SEJARAH AGAMA DJAWA SUNDA DI CIGUGUR KUNINGAN 1939-1964

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Disusun Oleh:

Tendi

NIM. 2113022100001

PROGRAM MAGISTER SEJARAH DAN PERADABAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik alam semesta. Berkat kuasa, nikmat serta rahmat-Nya, akhirnya penelitian yang panjang dan melelahkan ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW. Berkat upaya dan perjuangannya yang gigih, agama Islam yang damai dan mendamaikan ini dapat menyebar ke pelbagai wilayah, termasuk ke .

Satu tahun sudah tesis ini terus diupayakan agar segera selesai dan rampung dengan baik. Sejumlah peristiwa, baik itu yang menyenangkan maupun menyedihkan, turut menghiasi proses penelitian mengenai sejarah sosial keagamaan Nusantara yang sangat memperkaya cakrawala pemikiran penulis ini. Tidak hanya membantu untuk meraih gelar magister saja, pengalaman ini juga turut menghantarkan saya untuk dapat lebih memahami, menghargai dan melestarikan kearifan lokal serta kultural masyarakat, khususnya masyarakat Sunda. Meski perjuangan untuk menuntaskan kewajiban intelektual ini begitu berat, pada akhirnya penulis benar-benar merasakan buah manis dengan tuntasnya penyusunan laporan penelitian ini.

Untuk menyempurnakan karya ilmiah ini, saran serta kritik dari para pembaca yang budiman akan selalu saya nantikan. Setiap masukan yang konstruktif pastinya dapat membuat tesis ini menjadi lebih baik. Sehingga kemudian pelbagai kekurangan, mulai dari kesalahan penulisan, kekeliruan pengutipan, sampai analisis yang kurang mendalam dalam laporan ini dapat menjadi lebih lengkap dan sempurna.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan untaian rasa syukur dan terima kasih kepada sejumlah pihak yang memang telah sepatutnya untuk mendapatkan penghargaan ini, pihak yang berjasa ini adalah:

1. Rasa syukur terhadap Allah SWT, Pemilik Tunggal Semesta. Tanpa nikmat-Nya, tidak mungkin penulis dapat hidup dan berkarya di dunia yang fana ini. Alhamdulillah Rabbil’alamiin. 2. Ucapan terima kasih seyogyanya dilayangkan terhadap keluarga penulis yang sangat mendukung proses riset ini. Support yang sangat besar dari Bapak Casbu dan Ibu Warki,

ii

serta bantuan yang tidak terkira dari kedua adik beserta seluruh keluarga, merupakan bahan bakar yang tidak terbatas bagi berjalannya motor ilmiah ini. 3. Ungkapan terima kasih dan cinta, penulis sampaikan kepada istri tercinta, Dede Nurlatifah, S.Pd. Bidadari cantik yang senantiasa menyemangati penulis dengan kasih dan cinta sucinya. Uhibbuki hubban syadid. 4. Terima kasih kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A., beserta duet hebat pengurus Program Magister FAH, Bapak Dr. Abdullah, M.Ag dan Bapak Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum. Jasa- jasanya dalam studi ini sungguh tidak terhingga. 5. Kalimat terima kasih saya layangkan kepada seluruh kolega, baik itu di MA Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di PT. Tasya Gaya Pesona, yang selalu membantu saya dalam pelbagai hal. 6. Untuk “keluarga” yang sangat berjasa dalam proses perkembangan jiwa penulis, yaitu keluarga besar IPPMK Jakarta Raya dan Keos Gank, saya ucapkan ribuan rasa terima kasih saya. Syukron, jazakumullah khairan katsir. 7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada seluruh sahabat, kawan sejawat, kolega terdekat, serta pihak-pihak lain yang mohon maaf belum dapat penulis tuliskan satu persatu dalam lembar ini.

Atas kebaikan serta kebajikan yang telah diberikan, penulis ungkapkan rasa bakti dan terima kasih.

Sebelum diakhiri, penulis berharap agar tesis ini dapat menjadi bahan bacaan yang representatif terhadap kajian konflik dan hubungan antarkelompok keagamaan, serta dapat menjadi sumbangsih yang dapat bermanfaat bagi kepentingan bangsa di kemudian hari. Semoga....

Wassalam Depok, 14 Januari 2016

Tendi, S.Pd., S.T.

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Nama : Tendi, S.Pd., S.T. NIM : 2113022100001 Tempat Tgl Lahir : Kuningan, 06 Desember 1989 Jurusan : Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Sejarah Agama Djawa Sunda di Cigugur Kuningan 1939” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, 14 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,

Tendi, S.Pd., S.T. NIM. 2113022100001

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Tendi NIM : 2113022100001 Program Studi : Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas : Adab dan Humaniora Judul Tesis : Sejarah Agama Djawa Sunda di Cigugur Kuningan 1939-1964

Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah terbuka (promosi magister) dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum NIP. 19690415 199703 1 004 NIP. 19730224 200801 1 009 Penguji I Penguji II

Dr. H. Abdul Chair, M.A. Jajang Jahroni, Ph.D NIP. 19541231 198303 1 030 NIP. 19670612 199403 1 006 Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum Dr. Saiful Umam NIP. 19690808 199603 1 003 NIP. 19671208 199303 1 002

v

ABSTRAK

Agama Djawa Sunda (ADS) merupakan salah satu kepercayaan lokal di Nusantara yang dipercayai oleh sejumlah masyarakat yang tersebar di wilayah Cigugur, Kuningan, beserta beberapa daerah lainnya di Jawa Barat. Dalam perkembangannya, kepercayaan masyarakat yang sebagian besar penghayatnya orang Sunda ini mengalami pasang surut yang menarik untuk dikaji. Di antara ketiga masa kepemimpinan ADS yang pernah ada, masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana merupakan masa yang paling unik karena pada saat itu ADS berkembang pada tiga masa yang berbeda, yaitu masa pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun mendapat pendidikan yang sangat baik, nyatanya Tedjabuana tidak bisa menjaga eksistensi ADS di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, salah satu faktor penting yang dapat dianggap turut menghancurkan ADS adalah kepribadian pemimpinnya yang lemah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang dipahami sebagai suatu proses pengujian dan analisis yang dilakukan secara kritis terhadap pelbagai rekaman dan peninggalan yang berasal dari masa lampau. Pendekatan yang diambil dalam penelitian sejarah ini adalah deskripsi kualitatif melalui cara pandang sosiologis-antropologis. Dalam studi ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan pelbagai macam informasi yang ada dari pembacaan dokumen- dokumen, seperti arsip, buku-buku perpustakaan, artikel dan majalah, sebagai sumber-sumber tertulis serta dari data-data sosial atau kultural yang ditemukan di lapangan melalui proses observasi (pengamatan) dan interview (wawancara) guna mendukung keabsahan dan kebenaran data yang telah berhasil didapatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tantangan berat yang dihadapi oleh Agama Djawa Sunda (ADS) dari tahun 1939 hingga 1964 merupakan buah dari lemahnya kepribadian Pangeran Tedjabuana yang disebabkan oleh ke-tidak-sempurnaan

vi

perkembangan jiwa dan diri serta adanya perubahan sosial yang sangat cepat dan hampir memengaruhi keseluruhan segi kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah aspek keagamaan. Perubahan sosial itu mewujudkan konflik yang membuat langkah perkembangan ADS menjadi stagnan dan bahkan lumpuh sama sekali. Sejumlah pihak yang terlibat perselisihan dengan ADS adalah pemerintah pendudukan Jepang, kelompok Islam yang radikal dan fundamentalis, serta aparat pemerintah yang hendak mengimplementasikan kebijakan negara untuk mengatur kehidupan beragama warga negaranya.

Kata kunci: dialektika budaya, agama lokal, konflik umat beragama, afiliasi kelembagaan

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... ii BEBAS PLAGIARISME ...... iv LEMBAR PENGESAHAN ...... v ABSTRAK ...... vi DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...... 10 D. Tinjauan Pustaka ...... 11 E. Metode Penelitian ...... 15 1. Pembatasan Masalah dan Periode Penelitian ...... 15 2. Metode dan Pendekatan Penelitian ...... 15 3. Teknik Pengumpulan Data ...... 20 4. Teknik Penulisan ...... 21 F. Kerangka Teori ...... 22 G. Sistematika Penulisan ...... 27

BAB II KEADAAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI POLITIK A. Kondisi Sosial Budaya ...... 31 1. Masyarakat dan Struktur Sosial ...... 31

viii

2. Dialektika Budaya ...... 42 B. Kondisi Ekonomi Politik ...... 49 1. Latar Ekologis dan Sumber Daya Alam ...... 49 2. Distribusi Pekerjaan dan Perdagangan ...... 55 3. Sistem dan Administrasi Pemerintahan ...... 70 C. ADS dalam Konteks Masyarakat Agraris Pedalaman .... 73

BAB III HAKIKAT, ASAL USUL DAN AJARAN AGAMA DJAWA SUNDA A. Hakikat dan Teori Agama ...... 79 1. Hakikat Agama dan Agama Djawa Sunda ...... 79 2. Teori Agama ...... 84 B. Riwayat Hidup Madrais ...... 87 1. Silsilah dan Keluarga ...... 87 2. Kehidupan Pesantren dan Mistik ...... 102 3. Mendirikan dan Memimpin Agama Djawa Sunda ... 109 C. Ajaran Agama Djawa Sunda ...... 122 1. Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik menuju Manusia Sejati ...... 122 2. Pikukuh Tilu ...... 126 a. Ngaji Badan ...... 128 b. Mikukuh kana Tanah ...... 132 c. Madep ka Ratu Raja ...... 134 3. Hukum Adat Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Djawa Sunda ...... 139 a. Sunat ...... 139

ix

b. Pernikahan ...... 141 c. Kematian ...... 145

BAB IV PERKEMBANGAN AGAMA DJAWA SUNDA 1939-1964 A. Riwayat Hidup Pangeran Tedjabuana ...... 150 B. Pangeran Tedjabuana: Pemimpin Agama Djawa Sunda Tiga Zaman ...... 166 C. Tantangan dan Hambatan di Masa Kepemimpinan Pangeran Tedjabuana ...... 176 1. Kebijakan Oportunis Pemerintahan Pendudukan Jepang ...... 176 2. Perselisihan dengan Kaum Islam Ortodoks ...... 180 3. Konflik dengan Aparat Pemerintah Republik Indonesia ...... 190 D. Pembubaran Agama Djawa Sunda Tahun 1964 ...... 193 E. Proyeksi Masa Depan Agama Djawa Sunda ...... 202

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 205 B. Saran ...... 207

BIBLIOGRAFI

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara dengan komposisi suku bangsa yang pluralis di dunia. Bangsa yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil ini, terdiri dari ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah yang khas. Hal itu membuat orientasi kultur kedaerahan serta pandangan hidupnya pun beragam.1 Semua aspek sosio-kultural yang beragam itu membuat Indonesia menjadi bangsa dengan tingkat keragaman tinggi yang tinggi. Atho Mudzhar menjelaskan bahwa pluralitas masyarakat Indonesia memiliki karakter khas yang ditandai dengan cirinya yang bersifat horizontal dan vertikal. Ciri horizontal terlihat pada kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang memiliki sejumlah perbedaan yang dianggap setara dalam struktur sosial masyarakat, seperti perbedaan ras, suku bangsa, adat tradisi danagama. Sedangkan ciri vertikal adalah gambaran lain dari struktur masyarakat Indonesia yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan lapisan sosial secara berjenjang dan bertingkat di dalam masyarakat.2 Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Jika diurai lebih terperinci, bangsa Indonesia memiliki talenta, watak, karakter,

1 Koentjaraningrat, “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius),(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 80. Lihat pula, Achmad Syahid, “Peta Kerukunan Umat Beragama Propinsi Bengkulu”, dalam Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2003), hlm. 1.

2 Lihat lebih lanjut, M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat beragama”, dalam Muhaimin AG (ed.), Damai di Dunia, Damai untuk Semua Perspektif Berbagai Agama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2004), hlm. 13-14.

1

2

hobi, tingkat pendidikan, warna kulit, status ekonomi, kelas sosial, pangkat dan kedudukan, varian keberagaman, cita-cita, perspektif, orientasi hidup, sudut pandang, loyalitas organisasi, tingkat umur, profesi dan bidang pekerjaan yang berbeda-beda. Masing-masing kategori sosial memiliki “budaya” internal sendiri, kecenderungan “budaya” internal kategori sosial tersebut tentunya berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, dari sisi kultural maupun struktural, bangsa Indonesia mempunyai tingkat keragaman yang tinggi.

Masyarakat multikultural Indonesia tersebar di berbagai pulau, baik itu pulau yang berukuran besar seperti Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi dan Jawa maupun pulau yang kecil seperti Moyo, Rinca, Bunaken, Bangka, Bacan dan Nias. Dalam hal ini, pulau paling vital dalam urat nadi dan nafas Kepulauan Nusantara adalah Pulau Jawa, yang terletak di sisi selatan garis khatulistiwa.

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia yang membentang jauh dari sisi barat Pandeglang di Provinsi sampai ujung timur Banyuwangi yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur. Pulau Jawa yang termasuk wilayah dengan iklim tropis, memiliki tanah yang sangat subur. Raffless mengungkapkan kekagumannya akan kondisi tanah Jawa dengan menuliskan bahwa hanya dengan sedikit perawatan tanah di pulau itu dapat menghasilkan banyak macam tanaman dan buah-buahan yang sangat melimpah, dan itu dapat mencukupi kebutuhan seluruh penduduknya.3 Alam Jawa yang begitu kaya, menjadikan pulau ini sebagai tempat yang sangat menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik. Daya tarik itu membuat banyak bangsa di berbagai belahan dunia lainnya tergoda untuk datang, melihat dan bahkan menguasainya.

3 Thomas Stamford Raffles, History of , Penerj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), hlm.71.

3

Pelbagai macam dinamika sosial kemasyarakatan yang terjadi akibat interaksi antarbangsa di tanah Jawa, membuat tempat ini menjadi sangat menarik bagi para peneliti, baik itu peneliti lokal maupun peneliti internasional karena sangat sarat akan kandungan ilmu pengetahuan. Terkait hal ini, Mona Lohanda pernah mengibaratkan Jawa sebagai perut bumi dengan struktur tanah yang berlapis-lapis sesuai dengan umurnya, dimana peradaban Jawa mengandung lapisan budaya Hindu-Buddha- Cina-Arab/Islam dan Barat yang kesemuanya itu adalah “unsur luar”.4 Berkaitan dengan hal tersebut, Denys Lombard menjabarkan bahwa Nusa Jawa merupakan laboratorium yang sangat baik untuk studi ilmu humaniora karena memiliki kegunaan yang sangat penting bagi pelbagai studi budaya, tradisi, persilangan dan kajian etnisitas yang dewasa ini banyak dipelajari dalam studi. Menurutnya, kawasan Nusantara bukanlah sebuah kasus yang khusus ataupun parsial semata dalam untaian kisah dan sejarah dunia, melainkan sebuah titik pertemuan yang penting karena menjadi tempat percampuran dan persilangan bagi pelbagai peradaban besar yang ada di dunia, yaitu: India, Cina, Islam dan Eropa.5 Di samping itu, tidak boleh dilupakan pula bahwa tanah Jawa juga memiliki “unsur dalam” berupa peradaban asli yang usianya jauh lebih tua dan kuno daripada peradaban- peradaban yang datang dari luar kawasan Nusantara tersebut.6

4 Mona Lohanda, “Studi Minoritas dalam Spektrum Kajian Sejarah Indonesia”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (eds.),Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard,(Jakarta: EFEO, Puslitbang Arkenas dan Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 139.

5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan), Penerj. W.P. Arifin, R.S. Hidayat, dan N.H. Yusuf, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d‟Extreme-Orient, 2008), Jilid I, hlm. 2.

6 Reruntuhan Gunung Padang di daerah Cianjur merupakan bukti akan adanya budaya dan peradaban dari masyarakat pra-aksara di Indonesia. Situs megalitik Gunung Padang tersebut merupakan bangunan berundak-undak atau biasa disebut dengan istilah „punden berundak‟ yang terdiri dari lima teras atau tingkatan; dimana makin tinggi letak tingkat atau terasnya, luasnya makin menyempit. Baca lebih lanjut, Savitri Putri Ramadina,

4

Peradaban besar dunia yang pernah menyapa Nusantara meninggalkan jejak-jejak budaya khas yang berbentuk dalam banyak hal, mulai dari seni, teknologi, agama, kepercayaan, dan lain sebagainya. Dalam aspek agama dan kepercayaan, peninggalan-peninggalan budaya tersebut dapat terlihat dengan jelas: Peradaban asli ditunjukkan oleh keyakinan-keyakinan lokal kelompok masyarakat dan suku pedalaman yang biasanya bercorak animistik dan dinamistik; Peradaban India mewariskan agama Hindu dan Buddha; Peradaban Cina dibuktikan dengan ada dan berkembangnya para penganut Konghucu; ajaran Islam yang berasal dari tanah Timur Tengah; dan Eropa yang menyisakan keyakinan-keyakinan baru bagi masyarakat pribumi berupa agama-agama yang mereka peluk, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Memperhatikan sejumlah hal tersebut, keragaman religi dan agama adalah suatu keniscayaan bagi tanah Jawa.

Diantara agama-agama yang ada di Indonesia, agama lokal adalah agama yang dinamikanya cukup banyak dikaji. Terdapat beberapa sistem kepercayaan berorientasi lokal di Pulau Jawa, seperti Sunda Wiwitan, Buhun, Agama Djawa Sunda (ADS), Samin, Tengger, Kejawen, dan lain-lain. Dalam hal ini, kemajemukan agama di Pulau Jawa adalah sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya.7 Kekayaan itu bisa dirasakan dan dinikmati ketika perbedaan dalam kehidupan diresapi secara arif dan bijaksana. Kemajemukan yang telah terbangun sejak berabad-abad masa yang lampau, tentunya memiliki sejumlah pengalaman yang dapat diteladani oleh generasi masa kini. Sementara itu, kesalahan dalam bersosialisasi dan berinteraksi

“Analisis Perupaan Situs Megalitik Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat”, ITB Journal Visual Art & Design, No. 1, Vol. 4 (2013), hlm. 53.

7 Pengakuan mengenai kemajemukan agama belum berarti bahwa realitas kemajemukan itu di Indonesia diakui sepenuhnya.Hal itu dapat dilihat dari belum terakomodasinya kepentingan seluruh agama yang ada. Lihat lebih lanjut, Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 155.

5

yang kemudian melahirkan konflik dan perselisihan di masa lalu, dapat dihindari ataupun diantisipasi sehingga peradaban generasi era yang kontemporer dapat berkembang menjadi lebih baik.

Kemajemukan bangsa Indonesia bagai dua sisi mata pisau yang sangat berlainan, di satu sisi memang merupakan sumber potensi kekayaan budaya yang sangat berharga, namun di sisi yang lain kemajemukan itu juga dapat menjadi sumber potensi keresahan, ketegangan, perselisihan dan konflik sosial.8 Terkait hal ini, kemampuan dalam mengelola perbedaan dan keragaman merupakan kunci utamanya.

Salah satu sistem keyakinan atau kepercayaan lokal yang perkembangannya penuh dengan dinamika, baik itu yang bersifat positif maupun negatif, adalah perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS). Sebagai sebuah sistem kepercayaan masyarakat tradisional, sejarah dan perkembangan ADS merupakan tema yang menarik untuk dikaji. Selain itu, interaksi dan interseksi ADS dengan Islam yang cukup intens membuat tema ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius, tidak hanya dari para peneliti maupun penggiat kelompok kebatinan dan kepercayaan lokal saja, melainkan juga dari para akademisi Islam. Hubungan dialektis antara ADS dengan Islam telah ada sejak abad ke-19 di masa pemerintahan kolonial Belanda, hal itu dapat disisir dari perjalanan hidup perintis dan pemimpin pertama ADS, Madrais, yang memang pada awalnya merupakan seorang mursyid tarekat dan pemuka agama Islam. Dalam aspek yang bersifat horizontal, ADS juga banyak terlibat konflik dan masalah dengan kaum muslim ortodoks, yang salah satu akar masalahnya dipicu oleh anggapan mengenai ADS sebagai kelompok sempalan Islam.9 Sejumlah hal yang terkandung di dalam aspek teologis

8 Imam Tholkhah, Mewaspadi dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2001), hlm. 1.

9 Menurut Bruinessen, istilah "gerakan sempalan" merupakan istilah yang mulai menjadi populer pada beberapa tahun terakhir awal 1990-an di Indonesia. Ia

6

dan doktrin aliran kebatinan yang akan disinggung kemudian menunjukkan unsur-unsur yang berkaitan dengan agama Islam. Hubungan ADS dengan Islam yang dekat tersebut membuat penelitian ini menjadi tema yang sangat relevan untuk dapat digeluti oleh para cendekiawan muslim.10

Pada dasarnya, ADS merupakan salah satu kepercayaan lokal di Nusantara yang dipercayai oleh sejumlah masyarakat yang tersebar di wilayah Cigugur, Kuningan, beserta beberapa daerah lainnya di Jawa Barat. Secara historis, ADS yang juga dikenal sebagai Igama Djawa Soenda Pasoendan ataupun Madraisme, didirikan oleh Pangeran Sadewa Alibassa Widjaja Ningrat atau Madrais pada abad ke-19. Sebelum mendirikan ajaran ini, ia mengembara ke sejumlah tempat di Jawa Barat untuk mencari makna hidup. Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak yang sangat penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda.11 Dalam perkembangannya, ADS menyebar ke sejumlah tempat dan menambahkan, bahwa gerakan sempalan merupakan sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian", kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Lihat, Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), Ulumul Qur'an, Vol. III, No. 1 (1992), hlm. 16-27.

10 Dengan dasar dan latar belakang itu pula lah, penulis menganggap bahwa kajian ini memang relevan dengan visi Program Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menitikberatkan pada integrasi dan kontekstualisasi ilmu. Selain itu, isu mengenai agama lokal memang tengah hangat dalam konteks kajian-kajian Islam yang kontemporer.

11 Lihat lebih lanjut, Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm. 131-136.

7

daerah, seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, , Bogor dan DKI Jakarta. Ketika Jepang mengusir Belanda dan menduduki Nusantara, ADS telah mempunyai pengikut sekitar 200.000 orang.12 Perjuangannya untuk mengembangkan ADS pun tidak mudah, beberapa kali Madrais harus berurusan dengan pemerintah kolonial Belanda. Ketika ia meninggal pada tahun 1939,13 tugas memimpin ADS pun beralih kepada putranya, Pangeran Tedjabuana.

Di masa kepemimpinan yang kedua ini, ADS banyak mendapat tekanan dari kelompok sosial lain yang berseberangan paham dan juga dari pihak-pihak yang berkuasa, khususnya pada masa pendudukan Jepang dan masa Orde Lama karena di kedua periode tersebut ADS pernah secara resmi dibubarkan. Pada tahun 1964, tekanan yang begitu berat menerpa ADS dan para pengikutnya, sehingga membuat sang pemimpin saat itu, Tedjabuana, benar-benar menyerah dan mengumumkan pembubaran ADS. Dengan setengah hati, Tedjabuana meninggalkan aliran kebatinan yang dipelopori dan dikembangkan oleh ayahnya tersebut, lalu ia beralih menjadi seorang penganut agama Katolik.

Merasa terpanggil untuk mengembangkan apa yang telah dimulai kakek dan ayahnya, Pangeran Djatikusumah mulai

12 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda (ADS) dan Sebab-Sebab Penganutnya Beralih Kepercayaan ke Agama Katolik”, dalam Kusman, dkk. (eds.), Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Rangka Memperingati 30 Tahun Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, (Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988), hlm. 203. Suhandi menyebutkan bahwa diaspora kepercayaan Agama Djawa Sunda meluas hingga ke luar Pulau Jawa, yaitu ke wilayah Nusa Tenggara yang letaknya jauh ratusan kilometer dari daratan Jawa. Menurut asumsi penulis, penyebarannya yang pesat ke pelbagai daerah itu berhubungan erat dengan penyebaran masyarakat Sunda yang menganutnya ke wilayah-wilayah tersebut.

13 Sejumlah pihak masih belum menemukan kata sepakat terkait waktu meninggalnya Madrais. Namun, keluarga sang pelopor ADS sendiri mengungkapkan bahwa Madrais meninggal pada tahun 1939. Hal itu semakin dikuatkan oleh nisan makam Madrais yang berangka tahun 1939.

8

membangun kembali masyarakat eks-ADS dengan mendirikan organisasi Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) pada 11 Juli 1981.14 Setelah melalui perjuangan yang hebat di era Orde Baru, ADS benar-benar kembali ke tengah masyarakat secara terang-terangan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hingga saat ini, masyarakat adat Sunda tersebut hidup damai di Cigugur Kuningan bersama para penganut agama-agama lainnya.

Diantara ketiga masa pemimpin ADS, masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana merupakan masa yang paling unik. Pertama, saat itu ADS berkembang pada tiga masa yang berbeda, yaitu masa pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan Republik Indonesia. Perubahan sosio-kulutral yang terjadi begitu cepat di masa itu, turut memengaruhi dinamika dan perkembangan ajaran kebathinan Madraisme. Semua tantangan yang menerpa, mulai dari sikap keras (yang kemudian berubah menjadi lunak) penjajah kolonial, kebijakan oportunis pemerintahan pendudukan Jepang sehingga untuk pertama kalinya ADS dibubarkan, serangan kaum ortodoks dan radikal agama tertentu, sampai pembubarannya akibat tekanan yang sangat berat dari penguasa, tidak menghilangkan kepercayaan yang mereka anut. Perkembangan ADS di tiga masa itu begitu menarik, karena tiap masa perkembangannya pasti memiliki kekhasannya masing-masing. Kedua, pemimpin ADS kedua ini adalah pemimpin adat yang paling baik pendidikannya. Jika Madrais hanya mengenyam pendidikan informal di pesantren dan Djatikusumah hanya selesai sampai tingkat sekolah rakyat (SR) saja, keduanya adalah sekolah dengan kualitas nomor sekian dan diperuntukkan untuk kaum lokal bumiputera, maka Tedjabuana mengenyam pendidikan resmi Belanda HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Walaupun begitu, perkembangan kelompok pemegang adat Sunda di era

14 Didi Wiardi, “Bertahan untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur”, dalam Budi Susanto (ed.), Sisi Senyap Politik Bising, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), Cet. V, hlm. 174.

9

pemimpin kedua ini justru tidak lebih baik ketimbang di masa kepemimpinan dua pemimpin lainnya. Ketiga, Pangeran Tedjabuana dianggap oleh sebagian ahli yang meneliti ADS sebagai pemimpin komunitas kebatinan yang paling lemah dan tidak cakap. Berkali-kali ia beralih keyakinan, hal itu membuat para pengikut komunitas budaya dan spiritual ini kebingungan karena kepribadian pemimpinnya lemah, sangat mudah tertekan dan terkesan tidak memiliki pendirian yang kuat. Tentunya, kepribadian yang dimiliki oleh Tedjabuana itu sedikit banyaknya dipengaruhi oleh proses kehidupan yang telah ia jalani sejak pertama kali dilahirkan ke muka bumi ini dan hal itu belum banyak mendapat perhatian dari para peneliti yang mengkaji ADS sebagai tema penelitiannya.

Jika dikaji dalam konteks kekinian, tema ini tentu amatlah menarik karena dengan mengkajinya akan mempermudah pemahaman mengenai anatomi sejarah agama dan kebudayaan, terutama yang berkaitan dengan strategi dan cara yang dilakukan oleh sebuah aliran kebatinan (sebagai kaum minoritas) di Indonesia untuk mempertahankan keyakinan atau kepercayaan yang dianutnya tersebut dari pelbagai macam rongrongan dan tantangan yang datang dari luar. Selain sebagai bentuk dinamika pengkajian sejarah panjang agama dan kepercayaan di Indonesia, studi ini juga memiliki tujuan memperoleh suatu cara pandang progresif mengenai pendekatan multidimensional dalam sejarah kebudayaan dan agama. Fenomena keyakinan, akulturasi mistik tradisional dan Islam, kultur masyarakat, kecemburuan dan konflik sosial yang bersifat paternalistik, motif-motif ekonomis dalam aspek religiusitas masyarakat dan sejumlah fenomena lain yang juga terjadi, menarik untuk dikaji secara utuh guna mendapatkan pengetahuan dan pemahaman akan gejala-gejala sejarahnya yang lebih korelatif, integratif dan juga komprehensif.

10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada satu masalah yang ingin dikemukakan dan akhirnya dicarikan jawabannya melalui penelitian ini, yaitu: Agama Djawa Sunda (ADS) yang pertama kali digagas oleh Madrais sejak pertengahan abad ke-19 ini telah berusia cukup panjang. Dengan pemimpin atau pemuka yang berbeda, ajaran ini telah melewati pelbagai masa kekuasaan, mulai dari masa kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, Pemerintahan Penjajahan Jepang, sampai masa Pemerintahan Republik Indonesia kini. Dalam hal ini, Pangeran Tedjabuana merupakan satu-satunya pemuka ajaran yang memimpin kepercayaan ini selama tiga masa kekuasaan yang berbeda, dua masa di era penjajahan dan satu masa di era kemerdekaan, yaitu dari tahun 1939 sampai tahun 1964. Oleh karena itu, penting diketahui, bagaimana perkembangan dan tantangan yang dihadapi ADS dalam kurun waktu Pangeran Tedjabuana memimpin tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara historis dan komprehensif perkembangan serta tantangan yang dihadapi ADS di masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana dalam kurun waktu 1939- 1964 dengan pendekatan yang komprehensif, guna mengetahui ataupun memahami gejala dan proses sejarah ADS yang benar- benar utuh sehingga perkembangannya dapat dikontruksi dengan baik secara holistik dan menyeluruh.

Sedangkan kegunaan dari penelitian tesis ini adalah:

1. Memperkaya khazanah pengetahuan sejarah Nusantara, utamanya mengenai kemajemukan dan keragaman agama di wilayah Jawa;

11

2. Menjadi memori kolektif bangsa melalui suatu peristiwa sejarah, guna merawat keragaman, terutama dalam aspek keagamaan, agar berjalan ke arah yang lebih baik; 3. Menjadi inspirasi bagi studi-studi selanjutnya yang mengangkat dan membahas tema serupa.

D. Tinjauan Pustaka Sebenarnya, sudah ada beberapa tulisan yang membahas mengenai dinamika dan perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Namun, tulisan yang termaktub dalam sejumlah buku maupun laporan penelitian tersebut keberadaannya masih terserak dan kerap kali menjadi materi yang dibahas sepintas saja. Memang, tidak sedikit karya akademis yang memuat ataupun membahas tema ini, tetapi uraiannya hanya seputar perkembangan ADS di era kontemporer dan pemaparannya pun masih sangat terbatas pada satu aspek tertentu saja, baik itu aspek sosial, budaya maupun agama.

Satu literatur yang cukup komprehensif terkait dengan dinamika yang terjadi pada ADS adalah salah satu artikel yang dimuat dalam jurnal Indonesia and the Malay World yang berjudul “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politics of the State: The Survival of Agama Djawa Sunda (Madraism) in Indonesia” karya Zezen Zaenal Mutaqin. Dengan mengambil pendekatan dramaturgi Erving Goffman, Zezen menjelaskan bahwa para pengikut ADS dapat beradaptasi terhadap kekuasaan legal yang ada. Sebagai kepercayaan lokal yang tidak diakui negara sebagai sebuah agama, maka ADS tidak bisa dihayati dengan baik karena masyarakat yang memercayainya diharuskan untuk menganut agama-agama “resmi” negara. Akibat peraturan pemerintah tersebut akhirnya mereka menganut agama yang diakui pemerintah, namun hal itu dilakukan hanya sebagai “front stage” mereka agar bisa hidup tenang di era suatu kekuasaan

12

tertentu. Di balik itu semua, di sisi “back stage”, mereka tetap menjaga kepercayaan mereka terhadap ajaran Madrais sebagai keyakinan yang hakiki. Zezen menyimpulkan bahwa para penganut ADS menggunakan taktik “conversion back and forth” untuk menyiasati kebijakan pemerintah legal yang ada.15 Penelitian yang berusaha mengungkap keadaan kaum minoritas di Indonesia ini menggunakan pendekatan antropologis dan historis dalam uraiannya. Namun, paparan historis yang ada dirasa terlalu singkat karena memang tujuan utama dari studi ini adalah mengungkap taktik yang dipakai oleh penganut ADS untuk mengelola ke-tidak-resmian status agama mereka.

Penelitian yang menekankan aspek sosial mengenai ADS adalah apa yang dikerjakan oleh Syaripulloh yang dipaparkan secara tertulis dalam Jurnal Sosio Didaktika dengan judul Kebersamaan dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (2014). Karya ini merupakan salah satu laporan penelitian yang mengambil objek mengenai kebersamaan dan kerukunan sosial dalam kehidupan majemuk Indonesia dengan kasus masyarakat Cigugur. Laporan ini sebenarnya lebih bersifat sosiologis karena hanya menampilkan sisi harmonis suatu masyarakat yang plural. Dengan mengadopsi uraian fungsionalisme Talcot Parson, masyarakat Cigugur digambarkan sebagai masyarakat yang telah beradaptasi dengan keragaman budaya, lalu berupaya untuk mencapai tujuan bersama, kemudian menyatu dan mempertahankan pola kesatuan masyarakat tersebut sebagai identitas bersama.16 Selain itu, kajian ini hanya terbatas pada masyarakat Cigugur kontemporer, tanpa

15 Lihat lebih lanjut, Zezen Zaenal Mutaqin, “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politics of the State: The Survival of Agama Djawa Sunda (Madraism) in Indonesia”, Indonesia and the Malay World Journal, No. 122, Vol. 42 (2014), hlm. 3.

16 Syaripulloh, “Kebersamaan dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat”, Jurnal Sosio Didaktika, No. 1, Vol. 1 (2014), hlm. 75.

13

menjelaskan secara gamblang mengenai sisi historis masyarakat Cigugur pada dekade-dekade sebelumnya.

Selain itu, tesis Yuyun Wardatul „Uyun yang berjudul Interpersonal Relation: Sunda Wiwitan’s Perception on Environment, juga mengangkat kelompok masyarakat ADS sebagai tema risetnya. Dalam penelitiannya, Yuyun meyakini bahwa worldview masyarakat ADS, yang ia sebut sebagai masyarakat Sunda Wiwitan, telah melahirkan hubungan yang baik antara manusia dan lingkungan.17 Ia juga menguraikan mengenai praktek warga Sunda Wiwitan di Cigugur yang berkontribusi positif terhadap lingkungan dan menjadi dasar penting untuk mengubah sikap mereka terhadap lingkungan serta untuk mengungkapkan tantangan yang dihadapi oleh warga Sunda Wiwitan. Terkait hal ini, ia menulis: “The Practice of Seren Taun has encouraged the harmony in the relationship between the self and the other selves among Sunda Wiwitan Community.”18 Meskipun demikian, studi ini hanya menjabarkan aspek sosial yang kemudian memengaruhi aspek kultural saja. Sisi sejarah yang harusnya ditelaah agar bisa mendapat titik terang mengenai asal muasalnya benar-benar tidak dijelaskan.

Satu penelitian lain yang menjadikan ADS sebagai tema kajiannya adalah penelitian berjudul Latar Belakang Timbulnya Madraisme (ADS) dan Proses Peralihan Para Penganutnya ke dalam Agama Katolik, yang dilakukan oleh A. Suhandi Shm. Dalam uraiannya, penelitian skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Padjajaran ini mencoba menjelaskan asal muasal peralihan keyakinan masyarakat ADS ke agama Katolik dengan lebih menekankan aspek kultural. Ia menjelaskan keadaan sosio-

17 Yuyun Wardatul „Uyun, Interpersonal Relation: Sunda Wiwitan’s Perception on Environment, Tesis tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Central for Religious and Crosscultural Studies [CRCS], Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada), hlm. 133.

18 Yuyun Wardatul „Uyun, Interpersonal Relation ...., hlm. 133.

14

budaya masyarakat Cigugur yang tengah bertentangan pada saat itu, dengan kesimpulan bahwa peralihan keyakinan penganut ADS ke agama Katolik itu disebabkan oleh pendekatan kultural yang dilakukan oleh masyarakat Katolik lebih intensif dan flexible daripada agama-agama lainnya yang diakui oleh pemerintah.19 Namun sayangnya, aspek historis yang harusnya dikupas secara detail untuk mengungkap latar belakang ke-tidak-rukunan dan peralihan keyakinan ini malah dijabarkan secara singkat saja.

Selain itu, ada pula studi Ujang Ma‟ yang berjudul Pikukuh Tilu: Jalan Menuju Kesejatian Manusia (Studi Ajaran Kebatinan Agama Djawa Sunda) (2008), penelitian skripsi Dedi Muliana berjudul Tuhan dan Manusia dalam Perpektif Aliran Kebatinan Agama Djawa Sunda(2010), dan skripsi Didik Hariyanto Implementasi Kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai Falsafah dalam Kehidupan Masyarakat Cigugur (2013), yang kesemuanya lebih menekankan pada aspek ajaran dan ritual yang terkandung dalam Agama Djawa Sunda tersebut.

Melihat sejumlah penelitian itu, diketahui bahwa dari sekian banyak kajian mengenai ADS, belum begitu banyak literatur yang membahas aliran kepercayaan ini secara historis. Kalaupun ada yang mencantumkan sejarahnya, itu hanya dikupas sepintas dan belum ada kajian yang benar-benar membahas sejarah ADS ini secara komprehensif. Selain itu, kekosongan literatur benar-benar terasa ketika Pangeran Tedjabuana memimpin aliran kepercayaan ini. Pembahasan banyak diberikan kepada pendiri ajaran, yaitu Pangeran Madrais dan sang cucu pendiri yang sampai kini masih memimpin ADS, yakni Pangeran Djatikusumah. Oleh karena itu, studi ini akan membahas dinamika yang terjadi pada masa Pangeran Tedjabuana sebagai pelengkap beberapa karya sebelumnya, agar sejarah dan perkembangan Agama Djawa Sunda bisa diketahui secara integratif dan menyeluruh.

19 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda (ADS) ...., hlm. 191.

15

E. Metode Penelitian 1. Pembatasan Masalah dan Periode Penelitian Penelitian ini berupaya merekontruksi perkembangan berbagai macam aliran kepercayaan dan agama lokal yang ada dalam tradisi kesejarahan Indonesia. Agama lokal yang akan dibahas dalam studi ini adalah Agama Djawa Sunda (ADS) yang telah berkembang sejak abad ke-19 di wilayah Jawa Barat. Lokus sejarah yang akan didalami secara komprehensif adalah wilayah Cigugur Kuningan Jawa Barat, walau tidak menutup kemungkinan untuk mencari bukti-bukti lain ke tempat-tempat yang pernah memiliki hubungan dengan ajaran asli Nusantara ini.

Adapun fokus kajian mengenai aspek keragaman agama dan kepercayaan Nusantara ini mengambil rentang waktu antara tahun 1939 sampai dengan 1964. Pemilihan rentang waktu itu bukanlah tanpa sebab, hal ini merujuk pada masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana yang memimpin ADS selama tiga rezim kekuasaan yang berbeda, yaitu masa Pemerintahan Kolonial Belanda, masa Penjajahan Jepang dan masa Kemerdekaan Republik Indonesia. Selama periode itu, perkembangan ADS dipenuhi oleh pelbagai macam konflik dan masalah, baik itu konflik yang sifatnya vertikal maupun horizontal, mengikuti perkembangan arus zaman yang benar-benar tidak menentu dan begitu cepat berubah.

2. Metode dan Pendekatan Penelitian Tujuan akhir dari studi ini adalah penulisan sejarah. Guna sampai pada tahapan itu, terlebih dahulu diharuskan melewati upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah. Makna metode sendiri adalah sebuah cara prosedural untuk berbuat dan mengerjakan sesuatu dalam sebuah mekanisme sistem yang

16

berjalan dengan teratur dan terencana.20 Adapun yang dimaksud dengan metode sejarah disini adalah suatu proses pengujian dan analisis yang dilakukan secara kritis terhadap pelbagai rekaman dan peninggalan yang berasal dari masa lampau.21 Landasan utama metode sejarah ialah bagaimana menangani bukti-bukti sejarah dan kemudian menghubungkan bukti-bukti itu dengan tepat. Seperti kebanyakan penulisan sejarah lainnya, proses itu dapat diawali dengan langkah pengumpulan bukti-bukti sejarah yang ada. Dalam untaian langkah proses ini, bukti tertulis yang berupa dokumen-dokumen merupakan hal yang terlebih dahulu perlu untuk dicari.22

Terdapat lima tahapan yang umumnya harus dilakukan satu demi satu dalam penelitian sejarah, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan.23 Setelah topik sudah dipilih dan ditentukan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengumpulkan sumber- sumber terkait. Sebagian besar sumber yang dikumpulkan adalah berupa dokumen tertulis. Sumber ini dikategorikan dalam dua jenis, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Guna mengetahui perjalanan sejarah kehidupan Pangeran Tedjabuana, pilihan untuk menggunakan tulisan yang diterbitkan oleh keturunannya, serta laporan-laporan kolonial maupun arsip pemerintah sebagai sumber primer menjadi urgensi yang tidak

20 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 217.

21 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Penerj: Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 39.

22 William H. Frederick dan Soeri Soeroto (eds.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 13.

23 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm.89.

17

bisa diabaikan. Salah satu catatan tertulis yang pernah dibuat oleh Djatikusumah, anak sekaligus penerus Pangeran Tedjabuana, adalah Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, catatan pedoman untuk mengenal ADS yang ditulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Sebagai tambahan untuk pengayaan pengetahuan mengenai ADS di masa yang sebelumnya, beberapa laporan mengenai gerakan Madrais yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) turut pula diberdayakan dengan kontekstualisasi zamannya. Laporan- laporan tersebut adalah laporan Pangeran Patih Kraton Kanoman Cirebon tahun 1922, laporan Bupati Kuningan tahun 1925 dan surat Penasehat Urusan Bumiputera kepada Gubernur Jenderal yang dikirimkan pada tahun 1925. Selain itu, kekurangan sumber pertama yang ada akan ditanggulangi oleh keterangan lisan para saksi sejarah yang masih hidup. Penelaahan karangan akademis yang dibuat hampir sezaman turut pula dilakukan.24 Lalu, arsip- arsip pemerintah juga penting disisir terutama yang berangka tahun 1945 - 1964, seperti peraturan pemerintah yang melarang perkembangan ajaran (yang dianggap) sesat dan lain sebagainya. Sedangkan sumber sekunder, merujuk pada data-data yang bukan berasal dari masa seputar kajian historis yang diangkat. Sumber- sumber ini amat membantu dalam menganalisa dan merekontruksi kebangunan peristiwa yang diteliti.

Sumber-sumber yang telah terkumpul, kemudian diuji keaslian dan kesahihan informasinya melalui tahapan yang ketiga, yaitu tahap verifikasi (kritik sumber). Hal penting mengenai kritik adalah otentisitas dan validitas sumber melalui pelaksanaan kritik ekstern (luar) dan intern (dalam). Tujuan kritik internal sendiri adalah untuk memperoleh data-data sejarah melalui dokumen-

24 Beberapa karangan yang dimaksud adalah penelitian skripsi berjudul Latar Belakang Timbulnya Madraisme (ADS) dan Proses Peralihan Para Penganutnya ke dalam Agama Katolik karya A. Suhandi Shm yang dibuat tahun 1968, empat tahun setelah dibubarkannya ADS oleh Tedjabuana. Selain itu, ada pula tulisan-tulisan A.M. Basuki Nusaningrat, pengikut setia Tedjabuana yang juga ikut beralih ke agama Katolik. Tulisannya tersebar di pelbagai macam media cetak.

18

dokumen dan sumber-sumber kesejarahan.25 Setelah melalui proses verifikasi, data-data yang dikumpulkan akan menghasilkan fakta.26 Perlu diketahui, fakta-fakta yang ada tidak dapat menjelaskan suatu hal apapun kepada kita tanpa adanya pelbagai macam tafsiran yang dilakukan oleh manusia.27 Setelah fase pengujian dan analisis dilakukan, fakta-fakta yang dihimpun kemudian disintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Historiografi (atau penulisan sejarah) sebagai terminal akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan selalu mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.28 Penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimana pun baru dapat dikerjakan setelah penelitian telah dilakukan, karena tanpa penelitian maka gurat tulisan ituhanyalah sebuah rekontruksi tertulis yang tidak memiliki dasar pembuktian dan pembenaran.29

Pendekatan yang diambil dalam penelitian sejarah ini adalah deskripsi kualitatif melalui cara pandang sosiologis- antropologis atau dengan kata lain penelitian kualitatif sejarah dengan pisau analisis pendekatan sosiologi dan antropologi. Karena penelitian ini mengenai perjalanan sejarah tentang suatu gerakan keagamaan yang secara berkesinambungan atau terus menerus berjalan dan merupakan penelitian yang berusaha

25 Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Penerj. Mu‟in Umar dkk., (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG, 1986), hlm. 112.

26 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 152.

27 William H. Frederick dan Soeri Soeroto (eds.), Pemahaman Sejarah Indonesia ...., hlm. 14.

28 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 91-93.

29 Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, hlm.3.

19

mengungkap proses serta mekanisme, maka penggunaan deskripsi kualitatif adalah suatu keharusan. Untuk penelitian yang menitikberatkan pada pengungkapan proses atau mekanisme yang sedemikian itu, maka cara yang paling cocok dan relevan untuk digunakan adalah penelitian kualitatif. Pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang perhatian studinya dipusatkan pada interaksi yang terjalin di antara agama dan masyarakat.30 Adapun yang dimaksud dengan pendekatan antropologis adalah pendekatan yang memandang praktik-praktik sosial yang diteliti secara kontekstual dan esensial sebagai praktik yang memiliki kaitan satu sama lain dalam masyarakat.31

Sementara itu, untuk mengkaji sejumlah data dan fenomena yang ditemukan di lapangan, penulis mengadopsi paradigma la annales yang diperkenalkan oleh Lombard di dalam kajian mengenai Indonesia agar data bisa dianalisis secara menyeluruh dan menghasilkan fakta sejarah. Dalam karyanya, Humaedi menuliskan bahwa paradigma la annales yang dimaksud di dalam sebuah penelitian sosial adalah suatu paradigma unik di dalam penelitian sejarah. Secara praktis, dalam pendekatan asal negeri anggur ini, penelitian terhadap fakta-fakta sosial di masa lalu lebih menitikberatkan aspek oral tradition atau lisan daripada aspek literatur teks atau tulisan yang dianggap secara terbatas sebagai pembantu tradisi oral.32

30 Michael S. Northcott, “Pendekatan Sosiologis”, dalam Petter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 271.

31 David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis”, dalam Petter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan ...., hlm. 34.

32 Lihat lebih lanjut, M. Alie Humaedi, Islam dan Kristen di Pedesaan Jawa: Kajian Konflik Sosial Keagamaan dan Ekonomi Politik di Kasimpar dan Karangkobar, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), hlm. 50.

20

3. Teknik Pengumpulan Data Analisa yang dilaksanakan tidak akan banyak berarti apabila pengumpulan data dilakukan dengan keliru. Dalam studi ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan pelbagai macam informasi yang ada dari pembacaan dokumen- dokumen (melalui arsip, buku-buku perpustakaan, artikel dan majalah) sebagai sumber-sumber tertulis dan dari data-data sosial atau kultural yang ditemukan di lapangan. Untuk mendapatkan dokumen-dokumen terkait dalam penyusunan tesis ini, penulis juga melakukan kajian pustaka (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat pelbagai macam literatur dan kemudian mengolah bahan-bahan penelitian yang berupa dokumen itu.33 Dari kajian pustaka tersebut diharapkan dapat ditemui fakta-fakta baru yang bisa diketengahkan guna membantu analisa kajian ini. Kemudian untuk data yang berasal dari lapangan, diperoleh melalui proses observasi (pengamatan) dan interview (wawancara) yang dilakukan secara langsung oleh peneliti di Cigugur sebagai latar utama lapangan penelitian dan beberapa tempat lainnya guna mendukung keabsahan dan kebenaran data yang telah berhasil didapatkan. Pengamatan (observasi) ditujukan kepada lingkungan fisik dan sosial. Kondisi fisik yang diamati meliputi pemukiman penduduk dan daerah alam sekitar Cigugur. Pengamatan terhadap aspek sosial mencakup kehidupan masyarakat sehari-hari dalam hubungan personal, kelompok dan lingkungan. Sedangkan untuk wawancara, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yang mendalam (indepth interview). Melalui wawancara mendalam, informasi mengenai pengetahuan dan pengalaman individu dapat digali lebih mendalam dan mendetail serta data mengenai keterkaitan antara satu aspek dengan aspek lainnya dalam suatu masalah dapat diperoleh secara lebih lengkap.

33 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 3.

21

Dengan cara demikian (pendalaman) dapat diperoleh data yang lebih utuh dan menyeluruh mengenai suatu aspek. Wawancara merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah di masa lalu. Jika diperhatikan dengan seksama, teknik ini merupakan bagian dari metode sejarah lisan. Sejarah lisan menjadi sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, guna mengatasi kelangkaan dokumen-dokumen tertulis. Metode semacan ini dapat digunakan dalam proses penelitian dan pengungkapan sejarah, terutama untuk menggali pelbagai macam peristiwa misterius yang masih diselimuti awan gelap dan kelam di masa lalu.34

4. Teknik Penulisan Agar unsur ilmiah suatu riset tetap terjaga, maka penulisan yang berkarakter akademis merupakan hal yang mutlak dilakukan. Oleh karena itu, sebuah penelitian sudah sepantasnya memiliki pedoman penulisan yang kredibel. Adapun pedoman penulisan penelitian ini adalah buku Pedoman Penulisan: Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011.35 Selain itu, penulis juga menggunakan buku pedoman penulisan karya ilmiah yang berasal dari lingkungan akademis sejarah yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, yaitu Universitas Indonesia. Buku itu adalah

34 John Roosa dan Ayu Ratih, “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektivitas”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV- Jakarta, 2008), hlm. 177.

35 Tim Penulis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan: Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

22

Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Universitas Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 2009.36

F. Kerangka Teori

Sebagaimana diketahui, riset sejarah memiliki dimensi yang luas. Masa lalu menjadi teks yang terbuka guna ditelaah dari pelbagai sisi dan pendekatan. Perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS) yang penuh rintangan di masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana menjadi tema utama dalam studi ini. Secara internal, ADS merupakan ageman atau hal yang menjadi tuntunan masyarakat penghayatnya untuk hidup di dunia ini.37 Sedangkan secara eksternal, masyarakat yang berada di luar kelompok ini melihat ADS sebagai sebuah agama lokal, aliran kebatinan/ keyakinan, atau bahkan sebagai kepercayaan yang sesat.

Agama lokal adalah istilah yang disematkan pada sistem kepercayaan asli Nusantara, yaitu agama tradisional yang telah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama besar yang sekarang menjadi agama resmi negara, seperti, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen di bumi Nusantara ini.38 Agama lokal juga seringkali disebut sebagai agama asli atau agama pribumi, yang menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut sebagai keyakinan yang tumbuh, berkembang dan berasal dari peradaban masyarakat asli setempat. Istilah agama lokal merupakan antitesa atas istilah

36 Tim Penulis Universitas Indonesia, Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Universitas Indonesia, (Depok: Universitas Indonesia, 2009).

37 Wawancara dengan salah satu penghayat ADS yang menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, Pak Ira Indrawardana, 30 April 2015. Hakikat agama dan ADS dijelaskan dalam bab III.

38 Ahmad Muttaqien, “Spiritualitas Agama Lokal (Studi Ajaran Sunda Wiwitan Aliran Madrais di Cigugur Kuningan Jawa Barat)”, Jurnal Al Adyan, No. 1, Vol. VIII (2013), hlm. 89.

23

agama luar atau agama “impor”, yaitu kepercayaan yang berasal dari sejumlah peradaban luar Nusantara. Penyebaran ADS yang hanya terbatas di wilayah Jawa bagian barat atau bisa dikatakan hanya berkembang di daerah orang Sunda saja, membuat banyak orang menyatakan bahwa kepercayaan mereka hanyalah suatu kepercayaan lokal dan karena itu Tuhannya pun hanya bersifat lokal semata.39 Adapun aliran kebatinan, menurut Mr. Wongsonegoro adalah pelbagai pikiran atau tindakan yang memiliki dasar kekuatan supranatural dan bersifat sakral yang mencari dan ingin mengetahui hal-hal nyata yang tersembunyi dibalik semua fenomena alam.40 Pada hakekatnya, aliran kebatinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan unsur- unsur lokal dan identitas asli masyarakat Indonesia. Kebatinan adalah cara khas yang berkembang di Indonesia untuk mendapatkan kebahagiaan. Di masa kekuasaan Orde Lama, ADS pernah dikelompokkan sebagai suatu aliran kebatinan. Oleh karena itu, Tedjabuana sering mewakili ADS untuk aktif dalam pelbagai kegiatan Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Sebagai gejala umum yang ada di bumi Nusantara, kebatinan mengembangkan kenyataan rohani atau sisi dalam manusia (inner reality). Karenanya, selama masyarakat Indonesia memiliki dan memegang identitasnya yang asli, maka kebatinan itu akan tetap ada, baik bercampur ke dalam suatu agama maupun tetap berada di luarnya.41 Sementara itu, kepercayaan sesat merupakan

39 Dalam pandangan Weber, kelahiran tuhan-tuhan lokal (sebagai sumber dasar suatu agama) tidak hanya diasosiasikan dengan suatu lokus-lokus permanen saja, namun juga dikaitkan dengan kondisi-kondisi lain yang menandakan asosiasi lokal sebagai suatu agensi dengan asosiasi kultik dan politiknya. Baca lebih lanjut, Max Weber, Sosiologi Agama: Sejarah Agama, Dewa, Taboo, Nabi, Intelektualisme, Asketisme, Mistisisme, Etika Religius, Seksualitas dan Seni, Penerj. Muhammad Yamin, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002),hlm. 27.

40 Rahmat Subagya, Kepercayaan (Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan) dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), Cet. II, hlm. 34.

41 Sumantri Mertodipuro, “Aliran Kebatinan di Indonesia”, Mayapada, No. 1 (September 1967), hlm. 13.

24

kepercayaan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan suatu ketetapan agama tertentu. Biasanya, penyematan kata sesat tersebut berasal dari kelompok-kelompok lain yang tidak menyukainya. Hal ini pernah terjadi pada para penghayat ADS ketika mereka terlibat konflik dengan kelompok kepercayaan lain, khususnya penganut Islam radikal. Penetapan kata sesat seringkali dilakukan oleh otoritas penguasa karena adanya tekanan dari kelompok agama besar yang dominan.

Agama Djawa Sunda adalah nama sebuah ageman yang dirintis oleh Kyai Madrais sejak abad ke-19. Di masa Belanda, saat Madrais memimpin, ajaran ini dikenal sebagai Igama Djawa Pasoendan, sedangkan di masa kepemimpinan Tedjabuana sebagai penerusnya, ajaran ini disebut dengan Agama Djawa Sunda.42 Adapun di masa periode yang ketiga, ketika Djatikusumah berdiri sebagai pemimpin dari tahun 1981 sampai sekarang, apa yang dimulai oleh Madrais ini kembali berubah nama menjadi Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan. Meskipun begitu, istilah Djawa Sunda tetap menjadi trademark dari kepercayaan ini, penamaan tersebut sangat terkenal di tengah masyarakat luas. Sekilas, penamaan atas ajaran Madrais ini seakan menjurus ke arah suku dan budaya tertentu, yaitu ke arah suku Jawa dan Sunda, seolah-olah menunjukkan bahwa aliran kebatinan ini hanya mengkhususkan diri pada kedua suku tersebut. Kenyataannya, nama Djawa Sunda berasal dari suatu singkatan. Kata Djawa, jika diurai lebih panjang berasal dari kata andjawat dan andjawab, yang artinya adalah menyaring atau menampung dan melaksanakan. Sementara itu, kata Sunda berasal dari kata roh susun kang den tunda, sun diambil dari kata susun dan da diambil dari kang den tunda sehingga jika digabungkan menjadi kata Sunda yang memiliki arti pelbagai macam zat hidup

42 Sebenarnya, perubahan nama komunitas dari Igama Djawa Soenda Pasoendan ke Agama Djawa Sunda itu hanyalah merupakan penyesuaian dengan kemajuan bahasa dan ejaan karena secara tekstual maupun kontekstual makna dari keduanya tidak jauh berbeda.

25

yang terdapat dalam segala sesuatu yang dihasilkan oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan atau bumi. Singkatnya, Sunda dapat diartikan sebagai zat-zat yang ada di dalam bumi.43 Dalam hal ini, bisa dikemukakan bahwa bumi beserta isinya memiliki sejumlah zat yang daya dan kekuatannya bisa memengaruhi diri manusia karena zat-zat itu terus berada di sekitar manusia dan kemudian meresap kedalam dirinya. Pengaruh itu merasuk ke dalam jiwa melalui pelbagai macam panca indera yang dimiliki oleh setiap manusia. Agar daya-daya ajaib yang memengaruhi manusia itu tidak berakibat negatif, maka manusia bertugas untuk menyaring segala daya pengaruh tersebut agar dirinya bisa terjaga dari segala tipu daya dunia.

Secara antropologis, sistem kepercayaan itu begitu melekat di dalam setiap masyarakat, dan ADS adalah sistem kepercayaan yang inheren dan berkembang di tengah masyarakat Sunda.44 Kepercayaan ini masih berkaitan dengan kepercayaan Sunda yang paling baheula (dulu), yaitu kepercayaan Sunda Wiwitan, kepercayaan masyarakat Sunda yang paling pertama dan pokok (wiwitan), sesuai dengan namanya.45 Agama asli Sunda semacam itu telah termaktub di dalam Carita Parahiyangan meski dikenal dengan nama yang lain, yaitu agama Jatisunda.46

43 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda ...., hlm. 192.

44 Menurut Ekadjati, istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia yang menunjuk kepada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan, dan sosial. Selain itu, keduanyajuga telah memasuki dunia ilmu pengetahuan. Kedua istilah itu kadang-kadang digunakan untuk menujuk pada pengertian yang sama, tetapi kadang-kadang menunjuk pada pengertian yang nyata bedanya, dan kadang-kadang dicampuradukkan pemakaiannya. Lihat lebih lanjut, Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), Jilid 1, Cet. 3, hlm. 1.

45 Saleh Danasamita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,(Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda [Sundanologi], Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 4-5.

26

Selain melekat sebagai sebuah sistem kepercayaan, konsep Sunda Wiwitan juga sering diidentikan dengan pelbagai komunitas ataupun individu Sunda yang secara kuat dan kokoh mempertahankan budaya spiritual serta tuntunan ajaran leluhur masyarakat Sunda yang dilakukan secara turun temurun.

Dalam kosmologi sistem keyakinan Sunda Wiwitan dan dalam kaitannya dengan pembagian pancen amanat leluhur Sunda, terdapat dua konsep yang berkaitan satu sama lain, yaitu konsep tapa di mandala dan tapa dinagara.47 Sejumlah ahli menyatakan bahwa salah satu wujud dari kepercayaan Sunda Wiwitan adalah melakukan pelbagai macam penghormatan kepada roh nenek moyang agar saudara yang sudah meninggal bisa diterima dengan baik di sisi-Nya. Akibatnya, mereka tidak pernah dikelompokkan sebagai penganut agama Hindu, Buddha, atau pun Islam, melainkan sebagai penganut kepercayaan animisme.48 Namun dalam perkembangan selanjutnya, kepercayaan tersebut diidentifikasikan telah bercampur dan terkontaminasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan lain, seperti

46 Saleh Danasamita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes…., hlm. 85; Lihat pula, Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), Cet. 3, hlm.62.

47 Secara harfiah, tapa di mandala adalah peran dan tugas warga SundaWiwitan yang berada di dalam untuk menjaga kabuyutan peninggalan nenek moyang. Sedangkan untuk konsep yang kedua, tapa di nagara,memiliki pengertian peran dan tugas bagiwarga Sunda Wiwitan yang hidup di luar kewilayahan agar memiliki tugas yang sama walaupun dengan jalan yang berbeda. Lihat lebih lanjut, Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman”, Konferensi Internasional Budaya Sunda II: Revitalisasi Budaya Sunda (Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global), makalah tidak diterbitkan, (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2011), hlm. 12.

48 Dalam pemaparan Durkheim terkait teori animisme, dijelaskan bahwa ide mengenai jiwa sebagai “kekuatan yang lain” itu berasal dari pemahaman sederhana manusia terhadap fenomena kehidupan ganda yang ada dalam keadaan terjaga dan terlelapnya seorang manusia. Baca, Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life, Penerj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, hlm. 84.

27

kepercayaan Hindu dan Islam.49 Jika dilihat dari kacamata Mulder, akulturasi maupun asimilasi yang terjadi pada sistem keyakinan masyarakat Sunda Wiwitan tersebut dapat dianggap sebagai suatu hal yang wajar terjadi. Dalam pandangannya, agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, bukanlah agama murni yang semurni asalnya, melainkan hasil dari perpaduan pelbagai macam agama dan kepercayaan yang berasal dari luar dengan peradaban Jawa kuno yang berasal dari dalam.50

Tema penelitian ini sangat berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia di tiga zaman yang berbeda, hal itu akan memudahkan banyak orang untuk mengetahui tipe-tipe situasi sosial khas yang ada di setiap masa. Oleh sebab latar belakang studi yang diangkat banyak mengandung unsur lokal dan kekuasaan, maka penelisikan kembali penggal-penggal relasi antara situasi sosial dan pilihan keyakinan merupakan hal yang harus dilakukan. Selain itu, keadaan sosial, kultural, dan politik yang memang sedang berada dalam masa yang membingungkan juga turut menjadi hal penting yang patut ditelaah secara mendalam.

G. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pembahasan materi kajian, hasil penelitian ini secara umum akan ditulis secara urut, logis dan

49 Edi S. Ekadjati,Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Bandung: Girimukti Pasaka, 1995), hlm. 72. Untuk informasi yang lebih komprehensif, baca lebih lanjut, N.J.C. Geise, Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten, (Leiden: Leiden University, 1952), hlm. 204; Lihat pula, Judistira K. Garna, Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia, (Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988).

50 Lihat lebih teliti karangan Niels Mulder, in Java: Ideology in Indonesia, (Amsterdam: The Pepin Press, 1998), hlm. 14.

28

terstruktur. Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk tesis ini berisikan lima bab, dengan uraian sebagai berikut:

Bab 1. Pendahuluan; pada dasarnya, bab ini berusaha menjelaskan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, kerangka teori, serta yang terakhir dan tengah dibahas, yaitu sistematika penulisan. Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab berikutnya.

Bab 2. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Politik; pada pembahasan di bab yang kedua ini berkaitan dengan latar belakang wilayah Cigugur Kuningan sebagai tempat yang akan diteliti. Permasalahan yang dibahas dalam bab ini adalah uraian mengenai kondisi sosial budaya yang memuat struktur sosial masyarakat dan dialektika budaya para penduduknya. Dialektika tersebut merupakan hubungan dua arah antara masyarakat dengan cipta karyanya. Kemudian hal yang akan dijabarkan adalah kondisi ekonomi politik masyarakat. Di dalamnya, pembahasan akan dimulai dengan latar ekologis dan hasil alam daerah, lalu distribusi pekerjaan dan perdagangan yang menjadi penggerak ekonomi masyarakat, dan terakhir sistem serta administrasi pemerintahan yang tentu memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada dinamika kehidupan sosial masyarakat. Tidak lupa, aspek politik turut pula diuraikan dalam bagian ini.

Bab 3. Hakikat, Asal Usul dan Ajaran Agama Djawa Sunda; bab ini dapat dianggap sebagai pengantar terhadap pembahasan utama penelitian yang terurai di bagian selanjutnya. Bab ketiga ini mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan teori dan hakikat agama yang kemudian dikaitkan dengan konsep, asal usul serta ajaran Agama Djawa Sunda (ADS). Dalam bab ini, pembahasan dimulai dari uraian pelbagai teori agama yang selanjutnya dihubungkan dengan hakikat agama dan ADS. Lalu, riwayat hidup sang pendiri, Madrais, dijabarkan dengan runut mulai masa kecil dalam lingkungan keluarga, proses pendidikan,

29

sampai akhirnya ia menggagas dan memimpin Agama Djawa Sunda. Selanjutnya, segala hal yang berkaitan dengan ajaran ADS dikupas secara menyeluruh dengan pendekatan literatur-literatur yang membahas secara umum dan khusus terkait inti ajaran aliran kebatinan tersebut. Paparan ini terkait manifestasi ajaran yang berwujud dalam sejumlah hal yang berbeda. Aplikasi ajaran yang kemudian berkaitan erat dengan aspek sosial kultural kemasyarakatan turut pula dijabarkan di dalamnya.

Bab 4. Perkembangan Agama Djawa Sunda 1939-1964; pada bab empat ini, penulis mengetengahkan dinamika dan perkembangan Agama Djawa Sunda di era kepemimpinan Pangeran Tedjabuana. Hal pertama yang dijabarkan disini adalah riwayat kehidupan pemimpin ADS kedua ini, yang kemudian dilanjutkan dengan penjabaran secara analitis proses peralihan kepemimpinan dari Pangeran Madrais kepada Pangeran Tedjabuana yang memimpin aliran kebatinan ini selama tiga zaman yang berbeda. Lalu, tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh Pangeran Tedjabuana beserta pengikutnya pun turut dijabarkan dalam bab ini, baik itu tantangan yang berasal dari kaum pendudukan Jepang, aparat pemerintah Republik Indonesia, maupun umat beragama yang berseberangan dengannya. Pada akhir bagian bab ini, detik-detik akhir kepemimpinan Tedjabuana dipaparkan. Dimulai dari kebijakan pemerintah yang merugikan ADS dan kemudian lambat laun melumpuhkannya secara sistematis. Proses ini berjalan dengan sangat tragis karena pada akhirnya, Tedjabuana yang tengah terbaring menahan lara, harus beralih kepercayaan untuk memeluk salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah guna melindungi kehidupan diri, keluarga dan para pengikutnya. Kepemimpinan ADS dan nasib para pengikutnya setelah pembubaran di masa Tedjabuana pun turut pula diuraikan sebagai bagian terakhir pada bab keempat ini.

Bab 5. Kesimpulan; bab kelima ini merupakan bagian pemaparan akhir penelitian, akan diuraikan kesimpulan atas seluruh paparan tesis ini. Harapannya, bagian ini dapat menarik

30

benang merah dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan yang bisa dipahami sebagai sebuah studi akademis mengenai perjalanan historis keberagaman agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia.Selain itu, bab ini sekaligus menjadi bab penutup dan merupakan bagian tesis yang paling terakhir.

BAB II

KEADAAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI POLITIK

A. Kondisi Sosial Budaya

1. Masyarakat dan Struktur Sosial Masyarakat Cigugur merupakan masyarakat pedesaan yang mata pencaharian utamanya adalah petani. Seperti daerah Sunda pada umumnya, mata pencaharian di bidang pertanian ini adalah kehidupan yang sangat dekat dengan mereka.1 Wilayah Cigugur yang subur dimanfaatkan dengan baik oleh para penduduknya untuk mengembangkan bidang pertanian. Mayoritas lahan yang ada di desa itu digunakan sebagai areal persawahan dan ladang yang menunjang kehidupan ekonomi masyarakat.2 Dari zaman kerajaan tradisional, penjajahan bangsa asing sampai zaman kemerdekaan ini, hal itu tetap berjalan.

Berbicara mengenai pertanian dan pedesaan, maka pembahasan mengenai tanah pun harus dilakukan. Sejak dulu, persoalan mengenai tanah adalah hal yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan pedesaan, bahkan kekayaan suatu desa tergantung dari luas dan kesuburan tanahnya.3 Sebagai penunjang

1 Menurut Raden Hasan Mustapa, orang Sunda atau orang Priangan adalah salah satu kelompok masyarakat yang pertama kali dekat dengan kehidupan bercocok tanam. Lihat, R.H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Orang Sunda, Penerjemah: Maryati Sastrawijaya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm.83.

2 Hingga saat ini, sebagian besar wilayah Cigugur masih dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Menurut data tahun terakhir, wilayah darat Cigugur yang luasnya sekitar 300,15 Ha itu lebih dari separuhnya digunakan sebagai lahan persawahan, tegalan dan kebun. Lihat lebih lanjut, Kasi Pemerintahan Kelurahan Cigugur, Laporan Kinerja Tahun 2014 dan Rencana Kerja Tahun 2015, Peny. Yayat Hidayat, (Cigugur: Pemerintah Kelurahan Cigugur, 2014), hlm. 4-6.

3 Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Alih bahasa: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), hlm.70.

31

32

utama pertanian yang menjadi pijakan hidup masyarakat, hak atas tanah pun diperebutkan dari masa ke masa. Di masa kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional, pemilik tanah adalah raja dan ia bisa secara leluasa memberikan tanah apanage atau tanah lungguh itu kepada bawahannya sebagai gaji atau kepada siapapun yang ia kehendaki. Namun tentu tanah yang telah diberikan itu dapat dengan mudah dipinta ataupun diambil kembali oleh sang penguasa.4 Setelah kekuasaan asing masuk, pemerintah kolonial menjadi pemilik mutlak tanah. Penguasa- penguasa kolonial dan kebijakan yang dikeluarkannya, seperti Daendels, Raffles, Sistem Tanam Paksa dan Undang-Undang Agraria, telah berdampak pada tanah pedesaan dan penduduknya tanpa memerhatikan adat maupun struktur masyarakat setempat.5 Kemudian, perdebatan mengenai hak atas tanah di Jawa mengalami perkembangan yang lebih baik pada awal abad ke-20, ketika konsep hukum adat (customary law) yang digagas oleh Van Vollenhoven menjadi terkenal. Setelah melakukan penelitian tentang adat dan tradisi di hampir seluruh Kepulauan Hindia Timur, ia menyatakan bahwa penghormatan atas hukum adat dan tradisi penduduk asli Hindia Belanda harus diatur dengan lebih bijaksana. Dalam uraiannya, ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat desa mempunyai hak atas tanah (desa) mereka sedangkan hak atas tanah yang dimiliki oleh orang luar (atau orang asing) perlu dilakukan pembatasan.6

4 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 43-45; Lihat pula, Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 64.

5 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Penerj. Mien Joebhaar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 20-21.

6 Robert van Niel, “Rights to Land in Java”, dalam T. Ibrahim Alfian (eds.),Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo),(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), Cet. II, hlm. 146-147.

33

Penduduk Cigugur adalah masyarakat yang agraris. Dalam masyarakat yang demikian itu, tanah merupakan hal yang sangat penting karena menjadi sumber produksi dan kekayaan yang utama. Oleh karena itu, kepemilikan atas tanah membawa prestise dan derajat yang sangat tinggi. Sebagai akibatnya, maka penggolongan atau klasifikasi penduduk masyarakat saat itu sangat didasarkan atas kepemilikan tanah.7 Menurut Kartodirdjo, struktur sosial masyarakat pedesaan dengan dasar kepemilikan atas tanah semacam itu umumnya terdiri dari tiga golongan, yaitu petani kaya, petani sedang dan petani miskin. Ia menguraikan hal itu dengan dasar kepemilikan tanah petani, mulai dari yang memiliki luas sawah kurang dari 0,5 ha, lalu antara 0,6 - 5 ha, dan di atas 5 ha. Di samping itu, terdapat satu lapisan lain yang tidak memiliki tanah tetapi turut bekerja di areal pertanian yang disebut sebagai buruh tani.8 Meskipun struktur sosial masyarakat agraris pedesaan di hampir setiap tempat di Jawa umumnya tersusun seperti itu, nyatanya terdapat lapisan-lapisan lain yang juga memiliki tempat “khusus” di tengah masyarakat, baik itu lapisan yang bersifat religius, yang bersifat formal struktural dalam bidang pemerintahan maupun yang bersifat sosial tradisional.

Dalam bidang keagamaan, khususnya di wilayah Jawa Barat, sosok haji, ajengan, ustadz dan kyai merupakan anggota masyarakat yang biasanya menempati posisi sosial yang cukup tinggi di dalam masyarakat. Hal itu terjadi di daerah yang hampir semua penduduknya memeluk agama Islam. Status kelompok agama semacam ini sangat tinggi karena mereka dipandang sebagai simbol prestise sosial. Terkait hal ini, pendiri Agama

7 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Penerj. Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 56.

8 Puncak struktur agraria dihuni oleh petani kaya yang merupakan kelas tuan tanah besar, yaitu orang-orang dengan hak-hak kepemilikan atas tanah yang mempunyai wewenang khuusus sehingga dapat mendistribusikannya kepada para penyewa dan sub- penyewa, termasuk di dalamnya. Lihat lebih lanjut, Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Penerj. Poeradisastra, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 113.

34

Djawa Sunda (ADS) pernah disebut dengan nama Kyai Madrais karena ia termasuk orang yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Islam. Selain itu, adapula nama Kyai M. Tohir, sahabat Kyai Madrais di pesantren yang belakangan justeru keduanya saling berseteru karena berebut pengaruh di dalam masyarakat.9 Bagi masyarakat Islam di pedesaan, seorang kyai memegang peran untuk membentengi umat dan cita-cita Islam terhadap ancaman kekuatan-kekuatan sekuler dari luar. Kyai merupakan pemimpin karismatik dalam bidang agama.10 Seorang kyai memiliki kemampuan untuk memengaruhi masyarakat dengan pelbagai macam keuntungan. Sosok pemuka agama Islam ini akan menjadi pemimpin yang kharismatik ketika ia mendapatkan legitimasi berupa penerimaan kekuatan mistis yang luar biasa.11 Selain mengajar dan menjadi guru agama, seorang kyai biasanya juga menjadi perantara Islam. Ia tidak hanya berperan sebagai media penghubung aspek ajaran dan tuntunan agamanya saja, namun juga menjadi mata rantai utama bagi perkembangan Islam beserta budaya Arab di suatu tempat.12 Hal itu bisa terjadi karena Kyai memiliki kesamaan identitas lingkungan dan mata

9 Departemen Agama RI, Deskripsi Aliran Kepercayaan/Paham-Paham Keagamaan, (Jakarta: Lembaga Kerohanian/Keagamaan, 1975), hlm. 14.

10 Ajengan, ustadz, kyai dan ulama adalah gelar ahli agama Islam yang terdapat di wilayah sekitar Jawa Barat. Orang-orang yang mendapat atribut seperti itu fasih dan mempunyai kemampuan yang cermat dalam membaca pikiran pengikut-pengikutnya. Sifat khas dari seorang kyai adalah berterus terang, berani dan blak-blakan dalam bersikap. Lihat, Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Penerj. Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987), hlm. 1.

11 Ferry Muhammadsyah Siregar, Nur Kholis Setiawan dan Robert Setio, “Religous Leader and Charismatic Leadership in Indonesia: The Role of Kyai in Pesantren in Java”, Kawistara, No. 2, Vol. 3 (Agustus 2013), hlm.142.

12 Geertz menyebut kyai sebagai cultural broker (perantara kebudayaan) karena peran seorang kyai adalah mengajarkan Islam, yang merupakan agama dari Arab, kepada masyarakat Nusantara yang tentu memiliki adat, tradisi dan budaya yang berbeda. Untuk keterangan yang lebih lengkap, lihat, Clifford Geertz, “The Javanese Kijai: The Changing Role of a Cultural Broker”, CSSH, Vol. II (1959 - 1960), hlm. 228-249.

35

pencaharian dengan masyarakat di sekitarnya. Melalui kedekatan itu, kyai bisa menjalin komunikasi dengan masyarakat secara akrab. Selain itu, kedudukan seorang kyai sebagai elit religius turut pula menjadikannya sebagai sosok yang penting didalam sebuah komunitas masyarakat.13 Pada umumnya, hampir di semua lingkungan Islam, seorang kyai dipandang terhormat dan menjadi key person bagi sebuah masyarakat.

Untuk haji sendiri, mereka memiliki sejumlah peran lain dalam masyarakat. Diantara mereka ada yang berperan sebagai tuan tanah, pedagang dan bahkan pekerja kolonial.14 Di masa pendudukan Jepang, para tokoh agama Islam memiliki status yang sangat tinggi karena Jepang memiliki kepentingan politik terhadap umat Islam Indonesia. Hal itu bisa terjadi karena sebagai keyakinan mayoritas, Islam memiliki posisi yang sangat sentral dan strategis bagi pengerahan massa guna melanggengkan kepentingannya di tanah Nusantara dan dalam Perang Pasifik.15 Setelah Indonesia merdeka, posisi para pemimpin Islam tetap berada di tempat yang tinggi. Secara umum, peran mereka dalam memimpin kegiatan rohani masyarakat menjadikan para pemimpin agama itu memiliki status yang sedikit berbeda dari kalangan lainnya.

13 Amir Fadhilah, “Struktur dan Pola Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren Jawa”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011, hlm. 103.

14 Para haji yang bekerja sebagai pegawai kolonial biasanya menjadi seorang penghulu. Mereka adalah tokoh agama yang penting, meskipun peran agama dan politik mereka dibatasi oleh pemerintah kolonial. Salah satu haji yang bekerja kepada Belanda adalah Haji Moehamad Moesa. Ia menjadi seorang hoofdpanghulu (kepala penghulu) Limbangan (sekarang Garut) dan mendapat gaji sebesar 900 gulden per tahun, ditambah uang kompensasi sebesar 720 gulden sebagai tobang pelayanan buruh. Lihat, H.D. Levyssohn Norman, “Ter Herinnering”, Eigen Haard (1888), hlm. 94.

15 Lihat lebih lanjut, Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang perubahan di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: Yayasan Kartisarana bekerja sama dengan PT. Gramedia, 1993), hlm. 274. Bandingkan dengan, Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 124.

36

Dinamika dan perkembangan peran penting para pemuka agama di Kuningan dapat ditelisik asal muasalnya ketika pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah ini dari tetangga pesisir, Cirebon. Sejak Cirebon dirintis oleh Pangeran Cakrabuana, kalangan ulama itu memainkan peranan yang vital dalam kemajuan kesultanan. Disana, para tokoh keagamaan Islam pada umumnya berada di sekeliling pusat kekuasaan sebagai penasehat raja. Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang memiliki peran di bidang politik dan budaya. Mereka dapat melakukannya karena mempunyai akses yang luas untuk dekat dengan kehidupan istana.16 Ketika Kesultanan Cirebon mengalami kemunduran, secara politik mereka tidak lagi memiliki kekuasaan yang kuat di tengah istana. Meskipun begitu, kehidupan shaleh kaum agamawan ini membuat pengaruh mereka tetap menyebar secara meluas dan berakar kuat di tengah masyarakat.

Sementara itu, lapisan yang bersifat formal struktural terdapat pada bidang pemerintahan, dimana orang-orang yang memiliki jabatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah mempunyai status sosial yang cukup tinggi, tergantung pada jabatan yang diembannya.17 Di masa kolonial, lapisan birokrasi

16 M. Sanggupri Bochari, Wiwi Kuswiah dan G.A. Ohorella, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, (Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 14.

17 Kelompok masyarakat yang berada dalam jaringan birokrasi pemerintahan ini disebut sebagai pangreh praja. Di masa kolonial Belanda, jaringan tersebut terhubung dari titik tertinggi pusat pemerintahan di Batavia hingga tingkat keresidenan dan kabupaten. Selebihnya, dari tingkat distrik sampai desa tidak termasuk jaringan resmi birokrasi kolonial. Kelompok yang terakhir ini dikategorikan sebagai tussenhoofden (kepala perantara), yang menjadi alat bagi indirect rule system (sistem tidak langsung) pemerintahan kolonial Belanda. Suhartono, “Kehidupan Masyarakat Pedesaan”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan,(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 105-108. Sedangkan di masa pendudukan Jepang, ada pandangan luas bahwa para pangreh praja bertindak sebagai alat Jepang. Selain memanfaatkan kelompok nasionalis dan pemimpin Islam dalam mengejar dukungan ideologis, Jepang juga menggunakan para pangreh praja untuk mengeksploitasi kaum tani. Kaum yang ketiga ini menjadi ujung tombak sistem birokrasi zaman Jepang. Lihat lebih lanjut, Sato Shigeru, “The Pangreh Praja in Java

37

pribumi ini disebut inlandsche bestuur dan bagi lidah orang Indonesia mereka disebut sebagai Pangreh Pradja. Jenjang tertinggi dijabat oleh seorang regent (bupati) yang menjadi kepala regentschap (kabupaten), di bawahnya ada wedana yang mengepalai sebuah distrik, lalu distrik terbagi menjadi beberapa onderdistrik yang dipimpin oleh asisten wedana dan terakhir adalah kepala desa yang menjadi pemimpin di desa.18 Tugas, kewajiban, dan fungsi para ambtenaar (pegawai) bumiputera digariskan sesuai dengan jenisnya masing-masing. Untuk bupati dan wedana dikeluarkan peraturan pada tahun 1867. Kemudian, ada rumusan baru untuk para wedana yang dibuat pada tahun 1886, sedangkan untuk asisten wedana diundangkan pada tahun 1874.19 Karena tugas-tugas yang mereka emban itu, mereka dianggap sebagai kaum bumiputera yang memiliki kedekatan tertentu dengan lingkaran kekuasaan, kesenangan pegawai pemerintah dianggap sebagai kesenangan yang juga dirasakan oleh penguasa dan sebaliknya kemarahan para ambtenaar itu akan pula dianggap sebagai kemarahannya penguasa, sehingga kemudian masyarakat pedesaan dan petani lebih menghargai dan menghormati mereka serta menempatkan posisi para pegawai kolonial itu lebih baik dan lebih tinggi dari mereka dalam struktur sosial di tengah masyarakat.

Dalam perkembangannya, jabatan-jabatan yang ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda itu harus diduduki oleh orang

Under Japanese Military Rule”, dalam Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.), Japan, Indonesia and The War, (Leiden: KITLV Press, 1997), hlm. 65.

18 Sebenarnya, kepala desa tidak termasuk ke dalam struktur birokrasi pribumi. Namun, mengingat perannya yang begitu penting, terutama sebagai ujung tombak pemerintah kolonial dalam mengumpulkan pajak tanah dari masyarakat, namanya turut dicantumkan sebagai jenjang terendah sistem pemerintahan tersebut. Mengenai hal ini, lihat lebih jauh, Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java,(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1972), hlm. 418-421.

19 Mona Lohanda, “Sistem Pemerintahan Hindia Belanda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah ...., hlm. 49.

38

yang berpendidikan. Bestuurschool yang didirikan pada tahun 1914 menjadi kawah candradimuka bagi mereka yang ingin berkarir sebagai pegawai kolonial. Siswa-siswa di sekolah ini umumnya berasal dari golongan bangsawan pribumi, mereka diharapkan dapat menjadi seorang pejabat setingkat patih (wakil bupati), atau jika memungkinkan berhasil menjadi seorang bupati.20 Di masa kekuasaan Jepang, posisi para pegawai pemerintah tetap tinggi karena pemerintahan pendudukan memanfaatkan dan menggunakan para pangreh pradja itu untuk melancarkan kepentingan mereka. Meskipun begitu, pegawai pemerintah tersebut hanya bisa menerima intruksi dari tingkat pusat tanpa banyak bertanya, di tingkat daerah. Beberapa oknum pangreh pradja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan personal, yaitu untuk memperkaya diri mereka sendiri.21 Para pangreh pradja nakal itu mengumpulkan pelbagai macam hasil bumi dari masyarakat atas nama Jepang namun ternyata dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri.

Adapun kelompok yang ketiga, yaitu kelompok yang bersifat sosial tradisional, mereka adalah orang-orang yang terdiri kelompok bangsawan dan biasanya memiliki garis keturunan yang (sengaja) dihubungkan dengan tokoh-tokoh terkenal dan berpengaruh di masa lampau.22 Pada umumnya, kelompok

20 Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, (Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong: Heinemann Educational Books [Asia] Ltd., 1979),hlm. 131.

21 Sato Shigeru, “The Pangreh Praja in Java Under Japanese Military Rule”, dalam Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.), Japan, Indonesia and The War, (Leiden: KITLV Press, 1997), hlm. 65.

22 Kelompok bangsawan adalah para aristokrat lokal yang memiliki kekuasaan atas daerah yang dikuasainya. Di tanah Sunda, kelompok aristokrasi lokal ini disebut sebagai kaum menak yang terdiri atas para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Sebagian dari para bupati ada yang dianggap berasal dari keturunan raja-raja Sunda, artinya benar-benar bangsawan, tetapi ada juga yang dianggap bukan berasal dari keturunan raja-raja, melainkan dari kalangan rakyat biasa yang karena jasanya bisa menjadi bangsawan. Lihat lebih lanjut, Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942,(Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hlm. 1.

39

aristokrat ini memiliki posisi yang sangat tinggi di tengah masyarakat. Selain karena dianggap sebagai keturunan tokoh- tokoh yang pernah berjasa pada masyarakat, sebagian dari mereka juga dianggap sebagai sosok yang keramat.23 Dalam hal ini, nama Ki Sastrawardana dapat diambil sebagai contoh atau perwakilan dari kelompok bangsawan. Silsilah keluarganya yang sampai ke Pangeran Harja Semeru dari Mataram, secara tidak langsung membuat ia termasuk ke dalam golongan bangsawan.24 Masyarakat yang mengetahui hal ini akan menghormatinya, karena Mataram sendiri pernah menjadi gusti tanah Priangan

Terkait hal ini, Breman membagi kaum bangsawan Sunda menjadi dua macam, yaitu menak dan sentana. Menakadalah sebutan umum bagi bangsawan tinggi, termasuk bupati dan kepala-kepala utama seperti wakilnya, jaksa-kepala, pemuka gama, dan kepala distrik. Mereka menguasai bahasa Jawa atau Jawareh (campuran bahasa Jawa dan Sunda).Sedangkan sentana adalah kelas kedua dalam jajaran kepala pribumi.Dalam laporan kolonial, mereka juga disebut landjonkers „bangsawan rendah‟. Mereka berasal dari kalangan petani dan sebagai pemuka masih dekat keterikatannya.Untuk menandai asalnya dari keturunan baik mereka memakai gelar asep, ujang, atau agus.Mulai dari tataran distrik rantai perintah menuju ke kalangan petani setempat. Baca lebih lanjut, Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Penerjemah: Jugiarie Soegiarto, Christina Suprihatin, Indira Ismail, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 42-43. Sedangkan dalam tradisi budaya Jawa, kelompok bangsawan semacam itu disebut priyayi. Priyayi menurut istilah asilnya merujuk pada orang yang bisa menelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja Besar Jawa sebelum adanya penjajahan. Namun di masa kolonial, mereka tidak lebih dari sebuah elite kelompok budaya, yang basis kekuasaan terakhirnya terletak pada pengawasan mereka atas pusat-pusat sumber- sumber simbolis masyarakat itu (agama, filsafat, seni, ilmu, dan paling penting dalam peradaban yang kompleks, penulisan). Lihat, Clifford Geertz, , , Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Penerjemah: Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), Cet. 2, hlm. 308 dan 305.

23 Kekeramatan itu diperoleh melalui hal-hal yang mistis, seperti wahyu, ilham, pulung, ataupun sebutan-sebutan lainnya. Konsep wahyu menjelaskan kekuasaan mutlak penerimanya dan menganggap bahwa perlawanan yang ditujukan terhadap hal itu adalah tindakan perlawanan terhadap Tuhan. Dalam budaya Hindu-Buddha, penerima bisikan ghaib itu biasanya akan dianggap sebagai titisan dewa yang berada di kahyangan. Lihat, Onghokham, Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, (Jakarta: PDAT, 2003),hlm. 9.

24 Mengenai silsilah Ki Sastrawardana ini, lihat, Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusumawijayaningrat, (Cigugur: tidak diterbitkan, tt),hlm. 13.

40

sebelum akhirnya diserahkan kepada penjajah asing Belanda. Garis keturunan itu membuatnya menempati status sosial yang cukup tinggi dan karena itu pula dengan mudah ia bisa menjadi seorang kepala desa atau kuwu Cigugur. Kelompok aristokrat lokal itu menempati status sosial yang tinggi di tengah masyarakat, baik itu di zaman pemerintahan kolonial Belanda, zaman pemerintahan pendudukan Jepang maupun di zaman pemerintahan Indonesia. Namun memang citra dan kadar status kebangsawanannya tidak sama dan berbeda di setiap masa. Jika di masa pemerintahan Hindia Belanda, status mereka begitu tinggi, maka di masa pemerintahan Jepang dan pemerintahan Indonesia, status mereka terlihat semakin menurun karena persaingan dalam struktur sosial semakin terbuka, terutama setelah bumi pertiwi ini merdeka dan bebas dari cengkeraman para penguasa asing yang melakukan penjajahan dan pendudukan.

Terdapat hal yang paling menarik pada jenis yang ketiga ini. Tidak jarang, kelompok religius dan pejabat atau kedua golongan yang disebut pertama itu, memiliki asal-usul dari golongan ketiga, yaitu kelompok bangsawan atau mereka yang berdarah biru. Hal itu menunjukkan adanya hubungan erat yang terjalin diantara satu elite kelompok dengan elite kelompok lainnya.

Sebagai benang merah, sosok Madrais merupakan salah satu anggota masyarakat Cigugur yang termasuk sebagai kelompok kalangan atas. Selain karena kelebihannya dalam hal agama (Islam), ia juga menyatakan bahwa dirinya adalah keturunan kraton atau pemilik garis keturunan/darah bangsawan.25 Dengan dua modal utama yang telah digenggamnya itu, Madrais menjadi sosok yang disegani dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.

25 Pengakuan dan kontroversi dari garis keturunan/darah bangsawan Madrais akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab III.

41

Meskipun demikian, pemimpin pertama Agama Djawa Sunda (ADS) itu tidak memegang modal penting dalam struktur sosial masyarakat tersebut secara otomatis atau semata-mata karena faktor keturunan saja, melainkan diperjuangkan dengan usaha yang sangat keras. Dalam hal ini, Madrais harus berkelana dan merantau selama bertahun-tahun untuk mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren yang lain dan juga dari satu padepokan ke padepokan yang lain untuk memperdalam pengetahuan Islam dan ilmu agama. Setelah ilmu agamanya dianggap mumpuni dan dapat teruji, status sosial yang tinggi sebagai pemuka agama pun baru dapat ia raih. Ketika ADS didirikan, posisi Madrais semakin tinggi karena ia adalah pendiri sekaligus pimpinan utama kelompok spiritual dan budaya tersebut. Singkatnya, ia menjadi pusat segala hal yang berhubungan dengan ADS dan karena itu menempati status elit keagamaan tertinggi. Untuk status kepangeranan atau kebangsawanan, Madrais mulai menggunakannya di tahun 1920-an setelah ia keluar dari penjara dan membawa surat penahanannya yang bertuliskan “Pangeran Madrais”. Dengan bantuan seorang pangeran Kesultanan Kanoman Cirebon yang bernama Hoedajabrata, Madrais mengajukan gelar pangeran kepada pemerintah kolonial pada tahun 1922 agar ia dengan leluasa dan legal menggunakannya. Namun, setelah pemerintah penjajahan Belanda meneliti pengajuan itu dengan seksama ternyata ditemukan banyak kejanggalan dan akhirnya ditolak. Bahkan, Madrais dianggap hendak melakukan penipuan sehingga akhirnya ia diputuskan bersalah dan harus membayar denda dengan nominal yang sangat besar untuk hitungan di masa itu. Meskipun begitu, titel itu tetap ia gunakan secara diam-diam dan bahkan untuk era yang kontemporer asal muasal keturunan dan titel yang dulunya disandang dengan kewaspadaan dan penuh rasa khawatir oleh Madrais itu kini telah diyakini sebagai sebuah kebenaran, terutama oleh para keturunan dan pengikut ajaran Madrais.

42

2. Dialektika Budaya Koentjaraningrat memandang kebudayaan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. Dalam hal ini, peradaban seringkali dipadankan dengan kebudayaan. Padahal, peradaban adalah salah satu unsur kebudayaan, ia merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan dengan manifestasinya yang halus, maju dan indah.26 Kebudayaan berkembang dari benih-benih kebudayaan yang berupa kemampuan akal manusia, sehingga dimanapun manusia berada maka pasti ia akan menghasilkan sebuah kebudayaan. Dalam konteks ini, Cigugur dan Kuningan sendiri termasuk ke dalam wilayah kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda adalah kebudayaan yang dijunjung tinggi oleh mereka yang mengaku dan menyadari dirinya sebagai urang Sunda. Untuk menjadi orang Sunda maka ia harus bisa terlebih dahulu mengakui bahwa dirinya adalah orang Sunda dan mendapatkan pengakuan akan hal ini dari orang lain. Jika kita tinjau dari sudut kebudayaan, maka yang disebut sebagai orang Sunda adalah mereka yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan mereka menghayati serta menggunakan norma- norma atau nilai-nilai budaya Sunda dalam kehidupannya.

Kata Sunda memiliki arti yang beraneka ragam, antara lain jamal, indah atau elok, yang kemudian lambat laun kata ini dipakai untuk menamakan salah satu suku atau bahasa di Jawa Barat.27 Adapun pemimpin ADS kontemporer, Pangeran Djatikusumah, memaparkan bahwa kata Sunda memiliki sejumlah pengertian, baik itu secara filosofis, etnis maupun geografis.28

26 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. VIII,hlm. 182.

27 Ajip Rosyidi, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, (Cirebon: t.p., 1966), hlm. 107.

28 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang, dalam Bahasa Sunda, (ttp: Kusnadi, 2010),hlm. 26.

43

Sunda filosofis, menunjukkan rasa Sunda raga ketika bergetar mendengar nama itu disebutkan. Adapun Sunda etnis adalah wujud raga ciptaan Tuhan berbentuk suatu kelompok masyarakat guna melengkapi cara-ciri bangsa manusia. Sedangkan Sunda geografis ialah area yang terbatas pada suatu wilayah kehidupan tertentu. Menurut Ekadjati, istilah Sunda sering disanding- sandingkan dengan Jawa Barat. Dewasa ini, keduanya telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia yang menunjuk kepada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial.29

Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Sunda, masyarakat Cigugur pun termasuk masyarakat yang menjunjung tinggi budaya Sunda.30 Budaya khas tanah Jawa bagian barat itu termanifestasikan ke dalam pelbagai macam bentuk tradisi dan

29 Di samping itu, dua istilah tersebut telah memasuki pula dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang membahas tentang Indonesia, khususnya kebudayaan Sunda dan daerah Jawa Barat. Kedua istilah itu kadang-kadang digunakan untuk menujuk pada pengertian yang sama, tetapi kadang-kadang menunjuk pada pengertian yang nyata bedanya, dan kadang-kadang dicampuradukkan pemakaiannya. Lihat lebih lanjut, Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), Cet. III, hlm. 1.

30 Hubungan antara masyarakat Cigugur dengan budaya Sunda bisa ditilik dari kisah asal muasal desa. Berdasarkan mitos yang ada di dalam masyarakat, diuraikan bahwa asal muasal daerah ini lembur Padara. Pemukiman yang namanya diambil dari seorang tokoh masyarakat setempat yang berilmu tinggi sekitar abad XIII, Ki Gedeng Padara. Tempat itu berganti menjadi Cigugur ketika tokoh itu “gugur” oleh para walisanga yang tengah giat-giatnya menyiarkan agama Islam. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ki Gedeng Padara tidak gugur karena beradu ilmu dan kesaktian dengan para wali tetapi dia mengalami peristiwa ngahiang yang dalam kepercayaan religi Sunda berarti menghilang dan menyatu kembali dengan Dzat Maha Pencipta, kejadian semacam ini tidak jauh berbeda seperti “moksa” yang ada dalam agama Hindu. Kisah tersebut menunjukkan bahwa leluhur Sunda itu berama Islam. Penggunaan kata ngahiang dalam peristiwa menghilangnya Ki Gedeng Padara itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang menjunjung tinggi budaya Sunda. Baca lebih lanjut, Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah ....,hlm. 2.

44

adat masyarakat Cigugur.31 Wilayah ini merupakan kawasan yang subur, sejuk, berbukit-bukit dan memiliki panorama yang indah. Tempat ini, menurut beberapa kalangan, dianggap sebagai salah satu lokasi tempat yang cukup tua.32 Secara historis, budaya Sunda yang dipegang erat masyarakat Cigugur merupakan budaya yang telah banyak tercemari atau tersusupi oleh pelbagai unsur dan pengaruh budaya luar kelompoknya, seperti budaya India, Islam dan terutama Jawa. Selain itu, di sisi yang lain, para pendatang asing Belanda juga membawa budaya barat yang kemudian turut berkembang di lembah timur Ciremai tersebut meski dengan sangat lambat.

Menyerapnya budaya India ke tanah Kuningan dimulai dengan masuknya budaya agama Hindu dan Buddha ke tengah- tengah masyarakat. Bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya pengaruh India itu dapat dilihat dari penemuan-penemuan benda-benda budaya seperti lingga, yoni, patung, candi, cincin mas, anting-anting, mata uang dan jembangan Cina di daerah- daerah Nusaherang, Cibingbin dan Subang.33 Meskipun begitu, pendapat mengenai kehidupan masa lampau moyang orang Sunda yang dekat dengan agama Hindu itu tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh masyarakat Jawa Barat secara bulat. Penelitian Nanang Saptono, yang kemudian diamini oleh pelbagai

31 Menurut Mustafa, kata adat memiliki makna yang hampir sama dengan tabiat. Kata yang berasal dari bahasa Arab itu berarti biasa, umum dan lumrah.R.H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Orang Sunda …., hlm.1.

32 Di sekitar Cigugur, tepatnya di daerah Cipari, pernah ditemukan bukti peradaban tua yang berasal dari zaman batu berupa peti kubur batu. Hal itu menunjukkan bahwa tempat ini sudah dihuni oleh makhuk berperadaban sejak dahulu kala. Wawancara dengan Pak Rokhiman, salah satu staff yang menjaga Museum Purbakala Cipari Cigugur, Kuningan, 6 Juni 2015. Terkait hal ini, ada ungkapan yang menggambarkan Cigugur sebagai kota yang sudah berumur, yaitu: “Cigugur lembur akur warisan leluhur”.

33 Edi S. Ekadjati, Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten,(Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003), hlm. 34.

45

komunitas Sunda Wiwitan di tanah Pasundan, menunjukkan bahwa sistem kepercayaan Raja-Raja Galuh yang disebut dengan sewabakti ring batara upati adalah kepercayaan masyarakat yang asli.34 Pada hakikatnya, kedua persepsi tersebut sama-sama memiliki dasar dan bukti-bukti nyata yang kuat. Meski kelihatannya teori-teori itu terlihat seperti berjauhan dan tidak mungkin dapat disatukan, nyatanya kedua pendapat itu sama- sama dapat dibuktikan secara real. Oleh karena itu, memilih untuk menjadi yang lebih baik atau lebih buruk sangatlah sulit untuk dilakukan.

Lalu untuk unsur Islam, ia masuk ke Kuningan melalui jalur perdagangan masyarakat pesisir Cirebon. Bukti-bukti sejarah terkait hal ini, terdapat secara luas di tengah masyarakat, baik itu yang berupa bukti fisik seperti keramik dan gerabah yang ditemukan di Luragung, ataupun hal-hal lainnya.35 Adapun budaya Jawa juga pernah dibawa ke tanah Sunda dan kemudian dapat memengaruhi eksistensi budaya setempat. Hal ini begitu masif terjadi ketika wilayah Sunda dikuasai oleh Kesultanan Cirebon yang juga banyak memegang tradisi Jawa dan kemudian diambil alih oleh Kerajaan Mataram yang tengah berada di masa keemasannya melalui konspirasi politik tingkat tinggi. Dalam hal ini, Moriyama beranggapan bahwa orang-orang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa setelah pada abad ke-17 mereka ditaklukkan oleh tetangganya, raja Jawa dari Mataram. Yang terpengaruh bukan hanya ranah kesenian semata, tapi juga administrasi pemerintahan, gaya hidup dan bahkan bahasanya.36

34 Nanang Saptono, “Di Jateng Ada Candi, di Jabar Kabuyutan”, Kompas, 3 September 2001

35 Arkeolog Temukan Altar Pemujaan Zaman Purba, yang dirilis pada tanggal 26 Juni 2013, diakses dari http://www.jpnn.com/read/2013/06/26/178729/Arkeolog-Temukan- Altar-Pemujaan-Zaman-Purba, pada 11 Mei 2015.

36 Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 2. Salah satu pengaruh budaya Jawa dalam aspek kebahasaan Sunda adalah adanya undak-unduk basa

46

Untuk unsur Islam dan Jawa, menyebar dengan fenomena sosial politik yang sangat unik. Keduanya menyebar ke Kuningan dan Tanah Sunda secara beriringan atau bahkan bergandengan jika tidak dapat disebut hampir bersamaan.37 Lalu ketika zaman terus bergulir dan kekuasaan atas Kuningan dipegang oleh pemerintah kolonial Belanda, penetrasi budaya barat pun terjadi. Meskipun begitu perkembangannya sangat lambat karena apa yang dibawa dari luar ini benar-benar berbeda dengan apa yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Secara dialektis, unsur-unsur sejumlah budaya yang telah diuraikan tersebut terus berhubungan dan berkembang secara berdekatan karena saling memengaruhi dan membutuhkan, hingga kemudian pada titik puncaknya diakui sebagai budaya asli yang dijunjung dan dipegang teguh oleh masyarakat setempat.

Pelbagai unsur dialektika budaya tersebut dapat ditelisik kehadirannya pada sejumlah hal yang terdapat di dalam lingkungan ADS. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, pusat dan tempat utama bagi seluruh kegiatan religius penghayat ADS, yang telah berusia lebih dari satu abad itu bisa diambil sebagai contoh. Dari beberapa karakteristik konstruksi bangunan dan konsep arsitekturalnya, gedung pusat ajaran ADS itu memiliki kesamaan dengan konstruksi dan konsep yang ada di dalam lingkungan budaya tradisional Sunda dan Jawa. Orang Sunda mempercayai bahwa perjalanan hidup manusia itu seperti perjalanan Matahari, yang berjalan dari timur ke barat sesuai dengan letak gedung yang mengarah ke barat. Oleh karena itu, peletakkan pintu utama

atau tingkatan lembut dan kasar bahasa Sunda. Coolsma beranggapan bahwa hal itu terjadi pada orang Sunda karena mereka mengikuti kebiasaan orang Jawa. Tingkatan bahasa semacam itu menunjukkan adanya tingkatan sosial masyarakat pemakainya. Baca, S. Coolsma, Tata Bahasa Sunda, Penerjemah: Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana, (Jakarta: Djambatan, 1985),hlm. 15.

37 Edi S. Ekadjati, Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918, (Bandung: Pusat Studi Sunda bekerjasama dengan PT. Kiblat Buku Utama), hlm.23.

47

Paseban pun mengarah ke arah barat karena ada larangan menentang arah perajalanan matahari.38 Untuk unsur Jawa dalam bangunan pusat ajaran Madrais tersebut, dapat dilihat dari penggunaan sistem bongkar pasang (knock down) pada banyak konstruksi bangunan, pemakaian material kayu dan penempatan ruang tengah sebagai ruang yang sakral. Semua konsep arsitektural itu diyakini sebagian besar masyarakat Jawa karena dianggap sebagai konsep yang telah teruji dan terbukti sangat baik bagi pembuatan sebuah bangunan.39 Sedangkan motif dan pelbagai hiasan bangunan, menunjukkan adanya pengaruh budaya Cirebon yang dibangun oleh peradaban Islam.40 Selain motif yang dipengaruhi unsur-unsur itu, terdapat pula sejumlah ornamen yang banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu dan Buddha. Terkait hal ini, Priadi menyimpulkan bahwa pelbagai ornamen yang terpasang di lingkungan kraton ADS memiliki makna yang sinkretis karena berasal dari banyak peradaban seperti Hindu,

38 Terkait hal itu, lihat Tetty Sekaryati, “Tata Ruang dalam Rumah Tinggal Masyarakat Sunda di Sumedang ditinjau dari Gaya Hidupnya”, Tesis tidak ditertibkan, (Bandung: FSRD-ITB, 1994), hlm. 64.

39 Sistem bongkar pasang, seperti misalkan sistem koneksi cathokan, merupakan sistem konstruksi bangunan yang menjamin adanya kekokohan dan kelenturan. Hal itu membuat bangunan tidak akan mudah roboh. Lihat, Budi Sudarwanto dan Bambang Adji Murtomo, “Studi Struktur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Rumah „Pencu‟ di Kudus”, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Vol. 2, No. 1 (Januari 2013), hlm. 35 – 42.

40 Pengaruh budaya Cirebon bisa dilihat dari motif hias Jagad Ayang-Ayang yang terpasang dalam ornamen-ornamen bangunan Ruang Jinem di Paseban Tri Panca Tunggal.Sulistiyani menuturkan bahwa motif semacam itu merupakan variasi dari motif Mega Mendung dan Wadasan Cirebon. Lihat, Sintha Sulistiyani, “Kajian Visual dan Makna Ornamen Hias Pada Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kabupaten Kuningan”, skripsi tidak diterbitkan, (Bandung: Jurusan Pendidikan Senir Rupa UPI, 2013), hlm. 301. Di tempat yang menjadi pusat kegiatan ADS itu, motif Jagad Ayang- Ayang menjadi hiasan bersama pelbagai macam motif ornamen lainnya seperti ornamen hias Resi Wisesa Sukmana Tunggal (Kesatria Pinandita), ornamen Raseksi dan motif hias Banaspati.

48

Buddha dan Islam yang kemudian ditransformasikan dengan kultur asli masyarakat, yaitu kultur Sunda dan Jawa.41

Meskipun dialektika budaya dan ajaran yang dikandung ADS menunjukkan wujudnya yang sinkretis karena tercampur dari pelbagai sumber peradaban, nyatanya para pemimpin dan penghayat ADS tetap menomorsatukan budaya asli mereka, yaitu kultur masyarakat Sunda. Sebagai sebuah tuntunan, Agama Djawa Sunda (ADS) memiliki sejumlah dimensi yang cukup kompleks agar para pengikutnya dapat menghayati ajarannya dalam kehidupan. Dalam dimensi budaya, para penghayat diarahkan untuk menjunjung tinggi kebudayaan Sunda asli yang merupakan budaya masyarakat setempat. Aspek kultural perilaku penghayatan masyarakat pengikut ADS diwujudkan dengan cara membina, mengembangkan serta melestarikan alam dan budaya sesuai dengan cara ciri manusia dan cara ciri bangsa.42 Hal itu dilakukan sebagai upaya dari bukti cinta dan kasih yang dimiliki seorang hamba kepada Tuhannya. Budaya, sebagai pemberian Penguasa Semesta yang diturunkan kepada suatu kelompok masyarakat tertentu, harus dijaga dan dilestarikan dengan baik. Tindakan positif tersebut merupakan cara untuk mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Tuhan.

Dalam tuntunannya, pendiri ADS memberikan perhatian yang lebih terhadap kesadaran kebangsaan sebagai pondasi dari sebuah kesadaran serta keimanan terhadap Tuhan, kepercayaan yang benar-benar yakin mengerti dan dapat merasakan keagungan Tuhan dan menyadari fungsi hidup selaku manusia dan selaku suatu bangsa. Tujuan didirikannya ADS sendiri bukan untuk

41 Lihat kesimpulan penelitian, Kamelia Gumilani Priadi, “Interior Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Simbolisasi Pandangan Hidup Kelompok Penghayat Agama Djawa Sunda”, skripsi tidak diterbitkan, (Bandung: Fakultas Seni Rupa ITB, 2008).

42 Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, (Cigugur-Kuningan: 1995), naskah tulisan cetak koleksi Pangeran Gumirat Barna Alam, Cigugur Kuningan, hlm. 26.

49

menambah jumlah agama, melainkan ingin mewujudkan kesadaran akan budaya-budaya bangsanya.43 Pembangunan kesadaran semacam ini adalah salah satu cara yang bisa digunakan oleh masyarakat pribumi untuk mempertahankan eksistensinya dari gempuran-gempuran pelbagai macam unsur luar, seperti Arab (melalui Islam) dan Eropa (Kristen) yang menggerus dan sangat mengancam budaya-budaya asli di masa- masa itu.

B. Kondisi Ekonomi Politik

1. Latar Ekologis dan Sumber Daya Alam Cigugur adalah nama sebuah kelurahan sekaligus kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sebelum menjadi seperti sekarang, Cigugur adalah sebuah dukuh (kampung) kecil yang hanya dihuni oleh beberapa keluarga saja. Namun seiring berlalunya waktu, kampung itu berkembang menjadi sebuah desa dan akhirnya karena kemajuannya yang begitu pesat kini statusnya telah menjadi sebuah kelurahan. Secara geografis, Cigugur terletak di sebelah barat wilayah Kuningan dan berjarak sekitar 3,5 KM dari ibukota Kabupaten Kuningan. Daerah ini berada pada ketinggian sekitar 661 m di atas permukaan laut. Sedangkan secara astronomis, Cigugur berada pada titik kordinat 108° 27‟ 15” Bujur Timur dan 05° 58‟ 8” Lintang Selatan.44

43 Dalam Agama Djawa Sunda (ADS), aspek sosial dan budaya dipandang sangat penting di dalam kesatuan masyarakat. Dasar dari hal itu adalah ajaran akan cara dan ciri bangsa setiap peradaban yang ada di seluruh dunia. Kepada para pengikutnya, Madrais selalu menganjurkan agar setiap orang bisa lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri dan tidak dibenarkan bila hanya meniru buta segala hal yang berasal dari luar kebangsaannya. Dalam tuntunannya, perintis ADS itu memberi perhatiannya pada kesadaran kebangsaan sebagai dasar dari kesadaran keimanan terhadap Tuhan.Baca lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang …., hlm.8.

44 Kasi Pemerintahan Kelurahan Cigugur, Laporan Kinerja Tahun 2014 …., hlm. 3.

50

Gambar 1

Nomor 1 menunjukkan posisi wilayah Cigugur dan nomor 2 menunjukkan posisi wilayah Kuningan.

Sumber: www.bpbd.kuningankab.go.id, dengan sedikit olahan penulis.

Sebagai bagian dari Kabupaten Kuningan, perkembangan Cigugur tidak bisa dilepaskan dari pasang surut perubahan kabupaten itu. Kuningan sendiri adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah timur kaki Gunung Ciremai. Secara morfologis, Kabupaten Kuningan terdiri dari daerah yang bervariasi mulai dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Bagian barat dan selatan mempunyai ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, sedangkan di bagian timur ketinggiannya sekitar 120 - 222 meter di atas permukaan laut.45 Sebagai salah satu desa yang letaknya paling dekat dengan Gunung Ciremai, Cigugur memiliki tanah yang sangat baik untuk pelbagai macam tanaman. Lapisan tanah yang banyak mengandung endapan vulkanis asal

45 M. Ahmad Sya, Geografi Pariwisata Kabupaten Kuningan, (Garut: CV. Gadja Poleng, 2005), hlm. 23-24.

51

gunung berapi, membuat tanahnya subur dan dapat dimanfaatkan guna kepentingan pertanian dan perkebunan. Itulah sebabnya, di Cigugur, sebagaimana wilayah Jawa Barat lainnya, hidup subur aneka macam tanaman, baik tanaman liar berupa hutan maupun tanaman peliharaan melalui usaha pertanian.46 Tingkat kesuburan Cigugur yang tinggi itu ditunjang oleh curah hujan sangat tinggi pula, berkisar antara 3000 mm - 4000 mm per tahun dan termasuk yang paling tinggi di wilayah Kabupaten Kuningan.47 Posisinya di dataran tinggi juga membuat tempat ini menjadi tempat dengan iklim yang sangat sejuk. Dengan demikian, Cigugur yang merupakan bagian dari tanah Kuningan yang terdiri dari perbukitan, lereng, lembah dan pegunungan, serta memiliki pemandangan alam yang indah dengan hawa yang sejuk itu memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sebuah daerah wisata.48

Struktur tanah yang mengandung endapan vulkanis Gunung Ciremai merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat Cigugur. Sebagai salah satu gunung berapi, letusan Ciremai di masa lalu turut mengeluarkan lava, yaitu magma atau material lumpur panas berpijar yang keluar dari perut bumi akibat adanya peningkatan aktivitas vulkanik sebuah gunung yang aktif. Lava yang membanjiri lereng-lereng di sekitar gunung berisi unsur hara atau mineral-mineral dari perut bumi yang sangat dibutuhkan oleh

46 Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), Jilid 1, Cet. 3, hlm. 23.

47 Di Kuningan, curah hujan tertinggi terjadi pada daerah bagian barat dan selatan terutama daerah lereng gunung Ciremai, yang berkisar antara 3000 mm – 4000 mm per tahun, sedangkan pada daerah yang semakin datar di bagian timur dan utara berkisar antara 2000 mm – 3000 mm per tahun. Lihat lebih lanjut, M. Ahmad Sya, Geograif Pariwisata ...., hlm. 26. Lihat pula, Nana Sulaksana, dkk., “Karakteristik Geomorfologi yang Berkaitan dengan Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Kuningan, Jawa Barat”, dalam Majalah Geologi Indonesia, Vol. 26, No. 3 Desember 2011, hlm. 135.

48 Lihat lebih lanjut, Wawan Hermawan, dkk. (eds.), Kuningan Menembus Waktu, (Kuningan: Humas Pemda Kabupaten Kuningan, 2000), hlm. 7.

52

tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang. Tanah yang merupakan hasil pelapukan gunung berapi semacam itu menjadi lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian. Selain karena terbentuk dari endapan vulkanis, tanah yang ada disana umumnya terbentuk dari abu gunung api dan termasuk golongan tanah andosol.49 Itulah kenapa Cigugur, sebagai salah satu daerah yang terletak di sekitar Gunung Ciremai, sangat subur dan mudah sekali untuk dijadikan sebagai tempat membudidayakan pelbagai macam tanamanan.

Komoditas pertanian dan perkebunan yang dapat tumbuh baik di tanah Cigugur, diantaranya adalah: padi, bawang daun, jagung, ubi kayu, wortel, padi gogo, sawi/petsai, kol, tomat, kentang, buncis, bawang merah dan kubis. Pada umumnya, komoditas-komoditas tersebut adalah komoditas yang dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat bumiputera dan dimanfaatkan untuk kepentingan rumah tangganya saja. Kalaupun ada yang hendak diperjualbelikan, itu mereka lakukan setelah kebutuhannya sendiri telah terpenuhi. Di lain pihak, pemerintah kolonial yang sejak paruh awal abad ke-19, telah memasuki wilayah-wilayah pedalaman, mulai mengolah tanahnya itu dengan membuka perkebunan-perkebunan besar komoditas-komoditas industri seperti indigo, teh dan kopi. Perkebunan teh dibuka di wilayah Desa Puncak, sebelah barat Cigugur, yang iklimnya sejuk dan cocok untuk perkembangan tanaman itu.50 Untuk kopi,

49 Menurut Sya, wilayah Kabupaten Kuningan memiliki tujuh jenis tanah, yaitu: andosol, alluvial, podzolik, grumusol, mediteran, latosol, dan regosol. Bagian barat Kecamatan Kuningan merupakan wilayah yang terdiri dari golongan tanah andosol. Tanah dengan jenis andosol sangat cocok untuk ditanami tembakau, bunga-bungaan, sayuran, buah-buahan, kopi, kina, teh, pinus dan apel. Baca lebih lanjut, M. Ahmad Sya, Geografi Pariwisata ...., hlm. 25.

50 Dalam sebuah photo yang disimpan oleh KITLV, terlihat bagaimana perkebunan teh di kawasan Puncak Kuningan itu dikerjakan oleh para pegawai, yang kemungkinan adalah buruh perkebunan, pribumi. Sementara itu, di dekat mereka berdiri seseorang yang menjadi pengawas perkebunan. Dari pakaian yang dikenakannya, kemungkinan dia adalah seorang mandor yang berasal dari kaum menak Sunda. Lihat lebih detail,

53

komoditasnya sudah dikembangkan lebih awal dan dikerjakan oleh para pekerja pribumi.51 Kayu-kayu hutan semisal jati dan albasia, juga banyak dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui buruh-buruh perkebunan dan kehutanan yang diawasi oleh para pegawainya.

Seharusnya, keadaan ekonomi masyarakat Cigugur yang fokus pada aspek pertanian dapat berkembang dengan lebih baik ketika Perang Dunia I selesai. Namun nyatanya, penghasilan yang mereka dapatkan tidak dapat dinikmati secara penuh karena sebagian besarnya harus disetorkan kepada para tengkulak dan lintah darat yang ada di wilayah tersebut. Pelbagai macam kegiatan dan perayaan acara, baik itu untuk kepentingan personal maupun komunal, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam hal ini, peran dan pergerakan para lintah darat begitu jelas terlihat dengan menjadi sosok kreditur bagi masyarakat dalam masalah pembiaya ataupun pendanaan acara. Utang piutang itu biasanya dapat dibayarkan dalam waktu yang sangat lama karena pinjaman itu melahirkan suku bunga yang terus merangkak naik di atas batas kewajaran.52 Pada umumnya, orang yang menjadi kreditur atau penyokong dana dan materi itu adalah juragan- juragan Cina yang disebut kalangan luas sebagai tauke.53

http://media-kitlv.nl/image/45632773-a9b4-4cea-803d-af2e58aaf638, diakses pada tanggal 20 Juni 2015.

51 Kerja paksa untuk komoditas kopi ini telah dimulai sejak tanah Priangan dikuasai oleh VOC. Untuk daerah Cigugur sendiri, banyak penduduk yang melarikan diri dari desa karena adanya kewajiban untuk bekerja secara paksa di dalam perkebunan. Terkait hal ini, Molly Bondan pernah menguraikan sebuah cerita pelarian diri salah seorang leluhur suaminya sendiri dari kerja paksa di kawasan Ciremai itu. Lihat lebih lanjut, Molly Bondan, Spanning a Revolution: Kesaksian Eks-Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia, Penerj. Hesri Setiawan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 14-15.

52 Molly Bondan, Spanning a Revolution ...., hlm. 14-15.

53 Sebenarnya, tauke adalah panggilan untuk para pedagang Cina dan merupakan sebuah gelar yang sangat terhormat di tengah struktur masyarakat Cina. Lihat, Ann Wan

54

Sebagian kecil lainnya berasal dari luar etnis Timur Jauh tersebut, seperti Belanda, Arab dan juga bangsawan pribumi sendiri.

Posisi dan permukaan bumi beberapa bagian wilayah Cigugur cukup bervariasi, namun tetap saja setiap bagian desa itu beriklim sejuk karena pada umumnya seluruh daerah yang berada di kaki gunung itu memiliki hawa yang lebih dingin jika dibandingkan dengan daerah-daerah Kuningan lain yang posisinya lebih jauh dari Gunung Ciremai. Dalam hal ini, bagian utara dan timur Cigugur memiliki kemiringan antara 25 - 30 derajat, menurun ke sebelah timur. Adapun sebelah selatan terdiri dari daerah persawahan dan perbukitan yang permukaan tanahnya memiliki kemiringan antara 20 - 30 derajat. Sementara itu, di sisi bagian baratnya kemiringan semakin meningkat antara 30 - 50 derajat dengan bentuk perbukitan yang tinggi.54 Struktur dan permukaan tanah desa yang variatif itu berbentuk gundukan tanah yang lebih tinggi dan rendah menghasilkan banyak kelokan, gunung, bukit, ngarai dan lereng yang indah. Daerah perbukitan yang didiami orang Sunda biasanya teduh, rindang dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian. Ladang dan kebunnya ditanami dengan pelbagai pohon yang bisa dimanfaatkan di kemudian hari untuk kepentingan diri dan keluarganya.55 Alam Cigugur yang sangat menakjubkan itu mengundang banyak orang untuk tinggal dan bahkan menetap disana, tidak hanya bagi orang pribumi namun juga bagi orang-orang asing. Sejak awal abad ke- 20, banyak orang asing yang tinggal di Cigugur. Dalam sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun

Seng, Rahasia Bisnis Orang China, Penerjemah: Widyawati, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), Cet. VI., hlm. 92. Namun dalam perkembangannya di Indonesia, istilah tauke bergeser maknanya menjadi suatu hal yang berkonotasi negatif, seperti lintah darat, kolaborator penjajah asing dan lain-lain.

54 Kasi Pemerintahan Kelurahan Cigugur, Laporan Kinerja Tahun 2014 ...., hlm. 5.

55 Mc. Suprapti (ed.), (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1980-1981), hlm.80.

55

1930, Cigugur yang saat itu termasuk wilayah sub-distrik Kuningan, merupakan salah satu desa yang cukup banyak dihuni orang-orang Eropa dan mestizo (keturunan campuran). Di daerah itu tinggal 124 orang asing, baik yang berbangsa Eropa maupun campuran. Mereka terdiri dari 78 orang laki-laki dan 46 orang perempuan. Jumlah itu terhitung sangat banyak, mengingat beberapa sub-distrik lain seperti Garawangi, Mandirancan, Kadugede, Ciniru, Luragung, Subang, Cibingbin dan Ciwaru, sama sekali tidak dihuni oleh orang-orang Eropa.56 Beberapa orang Eropa yang pernah tinggal di Cigugur, diantaranya adalah Steepen (1915-1919), Jacobs (1924) dan Rares Destra (1925).57 Umumnya, orang-orang Eropa itu bekerja sebagai pegawai administrasi pemerintah kolonial. Ada pula yang ditempatkan sebagai kontrolir perkebunan di wilayah dataran tingginya, atau ada yang ditugaskan sebagai pengawas wilayah, dan lain-lain. Pada dasarnya, penduduk Eropa di masa kolonial merasa sangat nyaman dan kerasan tinggal di Cigugur karena pemandangan alam yang indah dan iklim yang sejuk disana menyerupai tempat asal mereka di Eropa yang juga memiliki iklim subtropis yang dingin dan sejuk.

2. Distribusi Pekerjaan dan Perdagangan Pada dasarnya, desa adalah sebuah unit sosial- kemasyarakatan yang sangat mandiri. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat bersifat otonom karena penduduknya dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup desa tanpa adanya bantuan dari pihak lain.58 Hanya dengan menjadi petani yang menggarap tanah

56 Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Deel I: Inheemsche Bevolking van West-Java, (Batavia: Landsdrukkerij, 1933), hlm. 120-121.

57 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual …., hlm. 19.

58 Salah satu contoh masyarakat Sunda baheula yang dapat hidup mandiri dan terus berdampingan bersama alam adalah Masyarakat Kanekes (Baduy) yang memiliki sistem

56

pertaniannya secara konvensional, mereka dapat hidup dengan aman dan nyaman. Namun, seiring masuknya kapitalisme barat pada abad ke-19, sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat pribumi benar-benar dirasuki oleh sistem ekonomi barat. Hal itu membuat kemandirian desa menjadi semakin rapuh karena mulai terusik oleh perkembangan ekonomi modern. Bahkan, mata pencaharian masyarakat pedesaan yang masih berada dalam kerangka ekonomi subsistensi itu benar-benar hancur ketika kebijakan dan eksploitasi pemerintah kolonial maupun perusahaan asing besarnya membuat ekonomi pedesaan sepenuhnya bergantung pada ekonomi barat.

Ketika Cigugur masih berada di masa kepemimpinan kerajaan-kerajaan tradisional, daerah itu masih berupa dusun yang kecil dan menginduk kepada daerah ramai di sebelah timurnya, yakni Kuningan.59 Posisi geografisnya yang terletak di bawah kaki gunung Ciremai, menjadikan daerah inibegitu subur dan sangat maju dalam kehidupan agraris. Dengan bentang nuansa pertanian yang sangat menggiurkan, daerah ini menjadi satu wilayah yang menjanjikan secara ekonomis, terutama bagi mereka yang menggeluti bidang pertanian. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian wilayah yang memiliki tanah subur, gemburnan makmur itu dimanfaatkan dengan baik oleh para penduduk Cigugur untuk bermata pencaharian sebagai petani guna menghidupi diri dan keluarganya.

Pada awal abad ke-20, sebagian besar masyarakat Cigugur berprofesi sebagai petani dan ternyata mata pencaharian ini mata pencaharian tradisional dengan cara daur penggarapan huma. Baca, Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda ...., hlm. 78-88.

59 Penguasa tertinggi tanah Kuningan sendiri tidak selamanya pihak yang sama, meskipun secara administratif selalu berada di bawah kuasa Cirebon yang pernah berjaya dan mandiri, lalu dikuasai Mataram, diserahkan secara politis kepada VOC dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda, hingga akhirnya menjadi sebuah satuan daerah setingkat kota dan kabupaten di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

57

adalah yang utama bagi hampir seluruh masyarakat kolonial Hindia Belanda. Data-data sensus penduduk menunjukkan bahwa menjadi seorang petani adalah pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Pada pergantian abad ke- 20, sekitar 96,7 % penduduk pribumi bergulat di dalam sektor pertanian yang meliputi pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, nelayan dan peternakan. Sekitar 57,7 % penduduk, berprofesi sebagai petani kecil dan sebanyak 6,7 % bermata pencaharian sebagai buruh perkebunan.60 Data mengenai profesi itu mengalamai perubahan pada tahun-tahun berikutnya, meskipun memang menjadi petani tetaplah merupakan pekerjaan yang utama. Pemerintah kolonial Belanda pernah melakukan sensus penduduk pada tahun 1930, dan apa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda itu cukup akurat dan dapat dipercaya mengingat kegiatan itu dikerjakan oleh tim peneliti yang kredibel dan kompeten. Dari sensus itu diketahui bahwa dari sekitar 41 juta jiwa seluruh penduduk Jawa dan Madura, 50 % dari pria dan 18 % dari wanita masyarakatnya memiliki profesi yang jelas. Lebih dari setengahnya, atau sekitar 65 % dari para pria dan wanita yang telah bekerja itu, profesinya adalah petani.61

Di wilayah Cigugur, yang denyut nadi perekonomiannya berpusat pada bidang pertanian, mata pencaharian utama masyarakatnya adalah petani, baik itu petani pemilik ataupun petani penggarap. Namun demikian, ternyata terdapat sejumlah anggota masyarakat yang memiliki pekerjaan lain di luar bidang agraris itu. Hal tersebut dapat dimaklumi karena ekonomi pertanian di Jawa tidak berjalan sepanjang tahun, ada waktu- waktu tertentu, terutama di musim kemarau, lahan pertanian itu

60 Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1970), hlm. 63.

61 Cornelis Lekkerkerker, Land en Volk van Java, (Groningen, Batavia: Wolters, 1938), hlm.626-629. Sebagai perbandingan dan keterangan yang lebih lengkat, lihat juga, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Deel I: Inheemsche Bevolking van West-Java, (Batavia: Landsdrukkerij, 1933).

58

sama sekali tidak bisa diolah dan tidak menghasilkan keuntungan. Pelbagai pekerjaan selain di bidang pertanian itu dikerjakan selama tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan di sawah atau ladang dan dilakukan dengan tidak penuh. Terkait hal ini, Boeke menggambarkan keadaan masyarakat petani di masa kolonial bahwa ketika waktu tanam dan panen tiba, seluruh keluarga sibuk bercocok tanam. Sedangkan pada waktu senggang, para keluarga petani nyambi mengerjakan pekerjaan sampingan seperti menggarap macam-macam kerajinan yang diselesaikan di rumah. Selain itu, perempuan sering kali berjualan di pasar sementara laki-laki sering kali berkeliling untuk menjual barang dagangan.62 Sumber-sumber penghasilan alternatif itu umumnya merupakan pekerjaan yang masih dikembangkan secara tradisional. Hal tersebut bisa terjadi karena pada masa itu orang tidak berpikiran untuk mengembangkan pekerjaan yang modern, mereka tidak berpikir dapat mendalami profesi di luar jangkauan dan ukuran yang sekiranya bisa mereka raih. Selain itu, masyarakat di masa lalu masih terpaku pada adat istiadat yang ada di lingkungan mereka, namun yang paling mendasar adalah bahwa mereka masih belum mengenal bahasa tulis atau buta aksara. Akibatnya, penduduk pedesaan itu kesulitan untuk mendapatkan informasi, terutama yang diumumkan secara tulis oleh pemerintah. Informasi yang didapat hanya berasal dari orang-orang di sekitar dan lingkungan yang mereka kenal akibat keterbatasan kemampuan mereka dalam membaca tersebut. Sehubungan dengan hal itu, Raap menuliskan bahwa umumnya pilihan pekerjaan bagi penduduk pribumi di masa kolonial sudah ditentukan oleh orangtua mereka. Karena itulah banyak pekerjaan yang dikerjakan secara turun-temurun sebab sejak kecil mereka telah terbiasa dengan apa yang mereka lihat dan kerjakan, maka tidak

62 Julius Herman Boeke, Inleiding tot de Economie der Inheemsche Samenleving in Nederlandsch-Indie, (Leiden-Amsterdam: H.E. Stenfert Kroese‟s Uitgevers-Mij, 1936), hlm. 77-78.

59

terpikirkan untuk mencari pekerjaan lain.63 Pada akhirnya, mereka tetap meneruskan pekerjaan orangtua sehingga status sosial mereka sebagai kalangan bawah atau pekerja kasar pun sukar sekali untuk berubah menjadi lebih baik. Jika uraian di atas dilihat secara seksama, maka kita menemukan bahwa pada masa itu banyak orang memiliki dua, tiga atau empat pekerjaan. Namun anehnya, meskipun hasil dari pekerjaan sampingan jauh lebih besar daripada hasil pertanian, pekerjaan petani tetap mereka anggap sebagai pekerjaan yang paling utama dan karenanya mereka rela meninggalkan pekerjaan sampingannya di daerah perkotaan dan kembali mengurus lahan pertaniannya di desa.

Satu hal lain mengenai pekerjaan masyarakat Cigugur yang juga patut untuk dicatat adalah kebiasaan mereka untuk ngumbara (mengembara) dari desa ke tempat-tempat yang dianggap lebih baik dan menjanjikan secara ekonomis. Tempat- tempat yang dituju itu biasanya tempat yang lebih ramai, tempat dimana denyut kegiatan ekonominya lebih kencang daripada kegiatan ekonomi di desa. Tempat yang umumnya menjadi tujuan masyarakat desa ialah kota-kota kolonial dan kota yang paling dekat pada masa itu adalah kota kadipaten Kuningan dan kota karesidenan Cirebon. Sejak kebijakan politik pintu terbuka direstui oleh pemerintah kolonial pada 1870-an, kegiatan ekonomi desa memang sedikit demi sedikit berubah. Akibatnya, pada awal abad ke-20, pola mata pencaharian masyarakat pedesaan yang umumnya bersifat warisan, terus mengalami perubahan seiring meningkatnya godaan dan kemilau dari kota yang kehidupannya dilihat lebih maju, lebih modern dan tentu saja lebih menjanjikan. Terlebih jika desakan ekonomi dan kesejahteraan di tengah masyarakat desa sudah begitu parah dan tidak bisa tertolong lagi.64 Arus urbanisasi pun tidak dapat dihindarkan, masyarakat

63 Lihat lebih lanjut, Olivier Johannes Raap, Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe, (Yogyakarta: Galang Pustaka, 2013), Cet. II, hlm. xvi.

64 Para analisis fenomena migrasi meyakini bahwa faktor ekonomi merupakan unsur utama dari motivasi seseorang untuk berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain.

60

berbondong-bondong mencari penghidupan di kota-kota yang lebih besar.65 Sebagian besar kembali ke tempat kelahirannya setelah tujuannya tercapai, namun tidak sedikit pula yang menetap di tanah rantau. Dalam pandangan Boeke, pertumbuhan ekonomi perkotaan yang tinggi didorong oleh kehadiran pendatang dari luar negeri (Tiongkok, Belanda) yang membawa kegiatan ekonomi yang baru. Di kota terdapat banyak lapangan pekerjaan yang tidak ada di desa, tentu dengan penghasilan yang lebih tinggi dan menjanjikan daripada penghasilan yang ada di desa.66 Salah satu bukti nyata terkait persoalan ini adalah merantaunya Madrais dari tempat asalnya ke daerah kota keresidenan Cirebon dan bekerja disana. Menurut Kartapradja, tujuan utama dari perginya Madrais ke kota pesisir itu adalah untuk mencari ayah kandungnya. Mengingat ayahnya adalah seorang pangeran, ia pun mencoba mencarinya di wilayah keraton Cirebon. Namun memasuki lingkungan elit masyarakat Cirebon itu bukanlah perkara yang mudah, karena terlebih dahulu ia harus menjadi pelayanseorang pangeran.67 Pada masa itu, pekerjaan di perkotaan yang paling baik adalah mengabdi kepada seorang tokoh yang

Lihat, Aris Ananta, Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Demografi dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993), hlm. 137.

65 Pada umumnya, perantau dari daerah pedesaan mengikuti jejak orang asal desanya yang telah terlebih dahulu merantau di daerah perkotaan. Untuk profesi yang akan digelutinya pun, biasanya ia turut mengikuti profesi para pendahulunya itu. Mata pencaharian perantau yang berasal dari satu daerah biasanya bersifat homogen. Hal-hal semacam itu seakan telah mengurat nadi dalam benak masyarakat Indonesia karena masih terjadi dan terjaga hingga saat ini. Contohnya adalah perantau asal Kuningan yang berprofesi sebagai tukang warung kelontong, perantau asal Garut yang berprofesi sebagai tukang cukur, perantau asal Madura yang memiliki pekerjaan sebagai pengumpul bahan-bahan tembaga, perantau asal Padang yang berprofesi sebagai penjaja makanan masakan khas Padang.

66 Julius Herman Boeke, Inleiding tot de Economie ...., hlm. 79.

67 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm. 132.

61

berpengaruh karena selain mendapat penghasilan ia juga akan mendapat perlindungan yang tidak bisa ia temukan di tempat- tempat lainnya. Perlindungan dari kawula untuk abdi-nya menjadi penting di masa kolonial, mengingat penduduk bumiputera menjadi incaran para penguasa tanah untuk dijadikan sebagai pengolah lahan yang mereka miliki. Pekerjaan untuk mengurus dan mengelola perkebunan sangat dihindari oleh para penduduk pribumi karena sebagai profesi, pekerjaan semacam itu lebih menyerupai perbudakan mengingat sistem implementasinya dilandasi dengan ancaman.68

Setelah Politik Etis diberlakukan pada awal abad ke-20, sedikit demi sedikit masyarakat Indonesia mulai melek huruf. Dengan adanya perkembangan itu, masyarakat bumiputera semakin mengerti pendidikan dan ilmu pengetahuan.69 Pada dekade-dekade selanjutnya, pendidikan untuk semua kalangan semakin membaik. Ide-ide mengenai cakrawala kehidupan dan kebangsaan semakin bisa mereka akses, sebarkan atau bahkan perdebatkan. Dasawarsa ideologi yang menjadi penanda bagi

68 Hubungan kerja yang terjalin di antara orang kulit putih dengan kulit coklat hingga saat itu didominasi oleh ketidakrelaan dan keterpaksaan. Selain adanya perbudakan kuli perkebunan, ada pula sistem kerja paksa lain dalam bentuk cultuurstelsel. Sistem peraturan ini tidak hanya menuntut tanah tetapi juga tenaga penduduk untuk membudidayakan hasil perkebunan kolonial seperti gula, kopi dan nila. Beban hidup yang harus ditanggung masyarakat begitu besar, mungkin berkat harga beras yang kebetulan turun pada saat itu, maka bencana kelaparan tidak sampai melanda tanah Hindia Belanda. Baca lebih lanjut, Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Penerj. Siti Hertini Adiwoso, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 23-24.

69 Terkait politik etis tersebut, pembangunan fisik turut pula digalakkan di pelbagai daerah. Di desa-desa, puluhan sekolah dibangun. Kesehatan rakyat cukup diperhatikan melalui sebuah sistem kesehatan yang cukup baik. Bantuan untuk kegagalan panen dan banjir pun disalurkan secara terstruktur oleh pemerintah kolonial. Pembangunan dan perbaikan jalur kereta api, jalan raya dan saluran air minum dilakukan di banyak tempat. Meskipun begitu, kepentingan penjajah di semua bidang tetap dominan. Kemajuan yang digalakkan hanya bersifat semu karena dilakukan secara pragmatis untuk keuntungan pemerintahan kolonial semata. Lihat, Geert Mak, Abad Bapak Saya, Alih Bahasa: Pericles Katoppo, Theresia Slamet, Toenggoel P. Siagian, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2009), hlm. 190.

62

keberhasilan budaya baca tulis ini terjadi pada masa awal tahun 1920-an hingga awal 1930-an.70 Selain turut mengembangkan rasa nasionalisme, hal itu turut pula membuat kesempatan bagi masyarakat pribumi untuk bersaing dalam pelbagai macam bidang profesi semakin terbuka.Kegiatan profesi kelompok masyarakat bumiputera tidak lagi hanya berkutat dalam bidang-bidang yang bersifat tradisional saja, namun juga semakin menyebar ke bidang-bidang yang lain, seperti menjadi dokter dalam dunia kesehatan, menjadi profesor dalam bidang akademis, menjadi arsitek dalam dunia arsitektur dan pembangunan, dan lain sebagainya. Di era kekuasaan Jepang, keadaan ekonomi yang tidak menentu membuat pelbagai macam pekerjaan yang ada di tengah masyarakat hanya bisa muncul dan hilang begitu saja. Pada saat itu, sistem dan keadaan ekonomi masyarakat Nusantara benar-benar carut-marut akibat kondisi perang dan eksploitasi yang sengaja dilakukan demi menyokong sumber daya peperangan mereka. Perkebunan dan unsur perekonomian yang bergantung kepada sistem tersebut lumpuh karena hilangnya pasar untuk sebagian besar produk mereka.71 Sehubungan dengan hal itu, pelbagai pekerjaanyang ada dan berkembang di masa sebelumnya menjadi benar-benar berjalan dengankacau dan rumit. Titik cerah mulai terlihat ketika Jepang menyerah di perhelatan Perang Pasifik dan bangsa ini berubah menjadi sebuah bangsa yang merdeka lewat serangkaian perjuangan yang sangat heroik dan berani. Struktur sosial masyarakat yang sudah tidak diskriminatif membuat masa depan keberagaman profesi di Nusantara semakin jelas terlihat dalam pandangan. Dengan perkembangan bidang pendidikan yang begitu pesat, distribusi profesi semakin merata. Di era yang lebih modern, setiap anggota masyarakat tidak lagi memiliki batas ketika ia bermimpi karena

70 Lihat lebih lanjut, Taufik Abdullah, “Dari Hasrat Kemajuan ke Pembentukan Bangsa”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah ...., hlm. 77.

71 John R.W. Smail, Bandung Awal Revolusi: 1945-1946, Penerj. Muhammad Yesa Aravena, (Jakarta: Ka Bandung, 2011), hlm. 13.

63

bisa saja apa yang dicita-citakannya itu berubah menjadi hal yang dapat dwujudkan dan nyata.

Perdagangan yang ada di dalam masyarakat Cigugur berkembang dengan baik, walaupun dalam perubahannya terjadi pasang surut yang dinamis. Perkembangan tersebut sesuai dengan keadaan sosio-politik pelbagai macam kekuasaan yang berada di wilayah Tatar Sunda, yaitu Jawa bagian barat.72 Perlu dipahami bersama bahwa aspek perdagangan penduduk yang letaknya di dataran tinggi itu tidak langsung berdiri secara mandiri. Pada mulanya, hasil bumi masyarakat Cigugur merupakan bahan konsumsi untuk kegiatan rumah tangga mereka sendiri saja. Makanan pokok yang menjadi sumber utama untuk melanjutkan kehidupan, bisa mereka dapatkan dari padi yang mereka tanam di sawah. Untuk bumbu dan tambahan rasa makanan pokoknya, penduduk Cigugur mencari hasil-hasil alam lain yang sekiranya dapat dikonsumsi di lingkungan sekitar mereka, seperti cabai, bawang dan mentimun. Sumber air yang merupakan unsur penting dalam kehidupan, dapat mereka raih dengan mudah karena aliran sungai-sungai yang berasal dari Gunung Ciremai mengalir terus sepanjang tahun tanpa mereka minta. Mata air pegunungan pun tidak sedikit bahkan kemudian alirannya terkonsentrasi menjadi kolam-kolam besar. Daging ikan yang sangat lezat dan sangat bermanfaat bagi perkembangan otak karena kandungan proteinnya, bisa didapatkan dari kolam-kolam itu tanpa adanya halangan yang berarti. Hutan yang masih alami di sekitar lingkungan hidup mereka turut pula menyediakan bahan-bahan makanan sehat dan bergizi lain yang tidak terkira, seperti daging ayam hutan, kijang, burung-burung dan lain sebagainya. Singkatnya, penduduk Cigugur pada saat itu adalah

72 Tatar Sunda adalah salah satu kawasan di Pulau Jawa yang merujuk pada wilayah geografis Jawa bagian barat dan sebagian kecil Jawa bagian tengah sekarang. Lihat, Nina Herlina Lubis, “Perlawanan di Tatar Sunda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah ...., hlm. 247.

64

masyarakat yang mandiri karena bisa menghidupi seluruh anggotamasyarakat dengan dukungan alam sekitarnya.

Ketika perkembangan zaman tidak bisa dielakkan, sedikit demi sedikit masyarakat Cigugur semakin terlibat jauh dalam lingkungan dan pergaulan sosial yang lebih besar. Jika mulanya mereka hanya mengenal masyarakat dan daerah di sekitar mereka saja, seperti Kuningan dan Kadugede misalnya, yang mereka pandang keadaan sosial ekonominya tidak jauh berbeda karena kehidupannya sama-sama bersifat agraris, maka mereka merasa aneh dan terheran-heran ketika bertemu dengan masyarakat pesisir yang memiliki kondisi alam, adat dan hasil bumi yang sama sekali berbeda. Pertemuan dengan unsur-unsur luar seperti itu, menghasilkan pengetahuan yang baru karena ternyata tidak semua masyarakat itu sama. Jika wilayah mereka kaya akan hasil bumi beserta hutannya, ternyata masyarakat pesisir kaya akan hasil laut dan bahan makanana khas-nya, yaitu garam dan udang. Diawali dari ketertarikan akan hasil alam masyarakat yang berada di luar lingkungannya, maka proses pertukaran sederhana pun terjadi. Lama kelamaan pertukaran kecil itu berubah menjadi pertukaran dalam jumlah yang lebih besar. Setelah adanya pertukaran, masyarakat membutuhkan nilai untuk mengukur barang-barang yang dipertukarkan. Nilai itu kemudian diwujudkan dalam bentuk simbolis berupa barang-barang berharga yang digunakan sebagai pengganti nilai bahan yang dipertukarkan, dan hal seperti itulah yang kemudian disebut sebagai perdagangan. Dalam perkembangannya kemudian, pertukaran yang terjalin diantara kedua belah pihakitu semakin intens dan berubah menjadi hubungan simbiosis mutualisme, hubungan erat yang saling membutuhkan satu sama lain.

Di masa Kesultanan Cirebon, wilayah pedalaman seperti Kuningan sangat diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian, apalagi kawasan ini tanahnya begitu subur karena terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi serta daerah pegunungan diantaranya gunung berapi yang masih aktif, yakni

65

Ciremai. Hasil alam Kuningan, seperti sayur-mayur, buah- buahan, ternak, padi, tarum atau indigo sangat dibutuhkan pula oleh Cirebon dan partner bisnis lokal atau asingnya dalam perdagangan internasional. Sebaliknya, barang-barang yang datang dari luar melalui kota dagang Cirebon, cukup menarik perhatian masyarakat pedesaan Kuningan yang posisinya jauh dari bibir pantai atau pelabuhan, seperti logam besi, emas, perak, tekstil halus (sutera) dan barang pecah belah (keramik). Hal-hal lain yang juga dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman dari luar adalah: garam, terasi, ikan asin dan rempah-rempah. Semua itu termasuk kebutuhan sehari-hari masyarakat pedesaan.73 Pada masa itu, perdagangan masih bersifat terbuka karena penguasa- penguasa lokal tidak membatasi kepentingan niaga rakyatnya.

Saat kekuasaan asing asal negeri keju sudah semakin menguat, kerajaan-kerajaan asli di Jawa hanya menjadi penggembira. Satu demi satu wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan tradisional itu dianeksasi oleh pasukan Belanda. Untuk tanah Priangan, yang awalnya berada di bawah Mataram berhasil direbut oleh kekuatan asing berbentuk VOC pada abad ke-17. Bumi Kuningan yang saat itu berada di bawah otoritas Cirebon, berhasil dikuasai pada akhir abad ke-17 karena Cirebon telah berada di bawah perlindungan VOCdi tahun 1681. Perlindungan yang diberikan diganjar dengan penyerahan keuntungan dagang dan hak atas wilayah dataran tinggi di sekitar Kesultanan Cirebon.74 Semenjak itu, perdagangan tradisional Kuningan pun praktis berada di bawah pengawasan penjajah kompeni. Bidang niaga yang awalnya bebas dan terbuka, sedikit

73 Lihat, M. Sanggupri Bochari, Wiwi Kuswiah dan G.A. Ohorella, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon…., hlm. 42.

74 M.C. Ricklefs, War, Culture and Economy in Java: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura Period, (Sydney: Asian Studies Association of Australia/ASAA, Southeast Asia Publication Series No. 24, 1993), hlm. 73.

66

demi sedikit mulai tertutup seiring semakin dalamnya tiang pasak kepentingan pemerintah kolonial di wilayah yang telah ia kuasai.

Setelah pergantian dari abad 18 ke abad 19, kekuasaan Batavia berubah dengan bergantinya kemasan (VOC ke pemerintah kolonial) tapi dengan isi yang tetap sama (orang- orang Belanda). Pada abad itu, kekuatan mereka semakin kuat dan terhitung sejak tahun 1830, pemerintahan kolonial yang berpusat di Batavia itu meluaskan kekuasaannya hampir ke seluruh pulau dan berfungsi berdampingan dengan pemerintahan “Mataram” Jawa Tengah yang lama.75 Bahkan, secara politis, pihak kolonial posisinya berada lebih tinggi ketimbang Kerajaan Mataram. Saat itu, menurut Ricklefs, dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa.76 Pada masa itu, tujuan-tujuan bangsa Eropa di wilayah Asia tidak lagi hanya berdagang, tetapi juga “menggarap” tanah pedalaman, mengeksploitasi semua kawasan dan bahkan menguasai produksinya. Barang yang mereka anggap penting bukan lagi hasil hutan,77 melainkan hasil perkebunan78 maupun hasil tambang seperti timah dan minyak

75 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jilid 3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 51.

76 Ricklefs memandang aneh kedudukan kolonial di Jawa, karena setelah terlibat di Jawa selama lebih dari 200 tahun, dominasi yang didapatkan baru di abad ke-18 itu. Lihat lebih lanjut, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Penerjemah: Tim Penerjemah Serambi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), Cet. II, hlm.259.

77 Hasil hutan yang dimaksud adalah rempah-rempah dan kayu yang tinggi nilainya, yang oleh pegawai-pegawai VOC diperebutkan dari para pedagang Melayu, India, Arab ataupun Cina.

78 Hasil perkebunan tersebut adalah kopi, nila, gula, teh, kopra, karet, tembakau, dan minyak kelapa. Pada umumnya, perkebunan-perkebunan itu dikembangkan secara massal dan wilayah pedalaman tidak hanya menyediakan tanah sebagai lokasi perkebunan saja, tetapi juga menyediakan tenaga kerja murah yang bisa secara bebas mereka perbudak dan eksploitasi.

67

tanah.79 Sumber daya alam yang berhasil mereka dapat dari tanah koloni itu kemudian diperdagangkan di dalam perdagangan internasional. Dalam hal ini, komoditas yang berasal dari perkebunan dan pertambangan menjadi produk andalan tanah Hindia dan pemerintah kolonial di bursa perniagaan global.

Sejak 1870, sistem ekonomi liberal mulai merasuki sistem ekonomi seluruh masyarakat kolonial, termasuk ke dalam lingkungan masyarakat pedesaan. Sesudah tahun itu, tanpa terelakkan penduduk Pribumi di Hindia Belanda terlibat semakin jauh dalam perekonomian kolonial. Meski tenaga bayaran Pribumi bukan hal yang biasa sebelum abad ke-19, kesediaan penduduk Pribumi menjadi tenaga bayaran untuk orang Eropa tetap meningkat. Namun keikutsertaan ini tidak akan membawa perbaikan yang begitu berarti bagi tingkat kesejahteraan hidup mereka karena memang para pemodal asing sangat acuh pada nasib orang Pribumi dan hanya memikirkan raupan keuntungan besar semata. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perusahaan perkebunan yang ada di Nusantara mengalami pertumbuhan pesat. Demi mencukupi kebutuhan tenaga kerja Pribumi, digunakanlah cara-cara yang ekstrem dan radikal.80

Memasuki tahun 1930-an, perubahan yang mendasar terjadi dalam dunia perniagaan terkait keterguncangan dunia akibat apa yang dinamakan dengan Masa Depresi Ekonomi. Hal itu terus meluas hampir ke seluruh pelosok dunia karena setiap wilayah sudah tersambung dengan jaringan kolonialisme negara- negara barat, sehingga ketika negara induk mengalami kelesuan ekonomi maka hal yang sama bisa terjadi pula pada negeri jajahannya. Ekonomi Belanda yang terhubung dengan jaringan ekonomi global, juga menjadi terganggu. Dalam hal ini,

79 Baca lebih lanjut, Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jaringan Asia), Jilid 2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 67-68.

80 Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan…., hlm. 26.

68

perekonomianHindia Timur yang sedikit banyaknya menginduk pada negara Belanda, turut pula terpapar dan terpengaruh oleh gelombang krisis ini. Sejak awal tahun 1930-an, kegiatan ekonomi yang sebelumnya berkembang baik dan meningkat tinggi ke langit pun menjadi jatuh jauh ke tanah, karena krisis itu telah mengacaukan penghasilan ekspor hasil panen tanah Hindia Belanda dan menimbulkan efek destruktif terhadap ekonomi kolonial yang selama ini memiliki ketergantungan kepada ekspor tersebut. Pelbagai malapetaka di tengah masyarakat perkotaan terjadi, mulai dari hilangnya kesempatan untuk menaikkan taraf hidup, adanya pemotongan penghasilan, penurunan geliat ekonomi masyarakat dan yang lebih parah adalah meluasnya pengangguran. Di masa itu, jumlah orang yang kehilangan pekerjaan jauh lebih tinggi ketimbang orang yang mendapat pekerjaan. Sebagaimana diuraikan Vreede, antara Bulan Juni sampai Bulan November 1930, sebuah perusahaan besar di Hindia Belanda hanya dapat mempekerjakan 488 pekerja baru dan harus memecat 1.169 pekerja mereka.81 Krisis dunia yang ada telah membuat jumlah pengangguran di tanah Hindia meningkat tajam akibat pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana. Pemerintah kolonial dan seluruh pemuka kelompok masyarakat, baik itu kelompok pribumi maupun asing, turut terus memikirkan dan memprihatinkan persoalan pengangguran ini, terutama pengangguran yang ada di kalangan muda masyarakat. Mereka mengkhawatirkan Depresi Ekonomi itu akan melahirkan generasi yang tidak kompeten karena menjadi pengangguran secara permanen. Jika hal itu benar-benar terjadi, tentunya konsekuensi sosial dan politik yang dihasilkan memiliki potensi yang sangat serius bagi kelangsungan masyarakat kolonial. Implikasi yang dihasilkan cukup buruk bagi generasi muda Indonesia, khususnya bagi mereka yang berpendidikan Barat, karena mereka tumbuh

81 A.G. Vreede, “Onderzoek naar de Ornvang der Werkloosheid op Java (November/Desember 1930)”, Koloniale Studien, April 1931, hlm. 262.

69

dengan „moral fibre (prinsip)‟ yang tidak kuat dan berkembang dengan naluri keputusasaan.82

Pada dekade yang selanjutnya, di masa pendudukan Jepang, kegiatan perniagaan menjadi semakin hancur karena bidang pertanian dan perkebunan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan perangnya saja. Produksi dan distribusi panen beras, serta hasil dari komoditas perkebunan lainnya, diawasi secara ketat. Pemanfaatan hasil bumi yang hanya untuk kegiatan perang saja, mengakibatkan timbulnya bencana kelaparan di tengah- tengah masyarakat.83 Di era selanjutnya, setelah kemerdekaan bangsa sudah diproklamirkan, keadaan ekonomi dan perniagaan belum bisa dikembangkan secara optimal karena negara yang masih seumur jagung itu masih rentan akan konflik, baik itu konflik internal maupun eksternal. Menurut Maryoto yang mengutip uraian Azhari, awal dari kemerosotan bidang ekonomi dan krisis pangan adalah involusi atau kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah. Fragmentasi lahan mulai terjadi hingga kemudian produktivitas lahan pun merosot. Krisis pangan yang terjadi hingga menjelang akhir kepemimpinan presiden pertama Indonesia itu dinilai sebagai akibat dari masalah yang terjadi di awal masa revolusi fisik dan kemerdekaan Indonesia.84 Keadaan ekonomi internal negara yang masih belum stabil itu membuat aspek perdagangan di sebagian besar era kepemimpinan Soekarno tidak bisa berjalan dengan baik.Geliat perdagangan kembali

82 John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, Penerj. Iskandar P. Nugraha, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), Cet. II, hlm. 179.

83 Saat itu kesulitan pangan muncul di mana-mana. Jepang berusaha merampas beras milik rakyat. Akibatnya, hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Setiap kali ada rakyat yang menyimpan beras, Jepang berusaha merampasnya. Baca, Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 125.

84 Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah …., hlm. 128.

70

bangkit ketika tampuk kekuasaan negeri ini sudah beralih tangan kepada Soeharto, Presiden Kedua Negara Kesatuan Republik Indonesia yang seringkali disebut-sebut oleh kalangan akademisi dan wartawan asing sebagai the Smiling General. Meski demikian, sistem ekonomi Indonesia masih sangat rentan karena dibangun dengan pondasi ekonomi yang kurang bagus di tengah ketergantungan pada pihak luar yang begitu besar.

3. Sistem dan Administrasi Pemerintahan Tanah Cigugur merupakan suatu daerah yang terletak di bawah kaki Gunung Ciremai. Wilayah ini pertama kali diketahui dihuni oleh manusia modern yang memiliki sistem sosial kemasyarakatan adalah ketika Ki Gedeng Padara diriwayatkan mukim di tempat ini. Jika melihat mitos masyarakat yang mengatakan bahwa tokoh sakti ini hidup semasa dengan para Walisanga, maka dapat dipastikan bahwa ia hidup di masa kerajaan-kerajaan tradisional. Di masa kerajaan yang demikian itu, sistem kenegaraan masih berjalan secara sederhana sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh kerajaan. Di masa kerajaan Hindu-Buddha, sistem pemerintahan terpusat pada raja yang digambarkan sebagai sumber cahaya yang memancarkan cahaya itu ke sekelilingnya, dengan intensitas yang meredup, dan di sekelilingnya itu berorientasi pada kekuasaan raja sesuai dengan intensitas itu. Hubungannya dengan negara bukanlah hubungan jurisdiksi teritorial, tetapi penjalanan kekuasaan atas rakyatnya yang patuh. Dengan banyak rakyat di bawahnya, ia berkuasa dan mampu menggerakkan masyarakat untuk pelbagai keperluan.85 Di masa kerajaan-kerajaan Islam, hal itu tidak banyak berubah. Sebagai contoh Mataram Islam yang pernah membawahi tanah Pasundan memusatkan kekuasaannya pada sang Susuhunan. Dalam bahasa Moertono, sistem seperti itu adalah tatanan

85 Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa …., hlm. 16.

71

tradisional berdasarkan pemusatan pembagian kekuasaan yang konsekuen.86 Kekuatan pusat berada di tangan raja yang terletak di tengah seluruh lokasi dan pusat itu juga dikelilingi oleh daerah- daerah yang diperintah langsung, dibatasi oleh provinsi-provinsi yang dipimpin bupati atas nama raja. Semakin jauh jaraknya dari pusat kekuasaan, maka wilayah itu semakin otonom dan semakin tidak terlalu memiliki ketergantungan pada kekuatan pusat. Ketika VOC berhasil merebut tanah Priangan, mereka mengelola wilayah ini dengan cara yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

Perubahan yang benar-benar mendasar terkait sistem pemerintahan ini terjadi ketika VOC yang saat itu menguasai tanah Pasundan hancur akibat tersangkut pelbagai macam persoalan dan digantikan oleh sistem pemerintahan kolonial yang langsung berada di bawah otoritas Kerajaan Belanda di Eropa. Sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda merupakan sistem pemerintahan yang mulai berlaku sejak awal abad ke-19. Sistem ini diberlakukan karena sistem yang ada sebelumnya dianggap sangat kacau karena memiliki sejumlah titik kelemahan yang mendasar. Menurut Lohanda, dasar sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda ini diletakkan oleh Daendels dan selanjutnya dilembagakan oleh Raffles. Perbedaan yang paling penting adalah sistem pemerintahan baru ini adalah pemberian posisi yang lebih vital kepada pangreh praja dalam pemerintahan pribumi.87

Sistem baru ini mulai dirintis ketika pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dan wilayah kekuasaannya di Nusantara diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Untuk menjalankan sistem pemerintahannya, wilayah mereka yang berada di seberang lautan itu dikelola oleh Bataavsche Republiek.

86 Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century, Disertasi tidak diterbitkan, (Ithaca: Cornell University [Modern Indonesia Project Monograph Series], 1968), hlm. 112.

87 Mona Lohanda, “Sistem Pemerintahan Hindia Belanda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah ...., hlm. 43.

72

Pada tahun 1808, perubahan pun benar-benar terjadi ketika Herman Willem Daendels datang untuk ditugaskan sebagai Gubernur Jenderal pemerintah Hindia Belanda di Indonesia oleh Kerajaan Belanda yang saat itu telah dikuasai oleh Perancis. Saat memimpin tanah jajahan, Daendels menginginkan adanya sistem pemerintahan yang efisien. Untuk itu, kemudian ia melakukan pembaruan dengan membagi Jawa ke dalam 9 prefektur (kedudukan) yang dipimpin oleh seorang prefek. Tugas-tugas yang dimiliki seorang prefek terinci dalam surat intruksi yang diberikan kepadanya.88 Tujuan dari sistem yang digagas Daendels ini adalah pengawasan yang lebih ketat terhadap administrasi dan keuangan yang dikelola oleh pemerintah lokal dengan memusatkan seluruh kekuasaan yang ada pada tangan Gubernur Jenderal di Batavia.89 Kepala sebuah prefektur haruslah seorang pejabat yang berkebangsaan Eropa, sedangkan sebuah kabupaten dipimpin oleh seorang pejabat bupati pribumi. Kedudukan semacam ini adalah kedudukan yang tertinggi yang bisa diraih oleh seorang pejabat bumiputera. Para bupati ini menjadi pejabat pemerintah yang menerima gaji. Dengan demikian, mereka kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun. Dengan cara yang terurai inilah Daendels meletakkan dasar bagi sistem administrasi kolonial.90

Pada masa itu, Cigugur dan Kuningan berada di bawah wilayah Cirebon. Daendels sendiri membagi Cirebon menjadi dua, yaitu Cirebon Utara dan Cirebon Selatan. Cirebon Selatan

88 Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, (Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong: Heinemann Educational Books [Asia] Ltd., 1979),hlm. 7.

89 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern ...., hlm. 146.

90 Mona Lohanda, “Sistem Pemerintahan Hindia Belanda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah ...., hlm. 44.

73

meliputi Galuh, Limbangan serta Sukapura. Sedangkan Cirebon Utara menjadi tiga kabupaten, yaitu:91

1) Daerah Cirebon dan Kuningan dikepalai oleh Sultan Sepuh, 2) daerah Majalengka dikepalai oleh Sultan Anom, dan 3) daerah Indramayu dikepalai Sultan Cirebon.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, semua hal itu tidak banyak yang berubah karena secara historis, Kuningan selalu berada di bawah garis kepemimpinan Cirebon, baik itu ketika kekuasaannya masih berbentuk kesultanan maupun keresidenan. Di masa hidup Madrais, Kuningan dipimpin oleh sejumlah Bupati yang diseleksi secara tertutup oleh pemerintah kolonial. Beberapa di antaranya adalah: Raden Tumenggung Brataningrat yang menjabat sejak 12 November 1887, Raden Adipati Aria Brata Amidjaja yang memimpin Kuningan sejak 10 April 1903, Raden Adipati Aria Mohamad Achmad yang mulai memegang tampuk kekuasaan tertinggi Kuningan sejak 24 Juni 1923, dan Raden Tumenggung Umar Said yang menjabat di akhir tahun 1939.92 Sejak Indonesia merdeka, Kuningan telah banyak berkembang secara evolusionis sehingga untuk saat ini, Kuningan telah menjadi salah satu wilayah kabupaten yang termasuk ke dalam golongan Daerah Tingkat II (Dati II).

C. ADS dalam Konteks Masyarakat Agraris Pedalaman Pada abad ke-19, masyarakat penjajah barat masih banyak menyebut orang-orang Sunda sebagai “orang gunung”. Kesan yang tidak terlalu baik karena di masa itu, orang gunung adalah

91 Adeng et.al. (eds.), Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 49.

92 Lihat, Regerings Almanaak voor Nederlandsch-Indië, (Batavia: Landsdrukkerij), untuk tahun 1903, 1914, 1939 dan 1940.

74

urang sisi atau sekelompok orang yang terpinggirkan hidupnya.93 Dalam konteks ini, orang gunung adalah satuan kelompok sosial yang hidupnya jauh dari posisi pusat kemajuan yang saat itu berada di daerah pesisir pantai, seperti Batavia (Jakarta), Cheribon (Cirebon), Sammarang (Semarang) dan Surabaya. Karena posisi geografisnya yang termarjinalkan dari sentra mainstream peradaban dan kehidupan masyarakat kolonial tersebut, berkembang kesan bahwa orang gunung adalah orang yang udik, tidak memiliki sopan santun dan masih terbelakang. Dalam magnum opusnya, The History of Java, Raffles menuliskan bahwa orang Sunda pada abad ke-19 identik dengan daerah pegunungan. Selain menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung yang diucapkan di bagian barat Jawa, ia juga menyatakan bahwa orang Sunda adalah penduduk gunung dengan ciri fisik pendek, tegap, kuat, dan lebih lincah dibanding penduduk Jawa Tengah dan Timur.94

Pada dasarnya, penyebutan orang Sunda sebagai orang gunung itu bukanlah tanpa sebab. Persebaran masyarakat Sunda yang mayoritas penduduknya bertempat tinggal di dataran tinggi merupakan faktor utama bagi disematkannya penyebutan tersebut. Kehidupan tersebut merupakan sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan karena memang unsur-unsur utama struktur fisiografi tanah Sunda mendukung hal itu. Bumi Parahiyangan ini memiliki wilayah pegunungan yang lebih luas bila dibandingkan dengan wilayah dataran rendahnya, bahkan perbandingan antara bagian dataran rendah dengan bagian pegunungannya hingga 1

93 Urang sisi adalah kelompok masyarakat yang berada jauh dari pusat kemajuan sehingga kemudian mereka dianggap sebagai kelompok yang tertinggal, miskin, kurang terdidik dan bersikap agak kasar. Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Alih Bahasa: Sumitro dan S.N. Kartikasari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. xxxvii.

94 Thomas Stamford Raffles, History of Java …., hlm.34.

75

berbanding 3.95 Keadaan seperti itu membuat orang-orang Sunda tidak memiliki pilihan selain tinggal menetap di daerah perbukitan dan pegunungan. Posisi dataran tinggi Jawa Barat biasanya cukup jauh dari bibir pantai sehingga orang-orang yang tinggal disana seringkali disebut pula sebagai orang pedalaman.

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah dataran tinggi pedalaman Sunda menyandarkan hidupnya pada bidang pertanian. Tanah subur yang menyebar di seantero dataran tinggi bumi Parahiyangan merupakan tanah vulkanik karena terbentuk dari pelapukan tanah hasil letusan gunung berapi. Tanah jenis ini mengandung banyak unsur hara yang begitu dibutuhkan oleh pelbagai macam tumbuhan. Masyarakat petani di Jawa Barat mengolah tanah dataran tinggi tersebut dengan menanam palawija dan sayur mayur.

Dalam konteks pengikut ADS, orang-orang gunung dan pedalaman di wilayah Cigugur merupakan kelompok masyarakat yang sangat penting bagi Madrais. Meski lokasinya secara geografis tidak terlalu jauh dari Cirebon yang saat itu merupakan pusat pengembangan agama Islam, nyatanya kondisi wilayah yang berbukit-bukit dan tinggi membuat Cigugur menjadi tempat yang sangat sulit menerima penetrasi budaya luar. Oleh karena itu, masyarakat yang ada disana pun tidak terpengaruh oleh agama Islam secara menyeluruh. Kondisi itu pula lah yang turut membuat cakrawala berpikir masyarakatnya tetap sederhana sehingga kemudian lebih mudah untuk dipengaruhi.

Di antara pengikut-pengikut Madrais, yang paling mudah untuk dibujuk adalah “orang-orang gunung”, dengan mudahnya mereka mengikuti Madrais dan mempercayai bahwa pendiri ADS

95 Dilihat dari unsur-unsur utama struktur fisiografi, Pulau Jawa dibagi menjadi dua bagian. Pertama, bagian selatan yang mengandung geanticlines dan berwujud daerah pegunungan. Kedua, bagian utara yang mengandung geosycline dan berwujud dataran rendah. Di Jawa Barat, struktur fisiografi yang pertama lah yang dominan. Lihat, Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda …., hlm. 18-19.

76

itu adalah seorang menak atau bangsawan dengan gelar “pangeran”.96 Sebagai seorang pemuka agama yang telah malang melintang dalam pelbagai kegiatan religius masyarakat, Madrais memang mengetahui dengan baik bahwa masyarakat yang mudah untuk dipengaruhi bukanlah masyarakat perkotaan yang pada umumnya tinggal di kota-kota pelabuhan melainkan masyarakat pedesaan yang bertempat tinggal di daerah pegunungan atau pedalaman. Perintis ADS itu menyadari bahwa orang-orang yang tinggal di dataran rendah pola pikirnya lebih terbuka dan umumnya lebih terdidik dan cakrawala pemikiran yang luas.97 Oleh karena itu, ketika merintis dan mengembangkan ADS, ia lebih banyak melakukan pendekatan yang intens terhadap urang gunung dan urang pedalaman dibandingkan terhadap orang-orang pesisir dan pelabuhan. Pada dasarnya, terdapat faktor lain yang juga turut memengaruhi kebijakan Madrais untuk memilih daerah pedalaman sebagai medan “dakwahnya”, yaitu faktor keamanan.98

Selain orang gunung Ciremai atau tepatnya masyarakat Cigugur, Madrais juga mendekati kelompok masyarakat lain yang umumnya berada di dataran tinggi, seperti masyarakat Garut dan Cireundeu Bandung. Di kedua tempat tersebut, pendekatan

96 ANRI, Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, (Jakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah ANRI, 1981), hlm. LXXXIII.

97 Cakrawala pengetahuan masyarakat pesisir biasanya lebih luas karena struktur masyarakat mereka lebih terbuka. Mereka dapat bergaul dan berbagi pengetahuan dengan pelbagai macam bangsa yang singgah ataupun sengaja datang ke wilayah itu. Sementara itu, di sisi lain, masyarakat pedalaman memiliki lingkungan pergaulan yang sangat terbatas. Selain karena akses yang masih sangat sederhana, rendahnya keinginan masyarakat pegunungan untuk berkelana dan merubah nasib membuat pengetahuan mereka berkembang dengan stagnan serta tidak sebanyak orang-orang yang berasal dari daerah pesisir pantai.

98 Mengingat pengawasan penguasa terhadap daerah pedalaman lebih lemah, maka Madrais lebih memilih Cigugur sebagai basis atau pusat dari gerakan adat dan spiritual yang telah ia bangun dari nol. Padahal, jika mengesampingkan faktor keamanan ini, bisa saja ia membangun jaringan ADS di tempat yang lebih ramai dan maju, seperti Cirebon dan Batavia. Namun tentunya dengan jaminan keamanan yang tidak memadai.

77

Madrais mendapat sambutan yang sangat hangat sehingga kemudian dengan mudahnya ia berhasil mendapat cukup banyak pengikut. Ia mengelola hubungan baik dengan para pengikutnya melalui sosok-sosok perantara yang ia sebut dengan sebutan badal.

Pemimpin pertama komunitas adat dan spiritual Sunda Wiwitan Cigugur ini tidak hanya menjaring pengikut dengan bantuan badal-badal yang dimilikinya, ia juga melakukannya dengan cara memanfaatkan kepercayaan masyarakat petani Sunda terhadap mitologi mengenai dewa-dewi yang sangat dekat dengan tanaman padi.99 Di antaranya adalah Dewa Ismaya, Dewi Uma dan yang paling utama adalah yang juga sering disebut sebagai Nyi Pohachi.100 Pengetahuan mumpuni Madrais akan mitologi padi yang diyakini masyarakat Sunda tersebut membuat ia dikagumi banyak urang gunung. Belum lagi keterampilan hebatnya akan bidang pertanian - yang dipelajari dan didapat ketika ia diasingkan dan dipekerjakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda - membuat ia semakin dihormati oleh masyarakat petani pedalaman. Sebagai informasi, di wilayah atau kalangan orang Sunda, orang yang dikenal sebagai ahli mengenai tata cara bercocok tanam padi merupakan sosok tokoh masyarakat yang sangat disegani. Orang dengan kelebihan semacam itu dikenal sebagai wali puhun dan biasanya para pemilik kekuatan supranatural tersebut dianggap memiliki kekuatan tertentu untuk dapat berkomunikasi dengan roh atau makhluk halus yang berhubungan dengan asal mula kejadian padi.

Realita sejarah yang telah berjalan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara Madrais dan masyarakat agraris

99 Harsojo, “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1980), hlm. 315.

100 R. Akip Prawira Soeganda, Upacara Adat di Pasundan, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1982), hlm. 150-174.

78

pedalaman pada mulanya didasari oleh hubungan saling membutuhkan. Dalam hal ini, Madrais membutuhkan banyak pengikut untuk keberlangsungan ajaran serta komunitas yang ia rintis dan sementara itu masyarakat petani pegunungan membutuhkan kelebihan Madrais agar bisa menggunakannya untuk mengembangkan kehidupan agraris masyarakat. Dengan demikian, hubungan simbiosis mutualisme itu bisa dikatakan sebagai hubungan yang berasaskan faktor sosial dan ekonomi, bukan karena faktor yang berhubungan dengan aspek-aspek religius dan rohani semata.

BAB III

HAKIKAT, ASAL USUL DAN AJARAN AGAMA DJAWA SUNDA

A. Hakikat dan Teori Agama

1. Hakikat Agama dan Agama Djawa Sunda Hakikat adalah dasar atau intisari dari sesuatu. Kata ini juga memiliki arti sebagai suatu kebenaran atau bisa juga dikatakan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Sedangkan kata agama mengandung pengertian sebagai pedoman yang mengatur kehidupan manusia agar selalu lurus dan tidak kacau.1 Dalam konteks pembahasan hakikat agama ini, kajian difokuskan terhadap pemahaman yang komprehensif mengenai apa yang disebut sebagai agama dan sejumlah hal penting yang berkaitan dengan pedoman manusia untuk menjalani kehidupannya.

Secara umum, kata agama yang dipakai di Indonesia ini sering disandingkan dengan istilah ad-dien dalam bahasa Arab dan yang ada di dalam bahasa Inggris. Kata ad-dien diartikan sebagai nama untuk suatu kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di dunia ini. Kata ini tidak dikhususkan untuk suatu agama tertentu, namun digunakan secara general kepada setiap agama yang ada.2 Untuk kata religion sendiri berasal dari bahasa Latin religio dengan akar kata re-ligare yang artinya adalah

1 Dalam konteks ini, agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta a yang berarti “tidak” dan gama yang artinya adalah “kacau”.

2 Sebagai bukti, pada Al-Qur‟an surat al-Kafirun ayat 6, tertulis: لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن ﴿٦﴾ Yang artinya adalah: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dengan demikian, ad- dien disini bisa berarti agama apa saja dan tidak hanya terbatas kepada suatu kepercayaan tertentu.

79

80

mengikat kembali.3 Kata kerja mengikat disini merupakan hakikat dari hubungan erat yang sudah seharusnya terjalin di antara manusia dengan Tuhan-nya. Di seantero dunia, ada pelbagai macam kata yang dapat diterjemahkan sebagai kata agama. Namun, pelbagai macam aspek sosial, politis dan kultural yang berkembang di dalam kelompok masyarakat terkadang membuat maksud dan tujuan dari penggunaan istilah masing-masing kata tersebut menjadi tidak sama atau berbeda satu sama lain.

Istilah agama sering ditelisik dari kacamata ilmu sosiologi dan antropologi. Kedua cabang ilmu sosial itu merupakan pisau analisis yang tepat untuk kata agama karena dikaji dari aktivitas dan kehidupan manusia sehari-hari secara langsung. Secara sosiologis, Tischler mengemukakan bahwa agama adalah suatu gejala sosial yang bersifat inheren di dalam setiap masyarakat yang ada di dunia ini tanpa terkecuali. Sosiolog terkemuka dunia barat ini juga menambahkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang kemudian diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu.4 Dengan kata lain, sosiologi memandang agama melalui segala wujud tindakan sosial manusia. Suatu keyakinan bisa dikategorikan sebagai agama ketika ia berhasil menjadi bagian dari interaksi manusia dan menghasilkan pelbagai macam praktik yang bersifat sosial seperti bersilaturahmi, beribadah secara berjama‟ah, bersalam-salaman, berbincang-bincang, menghormati tamu dan lain sebagainya.

Dalam konteks ini, tindakan seorang individu bisa dianggap sebagai perilaku sosial ketika tindakan itu berkaitan dengan individu lainnya, atau dalam bahasa Bento dan Craib, perilaku itu harus dihiasi dengan adanya interaksi yang

3 http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0059%3Ae ntry%3D%2340976, diakses pada tanggal 17 Oktober 2015.

4 Lihat uraian Henry L. Tischler dalam bukunya yang masyhur, Introduction to Sociology, (Chicago: Holt, Rinehart and Winston, 1990), hlm. 380.

81

menghasilkan hubungan dua arah yang saling memengaruhi satu sama lain.5 Realita itu dapat terjadi karena pada dasarnya manusia itu hidup dengan keragaman pola pemikiran yang kemudian memunculkan pelbagai perilaku yang beragam pula.

Sedangkan dalam pendekatan antropologi, agama dipahami sebagai salah satu unsur kebudayaan universal setiap kelompok masyarakat.6 Sistem kepercayaan ini bisa dipahami melalui pelbagai bentuk aspek kultural yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, seperti rutinitas praktik, ritual khusus keagamaan dan lain-lain. Secara antropologis, Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa agama adalah suatu sistem yang terdiri dari lima komponen yang khas namun berkaitan erat satu sama lain, yaitu: (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus atau upacara tertentu; (4) peralatan ritus dan upacara; dan (5) umat agama.7 Kelima komponen agama tersebut menjadi inti kesatuan yang berhubungan secara integratif.

Pada umumnya, antropologi memandang agama sebagai sebuah sistem yang unik karena mengandung unsur-unsur irrasional. Durkheim mengungkapkan bahwa Semua kepercayaan religius, baik itu yang sederhana ataupun yang kompleks, memiliki satu ciri yang umum, yaitu mensyaratkan adanya pengklasifikasian atau pengelompokkan segala sesuatu menjadi dua hal yang berlainan, hal yang profane (profan) dan hal yang

5 Ted Bento dan Ian Craib, Filsafat Ilmu Sosial: Pendasaran Filosofis Bagi Pemikiran Sosial, (Yogyakarta: Ledalero, 2009), hlm. 121.

6 Koentjaraningrat mengemukakan bahwa setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur universal yang ia anggap sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan masyarakat di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Lihat Koenjtaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. VIII., hlm. 203-204.

7 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 80.

82

sacred (sakral).8 Kedua hal ini berkaitan dengan keyakinan adanya suatu kekuatan besar yang ada di luar kuasa manusia. Rudolf Otto menjabarkan bahwa semua sistem kepercayaan dan religi yang ada di dunia ini, berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang ghaib (mysterium), yang dianggap maha dahsyat (tremendum), dan keramat (sacer) oleh manusia.9

Jika melihat Agama Djawa Sunda (ADS) dari kacamata sosiologi dan antropologi, maka dapat dipastikan bahwa ADS adalah sebuah agama. Jika sosiologi mensyaratkan adanya perilaku sosial bagi suatu agama, maka ADS sudah memenuhinya. Hal itu bisa diteliti dari segala aktivitas dan pelbagai macam tindakan para penghayat aliran kepercayaan yang bersumber pada ajaran komunitas spiritual dan budaya tersebut, seperti tindakan saling menghormati dan lain-lain. Sedangkan dalam sudut pandang antropologi, ADS telah memiliki segala komponen yang telah dikemukakan Koentjaraningrat. Masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur ini memiliki gejolak religi yang juga disebut sebagai emosi keagamaan di dalam hatinya, sistem keyakinan yang berisi pelbagai macam ajaran dan pengetahuan, sistem ritual dan kegiatan upacara tertentu, peralatan khusus yang digunakan untuk kegiatan ritual tersebut, dan mereka juga telah memiliki pengikut atau umat yang jelas. Untuk yang terakhir ini, jumlah totalnya belum tercatat dengan rapih karena ada sejumlah hal yang menghambat, seperti ketakutan akan adanya kasus-kasus radikal karena kontroversi kelompok minoritas dan mayoritas, isu hegemoni pemerintah terhadap keyakinan serta kepercayaan warga negara, dan lain sebagainya.

Meskipun aspek sosiologis dan antropologis tersebut telah menunjukkan bahwa Agama Djawa Sunda (ADS) termasuk ke

8 Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life, Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 66.

9 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi …., hlm. 65.

83

dalam kelompok agama, nyatanya para penganut ajaran Madrais ini menyebut komunitas mereka sendiri sebagai ageman atau tuntunan semata tanpa adanya pengakuan sebagai sebuah agama seperti agama-agama “besar dan resmi” lainnya.10 Menurut hemat penulis, pengakuan yang diberikan oleh para penghayat ADS ini bukanlah fakta yang sebenarnya. Hal itu hanya upaya untuk mereduksi kenyataan mengenai keyakinan mereka agar tidak terlalu mencolok, karena jika agama mereka ini diketahui secara umum maka kisah kelam pelbagai intimidasi oleh kelompok mayoritas di masa lalu ditakutkan akan terulang kembali. Keadaan mereka yang masih serba terbatas, baik itu dari segi jumlah pengikut maupun pelbagai segi yang lainnya, membuat mereka semakin mantap untuk tetap menyembunyikan keyakinan hakiki mereka terlebih dahulu.

Pangeran Djatikusumah sendiri sebagai pemimpin ADS kontemporer dengan cukup jelas menuturkan bahwa kata agama yang ada dalam nama komunitas ini tidak mengacu kepada pembentukan suatu agama melainkan hanya berarti sebagai ageman semata.11 Selain itu, sistem administrasi dan politik negara yang belum adil dan merata secara penuh terhadap seluruh sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia, membuat sistem religi yang diyakini oleh minoritas warga negara tidak dapat berkembang dengan baik. Bukti dari adanya sistem semacam ini bisa dilihat dari sejumlah kebijakan negara yang menunjukkan adanya praktik-praktik yang diskriminatif terhadap kelompok keagamaan minoritas, seperti dalam proses atau tata cara pernikahan, pelayanan publik pemerintah, pemberkasan surat-surat identitas kemasyarakatan, dan lain sebagainya.

10 Terkait adanya istilah agama resmi dan non-resmi ini lihat, penjelasan Undang- Undang No. 1 atau Penetepan Presiden RI Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

11 Lihat lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, (Cigugur-Kuningan: 1995), naskah tulisan cetak koleksi Pangeran Gumirat Barna Alam, Cigugur Kuningan, hlm. 14.

84

2. Teori Agama Pada hakikatnya, uraian pelbagai macam kajian teori agama yang ada ditujukan untuk memberi jawaban yang tepat terhadap dua pertanyaan mendasar mengenai agama, yaitu tentang asal muasal dan fungsi agama.12 Asal muasal agama menjadi begitu penting untuk dibahas karena berkaitan dengan aspek historis kepercayaan tersebut, sedangkan urgensi mengenai fungsi agama didasari dengan adanya harapan akan suatu hubungan timbal balik yang terjalin di antara agama dengan para pemeluk- pemeluknya. Sebagian besar dari studi mengenai teori-teori agama ini mencoba untuk mencari benang merah persamaan di antara rangkaian rajutan kusut benang besar yang berisi agama- agama di dunia. Dalam konteks ini, kajian hanya dilakukan terhadap pembahasan agama secara umum dan tidak menjurus secara spesifik hingga ke akar teoligis suatu agama tertentu. Penemuan akan karakteristik yang universal dari sejumlah kepercayaan dan ragam ritualnya itu akan meminimalisir pelbagai macam kesenjangan dan perbedaan yang ada di tengah majemuknya masyarakat global dunia.

Di dalam kajian akademis, kita menemukan banyaknya teori mengenai agama. Untuk mempermudah studi tentang teori- teori tersebut, Pals mendikotomikan agama menjadi dua macam, yaitu teori agama substantif yang fokusnya terhadap isi atau makna agama bagi para pemeluknya dan teori agama fungsional yang perhatian utamanya terdapat pada fungsi sosial atau fungsi psikologis agama bagi para penganutnya.13 Dua macam teori agama tersebut akan dibahas dengan dua masing-masing contoh yang akan diuraikan secara singkat dan padat.

12 Robert A. Segal, “Theories of Religion”, dalam John R. Hinnells (ed.), The Routledge Companion to the Study of Religion, (New York: Routledge, 2005), hlm. 49.

13 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (USA: Oxford University Press, 1996), hlm. 12.

85

Teori substantif diwakili oleh Teori Jiwa dan Teori Batas Kemampuan Ilmu Gaib.14 Tylor menjelaskan bahwa religi berasal dari suatu kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham itu dilatarbelakangi oleh dua hal yang saling berkaitan, yaitu perbedaan yang hidup dan mati, serta adanya peristiwa mimpi.15 Sedangkan untuk teori yang kedua, Frazer menjabarkan bahwa pada dasarnya manusia itu memecahkan pelbagai persoalan dalam hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan yang dimilikinya, tetapi tentunya akal dan sistem pengetahuan yang ada di dalam diri manusia itu ada batasnya. Makin sederhana kebudayaan dan pengetahuan manusia, maka semakin sempit lingkaran batas akalnya. Segala permasalahan hidup yang tidak dapat dipecahkan oleh logika dan akal manusia, maka dipecahkan dengan jalan lain yang berada di luar kemampuan dirinya, yaitu dengan magic atau ilmu gaib.16 Teori fungsional agama sendiri dalam pembahasan ini diwakili oleh teori agama dalam masyarakat kapitalis dan teori fungsi sosial agama. Untuk teori yang pertama, Marx menjelaskan bahwa agama adalah sumber kebahagian yang imajinatif. Meski hanya bersifat sementara, namun agama tetap dapat menjadi sumber kebahagiaan dan hiburan manusia. Menurutnya, hal itu menjadi penting untuk masyarakat karena dinamikanya memang dipicu oleh ekonomi, sesuai dengan konsep Hegelian mengenai tesis, anti-tesis dan sintesis.17 Sedangkan teori fungsi sosial agama menjabarkan

14 Perintis teori jiwa adalah Edward Burnett Tylor, seorang antropolog Inggris yang sangat terkenal karena sejumlah pemaparan teorinya dalam bidang evolusi kebudayaan. Sementara teori batas kemampuan gaib diungkapkan oleh James George Frazer, antropolog sosial asal Skotlandia yang di era sekarang dikenal sebagai Bapak Antropologi Modern.

15 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi …., hlm. 48.

16 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi …., hlm. 54.

17 Seth D. Kunin, Religion: The Modern Theories, (Edinburgh: University of Edinburgh, 2003), hlm. 6-7.

86

bahwa agama adalah salah satu lembaga sosial yang memiliki sejumlah fungsi tertentu bagi para pemeluknya. Durkheim memandang agama sebagai suatu wujud kepedulian terhadap aspek-aspek sosial masyarakat. Baginya, agama merupakan refleksi dari kepedulian untuk umat manusia.18

Berdasarkan teori-teori tersebut, Agama Djawa Sunda (ADS) merupakan salah satu sistem kepercayaan yang dapat dianalisis secara teoritis dan praktis. Komunitas yang berkembang dan berpusat di Cigugur ini dapat dilihat dari sudut pandang substansi maupun fungsinya. Dari aspek substantif, ADS bisa dikaji lewat ajaran teologis dan kulturalnya yang mendapat tempat khusus di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Sunda. Sementara itu, aspek fungsional bisa ditelaah dari manfaat ADS bagi para pemeluknya, yang dalam hal ini adalah manfaat sosial yang dapat secara langsung oleh masyarakat. Contoh dari fungsi sosial ADS yang dapat disebutkan adalah sebagai pemersatu kesatuan solidaritas kelompok masyarakat, penjaga kelestarian budaya asli Sunda, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, solidaritas kelompok dapat dimanfaatkan secara nyata untuk pelbagai macam kepentingan, baik itu yang bersifat duniawi maupun ukhrowi.

18 Durkheim mendasarkan pandangannya terhadap pelbagai penelitian tentang totemisme di antara banyak suku sederhana yang ada di wilayah Australia. Salah satu tokoh penting sosiologi ini juga mendefinisikan agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral (yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang), kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral. Lihat, Emile Durkheim, Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life, Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 80.

87

B. Riwayat Hidup Madrais

1. Silsilah dan Keluarga Silsilah keluarga adalah suatu keterangan atau informasi yang menyatakan hubungan antar anggota keluarga dan susunannya. Hal yang paling penting dalam silsilah keluarga adalah perkawinan dan keturunan. Kedua hal tersebut merupakan ikatan yang menghubungkan antara satu individu dengan individu lainnya dalam bagan atau pohon silsilah keluarga. Dalam hal ini, silsilah keluarga Madrais sangat penting untuk dikaji. Dengan mengetahui dan menganalisanya, maka kita bisa menemukan fakta-fakta sejarah yang menarik terkait asal muasal diri, keluarga dan hubungan kekerabatannya.

Madrais adalah seorang keturunan bangsawan yang berasal dari keraton Gebang. Nama aslinya adalah Sadewa Alibassa Koesoema Widjajaningrat, tiga kata nama tambahan di belakangnya berasal dari nama ayahnya. Nama lain dari Madrais adalah Kusuma Adiningrat, Suryanata, Taswan dan juga Rama Panyipta, walaupun begitu ia lebih tersohor dengan nama Madrais.19 Sadewa adalah putra dari Pangeran Gebang yang bernama Alibassa Koesoema Widjajaningrat bersama seorang perempuan bernama Nyi Kastewi asal Susukan Ciawigebang yang merupakan seorang keturunan dari Tumenggung Jayadipura dari Lebakwangi. Tahun kelahiran Madrais masih belum jelas dan kontroversial, karena memang terdapat beberapa versi mengenai tahun kelahiran sang pendiri ADS ini. Sejumlah literatur

19 Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spritual …., hlm. 7. Terkait hal itu, asal muasal nama Madrais sendiri masih diperdebatkan. Menurut para penghayat, sebutan “Madrais” sebenarnya merupakan sebutan yang datang dari orang-orang luar yang bukan pengikutnya. “Madrais” berasal dari kata “maduning rasa ing sajati” yang artinya manusia yang memiliki rasa dan perasaan sejati, memiliki jiwa welas asih serta berkepribadian luhur. Sedangkan menurut riwayat lain, nama Madrais berasal dari nama Muhammad Rais, sebuah nama yang benar-benar bernafas Islam. Lihat, Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusumawijayaningrat, (Cigugur: tidak diterbitkan, tt), hlm. 13; dan lihat pula, majalah Tempo, terbitan 29 Januari 1983.

88

menunjukkan tahun 1822, 1825, 1833 dan 1835 sebagai tahun kelahirannya.20 Namun, Pangeran Djatikusumah yang merupakan cucu Madrais, beserta keturunannya, menjelaskan bahwa pendiri komunitas budaya dan spiritual itu lahir pada tahun 1822.21 Sejak pertama kali melihat dunia, Madrais sudah menjadi seorang anak yatim karena Pangeran Alibassa telah meninggal jauh ketika Madrais masih berada di dalam kandungan Nyi Kastewi dan belum dilahirkan.

Berdasarkan informasi yang dijabarkan Pangeran Djatikusumh, diketahui bahwa Madrais memiliki darah bangsawan. Ia adalah salah satu keturunan dari anggota Walisongo yang memiliki pengaruh yang sangat besar di tanah Pasundan, yaitu Sunan Gunung Djati. Adapun silsilah Madrais dari ayahnya yang merupakan keturunan Kepangeranan Gebang tercatat sebagai berikut:22

20 Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State: The Dissolution of Madraism in 1964”, Tesis tidak diterbitkan, (Leiden: Leiden University, 2000), hlm. 34.

21 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

22 Silsilah yang ditulis Pangeran Djatikusumah tersebut dimulai dari nama Pangeran Wira Sutajaya, yang menurut sejumlah literatur lain adalah Sutajaya Wira Upas. Baca, Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang …., hlm. 6. Terkait silsilah Madrais ini, lihat juga, Ira Indrawardana (ed.), Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusumawijayaningrat, (Cigugur: tidak diterbitkan, tt), hlm. 12.

89

Sunan Gunung Jati Pangeran Seda Ing Tambak

Pangeran Pasarean Pangeran Seda Ing Garogol

Pangeran Wirasuta Pangeran Dalem Kebon

Pang. Wira Sutajaya (Sutajaya Wira Upas) Pangeran Sutajaya Upas

Pangeran Seda Ing Demung Pangeran Sutajaya Kedua

Pangeran Nata Manggala Pangeran Alibassa

Sebagai salah satu buyutnya, Sunan Gunung Jati sendiri bukanlah sosok tokoh yang biasa-biasa saja, ia memiliki darah bangsawan yang sangat kental sekali. Jan Laurens Andries Brandes, seorang leksikografer asal Belanda yang meneliti naskah Babad Cirebon, menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang keturunan bangsawan Kerajaan Sunda. Nyi Lara Santang, ibu Sunan Gunung Jati, merupakan putri dari Prabu Siliwangi bersama dengan Ratu Subang Larang.23 Sementara itu, Suleman Sulendraningrat juga mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati memiliki garis hubungan darah dengan pemimpin Islam yang pertama dan paling masyhur, yaitu sebagai keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad S.A.W.24 Dengan demikian, Madrais yang merupakan salah satu keturunan Sunan Gunung Djati memiliki silsilah keluarga yang sangat agung karena memiliki sosok-sosok

23 A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 143.

24 Pangeran Suleman Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Cirebon: Balai Pustaka, 1974), hlm. 27.

90

nenek moyang yang sangat berpengaruh dan terkemuka di zamannya masing-masing.

Berkaitan dengan silsilah keluarga yang terhubung pada Madrais tersebut, terdapat suatu hal yang menarik dan perlu untuk diperhatikan, yaitu hubungan antara garis keturunan dengan legitimasi kepemimpinan. Dalam hal ini, karena Madrais merupakan seorang keturunan para pemimpin yang pernah berjaya di masa lalu, maka ia juga dapat menjadi seorang pemimpin karena memiliki hak untuk itu. Dengan kata lain, ia tidak ditakdirkan menjadi seorang hamba sahaya, tetapi seorang penguasa. Ia juga tidak digariskan untuk menjadi seorang abdi, melainkan menjadi seorang kawula. Semua itu bisa terjadi karena ia dianggap memiliki legitimasi lewat keterkaitan garis kekerabatan dengan tokoh-tokoh penting dan berpengaruh yang ada di masa-masa sebelumnya.25

Legitimasi sendiri adalah pengakuan atau persetujuan warga negara atas posisi suatu kepemimpinan. Dalam konteks politik Islam, istilah untuk pengakuan masyarakat semacam itu dikenal dengan sebutan baiah atau bai‟at.26 Agar otoritas suatu kepemimpinan bisa berdiri kuat dan gagah, maka ia harus memiliki dasar pondasi legitimasi yang kokoh. Dalam pandangan Weber, yang dikutip Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, otoritas suatu kepemimpinan, pada umumnya didapat karena adanya legitimasi, baik itu kepemimpinan dengan corak yang

25 Dalam uraian Ralph Linton, status atau kedudukan seseorang di dalam masyarakat yang diperoleh secara langsung ketika dilahirkan dan tanpa adanya usaha adalah ascribed status. Sedangkan untuk kedudukan yang dicapai melalui perjuangan dan usaha-usaha yang keras disebut dengan achieved status. Lihat lebih lanjut uraian Linton, yang dikutip oleh Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989), hlm. 79.

26 Secara praktis, bai‟at adalah cara yang dilakukan oleh umat Islam dalam proses pengangkatan seorang penguasa. Melalui bai‟at yang dilakukannya, umat memberikan indikasi-indikasi kekuasaan kepada penguasa. Lihat karangan, Mahmud Al-Khalidi, Bai‟at dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam, (Bangil: Al-Izzah, 2002), hlm. 18.

91

profan maupun religius.27 Hal tersebut sangat penting karena sebuah otoritas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya legitimasi. Jika legitimasi yang ada sangat lemah, maka akan berakibat buruk bagi kepemimpinannya. Posisi kepemimpinan semacam itu akan lebih mudah goyah, mudah sekali rapuh dan tidak sulit untuk dijatuhkan oleh lawan- lawannya. Namun sebaliknya, jika legitimasi yang ada begitu kuat, maka tanpa kesulitan ia dapat memaksimalkan peran politik yang dimiliki agar keberlangsungan kekuasaannya bisa terus terjaga, sekalipun memang tidak ada jaminan yang pasti untuk hal itu.28

Klaim keturunan melalui hubungan garis darah kepada tokoh-tokoh tertentu di masa lalu merupakan salah satu cara untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan kepemimpinan. Cara pengesahan diri dengan pengakuan silsilah seperti ini juga pernah dilakukan oleh dinasti Mataram. Hal tersebut dilakukan agar raja- raja Mataram dapat diterima rakyat banyak dan terlihat lebih unggul dari dinasti manapun sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih.29 Pengakuan seperti itu merupakan cara yang dapat digunakan untuk memperoleh gelar bangsawan yang nyatanya begitu penting di

27 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed.), Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Fak. Ekonomi UI, 1964), hlm. 345.

28 Sebenarnya, keberlanjutan suatu kepemimpinan tidak semata-mata terpaku pada adanya legitimasi saja. Hal itu bisa dipengaruhi oleh pertemuan antara sejumlah faktor yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu kepribadian, sifat golongan, dan situasi atau kejadian. Menurut Kartodirdjo, ketiga faktor itu menunjukkan adanya sifat multidimensional dari suatu gejala kepemimpinan yang meliputi aspek sosial- psikologis, sosiologis-antropologis dan sosial-historis. Baca, Sartono Kartodirdjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. vii.

29 Tidak tanggung-tanggung, para penguasa Mataram menciptakan silsilah keluarga mereka mulai dari bapak seluruh umat manusia, Adam. Kemudian di dalamnya juga terdapat nama dewa-dewa, tokoh pewayangan dan raja Jawa terdahulu yang sangat terkenal. Baca, G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh raja-raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 26.

92

masa lalu karena sangat berpengaruh terhadap posisi dan status sosial seseorang di dalam struktur masyarakat yang ada pada masa itu. Biasanya, tokoh masa lampau yang dijadikan sasaran klaim seperti ini adalah tokoh pemimpin yang terkemuka, berwibawa, kuat dan suci. Dengan adanya hubungan semacam itu, maka diyakini bahwa keturunannya pun mewarisi sifat dan karakter yang sama dengan nenek moyangnya dan karenanya berhak menjadi penerus ataupun pengganti pendahulunya untuk kembali berkuasa. Jadi dalam anggapan ini, nenek moyang tidak hanya mewariskan garis keturunan saja tetapi juga garis kepemimpinan, tidak hanya menurunkan darah tetapi juga menurunkan trah.30 Simpulnya, ia berhak atas posisi puncak sebuah kepemimpinan karena nenek moyangnya memiliki posisi prestisius semacam itu di masa lalu.

Madrais merupakan seorang anak yatim karena ayahnya telah meninggal terlebih dahulu sebelum ia dilahirkan. Kematian ayahnya yang terlalu dini membuat status Madrais sebagai anak Pangeran Alibassa pun dipertanyakan oleh banyak orang, terutama oleh orang yang membencinya. Sehubungan dengan hal itu, kontroversi pun bergulir dan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menganggap Madrais secara positif sebagai anak yang sah dari sang Pangeran Gebang namun adapula yang memandangnya secara negatif sehingga menyangsikan kebenarannya dan menyebut Madrais sebagai anak haram.

30 Dalam konteks Indonesia, adanya sejumlah habib tertentu yang sering mengaku-aku sebagai keturunan Nabi Muhammad S.A.W. untuk mendapatkan kehormatan di tengah- tengah masyarakat merupakan salah satu contoh yang cukup representatif. Contoh lainnya adalah klaim Kaum Syiah yang menyatakan bahwa para imamnya, dari keturunan Ali dengan Fatimah, mewarisi sifat kekudusan yang ada pada Nabi Muhammad. Menurut mereka, hanya merekalah yang paling berhak atas kepemimpinan Islam. Klaim yang senada juga muncul dari para khalifah Bani Abbas ketika mereka menyatakan diri sebagai Khalifatullah atau bayangan Allah di Bumi. Terkait hal ini, lihat lebih lanjut, W. Montgomerry Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Alih bahasa: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 103.

93

Isu negatif mengenai status Madrais itu berasal dari cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut mengenai hubungan terlarang yang terjalin di antara kedua orang tuanya, Pangeran Alibassa dan Nyi Kastewi. Kisah keduanya bermula pada dasawarsa awal abad ke-19, saat kekuasaan Keraton Gebang Kinatar masih tegak berdiri menguasai wilayah Ciawigebang. Pada masa itu, setiap desa yang berada di bawah kekuasaan dan otoritas Kepangeranan Gebang diharuskan untuk mengutus salah satu warga laki-lakinya guna mengabdi dan melakukan berbagai macam pekerjaan di tempat atau kediaman sang penguasa di Keraton Gebang.31 Tindakan seperti ini merupakan hal yang wajib dilakukan di masa kekuasaan elit-elit tradisional, karena apabila tidak dilaksanakan maka penguasa Gebang akan memberikan sanksi yang sangat berat kepada setiap penduduk dari desa yang melalaikan tugasnya tersebut.

Hingga suatu waktu, dengan alasan yang masih kabur dan belum jelas, entah kenapa tidak ada pria dari daerah asal Nyi Kastewi, yaitu desa Susukan, yang bisa menunaikan tugas kerja bakti di Gebang.32 Jelas kelalaian ini bisa mengundang

31 Terkait konteks sosial tersebut, Breman menuliskan uraian Van Rees dalam laporannya yang menyatakan bahwa mengabdi (mengawula) adalah pilihan petani untuk „aman dari hujan‟, yang artinya adalah mencari perlindungan pada orang yang terpandang dan terhormat pada masa itu (ngalindung). Itu dilakukan dengan memilih menghamba pada seorang petinggi atau bangsawan, dengan harapan agar petinggi atau bangsawan ini tidak akan memberinya beban pekerjaan terlalu berat, daripada menyerahkan diri pada sembarang orang yang dapat mengancam keselamatannya dari segala sisi. Lihat, Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Penerjemah: Jugiarie Soegiarto, Christina Suprihatin, Indira Ismail, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 46-47.

32 Pada abad ke-19, areal tanah desa (terutama yang disewa oleh orang-orang Cina) dikenakan pajak yang cukup tinggi sehingga kaum petani harus bekerja keras untuk mengolah lahan pertaniannya agar bisa membayar pajak. Kesibukan mereka untuk bertani tersebut, tak jarang membuat mereka lalai akan tugas sosial kemasyarakatan yang harusnya mereka kerjakan. Hal itu jelas menunjukkan adanya eksploitasi kolonial secara besar-besaran di bidang ekonomi dan sosial sejalan dengan politik kolonial subyektifikasi Belanda, dimana kepala-kepala desa dan juga penguasa pribumi lainnya di Jawa tidak hanya berperan sebagai penguasa lokal semata, namun juga sebagai media atau penghubung antara kekuasaan kolonial Belanda terhadap penduduk desa-desa di

94

kemarahan penguasa Gebang pada seluruh masyarakat Susukan. Oleh karena itu, guna mengantisipasi murka sang penguasa, kepala desa Susukan mengeluarkan keputusan yang tidak wajar dengan mengirim seorang janda cantik bernama Nyi Kastewi sebagai pengganti utusan desa yang berkewajiban mengabdi di keraton Gebang. Selain sebagai pekerja yang memang rutin dikirim dalam jangka waktu tertentu, Nyi Kastewi juga berperan sebagai niat dan bukti dari permintaan maaf masyarakat Susukan terhadap Gebang. Meski hal itu bisa dianggap sebagai kejadian yang aneh dan benar-benar di luar kebiasaan bagi seluruh khalayak masyarakat luas, nyatanya Pangeran Alibassa menerima permintaan maat tersebut dan sama sekali tidak mengeluarkan hukuman untuk masyarakat Susukan.

Di Gebang, Nyi Kastewi mendapat perlakuan yang istimewa dan berbeda. Tidak seperti abdi-abdi lainnya yang memang ditempatkan di sebuah ruangan khusus untuk para pekerja di luar istana, Nyi Kastewi justru ditempatkan di tempat tinggal wanita-wanita yang berada di lingkungan dalam keraton. Hal itu bisa terjadi karena ternyata Pangeran Alibassa tertarik dan menaruh hati pada janda cantik nan anggun itu. Selang berapa lama, sang pangeran tidak dapat menahan diri lagi dan kemudian menyatakan isi hatinya. Sebagai seorang abdi yang tidak memiliki daya sama sekali, Kastewi berada dalam posisi yang sangat sulit karena tidak bisa menolak mentah-mentah pernyataan penguasa Gebang itu. Setelah itu, hubungan di antara keduanya terus berjalan dan semakin erat. Lama kelamaan, Pangeran Alibassa mulai tergoda dan terhanyut oleh lembutnya cinta Nyi Kastewi. Kecantikan dan pesona sang nyai Susukan dapat membuat jiwa Pangeran Gebang bergelora ganas sehingga kemudian ia berani merayu sang janda agar bersedia untuk tanah Jawa. Baca lebih lanjut, Suyatno Kartodirdjo, “Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah Ekonomi Indonesia”, sebagai pengantar dalam Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Penerj. Hardoyo, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, hlm. xi.

95

memenuhi hasrat syahwatnya. Akhirnya, hubungan terlarang itu terjadi dan Kastewi pun mengandung.

Tindakan yang telah dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah pelanggaran hukum dan hal yang sangat tercela di masa itu. Sesuai dengan hukum Islam yang digunakan dalam pengadilan, maka para pelaku tindakan asusila seperti yang telah dilakukan keduanya harus diganjar dengan hukuman yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Islam, yaitu hukum cambuk. Untuk menghindari hukuman dan juga rasa malu dari rakyatnya, Alibassa pun segera memutar otak dan mencari siasat hingga akhirnya ia menemukan solusi berupa pernyataan kehamilan ajaib Nyi Kastewi. Melalui pernyataan yang dibumbui dengan bumbu mistis dan hal yang irrasonal itu, keadaan Nyi Kastewi yang telah mengandung dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Gebang sebagai suatu hal yang menakjubkan. Rencana tersebut dapat berjalan dengan baik karena sebelumnya Pangeran Alibassa telah memerintahkan Nyi Kastewi untuk bepergian ke sejumlah tempat yang angker dan melakukan ritual-ritual mistik disana sehingga memiliki kesan bahwa ia telah dihamili oleh kekuatan supranatural yang ada di tempat-tempat angker tersebut. Selain itu, sistem kepercayaan masyarakat yang masih sangat sederhana dan pola berpikir yang belum terlalu kritis membuat isu kehamilan “ajaib” itu seakan-akan benar terjadi. Seperti masyarakat Jawa dan Sunda lainnya, masyarakat Gebang pun masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kekuatan supranatural dipercaya memiliki eksistensi yang riil dan memiliki implikasi yang nyata pada kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, cerita mengenai kehamilan yang diakibatkan oleh kekuatan supranatrual tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat Gebang sebagai sebuah kebenaran.33 Sebagai perlindungan, agar Nyi Kastewi dan calon anaknya itu benar-benar terjaga dengan baik, maka pangeran

33 Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State ...., hlm. 35.

96

Alibassa meminta salah satu bawahannya, Ki Sastrawardana yang merupakan kepala desa Cigugur, untuk menikahi Kastewi meskipun pada saat itu Ki Kuwu sebenarnya telah memiliki istri yang sah.34

Terkait pandangan negatif terhadap status Madrais ini, Kartapradja mengungkapkan riwayat lain yang menyebutkan bahwa Madrais adalah anak dari seorang pangeran keturunan sultan di Cirebon dengan selirnya (istri yang dikawin sah tetapi diakui sebagai istri tak resmi) di salah suatu desa kecamatan Losari, Cirebon. Setelah keduanya menjalin kasih dan kemudian sang selir mengandung, si pangeran pergi dan tidak pernah datang kembali ke rumah selirnya itu. Akibatnya, pangeran itu tidak tahu dan tidak mengenali anaknya, begitupun juga sebaliknya, Sadewa atau Madrais tidak mengetahui dengan benar siapa ayah kandungnya.35 Isu Madrais sebagai anak haram tersebut mencuat ke permukaan ketika Madrais dan komunitas yang didirikannya dianggap sebagai kelompok yang memiliki ajaran yang anti- Islam. Padahal pada masa itu Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sekitar Cigugur, bahkan sebagian besar pengikut Madrais pun berasal dari kalangan umat muslim yang memisahkan diri dan memilih untuk bergabung dengan Madrais.

Sementara itu, di sisi yang berlawanan, keturunan dan pengikut Madrais mempunyai uraian cerita yang benar-benar berbeda dengan versi yang pertama tadi. Mereka mengklaim bahwa Madrais adalah anak sah dari pernikahan Ratu Kastewi yang merupakan keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura asal Susukan dengan Pangeran Alibassa yang merupakan salah satu bangsawan keturunan Kepangeranan Gebang. Dalam

34 Deskripsi Aliran-Aliran Kepercayaan/Faham-Faham Keagamaan, (Jakarta: Proyek Pembinaan & Bimbingan Aliran-Aliran Kepercayaan/Faham-Faham Keagamaan Departemen Agama RI, 1976), hlm. 3.

35 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm. 130.

97

penjabarannya, Djatikusumah menjelaskan bahwa Madrais tidak dilahirkan di Gebang, melainkan di Susukan Ciawigebang. Menurutnya, gejolak politik yang terjadi di wilayah Gebang dan Cirebon membuat Madrais berpisah dengan ayahnya (Pangeran Alibassa). Sebagai penguasa Gebang yang telah menjadi musuh pemerintah kolonial Belanda, Alibassa dan keluarganya terus menjadi incaran pihak kolonial. Untuk keamanan dan keselamatan istri beserta calon anaknya, Pangeran Alibassa menitipkan Madrais kepada Ki Sastrawardana di desa Cigugur dengan amanat bahwa ketika dewasa nanti Madrais harus bisa meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh para leluhurnya.36 Dalam konteks ini, pemerintah kolonial Belanda digambarkan sebagai pihak antagonis yang harus dilawan. Gambaran negatif yang muncul itu menunjukkan bahwa hubungan yang terjalin di antara pihak pribumi dan pendatang asing sangat buruk.37

Pada awal abad ke-19, hubungan pemerintah kolonial dengan masyarakat Cirebon dan sekitarnya memang tengah tidak baik. Di masa itu, keadaan sosial wilayah Cirebon dan sekitarnya tengah bergejolak hebat karena ada pelbagai macam kekecewaan dan aktivitas perlawanan kaum bumiputera terhadap pihak

36 Dalam cerita lain yang penuh diliputi dengan mitos, diriwayatkan bahwa Madrais dilahirkan secara spontan setelah ibunya, Ratu Kastewi, berjalan menyusuri wilayah persawahan di tengah kilatan petir yang menyala-nyala. Hal itu dianggap sebagai sebuah keajaiban karena sebelumnya perut Nyi Kastewi tidak membesar atau tidak mengandung sama sekali. Baca lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang, dalam Bahasa Sunda, (ttp: Kusnadi, 2010), hlm. 9.

37 Citra pendatang asing Belanda di tanah Nusantara dapat diuraikan dengan sangat baik oleh Taufik Abdullah. Dengan sangat komprehensif, ia menjelaskan bahwa pelbagai macam gambaran yang muncul dan berkembang berkaitan erat dengan hubungan yang tengah terjadi di antara pihak pribumi dan pendatang. Menurutnya, gambaran tersebut patut diperhatikan karena citra itu memiliki fungsi sebagai sarana untuk membuat orang lain yang berbeda dan asing itu lebih bisa dimengerti. Baca, Taufik Abdullah, “History, Political Images and Cultural Encounter: The Dutch in the Indonesian Archipelago” Sudia Islamika, Vol. 1, No. 3 (1994), hlm. 1-24.

98

kolonial Belanda. Kegiatan revolusioner perlawanan rakyat Cirebon tersebut terjadi sejak 1805 hingga 1818, tepat beberapa tahun sebelum Madrais dilahirkan ke dunia. Gerakan sosial itu berawal dari pelbagai penderitaan para petani pribumi di sekitar tanah-tanah pemerintahan kolonial yang disewa oleh orang-orang Cina. Dengan seenaknya, para saudagar asal Timur Jauh itu memeras tenaga rakyat dan mengenakan pajak yang tinggi bagi masyarakat yang tinggal di atas tanah partikelir yang mereka sewa dari pemerintah.38 Rakyat pribumi sempat mengajukan permohonan keringanan pajak pada pemerintah, namun ditolak sehingga membuat masyarakat murka. Akhirnya, emosi masyarakat pun tak terbendung dan melakukan perlawanan. Orang-orang Cina yang ada di sekitar Cirebon, diusir dan bahkan dibunuh untuk meluapkan dan memuaskan rasa kekecewaan mereka.

Terkait gerakan massa tersebut, pihak Batavia mengendus adanya konspirasi dan rekayasa politis yang berasal dari kalangan keraton Cirebon. Awalnya, yang dicurigai sebagai otak gerakan perlawanan oleh pemerintah kolonial adalah Pangeran Suriawijaya yang sedang menjabat sebagai Sultan Cirebon, tapi berdasarkan laporan Residen Cirebon, S.H. Rose, orang yang menjadi dalang dari keseluruhan peristiwa anarkis itu adalah Sultan Kanoman. Akibatnya, Sultan Kanoman pun ditangkap beserta sejumlah ulama yang memihaknya.39 Bukannya menyelesaikan masalah, penangkapan sang sultan justeru membuat rakyat Cirebon semakin marah sehingga kerusuhan terjadi dimana-mana. Gerakan sosial masyarakat Cirebon baru bisa dihentikan setelah pemerintah kolonial beserta pasukan

38 Nina Herlina Lubis, “Perlawanan di Tatar Sunda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), hlm. 256.

39 Nina Herlina Lubis (ed.), Sejarah Tatar Sunda, (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2003), hlm. 367.

99

pribumi dari sejumlah daerah Tatar Sunda taklukannya menangkap Bagus Rangin pada 1812 dan Bagus Serit pada 1818, dua tokoh terpandang yang memimpin perlawanan itu. Cakupan wilayah gerakan ini begitu dan massif, dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Indramayu dan bahkan Karawang.40 Perlawanan rakyat ini juga melibatkan banyak kalangan, dari muda hingga yang tua, dari yang miskin hingga yang kaya, dengan total relawan mencapai ribuan orang. Untuk pemimpin gerakan, mereka dikelilingi oleh pasukan khusus yang telah terlatih perang dengan jumlah ratusan orang.41 Melihat fakta-fakta tersebut, tidak mengherankan jika gerakan perlawanan rakyat Cirebon ini lama sekali dipadamkan karena selain memiliki medan pertempuran yang luas, ajang kontestasi kekuatan ini juga melibatkan banyak orang.

Salah satu fakta yang menarik dari uraian ini adalah adanya keterlibatan orang-orang dari daerah asal Madrais, Gebang atau Pagebangan, dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Perjuangan yang berada di daerah di sisi tenggara Cirebon atau Timur Laut Kuningan itu dipimpin oleh seseorang yang bernama Ingabei Martamanggala. Ia tidak hanya berjuang sendirian, namun juga ditemani oleh sejumlah pihak, di antaranya adalah kalangan ulama dari Buntet dan beberapa bangsawan keturunan Sunan Gunung Djati yang telah tinggal di

40 Luasnya wilayah perlawanan terhadap praktik-praktik kolonial di awal abad ke-19 tersebut bisa dilihat dari asal daerah jajaran pemimpin pergerakan. Contohnya adalah Bagus Sakti dan Bagus Kondur dari Jatitujuh, Rontui dari Rajagaluh, Bagus Sindung dari Sumber, Bagus Suara dari Bantarjati, Bagus Narim dari Lelea, Demang Penangan dari Kandanghaur, Demang Wargagupita dari Kuningan, Jurangprawira dari Linggajati, Jangbaya dari Luragung, Anggasraya dari Timbang, Demang Anglonklangon dari Weru, Demang Jayapratala dari Sukasari dan Ingabei Martamanggala dari Pagebangan. Lihat lebih lanjut, Nina Herlina Lubis (ed.), Sejarah Tatar Sunda ...., hlm. 370.

41 Menurut Natanagara, Bagus Rangin memimpin secara langsung sekitar 280-300 orang pasukan yang sudah terlatih perang. Pasukan ini adalah pasukan utama yang selalu berada di sekeliling Bagus Rangin. Lihat lebih lanjut, Asik Natanagara, “Sadjarah Soemaedang ti Djaman Kompeni Toeg Nepi ka Kiwari”, Volksalmanaak (1938), hlm. 90.

100

Gebang dan sekitarnya. Umumnya, mereka merasa bahwa pelbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial sangat menyengsarakan rakyat banyak. Keberpihakan para menak Gebang itu membuat pihak penjajah murka, sehingga kemudian banyak anggota lingkungan ningrat dan daerah Pagebangan yang diawasi dan bahkan ditangkap jika mereka terindikasi dan terbukti telah turut serta dalam upaya perlawanan rakyat Cirebon terhadap pihak pemerintah kolonial. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Madrais dititipkan jauh sampai ke daerah Kuningan karena identitasnya sebagai salah seorang keturunan Gebang membuat keselamatan hidupnya tidak dapat terjamin dengan baik.

Gambar 2:

Peta pecahnya pergerakan Bagus Rangin di beberapa daerah (Photo: Tendi)

Madrais yang tumbuh besar di Cigugur, yang lokasinya berada di luar lingkungan Keraton Pagebangan, diakui sebagai anak oleh Ki Sastrawardana agar pemerintah kolonial tidak

101

menaruh curiga dan mempermasalahkannya. Meskipun pada akhirnya, identitas Madrais pun terbongkar oleh mata-mata pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda.42 Karena ia tumbuh dan berkembang jauh dari keluarga ayahnya, maka Madrais disebut oleh beberapa kalangan keraton Cirebon sebagai putra bunian atau dengan kata lain putra yang disembunyikan. Hal itu dilakukan dengan sengaja untuk menghindari kejaran para polisi Hindia Belanda yang tengah mengincar Pangeran Alibassa beserta seluruh keluarga dan keturunannya.

Perbedaan persepsi di antara kedua kelompok tersebut merupakan hal yang wajar terjadi karena memang keduanya memiliki kepentingan yang berbeda. Pihak yang memercayai isu negatif di atas merupakan orang-orang yang tidak menyukai gerakan sosial keagamaan Madrais dan mereka memiliki kepentingan untuk menentang dan menghancurkannya. Sementara itu, orang-orang yang menyukai dan bahkan menjadi pengikut Madrais merupakan pihak yang memercayai dan meyakini bahwa isu-isu positif selalu mengitari junjungannya tersebut.

Saat Madrais dititipkan kepada Ki Sastrawardana, Madrais kecil yang awalnya memiliki nama Sadewa pun diberi nama kecil Taswan. Ia tinggal dan hidup di daerah Cigugur sampai berusia 10 tahun. Setelah itu, ayah Nyi Kastewi atau kakeknya, mengambil alih tanggung jawab pengurusan Madrais dari Ki Kuwu Cigugur. Sebagai guru mengaji di Lebakwangi, kakeknya itu membesarkan Madrais dengan pendidikan dan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Pada saat ia tinggal di kediaman kakeknya itu, nama Muhammad Rais disematkan kepadanya. Namun karena nama itu terlalu panjang dan sulit disebutkan bila dijadikan nama panggilan, maka untuk mempermudah hal itu orang-orang di

42 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang …., hlm. 10.

102

sekitarnya lebih sering menyingkat nama Muhammad Rais yang sangat islami itu menjadi Madrais.43

Berdasarkan uraian kisah keluarga dan masa kecilnya, bisa dikatakan bahwa pada mulanya Madrais adalah seorang penganut Islam. Faktor garis keturunan yang sampai hingga sosok waliyullah Sunan Gunung Jati dan faktor keluarga yang erat memegang Islam sebagai tuntunan hidup, membuat Madrais menjadi sangat dekat dengan Islam. Bahkan dengan keadaan seperti itu, bisa dikatakan bahwa Madrais pada mulanya merupakan seorang muslim karena ia lahir dan tumbuh besar dengan nilai dan norma Islam. Meskipun pada akhirnya ia merintis dan mengembangkan sebuah komunitas yang jauh berbeda dari aspek-aspek Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian hal yang ada di dalam komunitas dan ajaran yang ia rintis dan pimpin itu mengandung atau dipengaruhi oleh unsur- unsur yang berasal dari agama Islam.

2. Kehidupan Pesantren dan Mistik Sebagai cucu dari seorang guru ngaji, Sadewa kecil diharapkan bisa menjadi seorang ulama besar yang memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang agama Islam dan membanggakan keluarga. Terlebih status orang berilmu (khususnya tentang Islam) tersebut adalah status yang sangat prestisius pada masa itu, baik dengan sebutan ustadz, ajengan ataupun kyai. Oleh karena itu, ketika Madrais mulai beranjak dewasa, ia diperkenankan oleh keluarganya untuk menjadi santri dan mengembara ke tempat penggemblengan kader-kader Islam, yaitu pondok pesantren.44 Pada dasarnya, pesantren merupakan

43 Pangeran Djatikusumah, cucu Madrais yang sekarang memimpin Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur, pernah mengungkapkan persoalan mengenai nama kakeknya tersebut dalam Tempo, 29 Januari 1983, hlm. 26.

44 Menurut Muchtarom, kata Jawa pesantren, yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an, memiliki arti sebagai sebuah pusat pendidkan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa muslim sebagai model sekolah agama Islam di Pulau Jawa. Baca, Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif

103

salah satu lembaga atau institusi Islam yang penekanannya terdapat pada pembentukan kepribadian dan karakter seorang Muslim.45 Generasi muda Islam yang belajar dan mendalami ajaran Islam di pesantren umumnya disebut santri, yaitu anak muda yang belajar mengenai pengetahuan agama Islam terutama pengetahuan tentang fiqih, tauhid, bahasa Arab, dan tasawuf dengan menggunakan kitab berbahasa Arab yang lazim disebut “Kitab Kuning”.46 Di dalam pesantren, para santri biasanya menelaah dan mendalami agama Islam, disana mereka juga memperoleh bermacam-macam pendidikan dan pengetahuan lain seperti pendidikan rohani (ilmu mistik dan tasawuf) dan juga pendidikan jasmani (olahraga dan silat). Dalam banyak pelajaran, Madrais cenderung lebih menonjol dan kritis dibandingkan santri ataupun teman-teman pelajar lainnya.47

Madrais menuntut ilmu tidak hanya di satu pesantren saja, ia memasuki sejumlah pesantren terkenal sekaligus di berbagai

Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 12. Mufid juga menambahkan, bahwa pesantren adalah tempat pendidikan para santri yang tinggal di dalam pondok yang dipimpin oleh seorang guru agama yang disebut kyai. Lihat, Ahmad Syafi‟i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 55. Perlu diketahui, bahwa sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok, dalam pandangan Dhofier, berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Kata tersebut bisa disisir juga maknanya dari kata Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama. Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), Cet. 3., hlm. 18.

45 Syamsul Ma‟arif, “Pola Hubungan Patron-Client Kiai dan Santri di Pesantren”, Ta‟dib, No. 2, Vol. XV (Nopember 2010), hlm. 275.

46 Ahmad Syafi‟i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat ...., hlm. 55-56.

47 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda (ADS) dan Sebab-Sebab Penganutnya Beralih Kepercayaan ke Agama Katolik”, dalam Kusman, dkk., Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Rangka Memperingati 30 Tahun Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, (Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988), hlm. 201.

104

daerah. Ia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya dengan harapan ilmu keagamaannya terus bertambah dan kelak bisa kembali pulang ke kampung halamannya guna mengamalkan pengetahuannya tersebut di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, Madrais terus berusaha keras agar bisa mencapai kesempurnaan agama yang dianutnya dengan berbagai macam lelaku seperti berpuasa dan mengurangi tidur. Madrais bukanlah orang yang cepat merasa puas sehingga akar terdalam ajaran Islam pun terus-menerus ia gali dan dalami dengan harapan bisa mendapat ilham atau petunjuk dari Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Namun, keuletan dan kegigihannya untuk lebih memperdalam agama Islam ternyata berbuah suatu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, ia mulai bersentuhan dengan ilmu-ilmu kebatinan dan mistik dan kemudian malah sangat menyukainya.

Menurut W. Straathof, dorongan besar yang ada dalam diri Madrais untuk mempelajari ilmu gaib, mistik dan kebatinan daripada ilmu-ilmu lain bermula ketika pada suatu waktu ia merasa mendapatkan ilham atau pulung. Setelah itu, ia mulai menarik diri dari kegiatan pembelajaran di pesantren karena ia lebih gemar menyendiri, beribadah malam dan berpuasa menahan rasa lapar serta dahaga. Kemudian Madrais benar-benar tidak menuntaskan pendidikannya di pesantren dan memilih untuk ngumbara (mengembara) ke sejumlah dusun yang terkenal memiliki tempat-tempat suci dan keramat sambil ngalakonan (melakukan) puasa dan bermeditasi dengan khusyu di tempat tersebut pada tengah malam.48 Disana, ia mencari kebijaksanaan sambil menguji segala hal yang ia miliki. Upaya itu dilakukan untuk menelaah arti yang paling dalam dari segala apa yang tampak dan tidak tampak dalam spektrum luas alam semesta yang penuh rahasia dan hal-hal ghaib ini. Hal-hal itu ia lakukan dengan maksud nungtik lari nyiar bukti, ngudag-ngudag kanyataan nu

48 W. Straathof, dalam Basis, April 1971, hlm 203.

105

jadi rahasiah alam lahir batin.49 Dalam budaya dan alam pikiran orang Jawa, tindakan bertapa seringkali dihubungkan dengan pengumpulan kekuatan magis, yang sering diakui kepemilikannya oleh para bangsawan yang kuat. Di sisi lain, para pemberontak biasanya turut pula mengakui kepemilikan hal-hal mistik seperti itu.50 Madrais juga mengunjungi atau berziarah ke tempat-tempat yang terkenal sakral seperti makam-makam orang suci dan tokoh penguasa terdahulu. Kegiatan seperti itu merupakan upaya yang dilakukan oleh orang-orang masa lalu untuk mendukung reputasi dan citranya sebagai sosok yang mempunyai kepribadian asketik dan mistik. Dengan demikian, kehidupan pesantren, yang dalam sejumlah hal memang memiliki unsur-unsur sakral dan kekuatan , merupakan gerbang bagi Madrais untuk melihat dan mengenal ilmu-ilmu mistik. Selanjutnya, kegiatan kebatinannya itu menjadi salah satu cara yang Madrais gunakan untuk memperoleh pengakuan atau keabsahan atas kekuasaan yang di kemudian hari ia perlukan untuk menarik pengikut dan mendirikan Agama Djawa Sunda.

Berbeda dengan uraian tersebut, Kamil Kartapradja menjelaskan bahwa perkenalan Madrais dengan ilmu-ilmu mistik terjadi ketika ia berada di keraton Cirebon untuk mengabdi pada salah seorang pangeran Cirebon. Perilakunya yang baik membuat ia sangat disayangi oleh sang induk semang, sehingga kemudian ia pun mendapatkan pelajaran dari sang pangeran tentang ilmu mistik yang sangat khas dan dikenal dengan sebutan Ngelmu Cirebon atau Ngelmu Sejati atau dikenal pula dengan nama Ngelmu Hakekat.51 Para santri sering menyebut ajaran kebatinan

49 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda ...., hlm. 202.

50 Michael Adas, Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa, Penerj. M. Tohir Effendi, (Jakarta: Rajawali, 1988), hlm. 253.

51 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm. 131. Bandingkan dengan, Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103.

106

ini sebagai ngelmu engkik atau ngelmu geringan, artinya ilmu kering, karena pihak pengikut ngelmu itu suka mengolok-olok para santri dengan sebutan golongan itik dan angsa karena setiap hari selalu bermain air (berwudhu dan membersihkan diri atau mandi).52

Setelah sekian tahun ia mempelajari dan mendalami aliran kebatinan itu, kemudian ia menjadi salah satu tokoh penting Ngelmu Cirebon dan mulai menggunakannya untuk kepentingan- kepentingan yang pragmatis. Menurut Lombard, penyebaran Ngelmu Cirebon (atau “Pengetahuan Cirebon”) oleh Madrais terjadi setelah sebelumnya pada sekitar tahun 1920-an, seorang haji asal Banten, Tubagus Burhan, mengembangkan dan menyebarkan secara luas Ngelmu Sejati (atau Ngelmu Hakekat) di sisi barat pulau Jawa.53 Primbon yang merupakan buku-buku catatan dengan tulisan tangan berbahasa Jawa Cirebonan bercampur bahasa Kawi (Sansekerta) dan juga Huruf Arab serta Jawa adalah kitab utama dan merupakan sumber ajaran kepercayaan ini. Buku Primbon tersebut pernah dicetak dalam 12 jilid dan ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin pada tahun 1920 oleh Haji Burhan.54 Beberapa tahun sesudahnya, pamor ajaran tersebut mulai menurun. Melihat hal itu terjadi, Madrais yang telah berusia senja pun bergerak sigap.55 Seperti dituliskan Lombard, Madrais bergerak cepat dengan merangkul

52 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 90-97.

53 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Penerj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, Jilid 3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d‟Extreme-Orient Jakarta, 2008), hlm. 139-140.

54 Tata Septayuda dkk., “Ngelmu Sejati Cirebon: Akar Sejarah, Aktor dan Ajarannya”, Penelitian tidak diterbitkan, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 26 April 2013), hlm. 1.

55 Jika Madrais benar-benar terlahir pada tahun 1822, maka pada akhir tahun 1920-an usianya sudah hampir mencapai 100 tahun atauh bahkan lebih.

107

sejumlah pengikut lama Haji Burhan, terutama yang bisa ia jangkau, ke pihaknya. Karena ajaran keduanya memiliki kedekatan tertentu, proses penyesuaian pun bisa dilakukan dengan singkat dan anggota gerakan keagamaan yang dirintis Madrais pun semakin bertambah. Para pengikutnya yang tersebar di seluruh Tatar Pasundan memberinya hadiah sebagai penghormatan, yang kemudian ia terima dengan suka cita.56 Mudahnya Madrais merangkul para pengikut Haji Burhan bukanlah tanpa sebab. Sebagai orang yang pernah mempelajari ngelmu itu, tentu Madrais memiliki ikatan yang kuat dan koneksi jaringan yang sangat luas ke dalam kelompok aliran tersebut, dan karenanya bukanlah perkara yang sulit bagi Madrais untuk membujuk dan mengajak mereka agar mau bergabung bersama dirinya.

Ngelmu Cirebon bukanlah aliran kebatian sembarangan, tidak semua orang bisa mengakses materi dan pelajaran aliran kebatinan ini karena muatan ajarannya yang berat dan sifatnya yang eksklusif. Terkait ilmu mistik ini, Kartapradja menguraikan bahwa bagi orang yang tidak kuat pengertian agamanya, Ngelmu Cirebon bisa berakibat negatif karena bisa membuatnya lalai akan ajaran dan syariat Islam. Biasanya, orang yang tidak sempurna mempelajari ilmu ini akan menganggap ajaran Ngelmu Cirebon sebagai ajaran yang paling benar (ilmu hak) dan menjadikannya sebagai pegangan utama bila dibandingkan dengan ajaran Islam.57

Selain dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan aliran kebatinan semacam itu, Madrais juga sering dihubung- hubungkan dengan aliran mistisisme dalam Islam. Dalam beberapa literatur, ia dituliskan sebagai salah satu sosok yang

56 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Penerj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, Jilid 3, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d‟Extreme-Orient Jakarta, 2008), hlm. 139-140.

57 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 131.

108

cukup memiliki pengaruh dalam proses perkembangan tarekat di wilayah Cirebon, terutama tarekat Tijaniyah yang sangat kontroversial. Menurut Lombard, sosok bernama Kiai Muhammad Rais (atau Madrais) dari Cirebon itu merupakan sosok yang berperan dalam pengembangan tarekat Tijaniyah di tanah Sunda. Hal itu terjadi setelah tarekat Tijaniyah diperkenalkan secara luas di Jawa Barat oleh Ali bin Abdallah pada tahun 1928 melalui Munyat al-Murid, kitab tarekat Tijaniyah yang diterbitkan di Tasikmalaya.58 Pengembangan yang dilakukan oleh Madrais ini bersifat pragmatis karena banyak hal dalam tarekat yang ia adopsi dan gunakan untuk kelangsungan paguron dan komunitas yang ia gagas, seperti sistem hubungan guru dan murid serta sistem perwakilan mursyid tarekat dengan adanya pengangkatan badal (pengganti) di suatu daerah tertentu.

Tarekat Tijaniyah sendiri adalah salah satu Thariqah al- Auliya yang dirintis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani yang lahir di „Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun.59 Ia adalah seorang bangsawan yang termasuk sebagai golongan ahlul bait, keturunan ke-24 Rasulullah SAW dari garis nasab Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.60 Sebagai sosok yang alim, cerdas dan sangat tekun, ia mempelajari hampir semua tarekat yang ada dengan harapan bisa mendalami ajaran Islam. Puncaknya terjadi ketika ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan memperoleh pedoman atau tuntunan dzikir beserta wirid yang diajarkan secara

58 Lihat catatan kaki no. 637, Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jaringan Asia), Penerj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, Jilid 2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d‟Extreme-Orient Jakarta, 2008), hlm. 427.

59 Baca lebih lanjut, H.A.R. Gribb, et.al. (eds.), Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden- New York: E.J. Brill, 1991), hlm. 592-594.

60 Sholeh Basalamah dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah, (Jakarta: Kalam Pustaka, 2006), hlm. 22.

109

langsung. Setelah itu, ia mulai merintis tarekat ini dan menyebarluaskannya.61

Di Indonesia, tarekat ini datang dan berkembang lewat kehadiran Syaikh „Ali ibn „Abd Allah al-Thayyib, yang mendatangi pelbagai daerah di Pulau Jawa untuk berdakwah dan menyebarkan tarekat Tijaniyah.62 Ricklefs menguraikan bahwa Tijaniyah memiliki sejumlah gagasan yang dapat menarik massa dalam jumlah besar, seperti praktik-praktik yang lebih sederhana dari tarekat lain, janji mengenai kepastian surga untuk diri dan keluarga orang yang mengikuti dan mengamalkannya, serta pengakuan dan pernyataan mengenai keunggulan Tijaniyah atas tarekat-tarekat lainnya.63 Selain menyebut nama Syaikh „Ali dan K.H. Anas asal Pesantren Buntet sebagai tokoh-tokoh penting perkembangan tarekat Tijaniyah di Jawa, Pijper juga menyebut nama Madrais. Jika pernyataan tersebut benar, maka bisa diasumsikan bahwa Madrais adalah sosok yang berpengaruh dalam kajian-kajian ilmu kerohanian atau kebatinan pada masa dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20 itu. Karena selain menguasai aliran kebatinan lokal yang bercorak mistik, ia juga memiliki pengetahuan yang sangat mumpuni dalam kajian dan pemahaman ilmu mistik Islam.

3. Mendirikan dan Memimpin Agama Djawa Sunda Sebelum mendirikan Igama Djawa Soenda Pasoendan, Madrais terlebih dahulu sibuk mengembara kesana kemari untuk

61 Dalam pertemuan itu, Rasulullah memerintahkan agar Syekh Ahmad al-Tijani berhenti mempelajari tarekat-tarekat lain dan fokus untuk mengembangkan tarekat ini. Lihat lebih lanjut, A. Fauzan Adhiman Fathullah, Thariqah Tijaniyah: Mengemban Amanat Lil „Alamin, (Kalimantan Selatan: Yayasan Al-Ansari Banjarmasin, 2007), hlm. 108.

62 G.H. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam di Indonesia Abad ke-20, Penerj. Tudjimah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm 86-87.

63 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa ...., hlm. 103.

110

memperdalam pengetahuan dan ilmu kebatinannya. Dalam petualangannya itu, ia terlibat dalam pelbagai peristiwa yang cukup penting dan mendasar. Salah satunya adalah keterlibatan Madrais dalam sebuah kerusuhan yang dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial di Tambun Bekasi pada tahun 1869.64 Dalam peristiwa yang berkaitan dengan konflik antara petani dengan tuan tanah tersebut, Madrais memiliki peran yang sangat penting karena berperan sebagai otak gerakan dan disebut sebagai Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon.65

Sepanjang abad ke-19, gerakan sosial petani yang bersifat nativistic memang jamak terjadi. Selain karena adanya dendam kesumat kaum petani yang sangat lemah lembut itu atas perlakuan sewenang-wenang para penguasa66, perlawanan-perlawanan semacam ini juga terjadi karena adanya sentimen yang bersifat paternalistik.67 Dalam kasus Tambun, sebab yang menjadi faktor pendorong terjadinya peristiwa tersebut adalah penderitaan dan

64 Kerusuhan yang terjadi di abad ke-19 merupakan wujud dari gerakan protes masyarakat terhadap pelbagai macam tindakan pemerintah kolonial. Gerakan-gerakan sosial di masa itu masih bersifat tradisional, lokal atau regional, sehingga mudah sekali untuk dipatahkan. Mengenai karakteristik gerakan sosial semacam ini, lihat lebih mendalam, Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya, Penerj. Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 14.

65 Mulyawan Karim dalam Kompas, 23 April 2009, hlm. 21.

66 Persepsi diri dan identitas negatif petani menciptakan sikap serba tunduk di satu pihak, sebaliknya di pihak lain ada pada mereka perasaan atau sikap tidak hanya penuh prasangka tetapi rasa penuh dendam. Baca lebih lanjut, Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm. 204.

67 Dalam meninjau gerakan-gerakan nativistic ini, orang mau tak mau melihat adanya satu kecenderungan yang jelas, yaitu bahwa kebudayaan asing tak disukai dan orang yang ketularan menerimanya harus dipandang cemar dan merosot. Lihat, Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), hlm. 18.

111

kemelaratan petani akibat pelbagai tindakan tuan tanah Cina yang selalu mengeksploitasi para petani penggarap tanahnya.68

Sejak ia diketahui terlibat dalam peristiwa itu, pemerintah kolonial pun mulai memerhatikan Madrais beserta keluarganya dengan lebih waspada, dan bahkan, Madrais yang menjadi otak gerakan sosial itu dihukum mati oleh pemerintah Hindia Belanda, meski kemudian hal itu tidak terjadi karena adanya suatu peristiwa yang terjadi di luar batas kewajaran.69 Setelah itu, hidup Madrais pun menjadi semakin terkekang karena ia tidak bisa bergerak secara bebas seperti sebelumnya. Untuk menghilangkan jejak, beberapa kali ia berpindah tempat dan mengganti namanya. Tidak hanya berkisar di wilayah Jawa bagian barat, namun pelariannya begitu jauh sampai ke wilayah Jawa Timur. Disana, ia memakai nama Gusti Ahmad agar pemerintah kolonial tidak mengendus kehadirannya.70

Pengembaraan Madrais ke sejumlah daerah di tanah Jawa pun akhirnya berakhir ketika ia akan mempersunting calon istrinya di Cigugur pada tahun 1880-an. Selanjutnya, ia benar- benar menghentikan pelariannya itu dan menetap serta tinggal di sebuah rumah sederhana yang sekarang telah menjadi gedung

68 Onghokham menyatakan bahwa gerakan Ratu Adil dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi kelompok masyarakat atau pribadi tertentu. Biasanya, keadaan-keadaan penuh gejolak tersebut tengah berada dalam kondisi yang buruk. Onghokham, Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, (Jakarta: PDAT, 2003), hlm. 13.

69 Sebenarnya, dalam kasus kerusuhan di Bekasi itu, sebagai otak gerakan yang bernama Bapa Rama (Madrais) itu akan dihukum gantung bersama 8 orang tahanan lainnya oleh pemerintah kolonial. Namun ternyata, dua hari sebelum diadili ia “dianggap” telah meninggal dunia terlebih dahulu. Ia pun batal untuk dieksekusi dan jenazah yang “disangka” telah meninggal itu pun dikembalikan kepada keluarganya di Cigugur. Baca lebih lanjut, Mulyawan Karim dalam Kompas, 23 April 2009, hlm. 21. Anehnya, setelah jenazah itu sampai di Cigugur dan pihak kolonial Belanda telah pergi dari sana, jenazah Madrais itu kemudian dapat hidup kembali. Pihak keluarga menyebut hal ini sebagai salah satu bukti kehebatan Madrais dan menganggapnya sebagai suatu kelebihan yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu saja.

70 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, pada 6 Juni 2015.

112

Paseban Tri Panca Tunggal. Jika kita memerhatikan tahun kelahirannya (yaitu pada 1822), maka usia Madrais saat itu sudah cukup senja, yaitu berkisar antara 59-63 tahun. Anak pertamanya sendiri, yaitu Pangeran Tedjabuana, lahir pada tahun 1892. Selain karena masalah pernikahan, mungkin faktor kelelahan juga menjadi pertimbangan kenapa ia menghentikan pelariannya dan berani menetap di suatu tempat. Setelah menetap di Cigugur, Madrais mulai meninggalkan kehidupan yang berbau duniawi dan lebih sering mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang-orang yang sudah berusia separuh baya semacam itu seringkali mengedepankan urusan- urusan akhirat ketimbang urusan-urusan dunia.

Aktivitas Madrais yang dipenuhi dengan kegiatan positif itu mengundang banyak orang untuk belajar ilmu agama kepadanya. Tamu yang datang ke kediaman Madrais awalnya hanya terdiri dari satu dua orang saja, namun lama-kelamaan, orang yang datang ke sana semakin banyak. Pada umumnya, sebagaimana diungkapkan Straathof, masyarakat tersentuh oleh nasehat-nasehatnya yang bijak dan juga kepribadiannya yang baik.71 Karena jumlah pengikutnya terus meningkat dari ke hari, maka Madrais pun menyadari bahwa ia harus mendirikan sebuah komunitas agar seluruh pengikutnya itu dapat lebih teratur dan terkelola dengan baik. Pada tahun 1885, komunitas pengikut ajaran Madrais pun terbentuk di Cigugur.72 Untuk mendukung kegiatan komunitasnya, Madrais mendirikan tempat berbentuk saung-saung untuk bercengkerama dengan para pengikutnya. Tempat pengajaran yang dibuat Madrais itu dikenal oleh kalangan

71 W. Straathof dalam Basis, 1971, hlm. 204.

72 Tahun 1885 menjadi tahun yang sangat bersejarah bagi para pengikut Madrais, karena pada tahun itu untuk pertama kalinya dibentuk secara formal. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat dilihat dalam sejumlah catatan kolonial, catatan R. Kern misalnya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai uraian ini, lihat lebih lanjut, Widyo Nugrahanto, “Dinamika Aliran Keperayaan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan 1885-2007”, Disertasi tidak diterbitkan, (Bandung: Universitas Padjajaran).

113

yang luas sebagai paguron atau perguruan. Perlu digarisbawahi disini, materi yang diajarkan oleh Madrais di paguron itu pada mulanya hanyalah ilmu pengetahuan keagamaan saja, khususnya agama Islam sehingga kemudian tempat itu seringkali disebut pula sebagai pesantren. Dalam perjalanannya, ia mengajarkan seluruh pengetahuannya, termasuk pengetahuan ilmu kebatinan dan budaya Sunda. Bahkan, kedua bidang yang terakhir ini menjadi materi yang sangat dominan sekali diajarkan oleh Madrais di kediamannya.73

Setelah adanya komunitas itu, Madrais menjadi sangat terkenal dan didaulat sebagai tokoh agama masyarakat setempat. Orang-orang di sana begitu terkagum-kagum melihat pengetahuan agama Madrais yang begitu luas, sehingga mereka tidak ragu untuk memanggilnya dengan sebutan yang sangat terhormat dalam bidang keagamaan pada masa itu, Kyai Madrais. Namun, pamor sang kyai yang semakin meningkat di mata masyarakat, ternyata menghasilkan implikasi yang negatif. Tidak sedikit ulama yang merasa iri hati dan dengki kepadanya, karena para pengikutnya terus berkurang dan bahkan malah mengikuti pandangan serta ajaran yang disebarkan oleh Madrais. Rasa iri itu sedikit demi sedikit semakin terkumpul, mengkristal dan bahkan berubah menjadi rasa benci, sehingga banyak pihak yang ingin sekali menghancurkan kebesaran Madrais. Pada akhirnya, kebencian yang mulai tersebar itu membuat Madrais terlibat konflik dengan sejumlah tokoh agama dan kalangan pesantren yang ada di Kuningan.

Salah satu perseteruan yang pernah tercatat dalam beberapa literatur adalah perselisihan yang melibatkan Kyai

73 Meskipun ia banyak mengetahui materi-materi agama Islam dan mengajarkannya, namun ilmu kebatinan dan mistik yang pernah ia pelajari di masa mudanya sama sekali tidak ia tinggalkan. Bahkan tidak menutup kemungkinan dakwah Islam yang ia lakukan disertai dengan pengajaran ilmu kebatinan semacam itu. Selain itu, unsur budaya Sunda, juga turut diajarkan dengan baik. Lihat lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang …., hlm. 12.

114

Madrais dan salah seorang ulama Kuningan, Kyai Mad (Muhammad) Tohir. Pertentangan yang terjadi di antara keduanya begitu sengit, walaupun terlihat tenang di permukaan tetapi terus bergejolak kencang di dalamnya. Perselisihan itu menghasilkan banyak isu negatif, terutama isu-isu terkait yang menyerang tajam Madrais. Misalnya, isu Madrais sebagai anak haram Pangeran Gebang, yang mengakibatkan ia tidak pantas untuk menjadi seorang imam sholat sebab sholatnya akan menjadi tidak sah ketika dipimpin oleh orang yang statusnya belum jelas seperti itu. Isu-isu negatif yang muncul di tengah perselisihan itu membuat Madrais menjadi tidak nyaman untuk menjadi seorang muslim.74

Rasa kurang nyaman itu ia netralisir dengan kembali mendalami ilmu-ilmu mistik yang pernah ia pelajari sebelumnya. Lama-kelamaan, pengetahuan yang ia selami itu semakin memperoleh wujud yang lebih jelas sebagai suatu ajaran kebatinan. Meskipun demikian, pengikut Madrais tidak berkurang malah semakin meningkat dengan pesat dan menyebar ke daerah- daerah lain sampai ke luar Kuningan. Faktor penting yang membuat pengaruh Madrais semakin meluas adalah kepandaiannya dalam memanfaatkan situasi wilayah pedesaan dengan baik. Madrais mendekati orang-orang desa melalui kepandaiannya dalam dunia pengobatan, baik itu pengobatan yang bersifat fisik ataupun non-fisik. Selain bisa menyembuhkan orang yang terserang penyakit, ia juga dapat mengobati orang yang terkena guna-guna ilmu hitam. Madrais juga didekati banyak orang karena ia dianggap bisa meramal nasib dan masa depan seseorang, ia juga jago dalam permainan bela diri silat dan

74 Y. Ruchiyat, “Agama Djawa Sunda”, Seri Pastoral, No. 95 (1983), hlm. 6-7. Menurut Suwarno Imam S, Kyai Muhammad Tohir adalah salah seorang teman satu pesantren Madrais. Perselisihan di antara keduanya berawal dari rasa sakit hati Kyai Tohir atas perlakuan kurang sopan Kyai Madrais yang selalu meladeni setiap apa yang dilontarkan oleh Kyai Tohir. Lihat, Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 104.

115

seni.75 Pada masa itu, pengetahuan masyarakat mengenai Islam belum terlalu baik bahkan mereka lebih condong ke kepercayaan lama yang sifatnya sinkretis. Jika mereka melihat kehebatan seperti itu maka dengan sangat cepat mereka akan mengaguminya. Hal tersebut merupakan hal yang umum terdapat di setiap lingkungan sosial masyarakat tanah Jawa abad ke-19.76

Dengan begitu banyaknya kejadian yang mengiringi, baik itu yang sifatnya positif ataupun negatif, komunitas yang didirikan Madrais di Cigugur ini tetap dapat eksis dan bahkan semakin berkembang sehingga menyebar ke pelbagai daerah. Hal itu membuat hubungan yang terjalin di antara Madrais dengan para pengikutnya tidak berjalan seperti yang ia harapkan karena adanya keterbatasan jarak dan waktu. Agar koordinasi dengan pengikutnya yang tersebar di banyak daerah itu bisa terjalin dengan baik, ia pun mencoba mengakalinya dengan cara menunjuk orang-orang tertentu agar menjadi wakil Madrais, atau pembantu koordinasinya. Pembantu yang memiliki tugas utama menjaga hubungan erat Madrais dengan para pengikutnya itu dikenal secara luas sebagai badal.77 Seorang badal yang

75 ANRI, Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, (Jakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah ANRI, 1981), hlm. 213-215.

76 Menurut pengamatan Poensen, mayoritas orang Jawa pada abad ke-19 hanya mengenal Islam secara terbatas. Pengetahuan orang Jawa saat itu terbatas hanya pada sejumlah hari besar dalam Islam, bahwa orang Belanda dan Kristen itu kafir, sunatan, puasa, dan larangan untuk memakan daging babi. Dengan bukti-bukti tersebut, Poensen menyimpulkan bahwa dalam hal kepercayaan, orang Jawa tidak bisa disebut sebagai orang Islam. Lihat lebih lanjut, C. Poensen, Brieven over der Islam Uit de Binnenlanden van Java, (Leiden: Brill, 1886).

77 Kata badal kemungkinan besar berasal dari kata “badala” dalam bahasa Arab yang artinya adalah kata kerja “menggantikan”. Badal sendiri memiliki arti pengganti. Dalam dunia tarekat, badal adalah wakil dari seorang mursyid. Biasanya, seorang mursyid akan dibantu oleh sejumlah badal ketika membimbing latihan dan penyembuhan murid- muridnya. Dalam hal ini, Madrais merupakan salah satu tokoh terkemuka Tarekat Tijaniyah. Sebagai seorang mursyid tarekat, tentunya Madrais memiliki sejumlah wakil (badal) di beberapa daerah untuk mengelola hubungan dengan murid-muridnya. Kemungkinannya, Madrais juga menggunakan (atau setidaknya terinspirasi oleh)

116

ditugaskan di suatu daerah tertentu, berhak untuk mewakili Madrais dalam pelbagai macam hal selama hal itu bermanfaat bagi kelangsungan hubungan patron-klien antara Madrais dengan para pengikutnya. Tugas-tugas yang biasanya harus dilakukan oleh seorang badal itu adalah mencari dan mengumpulkan pengikut, menyebarkan ajaran sang junjungan, mengumpulkan dana finansial untuk perkembangan komunitas, dan lain-lain.

Meskipun pemilihan badal itu dilakukan dengan teliti dan tentu didasarkan pada suatu pertimbangan yang matang, nyatanya tidak semua badal memiliki kepribadian dan sikap yang baik. Beberapa di antaranya diketahui melakukan tindakan penyelewengan, mereka melakukan pelanggaran baik itu disengaja ataupun tidak. Salah satu pelanggaran paling fatal yang dilakukan oleh para badal adalah tindakan pemerasan yang ditujukkan kepada para pengikut Madrais sendiri. Sebagaimana dijabarkan Kartapradja, para pengikut Madrais sangat rela berkorban untuk kelangsungan keyakinannya termasuk rela berkorban untuk kepentingan gurunya.78 Oleh karena itu, mereka rela memberikan apapun yang dimilikinya kepada Madrais, sekalipun itu merupakan hal yang dianggap begitu berharga. Berkat pemberian murid dan pengikutnya itulah Madrais menjadi seorang yang sangat kaya raya.79 Ketaatan yang ditunjukkan oleh para pengikut Madrais itu dimanfaatkan oleh beberapa badal di Tasikmalaya pada 1903 untuk bertindak korup dengan cara memeras beberapa keluarga pengikut ajaran itu atas nama

jaringan tarekat yang ia miliki untuk mendukung perkembangan Agama Djawa Sunda (ADS).

78 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 133.

79 Anang juga menguraikan bahwa cara lain yang digunakan oleh Madrais untuk merangkul pengikut adalah dengan jalan mempertontonkan ilmu kesaktian yang dimilikinya. Melalui kehebatan semacam itu, pengikut Madrais selalu terkagum-kagum dan selalu mau mengikuti permintaan Madrais. Lihat, Anang, “Mistisisme dalam Aliran Kebatinan: Agama Jawa Sunda”, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), hlm. 47.

117

Madrais. Persoalan hukum ini akhirnya sampai ke meja hijau Tasikmalaya dan Madrais dipaksa menjadi orang yang bertanggung jawab atas perilaku para wakilnya tersebut. Akhirnya, Madrais dihukum oleh pengadilan untuk melakukan kerja paksa di Pamijahan dan Merauke.80 Ketika Madrais berada dalam pembuangan pemerintah kolonial, komunitas yang ia dirikan itu dipimpin oleh keluarganya, terutama oleh istrinya, Nyi Maskinah.81

Pada 1908, Madrais dikembalikan oleh pemerintah kompeni dari tanah Papua ke tanah Jawa. Karena ia dianggap telah menjadi gila saat berada di pembuangan, ia tidak dipulangkan ke Cigugur, melainkan dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Bogor. Namun tidak lama kemudian, ia dianggap waras atau tidak gila oleh dokter-dokter yang bertugas disana sehingga akhirnya ia dapat pulang kembali ke Cigugur.82 Setelah itu, Madrais kembali mulai menata hidupnya. Selain tetap mengembangkan ajaran yang ia rintis, Madrais juga mengimplementasikan ilmu pertanian yang ia dapat saat dalam masa pembuangan. Sejumlah terobosan yang ia lakukan dalam dunia pertanian di tengah-tengah masyarakat adalah penanaman bawang di lahan dan ladang yang dimiliki oleh penduduk

80 Menurut cucunya, Pangeran Djatikusumah, tudingan memeras rakyat merupakan intrik politik penjajah Belanda semata agar bisa menghukum Madrais sebagai salah seorang keturunan Pangeran Sutajaya. Selain itu, ajaran Madrais yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan diri secara lahir maupun bathin dianggap membahayakan eksistensi pemerintahan kolonial karena bisa membuat rakyat tergugah untuk melawan guna memperjuangkan kemerdekaannya. Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual …., hlm. 18. Selanjutnya, Djatikusumah juga menguraikan bahwa tempat pembuangan Madrais adalah Boven Digul. Padahal, pembuangan tahanan Belanda di tanah papua itu baru dibuka pada 1927 untuk menampung para tahanan pemberontakan Komunis 1926.

81 Baca lebih lanjut, W.Straathof, Agama Djawa Sunda (ADS); Hartina Agama Djawa Sunda, (Garut: tanpa penerbit, 1970), hlm. 5.

82 Basuki Nursananingrat, Umat Katolik Cigugur: Sejarah Singkat Masuknya Ribuan Orang Penghayat ADS Menjadi Umat Katolik,.(Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 10.

118

Cigugur, serta pengolahan sawah yang baik hingga bisa panen lebih dari satu kali dalam setahun.83 Karena keberhasilannya dalam aspek pertanian masyarakat ini, nama Madrais kembali berkibar dan para pengikutnya pun semakin bertambah banyak.

Satu hal yang cukup menarik untuk ditelisik dari kegiatan pertanian Madrais dan masyarakat Cigugur ini adalah adanya aspek fungsional agama terhadap kehidupan para pemeluknya. Masyarakat “gunung” Cigugur yang memang menyandarkan kehidupannya pada aspek pertanian, tentunya membutuhkan pelbagai macam pengetahuan guna pengembangan sawah, ladang dan lahan yang ada agar bisa menghasilkan sumber daya pertanian yang melimpah. Tidak ada hal lain yang lebih diharapkan oleh para petani selain dari tumpukan hasil panen yang sangat baik. Madrais, yang memiliki kemahiran dalam bidang pertanian, memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sangat cerdas, yaitu menyebarkan ajaran spiritualnya dengan media kegiatan bercocok tanam. Saat sosialisasi tata cara mengolah tanah yang baik ia lakukan, ia turut menyisipkan pelbagai macam ajaran dan pengetahuan religius yang ia miliki kepada masyarakat. Kegiatan semacam ini merupakan salah satu cara efektif yang digunakan oleh Madrais untuk menarik massa dan pengikut.84

Di sisi lain, intervensi pemerintah kolonial yang semakin intensif dalam kehidupan masyarakat pribumi membuat mereka semakin banyak menaruh orang-orang kepercayaannya di desa- desa yang awalnya dianggap terpencil. Di Cigugur sendiri, sejak dasawarsa kedua abad ke-20 dimulai, pemerintah kolonial

83 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, pada 6 Juni 2015.

84 Ketertarikan masyarakat yang menjadi para pengikut ADS di masa itu memang tertuju pada keuntungan ekonomis yang bisa didapat dari kegiatan pertanian. Masa- masa yang sulit memang selalu membuat masyarakat menderita dan ketika ada suatu pihak menawarkan keuntungan ekonomis, maka masyarakat berbondong-bondong untuk mendatangi dan mengabdikan dirinya, meskipun terdapat perbedaan keyakinan.

119

Belanda banyak menempatkan sejumlah orangnya, mulai dari yang berbangsa asing seperti Steepen (1915-1919), Jacobs (1924), Rares Destra (1925), sampai yang termasuk bangsa bumiputera, baik itu yang berasal dari daerah Jawa maupun Ambon.85 Dalam perkembangannya, kehadiran kaki tangan pemerintahan penjajah itu tidak pernah bersinggungan dengan eksistensi komunitas ataupun ajaran yang digagas oleh Madrais. Kehidupan masyarakat Cigugur yang terdiri dari pelbagai macam suku, ras dan agama itu berjalan dengan tenang dan harmonis tanpa adanya konflik.

Memasuki tahun 1920-an, berbagai gebrakan baru dilakukan oleh Madrais beserta murid-muridnya agar kepercayaan mereka itu dapat diakui secara resmi. Selain dengan pengajuan gelar kebangsawanannya kepada pemerintah86, ia beserta pengikutnya menyebarkan ajaran dan gagasan ADS ke tengah- tengah masyarakat melalui penerbitan tuntunan ajaran yang berbentuk sebuah buku pedoman.87 Kedua hal itu menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan bagi lapangnya jalan gerakan Madrais untuk diakui secara formal oleh rezim yang tengah berkuasa. Puncak dari upaya yang tidak pernah lelah itu mereka lakukan dengan cara mengajukan surat permohonan kepada Bupati

85 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual …., hlm. 19. Untuk nama yang kedua ini, yaitu Jacobs, Bupati Kuningan memiliki pandangan yang berbeda. Raden Moch. Achmad yang menjadi pemimpin Kuningan itu tidak menyebutkan Jacobs sebagai musuh yang membahayakan Madrais, ia justeru mencurigai bahwa bekas serdadu pemerintah itu adalah salah satu sahabat dekat Madrais dan membantu sang pendiri ADS untuk mengembangkan ajaran dan komunitas spiritualnya. Baca lebih lanjut, ANRI, Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa ...., hlm. LXXXIV.

86 Gelar kebangsawanan di masa kolonial merupakan hal yang sangat penting. Pada masa itu, orang yang memiliki status bangsawan ditempatkan dalam struktur sosial yang tinggi dan secara otomatis mendapatkan sejumlah hak dan kewajiban yang lebih baik ketimbang masyarakat pribumi pada umumnya.

87 Buku pedoman itu berjudul, Pikoekoehnja dari “Igama Djawa”(Djawa-Soenda- Pasoendan)”. Selain diterbitkan oleh Firma De Boer, buku pedoman itu pernah diterbitkan oleh beberapa penerbit lokal lain di wilayah Cirebon. Lihat, ANRI, Laporan- Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa ...., hlm. 213.

120

Kuningan saat itu, Raden Mochammad Achmad88, agar sistem kepercayaan mereka dapat diakui dan sejajar dengan agama- agama lainnya. Bersama dengan itu, pengikut Madrais yang berada di beberapa daerah lain, seperti Cineumbeu dan Walahar Cageur, juga mengirimkan surat permohonan yang sama kepada bupati.89 Permohonan itu menjadi awal bagi koordinasi yang terjalin di antara Bupati Kuningan R.M. Achmad, Residen Cirebon R.P.M. van der Meer, dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock, untuk memecahkan persoalan tersebut. Akhirnya, dengan rekomendasi bertanggal 6 Oktober 1925, yang diberikan oleh Penasehat Urusan Bumiputera, yang saat itu dijabat oleh Rudolf Aernoud Kern, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan ajaran Madrais dengan nama Igama Djawa Soenda Pasoendan, cikal bakal Agama Djawa Sunda (ADS).90

Patut kita ketahui bersama, meskipun kemunculan ajaran Madrais ini bermula dari sebuah pesantren (atau paguron) yang mengajarkan nilai-nilai Islam dan sejalan dengan agama tersebut. Ternyata dalam perkembangannya, ajaran Madrais ini lebih menjurus ke aliran kebatinan yang berbingkai budaya dan melenceng orientasinya dari agama Islam. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dari pelbagai macam ajaran yang dikandung di dalamnya. Meskipun ada sejumlah aspek ajaran ADS yang

88 Raden Moch. Achmad adalah bupati Kuningan yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Ia dilantik pada tahun 1921 melalui sebuah upacara seremonial yang didatangi oleh sejumlah pejabat Karesidenan Cirebon. Lihat lebih lanjut photo peristiwa pengangkatan Raden Moch. Achmad tersebut, http://media-kitlv.nl/all- media/indeling/detail/form/advanced/start/1?q_searchfield=regent+van+koeningan, diakses pada tanggal 3 Juni 2015.

89 ANRI, Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa ...., hlm. 209.

90 Dengan melihat gerakan ini sebagai suatu komunitas yang tidak pernah membahayakan kelangsungan pemerintahan kolonial selama 40 tahun, R.A. Kern menuliskan kesan yang baik tentang ajaran tersebut dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal D. Fock. Lihat lebih lanjut, ANRI, Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa ...., hlm. LXXXV.

121

memiliki kesamaan dengan hal-hal tertentu di dalam Islam, namun secara keseluruhan komunitas budaya dan spiritual itu benar-benar berbeda dan bukanlah bagian dari Islam.91 Terkait hal ini, Kartapradja mengungkapkan bahwa Igama Djawa Soenda Pasoendan yang didirikan oleh Madrais merupakan ajaran Ngelmu Cirebon yang kemudian dirubah sedemikian rupa dengan mengedepankan unsur-unsur budaya Sunda sebagai bingkai utama ajarannya.92

Berkaitan dengan hal itu, karakter Islam Jawa memang sangat khas dan tidak sama dengan wilayah-wilayah lainnya. Sejak awal perkembangannya, Islam di Jawa mengakomodasikan dirinya sendiri dengan lingkungan budaya masyarakat setempat. Kisah penyebaran Islam oleh Walisanga merupakan simbol Islamisasi yang dianggap paling efektif karena dilakukan tanpa menghapuskan budaya setempat sama sekali.93 Identitas dan keyakinan Jawa dan Islam berbaur, bercampur dalam kekuasaan raja-raja Mataram yang kemudian pecah menjadi beberapa kekerajaan. Rekonsiliasi dan percampuran dua kutub kepercayaan dan budaya itu melahirkan sebuah keyakinan unik, yang oleh Ricklefs disebut sebagai sintesa mistik Jawa. Aspek sosial sintesa mistik yang berjalan di tanah Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 begitu menarik karena menjadi tahapan penting dalam proses rekonsiliasi identitas yang telah diperebutkan sejak beberapa abad sebelumnya. Selain itu, masa peralihan ini juga merupakan masa awal bagi pertentangan identitas yang lebih

91 Sejumlah persamaan yang ada di antara Islam dan Agama Djawa Sunda (ADS) di antaranya adalah: konsep tauhid karena sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa, penunjukkan wakil-wakil komunitas di daerah persebaran ajaran, konsep penciptaan alam raya yang terbagi ke dalam tujuh tahapan, tujuan hidup yang hanya untuk mengabdi atau beribadah kepada Yang Maha Pencipta dan lain-lain.

92 Baca lebih lanjut, Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 131-132.

93 M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 30-31.

122

kompleks karena melahirkan konsekuensi konflik yang berdarah- darah di masa-masa selanjutnya.94 Gerakan sosial, kultural dan keagamaan Madrais yang berkembang sejak abad ke-19, pada mulanya dapat diterima masyarakat Cigugur. Namun, memasuki masa transisi abad, hal itu berubah secara drastis karena gerakan purifikasi Islam semakin menguat di banyak tempat. Praktik- praktik budaya setempat yang awalnya diperbolehkan pun lama kelamaan ditinggalkan, terutama praktik yang dianggap tidak sesuai dan atau menyalahi ajaran dan nilai Islam.

C. Ajaran Agama Djawa Sunda

1. Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik menuju Manusia Sejati Pada hakikatnya, pilar ajaran Agama Djawa Sunda adalah “Pikukuh Tilu”. Namun sebelum mengupas esensi dan substansi Pikukuh Tilu, terdapat sejumlah konsep kunci yang terlebih dahulu harus dipahami. Konsep-konsep tersebut adalah konsep tentang Tuhan, manusia dan mistik menuju manusia sejati.

Dalam keyakinan ADS, posisi Tuhan berada di posisi yang tertinggi, tempat yang berada di atas segala-galanya. Tuhan begitu sempurna karena sifat-Nya.95 Tuhan tidak berada di sisi yang jauh, tapi selalu dekat. Bahkan, tidak dapat dipisahkan dari ciptaan-Nya, terutama dari manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.96 Para penghayat ADS menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji. Kata

94 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (Norwalk USA: East Bridge, 2006), hlm. 222.

95 Di antara sifat Tuhan tersebut adalah Maha Tunggal, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Asih, Maha Murah Hati, Maha Bijaksana, dan lain-lain.

96 Baca, Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang …., hlm. 16; Lihat pula, Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang: Pemahaman Budaya Spiritual, Cigugur-Kuningan, 2000, hlm. 16.

123

Wiji artinya adalah inti, yaitu inti dari kelangsungan kehidupan di dunia. Sebagai inti dari segala kehidupan, eksistensi Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkrit. Dalam hal ini, Tuhan melekat pada setiap ciptaan-Nya atau dengan kata lain inheren pada setiap entitas yang ada.97 Tuhan adalah penyebab eksistensi manusia di muka bumi karena itu keberadaan manusia tergantung sepenuhnya pada eksistensi Tuhan. Adanya manusia merupakan bukti yang paling riil dari adanya Tuhan. Pemahaman Agama Jawa Sunda tentang Tuhan bisa pula ditelisik melalui ungkapan Tri Panca Tunggal.98 Penganut ADS meyakini bahwa manusia dan Tuhan adalah manunggal. Arti kata manunggal adalah menyatu, karena dalam pandangan ageman ini tidak ada keterpisahan antara Tuhan sebagai Pencipta dan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan kata lain, penyatuan itu telah lengkap karena adanya kemanunggalan yang sempurna antara Tuhan yang transenden dan Tuhan yang imanen.99

Adapun konsep manusia dalam Agama Djawa Sunda terdiri dari dua bagian, yaitu jasmani dan rohani. Sisi jasmani merupakan sisi yang menjelaskan manusia secara lahiriah yang jelas dan kasat mata. Sedangkan sisi rohani adalah sisi batiniah yang berada di dalam diri manusia dan menjadi penggerak sisi

97 Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang …., hlm. 16.

98 Nama keraton atau gedung pusat kegiatan Agama Djawa Sunda juga dinamai Tri Panca Tunggal. Tri berarti tiga, maksudnya Tuhan terdiri atas tiga unsur yaitu sir, rasa dan pikir. Panca berarti lima, maksudnya lima unsur yang melekat pada manusia sebagai rasa sejati, yaitu api, angin, air dan tanah ditambah satu unsur manusia itu sendiri. Tunggal berarti satu, maksudnya antara Tuhan dan manusia menyatu atau menjadi satu yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi.

99 Tuhan yang transenden adalah Tuhan itu sendiri, yaitu Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu. Sedangkan Tuhan yang imanen adalah segala hal yang tampak dan ada di dunia ini. Baca, Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang …., hlm. 16; Lihat juga, Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik …., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 110-111.

124

jasmani. Sebutan manusia dalam bahasa Sunda dibedakan menjadi “jalma” dan “manusa”. Disebut jalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi makhluk yang merupakan manusia itu sendiri dengan kodrat dan cirinya yang harus melaksanakan cara hidup dan juga cara kemanusiaan. Jalma bisa hirup (hidup) karena memperoleh hurip ().100 Dalam Agama Djawa Sunda, manusia digambarkan dalam bentuk simbol lingkaran yang di atasnya terdapat seekor burung garuda. Di dalam lingkaran itu terdapat satu peta dunia yang didukung oleh dua ekor naga. Peta dunia menggambarkan jiwa manusia dan juga eksistensinya yang menyebar di seluruh pelosok bumi. Di dalam lingkaran terdapat tulisan Purwa Wisada, yang mengandung arti bahwa manusia harus selalu sadar akan asal muasal dan juga tujuan hidupnya. Dua ekor naga menggambarkan dua kekuatan nafsu yang ada pada diri manusia, yaitu nafsu yang mengarah kepada kebaikan dan nafsu yang mengarah kepada kejahatan. Di dalam lingkaran terdapat gambar segitiga dan di dalam segitiga itu terdapat gambar api yang merupakan unsur alam yang diayakini sebagai kekuatan hakiki. Gambar segitiga dan api ini melambangkan rasa sejati manusia yang senantiasa dikendalikan oleh kekuatan api.101 Uraian simbolik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan suatu sistem makna-makna simbolis (symbolic system of meanings) yang sebagian di antaranya menentukan realitas sebagaimana diyakini, dan yang sebagian lain menentukan harapan-harapan normatif yang dibebankan pada manusia.102

100 Hal ini dapat berjalan melalui cinta kasih antara pria dan wanita yang ditunjang oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan yang karenanya manusia bisa hidup (hirup) karena telah memperoleh hurip. Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang ...., hlm. 16.

101 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 111.

102 Baca lebih lanjut, Thomas O‟Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, Penerj. Tim Yasogama, (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm. 4.

125

Sedangkan konsep mistik menuju manusia sejati dalam Agama Djawa Sunda adalah upaya yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencapai derajat manusia sejati. Sebagai imanensi Tuhan yang tidak lagi suci, karena telah terkontaminasi dengan berbagai macam unsur-unsur alam yang ada di dunia ini, manusia harus menghilangkan segala kotoran yang ada pada dirinya dengan bersemedi di depan api yang merupakan simbol kekuatan.103 Api yang menyala di atas tungku perapian hanyalah simbol dari api yang hakiki. Cara yang ditempuh di dalam meditasi adalah bersikap tenteram, heneng, hanung dan menang. Tenteram maksudnya sebelum melakukan semedi hatinya harus tenteram, karena kalau tidak tenteram semedinya menjadi sia-sia. Heneng, setelah hatinya tenteram, mulailah berdiam diri sambil mengucapkan permohonan kepada Tuhan secara perlahan-lahan. Hanung berarti menghilangkan berbagai masalah yang menggoda di saat meditasi. Menang, akan dicapai apabila tiga sikap (tenteram, heneng, hanung) telah dapat dilewati, ia akan berada di pihak yang menang.104 Keempat langkah dalam semedi tersebut merupakan tahapan yang sifatnya integratif sehingga harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan urutan tahap yang ada.

Saat konsep-konsep yang terdapat di dalam ajaran ADS itu ditelisik lebih lanjut, maka dapat diketahui bahwa sebagian dari ajaran ADS itu diambil dari ajaran dan konsep ilmu-ilmu mistik atau kebatinan lainnya. Meski demikian, kandungannya terlihat lebih berbeda karena dibingkai secara rapi dengan aspek-

103 Kepercayaan Madrais akan api sebagai kekuatan itu membuat ia selalu berada di depan perapian. Di daerah penulis sendiri di daerah Kuningan bagian timur, sosok Madrais tersebut dikenal sebagai orang yang suka siduru (menghangatkan tubuh) di depan hawu (tungku perapian). Adapula yang menyebut kebiasaan Madrais ini dengan sebutan nabun. Sementara itu, perilaku Madrais yang selalu bersemedi di depan api itu dicurigai orang-orang Islam ortodoks sebagai tindakan musyrik karena seakan-akan ia menyembah api.

104 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik …., hlm. 113-114.

126

aspek lain yang sebagian besarnya diambil dari aspek kosmologis budaya Sunda dan Jawa. Khusus untuk budaya Sunda, ADS mengakuinya sebagai landasan komunitas yang utama. Bahkan, lebih jauh dari itu, mengakuinya sebagai jati diri yang hakiki.

2. Pikukuh Tilu Pada dasarnya, hidup manusia di dunia ini pasti memiliki tujuan. Untuk mencapainya, maka manusia akan berjuang sekuat tenaga dengan segala daya dan upaya yang dimilikinya. Dalam pandangan Sunda Karuhun, tujuan hidup manusia adalah menuju Purwa Wisesa yakni Sabda Tuhan yang dijiwai oleh Pancaran Kemanusiaan Sejati. Hal ini sesuai dengan kodrat umat manusia sebagai makhluk religius, sosial dan budaya.105 Tujuan tersebut terus diperjuangkan manusia agar hidupnya bisa lengkap dan sempurna. Dalam ADS, jalan menuju kesempurnaan hidup itu dibuat berdasarkan prinsip tuntunan leluhur Sunda yang begitu bijaksana dan dituangkan ke dalam sebuah tuntunan yang disebut dengan “Pikukuh Tilu”.

Pikukuh Tilu berasal dari kata “pikukuh” dan “tilu”. Pikukuh artinya adalah peneguh. Kata ini berasal dari kata kerja kukuh yang diberi awalan pi, dimana kukuh berarti pasti, tetap, teguh dan konsisten, sementara awalan pi mempunyai fungsi untuk membentuk kata kerja menjadi kata benda. Kata tilu sendiri

105 Makhluk religus artinya manusia memiliki kesadaran dan keyakinan akan adanya Sang Pencipta, karena cipta dan karsa-Nya lah yang membuat manusia ada. Adapun makhluk sosial berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, karena manusia hidup secara komunal di tengah-tengah dunia yang luas ini. Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, manusia membutuhkan uluran tangan orang lain karena harus menjalin hubungan antar sesama dan dapat bekerja sama dengan baik. Sedangkan manusia sebagai makhluk budaya artinya adalah manusia harus menjunjung tinggi norma-norma etika dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut selaras dengan sifat manusia sebagai makhluk yang paling mulia, makhluk yang memiliki derajat dan martabat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Baca, Pangeran Djatikusumah, “Pemahaman Agama dan Tradisi menurut Ajaran Spiritual Sunda Karuhun” paper disampaikan dalam kelas antar agama yang diselenggarakan ICRP, Jakarta 8 November 2002, hlm. 10-11.

127

adalah tingkatan bilangan yang dalam bahasa Indonesia berarti tiga. Jadi pikukuh tilu artinya adalah “tiga peneguh yang menjadi landasan hidup manusia untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia”.106 Tiga peneguh ini adalah pedoman yang berupa tiga ketentuan yang harus selalu dipegang dan dilakukan secara konsisten dalam kehidupan. Terkait hal ini, Djatikusumah yang merupakan cucu pendiri dan pemimpin Agama Djawa Sunda kontemporer, menjelaskan konsep Pikukuh Tilu dengan mencacahnya menjadi urutan huruf yang masing-masing hurufnya memiliki makna unik dan khas. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:107

P Pinareng keur dumadi (asal) I Iman kudu sayaktosna (iman harus sebenarnya) K Ka gusti nu nyipta tadi (pada Tuhan yang telah menciptakan) U Ulah mung saukur saur (jangan hanya sebatas perkataan) K Kudu nembrak jadi polah (harus nyata jadi perbuatan) U Ulah rek nya samar nya lampah (jangan salah dalam perbuatan) H Hirup geus nembrak ngawujud (hidup sudah jelas menjadi nampak)

T Tumitis jadi manusa (menitis menjadi manusia) I Ieu jadi diri pasti (ini sudah jadi individu yang pasti) L Lulugan patokan iman (lulugan adalah ukuran iman) U Urang kudu ngaji rasa (kita harus mengkaji perasaan)

106 Baca, Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang: Pemahaman Budaya Spiritual, (Cigugur-Kuningan, 2000), hlm. 16; Lihat juga, Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusumawijayaningrat, (Cigugur: tidak diterbitkan, tt), hlm. 13.

107 Pangeran Djatikusumah, Wincikan Paparan Pikukuh Tilu: Lenyepaneun Putra- Putri, (Cigugur, 1915 Saka), hlm. 36.

128

Pikukuh Tilu merupakan konsep yang berasal dari istilah tri tangtu dan tangtu telu.108 Tri dan telu artinya adalah tiga, sedangkan tangtu adalah tentu, pasti atau pokok. Konsep tri tangtu merupakan konsep yang sudah ada sejak lama, terutama dalam lingkungan masyarakat Sunda. Sebagaimana tertulis dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, terdapat tiga hal penting dalam konsep tri tangtu, yaitu: Tri Tangtu dina Raga (di raga manusia), Tri Tangtu di NaGara (konsep bermasyarakat atau bernegara), dan Tri Tangtu ning Bwana (dunia).109

Pikukuh Tilu merupakan tungtunan (pedoman) bagi seorang manusia menuju kesejatian dan kesempurnaannya. Konsep Pikukuh Tilu meliputi tiga hal, yaitu:

a. Ngaji Badan Umat manusia diharuskan untuk memelihara kesadaran terakhir pada diri mereka yang sejati atau aku-nya yang sesungguhnya sebagai satu-satunya cara untuk menjaga diri mereka agar tidak melenceng atau harus terus searah dengan garis Tuhan. ADS memandang badan manusia sebagai titik pertengahan yang utama, dimana ia dapat menemukan kebenaran

108 Ujang Ma‟mun, “Pikukuh Tilu: Jalan Menuju Kesejatian Manusia (Studi Ajaran Kebatinan Agama Djawa Sunda)”, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).

109 Tri Tangtu dina Raga terdiri dari sir (naluri), rasa (nurani), dan pikir (logika). Lalu, Tri Tangtu di NaGara terdiri dari sang Rama (penanggung jawab dunia bimbingan), sang Resi (penanggung jawab dunia kesejahteraan), dan sang Prabu (penanggung jawab dunia pemerintahan). Adapun Tri Tangtu ning Bwana terdiri dari Jagat (alam), Dewa (manusia) dan Bathara (Tuhan). Lihat lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, “Pemahaman Agama dan Tradisi …., hlm. 5. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian sendiri, menurut penelitian yang telah dilakukan, dibuat pada tahun 1518 Masehi dengan memakai aksara Sunda kuno. Untuk keterangan yang lebih komprehensif, lihat lebih lanjut, Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan, (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987).

129

dan meningkatkan derajat dirinya sendiri. Hal ini juga terjadi di dalam lingkungan aliran kebatinan lainnya. Agar konsep ngaji badan dalam Agama Djawa Sunda ini bisa lebih kita pahami secara mendalam, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan badan dalam kepercayaan yang dikenal pula sebagai ajaran Madraisme ini.

Ngaji badan terdiri dari dua kata, yaitu ngaji dan badan. Dalam bahasa Djatikusumah, ngaji itu berarti ngawincik (mengkaji), nyaleksi (menyeleksi) atau ngadeteksi (mendeteksi). Selain itu, ngaji juga dapat diartikan meneliti, memahami atau menyadari.110 Sementara itu, badan memiliki dua arti, yaitu badan saadegna salira, keseluruhan tubuh atau raga fisik yang menjadi tempat bagi ruh untuk hidup sebagai manusia. Lalu kedua, badan berarti sebagai segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang bisa diserap oleh panca indera manusia. Dengan demikian, ngaji badan adalah meneliti atau menelisik badan kita sendiri dari segala kerusakan atau kekurangan atau bisa juga dikatakan mengintropeksi diri dari segala tindakan dan kelakuan yang telah dilakukan oleh badan (diri) sendiri.111 Selain itu, Agama Djawa Sunda juga memandang badan (tubuh) manusia tidak hanya terlihat secara fisik dan biologisnya saja, melainkan dipercaya sebagai pesan simbolik dari Tuhan, yang mana tugas bagi semua umat manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya untuk mencari semua bagian dari organ badan manusia yang memiliki fungsi fisik dan arti simbolis. Dalam upayanya untuk memahami semua realitas fisik dari perspektif kosmologis, keyakinan ini cenderung melihat tubuh manusia dari titik pandang makna simbolis daripada sisi fisiknya. Sebagai contoh, darah manusia tidak dilihat

110 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual ...., hlm. 39.

111 Salira disini bukan berarti salira dalam bahasa Sunda yang memiliki arti sendiri, tetapi kata ini berasal dari gabungan dua kata, asal dan ira, yang artinya nu jadi pamungkas raosing salir puri (terminal terakhir segala yang diserap indera). Lihat lebih lanjut, Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual ...., hlm. 39.

130

hanya sebagai salah satu elemen dalam tubuh manusia saja, tetapi juga sebagai hal yang memiliki makna kosmis. Karakter darah yang cair digambarkan sebagai hal yang senantiasa merawat jiwa manusia menuju jalan untuk meraih tingkatan sempurna dalam ilmu kebatinan (mistik) sebagai penanda telah mencapai tujuan hidup yang paling utama.112

Ngaji badan memiliki pengertian bahwa kita harus memahami dan menyadari adanya sifat-sifat lain yang ada di sekeliling kita dan mempunyai cara-cara serta karakteristik masing-masing. Semua karakter entitas yang bertebaran di dunia ini akan memengaruhi manusia, memberikan pengaruh terhadap tata kelakuan dan tindakan manusia. Diri manusia menjadi terminal terakhir bagi penyaringan dan penyatuan semua entitas tersebut melalui penglihatan mata, penciuman hidung, pendengaran telinga, rabaan kulit dan rasa dari lidah yang dimiliki. Meskipun menyatu, setiap entitas tidak akan pernah bisa lepas dari unsur karakter awalnya sehingga sifatnya tetap ada dan bertahan.113 Kita harus menyadari bahwa kehidupan ini terdiri dari “Tri Daya Eka Karsa” yaitu tiga taraf kehidupan yang terdiri dari taraf hidup nabati (hidup tapi pasif), taraf hidup hewani (hidup aktif tapi hanya berdasarkan insting semata), dan taraf hidup insani (hidup manusia yang didasari oleh akal, rasa dan budi).114 Dalam kesadaran ini kita harus menginsafi bahwa segala sifat yang ada di sekeliling kita dapat memberi pengaruh pada kita, baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif, baik itu terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu bergantung pada Dzat atau daya ada dalam roh hurip tanah

112 W. Straathof, “Agama Djawa-Sunda: Sedjarah, Adjaran dan Cara Berfikirnja-II”, Basis, 1971, hlm. 287.

113 Pangeran Djatikusumah, Surasa Husus Lenyapaneun Pikeun Warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, (Kuningan: tanpa tahun, tanpa penerbit), hlm. 1.

114 Pangeran Djatikusumah, Wincikan Paparan Pikukuh Tilu: Lenyapaneun Putra Putri, (Kuningan: tanpa tahun, tanpa penerbit), hlm. 4.

131

pakumpulan dengan unsur karakter dan fungsinya masing-masing. Perlu ditegaskan, roh hurip tanah pakumpulan terdiri dari daya- raga-rasa dan adat paribawasa yang dapat menimbulkan jiwa dan melahirkan keinginan. Penyaringan akan pengaruh yang memapar diri merupakan hal yang mutlak dilakukan karena bila kita terpengaruh oleh sifat-sifat yang bukan sifat pribadi kita sendiri akan berakibat fatal terhadap kehidupan yang dijalani.115 Dengan begitu, kesempurnaan hidup yang diidam-idamkan sebelumnya, tidak akan pernah bisa teraih dan tercapai dengan sempurna.

Simpulnya, ngaji badan merupakan kegiatan pengoreksian dan penyadaran diri dengan tujuan agar seorang individu tetap berada dalam sifat-sifat pribadi sebagai manusia. Kegiatan yang memiliki tujuan kehidupan sempurna sebagai seorang manusia.116 Melalui ngaji badan, para pengikut ADS semakin menyadari bahwa manusia hidup tidak sebatang kara melainkan hidup bersama-sama dengan seluruh ciptaan Tuhan lainnya yang tentunya memiliki keterlibatan dalam proses interaksi dengan mereka. Intropeksi yang sejati akan semakin mempermudah mereka untuk menghayati makna terdalam di dalam kehidupan, bahwa dalam hidup itu “teu daya pangawasa anging karsa nu Kagungan Cipta”. Kegiatan ngaji badan dapat diwujudkan ke dalam banyak hal, seperti menjauhkan diri dari sifat-sifat iri, kebencian, kemunafikan dan perbuatan yang dapat menyakitkan atau merugikan orang lain.

115 Aliran kebatinan ini memiliki standar sendiri untuk menentukan ukuran baik dan buruknya suatu pengaruh kepada manusia. Dalam hal ini, pilihan kehidupan akan terpancar ke dalam tiga ukuran kategori yang mendasar, yaitu: niat, ucap dan perilaku. Lihat lebih lanjut, Y. Ruchiyat, “Agama Djawa Sunda”, Seri Pastoral, No. 95 (1983), hlm. 5.

116 Manusia akan dianggap paripurna, ketika ia telah menjadi manusia yang ucap lampah teu tingal wiwaha, tara ngantunkeun patokan, kalakuan diukur, tara tinggal di welas asih, someah hade ka semah, laku jujur, wiwaha yuda na raga, titih rintih kawalan laku berdudi (manusia telah sempurna ketika perkataan dan perbuatannya selalu diatur, tidak pernah meninggalkan patokan, kelakuan dijaga, penyayang, berbudi, jujur, mampu mengendalikan nafsu, selalu hati-hati dan berbudi mulia).

132

b. Mikukuh kana Tanah Mikukuh berasal dari kata kukuh yang artinya ajeg, kuat memegang pendirian. Sedangkan kata tanah memiliki dua pengertian, yaitu sebagai tanah adegan atau tanah amparan. Tanah adegan ialah raga, jasmani atau salira, di tanah adegan itulah menjelma jirim, jisim dan pangakuan. Jirim yaitu wujud yang memiliki bentuk dan dapat dilihat serta diraba (raga/jasmanai). Jirim adalah tempat pangancikan (tempat tinggal) jisim yang memiliki ules watek (karakteristik), sedangkan jisim merupakan pangancikan hurip. Perpaduan antara jirim dan jisim akan mewujudkan adanya kuring (aku atau juga pangakuan). Tanah amparan ialah tanah yang kita pijak, yang dimaksud mikukuh kana tanah bukan berarti tanah yang berwujud bumi, melainkan tuhu atau mikukuh kepada kebangsaan, tanah bumi pertiwi. Jadi yang dimaksudkan dengan tanah amparan adalah sifat pribadi bangsa. maksudnya agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi anggota suatu bangsa harus dapat menghargai dan mencintai bangsanya.117

Kata mikukuh kana tanah seringkali disejajarkan dengan kata mituhu kana tanah atau iman kana tanah, yang artinya teguh untuk taat kepada tanah tumpah darahnya, yang dalam hal ini adalah bangsanya sendiri. Selaku makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai bagian suatu bangsa, maka seorang individu harus bisa menghargai dan menghormati serta mencintai bangsanya sendiri.118 Menurut Suhandi, mikukuh kana tanah secara praktis berarti kesadaran mendalam kepada Tuhan Pencipta yang penuh

117 Untuk keterangan yang lebih lengkap, lihat, Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang …., hlm. 42-44.

118 Lihat lebih lanjut, Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah Kyai Madrais ...., hlm. 26.

133

rahmat, penuh nikmat dan kasih, apalagi bila terus disertai dengan rasa tetap eling (ingat) kepada-Nya.119

Kata menghargai dan menghormati dalam konsep ini memiliki pengertian bahwa manusia harus memelihara, memakai serta melestarikan cara-ciri bangsanya sendiri. Dengan kata lain, setiap bangsa yang ada di dunia ini harus bisa menjaga dan melestarikan budayanya masing-masing. Diaspora umat manusia yang kemudian melahirkan pelbagai macam bangsa dan budaya di seluruh dunia merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa disangkal para ciptaan-Nya. Penyangkalan atau penolakan yang ditujukan kepada hal yang telah digariskan ini merupakan bukti penentangan terhadap Tuhan, sedangkan penghormatan dan penerimaan yang dilakukan dengan cara menjaga dan melestarikan apa yang telah diberikan Tuhan kepada manusia merupakan bukti dari ketaatan dan cinta seorang hamba kepada Penciptanya.

Dalam paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang merupakan suksesor komunitas Agama Djawa Sunda (ADS), sudah menjadi keharusan bahwa setiap bangsa harus dapat menghargai dan mencintai kebangsaannya sendiri, harus saling menghormati dan menghargai antar bangsa satu dengan bangsa lainnya. Karena adanya cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa adalah kehendak Tuhan sendiri (sudah menjadi hukum adikodrati). Jelaslah bilamana akan menunjukkan eling (sadar) kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka segala ciptaan-Nya harus dihargai yang dalam pelaksanaannya menjungnjung tinggi cara- ciri manusia dan cara-ciri bangsa.120

Secara keseluruhan, dengan berpedoman pada konsep “mikukuh kana tanah”, para pengikut ADS menunjukan secara

119 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda ...., hlm. 195.

120 Pangeran Djatikusumah, “Pemahaman Agama dan Tradisi …., hlm. 12.

134

langsung dan positif mengenai keterikatan mereka dengan tanah (bumi atau dunia ini). Sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari kehidupan dunia, maka seyogyanya manusia harus bisa mencintai dan mengabdi kepada tanah atau dunia dengan sepenuh hati. Pengabdian itu bukan berarti diwujudkan dengan cara menyembah tanah ataupun melakukan prosesi ritual tertentu kepada tanah, melainkan diwujudkan dengan bentuk tanggung jawab dalam memanfaatkan, mengolah, dan menjaga tanah yang dimiliki. Para penghayat yang mendalami ajaran bahwa “manusia harus menjadi imam roh hurip tanah pakumpulan atau menjadi imam dunia” ini membuat mereka mau mengelola tanah dengan baik. Tindakan semacam itu akan memberikan pengaruh yang sangat positif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan dan membuat keadaan sosial ekonomi mereka lebih hidup. Tanah yang terurus dengan baik itu dapat menyumbangkan tambahan daya hidup bagi manusia sesuai dengan apa yang telah diupayakannya. Lagipula, kehidupan dan eksistensi manusia tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut sebagai tanah. Segala kegiatan manusia dalam kesehariannya, memperlihatkan bahwa ia memiliki hubungan yang sangat erat dengan tanah.

c. Madep ka Ratu Raja 3, 2, 4, 5, lilima, dan 6 Asas-asas harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan manusia telah menginspirasi ADS untuk menggunakan ide-ide mengenai kekuatan spiritual yang dibutuhkan untuk menjaga segala sesuatu yang ada di dunia ini agar tetap berjalan secara teratur menuju tujuannya.121 Asas yang dapat dijabarkan ke dalam beberapa nama dengan nomor-nomor tertentu, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan kualitasnya itu disebut dengan konsep madep ka ratu raja.

Madep berarti mengarah atau bisa juga menghadap. Ajaran madep ka ratu raja tidak dimaksudkan untuk menghadap

121 Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State ...., hlm. 88.

135

ratu-raja dalam sifat wujud seseorang yang kuat dan berkuasa, akan tetapi mengacu pada arti yang simbolis dimana kandungan makna dari konsep ini mengarah pada ratu nu ngararata dan raja nu ngajagat rata, keduanya mengacu kepada makna sempurna.122 Dalam bahasa Sunda, kedua kata ini berhubungan dengan kata ngaratakeun (ratu-rata) dan ngarajah (raja-raja) yang berarti meratakan dan menjinakkan.

Untuk mempermudah pemahaman akan konsep tersebut, maka ajaran madep ka ratu-raja yang harus mengarah tujuan ratanya di atas 3, 2, 4, 5 lilima 6 ini bisa dijabarkan maknanya sebagai berikut:123

Ratu-raja 3 : Cipta, rasa dan karsa atau sir, rasa dan pikir. Ketiga unsur tersebut di atas disebut Tri Daya Eka Karsa, tida dalam satu, satu dalam tiga. Menurut tuntunan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang diungkapkan, “Pisahna henteu ngajadi dua, tunggalna henteu ngahiji”. Ratu-raja 2 : Hukum keseimbangan dalam hidup atau adanya sifat berpasangan, seperti: pria dan wanita, siang dan malam dan lain sebagainya. Ratu-raja 4 : Aktivitas sepasang tangan dan sepasang kaki sebagai pengejawantahan penyeleksi akhir dari proses “wiwaha yuda nagara”. Pancaran daya ditentukan oleh kemampuan raga (waruga). Ratu-raja 5 : - Lima Pancaran Daya Sukma Salira yang dalam wujudnya ngaraga sukma,

122 Pangeran Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual …., hlm. 20.

123 Pangeran Djatikusumah, “Pemahaman Agama dan Tradisi …., hlm. 12-13.

136

rasa ciptaning pikir, getaran karakteristik dalam interaksi hidup. Melalui pancaran panca indera yaitu mata (indera penglihat), hidung (indera pencium), lidah (indera pengecap), telinga (indera pendengar) dan kulit (indera perasa/peraba). - Lima Pancaran Daya Sukma Sejati yaitu getar kesucian Ilahi yang memancar dalam roh manusia yaitu awas tan mata, dangu tan kuping, ambung tan irung, ucap tan lambe dan rasa tan rampa. - Lima bangsa di dunia yang terdiri dari ras Kaukasoid (kulit putih/bangsa Eropa), ras Mongoloid (kulit kuning/bangsa Jepang, Cina dsb.), ras Negroid (kulit hitam/Negro, Melanesia/Polinesia), ras Americana (kulit merah/bangsa Indian) dan ras Austronesia (kulit sawo matang/rumpun bangsa Melayu). - Cara-ciri manusia: welas asih, tata karma, undak usuk, budi daya budi basa dan wiwaha yuda nagara. - Cara-ciri bangsa: rupa, adat, basa, aksara dan kabudayaan. Ratu-raja : Sifat dari fungsi indera, yakni: lilima - Pancaran indera rohani, yaitu suatu daya yang bergetar dari dalam hati nurani. - Pancaran indera jasmani, yaitu suatu daya yan bergetar karena adanya rangsangan dari alam sekitarnya.

137

Ratu-raja 6 : Tunggal wujud manusia seutuhnya.

Dalam konsep ratu raja 3, pemahaman dimulai dari adanya kenyataan bahwa segala apa yang ada di dalam kehidupan di dunia ini memiliki pelbagai pengaruh kepada manusia. Jalan masuk bagi pengaruh itu adalah cipta (sir), rasa (rasa) dan karsa (pikir) manusia. Oleh karena itu, jalannya sir, rasa dan pikir manusia itu harus bisa dikendalikan dengan baik. Pertimbangan mendalam akan berjalannya ketiga hal itu dilakukan agar tidak ada penentangan dan selalu sejalan dengan kehendak Tuhan. Adapun konsep ratu raja 2 adalah konsep yang menunjukkan bahwa keberlanjutan dunia ini sangat ditentukan oleh keseimbangan dua sifat yang berlawanan di dalam banyak hal. Keseimbangan menunjukkan adanya keselarasan dan kehidupan yang harmonis. Pengeluaran harus diselaraskan dengan pendapatan, temperatur suhu (dingin dan panas) dunia yang harus berada dalam keadaan yang seimbang, dan lain sebagainya. Sementara itu, ratu raja 4 memiliki pengertian bahwa kedua tangan dan kaki yang berjumlah empat itu merupakan media yang paling utama bagi seorang individu untuk melakukan berbagai macam kegiatannya. Kehendak dan keinginan untuk menggunakan kedua tangan dan kedua kaki, hendaknya disertai dengan kesadaran diri bahwa sebagai manusia, polah, tingkah laku serta tindakannya harus sejalan dengan sifat-sifat dan cara- ciri khas manusia. Pengertian ratu raja 5 sendiri didasarkan pada kenyataan bahwa banyak hal yang ada di dunia ini terdiri dari lima unsur yang saling berkaitan satu sama lain, seperti lima cara- ciri manusia, lima cara-ciri bangsa, lima bangsa ras dunia, lima pancaran sukma sejati dan lima pancaran sukma salira. Konsep kelima adalah ratu raja lilima ini bisa dimengerti saat manusia menggunakan panca inderanya. Panca indera adalah media atau jembatan penghubung antara manusia dengan alam sekitarnya. Melalui jalan ini pula sering datang pengaruh-pengaruh dari luar sifat-sifat manusia atau dari lain kebangsaan. Disebutnya panca indera sebagai lilima memiliki pengertian bahwa kesamaan panca

138

indera yang dimiliki manusia, tidak akan menyamakan seluruh manusia di dunia karena tiap-tiap bangsa memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Sedangkan bagian terakhir, yaitu ratu raja 6 adalah pengertian yang menunjukkan wujud masing- masing manusia. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki tugas untuk mewujudkan kedamaian di alam lahir sesuai dengan sifat-sifat dan kodrat yang diberikan kepada manusia, yaitu perikemanusiaan.

Dari seluruh rajutan unsur konsep madep ka ratu raja ini, dapat ditarik satu garis lurus bahwa manusia dapat merajai alam semesta ini jika mampu menjadi dirinya sendiri, yaitu menjadi sosok manusia yang berpikir dan bertindak sesuai dengan peran yang diberikan kepadanya.124 Terkait keseluruhan konsep madep ratu raja ini, terdapat satu hal yang sangat menarik, yaitu pemakaian nomor pada tingkatan-tingkatan di atas yang begitu mirip dengan apa yang ada di dalam asas-asas kategori kosmologis budaya Sunda dan Jawa yang secara luas telah dibahas oleh sejumlah peneliti. Dalam penelitian budaya dan kosmologi Sunda, nama Wessing patut disebut sebagai salah satu peneliti asing yang telah mendiskusikan ide kosmologis semacam itu dalam worldview masyarakat Sunda secara komprehensif.125 Sedangkan dalam budaya Jawa, kita bisa menyebut nama Siddique, yang telah mempelajari pemikiran kosmologis yang ada

124 Menurut Suhandi, madep ka ratu raja memiliki arti bahwa alam semesta berpusat pada manusia. Karena keseluruhan hal yang ada di dunia ini berhubungan dengan manusia, maka ia memandang bahwa manusia adalah raja atau puncak alam semesta. Kata ngaratakeun (ratu-rata) dan ngarajah (raja-raja) menunjukkan bahwa individu manusia yang patut disebut sebagai raja adalah individu yang mampu meratakan dan menjinakkan kemauan, pikiran dan perasaan yang ada di dalam dirinya sendiri. Lihat lebih lanjut, A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda ...., hlm. 197.

125 Robert Wessing, “Life in the Cosmic Village: Cognitive Models in Sundanese Life”, dalam E.M. Bruner and J.O. Becker (eds.), Art, Ritual and Society in Indonesia, (Athena: Ohio University Center for International Studies [Ohio University Papers in International Studies, Southeast Asia Series, No. 53], 1979), hlm. 96-126. Lihat juga disertasinya, hlm. 26-28.

139

di Kesultanan Cirebon. Dengan jelas ia menguraikan bahwa ide- ide kosmologis yang demikian itu juga digunakan di dalam lingkaran Kesultanan Cirebon.126

3. Hukum Adat Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam Agama Djawa Sunda

a. Sunat Secara etimologis, khitan atau sunat adalah pemotongan kulup (kulit khatan), yaitu kulit pada ujung kemaluan laki-laki.127 Umumnya, sunat dilakukan kepada anak laki-laki karena untuk perempuan polemik mengenai sunat tersebut masih terus berjalan. Hidayatullah menguraikan bahwa dalam dunia medis, tinjauan sunat kepada perempuan sama sekali tidak dikenal. Pemotongan yang dilakukan terhadap organ khusus perempuan dianggap akan sangat merugikan.128 Tujuan dari pelaksanaan praktik sunat ini adalah menyucikan dan agar diri manusia lebih suci serta bersih dari najis atau kotoran yang biasanya terdapat pada kulup (kulit khatan).129 Tradisi sunat bukanlah ritual keagamaan semata karena dalam dunia kesehatan, sebagaimana disimpulkan Nawawi, khitan ternyata memiliki banyak manfaat medis dan biologis, yaitu dapat mencegah kanker pada alat kelamin laki-laki dan mendatangkan kepuasan seksual bagi orang yang

126 Sharon J. Siddique, Relics of the Past?: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java, (London: UMI, 1977), hlm. 116-117 dan 171-172.

127 Tim Penyusun dan Editorial Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV., hlm. 767.

128 Taufiq Hidayatullah, “Khitan Wanita Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan”, Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 72.

129 Harun Nasution dkk. (eds.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), Cet. I., hlm. 555.

140

melakukannya. Selain itu, sunat juga sangat bermanfaat untuk kebersihan pada alat kelamin.130

Meskipun begitu, para pengikut ADS tidak diperkenankan oleh pemimpinnya untuk melakukan sunat.131 Menurut Aqiqah dalam kesimpulan penelitiannya, khitan (sunat) dalam kepercayaan Madrais adalah sama halnya dengan menghilangkan sebagian anggota tubuh manusia. Tindakan itu sama sekali tidak dianjurkan dalam kepercayaan Madrais karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan sangat sempurna, tidak perlu lagi ada yang dikurangi ataupun ditambahkan. Jika manusia melakukan praktek sunat, yang berarti tidak menjaga kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia.132 Dengan demikian, orang yang melakukan sunat dianggap sebagai orang yang tidak dapat bersyukur dan juga sangat kufur.

Para penghayat Agama Djawa Sunda (ADS) meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-Wiji atau Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan seluruh alam beserta isinya itu dengan sangat lengkap dan sempurna. Manusia, sebagai salah satu ciptaan-Nya, diharuskan untuk menjaga apa yang telah diciptakan oleh Penguasa Alam ini agar terus lestari, terjaga sepanjang masa. Karena pada hakikatnya, alam itu adalah ladang yang lapang bagi manusia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, manusia tidak diperkenankan untuk mengganggu atau bahkan merusaknya. Sebagai salah satu ciptaan Tuhan, manusia telah dianugerahi kesempurnaan, baik itu secara fisik maupun psikis.

130 Nawawi, “Khitan menurut Pandangan Kristiani dan Muslim (Studi Komparatif Kristen dan Islam)”, Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 72-73.

131 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 133.

132 Siti Umi Aqiqah, “Praktik-Praktik Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Studi Kasus Sunat pada Kepercayaan Madrais”, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), hlm. 53.

141

Anugerah yang telah diberikan Tuhan itu harus diterima dengan penuh rasa syukur, dijaga dengan telaten dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang baik. Rahmat yang diberikan kepada manusia itu tidak diperkenankan untuk dirusak, dikurangi ataupun ditambahkan karena itu adalah tindakan yang menunjukkan rasa kurang mensyukuri nikmat dan bukti dari sebuah penolakan terhadap apa yang telah digariskan oleh-Nya. Dalam hal ini, ajaran ADS mengkategorisasikan khitan (sunat) sebagai salah satu tindakan yang merusak kesempurnaan seorang manusia, yaitu ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan akal untuk senantiasa berpikir secara sehat dan logis.

Dalam konteks adat dan budaya yang berkembang di wilayah Kabupaten Kuningan, sunat merupakan salah satu ritual keagamaan yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat karena merupakan hal yang wajib dilaksanakan dalam agama terbesar di kabupaten itu, yakni agama Islam. Sedangkan untuk wilayah Cigugur sendiri, sunat bukanlah hal yang harus dilakukan karena tidak seluruh masyarakatnya memeluk agama Islam. Jumlah masyarakat non-muslim (yang terdiri dari umat Hindu, Buddha, Katolik dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan) di daerah itu hampir mengimbangi jumlah penduduk yang beragama Islam. Namun, tidak sedikit dari kalangan non-muslim itu yang juga melakukan khitan dengan alasan kesehatan.

b. Pernikahan Secara terminologis, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.133 Sudah sejak lama kata pernikahan sering dipadankan dengan kata perkawinan, meski untuk era yang telah maju dan modern ini makna tersebut mulai bergeser karena kata

133 Lihat lebih lengkap, UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Pernikahan.

142

perkawinan lebih berkonotasi negatif, yaitu melakukan hubungan suami isteri. Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci yang menyatukan dua orang individu dalam sebuah keluarga. Dua insan yang bersatu itu tentu sebelumnya hidup dengan cara pandang dan cara berpikir yang tidak selalu sejalan, tidak selalu searah dan juga tidak selalu seirama. Namun itulah pernikahan, yang memang tidak dibangun dengan dasar persamaan dan kesempurnaan, melainkan dibangun untuk menyatukan perbedaan guna meraih kesempurnaan. Hubungan yang terjalin itu tidak hanya menyatukan dua insan yang berbeda saja, namun juga sekaligus menyatukan dua keluarga besar yang pastinya memiliki kebiasaan dan adat yang berbeda pula.

Pada umumnya, pernikahan dilakukan melalui sebuah upacara pengikatan dengan janji suci saling melengkapi yang dirayakan secara resmi guna mendapatkan pengesahan dan pengakuan karena telah sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik itu norma agama, hukum ataupun sosial. Pada praktiknya, perayaan dan upacara pernikahan semacam itu memiliki banyak ragam dan variasi karena adanya keragaman yang sangat kompleks dalam suatu satuan kelompok sosial. Perbedaan tradisi pernikahan itu bisa timbul karena adanya prinsip dasar yang tidak sama, baik itu yang berasal dari unsur ajaran kepercayaan, aturan suku, hukum budaya maupun kebiasaan dalam kelas sosial. Dalam hal ini, sebagai suatu kesatuan spiritual tertentu, Agama Djawa Sunda (ADS) memiliki tata cara tersendiri yang khas dalam pelaksanaan perayaan dan upacara pernikahan.

Setelah secara resmi diakui oleh pemerintah kolonial pada 1925, para pemimpin dan pengikut ADS terus mengembangkan tata cara budaya paguron spiritual secara serius, salah satu tata cara yang digubah adalah mengenai pernikahan. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1927, regulasi lengkap mengenai pernikahan dalam lingkungan komunitas adat ADS berhasil diterbitkan. Dalam hal ini, beberapa aspek pernikahan telah

143

ditentukan dengan cukup spesifik dan jelas, seperti makna pernikahan, tujuan mulianya, persyaratannya, dan juga prosedural pelaksanaannya.134

Dalam adat dan tradisi ADS, pernikahan itu bertumpu pada apa yang disebut sebagai awal tunggal akhir jadi sawiji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu). Artinya, setiap manusia itu pada mulanya tunggal (satu atau sendiri) sebagai hamba Tuhan dan tunggal hirup (hidup sendiri) tetapi kemudian pada akhirnya ia akan menyatu dengan pasangannya masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang terjalin.135 Dalam ajaran ADS, pernikahan itu bukanlah semata- mata untuk menunaikan ibadah dan rasa cinta kepada Tuhan semata, namun juga jalan untuk memelihara keturunan manusia, menjaga keadaan alam semesta dan jalan untuk meraih kesempurnaan hidup. Agar tujuan-tujuan itu dapat tercapai, pernikahan hendaknya memiliki dasar cinta yang sejati dan hakiki. Kedua pasangan yang akan membina rumah tangga, hendaknya menikah karena suka sama suka dan benar-benar saling mencintai, bukan karena haus akan kepentingan biologis, material ataupun motivasi dan dorongan untuk melakukan tindakan yang tidak mulia.136

Setelah itu, kedua calon pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tuanya masing-masing. Ketika sudah disetujui, maka mereka akan diwajibkan menjalani tradisi masar, yaitu masa saling mengenal yang sekurang-kurangnya adalah 100 hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah, tidak lagi berubah pikiran. Masa-masa masar (pertunangan) semacam ini lebih baik

134 Deskripsi ...., hlm. 16.

135 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik …., hlm. 117.

136 Deskripsi ...., hlm. 16-17. Lihat pula, Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., 132.

144

dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, seperti bulan Syawal, Apit (Zulqaidah), Rayagung (Zulhijjah), Syuro (Muharram) dan Sapar. Maksudnya, agar pernikahan bisa dilaksanakan pada bulan Mulud (Rabiul Awal), yaitu bulan yang menurut ADS adalah bulan yang paling baik bagi kedua pasangan calon mempelai untuk menikah, menyatukan hati mereka dalam sebuah mahligai rumah tangga secara resmi.137

Para penghayat kepercayaan ADS, tidak diperkenankan untuk mengikat janji suci perkawinan di depan seorang penghulu yang resmi ditunjuk pemerintah karena pemimpin upacara pernikahannya adalah penggawa khusus yang telah ditentukan oleh pimpinan ADS. Hal-hal yang sangat menjunjung tinggi adat ini, membuat para pengikut ajaran ADS seringkali berseberangan pendapat dengan pejabat pemerintah, terutama pegawai pemerintahan dari departemen keagamaan. Salah satu contohnya adalah masalah mengenai petugas resmi yang mengurus pernikahan. Dalam aturan negara, yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.138 Sedangkan dalam tradisi komunitas spiritual dan budaya ADS, pengawas yang bertanggung jawab dalam sebuah pernikahan pengikutnya adalah mereka yang harus ditunjuk oleh pemimpin komunitas spiritual ADS tersebut. Polemik seperti ini lah yang di kemudian hari membuat paguron yang dirintis oleh Madrais itu harus beberapa kali dikaji eksistensinya oleh pemerintah karena dianggap tidak tunduk (patuh) pada aturan yang telah digariskan oleh negara.

137 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, pada 6 Juni 2015. Lihat pula, Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik …., hlm. 118.

138 Lihat lebih lengkap, UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

145

Pernikahan yang telah terbina itu biasanya bersifat langgeng karena dalam ADS tidak ada kata berpisah. Indrawardana menyebutkan bahwa orang yang telah menikah dalam lingkungan komunitas penghayat ADS, tidak diperkenankan sama sekali untuk bercerai sebab janji yang telah mereka ikrarkan untuk menikah adalah janji untuk selalu menjunjung kebersamaan, baik itu dalam suka maupun duka.139 Untuk masalah harta warisan keluarga, biasanya yang ditonjolkan adalah pandangan adat dan tradisi. Harta gono-gini sebuah keluarga akan ditentukan melalui aturan adat dan tradisi Sunda, yaitu nilai dan norma budaya yang telah mereka junjung sangat tinggi dan pertahankan untuk kurun waktu yang sangat lama.

c. Kematian Untuk pengurusan orang-orang yang hendak meninggal dan juga pengurusan jenazahnya, Agama Djawa Sunda (ADS) memiliki tata caranya sendiri. Adat tradisinya yang khas membuat tata cara pengurusan hal-hal yang berhubungan dengan kematian para pengikutnya inipun berbeda dari tata cara yang umumnya dilakukan di wilayah Cigugur dan Kuningan yang didominasi oleh tradisi Islam.

Salah satu ajaran uniknya adalah ketika ada seorang pengikut ADS yang akan meninggal, maka kawan-kawan yang menemaninya diharuskan untuk membantu kawannya yang sedang menghadapi sakaratul maut itu dengan mengatakan, “wajoh lawan”, yang artinya adalah “ayo lawan”. Hal itu dilakukan sebagai motivasi agar orang yang hendak meninggal itu dapat menahan ajal dan tidak jadi meninggal. Namun jika ternyata orang tersebut malah meninggal dan tidak bisa memperlambat waktu meninggalnya itu, maka teman-teman yang menemaninya akan mengatakan, “hih, bet olehan”, yang artinya adalah “lo, tukang kalah”.140 Setelah itu, mayat orang yang meninggal itu pun

139 Wawancara dengan Ira Indrawardana, pada 30 April 2015.

140 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 132.

146

akan segera diurus penguburannya sesuai dengan ajaran yang digubah oleh sang pemimpin komunitas.

Setiap warga pengikut Agama Djawa Sunda (ADS) yang meninggal dunia, jenazahnya dibungkus dengan kain hitam, dimasukkan ke dalam peti mati kayu jati. Setelah dimasukkan ke dalam liang kubur, tempat peristirahatan jenazah itu ditaburi dengan arang, kapur dan beras di sekitar peti mati.141 Posisi orang yang meninggal itu diatur dengan sedemikian rupa, dimana posisi kaki dan tangannya harus agak terlipat (mentongkrong), dan sebisanya makam dari jenazah itu tidak berada satu tempat dengan pemakaman umat beragama lain, termasuk dengan makam orang Islam.142 Segala barang yang ditaburkan dan hal yang dilakuan di dalam prosesi itu bukanlah sesuatu yang remeh dan sepele karena bagi mereka memiliki makna-makna yang sangat dalam. Secara simbolis, kain hitam adalah lambang kegelapan, sebab dalam kepercayaan aliran kebatinan ini, orang mati dianggap sebagai orang yang pulang ke alam kegelapan. Untuk peti mati yang harus dibuat dari kayu jati, adalah simbol rasa sejati yang merupakan asal manusia. Adapun beras yang ditaburkan merupakan perlambang dari hidup manusia yang memang sangat bergantung pada hasil bumi tanah tropis itu. Sedangkan arang merupakan simbol agar arwah yang telah meninggal dunia itu tidak lagi mengganggu orang-orang yang masih hidup di dunia. Di dalam lingkungan ADS, istilah jagat gitra dan jagat peteng bukanlah istilah yang asing. Keduanya merupakan tempat-tempat yang merepresentasikan dua alam yang berbeda dan saling berlawanan. Jagat gitra merupakan alam dunia yang terang, sedangkan jagat peteng adalah alam akhirat

141 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 119.

142 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan ...., hlm. 132. Meskipun begitu, dari pemakaman Kampung Pasir yang penulis amati, pemakaman kaum Islam, Nasrani dan penghayat aliran kepercayaan ternyata berada dalam satu kawasan pemakaman. Menurut keterangan warga setempat, hal tersebut merupakan bukti dari adanya nilai- nilai toleransi yang tinggi di tengah masyarakat Cigugur.

147

yang diliputi kegelapan. Setelah meninggal dunia, manusia dipercaya telah kembali ke alam kegelapan karena di ruang tersebut tidak akan diketemukan satu kehidupan pun.143 Kelanjutan nasib dari manusia yang telah berada di jagat peteng itu ditentukan oleh tindakan dan perbuatan yang dilakukannya semasa hidup di dunia. Apabila hidupnya dipenuhi dengan pelbagai macam perilaku positif, maka ia dapat kembali ke asalnya yakni rasa sejati. Namun sebaliknya, apabila selama di dunia ia tidak pernah mau berpikir dan tidak melakukan kebaikan, maka posisi arwah orang yang meninggal itu tidak pernah tenang dan akan terus bergenyatangan untuk mengganggu orang-orang yang masih hidup. Agar hal itu tidak terjadi, maka dalam pandangan ajaran mereka, jenazah orang yang meninggal itu harus dikuburkan dengan taburan arang.

Gambar 3:

Gedung pusat kegiatan ADS, Paseban Tri Panca Tunggal (Photo: visistkuningan.com)

143 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, pada 6 Juni 2015.

148

Setelah prosesi penguburan selesai, maka keluarga yang ditinggal mati dibawa ke gedung Paseban Tri Panca Tunggal dan disuruh untuk menghangatkan diri (siduru atau nabun) di depan Hawu Ageung yang berada di dalam keraton Madrais. Tujuan dari tindakan itu adalah untuk mensucikan orang yang meninggal tadi agar rohnya dapat pergi dengan tenang dan lancar, serta agar arwahnya itu tidak dapat menganggu orang yang masih hidup.144 Tidak jauh berbeda dengan tradisi belasungkawa atas kematian di tengah masyarakat Sunda Cigugur lainnya, jika ada anggota suatu masyarakat yang meninggal, maka tetangga atau anggota masyarakat lainnya yang masih hidup akan datang kepada keluarga orang yang meninggal dengan membawa beras dan atau uang guna menunjukkan rasa sepenanggungan dan bela sungkawa mereka.145 Namun, untuk kasus para pengikut Madrais, bawaan orang-orang yang melayat untuk turut berduka cita itu, yaitu beras dan uang, tidak diberikan kepada keluarga yang telah ditinggal meninggal, melainkan diserahkan kepada jajaran pengurus gedung Paseban Tri Panca Tunggal untuk selanjutnya barang- barang yang bersifat material dan duniawi itu dapat dibagikan kepada fakir miskin ataupun pihak-pihak lain yang memang benar-benar membutuhkan.146

Pada umumnya, tata cara berbela sungkawa di wilayah Kuningan ini hampir seragam. Namun untuk barang yang dibawakan, seperti beras dan uang dalam lingkungan ADS, tidak semua masyarakat Kuningan melakukan hal yang sama. Dalam adat Sunda yang berkembang di Luragung, Ciwaru dan Cibingbin, yang dibawakan dan diberikan kepada keluarga yang tengah berduka, hanyalah beras dalam baskom kecil dan tidak membawakan uang. Selain itu, ungkapan duka yang dibawakan pun tidak diserahkan kepada pemuka ataupun tokoh agama masyarakat setempat, melainkan diberikan kepada keluarga yang

144 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 120. 145 Wawancara dengan salah seorang penduduk Cigugur, Abdul Mujtahid, 3 Juni 2015. 146 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 120.

149

tengah kehilangan dengan tujuan membantu meringankan biaya keluarga untuk melaksanakan sejumlah prosesi adat kematian, seperti tahlilan, tujuh harian dan lain-lain. Meskipun begitu, perbedaan itu justeru menunjukkan adanya hubungan sosial yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Hal itu memperlihatkan adanya diaspora budaya tunggal yang kemudian berkembang karena adanya pelbagai macam penyesuaian yang dilakukan oleh para pemegang otoritas, baik itu otoritas yang bersifat religius maupun politis.

BAB IV

PERKEMBANGAN AGAMA DJAWA SUNDA 1939-1964

A. Riwayat Masa Perkembangan Hidup Pangeran Tedjabuana Tedjabuana dilahirkan pada tanggal 22 Rayagung di kediaman Madrais yang menjadi pusat gerakan komunitas spiritualnya di Cigugur. Hari kelahirannya merupakan salah satu hari penting dalam tradisi kalender Sunda dan Jawa. Dalam budaya dan tradisi Agama Djawa Sunda (ADS), tanggal 22 Rayagung merupakan hari pelaksanaan kegiatan dan upacara Seren Taun.1 Menurut cucunya sendiri, Tedjabuana lahir pada tahun 1892 Masehi dan hidup hingga usia 86 tahun pada tahun 1978. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman keluarganya di Kampung Pasir, dekat dengan makam Madrais dan berdampingan dengan tempat peristirahatan terakhir sang kakak, Nyi Ratu Sukainten.2 Sebagai anak Pangeran Madrais dan juga keturunan Gebang Kinatar, Tedjabuana berhak mendapatkan gelar kebangsawanan pangeran sehingga kemudian tidak jarang ia disebut sebagai Pangeran Tedjabuana.3 Pangeran Tedjabuana memiliki dua orang istri, yaitu Ratu Nyi Mas Arinta dan Ratu Siti Saodah.Dari keduanya, Tedjabuana memiliki 10 orang anak. Dengan istri yang pertama, ia memiliki 3 orang puteri, yaitu Ratu Pusaka Nawangsasih, Ratu Dewi Sekar Kedaton dan Ratu Siti Jenar. Sedangkan dengan istri yang kedua, ia memiliki 7 putera-

1 Endang Caturwati Sudarsono, Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat, (Jakarta: Aksara Indonesia, 2003), hlm. 147.

2 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

3 Terkait silsilah dan gelar kepangeranan Madrais ini, terdapat sejumlah kontroversi yang masih diperdebatkan dan karena itu perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam. Lihat, Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State: The Dissolution of Madraism in 1964”, Tesis tidak diterbitkan, (Leiden: Leiden University, 2000), hlm. 44-45.

150

151

puteri, yaitu Ratu Putri Rarasantang Manguntapa, Pangeran Djatikusumah, Ratu Siti Sondari, Ratu Siti Dzuriyat, Pangeran Sadewa Alibassa, Pangeran Wisnu Garu Jagat dan Pangeran Wisa Sabda Pamungkas.4

Tedjabuana merupakan anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki oleh Madrais sehingga sejak kecil ia telah diproyeksikan untuk menjadi penerus kepemimpinan ADS. Selain dirinya, Madrais juga memiliki satu orang anak lagi yang merupakan kakak Tedjabuana dan berjenis kelamin perempuan, yaitu Ratu Sukainten. Keduanya merupakan keturunan Madrais bersama Nyi Siti Yamah. Selain dengan Nyi Siti Yamahdari Tasikmalaya, Madrais juga pernah menikah dengan empat wanita lainnya, mereka adalah: Nyi Maskinah dari Cirebon; Nyi Murtasiah dari Sukabumi; Nyi Siti Munigar dari Ciamis; dan Nyi Ence dari Bandung. Namun selain dari Nyi Siti Yamah, semua istri Madrais tersebut tidak memberikan keturunan.5

Masa kecil Tedjabuana di Cigugur sangat bahagia. Ia tinggal di rumah bagus yang luas dan sangat hijau karena konon hampir semua tanah di sekitar gedung Paseban Tri Panca Tunggal dulunya adalah milik Madrais.6 Tedjabuana kecil juga bisa bepergian dengan bebas mengendarai pelbagai macam kendaraan milik ayahnya yang pada saat itu hanya dipunyai oleh orang-

4 Istri pertama Tedjabuana meninggal di saat anak-anaknya masih sangat kecil. Agar anak-anaknya tumbuh dengan kasih sayang seorang ibu, maka Tedjabuana menikah lagi untuk yang kedua kalinya. Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

5 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 104.

6 Bentuk bangunan tempat tinggal dengan ukuran yang besar dan luas merupakan salah satu karakteristik gaya kebudayaan Indies. Ciri lainnya adalah memiliki hiasan mewah, penataan halaman yang rapi, dan perabotan lengkap. Derajat kekayaan dan status sosial dalam masyarakat turut dipengaruhi oleh kepemilikan kediaman semacan ini. Lihat, Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 41.

152

orang terpandang saja. Tedjabuana pun memiliki busana dan pakaian yang sangat bagus, tidak hanya yang berbahan lokal tetapi sampai yang berbahan sutera halus dari luar negeri. Ia benar-benar hidup seperti seorang putra regent (bupati) di Kuningan. Pada masa itu, keadaan ekonomi keluarga sedang baik- baiknya karena komunitas yang dipimpin oleh ayahnya tengah berkembang dengan pesat. Para pengikut ADS, yang tersebar di seantero Jawa Barat, dalam kurun waktu tertentu memberi hadiah dan pelbagai macam hasil bumi sebagai bukti cinta dan taat serta ungkapan rasa terima kasih mereka kepada Madrais selaku pemimpin komunitas aliran yang senantiasa membimbing kebutuhan rohani mereka.Selain itu, para penghayat ADS sering diintruksikan untuk mengumpulkan dana guna kepentingan gerakan keagamaan dan spiritual mereka. Aliran dana itu, tidak sedikit yang mengalir ke kantong pribadi keluarga Madrais. Dengan begitu, tanpa perlu berpeluh keringat, keluarga mereka bisa hidup dengan berkecukupan karena adanya sokongan materi dari para pengikutnya.7 Hingga pergantian abad ke-20, Tedjabuana kecil masih dapat menjalani hari-harinya dengan penuh kebahagiaan karena kebutuhan sandang, pangan maupun papannya bisa terpenuhi dengan baik.

Pada awal abad ke-20, keadaan keluarga Madrais mulai berubah.Kehidupan Madrais yang sangat berkecukupan dan bahkan cenderung mewah karena gaya hidupnya yang tidak kalah dengan gaya hidup bupati, membuat banyak pihak menaruh curiga kepada keluarga pemimpin ADS itu. Kecurigaan itu timbul karena kekayaan yang dimiliki Madrais tidak didasari oleh adanya suatu pekerjaan ataupun profesi yang jelas. Salah seorang anggota masyarakat Cigugur yang menaruh curiga dan melaporkan hal ini

7 Menurut Anang, kehebatan-kehebatan kanuragan, spiritual dan medis yang dimiliki oleh Madrais, membuat para pengikutnya selalu terkagum-kagum dan selalu mau mengikuti permintaan Madrais. Lihat, Anang, “Mistisisme dalam Aliran Kebatinan: Agama Jawa Sunda”, Skripsi tidak diterbitkan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), hlm. 47.

153

kepada pemerintah kolonial adalah Wirasasmita, Kepala Desa Cigugur saat itu. Dalam laporannya, ia menyatakan bahwa Madrais telah melakukan tindakan penipuan dan pemerasan terhadap masyarakat dengan dalih ajaran dan pengobatannya. Hingga kemudian tidak lama berselang, Madrais ditangkap pihak dan dijebloskan ke dalam sel tahanan pemerintah pada tahun 1901 M.8 Sementara itu, gonjang-ganjing isu mengenai perilaku negatif badal-badal paguron Madrais kepada para pengikutnya yang ada di Tasikmalaya juga mulai berhembus sejak tahun 1903. Para petugas yang diberi wewenang oleh Madrais untuk melakukan hal itu, para badal, melakukan tindakan yang kurang menyenangkan. Penarikan dana untuk perkembangan ADS yang awalnya dilakukan secara sukarela, malah dilakukan secara paksa. Masyarakat penghayat ADS tidak hanya dihantui dengan paksaan, tapi juga dengan penuh ancaman. Peristiwa kontroversial itu pun berakhir dengan keluarnya keputusan meja hijau yang menyatakan bahwa Madrais beserta badal-badalnya telah bersalah karena telah melakukan tindakan penipuan dan pemerasan. Hukuman yang telah ia jalani di masa sebelumnya, semakin ditambahkan. Pada akhirnya, Madrais pun ditahan dan diharuskan melakukan kerja paksa oleh otoritas penguasa pemerintah kolonial saat itu dan kemudian diasingkan ke luar Pulau Jawa, yaitu ke tanah Papua.9 Ketika Madrais berada dalam pembuangan pemerintah kolonial, komunitas yang ia dirikan itu tetap dijaga dan dilestarikan oleh keluarganya, terutama oleh istrinya, Nyi Maskinah yang bertindak sebagai pemimpin komunitas.10 Meskipun ADS tetap berjalan, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sangat ketat sehingga paguron spiritual dan budaya itu tidak berkembang sama sekali.

8 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 105.

9 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

10 Baca lebih lanjut, W.Straathof, Agama Djawa Sunda (ADS); Hartina Agama Djawa Sunda, (Garut: tanpa penerbit, 1970), hlm. 5.

154

Tidak adanya kepala keluarga, membuat istri-istri dan anak-anak Madrais menjadi kebingungan. Sumber ekonomi keluarga yang dulu datang sendiri tanpa diundang dari para pengikutnya, berubah seketika. Para penghayat ADS tidak lagi bisa mendekati keluarga Madrais sehingga kemudian keluarga yang ditinggal ke tahanan itu terus mencari alternatif sumber ekomoni lainnya. Kehidupan mereka yang sebelumnya kaya raya berubah menjadi miskin, makanan mereka yang sedianya selalu disediakan dengan nikmat dan lezat pun berubah menjadi makanan yang kurang enak. Selain itu, adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah kolonial membuat gerak-gerik keluarga ini menjadi sangat terbatas. Pergaulan sosial mereka yang sangat minim itu membuat tingkat percaya diri mereka turun. Dengan demikian, saat Madrais berada dalam masa hukuman pemerintah kolonial, keadaan keluarganya menjadi sangat memprihatinkan.

Keadaan jiwa Tedjabuana kecil pun turut terguncang karena ia kehilangan sosok ayah yang seharusnya ada untuk mengayomi, menjaga, membimbing dan mengajarainya akan banyak hal. Tidak hanya kehadiran sosok ibu, posisi ayah dalam tumbuh kembang seorang anak pun menjadi bagian kehidupan individu manusia yang sangat penting dan sudah semestinya ada.11 Pada hakikatnya, keluarga yang ideal itu adalah keluarga yang anggotanya lengkap telah terdiri dari anak, ibu serta ayah. Kesemua anggota keluarga itu memiliki peran, hak serta kewajiban yang berbeda. Meskipun begitu, seluruh hal tersebut tetap menjadi penting karena ketika sebuah keluarga kehilangan salah satu anggotanya, maka pelbagai macam dampak sangat berpotensi untuk muncul, baik itu dampak psikologis, ekonomis,

11 Orangtua memiliki peran yang tidak sama dalam proses pengasuhan terhadap buah hatinya. Jika sosok ibu memiliki peran dalam perawatan anak, maka seorang ayah memiliki peran dalam segala aktivitas yang erat kaitannya dengan prosesi pembentukan kepribadian anak. Lihat, Latifah Nur Khayati, “Hubungan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Motivasi Berprestasi pada SIswa MTs Wathaniyah Islmaiyah Kebumen”, skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 6.

155

sosial dan lain-lain. Terkait hal ini, kehilangan sosok atau figur ayah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu fenomena yang sangat memprihatinkan. Bagi anak, pengaruh negatif dari kehilangan pemimpin keluarga itu akan sangat kuat terasa. Menurut Elia, dampak buruk yang terjadi pada anak akibat dari kehilangan atau tidak berfungsinya peran ayah akan memengaruhi orientasi gender dan kepribadian sang anak.12

Pertama, pergesertan orientasi gender. Hubungan yang tidak merata terhadap sosok ibu dan ayah akan menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan dalam hal perkembangan dan identitas seksual anak, orientasi gendernya bisa berubah. Kettenis menguraikan bahwa ketika model ayah jarang atau bahkan tidak hadir dalam kehidupan anak, maka anak akan jauh dari nilai dan identitas sosok pria. Anak dengan takdir kehidupan seperti itu akan lebih dekat ke sosok ibu sehingga kemudian lebih tertarik dengan figur kewanitaan.13 Selain itu, sejumlah penelitian psikologis juga membuktikan bahwa anak yang tidak dipedulikan oleh ayahnya akan lebih mudah mengalami masalah dalam orientasi gender dibandingkan dengan anak yang diasuh dan diurus dengan baik oleh ayahnya.14 Dalam konteks ini, anak-anak yang diurus secara baik dan mendapatkan kasih sayang, sentuhan sertapendidikan figur ayah semasa proses tumbuh kembangnya ternyata memiliki hasil yang lebih baik, di antaranya dalam aspek kemampuan sosial, bahasa dan prestasi akademis. Partisipasi aktif seorang ayah dalam pelbagai macam proses tumbuh kembang

12 Heman Elia, “Peran Ayah dalam Mendidik Anak”, Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol.1 No. 1 (April 2000), hlm.109-111.

13 Lihat, Peggy Kettenis, dkk., “Parental Factors and Transsexualism” dalam Carlo Perris, Willem A. Arrindell dan Martin Eisemann (eds.), Parenting and Psychopathology, (Chichester: John Wiley & Sons, 1994), hlm. 268-269.

14 Lihat lebih lanjut, Carlo Perris, “Linking the Experience of Dysfunctional Parental Rearing with Manifest Psychopathology: A Theoretical Framework”, dalam Carlo Perris, Willem A. Arrindell dan Martin Eisemann (eds.), Parenting and Psychopathology, (Chichester: John Wiley & Sons, 1994), hlm. 13.

156

anak akan berpengaruh secara positif terhadap keberanian, kepercayaan diri, dan perkembangan aspek kognitif serta emosi anak. Kedua, dampak buruk terhadap aspek psikologis anak. Untuk anak yang memiliki perasaan sensitif, umumnya akan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, misalnya yang tadinya periang menjadi pemurung, yang suka tertawan riangmenjadi suka menangis diam-diam. Setelah beranjak dewasa, anak-anak dalam kondisi seperti ini memiliki kemungkinan tumbuh menjadi anak yang sangat permisif, namun tertutup secara personal, pemalu dan memiliki agresivitas yang berbeda terhadap lawan jenis.15 Dalam hal ini, anak laki-laki akan sangat membutuhkan figur seorang ayah karena dari figur kepala keluarga itu lah seorang anak dapat mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya. Seorang ayah, selain berperan sebagai kepala keluarga, juga memiliki peran sebagai teladan bagi anak-anaknya. Mendapat pengasuhan yang tepat dan baik sejak terlahir ke dunia merupakan aspek kehidupan manusia yang penting. Hal itu akan menjadi awal yang sangat baik karena pada hakikatnya sosok ayah memang dibutuhkan dalam pelbagai macam segi, mulai dari segi finansial, psikologis, emosional dan lain-lain. Jika keadaan dan kehadiran sang ayah memang tidak memungkinkan, maka sang ibu harus bisa memberikan anaknya waktu untuk bersosialisasi atau bercengkerama secara nyata dan langsung bersama sosok-sosok pria dewasa seperti paman atau kakeknya sehingga sang anak tidak sepenuhnya merasa kehilangan figur seorang ayah.

Oliver mengemukakan bahwa anak dengan latar belakang keluarga yang telah kehilangan sosok ayah kerapkali mengalami 7 masalah yang sangat penting, yaitu:16

15 Dikutip dari uraian wawancara dengan seorang psikolog Universitas Indonesia, Lifina Dewi, M.Psi., yang termuat dalam laman https://wirofm.wordpress.com/dampak- psikologis-anak-yang-dibesarkan-tanpa-figur-ayah/, diakses pada tanggal 2 Juni 2015.

16 Gary J. Oliver, “Are You Man Enough? Exposing the Male Myth,” Christian Counseling Today (Winter 1995), hlm. 17-19.

157

1) ketidaklengkapan identitas, 2) tidak mampu mengatasi rasa takut, 3) tidak dapat mengendalikan kemarahan, 4) depresi yang tidak terdiagnosa, 5) perjuangan melawan perasaan kesepian, 6) kesalahpahaman seksualitas, dan 7) kegagalan dalam hal keterampilan pemecahan masalah.

Madrais ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1901 hingga 1908, yaitu sejak Tedjabuana berusia 9 tahun sampai usianya mencapai 16 tahun. Pelbagai macam hal yang terjadi di masa-masa usia emas seperti itu, pada umumnya sangat memengaruhi fase perkembangan pribadi manusia.17 Madrais meninggalkan Tedjabuana saat ia mengalami masa kanak-kanak, masa pre adolesen dan masa adolesen. Ketiga masa itu merupakan saat-saat yang penting bagi perkembangan kepribadian seorang manusia.18 Tedjabuana, yang ditinggal Madrais itu menjadi pribadi yang tidak kokoh kepribadiannya karena saat itu ia hidup dengan penuh tekanan dari pihak yang memenjarakan ayahnya. Pergaulan sosialnya yang terbatas karena terus menerus diawasi oleh kaki tangan pemerintah Hindia Belanda menjadikan ia sebagai pribadi yang tidak bisa menangkap perasaan seseorang dan situasi keadaan masyarakat dengan baik. Hal itu pulalah yang membuat kepekaan sosial yang

17 Secara umum, para ahli psikologi perkembangan membagi periodisasi perkembangan seorang individu manusia berdasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: periodisasi berdasarkan biologis, periodisasi berdasarkan psikologis dan periodisasi berdasarkan dedaktis. Lihat lebih lanjut, Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Teraju Mizan Publika, 2004), hlm. 173.

18 Jean Jacques Rousseau (1712-1778), membagi masa perkembangan kepribadian manusia dengan dasar fungsi dan kapasitas kejiwaan yang berlangsung dalam 5 tahapan, yaitu: masa bayi, masa kanak-kanak, masa pre adolesen, masa adolesen, masa pematangan diri. Terkait perkembangan yang jelas terkait hal ini, lihat lebih lanjut, Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm. 64-65.

158

ia miliki tidak sehebat dengan apa yang dimiliki oleh ayahnya. Belum lagi sindiran, cibiran dan hinaan yang ia terima atas apa yang terjadi pada keluarga dan ayahnya yang mendekam di penjara, tentunya membentuk aspek psikologis Tedjabuana kecil tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Penghinaan yang ia dapatkan tidak hanya sebatas sebagai anak seorang penipu tetapi juga sebagai anak dari seorang kyai yang sesat.19

Madrais dikirim kembali ke pulau Jawa pada tahun 1908 oleh pemerintah Hindia Belanda, namun itupun tidak langsung dipulangkan ke rumahnya di Cigugur melainkan ke sebuah rumah sakit yang menangani pasien-pasien khusus yang mengalami gangguan jiwa di Bogor karena ia telah terindikasi mengalami gangguan kejiwaan. Setelah ia divonis tidak gila oleh dokter- dokter disana, ia baru bisa kembali ke Cigugur.20 Hal itu membuat

19 Pada masa itu, Islam yang murni tengah berkembang pesat meninggalkan Islam bernuansa lokal yang lebih dulu hadir di tengah-tengah masyarakat. Pelbagai macam nuansa keagamaan yang bersifat sinkretis banyak mendapat tantangan, khususnya dari gerakan pemurnian agama, khususnya Islam. Islam berjenis lokal itu merupakan salah satu hasil dari rekonsiliasi antara identitas, keyakinan serta gaya Jawa dan agama Islam yang oleh Ricklefs disebut sebagai sintesa mistik. M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 36. Penelusuran sintesa mistik tersebut dapat dilakukan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Masa itu juga menjadi masa awal bagi pertentangan identitas yang lebih kompleks karena melahirkan konsekuensi konflik yang berdarah-darah. Lihat, M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (Norwalk USA: East Bridge, 2006), hlm. 222. Pada hakikatnya, istilah sinkretisme itu lahir akibat adanya dominasi negara atas kehidupan beragama. Masyarakat yang secara formal memeluk agama tertentu namun sekaligus melaksanakan praksis-praksis agama lokal yang telah lebih dahulu dianutnya, merupakan masyarakat yang mendapat penyematan istilah sinkretisme ini. Lihat, Indro Suprobo, “Rekonsiliasi Kultural Agama-Agama: Sebuah Pengalaman”, dalam Apendiks, Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, (Depok: Desantara, 2002), hlm. 133. Dalam bahasa Geertz, kaum agamawan yang sinkretis itu disebut dengan abangan, yaitu kelompok yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang melingkupi semuanya. Kelompok ini biasanya berasal dari petani. Baca, Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Penerj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), Cet. 2., hlm. 8.

20 Basuki Nursananingrat, Umat Katolik Cigugur: Sejarah Singkat Masuknya Ribuan Orang Penghayat ADS Menjadi Umat Katolik,.(Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 10.

159

Tedjabuana menjalani masa remajanya tanpa bimbingan sang ayah yang biasanya mendidik anak-anak mereka untuk bisa bersikap berani dan percaya diri. Dengan demikian, masa puberitas yang merupakan tahap transisi menuju masa dewasa pun dilalui Tedjabuana secara mandiri.

Setelah ayahnya kembali dari masa hukuman, sedikit demi sedikit kehidupan Tedjabuana mulai berubah menjadi lebih baik. Kharisma, kehebatan dan daya tarik sang ayah yang begitu kuat membuat para pengikut lamanya kembali berdatangan. Hidup mereka yang awalnya begitu menyedihkan pun kembali berubah, kegelapan hidup itu mulai tersingkap oleh adanya masa depan yang bersinar terang. Semenjak itu, masa perkembangan Tedjabuana menjadi lebih baik. Madrais benar-benar memperhatikan anak laki-laki satu-satunya yang digadang-gadang sebagai penerusnya itu. Untuk mendukung perkembangan intelektual dan pengetahuannya, Tedjabuana dimasukkan oleh ayahnya ke sebuah sekolah yang sangat prestisius pada masa itu, yakni Hollandsch-Indlandsche School (HIS).21 Sekolah semacam ini adalah sekolah yang telah menjadi bagian dari sistem pendidikan Eropa di Jawa pada masa pra-kemerdekaan. Dari sekolah Belanda Pribumi inilah pendidikan Eropa tingkat yang lebih tinggi dan lapangan kerja struktural pemerintah dapat diraih dengan mudah.22 Berbeda dengan Inlandsche School, kurikulum pendidikan yang ada di HIS lebih maju. Jika di Inlandsche School bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah, maka di HIS bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs). Selain itu, HIS memang sekolah yang sengaja diperuntukkan bagi anak-anak yang berasal dari golongan- golongan atas, seperti keturunan dari kelompok bangsawan atau

21 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

22 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Penerjemah: Tim Penerjemah Serambi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), Cet. II, hlm.342-343.

160

aristokrat lokal, tokoh-tokoh masyarakat terkemuka dan pegawai pemerintah.

Ilmu dan pengetahuan yang Tedjabuana dapatkan di lembaga pendidikan benar-benar sangat bermanfaat. Ia dapat mengaplikasikannya dengan baik guna kepentingan dan kemajuan komunitas spiritual dan budaya yang ayahnya pimpin. Pada saat ADS diakui sebagai komunitas hukum adat oleh pemerintah kolonial di tahun 1925, ia memiliki peran yang sangat penting bersama Raden Satria Kusuma, kakak iparnya, dalam kegiatan surat menyurat yang dilakukan oleh para pemimpin dan pengikut ADS dengan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, keduanya pula yang mengurus statuta tersebut di bawah supervisi seorang Belanda, Mr. J.A.L. Jacobs. Statuta tersebut ditulis dalam bahasa Melayu dan Jawa.23 Sebagai orang yang berpendidikan Belanda, tentunya Tedjabuana mengerti tata cara surat menyurat resmi dan adat bahasa Belanda dalam dunia korespondensi karena pengurusan pengakuan komunitas adat seperti itu dilakukan dengan suatu regulasi resmi tertentu.

Beberapa tahun setelah ADS diresmikan, keadaan ekonomi Hinda Belanda menjadi buruk karena mengalami krisis yang diakibatkan oleh adanya Depresi Ekonomi Besar yang hampir melanda seluruh dunia Barat.Hari Kamis Hitam di tahun 1929, membuat banyak bank tidak lagi meminjamkan uang sehingga membuat seluruh ekonomi dunia ikut macet.24 Tahun 1930-an, ekonomi Hindia Belanda terpengaruh oleh keruntuhan ekonomi yang terjadi di Belanda. Bagi Indonesia, dampak dari krisis ekonomi dunia ini benar-benar sangat serius karena membuat segala kenyamanan di masa lalu berubah menjadi

23 Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State ...., hlm. 46.

24 Hari Kamis Hitam terjadi pada 24 Oktober 1929, ketika kurs bursa Wall Street ambruk. Lihat, Geert Mak, Abad Bapak Saya, Alih Bahasa: Pericles Katoppo, Theresia Slamet, Toenggoel P. Siagian, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2009), hlm. 215-216.

161

harapan akan kemewahan yang sangat sulit untuk dijangkau. Masyarakat kolonial benar-benar mengencangkan pinggangnya karena gerakan penghematan dilakukan di banyak hal dan sektor.25

Geliat industri, khususnya gula dan kopi, yang awalnya terus mengalami kemajuan, setelah masa itu menjadi mengalami kemunduran. Sejak 1930 hingga tahun 1934, suplai pangan untuk per kapita masyarakat juga mengalami hal yang sama.26 Peristiwa itu mengakibatkan masyarakat Indonesia kehilangan usaha dan pendapatannya. Di wilayah pedesaan, petani kebingungan karena tidak dapat menjual hasil pertanian mereka seperti biasanya. Krisis mengakibatkan pelbagai macam kebutuhan di sejumlah sektor yang masih diimpor dari luar negeri menjadi barang yang langka. Untuk menekan biaya produksi, para petani menanam tumbuhan secara selektif.27 Belum lagi, penderitaan itu ditambah dengan sejumlah usaha pemerintah kolonial Belanda yang hendak menekan pergerakan nasional dengan cara-cara yang sangat licik.28 Di wilayah perkotaan, kelesuan ekonomi langsung meracuni kesehatan dan kehidupan dunia industri. Masyarakat

25 Catatan Harriet W. Ponder di tahun 1935, dalam James R. Rush, Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, 1330-1985, Penerj. Maria Agustina, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 237.

26 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern ...., hlm. 402.

27 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Sotosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Edisi Pemutakhiran, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Cet. II., hlm. 256.

28 Pada masa itu, di Cirebon dan sekitarnya, pelbagai macam dan jenis kejahatan ekonomi dilakukan oleh orang-orang Ch.O. van der Plas. Namun untuk pihak yang bersalah atau tersangkanya, biasanya akan dicari atau dituduhkan kepada anggota- anggota aktivis nasional Indonesia. Tindak kriminalitas itu dlakukan sebagai taktik baru untuk menindas pergerakan nasional yang tengah bergelora di tengah masyarakat. Baca, Molly Bondan, Spanning a Revolution: Kesaksian Eks-Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia, Penerj. Hesri Setiawan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 97.

162

yang bertumpu kehidupannya kepada kegiatan pabrik-pabrik turut menderita. Kalangan buruh merasakan pil pahit ini melalui penurunan upah yang dilakukan oleh pihak pengusaha.

Sehubungan dengan fenomena sosial itu, Djojohadikusumo membandingkan upah yang diterima oleh para pekerja yang bergelut di dunia perkebunan dan industri ketika sebelum Masa Depresi Besar dan sesudahnya, sebagaimana berikut:29

Pembayaran Sebelum krisis Tahun 1935 Upah bulanan 18 gulden 7,50 gulden Mandor Kuli harian di kebun 25 – 35 sen gulden 10 – 14 sen gulden Kuli harian di pabrik 25 – 35 sen gulden 10 sen gulden

Selain itu, banyak perusahaan dan pabrik yang memecat para pegawainya, sehingga kemudian pengangguran pun menyebar dimana-mana. Pengangguran, terutama yang berkembang di kalangan generasi muda, adalah keprihatinan besar bagi para pemimpin di semua komunitas, begitu juga dengan pemerintah kolonial. Krisis itu tidak hanya menghujam berat ratusan ribu rumah tangga masyarakat kolonial saja, namun juga meruntuhkan moral dan semangat generasi muda yang tumbuh dan berkembang di masa itu. Sejalan dengan Depresi Ekonomi yang semakin buruk, ada kekhawatiran yang meluas bahwa koloni akan menciptakan generasi yang secara permanen pengangguran, dengan konsekuensi sosial dan politik yang berpotensi serius. Hal ini cukup buruk bagi orang Indonesia, khususnya bagi mereka yang berpendidikan Barat, tapi pejabat resmi dan orang Eropa terkemuka secara khusus khawatir dengan apa yang mereka sebut sebagai „moral fibre (prinsip)‟ dari generasi muda Eropa karena, dalam pandangan mereka, banyak

29 Sumitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat di Masa Depresi, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 34.

163

dari generasi muda tersebut yang tumbuh dengan naluri keputusasaan dan mental kemiskinan.30 Sedikit banyaknya, perjalanan hidup dan rumah tangga Tedjabuana turut terpengaruh oleh krisis tersebut. Lebih dari itu, sebagai orang yang pernah merasakan pendidikan Belanda, ia turut memahami dan merasakan akibat-akibat gejolak ekonomi dunia yang ternyata banyak memengaruhi kehidupan masyarakat kolonial, baik itu yang berbangsa asing maupun bumiputera. Tedjabuana yang masa itu tengah berada dalam usia emas dan masa produktif harus kehilangan gairahnya untuk berkarya akibat dampak dari krisis ekonomi Indonesia dan dunia yang sangat buruk.

Dinamika politik dan ideologi di tahun 1930-an yang berjalan dengan rumit, mempertemukan kelompok Islam dan non- Islam sebagai dua pihak yang saling berseberangan. Di dalam tahun-tahun tersebut, atau lebih tepatnya sejak 1936, ketegangan itu semakin runcing dan akhirnya memuncak dengan keras. Onghokham menambahkan bahwa golongan Islam di masa itu mengambil sikap yang tajam terhadap segala macam “penghinaan” dari pihak yang bukan Islam, khususnya orang- orang Kristen atau Belanda yang memang terpengaruh oleh adanya politik anti-Islam.31 Hubungan antarkelompok yang kurang baik di tingkat nasional itu turut terbawa di tingkat regional. ADS, yang terkenal dekat dengan Belanda dan juga menganut kepercayaan yang berbeda, dianggap oleh kalangan muslim sebagai musuh yang harus diwaspadai dan diantisipasi pergerakan serta perkembangannya. Tidak mengherankan jika dalam kurun waktu 1930-an tersebut, hubungan antara golongan Islam dengan komunitas ADS tidak pernah bisa harmonis.

30 John Ingleson, Perkotaan, Masalah sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, Penerj. Iskandar P. Nugraha, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), Cet. II, hlm. 179.

31 Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: Gramedia, 1987), Cet. I., hlm. 124.

164

Di tengah masa-masa sulit menjelang meletusnya Perang Dunia II itu, Gunung Ciremai yang terlihat tenang mulai menampakkan gejala-gejala yang tidak akrab. Sejak pertengahan tahun 1930-an, gunung tertinggi di Jawa Barat itu menunjukkan tanda-tanda akan meletus. Meningkatnya aktivitas vulkanis Ciremai membuat gempa sering terjadi meskipun skalanya terkadang tidak terlalu besar. Selain itu, gemuruh isi perut bumi juga semakin jelas terdengar dari waktu ke waktu oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Amarah alam itu tidak dapat dihentikan sama sekali karena pada akhirnya letusan freatik terjadi pada gunung tertinggi di Jawa Barat tersebut. Rangkaian erupsi Ciremai pun terjadi sejak pertengahan tahun 1937 hingga awal tahun 1938.32 Kondisi alam yang tidak bersahabat itu semakin memperparah mental Tedjabuana yang sudah runtuh oleh Depresi Ekonomi. Dalam hal ini, perkembangan jiwa sang penerus memang tidak pernah berjalan dengan lancar karena harus terus berhadapan dengan pelbagai macam peristiwa besar di zamannya.

32 Ichwan Muslih, dkk., “Draft Rancangan Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan Majalengka Provinsi Jawa Barat”, draft tidak diterbitkan, (Kuningan, 2012), hlm. 7.

165

Gambar 4:

Letusan Gunung Ciremai pada tahun 1937 yang berhasil direkam oleh kamera milik KNIL dari angkasa

(Photo: KITLV)

Terkait dengan letusan Ciremai, Madrais, ayah Tedjabuana yang menjadi panutan masyarakat Cigugur itu, pernah mencoba menyelami tanda-tanda gejala alam Ciremai dengan cara uniknya sendiri. Sejak tahun 1936, ia mulai intens melakukan pendakian bersama sejumlah pengikut setianya.33 Disana mereka melakukan pelbagai macam ritual guna mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dengan maksud agar Gunung Ciremai tidak jadi meletus. Meskipun begitu, amukan alam itu ternyata tidak dapat dihentikan sama sekali. Ciremai tetap meletus. Ketika huru-hara alam itu selesai dengan sendirinya, Madrais mulai menjadi penyendiri sehingga kemudian ia membuat tempat tinggal di sebuah lereng Ciremai yang

33 Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

166

kemudian terkenal sebagai Curug Goong.34 Sejak saat itu, sang ayah ingin memusatkan perhatiannya terhadap masalah ibadah saja sehingga kemudian komunitas spiritual dan budaya yang masih bernama “Igama Djawa (Djawa-Soenda-Pasoendan)” itu pun dipercayakan kepada anak laki-lakinya, Pangeran Tedjabuana. Hingga sebelum kedatangan pasukan pendudukan Jepang, paguron itu dapat berkembang dengan cukup baik di wilayah Tatar Sunda.

B. Pangeran Tedjabuana: Pemimpin Agama Djawa Sunda Tiga Zaman Pendiri tuntunan Agama Djawa Sunda (ADS), Madrais, meninggal di saat-saat yang sangat krusial. Ia meninggal di tahun 1939, saat kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berada di ambang kehancurannya. Kepergian mendiang perintis ADS itu sempat menimbulkan sedikit masalah karena kedua anaknya, yaitu Nyi Ratu Sukainten dan Pangeran Tedjabuana, sama-sama merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan kegiatan dan perjuangan ayahnya tersebut.35 Setelah sempat terlibat perselisihan kecil dengan Nyi Ratu Sukainten terkait suksesi tampuk kepemimpinan ADS sepeninggal Madrais, akhirnya musyawarah keluarga lebih memilih Tedjabuana sebagai pengganti sang pendiri yang telah pergi ketimbang kakaknya. Banyak alasan yang melatarbelakangi keputusan itu. Tedjabuana

34 Cagar Budaya Nasional: Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, (Kuningan: t.p, t.t.), hlm. 7.

35 Sejak awal peresmiannya, kedua anak Madrais, baik itu Nyi Ratu Sukainten ataupun Pangeran Tedjabuana, memang telah sama-sama berjasa dan memiliki peran yang cukup strategis dalam pembangunan dan pengembangan komunitas spiritual dan adat tersebut. Hal itu bisa dilihat dari tercantumnya nama mereka dalam struktur pimpinan ADS. Keduanya bersanding dengan Ratu Siti Patimah (saudara perempuan Madrais), Pangeran Satria Adiningrat (menantu Madrais), Raden Sudarma Brata (sepupu Madrais) dan Raden Amirja (saudara iparnya), sebagai pengiring kepemimpinan ADS oleh Madrais. Lihat, Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State ...., hlm. 46.

167

lebih unggul dalam banyak aspek dan hal, tidak hanya dari segi pendidikan yang telah dijalani saja, tapi juga dari sisi kemampuan dan tentu saja dari persoalan mengenai gender. Selain itu, Madrais memang telah sejak lama mempersiapkan putranya itu untuk menjadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan ADS yang berikutnya. Usaha-usaha Madrais itu dapat dilihat dari arahan yang ia berikan kepada Tedjabuana agar terus menuntut ilmu dan mempelajari banyak hal.36 Selain itu, Madrais memang telah sering mendelegasikan wewenangnya terhadap Tedjabuana. Di dalam berbagai kesempatan, peran sebagai pemimpin komunitas telah digantikan oleh Tedjabuana. Hal itu semakin sering dilakukan terutama setelah Madrais mulai menyendiri di kaki gunung Ciremai di tahun-tahun terakhir kehidupannya.

Ketika berada di puncak pimpinan ini, Tedjabuana memiliki keinginan untuk memaparkan seluruh ajaran dan materi ke hadapan khalayak umum yang luas. Oleh karena itu, dalam wejangannya, Tedjabuana selalu memaparkan bahasa-bahasa dan simbol-simbol tuntunan yang diberikan oleh Madrais dengan sangat gamblang. Ia memberi penjelasan yang sangat spesifik dan rasional terkait ajaran ADS. Karena pendekatannya tersebut, masyarakat penghayat kepercayaan Madrais sering menyebut Tedjabuana sebagai Rama Pangwedar.37 Di awal kepemimpinannya, ADS masih bisa berkembang meskipun tidak sepesat saat dipimpin oleh sang ayah. Tolak ukur perkembangan itu bisa dilihat dari total jumlah pengikutnya yang cukup besar hingga mencapai ribuan dan tersebar di banyak daerah, seperti

36 Gumirat Barna Alam selaku cicit Madrais menguraikan bahwa Tedjabuana (kakeknya) adalah sosok yang berpendidikan baik. Menurutnya, Tedjabuana sengaja dimasukkan ke sekolah terkemuka pada saat itu agar bisa menjadi orang yang berpengetahuan luas sehingga bisa menjaga, mempertahankan dan bahkan mengembangkan ajaran yang dirintis oleh Madrais. Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

37 Ira Indrawardana et.al. (eds.), Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijayaningrat, (Cigugur: tidak diterbitkan, tt),hlm. 19

168

beberapa kecamatan di Kuningan, wilayah Bandung, Garut dan Tasikmalaya.38 Tentunya, sebagai sebuah komunitas adat yang telah diakui pemerintah, ADS dapat hidup dan berkembang dengan bebas tanpa adanya tekanan karena mendapat perlindungan pemerintah.

Di akhir tahun 1930-an, peperangan mulai berkecamuk di benua biru, tanah Eropa. Negeri induk Belanda, tidak dapat berbuat banyak dalam Perang Dunia II itu, sehingga akhirnya negari keju tersebut jatuh pada 10 Mei 1940 oleh kekuatan Jerman. Pemerintahan Belanda pun berpindah ke kota London, mereka menyatakan berpihak pada Sekutu dan menyatakan perang terhadap Jerman beserta sekutu-sekutunya. Negeri kolonial Hindia Belanda, yang saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jhr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (menjabat dari 1936-1942), diharuskan mengikuti kebijakan negeri induk untuk melawan pelbagai negara fasis, termasuk di antaranya adalah Jepang.39 Ketika negeri Hindia Belanda telah

38 Menurut Suhandi, hingga Belanda takluk kepada Jepang, pengikut ADS telah mencapai 200.000 orang dan tersebar di sejumlah kota dan kabupaten. Namun, ketika Jepang membentangkan kekuasaannya di Nusantara, jumlah itu semakin menurun dengan drastis karena kemudian Jepang membubarkan ajaran Madrais ini. Baca, A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda (ADS) dan Sebab-Sebab Penganutnya Beralih Kepercayaan ke Agama Katolik”, dalam Kusman, dkk., Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Rangka Memperingati 30 Tahun Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, (Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988), hlm. 203. Meskipun begitu, penyebutan Suhandi tentang total jumlah penganut ADS tersebut patut dikritisi. Pasalnya, jumlah itu terlalu besar bila dibandingkan dengan jumlah total keseluruhan penduduk masyarakat Kuningan yang ada di masa itu. Lihat sensus penduduk tahun 1930, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling 1930, Deel I: Inheemsche Bevolking van West-Java, (Batavia: Landsdrukkerij, 1933). Bisa jadi jumlah pemeluk yang disebutkan Suhandi hanyalah perkiraan semata, kalaupun berdasarkan hasil wawancara kepada penganut ADS, bisa saja jumlah itu disebutkan sumbernya agar komunitas spiritual ini memiliki kesan “besar” tertentu di masa lalu.

39 Suhartono, “Berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), Jil. 5, hlm. 406. Relasi Hindia Belanda dengan Jepang di tahun 1930-an sebenarnya cukup harmonis, terutama dalam bidang perniagaan. Tetapi karena ada sejumlah kebijakan pembatasan yang harus dilakukan

169

menempatkan posisi politiknya dengan sangat jelas, Jepang pun merasa bahwa zamrud khatulistiwa itu perlu untuk ditundukkan. Maka, sejak awal tahun 1942, mereka pun mulai melakukan invasi ke wilayah Asia Tenggara. Menurut Kahin, pertahanan Angkatan Darat Hindia Belanda ketika melawan pasukan Jepang terkesan sangat lemah dan dilakukan dengan setengah hati.40 Hal itu membuat kawasan Nusantara dapat direbut dengan mudah tanpa adanya perlawanan yang berarti.

Nasib Tedjabuana beserta ADS berbalik 180 derajat ketika Jepang datang berhasil membuat pemerintah kolonial Belanda menyerah dan menduduki hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Perubahan politik yang terjadi pada masa itu turut pula memengaruhi pelbagai macam sisi kehidupan masyarakat, baik itu sisi ekonomi, agama, budaya dan lain-lain. ADS, yang dianggap sebagai kelompok keagamaan yang dekat dengan pemerintah kolonial, dipaksa untuk dibubarkan. Kedekatan itu sendiri dibuktikan dengan seringnya sejumlah pejabat kolonial Belanda bertandang ke kediaman pemimpin ADS. Hal itu semakin diperparah dengan adanya dorongan dari kelompok Islam tertentu kepada Jepang agar ajaran yang telah dianggap secara umum sesat itu dilarang. Hubungan Islam dengan Jepang pada awal-awal kedatangannya itu masih sangat mesra sehingga keinginan kaum muslim sering menjadi prioritas para pasukan militer Jepang.41 Kemesraan itu dapat dilihat dari kebijakan- akibat adanya intruksi dari pusat, maka hubungan itu mennjadi semakin renggang. Untuk keterangan mengenai situasi singkat kondisi perdagangan Hindia Belanda dengan Jepang, lihat Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Penerjemah: Samsudin Berlian, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), Cet. IV., hlm. 436.

40 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Penerjemah: Tim Komunitas Bambu, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 145.

41 Hubungan erat dan dekat yang terjalin di antara kaum muslimin dengan Jepang tersebut telah sangat baik digambarkan dalam Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985).

170

kebijakan Jepang yang sangat mendukung Islam, diantaranya adalah pendirian Shumubu42 (cikal bakal Kementerian Agama) dan pemberian kemudahan dalam pembentukan lasykar Hizbullah dan Sabilillah.43 Sebagai pemimpin komunitas ADS, Tedjabuana mendapat tekanan yang hebat dari pemerintah pendudukan Jepang. Teror hingga ancaman kematian tidak henti-hentinya menghampiri pemimpin dan penerus ajaran Madrais tersebut.

Pada mulanya, Tedjabuana yang didukung oleh para pengikutnya di pelbagai daerah masih bisa menahan tekanan pemerintah pendudukan Jepang. Akan tetapi, ingatan mengenai masa-masa suram ketika ia ditinggalkan oleh Madrais di masa kecilnya terus menghantui. Tedjabuana tahu bagaimana rasa perih tumbuh tanpa adanya figur seorang ayah dan ia tidak mau hal itu terjadi pada anak-anaknya yang juga masih kecil-kecil. Selain itu, ancaman Jepang memang tidak bisa dianggap remeh. Pasukan militer mereka terkenal tidak mengenal kata ampun dalam menghukum seseorang yang dianggap telah membangkang perintah mereka. Terlebih lagi, Jepang memiliki pasukan

42 Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang mengganti peran Kantoor voor het Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Masyarakat Pribumi) di masa kolonial, didirikan oleh Jepang pada tahun-tahun awal kedatangannya. Pada tahun 1944, setahun sebelum kepergiannya, Jepang membuka cabang Shumubu yang bernama Shumuka di seluruh Indonesia. Awalnya, fungsi kantor ini tidak jauh berbeda dengan Kantor Urusan Pribumi. Kemudian berkembang menangani pelbagai macam urusan yang berkaitan dengan fungsi Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan dan Keagamaan Umum. Adapun kepala Shumubu yang pertama adalah salah seorang perwira militer Jepang bernama Kolonel Horie. Selanjutnya, Professor Hoesein Djajadiningrat dan K.H. Hasjim Asj‟ari bergantian memimpin kantor ini. Lihat Abu Hanifah, Tales of Revolution, (Sidney: Angus and Robertson Pty Ltd., 1972), hlm. 128. Bandingkan dengan, A. Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 21. Lihat pula, B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, hlm. 11-13.

43 Hizbullah adalah satu kesatuan organisasi semi-militer yang didirikan untuk pemuda- pemuda Muslim. Pelatihan yang lebih baik dan teratur didapatkan oleh generasi muda Islam dari kesatuan yang mulanya berasal dari pesantren ini. Sementara itu, Sabilillah merupakan induk tidak langsung Hizbullah karena komposisi utama pasukan militer ini adalah para ulama. A. Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Politik ...., hlm. 21

171

Kempeitai, polisi rahasia mereka yang sangat bengis dan kejam.44 Kemudian, Tedjabuana pun merasa tidak kuat menahan pelbagai macam tekanan itu dan menyerah. Hingga akhirnya, ia merespon desakan-desakan tersebut dengan membubarkan komunitas ADS. Hal itu ia lakukan semata-mata karena mengkhawatirkan keamanan dan keselamatan keluarga beserta para pengikutnya. Tedjabuana tidak ingin melihat ada korban yang jatuh akibat eksistensi masyarakat adat Sunda Wiwitan yang ia pimpin.

Pada masa pendudukan Jepang, ADS sama sekali tidak berkembang karena pelbagai macam kegiatan masyarakat diawasi dengan sangat ketat oleh pemerintah pendudukan. Mereka memasuki sistem dan struktur sosial masyarakat lokal secara sistematis hingga hampir ke tingkat hierarkis yang paling dasar.45 Sistem-sistem kemasyarakatan semacam itu dilakukan secara merata di hampir seluruh wilayah Nusantara yang dikuasai oleh Jepang.46 Selain itu, kondisi ekonomi sosial masyarakat yang sangat buruk di era pendudukan tersebut juga turut mempengaruhi eksistensi ADS beserta pengikutnya. Memang pada mulanya Jepang seakan hendak memajukan perekonomian masyarakat Indonesia karena mereka giat melakukan pelbagai macam

44 Hendri F. Isnaeni dan Apid, Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942-1945), (Yogyakarta: Ombak, 2008),hlm. 33.

45 Post dan Touwen-Bouwsma menjelaskan bahwa masuknya Jepang ke dalam sistem sosial masyarakat Jawa memungkinan kelompok-kelompok adat lokal untuk menyampaikan aspirasinya kepada para pejabat tinggi, khususnya aspirasi dalam bidang politik dan ekonomi. Lihat lebih lanjut, Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma, Pengantar dalam Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.), Japan, Indonesia and The War, (Leiden: KITLV Press, 1997), hlm. 1-13.

46 Meskipun begitu, tiap-tiap tempat difungsikan secara berbeda oleh pasukan militer Jepang. Di Jawa, tujuan utama Jepang adalah memperoleh pasokan logistik dan sumber daya manusia yang melimpah guna mendukung operasi militer Jepang.Sehingga pengawasan secara ketat di tanah Jawa dilakukan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan logistik ataupun bahan-bahan makanan lainnya. Lihat, Amrin Imran, “Di Bawah Pendudukan Jepang”, dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), Jil. 6, hlm. 38.

172

penyuluhan terhadap masyarakat.47 Namun ternyata harapan itu menguap begitu saja karena Jepang lebih banyak mencurahkan pikirannya untuk Perang Asia Timur Raya, sehingga hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh. Kehidupan ekonomi yang ada di masa itu berubah dari keadaan ekonomi yang normal menjadi ekonomi perang.48 Dalam sistem tersebut, Jepang memakai sebuah keresidenan sebagai suatu unit administratif utama mereka. Keresidenan itu diharuskan untuk dapat mencukupi kebutuhan ekonominya sendiri demi fleksibilitas dalam pertempuran mendatang. Akibat sistem itu, perdagangan lokal menjadi kacau dan penyuapan, penyelundupan serta pasar gelap pun berkembang pesat di banyak tempat.49

Di Kuningan, panen padi masyarakat hancur karena berbarengan dengan masa hama tikus. Untuk padi yang berhasil dipanen, semuanya harus diserahkan pada Jepang. Masyarakat tidak dapat menyembunyikan hasil bumi mereka dengan efektif karena produksi dan distribusi panen beras, serta hasil dari komoditas perkebunan lainnya, ditempatkan di bawah kontrol langsung pemerintah. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat Kuningan dilanda kelaparan. Menurut Abah Arga, salah satu penghayat ADS berusia sekitar 80 tahun dan merasakan kondisi sosial ekonomi di masa pendudukan Jepang, bahan makanan saat

47 Beberapa usaha pengembangan ekonomi masyarakat oleh Jepang itu adalah sosialisasi cara penanaman benih padi, pengenalan bibit atau benih padi yang berkualitas dan pengembangan pupuk-pupuk kompos. Dalam hal ini, cara penanaman padi tradisional diubah menjadi penanaman baris-berbaris sehingga menyediakan ruang yang kosong, terlihat lebih rapi dan memperkecil kemungkinan bagi petani untuk menginjak padi yang telah ditanam. Baca, Abrar Yusra, Komat-Kamit Selo Soemardjan: Biografi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1995), hlm. 111.

48 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 141.

49 John R.W. Smail, Bandung Awal Revolusi: 1945-1946, Penerjemah: Muhammad Yesa Aravena, (Jakarta: Ka Bandung, 2011), hlm. 13.

173

itu sukar sekali untuk didapatkan. Makanan yang menyehatkan dan bergizi, seperti susu dan daging seakan menghilang dari pasaran. Bahkan, uyah (garam)yang ahanya penyedap rasa makanan pun merupakan barang langka yang sukar didapatkan pada masa-masa penuh kepedihan dan kesengsaraan itu.50 Penyebab dari kelangkaan pangan dan peningkatan kemiskinan tersebut di antaranya adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang hanya terfokuskan pada pemanfaatan sumber daya alam dan bahan mentah untuk kegunaan perang saja.51 Selain pelbagai macam hal di atas, masalah sandang pun begitu memprihatikan. Untuk laki-laki, biasanya pakaian yang tersedia saat itu hanyalah karung kadut, sedangkan untuk wanitanya hanya ada sinjang yang ujungnya diberi karet agar lebih terlihat pantas.52 Aspek-aspek politik, sosial dan ekonomi yang telah terurai tersebut merupakan sebagian faktor lain, yang turut membuat ADS hampir hancur tidak berbekas. Pada akhirnya, Tedjabuana lebih memilih untuk mengasingkan diri ke wilayah Bandung agar pihak Jepang tidak terus menerus mengusik ketenangannya dan menyudutkan komunitas spiritual dan budaya ADS beserta penganutnya.53 Karena apabila ia berkeras untuk melawan, maka tidak menutup kemungkinan jika diri, keluarga ataupun masyarakat Cigugur

50 Makanan yang bisa diperoleh oleh kebanyakan masyarakat Kuningan saat itu hanyalah bonggol gedang (bonggol/pangkal pepaya), bonggol cau (bonggol/pangkal pisang), sampeu (singkong) dan boled (ubi). Segelintir orang beruntung yang dapat memperoleh beras dan mengkonsumsi nasi pada masa itu pun, bisa dikatakan memakan makanan yang kurang layak, jika dibandingkan dengan makanan yang ada pada saat ini, karena mereka hanya memakan nasi putih biasa tanpa ada rasa tambahan lainnya. Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

51 Hendri F. Isnaeni dan Apid, Romusa ....,hlm. 37.

52 Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

53 Deskripsi Aliran-Aliran Kepercayaan/Faham-Faham Keagamaan, (Jakarta: Proyek Pembinaan dan Bimbingan Aliran-Aliran Kepercayaan/Faham-Faham Keagamaan Departemen Agama RI, 1976), hlm. 22.

174

lainnya dihukum dengan keras oleh Jepang.54 Pasukan militer asal tanah matahari terbit itu tidak segan-segan untuk memberantas perlawanan rakyat, terutama perlawanan yang dilakukan dengan motif agama, seperti yang terjadi di Aceh dan Tasikmalaya.55

Setelah pasukan Jepang berhasil dikalahkan oleh tentara Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Tedjabuana berusaha kembali membangun jaringan komunitas spiritual dan budaya rintisan ayahnya yang sempat dibubarkan secara sistematis sebelumnya di masa pendudukan Jepang. Di masa kemerdekaan, pemimpin ADS ini sempat berpikir bahwa zaman telah berbeda sehingga ia bisa mengembangkan komunitas yang diwariskan oleh ayahnya itu dengan bebas. Namun, apa yang telah ia pikirkan dan harapkan itu ternyata hanyalah pepesan kosong belaka, karena ternyata ADS kembali mendapatkan pelbagai macam tantangan dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan dirinya. Di masa revolusi Soekarno tersebut, tantangan datang dari kelompok Islam fundamentalis

54 Hukuman yang sangat ditakuti masyarakat di masa itu adalah hukuman untuk menjadi romusha yang merupakan salah satu bagian mobilisasi massa untuk kebutuhan perang Jepang. Selain karena pengiriman wajib beras kepada pemerintah, rakyat Jawa juga tertekan secara langsung akibat mobilisasi massa membantu perang. Kebijakan mobilisasi itu dilakukan dengan mengintruksikan banyak orang (yang mayoritasnya adalah orang Jawa) untuk menjadi romusha dan mengirim mereka ke tapal batas Indocina guna dipekerjakan secara paksa guna kepentingan perang Pasifik Jepang. Lihat, Goto Ken‟ichi, “Modern Japan and Indonesia: The Dynamics and Legacy of Wartime Rule”, dalam Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.), Japan, Indonesia and The War ...., hlm. 19.

55 Di Aceh, perlawanan terhadap Jepang dilakukan dengan sangat terstruktur oleh kaum Islam yang dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil. Namun kemudian ia berhasil dikalahkan dan tewas bersama 19 orang pengikutnya. Lihat lebih lanjut, Muhammad Ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1991), hlm. 120. Sementara itu, di Tasikmalaya, perlawanan dikomandoi oleh K.H. Zainal Mustofa yang merupakan pemimpin pesantren di Sukamanah. Perlawanan itu berakhir dengan kematian sang kyai dan para pengikutnya. Dalam peristiwa itu, jumlah pejuang Tasikmalaya yang tewas mencapai ratusan. Baca lebih lanjut, Sagimun M.D., Perlawanan Rakyat Indonesia Menentang Fasisme Jepang, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm. 55-57.

175

dan pihak pemerintah. Meskipun tekanan terus hadir silih berganti, di masa ini Tedjabuana berhasil membuat sejumlah langkah yang sangat penting, yaitu pencarian dan penarikan massa ADS56, keberhasilannya dalam berpartisipasi secara aktif di pelbagai kegiatandan perkumpulan Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI)57 dan kesuksesannya dalam melakukan regenerasi dengan menelurkan tokoh-tokoh muda ADS ke permukaan.58

56 Sebenarnya, Tedjabuana cukup gencar menghimpun massa. Namun ternyata, daya tarik pemimpin kedua itu tidak sekuat ayahnya sehingga langkah-langkah yang dilakukan belum dapat menarik banyak pengikut. Salah satu langkah tersebut, sebagaimana diberitakan oleh harian Warta Bandung tanggal 10 januari 1959, adalah usaha untuk mengadakan Kongres Agama Jawa-Sunda. Maksud dari kegiatan tersebut adalah untuk menghidupkan kembali agama Jawa Pasundan yang keadaan sebenarnya sudah sangat lemah. Lihat, Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hlm. 135.

57 Bukti dari keaktifan ADS dalam kegiatan kegiatan BKKI adalah kehadiran mereka dalam kongres BKKI yang pertama di Semarang yang dilaksanakan pada 19-21 Agustus 1955. Mereka juga turut aktif memperjuangkan pengakuan negara atas pelbagai kelompok kebatinan. Lihat pula, Didin Nurul Rosidin, “Kebatinan, Islam and The State ...., hlm. 53.

58 Salah satu tokoh muda ADS yang berhasil diorbitkan oleh Tedjabuana adalah anaknya sendiri, Djatikusumah. Sosok yang terakhir ini dikenal sebagai tokoh yang kuat pendiriannya serta loyal terhadap komunitas ADS. Cucu dari Madrais ini bahkan berani menghadapi banyak macam aral yang melintang ketika ia ingin melestarikan ajaran dan tuntunan yang diwariskan dari kakeknya tersebut. Di kemudian hari, Djatikusumah pula lah yang akhirnya berhasil menghidupkan kembali ajaran Madrais. Ia menyusun kembali pelbagai ajaran Madrais yang telah hancur dan tersebar tidak berbentuk di masa kepemimpinan ayahnya, Tedjabuana, akibat tekanan-tekanan yang berat. Berkat usaha gigihnya tersebut, ia disebut oleh para penghayat ADS sebagai Rama Panyusun, pemimpin ADS yang kembali menyusun serpihan-serpihan ADS yang telah pecah berkeping-keping.

176

C. Tantangan dan Hambatan di Masa Kepemimpinan Pangeran Tedjabuana

1. Kebijakan Oportunis Pemerintahan Pendudukan Jepang Setelah hidup aman, nyaman dan damai di masa pemerintahan kolonial Belanda karena mereka mendapat pengakuan sebagai suatu komunitas adat, para penghayat ADS mulai mendapatkan tantangan yang berat ketika Jepang berhasil menggantikan Belanda menjadi penguasa tanah Nusantara. Pasukan Jepang yang yang sangat dielu-elukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, begitu teliti memperhatikan segala hal termasuk aspek keagamaan masyarakat. Mereka menganggap bahwa bidang ini adalah salah satu bidang yang patut mendapat perhatian yang serius karena masyarakat Indonesia pada masa itu merupakan masyarakat yang sangat religius dan jauh dari konsep dan praktik sekuler.

Di masa pendudukan si saudara tua dari timur, nasib ADS terombang-ambing tidak menentu akibat pelbagai macam tindakan Jepang yang merugikan. Salah satu tindakan itu adalah permintaan, desakan dan intimidasi yang ditujukan Jepang terhadap Tedjabuana agar membubarkan ADS. Meski awalnya tekanan itu ditolak mentah-mentah oleh pihak ADS dan Pangeran Tedjabuana tidak terlalu mempedulikannya, lama-kelamaan ancaman yang diterima pun semakin gencar dan menakutkan. Tedjabuana yang tidak memiliki keberanian seperti ayahnya itu pun mulai bergeming. Pada akhirnya, dengan mempertimbangkan keselamatan keluarga dan para pengikutnya, Tedjabuana mengaku beralih keyakinan menjadi seorang muslim dan komunitas spiritual yang didirikan oleh ayahnya itu pun dibubarkan secara resmi pada tahun 1944.

Pembubaran ADS oleh pemerintah militer Jepang itu sendiri dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor dan hal rumit yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Latar belakang yang kompleks terkait pembubaran itu dapat dibagi ke dalam 3 hal, yaitu:

177

a. Faktor pertama, pemerintah militer Jepang mencurigai komunitas ADS sebagai antek-antek Belanda.59 Jika disusuri secara historis, bisa dikatakan bahwa ADS memang memiliki hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda, terutama setelah ajaran dan eksistensi mereka diakui oleh pemerintah Belanda pada tahun 1925. Salah satu tuntunan ajaran ADS juga dianggap sebagai bukti kesetiaan terhadap pemerintah kolonial Belanda, yaitu Madep ka Ratu Raja.60 Lebih dari itu, penempatan beberapa kaki tangan pemerintah Hindia Belanda berbangsa asing di wilayah Cigugur sejak dua dasawarsa awal abad ke-20, dianggap sebagai salah satu bukti yang kuat dari adanya kedekatan diantara ADS dengan Belanda.Bahkan, residen Cirebon saat itu, yaitu van der Plas, sering berkunjung ke rumah Madrais di akhir pekan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang pernah dekat dengan Belanda benar-benar diberi perhatian yang sangat khusus oleh Jepang dan bahkan bisa dibubarkan jika memang hal itu diperlukan. b. Faktor lainnya adalah adanya keterangan yang menyatakan bahwa ADS adalah agama api sehingga kemudian dipetakan sebagai ajaran yang sesat. Selain karena dalam komunitas ini api dianggap sebagai unsur yang penting, ADS juga tidak memiliki kitab suci yang umumnya dimiliki oleh setiap agama dan menjadi

59 Menurut Kartapradja, ADS pada masa Jepang dianggap sebagai komunitas bentukan dari Van der Plas, seorang pejabat Belanda yang cukup terkemuka di masanya. Baca, Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan ...., hlm. 134. Sedangkan dalam pemikiran Nursaningrat, ADS pada masa itu dianggap sebagai agen rahasia Belanda karena ia dituduh dekat dengan pemerintah kolonial. Baca lebih lanjut, Basuki Nursaningrat, Umat Katolik Cigugur ...., hlm. 22.

60 Madep ka Ratu Raja dipahami secara harfiah oleh Jepang sebagai tanda bahwa mereka patuh dan menyatakan kesetiaannya terhadap Ratu dan Raja Belanda. Dalam konteks ini, ratu disebutkan terlebih dahulu, sehingga Jepang menganggap maksud dari ajaran itu adalah patuh terhadap Ratu Belanda, Ratu Wilhelmina.

178

pedoman bagi para pengikutnya untuk menjalani ajaran kepercayaan tersebut.61 Fenomena hadirnya suatu aliran sesat di tengah-tengah masyarakat itu biasanya menimbulkan keresahan dan yang konflik berkepanjangan, dan Jepang yang tengah disibukkan dalam perang Asia Timur Raya tidak mau stabilitas negara pendudukan terganggu sehingga kemudian komunitas yang dipimpin oleh Tedjabuana itu pun dibubarkan. c. Sedangkan terakhir, faktor lain yang bisa membuat hal itu terjadi adalah campur tangan dan pengaruh kalangan muslim di Kuningan terhadap berbagai kebijakan pemerintah pendudukan Jepang di tingkat daerah. Hal itu bisa terjadi karena pada masa pendudukan Jepang, kalangan Islam dianggap sebagai pihak yang sangat istimewa karena memiliki peran penting di tengah masyarakat. Oleh karena itu, agar mendapatkan perhatian dan bisa mengajak pihak Islam untuk bekerjasama, pihak Jepang hampir rela untuk melakukan apa saja. Perlu digarisbawahi bahwa tindakan ini dilakukan oleh pemerintahan pendudukan Jepang guna mendukung kepentingan mereka di dalam ajang pertempuran Perang Asia Timur Raya.

Diantara ketiga faktor tersebut, faktor terakhir yang membawa-bawa nama Islam merupakan hal yang cukup menarik untuk dikaji. Karena jika latar belakang dibubarkannya ADS itu adalah karena faktor tersebut, maka disitu ada indikasi terjadinya alat-memperalati (atau saling memperalat) diantara pihak pemerintah militer Jepang dengan pihak Islam Indonesia. Pada masa pendudukannya, Jepang sangat memperhitungkan Islam.62

61 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik...., hlm. 106.

62 Sikap itu terlihat dari Senryochi Gunset Fissi Yoko atau “Prinsip-Prinsip Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah Pendudukan” yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Jepang pada bulan Maret 1942. Dalam prinsip itu dinyatakan bahwa, “Agama-agama, sebagaimana kebiasaan yang ada dan berlaku, harus dihormati sejauh

179

Jepang menyadari bahwa Islam telah menjadi keyakinan mayoritas dan memiliki posisi strategis yang memungkinkan dapat dimaksimalisasi guna mendukung rencana-rencana politikinya di masa depan terhadap kawasan Indonesia dan sekitarnya. Atas dasar ini, Jepang mendekati kaum muslim guna mendapatkan simpati dan memperkuat pijakan pengaruhnya di tanah Nusantara.63 Kampanye Jepang untuk mendapatkan simpati dari kalangan Islam Indonesia cukup massif. Bahkan demi mendapat simpati dan dukungan Islam, Jepang mengeluarkan propaganda yang sangat di luar akal sehat, seperti adanya kesamaan antara ajaran Islam dan Shinto64, serta pernyataan bahwa pemimpin tertinggi Jepang, Kaisar Hirohito (Tenno Haika), diberitakan akan beralih memeluk Islam dengan sekaligus melukiskan mengenai sebuah gambaran masa depan yang sangat cerah dan gemilang mengenai pengaruh serta kekuasaan Islam yang berpusat di sekeliling Kaisar Jepang sebagai Kekhalifahan Raya.65 Akibat adanya kebijakan semacam itu, golongan Islam memiliki nilai tawar yang jauh lebih tinggi di masa pendudukan Jepang bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda.

Dari uraian ketiga hal tersebut, dapat kita pahami bersama bahwa faktor manapun yang menjadi alasan dibalik pembubaran ADS, pemerintah pendudukan Jepang tetap merupakan pihak yang berkuasa dan secara tidak langsung menjadi pihak yang mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat dan membuat mereka mau bekerja sama. Mengenai kaum Muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkeram pikiran rakyat”. Lihat lebih lanjut, Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang perubahan di Pedesaan Jawa 1942- 1945, (Jakarta: Yayasan Kartisarana bekerja sama dengan PT. Gramedia, 1993), hlm. 274.

63 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit ...., hlm. 124.

64 Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah 2, (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010), hlm. 14.

65 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit ...., hlm. 135.

180

bertanggungjawab atas segala peristiwa yang ada di masa itu. Pelbagai kebijakan yang dikeluarkan Jepang, juga tidak sepenuhnya menguntungkan bagi satu ataupun sejumlah kelompok sosial tertentu, karena pada dasarnya hal-hal itu dilakukan hanya demi kepentingan pragmatis Jepang belaka.66 Selain itu, jika diperhatikan secara seksama, dengan alasan seperti apapun, nyatanya kepentingan Jepang di kaki Gunung Ciremai itu tetap terjaga. Mereka dapat mengontrol kehidupan masyarakat, mendapat suplai produksi pangan yang tidak sedikit, dan dapat mengerahkan seluruh lapisan masyarakat disana untuk memobilisasi massa guna kepentingan Perang Asia Timur Raya.Setelah membubarkan ADS, Tedjabuana beserta keluarga pindah ke Bandung meninggalkan Cigugur, karena di tanah kelahirannya itu ia merasa keselamatan diri, keluarga dan pengikutnya terancam oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan kehadiran mereka.67 Sebelum itu, pemimpin ADS ini pernah juga menyembunyikan ketiga putrinya yang sudah cukup umur ke Kampung Ciputri Desa Cisantana untuk menghindari penangkapan Jepang.

2. Perselisihan dengan Kaum Islam Ortodoks Konflik Agama Djawa Sunda (ADS) dengan para penganut agama Islam terjadi secara berlarut-larut dalam kurun waktu yang sangat lama, sejak ADS dipimpin oleh Madrais hingga masa kepemimpinan Djatikusumah, meskipun di masa pemimpin yang terakhir ini eskalasi dan implikasinya tidak

66 Kebebasan sejumlah kyai dalam menyampaikan dakwahnya di masa itu dikatakan oleh cukup banyak orang sebagai bukti bahwa Jepang sangat menaruh hati pada Islam. Namun, kenyataannya, pendekatan itu lebih bersifat politis ketimbang aslinya. Ricklefs menjabarkan bahwa alasan dibalik pendekatan Jepang terhadap para kyai adalah tidak adanya tuntutan atau motif politik yang radikal, jaringan silaturahmi yang luas dan kehormatan yang tinggi di tengah masyarakat. Selain itu, para kiai dianggap juga cukup naif dan lebih mudah untuk dimanipulasi. Lihat lebih lanjut, M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa ...., hlm. 120.

67 Deskripsi Aliran-Aliran Kepercayaan ...., hlm. 22.

181

setinggi era Madrais dan Tedjabuana. Dalam konteks ini, umat Islam yang berseteru dengan para penghayat ADS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu golongan Islam radikal para pengikut DI-TII Kartosuwiryo dan golongan Islam fundamentalis yang berasal dari sejumlah tempat pengajian dan pesantren di wilayah Kuningan.

Pemberontakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) yang berkobar sejak tahun 1948 dan dipimpin oleh S.M. Kartowuwiryo, menjadi tantangan baru setelah masa kemerdekaan bagi gerakan keagamaan ADS. Pemberontakan yang berpusat di area Priangan Timur itu berhasil menguasai sebagian provinsi Jawa Barat, termasuk beberapa kecamatan di Kuningan. Timbulnya gerakan itu didorong oleh tujuan mereka untuk mendirikan pendirian Negara Islam Indonesia dengan dasar konstitusi Syariah (Islamic Law). Meskipun dasar pembentukan gerakan ini adalah untuk memperjuangkan agama Islam, tapi dalam perkembangannya, segala tindakan dan perilaku yang mereka lakukan tunjukkan sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Hal itu dapat disimpulkan dari pelbagai macam tindakan yang dilakukan oleh para serdadu TII. Sebagai contoh, kelompok bersenjata yang berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwiryo ini sering melakukan penyerangan yang disertai perampokan dan pembakaran terhadap desa-desa di Jawa Barat, terutama di wilayah Priangan Timur.68 Anggota-anggota yang masuk menjadi bagian gerakan pun tidak lagi terbatas dari kalangan kaum santri yang benar-benar memahami agama saja, namun juga banyak

68 Dengel menguraikan bahwa pada September 1956, TII telah membakar 254 rumah, 2 masjid dan 1 sekolah di Tasikmalaya hanya dalam jangka waktu 17 hari. Di Tarayu, 320 anggota TII membakar lebih dari 100 buah rumah pada bulan November. Sementara itu, di wilayah Priangan Timur, dalam waktu seminggu pasukan TII itu mengorbankan 20 jiwa penduduk sipil, menculik 3 orang serta membakar sekitar 373 rumah mereka. Peristiwa keganasan gerombolan DI di Priangan Timur ini merugikan negara sekitar Rp. 2 Juta. dengan nilai rupiah pada tahun 1954. Lihat, Holk Harald Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: Langkah Perwujudan Angan-Angan yang Gagal, Penerjemah: Tim Pustaka Sinar Harapan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 152-153.

182

anggotanya yang berasal dari para berandalan dan preman- preman desa yang memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut.

Rutinintas pasukan Kartosuwiryo ini adalah bergerilya di pedalaman hutan dan pegunungan. Mereka mendiami wilayah perbukitan dan pegunungan yang memang sulit diakses agar persembunyian mereka tidak terjamah oleh musuh. Untuk menghindari pengejaran pasukan TNI, gerombolan ini berpindah dengan sangat cepat dari satu tempat ke tempat yang lain. Kegiatan lain mereka adalah terjun ke desa-desa untuk mencari dana dan perbekalan bergerilya. Biasanya, gerombolan DI itu turun gunung ke desa-desa pada malam hari, waktu yang telah mereka pertimbangkan sebagai waktu yang paling tepat untuk menghindari penyergapan tentara-tentara republik.69 Di daerah pedalaman tersebut pasukan yang bisa dianggap sebagai sekumpulan orang liar itu melakukan banyak tindakan kejahatan, seperti penjarahan harta benda, perampokan barang berharga, pembakaran rumah-rumah milik masyarakat dan penculikan orang-orang yang tidak bersalah.

Kehadiran komplotan radikal yang mengklaim dirinya berasal dari kalangan Islam itu membuat dinamika masyarakat pedesaan Kuningan menjadi sangat berbeda. Keadaan wilayah pedesaan menjadi sangat mencekam, penuh dengan bahaya karena komplotan yang berisi orang-orang bengis itu bisa datang kapan saja tanpa bisa diduga-duga. Gerombolan ini biasanya mendatangi suatu desa atau daerah secara beramai-ramai. Disana, kelompok yang berhaluan garis keras ini mengambil pelbagai macam kekayaan masyarakat, mulai dari uang, perhiasan, ternak, beras hingga hasil-hasil bumi lainnya secara paksa. Tidak hanya

69 Menurut Pinardi, kegiatan pasukan TII di wilayah pedesaan itu biaanya dimulai pada pukul 19.00 hingga sekitar pukul 04.00 atau dari hari mulai semakin gelap hingga matahari akan terbit kembali. Lihat, Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartouwiryo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), hlm. 170.

183

itu, anggota-anggota gerombolan tersebut juga sering merusak benda-benda milik masyarakat dan bahkan membunuh orang- orang yang tidak berdosa itu dengan sangat keji.

Pada mulanya, penjarahan dan perampokan yang dilakukan oleh para serdadu Kartosuwiryo itu hanyalah tagihan pajak masyarakat kepada Negara DI yang disebut dengan infaq dan sifatnya tidak terlalu memberatkan keuangan masing-masing rumah tangga rakyat. Bahkan anggota masyarakat masih mendapatkan bukti pembayaran uang infaq. Namun dalam perkembangannya, sistem tersebut berubah. Penarikan uang masyarakat untuk kesehatan neraca keuangan negara yang dipimpin oleh Kartosuwiryo itu menjadi sangat memberatkan karena dipungut dengan cara-cara yang ekstrem, seperti dengan ancaman senjata, pemaksaan dan bahkan perampokan.70 Gerakan sosial yang mendapatkan bantuan dan dukungan yang cukup kuat dan massif dari luar negeri ini sangat membenci kelompok- kelompok keagamaan yang menyimpang ataupun yang berseberangan dari Islam.71 Agama Djawa Sunda (ADS), yang dianggap sebagai komunitas anti Islam, mendapat serangan yang radikal dan bertubi-tubi dari gerakan Islam garis keras tersebut.

Sejak kemunculannya di wilayah lembah Gunung Ciremai itu, gerombolan DI memang sudah melakukan banyak ulah. Pada 21 Desember 1954, keraton komunitas ADS yang baru dibangun dibakar oleh gerombolan DI, meskipun yang terkena hanya

70 Penumpasan Pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat, (Bandung:Dinas Sejarah TNI AD 1985), hlm. 78.

71 Dalam uraian tulisan Roso Daras, diceritakan bahwa Soekarno pernah menyimpulkan dalang dibalik gerakan Kartosuwiryo adalah Amerika. Kesimpulannya itu didasarkan atas surat-surat rahasia milik DI TII yang berhasil didapatkan oleh pihak pemerintah. Amerika sendiri memang sangat membenci Soekarno beserta revolusi yang dibangunnya. Terlebih lagi Presiden Indonesia yang pertama itu memiliki kedekatan dengan musuh-musuh politik Amerika, seperti Rusia, Cina dan sejumlah negara Amerika Latin. Baca, Roso Daras, Bung Karno vs Kartosuwiryo: Membongkar Sumber, Dana DI/TII, (Jakarta: Imania, 2011), hlm. 51-52.

184

sebagian bangunan saja.72 karena peristiwa tersebut, untuk kedua kalinya, Pangeran Tedjabuana dengan sangat terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman dan Cirebon dipilih sebagai tempat untuk menjaga keselamatannya tersebut. Dalam perkembangannya, mereka tinggal secara permanen di Cirebon dan membangun kediaman yang tetap di daerah yang dikenal sebagai Kota Udang tersebut.73 Rumah pemimpin ADS itu, menurut Kartapradja, beralama di Jalan Kali Baru Utara No. 12.74 Fenomena demografis itu tidak hanya terjadi pada keluarga Tedjabuana saja, tapi hampir ke seluruh elemen masyarakat yang ada di wilayah Kuningan. Ekadjati menguraikan bahwa arus migrasi penduduk wilayah pedesaan Kuningan ke kota-kota besar di Pulau Jawa, khususnya ke Jakarta, marak sekali sejak tahun 1950-an. Penyebab utama dari fenomena ini adalah peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat dan gangguan keamanan serta ancaman keselamatan dari gerombolan DI atau pasukan TII yang dipimpin oleh teman kost Soekarno di Surabaya, Kartouwiryo.75

Keganasan tentara DI itu tidak dapat ditandingi oleh kekuatan masyarakat biasa. Para penganut ADS dan masyarakat Cigugur pun tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya bisa mengungsi ke saung-saung di daerah persawahan desa ataupun tempat-tempat persembunyian masyarakat yang aman lainnya. Rakyat sipil ini tidak berani melakukan perlawanan dan hanya

72 Menurut para penghayat ajaran ini, api yang telah menyala di keraton itu tidak dapat membakar keseluruhan gedung karena api itu seakan-akan terkurung oleh suatu kekuatan tertentu yang dianggap sebagai kekuatan Gusti Sikang Wiji-Wiji, Tuhan dalam kepercayaan ADS. Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

73 Y. Ruchiyat, “Agama Djawa Sunda”, Seri Pastoral, No. 95 (1983), hlm. 9.

74 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan ...., hlm. 135.

75 Edi S. Ekadjati, Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten,(Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003), hlm. 17-18.

185

bisapasrah ketika komplotan tersebut mengacak-acak daerah mereka untuk mencari barang-barang berharga. Kesatuan militer milik negara, TNI, juga sangat kewalahan dan merasakan tingkat kesulitan yang tinggi untuk bisa menghentikan gerakan perlawanan terhadap Republik Indonesia tersebut. Bahkan, dalam beberapa kasus, TNI bisa terdesak oleh kehadiran serdadu- serdadu Darul Islam, seperti kasus penyerangan Kota Kuningan pada bulan September 1956. Pada saat itu, Kuningan dapat diobrak-abrik Kesatuan Resimen 21 Tentara Islam Indonesia. Mereka berhasil mendapatkan pelbagai macam rampasan, di antaranya adalah 18 pucuk senjata yang salah satunya adalah bren gun, emas seberat 7,5 kilogram dan lain-lain. Kerugian yang diderita oleh masyarakat Kuningan sekitar 3 juta lebih, nilai yang sangat fantastis dan tinggi sekali untuk masa-masa Revolusi Indonesia.76 Gerakan pemberontakan DI TII ini baru dapat dilumpuhkan secara sistematis ketika TNI dan rakyat Jawa Barat dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik dalam sejumlah strategi dan operasi militer, seperti Rencana Pokok 2.1., operasi Bratayudha, operasi Pagar Betis dan operasi Trisula.77 Kemajuan dari proses pemberantasan gerombolan DI ini benar- benar mencapai titik puncaknya pada tahun 1962, saat sang Imam Kartosuwiryo berhasil dieksekusi oleh pemerintah.

76 Holk Harald Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo ...., hlm. 153.

77 Penumpasan Pemberontakan DI/TII ...., hlm. 129.

186

Gambar 2:

S.M. Kartosuwiryo bersama istrinya menjelang eksekusi dirinya.

(Photo: www.erteerwe.com)

Untuk perselisihan ADS dengan kelompok Islam lainnya, yaitu umat Islam fundamentalis, telah terjadi sejak masa kolonial dan akhirnya memuncak pada tahun 1964. Kaum Islam fundamentalis ini sendiri adalah kelompok yang benar-benar ingin mengamalkan pelbagai macam ajaran Islam secara mendasar. Fundamental sendiri merupakan kata sifat yang artinya adalah “bersifat dasar (pokok), atau juga mendasar”. Kata fundamental diderivasi dari bahasa Inggris, kata “fundament” yang memiliki arti “dasar, asas, alas atau fondasi”.78 Fundamentalisme dalam sebuah agama, memang seringkali dihubung-hubungkan dengan tindakan-tindakan yang anarkis dan radikal. Di era yang kontemporer, fundamentalisme agama

78 Lihat, Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 245.

187

dikaitkan dengan isu-isu mengenai terorisme.79 Terkait hal ini, Azra menguraikan sejumlah karakteristik dalam gerakan fundamentalisme Islam, yaitu:80

a. skripturalisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci sebagai firman Tuhan yang dianggap sama sekali tidak mengandung kesalahan sedikitpun, b. penolakan terhadap hermeneutika, yaitu pembatasan terhadap interpretasi nalar terhadap Al-Qur‟an karena teks kitab suci ini harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, c. penolakan terhadap pemahaman-pemahaman yang dianggap mencemari kesucian teks, seperti paham pluralisme dan relativisme, dan d. penolakan terhadap aspek kehidupan yang dianggap membawa manusia menyalahi doktrin-doktrin literal kitab suci, yaitu perkembangan historis dan sosiologis.

Dalam konteks konflik keagamaan yang terjadi di antara ADS dan kaum fundamentalis ini, latar belakangnya adalah sejumlah insiden yang melibatkan pengikut ADS dan Islam. Insiden-insiden ini tidak semuanya bersifat besar, ada juga insiden yang cukup sepele namun mengemuka ke permukaan dan menjadi pembicaraan luas masyarakat Cigugur.

Peristiwa pertama sebenarnya masalah personal, namun dibesar-besarkan oleh sejumlah tokoh muslim dan membawanya ke arena publik. Insiden ini dimulai ketika Kamid, seorang penanam jeruk yang merupakan pengikut ADS, merayakan panennya dengan mendistribusikan jeruk-jeruk yang ia miliki kepada para tetangganya, baik itu yang ADS maupun yang

79 Nur Rosidah, “Fundamentalisme Agama”, Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1 (Mei 2012), hlm. 2.

80 Azyumaridi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam”, Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV (1993), hlm. 18-19.

188

muslim, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan atas karunia-Nya. Kegiatan guna mensyukuri nikmat Tuhan seperti itu pada dasarnya adalah tradisi dan sudah sering terjadi, jadi bukanlah hal yang aneh dan tidak biasa.

Konflik mulai terjadi ketika salah satu keluarga muslim mempermasalahkan pemberian Kamid dan menyatakan bahwa jeruk-jeruk itu menyebabkan penyakit berbahaya kepada anggota keluarganya. Kemudian keluarga itu menuduh Kamid telah melakukan klenik atau tindakan teluh dengan melumuri racun pada pemberiannya agar keluarga yang beragama Islam itu mati. Merespon tuduhan itu, Kamid menyangkalnya mentah-mentah. Ia menyatakan bahwa jeruk-jeruk yang ia miliki, juga diberikan kepada keluarga-keluarga lainnya namun mereka tidak tidak merasakan apa-apa, mereka tidak teracuni sama sekali.

Permasalahan semakin memanas ketika Kamid ingin membuktikan pengakuannya dengan cara bersumpah sambil menginjak Al-Qur‟an, kitab suci umat Islam, dengan kakinya. Bukannya menyelesaikan masalah, yang terjadi masalah tersebut justru semakin rumit dan sukar diselesaikan. Tindakan itu dianggap sebagai penghinaan terhadap agama Islam karena Al- Qur‟an adalah kitab suci dan dianggap sebagai mukjizat Tuhan terhadap Nabi Muhammad. Kaum muslim memprotes penghinaan itu dan membawa kasus itu ke muka meja hijau, sebelum adanya pengeroyokan massa. Didakwa sebelum adanya persidangan, Kamid sudah ditetapkan bersalah dan dimasukkan ke dalam penjara selama beberapa bulan.81

Peristiwa lainnya adalah tuduhan mengenai penyalahgunaan dana sumbangan masyarakat. Pada tahun 1950- an, para pemimpin ADS tengah mengusahakan pembangunan sebuah lembaga pendidikan guna memberantas kebodohan dan buta huruf yang memang masih menyebar luas di tengah-tengah

81 Basuki Nursaningrat, Umat Katolik Cigugur...., hlm. 21.

189

masyarakat.82 Untuk itu, komunitas ADS mengusahakan pembangunan gedung sekolah untuk lembaga pendidikan yang hendak mereka dirikan, SMP Tri Mulya. Pada waktu itu, sekolah tingkat menengah masih sangat jarang karena jumlahnya masih sedikit. Di Kuningan, hanya ada sekolah menengah: SMP 1 dan SMP 2, dan satu sekolah swasta, SMP PGRI. Pendiriannya ditujukan untuk membantu masyarakat di sekitar Cigugur agar bisa mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam dunia pendidikan. Proses perintisan sekolah ini mendapatkan bantuan dari masyarakat secara luas, tidak hanya dari kelompok pengikut ADS saja namun juga dari pelbagai macam kalangan lain, yang di antaranya adalah sebagian masyarakat muslim Cigugur yang menginginkan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak dan keturunan mereka.

Sementara itu di sisi yang berlawanan, beberapa tokoh Islam fundamental mengasumsikan bahwa pendirian sekolah tersebut sebagai usaha tersembunyi untuk menginternalisasikan doktrin dan tradisi ADS ke tengah-tengah anak-anak dan hal itu tentunya akan mengancam eksistensi Islam di Cigugur. Meyakini hal itu, para pemuka Islamyang berhaluan tegas itu berusaha untuk mencegah pembangunan kontruksi gedung meski prosesnya sudah berjalan. Jalan yang ditempuh untuk menghentikan proses perintisan lembaga pendidikan itu adalah penyebaran isu penyalahgunaan dana sumbangan masyarakat. Awalnya, isu eksploitasi oleh para pemimpin ADS itu, baik untuk mencari material, sumber dana maupun tenaga pembangun, hanya berkembang secara regional dan tidak menyebar luas. Namun lama kelamaan, isu itu berhembus dengan proporsi yang berlebihan. Dengan menyebarnya tuduhan itu, akhirnya sejumlah pemimpin komunitas spiritual dan budaya warisan Madrais tersebut ditahan oleh pihak yang berwenang, termasuk salah satu di antaranya adalah Djatikusumah.

82 Wawancara dengan Ira Indrawardana, 10 Agustus 2015.

190

Perlu diketahui bersama, pelbagai macam konfontasi yang terjadi di antara ADS dengan kalangan Islam tidak hanya dikarenakan oleh adanya perseturuan ideologis serta keyakinan semata. Pertikaian lebih banyak disebabkan oleh adanya sentimen personal dan kecemburuan sosial yang kemudian merebak menjadi isu-isu besar dan lebih meluas serta melibatkan banyak orang. Dalam konteks ini, keberpihakan penguasa terhadap salah satu pihak turut pula memperuncing konfrontasi kedua kelompok karena dengan adanya dukungan penguasa seperti itu akan ada kelompok yang merasa lebih hebat dan superior dibandingkan dengan kelompok lainnya.

3. Konflik dengan Aparat Pemerintah Republik Indonesia Setelah 5 tahun Indonesia merdeka, konflik masih mengiringi komunitas Agama Djawa Sunda (ADS). Kali ini, pihak yang berseteru dengan ADS adalah Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Departemen Agama, khususnya jajaran aparatnya di wilayah Kuningan.83 Sebagai sebuah negara hukum yang memiliki tata tertib dan aturan, pemerintah mengeluarkan pelbagai macam kebijakan guna menertibkan dan menata kehidupan warga negaranya. Hal itu dilakukan agar segala aspek kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik, selaras dan teratur. Salah satu segi kehidupan masyarakat yang diatur oleh pemerintah adalah bidang keagamaan, yaitu aspek yang berhubungan dengan kebutuhan rohani masyarakat. Aspek keagamaan masyarakat ini dikelola pemerintah melalui Departemen Agama. Diantara sekian banyak peraturan pemerintah, tidak sedikit yang menimbulkan perdebatan, kontroversi dan bahkan korban. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1946 misalnya, melahirkan perdebatan dan konflik di dalam masyarakat. Di Cigugur sendiri, aturan itu dipermasalahkan oleh para penghayat ADS.

83 Sekarang telah berubah menjadi Kementerian Agama, sesuai dengan implementasi Undang-Undang tentang Kementerian Negara, No. 39 Tahun 2008.

191

Perselisihan itu dimulai ketika pada 11 November 1950, Tedjabuana beserta para pengikutnya terlibat ke dalam sebuah konflik dengan Hussein, sekretaris desa Cigugur yang beragama Islam. Konflik ini bisa terjadi karena Hussein hendak mengimplementasikan peraturan pemerintah No. 22 tahun 1946 terhadap seluruh masyarakat Cigugur. Peraturan ini berisi kewajiban bagi seluruh pasangan yang akan menikah agar melaksanakan segala proses pernikahan di bawah tuntunan pegawai Departemen Agama. Hal itu mesti dilakukan agar mahligai rumah tangga yang dibangun bisa mendapatkan status yang resmi dari pemerintah. Namun, alih-alih mendukung dan taat pada intruksi pemerintah, Tedjabuana beserta para pengikutnya justru menolak mentah-mentah pelaksanaan regulasi pemerintah tersebut di wilayah adat mereka.84 Isu penolakan ini kemudian menyebar luas dan semakin membesar ketika dibawa ke jajaran pemerintah Kuningan sebagai sebuah kasus yang perlu mendapatkan perhatian. Dalam sebuah pertemuan koordinasi yang dihadiri oleh perwakilan dari partai-partai politik, pejabat pemerintah daerah, jajaran kepolisian setempat dan pejabat- pejabat lainnya, penolakan ADS terhadap aturan itu dianggap sebagai tindakan yang menunjukkan bahwa mereka tidak loyal terhadap pemerintah. Rapat tersebut juga menyebutkan bahwa resistensi masyarakat adat ADS itu sebagai biang keresahan sosial di tengah-tengah masyarakat.85 Terkait hal ini, Barna Alam menyatakan bahwa tindakan kakeknya itu bukanlah sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah, melainkan sebuah pembelaan terhadap hak-hak adat masyarakat.86 Tedjabuana dan komunitas ADS yang ia pimpin memiliki tata cara dan ketentuan

84 Menurut para penghayat ADS, penolakan tersebut bukanlah tanda perlawanan, melainkan usaha untuk mempertahankan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

85 Deskripsi Aliran-Aliran Kepercayaan ...., hlm. 23.

86 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

192

tersendiri dalam pelaksanaan dan upacara pernikahan sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Madrais ketika masih memimpin komunitas spiritual dan adat ini. Mereka mempercayai bahwa ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang berasal dari tradisi nenek moyang mereka, masyarakat Sunda terdahulu, dan karena itu mereka ingin terus menjaganya agar tetap lestari sepanjang zaman.

Sebagai masyarakat sipil biasa yang harus tunduk pada pemerintahan yang menguasainya, pada akhirnya Tedjabuana beserta para anggota masyarakat adat ADS menerima pelaksanaan aturan pemerintah tersebut. Pada februari 1951, di bawah tekanan dari pejabat kabupaten, Tejabuana beserta 7 pengikutnya beralih kepercayaan menjadi seorang muslim. Hal ini terjadi karena Tedjabuana ingin menikahkan anaknya, Siti Jenar dengan Raden Subagyaharja, dengan tata cara salah satu agama yang diakui oleh negara, yaitu agama Islam. Namun tidak berapa lama kemudian, setelah prosesi pernikahan anaknya itu selesai, Tedjabuana beserta para pengikutnya kembali meninggalkan Islam dan menjalankan kepercayaan lokal mereka.87 Perilaku tidak wajar pemimpin ADS dengan para pengikutnya tersebut tentu saja mengundang kemarahan masyarakat, khususnya masyarakat yang menganut agama Islam. Masuk keluarnya para anggota ADS ke dan dari agama Islam merupakan hal yang tidak dapat dimaafkan. Bagi umat muslim, hal itu dianggap sebagai penghinaan yang sangat mendasar terhadap agama yang mereka junjung tinggi. Dalam perkembangannya, kasus ini memang mendapat cibiran yang sangat kuat dari kalangan masyarakat Islam, tapi tidak diusut secara tuntas hingga akhirnya sebuah badan pemerintah, Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), mempermasalahkan perkara ini dan mengurusnya secara serius di kemudian hari.

87 Deskripsi Aliran-Aliran Kepercayaan ...., hlm. 7-8.

193

D. Pembubaran Agama Djawa Sunda Tahun 1964 Di masa kepemimpinan Soekarno, stabilitas politik belum dapat ditegakkan dengan kuat. Pelbagai macam peristiwa yang dilatarbelakangi perbedaan keyakinan dan ideologi sangat ramai di pentas panggung politik negara. Pada masa Presiden pertama itu, Indonesia masih mencari bangunan identitas sistem kenegaraannya. Ketika Indonesia berada di ambang pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru di pertengahan tahun 1960- an, nasib Agama Djawa Sunda (ADS) beserta para pengikutnya semakin tidak menentu. Sejak pertengahan tahun 1964, situasi yang sudah tidak kondusif itu semakin memburuk. Tekanan yang didapatkan ADS pun semakin sering terjadi dan intensitas ancaman yang mereka alami pun turut menjadi semakin meningkat. Desakan itu mencapai puncaknya setelah Pemerintah Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa negara hanya mengakui administrasi dan tata cara pernikahan yang sesuai dengan lima agama resmi negara saja, yaitu agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha.

Pada bulan Juni 1964, melalui sebuah panitia resmi yang dibuat negara, pemerintah membuat gerak langkah komunitas spiritual dan budaya ini menjadi terhenti dan tidak bisa bergerak sama sekali. Pada saat itu, ADS seakan-akan dilumpuhkan oleh pihak penguasa. Melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) yang bertanggal 18 Juni 1964, Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) mengeluarkan ketetapan bahwa pernikahan yang dilakukan secara adat selama ini merupakan pernikahan yang tidak sah. Keputusan ini membuat peraturan pemerintah mengenai perkawinan yang sering dilanggar oleh para pengikut ADS sebelumnya semakin kuat karena telah memiliki ketetapan hukum yang semakin jelas.88 Oleh karena itu, sebuah pernikahan yang

88 Salah satu tata cara pelanggaran yang dilakukan oleh ADS adalah penunjukkan petugas pernikahan yang tidak ditentukan oleh negara, melainkan oleh pimpinan ADS. Padahal dalam Penetapan Menteri Agama No. 14/1955, tentang Penunjukan dan Pemberhentian serta Tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, pasal 1 ayat 2, diuraikan bahwa “Penunjukan dilakukan dengan surat oleh Kepala Kantor

194

dilaksanakan dengan tata cara adat dan tradisi tertentu menjadi suatu pernikahan yang liar dan dianggap menyalahi tata tertib negara. Hukum, tata cara dan seremoni pernikahan adat ala ADS pun menjadi suatu tindakan pelanggaran dan karenanya dapat dijatuhi hukuman yang dianggap setimpal oleh pihak pemerintah.

Meskipun kebijakan tersebut telah diumumkan dan diresmikan oleh pemerintah daerah Kuningan, beberapa anggota ADS, di antaranya adalah putera dan menantu Pangeran Tedjabuana sendiri, tetap berkeras hati untuk melakukan pernikahannya dengan tata cara adat Sunda Wiwitan yang mereka yakini dan genggam teguh sebagai sebuah pegangan ataupun tuntunan hidup. Akibatnya, mereka pun ditahan dan kemudian diperiksa oleh Kejaksaan Kuningan dengan tuduhan melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah. Tindakan para pengikut ADS tersebut dianggap sebagai sebuah tindakan pembangkangan, tindakan yang mengindikasikan adanya perlawanan dan pemberontakan terhadap pihak pemerintah. Pada akhirnya, otoritas penegak hukum di Kuningan memutuskan pelarangan adat pernikahan ADS. Para pelakunya, yang dianggap sebagai para pelanggar hukum, ditahan dan dikirim untuk ditahan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga melakukan sosialisasi mengenai perkara itu ke tengah-tengah masyarakat, mereka diperingatkan untuk tidak melanggar ketentuan pemerintah tersebut karena orang yang melakukannya akan dibawa ke meja hijau dan diproses secara hukum oleh pemerintah.

Sementara itu, di salah satu rumah di wilayah hukum Cirebon, Tedjabuana yang sudah semakin dimakan umur dan

Urusan Agama Propinsi atau yang setingkat dengan itu atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten atau yang setingkat dengan itu, dengan mendengar pendapat- pendapat Bupati/Kepala Daerah Kabupaten atau yang dikuasakannya untuk itu”. Dengan adanya peraturan tersebut, tindakan para penghayat ADS yang mengabaikan aturan pemerintah bisa dianggap sebagai salah satu wujud pelanggaran hukum. Lihat, Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap UU dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1981), Cet. II., hlm. 139.

195

terkena banyak penyakit terlihat begitu tertekan. Sebagian besar pikirannya terpusat dan tertuju pada persoalan yang menimpa keluarga dan beberapa pengikutnya di Kuningan. Selain keluarga dan pengikutnya, sebenarnya diri Tedjabuana pun turut terseret perkara hukum tersebut karena pada saat itu ia masih berperan sebagai pemimpin ADS. Pangeran Tedjabuana yang sedang sakit- sakitan itu diurus oleh seorang dokter yang merupakan jamaah Katolik di Paroki Cirebon, yaitu dr. Tju Pie. Dari dokter tersebut kemudian ia berkenalan dengan Pastor A. Hidayat Sasmita OSC dan sejumlah pastor lainnya di Paroki St. Yoseph Cirebon. Perkenalan dengan mereka itu mendekatkan Tedjabuana dengan agama dan umat Katolik di Cirebon. Karena kedekatan tersebut pula lah, sang Rama Pangwedar beserta keluarganya mendapat perlindungan dari pelbagai macam ancaman yang datang. Mereka dilindungi di wilayah pastoran dan mendapat perhatian yang sangat besar dari jamaah Katolik di Cirebon. Disana, Tedjabuana yang kondisi fisiknya sudah tidak menentu itu pun mendapat penjagaan dan perawatan medis yang lebih dari cukup.

Apa yang menimpa diri, keluarga serta pengikutnya itu membuat Tedjabuana sering merenung dan menyendiri untuk berpikir keras serta mencari solusi bagi pelbagai macam masalah yang menimpa ADS. Ketika dalam proses perenungan itu, Tedjabuana teringat akan sebuah peristiwa ghaib yang dialami oleh ayahandanya ketika berada di Curug Goong. Kejadian yang berisi wangsit itu dikenal oleh komunitas ADS sebagai Wahyu Camara Bodas.89 Dalam peristiwa yang terjadi setelah Ciremai

89 Syahdan, menurut cerita yang dituturkan secara turun temurun di lingkungan para pengikut Agama Djawa Sunda (ADS), Pangeran Madrais Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat pernah mendaki Gunung Ciremai bersama sejumlah pengikutnya ketika gunung itu hendak meletus di pertengahan akhir tahun 1930-an. Setelah mendaki terjalnya medan yang ditempuh, mereka berhenti di suatu tempat yang lapang dan melakukan ritual disertai dengan permainan gamelan monggang. Tujuan dilakukannya praktik mistik itu adalah agar gunung tertinggi di Jawa Barat itu tidak jadi meletus.Setelah peristiwa itu, Madrais tidak ikut turun bersama para pengikutnya ke Cigugur.Ia malah bermukim di tempat yang lebih tinggi dari kediamannya, dekat dengan sebuah air terjun bernama Curug Goong. Di tempat yang jauhnya lebih dari 2km dari rumahnya itu, Madrais melakukan tapa brata (bersemedi) selama kurang lebih 3 tahun hingga

196

meletus itu, Madrais menerima bisikan ghaib yang berbunyi: “Isuk jaganing géto bakal ngiuhan handapeun camara bodas anu baris memeres jagat”, yang artinya adalah, “esok di kemudian hari engkau akan berlindung di bawah cemara putih yang akan menata alam dunia”.90 Tedjabuana merasa bahwa ungkapan ayahnya ini mengandung makna yang khusus. Oleh karena itu, ia terus mencoba menyelami ungkapan ayahnya tersebut. Ia menelaah setiap kata demi kata dan bait demi bait kalimat Wahyu Camara Bodas. Proses itu dilakukan oleh Tedjabuana dalam kurun waktu yang tidak sebentar.

Pada tanggal 21 September 1964, Wahyu Camara Bodasitu baru dapat dimengerti dengan baik makna dan artinya oleh Pangeran Tedjabuana yang terus memutar otaknya demi keberlangsungan komunitas spiritual ADS. Menurut sang pemimpin, camara bodas yang pernah dibisikkan oleh Madrais kepada para pengikutnya sebelum meninggal itu maknanya adalah Kristus.91 Dalam tradisi Kristen, pohon cemara merupakan salah satu perlengkapan penting dalam perayaan natal. Kehadiran pohon itu bukan semata-mata hanya dekorasi saja, namun juga memiliki makna simbolik yang cukup dalam. Pohon cemara adalah lambang keabadian karena hijau daunnya sangat kuat dan tidak pudar, secara umum dikenal dengan istilah evergreen. Cemara yang dipakai sangat dianjurkan pohon yang masih hidup dan bukan yang mati karena secara simbolis pohon inilah yang meninggal. Ritual yang dilakukan oleh pendiri ADS itu kemudian menghasilkan bisikan ghaib yang dipercara sebagai petunjuk mengenai jalan keluar yang harus ditempuh oleh para penghayat ADS ketika mereka menghadapi pelbagai macam permasalahan pelik di kemudian hari. Bisikan ghaib yang didapat Madrais ketika berada di Curug Goong itulah yang disebut oleh para penghayat ADS sebagai Wahyu Camara Bodas.

90 Basuki Nursana Ningrat, “Roh Kudus Berkarya di Lereng Gunung Ciremai”, tahun 1964, yang disadur ke dalam bahasa Sunda dan turut diterbitkan dalam karya, Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual, 2010, hlm. 66-67.

91 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang, dalam Bahasa Sunda, (ttp: Kusnadi, 2010),hlm. 67.

197

menghidupi keabadian daunnya. Adapun pelbagai hiasan cahaya yang memenuhi cabang, ranting dan daun pohon melambangkan kelahiran Yesus yang menerangi dunia.92 Di hari dan tanggal yang sama, pemimpin ADS itu membuat keputusan yang sangat mengejutkan bagi banyak pihak. Tanpa diduga, Tedjabuana membubarkan ADS secara resmi dan menyatakan diri masuk ke agama Katolik.

Pernyataannya itu dikuatkan dengan melayangkan surat kepada khalayak luas yang butir-butir isi pentingnya adalah:93

a. Pembubaran ADS oleh pemimpinnya, yaitu Pangeran Tedjabuana; b. Pernyataan bahwa Tedjabuana dan keluarganya memilih agama Katolik; dan c. Membebaskan seluruh pengikut ADS untuk memilih agama yang sesuai dengan kehendaknya masing-masing.

Terkait pernyataannya tersebut, Tedjabuan menguraikan bahwa peralihan ke agama Katolik ini adalah peralihan yang permanen sehingga ia tidak harus kembali menganut dan melestarikan kepercayaan Sunda Wiwitannya. Namun di sisi lain, tidak seluruh penghayat ADS memiliki pemikiran yang sama. Anak pemimpin kedua itu sendiri, Djatikusumah, memiliki pemahaman yang berbeda dengan ayahnya. Ia menganggap bahwa peralihan keyakinan itu hanya bersifat temporal atau sementara. Menurutnya, berada di bawah pohon cemara putih itu

92 Tim Penulis Komisi Liturgi dan Musik (KLM), Panduan Tata Ibadah: Masa Adven dan Natal 2014 serta Pra-Paskah dan Paskah 2015,(Rantepao: Komisi Liturgi dan Musik (KLM) Gereja Toraja, 2014), hlm. 30-31. Koleksi Gereja Toraja, http://www.gerejatoraja.com/news/panduan-natal-2014-dan-paskah-2015/ (diakses pada 12 Juni, 2015).

93 Jacobus Nana Janadi, dkk., Perjalanan 100 Tahun Gereja Santo Ignatius Cimahi 1908-2008, (Bandung: Keuskupan Bandung, 2008), hlm. 81., Buku-Buku Pedoman Keuskupan Bandung, http://bdbandung.my-php.net/Hal%2077%20- %20114_files/halaman81.htm (diakses pada 8 Juni 2015).

198

hanya untuk berlindung atau berteduh dari badai taufan yang tengah melanda saja, bukan untuk tinggal selamanya. Setelah semua tantangan alam itu selesai, maka para penghayat ADS itu harus kembali ke tempat yang semestinya, yaitu komunitas adat Sunda Wiwitan yang diwariskan oleh Madrais. Dengan demikian, terdapat dua pemaknaan atau penafsiran wahyu camara bodas yang saling berbeda di antara Pangeran Tedjabuana dan Pangeran Djatikusumah. Meskipun begitu, pada akhirnya kedua sosok ini sama-sama masuk menjadi pemeluk agama Kristen Katolik bersama sebagian besar pengikutnya. Tindakan Djatikusumah ini dapat dipahami sebagai usaha seorang anak yang tidak ingin mengecewakan ayahnya. Terlebih lagi, kondisi Tedjabuana saat itu sedang sakit-sakitan sehingga kemudian Djatikusumah lebih banyak menahan egonya dan mengikuti arahan ayahnya untuk menjadi pemeluk Katolik yang taat.

Bagi umat Kristen Katolik, kejadian yang di luar dugaan ini merupakan berkah bagi dakwah agama mereka. Setelah sekian lama gerak penyebaran Katolik di Tatar Sunda berjalan secara stagnan,langkah mereka berubah menjadi cepat dengan adanya peristiwa itu.94 Umat Katolik yang awalnya berjumlah sangat sedikit, terutama yang berasal dari masyarakat setempat atau Suku Sunda, kini bertambah dengan jumlah yang cukup banyak karena mencapai angka ribuan orang. Pengikut ADS yang masuk menjadi warga Katolik pun tidak terbatas hanya di wilayah Cigugur saja, namun juga di sejumlah tempat lain yang memang dihuni oleh para penghayat ajaran Madrais, seperti di Kampung Sodong dan Kampung Jati di wilayah Bandung.95 Di Cigugur

94 Bahkan, tanggal 21 September menjadi tanggal yang selalu diingat sebagai kelahiran umat Katolik yang berasal dari etnis Sunda. Lihat, Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual ….,hlm. 68.

95 Jacobus Nana Janadi, dkk., Perjalanan 100 Tahun Gereja Santo Ignatius Cimahi 1908-2008, (Bandung: Keuskupan Bandung, 2008), hlm. 79., Buku-Buku Pedoman Keuskupan Bandung, http://bdbandung.my-php.net/Hal%2077%20- %20114_files/halaman79.htm, (diakses pada 8 Juni 2015).

199

sendiri, pernyataan resmi pembubaran ADS oleh Pangeran Tedjabuana membuat kehidupan religius masyarakat Cigugur berubah dengan sangat drastis. Jumlah penganut Agama Katolik yang awalnya sangat sedikit, tiba-tiba berubah menjadi sangat banyak dan hampir menyamai jumlah umat Islam.

Terdapat dua alasan utama kenapa peralihan massal ke agama Katolik itu dapat terjadi. Pertama, adanya sejumlah persamaan ajaran di antara ADS dengan Katolik. Beberapa persamaan itu dapat diuraikan sebagaimana berikut: a) Pelaksanaan ibadah yang dapat dilakukan sepanjang waktu; b) Penghormatan terhadap hari Minggu sebagai hari yang dikhususkan untuk beribadat secara kolektif; c) Penggunaan peti yang terbuat dari kayu untuk menguburkan orang yang telah tiada atau meninggal; d) Mengadopsi warna hitam sebagai simbol untuk menunjukkan rasa berkabung; e) Menganut sistem perkawinan yang monogami dan permanen tanpa mengenal adanya perceraian dalam pernikahan; f) Menggunakan meditasi atau menenagkan diri sebagai cara untuk mengekang nafsu dan kecenderungan adanya sifat-sifat negatif dalam manusia; dan g) Sama-sama tidak mengenal berpuasa sebagai cara untuk menahan godaan kehidupan dan hawa nafsu.96 Kedua, adanya pendekatan religius yang sangat halus dan persuasif dari para pemeluk Katolik. Dalam hal ini, para pastor Katolik senantiasa menunjukkan sikap yang terbuka dan lembut dalam mendekati komunitas mereka. Umat Katolik juga tidak pernah melakukan konfrontasi, menyematkan kata kafir kepada para penghayat ADS ataupun melarang perkembangan ajaran mereka. Hal-hal demikian itulah yang membuat mereka merasa lebih nyaman untuk memilih Katolik dibandingkan Islam sebagai agama resmi mereka di depan hukum negara.97 Selain kedua alasan di atas,

96 A. Suhandi Shm, “Agama Djawa Sunda (ADS) ...., hlm. 203.

97 A. Suhandi SHM, “Latar Belakang Timbulnya Madraisme dan Proses Peralihan Para pengikutnya ke dalam Agama Katolik”, Skripsi tidak diterbitkan, (Bandung: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 1968), hlm. 101-105.

200

terdapat satu alasan lain yang sifatnya lebih personal dan tidak diakui secara terang-terangan oleh masyarakat, yaitu mengikuti jejak pemimpin komunitas ADS. Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah Tedjabuana dan keluarganya untuk berpindah keyakinan ke agama Katolik menjadi inspirasi sehingga kemudian diikuti oleh mayoritas pengikutnya.

Jalan yang diambil oleh warga ADS ini menunjukkan bahwa kharisma, peran, citra dan kepemimpinan Tedjabuana di mata mereka masih sangat besar. Mengikuti tindakan yang dilakukan oleh pemimpin ADS yang kedua itu merupakan bukti cinta dan patuh mereka terhadap sosok yang selama ini mereka junjung tinggi sebagai pemimpinnya. Hal itu sekaligus menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat di antara kedua belah pihak. Hubungan sosial yang terjalin di antara pemimpin ADS dan para pengikutnya ini telah terbangun sejak masa kepemimpinan Madrais. Di masa ayahnya itu, nilai-nilai kepatuhan pada sosok guru telah ditanamkan dengan sangat dalam. Model hubungan semacam ini juga terdapat pada hubungan guru dengan murid tarekat dan hubungan kyai dengan santrinya.98 Kesemua hubungan tersebut didasari oleh keyakinan bahwa sosok pemimpin aliran, guru ataupun kyai berkedudukan sebagai penghubung Tuhan dengan para hamba-Nya, dan karena itu mereka patut untuk dihormati, ditaati, dipatuhi dan diteladani. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, hal itu sering

98 Perasaan hormat dan patuh seorang santri pada kyai biasanya bersifat mutlak. Hal itu dilakukan demi ngalap berkah dari sang kyai, karena jika tidak dilaksanakan maka ilmu santrinya tidak akan dapat bermanfaat. Dalam hal ini, sosok kyai diyakini memiliki peran sebagai media bagi kemurahan Tuhan untuk melimpahkan keberkahannya. Keunikan pola-pola hubungan tersebut turut pula dipengaruhi oleh pelbagai macam ajaran yang menjadi acuan di pesantren yang menjadi tempat bagi para santri untuk menuntut ilmu. Salah satu literatur yang dimaksud adalah kitab Taklim al Mutakalim. Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,1985), hlm. 55.

201

diidentifikasikan oleh para akademisi dan peneliti ilmu sosial sebagai hubungan patron-klien.99

Hal lain yang juga perlu digarisbawahi dari peristiwa ini adalah kenyataan bahwa pembubaran komunitas spiritual dan budaya ADS yang dilakukan oleh Tedjabuana itu ternyata menjadi sebuah keputusan yang sangat menguntungkan bagi keselamatan seluruh para penghayat ADS. Bagaimana tidak, setahun setelah itu, Peristiwa G30S meletus di Jakarta dan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta para simpatisannya dipersalahkan atas kejadian tersebut. Tidak sedikit dari para pengikut aliran kepercayaan, khususnya yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, turut diidentifikasi oleh pasukan yang dikomandoi oleh Soeharto sebagai bagian dari gerakan komunis. Mereka yang pernah menjadi bagian PKI, meskipun tidak terlibat pada peristiwa di Jakarta, dianggap bersalah dan kemudian ditahan tanpa proses hukum atau bahkan dieksekusi mati oleh pasukan-pasukan Soeharto.100 Para penganut ADS yang tinggal di Cigugur dan sejumlah tempat lain di daerah Jawa Barat, tidak turut menjadi korban pemberantasan komunisme. Mereka selamat karena pada saat itu ADS telah dibubarkan dan mereka sudah menjadi pemeluk agama-agama resmi pemerintah, seperti Agama Katolik, Protestan dan Islam.

99 Menurut Setiawan, pola hubungan patron klien bisa didefinisikan sebagai gabungan (aliansi) dari dua kelompok komunitas atau individu yang memiliki derajat yang berbeda meliputi pelbagai macam aspek, seperti status, kekuasaan, ataupun pendapatan sehingga membuat posisi patron berkedudukan lebih tinggi (superior) bila dibandingkan dengan klien yang kedudukannya berada dalam posisi yang lebih rendah (inferior). Baca, Eko Setiawan, “Eksistensi Budaya Patron Klien dalam Pesantren: Studi Hubungan Antara Kiai dan Santri”, Ulul Albab, No. 2, Vol. 13 (2012),hlm. 141.

100 Dalam beberapa tahun setelah tahun 1965, Soeharto yang didukung oleh faksi militer dan sekelompok kecil orang sipil tertentu, mengalienasikan banyak lawan politiknya. Lihat lebih lanjut, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern ...., hlm. 587.

202

E. Proyeksi Masa Depan Agama Djawa Sunda Setelah dibubarkan oleh pemimpin Pangeran Tedjabuana di tahun 1964, perkembangan ADS benar-benar berhenti sama sekali. Pergeseran rezim ke Orde Baru yang sangat berbeda pun turut memperumit keadaan karena masa ini adalah masa yang sangat keras terhadap pelbagai macam bentuk perlawanan. Pemerintahan Soeharto yang hanya mengakui beberapa agama, menekan para penganut agama lokal “yang dianggap tidak resmi” untuk menentukan pilihan secara jelas. Pada akhirnya, banyak dari para penghayat ADS yang beralih keyakinan ke agama- agama besar yang diakui negara, terutama agama Katolik yang dianggap memiliki banyak kesamaan ajaran dan juga memiliki sejumlah jasa terutama terhadap pemimpin komunitas ADS. Meskipun memeluk agama resmi pemerintah, tidak sedikit dari mereka yang tetap memelihara keyakinan mereka terhadap ajaran ADS.

Saat Tedjabuana meninggal di tahun 1978, orang-orang yang masih menghayati ajaran yang diwariskan Madrais merasa kehilangan sosok pemimpin. Masyarakat Cigugur, terutama para pengikutnya, bermuram durja karena diliputi kesedihan yang sangat mendalam. Menyadari keadaan ini, Pangeran Djatikusumah merasa terpanggil untuk kembali melanjutkan apa yang belum dirampungkan oleh ayahnya, ia merasa bertanggungjawab untuk kembali melestarikan ajaran yang diwariskan oleh sang kakek kepada ayahnya. Oleh karena itu, Djatikusumah pun mulai merintis cara dan strategi agar bisa membangun kembali ADS.101

Setelah melalui pelbagai hambatan dan rintangan, usaha keras Djatikusumah pun mulai terlihat ketika ia dapat mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) pada 11 Juli 1981. Komunitas ini terdaftar di Direktorat Jenderal Bina Hayat

101 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

203

dengan pengesahan resmi bernomor 192/R.3N1/1982.102 Melalui paguyuban adat masyarakat Sunda Wiwitan ini, Djatikusumah berjuang untuk mempertahankan keyakinan yang telah diturunkan oleh kakek dan ayahnya. Ia merintis dan menggali kembali sejumlah nilai dan seni kultural masyarakat, sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya. Pada masa Orde Baru, langkah yang diambil oleh pemimpin ADS yang tidak memiliki pendidikan formal tinggi ini begitu berat karena simpul-simpul kebebasan berkespresi dan berkeyakinan masih terikat dengan sangat kuat. Meskipun undang-undang negara menjamin akan keluwesan aspek religius masyarakat, nyatanya di masa ini kebebasan untuk beragama tidak terlihat sama sekali. Agama-agama lokal yang ada tidak diakui sebagai sebuah sistem kepercayaan layaknya agama- agama besar Nusantara, kesemua kepercayaan yang bersumber dan berkembang dari akar peradaban masyarakat setempat itu hanya dikelompokkan sebagai aliran kepercayaan yang berada di bawah lindungan Direktorat Bina Hayat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan karena dianggap sebagai kekayaan kultural bangsa, bukan sebagai sistem kepercayaan yang posisinya berada di bawah Departemen Agama. Kondisi ini tetap dijaga karena bisa menetralisir pelbagai macam pengaruh negatif eksternal yang seringkali tiba-tiba datang dan mengganggu eksistensi ADS serta menghancurkan perkembangannya. Mengingat usianya yang semakin menua, maka di tahun 1990-an Djatikusumah mulai mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk melanjutkan pengembangan ajaran ini. Anaknya itu digembleng dengan nilai dan ajaran ADS secara komprehensif.

Ketika reformasi sudah digulirkan dan rezim berganti dari yang awalnya bersifat tertutup menjadi terbuka, masyarakat penghayat ADS mulai menaruh harapan yang tinggi kepada komunitas spiritual dan budaya tersebut agar bisa berkembang

102 Pangeran Djatikusumah, Pamaparan Budaya Spiritual ….,hlm. 27.

204

dengan lebih pesat. Meskipun begitu, tantangan yang menghampiri tidak pernah berhenti dan tetap ada dari waktu ke waktu. Bahkan, tantangan itu selalu lebih maju dan lebih kompleks ketimbang di masa-masa sebelumnya.

Hingga dasawarsa kedua dari tahun 2000-an ini, cobaan yang paling penting bagi perkembangan ADS adalah penguatan aspek internal kelompok, seperti soliditas dan kreativitas para penganutnya. Hasse menambahkan bahwa keberadaan agama lokal di masa depan sangat ditentukan oleh kreativitas internal dalam merespons berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dalam lingkup lingkungan internal, soliditas semacam itu adalah salah satu hal penting yang bisa mempertahankan keutuhan kelompok agar terus dapat bertahan melawan terpaan zaman.103 Dengan demikian, keberhasilan para pengikut Madrais untuk mempertahankan eksistensinya bergantung pada kebersamaan anggota dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran ADS di dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

103 Hasse juga menyebutkan bahwa soliditas dan solidaritas merupakan salah satu kunci penting bagaimana membentuk komunitas yang padu dan kompak khususnya menghadapi berbagai tekanan dari luar. Lihat lebih lanjut, Hasse J., “Deeksistensi Agama Lokal di Indonesia”, dalam Al-Fikr, No. 3, Vol. 3 (2011), hlm. 454.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan tesis ini, penulis dapat menyimpulkan perkembangan serta tantangan yang dihadapi Agama Djawa Sunda (ADS) di masa kepemimpinan Pangeran Tedjabuana ke dalam dua poin, yaitu:

Pertama, salah satu faktor yang membuat perkembangan ADS begitu stagnan dan bahkan berhenti sama sekali dari tahun 1939 hingga ke tahun 1964 adalah kepribadian pemimpinnya yang tidak tegas dan kurang berani mengambil resiko. Hal itu bisa terjadi karena Pangeran Tedjabuana, pemimpin ADS dalam kurun waktu tersebut, tumbuh dan berkembang di masa-masa yang kurang menyenangkan. Perjalanan kehidupannya dihiasi dengan faktor-faktor yang membuat perkembangan pendirian dan ketegasannya tidak terlalu optimal. Pelbagai macam faktor tersebut adalah pertumbuhan yang kurang sempurna karena ia tumbuh dalam keadaan keluarga yang tengah mendapat cobaan yang berat, terutama ketika ayahnya dibuang oleh pemerintah Belanda. Penderitaan yang dirasakan di masa-masa itu melahirkan gejala-gejala traumatik tertentu, sehingga kemudian sikapnya selalu terlihat pragmatis. Meskipun begitu, segala keputusan, tindakan dan kebijakan yang ia tentukan saat memimpin Agama Djawa Sunda, selalu melahirkan banyak hikmah. Selain itu, perkembangan kepribadiannya juga sempat terganggu karena ia besar berkembang secara dewasa dalam masa yang sangat berat, baik itu secara ekonomis maupun psikologis, akibat adanya pengaruh Masa Depresi Besar. Penting ditegaskan bahwa untuk faktor yang kedua ini implikasinya sangat terasa terhadap banyak segi kehidupan masyarakat. Pada masa itu, kehidupan menjadi benar-benar memprihatinkan karena masyarakat ditimpa banyak

205

206

masalah, baik itu secara ekonomi maupun sosial. Pada umumnya, generasi muda masa itu hidup dengan ‘moral fibre (prinsip)’ yang lemah dan tumbuh dengan naluri keputusasaan serta mental kemiskinan. Dalam hal ini, Tedjabuana termasuk salah satu generasi muda yang tengah mengalami usia-usia emas di saat itu.

Kedua, pelbagai tantangan yang hadir dan menerpa eksistensi ADS saat dikomandoi oleh Pangeran Tedjabuana merupakan buah dari adanya perubahan sosial yang sangat cepat dan hampir memengaruhi keseluruhan segi kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah aspek keagamaan. Perubahan sosial yang menerpa hingga ke sendi dasar kehidupan sosial itu lahir dari pergantian rezim penguasa di Kepulauan Nusantara. Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Pangeran Tedjabuana saat memimpin ADS tersebut adalah:

a. Tekanan pemerintah pendudukan Jepang untuk membubarkan komunitas ADS, yang diakibatkan oleh adanya indikasi kedekatan ADS dengan para pejabat pemerintah kolonial Belanda sehingga komunitas spiritual dan budaya ini dianggap sebagai suatu badan yang berisi mata-mata Belanda. Desakan ini ditujukan kepada ADS ketika kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda telah berhasil diruntuhkan oleh semangat bushido serdadu- serdadu Jepang; b. Konflik laten dengan sekelompok umat Islam tertentu, yang dalam hal ini adalah dengan kelompok DI/TII pimpinan Kartosuwiryo dan kaum Islam fundamentalis Kuningan yang senantiasa melakukan pelbagai macam gerakan agitatif terhadap masyarakat untuk menghancurkan ADS. Konflik dengan gerombolan DI didasari oleh keinginan kelompok Islam ekstrem ini untuk membangun negara yang berasaskan Islam, sehingga menganggap kelompok-kelompok yang bercitra anti-Islam seperti ADS itu diidentifikasikan sebagai musuh mereka. Untuk pertikaian dengan golongan yang kedua, biasanya

207

dimulai dengan pelbagai masalah personal yang kemudian membesar berubah menjadi sebuah perkara pelik yang melibatkan banyak pihak; dan c. Keterlibatan pemerintah di dalam kehidupan beragama warga negaranya. Hal itu dapat dilihat dari pelbagai macam aturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur kehidupan beragama masyarakat, seperti pembatasan agama resmi negara dan pengelolaan tata cara tradisi pernikahan. Sejumlah kebijakan tersebut membuat ADS teralienasikan, terasing dari kehidupan masyarakat di sekitarnya karena pelbagai macam adat dan tradisi yang dimiliki oleh ADS dianggap tidak sesuai ketentuan pemerintah. Perlawanan dan pelanggaran masyarakat adat ADS terhadap aturan-aturan tersebut pada akhirnya membuat komunitas ini terus tertekan dan terdesak sehingga kemudian dibubarkan oleh pemimpinnya pada saat itu, Pangeran Tedjabuana.

B. Saran

Setidaknya terdapat tiga saran yang dapat disampaikan dari keseluruhan penelitian tesis ini, yakni:

Pertama, sebagai usaha untuk mengungkapkan pelbagai macam peristiwa besar secara komprehensif di masa lalu, kajian- kajian sejarah lokal semacam ini perlu dilakukan. Hal itu perlu dilakukan karena sejarah lokal dapat membuat peristiwa-peristiwa yang terjadi di pelbagai daerah menjadi lebih dikenal baik dan bermakna. Selain itu, kajian seperti ini dapat membuat generalisasi-generalisasi sejarah nasional lebih terkoreksi dengan baik karena adanya pelbagai macam tambahan-tambahan baru yang lebih komprehensif dan integratif.

Kedua, kajian dengan tema aliran kepercayaan ini hendaknya terus dikembangkan guna memahami anatomi sejarah

208

agama tanah Nusantara dengan lebih baik. Bagaimanapun, pelbagai macam aliran kepercayaan, kelompok keagamaan dan keyakinan memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan dinamika kehidupan sosial masyarakat sejak masa lalu hingga masa sekarang.

Ketiga, rekonsiliasi atau perbaikan hubungan sosial di antara pelbagai kelompok keagamaan. Peristiwa-peristiwa konflik yang mempertemukan ADS secara berlawanan dengan kelompok keagamaan lain, bisa dipahami sebagai perselisihan yang salah dan tidak perlu dilanjutkan. Hubungan antarumat beragama sebaiknya dibangun dengan dasar penghormatan, pengertian dan sikap toleratif yang tinggi, sehingga kemudian pertikaian tidak lagi terjadi. Perlu digarisbawahi disini bahwa memori kolektif masa lalu merupakan cerminan, pantulan peristiwa yang berasal dari masa lampau agar kita lebih bijak dalam melangkah. Oleh karena itu, pelbagai macam kesalahan yang terjadi di masa lalu agar tidak kembali terjadi di masa sekarang dan masa depan.

Bibliografi

Artikel Jurnal, Majalah, Koran dan Book Reviews

Abdullah, Taufik, dkk. (eds.). Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. Jil. 5.

Abdullah, Taufik. “History, Political Images and Cultural Encounter: The Dutch in the Indonesian Archipelago”. Sudia Islamika, Vol. 1, No. 3 (1994): 1-24.

______. “Dari Hasrat Kemajuan ke Pembentukan Bangsa”. Dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.). Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999.

AD, Dinas Sejarah TNI. Penumpasan Pemberontakan DI/TII S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Bandung: Dinas Sejarah TNI AD 1985.

Adas, Michael. Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Penerj. M. Tohir Effendi. Jakarta: Rajawali, 1988.

Adeng et.al. (eds.). Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

209

210

Agung, Ide Anak Agung Gde. Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Alfian, T. Ibrahim (eds.). Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Cet. II.

Al-Khalidi, Mahmud. Bai’at dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Bangil: Al-Izzah,2002.

Ananta, Aris. Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Demografi dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993.

ANRI. Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX. Jakarta: Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah ANRI, 1981.

Azhari, Akyas. Psikologi Umum dan Perkembangan. Bandung: Teraju Mizan Publika, 2004.

Azra, Azyumaridi. “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam”, Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. IV (1993), hlm. 18-19.

Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Penerj. Siti Hertini Adiwoso. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Bakry, Hasbullah. Kumpulan Lengkap UU dan Peraturan Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1981. Cet. II.

Basalamah, Sholeh dan Anam, Misbahul. Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah. Jakarta: Kalam Pustaka, 2006.

211

Baso, Ahmad. Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam. Depok: Desantara, 2002.

Benda, Harry Jindrich dan Irikura, J.K. (eds.). Japanese Military Administration in Indonesia: Selected Documents. New Haven: Yale Southeast Asia Studies, 1965.

Benda, Harry Jindrich. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.

Bento, Ted dan Craib, Ian. Filsafat Ilmu Sosial: Pendasaran Filosofis Bagi Pemikiran Sosial. Yogyakarta: Ledalero, 2009.

Bochari, M. Sanggupri, Kuswiah, Wiwi dan Ohorella, G.A. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

Boeke, Julius Herman. Inleiding tot de Economie der Inheemsche Samenleving in Nederlandsch-Indie. Leiden-Amsterdam: H.E. Stenfert Kroese‟s Uitgevers-Mij, 1936.

Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970. Penerjemah: Saafroedin Bahar. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

Bondan, Molly. Spanning a Revolution: Kesaksian Eks-Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia. Penerj. Hesri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Breman, Jan. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Cagar Budaya Nasional: Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, (Kuningan: t.p, t.t.), hlm. 7.

212

Coolsma, S.. Tata Bahasa Sunda. Penerjemah: Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana. Jakarta: Djambatan, 1985.

Daliman, A.. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2012.

Danasamita, Saleh dan Djatisunda, Anis. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda [Sundanologi], Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.

______et.al. (eds.). Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Daras, Roso. Bung Karno vs Kartosuwiryo: Membongkar Sumber, Dana DI/TII. Jakarta: Imania, 2011.

Day, Clive.The Policy and Administration of the Dutch in Java. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1972.

Dengel, Holk Harald. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Langkah Perwujudan Angan-Angan yang Gagal. Penerjemah: Tim Pustaka Sinar Harapan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1984. Cet. 3.

Djojohadikusumo, Sumitro. Kredit Rakyat di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES, 1989.

213

Durkheim, Emile. Sejarah Agama: The Elementary Forms of the Religious Life. Penerj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Ekadjati, Edi Suhardi. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka, 1995.

______. Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten. Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003.

______. Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918. Bandung: Pusat Studi Sunda bekerjasama dengan PT. Kiblat Buku Utama.

______. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. Jilid 1. Cet. 3.

Elia, Heman. “Peran Ayah dalam Mendidik Anak”. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol.1 No. 1 (April 2000), hlm.109-111.

Fadhilah, Amir. “Struktur dan Pola Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren Jawa”. Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, (Juni 2011): 103.

Fathullah, A. Fauzan Adhiman. Thariqah Tijaniyah: Mengemban Amanat Lil ‘Alamin. Kalimantan Selatan: Yayasan Al-Ansari Banjarmasin, 2007.

Frederick, William H. dan Soeroto, Soeri (eds.). Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Penerj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. Cet. 2.

214

______. “The Javanese Kijai: The Changing Role of a Cultural Broker”. CSSH. Vol. II (1959 - 1960): 228-249.

Gellner, David N. “Pendekatan Antropologis”. Dalam Petter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Penerj: Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press, 2008.

Gribb, Hamilton Alexander Rosskeen dan Kramers, Johannes Hendrik (eds.). Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden-New York: E.J. Brill, 1991.

Hanifah, Abu. Tales of Revolution. Sidney: Angus and Robertson Pty Ltd., 1972.

Harsojo. “Kebudayaan Sunda”. dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1980.

Hellwig, Tineke. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Penerj. Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Hermawan,Wawan, dkk. (eds.). Kuningan Menembus Waktu. Kuningan: Humas Pemda Kabupaten Kuningan, 2000.

Humaedi, M. Alie. Islam dan Kristen di Pedesaan Jawa: Kajian Konflik Sosial Keagamaan dan Ekonomi Politik di Kasimpar dan Karangkobar. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.

Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Penerj. Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987.

Ibrahim, Muhammad dkk. Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Depdikbud, 1991.

215

Imran, Amrin. “Di Bawah Pendudukan Jepang”. dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011. Jil. 6.

Indonesia, Tim Penulis Universitas. Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia, 2009.

Indrawardana, Ira dkk. Jejak Sejarah Kyai Madrais: Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijayaningrat. Cigugur: tidak diterbitkan, tt.

______. “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman”. Konferensi Internasional Budaya Sunda II: Revitalisasi Budaya Sunda (Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global). Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2011.

Ingleson, John. Perkotaan, Masalah sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Penerjemah: Iskandar P. Nugraha. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

Isnaeni, Hendri F. dan Apid. Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942- 1945). Yogyakarta: Ombak, 2008.

J., Hasse. “Deeksistensi Agama Lokal di Indonesia”, dalam Al-Fikr, No. 3, Vol. 3 (2011): 454.

Jakarta, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan: Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Penerjemah: Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu, 2013.

Karim, Mulyawan. dalam Kompas, 23 April 2009, hlm. 21.

216

Kartapradja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung, 1985.

Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.

______. Ratu Adil. Penerj. Poeradisastra. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

______. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Penerj. Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

______(ed.). Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES, 1986.

______. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Kartodirdjo, Suyatno. “Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah Ekonomi Indonesia”. sebagai pengantar dalam Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Penerj. Hardoyo, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), Cet. I, hlm. xi.

Ken‟ichi, Goto. “Modern Japan and Indonesia: The Dynamics and Legacy of Wartime Rule”. Dalam Japan, Indonesia and The War. Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.). Leiden: KITLV Press, 1997.

Kettenis, Peggy, dkk. “Parental Factors and Transsexualism” dalam Carlo Perris, Willem A. Arrindell dan Martin Eisemann (eds.), Parenting and Psychopathology. Chichester: John Wiley & Sons, 1994. hlm. 268-269.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Cet. VIII.

217

______. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”. Dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Ayatrohaedi (ed.). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

______. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1987.

Kunin, Seth D. Religion: The Modern Theories. Edinburgh: University of Edinburgh, 2003.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Yayasan Kartisarana bekerja sama dengan PT. Gramedia, 1993.

Kusman, dkk. Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Rangka Memperingati 30 Tahun Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988.

Lekkerkerker, Cornelis.Land en Volk van Java. Groningen, Batavia: Wolters, 1938.

Li, Tania Murray. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Alih Bahasa: Sumitro dan S.N. Kartikasari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Lohanda, Mona. “Studi Minoritas dalam Spektrum Kajian Sejarah Indonesia”. Dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (eds.). Jakarta: EFEO, Puslitbang Arkenas dan Yayasan Obor Indonesia, 2011.

______. “Sistem Pemerintahan Hindia Belanda”. Dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.). Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa

218

Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas Pembaratan). Penerj. W.P. Arifin, R.S. Hidayat, dan N.H. Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d‟Extreme-Orient, 2008. Jilid 1.

______. Nusa Jawa: Silang Budaya (Jaringan Asia). Penerj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d‟Extreme-Orient Jakarta, 2008. Jilid 2.

______. Nusa Jawa: Silang Budaya (Warisan Kerajaan- Kerajaan Konsentris). Penerj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Forum Jakarta-Paris Ecole francaise d‟Extreme-Orient Jakarta, 2008. Jilid 3.

Lubis, Nina Herlina. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.

______(ed.). Sejarah Tatar Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 2003.

______. “Perlawanan di Tatar Sunda”, dalam Taufik Abdullah dkk. (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. Jil. 4.

Madjid, M. Dien dan Wahyudi, Johan. Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group, 2014.

219

Mak, Geert. Abad Bapak Saya. Alih Bahasa: Pericles Katoppo, Theresia Slamet, Toenggoel P. Siagian. Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2009.

Maryoto, Andreas. Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.

Ma‟arif, A. Syafi‟i. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

Ma‟arif, Syamsul. “Pola Hubungan Patron-Client Kiai dan Santri di Pesantren”. Ta’dib, No. 2, Vol. XV (Nopember 2010): 275.

Mertodipuro, Sumantri. “Aliran Kebatinan di Indonesia”. Mayapada, No. 1, September (1967): 13.

Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Mudzhar, M. Atho. “Kebijakan Negara dan Pemberdayaan Lembaga dan Pemimpin Agama dalam Rangka Keharmonisan Hubungan Antar Umat beragama”. Dalam Damai di Dunia, Damai untuk Semua Perspektif Berbagai Agama. Muhaimin AG (ed.). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2004.

Mufid,Ahmad Syafi‟i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

220

Mulder, Niels. Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Amsterdam: The Pepin Press, 1998.

Muslih, Ichwan dkk. “Draft Rancangan Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan dan Majalengka Provinsi Jawa Barat”. draft tidak diterbitkan. Kuningan, 2012. hlm. 7.

Mustapa, R.H. Hasan. Adat Istiadat Orang Sunda. Penerjemah: Maryati Sastrawijaya. Bandung: Penerbit Alumni, 1985.

Mutaqin, Zezen Zaenal. “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politics of the State: The Survival of Agama Djawa Sunda (Madraism) in Indonesia”. Indonesia and the Malay World Journal. No. 122, Vol. 42 (2014): 3.

Muttaqien, Ahmad. “Spiritualitas Agama Lokal (Studi Ajaran Sunda Wiwitan Aliran Madrais di Cigugur Kuningan Jawa Barat)”. Jurnal Al Adyan. No. 1, Vol. VIII (2013): 91.

M.D., Sagimun. Perlawanan Rakyat Indonesia Menentang Fasisme Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.

Natanagara, Asik. “Sadjarah Soemaedang ti Djaman Kompeni Toeg Nepi ka Kiwari”. Volksalmanaak (1938): 90.

Nordholt, Henk Schulte, Purwanto, Bambang dan Saptari, Ratna (eds.). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2008.

Norman, H.D. Levyssohn. “Ter Herinnering”. Eigen Haard (1888): 94.

Northcott, Michael S. “Pendekatan Sosiologis”. Dalam Aneka Pendekatan Studi Agama. Petter Connolly (ed.). Yogyakarta: LKiS, 2009.

221

Nijverheid en Handel, Departement van Landbouw. Volkstelling 1930, Deel I: Inheemsche Bevolking van West-Java. Batavia: Landsdrukkerij, 1933.

Nitisastro, Widjojo. Population Trends in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1970.

Nursananingrat, Basuki. Umat Katolik Cigugur: Sejarah Singkat Masuknya Ribuan Orang Penghayat ADS Menjadi Umat Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1977.

Oliver, Gary J. “Are You Man Enough? Exposing the Male Myth,” Christian Counseling Today (Winter 1995), hlm. 17-19.

Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia, 1987. Cet. I.

______. Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang. Jakarta: PDAT, 2003.

O‟Dea, Thomas. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Penerj. Tim Yasogama. Jakarta: Rajawali, 1990.

Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion. USA: Oxford University Press, 1996.

Perris, Carlo. “Linking the Experience of Dysfunctional Parental Rearing with Manifest Psychopathology: A Theoretical Framework”, dalam Carlo Perris, Willem A. Arrindell dan Martin Eisemann (eds.), Parenting and Psychopathology. Chichester: John Wiley & Sons, 1994. hlm. 13.

______, Arrindell, Willem A. dan Eisemann, Martin (eds.). Parenting and Psychopathology. Chichester: John Wiley & Sons, 1994.

222

Pijper, G.H.. Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam di Indonesia Abad ke-20. Penerj. Tudjimah. Jakarta: UI Press, 1987.

Pinardi. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Jakarta: Aryaguna, 1964.

Poensen, C. Brieven over der Islam Uit de Binnenlanden van Java. Leiden: Brill, 1886.

Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Sotosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Cet. II.

Post, Peter dan Touwen-Bouwsma, Elly (eds.). Japan, Indonesia and The War. Leiden: KITLV Press, 1997.

Pranoto, Suhartono W.. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Raap, Olivier Johannes. Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe. Yogyakarta: Galang Pustaka, 2013. Cet. II.

Raffles, Thomas Stamford. History of Java. Penerj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin dan Idda Qoryati Mahbubah. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.

Ramadina, Savitri Putri. “Analisis Perupaan Situs Megalitik Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat”. ITB Journal Visual Art & Design. No. 1, Vol. 4 (2013): 53.

RI, Departemen Agama. Deskripsi Aliran Kepercayaan/Paham-Paham Keagamaan. Jakarta: Lembaga Kerohanian/Keagamaan, 1975.

223

Ricklefs, M. Calvin. War, Culture and Economy in Java: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura Period. Sydney: Asian Studies Association of Australia/ASAA, Southeast Asia Publication Series No. 24, 1993.

______. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk USA: East Bridge, 2006.

______. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Penerjemah: Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008. Cet. II.

______. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013.

Roosa, John dan Ratih, Ayu. “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektivitas”. Dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (eds.). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV- Jakarta, 2008.

Rosidah, Nur. “Fundamentalisme Agama”, Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1 (Mei 2012), hlm. 2.

Rosyidi, Ajip. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Cirebon: t.p., 1966.

Ruchiyat, Y. “Agama Djawa Sunda”. Seri Pastoral, No. 95 (1983): 9.

Rush, James R. Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, 1330-1985. Penerjemah: Maria Agustina. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

224

S, Suwarno Imam. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Saptono, Nanang. “Di Jateng Ada Candi, di Jabar Kabuyutan”. Kompas, 3 September 2001.

Segal, Robert A. “Theories of Religion”. dalam John R. Hinnells (ed.). The Routledge Companion to the Study of Religion. New York: Routledge, 2005.

Seng, Ann Wan. Rahasia Bisnis Orang China. Penerjemah: Widyawati. Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007. Cet. VI.

Setiawan, Eko. “Eksistensi Budaya Patron Klien dalam Pesantren: Studi Hubungan Antara Kiai dan Santri”. Ulul Albab, No. 2, Vol. 13 (2012): 141.

Shadily, Hassan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1989.

Shm, A. Suhandi. “Agama Djawa Sunda (ADS) dan Sebab-Sebab Penganutnya Beralih Kepercayaan ke Agama Katolik”, dalam Kusman, dkk. (eds.), Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Rangka Memperingati 30 Tahun Fakultas Sastra Universitas Padjajaran. Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988.

Shigeru, Sato. “The Pangreh Praja in Java Under Japanese Military Rule”. Dalam Japan, Indonesia and The War. Peter Post and Elly Touwen-Bouwsma (eds.). Leiden: KITLV Press, 1997.

Singgih, Emanuel Gerrit. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.

Siregar, Ferry Muhammadsyah. Setiawan, Nur Kholis dan Setio, Robert. “Religous Leader and Charismatic Leadership in Indonesia: The

225

Role of Kyai in Pesantren in Java”. Kawistara, No. 2, Vol. 3 (Agustus 2013): 142.

Smail, John R.W. Bandung Awal Revolusi: 1945-1946. Penerj. Muhammad Yesa Aravena. Jakarta: Ka Bandung, 2011.

Soeganda, R. Akip Prawira. Upacara Adat di Pasundan. Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1982.

Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990.

Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman (eds.). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fak. Ekonomi UI, 1964.

Straathof, W. Agama Djawa Sunda (ADS); Hartina Agama Djawa Sunda. Garut: tanpa penerbit, 1970.

______. dalam Basis, April 1971, hlm 203.

______. “Agama Djawa-Sunda: Sedjarah, Adjaran dan Cara Berfikirnja-II”, Basis, 1971, hlm. 287.

Subagya, Rahmat. Kepercayaan (Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan) dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1976. Cet. II.

Sudarsono, Endang Caturwati. Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat. Jakarta: Aksara Indonesia, 2003.

Sudarwanto, Budi dan Murtomo, Bambang Adji, “Studi Struktur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Rumah „Pencu‟ di Kudus”. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Vol. 2, No. 1 (Januari 2013): 35 - 42.

226

Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

______. “Berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda”. dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (eds.).Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012. Jil. 5.

______. “Kehidupan Masyarakat Pedesaan”. Dalam Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan Kebangsaan. Taufik Abdullah dkk. (eds.). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012. Jil. 5.

Sulaksana, Nana (dkk.). “Karakteristik Geomorfologi yang Berkaitan dengan Potensi Energi Terbarukan di Wilayah Kuningan, Jawa Barat”. Dalam Majalah Geologi Indonesia, Vol. 26, No. 3 (Desember 2011): 135.

Sulendraningrat, Pangeran Suleman. Sejarah Cirebon. Cirebon: Balai Pustaka, 1974.

Sulistiyani, Sintha. “Kajian Visual dan Makna Ornamen Hias Pada Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kabupaten Kuningan”. skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Jurusan Pendidikan Senir Rupa UPI, 2013.

Suprapti, Mc. (ed.). Pola pemukiman penduduk pedesaan daerah Propinsi D.I. Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1980-1981.

Suprobo, Indro. “Rekonsiliasi Kultural Agama-Agama: Sebuah Pengalaman”, dalam Apendiks, Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam. Depok: Desantara, 2002.

227

Suryanegara, Ahmad Mansyur. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010.

Sutherland, Heather. The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong: Heinemann Educational Books [Asia] Ltd., 1979.

Sya, M. Ahmad. Geografi Pariwisata Kabupaten Kuningan. Garut: CV. Gadja Poleng, 2005.

Syahid, Achmad. “Peta Kerukunan Umat Beragama Propinsi Bengkulu”. Dalam Riuh di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2003.

Syaripulloh. “Kebersamaan dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat”. Jurnal Sosio Didaktika, No. 1, Vol. 1 (2014): 75.

Tholkhah, Imam. Mewaspadi dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan DEPAG RI, 2001.

Tischler, Henry L. Introduction to Sociology. Chicago: Holt, Rinehart and Winston, 1990.

Usman, Hasan. Metode Penelitian Sejarah. Penerj. Mu‟in Umar dkk.. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG, 1986.

Van Bruinessen, Martin. "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"). Ulumul Qur'an, Vol. III, No. 1 (1992): 16-27.

228

van Niel, Robert. “Rights to Land in Java”. Dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). T. Ibrahim Alfian (eds.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Cet. II.

Vlekke, Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia, Penerjemah: Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. Cet. IV.

Vreede, A.G. “Onderzoek naar de Ornvang der Werkloosheid op Java (November/Desember 1930)”. Koloniale Studien (April 1931): 262.

Watt, W. Montgomerry. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Weber, Max. Sosiologi Agama: Sejarah Agama, Dewa, Taboo, Nabi, Intelektualisme, Asketisme, Mistisisme, Etika Religius, Seksualitas dan Seni. Penerj. Muhammad Yamin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.

Wessing, Robert. “Life in the Cosmic Village: Cognitive Models in Sundanese Life”. Dalam Art, Ritual and Society in Indonesia. E.M. Bruner and J.O. Becker (eds.). Athena: Ohio University Center for International Studies (Ohio University Papers in International Studies, Southeast Asia Series, No. 53), 1979.

Wiardi, Didi. “Bertahan untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur”. Dalam Sisi Senyap Politik Bising. Budi Susanto (ed.). Yogyakarta: Kanisius, 2012. Cet. V.

Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Yusra, Abrar. Komat-Kamit Selo Soemardjan: Biografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1995.

229

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Laporan Penelitian, Skripsi, Tesis dan Disertasi

Anang. “Mistisisme dalam Aliran Kebatinan: Agama Jawa Sunda”, Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.

Aqiqah, Siti Umi. “Praktik-Praktik Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Studi Kasus Sunat pada Kepercayaan Madrais”, Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Cigugur, Kasi Pemerintahan Kelurahan. “Laporan Kinerja Tahun 2014 dan Rencana Kerja Tahun 2015”. Peny. Yayat Hidayat. Cigugur: Pemerintah Kelurahan Cigugur, 2014.

Geise, N.J.C.. “Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten”. Leiden: Leiden University, 1952.

Garna, Judistira K.. “Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia”. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988.

Hidayatullah, Taufiq. “Khitan Wanita Perspektif Hukum Islam dan Kesehatan”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Khayati, Latifah Nur. “Hubungan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Motivasi Berprestasi pada Siswa MTs Wathaniyah Islmaiyah Kebumen”. skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012.

230

Ma‟mun, Ujang. “Pikukuh Tilu: Jalan Menuju Kesejatian Manusia (Studi Ajaran Kebatinan Agama Djawa Sunda)”, Skripsi tidak diterbitkan, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Moertono, Soemarsaid. “State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century”. Disertasi tidak diterbitkan. Ithaca: Cornell University [Modern Indonesia Project Monograph Series], 1968.

Nawawi. “Khitan menurut Pandangan Kristiani dan Muslim (Studi Komparatif Kristen dan Islam)”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Nugrahanto, Widyo. “Dinamika Aliran Keperayaan Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan 1885-2007”. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Padjajaran.

Priadi, Kamelia Gumilani. “Interior Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Simbolisasi Pandangan Hidup Kelompok Penghayat Agama Djawa Sunda”. skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Fakultas Seni Rupa ITB, 2008.

Rosidin, Didin Nurul.“Kebatinan, Islam and The State: The Dissolution of Madraism in 1964”, Tesis tidak diterbitkan. Leiden: Leiden University, 2000.

Sekaryati, Tetty. “Tata Ruang dalam Rumah Tinggal Masyarakat Sunda di Sumedang ditinjau dari Gaya Hidupnya”. Tesis tidak ditertibkan. Bandung: FSRD-ITB, 1994.

Septayuda, Tata dkk., “Ngelmu Sejati Cirebon: Akar Sejarah, Aktor dan Ajarannya”, Penelitian tidak diterbitkan. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 26 April 2013.

231

SHM, A. Suhandi. “Latar Belakang Timbulnya Madraisme dan Proses Peralihan Para pengikutnya ke dalam Agama Katolik”, Skripsi tidak diterbitkan,. Bandung: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 1968.

Siddique, Sharon J. “Relics of the Past?: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java”. London: UMI, 1977.

Yuyun Wardatul „Uyun. “Interpersonal Relation: Sunda Wiwitan‟s Perception on Environment”. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Central for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Arsip dan Tulisan

ANRI. 1981. Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX. Laporan Arsip tentang Gerakan Agama Jawa-Sunda dari Madrais di Kuningan, Cirebon.

Djatikusumah, Pangeran (penulis). 1979. Paseban Tri Panca Tunggal. Tulisan cetak koleksi Pangeran Gumirat Barna Alam, Cigugur Kuningan.

Djatikusumah, Pangeran (penyusun). 1995. Pemaparan Budaya Spritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang. Tulisan cetak koleksi Pangeran Gumirat Barna Alam, Cigugur Kuningan.

Djatikusumah, Pangeran (penyusun). 2010. Pamaparan Budaya Spritual: Adat Cara Karuhun Urang. Tulisan cetak koleksi Pangeran Gumirat Barna Alam, Cigugur Kuningan. Diterbitkan Kusnadi dalam bahasa Sunda.

Regerings Almanaak voor Nederlandsch-Indië, (Batavia: Landsdrukkerij), untuk tahun 1903, 1914, 1939 dan 1940.

232

Wawancara

Wawancara dengan Didin Nurul Rosyidin, 21 Mei 2015.

Wawancara dengan Ira Indrawardana, 30 April 2015.

Wawancara dengan Pangeran Gumirat Barna Alam, 6 Juni 2015.

Wawancara dengan Abah Arga, 6 Juni 2015.

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

UU RI Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

UU RI Nomor 1 atau Penetepan Presiden RI Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Pernikahan.

UU RI Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Penetapan Menteri Agama No. 14/1955, tentang Penunjukan dan Pemberhentian serta Tugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk

Sumber Daring atau Online:

Arkeolog Temukan Altar Pemujaan Zaman Purba, yang dirilis pada tanggal 26 Juni 2013, diakses dari

233

http://www.jpnn.com/read/2013/06/26/178729/Arkeolog- Temukan-Altar-Pemujaan-Zaman-Purba, pada 11 Mei 2015. http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999 .04.0059%3Aentry%3D%2340976, diakses pada tanggal 17 Oktober 2015. http://media-kitlv.nl/all- media/indeling/detail/form/advanced/start/1?q_searchfield=regent +van+koeningan, diakses pada tanggal 3 Juni 2015.

Wawancara dengan seorang psikolog Universitas Indonesia, Lifina Dewi, M.Psi., yang termuat dalam laman https://wirofm.wordpress.com/dampak-psikologis-anak-yang- dibesarkan-tanpa-figur-ayah/, diakses pada tanggal 2 Juni 2015.

Tim Penulis Komisi Liturgi dan Musik (KLM), Panduan Tata Ibadah: Masa Adven dan Natal 2014 serta Pra-Paskah dan Paskah 2015,(Rantepao: Komisi Liturgi dan Musik (KLM) Gereja Toraja, 2014), hlm. 30-31. Koleksi Gereja Toraja, http://www.gerejatoraja.com/news/panduan-natal-2014-dan- paskah-2015/ (diakses pada 12 Juni, 2015).

Jacobus Nana Janadi, dkk., Perjalanan 100 Tahun Gereja Santo Ignatius Cimahi 1908-2008, (Bandung: Keuskupan Bandung, 2008), hlm. 81., Buku-Buku Pedoman Keuskupan Bandung, http://bdbandung.my-php.net/Hal%2077%20- %20114_files/halaman81.htm (diakses pada 8 Juni 2015).

BIODATA PENULIS

Nama : Tendi, S.Pd., S.T., M.Hum Tempat Tgl Lahir : Kuningan, 06 Desember 1989 Alamat : Jl. Serua Bulak Raya, RT. 003 RW. 03, Kel. Pondok Petir, Kec. Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat Pekerjaan : Guru Alamat Pekerjaan : Jl. Ibnu Taimia IV, Komplek Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat No. HP : 0812 8720 5511 Riwayat Pendidikan : - SDN Andamui - MTS Pondok Pesantren Modern Al- Ikhlash - MA Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash - S1 Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - S1 Teknik Informatika, Sekolah Tinggi Teknik Telematika Cakrawala - S2 Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pengalaman Dalam : - International Leadership Camp, Victoria dan Luar Negeri University of Wellington - Education Evaluation in Germany, NSP - Reading the Politic of Budget Management, Sekolah Demokrasi - Wawasan Kebangsaan, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia

234