KAMPANYE BERNUANSA ‘SARA’ DALAM PILKADA DAN PILPRES

Oktaviani Sabarwati.S (52418012)

Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Katholik Widya Mandala Madiun

[email protected]

Abstrak

Dewasa ini, makin banyak nya isu-isu politik di Negara kita yang berkaitan dengan SARA (suku, ras, agama). Politik yang seharusnya berjalan damai dengan tujuan untuk membangun Negara malah jutru terpecah belah hanya karena permasalahan entah itu suku, ras, atau agama orang tersebut yang mencalonkan diri. Banyak dari masyarakat melihat calon pemimpin hanya dari perbedaan-perbedaan yang semestinya tidak jadi halangan untuk orang tersebut menjabat dan menduduki kursi politik untuk memimpin suatu daerah ataupun Negara dan tidak peduli dengan kinerjanya yang bagus.

Keyword: Isu politik, SARA, terpecah-belah

SARA adalah kepanjangan dari Suku Ras Agama dan Antargolongan, secara pengertian sara adalah pandangan dan tindakan yang dilakukan berdasarkan identitas yang meliputi suku, ras, agama dan antargolongan1. Isu sara ini menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan didalam suatu pilkada di . Dari sisi budaya, keberagaman ritual adat budaya, dan agama yang dijalani dan dihidupkan oleh ratusan etnisyang ada di Indonesia. Para politisi dan kandidat biasanya menggunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang pemilihan baik ketika pilkada berlangsung maupun setelah pilkada berlangsung agar mereka dapat suara yang memenangkan partai mereka.

1 file:///C:/Users/asus/Downloads/Skripsi_Mardiana.pdf Disini saya mengambil contoh dalam Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI tahun 2017 diikuti oleh 3 pasangan calon yaitu: 1. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, 2. -, 3. Anies Rasyid Baswedan- Sandiaga Salahuddin Uno.

Mereka saling bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat dengan berbagai macam kampanye. Seperti terjun langsung ke masyarakat menengah bawah, mengikuti berbagai acara keagamaan, mendekati tokoh agama tertentu, dan masih banyak lagi.

Disini saya akan berfokus kepada pemilihan Gubernur dengan nomor urut 2 yaitu Ahok- Djarot. Mereka didukung pleh partai PDIP, Hanura, Nasdem, dan Golkar. Ahok adalah Gubernur pertama keturunan Tionghoa yang lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966 dengan nama Tionghoa Zhong Wanxue. Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 19 November 2014 menggantikan Gubernur yang terpilih menjadi Presiden RI pada Pilpres 2014.

Persoaalan yang paling tersorot yaitu kasus Ahok yang berawal dari pidatonya di Pulau Seribu. Ia membahas ayat surat Al-Maidah ayat 51. Didalam pidatonya disinilah Masyarakat bahwa Ahok telah menistakan suatu agama yaitu agama Islam dan juga Ia berseteru dengan kelompok Islam FPI. Menurut para survey penistaan agama yang dilakukan tahun lalu merusak elektabilitas Ahok, 57% responden berpendapat Ahok menghujat agama, 27% tidak setuju dengan tuduhan itu, 15-16% tidak tahu.

Sebelum kasus penistaan agama muncul, Ahok unggul dikarenakan kepuasan warga DKI dengan Kinerja Ahok namun sekarang harus tergeser karena warga harus berpikir ulang untuk memilih Ahok semenjak kasus tsb.

Islam memandang politik adalah sebagian dari bangunan yang utama. Hubungan politik dan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentramdalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, bahkan politik sekalipun harus dilandasi dengan ajaran-ajaran agama. Masyarakat Islam yang berkembang secara politik adalah sebuah masyarakat hokum. Hal ini mengacu kepada perbedaan filsafat barat dan timur. Kalau orang timur itu menerima otoritas tertentu termasuk agama yang mayoritas akan mengatur segala hal.2

2 Diskursus Pancasila Dewasa Ini, Dr. Agustinus W. Dewantara S.S., M.Hum Ras, etnis dan agama menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan di Indonesia. Di era Orde Baru, isu seputar identitas kultural tersebut ditambah dengan agama dan antargolongan diberi istilah sebagai isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan(SARA). Keberadaan suu, ras, dan agama adalah realitas sekaligus keunikan dan kekayaan Indonesia. Dari sisi budaya, keberagaman ritual adat budaya dan agama yang dijalani dan dihidupkan oleh ratusan etnis yang ada di Indonesia.3

Isu sara juga banyak diobrolkan bebas dimedia social, sebagai kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politik dalam pemilihan kepala daerah(Pilkada). Kasus tentang isu Sara yang paling gress dimunculkan ialah tentang sosok Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok yang berasal dari etnis China dan beragama Kristen.

Isu sara tidak terlepas dari pemberitaan Ahok, karena sososk Ahok yang dari kalangan China yang menduduki kursi Gubernur. Media Masa juga banyak menyoroti sosok Ahok yang ramai membicarakan Isu Sara, tapi penegasan dari Ahok sendiri memandang bahwa ia tidak melakukan Isu Sara seperti yang media bicarakan tentang dirinya.4

3 Nina Widyawati, Etnis dan Agama Sebagai Isu Politik, Jurnal masyarakat dan budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015, h.266

4 Xena levina Atmadja, Analisis Framing terhadap pemberitaan terhadap Basuki Tjahja Purnama di media Online, Jurnal E-komunikasi, Volume 2 No.1 Tahun 2014, h..2 Menurut saya, kita sebagai warga Indonesia yg baik jangan terlalu terprovokasi oleh hal-hal yang belum tentu kenyataannya seperti itu. Inilah kenapa Demokrasi kita tidak ideal. Dikarenakan tidak adanya orientasi hukum karna rakyat yang memerintah dan juga Mayoritas selalu menang atas Minoritas.5 Itulah kenapa Mayoritas berkata A, dan banyak yang percaya atau mengikutinya. Karna Minoritas selalu kalah suara maka dalam hal apapun Minoritas selalu mengikuti Mayoritas. Tapi bukankah kita sebagai rakyat Indonesia harus menghargai pendapat orang lain? Bukankah sebagai sesama warga Indonesia kita harusnya tidak terpecah-belah hanya karna permasalahan SARA? Bukankah Indonesia sangat beragam? Sangat memprihatinkan jika Bangsa ini terus saja mempersoalkan tentang SARA. Hanya karena suatu tokoh dari etnis tertentu maka apa dia tidak pantas untuk menjadi pemimpin suatu daerah? Seharusnya rakyat lebih bisa melihat kinerja yang telah di berikan bagi suatu daerah dan bukan terprovokasi oleh suatu golongan tanpa benar adanya.

Dan juga yang telah memecah-belah bangsa yaitu aksi 212 pembela Islam yang mendukung Ahok untuk dihukum karena yag “katanya” menistakan agama Islam. Untuk apa? Bukankah itu hanya akan membuat bangsa ini yang kaya keberagaman jadi terpecah-bela?

Dan yang hangat baru-baru ini yaitu REUNI AKBAR 212. Isu itu bukan lagi berkutat pada penistaan agama yang dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebab, perkara Ahok sudah selesai di meja pengadilan. Begitu kata pengamat politik dari Universitas Paramadina, Luthfi Assyaukanie dalam diskusi bertajuk "Reuni Akbar Alumni 212, Melacak Motif, Menimbang Implikasi, Sosial Politik" di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (16/11). Dia menduga ada isu yang lebih besar dari kasus Ahok, yang akan diusung dalam reuni nanti. "Aksi 212 isunya lebih besar dari Ahok, konteksnya bukan Ahok. Kalau isunya Ahok maka harusnya sekarang selesai," katanya. Lebih lanjut, Luthfi menjabarkan bahwa Aksi Bela Islam 212 yang digelar tahun 2016 lalu, tidak hanya dihadiri oleh demonstran yang tidak suka dengan aksi penistaan yang dilakukan Ahok.6

5 Diskursus Pancasila Dewasa Ini, Dr. Agustinus W. Dewantara S.S., M.Hum

6 https://politik.rmol.co/read/2018/11/16/366622/Isu-Reuni-Akbar-212-Lebih-Besar-Ketimbang-Kasus-Ahok- Aksi itu juga dihadiri orang-orang yang tidak suka dengan Joko Widodo lantaran dianggap menghalangi proses hukum terhadap Ahok.

Alhasil, Ahok pun mendekam di Rumah Tahanan Mako Brimob, Depok, selama dua tahun usai majelis hakim memutusnya bersalah dalam kasus penistaan agama.

Usai Ahok mendekam di penjara, sebetulnya PA 212 sudah menunaikan tugasnya. Namun, perpecahan mulai timbul. disitu hadir pula Calon Presiden RI nomor urut 2 yaitu Prabowo Subianto.

Menurut kesimpulan saya, umat islam ingin berkuasa dalam Pemilu, Pilkada, dan sebagainya. Dan itu adalah hal yang salah karena bagaimanapun juga Negara kita kaya akan perbedaan, Minoritas juga ingin didengarkan. Buakankah alangkah baiknya, semua itu dengan cara kekeluargaan?

Dengan menelisik kelanjutan kegiatan alumni 212 yang diadakan setelah Basuki Tjahaja Purnama dipenjara dalam kasus penistaan agama dan kalah dalam Pilkada DKI Jakarta, pengajar teologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor DR. Qasim Mathar, menilai alumni 212 sudah jelas gerakan politik.

"Karena agenda mereka sebenarnya sudah selesai. Kalau agenda utamanya menjatuhkan Ahok, memberhentikan Ahok sebagai gubernur, itu sudah tercapai. Nah, sekarang mereka teruskan dengan demo-demo dan kelihatan terus akan berkelanjutan. Itu sudah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan," kata Profesor Qasim.7

Dua dasawarsa reformasi rupanya belum sepenuhnya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya, demokrasi mengalami kemunduran. Dua masalah yang dinilai berkontribusi pada kemunduran demokrasi adalah korupsi dan intoleransi.8

7 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42184928

8 https://www.voaindonesia.com/a/survei-lsi-gerakan-212-picu-naiknya-intoleransi-di-indonesia/ 4585895.html Berikut ini survey Menurut peneliti senior LSI Burhanudin Muhtadi:

Mayoritas warga Muslim (54 persen) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar warga Muslim (52 persen) keberatan kalau orang non-Muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya.

Burhanudin menambahkan 52 persen warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi wali kota, bupati, atau gubernur. Sebanyak 55 persen warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi wakil presiden. Penolakan makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah presiden, di mana 59 persen warga Muslim keberatan bila non-Muslim menjadi presiden.

Sebaliknya, kata Burhanudin, mayoritas warga non-Muslim (84 persen) tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan, 70 persen tidak keberatan bila warga Muslim membangun tempat ibadah, 78 persen tidak menolak kalau orang Muslim menjadi wali kota, bupati, atau gubernur, 86 persen warga non-Muslim tidak keberatan jika orang Muslim menjadi presiden atau wakil presiden. 9

Kesimpulannya yaitu, tidak ada yang menistakan dan dinistakan. Yang ada hanya sekelompok orang yang hanya ingin berpolitik tapi mengatas namakan agama. Contoh sederhananya saja, mengapa orang budha tidak tersinggung dan mengatakan bahwa Islam menistakan agama mereka saat umat Islam melakukan pemotongan hewan qurban? Sedangkan dalam agama budha, hewan adalah hal yang paling disucikan.

Alangkah indahnya jika kita hidup damai dan harmonis dalam keberagaman di Indonesia 

9 https://www.voaindonesia.com/a/survei-lsi-gerakan-212-picu-naiknya-intoleransi-di-indonesia/ 4585895.html KATA PENGANTAR

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Dewantara, A. W. (2017). DIKTAT ETIKA-FILSAFAT MORAL. Yogyakarta: PT Kanisius.

Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia).

Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno).

Dewantara, W. Agustinus (2017) Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Yogyakarta. Kanisius.

DEWANTARA, A. W., Lasiyo, M. A., & Soeprapto, S. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan Bisnis dengan Studi Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40. https://www.voaindonesia.com/a/survei-lsi-gerakan-212-picu-naiknya-intoleransi-di- indonesia/4585895.html https://www.voaindonesia.com/a/survei-lsi-gerakan-212-picu-naiknya-intoleransi-di- indonesia/4585895.html https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42184928 https://politik.rmol.co/read/2018/11/16/366622/Isu-Reuni-Akbar-212-Lebih-Besar- Ketimbang-Kasus-Ahok-

Nina Widyawati, Etnis dan Agama Sebagai Isu Politik, Jurnal masyarakat dan budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015, h.266

Xena levina Atmadja, Analisis Framing terhadap pemberitaan terhadap Basuki Tjahja Purnama di media Online, Jurnal E-komunikasi, Volume 2 No.1 Tahun 2014, h..2