB pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh lebih beruntung daripada peringkat PBB pada tingkat nasional (RI), yang mampu memposisikan dirinya pada peringkat kedelapan dengan memperoleh 2.970.487 suara atau 2,62 persen. Perolehan suara bagi partai Islam yang membawa bendera Masyumi sedikit banyaknya telah mempengaruhi masyarakat Aceh. Pada awal kemerdekaan Masyumi merupakan partai yang populer selain Perti. Posisi kedelapan ditempati oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perolehan suara PDIP pada tingkat nasional mampu memposisikan diri pada peringkat kedua setelah

176 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Partai Golkar, dengan perolehan 21.026.629 suara atau 18,53 persen. Namun, pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh PDIP hanya mampu memperoleh 41.090 suara atau 3,44 persen. Perolehan suara PDIP pada pemilu tahun 2004 mengalami penurunan dibandingan dengan jumlah suara yang diperoleh oleh PDIP pada pemilu tahun 1999 di Aceh, dengan memperoleh 126.038 suara atau 12,21 persen dan menempati posisi pada peringkat keempat dalam perolehan suara. Menurunnya jumlah suara bagi PDIP, salah satu penyebabnya adalah keamanan di Aceh sudah mulai terjamin, hanya di daerah-daerah terpencil yang masih terkendala sehingga pemilu pada tahun 2004 dapat diikuti oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini berbeda dengan pemilu tahun 1999 yang hanya diikuti oleh sebagian kecil masyarakat, seperti Kota Langsa. Pada sisi lain, menjelang pemilu tahun 1999 PDIP sedang hangat-hangatnya mempromosikan Megawati Soekarno Putri dengan karisma orang tuanya, Presiden Soekarno. Partai Islam lainnya yang mampu memposisikan dirinya pada peringkat sepuluh besar adalah Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang mampu menduduki pada peringkat kesembilan dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh, dengan memperoleh 40.330 suara atau 3,38 persen. PPNUI lebih beruntung daripada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang hanya memperoleh 34.241 suara atau 2,87 persen dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) yang memperoleh 34.327 suara atau 2,87 persen. Partai ini hanya mampu menduduki posisi yang sama, yaitu peringkat kesepuluh dalam

177 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di Aceh. Tidak banyak jumlah pendukung terhadap PKB di Aceh. Hal ini disebabkan oleh sikap Gusdur yang cenderung plin-plan dalam menyikapi suatu masalah. Sementara itu, partai politik lainnya yang ikut pemilu tahun 2004 di Provinsi Aceh, hanya beberapa partai saja yang mampu memperoleh suara lebih dari dua dua persen. Pertama, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang mampu memperoleh 32.269 suara atau 2,70 persen (peringkat kesebelas). Kedua, Partai Patriot Pancasila yang mampu memperoleh 28.160 suara atau 2,36 persen, sedangkan sebelas partai lainnya hanya mampu memperoleh suara di bawah dua persen.

5.4 Ulama dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama di Provinsi Aceh Pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden di Provinsi Aceh dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004. Meskipun Aceh pada saat itu dalam status Darurat Militer (DM), sebagian orang berpendapat bahwa pelakasaan pemilu tersebut akan mengalami nasib yang sama seperti pemilu tahun 1999. Ketika provinsi ini ditetapkan sebagai DM, kondisi keamanan semakin bertambah panas. Hal itu terbukti dengan adanya kontak tembak antara pasukan GAM dan TNI/Polri, pembakaran rumah-rumah sekolah yang mencapai ribuan unit, penculikan terhadap kepala-kepala desa dan masyarakat biasa. Namun, kenyataannya pelaksanaannya pemilu tahun 2004 dapat dikatakan berhasil dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu tahun 1999 meskipun ada beberapa

178 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh daerah terpencil yang tidak dapat melaksanakan pemilu karena tidak kondusif. Meski adanya berbagai isu yang berkembang menjelang pemilu tahun 2004 di Aceh, tampaknya masyarakat telah siap untuk mangikuti pesta demokrasi tersebut, bahkan masyarakat telah mempunyai pilihan (referensi) terhadap orang-orang atau calon-calon yang akan dipilih. Kegiatan kampanye partai politik di Aceh sangat di batasi oleh penguasa DM karena faktor keamanan yang tidak terjamin. Kebebasan yang agak luas diberikan kepada partai politik untuk menyampaikan visi misi partai melaui media massa, baik media cetak (surat kabar lokal: Serambi Indonesia) maupun media elektronik (TVRI Banda Aceh). Hal tersebut tentunya tidak memperoleh hasil yang efektif karena masyarakat yang membaca surat kabar di Aceh hanya dari kalangan tertentu. Selanjutnya, terkait dengan kampanye melalui televisi juga mengalami kendala karena tidak semua daerah di Aceh dapat menangkap siaran TVRI Banda Aceh, serta tidak semua masyarakat mempunyai televisi. Walaupun aktivitas kampanye pada waktu itu sangat terbatas, masyarakat sudah mempunyai pilihan terhadap calon- calon yang akan dipilih. Termasuk terhadap figur-figur yang manjadi capres dan cawapres pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004. Sosok para kandidat calon yang menjadi kontestan dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 telah diketahui oleh masyarakat Aceh, baik itu diketahui dari juru kampanye partai ketika menjelang pemilu legislatif, maupun

179 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh melalui media massa, spanduk-spanduk yang diikat diberbagai tempat, dan brosur-brosur yang ditempelkan dari berbagai sudut bangunan, bahkan melalui mulut-ke mulut tentang informsi terhadap pasanagan calon tertentu. Dengan referensi yang seadanya terhadap pasangan-pasangan calon dalam pemilu presiden/wakil presiden 2004, masyarakat Aceh telah mampu memilih pasangan calon yang sesuai dengan keinginannya tanpa adanya unsur paksaan dan larangan dari pihak manapun sehingga pemilihan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 pada putaran pertama di Provinsi Aceh telah berlangsung dengan baik. Masing-masing pasangan calon telah mendapatkan dukungan dari pendukungnya, dengan perolehan suara yang bervariasi antara pasangan calon yang satu dengan yang pasangan calon lainnya. Untuk lebih jelas tentang perolehan suara masing-masing pasangan calon lihat tabel di bawah ini. Tabel 5.3 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Pertama di Provinsi Aceh

Nama Pasangan Capres & No. Jumlah (%) Cawapres 1. H. Wiranto, SH – Ir. H. 204.534 8,45 Salahuddin Wahid 2, Hj. Megawati Soekarno Putri 120.226 4,97 – KH. A. Hasyim Muzadi

180 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 3. Prof. Dr. H. M. Amien Rais 1.195.823 49,43 – Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo 4. H. Susilo Bambang 519.197 21,46 Yudhoyono – Drs. H. M. Yusuf Kalla 5. Dr. H. Hamzah H – H. 88.836 3,67 Agum Gumelar, M.Sc Jumlah 2.128.616 84,50 Sumber: KPU Nasioanal 19 Juli 2004

Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa pasangan Amien- Siswono sangat populer di kalangan masyarakat Aceh. Hal tersebut terbukti dengan perolehan suara yang signifikan pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama, yaitu dengan memperoleh 1.195.823 suara atau 49,43 persen. Tampaknya di Provinsi Aceh politik aliran sudah mulai memudar. Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa pemilih (voters) di Indonesia masih sangat emosional dan perilaku pemilih dalam memberikan dukungannya pada setiap pemilu masih sangat tergantung pada masalah politik aliran. Namun, hal tersebut sangatlah berbeda dengan kondisi pemilih di provinsi yang dihantam oleh gempa tektonik yang berkekuatan 8,9 SR dan gelombang tsunami yang telah menghacurleburkan berbagai fasilitas dan telah menewaskan puluhan ribu jiwa.

181 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Provinsi yang manyoritas adalah pemeluk Agama Islam dan pada umunya adalah penganut mazhab Imam Syafi’I, yang beraliran Ahlussunnah Waljama’ah, tentunya sangat berbeda dengan aliran yang dianut oleh Pak Amien selaku mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang mencapuradukkan semua mazhab dalam melaksakan ibadah. Hal ini merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Aceh, terutama bagi para ulama dayah (pesantren). Inilah salah satu bukti bahwa politik aliran di Provinsi Aceh sudah mulai memudar. Kalau memang politik aliran itu masih kuat di Aceh, seperti pada pelaksanaan pemilu pada era Orde Lama dan Orde Baru dulu masih sangat kental, sudah pasti pasangan Amien-Siswono tidak akan memeroleh suara sebanyak itu. Hal tersebut tentunya disebabkan sosok Pak Amien yang merupakan kader dari Muhammadiyah yang tidak membatasi diri pada salah satu mazhab. Di Aceh ummumya adalah pengikut Mazhab Imam Syafi’i yang beraliranAhlussunnah Wal Jama’ah. Apalagi tokoh-tokoh dari golongan mereka ini ada yang mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, seperti Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, dan Solahuddin Wahid yang merupakan tokoh-tokoh dari kalangan NU yang juga bermazhab pada Mazhab Imam Syafi’i yang beraliran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Abu Tumin Blang Blahdeh berpendapat bahwa Pak Amien Rais sebagai seorang intelektual yang bersahaja, jujur, dan bijak serta tidak terkait dengan berbagai kasus yang sedang merajalela di tanah air. Beliau secara pribadi sangat

182 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh simpati dan mendukung terhadap Pak Amien untuk menjadi presiden RI meskipun Pak Amin Rais itu berasal dari kalangan Muhammadiyah. Mungkin menurut Abu Tumin Blang Blahdeh, Pak Amin Rais yang dapat membawa Indonesia ini ke arah yang lebih baik, apalagi Pak Amien sebagai tokoh reformasi sangat populer di kalangan masyarakat Aceh (Wawancara Abu Tumin Blang Blahdeh tanggal 18 Desember 2004—18 Januari 2005). Ungkapan Abu Tumin di atas menujukkan bahwa Pak Amien adalah sosok yang sangat dikenal dalam masyarakat Aceh, yang dianggap dengan terpilihnya beliau sebagai pemimpin dapat memperbaiki nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sosok intektual yang bijak dalam menyikapi berbagai persoalan, jujur, dan tidak terkait dengan berbagai kasus tercela (KKN). Hal ini terbukti ketika beliau memimpin lembaga tertingi negara (MPR) dan Muhammadiyah. Selanjutnya, Pak Amien juga dikenal luas oleh rakyat Aceh, baik ketika terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada kongres yang dilaksanakan di Banda Aceh dan terlebih ketika bersama-sama mahasiswa menentang rezim Orde Baru untuk turun dari tahta kekuasaan. Sebagai “bapak reformasi” yang dikenal luas seiring dengan dianugerahkan Rencong Pusaka oleh masyarakat Aceh di halaman Mesjid Raya Banda Aceh, beliau adalah sosok yang sangat diharapkan oleh masyarakat Aceh. Meskipun Pak Amien Rais berasal dari kalangan Muhammadiyah, bukanlah sesuatu hal yang perlu dipertentangkan. Tampaknya masyarakat, terutama para ulama

183 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh di Aceh telah dapat memilah-milah sesuatu persoalan, memang pada dasarnya ulama-ulama dayah di Aceh mempunyai pemahaman tersendiri dalam melaksanakan ibadah, yang tentunya berbeda dengan Muhammadiyah. Akan tetapi, masalah tersebut bukanlah suatu hal yang terus dipertentangkan, mereka (para ulama) lebih cenderung melihat kepada sosok yang dapat memimpin umat meskipun dari kalangan mereka sendiri ada yang menjadi kandidat pada capres/cawapres tahap pertama, seperti Hamzah Haz, Hasyim Muzadi, dan Solahuddin Wahid. Namun, tampaknya sosok tersebut kalah populer dengan figur Pak Amien. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy (anak dari Alm. Abu Abdullah Tanoh Mirah), yang mengatakan bahwa Pak Amien Rais adalah orang yang tergolong masih baru, yang belum pernah memimpin bangsa ini sehingga beliau masih diharapkan untuk menjadi pemimpin bangsa. Oleh masyarakat Aceh Pak Amien Rais juga dikenal sebagai salah seorang tokoh akademisi yang berhati mulia, mungkin inilah penyebabnya Pak Amien Rais banyak dipilih di Aceh. Namun, ketika beliau tidak terpilih sebagai pemimpin bangsa ini itu adalah rahasia Allah. Meskipun Pak Amien berasal dari kader Muhammadiyah, dahulu ada jurang pemisah, sekarang hal tersebut sudah kurang sekali terjadi. Muhammdiyah juga merupakan organisasi masyarakat dan kalau memang dari segi kepemimpinan Muhammadiyah itu memang masih cocok untuk didengar oleh umat Islam di Indonesia, tidak ada masalah bagi kita baik itu dengan

184 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Muhammadiyah, NU, maupun Perti. Saya rasa semua orgnisasi tersebut masih relevan (Wawancara tanggal 14 Desember 2004). Ungkapan dari ulama yang dikenal luas dalam masyarakat Aceh ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan dalam masalah kilafiah, seperti jumlah rakaat sembahyang sunat tarawih, kunut pada sembahyang subuh, kenduri pada orang mati, dan berbagai masalah-masalah kilafiah lainnya tidak menjadi persoalan. Namun, sekarang yang menjadi perhatian kuat terhadap pasangan calon adalah sosok baru yang belum pernah memimpin bangsa ini, dengan harapan mampu melakukan perubahan-perubahan pada masa yang akan datang. Lebih lanjut Tgk. H. Nuruzzahri atau dikenal juga dengan panggilan Waled Nu, berpendapat bahwa Pak Amien Rais lebih dominan di Aceh dibandingkan dengan calon-calon lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh figur Pak Amien Rais sebagai tokoh reformasi, intektual, Muhammadiyah. Memang masih ada perbedaan yang mendasar antara orang yang ada di Muhammadiyah dengan kita, mempunyai karakter dan ciri khasnya masing-masing. Namun, hal tersebut tidak perlu dipertentangkan, kita harus memilah masalah itu dengan pemilihan pemimpin bangsa. Mungkin hanya sebagian orang yang belum tahu karena wawasannya yang belum begitu luas. Oleh karena itu, dicari-carilah hal-hal yang menjadi pertentangan dengan Muhammadiyah, terlebih-lebih lagi dengan masuknya pihak ketiga (Wawancara tanggal 18 Desember 2004). Ketokohan Pak Amien Rais yang tidak asing di kalangan

185 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh masyarakat Aceh inilah yang menjadi sebagai salah satu faktor penentu dalam memperoleh jumlah suara, yang menjadikan Pak Amien sebagai calon presiden terpilih yang paling dominan dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 pada putaran pertama di Aceh. Hal tersebut Tgk. H. Anwar Tanoh Mirah (murid dari Abu Abdullah Tanoh Mirah dan Abu Budi Lamno) berpendapat bahwa Pak Amien Rais adalah sebagai sosok yang lebih unggul dari lima pasangan capres/cawapres lainnya. Tgk. H. Anwar Tanoh Mirah sangat simpati terhadap figur Pak Amein Rais dibandingkan dengan figur calon presiden lainnnya. Kalau kita beri penilaian, nilainya Pak Amien kira-kira di atas angka tujuh puluh. Sosok Pak Amien Rais sebagai intelektual yang tidak hanya mengetahui dan paham dalam bidang politik, tetapi juga banyak mengetahui banyak dalam bidang keagamaan, apalagi beliau itu pernah terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah di Aceh. Meskipun Pak Amien Rais dari kalangan Muhammadiyah, menurut saya tidak menjadi masalah sehingga perlu kita pertentangkan. Apalagi Pak Amien Rais tidak pernah menentang pandangan-pandangan orang lain meskipun padangan orang berlawanan dengan pandangannya Pak Amien Rais. Beliau merupakan figur yang bijak dalam menyikapi suatu masalah. Saya rasa beliau sangat dikenal dalam masyarakat Aceh, terutama bagi kalangan kampus. Ketika reformasi bergulir sosok Pak Amien Rais selalu diperbincangkan sehingga beliau dikenal sebagai “bapak reformasi” (Wawancara tanggal 15 Desember 2004).

186 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pasangan capres/cawapres dari Partai Demokrat dan beberapa partai koalisi, yaitu SBY-YK mampu memperoleh suara yang lumanyan besar apabila dibandingkan dengan pasangan calon lainnya. SBY-YK pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2004 tahap pertama di Provinsi Aceh memperoleh 519.197 suara atau 21,46 persen. Tentunya perolehan suara pasangan SBY-YK berada jauh di bawah pasangan Amien-Siswono yang selisihnya melebihi dari setengah perolehan suara Amien-Siswono. Besarnya jumlah suara pasangan SBY-YK di Provinsi Aceh meskipun tidak berada pada urutan pertama, tentunya tidak terlepas dari kepopularan SBY. Tampaknya masyarakat di Provinsi Aceh memilih pasangan SBY-YK pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004, masyarakat mempunyai harapan apabila SBY terpilih sebagai presiden keenam RI, dapat melakukan perubahan di Aceh ke arah yang lebih baik, yang betul-betul memperhatikan kesejahteraan rakyat. Namun, yang paling prinsipil masyarakat memilih pasangan SBY-YK adalah harapan untuk dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat di daerah yang terus bergejolak ini. Pasangan capres/cawapres Wiranto-Wahid berada pada posisi ketiga dalam perolehan suara pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 di Provinsi Aceh, dengan memperoleh suara 204.534 atau 8,45 persen. Sedikitnya jumlah perolehan suara terhadap pasangan calon dari Partai Golkar ini, tidak terlepas dari beberapa hal. Pertama, disebabkan oleh

187 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh eksistensi partai yang pernah bekuasa ini pada masa lalu, yang tidak mendapat simpati rakyat secara luas karena sikap yang ditunjukkan pada masa lalu. Kedua, mungkin disebabkan oleh sosok Wiranto dari militer yang yang mempunyai reputasi negatif dengan berbagai dugaan yang melekat padanya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Adanya Salahuddin Wahid sebagai pasangan Wiranto, tampaknya tidak begitu berpengaruh di Aceh meskipun beliau dari kalangan NU. Hal tersebut karena figur Gus Solah ini tidak begitu dikenal di kalangan masyarakat umum, apalagi masyarakat Aceh sudah merasa trauma terhadap sikap kakak kandungnya, Gusdur, yang cenderung plin-plan dalam menyikapi sesuatu yang berkaitan dengan masalah-masalah di Aceh. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh beberapa ulama di Aceh yang mengatakan bahwa kepopuleran Solahuddin Wahid (Gus Solah) dalam masyarakat Aceh sebenarnya mempunyai nasib yang sama dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) lainnya, seperti Pak Hamzah Haz dan Pak Hasyim Muzadi, bahwa mereka tidak begitu dikenal secara luas dalam kehidupan masyarakat Aceh, apalagi berpasangan dengan seorang mantan militer (Wiranto) sehingga dengan dasar itulah tokoh-tokoh dari NU tersebut tidak mendapatkan dukungan dalam pemilu presiden/wakil presiden pada tahun 2004 (Wawancara tanggal 10 Desember 2004—18 Januari 2005). Ungkapan para ulama di atas telah menunjukkan

188 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh bahwa kurangnya dukungan terhadap Solahuddin Wahid (Gus Solah) yang perpasangan dengan Wiranto pada satu sisi disebabkan oleh beliau tidak begitu dikenal luas dalam kehidupan masyarakat di Aceh, sedangkan pada sisi yang lainnya kemungkinan besar disebabkan kerena Solahuddin Wahid (Gus Solah) berpasangan dengan seorang mantan militer. Pasangan Mega-Hasyim hanya mampu memperoreh 120.226 suara atau 4,97 persen pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama di Provinsi Aceh. Memang pada dasarnya pasangan ini tidak terlalu mengharap banyak di daerah pemilihan ini karena berdasarkan dari berbagai pengalaman pada masa sebelumnya partai yang mecalonkan pasangan Mega-Hasyim sebagai capres/cawapres ini tidak mempunyai dukungan besar dari masyarakat di Aceh, terutama dukungan para ulama. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari ideologi partai yang non-Islam, juga disebabkan oleh sikap kekecewaan dari kinerja kader PDIP pada periode pemerintahan sebelumnya, yang tidak dapat membuktikan janji-janjinya pada rakyat Aceh dalam penyelesaian konflik. Strategi PDIP menjadikan Pak Hasyim sebagai cawapres, selain untuk menjadikan orientasi ideologis menjadi nasionalis-religius maupun sebagai salah satu strategi untuk dapat merangkul pemilih dari kontong-kantong warga NU, seperti halnya di Aceh. Namun, sayangnya figur Pak Hasyim mempunyai nasib yang sama seperti nasibnya Salahuddin

189 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Wahid, sosoknya Pak Hasyim tidak begitu populer dalam masyarakat Aceh. Sikap kekecewaan tersebut seperti yang diungkapkan oleh Waled Nu, yang mengatakan bahwa pada era Orba dulu saya tidak seprinsip dengan PPP yang telah berkualisi dengan partai politik lain sehingga saya tidak pernah mau untuk menjadi pengurus PPP meskipun saya dari warga NU. Namun, ketika jatuhnya Soeharto sebagai presiden RI, sebagian warga NU membentuk PKB sebagai penyalur aspirasi warga Nahdliyin karena PKB masih selaras dengan NU. Saya terpaksa memimpin PKB di Kabupaten Aceh Utara mulai tahun 1999 dan berakhir pada bulan November 2004 yang lalu ketika saya hendak diangkat sebagai ketua NU (Wawancara tanggal 18 Desember 2004). Hal yang sama juga diungkapkan oleh beberapa ulama lain di Aceh, yang mengatakan bahwa Pak Hasyim kurang dukungan di Aceh walaupun beliau berasal dari warga NU. Pak Hasyim berada pada posisi sebagai cawapres dari seorang pemimpin perempuan, itulah faktor penyebab orang Aceh kurang mendukung Pak Hasyim. Mungkin kalau beliau sebagai capres dan Megawati sebagai cawapres, ada kemungkinan beliau akan mendapat suara yang lebih banyak dibandingkan dengan perolehan suara sekarang (Wawancara tanggal 10 Desember 2004—18 Januari 2005). Ungkapan dari Waled Nu dan beberapa ulama di atas membuktikan bahwa begitu besarnya kekecewaan para ulama, yang dulunya mendukung PPP sebagai penyalur aspirasi

190 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh rakyat. Akan tetapi, ketika mereka terpilih tenyata tidak bisa bekerja dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan orang banyak. Mereka cenderung memperkaya diri, bekoalisi dengan partai penguasa yang tidak memihak kepada nasib rakyat kecil. Buntut dari kekecewaan terhadap kinerja PPP tersebut, telah mendorong ulama untuk cenderung memilih pasangan capres/cawapres dari partai politik lainnya.

5.5 Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua di Provinsi Aceh Fenomena pelaksanaan dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua yang dilaksanakan 20 September 2004 di Provinsi Aceh sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama. Hanya sedikit saja yang mengalami perbeadaan. Pertama, pasangan capres/cawapres pada pemilu presiden/wakil presiden tahap kedua hanya tinggal dua pasangan calon, yaitu pasangan Mega-Hasyim dan pasangan SBY-YK. Kedua, adanya perubahan arah dukungan para pemilih, pada pelaksanaan pemilu presiden/ wakil presiden tahap pertama dukungan banyak diberikan kepada pasangan Amien-Siswono. Namun, ketika pasangan Amien-Siswono gagal untuk menjadi kandidat pada pemilu presiden/wakil presiden tahap kedua, dukungan masyarakat pemilih (voters) berpindah pada pasangan SBY-YK. Pelakasanaan pemilu preseden/wakil presiden tahun

191 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh 2004 putaran kedua, meskipun dirundung dengan sedikit sikap kekecewaan karena kandidat yang dijagokan pada pemilu preseden/wakil presden tahun 2004 putaran pertama tidak masuk keputaran kedua. Masyarakat Aceh sangat mengidam-idamkan sosok pememimpin yang mempunyai semangat reformasi, santun, jujur, adil, peka terhadap nasib rakyat banyak, dan tidak terlibat kasus-kasus yang tercela, seperti KKN. Pemimpin bangsa ke depan diharapkan dapat melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik sesuai dengan agenda reformasi. Oleh karena itu, sosok Pak Amien Rais sangat populer dalam masyarakat Aceh. Hal tersebut tentunya dapat dibuktikan dengan jumlah perolehan suara bagi pasangan Amien-Siswono yang didukung oleh PAN dan beberapa partai politik lain yang berkoalisi dengan PAN pada pemilu presiden/wakil presiden 2004 putaran pertama, sebagimana telah disebutkan di atas. Pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua hanya tersisa dua pasangan calon, yaitu pasangan Mega-Hasyim dan Pasangan SBY-YK. Masyarakat Aceh sudah mempunyai referensi terhadap pasangan capres/cawapres yang akan dipilih meskipun mengalami sedikit perubahan. Perubahan dimaksud adalah pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama masyarakat masyarakat Aceh manyoritas memilih pasangan Amien-Siswono. Namun, karena pasangan Amien-Siswono gagal untuk masuk pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua,

192 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh dukungan berpindah pada pasangan SBY-YK. Untuk lebih jelas tentang perolehan suara masing-masing pasangan calon pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua di Provinsi Aceh, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 5.4 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Kedua di Provinsi Aceh

Nama Pasangan Capres No. Jumlah (%) & Cawapres 1. Hj. Megawati Soekarno 463.769 21,74 Putri – KH. A. Hasyim Muzadi 2. H. Susilo Bambang 1.561.156 73,18 Yudhoyono – Drs. H. M. Yusuf Kalla Jumlah 2.133.377 100 Sumber: Data dari berbagai sumber, KPU Nasioanal 4 Oktober 2004. Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa pasangan SBY- YK memperoleh suara yang signifikan di Aceh, yaitu 1.561.156 suara atau 73,18 persen. Unggulnya pasangan ini di Provinsi Aceh, selain memang sosok SBY yang sudah mulai Populer di Aceh, juga disebabkan karena pasangan Amien-Siswono gagal maju tahap kedua pada pemilu presiden/wakil presiden

193 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tahun 2004 sehingga pasangan SBY-YK menjadi pasangan alternatif yang menjadi pilihan pemilih ketika pasangan calon yang dijagokan gagal maju pada tahap selanjutnya. Meskipun mulai populer di Aceh menjelang pemilu tahun 2004, sosok SBY sempat dijegal oleh pasangan Amien-Siswono dalam perolehan suara pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa sosok Pak Amien lebih populer di Aceh dibandingkan dengan pasangan calon lainnya. Pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua, masyarakat dihadapkan pada perbandingan dua sosok calon pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Dari dua pasangan calon yang tersisa, ternyata pasangan SBY-YK lebih populer di Aceh dibandingkan dengan pasangan Mega-Hasyim. Hal tersebut terbukti dengan jumlah perolehan suara yang diperoleh oleh pasangan SBY- YK sebagaimana telah disebutkan di atas dan tampaknya sebagian besar pemilih yang dulunya memberikan suaranya kepada pasangan Amien-Siswono, pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2004 putaran kedua, para pemilih memberikan suaranya kepada pasangan SBY-YK. Paling tidak dengan terpilihnya pasangan SBY-YK, masyarakat Aceh dapat menghirup udara segar kedamaian, yang selama ini belum ada titik terang terhadap penyelesaian konflik antara GAM-TNI/Polri yang telah menyesengsarakan rakyat yang tidak berdosa. Hal tersebut sebagaimana

194 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh yang diungkapkan oleh beberapa ulama (informan), yang mengatakan bahwa dipilihnya pasangan capres/cawapre SBY-YK di Aceh, tampaknya didasari oleh keinginan yang begitu besar dari rakyat. SBY selaku mantan militer diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu memberi rasa aman bagi rakyat Aceh, yang sekarang ini masih terus bergejolak dan telah mengorbankan ribuan nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Selanjutnya, jika dilihat sosok Pak SBY di televisi, Pak SBY tidak terkait dalam kasus KKN dan kasus- kasus tercela yang lainnya, lalu dari raut wajahnya tampak bahwa Pak SBY mempunyai komitmen untuk memperbaiki Indonesia ini. Oleh karena itu, kita bersimpati kepada Pak SBY dan kita berdoa semoga Allah memberikan kekuatan kepada Pak SBY supaya dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik (Wawancara tanggal 10 Desember 2004—18 Januari 2005). Ungkapan dari para ulama di atas menunjukkan bahwa betapa besar harapan yang diberikan kepada SBY jika nantinya terpilih menjadi presiden pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2004 putaran kedua. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa sebagian besar dari pemilih di Aceh memilih pasangan SBY-YK. Dalam konteks yang lain banyaknya dukungan terhadap pasangan SBY-YK disebabkan oleh tingkat bobot pasangan capres/cawapres, yang hanya tinggal dua pasangan calon sehingga masyarakat dengan mudah melihat mana yang paling berbobot. Hal

195 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh tersebut seperti pendapat yang disampaikan oleh Waled Nu, yang mengatakan bahwa tampaknya tentang penentuan pilihan pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua sangat tergantung pada bobot pasangan calon. Kalau kita bandingkan bobot antara pasangan SBY- YK dan Mega-Hasyim, yang lebih berbobot adalah SBY-YK meskipun Hasyim mempunyai bobot yang lebih besar karena beliau sebagai ketua PBNU. Akan tetapi, rendahnya bobot Megawati dari PDIP pada sisi yang lain sehingga masyarakat lebih banyak memilih pasangan SBY-YK. Kecenderungan masyarakat memilih SBY-YK sebenarnya berharap agar adanya perubahan karena SBY pernah sebagai Menkopolkam, yang turut serta dalam merumuskan penyelesaian konflik di Aceh. Apabila beliau terpilih sebagai Presiden RI ke depan diharapkan dapat melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik (Wawancara tanggal 18 Desember 2004). Ungkapan Waled Nu di atas menunjukkan bahwa bobot atau kualitas dari masing-masing pasangan calon merupakan hal yang sangat menentukan pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua. Masyarakat Aceh yang menjadi pemilih tidak terlalu sulit dalam membandingkan pasangan calon. Hal tersebut sangat berbeda pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama. Masyarakat pemilih tampaknya agak sedikit bingung dalam menentukan pilihan pasangan calon yang akan dipilih karena banyaknya jumlah pasangan calon. Akan tetapi, pada

196 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua, masyarakat hanya membandingkan dua pasangan calon saja dan dari dua pasangan calon tersebut ternyata pasangan calon dari PD, yaitu pasangan SBY-YK lebih unggul daripada pasangan calon Mega-Hasyim. Sebagai buktinya kita dapat melihat dari jumlah perolehan suara yang diperoleh oleh pasangan SBY-YK pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua di Aceh, yaitu dengan memperoleh suara yang signifikan. Pasangan Mega-Hasyim pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran kedua di Provinsi Aceh masih mempunyai nasib yang sama, seperti pada pelaksanaan pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama, tidak unggul dari pasangan calon lain. Pada pemilu presiden/ wakil presiden tahun 2004 tahap kedua, pasangan Mega- Hasyim hanya memperoleh 463.769 suara atau 21,74 persen. Sedikitnya dukungan terhadap pasangan Mega-Hasyim dalam pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 tahan kedua ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fenomena jumlah dan arah dukungan terhadap pasangan calon dari PDIP tersebut pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2004 putaran pertama di Provinsi Aceh. Kecilnya dukungan terhadap pasangan dari PDIP ini disebabkan mulai dari masalah kekecewaan dari kinerjanya pada masa lalu yang tidak menempati janji dalam menyelesaikan konflik di Aceh, lalu juga disebabkan ideologi partai yang cenderung agak

197 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh jauh dengan ideologi partai yang didukung oleh manyoritas masyarakat Aceh. Selanjutnya, Sampai dengan masalah isu gender dari sang calon presiden, artinya seorang perempuan dijadikan sebagai pemimpin masih sangat tabu dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang masih teguh dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan.

198 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh BAB VI PENUTUP

6.1 Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terlihat bahwa para ulama di Aceh telah menarik diri dari dunia politik praktis. Para ulama (terutama ulama karismatik) telah menarik diri dari keterlibatannya dalam partai politik. Hal tersebut sebenarnya telah dilakukan oleh para ulama semenjak jatuhnya rezim Orde Baru. Perjalanan perpolitikan ulama di Aceh telah mengalami pergeseran dukungan terhadap partai politik, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru maupun pasca-Orde Baru (awal era reformasi). Pada masa Orde Lama berkuasa para ulama di Aceh turut aktif mendukung salah satu partai politik, umumnya ulama Aceh adalah pendukung Perti. Besarnya pengaruh ulama dalam Perti disebabkan oleh beberapa hal, di antara

199 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh karena Perti adalah partainya ulama-ulama dayah, Perti di Aceh didirikan oleh Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dan saat itu NU tidak begitu populer di Aceh meskipun NU mempunyai persamaan mazhab dan aliran yang sama dengan ulama dayah di Aceh. Pengaruh Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy dalam Perti tidak hanya di kalangan masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan saja, tetapi pengaruhnya itu tersebar ke seluruh Aceh, melalui para santri-santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Sealatan. Keterikatan ulama-ulama dayah di Aceh sangat kuat dengan pemimpin Dayah Darussalam Labuhan Haji (Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy). Dampaknya adalah Perti saat itu menjadi organisasi politik yang mendapat dukungan besar (dominan) dari ulama-ulama dayah di Aceh. Setelah jatuhnya rezim Orde Lama, digantikan oleh rezim Orde Baru. Ulama Aceh pada masa Orde Baru berkecenderungan mendukung partai politik di luar kekuasaan dan bersimbul agama, para ulama di Aceh masih tetap konsisten mendukung Perti pada pemilihan umum tahun 1971 meskipun saat itu Teungku Syeikh Buya Muda Waly Al-Khalidy telah meninggal dunia, tepatnya tanggal 20 Maret 1961. Akan tetapi, karisma beliau di Perti masih sangat basar dan terus diikuti oleh para santri serta masyarakat yang fanatik terhadap beliau. Setelah Perti berfusi dalam PPP dengan menggunakan Islam sebagai asas partai dan Ka’bah sebagai lambang partai. Para

200 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh ulama di Aceh juga masih tetap konsisten mendukung partai yang berasaskan Islam meskipun dukungannya bergeser kepada PPP. Baik mereka terlibat sebagai pengurus partai, anggota, maupun sebagai juru kampanye dalam mencari dukungan pada pemilu. Besarnya dukungan ulama eks Perti kepada PPP telah membawa pengaruh besar terhadap partai Islam ini dalam setiap pelaksanaan pemilu pada awal pemerintahan Orde Baru sehingga pemilu tahun 1977 dan 1982 PPP selalu unggul dalam perolehan suara dengan jumlah yang signifikan, dengan memperoleh suara 50 persen lebih dari jumlah total pemilih di Aceh. Namun, keunggulan PPP memperoleh suara dalam pemilu tidak dapat dipertahankan pada pemilu tahun 1987 di Aceh. Hanya beberapa daerah saja PPP dapat mempertahankan eksistensinya, seperti di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara. Menurunya jumlah perolehan suara bagi PPP tidak terlepas dari terjadinya perubahan dukungan dari para ulama, terutama ulama karismatik seperti Abu Tumin Blang Blahdeh, yang pengaruhnya dimanfaatkan oleh Golkar. Ulama karismatik biasanya ditempatkan sebagai penasehat Golkar. Walaupun tidak berkampanye di atas panggung, biasanya mereka (para ulama) tampil di depan umum ketika kampanye, sebagai pembaca doa pada setiap akhir acara. Mereka (para ulama) juga biasanya akan mengutuskan santrinya untuk menjadi juru kampanye Golkar. Fenomena ini membuat perolehan suara Golkar di Aceh terus bertambah serta daerah

201 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh pemilihan di Kabupaten Aceh Utara terus dikuasai oleh Golkar, mulai dari pemilu tahun 1987 sampai dengan pemilu tahun 1997 dengan memperoleh suara 50—60 persen lebih dari jumlah keseluruhan pemilih. Bergesernya dukungan ulama dari PPP kepada Golkar disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah faktor politis, saat itu situasi keamanan tidak memungkinkan ulama untuk beroposisi dengan pemerintah, lalu disebabkan juga oleh faktor finansial atau ekonomi. Apabila para ulama tidak mendukung partainya pemerintah, dayah tersebut mengalami kesulitan memperoleh dana untuk membangun dayah (pesantren). Pada pelaksanaan pemilu tahun 1999, sebagian besar ulama, baik itu ulama karismatik maupun ulama-ulama muda di Aceh, telah menarik diri dari kancah politik praktis, terutama dalam mendukung partai politik tertentu, baik sebagai pengurus, anggota, maupun sebagai juru kampanye, seperti halnya pernah terjadi saat menjelang pemilu pada masa Orde Lama dan Orde Baru berkuasa. Pemilu tahun 2004 dilaksanakan dalam beberapa putaran, yaitu pelaksanaan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), dan pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilu tahun 2004 juga mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu pada tahun 1999. Situasi keamanan ketika pelaksanaan pemilu pada tahun 2004 di Aceh, meskipun masih ada gangguan keamanan, telah menjamin keselamatan

202 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh bagi masyarakat ketika mengikuti pemilu. Namun, dukungan ulama terhadap partai politik pasca-Orde Baru, terutamanya menjelang pelaksanaan pemilu pada tahun 2004, keseluruhan ulama yang menjadi informan, mengatakan bahwa mereka ulama tidak mendukung partai politik tertentu. Para ulama di Aceh pada saat ini cenderung memilih netral, mereka (para ulama) tidak mendukung partai politik manapun pada pemilu tahun 2004, baik itu terhadap partai yang berasaskan Islam maupun partai yang berasaskan non-Islam. Pengaruh para ulama dalam partai politik di Aceh sudah mulai memudar. mereka (para ulama) tidak terlalu aktif lagi dalam mempromosikan partai politik yang didukungnya kepada masyarakat untuk dipilih dalam pemilu. Akibatnya, masyarakat tidak lagi dipengaruhi oleh para ulama, sebagaimana yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. Walaupun masyarakat Aceh tidak sepenuhnya dapat dipengaruhi oleh para ulama, para santrinya tetap tunduk terhadap arah dukungan ulama dalam mendukung partai atau kandidat calon tertentu. Pada umumnya para ulama di Aceh ikut melakukan pemilihan pada pemilu tahun 2004. Keseluruhan ulama ketika mendukung para kandidat calon yang akan duduk di lembaga legislatif, serta pasangan Capres/Cawapres tidak melihat lagi idoeloginya partai, tetapi sangat dipengaruhi oleh figur atau ketokohan para calon yang akan dipilih.

203 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1983.Agama Islam dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.

Alfian, Teuku Ibrahim. 1999. Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Amal, Ichlasul. 1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Amiruddin, M. Hasbi. 2003. Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh. Lhokseumawe: Acehiya Foundation.

Amiruddin, M. Hasbi. 2004. Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik.Yogyakarta: CENINNETS.

Andito (Ed.). 1998. Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah.

Asfar, Muhammad. 1995. Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai. Jakarta: Prisma (LP3ES). Asnawi. 1999. PKB Jendela Politik Gus Dur. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Aziz, A. Gaffar. 2000. Berpolitik Untuk Agama. Yogyakarta:

204 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pustaka Pelajar. Bau, Yanuarius Koli. 2003. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Budiarjo, Meriam. 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Cahyono, M. Faried dan Lambang Trijono (ed). 2004. Pemilu 2004: Transisi Demokrasi dan Kekerasan. Yokyakarta: CSPS BOOKS.

Castles, Lance. 2004. Pemilu 2004 dalam Konteks Komparatif & Historis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chilcote, Ronald H. 2003. Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Effendy, Bahtiar. 1995. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran Islam. Jakarta: Prisma (LP3ES).

Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Evans, Kevin Raymond. 2003. Sejarah Pemilu dan Parpol di Indonesia. Jakarta: Arise Consultancies.

Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gaffar, Afan. 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokras. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

205 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Gramsci, Antonio. 2003. Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Harris, Peter and Ben Reilly. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Jakarta: AMEEPRO.

Haryanto. 1991. Elite, Massa, dan Konflik. Yogyakarta: iPAU-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

Hasyim, Mustafa W. 1999. Jejak Luka Politik dan Budaya. Yogyakarta: LPSAS.

Hermawan, Eman. 2001. Politik Isu Tunggal, Jalan Buntu Gerakan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Yayasan Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat (KLIK) bekerjasama dengan DKN Garda Bangsa.

Hurgronye, Snouck. 1996. Rakyat Aceh dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS.

Ibrahim, Teuku. 1987. Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: YIIS.

Ida, Laode. 1995. Kembali ke Khittah: Gerakan Politik Kultural NU. Jakarta: Prisma (LP3ES).

Imawan, Riswandha. 2004. Partai Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Politik pada Fisipol UGM,Yogyakarta.

Jakobi A. K. 1998. Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945—1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

James A. Bill &Robert L. Hardgrave, Jr.. 1973. Comparative Politics The Quest for Theor. Columbus: A Bell & Howell Company.

Juergensmeyer, Mark. 2003. Terorisme Para Pembela Agama.

206 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Yogyakarta: Tarawang Press. Kairuddin. 2004. Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kairuddin. 2004. Profil Pemilu 2004: Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legislatif 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Karim, Khalil Abdul. 2002. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan kekuasaan. Yogyakarta: LkiS.

Karim, M. Rusli. 1995. Konflik Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Prisma (LP3ES).

Kasiyanto, M.J. 1999. Mengapa Orde Baru Gagal?. Jakarta: Yayasan Tri Mawar dan CV Cakra Media.

Klingeman dkk.. 2000. Partai, Kebijakan,&Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kompas. 2004. Peta Politik Pemilu 1999—2004, Jakarta.

Liddle, R. William. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasan Politik. Jakarta: LP3ES.

Lonto, Lexi A. 2001. Peranan Elite dalam Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Kotamadya, Tesis pada Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Maarif, Ahmad Syafii. 1987. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Peraturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.

Maarif, Ahmad Syafii. 1988. Islam dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Machfoedz, Maksoem. 1982. Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat.

207 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Maliki, Zainuddin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Manan, Bagir. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD NRI Tahun 1945 Baru. Jakarta: FH UII Press.

Mangunkusumo, Daliso dkk.. 1999. Penjara-Penjara Politik Indonesia. Yogyakarta: LPSAS Prospek.

Mangunkusumo, Daliso. 1999. Tradisi Kekerasan Politik di Indonesia. Yogyakarta: L.K. Prospek.

Martin van Bruinessen. 1998. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Yogyakarta: Bentang.

Mas’oed, Mohtar. 2003. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhammad, Rusjdi Ali. 2003. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Mulkhan, A. Munir dkk.. 2001. Kekerasan dan Konflik. Yogyakarta: Forum LSM DIY.

Mustafa. 1999. Memilih Partai Mendambakan Presiden: Belajar Demokrasi di Ufuk Milenium. Bandung: Rosda Karya.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Nizarlin. 2003. Pergeseran Kekuasaan Ulama Politik dalam Masyarakat Aceh. Tesis S2 Prodi Sosiologi UGM, Yogyakarta.

Noer, Deliar. 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900—1942. Jakarta: LP3ES.

208 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Prihatmoko, Joko J. 2003. Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi. Semarang: LP2I Press.

Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijkan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ridwan. 2004. Paradigma Politik NU. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Salim. 2001. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Satha-Anand, Chaiwat. 2002. Agama dan Budaya Perdamaian. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama.

Setiawan, Bambang dan Bestian Nainggolan (ed.). 2004. Partai- Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004—2009. Jakarta: Kompas.

Siagian, Sondang P. 2003. Teori & Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sidi, Gazalbia. 1992. Mesjid Sebagai Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryadinata, Leo. 1995. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta: LP3ES. Tanter, Richard and Kenneth Young. 1996. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Tarrow, Sidney. 1996. Power in Movement. USA: Cambridge

209 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh University Press.

Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wahid, Abdurrahman dkk.. 1999. Berpolitik atau Kembali Kebarak: Militer dalam Wacana Masyarakat Madani. Yogyakarta: Bigraf.

Waly, Muhibuddin. 1997. Maulana Teungku Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy: Ulama Besar Aceh dan Perannya dalam Pembangunan Pendidikan. Jakarta: Intermasa.

210 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Hasil Pemilu di Aceh pada Masa Orde Baru ...... 59 Tabel 4.1 Hasil Perolehan Suara Partai Politik di Indonesia pada Pemilu 1999 ...... 85 Tabel 4.2 Perolehan Kursi DPR RI Pemilu Tahun 1999 ...... 90 Tabel 4.3 Hasil Perolehan Suara Partai Politik (Legislatif) pada Pemilu 2004 di Indonesia ...... 98 Tabel 4.4 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/ Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2004 Putaran Pertama di Indonesia ...... 114 Tabel 4.5 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/ Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Kedua di Indonesia ...... 126 Tabel 5.1 Hasil Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu Tahun 1999 di Provinsi Aceh ...... 152 Tabel 5.2 Hasil Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 di Provinsi Aceh ...... 198

211 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Tabel 5.3 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/ Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Pertama di Provinsi Aceh ...... 180 Tabel 5.4 Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden/ Wakil Presiden pada Pemilu 2004 Putaran Kedua di Provinsi Aceh ...... 193

212 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh TENTANG PENULIS

Dr. Saiful, S.Pd., M.Si. dikenal juga dengan panggilan Saiful Usman, memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) pada Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Pendidikan Magisternya (S-2) dilanjutkannya pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selanjutnya, pendidikan Pogram Doktoralnya (S-3) diselesaikan pada Jurusan Sains Politik Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan (FSSK) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia. Sejak 2001 sampai dengan sekarang bekerja sebagai staf pengajar (dosen) di almamaternya, yaitu pada Jurusan PPKn FKIP Universitas Syiah Kuala. Selain mengajar di almamaternya, ia juga pernah aktif mengajar pada beberapa perguruan tinggi lain di Banda Aceh dan Aceh Besar, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Selain mengajar, ia juga penah menduduki beberapa jabatan, seperti Dosen Koordinator Mata Kuliah PPKn di UPT MKU Universitas Syiah Kuala, Sekretaris Jurusan PPKn FKIP Universitas Syiah Kuala, dan Ketua Lembaga Penelitian,

213 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh Pengabdian Kepada Masyarakat dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMPMP) Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pusat Studi Pengembangan Pendidikan Karakter Kebangsaan dan Radikalisme Universitas Syiah Kuala, Pengurus Bidang Penelitian dan Pengabdian Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) Wilayah Aceh. Pada tahun 2020 dipercayakan sebagai salah seorang anggota pada Pusat Pengembangan dan Hilirisasi Inovasi (PPHI) Universitas Syiah Kuala. Selain mengajar dan meneliti, ia juga aktif sebagai pemateri dalam berbagai seminar dan pelatihan. Pada saat ini ia tercatat sebagai pameteri aktif pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh. Sebelum buku ini diterbitkkan, ia juga telah menerbitkan berbagai karya tulisnya yang lain, baik dalam bentuk makalah, prosiding (nasional/internasional), maupun jurnal (nasional/internasional). Bukunya yang lain berjudul Politik dan Kearifan Lokal, diterbitkan oleh Unsyiah Press 2019.

214 Ulama dan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Aceh