PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NAGARI: ANTARA FORMAT ATAU FORMAT NEGARA

Oleh: Afwadi*

Abstract:Kembali ke Nagari and Kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari (literally means Back to the Nagari and Back to the governmental system of Nagari) are genuine needs of local society of Minang Kabau in West Sumatera Province. However, the implementation is not as easy as it sounds. Various problems might be encountered, such as ambiguity and dualism dealing with governmental concept whether local (adat) format or national one. This paper basically deals with the debate both in term of concept and reality upon the reimplementation of the governmental system of Nagari. On one hand, nagari is the smallest form of national governmental system. On the other hand, sociohistorically, nagari is a ‘mini’ republic which is governed by the rules of adat. Therefore, an integrative combination for the format of governmental system of Nagari should be carefully formulated.

Kata kunci: pemerintahan, nagari, format, negara.

PENDAHULUAN pada mendorong (stimulating) laju umatera Barat sekarang berada pertumbuhan disegala bidang. Seba- S dipersimpangan jalan dalam po- gai akibat sampingannya adalah juga sisi kikuk, ambivalen, indecisive, an- hilangnya kepercayaan diri dan ber- tara kepatuhan pada pusat sebagai tindak ragu-ragu (Naim. 2005) bagian dari Negara Kesatuan re- Terhadap program Kembali Ke publik Indonasia (NKRI) dengan ke- Nagari, apa yang dikemukakan di inginan melakukam manuver untuk atas juga menjadi amat terasa, se- memberdayakan nilai-nilai filsofis, perti yang disampaikan Bapak Dr. adat, dan budaya lokal dalam pe- Mochtar Naim dalam kesempatan nataan daerah yang diyakini cocok memberikan kuliah di hadapan ma- dalam mempraktekkan demokrasi hasiswa Program Studi Politik Lokal dan otonomi daerah di daerah sen- dan Otonomi Daerah Pascasarjana diri dan dengan warna budaya sen- Universitas Andalas pada tanggal 31 diri. Kekikukan, ambivalensi dan Desember 2005 yang lalu, bahwa indecisiveness dari masyarakat Su- dari empat pilar Penegakan Nagari, matera Barat ini lebih banyak ber- hanya yang berjalan baru satu yaitu, sifat menghambat (deterrent) dari- Pilar Nagari sebagai Unit Kesatuan Administratif Pemerintahan: dan itu- *Penulis adalah Lektor dalam Mata Kuliah Sosiologi pada STAIN Batusangkar 47 48 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) pun terseot-seot, separoh hati, ku- kesempatan untuk melakukan re- rang darah, dan kurang perhatian, konstruksi sosial-budaya dan pe- “bagai kerakap di atas batu“ semen- ngembalian identitas/jati diri serta tara tiga pilar lainnya yakni, Nagari eksistensi masyarakat Sumatera sebagai Unit Kesatuan Ekonomi, Barat sebagai pemilik Budaya Mi- Nagari sebagai Unit Kesatuan Soaial nangkabau, sementara disisi lain, Budaya dan Nagari sebagai Unit Ke- kesempatan untuk revitalisasi tatan- satuan Keamanan dan Pengamanan. an kehidupan masayarakat kita, de- Amat menarik untuk mencer- ngan mengacu kepada filosofi ke- mati apa yang dikemukakan di atas, hidupan dan sistem nilai budaya apalagi jika dikaitkan dengan dina- yang pernah kita miliki itu, adalah mika otonomi nagari itu sendiri pemberian dari negara yang men- dalam usianya yang telah memasuki jadi kerangka utama; dari dalam tahun ke lima (2001-2006). Masih mana kita tidak mungkin menge- banyak persoalan yang menyertai luarkan diri. implementasi program ini yang be- Sebenarnya permasalahan dua- lum mendapat jalan keluar yang lisme penyelenggaraan pemerintah- aplikatif, bahkan pada tataran kon- an terendah di pasca sep sekalipun. Salah satunya adalah desentralisasi dan otonomi daerah dualisme penyelenggaraan Peme- yang dicanangkan dengan UU No- rintahan Nagari, apakah struktur mor 22 tahun 1999 tentang Peme- dan mekanisme pemerintahan na- rintahan Daerah, tidak hanya di- gari yang akan diaplikasikan seperti alami oleh Sumatera Barat. Hampir konsepsi “ nagari ideal “ ataukah di- seluruh daerah yang pernah punya jalankan sesuai paradigma nagari tatanan pemerintahan setingkat sebagai bagian dari wilayah peme- desa; seperti Jawa, Bali. Lampung, rintahan negara. dan sebagainya mengalami hal yang Pertanyaan di atas menjadi sama karena sepanjang sejarah kebe- penting karena, di satu sisi, kalau radaannya berbagai intervensi dan kita mencoba sesaat menoleh kebe- rekonstruksi pernah dialami, apa- lakang, keinginan dan antusiasme kah itu oleh penjajah ataupun oleh masyarakat Sumatera Barat untuk negara sendiri, namun ada daerah Kembali ber-Nagari diawali dengan yang tidak mengalami permasalahan kesamaan persepsi bahwa kebijakan dengan dualisme semacam itu ka- penerapan Pemerintahan Desa yang rena memang pengelolaan komuni- cenderung berpijak pada pola pate- tas pedesaanya sudah unifikasi sejak nalistik, sentralisasi, serba mobilisasi, lama, sementara ada pula daerah jelas agak berseberangan dengan yang menghadapi masalah dengan mentalitas Orang Minang yang fra- dualisme karena pengelolaan ko- ternalistik, demokratis, menghargai munitas pedesaannya memang dual- voluntarisme dan partisipatif, se- isme sejak lama (Afrizal: 2005). Se- hingga selama dua dekade Peme- perti yang dialami oleh nagari di rintahan Desa terasa bagai jeda per- Sumatera Barat. jalanan sosiokultural yang mem- Tulisan ini akan mencoba bosankan bagi mereka. Oleh karena mengkaji dualisme yang telah di- itu Kembali ber-Nagari, dianggap kemukakan di atas, melalui debat Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 49 sosiologis, karena menurut hemat PEMERINTAHAN NAGARI penulis persoalan ini berpangkal PRA DAN PASCA INTERVENSI pada perbenturan dan pergesekan Historiografi, ethnografi dan adat antara nilai-nilai ideal yang terefleksi selalu menekankan pada realitas sosial secara alami bahwa nagari adalah kesatuan sosial dengan sebuah realitas sosial yang utama yang dominan yang menjadi dikonstruksikan sedemikian rupa ciri khas masyarakat Minangkabau. (realitas by design), sehingga tampak Tentang asal muasal muncul atau sebagai sebuah ambivalensi dan atau adanya nagari, acuan yang ada dualisme. hanyalah apa yang dilegendakan da- Sehubungan dengan itu, des- lam tambo-tambo yang dipercaya kripsi yang agaknya diperlukan ada- sebagai catatan sejarah, yakni bahwa lah tentang bagaimana keberadaan nagari di Minangkabau diawali de- sebuah nagari dan pemerintahannya ngan nagari kembar Pariangan- ketika formulasinya tercipta secara Padang Panjang di lereng gunung alamiah atau sebutlah untuk keper- Merapi. Perkembangan dan pertam- luan ini dengan konsep ‘nagari bahan nagari selanjutnya disinyalir ideal” dan bagaimana pula kebe- melalui proses pembukaan pemu- radaannya setelah realitas tatanan kiman baru yakni, warga suku yang nagari dan pemerintahannya seba- sudah kekurangan lahan akan mem- gai hasil rekonstruksi sosial. Untuk buka lahan baru di luar batas nagari. keperluan itu paparan tentang bagai- mana sejarah pengelolaan nagari itu Daerah baru tersebut dinamakan sejak nagari itu dikenal berikut per- “Taratak“. Taratak ini akan berkem- ubahan-perubahan yang pernah di- bang menjadi “Dusun“ yaitu sebuah alaminya sampai program Kembali pemukiman yang sudah mulai ter- Ke Pemerintahan Nagari diimple- atur. Setelah itu model pemukiman mentasikan akan terlebih dahulu di- yang sudah mulai teratur tersebut tampilkan pada bagian kedua dari mulai pula menetapkan beberapa tulisan ini. Selanjutnya bagaimana aturan yang mereka sepakati ber- pula rancangan atau konsepsi ten- sama. Beberapa buah dusun yang tang penyelenggaraan Pemerintah- biasanya dihuni oleh orang-orang an Nagari yang telah dibuat dan di- dari suku yang berbeda-beda akhir- laksanakan seiring dengan program nya bersepakat membentuk “Koto“. Kembali Ke Pemerintahan Nagari, Koto yang telah berkembang ini dan berikut dengan permasalahan yang memiliki kelompok-kelompok keke- menyertainya, dan diakhiri dengan rabatan yang berasal dari berbagai sebuah telaah kritis tentang ke- suku akan membentuk sebuah na- mungkinan efketifitas rancangan gari. Selain itu pembukaan pemu- yang telah dibuat dalam hal meng- kiman baru mungkin juga disebab- urangi dualisme yang ada, disajikan kan pertengkaran antar anggota- pada bagian ketiga, yang sekaligus anggota suku yang menyebabkan juga berupa simpulan. sebagian anggota meninggalkan na- gari mereka dan mencari serta membuka tempat pemukiman baru yang selanjutnya akan menjadi pula 50 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) nagari (Manan, dalam Efiyandri, ed. Para pemimpin tersebut di atas 2003 ) memperoleh otorotas melalui dua Berdasarkan prinsip matrilineal cara, pertama, untuk tingkat tung- kelompok kekerabatan yang meru- ganai/mamak kepala waris (meski- pakan organisasi-organisasi sosial pun ada variasi) pada umumnya bertingkat (sesuai dengan variasi cenderung otomatis yakni lelaki istilah dalam adat masing-masing tertua dalam kelompok tersebut, nagari) dari kelompok kerabat hanya saja kalau anggota kelompok “sajurai“ yang biasanya mendiami menganggap ada sesuatu hal yang sebuah dengan jurai- tidak memungkinkan melaksanakan jurai lain yang “saparauik“ di bawah cara otomatis tersebut maka cara: kepemimpinan seorang “mamak ke- Kedua, adalah melalui “pemilihan pala waris“ atau “tungganai“. Kum- oleh para anggota kaum”. Menurut pulan beberepa kelompok sosial Manan (dalam Efiyandri,ed. 2003) saparuik ini menjadi sebuah kaum kepala-kepala unit sosial politik yang biasanya dipimpin oleh “Ma- yang ada dalam nagari dipilih oleh mak Kepala Kaum“. Mamak Kepala anggota unit sosial politik. Ada Kaum ini ada juga yang adalah se- syarat-syarat kepemimpinan cukup orang Penghulu yang disebut berat yang harus dipenuhi. Dalam “Penghulu Kaum“ namun ada pula proses pemilihan para calon ”dituah yang tidak. Kumpulan dari beberapa dan dicilakoi“ artinya dikaji kebaik- Kaum inilah yang menjadi satu an-kebaikan dan kelemahan-kele- “Suku“ (namun ada juga yang satu mahannya untuk mencari dan me- suku hanya terdiri dari satu kaum milih yang terbaik. Anggota kaum saja), dan akhirnya komunitas ter- yang disebut kemenakan adalah besar yang disebut nagari adalah warga kaum yang berhak bersuara kumpulan dari beberapa suku (pada dalam sidang. Pimpinan terpilih ber- umumnya minimal 4 suku dalam arti orang yang dipercaya kaum dan satu nagari) sesuai dengan petitih: berfungsi memelihara dan memaju- Nagari ba ampek suku kan kepentingan umum. Ia merupa- Dalam suku babuah paruik kan pemimpin dalam sidang kaum Dalam paruik bajurai pulo dan mewakili kaum dalam sidang- sidang unit sosial yang lebih besar Adanya pimpinan masing- seperti sidang dewan kaum di- masing kelompok yang bertingkat tingkat suku, sidang dewan suku sesuai dengan organisasi kekerabat- dan sidang dewan nagari (kerapatan an mulai dari mamak kepala wa- nagari). ris/tungganai, mamak/penghulu Tentang hubungannya dengan kaum (ada juga yang menyebut kontalasi politik supra-nagari ber- Penghulu Andiko) dan penghulu dasarkan catatan para ahli seperti, suku, adalah pemegang otoritas De Joselin de Jong: 1960, Marsden: pada tingkatnya masing-masing. Sis- 1870, Oki: 1977 dan Ab-dullah: 1966 tem otoritas bertingkat semacam ini seperti yang dikemukakan oleh mereka sebut dengan “bajanjang Manan (dalam Efiyandri, ed. 2003) naiak batanggo turun “. bahwa ketika Kerajaan Minangkabau didirikan Aditiyawarman pada abad Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 51

XIV, nagari-nagari di Minangkabau rajo“, artinya pembicaraan otoritas telah dikembangkan otonomi yang kultural nagari dalam kaitan ke- demikian kuat sehingga kerajaan ti- lompok sosial atas dasar kekerabatan dak mampu lagi memaksakan suatu matrilenal hanya ditujukan untuk bentuk sistem administrasi yang bisa nagari di wilayah darek, sementara mengurangi sifat otonomi dari meskipun satuan komunitas sosial nagari-nagari yang ada. Dalam seja- yang disebut nagari juga ada di wi- rah Minangkabau tampak bahwa layah rantau, struktur sosio-politik- tidak ada bukti yang memper- nya berbeda dengan nagari di wi- lihatkan ada-nya kekuasaan Raja layah darek. Di wilayah rantau otori- Minangkabau dalam urusan nagari- tas yang menonjol adalah pertuanan nagari, kecuali raja hanya berfungsi atau kerajaan. Kekuasaan tertinggi sebagai mediator dalam konflik- terletak di tangan raja yang merupa- konflik antar nagari yang terjadi. kan kepala pemerintahan dan pe- Walaupun demikian sebagai warga mimpin masayarakat yang diakui kerajaan, anak nagari menyetujui oleh tradisi politik tradisional Mi- dan mengabsahkan kekuasaan raja nangkabau untuk daerah rantau dan memandangnya dengan hormat. (Asnan, dalam Efiyandri, ed. 2003). Hal ini disebabkan warga nagari Oleh karena itu, tidak asing ketika yang otonom itu memerlukan se- didapati sekarang bahwa ada di buah kekuasaan yang dapat mem- nagari-nagari di wilayah rantau, bantu mereka dalam penyelesaian struktur otoritas pada tingkat nagari pertikaian antar nagari, sehingga raja terkesan patrilineal, seperti di daerah dibutuhkan lebih banyak dalam Pariaman misalnya. Bahkan di da- fungsi yudikatifnya dengan kata lain erah Pasaman ada beberapa turunan raja dan dewan menterinya me- yang oleh masyarakat mereka ang- rupakan mahkamah banding bagi gap sebagai raja dan punya otoritas nagari-nagari. sebagaimana layaknya dalam sebuah Akan tetapi, meskipun telah di- kerajaan mini, dimana dari se- singgung di atas bahwa nagari ada- jarahnya bahwa orang-orang yang lah kesatuan sosial utama yang do- dirajakan ini dahulunya adalah ber- minan dan menjadi ciri khas masya- asal dan atau kiriman dari keluarga rakat Minangkabau, dalam kaitan Kerajaan Minangkabau yang ber- dengan pembicaraan tentang keraja- pusat di Pagaruyung. Dengan demi- an Minangkabau kita harus men- kian, beda antara nagari di wilayah jelaskan adanya pembedaan antara darek dengan nagari di wilayah wilayah yang disebut “darek“ dan rantau antara lain adalah tingkat “ran-tau“. Pembedaan ini perlu di- otonominya, dimana jika nagari di pahami karena, walaupun secara wilayah darek tidak bisa diatur kultural kedua wilayah ini masih secara administratif sentralistik oleh termasuk wilayah kekuasaan keraja- pihak kerajaan, maka nagari-nagari an Minangkabau dan masyarakatnya di wilayah rantau sangat terpe- juga penganut budaya Minang- ngaruh dan diatur melalui kewe- kabau, namun dalam tatanan peme- nangan kerajaan. rintahan berbeda, sesuai dengan Hal di atas semakin diyakini konsepsi “darek bapangulu, rantau ba- adanya ketika VOC menjejakkan 52 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) kakinya di pesisir barat Sumatera, landa dengan para penghulu (seba- dimana setelah mengambil kekuasa- gai pemegang otoritas tingkat na- an dari tangan penguasa Aceh, ber- gari) di darek diawali dengan ada- dasarkan Keputusan Pemerintah nya permintaan dari beberapa peng- Hindia Belanda 18 agustus 1667, hulu di luhak Tanah Datar, dimana VOC langsung mengangkat dan atau para penghulu tersebut dengan menujuk sendiri pemimpin pribumi mengatasnamakan raja dan seluruh yaitu Rangkayo Kaciak sebagai rakyat Minangkabau meminta Panglima di Padang, meski itupun bantuan Belanda untuk menghadapi tidak serta merta diterima oleh golongan Paderi dan membuat per- masyarakat dengan melakukan per- janjian “penyerahan“ alam Minang- lawanan yang dipimpin oleh peme- kabau kepada Belanda. Hal ini ter- gang otoritas tradisional di daerah catat sebagai awal campur tangan tersebut (Amran: 1981). Selanjutnya, Belanda dalam tataran kehidupan sejak saat itu VOC mulai mengatur masyarakat Minangkabau di wilayah pemerintahan di wilayah rantau. Se- dareknya. Keberadaan nagari telah bagai imbalan atas dukungan dari diformatkan untuk membantu pe- para “Yang Dipertuan“ dan “Raja“ di nyelenggaraan Pememrintah Kolo- wilayah pesisir terhadap VOC, me- nial, dengan kata lain nagari me- reka dijadikan jaringan pemerintah- rupakan jaringan dari sistem otoritas an kompeni di kawasan itu. Di supra-nagari. Padang misalnya, dibentuk lembaga Mulai saat itu, kepemimpinan “pertuanan“ yang dipimpin oleh nagari yang semula lebih bersiat seorang Panglima yang memimpin informal tradisional bergeser ke sifat suatu wilayah yang disebut “kam- formal dikarenakan mereka harus pung“, sedangkan di Pariaman VOC melaksanakan kewajiban-kewajiban membentuk dua pertuanan yang yang dibebankan oleh otoritas masing-masing dipimpin oleh se- eksternal. Hal yang menjadi kewaji- orang “Tuanku“. Setiap pertuanan ban ketika itu antara lain adalah, terdiri dari enam kampung, yang pengerahan anak nagari untuk mem- setiap kampungnya itu dipimpin bantu pasukan Belanda menghadapi oleh seorang “Penghulu“. Paderi dan pemungutan pajak oleh Terhadap Nagari yang berada Penghulu Kepala. Bahkan lebih dari di wilayah darek, jangkauan tangan itu, seorang Gubernur Jendral Balanda baru sampai setelah lebih Belanda yaitu, Van Den Bosch, tahun satu setengah abad mereka men- 1833 melihat bahwa Kepala Nagari jajakkan kaki di wilayah “Rantau dapat dimanfaatkan untuk mem- Minangkabau“ yaitu sekitar tahun bantu Pemerintah dalam perluasan 1821, melalui resolusi yang dikeluar- kekuasaan politik dan eksploitasi kan oleh Gubernur Jendral Belanda ekonomi guna menguatkan tujuan- tentang pengaturan/penyempurna- nya untuk menjadikan kawasan an tatanan dan sistem hubungan Barat Minangkabau sebagai pusat pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan dan perekonomian di lembaga Pemerintahan dan Kepe- Pulau Sumatera. Dalam kaitan itu, mimpinan Tradisional. Hubungan Bosch menegaskan bahwa semua langsung Pemerintah Hindia Be- Kepala Pribumi, termasuk Kepala Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 53

Nagari hanya harus takluk dan DHN adalah mendampingi Wali- patuh serta memberikan kesetia- nagari sebagai eksekutif nagari. annya pada raja dan Pemerintahan Dalam Maklumat itu ditegaskan Hin-dia Belanda (Asnan, dalam pula tentang kewenangan Kerapat- Efiyandri, ed. 2003). an Adat Nagari (KAN) untuk Berbagai bentuk intervensi, mengurus hal-hal yang berhu- Pemerintah Hindia Belanda selama bungan dengan adat. hampir seabad (1821-1914), berikut Sebelum Maklumat ini dike- segala konsekuensinya, akhirnya luarkan, telah ada pula sebuah timbul juga keinginan mereka untuk maklumat Residen Sumatera Barat melakukan reorganisasi nagari pada Nomor 3 tanggal 3 November 1945 tahun 1914. Sejak saat itu kebe- yang mengatur partai di tingkat basan yang semula dimiliki nagari nagari, akibatnya ketika kedua atur- dikembalikan, jabatan Penghulu Ke- an ini diaplikasikan secara bersama- pala dihapuskan dan diganti dengan an ternyata pengaruh partai politik Kepala Naga-ri. Aturan tentang Ke- ternyata lebih dominan dalam mem- pala Nagari, pemilihannya, kebe- pengaruhi tatanan sosial ketimbang radaan Kerapatan Nagari, hak dan refungsionalisasi kewenangan KAN. wewenang masing-masing serta ma- Dampaknya struktur otoritas nagari salah keuangan nagari dikembalikan bergeser dari model kerapatan ke sebagaimana yang berlaku dalam sistem perwakilan. ajaran adat yang dijunjung tinggi Selanjutnya setelah masa revo- orang Minang-kabau. lusi fisik, Pemerintahan Nagari di- Memasuki era kemerdekaan, hapus dan diganti dengan Peme- regulasi pertama yang dikeluarkan rintahan Wilayah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia yang Daerah Provinsi Suma-tera Tengah baru dibentuk saat itu adalah UU Nomor 50/G.P/1950. Beberapa na- Nomor 1 Tahun 1945 yang pada gari dianjurkan untuk bergabung prinsipnya mengatur kedudu-kan menjadi satu wilayah. Pemerintahan desa dan Komite Nasional Daerah Wilayah terdiri dari Kepala Wilayah sebagai badan legislatif yang di- yang dalam fungsi eksekutifnya pimpin oleh Kepala Daerah. didampingi oleh 3-5 orang anggota Di Sumatera Barat, Rapat Pleno DPR Wilayah. Kepala Wilayah di- Komite Nasional Keresidenan Su- angkat dan diberhentikan oleh Gu- matera Barat mengeluarkan Mak- bernur. Wali Nagari dari beberapa lumat Residen Sumatera Barat nagari yang telah digabungkan itu Nomor 20 dan 21 tanggal 21 Mei disebut “Tepatan Pemerintah Wila- 1946 yang menetapkan Perubahan yah“ (TPW). DPN dan DHN sejak Dalam Susunan Kelembagaan Na- saat itu otomatis dihapuskan. Hal ini gari. Adapun unsur-unsur Peme- jelas agak sulit diterima karena rintahan terdiri dari, Wali Nagari, kebijakan ini mengabaikan eksistensi Dewan Perwakilan Nagari (DPN), nagari sebagai satu kesatuan politik dan Dewan Harian Nasional (DHN). dan pemerintahan. Akhirnya, me- Posisi Wali Nagari menjadi sangat lalui Konferensi Ninik Mamak Pe- dominan karena sekaligus merupa- mangku Adat se-Sumatera Tengah kan Ketua DPN dan DHN. Tu-gas tanggal 19 Desember 1953 di Bukit- 54 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) tinggi, dituntut pembubaran sistem gari, Panitera Nagari dan Pegawai otonomi wilayah dan kembali ke Nagari). otonomi nagari. Memasuki era orde baru, hasil Di samping adanya tuntutan tinjauan terhadap peraturan yang pembubaran otonomi wilayah dari ada tentang pemerintahan nagari, para Ninik Mamak Pemangku Adat membuat Raker Kepala Daerah se- sperti yang disampaikan di atas, Propinsi Sumatera Barat tanggal 1-3 Perda Nomor 3/ 1950 itu juga batal Maret 1968 merasa perlu meninjau demi hukum karena tidak men- ulang peraturan-peraturan yang ada dapat persetujuan dari Pemerintah tersebut. Hasilnya disepakati, dan Pusat. Malahan Pemerintah Pusat ditindaklanjuti dengan keluarnya mengeluarkan Kepres tanggal 15 Keputusan Gubernur Kepala Daerah Januari 1954 yang menghapuskan Pro-vinsi Sumatera Barat Nomor sistem wilayah berotonomi dan 015/GSB /1968 tentang Pokok-Po- menghidupkan kembali sistem na- kok Pemerintahan Nagari Dalam gari otonom berdasarkan “Inlandse Daerah Provinsi Sumatera Barat, Gemeente Ordonatie Buitengewesten“ yang juklaknya diatur dengan (IGOB), yang dilanjuti dengan Juklak Instruksi Gubernur Nomor 10 tahun Mendagri Nomor DDX/5/1/2 tang- 1968 tanggal 17 Mei 1968, yang me- gal 17 Februari 1954, yang diikuti nunjuk satu nagari dalam setiap pula oleh Ketetapan Gubernur Su- Kecamatan untuk menjadi pilot pro- matera Tengah Nomor 2/6-55 tahun yek. Susunan Pemerintahan Nagari 1955 tentang Susunan dan Cara menurut Keputusan Gubernur ini Pembentukan Dewan Perwakilan adalah, Wali Nagari dan Dewan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN), pengganti Kerapatan Nagari me- sedangkan alat perlengkapan nagari nurut IGOB di zaman penjajahan. lain adalah, Kerapatan Nagari se- Di akhir peristiwa PRRI, masih bagai badan peradilan agama dan berkaitan dengan pemerintahan na- adat serta penasehat pemerintah gari, Pemerintah Sumatera Barat me- Nagari. Ketiganya disebut Peme- ngeluarkan lagi Peperda Nomor Prt- rintahan Nagari. Peperda/01 /4/62 tanggal 7 April Peraturan perundang-undang- 1962 tentang Penertiban Pemerintah- an terakhir yang pernah dikeluarkan an Nagari, yang disusul dengan Pemerin-tah Sumatera Barat tentang Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nagari sebelum diberlakukannya Nomor 02/Desa/Gsb-prt/63 tanggal UU Nomor 5/1979 tentang Peme- 30 Mei 1963 tentang Nagari dan rintahan Desa adalah, Keputusan Pemerintahan Nagari dam Provinsi Gubernur Nomor 155/GSB/ 1974 Sumatera Barat. Keputusan ini me- tentang Pokok-Pokok Pemerintahan muat tentang susunan pemerintahan Nagari, Keputusan Gubernur Nomor nagari yang harus dibentuk sesuai 156/GSB/1974 tentang Kerapatan dengan gagasan demokrasi terpim- Adat Nagari dan Keputusan Guber- pin, yaitu, Kepala Nagari, Badan nur Nomor 156/GSB/1974 tentang Musyawarah Nagari (BMN), Mu- Tata Cara Pemilihan Wali Nagari. syawarah Gabungan dan alat-alat Hal yang patut dicatat dari Perlengkapan Nagari (Pamong Na- ketiga keputusan tersebut antara lain Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 55 adalah, konsep nagari sebagai ke- nagari), Badan Perwakilan Anak satuan masyarakat hukum yang Nagari (BPA) sebagai legislatif na- merupakan bentuk Pemerintahan gari dan Badan Musyawarah Adat Terendah di Sumatera Barat, Peme- dan Syarak Nagari (BMASN) seba- rintahan Nagari terdiri dari Wali gai lembaga konsultatif, sedangkan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari, Lembaga Adat Nagari (LAN)/Ke- artinya Kerapatan Nagari meng- rapatan Adat Nagari (KAN) hanya ambil alih fungsi DPRN sebagai dikatakan ber-fungsi memelihara legislatif nagari, Wali Nagari lang- kelestarian adat dan menyelesaikan sung menjadi Ketua Kerapatan Adat perseslisihan Sako dan Pusako da- Nagari-, yang berakibat adanya lam nagari. Akan tetapi peraturan ini kecenderungan Walinagari sebagai juga memberi peluang kepada da- penguasa tunggal di nagari. erah Kabupaten/Kota untuk mem- Pasca pemberlakuan UU No 5/ buat sendiri Peraturan Daerah yang 1979, dimana Nagari telah dipecah lebih rinci dan detail tentang Pe- menjadi desa, sekaligus menandai merintahan Nagari di dae-rahnya masuknya struktur otoritas negara masing-masing sesuai dengan ke- secara totalitas ke dalam nagari, ragaman yang ada, sehingga disetiap serta pemberangusan independensi Kabupaten/Kota juga ada Peraturan dan demokrasi asli nagari dengan Daerah tentang Pemerintahan Na- intervensi dan determinasi sentra- gari. listik, maka sebagai “safety valve“ Dalam tulisan ini, salah satu guna mempertahankan eksistensi na- Perda tentang Pemerintahan Nagari gari pemerintah Provinsi Sumatera yang akan diambil sebagai fokus Barat mengeluarkan Peraturan Da- adalah Peraturan Daerah Kabupaten erah Nomor 13 tahun 1983 tanggal Solok Nomor 4 tahun 2001 yang di- 13 Agustus 1983 tentang Nagari rubah dengan Peraturan Daerah Sebagai Kesatuan Masayarakat Hu- Kabupaten Solok Nomor 8 tahun kum Adat dalam Daerah Provinsi 2004. Tentang Tata Pemerintahan Tingkat I Sumatera, meski ini pun Nagari, dalam Perda yang pertama tidak lebih dari sekedar macan ditegaskan bahwa Pemerintahan Na- kertas semata. gari adalah penyelenggaraan peme- rintahan yang dilaksanakan oleh PEMERINTAHAN NAGARI Pemerintah Nagari (Walinagari dan PASCA KEMBALI KE NAGARI perangkat nagari sebagai eksekutif) dan Badan Perwakilan nagari (se- Regulasi pertama yang meng- bagai legislatif). Sedangkan lembaga atur tentang Pemerintahan Nagari lain yakni Majelis Tungku Tigo pasca Kembali ke Nagari di Su- Sajarangan (MTTS) yang merupakan matera Barat adalah Peraturan Da- lembaga permusyawaratan/permu- erah Sumatera Barat Nomor 9 tahun fakatan adat dan syarak berfungsi 2000 tentang Ketentuan Pokok Pe- memberikan pertimbangan kepada merintahan Nagari. Pemerintahan Nagari supaya tetap Dalam Perda dijelaskan bahwa konsisten menjaga dan memelihara Pemerintahan Nagari terdiri dari penerapan “Adat basandi Syarak, Pemerintah Nagari (dipimpin Wali- Syarak Basandi Kitabullah” di na- 56 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) gari, sementara Kerapatan Adat namun di lain sisi juga mempertegas Nagari (KAN) adalah lembaga ke- bahwa KAN yang dulunya adalah rapatan ninik mamak yang berfungsi lembaga kepemimpinan berbasis memelihara kelestarian adat serta nilai-nilai adat yang otoritasnya menyelesaikan perselisihan Sako dan diperoleh dari masyarakatnya, ber- Pusako dalam nagari. Akan tetapi alih kepada institusi bauatan peme- dalam Perda perubahannya lembaga rintah dan entah untuk kepentingan MTTS ti-dak disebutkan lagi namun siapa. Dengan kata lain refungsio- ada beberapa perbedaan signifikan nalisasi KAN lebih bersifat mobili- pada aturan tentang Kerapatan Adat sasi ketimbang partisipatif, suatu hal Nagari. yang bertentangan dengan konsep Berkaitan dengan pengaturan Kembali Ke Nagari itu sendiri, atau- tentang KAN, perbedaan mendasar kan mungkin juga karena Kembali yang dimaksud di atas antara lain Ke Nagari itu sendiri adalah adalah, kalau dalam Perda No mobilisasi ?. 4/2001 aturan tentang KAN hanya Aturan lain disamping Perda tiga pasal dan bersifat umum saja, yang telah disebutkan di atas, yang sementara dalam Perda No 8/2004 juga berkaitan dengan Pemerintahan ada satu bab yang berisi 11 pasal Nagari di Kabupaten Solok adalah: aturan tentang KAN yang meliputi, 1. SK Bupati Solok Nomor 38 pengukuhan dan kedudukan (1 pa- tanggal 23 Februari 2001 ten- sal, 2 ayat), tugas dan fungsi (2 pasal, tang Penggunaan Dana Alokasi 4 ayat), Keanggotaan dan organisasi Umum Nagari (DAUN) dan (7 pasal, 22 ayat), pertanggung- Penggunaan Dana Oprasional jawaban (1 pasal, 2 ayat), pembinaan Kecamatan. dan hubungan kerja (2 pasal, 6 ayat) dan keuangan (2 pasal, 5 ayat). 2. SK Bupati Solok Nomor 12 Namun demikian tetap tidak ada tahun 2001 tentang Pedoman kejelasan dan penegasan eksistensi dan Tatacara Penyusunan serta KAN dalam Tata Pemerintahan Na- Bentuk Peraturan Nagari dan gari, kecuali hanya dijelaskan dalam Keputusan Walina-gari. pasal tentang pengukuhan dan ke- 3. SK Bupati Solok Nomor 13 dudukan bahwa, KAN berkedu- tahun 2001 tentang Tatacara dukan sebagai Lembaga Kerapatan Pertanggungjawaban Ninik Mamak dan dalam pasal Walinagari. tentang pembinaan dan hubungan 4. SK Bupati Solok Nomor 16 kerja bahwa hubungan kerja antara tanggal 28 Juli 2001 tentang KAN dengan pemerintahan nagari Penyerahan Sebagian Urusan bersifat kordinatif fungsioal. Pemerintah Kabupaten Kepada Pengaturan KAN yang terlalu Pemerintahan Nagari dan SK detail ini pada dasarnya dapat di- 5. SK Bupati Solok Nomor 7 cermati dari dua sisi. Di satu sisi tahun 2002 tentang Petunjuk aturan itu semakin memperjelas Teknis Pelaksanaan Urusan ruang peran yang bisa dimanfaat- yang Diserahkan Pemerintah kan KAN dalam refungsionalisasi- nya pada tata pemerintahan nagari, Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 57

Kabupaten Solok kepada Pe- wacana yang berkembang hari ini, merintahan Nagari maka arti otonom dalam defenisi 6. SK Bupati Solok Nomor 8 “nagari ideal” di atas adalah ke- tahun 2002 tentang Pelimpahan mampuan mengurus rumah tangga Sebagian Kewenangan kepada daerah sendiri, apakah dalam hal Kecamatan dan Hubungan pemerintahan, ekonomi, penegakan Kerja Antara Pemerintah hukum dan penjagaan keamanan Kabupaten, Kecamatan dan Pe- dan mungkin juga termasuk tatanan merintahan Nagari sosial-budaya. 7. Bupati Solok Nomor 33 tanggal Manyangkut pemerintahan, da- 27 Desember 2002 tentang lam “nagari ideal“ sebagaimana Perimbangan Keuangan Antara yang telah dijelaskan pada bagian Kabupaten Sokok dan Nagari. terdahulu, bahwa masing-masing Tentang kedua aturan ini. kelompok kekerabatan yang men- diami nagari mulai dari, kelom-pok Gamawan Fauzi (dalam. Efi- saparuik (sublineage), kaum (lineage), yandri, ed. 2003: 104), Bupati Solok maupun suku (scan) memiliki kepe- ketika itu menyatakan bahwa se- mimpinan sendiri yang pada gilir- luruh kebijakan yang telah dikeluar- annya secara bertingkat akan men- kan oleh Pemerintah Kabupaten jadi dewan pemerin-tahan nagari. Solok yang berkaitan langsung atau Menurut Manan (dalam Efi- tidak langsung dengan Pemerintah- yandri, ed. 2003), hakekat otoritas an Nagari adalah langkah mewujud- menurut teori politik Minangkabau kan nagari otonom. terletak pada dewan; otoritas me- Pernyataan Gamawan di atas, rupakan sebuah abstraksi dari se- ba-rangkali dapat diambil sebgai buah kebenaran yang harus dicari sebuah prototype pandangan Peme- dalam permusyawaratan sebuah rintah terhadap pengertian otonomi dewan adat. Ada empat karakteristik nagari, yaitu serba diatur, dibimbing sistem otoritas Minangkabau, per- dan ditunjukkan dari atas alias top tama, nagari dianggap sebagai se- down, hal mana terasa agak sedikit buah republik kecil, kedua, de- menggelikan. mokrasi, dimana setiap orang secara adat adalah sama suaranya, berdiri NEGARA BERHENTI DI BA-TAS sama tinggi duduk sama rendah, NAGARI : MUNGKINKAH. ketiga, desentralisasi dalam berbagai bentuk otoritas kepada berbagai “ Nagari ideal” merupakan ke- bentuk kepemimpinan, dan keempat, satuan masyarakat adat yang oto- pandangan yang horizontal dalam nom, ia merupakan republik mini hubungan antara manusia menye- dengan teritorial yang jelas bagi para babkan pemimpin-pemimpin, pe- anggota-anggotanya, yang mem- megang otoritas, bermakna peme- punyai pemerintahan sendiri, dan gang amanah warganya agar selalu mempunyai adat sendiri yang meng- mawas diri (Manan, 2003) atur tata kehidupan anggota-ang- Menyimak apa yang dike- gotanya. Meminjam pengertian kon- mukan di atas, jelas bahwa otoritas sep otonom yang beredar diberbagai kepemimpinan adat di Minangkabau 58 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010) harus dikerangkakan dalam konteks te-lah merupakan jenjang terbawah kemandirian nagari dalam artian sistem pemerintahan yang hirarki- bahwa nagari bukanlah bahagian nya berlaku secara nasional. Artinya, dari sistem pemerintahan supra keatas nagari ber-hadapan dengan nagari. Sehingga dengan demikian pemerintah yang lebih tinggi untuk otoritas yang diperoleh para mewakili rakyatnya, dan ke bawah pemimpinnya bukan pemberian dan berhadapan dengan rakyat untuk juga bukan pendelegasian dari pe- mewakili pemerintah yang lebih megang otoritas lebih tinggi, me- tinggi. lainkan murni terlembaga secara Konsekuensi dari sebuah ke- bertingkat dari bawah (bottom up) inginan agar nagari benar-benar yang diberikan oleh warga kepada memiliki wewenang otonom yang pemimpinnya. harus mampu berdiri di atas kaki Model kepemimpinan, dalam sendiri itu memerlukan jabaran de- “nagari ideal“ sebagaimana yang ngan analisis sistemik. Kita tidak telah dijelas-kan pada bagian ter- cukup dengan hanya menghidupkan dahulu, bahwa masing-masing ke- kembali lembaga-lembaga kenagari- lompok kekerabatan yang mendiami an, yang formal maupun informal- nagari mulai dari, kelompok sa- tetapi kita juga perlu melihat saling paruik (sub-lineage), kaum (lineage), keterkaitan antara lembaga-lembaga maupun suku (scan) memiliki ke- itu yang walau secara fungsional pemimpinan sendiri yang pada berdiri sendiri-sendiri, tetapi secara gilirannya secara bertingkat akan sistemik merupakan sebuah ja- menjadi dewan pemerintahan na- ringan yang saling terkait dan ber- gari. sinergi. Para pemimpin di setiap ting- Oleh karena itu menurut Naim kat dalam hal ekonomi, khususnya (2005) setidaknya ada empat pilar untuk keperluan-keperluan jabatan- bagi te-gaknya nagari otonom diera nya, misalnya ketika sebuah kegiat- sekarang ini yaitu: an yang dilakukannya de-mi me- Pertama, nagari sebagai “unit wakili kelompok dan memerlukan kesatuan administratif peme- dana, maka anggota (anak keme- rintahan”. Sebagai unit ke-satuan nakan) kelompoklah yang menye- administratif pemerintahan, na- diakan dananya melalui instusi yang gari mesti menghidupkan kembali secara adat disebut “sawah ka- lembaga-lembaga yang men- gadangan”. Oleh karena itu pa-ra dukungnya sebagai sebuah re- pemimpin itu tidak perlu pula publik miniatur yang mempunyai disediakan honor/gajinya oleh pemerintah (dalam hal ini Wali- nagari seperti sekarang. nagari beserta perangkatnya se- Akan tetapi nagari yang kita bagai eksekutif), BPN/BPAN (se- bicarakan sekarang adalah nagari bagai lembaga legislatif yang akan yang telah mengalami beberapa kali membuat peraturan nagari serta rekonstruksi demi berbagai ke- menerima laporan kinerja ekse- pentingan dan oleh berma-cam kutif), dan instusi peradilan yang pengaruh dan berjenis sistem peme- akan menyelesaikan perkara-per- rintahan. Yang pasti, nagari sekarang Afwadi, Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari… 59

kara perdata adat maupun pidana Misalnya, kesulitan otonomi daerah ditingkat nagari (sebagai lembaga antara lain karena ketergantungan yudikatif) yang dulu dilaksana- daerah terhadap pembiayaan dari kan oleh Kerapatan Adat Nagari. pusat, begitu juga dengan nagari, Kedua, nagari sebagai unit ke- dimana kesulitan otonomi nagari satuan sosial budaya mengacu saat ini lebih karena ketergantungan pada prinsip “adat salingka na- nagari terhadap pendanaan dari gari” sehingga nagari berwenang daerah Kabupaten/Kota. Selain itu, mengatur penuh hal-hal yang soal sumberdaya manusia misalnya, berkaitan dengan adat, agama dan agaknya hampir semua nagari yang nilai-nilai serta norma-norma bu- ada di Sumatera Barat saat ini relatif daya yang mereka miliki. tidak mengalami persoalan. Sehu- bungan dengan itu, amat menarik Ketiga, nagari sebagai unit ke- apa yang ditawarkan Mochtar Naim satuan ekonomi. Karena sifatnya di atas. Jika saja nagari mampu men- yang otonom nagari harus mam- jadikan dirinya sebagai unit kesatu- pu membiayai dirinya sendiri an ekonomi, maka ketergantungan melalui pemanfaatan aset-aset itu bisa dihilangkan. atau sumberdaya alam yang di- Akhirnya menurut pendapat miliki. Hal ini bukan tidak penulis, pilihan perwujdan nagari mungkin dapat meminimalisir otonom ketika dihadapkan pada ketergantungan nagari kepada pe- kondisi dualisme antara mengikuti merintah, meskipun bukan berati format negara atau merevitalisasi sumber-sumber dana dari peme- format adat, dapat sandarkan pada rintah seperti Dana Alokasi empat pilar yang ditawarkan Moch- Umum Nagari akan ditolak/ tar Naim di atas. Jika keempat pilar diabaikan. itu di-gerakkan dari bawah ke atas Keempat, nagari sebagai unit ke- (tentu saja dengan dukungan peme- satuan keamana dan pengaman- gang otoritas lebih tinggi di tingkat an. Mekanisme inipun sebenarnya Provinsi dan Kabupaten/Kota) bu- bukanlah hal yang baru bagi kan tidak mungkin nagari sekarang nagari di Minangkabau, sebab benar-benar akan tegak sebagai na- dulu dikenal institusi “” gari otonom meskipun bukan “na- (hulubalang) yang berada di bawah gari ideal”, sebaliknya ketika formu- komando Walinagari dan me- lasi yang dipilih seperti yang mikul tanggungjawab keamanan diparadigmakan Gamawan di Kabu- nagari. Dengan begini polisi yang paten Solok maka nagari otonom memang adanya hanya sampai adalah karena diotonomkan nega-ra ditingkat Kecamatan saja cukup- dengan kata lain bukan revitalisasi lah menangani masalah-masalah dan refungsionalisasi seperti yang Kamtibmas yang bersifat lintas disorakkan masayarakat Sumatera nagari. Barat ketika akan Kembali ke Nagari dulu. Dengan yang format yang Secara filosofi teoritis, ada pen- pertama Berhentilan Negara di Batas dapat bahwa kendala otonomi Nagari. Wallahu Alam Bissawab. adalah dependensi/ketergantungan. 60 JURIS, Volume 9 No.1 (Juni 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2005, Bahan Kuliah Dinamika Manggis,M,Rasyd.Dt Rajo Pangulu, Oto-nomi Daerah pada Prodi 1981. Sejarah Ringkas Minang- Polokda Pasca-sarjana Universitas kabau dan Adatnya, Mutiara Andalas, Padang Sumber Widya, Jakarta Amran,Rusli. 1981. Sumatera Barat Navis.A.A. 1986. Alam Terkembang Hingga Plakat Panjang, Sinar Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Harapan, Jakarta Minangkabau, Graffitipers, Djohan, Djohermansyah. 2003, Jakarta Kebijakan Otonomi Daerah 1999, Naim, Mochtar. 2005. Bahan Kuliah Yarsif Wa-tampone, Jakarta Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah pada Prodi Polokda Efiyandri. ed. 2003. Nagari Dalam Pascasarjana Universitas Andalas, Perspek-tif Sejarah. Lentera 21, …. , Padang Padang. 2000. Laporan Hasil Lokakarya Kembali Ke RA. Bakaruddin. 2005. Bahan Kuliah Peme-rintahan Nagari: Nagari Politik Lokal dan Pemerintahan Sumani Kecamatan X Koto Daerah Prodi Polokda Pasca- sarjana Universitas Andalas Singkarak, Kabupaten Solok, ……. . , Padang ……. , Padang.