Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

VOLUME 05, No. 02, April 2019: 150-166

KONSEP LARAS SALENDRO R.M.A. KOESOEMADINATA DALAM PENTATONIS RAGAM LARAS

Ega Fausta Pengkajian Seni Musik Penciptaan dan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Institut Seni Surakarta [email protected]

ABSTRACT Pentatonic Angklung with variety of tunings (APRL) is one of the angklung innovation products which is created in 2017 through an experimental process by Endah Irawan et.al. Generally, it is an ansamble music consisting of several types of instrumens made of bamboo which has orchestration concepts like . This ensemble is a recent innovation in the world of traditional Sundanese art because it has distinctive pattern / system of scales which combines several patterns of dissolution in Sundanese karawitan namely Salendro, Degung and Madenda, which are commonly found in different ensembles. This paper will present result of the research with using convergent parallel mixed method to find out the concept of dissolution which is applied in pentatonic angklung with a variety of tunings (APRL) adapted from the concept of laras salendro 15 tone by R.M.A. Koesoemadinata. This result become the reason angklung pentatonis ragam laras is able to play several genres of Karawitan Sunda music which are usually play on the different ensambles.

Keywords: Angklung, Laras, Salendro

ABSTRAK Angklung pentatonis ragam laras (APRL) merupakan salah satu produk inovasi angklung yang diciptakan pada tahun 2017 melalui proses eksperimen oleh Endah Irawan dkk. Angklung pentatonis ragam laras (APRL) merupakan suatu ansambel musik yang terdiri dari beberapa jenis instrumen yang terbuat dari bahan bambu yang memiliki konsep orkestrasi seperti gamelan. Ansambel ini menjadi suatu inovasi baru dalam dunia seni tradisional Sunda karena memiliki pola pelarasan/ sistem tangga nada khas yang menghimpun beberapa pola pelarasan dalam karawitan Sunda yaitu Salendro, Degung dan Madenda yang biasa terdapat pada ansambel yang berbeda- beda. Tulisan ini akan menunjukkan hasil penelitian yang menggunakan metode campuran paralel konvergen untuk mengetahui konsep pelarasan yang diterapkan dalam angklung pentatonis ragam laras yang diadaptasi dari konsep laras salendro 15 nada R. M. A. Koesoemadinata. Hal ini sekaligus menjadi alasan angklung pentatonis ragam laras mampu memainkan beberapa genre musik karawitan Sunda yang umumnya dimainkan dengan ansambel yang berbeda-beda

Kata Kunci: Angklung, Laras, Salendro

150 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

PENGANTAR perlahan oleh para pendukungnya. Tidak ada referensi khusus yang Salah satu produk hasil inovasi pada menunjukkan dan menjelaskan asal mula angklung adalah Angklung Pentatonis peristilahan angklung dalam budaya Ragam Laras (APRL) yang diciptakan masyarakat suku Sunda. Angklung oleh Endah Irawan dkk., di tahun 2017. tradisi yang tersebar di beberapa wilayah Angklung pentatonis ragam laras (APRL) di Jawa Barat pada umumnya memiliki ini sengaja diproduksi dan disebarluaskan konteks pertunjukan yang sama, yakni untuk: (1) menambah daya nilai tawar konteks yang berkaitan dengan pertanian angklung Indonesia; (2) memperkaya (Hermawan, 2017: 23). Adapun menurut ragam angklung Sunda yang selama ini Endah Irawan, angklung didefinisikan sudah lebih dulu dikembangkan melalui sebagai bagian dari budaya musik yang angklung diatoniknya Daeng Sutigna dan berkembang pada masyarakat agraris Mang Udjo Ngalagena; (3) merevitalisasi di Sunda/Nusantara. Alat musik ini angklung-angklung Sunda yang telah ramah lingkungan, berwarna bunyi terpinggirkan, seperti: angklung gubrag, khas, komunal, murah, praktis, luwes, angklung sered, angklung barang, tidak memandang usia, dan sangat cocok angklung bungko, dan angklung Sunda untuk alat edukasi (Irawan, dkk. 2017: lainnya; (4) mengatasi kesenjangan iv). materi pendidikan seni; dan (5) membuka Tidak dapat dipungkiri, angklung peluang kerja masyarakat (Irawan dkk, tergolong pada salah satu jenis musik 2017: 8). tradisi yang masih eksis hingga saat ini. Di dunia karawitan Sunda tradisi Hal tersebut ditunjang oleh beberapa dikenal beberapa genre–genre musik faktor yang mendukung seperti yang biasa dipertunjukkan. Genre- banyaknya produk-produk hasil inovasi genre seni Sunda ini di antaranya angklung yang dieksplorasi oleh para seperti kiliningan, wayang golek, degung, seniman dari segi bentuk, sistem tangga celempungan, cianjuran atau nada juga teknik memainkannya. tembang, tarawangsa, dan genre seni Kreativitas, sembarang kreativitas angklung yang lain. Genre-genre tersebut, adalah proses pengungkapan yang umumnya, dipertunjukkan dengan akan melahirkan suatu inovasi. Inovasi menggunakan waditra (ansambel) yang itu, karena ditemukan oleh manusia berbeda, kecuali waditra kiliningan yang hidup bermasyarakat, berorientasi dan wayang golek yang relatif sama- kepada kepentingan masyarakat (Kayam sama menggunakan gamelan salendro. 1981, 47). Inovasi yang pada dasarnya Waditra kiliningan berbeda dengan merupakan hasil dari serangkaian degung, kacapi tembang, tarawangsa, kreativitas juga dilakukan sebagai upaya atau waditra angklung tradisi yang lain. penyelamatan suatu kesenian dari Keunikan APRL ini, meskipun memiliki kondisi stagnasi ataupun kejenuhan yang satu ansambel, dapat digunakan untuk akan membuatnya ditinggalkan secara mempertunjukkan beberapa genre

151 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166 karawitan Sunda seperti kiliningan, enam laras yang biasa digunakan dalam wayang golek, degung, dan calung. sajian wayang golek purwa yaitu laras Keunikan lain dari angklung pentatonis salendro, pelog degung, pelog jawar, ragam laras ini adalah adanya timbre madenda, mataraman, liwung, sorog baru atau karakteristik dan warna suara pelog jawar dan sorog pelog degung baru, sebagai instrumen musik yang (2004: 138). Berbeda dari gamelan Selap, memiliki konsep orkestra seperti gamelan APRL ini dibuat dengan mengembangkan yang umumnya terbuat dari logam. penggunaan laras salendro padantara Hingga saat ini, sekurang-kurangnya menurut R.M.A. Koesoemadinata hingga terdapat 13 instrumen musik angklung kini masih menjadi persoalan yang dan alat musik bambu lainnya yang kontroversial di kalangan para seniman telah dibuat. Ansambel baru ini telah akademisi dan seniman praktisi. Sebagian diujicobakan dan didokumentasikan besar seniman meyakini bahwa pelarasan melalui perekaman beberapa sampel karawitan Sunda disesuaikan dengan lagu dari enam genre karawitan Sunda rasa laras masing-masing seniman bukan yang masih hidup yaitu wayang golek, berdasarkan hitungan jarak antar nada kiliningan, degung, tembang Cianjuran, yang cenderung lebih sistematis dan kawih wanda anyar Mang Koko, dan matematis seperti telah diungkap R. M. calung. Rekaman tersebut menjadi A. Koesoemadinata melalui teori larasnya. bukti konkret bahwa APRL karya Endah Kepustakaan yang menulis angklung Irawan mampu memainkan beberapa pentatonis ragam laras (APRL) sebagai genre karawitan Sunda yang umumnya produk inovasi yang lahir di tahun dimainkan dengan menggunakan 2017 hingga saat ini belum banyak ansambel berbeda-beda. Garapan ditemukan, kecuali dua hal yaitu laporan aransemen lagu-lagu tersebut selain penelitian berjudul “Eksperimen Angklung menjadi bukti juga menjadi dampak Pentatonik melalui Pembuatan Alat dan keberadaan inovasi tidak hanya berhenti Karya Musik untuk Menunjang Industri pada wujud ide dan bentuk fisiknya Kreatif di Kabupaten Bandung Jawa Barat” secara organologi tetapi juga pada (2017) dan informasi singkat yang tertulis produk-produk yang lahir dalam bentuk- di dalam buku program Internasional bentuk karya musikal yang bisa dinikmati Gamelan Festival 2018. Selain tulisan masyarakat secara umum. dan penelitian yang terkait dengan objek Penerapan laras dalam APRL ini material angklung pentatonis ragam memiliki kelebihan dan keunikan yang laras, terdapat tulisan yang memiliki mirip dengan gamelan selap secara kemiripan terkait dengan objek formal konsep. Namun, kemunculan gamelan penelitian yaitu tentang inovasi dan selap lebih dominan digunakan untuk laras salendro Machjar. Tulisan tersebut mendukung pertunjukan wayang golek adalah Tesis Caca Sopandi yang berjudul purwa. Menurut Weintraub, dalam Kajian Inovasi Gamelan Selap yang secara gamelan selap sendiri paling tidak terdapat konsep memiliki kemiripan dengan objek

152 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

APRL yang akan diteliti. Perbedaan pentatonis ragam laras ini merupakan mendasar antara Gamelan Selap dengan salah satu upaya pemanfaatan sumber APRL sebagai objek penelitian terletak daya lokal dan usaha pelestarian pada fungsi instrumen musik dan laras salah satu produk seni musik tradisi atau sistem tangga nadanya. Gamelan nusantara yang bernilai dan memiliki Selap umumnya hanya dapat digunakan kearifan lokal. Di dalam tradisi budaya untuk mendukung pertunjukan Wayang masyarakat suku Sunda, Angklung Golek karena sistem laras yang diterapkan dianggap sebagai representasi tradisi memuat percampuran laras pelog dan masyarakat Sunda lama; penjaga salendro serta mataraman yang tentunya keseimbangan kosmologi ‘dunia atas berbeda dengan APRL yang menerapkan dan bawah’ atau antara manusia dengan laras salendro padantara dan laras–laras penguasa di Kahiyangan; dipertunjukkan turunannya. saat kegiatan menanam/memanen padi; Uraian di atas tentang gambaran dan bentuk sajian ritual musikal untuk umum keunikan–keunikan yang terdapat Dewi Padi atau dalam mitologi Sunda pada APRL ini sebetulnya dapat dikaji disebut Nyi Pohaci Sanghyang Sri (Dewi dari berbagai aspek atau sudut pandang. Sri). Musikalisasi tabuhan angklung Namun, dalam hal ini permasalahan adalah pengejawantahan keinginan yang paling menarik adalah terutama Nyi Pohaci untuk memberi ‘spirit’ seputar persoalan-persoalan tentang kepada tanaman padi yang ada di ‘dunia penerapan konsep laras salendro bawah’. Seolah-olah seperti kontrak R.M.A. Koesoemadinata. Penelitian ini yang disepakati antara Nyi Pohaci menggunakan metode campuran tipe dengan manusia Sunda (Baier, 1985: paralel konvergen (convergent parallel 9). Hubungan reciprocal (timbal-balik) di mixed method) yang menggabungkan mana esensi garap tetabuhan angklung dua jenis data yaitu data kualitatif dan ditujukan agar tanaman padi tumbuh, data kuantitatif. sebagai suatu bentuk berkembang, dan menghasilkan panen rancangan metode campuran, penelitian yang melimpah, sepanjang manusia ini mengumpulkan atau menggabungkan Sunda konsisten untuk ‘menghibur’ Dewi data kuantitatif dan kualitatif agar dapat Padi, dan merawatnya selama tahapan memberikan analisis masalah penelitian siklus pertanian berlangsung. Selama secara komprehensif (Cresswell 2018: 21). musim tanam, komunitas masyarakat adat Sunda di Banten Selatan atau PEMBAHASAN Kanekes memasang calintu dan kolecer, Gambaran Umum Angklung Pentatonis yakni alat dari bambu, menghasilkan Ragam Laras bunyi berdengung apabila tertiup angin. Berdasarkan latar belakang Bunyi-bunyian tersebut difungsikan permasalahan serta fenomena yang untuk menemani dan menghibur Dewi terjadi sebagaimana telah disinggung Padi di ladang, agar ‘hatinya’ senang dan sebelumnya, penciptaan angklung padi pun tumbuh sumbur (Mack, 2003:

153 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

26). Adapun bagi masyarakat Kenekes, musisi nasional. Peristiwa ini berdampak kehadiran instrumen angklung dan juga pada suasana politik dan kerja pertunjukannya, serta padi dengan Nyi sama Indonesia Malaysia yang kemudian Pohacinya tidak akan bisa dilepaskan dari menjadi tidak terjalin dengan baik. kepercayaan mereka akan ‘kebenaran’ Namun solusi yang dilakukan, kemudian carita pantun Lutung Kasarung dan cerita ditindaklanjuti dengan penyerahan surat pantun Paksi Keling (Hermawan, 2017: dari Indonesia melalui Kementerian 25). Kebudayaan dan Pariwisata ke pihak Seiring dengan perubahan zaman, UNESCO selaku badan pengurus budaya bentuk kearifan lokal (local genius) dunia. Dengan jeda sekitar satu tahun tersebut dianggap nonsense, tidak masuk menunggu jawaban UNESCO, akhirnya akal, tahayul, dan di luar logika, apalagi pada tahun 2012 UNESCO memberikan dikaitkan dengan kekuatan transendental respons dan jawaban. Adapun inti dari tokoh mitologi bernama Nyi Sri jawaban mengatakan pertama, bahwa atau bunyi-bunyian dari angklung angklung yang dimiliki Indonesia yang membuat tanaman padi tumbuh tidak dapat diakui oleh Indonesia, subur. Hal tersebut menjadi salah satu karena penggunaan musikal tangga faktor penurunan eksistensi dan fungsi nada memakai tangga nada diatonis angklung dalam kehidupan masyarakat musik dunia (musik Barat). Pernyataan dari masa ke masa. Penurunan fungsi kedua, terdapat ungkapan ancaman, dan eksistensi jenis angklung tradisional yaitu apabila angklung Indonesia (Jawa yang dikenal juga dengan istilah angklung Barat) tidak melakukan inovasi, selama pentatonis menjadi suatu hal yang empat tahun ke depan, tepatnya tahun memilukan. Pada kenyataannya, hal 2016, maka angklung dapat diakui oleh tersebut menjadikan jenis angklung Malaysia serta Taiwan. yang saat ini lebih dikenal dan banyak Berangkat urgensi tersebut, salah digunakan masyarakat termasuk dalam satu seniman juga akademisi karawitan ruang lingkup dunia Pendidikan adalah Sunda yaitu Endah Irawan merasa jenis angklung diatonis. semakin yakin untuk merumuskan Menurut Endah Irawan, eksistensi gagasan eksperimen pembuatan angklung jenis angklung diatonis saat ini menjadi pentatonis ragam laras (APRL). Endah salah satu faktor terjadinya pengakuan/ Irawan, dkk. kemudian mulai membentuk claim Malaysia terhadap jenis kesenian suatu tim penelitian dan memulai untuk angklung yang terjadi pada tahun 2011 merumuskan gagasannya dalam sebuah (wawancara, 15 Oktober 2017). Peristiwa tulisan. Selanjutnya, setelah melalui ini tentunya mengundang reaksi dan proses pendalaman penguasaan konten respons masyarakat Indonesia khususnya eksperimen, kemudian diwujudkan dalam masyarakat Jawa Barat, komunitas bentuk proposal berlanjut mengajukan masyarakat seni pertunjukan juga para penelitian ke Dikti 2013, tapi hasilnya insan kesenian tradisional dan para gagasan ini tidak diterima. Kemudian

154 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis dilanjutkan dengan mengajukan proposal tabung bagian bawah digunakan bambu kembali, pada tahun 2014 pengajuan awi tali2. Berikut ini gambaran secara penelitian tentang penciptaan karya seni umum bentuk fisik beberapa instrumen dengan judul ”Eksperimen Pembuatan dalam ansambel angklung pentatonis Angklung Pentatonis Ragam Laras, dan ragam laras (APRL). Berdasarkan Eksperimen Pembuatan Musikalnya”, prosesnya, angklung pentatonis ragam dan ajuannya diterima. laras ini dibuat dengan mengacu pada Secara garis besar, eksperimen tiga buah babon laras yang terbuat dari yang dilakukan dalam proses penciptaan bahan besi untuk digunakan sebagai angklung pentatonis ragam laras (APRL) acuan tuning. ini terbagi ke dalam dua tahapan utama yaitu proses pembuatan instrumen dan proses garap musikal. Pada tahapan pertama yaitu pembuatan instrumen angklung pentatonis ragam laras, proses yang dilakukan sangat mempertimbangkan pengetahuan dan kearifan tradisional orang Sunda di dalam proses dari memilih bahan bambu Gambar 1 Angklung pentatonis ragam laras, meliputi: 2 unit angkloung melodi berkualitas, memotong, membentuk, takol, 2 unit melodi angklung, 2 unit mengasap, melaras, dan finishing. Bahan angklung kempyung, dan 1 unit angklung kenong. (Dokumentasi: Endah Irawan) pembuatan bambu yang diutamakan adalah jenis bambu lokal dan berkualitas sebagai sumber bunyi. Dasar eksperimen pembuatan angklung pentatonis ragam laras (APRL) mengacu kepada bentuk-bentuk angklung dan alat musik bambu tradisional, dari mulai bentuk angklung yang digetar/digoyang dan dipukul, juga alat musik bambu yang ditiup. Adapun jenis bahan baku yang digunakan adalah bahan bambu wulung (Gigantochloa Gambar 2 Beberapa instrumen Angklung Atroviolacea)1 yang digunakan pada pentatonis ragam laras. bagian tabung nadanya dan untuk (Dokumentasi: Ega Fausta)

2Bambu awi tali ini digunakan untuk bagian 1Bambu wulung ini sangat baik untuk membuat tabung bawah karena memiliki Bambu awi tabung nada angklung, karena memiliki keunikan tali ini digunakan untuk bagian tabung bawah tersendiri, antara lain: memiliki ruas bambu yang karena memiliki kepadatan yang lebih dan keras. panjang dibanding jenis bambu-bambu yang lain, Berbeda dengan bahan bambu wulung yaitu juga memiliki kualitas bunyi yang baik, dan kepadatannya kurang dan tidak keras sehingga warna yang menarik. menghasilkan bunyi kurang nyaring.

155 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

Selanjutnya, proses pembuatan laras dan surupan tersebut diperlukan karya musik atau proses garap musikal paling tidak 16 perangkat kacapi). diarahkan pada pembuatan orkestra Kemudian contoh selanjutnya; gamelan angklung pentatonis. Orkestrasi angklung selap hanya dapat mengakomodasi satu dikembangkan dari orkestrasi gamelan, laras salendro dengan satu surupan, satu dengan pembagian peran instrumen laras degung dua surupan, dan satu laras dari mulai instrumen yang berfungsi madenda dengan dua surupan. sebagai pembawa melodis, ritmis, hingga Angklung pentatonis ragam laras penanda struktur komposisi. Keragaman hadir sebagai perangkat instrumen nada dan wilayah nada menjadi dasar musik yang dapat mengakomodasi pengembangan komposisi garap musikal keragaman laras dan surupan yang angklung. Di sisi lain, komposisi musik terdapat dalam karawitan Sunda dalam garapan angklung pentatonis ragam satu perangkat instrumen musik, dengan laras difokuskan pada dua ranah yaitu memiliki 15 buah nada yang terdapat rearansemen lagu-lagu Sunda tradisional dalam satu oktaf. Adapun konsep dan penciptaan komposisi baru. musikal angklung pentatonis ragam Karawitan Sunda saat ini memiliki laras adalah re-aransement berbagai beberapa laras atau tangga nada repertoar lagu dalam berbagai genre (salendro, degung, madenda) yang populer musik karawitan Sunda. Dengan kata atau biasa digunakan sebagai media lain, sajian musikal angklung tersebut melodi lagu dan sajian instrumental. akan menyajikan repertoar lagu yang Laras-laras tersebut memiliki sistem terdapat dalam karawitan Sunda dengan surupan sebagai media transposisi keragaman laras dan surupannya. Dalam (perpindahan nada dasar dalam satu mewujudkan konsep musikal tersebut, laras) dan modulasi (perpindahan laras pola-pola permainan /tangga nada dalam satu kalimat melodi) klasik, calung, dan gamelan salendro untuk menghasilkan karakteristik melodi kemudian dipadukan dengan sistem yang diinginkan oleh penata musik atau pembagian musikal orkestrasi musik pencipta lagu. Barat. Kekayaan laras tersebut sejauh Sistem iringan orkestrasi pada ini belum mampu terakomodasi dalam angklung pentatonis ragam laras bentuk satu perangkat ansambel diwujudkan dalam fungsi masing-masing instrumen musik yang ada dalam instrumen musik yang berbeda satu karawitan Sunda, instrumen musik yang sama lain pada satu sajian musikal, ada sekarang bisa saja menghadirkan dengan rincian fungsi masing-masing keragaman laras dan surupan tersebut, sebagai berikut; dua perangkat angklung hanya saja harus menggunakan beberapa melodi, dua buah angklung saron sebagai perangkat instrumen musik (contoh; jika middle Rhytm section, dua buah angklung menggunakan instrumen musik kacapi, peking sebagai High Rhytm Section, maka untuk menghimpun keragaman dua buah angklung demung sebagai

156 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis balunganing gending atau song pattern nilai intervalnya (Herdini, 2002: 157). (satu oktaf lebih tinggi dari angklung Penulisan laras dalam karawitan Sunda kenong) dua buah angklung kenong (tangga nada musik Sunda) ditulis sebagai bass section, dan angklung adu menggunakan suatu sistem notasi yang manis sebagai chord system. dilambangkan dengan notasi angka yaitu Untuk melengkapi nuansa karawitan 1,2,3, 4, dan 5 yang dibaca da (1), mi (2), Sunda, maka sajian repertoar angklung na (3), ti (4), dan la (5). Adapun nama– ragam laras dilengkapi dengan kehadiran nama nada tersebut adalah 1 (Tugu), 2 alat bambu tambahan yaitu (Loloran), 3 (Panelu), 4 (Galimer) dan 5 dan alat musik lain yaitu yang (Singgul). difungsikan sebagai pembawa melodi Sistem notasi yang lebih dikenal pada sajian intro lagu dan pengiring dengan nama notasi Daminatila atau yang memberi tanda untuk memasuki dikenal juga dengan nama serat lagu dan mempertegas akhir melodi kanayagan tersebut diciptakan oleh lagu. Hingga saat ini, terdapat beberapa R.M.A. Koesoemadinata pada tahun 1923 repertoar lagu dari berbagai genre pada saat ia masih duduk dibangku lagu karawitan Sunda yang telah di sekolah Hogere Kweekschool (HKS) re-aransemen dengan menggunakan (Herdini, 2002: 133). Di antara sekian media angklung pentatonis ragam laras banyak karyanya, notasi Daminatila seperti lagu Kastawa, Baju Hejo, Sunda termasuk pada salah satu karya Mekar, Gunung Sari, Pati Lalaki, Es monumental yang cukup memberikan Lilin dan Kuring Leungiteun. Lagu-lagu dampak terhadap upaya penyelamatan tersebut telah didokumentasikan ke musik-musik tradisional, baik yang dalam bentuk CD. Selanjutnya, hasil buhun3 maupun yang berkembang inovasi angklung pentatonis ragam laras sekarang. Melalui notasi Daminatila, juga diharapkan dapat menjadi media upaya pendokumentasian musik-musik penciptaan karya-karya musik baru yang tradisional dapat dilakukan, sehingga dapat memperkaya khazanah kesenian keberadaannya dapat terselamatkan tradisi Sunda. sekurang-kurangnya dalam bentuk dokumentasi (Herdini, 2002: 132). Konsep Laras dan Laras Salendro Seperti contohnya lagu-lagu karya R.M.A. Koesoemadinata R.M.A. Koesoemadinata yang ditulis Menurut R.M.A Koesoemadinata lengkap dengan rumpaka dan notasi (1969: 16-17) laras berasal dari kata dalam buku-buku hingga saat ini masih raras (ra=matahari=indah, ras=rasa) dapat diketahui bahkan dapat dipelajari4. merupakan nada-nada yang intervalnya 3Bukan merupakan jenis kesenian tradisi yang pada setiap gembyangan teratur sesuai aktual, komoditif, dan masih hidup hingga saat dengan rasa-seni. Laras adalah susunan ini (Meminjam definisi dari Proposal Praktikum Kreativitas Semester Genap tahun 2017). nada, atau tangga nada, dalam satu 4Contohnya lagu-lagu R.M.A. Koesoemadinata oktaf yang telah ditentukan jumlah yang ditulis dalam buku Kawih Murangkalih Jilid 1-3 (tanpa tahun) dan buku Sari Arum (1950).

157 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

Dalam sistem notasi Daminatila, selain membedakan antara laras-laras tersebut terdapat lima nada utama (1 (da), 2 (mi), terletak pada cara pengaturan dan 3 (na), 4(ti), 5 (la)) yang disebut sebagai memilih interval nadanya saja (Herdini, murdaswara, terdapat pula nada-nada 2007: 54). Berangkat dari anggapan sisipan lainnya yang sering disebut tersebut, R.M.A. Koeseomadinata sebagai uparenggaswara seperti nada 1- melakukan percobaan untuk mencari (di), 2+ (meu), 3- (ni), 4+ (teu), dan 5+ (leu). nada-nada pelog dan salendro pada gitar. Ketertarikan R.M.A. Koesoemadinata Dari hasil percobaan tersebut ditemukan terhadap seluk beluk laras pelog kemiripan nada-nada laras nada pelog dan salendro sejak ia menjadi murid salendro dan madenda dengan nada- Kweeksschool (1916) di Bandung. Pada nada pada tangga nada musik Barat. saat itu, Indonesia masih menjadi negara Penemuan-penemuan tersebut jajahan Belanda sehingga kondisinya secara lebih lanjut menjadi bahan masih dapat dikatakan terbelakang, baik penelitian untuk mengetahui dari segi pendidikan, teknologi, ekonomi perbandingan frekuensi tiap nada dan maupun politik. Ia mendalami persoalan jarak antar nada yang terbentuk dari ini secara serius selama 46 tahun hingga laras-laras Sunda. Demi mendapatkan merumuskan hasil pemikirannya tersebut jawaban atas rasa penasarannya, R.M.A. ke dalam beberapa buku seperti buku Koesoemadinata melakukan berbagai Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara eksperimen pengukuran dan pembuatan dan Seni Raras. instrumen. Sehingga, pengetahuan Pemikiran R.M.A. Koesoemadinata R.M.A. Koesoemadinata tentang laras tentang konsep laras tidak dapat terlepas pelog dan salendro semakin mantap. dari segala pengalaman serta proses Selain itu, pertemuannya dengan belajar yang dilaluinya selama menempuh beberapa tokoh yang juga memiliki pendidikan formal. Ketika menempuh ketertarikan terhadap laras karawitan pendidikan di sekolah Kweekschool Sunda salah satunya adalah Jaap Kunst. (1916) R.M.A. Koesoemadinata mengikuti Menurut R.M.A. Koesoemadinata pelajaran musik Barat yang diberikan ,dalam karawitan Sunda terdapat dua oleh Slijper dari segi teori maupun laras induk, yaitu laras salendro dan praktik. Pengalaman belajar musik Barat pelog. Dari kedua laras ini melahirkan tersebut menjadi dasar pemikiran R.M.A. sub-sub laras. Laras salendro melahirkan Koesoemadinata dalam merumuskan laras madenda, dan degung, sedangkan laras pelog dan salendro ke dalam sebuah pada laras pelog, memunculkan teori. sub laras, pelog jawar, pelog sorog, Pada awalnya, R.M.A. dan pelog Liwung. Laras yang biasa Koesoemadinata beranggapan bahwa digunakan dalam karawitan Sunda yaitu semua musik yang ada di dunia ini hanya menggunakan laras pelog, salendro, menggunakan tangga nada musik Barat madenda, dan degung. Adapun jarak yang berjumlah 12 nada. Adapun yang interval tiap laras tersebut untuk lebih

158 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

Tabel 1 Pola Laras Pelog

1. Laras pelog Nd. Mutlak T S G P L T Sen 400 1331/3 1331/3 400 1331/3

Tabel 2 Pola Laras Salendro Padantara

2. Laras Salendro Padantara Nd.mutlak T S G P L T Sen 240 240 240 240 240

Tabel 3 Pola Laras Salendro Bedantara

2. Laras Salendro Bedantara Nd.mutlak T S G P L T Sen 282 212 212 282 212

Tabel 4 Pola Laras Madenda

3. Laras Madenda Nd.mutlak T S G P L T Sen 424 212 70 424 70

Tabel 5 Pola Laras Degung

4. Laras Degung Nd.mutlak T S G P L T Sen 424 70 212 424 70 jelasnya dapat lihat pada tabel di atas susunan nada yang membentuk laras. (Irawan, 2003: 88-89). Namun menurut Aton Rustandi informasi Secara visual berdasarkan jarak ukuran centuasi yang digunakan untuk antar nada atau jangkah, pola tersebut menjelaskan gejala empat laras tersebut di atas terlihat dapat membedakan patut diragukan, sebab tidak secara jelas setiap ciri keempat laras salendro, pelog, menunjukkan sumber suara yang diukur madenda, dan degung. Seperti jarak dan metode pengukurannya, dan seperti nada dari T (tugu) pelog ke S (singgul) mengabaikan subjektifitas rasa musikal pelog (400 sen) lebih jauh dari jarak pelarasan yang terdapat pada setiap nada T salendro ke S salendro (282 individu seniman, ataupun yang terdapat sen). Kemudian interval lebih jauh laras dalam setiap ukuran laras antar satu madenda dan degung masing-masing gamelan/waditra dengan gamelan atau nada T ke S sama (424 sen). Secara waditra yang lain (Mulyana, 2005: 138). teoretis, yang membedakan dari keempat Dalam tradisi karawitan Sunda, laras tersebut, berdasarkan patokan seperti halnya tradisi karawitan Jawa nada tugu (T) adalah jarak atau centuasi dan tradisi musik etnik nusantara yang masing-masing antar nada dalam satu lain standardisasi laras seperti halnya

159 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166 yang dikembangkan dalam sistem musik Tabel 6 Rakitan salendro 10 Nada Barat menjadi suatu hal yang tidak biasa. Nama-nama Frekuensi Interval Skema visual itu hanya ada dalam alam Nadada pikiran orang yang mengkaji, tetapi tidak 426 Hz Nem (Da) mencerminkan secara nyata realitas yang 401 Hz 120 sen Djawil (Meu) 373,5 Hz 120 sen Lima (Mi) berlaku di lapangan. Ketepatan atau 348,5+ Hz 120 sen Panangis (Ni) kesesuaian ukuran setiap laras tumbuh 325,5 Hz 120 sen Dada (Na) dalam diri seniman yang melaras, pada 303,3 Hz 120 sen Mangu (Neu) saat melaras gamelan, melaras kacapi, 283 Hz 120 sen Gulu (Ti) 264,5 Hz 120 sen Pamiring (Tie) melaras rebab, melaras suling, maupun 246,5 Hz 120 sen Pangasih (La) melaras suara. Inilah sisi menarik 230 Hz 120 sen Samaran (Leu) laras dan pelarasan yang terjadi pada Sumber: Herdini, 2004: 59 karawitan Sunda. Lebih spesifik pada laras Tabel 7 Rakitan Salendro 15 Nada salendro, berdasarkan hasil penelitian Frekuensi Interval Nama-nama Nada R.M.AKoesoemadinata, ia menemukan 435 Hz Loloran-miring (Mi- miring) bahwa susunan jarak antar nada pada 415 Hz 80 sen Nem-malang (Da- laras salendro adalah sama yaitu sebesar malang) 240 sen. Hal ini ia dapatkan setelah 397 Hz 80 sen Loloran (Mi) melakukan proses penelitian berupa 379 Hz 80 sen Panelu-miring (Na- pengukuran laras pada salah satu Miring) 362 Hz 80 sen Loloran-malang (Mi- gamelan yang ada di Bandung bernama malang) Gamelan Kyahi Mulya. Berdasarkan hasil 345,5 Hz 80 sen Panelu (Na) penelitian tersebut, kemudian R.M.A. 330 Hz 80 sen Gulu-miring (Ti- Koesoemadinata mengembangkan suatu miring) teori yang berinduk pada laras salendro 315+ Hz 80 sen Panelu-malang (Na- malang) padantara menjadi rakitan salendro 10 300,5 Hz 80 sen Gulu (Ti) nada di mana terdapat penambahan 287 Hz 80 sen Pangasih-miring masing-masing satu nada sisipan pada (La-malang) masing-masing nada utama. Berikut ini 274 Hz 80 sen Gulu-malang (Ti- susunan nada pada rakitan salendro 10 malang) 262 Hz 80 sen Pangasih (La) nada (Tabel 6). 250 Hz 80 sen Nem-miring (Da- Selain melakukan pengembangan miring) laras salendro padantara menjadi rakitan 238,5+ Hz 80 sen Pangasih-malang salendro 10 nada, R.M.A. Koesoemadinata (La-malang) 228 Hz 80 sen Nem (Da) juga melakukan pengembangan dengan Sumber: Herdini, 2004: 60 menambahkan dua nada sisipan pada masing-masing nada utama sehingga terbentuk rakitan salendro 15 nada sebagai berikut:

160 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

Tabel 8 Rakitan salendro 17 Nada Analisis Skema Laras hasil Pengukuran Frekuensi Interval Nama – nama Nada Seperti yang telah diungkapkan 256 Hz Pangasih sebelumnya, yang menjadi ciri khas 267 Hz 73 sen Gulu Malang dari angklung pentatonis ragam laras 278 Hz 70 sen Pangasih Miring 289,5 Hz 70 sen Gulu yang paling menonjol yaitu dari segi pola 301,5 Hz 70 sen Dada Malang pelarasan atau sistem tangga nadanya 314 Hz 71 sen Gulu Miring yang menghimpun beberapa laras dalam 327 Hz 70 sen Dada karawitan Sunda yang biasanya terdapat 341 Hz 72 sen Panangis 355 Hz 70 sen Lima Malang pada ansambel yang berbeda-beda. 370 Hz 72 sen Panangis Miring Menurut penuturan narasumber utama 385 Hz 69 sen Lima yaitu Endah Irawan selaku pencetus 401 Hz 70 sen Nem Malang 418 Hz 72 sen Lima Miring gagasan inovasi angklung pentatonis 435 Hz 69 sen Nem ragam laras ini, ia mengadaptasi suatu 453 Hz 70 sen Barang Malang pola pelarasan atau sistem tangga 472 Hz 71 sen Nem Miring nada yang telah dirumuskan R.M.A. 491 Hz 69 sen Barang 512 Hz 72 sen Pangasih Koesoemadinata yaitu rakitan salendro Sumber: Herdini, 2004: 60 15 Nada. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jawaban yang lebih konkret Ketiga rakitan salendro hasil tentang bagaimana penerapan konsep pengembangan dari laras salendro laras salendro R. M. A Koesoemadinata padantara sebagaimana telah disebutkan dalam angklung pentatonis ragam laras, di atas dapat dikatakan sebagai suatu dilakukan sebuah metode pengukuran sistem tangga nada yang baru dalam laras dengan menggunakan beberapa tatanan dunia karawitan Sunda karena alat bantu penelitian seperti tuner, alat di dalamnya terdiri atas beberapa laras rekam dan kalkulator scientific. dan surupan sehingga memungkinkan Pengukuran laras dilakukan pada untuk memainkan beberapa lagu dari babon angklung pentatonis ragam beberapa laras dan surupan tertentu. laras dengan pertimbangan ketepatan Sehingga, susunan sistem tangga frekuensi yang tertangkap oleh tuner. nada sebagaimana telah dituliskan di Mengingat karakter suara yang dihasilkan atas akan menjadi landasan untuk bambu cenderung memiliki gelombang melakukan penelitian khususnya pada yang pendek, sehingga hasil perhitungan persoalan konfirmatif atau mengetahui cenderung sulit untuk mendapatkan perbandingan hasil penelitian yang akan angka yang stabil. Oleh karena itu, diolah dalam proses analisis laras atau pengukuran dilakukan pada media analisis sistem tangga nada sebagaimana babon laras yang digunakan sebagai rumusan masalah yang diangkat yaitu acuan tuning angklung pentatonis ragam mengenai aplikasi laras atau sistem laras dengan hasil pengukuran sebagai tangga nada salendro pada angklung berikut: pentatonis ragam laras.

161 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

Tabel 9. Hasil Pengukuran Frekuensi kelompok data sesuai dengan pembagian Embat nada pada babon laras yang diukur. Dari Frekuensi Jangkah Machjar jumlah 15 nada terukur, nada-nada Nada (Hz) (Sen) (Sen) tersebut dikelompokkan ke dalam tiga 1+ 451,2 0 0 kelompok nada dalam pola laras salendro 1- 472,5 79,85671 80 padantara yang terdiri dari 5 nada 2 493,6 155,4904 160 2+ 517,7 238,0191 240 utama. Berikut ini analisis perhitungan 2- 542 317,4309 320 yang didapatkan. 1 567,9 398,2438 400 Dari hasil analisis di atas, dapat 1+ 594,5 477,4917 480 diketahui bahwa pola laras yang 1- 622,4 556,89 560 terbentuk dari susunan nada pada 5 652,5 638,653 640 angklung pentatonis ragam laras memiliki 5+ 682,9 717,4887 720 keidentikan dengan rakitan salendro 15 5- 714,9 796,7693 800 nada teoretis R.M.A. Koesoemadinata. 4 750 879,7482 880 Adapun seperti yang telah disinggung 4+ 784,5 957,6077 960 sebelumnya, rakitan salendro 15 nada 4- 820,5 1035,284 1040 3 861 1118,695 1120 merupakan hasil pengembangan dari 3+ 902,5 1200,192 1200 laras salendro padantara yang memiliki 3- 944,7 1279,307 1280 jarak antar nada dan pola pelarasan yang 2 990 1360,394 1360 berjarak 240 sen pada masing-masing 2+ 1037,2 1441,026 1440 nadanya. Pola pelarasan rakitan salendro 2- 1084,2 1517,75 1520 15 nada ini masing-masing memiliki jarak 1 1138 1601,594 1600 80 sen pada tiap nadanya. Penerapan sistem tangga nada ini juga yang menjadi Data hasil pengukuran frekuensi alasan mengapa angklung pentatonis sebagaimana dituliskan di atas, ragam laras dapat menghimpun beberapa kemudian menjadi bahan mentah laras dalam karawitan sunda yaitu laras untuk melakukan analisis terhadap salendro, degung dan madenda dalam pola laras dan sistem tangga nada. satu ansambel saja. Untuk mempermudah proses analisis, Dengan penerapan pola pelarasan pengolahan data dilakukan dengan cara sebagaimana rakitan salendro 15 nada, menginput formula pada Microsoft Excel angklung pentatonis ragam laras ini sehingga hasil data yang diharapkan memiliki 3 surupan laras salendro, 15 yaitu tingkat kemiripan hasil pengukuran surupan laras madenda yang tiap-tiap laras terhadap babon laras angklung laras dapat dijadikan pangkal laras (nada pentatonis ragam laras dengan rumusan dasar), dan 15 laras degung. Hal ini dapat laras salendro R.M.A. Koeosoemadinata teridentifikasi dari hasil analisis tingkat dapat teridentifikasi. Adapun analisis kemiripan sistem tangga nada yang perhitungan ini dilakukan dengan terbentuk berdasarkan hasil pengukuran memisahkan data-data menjadi tiga dengan embat atau pola jangkah yang

162 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

La’

Gambar 2. Analisis Perhitungan Tingkat Kemiripan Babon 1

Gambar 3. Analisis Perhitungan Tingkat Kemiripan Babon 2

163 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

Gambar 4. Analisis Perhitungan Tingkat Kemiripan Babon 3 dirumuskan Machjar dengan angka 3. Laras Degung kemiripan yang berada di atas 95% yang La Ti Na Mi Da La’ artinya memiliki kecenderungan tingkat 80 240 400 80 400 kemiripan yang sangat ideal atau sangat Skema 3 Laras Degung identik. Dengan susunan angka-angka KESIMPULAN frekuensi dan pola jangkah yang Berdasarkan hasil analisis yang terbentuk pada angklung pentatonis dilakukan sebagai salah satu tahapan ragam laras menghasilkan beberapa metode konfirmatif dari hasil wawancara, pola-pola jangkah sebagai berikut: dapat disimpulkan bahwa sistem tangga 1. Laras Salendro nada pada angklung pentatonis ragam

La Ti Na Mi Da La’ laras adalah gagasan inovasi laras salendro 15 nada yang dirumuskan R.M.A. 240 240 240 240 240 Koesoemadinata. Adapun penerapan Skema 1 Laras Salendro sistem tangga nada tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa gagasan R.M.A. 2. Laras Madenda Koesoemadinata tentang pengembangan La Ti Na Mi Da La’ laras salendro padantara yang telah dirumuskan tidak hanya berakhir pada 240 80 400 80 400 teori namun dapat dimanfaatkan secara Skema 2 Laras Madenda aplikatif dalam dunia karawitan Sunda.

164 Ega Fausta, Konsep Laras Salendro R.M.A. Koesoemadinata dalam Angklung Pentatonis

Penerapan inovasi laras salendro 15 Creswell, John W. Research Design nada menurut R.M.A. Koesoemadinata Pendekatan Metode kualitatif, ini juga menjadi jawaban utama atas Kuantitatif, dan Campuran Edisi 4. karakteristik angklung pentatonis ragam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018 laras yang menghimpun beberapa jenis Herdini, Heri. “Raden Machjar Angga laras dalam karawitan Sunda sehingga Koesoemadinata: Pikiran, Aktivitas mampu memainkan beberapa genre dan Karya-Karyanya dalam lagu yang umumnya dimainkan dengan karawitan Sunda”. Yogyakarta. ansambel yang berbeda-beda. Hal Universitas Gadjah Mada. Tesis, tersebut sejalan dengan konsep teoretis 2002 tentang laras yang menjelaskan bahwa Herdini, Heri. “Peninjauan Ulang “salah satu atmosfer musikal ditentukan terhadap Teori Laras dan Surupan oleh sistem pelarasannya yang berinti Karya Raden Machjar Angga pada pola jangkah (jarak antar nada) Koesoemadinata”. Panggung (Jurnal dalam satu siklus” (Nugroho, 2016: 69). STSI Bandung XXXII), 2004, hal Adapun beberapa laras yang terhimpun 54-66. dalam rakitan salendro 15 nada angklung Herdini, Heri. Raden Machjar Angga pentatonis ragam laras ini adalah laras Koesoemadinata: Pikiran, Aktivitas salendro, degung dan madenda. dan Karya-Karyanya dalam Hasil analisis sistem tangga ini karawitan Sunda. Bandung: Sunan secara lebih lanjut dapat digunakan Ambu Press, 2007. sebagai data untuk menganalisis garap- Hermawan, Deni. Angklung Sunda, garap musikal dari lagu-lagu yang telah Industri Kreatif, dan Karakter diaransir dengan menggunakan sistem Bangsa. Bandung: Sunan Ambu tangga nada pada angklung pentatonis Press, 2017 ragam laras sehingga selanjutnya analisis Irawan, Endah., dkk. Laporan Eksperimen dapat dilanjutkan untuk menjawab Angklung Pentatonis Ragam Laras. permasalahan yang menyangkut dampak Bandung, 2017 yang ditimbulkan dari penerapan inovasi Koesoemadinata, R.M.AIlmu Seni Raras. laras tersebut terhadap karakteristik Jakarta: Pradjaparamita, 1969. garap-garap lagu karawitan Sunda yang Mack, Dieter. Angklung di Jawa Barat: dapat dianalisis melalui beberapa sampel Sebuah perbandingan. Bandung: lagu. P4ST-UPI Bandung, 2003 Mulyana, Aton Rustandi. “Gurit Lagu DAFTAR PUSTAKA Kawih Sunda”. ISI SURAKARTA: Baier, Daniel; Reinhold Decker; Lars Tesis, 2005 Schmidt-Thieme. Data Analysis Nugroho, Mukhlis Anton. “Kondisi Kritis and Decision Support. Germany: Laras Slendro Banyumas”. Jurnal Springer-Verlag Berlin, Heidelberg, Kajian Seni 01. (2016): 69-80. 1985

165 Jurnal Kajian Seni, Vol. 05, No. 02, April 2019: 150-166

(https://jurnal.ugm.ac.id/jks/article/ Weintraub, Andrew N. Power Plays:Wayang view/12142) Golek Puppet Theater of . Sopandi, Caca. Gamelan Selap (Kajian Ohio University Press, 2004 Inovasi pada Karawitan Wayang Golek Purwa). ISI SURAKARTA: DAFTAR NARASUMBER Tesis, 2006. Endah Irawan, Seniman, Dosen, Akademisi, 54 tahun, Bandung.

166