AMERTA JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI (JOURNAL OF ARCHAEOLOGICAL RESEARCH AND DEVELOPMENT)

Penerbit PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2017 AMERTA JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI (JOURNAL OF ARCHAEOLOGICAL RESEARCH AND DEVELOPMENT) Volume 35, No. 1, Juni 2017 ISSN 0215-1324; e-ISSN 2549-8908 Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah Nomor: 587/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab (Chairperson) Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Director of The National Research Centre of Archaeology)

Pemimpin Redaksi (Editor in Chief) Sukawati Susetyo, M.Hum. (Arkeologi Sejarah)

Dewan Redaksi (Boards of Editors) Adhi Agus Oktaviana, S.Hum. (Arkeologi Prasejarah) Sarjiyanto, M.Hum. (Arkeologi Sejarah) Libra Hari Inagurasi, M.Hum. (Arkeologi Sejarah)

Mitra Bestari (Peer Reviewers) Prof. Ris. Dr. Truman Simanjuntak (Arkeologi Prasejarah, Center for Prehistoric and Austronesian Studies) Prof. Dr. Hariani Santiko (Arkeologi Sejarah, Ikatan Ahli Arkeologi ) Drs. Sonny C. Wibisono, MA, DEA. (Arkeologi Sejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Dr. Wiwin Djuwita S. R., M.Si. (Arkeologi dan Manajemen Sumber Daya Arkeologi, Universitas Indonesia) Dr. Titi Surti Nastiti (Arkeologi Sejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Mitra Bestari Tamu (Guest Peer Reviewer) Prof. Ris. Dr. Bagyo Prasetyo (Arkeologi Prasejarah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Prof. Ris. Dr. Bambang Soelistyanto (Arkeologi Publik, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Penyunting (Copyeditors) Aliza Diniasti, S.S. (Penyunting Bahasa Inggris/English Copyeditors) Drs. SRH. Sitanggang, M.A. (Penyunting Bahasa Indonesia/Indonesian Copyeditors)

Redaksi Pelaksana (Managing Editor) Murnia Dewi

Tata Letak dan Desain (Layout and Design) Nugroho Adi Wicaksono, S.T. Anthony Yulviandha, A.Md.

Alamat (Address) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jalan Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Indonesia Telp. +62 21 7988171 / 7988131 Fax. +62 21 7988187 e-mail: [email protected]; [email protected] website: arkenas.kemdikbud.go.id/arkenas/ jurnal online: http://jurnalarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/amerta

Produksi dan Distribusi (Production and Distribution) PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL (THE NATIONAL RESEARCH CENTRE OF ARCHAEOLOGY) 2017 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi merupakan sarana publikasi dan informasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang arkeologi dan ilmu terkait. Jurnal ini menyajikan artikel orisinal, tentang pengetahuan dan informasi hasil penelitian atau aplikasi hasil penelitian dan pengembangan terkini dalam bidang arkeologi dan ilmu terkait seperti kimia, biologi, geologi, paleontologi, dan antropologi. Sejak tahun 1955, AMERTA sudah menjadi wadah publikasi hasil penelitian arkeologi, kemudian tahun 1985 menjadi AMERTA, Berkala Arkeologi. Sesuai dengan perkembangan keilmuan, pada tahun 2006 menjadi AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Pengajuan artikel di jurnal ini dilakukan secara online ke http://jurnalarkeologi.kemdikbud. go.id/index.php/amerta. Informasi lengkap untuk pemuatan artikel dan petunjuk penulisan terdapat di halaman akhir dalam setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi Dewan Redaksi. Semua tulisan di dalam jurnal ini dilindungi oleh Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Mengutip dan meringkas artikel; gambar; dan tabel dari jurnal ini harus mencantumkan sumber. Selain itu, menggandakan artikel atau jurnal harus mendapat izin penulis. Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember, diedarkan untuk masyarakat umum dan akademik baik di dalam maupun luar negeri.

AMERTA, Journal of Archaeological Research and Development is a facility to publish and inform results of research and development in archaeology and related sciences. This journal presents original articles about recent knowledge and information about results or application of research and development in the field of archaeology and related sciences, such as chemistry, biology, geology, paleontology, and anthropology. Since 1955, AMERTA has become the means to publish result of archaeological research and in 1985 the title became AMERTA, Berkala Arkeologi (AMERTA, Archaeological periodicals). In line with scientific advancement, in 2006 the name was changed again into AMERTA, Journal of Archaeological Research and Development. The article submission on this journal is processed online via http://jurnalarkeologi. kemdikbud.go.id/index.php/amerta. Detail information on how to submit articles and guidance to authors on how to write the articles can be found on the last page of each edition. All of the submitted articles are subject to be peer-reviewed and edited. All articles in this journal are protected under the right of intellectual property. Quoting and excerpting statements, as well as reprinting any figure and table in this journal have to mention the source. Reproduction of any article or the entire journal requires written permission from the author(s) and license from the publisher. This journal is published twice a year, in June and December, and is distributed for general public and academic circles in Indonesia and abroad.

i ii KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya Dewan Redaksi dapat menghadirkan Amerta Jurnal Penelitian dan Pengembangan Vol. 35 No.1, Juni 2017. Pada edisi kali ini, menampilkan 5 artikel. Artikel pertama ditulis oleh Yosua Adrian Pasaribu mengenai Binatang Totem pada seni cadas prasejarah di Selatan. Ia meneliti 86 gambar cadas pada gua-gua, yang terdiri dari 10 gua di Kabupaten Maros, 13 gua di Kabupaten Pangkep, dan 2 gua di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Adapun gambar cadas tersebut terdiri dari 17 motif binatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya penggambaran motif binatang pada seni cadas prasejarah Sulawesi Selatan dapat dimasukkan ke dalam fenomena budaya yang oleh para ahli disebut totemisme. Artikel kedua oleh Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto berjudul “Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk”, membahas mengenai salah satu rangka manusia yang ditemukan pada Situs Paleometalik Gilimanuk yang sekarang disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, UGM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rangka tersebut adalah seorang perempuan yang meninggal ketika berumur sekitar 50 tahun, ia memiliki beberapa gangguan kesehatan, di antaranya adalah atrisi pada seluruh permukaan gigi, trauma pada molar, salah satu rusuk kanan patah ketika masih hidup, parturisi, dan degenerasi persendian. Artikel ketiga berjudul “Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura” ditulis oleh Erlin Novita Idje Djami. Temuan megalitik di pesisir pantai utara Kabupaten Jayapura mempunyai bentuk yang cukup beragam dan merupakan simbol yang menjelaskan dasar kehidupan orang Papua. Bentuk tinggalan megalitik tersebut berupa Kursi Batu, Menhir, dan Arca Menhir, Batu Tempayan, Batu Tajaho, Batu Nenek Moyang, Batu Yendaepiwai dan Batu Permen, Batu Sukun, Batu Lingkar, Tungku Haby Pain, dan Batu Somda. Di samping tinggalan arkeologi, cerita rakyat juga melingkupi objek budaya tersebut. Tinggalan-tinggalan tersebut berfungsi sebagai tempat duduk, media upacara, bukti kepemilikan wilayah adat, tanda asal sejarah, tempat musyawarah, tempat yang bercerita, simbol nenek moyang, dan bukti sejarah. Keragaman temuan megalitik tersebut merupakan simbol manusia pendukungnya, yang di dalamnya mengandung makna-makna kehidupan sebagai karakter budaya bangsa. Artikel keempat oleh Yogi Pradana menyoroti tentang Kebijakan Penguasa pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M) dalam upaya pelestarian bangunan keagamaan. Prasasti yang diteliti berjumlah sekitar 20 buah, di antaranya adalah Prasasti Wanua Tengah III (908 M), Prasasti Telang I (903 M), Prasasti Watukura I (902 M), dan Prasasti Samalagi (910 M). Berdasarkan penelitian terhadap prasasti-prasasti tersebut diketahui bahwa penyebutan kebijakan pelestarian bangunan keagamaan disebutkan secara tersurat maupun tersirat. Bentuk- bentuk pelestarian bangunan keagamaan antara lain berupa renovasi, penambahan bangunan, dan perawatan bangunan. Artikel terakhir ditulis secara bersama-sama oleh W. Djuwita Sudjana Ramelan, Osrifoel Oesman, Gatot Ghautama, Supratikno Rahardjo, dan Prio Widiono berjudul “Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif”. Pulau Penyengat dapat dikatakan satu-satunya wilayah yang memiliki tinggalan budaya berupa bangunan yang masih utuh dengan ciri warna kemelayuan. Pulau Penyengat dengan luas 3,5 km², di dalamnya terdapat puluhan bangunan dan struktur yang masih dapat diidentifikasi fungsinya dan sekurang-kurangnya 16 bangunan yang masih utuh meskipun tidak terurus. Keberadaan tinggalan budaya tersebut meyakinkan kita bahwa kebudayaan Melayu

iii berpusat di wilayah Riau. Tulisan ini membahas tentang konsep zonasi pada situs-situs di Pulau Penyengat, yang dikaji melalui analisis arsitektural, sejarah, budaya, pengembangan zonasi, dan hukum. Studi ini menghasilkan sebuah konsep zonasi semua situs di kawasan Pulau Penyengat. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yang telah berperan dalam menelaah seluruh artikel. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para editor yang telah memeriksa naskah. Akhir kata redaksi berharap, semoga artikel dalam edisi ini memberikan tambahan wawasan pengetahuan bagi pembaca, pemerhati ilmu budaya pada umumnya, dan pecinta arkeologi khususnya.

Dewan Redaksi

iv AMERTA JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI (JOURNAL OF ARCHAEOLOGICAL RESEARCH AND DEVELOPMENT) Volume 35, No. 1, Juni 2017 ISSN 0215-1324; e-ISSN 2549-8908

ISI (CONTENTS)

Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan 1-18

Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk 19-32

Erlin Novita Idje Djami Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura 33-46

Yogi Pradana Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M) 47-59

W. Djuwita Sudjana Ramelan, Osrifoel Oesman, Gatot Ghautama, Supratikno Rahardjo, dan Prio Widiono Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif 61-74

v vi AMERTA Volume 35, Nomor 1, Juni 2017 ISSN 0215-1324; e-ISSN 2549-8908 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa izin dan biaya

DDC: 930.1 parturisi, dan degenerasi persendian temporomandibular Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana atau porositas pada fossa mandibularis. Disamping itu, terdapat pula osteopit dan porositas pada beberapa bagian Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di tulang, seperti pada ossa carpi, ossa tarsi, ruas tulang Sulawesi Selatan belakang, dan eburnasi atau kilapan pada bagian talus Vol. 35 No. 1, Juni 2017. hlm. 1-18 yang merupakan gejala osteoartritis. Motif seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan adalah motif tangan, motif binatang, perahu, antropomorfis, dan Kata Kunci: Osteobiografi, Osteoartritis, Gilimanuk, Bali geometris. Motif binatang yang digambarkan pada 25 dari 90 gua seni cadas prasejarah di kawasan itu, antara lain motif ikan, penyu, burung, dan mamalia. Penelitian DDC: 930.1 pertanggalan seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan Erlin Novita Idje Djami pada 2014 menunjukkan bahwa salah satu motif babi berusia ± 35.400 tahun. Berdasarkan beragamnya motif Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir binatang yang digambarkan dan pertanggalan terbaru Pantai Utara Kabupaten Jayapura yang menempatkan kawasan itu ke dalam masa yang Vol. 35 No. 1, Juni 2017. hlm. 33-46 sangat tua, penelitian mengenai konteks budaya motif Tinggalan megalitik merupakan suatu bentuk manifestasi binatang menjadi suatu hal yang menarik. Sesuai dengan dari peristiwa sosial budaya masyarakat masa lampau. tujuan penelitian ini khusus mengkaji motif binatang. Keberadaan temuan megalitik banyak ditemui di pesisir Motif lain, seperti motif antropomorfis dan geometris pantai utara Kabupaten Jayapura. Jika dilihat dari yang diduga kuat memiliki makna khusus dalam konteks bentuknya, temuan itu cukup beragam dan merupakan budaya memerlukan kajian tersendiri. Penelitian ini simbol yang menjelaskan dasar kehidupan orang menggunakan metode kuantitatif terhadap data berupa Papua. Sehubungan dengan itu, menjadi penting untuk 86 gambar yang terdiri atas 17 motif binatang pada 10 mengungkapkan bentuk tinggalan megalitik tersebut, gua di Kabupaten Maros, 13 gua di Kabupaten Pangkep, baik fungsi maupun makna yang terkandung didalamnya. dan 2 gua di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Hasil Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan penerapan metode penelitian tersebut menempatkan makna tinggalan megalitik yang menggambarkan jati diri konteks budaya penggambaran motif binatang pada seni bangsa. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi cadas prasejarah Sulawesi Selatan kedalam fenomena pustaka, observasi objek megalitik, dan wawancara. Hasil budaya yang didefinisikan oleh para ahli sebagai penelitian bentuk tinggalan megalitik berupa kursi batu, totemisme. menhir, dan arca menhir, Batu Tempayan, Batu Tajaho, Batu Nenek Moyang, Batu Yendaepiwai, Batu Permen, Kata Kunci: Seni Cadas, Motif Binatang, Konteks Batu Sukun, Batu Lingkar, Tungku Api (haby pain), dan Budaya, Sulawesi Selatan, Totem Batu Somda, serta cerita rakyat yang melingkupi objek budaya tersebut. Tinggalan tersebut berfungsi sebagai tempat duduk, media upacara, bukti kepemilikan wilayah DDC: 930.1 adat, tanda asal sejarah, tempat musyawarah, tempat Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto yang bercerita, simbol nenek moyang, dan bukti sejarah. Keragaman temuan megalitik tersebut merupakan simbol Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah manusia pendukungnya, yang mengandung makna Gilimanuk kehidupan sebagai karakter budaya bangsa. Vol. 35 No. 1, Juni 2017. hlm. 19-32 Tulisan ini membahas Individu Nomor 38, rangka manusia Kata Kunci: Tinggalan megalitik, Bentuk, Fungsi, yang ditemukan pada Situs Paleometalik Gilimanuk dan Makna, Pesisir utara Kabupaten Jayapura sekarang disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Universitas Gadjah Mada. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis makroskopis tanpa menggunakan proses destruktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Individu Nomor 38 adalah perempuan dengan umur sekitar 50 tahun ketika meninggal. Selain itu, Individu Nomor 38 memiliki beberapa gangguan kesehatan, di antaranya adalah atrisi pada seluruh permukaan gigi, trauma pada molar pertama maxilla kiri, salah satu rusuk kanan patah ketika masih hidup, adanya

vii DDC: 720.9 Yogi Pradana Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M) Vol. 35 No. 1, Juni 2017. hlm. 47-59 Penelitian ini membahas kebijakan penguasa pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-901 Masehi) dari Kerajaan Matarām Kuno. Kebijakan yang dibahas bentuk pelestarian bangunan keagamaan berdasarkan data prasasti dari masa pemerintahan Raja Balitung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa lampau. Metode yang digunakan adalah penalaran induktif dengan sifat deskriptif- analitis. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis struktural, yaitu melakukan kritik intern pada transliterasi atau alih bahasa isi prasasti untuk memperoleh penafsiran berupa aspek-kehidupan manusia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa penyebutan kebijakan pelestarian bangunan keagamaan dalam prasasti disebutkan, baik secara tersurat maupun tersirat. Adapun bentuk-bentuk kebijakan penguasa dalam melestarikan bangunan keagamaan antara lain berupa renovasi, penambahan bangunan, dan perawatan bangunan.

Kata Kunci: Kebijakan, Pelestarian, Bangunan keagamaan, Prasasti

DDC: 720.9 W. Djuwita Sudjana Ramelan, Osrifoel Oesman, Gatot Ghautama, Supratikno Rahardjo, dan Prio Widiono Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif Vol. 35 No. 1, Juni 2017. hlm. 61-74 Pulau Penyengat di Provinsi Kepulauan Riau dapat dikatakan satu-satunya wilayah yang memiliki tinggalan budaya berupa bangunan yang masih utuh dengan ciri warna kemelayuan. Pulau Penyengat ini merupakan pulau seluas 3,5 km². Di dalamnya terdapat puluhan bangunan dan struktur yang masih dapat diidentifikasi fungsinya dan sekurang-kurangnya ada enam belas yang masih utuh meskipun tidak terurus. Keberadaan tinggalan budaya itulah yang meyakinkan kita bahwa kebudayaan Melayu berpusat di wilayah Riau. Studi ini berkenaan dengan pembahasan konsep zonasi pada setiap situs di Pulau Penyengat yang dapat dijadikan acuan apabila ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Selain itu, digali nilai- nilai penting yang terkandung pada warisan budayanya. Dalam studi multidisiplin ini digunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui observasi lapangan, identifikasi cagar budaya, in-depth interview, focused group discussion (FGD), dan delineasi untuk zonasi setiap situs. Data tersebut dikaji melalui analisis arsitektural, sejarah, budaya, pengembangan zonasi, dan hukum. Studi ini menghasilkan sebuah konsep zonasi semua situs di kawasan Pulau Penyengat.

Kata Kunci: Cagar Budaya, Zonasi, Nilai penting, Pulau Penyengat

viii AMERTA Volume 35, Number 1, June 2017 ISSN 0215-1324; e-ISSN 2549-8908 These abstract can be copied without permission and fee

DDC: 930.1 and eburnation on talus which could be correlated with Yosua Adrian Pasaribu and R. Cecep Eka Permana osteoarthritis.

Totemic Animals in the Prehistoric Rock Art of South Keywords: Osteobiography, Osteoarthritis, Gilimanuk, Sulawesi. Bali Vol. 35 No. 1, June 2017. pp. 1-18 Prehistoric rock art motifs in are hand motifs, animal motifs, boat motifs, anthropomorphic DDC: 930.1 motifs, and geometric motif. Animal motifs, which Erlin Novita Idje Djami include fish, turtles, birds, and mammals, are depicted in 25 of 90 prehistoric caves in the region. Research on Typology and Meaning of Megalithic Remains in the prehistoric rock art in 2014 shows that one of the pig North Coast of Jayapura . motifs is dated ± 35,400 years ago. Based on the diverse Vol. 35 No. 1, June 2017. pp. 33-46 animal motifs depicted and the latest dating that puts Megalithic remains are a form of manifestation of the rock art area into a very old period, research on the social and cultural events in the past. The existence of cultural context of animal motifs on the prehistoric rock megalithic findings was encountered in the northern coast art in South Sulawesi is an interesting thing. In accordance of Jayapura regency. Judging from their forms, they are with the research’s aim, this study is focused on animal quite diverse and served as a symbol that explains the motifs. Other motifs in the prehistoric rock art region of basis of life of the people of Papua. In respect of this, it Sulawesi, such as anthropomorphic and geometric that is important to reveal the forms, functions, and meanings allegedly have their own distinct meanings in the cultural of the megalithic remains contained in them. The aim context, require other specific investigations. This study of this research is to determine the forms, functions, employed a quantitative method on 86 pictures which and meanings of the megalithic remains that represent consist of 17 animal motifs in ten caves in Maros regency, nation’s identity. Data were collected through literatures, thirteen caves in Pangkep regency, and two caves in Bone observation of megalithic objects, and interviews with regency, South Sulawesi. The application of that method informants. The result of the study on stone seats, menhirs to the prehistoric rock art in South Sulawesi place the and menhir statues, stone jars, Tajaho Rock, Ancestor cultural context in the cultural phenomenon, which is Rock, Yendaepiwai Rock, Batu Permen (candy stone), defined by experts as totemism. Batu Sukun (breadfruit stone), Batu Lingkar (stone enclosure), Haby pain stove, and Somda Rock, as well as Keywords: Rock Art, Animal motifs, Cultural context, the folklores about those cultural objects reveal that the South Sulawesi, Totem remains were functioned as seats, media of ceremonies, proof of ownership of indigenous territories, marks of historical origin, place for public discussion, a place that DDC: 930.1 tells a story, a symbol of the ancestors, and historical Ashwin Prayudi and Rusyad Adi Suriyanto evidence. The diversity of the megalithic findings is a symbol of their human supporters, which contains the Osteobiography of Individual Number 38 from Prehistoric meaning of life as the nation’s cultural character. Site of Gilimanuk. Vol. 35 No. 1, June 2017. pp. 19-32 Keywords: Megalithic remains, Form, Function, This research discusses Individual from Palaeometallic Meaning, Northern coastal regency of Burial Site of Gilimanuk, which is located in Bali, Jayapura Indonesia. The skeleton is stored in the Laboratory of Bioanthropology and Palaeo-anthropology, Gadjah Mada University. The method used for this research is macroscopical analysis without using any destructive method. The results from this research show that this individual was a female, which age at death is around 50 years old. This individual also had palaeopathological problems such as dental attrition, dental fracture (the first molar of its left maxilla), broken right rib that happened while she was alive, fracture on spine and parturition scar. Moreover, this individual had osteophytes and porosity on temporomandibular joint, tarsal, carpal, spine

ix DDC: 720.9 Yogi Pradana

Policy of the Authorities in the Preservation of Religious Buildings During the Reign of Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 A.D.) Vol. 35 No. 1, June 2017. pp. 47-59 This study discusses the policy of the authorities during the reign of King Balitung (898-910 A.D.) of Ancient Mataram Kingdom. The policy that was discussed in this study was the forms of preservation of religious buildings. The aim of this study was to provide information on the forms of preservation of religious buildings in the past. The method used in this study was inductive reasoning with descriptive-analytic approach. The analysis used in this study was structural analysis, which was making internal critic on inscriptions’ transliterations to generate interpretation about aspects of human life. Based on this study, it is known that the mention of the religious buildings’ preservation policy is expressed explicitly or implicitly, while the forms of policies to preserve religious buildings were among others renovation, addition of buildings, and maintenance.

Keywords: Policy, Preservation, Religious buildings, Inscription

DDC: 720.9 W. Djuwita Sudjana Ramelan, Osrifoel Oesman, Gatot Ghautama, Supratikno Rahardjo, and Prio Widiono

Zoning Concept of Pulau Penyengat: An Alternative Vol. 35 No. 1, June 2017. pp. 61-74 Pulau Penyengat in the Province of Riau Islands could be considered as the only region that has intact cultural heritage buildings with Malay colour characteristic. Pulau Penyengat is an island of 3.5 km². There are dozens of buildings and structures which functions can still be identified and there are at least 16 which are still intact but neglected. The existence of these remains convinced us that the center of Malay culture is in Riau region. This study is to discuss the concept of zoning at each site in Pulau Penyengat that can be used as reference when the island is designated as heritage area. Important values embodied in the cultural heritage are also studied. This multidisciplinary study uses qualitative approach. Data is obtained through field observation, identification of cultural heritage, in-depth interviews, focused group discussion (FGD), and zoning delineation for each site. The data is analyzed through architectural, historical, cultural, development zoning, and law analysis. The result of this study is a concept of zoning for all sites in the region of Pulau Penyengat.

Keywords: Cultural Heritage, Zoning, Significant values, Pulau Penyengat

x BINATANG TOTEM PADA SENI CADAS PRASEJARAH DI SULAWESI SELATAN

Yosua Adrian Pasaribu1 dan R. Cecep Eka Permana2 1) Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta [email protected] 2) Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok - Jawa Barat [email protected]

Abstract. Totemic Animals in the Prehistoric Rock Art of South Sulawesi. Prehistoric rock art motifs in South Sulawesi are hand motifs, animal motifs, boat motifs, anthropomorphic motifs, and geometric motif. Animal motifs, which include fish, turtles, birds, and mammals, are depicted in 25 of 90 prehistoric caves in the region. Research on prehistoric rock art in 2014 shows that one of the pig motifs is dated ± 35,400 years ago. Based on the diverse animal motifs depicted and the latest dating that puts the rock art area into a very old period, research on the cultural context of animal motifs on the prehistoric rock art in South Sulawesi is an interesting thing. In accordance with the research’s aim, this study is focused on animal motifs. Other motifs in the prehistoric rock art region of Sulawesi, such as anthropomorphic and geometric that allegedly have their own distinct meanings in the cultural context, require other specific investigations. This study employed a quantitative method on 86 pictures which consist of 17 animal motifs in ten caves in Maros regency, thirteen caves in Pangkep regency, and two caves in , South Sulawesi. The application of that method to the prehistoric rock art in South Sulawesi place the cultural context in the cultural phenomenon, which is defined by experts as totemism. Keywords: Rock Art, Animal Motifs, Cultural Context, South Sulawesi, Totem

Abstrak. Motif seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan adalah motif tangan, motif binatang, perahu, antropomorfis, dan geometris. Motif binatang yang digambarkan pada 25 dari 90 gua seni cadas prasejarah di kawasan itu, antara lain motif ikan, penyu, burung, dan mamalia. Penelitian pertanggalan seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan pada 2014 menunjukkan bahwa salah satu motif babi berusia ± 35.400 tahun. Berdasarkan beragamnya motif binatang yang digambarkan dan pertanggalan terbaru yang menempatkan kawasan itu ke dalam masa yang sangat tua, penelitian mengenai konteks budaya motif binatang menjadi suatu hal yang menarik. Sesuai dengan tujuan penelitian ini khusus mengkaji motif binatang. Motif lain, seperti motif antropomorfis dan geometris yang diduga kuat memiliki makna khusus dalam konteks budaya memerlukan kajian tersendiri. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif terhadap data berupa 86 gambar yang terdiri atas 17 motif binatang pada 10 gua di Kabupaten Maros, 13 gua di Kabupaten Pangkep, dan 2 gua di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Hasil penerapan metode penelitian tersebut menempatkan konteks budaya penggambaran motif binatang pada seni cadas prasejarah Sulawesi Selatan ke dalam fenomena budaya yang didefinisikan oleh para ahli sebagai totemisme. Kata Kunci: Seni Cadas, Motif Binatang, Konteks Budaya, Sulawesi Selatan, Totem

1. Pendahuluan Artikel ini juga sekaligus melakukan koreksi Artikel ini adalah hasil penelitian atau tesis terhadap artikel penulis pada jurnal Paradigma magister arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Jurnal Kajian Budaya Vol. 6 No. 1, 2016, hlm. Budaya, Universitas Indonesia (Pasaribu, 2016), 1-27. Koreksi yang dilakukan menyangkut dibawah bimbingan R. Cecep Eka Permana. penerapan metode yang berdampak terhadap

Naskah diterima tanggal 29 Desember 2016, diperiksa 10 Februari 2017, dan disetujui tanggal 3 Mei 2017.

1 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 hasil penelitian. Pada artikel yang dimuat di meminimalisasi keberagaman tradisi dalam seni dalam jurnal Paradigma tersebut, penulis cadas (Layton 2000, 179). membagi seni cadas prasejarah Sulawesi Robert Layton melakukan kritik terhadap Selatan ke dalam periodisasi pra-Austronesia penekanan universal interpretasi samanisme dan Austronesia yang dipengaruhi oleh artikel terhadap seni cadas dan mengusulkan sebuah Aubert et al. (2014). Pada artikel ini penulis tidak metode kuantitatif untuk menampakkan melakukan pembagian periodisasi terhadap seni keberagaman konteks budaya dalam berbagai cadas itu sesuai dengan metode Layton (2000) seni cadas. Menurut Layton (2000, 179- yang digunakan oleh penulis. Layton menyusun 180), seni cadas totemisme, samanisme, statistik frekuensi dan persebaran motif pada dan kehidupan sehari-hari dapat dibedakan kawasan seni cadas Kimberleys (Australia), berdasarkan frekuensi dan persebaran motif Laura (Australia), Karoo (Afrika Selatan), dan dalam suatu kawasan seni cadas. Paleolitik Atas (Prancis dan Spanyol) ke dalam Metode kuantitatif yang ditawarkan satuan kawasan tanpa membagi satuan kawasan Layton (2000) disambut baik oleh para peneliti itu ke dalam beberapa periode (Layton 2000, dari Prancis, Jerman, dan Australia yang 180,.182). Penyusunan data statistik motif kemudian ditinjau dengan menggunakan data binatang pada kawasan seni cadas itu tanpa yang lebih luas dan metode statistik yang lebih membagi satuan kawasan ke dalam beberapa sesuai. Dalam artikel itu Layton juga terlibat di periode juga mempertimbangkan masih dalamnya. Mereka mengembangkan metode sedikitnya informasi pertanggalan absolut motif baru untuk memperlihatkan konteks budaya seni binatang pada seni cadas tersebut, yaitu hanya 2 cadas dan menerapkannya terhadap seni cadas motif babi, 1 di Leang Timpuseng (Maros) dan Paleolitik Atas Prancis dan Spanyol. Metode 1 lagi di Leang Barugayya (Maros). itu berupa penelitian kuantitatif yang menyusun Konteks budaya yang dimaksud dalam statistik jumlah motif binatang dan jumlah situs penelitian ini sesuai dengan pendapat Sauvet pada kawasan seni cadas (Sauvet et al. 2009, et al. (2009, 319), yaitu hubungan antara aspek 320). perilaku, kebudayaan materi, dan sistem ide Berdasarkan penelitian Sauvet et al. yang merupakan ciri komunitas tertentu yang (2009), konteks budaya penggambaran motif diekspresikan melalui penggambaran binatang binatang dalam seni cadas di berbagai belahan dalam seni cadas. Motif binatang pada sejarah dunia yang diketahui melalui informasi etnografi penelitian seni cadas diinterpretasikan sebagai adalah samanisme, totemisme, dan sekuler atau penggambaran sekuler dalam kehidupan sehari- kehidupan sehari-hari. Berikut adalah uraian hari atau art for art’s sake (Ucko and Rosenfeld mengenai kasus etnografi kawasan seni cadas 1967, 117-118) sebagai penggambaran binatang dengan ketiga konteks budaya tersebut. totem (Rosengren 2008, 63), simbol oposisi Konteks budaya totemisme yang menda- biner (Ucko and Rosenfeld 1967, 143), dan sari tradisi seni cadas pada masyarakat pemburu- pengalaman trans-saman (Clottes and David pengumpul makanan kontemporer terdapat Lewis-Williams 1996). di kawasan seni cadas Kimberley (Australia) Interpretasi penggambaran pengalaman (Sauvet et al. 2009, 322-323). Totemisme dalam trans-saman mendominasi bidang penelitian antropologi secara umum menyatakan bahwa seni cadas dan mengesampingkan ketertarikan setiap kelompok sosial diidentifikasi dengan terhadap tema budaya lainnya, seperti totemisme spesies tertentu. Kelompok.A adalah kangguru dan rekaman kehidupan sehari-hari. Penekanan karena bukan emu atau piton (Sauvet et al. 2009, universal interpretasi samanisme cenderung 320).

2 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Konteks budaya samanisme yang ini tabel penggambaran pendapat tersebut dalam terlihat pada kawasan seni cadas terdapat pada bentuk tabel (Tabel 1). penggambaran motif eland (Taurotragus oryx) Kolom kosong dalam tabel tersebut yang memiliki frekuensi 60% dari seluruh motif menunjukkan kawasan seni cadas. Dalam binatang pada seluruh situs seni cadas di kawasan hal ini, jenis binatang tertentu digambarkan Drakensberg (Afrika Selatan). Fenomena sedikitnya dua kali lipat dibandingkan dengan tersebut diinterpretasikan sebagai ekspresi jenis binatang lain. Setiap jenis binatang tertentu samanisme masyarakat Maluti San berdasarkan digambarkan pada situs tertentu. Bagian yang catatan etnografi abad ke-19-20 dan keterangan kosong dalam tabel merupakan bagian, yang dari Qing, keturunan terakhir masyarakat Maluti menurut Sauvet et al. (2009, 322) menunjukkan San (Sauvet et al. 2009, 320). kurangnya bukti empiris, yang tampaknya tidak Konteks budaya kehidupan sehari- mungkin bahwa motif tertentu digambarkan hari pada tradisi seni cadas banyak diperoleh sedikitnya dua kali lipat dari yang lain dan berdasarkan catatan etnografi dari Australia. digambarkan pada proporsi kecil dari situs. Informasi etnografi di Cape York (Quensland Kelemahan metode Sauvet et al. Utara) diketahui bahwa mayoritas seni cadas (2009) adalah sulitnya mengidentifikasi motif adalah hasil dari hunian jangka panjang pada binatang yang digambarkan, terutama pada gua-gua sepanjang musim hujan sebagai salah kawasan seni cadas prasejarah tanpa informasi satu kegiatan mengisi waktu pada musim hujan etnografi. Menurut mereka, ada kemungkinan (Sauvet et al. 2009, 322). bahwa seniman seni cadas Periode Dinamis Menurut Sauvet et al. (2009, 322), di (Dynamic Period) di Arnhem Land (Australia) kawasan tempat konteks budaya motif binatang menggambarkan beberapa jenis makropod. dalam seni cadas adalah totemisme, yaitu jenis Namun, peneliti tidak dapat membedakan jenis binatang yang digambarkan banyak, tetapi makropod tersebut dan mengelompokkannya ke pada proporsi yang kecil karena setiap jenis dalam satu kategori umum (Sauvet et al. 2009, binatang milik setiap klan tertentu. Konteks 329). Kelemahan itu dialami penulis ketika budaya samanisme menggambarkan sedikit melakukan klasifikasi motif babi karena bentuk jenis binatang, tetapi mendominasi situs dan yang dapat diamati pada motif itu hanya dapat kawasan. Konteks budaya kehidupan sehari- dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu babi hari menggambarkan frekuensi jenis binatang endemik (Sus celebensis) dan babi celeng (Sus yang relatif setara. Setiap jenis gambar binatang scrofa). Ada kemungkinan bahwa masyarakat digambarkan pada situs dan kawasan. Berikut prasejarah pendukung tradisi seni cadas

Tabel 1. Pembedaan Tradisi Seni Cadas Berdasarkan Frekuensi dan Persebaran Motif Persebaran Setiap jenis binatang tertentu Jenis binatang tertentu digambarkan Frekuensi digambarkan pada situs tertentu hampir pada semua situs Jenis binatang tertentu digambarkan minimal dua kali lipat rata-rata motif - Samanisme (2) yang lain Jenis binatang tertentu digambarkan dalam jumlah frekuensi yang rendah atau sama dibandingkan dengan Totemisme (1) Kehidupan sehari-hari/sekuler (3) keseluruhan jenis binatang yang digambarkan (Sumber: Sauvet et al. 2009, 322)

3 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Sulawesi Selatan menggambarkan babi rusa dan jumlah motif binatang serta persebarannya (Babyrousa babyrussa) yang tidak dapat dikenali dalam kawasan seni cadas prasejarah di oleh penulis. Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilakukan Penelitian ini hanya mengkaji motif melalui kajian pustaka dan studi atau observasi binatang pada seni cadas, sementara motif lapangan. Kepustakaan, antara lain, bersumber antropomorfis dan motif non-figuratif juga dari inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya banyak digambarkan. Motif antropomorfis dan (BPCB) Sulawesi Selatan. Untuk kelengkapan motif nonfiguratif pada seni cadas prasejarah data dilakukan pengumpulan data di lapangan Sulawesi Selatan mungkin juga dapat dengan melakukan pendeskripsian secara verbal menunjukkan konteks budaya yang berbeda dan piktorial. dengan motif binatang. Dalam pelaksanaan penelitian ini, seni Terlepas dari kekurangan tersebut, cadas ditemukan pada 90 dari 128 gua di metode Sauvet et al dapat diterapkan pada seni Sulawesi Selatan yang memiliki data arkeologi cadas prasejarah di Sulawesi Selatan, terutama prasejarah. Motif yang ditemukan, antara lain untuk menunjukkan pola penggambaran motif motif tangan, binatang, perahu, antropomorfis, binatang. Penelitian kuantitatif ini mendapatkan dan geometris (Tim Penyusun 2013). Motif hasil direct hit, yang menempatkan kawasan seni binatang, antara lain ikan, penyu, burung, dan cadas prasejarah Sulawesi Selatan pada posisi mamalia yang ditemukan pada 25 dari 90 gua berdekatan dengan kawasan seni cadas totemisme yang memiliki seni cadas di Sulawesi Selatan. Kimberley (Australia) yang terletak dalam ruang Data penelitian ini sebanyak 86 gambar lingkup kawasan seni cadas etnografi Australia. yang terdiri atas 16 motif binatang yang Hal itu menunjukkan kemungkinan terdapat terdapat pada 25 situs. Melalui studi pustaka hubungan antara seni cadas Indonesia dan ditemukan beberapa gambar binatang yang Australia. pernah dilaporkan, tetapi sudah rusak atau Selain interpretasi penelitian tersebut, pola hilang. Gambar tersebut diragukan sebagai yang disusun berdasarkan metode kuantitatif ini motif binatang. Gambar yang dimaksud adalah juga dapat digunakan untuk keperluan penelitian 5 gambar babi yang dilaporkan di Leang lain mengenai motif binatang pada seni cadas Garunggung, Pangkep (Tim Penyusun 2013, prasejarah Sulawesi Selatan. Penelitian yang 54), yang sudah rusak atau hilang; 3 gambar dilakukan oleh penulis ini adalah penerapan lipan masing-masing pada Leang Bulu Tengngae metode Sauvet et al. (2009) untuk menempatkan (Maros), Leang Bulu Tianang (Maros), dan Leang hipotesis Layton (2000) terhadap seni cadas Pamelakkang Tedong, Pangkep (diragukan); prasejarah di Sulawesi Selatan. Oleh karena 1 gambar menyerupai bebek di Leang Bulu itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah Sipong.2, Maros (diragukan); 1 gambar babi bagaimana frekuensi dan persebaran motif yang sudah rusak pada Leang Batanglamara, binatang pada seni cadas prasejarah di Sulawesi Pangkep; 1 gambar kalajengking di Leang Ulu Selatan? Apakah konteks budaya motif binatang Tedong, Pangkep (diragukan); serta 2 gambar pada seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan ikan di Leang Cinayya, Pangkep (diragukan). dapat diinterpretasikan berdasarkan hipotesis Penelitian ini menggunakan seluruh motif Layton. binatang yang dapat diamati. Dari 86 gambar sebagai populasi, 13 gambar tidak diteliti. Jadi, 2. Metode Penelitian data yang digunakan sebagai objek penelitian Langkah awal dalam penelitian ini adalah sebanyak 87% dari total populasi 99 gambar mengumpulkan dan mengklasifikasi data motif binatang yang masih dapat diamati pada saat ini.

4 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Pengolahan data dilakukan dengan memiliki frekuensi tertinggi di kawasan seni menerapkan metode kuantitatif Sauvet et al. cadas Kimberley (Australia) adalah ular dan (2009, 322), yakni menyusun frekuensi dan kadal, yaitu 20,4% dan 13,3%. Oleh karena itu, persebaran motif binatang pada seni cadas rata-rata frekuensi seni cadas kawasan tersebut prasejarah di Sulawesi Selatan. Satuan motif adalah 20,4+13,3 dan hasilnya dibagi 2 = 16,8%. binatang ditentukan berdasarkan penggambaran Rata-rata persebaran dua motif terbanyak pada kepala binatang. Jika pada gambar yang sudah kawasan tersebut adalah ular dan kadal, yaitu relatif rusak terlihat bentuk yang dapat dikenali 53,3% dan 6,7%. Jadi, rata-rata persebaran sebagai dua kepala binatang, motif itu dihitung seni cadas kawasan tersebut adalah 53,3+6,7 sebagai dua motif. Satuan ruang geografis gua dan hasilnya dibagi 2 = 30%. Berdasarkan atau ceruk diasumsikan sebagai satuan situs. perhitungan tersebut, seni cadas kawasan Asumsi ini dilakukan berdasarkan kondisi Kimberley (Australia) terletak pada angka lapangan, yaitu lokasi seni cadas di ceruk dan gua frekuensi 16,8 dan persebaran 30 pada grafik. yang masing-masing memiliki mulut tersendiri. Pada penelitian ini hasil pendekatan Data statistik frekuensi motif dalam kuantitatif Sauvet et al. (2009) terhadap seni kawasan seni cadas disusun dengan menghitung cadas Sulawesi Selatan ditelaah dengan teori jumlah gambar pada motif tertentu, kemudian prasejarah Indonesia. Teori yang digunakan dibandingkan dengan total jumlah gambar. dalam penelitian ini adalah teori yang umum Misalnya, motif kuda pada seni cadas Paleolitik digunakan dalam seni cadas Indonesia, yaitu Atas Eropa terdiri atas 383 gambar dan jumlah teori sihir perburuan dan teori penggambaran total gambar pada kawasan seni cadas itu adalah kehidupan sehari-hari. Penafsiran juga dilakukan 903 gambar. Dengan demikian, frekuensi dengan teori religi prasejarah mengenai motif kuda pada kawasan seni cadas itu adalah animisme, totemisme, dan samanisme. 383/903x100=42%. Data statistik persebaran jenis motif tertentu juga disusun dengan metode 3. Hasil dan Pembahasan yang sama. Sebagai contoh, motif kuda pada 3.1 Dominasi Motif Binatang pada Seni seni cadas Paleolitik Atas Eropa digambarkan Cadas di Sulawesi Selatan pada 15 situs. Keseluruhan situs pada kawasan Kawasan seni cadas prasejarah di tersebut adalah 18. Jadi, persebaran kuda pada Sulawesi Selatan secara administratif terdapat seni cadas tersebut adalah 15/18x100=83%. di Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Sauvet et al. (2009, 327-238) meng- Kepulauan (Pangkep), dan Kabupaten Bone. gunakan data seni cadas prasejarah dan etnografi Ketiga wilayah ini bersebelahan: Kabupaten yang lebih luas dan menyusun grafik untuk Pangkep berada di sebelah utara dan Kabupaten melihat frekuensi dan persebaran motif binatang Maros di sebelah selatannya, serta Kabupaten pada kawasan seni cadas tersebut. Poin data pada Bone di sebelah timur Kabupaten Maros. Secara grafik disusun dengan menempatkan jumlah rata- astronomis, wilayah penelitian ini berada pada rata dari frekuensi dan persebaran terbesar dua 04°46’-05°05’ LS dan 119°30’-119°45’ BT. motif dalam satu kawasan untuk menunjukkan Kawasan seni cadas ini membentang dari wilayah karakteristik dari kawasan yang diwakili dua Pangkep hingga ke selatan di wilayah Maros dan motif tersebut. ke timur di wilayah Bone sepanjang lebih dari Penyusunan grafik kawasan seni cadas 75 km. Motif seni cadas di Sulawesi Selatan dilakukan berdasarkan frekuensi dan persebaran didominasi oleh gambar tangan, di samping dua motif terbesar (Sauvet et al. 2009, 328). motif binatang, terutama babi, dan beberapa Sebagai contoh, gambar dua motif yang anoa serta motif ikan, geometris, antropomorfis,

5 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 dan motif abstrak. Gambar tangan dibuat dengan Pada rangkaian pegunungan bagian timur hanya teknik sembur atau semprot, sedangkan motif terdapat satu gugusan, yaitu Gugusan Bone lainnya menggunakan teknik sapuan dan coretan (800.m.dpl) (Bemmelen 1970; Permana 2014, kuas dengan warna merah, coklat, dan hitam 93). Kedua rangkaian pegunungan ini, baik (Tim Penyusun 2013). bagian barat maupun timur, memiliki topografi Penelitian arkeologi prasejarah di karst yang merupakan pencerminan adanya Sulawesi Selatan telah dilakukan sejak kandungan batuan gamping. Di antara topografi awal abad ke-20 hingga kini. Interpretasi ini, terutama pada bagian barat, terdapat daerah penelitian arkeologi yang dilakukan pada perbukitan yang dibentuk oleh batuan Masa umumnya menyatakan kebudayaan masyarakat Pratersier (>70 juta tahun yang lalu). Rangkaian pemburu-pengumpul makanan berciri fisik pegunungan ini di sebelah barat daya dibatasi Mongoloid dan diidentikkan dengan diaspora oleh dataran rendah Pangkajene-Maros yang masyarakat Austronesia pada kurun waktu luas sebagai kelanjutan dari dataran rendah ±-4.000 tahun yang lalu. Masyarakat itu juga yang terletak di bagian selatan (Sukamto 1982; yang mengembangkan tradisi seni cadas Permana 2014, 93). Peta 1 adalah peta gua prasejarah di Sulawesi Selatan (Widianto prasejarah dengan seni cadas motif binatang dan Cecep Eka Permana 2016, 82) meskipun di kawasan karst Maros-Pangkep dan Bone di ada pandangan bahwa tradisi seni cadas di Sulawesi Selatan. wilayah itu berkembang pada masa yang jauh Berdasarkan data lapangan dan lebih tua. Pandangan tersebut berdasarkan kepustakaan, motif binatang ditemukan pada 10 hasil pertanggalan terbaru motif babi di Leang gua di Kabupaten Maros, 13 gua di Kabupaten Timpuseng (Maros) yang mencapai angka Pangkep, dan 2 gua di Kabupaten Bone, Sulawesi ±35.400 tahun yang lalu (Aubert et al. 2014, 1). Selatan. Secara keseluruhan terdapat 25 gua Terdapat juga pandangan yang menyatakan yang menggambarkan motif binatang dari 90 gua bahwa tradisi seni cadas dikembangkan oleh yang memiliki seni cadas prasejarah di Sulawesi masyarakat “serumpun” Aborigin Australia Selatan. Oleh karena itu, terdapat persentase pada persebarannya di Kalimantan, Sulawesi, sebesar 27% penggambaran motif binatang Seram, Maluku, Papua, dan Australia pada dalam motif seni cadas prasejarah di Sulawesi kurun waktu 50.000 tahun yang lalu (Fage et al. Selatan yang masih dapat diamati. 2010, 166). Seni cadas prasejarah di Sulawesi Penggambaran binatang pada seni cadas Selatan digambarkan pada gua-gua di perbukitan prasejarah di Sulawesi Selatan diduga kuat karst. Oleh karena itu, lingkungan perbukitan menggunakan bahan batuan yang mengandung karst di Sulawesi Selatan, terutama gua-guanya hematit yang dihaluskan dan dicampur dengan diduga kuat merupakan faktor penting dalam bahan pencair. Penelitian van Heekeren pada perkembangan tradisi seni cadas di wilayah 1950 di Leang Pattae menemukan sisa-sisa tersebut pada masa lalu. hematit di permukaan lumpang, dan terdapat Lingkungan alam Sulawesi Selatan secara bukit yang mengandung batuan jasper merah umum terbagi atas dua bagian, yakni bagian sebagai bahan baku hematit di wilayah timur utara dan bagian selatan. Dua bagian lingkungan Taman Purbakala Leang-Leang (Maros). Motif alam ini dipisahkan oleh Lembah Sungai binatang digambarkan dengan teknik kuas Walanae menjadi rangkaian pegunungan bagian dengan corak dan gaya dinamis ekspresif, bagian barat dengan Gugusan Maros (± 1.377 m.dpl), tubuh binatang digambarkan lengkap tanpa Gugusan Tondong Karambu (±.1.660 m.dpl), dimodifikasi atau tanpa diberi ornamen (Eriawati dan Gugusan Bulu Lasapo (±.1.270 m.dpl). 2003, 6-9).

6 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Peta 1. Peta Daerah Penelitian (Sumber: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2014, dimodifikasi oleh penulis)

Data lapangan menunjukkan bahwa motif diidentifikasi jenisnya (ikan unidentified), anoa binatang pada seni cadas prasejarah Sulawesi (Bubalus depressicornis), ikan tuna (Thunnus Selatan bervariasi dalam hal gaya penggambaran albacares), ikan kakap (Lutjanus spp.), penyu, dan jenis binatang yang digambarkan. Beberapa ubur-ubur, ikan terbang (Cypselurus spp.), kuda, motif babi (Sus spp.) dan anoa (Bubalus anjing, biawak, ikan paus, teripang, burung depressicornis) digambarkan proporsional yang tidak dapat diidentifikasi jenisnya (burung dengan gaya naturalis yang menunjukkan unidentified), burung pondang (Gallicarex bagian-bagian tubuh yang mencirikan cineria), dan ayam (Gallus gallus). binatang tersebut. Motif babi (diduga kuat Sus Klasifikasi motif babi pada penelitian celebensis) digambarkan dengan gaya naturalis ini menjadi babi endemik dan babi celeng menampakkan bulu dari binatang tersebut, dilakukan berdasarkan gaya penggambaran, terutama bagian bulu di kepala dan punggung yaitu memanjang dan bulat. Motif babi yang yang menjadi ciri khasnya. Motif anoa digambarkan dengan bentuk badan memanjang digambarkan secara naturalis dan tanduk lurus diduga kuat menggambarkan babi endemik. yang merupakan ciri khas binatang tersebut. Motif babi yang digambarkan dengan bentuk Motif binatang laut yang dapat dikenali sebagai badan membulat diduga menggambarkan babi ikan, ubur-ubur, dan penyu digambarkan dengan celeng (Eriawati 2003, 35). Penggambaran bulu gaya sederhana, tetapi tidak proporsional. pada bagian kepala (rambut) dan kutil pada Berdasarkan data lapangan dan inventaris BPCB moncong babi endemik juga digunakan untuk Sulawesi Selatan, satu jenis binatang tertentu mengidentifikasi motif binatang itu. Babi rusa dapat digambarkan dengan dua gaya yang (Babyrousa babyrussa) diidentifikasi dengan berbeda, yaitu gaya naturalis dan sederhana. bentuk taringnya yang panjang dan melingkar Pada seni cadas prasejarah di Sulawesi di atas moncongnya. Pada penelitian ini tidak Selatan terdapat 17 motif binatang, yaitu babi ditemukan gambar babi yang digambarkan endemik, babi celeng, ikan yang tidak dapat dengan taring tersebut.

7 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Motif babi endemik pada seni cadas cadas prasejarah di Sulawesi Selatan (Foto 1). prasejarah di Sulawesi Selatan digambarkan Motif babi yang diidentifikasi sebagai berukuran besar dalam bentuk profil dan garis- babi celeng digambarkan dengan bentuk garis horizontal pada bagian dalam badan badan membulat, berukuran relatif kecil, dan binatang tersebut. Motif ini diduga kuat sezaman berasosiasi dengan gambar antropomorfis dengan motif tangan dan merupakan seni cadas (Eriawati 2003, 36). Motif ini diduga kuat prasejarah yang memiliki pertanggalan tertua memiliki pertanggalan yang terkait dengan di Sulawesi Selatan, yaitu ±.35.400 tahun yang diaspora masyarakat penutur Bahasa lalu (Aubert et al. 2014,.1). Berikut adalah Austronesia, beberapa ribu tahun yang lalu contoh motif babi endemik Sulawesi pada seni (Aubert et al. 2014, 1). Berikut adalah contoh

Foto 1. Motif Babi Endemik pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Keterangan: (1). Motif babi endemik di Leang Pattae (Maros), (2). Motif babi endemik di Leang Timpuseng (Maros), (3). Motif babi endemik di Leang Sakapao (Pangkep), (4). Motif babi endemik di Leang Uhallie (Bone) (Sumber: Pasaribu)

Foto 2. Babi Endemik Sulawesi (Sumber: wildborneo.com.my)

8 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana motif babi celeng pada seni cadas prasejarah di yaitu ikan yang tidak dapat diidentifikasi Sulawesi Selatan (Foto 3). jenisnya (ikan unidentified), ikan tuna (Thunnus Motif ikan pada seni cadas prasejarah di albacares), ikan kakap (Lutjanus spp.), dan ikan Sulawesi Selatan dalam penelitian ini dibagi terbang (Cypselurus spp.). Motif ikan yang tidak menjadi empat motif berdasarkan identifikasi dapat diidentifikasi jenisnya (ikan unidentified) gambar seni cadas. Keempat motif ikan tersebut, digambarkan dalam bentuk sketsa sederhana

Foto 3. Motif Babi Celeng pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Keterangan: (1). Motif babi celeng di Leang Uhallie (Bone), (2). Motif babi celeng di Leang Sumpang Bita (Pangkep), (3). Motif babi celeng dan antropomorfis di Leang Sumpang Bita (Pangkep), (4). Motif babi celeng dan antropomorfis di LeangTuka2 (Pangkep) (Sumber: Pasaribu)

Foto 4. Babi Celeng (Sumber: http://www.inaturalist.org/)

9 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Foto 4. Motif Ikan unidentified pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Keterangan: (1). Motif ikan unidentified di Leang Lasitae (Pangkep), (2). Motif ikan unidentified di Leang Bulu Bellang (Pangkep), (3). Motif ikan unidentified di Leang Pamelakkang Tedong (Pangkep), (4). Motif ikan unidentified di Leang Bulu Sipong 2 (Maros) (Sumber: Pasaribu) yang dibentuk dengan garis tepi. Berikut adalah penelitian ini tidak diklasifikasi lagi ke dalam contoh motif ikan unidentified pada seni cadas beberapa jenis karena jumlah gambar pada motif prasejarah Sulawesi Selatan. tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan Motif binatang ikan paus, burung pondang, motif babi dan motif ikan. Berikut adalah tabel anoa, ubur-ubur, teripang, kuda, anjing, penyu, motif binatang pada seni cadas prasejarah di ayam, biawak, dan burung unidentified pada Sulawesi Selatan (Tabel 2).

Tabel 2. Motif Binatang

No Kabupaten Subkawasan Nama Gua Gambar Binatang Warna Jumlah Ikan Paus Merah 2 1 Maros Bulu Sipong Leang Bulu Sipong 1 Ikan unidentified Merah 1 Ikan unidentified Merah 3 2 Maros Bulu Sipong Leang Bulu Sipong 2 Ikan Tuna Merah 2 3 Maros Leang-leang Leang Pattae Babi endemik Merah 1 4 Maros Leang-leang Leang Petta Kere Babi endemik Merah 2 5 Maros Leang-leang Leang Bara Tedong Babi endemik Merah 1 Burung Pondang Merah 1 6 Maros Lopi-lopi Leang Jing Anoa Merah 1

10 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Sambungan Tabel 2. Motif Binatang No Kabupaten Subkawasan Nama Gua Gambar Binatang Warna Jumlah 7 Maros Lopi-lopi Leang Timpuseng Babi endemik Merah 1 8 Maros Lopi-lopi Leang Barugayya Babi endemik Merah 1 Ikan kakap Merah 1 Rammang- Ikan terbang Hitam 2 9 Maros Leang Batu Tianang Rammang Ubur-ubur Hitam 4 Teripang Merah 1 Kuda Hitam 3 10 Maros Lambatorang Lambatorang Anjing Hitam 3 11 Pangkep Bellae Leang Tuka 2 Babi celeng Merah 1 12 Pangkep Bellae Leang Caddia Burung unidentified Hitam 1 13 Pangkep Bellae Lang Lompoa Biawak Hitam 1 14 Pangkep Bellae Leang Kajuara Ikan Terbang Hitam 1 15 Pangkep Bellae Leang Sakapao Babi endemik Merah 3 Penyu Merah 2 16 Pangkep Bellae Leang Ulu Tedong Ikan tuna Merah 1 Ikan unidentified Merah 1 Ikan kakap Merah 3 17 Pangkep Labakkang Leang Lasitae Ikan unidentified Merah 2 Teripang Merah 1 Leang Pamelakkang Ikan tuna Merah 1 18 Pangkep Labakkang Tedong Ikan unidentified Merah 1 Penyu Merah 2 19 Pangkep Labakkang Leang Bulu Bellang Ikan unidentified Merah 3 20 Pangkep Siloro Leang Garunggung Babi endemik Merah 1 Ayam Merah 1 21 Pangkep Tagari Leang Tagari Biawak Merah 1 Babi celeng Merah 13 22 Pangkep Sumpang Bita Leang Sumpang Bita Babi endemik Merah 1 Anoa Merah 1 Anoa Merah 1 23 Pangkep Balocci Leang Alla Masigi Ikan unidentified Merah 1 Burung unidentified Merah 1 Anoa Merah 5 24 Bone Bone Leang Uhallie Babi endemik Merah 2 Babi celeng Merah 1 Leang Batti Anoa Merah 1 25 Bone Bone Babi endemik Merah 2 T O T A L 86 (Sumber: Pasaribu 2016)

11 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

3.2 Analisis Konteks Budaya Seni Cadas dua gambar dari total 86 gambar motif binatang Berdasarkan Metode Kuantitatif sehingga persentasenya adalah 2%. Motif Motif babi endemik terdapat 15 gambar burung pondang dan ayam masing-masing dari total 86 gambar motif binatang sehingga hanya terdapat satu gambar dari total 86 gambar persentasenya adalah 17,5%. Motif babi celeng motif binatang sehingga persentasenya adalah terdapat 15 gambar dari total 86 gambar motif 1%. Berikut adalah data statistik frekuensi motif binatang sehingga persentasenya adalah 17,5%. binatang pada seni cadas prasejarah Sulawesi Motif ikan unidentified terdapat 12 gambar Selatan (Tabel 3). dari total 86 gambar motif binatang sehingga Motif babi endemik digambarkan persentasenya adalah 14%. Motif anoa terdapat pada 8 gua dari total 25 gua pada kawasan sebanyak sembilan gambar dari total 86 gambar sehingga persentasenya adalah 32%. Motif motif binatang sehingga persentasenya adalah ikan unidentified digambarkan pada tujuh gua 10,5%. Motif ikan tuna, ikan kakap, penyu, dari total 25 gua sehingga persentasenya adalah dan ubur-ubur masing-masing terdapat empat 28%. Motif anoa digambarkan pada lima gua gambar dari total 86 gambar motif binatang dari total 25 gua sehingga persentasenya adalah sehingga persentasenya adalah 5%. 20%. Motif babi celeng digambarkan pada tiga Motif ikan terbang, kuda, dan anjing gua dari total 25 gua sehingga persentasenya masing-masing terdapat tiga gambar dari total 86 adalah 12%. Motif teripang, ikan tuna, ikan gambar motif binatang sehingga persentasenya kakap, penyu, biawak, ikan terbang, dan burung adalah 3,5%. Motif biawak, ikan paus, teripang, unidentified digambarkan pada dua gua dari total dan burung unidentified masing-masing terdapat 25 gua sehingga persentasenya adalah 8%. Motif

Tabel 3. Frekuensi Motif Binatang Tabel 4. Persebaran Motif Binatang No Motif Binatang N % No Motif Binatang N % 1 Babi endemik 15 17,5 % 1 Babi endemik 8 32% 2 Babi celeng 15 17,5 % 2 Ikan unidentified 7 28% 3 Ikan unidentified 12 14 % 3 Anoa 5 20% 4 Anoa 9 10,5 % 4 Babi celeng 3 12% 5 Ikan tuna 4 5 % 5 Teripang 2 8% 6 Ikan kakap 4 5 % 6 Ikan tuna 2 8% 7 Penyu 4 5 % 7 Ikan kakap 2 8% 8 Ubur-ubur 4 5 % 8 Penyu 2 8% 9 Ikan terbang 3 3,5 % 9 Biawak 2 8% 10 Kuda 3 3,5 % 10 Ikan terbang 2 8% 11 Anjing 3 3,5 % 11 Burung unidentified 2 8% 12 Biawak 2 2 % 12 Ubur-ubur 1 4% 13 Ikan paus 2 2 % 13 Kuda 1 4% 14 Teripang 2 2 % 14 Anjing 1 4% 15 Burung unidentified 2 2 % 15 Ikan paus 1 4% 16 Burung pondang 1 1 % 16 Ayam 1 4% 17 Ayam 1 1 % 17 Burung pondang 1 4% Total 86 100 % Rata-rata frekuensi 2/25 Gua Ket.: Total: 86 Gambar; N: Jumlah gambar. Keterangan: N: jumlah gua tempat motif binatang tertentu digambarkan

12 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Grafik.1. Perbandingan Frekuensi dan Persebaran Motif Binatang. Keterangan: 1. burung pondang, ayam; 2. ikan paus, teripang, burung unidentified, ubur-ubur; 3. ikan terbang, kuda, anjing, biawak; 5. ikan tuna, ikan kakap, penyu, 10. babi celeng, anoa, 14. anoa, ikan unidentified; 17a. ikan unidentified, babi celeng; 17b. babi endemik, babi endemik ubur-ubur, kuda, anjing, ikan paus, ayam, dan Motif binatang lainnya hanya digambarkan burung pondang hanya digambarkan pada satu paling banyak empat gambar dan hanya gua dari total 25 gua sehingga persentasenya ditemukan paling banyak di tiga situs. adalah 4%. Total persentase tersebut tidak 100% Data statistik frekuensi dan persebaran karena motif binatang tertentu dapat muncul seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan pada beberapa gua sehingga jumlah keseluruhan tersebut kemudian dilihat berdasarkan hipotesis situs pada perhitungan statistik persebaran motif Layton (2000, 180). Data statistik frekuensinya binatang ini melebihi jumlah situs. Berikut menunjukkan bahwa motif binatang digambarkan adalah data statistik persebaran motif binatang dengan frekuensi yang relatif setara. Motif babi pada seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan endemik dan babi celeng sebagai motif yang (Tabel 4). paling sering dipilih untuk digambarkan hanya Data statistik frekuensi dan persebaran selisih tiga gambar dibandingkan dengan motif tersebut kemudian disusun dalam bentuk ikan unidentified. Data statistik persebarannya grafik sesuai dengan metode Sauvet et al. menunjukkan bahwa setiap motif binatang (2009,.323). Grafik memperlihatkan hubungan ditemukan pada proporsi persebaran yang relatif antara frekuensi dan persebaran motif binatang rendah. Motif babi endemik sebagai motif yang pada seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan paling banyak digambarkan hanya ditemukan (Grafik 1). pada delapan gua dari total 25 gua yang diteliti, Berdasarkan Grafik 1, babi endemik adalah hanya selisih satu gua dibandingkan dengan motif binatang yang paling banyak digambarkan motif ikan unidentified yang ditemukan pada pada seni cadas prasejarah Sulawesi Selatan tujuh gua di kawasan tersebut. dengan frekuensi penggambaran sebesar 17% Berdasarkan data statistik tersebut, dan persebaran sebesar 32%. Ikan unidentified seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan adalah motif binatang yang kedua paling banyak menunjukkan gejala bahwa motif binatang digambarkan dengan persebaran sebesar 28%. tertentu digambarkan dengan frekuensi yang Motif anoa memiliki persebaran sebesar 20%. relatif rendah atau setara dibandingkan dengan Babi celeng memiliki persebaran sebesar 12%. keseluruhan motif binatang yang digambarkan

13 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 dan setiap motif binatang tertentu terkonsentrasi dengan kurva seni cadas totemisme Kimberley pada beberapa situs tertentu. Data statistik (Australia) dan jauh dengan kurva seni itu menempatkan motif binatang ke dalam cadas sekuler dan samanisme. Berdasarkan konteks budaya totemisme menurut hipotesis perbandingan itu, frekuensi dan persebaran motif Layton (2000, 180). Sebagai catatan, motif babi binatang pada seni cadas prasejarah di Sulawesi dan motif ikan yang paling sering dipilih dan Selatan memiliki persamaan dengan seni cadas paling banyak digambarkan, tetapi tidak pernah totemisme kawasan Kimberley (Australia). digambarkan bersamaan dalam satu gua. Kurva yang terletak pada sebelah kiri grafik Hipotesis konteks budaya totemisme terkait fakta bahwa setiap jenis binatang yang pada seni cadas prasejarah di Sulawesi Selatan digambarkan tersebar pada proporsi yang berdasarkan Layton (2000, 180) pada bagian ini rendah pada situs-situs. Motif babi endemik akan dibandingkan dengan grafik data statistik yang paling banyak digambarkan pada gua di kawasan seni cadas yang disusun oleh Sauvet kawasan hanya mencapai angka 32%. Adapun et al. (2009, 323). Perbandingan itu dapat motif ular yang paling tersebar pada seni cadas menempatkan data seni cadas Sulawesi Selatan totemisme di kawasan Kimberley (Australia) ke dalam data tiga kawasan seni cadas yang persebarannya mencapai angka 44% (Sauvet et memiliki informasi etnografi untuk melihat al. 2009, 323). persamaan dan perbedaan kawasan seni cadas Sauvet et al. (2009, 328) melakukan prasejarah Sulawesi Selatan dengan kawasan perbandingan kawasan seni cadas dengan data seni cadas lain. Berikut adalah penerapannya yang lebih luas dan menyusunnya ke dalam terhadap seni cadas prasejarah di Sulawesi bentuk grafik. Pada bagian ini seni cadas Selatan (Grafik 2). prasejarah Sulawesi Selatan akan diletakkan Kurva seni cadas prasejarah Sulawesi ke dalam grafik tersebut diwakili oleh rata-rata Selatan terletak pada sisi kiri grafik berdekatan dua motif binatang yang memiliki frekuensi

Grafik 2. Perbandingan Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan dengan Seni Cadas Etnografi dalam Sauvet et al. (2009, 323) (Sumber: Grafik Sauvetet al. 2009 dengan modifikasi) Keterangan: (1). Laura (Australia) adalah contoh kasus etnografi seni cadas kehidupan sehari-hari. (2). Northern Cape (Afrika Selatan) adalah contoh kasus etnografi seni cadas shamanisme. (3). Kimberley (Australia) adalah contoh kasus etnografi seni cadas totemisme.

14 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana dan persebaran tertinggi di kawasan tersebut, Motif tangan yang diduga kuat yaitu motif babi endemik dan ikan unidentified. menggambarkan kerangka tangan pada seni Frekuensi babi endemik dan ikan unidentified cadas di Gua Ilas Kenceng (Kalimantan adalah 17,5% dan 13,5%. Oleh karena itu, rata- Timur) menyerupai motif seni cadas X-ray rata frekuensi motif adalah 15,5%, sedangkan di Austalia. Kemiripan motif binatang yang persebaran babi endemik dan ikan unidentified digambarkan sangat kurus atau tersamar pada adalah 32% dan 28% sehingga rata-rata seni cadas prasejarah di Kalimantan Timur persebaran motif pada kawasan tersebut adalah sangat mirip dengan seni cadas yang dibuat 30%. Berdasarkan perhitungan itu, rata-rata oleh kaum Aborigin di Australia (Fage at al. frekuensi dan persebaran seni cadas prasejarah 2010, 166). Kawasan seni cadas Arnhem Land di Sulawesi Selatan adalah 15,5% dan 30%. dan Kimberley (Australia) juga menunjukkan Grafik 3 adalah hasil perbandingan tersebut. periode awal seni cadas yang dicirikan oleh Berdasarkan Grafik 3, seni cadas motif binatang yang digambarkan dalam ukuran prasejarah di Sulawesi Selatan terletak dalam besar dan motif tangan. Gaya penggambaran ruang lingkup seni cadas etnografi Australia, motif tersebut memiliki kesamaan dengan yaitu kawasan seni cadas Kimberley, kawasan seni cadas prasejarah di Maros (Aubert et al. seni cadas Arnhem X-Ray, dan kawasan 2014, 3). Pada grafik itu kawasan seni cadas seni cadas Laura. Kedekatan poin seni cadas prasejarah Sulawesi Selatan terletak paling prasejarah di Sulawesi Selatan dan kawasan dekat dengan kawasan seni cadas totemisme seni cadas etnografi di Australia pada grafik Kimberley (Australia). itu merupakan hal yang menarik karena ada Penerapan hipotesis Layton (2000, pandangan para ahli yang menyatakan kemiripan 180) terhadap motif binatang pada seni cadas antara motif seni cadas Indonesia dan motif seni prasejarah di Sulawesi Selatan menempatkan Australia. kawasan tersebut pada konteks budaya

Grafik 3. Perbandingan Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan dengan Data Seni Cadas Prasejarah dan Etnografi (Sumber: Grafik Sauvetet al. 2009, 328) Keterangan: Segitiga terbuka (Δ) menunjukkan sub-subkawasan di Kawasan Ennedi: Mp. Gambar Mornou/Mornou paintings, Mg. Ukiran Mornou/Mornou engravings (keduanya terletak di Ennedi Timur Laut), Sh. Shekitiye (Ennedi Selatan), Ar. Archei (Ennedi Barat). Segi empat terbuka (□) menunjukkan sub-subkawasan di Brandberg: Amis. Lembah Amis, H. Hungoron; K. Karoab; P3. Lembah-lembah Selatan; P5. Lembah-lembah Barat laut; U. Umuab.

15 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Peta 2. Peta Persebaran Motif Babi dan Motif Ikan pada Seni Cadas Prasejarah Sulawesi Selatan (Sumber: Peta Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman 2014, dimodifikasi oleh Penulis) totemisme. Penelitian ini mengungkapkan Kere. Di pihak lain, motif ikan, penyu, dan bahwa motif babi tidak pernah digambarkan binatang laut terletak mendekati pantai barat pada situs yang sama dengan motif ikan. Hal Sulawesi Selatan. Leang Pamelakkang Tedong, itu menyebabkan statistik persebaran yang Leang Lasitae, dan Leang Bulu Bellang yang menunjukkan motif yang terkonsentrasi pada memiliki motif binatang laut terkonsentrasi beberapa situs dan frekuensi motif yang relatif di subkawasan Labakkang yang terletak setara. Hal yang sama juga mendukung pendapat pada sisi paling barat. Persebaran motif yang para ahli sebelumnya bahwa terdapat kelompok terkonsentrasi pada sejumlah situs dalam pemburu dan kelompok nelayan yang masing- kawasan diduga kuat menunjukkan konteks masing menggambarkan cirinya pada gua di budaya totemisme (Layton 2000, 180). kawasan tersebut (Eriawati 2003, 18). Penelitian ini menunjukkan bahwa Persebaran motif babi dan motif ikan kawasan seni cadas prasejarah Sulawesi menunjukkan bahwa gua dengan motif ikan Selatan memiliki pola fenomena totemisme terletak lebih dekat dengan pantai barat dalam pengertian yang luas. Terkonsentrasinya Sulawesi Selatan, kecuali Leang Alla Masigi motif babi-anoa dan ikan-penyu-binatang (Pangkep) yang terletak di pedalaman. Adapun laut diduga kuat menunjukkan keberadaan Leang Pamelakkang Tedong, Leang Lasitae, dan sistem kepercayaan yang kompleks, konsep Leang Bulu Bellang yang terletak paling dekat dan metafora yang terkait dengan penggunaan dengan pantai barat Sulawesi Selatan memiliki binatang sebagai emblem klan dalam motif ikan, penyu, dan teripang. Peta 2 adalah masyarakat yang dikategorikan oleh para ahli peta persebaran gua dengan gambar babi dan ke dalam pengertian totemisme. gua dengan gambar ikan di kawasan tersebut. Berdasarkan peta tersebut, motif babi 4. Penutup terkonsentrasi di subkawasan Leang-Leang Pada bagian ini akan diuraikan jawaban uji (Maros), yaitu Leang Barugayya, Leang hipotesis totemisme, saamnisme, dan kehidupan Timpuseng, Leang Pattae, dan Leang Petta sehari-hari sebagai berikut:

16 Binatang Totem pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan. Yosua Adrian Pasaribu dan R. Cecep Eka Permana

Hipotesis totemisme, Jika jenis binatang jumlah frekuensi yang rendah atau relatif tertentu digambarkan dalam jumlah frekuensi sama dibandingkan dengan keseluruhan jenis yang rendah atau sama dibandingkan dengan binatang yang digambarkan dan jenis binatang keseluruhan jenis binatang yang digambarkan tertentu digambarkan hampir di semua situs, dan setiap jenis binatang tertentu digambarkan hal ini berarti bahwa konteks budaya motif pada situs tertentu, hal ini berarti bawa binatang pada seni cadas prasejarah di Sulawesi konteks budaya motif binatang pada seni Selatan adalah kehidupan sehari-hari. Motif cadas prasejarah di Sulawesi Selatan adalah binatang digambarkan dalam jumlah frekuensi totemisme. Pada kawasan seni cadas itu, motif yang rendah atau sama dibandingkan dengan binatang digambarkan dalam jumlah frekuensi keseluruhan jenis binatang yang digambarkan yang rendah atau sama dibandingkan dengan dengan motif babi endemik, babi celeng, ikan keseluruhan jenis binatang yang digambarkan unidentified, dan anoa sebagai motif yang paling dengan motif babi endemik, babi celeng, ikan banyak digambarkan. Setiap motif binatang unidentified, dan anoa sebagai motif yang paling tertentu digambarkan pada daerah tertentu banyak digambarkan. Setiap motif binatang pada kawasan tersebut. Motif babi endemik tertentu digambarkan pada daerah tertentu dan babi celeng tidak digambarkan bersamaan pada kawasan tersebut. Motif babi endemik dengan motif ikan dalam satu gua. Berdasarkan dan babi celeng tidak digambarkan bersamaan perbandingan hipotesis dan data penelitian, dengan motif ikan dalam satu gua. Berdasarkan hipotesis kehidupan sehari-hari menurut Layton perbandingan hipotesis dan data penelitian, (2000) ditolak atau tidak dapat diterima. hipotesis totemisme menurut Layton (2000) Penelitian atau tinjauan tentang penerapan dapat diterima. metode Sauvet et al. (2009) terhadap seni cadas Hipotesis samanisme, Jika jenis binatang prasejarah Sulawesi Selatan menempatkan seni tertentu digambarkan sedikitnya dua kali lipat cadas prasejarah tersebut ke dalam konteks dibandingkan dengan jenis binatang lain dan budaya totemisme. Frekuensi dan persebaran jenis binatang tertentu digambarkan hampir motif binatang diduga kuat memperlihatkan pada semua situs, hal ini berarti bahwa konteks adanya kepercayaan kompleks, konsep dan budaya motif binatang pada seni cadas prasejarah metafora yang menunjukkan hubungan di Sulawesi Selatan adalah samanisme. Motif kelompok sosial dalam masyarakat dengan binatang digambarkan dalam jumlah frekuensi binatang tertentu. yang rendah atau sama dibandingkan dengan Penelitian ini mendapatkan hasil direct keseluruhan jenis binatang yang digambarkan hit, yang menempatkan kawasan seni cadas dengan motif babi endemik, babi celeng, prasejarah Sulawesi Selatan pada posisi ikan unidentified, dan anoa sebagai motif berdekatan dengan kawasan seni cadas yang paling banyak. Setiap motif binatang totemisme Kimberley (Australia) dan terletak tertentu digambarkan pada daerah tertentu dalam ruang lingkup kawasan seni cadas pada kawasan tersebut. Motif babi endemik etnografi Australia. Hal tersebut menunjukkan dan babi celeng tidak digambarkan bersamaan kemungkinan terdapat hubungan dalam arti luas dengan motif ikan dalam satu gua. Berdasarkan antara seni cadas Indonesia dan Australia. perbandingan hipotesis dan data penelitian, Penelitian ini juga memiliki kekurangan, hipotesis samanisme menurut Layton (2000) terutama masalah periodisasi dalam seni ditolak atau tidak dapat diterima. cadas prasejarah di Sulawesi Selatan dan Hipotesis kehidupan sehari-hari, Jika terbatasnya jumlah motif binatang, yaitu 86 jenis binatang tertentu digambarkan dalam gambar. Kelemahan lain, pengklasifikasi motif

17 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 babi, bentuk yang dapat diamati hanya dapat Fage, Luc-Henri, Jean-Michel Chazine, and dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu babi Pindi Setiawan. 2010. Borneo Menyingkap Gua Prasejarah. Rahayu Surtiati Hidayat endemik dan babi celeng. (Penerjemah). Le Kalimanthrope, Le Ada kemungkinan bahwa dalam satu Jonty, F82160 Caylus, Prancis. tradisi seni cadas terdapat lebih dari satu Heekeren, H.R. van. 1952. “Rock-Paintings and konteks budaya. Penelitian ini hanya mengkaji Other Prehistoric Discoveries Near Maros motif binatang pada seni cadas, sedangkan (South West Celebes).” Laporan Tahunan motif antropomorfis dan motif nonfiguratif juga Dinas Purbakala 1950: 22-35. banyak digambarkan. Motif antropomorfis dan Layton, R. 2000. “Shamanism, Totemism and Rock Art: Les Chamanes de la Préhistoire nonfiguratif mungkin juga dapat menunjukkan in the Context of Rock Art Research”. konteks budaya yang berbeda dengan motif Cambridge Archaeological Journal 10 (1): binatang. Kedekatan jarak antara kawasan seni 169-186. cadas prasejarah Sulawesi Selatan dan seni Pasaribu, Yosua Adrian. 2016. “Konteks cadas etnografi kehidupan sehari-hari Arnhem Budaya Motif Binatang pada Seni Cadas X-ray (Australia) pada Grafik Perbandingan Seni Prasejarah di Sulawesi Selatan”. Tesis. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan dengan Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Data Seni Cadas Prasejarah dan Etnografi, Indonesia. serta penggambaran motif antropomorfis yang ------. 2016. “Konteks Budaya Motif Binatang dapat diidentifikasi dengan kegiatan menjala pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi dan menaiki perahu menimbulkan indikasi Selatan”. Paradigma Jurnal Kajian Budaya 6 (1): 1-27. bahwa seni cadas prasejarah Sulawesi Selatan menunjukkan konteks budaya kehidupan sehari- Permana, R. Cecep Eka. 2014. Gambar Tangan Gua-Gua Prasejarah Pangkep-Maros- hari. Terlepas dari kekurangan tersebut, metode Sulawesi Selatan. Jakarta: Penerbit Sauvet et al. (2009) dapat diterapkan pada seni Wedatama Widya Sastra. cadas prasejarah di Sulawesi Selatan, terutama Rosengren, Mats. 2008. “The Cave of Doxa: untuk memperlihatkan pola penggambaran motif Reflections on Artistic Research and binatang pada kawasan seni cadas tersebut. on Cave Art”. Art Monitor 3: 51-75. Göteborgs: Göteborgs Universitet. Konstnärliga Fakulteten. Daftar Pustaka Sauvet, Georges et al. 2009. “Thinking with Aubert, M et al. 2014. “Pleistocene Cave Art Animals in Upper Palaeolithic Rock Art”. from Sulawesi, Indonesia”. Nature 514: Cambridge Archaeological Journal 19 (3): 223-227. 319-336. Clottes, Jean and David Lewis-Williams. 1996. Tim Penyusun. 2013. “Naskah Usulan Penetapan The Shamans of Prehistory: Trance and Satuan Ruang Geografis Gua Prasejarah Magic in the Painted Caves. New York: Maros-Pangkajene dan Kepulauan”. Harry N. Abrams. : Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Eriawati, Yusmaini. 2003. Album Seni Budaya; Lukisan di Gua-Gua Karst Maros-Pangkep Ucko, Peter J. and Andree Rosenfeld.1967. Sulawesi Selatan; Gambaran Penghuni Palaeolithic Cave Art. London: Weidenfeld dan Matapencahariannya. Jakarta: Deputi and Nicolson. Bidang Pelestarian dan Pengembangan Widianto, Harry and R. Cecep Eka Permana. Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan 2016. Gambar Cadas Prasejarah di dan Pariwisata. Indonesia. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

18 OSTEOBIOGRAFI INDIVIDU NOMOR 38 DARI SITUS PRASEJARAH GILIMANUK

Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [email protected] dan [email protected]

Abstract. Osteobiography of Individual Number 38 from Prehistoric Site of Gilimanuk. This research will discuss individual number 38 from Paleometallic burial site called Gilimanuk, which located in Bali, Indonesia. The skeleton is stored in the Laboratory of Bioanthropology and Palaeoanthropology, Gadjah Mada University. This study presents osteobiography of individual number 38 using macroscopical analysis without using any destructive method.The results from this research show that this individual was a female with age at death around 50 years old. This individual had paleopathological problems such as dental attrition, dental fracture, broken right rib, fractured spine, and parturition scar. Moreover, this individual had osteophytes and porosity on temporomandibular joint, tarsal, carpal, spine, and eburnation on talus which can be correlates with osteoarthritis.

Keywords: Osteobiography, Osteoarthritis, Gilimanuk, Bali

Abstrak. Tulisan ini membahas mengenai Individu 38, rangka manusia yang ditemukan pada situs Paleometalik Gilimanuk dan sekarang disimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan osteobiografi dari Individu 38 dengan menggunakan metode penelitian analisis makroskopis, tanpa menggunakan proses destruktif. Hasil penelitian menunjukkan individu nomor 38 adalah perempuan dengan umur sekitar 50 tahun ketika mati. Selain itu, terdapat beberapa gangguan kesehatan diantaranya atrisi pada seluruh permukaan gigi, trauma pada molar pertama maxilla kiri, salah satu rusuk kanan patah ketika masih hidup, adanya kemungkinan parturisi, degenerasi persendian temporomandibular atau porositas yang terdapat pada fossa mandibularis. Osteopit dan porositas pada beberapa bagian tulang seperti pada ossa carpi, ossa tarsi, ruas tulang belakang, dan eburnasi atau kilapan pada bagian talus yang dapat diidentikkan dengan gejala osteoarthritis.

Kata Kunci: Osteobiografi, Osteoartritis, Gilimanuk, Bali

1. Pendahuluan dan kematian individu atau kelompok tesebut Rangka manusia dalam konteks arkeologi (Stodder dan Palkovich 2012,o1). Penelitian dapat memberikan pengetahuan terhadap apa osteobiografi dari satu individu secara mendetail yang terjadi pada masa lampau, seperti diet, sangat jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian nutrisi, kesehatan, demografi, kebiasaan, yang sering dilakukan oleh para pakar selama dan aktivitas budaya (Larsen 2003,.2). Salah ini lebih banyak membahas populasi yang satu metode yang dapat digunakan adalah terdapat pada temuan di satu situs, seperti osteobiografi, yaitu studi mengenai satu individu Plawangan (Boedhisampurno 1990, 125-148), atau sekelompok individu berdasarkan sisa- Batangmatasapo (Suprijo 1990, 174-177), Mahat sisa manusia, kemudian menggunakan analisis dan Belubus di Sumatra Barat (Boedhisampurno dan interpretasi untuk memahami kehidupan 1988, 1-17) dan Caruban (Boedhisampurno 1984,

Naskah diterima tanggal 10 Februari 2017, diperiksa 10 Februari 2017, dan disetujui tanggal 26 Juli 2017.

19 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

1-25). Penelitian tersebut membahas rangka angka kematian kelompok tertinggi terdapat manusia dengan jumlah antara empat hingga tiga pada umur 5-10 tahun, yang mencapai 14,5%. puluh individu. Gilimanuk berpotensi sebagai Penyebab kematian pada individu Gilimanuk bahan untuk penelitian karena memiliki rangka juga diperkirakan ada kaitannya dengan sistem manusia dalam jumlah besar yang mencapai religi dan kesehatan pada masa prasejarah di 220 individu dan telah diteliti sejak tahun 1963 Gilimanuk. hingga sekarang (Aziz 1995, 82). Sejarah penemuan lokasi Situs Prasejarah Terdapat beberapa penelitian yang pernah Gilimanuk bermula pada tahun 1962 ketika dilakukan terhadap rangka Gilimanuk. Soejono sedang dilakukan penggalian di Dukuh Cekik (1977) pada disertasinya membahas sistem yang terletak enam kilometer di selatan penguburan akhir masa prasejarah Bali. Soejono Gilimanuk. Penelitian tersebut kemudian mendeskripsikan pola variasi penguburan pada dialihkan menjadi survei terhadap Teluk rangka-rangka di Bali dengan membaginya Gilimanuk karena hasil yang tidak memuaskan menjadi kubur primer, kubur sekunder, kubur di Dukuh Cekik. Penelitian di Teluk Gilimanuk, campuran, dan kubur tempayan. Penelitian kemudian dilanjutkan lagi pada tahun 1963 tersebut membahas dengan singkat mengenai dengan membuka tiga sektor dan pada tahun penyakit dan pengorbanan manusia yang 1964 dengan membuka 16 sektor baru. Hingga terjadi di Gilimanuk. Selain itu, Suprijo (1985) saat ini ekskavasi di Teluk Gilimanuk telah meneliti umur, jenis kelamin, dan anomali dilakukan pada 22 sektor dengan membuka 37 yang terdapat pada rangka Gilimanuk yang kotak penggalian (Soejono 1977, 170). diekskavasi pada tahun 1979. Kesimpulan dari Temuan dari penelitian arkeologis di penelitian tersebut adalah manusia pendukung Situs Gilimanuk antara lain adalah gerabah kebudayaan di Gilimanuk memiliki ras (utuh dan pecahan) dengan motif polos dan Mongoloid dan terdapat beberapa kelainan pada motif hias, fragmen tulang hewan dan manusia, individu tersebut, seperti adanya pembibiran manik-manik, bandul jala, dan fragmen benda (osteopit) pada salah satu individu, sendi siku logam seperti besi dan perunggu (Aziz dan yang tidak dapat digerakkan dengan sempurna, Faisal 1997, 53). Penanggalan radiokarbon dan scaphocephaly (Suprijo 1985). Pada pada empat individu dari Situs Gilimanuk penelitian lainnya, Suprijo membandingkan menunjukkan bahwa aktivitas penguburan di karies gigi pada dua puluh rangka Gilimanuk Gilimanuk setidaknya telah ada sejak 750 SM dengan rangka koleksi Laboratorium Anatomi, dan digunakan hingga 900 M (Aziz dan Faisal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah 1997, 57). Rentang waktu penggunaan situs ini Mada. Kesimpulan dari penelitian tersebut sebagai lokasi penguburan dan tingginya variasi adalah jumlah individu yang memiliki karies temuan menunjukkan tingkat kompleksitas yang gigi meningkat jika dibandingkan antara tinggi pada situs tersebut. masa prasejarah dengan masa modern yang Penelitian ini bertujuan untuk membahas kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs dan pola makanan (Suprijo 1991). Penelitian Gilimanuk. Individu ini dipilih karena memiliki lainnya dilakukan oleh Aziz (1995) dalam rangka yang relatif lengkap, dengan hanya disertasinya yang membahas demografi Situs sebagian kecil tulang yang hilang. Pembahasan Gilimanuk berdasarkan jenis kelamin dan penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur umur. Selain itu, penelitian ini juga membahas ketika meninggal, dan gangguan kesehatan apa dengan singkat mengenai penyakit dan bekal saja yang dimiliki oleh individu ini ketika hidup. kubur. Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa Pembahasan tersebut dapat meningkatkan

20 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto

Peta 1. Peta Lokasi Situs Gilimanuk (Sumber: Soejono 1977, 520) pemahaman mengenai kehidupan pada masa bagian dari tulang dipernis agar tulang tersebut lampau yang dialami oleh Individu Nomor 38. awet. Secara visual, hal ini mengubah warna Situs Gilimanuk merupakan situs tulang sehingga terlihat lebih mengilap, tetapi arkeologis yang terletak di Desa Gilimanuk, tidak mempengaruhi visibilitas untuk melakukan Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, proses analisis. Provinsi Bali, Indonesia. Secara geografis, Individu Nomor 38 ini diletakkan pada situs ini terletak pada bagian barat Pulau Bali rak nomor I-9 dan dibagi menjadi sembilan dengan lokasi di tepi pantai Teluk Gilimanuk. kotak bernomor 206-214 dengan satu tambahan Secara astronomis, lokasi ini terletak antara terpal yang membungkus tulang panjang. 8º9'36" dan 8º12'59" LS dan antara 114º25'57" Selain Individu Nomor 38, terdapat tambahan dan 114º29'10" BT dengan luas situs kurang mandibula tanpa nomor yang ditemukan pada lebih dua kilometer persegi (Aziz 1995,.7). kotak nomor 207 dan sepasang tibia pada terpal Berdasarkan artefak logam yang digunakan yang membungkus tulang panjang. Kedua tulang sebagai bekal kubur, situs ini digolongkan tambahan ini tidak akan diikutkan ke dalam sebagai situs penguburan masyarakat logam proses analisis karena berasal dari individu lain. awal (paleometalik). Penguburan manusia di Tulang-tulang Individu Nomer 38 berada Situs Gilimanuk telah mengenal sistem arah dalam keadaan terfragmentasi. Cranium dan hadap dan penggunaan bekal kubur sebagai mandibula berada pada kotak nomor 206 A+B. salah satu ritual penguburannya (Aziz 1995, 8). Pada beberapa bagian terdapat lapisan pasir yang Koleksi Individu Nomor 38 berasal dari menempel. Mandibula berada dalam keadaan penggalian arkeologis di Situs Gilimanuk pada yang baik, dengan gigi lengkap dan beberapa di tahun 1963 pada sektor VIII dan merupakan antaranya patah postmortem. Humerus, radius, kubur primer. Keadaan rangka Individu Nomor ulna, os carpi, os metacarpi, dan os digitorum 38 masih terselimuti oleh pasir pantai dari situs. berada pada kotak nomor 207, 209, 214, dan Pasir ini tidak dapat dilepaskan dari tulang terpal merah. Tingkat preservasi yang dimiliki karena telah menempel dengan keadaan seperti oleh humerus, radius, dan ulna mencapai 80%. semen. Tulang-tulang tersebut berada dalam Namun, os carpi, os metacarpi, dan os digitorum keadaan rapuh dan terfragmentasi. Beberapa hanya mencapai 50%. Sementara itu, scapula

21 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 dan clavicula berada pada kotak nomor 208 dan 1994; Milner 1992). Incisura ischiadica major 211. Rusuk terdapat pada dua kotak, yaitu nomor merupakan takikan lebar yang terletak di bawah 212 dan 213 dan dapat dibedakan antara kiri dan facies auricularis dan di atas ischial ischiadica. kanan. Tingkat preservasi rusuk hanya mencapai Incisura ischiadica major akan terlihat lebih 60 persen. Ruas tulang belakang terdapat pada melebar atau membundar pada perempuan dan kotak 214. Tingkat preservasi ruas tulang akan menyempit atau menyudut pada laki- belakang hanya 40%, tetapi dapat memberikan laki. Sementara itu, Sulcus preauricularis informasi yang cukup baik. Os coxae kanan adalah lekukan kecil yang terletak di berada pada kotak 201, sementara os coxae bagian anteroinferior facies auricularis. kiri berada pada kotak 212. Kedua tulang ilium Sulcus preauricularis pada perempuan akan masih berada dalam keadaan yang baik. Meski cenderung lebar dan dalam, sedangkan pada demikian, hanya terdapat satu bagian kanan os laki-laki cenderung dangkal dan lebih sempit. ischium tanpa bagian kiri, sedangkan os pubis Kecekungan subpubis tidak akan diperiksa tidak ditemukan sama sekali. Sacrum hanya karena tidak ditemukannya bagian pubis. ditemukan dalam dua fragmen pada kotak Kedua, pada tengkorak akan diperiksa daerah 208, yaitu tubuh sacrum dan alae dan dinding processus mastoideus, inion (protuberantia dorsal sacrum. Sebagian dari sacrum tersebut occipitalis externa), margo supraorbitalis, tertutup oleh lapisan pasir tipis. Femur, tibia, glabella, dan protuberantia mentalis (Ascádi dan patella berada dalam satu bungkus terpal dan Nemeskéri 1970). Processus mastoideus merah. Tingkat preservasinya mencapai 80% merupakan tonjolan yang terletak di belakang dengan hanya beberapa bagian proksimal dan meatus acusticus externus (lubang telinga). distal yang hilang. Sebagian permukaan tulang Pada perempuan, lubang telinga akan terlihat terlapisi oleh pasir. Bagian kaki, yaitu os tarsi, lebih pendek dan kecil daripada laki-laki. os metatarsi, dan os digitorum kaki berada pada Inion merupakan bagian paling menonjol pada kotak 209. Seluruh bagian telapak kaki berada occipital. Pada perempuan, tonjolan ini akan dalam keadaan yang baik, dengan tingkat cenderung kecil dan tidak tajam, sedangkan preservasi 90%. pada laki-laki akan lebih besar, tajam, dan terkesan kukuh. Margo supraorbitalis 2. Metode Penelitian merupakan batas orbital yang terletak di bagian Metode yang digunakan untuk penelitian superior dari orbital. Pada perempuan margo ini adalah metode analisis makroskopis, tanpa supraorbitalis akan cenderung lebih tajam dan menggunakan metode destruktif yang harus tipis dibandingkan dengan laki-laki yang tumpul menghancurkan tulang. Seluruh tulang Individu dan tebal. Glabella merupakan daerah pada Nomor 38 akan diperiksa secara mendetail bagian tulang frontal tepat di atas os nasalis untuk mengetahui jenis kelamin dan umur. Jika yang lebih menonjol daripada permukaan tulang pada Individu Nomor 38 terdapat penyakit atau frontal lainnya. Pada perempuan, jika dilihat kelainan, akan dideskripsikan dan dilakukan dari samping, glabella cenderung lebih datar analisis agar dapat diketahui dampak dari atau samar dibandingkan dengan laki-laki. penyakit atau kelainan tersebut. Protuberantia mentalis merupakan tonjolan Jenis kelamin individu ini akan pada dagu yang terdapat pada bagian anterior ditentukan dengan menggunakan tulang pelvis mandibula dan berbentuk segitiga. Pada laki- dan tengkorak. Pertama, pada pelvis akan laki, tonjolan ini akan cenderung lebih besar dan diperiksa bagian incisura ischiadica major dan nyata dibandingkan dengan perempuan. sulcus preauricularis (Buikstra dan Ubelaker Penentuan umur saat individu meninggal

22 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto dilakukan dengan menggunakan bagian berumur sekitar 45-55 tahun. Hal tersebut pelvis, yaitu bagian facies auricularis. Facies terlihat dari atrisi gigi yang terjadi pada gigi auricularis merupakan daerah dengan bentuk molar mandibula. Selain itu, penentuan umur melengkung seperti daun telinga yang terletak berdasarkan facies auricularis menunjukkan pada permukaan bagian medial ilium dan bahwa individu ini berumur setidaknya 50 berartikulasi dengan sacrum. Pada facies tahun karena facies auricularis telah memadat auricularis akan diamati apakah permukaan dan kasar (Lovejoy et al. 1985). Sutura pada tersebut memiliki butiran-butiran berukuran cranium masih dapat dilihat pada beberapa kecil, porositas mikro atau makro, permukaan bagian, tetapi sebagian besar telah menyatu dan yang mengombak, dan striasi (Lovejoy et al. tidak dapat dilihat kembali. Dengan demikian, 1985). Selain itu, penentuan umur individu juga berdasarkan metode Meindl dan Lovejoy dapat dilakukan dengan menggunakan atrisi pada (1985), dapat diperkirakan bahwa umur rata- oklusal gigi pada Individu Nomor 38 dengan rata dari individu ini adalah 48,8 tahun dengan model atrisi gigi berdasarkan penelitian Lovejoy deviasi 10,8 tahun. Sebagai tambahan, ukuran (1985). Sebagai tambahan, penentuan umur juga tulang sedikit kecil jika dibandingkan dengan dapat diamati dari sutura pada cranium (Meindl manusia dewasa, yang kemungkinan besar dan Lovejoy 1985). Penentuan umur ketika dipengaruhi oleh faktor usia. Berdasarkan data meninggal dengan menggunakan sutura pada yang didapat dari atrisi gigi, facies auricularis, cranium telah dipergunakan sejak tahun 1500- sutura pada cranium, dan ukuran tulang yang an. Meindl dan Lovejoy (1985) menggunakan lebih kecil, dapat disimpulkan bahwa individu beberapa sutura dan mengambil bagian dari ini berumur sekitar 50 tahun ketika meninggal. sutura tersebut sepanjang satu sentimeter, Salah satu gangguan kesehatan kemudian memberikan penilaian 0 untuk atau kelainan yang diderita oleh Individu sutura yang masih terbuka dan 3 pada sutura Nomor 38 adalah degenerasi persendian yang tertutup. Jumlah total nilai dari penilaian temporomandibular pada tengkorak, yaitu terhadap sutura itu bisa dicocokan dengan umur adanya osteopit pada fossa mandibularis rata-rata individu ketika meninggal. sebelah kanan. Pada bagian kiri fossa mandibularis terlihat sedikit perubahan, tetapi 3. Hasil dan Pembahasan sulit untuk diidentifikasi karena terfragmentasi. 3.1 Hasil Adanya perubahan pada tulang juga dapat Hasil penelitian ini menunjukkan dilihat pada processus condylaris mandibula, bahwa jenis kelamin individu tersebut adalah terutama bagian kanan. Pada gigi tidak terdapat perempuan. Pelvis menunjukkan incisura kelainan, kecuali molar ketiga pada mandibula ischiadica major yang melebar dan sulcus sebelah kiri yang tidak muncul. Hal ini dapat preauricularis yang lebar dan dalam. Bagian disebabkan oleh gigi tersebut mengalami tengkorak Individu Nomor 38 menunjukkan impaksi, yang merupakan kelainan sejak lahir. protuberantia occipitalis externa yang tidak Perlu dilakukan pemeriksaan dengan Sinar-X tajam, processus mastoideus yang tidak besar, untuk menentukan kelainan ini. Pada incisor margo supraorbitalis yang sedang dan tidak maxilla terdapat supragingival kalkulus gigi. begitu tebal, glabella yang hampir datar dan Terdapat trauma gigi yang terletak pada tidak ada tonjolan pada protuberantia mentalis geraham pertama maxilla sebelah kiri. Geraham di mandibula. itu patah ketika Individu Nomor 38 masih hidup Berdasarkan metode penentuan umur dan tetap dipergunakan untuk proses mastikasi. dari atrisi gigi, individu ini diperkirakan Dentin gigi geraham yang patah menjadi tampak

23 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 karena trauma dan tidak terdapat tanda-tanda osteopit dan porositas. Pada pergelangan kaki, bahwa trauma tersebut disebabkan oleh karies terutama bagian talus, calcaneus, dan jari-jari gigi. Selain itu, atrisi pada Individu Nomor 38 kaki terdapat osteopit di bagian persendian dapat dikategorikan sebagai atrisi tingkat lanjut dengan tulang lain. Terlihat adanya eburnasi dan terdapat pada seluruh permukaan oklusal. atau kilapan pada bagian facies intervertebralis Pada individu ini tidak ditemukan karies yang dan talus. Osteopit, eburnasi dan porositas pada merupakan penyakit gigi umum. persendian menunjukkan osteoartritis.

Foto 1. Fraktur pada molar pertama maxilla kiri (Sumber: Foto 3. Osteopit pada talus (tampak inferior). Eburnasi Prayudi/Suriyanto) tidak tampak pada foto (Sumber: Prayudi/Suriyanto)

Foto 2. Degenerasi persendian Temporomandibular pada Foto 4. Porositas facies articularis superior pada sacrum fossa mandibularis (Sumber: Prayudi/Suriyanto) (Sumber: Prayudi/Suriyanto)

Gangguan kesehatan yang paling Pada bagian lumbar kelima tubuh lumbar mendominasi adalah osteopit dan porositas sebelah kiri lebih tinggi dari sebelah kanan pada bagian persendian. Gangguan ini dapat sehingga membuat tubuh individu lebih condong ditemukan pada clavicula, patella, bagian tubuh ke arah kanan. Hal ini terjadi karena runtuhnya lumbar dan facies articularis lumbar, serta basis badan lumbar yang bisa disebabkan oleh faktor ossis sacri dan facies articularis superior pada usia atau kebiasaan mengangkat beban yang sacrum. Pada tulang tangan (os carpi) terdapat berat. Pada penelitian ini runtuhnya lumbar osteopit dan porositas yang menunjukkan bahwa dikategorikan pada faktor usia karena individu individu ini mendapatkan rasa nyeri ketika ini berumur sekitar lima puluh tahun ketika menggerakkan pergelangan tangan dan jari- meninggal. jari tangannya. Pada bagian facies articularis Salah satu trauma yang terdapat pada capitis dan tuberculum costae juga terdapat rusuk, dapat dilihat pada salah satu tulang rusuk

24 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto

Foto 5. Tubuh lumbar yang runtuh (tampak anterior) Foto 7. Sulcus preauricularis pada os coxa kiri (Sumber: (Sumber: Prayudi/Suriyanto) Prayudi/Suriyanto) bagian kanan. Tulang rusuk tersebut patah ketika 3.2 Pembahasan individu ini masih hidup dan telah tersambung Berdasarkan bukti pada tengkorak dan kembali. Bagian ini dapat terlihat secara visual pelvis, Individu Nomor 38 adalah perempuan. sehingga tidak memerlukan pemeriksaan Sementara itu, hasil dari semua metode yang menggunakan Sinar-X sebab dari patahnya telah dipilih, seperti atrisi gigi, sutura pada tulang rusuk tidak dapat diketahui. cranium dan facies auricularis menunjukkan bahwa individu ini memiliki umur sekitar 50 tahun ketika meninggal.

3.2.1 Penyakit pada Gigi Pada masa prasejarah penyakit gigi yang umum diderita adalah karies gigi, atrisi, kalkulus gigi, dan periodontitis. Penyakit gigi pada Individu Nomor 38 adalah atrisi, kalkulus gigi, dan trauma pada gigi. Atrisi (bekas pakai pada gigi) merupakan Foto 6. Fraktur pada rusuk (tampak superior) (Sumber: hasil alami yang terjadi pada bagian occlusal, Prayudi/Suriyanto) incisal, atau proximal gigi karena proses Pada Individu Nomor 38 terdapat sulcus mastikasi (Roberts dan Manchester 2005, preauricularis yang digunakan sebagai penentu Aufderheide, Rodríguez-Martin dan Langsjoen jenis kelamin dan dapat digunakan sebagai 1998, 398). Atrisi selalu diasosiasikan dengan penanda bahwa individu tersebut telah melalui umur manusia sehingga dapat dipergunakan proses melahirkan. Sulcus preauricularis terletak untuk mengetahui umur individu ketika pada sisi inferior dari facies auricularis yang meninggal (Ortner 2003, 604). Hal ini terjadi merupakan persambungan antara pelvis dan karena semakin tua seseorang, tingkat pemakaian sacrum. Sulcus preauricularis terdapat pada gigi pada proses mastikasi akan semakin tinggi. pelvis sebelah kiri dan kanan dengan keadaan Semakin tinggi proses mastikasi yang terjadi sedikit tertutup pasir di beberapa bagian, namun akan menghasilkan tingkat atrisi yang semakin dapat dengan jelas terlihat bahwa ukurannya lebar besar. Pada umumnya rangka manusia yang dan dalam. Selain itu, dasar sulcus preauricularis terkait dengan situs arkeologis memiliki tingkat individu ini berada dalam keadaan yang tidak atrisi yang lebih tinggi daripada manusia masa rata dan berlubang. kini (Aufderheide, Rodríguez-Martin, dan

25 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Langsjoen 1998, 398). Hal tersebut disebabkan adalah mutilasi gigi. Trauma pada gigi, selain oleh makanan pada masa kini lebih lunak dan mutilasi, dapat terjadi dengan cara benturan sudah diproses jika dibandingkan dengan yang mengenai bagian gigi, proses menggigit makanan pada masa lampau. Sisa-sisa makanan material yang keras sehingga mengakibatkan yang melekat pada gigi dapat menyebabkan fraktur gigi, abrasi karena makanan yang kalkulus gigi. memiliki tekstur kasar atau tercampur dengan Kalkulus gigi adalah sisa makanan pasir, serta abrasi gigi karena penggunaan gigi dan plak yang menempel pada gigi. Hal ini sebagai alat bantu untuk membuat perkakas biasanya terjadi karena kurangnya usaha atau pengolahan makanan (Ortner 2003, 602). untuk membersihkan sisa makanan dan plak Pada Individu Nomor 38 trauma yang dari gigi sehingga menyebabkan kalkulus terjadi bukan dalam bentuk mutilasi gigi karena gigi. Kalkulus bermula dari plak gigi yang disengaja. Patahnya geraham pertama bagian mengandung kumpulan mikro organisme di maxilla (fraktur) kemungkinan besar tidak dalam mulut. Mineralisasi dari plak tersebut disengaja karena terletak pada bagian yang kemudian menjadi kalkulus gigi (Roberts sulit dijangkau, yaitu di bagian lingual. Selain dan Manchester 2005, 71-72). Kalkulus dapat itu, dapat diperkirakan bahwa fraktur tersebut terakumulasi ketika individu tersebut memakan terjadi antemortem. Kesimpulan ini dihasilkan diet yang memiliki kadar protein dan/atau karena bagian pinggir patahan gigi (fraktur) karbohidrat yang tinggi. Kalkulus juga akan tersebut sudah tumpul. Hal ini merupakan memiliki kecenderungan untuk menebal jika bukti bahwa setelah terjadi fraktur, gigi tetap individu tersebut berada pada lingkungan dipergunakan untuk proses mengunyah (Ortner dengan tingkat keasaman air tinggi (Roberts 2003, 603). Selain itu, terlihat pada bagian dan Manchester 2005, 71). Terdapat dua jenis oklusal gigi geraham ini mengalami abrasi yang kalkulus gigi, yaitu supragingival atau kalkulus kemungkinan disebabkan oleh proses mastikasi yang terletak di atas batas gusi, dan subgingival dan lokasi tempat tinggal individu ini terletak atau kalkulus yang terdapat di bawah batas gusi. di tepi pantai sehingga membuat makanan Supragingival merupakan kalkulus gigi yang tercampur dengan pasir. umum, biasanya tebal dan berwarna abu-abu atau cokelat. Subgingival terletak pada bagian 3.2.2 Persendian bawah gigi dan berwarna hijau atau hitam. Degenerasi persendian temporomandi- Kalkulus biasanya terdapat pada bagian gigi bular merupakan penurunan kualitas pada yang dekat dengan kelenjar ludah seperti pada kondilus mandibula dan fossa mandibula bagian lingual incisor mandibula atau bagian dengan munculnya osteopit dan porositas buccal molar maxilla (Roberts dan Manchester (Hodges 1991, 367-368). Persendian 2005, 72). Kalkulus gigi yang terdapat pada temporomandibular yang mengalami degenerasi Individu Nomor 38 merupakan supragingival biasanya memiliki kaitan dengan gangguan dilihat dari letak kalkulus gigi tersebut yang di kesehatan lainnya, seperti osteoartritis dan atas batas gusi dan berwarna cokelat. atrisi gigi. Hodges (1991) menyimpulkan hal Selain kalkulus gigi, Individu Nomor 38 tersebut dalam penelitiannya terhadap rangka memiliki trauma pada gigi. Pada umumnya, manusia dari lima situs arkeologis di Inggris. trauma pada gigi di Situs Gilimanuk dan situs Penelitiannya didasarkan pada individu dengan lainnya, seperti Semawang (Bali), Liang Toge umur lebih tujuh belas tahun ketika meninggal (Flores) (Koesbardiati et al. 2015, 60), Leran dan memiliki salah satu bagian dari persendian dan Binangun (Jawa) (Kasnowiharjo et al. 2013) temporomandibular. Penelitian lain dilakukan

26 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto oleh Richard (1990) terhadap 112 cranium (58 osteoartritis di atas umur 15 tahun diperkirakan laki-laki dan 54 perempuan) dari dua populasi mencapai 15,5% pada laki-laki dan 12,7% pada aborigin, dan menyimpulkan bahwa terdapat perempuan (Darmawan et al. 1987). hubungan antara degenerasi pada persendian Osteoartritis merupakan salah satu temporomandibular dan atrisi gigi. Richard penyebab utama disabilitas pada manula, yang (1990) juga menyimpulkan bahwa terdapat terjadi pada lutut, tangan, pinggang, punggung, perbedaan pola atrisi gigi dan frekuensi leher, pergelangan tangan, dan kaki. Osteoartritis degenerasi persendian temporomandibular memiliki beberapa penyebab, seperti umur yang pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan semakin tua, pengaruh genetis, obesitas, trauma pada kedua populasi itu. Sementara itu, Merbs atau dislokasi pada tulang paha, pengaruh (1983) pada penelitiannya terhadap populasi lingkungan, dan aktivitas atau gaya hidup Sadlermiut menyimpulkan bahwa terdapat (Roberts dan Manchester 2005, 138). Sebagai korelasi antara degenerasi pada persendian contoh, kegiatan bertani dalam kurun waktu temporomandibular dan osteoartritis, yang 1 hingga 9 tahun dapat meningkatkan risiko mayoritas diderita oleh perempuan. Merbs osteoartritis sebanyak 4,5 kali. Sementara (1983) juga memberikan tambahan bahwa itu, kegiatan bertani lebih dari 10 tahun dapat terdapat kemungkinan degenerasi yang terjadi meningkatkan risiko hingga 9,3 kali. Selain itu, pada persendian temporomandibular merupakan 80% dari penderita osteoartritis akan merasakan akibat dari pekerjaan yang mereka lakukan keterbatasan pada gerakan normal mereka ketika masih hidup, yaitu mengolah kulit hewan dan 25% tidak dapat mengerjakan pekerjaan dengan gigi mereka. keseharian mereka (World Health Organization Individu Nomor 38 memiliki tanda-tanda 2016). degenerasi pada persendian temporomandibular, Beberapa keluhan yang dialami pasien dengan adanya porositas pada kondilus dengan osteoartritis adalah sebagai berikut: mandibula dan munculnya osteopit pada a. Nyeri sendi ketika melakukan gerakan fossa mandibularis. Gangguan kesehatan ini tertentu yang berhubungan dengan kemungkinan besar berkaitan dengan penyakit persendian. osteoartritis. b. Mulai terbatasnya gerakan pada seseorang Osteoathritis merupakan penyakit karena sendi tersebut terasa bertambah persendian yang umum terjadi pada masyarakat berat. Indonesia modern. Menurut data World c. Kaku sendi yang terjadi ketika individu Health Organization (WHO) tahun 2004, melakukan gerakan setelah dalam posisi jumlah pengidap osteoartritis di seluruh dunia diam untuk beberapa waktu, seperti tidur mencapai 151 juta jiwa, dengan 24 juta jiwa atau duduk di kursi dalam waktu yang lama. di Asia Tenggara. Pengidap osteoartritis di d. Krepitasi yaitu suara gemeretak dari seluruh dunia diperkirakan mencapai 10-15% persendian yang sakit ketika digerakkan. orang dewasa yang berumur di atas 60 tahun. Krepitasi sering dijumpai pada bagian lutut. Selain itu, perempuan memiliki kecenderungan e. Perubahan gaya berjalan yang disebabkan yang lebih besar menderita osteoartritis (Haq oleh lutut yang terasa sakit ketika berjalan. et al. 2003). Pada tahun 1991 jumlah penderita (Flores dan Hochberg 2003; Soeroso et al. 2006). osteoartritis yang berumur lebih dari 60 tahun Terdapat tiga komponen dalam diagnosis di Indonesia mencapai 16 juta orang (Hazzard osteoartritis pada situs arkeologi. Pertama, et al. 1994, 98). Berdasarkan penelitian di adanya porositas pada bagian persendian tulang, daerah pedesaan Indonesia, jumlah penderita yang disebabkan oleh hancurnya tulang muda.

27 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kontak 80 individu Eskimo Sadlermiut dewasa, 36 di antara tulang dengan tulang, sehingga terjadi antaranya memiliki fraktur kompresi pada tubuh abrasi. Kedua, adanya eburnasi atau kilapan, vertebranya. Penderita fraktur ini lebih banyak yang terjadi karena kontak antara tulang dialami oleh perempuan. Beberapa perempuan dengan tulang dalam waktu yang lama. Hal yang berumur lebih tua memiliki gejala ini akan menghasilkan kilapan pada salah satu osteoporosis dan fraktur kompresi. bagian persendian. Ketiga, munculnya jaringan Pada Individu Nomor 38 dapat tulang baru pada bibir persendian (osteopit) disimpulkan bahwa individu tersebut memiliki (Ortner 2003, 546). Lokasi osteopit biasanya gejala osteoartritis dengan adanya porositas terdapat pada persendian lutut, pinggang, dan osteopit pada persendian tulang, terutama pergelangan kaki dan telapak kaki, persendian tulang pergelangan tangan dan kaki, sacroiliac, sacroiliac (antara ilium dan sacrum), bahu, persendian temporomandibular, vertebra, dan siku dan pergelangan tangan, telapak tangan, fraktur pada lumbar. dan persendian temporomandibular (Roberts Osteoartritis merupakan salah satu dan Manchester 2005, 136-139). Tingkat rasa permasalahan terbesar dalam osteoarkeologi, sakit pada penderita osteoartritis cukup tinggi, selain trauma dan infeksi, yang dapat dilihat sehingga pada masa kini perlu dilakukan dari sisa-sisa manusia (Ortner 2003, 545). Pada kontrol terhadap rasa sakit dengan menggunakan penelitian osteoarkeologi lainnya, osteoartritis analgesik. dapat memberikan pengetahuan pada arkeolog Gejala osteoartritis lainnya adalah fraktur mengenai kaitan penyakit tersebut dengan yang terjadi pada tubuh lumbar. Runtuhnya perubahan kebudayaan yang terjadi. Beberapa bagian tubuh tulang lumbar individu ini contoh penelitian yang telah dilakukan adalah digolongkan pada fraktur kompresi. Fraktur untuk mengetahui kaitan antara osteoartritis kompresi merupakan hasil dari tekanan dan perkembangan ekonomi maritim pada yang berlebihan dan wajar terjadi pada salah suku Indian di Kalifornia Selatan (Walker dan satu segmen tulang punggung, terutama di Hollimon 1989), rekonstruksi aktivitas pada bagian tubuh vertebra (Ortner 2003, 121). masa post-medieval masyarakat pedesaan Pada umumnya fraktur jenis ini terjadi pada Belanda (Palmer et al. 2014), dan pengaruh individu yang memiliki umur lanjut, penderita revolusi industri terhadap osteoartritis (Rando osteoartritis atau osteoporosis (Ortner 2003, et al. 2012). Namun penelitian lain dapat 155-156; Roberts dan Manchester 2005, 90-91, merekonstruksi aktivitas pada masa lampau, 105). penelitian ini belum dapat merekonstruksi Pada individu yang berumur muda, trauma aktivitas yang dilakukan oleh Individu Nomor pada tubuh vertebra (tulang punggung) dapat 38 ketika hidup. disebabkan oleh tekanan secara vertikal, yang biasanya terjadi ketika mendarat dari ketinggian 3.2.3 Rusuk tertentu. Proses ini dapat mengakibatkan fraktur Trauma merupakan cedera fisik yang kompresi, yang kemudian dapat berujung pada terjadi pada tubuh dan terkadang dapat terlihat skoliosis atau kifosis (Adams 1983, 98). Fraktur pada rangka manusia, seperti fraktur (Roberts kompresi pada vertebra juga dapat disebabkan dan Manchester 2005, 84). Penyebab fraktur karena membawa beban yang berat. Bukti secara umum adalah cedera akut, penyakit mengenai hal tersebut terlihat pada penelitian lain yang melemahkan tulang, atau tekanan yang dilakukan oleh Merbs (1983). Hasil berat terhadap tulang (Roberts dan Manchester penelitian Merbs menyebutkan bahwa dari 2005, 90). Pada situs arkeologis, fraktur kadang

28 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto ditemukan dalam keadaan telah tersambung atau Jenis fraktur yang terjadi pada rusuk sembuh (Roberts dan Manchester 2005, 89). Individu Nomor 38 merupakan transverse Proses penyembuhan fraktur terjadi fracture. Jenis fraktur ini merupakan fraktur melalui tiga fase, yaitu selular, metabolis, dan yang diakibatkan oleh tekanan pada sudut mekanikal. Fase selular dimulai beberapa saat yang tepat (Roberts dan Manchester 2005,i91). setelah fraktur terjadi, yaitu dengan munculnya Jika terjadi pada rusuk, fraktur tersebut dapat tulang woven, yang merupakan lapisan tulang menyebabkan kerusakan pada paru-paru baru. Tulang ini merupakan jaringan tulang (Roberts dan Manchester02005,086). Namun, lunak yang menyelimuti fraktur dalam waktu rapinya sambungan rusuk yang patah, membuat tiga hingga sembilan minggu. Fase kedua kecil kemungkinan bagi individu ini untuk adalah fase metabolis yang merupakan proses mengalami kerusakan pada paru-parunya. bergantinya tulang woven menjadi tulang Fraktur rusuk pada Individu Nomor 38 lamellar yang lebih kuat. Fase ketiga adalah fase telah melewati fase ketiga proses penyembuhan, mekanikal, yang terjadi ketika tulang woven yaitu fase mekanikal. Dengan demikian, dapat seluruhnya telah menjadi tulang lamellar dan diambil kesimpulan bahwa fraktur tersebut merupakan fase yang paling panjang. Pada sudah tidak menimbulkan rasa sakit ketika fase ini terjadi proses penyambungan kembali individu ini mati. Fraktur tersebut juga tidak dan penyusunan tulang pada tempat fraktur memiliki hubungan dengan osteoartritis karena terjadi. Waktu penyembuhan yang terjadi pada osteoartritis hanya melemahkan tulang pada tiap tulang berbeda-beda. Selain itu, semakin bagian persendian, bukan pada rusuk. jarang tulang tersebut beraktivitas, maka semakin cepat tulang tersebut tersambung 3.2.4 Parturisi kembali (Roberts dan Manchester 2005, 91- Pada masa lampau kehamilan dapat 92). Fraktur dapat mengakibatkan rasa sakit mengancam nyawa seorang (calon) ibu seperti dan disabilitas pada penderitanya (Kerr- yang terjadi masa kini. Terdapat beberapa Valentic etial. 2003). masalah yang dapat terjadi pada ibu hamil pada Fraktur pada rusuk sering terlihat masa persalinan, misalnya infeksi, eklampsia, pada individu masa lampau yang berasal atau pendarahan (Ortner 2003, 175). Proses dari penggalian arkeologis. Fraktur ini dapat melahirkan atau parturisi merupakan suatu disebabkan oleh beberapa hal, seperti jatuh dari proses yang traumatis dan dapat menyebabkan ketinggian tertentu, mendapatkan pukulan pada kematian bagi perempuan dan hal tersebut rusuk (oleh tangan atau alat), batuk atau bersin sulit diketahui dari rangka manusia (Ortner yang akut (Roberts dan Manchester 2005, 2003,i175). Walaupun demikian, dapat terlihat 105; Lovell 1997, 159). Beberapa penelitian adanya bekas proses persalinan pada rangka menunjukkan bahwa perempuan cenderung manusia. mendapat fraktur pada rusuk yang disebabkan Bagian dari tulang yang memiliki indikasi oleh batuk, terutama pada rusuk nomor 6 dan sebagai penanda proses persalinan adalah sulcus 7, yang biasanya terjadi pada umur 20 hingga preauricularis, yang telah diteliti sejak abad ke- 40 tahun (Kawahara et al. 1997; Hanak et al. 19 dan awal abad ke-20 oleh ahli anatomi D.E. 2005). Fraktur pada rusuk dapat menimbulkan Derry (Ubelaker dan De La Paz 2012, 866). rasa sakit yang bisa memengaruhi akitivitas Kemungkinan ini kemudian dikembangkan pada penderita dan mengurangi kualitas hidup (De tahun 1974 oleh Houghton melalui penelitiannya Maeseneer etial. 2000, 197; Kerr-Valentic et al. terhadap dua kelompok pelvis suku Maori. 2003). Haoughton menggunakan perbandingan os coxa

29 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 pada kedua kelompok suku Maori tersebut. Daftar Pustaka Hasil dari perbandingan tersebut adalah terlihat Adams, J. C. 1983. Outline of Fractures. adanya kesamaan bentuk permukaan sulcus Edinburgh: Churchill Livingstone. preauricularis dengan facies symphysialis yang Anggraeni. 1999. The Introduiction of Metallurgy pernah melewati masa melahirkan. Selain itu, in to Indonesia: A Comparative Study bentuk permukaan sulcus preauricularis yang with Special Reference to Gilimanuk. Australian National University. kasar, tidak rata, dan berlubang disebabkan oleh Ascádi, G. and J. Nemeskéri. 1970. History of lokasi tersebut merupakan tempat melekatnya Human Life Span and Mortality. Budapest: ligamen sacroiliac yang akan merenggang Akadémiai Kiadó. pada proses persalinan (Ubelaker dan De La Aufderheide, A.C., C. Rodríguez-Martin, and Paz 2012, 866). Pada laki-laki terkadang dapat O. Langsjoen. 1998. The Cambridge ditemukan sulcus preauricularis, tetapi tidak Encyclopedia of Human Paleopathology. Cambridge: Cambridge University Press. sedalam dan sebesar pada perempuan (Roberts dan Manchester 2005, 33). Aziz, F.A. and W. Faisal. 1997. “Pertanggalan Radiokarbon Rangka Manusia Situs Pada Individu Nomor 38, berdasarkan Gilimanuk, Bali”, Naditira Widya 2: 52- sulcus preauricularis dan permukaannya yang 62. kasar dan tidak rata, merupakan indikasi bahwa Aziz, F. A. 1995. “Kajian Arkeologi-Demografi individu tersebut pernah mengalami proses di Situs Gilimanuk (Bali) dari Masa melahirkan. Perundagian”. Disertasi. Depok: Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia.

4. Penutup Boedhisampurno, S. 1984. “Rangka Manusia dari Caruban, Lasem, Jawa Tengah. In Biografi biologis rangka Individu Nomor Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi 38 dari Gilimanuk tidak dapat menunjukkan II. Unpublished Work. penyebab kematian individu tersebut. Rangka ------. 1988. “Sisa Manusia dari Mahat dan tersebut juga tidak menunjukkan adanya Belubus, Sumatera Barat”. In Analisis indikasi mengenai aktivitas sehari-hari individu Hasil Penelitian Arkeologi II. Unpublished Work. tersebut selama hidup. Kendala lain dalam ------. 1990 “Temuan Sisa Manusia dari merekonstruksi kehidupan individu ini adalah Situs Kubur Paleometalik Plawangan, tidak bisa melihat dampak penyakit yang Rembang, Jawa Tengah”. In Analisis tidak membekas pada tulang dan sulit untuk Hasil Penelitian Arkeologi I. Unpublished memprediksi umur ketika fraktur pada rusuk Work. dan parturisi terjadi. Buikstra, J.E., and D.H. Ubelaker. 1994. Beberapa hasil yang dapat diketahui Standards for Data Collection from Human Skeletal Remains. Fayetteville: dari penelitian ini adalah Individu Nomor 38 Arkansas Archaeological Survey. memiliki jenis kelamin perempuan. Individu ini Darmawan J, S. Wirawan, P. Soenarto, and berumur 50 tahun ketika meninggal. Individu H. Soeharjo. 1987. “Prevalence of ini juga sudah pernah melalui proses persalinan. Rheumatic Diseases in Rural Population Gangguan kesehatan yang terdapat pada individu in Central Java, Indonesia (Indonesian)”. In Symposium of Rheumatology, edited ini adalah atrisi gigi, trauma gigi, trauma pada by Tanwir, J.M., P. Pramudyo, A. rusuk dan osteoartritis. Tohamuslim, 20-36. Bandung: Padjadjaran University.

30 Osteobiografi Individu Nomor 38 dari Situs Prasejarah Gilimanuk.Ashwin Prayudi dan Rusyad Adi Suriyanto

Flores, R.H. and Hochberg, M.C. 2003. Ortner, D.J. 2003. Identifications of Pathological “Definition and Classification of Conditions in Human Skeletal Remains. Osteoartritis”. In Osteoarthritis, edited Amsterdam: Academic Press. by Brandt, K.D., M. Doherty, and Palmer, J.L.A., M.H.L. Hoogland, and A.L. Water- L.S. Lohmander, 1-8. Oxford: Oxford Rist. 2014. “Activity Reconstruction of University Press. Post Medieval Dutch Rural Villagers from Haq, I., E. Murphy, and J. Dacre. 2003. Upper Limb Osteoarthritis and Entheseal “Osteoarthritis”. Postgraduate Medical Changes”. International Journal of Journal 79: 377-383. Osteoarchaeology. DOI: 10.1002/ Hazzard, W.R., J.P Blass, W.H. Jr. Ettinger, J.B. oa.2397. Halter (eds). 1994. Principles of Geriatric Rando, CJ., S. Hillson, and D. Antoine. 2012. Medicine and Gerontology. New York: “TMJ Osteoarthritis and Modernisation: Mc Graw Hill. Influence of the Industrial Revolution Hodges, D.C. 1991. “Temporomandibular on Disease Prevalence” In 81st Annual Joint Osteoarthritis in a British Skeletal Meeting of the American-Association-of- Population”. American Journal of Physical Physical-Anthropologists: 244. Portland: Anthropology 85: 367-377. Wiley-Blackwell. Kasnowiharjo, G., R.A. Suriyanto, T. Richards, L.C. 1990. “Tooth Wear and Koesbardiati, dan D.B. Murti. 2013. Temporomandibular Joint Change in “Modifikasi Gigi Manusia Binangun dan Australian Aboriginal Populations”. Leran: Temuan Baru di Kawasan Pantai American Journal of Physical Utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah”. anthropology 82: 377-384. Berkala Arkeologi 33 (2): 169-184. Roberts, C.A. and K. Manchester. 2005. The Kerr-Valentic, M.A., M. Arthur, R. J. Mullins, T. Archaeology of Disease. Glouchestershire: E. Pearson, J. C. Mayberry, B. A. Hicks, Sutton Publishing. G. Cryer, and E. Barquist. 2003. “Rib Stodder, A.L.W. and A.M. Palkovich. 2012. fracture pain and disability: can we do “Osteobiography and Bioarchaeology”. In better?” Journal of trauma injury infection The Bioarchaeology of Individuals, edited and critical care 54 (6): 1058-1064. by A.L.W. Stodder and A.M. Palkovich, Koesbardiati, T., D.B. Murti, and R.A. Suriyanto. 1-8. Gainesville: University Press of 2015. “Cultural Dental Modification in Florida. Prehistoric Population in Indonesia”. Soejono, R.P. 1977. Sistem-sistem Penguburan Bulletin of the International Association pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. for Paleodontology 9 (2): 52-60. Jakarta: Universitas Indonesia. Larsen, C.S. 2003. Bioarchaeology: Interpreting Soeroso, S., H. Isbagio, H. Kalim, R. Broto, Behavior from the Human Skeleton. and R. Pramudiyo. 2006. “Osteoartritis”. Cambridge: Cambridge University Press. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Lovejoy, C.O., R. S. Meindl, T. R. Pryzbeck, and II, Edisi IV, edited by A.W. Sudoyo et al. R. P. Mensforth. 1985. “Chronological (1195-1201). Jakarta: Fakultas Kedokteran Metamorphosis of the Auricular Surface Universitas Indonesia. of the Ilium: A New Method for the Suprijo, A. 1985. “Penelitian terhadap Rangka Determination of Adult Skeletal Age at Gilimanuk Tahun 1979”. In Rapat Death”. American Journal of Physical Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. Anthropology 68: 15-28. Unpublished Work. Meindl, R.S. and C.0. Lovejoy. 1985 ------. 1990. ”Identifikasi terhadap Rangka .”Ectocranial Suture Closure: A Revised Hasil Ekskavasi Batangmatasapo, Method for the Determination of Skeletal Selayar”. In Analisis Hasil Penelitian Age at Death Based on the Lateral Anterior Arkeologi I. Jakarta: Pusat Penelitian Sutures”. In American Journal of Physical Arkeologi Nasional. Anthropology 68: 57-66.

31 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

------. 1991. “Karies Gigi pada Rangka Sumber online Gilimanuk: Penelitian Pendahuluan”. World Health Organization. 2016. “Chronic In Analisis Hasil Penelitian Arkeologi Rheumatic Conditions”. Accessed 1 II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi December 2016. http://www.who.int/chp/ Nasional. topics/rheumatic/en/ Ubelaker, D.H. and J.S. De La Paz. 2012. “Skeletal Indicators of Pregnancy and Parturition: A Historical Review”. In Journal Forensic Science 57 (4): 866-872. Walker, P.L. and S.E. Hollimon. 1989. “Changes In Osteoarthritis Associated with the Development of a Maritime Economy Among South California Indians”. In International Journal of Anthropology, 4 (3): 171-183.

32 TIPOLOGI DAN MAKNA TINGGALAN MEGALITIK DI PESISIR PANTAI UTARA KABUPATEN JAYAPURA

Erlin Novita Idje Djami Balai Arkeologi Papua, Jl. Isele, Waena Kampung, Waena, Jayapura [email protected]

Abstract. Typology and Meaning of Megalithic Remains in the North Coast of Jayapura Regency. Megalithic remains are a form of manifestation of social and cultural events in the past. The existence of megalithic findings was encountered in the northern coast of Jayapura regency. Judging from their forms, they are quite diverse and served as a symbol that explains the basis of life of the people of Papua. In respect of this, it is important to reveal the forms, functions, and meanings of the megalithic remains contained in them. The aim of this research is to determine the forms, functions, and meanings of the megalithic remains that represent nation’s identity. Data were collected through literatures, observation of megalithic objects, and interviews with informants. The result of the study on stone seats, menhirs and menhir statues, stone jars, Tajaho Rock, Ancestor Rock, Yendaepiwai Rock, Batu Permen (candy stone), Batu Sukun (breadfruit stone), Batu Lingkar (stone enclosure), Haby pain stove, and Somda Rock, as well as the folklores about those cultural objects reveal that the remains were functioned as seats, media of ceremonies, proof of ownership of indigenous territories, marks of historical origin, place for public discussion, a place that tells a story, a symbol of the ancestors, and historical evidence. The diversity of the megalithic findings is a symbol of their human supporters, which contains the meaning of life as the nation’s cultural character. Keywords: Megalithic remains, Form, Function, Meaning, Northern coastal regency of Jayapura

Abstrak. Tinggalan megalitik merupakan suatu bentuk manifestasi dari peristiwa sosial budaya masyarakat masa lampau. Keberadaan temuan megalitik banyak ditemui di pesisir pantai utara Kabupaten Jayapura. Jika dilihat dari bentuknya, temuan itu cukup beragam dan merupakan simbol yang menjelaskan dasar kehidupan orang Papua. Sehubungan dengan itu, menjadi penting untuk mengungkapkan bentuk tinggalan megalitik tersebut, baik fungsi maupun makna yang terkandung didalamnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna tinggalan megalitik yang menggambarkan jati diri bangsa. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, observasi objek megalitik, dan wawancara. Hasil penelitian bentuk tinggalan megalitik berupa kursi batu, menhir, dan arca menhir, Batu Tempayan, Batu Tajaho, Batu Nenek Moyang, Batu Yendaepiwai, Batu Permen, Batu Sukun, Batu Lingkar, Tungku Api (haby pain), dan Batu Somda, serta cerita rakyat yang melingkupi objek budaya tersebut. Tinggalan tersebut berfungsi sebagai tempat duduk, media upacara, bukti kepemilikan wilayah adat, tanda asal sejarah, tempat musyawarah, tempat yang bercerita, simbol nenek moyang, dan bukti sejarah. Keragaman temuan megalitik tersebut merupakan simbol manusia pendukungnya, yang mengandung makna kehidupan sebagai karakter budaya bangsa. Kata Kunci: Tinggalan megalitik, Bentuk, Fungsi, Makna, Pesisir utara Kabupaten Jayapura

1. Pendahuluan terlepas dari diaspora penutur Austronesia yang Megalitik merupakan budaya yang keberadaannya membentang dari utara (Taiwan- mengembangkan pendirian batu-batu besar Mikronesia) ke selatan (Selandia Baru) dan dari yang mengandung fungsi dan makna tertentu barat (Pulau Madagaskar) menuju timur ke Pulau (Prasetyo 2015, 7-12). Kehadiran budaya itu tidak Paskah (Eastern Island) (Prasetyo 2016, 319). Naskah diterima tanggal 28 Februari 2017, diperiksa 28 Februari 2017, dan disetujui tanggal 3 Mei 2017.

33 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Para penutur Austronesia itu kemudian Munculnya megalitik di wilayah pesisir membawa budaya megalitik sampai merambah Papua menjadi sangat menarik dan penting Daratan Asia dan kepulauan mencakup wilayah dalam melengkapi sejarah kebudayaan Semenanjung Arab (Bahrain dan Yaman), Timur Indonesia dan menambah khazanah keragaman Dekat (Siria, Libanon, Israel, dan Yordania), budaya megalitik. Sejauh ini, baik keberadaan Asia Selatan (India), Timur Jauh (Cina, Korea, megalitik maupun kegiatan penelitiannya dan Jepang), dan Asia Tenggara (Laos, Filipina, di wilayah Papua, masih dapat dihitung Semananjung Malaysia, Serawak, Indonesia) dengan jari. Padahal, dapat diperkirakan (Prasetyo et al. 2004, 96-97; Prasetyo 2015, 34). bahwa potensinya tidak kalah dibandingkan Di Indonesia kehadiran budaya megalitik dengan megalitik yang ditemukan di wilayah menempati hampir di seluruh wilayah mulai dari Indonesia lainnya. Terbatasnya data yang Sumatra Utara sampai Papua dengan morfologi diperoleh mengakibatkan minimnya informasi umum berupa batu tegak (menhir), arca batu, sejarah budaya dalam konteks perkembangan meja batu (dolmen), monolit, punden berundak, megalitik khususnya di Papua. Oleh karena peti batu, tempayan batu, keranda batu, kubus itu, permasalahan yang muncul dari megalitik batu, kursi batu, bilik batu, tempayan batu, Papua adalah bagaimana bentuk dan makna keranda batu (sarkofagus), lumpang batu, dan megalitik Papua dalam konteks megalitik palung batu (Prasetyo 2015, 114). Di antara Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah, selain morfologi itu berkembang bentuk-bentuk lokal untuk mengetahui bentuk megalitik yang seperti kalamba, waruga, airoseli, sitilubagi, ditemukan di wilayah pesisir pantai Papua, juga ksadan (Kusumawati dan Sukendar 2003: untuk mengetahui makna kehadiran tinggalan 35-37; Prasetyo et al. 2004, 111-114), mokat tersebut bagi masyarakat pendukungnya. ake (Djami 2015a, 19), mareu, (Suroto et Namun, karena terbatasnya jangkauan kegiatan al. 2010, 13). Pendirian bangunan megalitik penelitian akibat luas dan panjangnya wilayah tersebut merupakan manifestasi terhadap ide- pesisir pantai utara Papua, wilayah penelitian ide megalitik yang telah meresap dalam segala dibatasi pada pesisir pantai utara Kabupaten segi kehidupan para pendukungnya (Soejono Jayapura. dan Leirissa 2010, 251). Mereka membangun Pengaruh budaya megalitik di Papua, megalitik sebagai sarana aktivitas pemujaan, menurut Riesenfeld (1950), masuk melalui penguburan, musyawarah, tempat upacara, Maluku di sebelah barat, kemudian ke Papua pengantaran arwah, dan tempat atau sarana hingga di wilayah Mamberamo di sebelah upacara perkawinan (Prasetyo 2015, 35-44). timur, dan melalui Papua New Guinea di Budaya megalitik di wilayah Papua tidak sebelah timur masuk ke Papua hingga ke terlepas dari kehadiran penutur Austronesia, wilayah Wogeo di sebelah barat (Mansoben yaitu ras Mongoloid Selatan yang telah 1995, 64-65). Kehadiran budaya megalitik berekspansi mencapai wilayah Papua sekitar Papua telah dilaporkan pada tahun 1950-an 1500 SM atau era Perunggu Besi di wilayah oleh sejumlah peneliti asing, seperti Galis, Indonesia, menyebabkan tradisi megalitik Kamma, dan Riesenfeld di pulau-pulau kecil, tersebar ke daerah-daerah yang dilaluinya seperti Adi, Namatote, Patipi, Fuun, Ora, (Prasetyo et al. 2004, 96). Salah satu wilayah Batanta di wilayah pantai barat, seperti Sungai yang dilalui oleh penutur Austronesia adalah Karufa di Skru, Sisir, dan Bintuni, serta di wilayah pesisir pantai utara Papua dengan Sorong dan Sentani (Prasetyo 2015,0110). bukti kehadirannya berupa tinggalan budaya Pada 1979 peneliti dari Pusat Penelitian megalitik Arkeologi Nasional berkunjung ke Jayapura

34 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami dan mencatat adanya monolit berhias di pantai utara Kabupaten Jayapura, kemudian Doyo Lama dan bentuk dolmen serta menhir dilakukan pengamatan, pengukuran, pendoku- di Sarmi (Bintarti 1982, 709-714). Beberapa mentasian, dan pendeskripsikan bentuk-bentuk tahun berselang, D.D. Bintarti dan Truman objek yang ada. Disamping itu, dilakukan Simanjuntak bersama-sama dengan Bagyo wawancara mendalam terhadap para informan Prasetyo mendeskripsikan secara lengkap untuk memperoleh informasi tentang fungsi peninggalan Doyo Lama yang terletak di dan manfaat tinggalan tersebut serta menggali Bukit Tutari. Hasilnya menunjukkan bentuk cerita budaya yang melatarinya. Data hasil monolit dengan goresan berbagai motif seperti penelitian kemudian dianalisis dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Selain itu, di menghubungkan antara data material dan bagian atas bukit dideskripsikan sejumlah data hasil wawancara untuk mengungkapkan besar batu tegak, tatanan batu tegak yang makna yang terkandung pada objek megalitik disusun melingkar (stone enclosure), serta tersebut. tatanan batu tegak yang disusun memanjang (Prasetyo 2001). 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sejumlah hasil penelitian Balai 3.1 Hasil Penelitian Arkeologi Papua telah memberikan tambahan Penelitian megalitik di wilayah Kabupaten informasi hadirnya budaya megalitik di Jayapura meliputi sejumlah kampung di wilayah itu, seperti keberadaan dolmen dan beberapa distrik kawasan pesisir pantai utara, menhir di Bukit Srobu (Djami 2015b, 23) yaitu di Kampung Ormu Nagasawa, Kampung dan monolit berhias dakon di Kampung Baru Ormu Negeibe, Kampung Ormu Wari di Distrik Yoka, tepi timur Danau Sentani (Mahmud Ravenirara; di Kampung Wambena, Kampung 2012, 52). Yepase di Distrik Depapre; di Kampung Senamai, Kampung Boseryo, Kampung 2. Metode Endokisi, Kampung Meukisi, di Distrik Yokari; Pengumpulan data dilakukan dengan serta di Kampung Yaougapsa dan Kampung survei objek megalitik yang ada di pesisir Ambora di Distrik Demta.

Peta 1. Peta Sebaran Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura (Sumber: Peta Administrasi Kabupaten Jayapura, digambar oleh Penulis)

35 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

3.1.1 Tinggalan Megalitik Moyang, Batu Yendaepiwai, Batu Permen, Temuan megalitik di pesisir pantai Batu Sukun (Batu Ibu, Arca Menhir, Menhir utara Kabupaten Jayapura cukup banyak dan dan Batu Betew), Batu Lingkar (oru dia), beragam. Temuan tersebut oleh masyarakat Tungku Api (haby pain), dan Batu Somda. setempat sering disebut dengan Batu Tempayan Lokasi megalitik tersebut dapat dilihat pada (arena), Kursi Batu, Batu Tajaho, Batu Nenek tabel berikut ini:

Tabel 1. Tabel Temuan Megalitik di Pesisir Utara Kabupaten Jayapura

Lokasi Koordinat Bentuk Megalitik Ukuran Situs Tanjung Ucokwa, LS: 02° 26' 56,2" Batu Tempayan (arena) T: + 5 m Kampung Ormu Nagasawa, BT:140° 36' 07,1" D: + 7 m Distrik Ravenirara Kampung Ormu Negeibe, LS: 02° 26' 54,9" Kursi Batu T: 0,77 m Distrik Ravenirara BT: 140° 33' 35,6" L: 0,50 m Situs Yarkwaco LS: 02° 26' 54,9" Batu Tajaho P: +2,50 m Kampung Ormu Negeibe, BT: 140° 33' 35,6" L: +1,7 m Distrik Ravenirara Situs Wanyamdara LS: 02° 27' 12,7" Batu Tandiriko P: 2,50 m Kampung Ormu Wari, BT: 140° 33' 04,4" L: 1,20 m Distrik Ravenirara Batu Mandaarki P: 1,80 m L: 1,60 m Situs Peunoudia LS: 02° 24' 43,9" Batu Yendaepiwai (1) P: 3 m Kampung Wambena, BT: 140° 24' 39,6" T: 3,20 m Distrik Depapre Batu Yendaepiwai (2) P: 2,30 m T: 1,70 m Batu Yendaepiwai (3) P: 6 m T: 2,50 m Batu Yendaepiwai (4) P: 2,10 m L: 1,45 m Situs Peunoudia LS: 02° 24' 40,7" Batu Permen L: + 10 m Kampung Wambena, BT: 140° 24' 43,7" T: + 15 m Distrik Depapre Situs Yasodia Kampung Yepase, LS: 02° 26' 56,2" Batu Sukun (Batu Ibu) P: 2,92 m Distrik Depapre BT: 140° 36' 07,1" L: 1,7 m Menhir (1) P: 0,58 m L: 0,22 m Menhir (2) P: 0,66 m L: 0,16 m Menhir (3) P: 0,49 m L: 0,13 m Menhir (4) P: 0,46 m L: 0,16 m Menhir (5) P: 0,41 m L: 0,14 m Menhir (6) P: 0,48 m L: 0,11 m Menhir (7) P: 0,58 m L: 0,20 m

36 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami

Lokasi Koordinat Bentuk Megalitik Ukuran Situs Yasodia Kampung Yepase, LS: 02° 26' 56,2" Arca Batu (merawai) P: 0,72 m Distrik Depapre BT: 140° 36’ 07,1" L: 0,175 m

Betew P: 0,77 m L: 0,41 m Kampung Meukisi, LS: 02° 25' 18,0" Batu Lingkar (oru dia) Db: 0,20-0,45 m Distrik Yokari BT: 140° 16' 05,2" Dl: 2-3 m Kampung Endokisi, LS: 02° 26' 09,3" Batu Lingkar (oru dia) Db: 0,20-0,45 m Distrik Yokari BT: 140° 17' 38,9" Dl: 2-3 m Kampung Senamai, LS: 02° 26' 43,1" Batu Lingkar (oru dia) Db: 0,20-0,45 m Distrik Yokari BT: 140° 18' 53,5" Dl: 2-3 m Kampung Buseryo-Soroyena, LS: 02° 26' 57,3" Batu Lingkar (oru dia) Db: 0,20-0,45 m Distrik Yokari BT: 140° 19' 03,3" Dl: 2-3 m Situs Yapumara LS: 02° 20' 24,2" Batu Somda P: 3,4 m Kampung Yaugagsa, BT: 140° 09' 12,5" T: 1,35 m Distrik Demta Kampung Ambora, LS: 02° 21' 06,1" Tungku Api (haby pain) D: 1 m Distrik Demta BT: 140° 08' 26,6" T: 0,40 m Keterangan: T= tinggi, D= Diameter, P= Panjang, L= Lebar, Db= Diameter Batu di oru dia, Dl= Diameter Batu Lingkar

Berdasarkan tabel tersebut terlihat Batu Tajaho berupa batu alam tanpa bahwa sebaran megalitik di pesisir pantai pengerjaan sama sekali dan memiliki bentuk utara Kabupaten Jayapura dimulai dari Distrik seperti ikan gurango atau hammer shark. Batu Ravenirara di sebelah timur hingga Distrik ini berfungsi sebagai tanda mata rumah (bekas Demta di sebelah barat, dan memiliki bentuk rumah) atau tanda letak rumah Suku Toto II, yang beragam sebagaimana diuraikan berikut dan bukti kepemilikan wilayah adat yang diakui ini. oleh suku lain di sekitarnya. Batu Tempayan adalah batu alam yang Batu Nenek Moyang adalah dua buah batu tidak dimodifikasi oleh manusia, berbentuk monolit yang dipercaya sebagai nenek moyang setengah lingkaran seperti mangkuk terbalik, Suku Nari keturunan Ondoafi yang berubah berada di laut dekat pantai bertebing, sebagian menjadi batu. Kedua batu tersebut merupakan badan batuan tertanam dalam air dan sebagian batuan alam tanpa pengerjaan. Batu yang lainnya tampak ke permukaan berbentuk berukuran lebih panjang menunjukkan moyang setengah lingkaran. Pada bagian batu yang laki-laki (Tandiriko) dan yang berukuran lebih teramati di atas permukaan air memiliki kondisi pendek dan sedikit bulat menunjukkan moyang yang mulai rapuh dan pecah-pecah. perempuan (Mandaarki). Batu Nenek Moyang Kursi Batu terbuat dari monolit yang tersebut berfungsi sebagai simbol pemersatu dipahatkan hingga membentuk kursi yang Suku Trong dari marga Nari keturunan Ondoafi. memiliki sandaran dan tempat duduk yang Batu ini juga sebagai bukti kepemilikan wilayah menyatu. Kursi tersebut berfungsi sebagai adat. tempat duduk Ondoafi1 dan simbol kebesaran Batu Yendaepiwai berupa empat monolit Ondoafi. yang tergeletak horisontal di halaman rumah

1 Ondoafi ialah pemimpin yang berperan sebagai pelindung, Bapak Matius Yerisitauow. Jarak batu pertama penyejahtera, dan pelestari kehidupan dunia kecil yang bersatu ke batu kedua 5 meter, batu kedua ke batu ketiga (Griapon 2014, 2)

37 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

4 meter, dan batu ketiga ke batu keempat 2,20 itu, terdapat delapan buah menhir berbentuk meter. Batu-batu tersebut memiliki ukuran yang lonjong dengan permukaan halus yang tersusun beragam. Pada bagian permukaan batu terdapat melintang di permukaan tanah dengan orientasi sejumlah lubang dan retakan-retakan yang timur barat–utara selatan. Terdapat pula sebuah dipercaya sebagai bekas tusukan tombak dan piring batu (betew) yang telah pecah dan bagian panah. Tidak jauh dari lokasi Batu Yendaepiwai yang pecah sudah hilang. Pada bagian piring terdapat Batu Permen, yaitu sebuah batu alam batu yang tersisa tampak pada permukaannya berukuran sangat besar yang tergeletak seperti tiga cukungan berbentuk lonjong. Salah satu menggantung di pesisir pantai. di antara cekungan itu masih utuh, sedangkan Batu Sukun adalah sejumlah batu dari dua cekungan lainnya tinggal sebagian karena berbagai ukuran dan bentuk yang tertata pada pecah. Piring batu tersebut berfungsi sebagai suatu area seluas 2,60 meter x 2,60 meter. tempat persembahan. Batu-batu tersebut terdiri atas batu ibu berupa Batu Lingkar (oru dia) adalah sejumlah monolit berbentuk seperti wajik atau jajaran monolit yang disusun melingkar. Batu yang genjang dengan permukaan yang tidak rata. disusun tersebut pada umumnya berbentuk Disamping itu, terdapat sebuah arca menhir bulat, lonjong, dan pipih dengan permukaannya dengan bentuk kepala lonjong dan memakai topi halus. Batu Lingkar tersebut berada di halaman kerucut dan ikat kepala melingkar di dahi. Pada rumah Ondoafi atau para kepala suku sesuai wajahnya yang lonjong terdapat seperti ikatan dengan peran masing-masing dalam adat. tali pada garis pinggir wajah dari kening hingga Formasi Batu Lingkar ada yang terdiri atas dagu. Mata dan hidungnya sudah aus sehingga delapan buah batu, sepuluh buah batu, sebelas tidak terlihat, telinganya memakai anting- buah batu, dan dua belas buah batu. Menurut anting bergelombang yang terjuntai hingga penuturan masyarakat, jumlah batu pada setiap ke bahu, ujung dagunya panjang hingga dada batu lingkar seharusnya berjumlah dua belas dan menutupi bagian leher. Bagian dada arca sesuai dengan jumlah keturunan mereka yang tersebut tidak teridentifikasi, tetapi tampaknya ada, dan bagian tengahnya tempat membuat menggunakan pakaian karena pada bagian api. Pada saat ini dari sejumlah Batu Lingkar lengan terdapat lekukan-lekukan seperti kain yang ditemui ada yang tersusun di atas tanah yang menjuntai. Pinggangnya memakai ikat tanpa bangunan pelindung dan ada juga yang pinggang. Pada bagian genital tergambar bentuk telah diberi bangunan pelindung. Ada juga segitiga, pada bagian bawah tergambar batasan Batu Lingkar yang telah dicor sehingga tidak berupa garis melingkar, sedangkan pada bagian dapat dipindah-pindahkan. Batu Lingkar samping dan belakang arca terdapat lekukan- difungsikan sebagai tempat duduk pada saat lekukan pakaian yang terjuntai seperti lekukan musyawarah adat. Namun, pada saat ini di kain di bawah leher dan pinggang. Bentuk kaki beberapa area Batu Lingkar terdapat bangku arca tidak diketahui karena keadaan bagian yang disusun melingkar untuk tempat duduk bawahnya mengerucut, mungkin karena aus dan keberadaan Batu Lingkar itu hanya sebagai atau memang demikian adanya. Kemungkinan simbol. Sebagai tempat musyawarah, biasanya lain karena posisi arca pada waktu lampau jika akan dilakukan pertemuan diberi kode atau tidak dalam keadaan terlentang atau tidur di tanda dengan menyalakan perapian yang ada di atas tanah, tetapi ditancapkan berdiri di atas tengah Batu Lingkar. Batu-batu lingkar tersebut tanah. Menurut masyarakat, arca ini adalah sesuai dengan fungsinya dibagi dua, yaitu untuk seorang anak perempuan (Merawai) yang kelompok suku damai yang membicarakan menjadi sumber berkat buah sukun. Selain masalah kehidupan sehari-hari masyarakat adat,

38 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami

Batu Tempayan Kursi Batu Batu Tajaho Batu Nenek Moyang

Batu Yendaepiwai (4 buah)

Batu Permen Kelompok Batu Sukun Arca Menhir Betew

Batu Lingkar Adat (oru dia) Batu Somda Tungku Api (haby pain)

Foto 1 ~ 16. Foto-foto bentuk megalitik di pesisir pantai utara Kabupaten Jayapura (Sumber: Balai Arkeologi Papua) baik yang terkait dengan perekonomian, sosial suku yang dahulu tercerai-berai ke berbagai budaya, kesehatan, maupun kesejahteraan. daerah, bahkan hingga mencapai wilayah Nusa Kelompok suku perang khusus membahas Tenggara Timur (Pulau Timor), tetapi mereka masalah perang. Pada setiap kampung yang telah dipersatukan kembali. terdapat Batu Lingkar. Jumlah Batu Lingkar Tungku Api merupakan tungku untuk suku damai lebih banyak daripada untuk pembakaran yang terletak di tengah tempat suku perang yang hanya satu. musyawarah adat. Tungku ini berbentuk Batu Somda merupakan sebuah monolit lingkaran dari susunan batu yang meninggi yang dipercaya sebagai seorang nenek yang dan bagian tengahnya dipenuhi tanah dan telah berubah menjadi batu. Lokasi Batu Somda abu bekas pembakaran serta perapian yang merupakan tempat nenek tersebut dibunuh masih menyala. Pada area sekitar tungku di Kampung Tua Yapumara. Batu itu telah terdapat bangku-bangku panjang yang diatur menjadi batu sejarah dalam kehidupan suku mengelilingi tungku sebagai tempat duduk yang hidup di wilayah Demta. Mereka adalah pada saat musyawarah dilakukan. Api di tungku

39 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 tersebut tidak boleh mati dan harus tetap dijaga beberapa waktu lamanya sebelum berpindah agar tetap hidup. Hal ini berkaitan dengan ke tempat lain. Untuk menyatakan bahwa kepercayaan berkat kehidupan dan kehadiran wilayah tersebut sebagai miliknya, dengan tokoh abadi (Wari). Tungku Api ini merupakan kesaktian nenek moyang mereka Batu Tajaho pusat untuk membicarakan masalah adat dibawa, kemudian ditempatkan di kampung tua seperti silsilah, kehidupan masa lampau dan Yarkwaco sebagai batu mata rumah dan bukti ramalan akan datang, ekonomi sosial, kesulitan kepemilikan wilayah ulayat adat. hidup, pertimbangan zaman, dan kesejahteraan Cerita tentang Batu Tandiriko dan Batu masyarakat. Mandaarki terkait dengan mitologi kedatangan nenek moyang marga Nari turunan Ondoafi ke 3.1.2 Cerita Rakyat bumi. Kedua batu tersebut dipercaya sebagai Temuan megalitik tersebut memiliki nenek moyang mereka yang pada masa lampau cerita budaya yang melingkupinya. Walaupun turun dari awan di kampung tua Wanyamdara. cerita yang dituturkan masyarakat cukup Di tempat inilah mereka mulai bermukim singkat, tetapi didalamnya terkandung arti dan beranak cucu sebelum akhirnya kedua kehidupan orang Papua, seperti cerita batu nenek moyang tersebut berubah menjadi batu. tempayan yang terkait dengan suatu perang Mengingat nenek moyang mereka berasal dari suku besar pada waktu lampau di Tanjung awan, mereka pun menamakan dirinya sebagai Ucokwa, yaitu sebuah lokasi perkampungan Suku Trong yang berarti ‘anak awan’ atau ‘suku besar (kampung tua) dengan jumlah penduduk dingin’ atau ‘suku damai’, yaitu suku yang yang sangat banyak. Namun, karena suatu hanya mengurus masalah perdamaian. sebab, di kampung tersebut terjadilah perang Cerita tentang Batu Yendaepiway dan suku yang amat dahsyat sehingga masyarakat Batu Permen di Kampung Wambena diawali tercerai-berai, lalu pergi ke berbagai tempat dari suatu peristiwa pengejaran seorang untuk membentuk perkampungan baru. Pada perempuan dari Sentani (Permen) oleh empat waktu lampau di Kampung Ucokwa terdapat orang laki-laki dari Genyem (Yendaepiway). sebuah tempayan berukuran sangat besar, Dalam pengejaran tersebut perempuan ini lari yang berfungsi sebagai tempat menyimpan air tanpa hentinya hingga sampai di suatu tebing untuk kebutuhan masyarakat kampung. Ketika di pinggir laut. Namun, karena diselimuti rasa perang terjadi penduduk kampung mendorong takut yang berlebihan, ia pun melompat ke tempayan besar tersebut ke arah tebing hingga jurang, lalu mati. Ia kemudian berubah menjadi akhirnya jatuh ke laut, yang kemudian berubah batu, sedangkan keempat orang laki-laki yang menjadi batu seperti yang dapat dilihat hingga mengejarnya dihalangi oleh saudara laki-laki kini. Batu tempayan tersebut bagi masyarakat Permen yang datang untuk menyelamatkannya. adalah sebagai tanda kampung tua, simbol Keempat orang Genyem tersebut dibunuh persekutuan suku-suku yang telah menyebar dengan tombak dan panah oleh saudara laki-laki luas di perkampungan baru mereka. Permen. Setelah keempat laki-laki tersebut mati, Cerita Batu Tajaho yang menjadi batu mereka berubah menjadi batu. Karena cerita tanda mata rumah Suku Toto II di kampung ini berakhir tragis, tempat tersebut dinamakan tua Yarkwaco memiliki hubungan dengan awal Peuneudia yang berarti ‘tempat yang bercerita’ kedatangan nenek moyang mereka ke tempat atau ‘bicara tempat sekitar’. tersebut. Kala itu nenek moyang Suku Toto II Cerita tentang Batu Sukun terkait dengan yang memiliki kekuatan supranatural datang tradisi memanggil buah sukun supaya berbuah ke tempat tersebut dan tinggal di sana untuk lebat dan panen melimpah. Pada mulanya

40 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami di tempat ini tidak ada pohon sukun hingga seluruh penduduk kampung tersebut. Namun, di datanglah nenek moyang Yakarimilena dari pulau ini masih tersisa seorang perempuan yang suatu daerah di timur Nafri dengan membawa sedang hamil. Ia bersembunyi dalam sebuah gua buah sukun bersamanya. Buah sukun yang kecil dan memakan makanan yang dikeringkan dibawa tersebut kemudian ditanam di kampung lewat sinar matahari hingga melahirkan dua di lokasi Batu Sukun berada. Pohon sukun orang anak kembar laki-laki. Keluarga ini yang tumbuh dari buah tersebut menjadi besar hidup di pulau secara sembunyi-sembunyi dan menghasilkan buah yang banyak, besar- karena takut dilihat oleh Nenek Somda. Hal besar dan enak rasanya. Singkat cerita, nenek ini membuat si kembar bertanya kepada ibu moyang mereka melahirkan seorang anak mereka, mengapa mereka hidup seperti itu, perempuan yang diberi nama Merawai. Ibu dan ke mana orang-orang yang lain, serta dan anak ini kemudian berubah menjadi batu. siapa ayah mereka? Ibunya bercerita tentang Arca menhir Merawai ini dipercaya membawa kepergian semua masyarakat dari pulau karena rejeki buah sukun. Pada setiap bulan musim takut dibunuh oleh Nenek Somda, sedangkan sukun, keluarga keturunan Merawai, yaitu ayah mereka berasal dari alam gaib. Kedua keluarga Yakarimilena, biasanya melakukan anak ini meminta untuk bertemu dengan ayah upacara pemanggilan buah sukun dengan mereka, kemudian ibu si kembar menghubungi cara memandikan arca Merawai di atas batu suaminya dan menceritakan permintaan ibu. Upacara ini hanya boleh dilakukan oleh anak-anak mereka. Suaminya mengabulkan keluarga Yakarimilena. Selain itu, upacara pertemuan kedua anaknya untuk bertemu di ini dapat terjadi atas permintaan masyarakat suatu tempat. Dalam pertemun itu sang ayah lain untuk memberkati pohon sukun di kebun memberi kesaktian kepada kedua anaknya mereka. untuk melawan Nenek Somda. Kedua anak ini Cerita Batu Somda berhubungan dengan berlatih, lalu mempersiapkan tujuh buah jebakan kehadiran Nenek Somda yang datang dari timur. untuk membunuh Nenek Somda yang terkenal Nenek Somda adalah seorang tokoh wanita sakti dengan tubuh yang sekeras batu. Dengan yang berbadan besar dan memiliki kekuatan taktik jitu yang dipelajari, dalam perkelahian supranatural sehingga ia dijuluki sebagai yang hebat, mereka berhasil melumpuhkan raksasa yang sakti. Ia datang ke wilayah Demta Nenek Somda, dengan menusukkan panah tepat bersama dua orang cucunya. Mereka diberi pada jantungnya. Sebelum mati, Nenek Somda tempat tinggal oleh masyarakat pada sebuah berpesan dan meminta agar kedua anak tersebut gua. Nenek Somda memiliki kemampuan mengeluarkan jantungnya, lalu membawa membuat beragam bentu benda budaya. Hasil dan memperlihatkannya ke mana pun warga karyanya dibagi-bagikan kepada masyarakat kampung tersebut mengungsi. Tercabutnya sekitar. Terkadang ia juga mengajarkan kepada jantung tersebut menjadi tanda kematian penduduk setempat tentang cara membuat Nenek Somda, yang berarti semua warga Pulau perahu, dayung, penikam ikan, noken, tomako Yaugapsa yang tercerai-berai kembali pulang batu (kapak batu), gelang batu, tempayan dalam persekutuan suku di kampung mereka. (sempe), jaring ikan, dan masih banyak lagi. Cerita Tungku Api dipercaya sebagai Hingga suatu ketika Nenek Somda dirasuki roh tempat tinggal raja hidup (wari) yang tidak jahat untuk membasmi penduduk kampung di berbapak dan tidak beribu. Ketika tinggal Pulau Yaugapsa di seberang laut dan mengambil dengan manusia, wari membuat Tungku Api seluruh harta kekayaan mereka. Akibat tersebut dan di sinilah ia bekerja dan berdoa. perbuatan Nenek Somda, tercerai berailah Hingga tiba suatu ketika baginya untuk pergi,

41 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 wari meyerahkan api damai tersebut kepada dan api pada tungku tersebut harus terus dijaga Ondoafi Dodop untuk menjaganya hingga agar tetap menyala. kini. Tempat Tungku Api ini berada menjadi pusat pelaksanaan upacara oleh wariwari 3.2 Pembahasan dari Suku Arimodop. Selain itu, Tungku Api 3.2.1 Tipologi Megalitik ini menjadi tempat pemujaan dan tempat Secara umum tipologi temuan tinggalan saling menghormati. Keberadaan Tungku Api megalitik di pesisir utara Kabupaten Jayapura merupakan tanda atau saksi setiap pembicaraan, adalah seperti diuraikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Tipologi Temuan Tinggalan Megalitik di Pesisir Utara Kabupaten Jayapura

No. Tipe Megalitik Subtipe Keterangan 1. Kursi Batu Kursi Tipe Papua Temuan kursi batu ini memiliki kekhasan tersendiri karena terbuat dari sebuah batu utuh, yang berbeda dengan kursi batu dari daerah Samosir yang terdiri atas bentuk lempeng batu sebagai alas duduk dan lempeng batu lain sebagai sandaran (Prasetyo 2015, 140). 2. Menhir Arca Menhir Arca menhir ini memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan arca menhir dari Bondowoso, yang di Nias tidak memiliki kemiripan, kecuali dengan arca menhir dari Lembah Bada, Sulawesi Tengah (Prasetyo 2015, 122) yang sedikit memiliki kesamaan pola pada penggambaran wajahnya. Menhir Polos Menhir polos berbentuk lonjong dengan permukaan halus sebagai bentukan alam, yang banyak ditemukandi daerah aliran sungai yang bermuara ke laut. Menhir ini berbeda dengan yang ditemukan di Tutari, Minangkabau, Ende, dan Gunung Padang (Prasetyo 2015, 110, 116, 130, 153 ). 3. Monolit Persegi Monolit ini tidak dikerjakan, berbentuk seperti wajik atau jajaran genjang dan diletakkan dalam kelompok batu sukun sebagai batu ibu. Bulat Berupa batu-batu bulat tanpa pengerjaan yang ditata melingkar, yang oleh masyarakat setempat disebut oru dia atau Batu Lingkar Adat yang berfungsi sebagai tempat duduk waktu musyawarah. Batu Lingkar atau Temu Gelang ditemukan juga di daerah Timor Barat yang disebut ksadan yang berfungsi sebagai dinding pelindung area upacara (Prasetyo et al. 2004, 112). Betew Monolit dengan pengerjaan pada salah satu permukaan terdapat beberapa lubang cekung lonjong yang berfungsi sebagai tempat persembahan dalam kelompok batu sukun. Monolit ini mirip dengan batu asah atau batu pipisan di Situs Gunung Srobu. Tungku Api Berupa sejumlah monolit berukuran kecil yang disusun meninggi berbentuk lingkaran sebagai sarana upacara. Tungku ini seperti tatanan batu atau tahta batu di Pulau Adi. Tidak Beraturan Sejumlah monolit tidak beraturan tanpa pengerjaan yang kemudian disebut, seperti Batu Tempayan, Batu Tajaho, Batu Tandiriko, Batu Mandarki, Batu Yendaepiwai, dan Batu Permen.

42 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami

3.2.2 Makna Tinggalan Megalitik berbagai persoalan adat mulai dari penobatan Temuan tinggalan megalitik di wilayah Ondoafi, pesta adat perkawinan, pesta dansa, pesisir pantai utara Kabupaten Jayapura cukup bayar kepala, adat kematian, sejarah, tanah adat, bervariasi yang dapat digolongkan dalam tiga hukum adat, penyakit, peredaran matahari, dan tipe, yakni kursi batu, menhir, dan monolit. berbagai pelanggaran adat serta perang. Dalam Demikian juga dengan fungsi dan cerita budaya budaya musyawarah di Batu Lingkar, secara yang melatarinya. Tinggalan tersebut merupakan umum ada dua cakupan bahasan masalah adat, tanda atau bukti dari suatu peristiwa budaya yakni membahas masalah adat sesuai dengan dalam sejarah nenek moyang orang Papua, peranannya dalam adat kelompok suku, seperti yang keberadaannya terus diwariskan hingga yang berhubungan dengan masalah ekonomi, kini dan terpateri dalam kehidupan masyarakat baik darat maupun laut, perang, dan perdamaian. pendukungnya. Seperti pada keberadaan Disamping itu, juga untuk membahas masalah batu tempayan di Kampung Ormu Nagasawa intern hanya satu suku. Batu Lingkar terdiri atas yang menceritakan ditinggalkannya suatu dua kelompok besar, yaitu Batu Lingkar untuk perkampungan akibat peperangan sehingga kelompok damai dan Batu Lingkar untuk perang. penduduknya tersebar ke berbagai tempat dan Batu Lingkar untuk kelompok damai cukup membentuk permukiman baru. Kehadiran batu banyak jumlahnya karena terkait erat dengan tempayan ini merupakan tanda persekutuan berbagai kehidupan sosial budaya, ekonomi, suku-suku yang menyebar di kawasan sekitarnya dan kepercayaan. Batu Lingkar untuk perang dan juga sebagai tempat asal-usul suku bangsa. hanya satu jumlahnya dan khusus menyelesaikan Sama halnya dengan kehadiran batu nenek masalah yang ada kaitannya dengan peperangan. moyang Tandiriku dan Mandaarki di Kampung Contohnya, jika persoalan yang berdampak Ormu Wari yang merupakan tanda persekutuan pada terjadinya peperangan, pada Batu Lingkar dan asal usul serta identitas dari kelompok Suku ini akan didiskusikan masalah tersebut dengan Nari keturunan Ondoafi, yang juga berperan tujuan agar sedapat mungkin perang tidak terjadi. sebagai masyarakat suku damai. Keadaan ini Ada dua pola penyelesaian masalah terus terbawa dalam kehidupan masyarakat Suku yang dilakukan di setiap batu lingkar adat, Nari (keturunannya) hingga kini. Selain itu, yaitu pertama khusus untuk penyelesaian terdapat batu tajaho di kampung tua Yarkwaco masalah suku bersangkutan, dan yang kedua yang merupakan tanda persekutuan suku dan berkaitan dengan masalah dalam kelompok tanda mata rumah serta bukti kepemilikan tanah persekutuan suku sesuai peranannya dalam ulayat adat dari Suku Toto II di wilayah Kampung adat. Untuk penyelesaian masalah dalam suku Ormu Negeibe. dilakukan secara internal suku, sedangkan untuk Batu yang menunjukkan persekutuan penyelesaian masalah kelompok/antarsuku lainnya adalah Batu Lingkar Adat yang terdapat di dilakukan bersama-sama kelompok suku. Pada Kampung Meukisi, Endokisi, Kentumilena, dan setiap batu lingkar terdapat satu atau beberapa Buseryo di wilayah adat suku besar Yokari, yang kelompok yang berperan penting, yang biasanya menggambarkan persekutuan kelompok dari juga dalam aktivitas musyawarah mereka setiap kampung dan juga menunjukkan adanya mengundang seluruh anggota persekutuan suku bentuk kepemimpinan tertinggi (Ondoafi), yang dari kelompok lain yang memiliki peran berbeda dibantu sejumlah kepala suku yang juga memiliki dalam masyarakat. peran masing-masing dalam adat. Selain itu, Batu Batu Lingkar adalah sejumlah batu yang Lingkar ini menunjukkan suatu bentuk sistem disusun membentuk lingkaran yang di tengahnya musyawarah adat yang di dalamnya membahas terdapat perapian. Keberadaan batu dalam

43 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 lingkaran tersebut berfungsi praktis sebagai masyarakat setempat. Nenek Somda dikenal tempat duduk. Api, jika dinyalakan, merupakan memiliki banyak kemahiran dalam penciptaan tanda penyampaian informasi kepada masyarakat teknologi peralatan hidup, seperti gerabah, kapak bahwa ada pertemuan adat. Api di sini juga batu, busur panah, tombak, dan perahu. Keahlian merupakan lambang keberanian, semangat, membuat peralatan yang dimiliki Nenek Somda kehangatan, dan terang. diajarkan kepada masyarakat sekitarnya. Selain Batu Lingkar, juga terdapat Gambaran lain dari Nenek Somda adalah sifat Tungku Api (haby pain) yang merupakan pusat keserakahan, kesombongan, dan keangkuhannya pelaksanaan upacara dan musyawarah adat. karena kerasukan roh jahat. Dengan demikian, Tungku Api ini dijaga agar tetap menyala karena melalui kemampuan dan kekuatan gaib yang merupakan sumber persekutuan dengan orang dimilikinya telah menimbulkan perang dan abadi (Wari) sehingga dia tetap memelihara kehancuran serta bercerai-berainya suku-suku dan melindungi masyarakat. Di Tungku Api yang ada di wilayah Pulau Yaugapsa. Disamping ini selalu dipanjatkan doa-doa oleh Ondoafi itu, juga terjadi suatu peristiwa pembalasan meminta perlindungan dan kesejahteraan bagi dendam oleh si kembar dengan pembunuhan masyarakatnya. Sesungguhnya Tungku Api Nenek Somda yang diakhiri dengan dipersatukan ini sama fungsinya dengan Batu Lingkar, yaitu kembali suku-suku yang semula tercerai-berai. sebagai tempat musyawarah dan menyelesaikan Jika dimaknai, keberadaan Batu Somda masalah adat terkait dengan kehidupan sehari- merupakan simbol kebajikan, keserakahan, hari (pada Batu Lingkar Kelompok Damai) dan kehancuran, dan juga persatuan atau pesekutuan masalah perang (pada Batu Lingkar Kelompok kembali yang tercerai-berai. Terkait dengan Perang). Namun, semuanya merupakan tanda pembalasan, terlihat pula pada tinggalan Batu atau simbol persekutuan suku, kehidupan Yendaepiway dan Batu Permen di Kampung gotong-royong, perdamaian, keamanan, dan Wambena yang menggambarkan hasrat jahat kesejahteraan. Budaya Batu Lingkar merupakan dan ketakutan berlebihan yang menuai kematian warisan nenek moyang yang awalnya terbentuk sehingga yang tertinggal hanyalah tempat di kampung-kampung tua, dan budaya ini masih yang bercerita. Keberadaan tinggalan Batu terus dipertahankan, bahkan terus mentradisi Yendaepiway dan Batu Permen ini sebagai pada generasi masa kini di permukiman baru tanda dari suatu perbuatan yang sia-sia sehingga mereka. keberadaan cerita ini diharapkan agar manusia Gambaran lain dari temuan megalitik lebih bijaksana dan mampu mengendalikan diri di wilayah Kabupaten Jayapura terkait dengan dalam setiap tindakan. adanya migrasi manusia tercermin seperti pada Temuan Batu Sukun di Kampung Yepase kehadiran Batu Somda di Kampung Yaugapsa. terdiri atas beberapa buah batu yang memiliki Gambaran migrasi ini diketahui dari cerita fungsi dan peran masing-masing. Batu yang rakyat bahwa Somda adalah seorang perempuan paling besar dalam kelompok Batu Sukun (nenek) yang berasal dari timur. Ia melakukan berperan sebagai ibu yang melahirkan dan perjalanan jauh bersama dua orang cucunya arca menhir merupakan anak perempuan yang dengan menggunakan perahu, kemudian tiba dilahirkannya. Menhir lainnya berfungsi sebagai di tempat sekarang, yaitu di Demta. Cerita alas kepala serta sebuah betew (piring batu) Somda memunculkan berbagai bentuk informasi tempat persajian. Kehadiran Batu Sukun ini tidak budaya, yaitu yang terkait dengan kedatangan terlepas dari aktivitas atau ritual pemanggilan suatu kelompok baru, kemudian penerimaan buah sukun agar berbuah banyak dan besar-besar masyarakat dan hidup berdampingan dengan serta rasanya enak. Upacara yang dilakukan di

44 Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Jayapura. Erlin Novita Idje Djami

Batu Sukun bertujuan untuk memberkati semua Djami, Erlin Novita Idje. 2015a. Penelitian pohon sukun yang ada di wilayah sekitarnya. Peradaban Manusia di Kawasan Lembah Balim Selatan – Kabupaten Jayawijaya. Dalam upacara tersebut, arca menhir (merawai) Laporan Penelitian Arkeologi. Jayapura: merupakan media upacara yang dimandikan di Balai Arkeologi Jayapura, Kementerian atas batu ibu. Pemandian arca menhir tersebut Pendidikan dan Kebudayaan. Unpublish dilakukan oleh sanak keluarga yang merupakan Work. keturunan dari Batu Sukun, yakni marga ------. 2015b. Penelitian Kawasan Terpadu Yakarimilena yang tinggal di Kampung Yepase. Situs Gunung Srobu Distrik Abepura -Kota Jayapura: Laporan Penelitian Upacara Batu Sukun dilakukan, selain sebagai Arkeologi. Jayapura: Balai Arkeologi tradisi keluarga setiap memasuki bulan musim Jayapura, Kementerian Pendidikan dan sukun, juga atas permintaan masyarakat untuk Kebudayaan. Unpublish work. memberkati pohon-pohon sukun yang tumbuh di Griapon, Alexander. 2014. “Konsep kebun mereka. Kehadiran Batu Sukun ini sebagai Pengembangan Jati Diri Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura”. In Semiloka tanda hubungan kekerabatan dan persekutuan Pembinaan Kapasitas Masyarakat Adat kelompok, kehidupan melayani dan berbagi Kabupaten Jayapura. Unpublish Work. berkat kehidupan dengan orang lain. Kusumawati, Ayu and Haris Sukendar. 2003. Megalitik Bumi Pasemah: Peranan serta 4. Penutup Fungsinya. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Deputi Penemuan beragam bentuk tinggalan Bidang Pelestarian dan Pengembangan megalitik di wilayah Pesisir Kabupaten Jayapura Budaya. Pusat Penelitian Arkeologi. merupakan simbol kebesaran nenek moyang Mahmud,0M.0Irfan.02012.0“Arkeologi yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang untuk Semua: Bentuk dan Prospek mencerminkan jati diri bangsa. Tipologi Pemanfaatannya di Papua”, Kalpataru Majalah Arkeologi 21/1: 39-60 megalitiknya cukup beragam, seperti monolit Mansoben, Johszua Robert. 1995. Sistem Politik atau batu alam tanpa pengerjaan, tetapi tersentuh Tradisional di Irian Jaya. Seri Terbitan cerita budaya, baik menhir polos maupun arca LIPI – RUL No.5. Jakarta. menhir, dan kursi batu. Keberadaan tinggalan Prasetyo, Bagyo. 2001. “Pola Tata Ruang dan megalitik tersebut merupakan gambaran Fungsi Situs Megalitik Tutari, Kecamatan pengetahuan nenek moyang, sedangkan cerita Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Irian budaya yang mendukungnya sebagai bentuk Jaya”. Berita Penelitian Arkeologi No.03. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura, implementasi kehidupan mereka. Kombinasi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kedua warisan budaya tersebut menjadi warisan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. budaya yang menyadarkan dan menuntun ------. 2015. Megalitik. Fenomena yang generasi bangsa untuk hidup aman, damai, dan Berkembang di Indonesia. Jakarta: Pusat sejahtera. Penelitian Arkeologi Nasional Bekerja Sama dengan Penerbit Galang Press. ------. 2016. Autro-Protohistory: “The Daftar Pustaka Dispersal of Megaliths in Indonesia Bintarti, D.D. 1982. “Mungkinkah Doyo Islands”. In Austronesian Diaspora a new Lama Sebuah Situs Prasejarah.” In PIA Perspective, 319-336. Yogyakarta: Pusat 1980, 709-714. Jakarta: Pusat Penelitian Penelitian Arkeologi Nasional – Gadjah Arkeologi Nasional. Mada University Press.

45 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Prasetyo, Bagyo, D.D. Bintarti, Dwiyani Soejono, R.P dan Leirissa, R.Z (Ed,). 2010. Yuniawati, E.A. Kosasih, Jatmiko, Retno Sejarah Nasional Indonesia I, Zaman Handini, E. Wahyu Saptomo. 2004. Prasejarah di Indonesia. Edisi Religi pada Masyarakat Prasejarah di Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka. Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dan Suroto, Hari, Erlin N. I Djami, and M. Irfan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Mahmud. 2010. Arkeologi Prasejarah di Kebudayaan dan Pariwisata. Sentan: Laporan Penelitian Arkeologi. Riesenfeld, A. 1950. The Megalithic Culture of Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura. Melanesia. Leiden: Brill. Unpublish Work.

46 KEBIJAKAN PENGUASA DALAM PELESTARIAN BANGUNAN KEAGAMAAN PADA MASA PEMERINTAHAN RAKAI WATUKURA DYAḤ BALITUNG (898-910 M)

Yogi Pradana Tenaga Ahli Cagar Budaya, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur [email protected]

Abstract. Policy of the Authorities in the Preservation of Religious Buildings During the Reign of Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 A.D.) This study discusses the policy of the authorities during the reign of King Balitung (898-910 A.D.) of Ancient Mataram Kingdom. The policy that was discussed in this study was the forms of preservation of religious buildings. The aim of this study was to provide information on the forms of preservation of religious buildings in the past. The method used in this study was inductive reasoning with descriptive-analytic approach. The analysis used in this study was structural analysis, which was making internal critic on inscriptions’ transliterations to generate interpretation about aspects of human life. Based on this study, it is known that the mention of the religious buildings’ preservation policy is expressed explicitly or implicitly, while the forms of policies to preserve religious buildings were among others renovation, addition of buildings, and maintenance. Keywords: Policy, Preservation, Religious buildings, Inscription

Abstrak. Penelitian ini membahas kebijakan penguasa pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-901 Masehi) dari Kerajaan Matarām Kuno. Kebijakan yang dibahas bentuk pelestarian bangunan keagamaan berdasarkan data prasasti dari masa pemerintahan Raja Balitung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa lampau. Metode yang digunakan adalah penalaran induktif dengan sifat deskriptif-analitis. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis struktural, yaitu melakukan kritik intern pada transliterasi atau alih bahasa isi prasasti untuk memperoleh penafsiran berupa aspek-kehidupan manusia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa penyebutan kebijakan pelestarian bangunan keagamaan dalam prasasti disebutkan, baik secara tersurat maupun tersirat. Adapun bentuk-bentuk kebijakan penguasa dalam melestarikan bangunan keagamaan antara lain berupa renovasi, penambahan bangunan, dan perawatan bangunan. Kata Kunci: Kebijakan, Pelestarian, Bangunan keagamaan, Prasasti

1. Pendahuluan memiliki arti ‘pengumuman pemerintah’ dan Penulisan sejarah Indonesia kuno tidak ‘surat keputusan’ atau ‘piagam’ (Zoetmulder dapat terlepas dari prasasti sebagai sumber 2011, 850). Menurut Boechari, prasasti ialah tertulis yang autentik, prasasti dibuat pada sumber sejarah dari masa lampau yang ditulis waktu yang bersamaan dengan peristiwa yang di atas batu atau logam (Boechari 1977, 4). diperingati (Dwiyanto 1993, 2). Oleh karena Berdasarkan data yang telah ditemukan, aksara itu banyak informasi yang diperlukan untuk pada prasasti masa Jawa Kuno dipahatkan pada penulisan sejarah menggunakan informasi batu (linggopala), logam emas (mas), perak dari hasil kajian para pakar prasasti (Wibowo (pirak), tembaga (tamra), dan ada juga yang 1976, 63). Kata prasasti berasal dari kata dituliskan pada daun “tal” (lontar) yang disebut praśasti dalam bahasa Sansekerta yang ripta prasasti (Darmosoetopo 2003, 1).

Naskah diterima tanggal 27 Maret 2017, diperiksa 27 Maret 2017, dan disetujui tanggal 6 Juni 2017.

47 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Prasasti dapat dilihat tidak hanya sebagai terletak pada pengertian pelestarian yang media penyampai pesan tekstual, karena pada didefinisikan sebagai usaha untuk melakukan hakikatnya merupakan produk bendawi dari perawatan agar suatu objek bisa bertahan dan kegiatan manusia masa lampau yang masuk tidak mengalami perubahan (Pusat Bahasa dalam kategori artefak (Kusumohartono 1994, Departemen Pendidikan Nasional 2008, 820). 17). Berdasarkan gagasan tersebut, prasasti dapat Ketika masih digunakan, suatu bangunan bisa diartikan sebagai salah satu artefak berbentuk saja mengalami perubahan atau perbaikan. keputusan resmi yang dikeluarkan oleh penguasa Oleh karena itu, tulisan ini tidak mengacu pada atau raja yang berisi pengumuman, peraturan pengertian pelestarian pada masa sekarang. dan perintah. Hampir seluruh prasasti Jawa Informasi mengenai bentuk pelestarian Kuno yang ditemukan berisi tentang penetapan bangunan keagamaan pada masa Matarām sīma yang diberikan untuk orang yang berjasa, Kuno banyak terdapat dalam prasasti meskipun baik kepada raja maupun sīma untuk menunjang jarang ada yang menyebutnya secara langsung. bangunan keagamaan (Darmosoetopo 2003, 11). Penguasa memiliki peran sentral dalam upaya Meskipun demikian, ada sejumlah kecil prasasti melestarikan bangunan keagamaan yang yang berisi tentang jayapattra atau masalah mereka dirikan. Prasasti Wanua Tengah III hukum (Boechari 1977, 4) dan anugerah raja yang dikeluarkan pada tahun 908 Masehi atau penguasa berupa hadiah barang kepada (Kusen 1988, 18 dan Darmosoetopo 2003, 41) para pendeta (Darmosoetopo 2003, 91). menyebutkan bahwa Rahyangta i Hara adik Prasasti adalah peringatan peristiwa Rahyangta i Mḍang (Sang Ratu Sañjaya) telah penetapan sīma. Penetapan itu dituliskan membangun biara (bihāra) (tempat tinggal sebagai anugerah penguasa kepada desa atau biksu) dalam kompleks bangunan keagamaan pejabat yang telah berjasa kepada kerajaan atau Buddha di Pikatan, juga menyiapkan sawah sebagai anugerah raja untuk kepentingan suatu yang hasilnya digunakan untuk membiayai bangunan keagaman (Boechari 1977,o4). Untuk keperluan upacara dan pelestarian dalam meresmikan sebuah daerah sebagai daerah bangunan keagamaan. sīma, terlebih dahulu harus diadakan upacara Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M) peresmian atau penetapan yang disebut manusuk juga ada pernyataan yang menyebutkan bahwa sīma. Prosesi penetapan sīma (Haryono 1980, Śrī Mahārāja Rake Watukura Dyaḥ Balitung 35-54) mengandung aspek magis dan religius mengeluarkan kebijakan penting terkait untuk memperlihatkan bahwa penetapan dengan keberadaan dan kelestarian bangunan suatu daerah sebagai sīma dengan segala keagamaan di wilayah kerajaannya. Kebijakan ketentuan merupakan ketetapan mutlak yang itu dimaksudkan untuk menghidupkan kembali harus dipatuhi oleh seluruh rakyat. Dalam hal status semua bihāra (biara) di seluruh Jawa ini, termasuk ketentuan mengenai kebijakan sebagai daerah swatantra. Dengan kata lain, terhadap pelestarian bangunan keagamaan yang semua biara itu diberi kebebasan penarikan ada di dalamnya. pajak, yang berarti dana yang dihasilkan Bangunan keagamaan pada masa Jawa dari tanah punpunan, yaitu tanah sīma yang Kuno diperuntukkan bagi keperluan ibadah diperuntukkan khusus untuk bangunan atau pemujaan. Oleh karena itu, bangunan keagamaan dapat digunakan untuk keperluan keagamaan ini perlu dijaga kelestariannya pelestarian bangunan keagamaan. Selain melalui kegiatan pelestarian. Pengertian punpunan dijumpai pula tanah aṅśa yang pelestarian pada masa sekarang berbeda dengan merupakan tanah yang diperuntukkan bagi pelestarian pada masa lalu. Perbedaan tersebut bangunan keagamaan tetapi letaknya jauh

48 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana dari bangunan keagamaannya, istilah aṅśa berdasarkan hasil analisis. Data diperoleh dari baru muncul pada masa sesudahnya (abad ke- alih aksara prasasti Raja Balitung yang telah 11) sampai pada masa keemasan Kerajaan dilakukan oleh pakar sebelumnya. Pemilihan Majapahit (Boechari 1980, 277; Jones 1984, informasi dilakukan khusus yang berkaitan 78). Keterangan tentang status semua biara di dengan kalimat yang menyebutkan tentang Jawa pada masa itu dapat dilihat dalam kutipan pelestarian bangunan keagamaan. berikut ini: Analisis yang digunakan dalam penelitian II.6-7 “…ajña nira kumonakan sang ini adalah analisis struktural, yaitu melakukan hyang dharmma bihāra i jawa kabeḥ kritik intern yang berupa transliterasi atau swatantra umaryya kadandan…” (=… alih bahasa pada pesan atau isi prasasti yang perintahnya menyuruh semua sīma untuk menghasilkan penafsiran berupa keterangan bangunan keagamaan bihāra di Jawa yang berhubungan dengan aspek ekonomi, statusnya dihidupkan kembali (sebagai politik, agama, birokrasi, dan sebagainya pada swatantra) (Darmosoetopo 2003, 41). masa lampau. Analisis seperti ini adalah cara umum yang digunakan oleh kalangan epigraf Berdasarkan informasi yang terdapat dalam (Dwiyanto 1993, 7). Oleh karena itu penelitian prasasti ini, Raja Balitung diasumsikan memiliki ini akan menghasilkan interpretasi beragam kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada bangunan keagamaan. Beberapa pertanyaan masa Raja Balitung. yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: (1) Apa saja bentuk kebijakan pelestarian terhadap 3. Hasil dan Pembahasan bangunan keagamaan yang telah dilakukan? 3.1 Penyebutan Usaha Pelestarian Bangunan (2) Apa tujuan penguasa tersebut membuat Keagamaan dalam Prasasti Masa kebijakan pelestarian itu? (3)Bagaimana posisi Balitung (898-910 M) para penguasa tersebut secara birokrasi terkait Raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung dengan kebijakan pelestarian terhadap bangunan mengeluarkan banyak prasasti pada masa kegamaan yang mereka lakukan? pemerintahannya (898-910 M). Di antara prasasti-prasasti tersebut, terdapat beberapa 2. Metode prasasti yang memuat keterangan yang berkaitan Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan kelestarian bangunan keagamaan. kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif- Prasasti masa Raja Balitung (898-910 M) yang analitis. Penalaran yang digunakan bersifat dijadikan sebagai data dalam penelitian ini induktif yang bermula dari kajian fakta khusus, memperlihatkan perbedaan penyebutan usaha kemudian disimpulkan menjadi gejala yang pelestarian bangunan keagamaan. Penyebutan bersifat umum. Penelitian mengambil data mengenai pelestarian terhadap bangunan informasi mengenai kebijakan penguasa pada keagamaan ini dapat digolongkan menjadi dua, masa Raja Balitung dalam pelestarian bangunan yaitu penyebutan secara tersurat dan penyebutan keagamaan. Fakta atau gejala dari data tentang secara tersirat. Penyebutan tersurat diketahui permasalahan yang diajukan akan digambarkan dari kalimat atau kata yang dituliskan pada dengan mendeskripsikan data prasasti dengan kalimat prasasti dan penyebutan anugerah yang terlebih dahulu melakukan analisis untuk disebut sebagai sīma punpunan. Sīma punpunan mengetahui maksud dari data prasasti tersebut. merupakan anugerah sīma pada sebidang tanah Tahapan penelitian dimulai dari pencarian pada sebuah desa untuk mendukung kelestarian data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi bangunan keagamaan (Jones 1984, 78).

49 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

3.1.1 Penyebutan Tersurat bhatāra dharmma sisanya diberikan ke sang Penyebutan tersurat adalah isi dari kalimat karmmanya untuk memuja mempersiapkan dalam prasasti yang memberikan indikasi tentang upacara, upacara untuk dewa, menyapu, usaha pelestarian bangunan keagamaan. Tidak pemelihara bangunan keagamaan pejabat ada standardisasi pasti untuk membedakan jenis keagamaan, sang karma yang memelihara penyebutan pelestarian bangunan keagamaan. seluruh bangunannya (bhātara) sebagai kerja Pengelompokan ini untuk memudahkan baktinya (Wuryantoro 2011, 130). pengidentifikasian bentuk pelestarian yang Prasasti Samalagi (910 M) tampak dalam data prasasti, Berikut ini istilah 3-4.“…dharmma rakryān mahāmantri. yang dipakai dalam prasasti masa Raja Balitung Gawainya mā…sawaḥnya lamwit…(hu…n yang berhubungan dengan pelestarian: tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 pinḍah sawaḥ kmittanni rāma i samalagi…”(=…dharmma rakryān a. Makmitan mahāmantri. Kerjanya mā sawahnya mmiliki Kata makmitan memiliki arti ‘memelihara’, luas lamwit…… (hu…n tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 makmitan dalam beberapa prasasti disebutkan jumlah sawah yang dikelola oleh rāma di untuk menerangkan upaya pemeliharaan Samalagi…(Boechari 2012, 479). yang dilakukan pada bangunan keagamaan maupun tanah sīma. Untuk bangunan b. Rumakṣa keagamaan disebut makmitan dharmma, Kata ini berasal dari kata dasar rakṣa yang sedangkan untuk sīma disebut makmitan berarti ‘jaga’, dengan ditambah sisipan um. sīma. Berikut adalah kutipan kalimat dari Karena sisipan ini bersifat aktif maka arti kata prasasti yang menyebutkan kata tersebut: ini seharusnya menjadi ‘menjaga.’ Berikut Prasasti Telang I (903 M) ini adalah kutipan kalimat dalam prasasti Taji I.5-6 “…wusan makakmitan ikanaŋ (901 M) yang menyebutkan kata ini: kamulān mu°aŋ parahu. umantassakna saŋ VIIa. 3-4.“…kasusukan nikanaŋ mahawān pratidina paṅguhanya mas mā 7 kabikuan riŋ dewasabhā muaŋ sīmānya pasaŋ niŋ kalaŋ mā 2 piṇḍa mā 9 iŋ satahun. de rakryān ri watu tihaŋ pu saŋgrāma paknānya... mu°aŋ parāna °i maṅkmit dhurandhara winehakanira ya ri anaknira kamulān…” (=[yang termasuk wilayah Hu] anakbi samgat dmu(ŋ) pu cintyā rake śrī wusan untuk menjaga kamulān dan perahu. bhāru dyaḥ dhetā. sira rumakṣā saŋ hyaŋ [Sebagai imbalan] menjaga perahu dan dharmma…”(=…dibatasilah kabikuan menyeberangkan pejalan kaki setiap hari di Dewasabha itu dan (juga) sīma-nya [mereka] akan menerima bayaran senilai oleh Rakryān ri Watu Tihaŋ Pu Saŋgrāma 7 māsa emas disatukan dengan dari kalang Dhurandhara diberikan kepada anaknya istri 2 māsa [emas], jumlahnya 9 māsa [emas] dari Samgat Dmu(ŋ) Pu Cintyā yaitu Rake dalam setahun. [Penduduk] yang dikenakan Śrī Bhāru Dyaḥ Dhetā. dialah yang menjaga [untuk .....] dan parana kepada penjaga (bangunan keagamaan) saŋ hyaŋ dharmma… kamulān (Nastiti 2015, 27-28). (Boechari dan Wibowo 1985/86, 42). Prasasti Watukura I (902 M) c. Umiwia IIIb. 1-2. “…i bhatāra dharmma. Kata umiwia juga memiliki arti ‘memelihara’, çesanya. maraha i saŋ karmmanya. dalam prasasti Rukam (907 M) kata ini mamūja. upakalpa. dewakarmma. anapū. muncul untuk menerangkan pemeliharaan dewadāsa. pasiṅhir. sahana saṅkarmma lima bangunan keagamaan yang dilakukan kummit bhatāra makadrwya ya…”(=…di oleh warga Desa Rukam dengan dipimpin

50 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana

oleh ketiga rāma di daerah itu. Kutipan haji muaŋ milu sumusuk ikanāŋ dharmma prasastinya adalah: ika ta kabeh kapwa byapāra i bhatāra 1.3-4. “…sīmān rakryān sañjīwana nini dharmma i watukura…”(Wuryantoro 2011, haji maṅasīa i dharmma nira i limwunŋ 129)(=…demikian banyaknya kepala desa di muaŋ pagawayana kamulān paṅguḥhannya Watukura yang menerima uang emas untuk pirak dhā 5 piliḥ mas mā 5 marā i parhyaṅan melaksanakan upacara penetapan sīma dari i limwuŋ buñcaŋ hajyanya umiwia ikanaŋ raja dan ikut membatasi atau menetapkan kamulān…” =…dijadikan daerah perdikan bangunan keagamaan itu semuanya adalah bagi neneknya raja, yaitu Rakryān Sañjīwana pemelihara bangunan keagamaan di dan hendaknya dipersembahkan kepada Watukura… dharmmanya (Rakryān Sañjīwana) di e. Sīma Punpunan Limwung dan hendaknya membuat kamulān Penyebutan ini tercantum dalam empat (di Rukam). Pendapatan (daerah Rukam prasasti pada masa Raja Balitung, berikut yang berjumlah) 5 dhārana perak dan 5 kutipan kalimatnya: māsa pilih mas, (supaya) diberikan untuk Prasasti Sangsang I (907 M) pemeliharaan parhyaṅan yang terletak di 1.6.“…inanugrahān kinon sumusuka Limwung, sebagai buñcang hajinya adalah i kanaŋ wanua i saŋsaŋ simā punpunnana memelihara kamulān tersebut… (Nastiti et nikanaŋ wiharā…” (van Naerssen 1937, al. 1982, 23-26 dan 36-40). 442)(=dianugerahi untuk membatasi desa d. Byapāra sangsang menjadi simā punpunan bagi Kata byapāra memiliki arti ‘mengurusi/ wiharā itu…) melayani’. Kata byapāra atau wyaparā Prasasti Samalagi juga diidentifikasikan sebagai jabatan dari 3. “…i samalagi…susukên sīmā seseorang yang mempunyai tugas memelihara punpunanai bhaṭāra waiṣṇawa iŋ bulusan bangunan keagamaan dari kerusakan dharmma rakryān mahāmantrī. Gawainya (Setianingsih 1991, 6). Satu-satunya prasasti mā…”(=…di samalagi.. ditetapkan atau masa Balitung yang menyebutkan kata dibatasi (sebagai) sīmā punpunan untuk byapāra adalah prasasti Watukura (902 M), bangunan suci bagi kelompok pemuja dewa berikut ini kutipan kalimatnya: wisnu (bhaṭāra waiṣṇawa) di bulusan yang IIIa.1.“…nāhan kweh ni rāmanta i merupakan kebaikan (dharmma) dari rakryān watukura tumarima ikanāŋ mās panīma saṅke mahāmantrī. baktinya…māsa (mā)…).

Tabel 1. Penyebutan Tersurat Tentang Pelestarian dalam Prasasti Masa Balitung Kata Terjemahan Prasasti kmit Makmitana melestarikan atau memelihara Telang I (903 M) Kummit melestarikan atau memelihara Watukura (902 M) Kmitanni yang dipelihara Samalagi rumakṣa menjaga Taji (901 M) umiwia memelihara Rukam (907 M) byapāra mengurusi atau melayani Watukura (902 M) tanah sīma yang diperuntukkan bagi Sangsang (907 M), Samalagi (t.t.), sīma punpunan kelestarian bangunan keagamaan Kandangan (906 M), Wukajana (t.t.)

51 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

3.1.2 Penyebutan Tersirat keagamaan. Tanah yang ditetapkan menjadi Ada 11 prasasti yang secara tidak langsung sīma adalah tanah yang bebas dari pungutan atau tersirat usaha pelestarian bangunan pajak kerajaan. Sebagai gantinya, hasil dari keagamaan (kutipan prasastinya tercantum dalam tanah tersebut diperuntukkan bagi bangunan Tabel 2.). Usaha untuk melestarikan bangunan keagamaan untuk mendukung kelestarian atau keagamaan secara tersirat pada umumnya berisi keberadaan bangunan keagamaan (Boechari pemberian sebuah tanah sīma untuk bangunan 2011, 280).

Tabel 2. Kutipan Penyebutan Tersirat Kebijakan Pelestarian Bangunan Keagamaan Kutipan Prasasti Terjemahan Prasasti sinusuk rake wanua poḥ. sīmani ditetapkan atau dibatasi oleh Rake Kayu Ara Hiwang parhyaṅan Wanua Poh sebagai sīma untuk bangunan (901 M) keagamaan (yang jenisnya) parhyangan paknānyan sinusuk punyā nira sīmā Tujuannya membatasi sīma yaitu sebagai Panggumulan I & II bhaṭara muaŋ bhaṭāri I kinawuhan jasa mereka (bagi) bhaṭāra dan bhaṭārī di (902 dan 903 M) Kinawuhan inalap śīmā nikanang kamulān muang dijadikan sīma bagi Bangunan keagamaan Telang II (903 M) parahu (kamulān) dan perahu

panamwah sawaha simājaran memperluas sawah sīma untuk para Ketanen I (904 M) diwassa sīmājñaya ikānaŋ kabikuan i ajar (pendeta/guru) ketika (pada saat simājaran itu) perintah untuk menjadikan sīma untuk kabikuan di sīma untuk para ajar (sīmājaran) paknān yan sinuśuk muang kalangnya Fungsinya dibatasi dengan pejabat Poh (Randusari) sīmā sang hyang caitya mahaywa sīma (bagi) Sang Hyang Caitya bagi (905 M) silunglung sang dewata sang lumāḥ i kesejahteraan silunglung dari raja yang pastika diperdewakan di pastika kāla rakryān i wuṅkaltihaŋ pu Pada waktu itu Rakryān Wuṅkaltihaṅ Pu Rabwan (905 M) wīrawikrama maṅarpanākan gaṇṭa i Wīrawikrama memberikan genta kepada bhaṭāra iŋ rabwān dewa (bhaṭāra) di Rabwān

śīmā ni parhyangan I prasāja watak dijadikan śīma bagi parhyangan Prasāja Kandangan (906 M) patapān (yang masuk dalam wilayah) Patapān lain sangke kapūjan bhaṭāra i selain itu juga melakukan pemujaan Mantyasih I (907 M) malangkuśeśwara. ing pūteśwara.i kepada bangunan keagamaan (bhaṭāra) di kutusan. i śilābhedeśwara. i Malangkuśeśwara. di Pūteśwara. di Kutusan. tuleśwara. ing pratiwarsa di Silābhedeśwara. di Tuleśwara setiap tahun knanyan sinusuk sīmā bhaṭārī ta…pa tujuan pembatasan (tanah itu) ialah Sīmā Bhaṭāri (907 M) ri…iṅinira sa…maṇik untuk dijadikan perdikan bagi bangunan keagamaan untuk Bhaṭārī (=dewi durgā?) irikā diwasa nikanaŋ sawaḥ sīma adalah saat sawah sīma di pikatan diberikan Wanua Tengah III i pikatan inuwahakan i saŋ hyaŋ kepada sang hyang wihāra di Pikatan (908 M) wihāra i pikatan sinêmbahakên ḍampunta sudḍara dipersembahkan kepada Dampunta Kaladi (909 M) mwaŋ ḍampunta dampi. sīma Sudḍara dan Dampunta Dampi sebagai pananamāna kambaŋ panikêlana tanah sīma untuk menanam bunga yang susur nanti hasilnya sebagai pemberian wajib

52 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana

Foto 1. Prasasti Mantyasih lempeng I sisi depan dan pembesaran bagian awalnya (Sumber: OD 8737)

3.2 Bentuk Pelestarian Bangunan dengan membangun kamulān. Bangunan ini Keagamaan merupakan bangunan yang diperuntukkan bagi 3.2.1 Perawatan dan Perlindungan penjaga keamanan, dan biasanya berkaitan Sebagai tempat yang diperuntukkan bagi dengan keamanan jalan raya atau sarana kegiatan keagamaan, bangunan keagamaan perlu penyeberangan (tambangan) pada masa Jawa dijaga dan dirawat dengan baik agar tetap lestari. Kuno (Darmosoetopo 2003, 104-106, Nastiti Bangunan keagamaan perlu dijaga keamanannya et al. 1982, 48). Prasasti Telang I memberikan dari berbagai ancaman yang mengganggu keterangan bahwa Desa Telang diwajibkan keberadaan dan kegiatan yang terjadi pada untuk menjaga kamulān dan perahu, seperti yang bangunan keagamaan. Sebagai contoh pada masa tercantum dalam kutipan ini: Matarām Kuno dalam Prasasti Śiwagṛha (856 M) A.4-5 “…jar ya tan wuara saŋgahan. memberikan keterangan mengenai kemungkinan inujaran saŋ huwusan pu waluḥ adanya peristiwa pencurian pada suatu bangunan anakwanua i anṅahi. de rakryān mapatiḥ keagamaan, kinon umaparṇnākna ikanaŋ wanua i 19.“…ista kariḥ dwarapalā weh dadi tlaŋ muaŋ iŋ mahe… matakut maling ta kumaling waruhheriṅ 5.wusan makakmitan °ikanaŋ kamulān alap grhahayu ning hyaṅ…”(=…arca mu°aŋ parahu... (=Penguasa Desa dwarapala ditempatkan untuk menakuti Huwusan [bernama] Pu Waluh, penduduk pencuri yang mencuri (menganggu) Desa Manṅahi, disuruh oleh Rakryan keindahan bangunan keagamaan milik Mapatih untuk menyampaikannya ke dewa…) (Casparis 1956, 313). [penduduk] Desa Tlaŋ, Desa Mahe, [dan Kutipan Prasasti Śiwagṛha di atas Desa Paparahuan][yang termasuk wilayah menunjukkan upaya mencegah tindakan Hu]wusan untuk menjaga kamulān dan pencurian dengan menempatkan arca dwarapala perahu) (Nastiti 2015, 27-28) yang biasanya ditempatkan pada pintu masuk Pemeliharaan bangunan keagamaan sebuah bangunan keagamaan. Pada masa membutuhkan seorang petugas khusus. Balitung, kebijakan tentang usaha menjaga Petugas khusus tersebut dalam prasasti disebut keamanan bangunan keagamaan diwujudkan dengan byapāra yang berarti juru pelihara

53 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Foto 2. Panil 31 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur yang menggambarkan seorang Biksu yang duduk di depan sebuah bangunan keagamaan atau candi dan seseorang terlihat membersihkan bagian kaki candi, adegan ini menurut Fontein (1989) menunjukkan ajaran membersihkan kediaman Biksu (Sumber: Widjaja 1999, 31) bangunan keagamaan (Setianingsih 1991, dari raja dan ikut membatasi/menetapkan 5). Sebagai petugas khusus untuk merawat bangunan keagamaan itu semuanya adalah bangunan keagamaan, byapāra memiliki para pemelihara bangunan keagamaan di tugas membersihkan dan merawat bangunan Watukura). keagamaan dan lingkungan sekitarnya. Prasasti Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Landa yang tidak terdapat angka tahun di para kepala desa yang telah menerima uang dalamnya menurut Christie (1999, 172) berasal emas untuk memelihara bangunan keagamaan dari masa Raja Kayuwangi memberikan itu semua tergolong dalam petugas yang disebut keterangan mengenai bangunan keagamaan byapāra. Termasuk ketiga kepala desa yang telah prāsāda yang ada di Ruhur dan Tambak yang pensiun juga diberikan tugas untuk melestarikan disapu bagian dalam ruangannya. Halaman bangunan keagamaan. prāsāda ini juga dibersihkan dan dicabuti Pada masa Raja Rakai Watukura Dyaḥ rumput-rumputnya (Darmosoetopo 2003, 248, Balitung, pemeliharaan bangunan keagamaan Wuryantoro 2012, 351-352). mungkin tidak banyak berbeda dengan bentuk Petugas byapāra, seperti yang disebutkan pemeliharaan bangunan keagamaan pada dalam prasasti Watukura I jumlahnya lebih dari Prasasti Landa di atas. Pembersihan terhadap satu orang, kutipan prasasti yang menyebutkan bangunan keagamaan bukan tanpa alasan, ajaran indikasi tersebut adalah: keagamaan yang mengajarkan bakti terhadap IIIa.1.“…rāmānamarata saŋ gariyan saŋ bangunan keagamaan atau dewa juga diajarkan subhara saŋ windawa nāhan kweḥ ni dalam ajaran agama. Visualisasi dalam salah satu rāmanta i watukura, tumarima ikanāŋ mās relief Karmawibhangga Borobudur menampilkan panīma saṅke haji, muaŋ milu sumusuk gambaran mengenai hal itu. ikanāŋ dharmma, ika ta kabeḥ kapwa byapāra i bhaṭāra dharmma i watukura…” 3.2.2. Renovasi Bangunan (Wuryantoro 2012, 129)(=pejabat kepala Pada masa pemerintahan Raja Balitung desa yang telah pensiun yaitu Sang pernah ada peristiwa renovasi bangunan Gariyan, Sang Subhara, Sang Windawa. keagamaan, peristiwa ini dicatat dalam prasasti Demikian banyaknya kepala desa di Sangsang (907 M). Samgat Lamwa yang Watukura yang menerima uang emas untuk merupakan pejabat tinggi watak Lamwa di melaksanakan upacara penetapan sīma tugaskan untuk menetapkan Desa Sangsang

54 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana sebagai sīma karena ia telah berjasa memperindah juga disebutkan pembangunan sebuah bihāra di bangunan kuṭi di Hujung Galuh dan membangun sekitar bangunan keagamaan tersebut (Santiko biharā untuk komplek kuṭi tersebut. Kutipan 2012, 5-6). kalimat prasastinya adalah: Sesuai dengan bukti yang telah disebutkan 5-6.“…i kanaŋ wanua wuara kuṭī i hujuŋ sebelumnya, salah satu bentuk kebijakan galuḥ watak lamwa ya ta pinuliḥ samgat pelestarian bangunan keagamaan adalah dengan lamwa pinahayu-nira jinayyakan nira cara menambah bangunan baru dalam suatu wihāra ya sambandhā nya r inanugrahān bangunan keagamaan. Prasasti Sangsang I kinon sumusuka i kanaŋ wanua i saŋsaŋ adalah suatu bukti bahwa bangunan keagamaan simā punpunnana nikanaŋ wiharā… kuṭi mengalami perawatan dan penambahan ”(=van Naerssen 1937, 442)(=…wuara bangunan wiharā untuk melengkapi bangunan kuṭī di hujung galuh itu yang masuk yang sudah ada. Prasasti ini juga menunjukkan dalam wilayah watak lamwa. Dia lah bahwa pejabat yang terlibat dalam usaha yang bernama Samgat Lamwa yang pelestarian bangunan keagamaan tidak harus mempercantik (kompleks bangunan pejabat yang memiliki kedudukan tinggi, hal ini keagamaan), memulihkan kejayaan dengan dapat dilihat dari peran Samgat Lamwa. Fakta menambahkan wiharā. Itulah sebabnya ini semakin memperjelas bahwa gelar samgat (ia) dianugerahi untuk membatasi desa adalah gelar pejabat yang berada pada tingkat sangsang menjadi simā punpunan bagi watak yang memiliki tugas khusus di bidang wiharā itu…) keagamaan. Berdasarkan kutipan prasasti di atas, ada dua hal penting yang tercantum, pertama adalah 3.3 Dukungan untuk Keberadaan Bangunan hubungan antara bangunan keagamaan kuṭi dan Keagamaan wiharā. Karena bangunan wiharā dibangun Pada masa pemerintahan Raja Balitung, dalam sebuah kompleks kuṭi, berarti bangunan pemberian atau dukungan terhadap bangunan wiharā merupakan bagian kecil dari bangunan keagamaan dapat berupa tanah sawah, kebun, kuṭi yang sudah ada. Kemungkinan lain yang bisa dan tanah desa. Pemberian tanah kepada saja terjadi adalah bangunan kuti yang merupakan bangunan keagamaan masa Raja Balitung bangunan bernafaskan agama Buddha belum beragam jenisnya. Tanah yang diberikan sebagai memiliki wiharā yang diidentifikasi sebagai biaya melestarikan bangunan keagamaan tempat tinggal para pendeta agama Buddha tersebut merupakan tanah yang terlebih dahulu (Darmosoetopo 2003, 204). dibatasi sebagai tanah sīma. Pemberian tanah Jika bangunan wiharā ini dibangun terutama untuk penetapan sīma punpunan karena setelah kuṭi-nya, berarti dapat dianggap bahwa sīma punpunan sudah jelas merupakan tanah wiharā merupakan bangunan pelengkap yang sīma untuk mendukung keberadaan bangunan dibangun kemudian untuk menambahkan keagamaan (Boechari 1980, 324; Darmosoetopo kompleks bangunan kuṭi yang sudah ada. 2003, 109; Jones 1984, 78). Sebagai contoh, fenomena penambahan sebuah Seperti telah dikemukakan bahwa tanah bangunaan keagamaan Buddha dengan sebuah adalah sumbangan yang paling banyak diberikan, bangunan wiharā telah ada sejak tahun 700 Ś mungkin karena masyarakat Matarām Kuno (778 M). Raja Rakai Panangkaran membangun adalah masyarakat agraris. Sawah menghasilkan sebuah bangunan keagamaan untuk Dewi Tāra komoditas yang berguna untuk memenuhi hajat (Tārābhavanaṃ), sekarang diidentikkan dengan hidup masyarakat sehingga dapat juga untuk Candi Kalasan. Berdasarkan Prasasti Kalasan ini membiayai bangunan keagamaan. Hasil dari

55 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 sawah sīma yang seharusnya diserahkan untuk tanah sīma di Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang kerajaan dalam bentuk pajak digunakan sebagai masuk ke wilayah Bawang, tadinya merupakan biaya untuk pelestarian bangunan keagamaan. hutan (alas araṇan) yang dan dirubah menjadi Misalnya Desa Panggumulan yang kebun. Kemudian kebun tersebut disebutkan memiliki kewajiban membayar pajak empat ditanami dengan bunga yang diperuntukkan māsa yang diperoleh dari sawah yang luasnya untuk mendukung pemberian wajib (panikĕlana tujuh tampah dan satu kaṭik ditambah dengan susur). Adapun alasan mengapa hutan tersebut penghasilan setahun dari hutan sebesar satu dijadikan kebun bunga, karena hutan tersebut māsa perak harus di serahkan semuanya untuk tadinya hutan yang sangat rawan kejahatan memelihara bangunan keagamaan di Kinawuhan yang menyebabkan ketakutan bagi orang yang (Nastiti et al. 1982, 30). Contoh lainnya, melaluinya. Keterangan mengenai hal itu dapat adalah sawah di Wanua Tengah yang hasilnya dilihat pada kutipan di bawah ini: diperuntukkan bagi biara di Pikatan yang telah “…sambandha ikanaŋ lmaḥ iŋ kaladi dibangun oleh Rahyangta i Hara pada tahun 745 i gayam mwaŋ iŋ pyapya watĕk bawaŋ M. Adapun luas tanah yang disebutkan dalam sinêmbahakên ḍampunta sudḍara mwaŋ prasasti adalah sisi utara 182 dpa sihwa, sisi ḍampunta dampi. sīma pananamāna selatan 162 dpa sihwa, sisi timur 160 dpa sihwa kambaŋ panikĕlana susur… sampun dan sisi barat 162 dpa sihwa dengan 3 tu. pua ya winehakĕn simān. sambandha Penambahan tanah terkait usaha atau iŋkang lmaḥ iŋ gayām muaŋ iŋ pyapya kebijakan dalam menunjang pelestarian hlat gunanta kamulanya. alas araṇan bangunan keagamaan pada masa pemerintahan katakutan…”(=…alasannya tanah Raja Balitung terdapat dalam prasasti Ketanen di Kaladi, Gayam dan Pyapya yang (904 M) yang ditemukan di Desa Ketanen, masuk dalam wilayah (watêk) bawang Mojokerto. Penjelasan mengenai hal itu dalam dipersembahkan kepada Dampunta prasasti disebutkan bahwa Rakryan Lañja dai Sudḍara dan Dampunta Dampi sebagai Innahan dan pembantu Rakryān memperluas tanah sīma untuk menanam bunga yang sīma untuk para ajar (pendeta/guru) yang ada di nanti hasilnya sebagai pemberian wajib. Kabikuan Simājaran. Alasan penambahan tanah sudah diberikan anugerah sīma itu kepada tersebut supaya hasil dari sīma menjadi lebih mereka. Alasannya tanah di Gayām dan besar sehingga dana untuk mengurus bangunan Pyapya terhalang dari segi keamanan…) keagamaan juga bertambah. (Jones 1984, 180). Pemberian tanah berupa kebun didapatkan Kutipan ini menunjukkan bahwa kebun dari Prasasati Taji (901 M) yang menyebutkan bunga merupakan hal penting untuk mendukung kebun di Desa Taji ini berisi anugerah sīma bangunan keagamaan sebagai sarana upacara. yang diberikan untuk tanah kebun di Desa Persembahan bunga untuk bhaṭāra atau bangunan Taji yang masuk wilayah dmung dijadikan keagamaan juga disebut dalam prasasati Kwak tanah perdikan untuk sebuah kabikuan yang I pada masa pemerintahan Rakai Kayuwaŋi bernama Dewasabhā. Sebagaimana diketahui, untuk bangunan pastika (mangraga kambang kebun merupakan tanah yang juga ditanami ing pastika) yang dilakukan tiap setengah tahun sebagaimana tanah sawah, yang hasilnya dapat sekali (Darmosoetopo 2003, 250). memberikan nilai ekonomis untuk digunakan Pemberian bunga yang dilakukan untuk dalam pelestarian bangunan keagamaan. sebuah bangunan keagamaan merupakan sebuah Hal menarik adalah penjelasan dari prasasti bakti yang ditunjukkan kepada dewa. Pemberian Kaladi (909 M) yang menyebutkan adanya itu memiliki arti religius bagi penguasa karena

56 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana

Foto 3. Prasasti Kaladi Lempeng I a yang memberikan informasi mengenai kebun bunga yang dipersembahkan bagi bangunan keagamaan (Sumber: OD 20297-20298) suatu pemberian baik yang diberikan akan keagamaan (pinahayu). Untuk mendukung membawa suatu pengembalian dalam hidup kelangsungan bangunan keagamaan dan kegiatan ini maupun dalam hidup yang akan datang yang ada di dalamnya penguasa melakukukan (reinkarnasi) dalam keyakinan Hindu (Mauss pemberian yang antara lain berupa tanah sawah, 1992, 111). Secara luas bentuk-bentuk kebijakan sawah kering (gagā), kebun, dan tanah yang yang telah diuraikan di atas pada akhirnya dapat belum dimanfaatkan. Dukungan itu merupakan dianggap sebagai kepedulian penguasa terhadap tanda bakti kepada dewa. Bakti seorang penguasa kehidupan beragama dan masyarakat pada masa ini sering disebut dengan buat haji (buñcang itu. haji), gawai atau buathyang atau sebagai bakti (kerja) rakyat untuk raja dan dewa. 4. Penutup Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebijakan pelestarian bangunan keagamaan tidak Pelestarian bangunan keagamaan sebagai hanya dilakukan atas perintah dari Śrī Maharājā usaha untuk membuat bangunan keagamaan sebagai penguasa tertinggi. Para pejabat di tingkat tetap dilakukan oleh penguasa Jawa Kuno lebih rendah seperti tingkatan daerah watak juga pada 898-910 M dengan berbagai cara. Cara- bisa melakukan kebijakan pelestarian bangunan cara yang dilakukan oleh penguasa untuk keagamaan. Hal ini mendukung pemahaman menjaga keberlanjutan bangunan keagamaan mengenai sistem birokrasi pada masa kerajaan adalah dengan mendu-kung keterawatan, Matarām Kuno. Sistem itu disebut dengan sistem mempertahankan keberadaan bangunan “desentralisasi” yang memperbolehkan para keagamaan. Hal itu dikarenakan bahwa bangunan penguasa lokal atau daerah untuk melakukan keagamaan merupakan bangunan sakral sebagai pengaturan terhadap wilayahnya sendiri. tempat melakukan ibadah dan ritual-ritual keagamaan masyarakat Jawa Kuno. Pelestarian untuk mempertahankan Daftar Pustaka keberadaan sebuah bangunan kegamaan pada Boechari. 2012. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia.” Melacak Sejarah Kuno masa itu dilakukan dengan cara merawat, Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan merenovasi dan menambah bangunan dan Tulisan Boechari, 3-28. Jakarta: memberikan dukungan baik hasil tanah maupun Kepustakaan Populer Gramedia. barang. Perawatan untuk mempertahankan Boechari. 1977. Epigrafi dan Sejarah Indonesia. keberadaan bangunan keagamaan dilakukan Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, kumpulan tulisan Boechari dengan cara membersihkan bangunan, membuat (2012). Jakarta: Kepustakaan Populer bangunan pos keamanan (kamulān) untuk Gramedia. bangunan keagamaan dan merenovasi bangunan

57 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

------. 1980. “Candi dan Lingkungannya.” In Kusumuhartono, Bugie. 1994. “Data Baru dari Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA), 319- Distribusi Artefak Prasasti”. Berkala 341. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Arkeologi tahun XIV-Edisi Khusus: 17- Nasional. 21. ------. 2011. Melacak sejarah kuno Mauss, Marcel. 1992. Pemberian, Bentuk dan Indonesia lewat prasasti/Tracing ancient Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Indonesian history through inscriptions; Terj Parsudi Suparlan. Jakarta: Yayasan Kumpulan tulisan/Writings of Boechari. Obor Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Nastiti, Titi Surti, Dyah Wijaya Dewi, and in collaboration with the University Richadiana Kartakusuma. 1982. Tiga of Indonesia and the École française Prasasti dari masa Balitung. Jakarta: d’Extrême-Orient. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Boechari and A. S. Wibowo. 1985/1986. Nastiti, Titi Surti 2015. “Prasasti Tlanŋ (904 Prasasti Koleksi Museum Nasional M): Desa Perdikan untuk Tempat I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Penyeberangan Masa Matarām Kuna.” Nasional. Kalpataru Majalah Arkeologi Vol. 24 No. Brandes, J. L. A. 1913. Oud-Javaansche 1: 25-35. Oorkonden Nagelaten Transcripties van Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Wijlen Dr. J. L. A. Brandes Uitgegeven 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia door Dr. N. J. Krom. VBG LX. Batavia: Pusat Bahasa Edisi ke-empat. Jakarta: Albrecht & Co. M. Nijhoff. PT.Gramedia Pustaka Utama. Casparis, J. G. de. 1956. Selected Incriptions Santiko, Hariani. 2012. Dua Dinasti di Kerajaan From The 7th to The 9th Century A. D. II. Matarām Kuna: Tinjauan Prasasti Bandung: Masa Baru. Kalasan. Seminar Nasional Epigrafi dan Christie, Jan Wisseman. 1999. Register of The Sejarah Kuo Indonesia 5 Desember 2012. Inscriptions of Java 732-1060 A. D. I-II Unpublish Work. (The Inscriptions of Mataram)-Working Setianingsih, Rita Margaretha. 1991. Sekilas Draft 9 July 1999. Tentang Petugas Bangunan Suci di Dalam Darmosoetopo, Riboet. 2003. Sima dan Masyarakat Jawa Kuna. In Diskusi Ilmiah Bangunan Keagamaan di Jawa Abad Epigrafi 9-10 November. Unpublish IX-X TU. Yogyakarta: Prana Pena. Work. Dwiyanto, Djoko. 1993. “Metode Penelitian van Naeersen, T. H. 1937. “Twee Koperen Epigrafi dalam Arkeologi”. ARTEFAK Oorkonden van Balitung in Het Koloniaal 13: 7-9. Instituut te Amsterdam”. BKI 95. 441- 461. Haryono, Timbul. 1980. “Gambaran tentang Upacara Penetapan Sīma”. Majalah Wibowo, A.S. 1976. Riwayat Penyelidikan Arkeologi III (1-2): 35-54. Prasasti di Indonesia. Dlm 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Jones, Antoinette M. B. 1984. Early Tenth Nasional. Jakarta: Pusat Penelitian Century Java From The Inscriptions, Purbakala dan Peninggalan Nasional. A Study of Economic, Social and Administrative Conditions in The First Widjaja, Metta. 1999. Penggambaran Kaum Quarter of The Century. Dordrecht: Foris Agamawan pada Relief Karmawibhangga Publication. Candi Borobudur. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Kusen. 1988. Prasasti Wanua Tengah III, 830 Saka: Studi Tentang Latar Belakang Wuryantoro, Edhie. 2012. Prasasti Berbahasa Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Jawa Kuno Abad VIII – X Masehi Koleksi Sejak Rake Panangkaran Sampai Rake Museum Nasional Jakarta (Alih aksara Watukura Dyah Balitung. In Kegiatan dan Terjemahan). Jakarta: Museum Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat Nasional Indonesia. Yogyakarta-Jawa Tengah. Unpublish Work.

58 Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana

Wuryantoro, Edhie and Hasan Djafar. 1996. “Prasasti Wanua Tengah 3 dan Masalah Dinasti Sanjaya-Sailendra”. Laporan Penelitian FS-UI. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Zoetmulder, P. J. and S. O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Terj. Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

59 RUMAH PERADABAN GUNUNG PENANGGUNGAN: MENEPIS KABUT PAWITRA

"Ketika kebakaran hebat di daerah lereng Penanggungan yang menghabiskan ratusan hektar hutan, ditemukan jalan yang dibuat dari tatanan batu kali. Jalan yang lebarnya sekitar 3 meter menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lain, mengelilingi punggung gunung hingga ke bagian puncak". Foto: Kusworo

ada masa lampau, ketika sedang lereng Penanggungan yang menghabiskan masyarakat. Ini dimaksudkan agar berkembangnya pengaruh kebuda- ratusan hektar hutan, ditemukan jalan keberadaan Situs Gunung Penanggungan Pyaan India di Nuṣāntara, khususnya yang dibuat dari tatanan batu kali. dapat dimaknai --dan memiliki makna pada masa Kerajaan Kaḍiri (abad XI-XII), Jalan yang lebarnya sekitar 3 meter tertentu-- dalam kehidupan di masa Siŋhasāri (abad XIII), dan Majapahit menghubungkan satu bangunan dengan sekarang. Semua itu, bukan tidak mungkin, (abad XIV-XV), Gunung Penanggungan bangunan lain, mengelilingi punggung meniscayakan tumbuh kembangnya dianggap sebagai gunung suci yang gunung hingga ke bagian puncak. rasa cinta masyarakat terhadap bukti- dapat disamakan dengan Gunung Karena itulah, tinggalan budaya dan bukti sejarah mereka sendiri. Dan pada Meru, sebuah gunung tempat tinggal lingkungannya di Penanggungan harus gilirannya, mereka akan terlibat aktif para dewa serta Lokapāla dimana Indra dapat dilestarikan. dalam upaya pelestariannya. bersemayam sebagai raja para dewa. Namun sayangnya, untuk Situs Salah satu usaha untuk Entah kebetulan dalam hal pemilihan Gunung Penanggungan ini, masalahnya memasyarakatkan tinggalan budaya masa lokasi, Penanggungan yang populernya justru terletak pada hal tersebut di atas. lampau di Gunung Penanggungan adalah Pawitra mirip dengan Gunung Meru Pertama, data arkeologis yang terbilang melalui Program Rumah Peradaban. dengan sebuah puncak utama dikelilingi banyak itu ternyata tidak seimbang Dalam pelaksanaan program ini, Pusat empat puncak di empat penjuru angin. dengan kegiatan penelitian yang telah Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama Sebagai representasi tempat tinggal para dilakukan. Kedua, kondisi bukti-bukti dengan UBAYA Penanggungan Centre - dewa, di Gunung Penanggungan terdapat arkeologis yang ada seperti berpacu Integrated Outdoor Campus yang MoU- bangunan-bangunan suci mulai dari kaki dengan waktu. Ancaman terhadap nya ditandatangani di Trawas, Mojokerto hingga puncak gunung, dan pemandian kelestariannya selalu ada dari waktu tanggal 15 Agustus 2016. Adapun (pethirtaan). Dengan demikian tinggalan ke waktu. Disinilah kemudian terlihat pelaksanaan kegiatan Rumah Peradaban budaya masa lampau di gunung ini pentingnya Situs Gunung Penanggungan Situs Gunung Penanggungan di Trawas mempunyai nilai historis-kultural. disasar dalam Program Rumah Peradaban. tanggal 15-20 Mei 2017, dihadiri oleh Dalam babakan sejarah kebudayaan Dengan itu diharapkan, kegiatan untuk lebih dari 200 undangan yang terdiri dari Indonesia, Gunung Penanggungan menepis kabut kesejarahan Sang Pawitra murid sekolah SMA dan mahasiswa, guru- mempunyai posisi penting. Tinggalan- atau Gunung Penanggungan, menjadi guru sejarah, dan dosen dari universitas tinggalan budaya yang terdapat di gunung semakin menggeliat. di Surabaya dan Malang, tokoh-tokoh itu mencerminkan tinggalan budaya yang Pengungkapan kesejarahan itu masyarakat di sekitar Penanggungan, mewakili asal dan jamannya. Adanya tentu harus disertai dengan upaya serta pejabat-pejabat Provinsi Jawa Timur, bangunan berundak mencerminkan untuk menggali nilai-nilai kearifannya, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten unsur budaya asli Nuṣāntara. Sayangnya untuk kemudian disampaikan kepada Mojokerto. (Bambang Budi Utomo) hingga saat ini informasi mengenai kepurbakalaan, apalagi kesejarahan Penanggungan sangat minim. Akibat dari minimnya informasi tersebut pengetahuan mengenai hal itu sangat terbatas. Gunung Penanggungan dan tinggalan budayanya merupakan kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa Indonesia. Jarang ada situs arkeologi, dan mungkin satu-satunya di Indonesia yang mempunyai tinggalan budaya sebanyak Penanggungan dan berasal dari berbagai periode dalam satu kawasan gunung. Pada tahun 2015, ketika kebakaran hebat di daerah Foto: Indra Gusdelfi KONSEP ZONASI PULAU PENYENGAT: SEBUAH ALTERNATIF

W. Djuwita Sudjana Ramelan, Osrifoel Oesman, Gatot Ghautama, Supratikno Rahardjo, dan Prio Widiono Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok - Jawa Barat [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], dan [email protected]

Abstract. Zoning Concept of Pulau Penyengat: An Alternative. Pulau Penyengat in the Province of Riau Islands could be considered as the only region that has intact cultural heritage buildings with Malay colour characteristic. Pulau Penyengat is an island of 3.5 km². There are dozens of buildings and structures which functions can still be identified and there are at least 16 which are still intact but neglected. The existence of these remains convinced us that the center of Malay culture is in Riau region. This study is to discuss the concept of zoning at each site in Pulau Penyengat that can be used as reference when the island is designated as heritage area. Important values embodied in the cultural heritage are also studied. This multidisciplinary study uses qualitative approach. Data is obtained through field observation, identification of cultural heritage, in-depth interviews, focused group discussion (FGD), and zoning delineation for each site. The data is analyzed through architectural, historical, cultural, development zoning, and law analysis. The result of this study is a concept of zoning for all sites in the region of Pulau Penyengat.

Keywords: Cultural Heritage, Zoning, Significant values, Pulau Penyengat

Abstrak. Pulau Penyengat di Provinsi Kepulauan Riau dapat dikatakan satu-satunya wilayah yang memiliki tinggalan budaya berupa bangunan yang masih utuh dengan ciri warna kemelayuan. Pulau Penyengat ini merupakan pulau seluas 3,5 km². Di dalamnya terdapat puluhan bangunan dan struktur yang masih dapat diidentifikasi fungsinya dan sekurang-kurangnya ada enam belas yang masih utuh meskipun tidak terurus. Keberadaan tinggalan budaya itulah yang meyakinkan kita bahwa kebudayaan Melayu berpusat di wilayah Riau. Studi ini berkenaan dengan pembahasan konsep zonasi pada setiap situs di Pulau Penyengat yang dapat dijadikan acuan apabila ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Selain itu, digali nilai-nilai penting yang terkandung pada warisan budayanya. Dalam studi multidisiplin ini digunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui observasi lapangan, identifikasi cagar budaya, in-depth interview, focused group discussion (FGD), dan delineasi untuk zonasi setiap situs. Data tersebut dikaji melalui analisis arsitektural, sejarah, budaya, pengembangan zonasi, dan hukum. Studi ini menghasilkan sebuah konsep zonasi semua situs di kawasan Pulau Penyengat. Kata Kunci: Cagar Budaya, Zonasi, Nilai penting, Pulau Penyengat

1. Pendahuluan Pulau Penyengat memiliki kekayaan Pulau Penyengat terletak di Kelurahan tinggalan budaya berupa bangunan, struktur, Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, dan lanskap budaya yang unik. Pulau dengan Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. aneka bangunannya itu membentuk kompleks Secara geografis wilayah Provinsi Kepulauan pemerintahan eksklusif yang dibatasi oleh lautan. Riau terletak antara 0º40' LS dan 07º19' LU Berdasarkan karakteristiknya, tidak diragukan serta antara 103º3' BT sampai dengan 110º 00' lagi bahwa Pulau Penyengat termasuk salah satu BT. wilayah pusat kebudayaan Melayu. Kebudayaan

Naskah diterima tanggal 27 Maret 2017, diperiksa 27 Maret 2017, dan disetujui tanggal 6 Juni 2017.

61 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Peta 1. Peta Keletakan Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau (Sumber: Rencana Tata Ruang Pemda Provinsi Kepulauan Riau 2013) Melayu merupakan “roh” kebudayaan Indonesia, (11) Rusdiyah Club, (12) Istana Raja Ali Yang yang berkembang dan berpengaruh sejak lama. Dipertuan Muda VIII, (13) Gudang Mesiu, Tinggalan budaya yang tersebar itu setidak- (14) Kompleks Makam Raja Abdurrahman, tidaknya ada (1) Dermaga, (2) Masjid Raya (15) Benteng Bukit Kursi, (16) Perigi Putri, Sultan Riau, (3) Makam Engku Putri Hamidah, dan bangunan lain yang tak dapat dikenali lagi. (4) Makam Embung Fatimah, (5) Makam Raja Sayangnya, hanya Masjid Raya Sultan Riau yang Fisabilillah, (6) Kompleks Makam Raja Ja’far masih dihuni atau dimanfaatkan, sedangkan dan Raja Ali, (7) Gedung Tengku Bilik, (8) bangunan lainnya berdiri tanpa penghuni dan Kawasan Makam dan Keluarga Raja Penyengat tidak terurus. dan Masyarakat, (9) Balai Adat, (10) Gedung Apa yang tersisa di Pulau Penyengat Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah, tidak tersambung secara budaya bagi sebagian

Foto 1. Masjid Raya Sultan Riau (Sumber: Ramelan et al. Foto 2. Makam Engku Putri Hamidah (Sumber: Ramelan 2015) et al. 2015)

62 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk.

Foto 3. Kompleks Makam Raja Ja’far dan Raja Ali (Sumber: Foto 4. Gedung Tengku Bilik (Sumber: Ramelan et al. 2015) Ramelan et al. 2015)

Foto 5. Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Foto 6. Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII (Sumber: Abdullah (Sumber: Ramelan et al. 2015) Ramelan et al. 2015)

Foto 7. Gudang Mesiu (Sumber: Ramelan et al. 2015) Foto 8. Kompleks Makam Raja Abdurrahman (Sumber: Ramelan et al. 2015)

Foto 9. Benteng Bukit Kursi (Sumber: Ramelan et al. 2015) Foto 10. Perigi Putri (Sumber: Ramelan et al. 2015)

63 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 masyarakat karena belum tereksplorasi Kebijakan lainnya yang dilakukan untuk dan terkomunikasikan nilai-nilai penting Pulau Penyengat sebagai Kawasan Cagar kekayaan budaya tersebut kepada masyarakat. Budaya Nasional bahwa pada 2003 beberapa Kini timbul pertanyaan apa yang menjadi bangunan dan struktur di Pulau Penyengat permasalahan tersebut di Pulau Penyengat. telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya Jejak sejarah tentang kejayaan Sultan Riau, melalui SK Menbudpar No. KM. 9/PW. 007/ Kerajaan Riau Lingga, juga menjadi simpang- MKP03 04/03/2003. Namun, dengan mengikuti siur. Generasi penerusnya terkotak-kotak ke amanat UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar dalam berbagai kelompok tertentu. Hal itu tentu Budaya diperlukan penetapan ulang sesuai akan menghambat proses pelestarian budaya dengan kriteria yang ditentukan melingkupi intangible. Di samping itu, semua bangunan satu kawasan bukan per bangunan atau struktur. cagar budaya yang berada di Pulau Penyengat Apabila telah ditetapkan sebagai kawasan dan bagaikan tidak bertuan. Sebagian besar akan dikelola, diperlukan penetapan batas dibiarkan kosong, bahkan ada yang tinggal keruangan di setiap situsnya. Penelitian tentang reruntuhannya saja. Fakta budaya demikian konsep zonasi diawali dengan penggalian itulah yang menjadi alasan pentingnya penelitian terhadap sikap masyarakat Pulau Penyengat ini segera dilakukan agar tinggalan budaya itu terhadap pelestarian cagar budayanya karena tidak sampai hancur. Agar manfaatnya benar- mereka juga memiliki hak atas keputusan benar dapat dirasakan oleh masyarakatnya, aset pelestarian warisan budayanya. budaya itu perlu segera ditindaklanjuti melalui Tujuan penelitian ini adalah membuat kegiatan penelitian. konsep zonasi di semua situs di Pulau Penyengat Hasil studi menunjukkan bahwa sebagai pedoman pengembangan wilayah. ada semangat perubahan di kalangan Zonasi merupakan langkah penting setelah Pemerintah Daerah Kota Tanjungpinang untuk sebuah ruang geografis ditentukan sebagai meningkatkan potensi daerahnya. Salah satu kawasan cagar budaya dan perlu ditindaklanjuti bukti Pemerintah Daerah memperhatikan dengan rencana pengelolaan oleh suatu badan sumber daya budaya adalah telah dilakukan pengelola seperti yang diamanatkan oleh penetapan Pulau Penyengat sebagai kawasan undang-undang. strategis kota, pariwisata, lindung budaya, Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2011 pelabuhan pengumpan, pusat budaya, dan tentang Cagar Budaya Pasal 1 butir 26, zonasi pusat belanja budaya. Penetapan tersebut adalah penentuan batas keruangan Situs Cagar diatur melalui Perda Kota Tanjungpinang No. Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang dengan kebutuhan. Zonasi merupakan salah Wilayah Kota Tanjungpinang Tahun 2014– satu upaya pelindungan cagar budaya. Dalam 2034. Sebelumnya, melalui Peraturan Gubernur zonasi dilakukan penentuan batas keruangan Kepulauan Riau No. 11/2006 dibentuk Badan dan peruntukannya sebagai zona inti, zona Pengelola Kawasan Budaya Pulau Penyengat, penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona Provinsi Kepulauan Riau. Kebijakan itu tentu penunjang. Penentuan garis batas setiap zona memerlukan dukungan penelitian ilmiah. dilakukan berdasarkan pertimbangan arkeologis Dengan memperhatikan keadaan tersebut, dan pertimbangan lainnya. Konsep zonasi penelitian ini berkenaan dengan permasalahan dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah penentuan konsep zonasi di setiap situs di dalam menentukan pemanfaatan cagar budaya Pulau Penyengat sebagai salah satu langkah berdasarkan zonasi yang telah ditetapkan bekerja pelindungan dalam pelestarian cagar budaya. sama dengan instansi lainnya.

64 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk.

Pulau Penyengat termasuk ke dalam dan status cagar budaya. salah satu wilayah Kepulauan Riau yang Pengumpulan data dilakukan melalui berkarakteristik budaya Melayu. Di Pulau beberapa teknik langkah kerja sebagai berikut. Penyengat warisan budaya tangible dan a. Observasi lapangan dilakukan dengan intangible kemelayuan dapat dikatakan masih mengidentifikasi karakteristik setiap tersimpan. Dari warisan budaya tersebut harus bangunan, struktur, dan situs yang ada di digali nilai-nilai penting dan potensi eksternalnya Pulau Penyengat. Observasi juga dilakukan sehingga ada kesinambungan antara masa lampau untuk memperoleh informasi mengenai dan kekinian. Dengan demikian, warisan budaya sikap masyarakat terhadap keberadaan tersebut dapat dijadikan aset nasional untuk warisan budaya benda di sekitarnya. menyejahterakan masyarakatnya. Pemerintah b. Wawancara mendalam dilakukan kepada Daerah setempat bersama-sama masyarakatnya para informan kunci (key informant) yang telah berhasil menjaga Pulau Penyengat dari dianggap memahami betul topik yang diteliti. kerusakan akibat kemajuan transportasi. Pulau Wawancara diarahkan untuk memperoleh ini terhindar dari kesimpangsiuran kendaraan data tentang latar belakang kebijakan beroda empat. Kendaraan bermotor sebagai pengembangan kebudayaan kebendaan dan alat transportasi yang diperbolehkan hanya takbenda. yang beroda dua dan tiga. Hal itu dilakukan, c. Diskusi grup terfokus (focused group selain telah menjaga kerusakan jalan-jalan kuno discussion/FGD) dilakukan untuk (lama), juga menjadikan pulau itu unik dan tidak memperoleh pandangan, keinginan, dan terganggu polusi. harapan masyarakat tentang pengembangan kebudayaan Melayu di daerahnya serta 2. Metode tanggapan terhadap rencana zonasi. Studi yang termasuk ke dalam bidang d. Pengukuran koordinat setiap tinggalan cagar manajemen sumber daya arkeologi ini bersifat budaya dan calon cagar budaya dilakukan multidisiplin, tidak cukup hanya melibatkan untuk penentuan zonasi; arkeologi, tetapi diperlukan pula sejarah, e. Data tentang potensi pengembangan dan arsitektur, dan ilmu sosial. Oleh karena itu, pemanfaatan diperoleh melalui observasi diperlukan berbagai metode penelitian dalam dan tinjauan berbagai peraturan perundangan hal perolehan data dan analisisnya. Hasil analisis tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten mencakup uraian nilai-nilai penting dan analisis dalam hal pengembangan kebudayaan, dan konsep zonasi situs cagar budaya di Pulau f. Aspek legislasi dilakukan dalam hal Penyengat. Penelitian ini dilakukan melalui penetapan cagar budaya untuk bangunan, pendekatan kualitatif. struktur, situs, dan kawasan di Pulau Data yang diperlukan melingkupi nilai Penyengat. penting dari unsur warisan budaya Melayu, Analisis data dilakukan sesuai dengan selain data yang terkait dengan tinjauan potensi sifat sumber datanya, yaitu (1) analisis pengembangan nilai-nilai penting tersebut. arsitektural terhadap bangunan dan struktur; (2) Sumber data lainnya adalah identifikasi struktur, analisis persepsi masyarakat dilakukan dengan bangunan, dan situs, baik yang sudah maupun mengolah seluruh pandangan dan pemikiran yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat tentang warisan budayanya dan status kepemilikan lahan, sikap masyarakat sikap terhadap rencana zonasi; (3) analisis terhadap budaya Melayu dan cagar budaya, serta potensi untuk pemanfaatan dalam pengelolaan aspek legal berkenaan dengan penetapan zonasi dilakukan setelah memperoleh data tentang

65 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 seluruh penetapan kawasan budaya dan ekonomi pada benda itu, teknologi untuk membuatnya, yang telah ditetapkan, baik di tingkat kabupaten serta pola tingkah laku yang terkait dengan maupun Provinsi Riau, analisis batas delineasi benda budaya itu. dalam rangka penentuan zonasi yang terdiri atas Nilai penting suatu benda, bangunan, zona inti, zona penyangga, zona pengembang, atau lokasi terutama bergantung pada sikap dan/atau zona pendukung, serta analisis hukum dan perlakuan masyarakat terhadap warisan berkenaan dengan penetapan cagar budaya. budaya kebendaan tersebut. Apabila ikatan antara nilai-nilai tersebut dan masyarakatnya 3. Hasil dan Pembahasan telah terputus, para tokoh sejarah, pelaku 3.1 Sikap Masyarakat terhadap Nilai dan/atau para ahlilah yang harus menggali Penting Cagar Budaya Pulau Penyengat dan meyakinkan masyarakat tentang Warisan budaya terdiri atas dua jenis, keterkaitannya. Nilai-nilai tidak hanya berkait yaitu warisan budaya benda (tangible heritage) dengan identitas atau kebanggaan masa lampau. dan warisan budaya takbenda (intangible Nilai juga dapat dimunculkan dalam sudut heritage). Warisan budaya takbenda adalah pandang kebermafaatan masyarakat masa kini sistem yang mengatur segala kehidupan dalam hal lain, misalnya segi sosial, ekonomi, masyarakat dalam bentuk sistem, yaitu solidaritas, dan inspirasi. Nilai-nilai dapat sistem pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, dipandang sebagai potensi eksternal sehingga kepercayaan, organisasi sosial, dan ekonomi. apa yang semula hanya dianggap sebagai Termasuk ke dalamnya adalah sikap bahasa, beban masa lampau dapat diubah menjadi sastra, tekstil tradisional, seni teater, musik sesuatu yang bermanfaat, baik untuk masa dan tarian, sistem kepercayaan, adat-istiadat kini maupun masa depan. Dengan demikian, (perkawinan dan pergaulan), kuliner, dan nilai-nilai penting yang dipahami pada masa bagian budaya terkecil lainnya. Sementara budaya tangible dan intangible itu lahir dan itu, warisan budaya benda adalah bukti fisik berperan akan terus berlangsung dalam konsep keberlangsungan sistem budaya tersebut. Bukti kekinian. Intinya adalah bahwa warisan budaya fisik itu berupa benda, bangunan, struktur, harus dapat diturunkan secara terus-menerus situs dan lanskap. Sebenarnya sudah banyak meskipun dalam perspektif dan kepentingan para peneliti atau penulis yang membahas yang berbeda. masalah warisan budaya Melayu takbenda itu, Secara konseptual Darvill (1995, 40- tetapi masih diperlukan pemetaan budaya yang 45) menyodorkan delapan potensi eksternal konkret. yang dapat digali dan dikembangkan dari Tulisan mengenai warisan budaya benda warisan budaya kebendaan menjadi nilai-nilai oleh Sedyawati (2003) secara konseptual dapat yang berkenaan dengan (1) penelitian ilmiah disebut benda konkret yang dapat disentuh (scientific research) untuk semua disiplin (tangible) berupa benda hasil buatan manusia ilmu; (2) seni kreatif (creative arts) atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Warisan sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, budaya yang dapat disentuh mempunyai penulis, dan fotografer; (3) pendidikan sejumlah aspek intangible yang berkenaan (education) dalam upaya menanamkan rasa dengan konsep mengenai benda itu sendiri, cinta dan bangga terhadap kebesaran bangsa perlambangan yang diwujudkan melalui benda dan tanah airnya; (4) rekreasi dan turisme itu, kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi (recreation and tourism), objek wisata budaya atau kegunaannya, isi pesan yang terkandung di dan sekaligus sebagai tempat rekreasi yang dalamnya, khususnya apabila terdapat tulisan positif; (5) representasi simbolis (symbolic

66 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk. representation), yang dapat memberikan suatu bahwa keberadaan warga asli yang mempunyai gambaran secara simbolis tentang “pelajaran” karakteristik khas dan mempunyai keterikatan bagi kehidupan manusia; (6) legitimasi tindakan dengan budaya masa lalunya merupakan potensi (legitimation of action), yang dapat digunakan yang dapat dijadikan sarana untuk memajukan untuk kepentingan politis; (7) solidaritas dan dan melestarikan budaya yang terdapat di Pulau integritas sosial (social solidarity and integrity), Penyengat. Keaktifan pemerintah daerah dinilai yang dapat mewujudkan bentuk solidaritas sangat menentukan dalam mengembangkan dan integrasi sosial dalam masyarakat; (8) potensi warisan budaya kebendaan tersebut. keuntungan moneter dan ekonomi (monetary Pengembangan pariwisata yang telah dilakukan and economic gain), yang dapat mendatangkan oleh pemerintah telah membawa dampak keuntungan ekonomi, baik lokal maupun perubahan perilaku masyarakat Pulau Penyengat. nasional. Sementara itu, Lipe (1984, 2-10) Maulana (2015) dalam kajiannya menyimpulkan memberikan gambaran bahwa warisan budaya bahwa transportasi yang mudah ke berbagai benda memiliki nilai ekonomi yang digali dari tempat telah menimbulkan perubahan sosial konteks nilai potensi ekonomi; nilai estetika dalam kehidupan masyarakat Pulau Penyengat. yang digali dari konteks nilai standar estetika; Perubahan itu tidak selalu membawa kemajuan nilai asosiatif atau simbolik yang digali dari karena ada perubahan yang berdampak negatif, konteks nilai pengetahuan tradisional; dan nilai seperti lunturnya ambisi dan solidaritas informational yang digali dari konteks nilai masyarakat. Hal ini menjadi pekerjaan rumah penelitian formal. pemerintah agar identitas sebagai anggota Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, budaya Pulau Penyengat tetap terjaga. Pulau Penyengat memiliki belasan peninggalan Nilai penting pada sumber daya yang masih berada insitu dan dikelilingi arkeologi (cagar budaya) perlu dilakukan oleh masyarakat yang dipercaya merupakan untuk mengetahui seberapa penting sumber keturunan pendukung kebudayaan yang daya arkeologi yang ada, yang dapat dijadikan menghasilkan warisan budaya kebendaan dasar penentuan pengelolaan selanjutnya tersebut. Permasalahannya adalah apakah terhadap sumber daya budaya. Secara umum masyarakat setempat berkeinginan untuk dalam tulisannya, Pearson dan Sullivan (1995) melestarikan dan memahami bahwa warisan memberikan gambaran bahwa penentuan budaya kebendaan tersebut dapat memberikan nilai penting merupakan langkah awal karena manfaat yang besar. perumusan rancangan manajemen sumber daya Beberapa penelitian sudah pernah budaya bergantung pada bobot signifikansi yang dilakukan di Pulau Penyengat berkaitan dengan diberikan kepada sumber daya arkeologi. Dalam sikap masyarakat terhadap tinggalan sejarah melakukan penentuan nilai penting sumber tersebut. Sanyi (2014, 2-16) dalam penelitianya daya arkeologi bukan perkara mudah karena merangkum warisan budaya kebendaan sebagai nilai yang terkandung di dalamnya merupakan objek wisata. Kajiannya berhubungan dengan sesuatu yang tidak nyata dan sangat subjektif partisipasi masyarakat dalam pengelolaan objek sifatnya. Biasanya penilaian yang dilakukan wisata Pulau Penyengat. Dalam kesimpulannya ia lebih bersifat kualitatif sehingga dalam penilaian menjelaskan bahwa masih perlu disosialisasikan tidak memunculkan angka (kuantitatif). pentingnya pengelolaan objek wisata tersebut Apabila sumber daya arkeologi tidak memiliki kepada masyarakat yang masih apatis. Agak nilai tertentu bagi masyarakat atau sebagian berbeda dengan Sanyi, dalam hasil penelitian masyarakat, pengelolaan sumber daya tersebut tesisnya Haryanto (2005) menyimpulkan tidak perlu lagi dilakukan. Masyarakat dianggap

67 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 memiliki pula otoritas dalam menentukan 3.2 Konsep Zonasi Pulau Penyengat pelestarian warisan budayanya. Hasil penilaian Seperti telah diamanatkan dalam tersebut menentukan prioritas dan upaya undang-undang cagar budaya, apabila telah peletariannya. ditentukan suatu lokasi menjadi situs atau Menurut Tanudirjo (2004, 2-4), dalam kawasan, zonasinya harus segera ditentukan. menentukan nilai penting sumber daya arkeologi, Dalam zonasi perlu dilakukan penentuan batas ada beberapa variabel yang mungkin dapat keruangan dan peruntukannya sebagai zona inti, dipakai sebagai pertimbangan pembobotan, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau antara lain (a) kelangkaan: apakah jumlah sumber zona penunjang. Penentuan garis batas setiap daya budaya yang termasuk jenis ini jarang zona dilakukan berdasarkan pertimbangan atau mudah ditemukan (jumlahnya banyak); arkeologis, geografis, antropologis, tata ruang, (b) keunikan: apakah sumber daya budaya administratif, dan lainnya. yang dinilai sangat khas di antara sumber daya Dalam pembuatan situs atau kawasan sejenis; (c) umur atau pertanggalan, semakin zonasi harus dibuat rambu-rambu yang jelas kuno semakin tinggi nilainya (hukum entropi); sehingga dapat meminimalkan ancaman (d) tataran: nilai penting sumber daya dirasakan kerusakan situs dan kawasan cagar budaya. dan diakui oleh komunitas atau masyarakat Pada kenyataannya muncul berbagai kendala pada tingkat lokal (kabupaten/kota), regional dalam pelaksanaan kegiatan zonasi situs. Zonasi (provinsi), nasional (negara), atau internasional situs yang selama ini dilaksanakan ternyata (dunia); (e) integritas (termasuk keutuhan): lebih memungkinkan diterapkan pada situs nilai sumber daya akan semakin tinggi apabila yang memiliki wilayah luas sehingga dapat masih menunjukkan kesatuan yang utuh dengan dibagi ke dalam zona inti, zona penyangga, zona konteksnya, baik itu sebagai benda tunggal, pengembangan, dan/atau zona penunjang. berkelompok (compound), maupun kompleks Kendala muncul pada situs yang berada (tersebar, tetapi merupakan kesatuan); dan (f) dalam permukiman padat masyarakat sekarang keaslian: nilai sumber daya budaya semakin atau situs yang telah terlanjur pengembangannya tinggi jika bahan belum mengalami penggantian, tanpa mempertimbangkan pelestarian situs. Hal pengurangan, atau percampuran. itulah yang terjadi di kawasan Pulau Penyengat. Hasil diskusi yang dilakukan oleh Penerapan zonasi terhadap situs semacam itu tim peneliti dapat disimpulkan bahwa, baik tentunya akan berbeda dengan yang lazimnya. masyarakat maupun pemerintah daerah tingkat Dengan demikian, zonasi yang akan diterapkan kecamatan dan kota, menginginkan adanya harus dapat mengakomodasi berbagai kondisi perubahan dalam pengelolaan Pulau Penyengat, situs. khususnya dalam warisan budaya kebendaannya. Kegiatan yang bersifat teknis, khususnya Sikap masyarakat Pulau Penyengat terhadap zonasi situs dalam upaya pelestarian struktur dan warisan budaya sangat positif. Mereka bangunan cagar budaya, telah banyak dilakukan menginginkan agar dibangkitkan keterkaitan dan didasarkan pada ketentuan, baik akademis dari tinggalan budaya tersebut dengan identitas maupun undang-undang yang berlaku. Dalam budaya mereka. Kemasalaluan harus dapat praktiknya para pelaksana mengalami kesulitan relevan dengan kekinian. Mereka berpandangan dan hambatan yang disebabkan oleh belum bahwa nilai penting suatu benda, bangunan, atau ada acuan baku berupa pedoman yang menjadi lokasi terutama harus berasal atau diberikan petunjuk pelaksanaan di lapangan. oleh masyarakat pendukung warisan budaya Dalam meningkatkan sumber daya kebendaan tersebut. budaya daerah Pulau Penyengat sebenarnya

68 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk. pemerintah daerah memiliki perhatian besar. penilaian arkeologis atau indikator yang jelas Dalam Perda Kota Tanjungpinang No. 10 Tahun seperti jalan atau sungai; serta (b) di beberapa 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota situs dilakukan pola zonasi, yaitu memberi batas Tanjungpinang Tahun 2014-2034, Pemerintah arbitrer dengan meletakkan titik pusat bangunan Daerah telah menetapkan Pulau Penyengat atau struktur sebagai datum point, kemudian dalam berbagai status, yaitu penataan: membuat batas lingkaran (radius) dengan a. Pulau Penyengat sebagai pusat budaya; pertimbangan fungsional. Pembagian zonasi di b. Pulau Penyengat sebagai pusat belanja situs yang terdapat di Pulau Penyengat dapat budaya; dilihat melalui Peta 2 dan Gambar 1. c. Pulau Penyengat sebagai pelabuhan Pembagian zonasi ke dalam zona inti, pengumpan; zona penyangga, zona pengembang, dan d. Pulau Penyengat dalam jaringan sumber zona pendukung memiliki ketentuan yang daya air; mengaturnya. Dalam peta di atas, zona inti e. Pulau Penyengat sebagai kawasan lindung setiap situs diberi warna merah. Batas zona budaya; inti disesuaikan berdasarkan fungsi semula f. Pulau Penyengat sebagai kawasan bangunan atau struktur yang ada pada situs pariwisata; tersebut. Selain itu, juga ditentukan berdasarkan g. Pulau Penyengat sebagai kawasan strategis keleluasaan dalam mengaturnya. Situs Benteng Kota Tanjungpinang. Bukit Kursi, misalnya, dibuat zona inti Dengan dimilikinya berbagai status berbentuk lingkaran yang melindungi tembok pengembangan wilayah tersebut, penentuan benteng, bagian dalam benteng, dan sebagian zonasi di Pulau Penyengat menjadi suatu area halamannya. Demikian pula dengan Situs kebutuhan. Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Berdasarkan kondisi lapangan Pulau Halaman situs tersebut luas dan memanjang, Penyengat, dapat digambarkan bahwa ada dipandang lebih tepat diberi bentuk lingkaran. wilayah yang padat permukiman masa sekarang, Situs Makam Raja Fisabilillah dan Situs bangunan cagar budaya, bangunan dan struktur Gudang Mesiu juga lebih tepat dengan zona inti calon cagar budaya pada beberapa bagian, serta berbentul lingkaran. Situs lain dibuat zona inti kekosongan di wilayah barat dan timurnya. berbentuk persegi ditentukan berdasarkan batas Oleh karena itu, konsentrasi rencana zonasi halamannya. Hanya ada satu situs yang diberi difokuskan pada bagian tengah Pulau Penyengat. batas zona inti berbentuk setengah lingkaran, Zonasi yang dapat digunakan adalah yaitu Situs Gedung Hakim Mahkamah Syariah menggabungkan dua sistem blok dan sel, yaitu Raja Haji Abdullah atas pertimbangan batas sistem gabungan. Sistem gabungan dapat pantai dan sebaran temuan di sekitarnya. diterapkan pada satu kawasan jika persebaran Zona penyangga ditandai dengan warna situs tidak merata karena ada situs yang terletak kuning, kecuali Masjid Raya Sultan Riau berdekatan sehingga dapat dijadikan sistem blok diberi tanda oranye sebagai ciri pintu gerbang (block system). Ada juga situs yang letaknya masuk ke Kawasan Pulau Penyengat. Zona berjauhan dengan situs lainnya sehingga penyangga Masjid Raya Sultan Riau merupakan dijadikan sistem sel (cell system). area yang padat penduduk sehingga harus Zonasi dapat dilakukan dengan dua diperhatikan secara hati-hati. Zona penyangga model, yaitu (a) di beberapa situs dapat ditentukan mengikuti bentuk zona intinya. dilakukan zonasi sistem blok dan sel karena Situs Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda batas situsnya dapat ditentukan berdasarkan VIII, misalnya, memiliki zona penyangga yang

69 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 Peta 2. Peta Keletakan Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau (Sumber: Rencana Tata Ruang Pemda Provinsi Kepulauan Riau 2013)

70 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk.

Keterangan Gambar: 1. Dermaga 2. Masjid Raya Sultan Riau 3. Makam Engku Putri Hamidah 4. Makam Embung Fatimah 5. Makam Raja Fisabilillah 6. Kompleks Makam Raja Ja’far dan Raja Ali 7. Gedung Tengku Bilik 8. Kawasan Makam dan Keluarga Raja Penyengat dan Masyarakat 9. Balai Adat 10. Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah 11. Rusdiyah Club 12. Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII 13. Gudang Mesiu 14. Kompleks Makam Raja Abdurrahman 15. Benteng Bukit Kursi 16. Perigi Putri

Gambar 1. Sketsa keletakan situs-situs di Pulau Penyengat (Sumber: Ramelan et al. 2015) juga berbentuk lingkaran. Situs lain yang zona melibatkan banyak orang; (6) pemanfaatan penyangganya tidak mengikuti bentuk zona inti kepentingan golongan atau partai politik ditentukan berdasarkan kepentingan penguatan tertentu; (7) aktivitas pembuatan bata; pelindungan. serta (8) pemasangan papan reklame. Zona pengembang diberi ciri warna hijau. Namun, sebagai warisan budaya di dalam Jalan-jalan termasuk zona pengembang dan zona tersebut diperbolehkan kegiatan beberapa bagian yang dapat dijadikan lahan pendidikan dalam bentuk kunjungan parkir. Zona pengembang ditentukan lebih luas wisata sejarah dan pelatihan identifikasi untuk mendukung kebutuhan pembangunan dan konservasi flora. Selain itu, ada juga fasilitas beberapa situs yang berdekatan. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat Berikut adalah uraian atau tinjauan atau berhubungan dengan (1) penelitian; mengenai hal yang seharusnya dilakukan untuk (2) penanaman tanaman rumput dan semak; mengatur setiap zona. (3) pembangunan infrastruktur tertentu dan a. Zona Inti Situs terbatas; dan (4) kegiatan masyarakat yang Zona inti dapat dikatakan sebagai merupakan tradisi lokal masyarakat; (5) zona steril dari hal berikut: (1) penelitian pelatihan pemugaran dan konservasi. tentang situs dan lingkungannya, baik yang b. Zona Penyangga Situs melibatkan kegiatan penggalian/ekskavasi Zona penyangga ditujukan untuk maupun menyentuh langsung bangunan dan menyangga zona inti yang disesuaikan struktur yang tidak menggunakan kaidah dengan karakter dan aspek fungsional pelestarian cagar budaya; (2) penebangan bangunan, struktur, dan situsnya. Benteng dan pembakaran tanaman; (3) pembangunan sesuai dengan fungsinya untuk memantau infrastruktur selain yang diperbolehkan; (4) kedatangan atau serangan orang asing atau pendirian/pembanguan sarana pendidikan musuh. Pada satu sudut pandang bebasnya permanen pada situs; (5) aktivitas olahraga (laut) diperlukan zona penyangga yang bebas dalam bentuk turnamen atau lomba yang hambatan pandangan. Untuk bangunan

71 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

dan situs yang berpagar bentuk zona dalam keadaan kosong dan tidak terurus, bahkan penyangga yang diperlukan tidak terlalu sebagian ada yang sudah menjadi reruntuhan. mempertimbangkan aspek fungsionalnya. Masyarakat Pulau Penyengat memiliki Zona penyangga diperlukan hanya untuk sikap yang positif terhadap warisan budayanya. prasarana kegiatan pada zona inti. Identitas budaya Melayu yang mereka sandang Kegiatan atau hal yang dilarang dalam diharapkan dapat lebih dibangkitkan kembali. zona penyangga adalah (1) aktivitas Masyarakat mengharapkan penafsiran kekinian berkebun; (2) pembangunan gedung; (3) lebih dikedepankan untuk warisan budaya masa aktivitas politik; (4) pemasangan papan lampaunya. Dengan demikian, warisan budaya reklame; (5) pembuatan bata; (6) industri kebendaan tersebut terus-menerus terlibat rumah tangga. Aktivitas yang diizinkan dalam proses budayanya. Baik masyarakat dapat dilakukan dengan syarat atau yang maupun pemerintah daerah tingkat kecamatan berhubungan dengan (1) penelitian; (2) dan kota mengharapkan adanya perubahan pertanian yang memerlukan pengolahan dalam pengelolaan Pulau Penyengat. Sampai tanah terbatas; (3) pembangunan sekarang, pengelolaan Pulau Penyengat hanya infrastruktur tertentu dan terbatas; dan (4) sekadar tempat wisata yang tidak menawarkan pendirian bangunan untuk fungsi tertentu program-program yang menarik. untuk menunjang fungsi situs. Konsep zonasi yang dapat digunakan c. Zona Pengembangan dan/atau Zona adalah dua sistem blok dan sel yang Penunjang digabungkan atau disebut dengan sistem Zona pengembangan dan/atau zona gabungan. Pada setiap situs dapat dibuat penunjang merupakan zona yang dicirikan sistem zonasi yang terdiri atas zona inti, untuk pengembangan situs yang sifatnya zona penyangga, dan zona pengembang dan/ lebih luwes dibandingkan dengan zona atau zona pendukung. Penentuan zonasi tidak inti dan penyangga. Dalam zona ini, tidak sama, tetapi disesuaikan dengan fungsi setiap diperbolehkan (1) pembuatan bata; (2) situs sehingga bentuk zonasinya berbeda. kegiatan pasar; (3) tempat pembuangan Konsep zonasi yang ditawarkan dapat diterima sampah dan limbah, dan (4) terminal. oleh para tokoh dan Pemerintah Daerah Kota Kegiatan yang diperbolehkan adalah (1) Tanjungpinang. Konsep zonasi ini diharapkan pembangunan infrastruktur tertentu; (2) akan ditindaklanjuti dengan rencana block- pembangunan gedung untuk fungsi tertentu; plan. dan (3) taman rekreasi dengan tema dan estetika sesuai dengan nilai penting dan Saran karakter Situs Pulau Penyengat. Kenyataan di lapangan menunjukkan ada beberapa permasalahan yang harus segera 4. Penutup ditindaklanjuti. Pulau penyengat memiliki warisan a. Kepemilikan. budaya kebendaan dalam bentuk puluhan Salah satu isu pokok yang harus segera benda, bangunan, struktur, dan situs cagar diatur dan ditetapkan secara terperinci dalam budaya. Benda cagar budaya Melayu tersebar pelestarian cagar budaya adalah masalah tidak saja sebagai koleksi keturunan sultan, kepemilikan dan penguasaan cagar budaya. tetapi juga ada yang menjadi koleksi museum di b. Tinggalan Arkeologis yang Masih Terbenam. Kota Tanjungpinang. Sebagian besar bangunan Berdasarkan hasil observasi lapangan dan struktur cagar budaya di Pulau Penyengat masih banyak bangunan tinggalan

72 Konsep Zonasi Pulau Penyengat: Sebuah Alternatif. W. Djuwita Sudjana Ramelan dkk.

sejarah masa lampau yang tertutup tanah. Kepulauan Riau Nomor 11 Tahun 2006 Pemecahan yang dapat dilakukan, antara tentang Pembentukan Badan Pengelola lain pencarian melalui penelitian dengan Kawasan Budaya Pulau Penyengat Provinsi melibatkan instansi penelitian. Kepulauan Riau; dan (2) Rencana Strategis c. Tinggalan Arkeologis yang Belum Terdaftar. Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Pulau Semua warisan budaya kebendaan, Penyengat. baik yang berbentuk bangunan maupun struktur, didaftarkan pada Tim Pendaftaran Daftar Pustaka Kota TanjungPinang. Dengan demikian, Pemerintah Kota Tanjungpinang harus Darvill, Timothy. 1995. “Value Systems in Archaeology.” In Managing Archaeology, segera membentuk Tim Pendaftaran Cagar edited by Carman Cooper et al. New York: Budaya. Routledge TJ Press Ltd. d. Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Haryanto, R. 2005. Partisipasi Masyarakat dalam Tanjungpinang. Memelihara Benda Cagar Budaya di Pulau Pemerintah Kota Tanjungpinang harus Penyengat sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya Melayu. Tesis. Program segera membentuk tim ahli cagar budaya Studi Magister Pembangunan Wilayah dan agar semua bangunan, struktur, situs, dan Kota. Semarang: Universitas Diponegoro. kawasan di Pulau Penyengat dapat segera Lipe, William D. 1984. “Value and Meaning ditetapkan. in Cultural Resources”. In Approach to e. Penetapan dan Pemeringkatan Status Cagar the Archaeological Heritage. Edited by Henry Cleere. Cambridge: Cambridge Budaya. University Press. Pulau Penyengat pantas dikategorikan Maulana, M. 2015. Perubahan Perilaku pada sebagai suatu kawasan cagar budaya. Oleh Masyarakat Pulau Penyengat. Tesis. karena itu, setelah dibentuk tim ahli cagar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik budaya, Pulau Penyengat dapat ditentukan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang. status dan peringkatnya, yaitu dengan (a) mengajukan kembali penetapan dan Pearson, M dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basics pemeringkatan status keempat bangunan yang of Heritage Planning for Managers, telah sebelumnya ditetapkan sebagai cagar Landowners and Administrators. Carlton, budaya pada tahun 2003 melalui Keputusan Vic.: Melbourne University Press. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor KM. 9/PW. 007/MKP03 04/03/2003; (b) 10 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tanjungpinang mengajukan semua benda, bangunan, dan Tahun 2014-2034. struktur yang belum ditetapkan menjadi Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Nomor cagar budaya; (c) mengajukan situs tempat 11 Tahun 2006 Tentang Pembentukan berdirinya bangunan dan struktur cagar Badan Pengelola Kawasan Budaya Pulau budaya sebagai situs cagar budaya; dan (d) Penyengat Provinsi Kepulauan Riau. mengajukan sekumpulan situs cagar budaya Ramelan, W.D.S et al. 2015. Kajian Perencanaan menjadi kawasan cagar budaya. Pelestarian pada Masing-Masing Zona di Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat f. Pengelolaan sebagai Kawasan. Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau. Apabila Pulau Penyengat telah Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera ditentukan sebagai Kawasan Cagar Budaya, Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. dapat segera dipersiapkan (a) konsep badan pengelola sesuai dengan Peraturan Gubernur

73 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Sanyi, Ari. 2014. “Partisipasi Masyarakat Tanudirdjo, Daud Aris. 2004. Kriteria Penetapan dalam Pengelolaan Objek Wisata Pulau Benda Cagar Budaya. Makalah dalam Penyengat Kota Tanjungpinang”. JOM Rapat Penyusunan Pedoman Penetapan FISIP Universitas Riau 1 (2): 1-17. Benda Cagar Budaya. Cirebon 16 Juni 2004. Sedyawati, Edi. 2003. Warisan Budaya Intangible yang Tersisa dalam yang Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Tangible. Ceramah Ilmiah Arkeologi Cagar Budaya. Lembaran Negara disampaikan pada tanggal 18 Desember Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 2003 di Fakultas Ilmu Pengetahuan 130. Budaya UI, Depok. Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM. 9/PW. 007/MKP03 04/03/2003 tentang Penetapan Benda Cagar Budaya.

74 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Kontributor Penulis

Yosua Adrian Pasaribu Lahir di Tangerang, 9 Agustus 1987, pendidikan terakhir Magister Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan tesis berjudul Konteks Budaya Motif Binatang pada Seni Cadas Prasejarah di Sulawesi Selatan (2016). Saat ini bekerja sebagai Analis Cagar Budaya pada Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa artikelnya sudah terbit di jurnal-jurnal seperti Siddhayatra, Museografia, dll. Salah satunya adalah “Sosial-Ekonomi Masyarakat Pendukung Seni Cadas Leang Sumpang Bita, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan” yang terbit di Jurnal Arkeologi Siddhayatra Vol. 21, No 1. 2016. Email: [email protected]

Ashwin Prayudi Lahir di Bandung, pada saat ini sedang menjadi pegawai magang pada Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Universitas Gadjah Mada. Pendidikan S1 Arkeologi Universitas Gadjah Mada (2010), dan S2 bidang Paleopatologi dari Durham University (2015). Karya ilmiah yang pernah diterbitkan yaitu Taman Kolonial di Kota Bandung yang dipresentasikan sebagai makalah dan poster pada Seminar Internasional Urban Heritage pada tahun 2011. Email: [email protected]

Erlin Novita Idje Djami Lahir di Waikabubak, 1 April 1979. Pendidikan S1 Arkeologi UGM (2004). Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Arkeologi Papua dengan Kepakaran Arkeologi Prasejarah. Beberapa artikelnya sudah terbit di Jurnal Arkeologi Balar Papua, diantaranya adalah “Ragam Bentuk Tinggalan Budaya Megalitik di Papua”; “Bentuk Mata Pencaharian Masyarakat Pendukung Situs Gunung Srobu” dan “Mokat Ake: Budaya Megalitik di Situs Hitigima Lembah Balim Selatan Kabupaten Jayawijaya. Email: [email protected]

Yogi Pradana Lahir di Lumajang, 17 September 1992. Pendidikan S1 Arkeologi UGM lulus 2015, dengan skripsi berjudul Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Raja Balitung (898-910 M): Kajian Atas Prasasti-prasastinya. Sejak 2017 bekerja sebagai Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Mojokerto. Penelitian yang pernah dilakukan adalah Penelitian Candi Risan, Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul bersama BPCB Yogyakarta. Th. 2015; dan penelitian bertemakan Rekonstruksi Keruangan Bukit Gendol Kabupaten Magelang Berdasarkan Prasasti Canggal yang dilakukan oleh Jurusan Arkeologi FIB UGM Tahun 2016. Email: [email protected]

Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan Lahir di Tasikmalaya, 3 September 1952, menyelesaikan pendidikan S1, Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra UI (1977); S2 Jurusan Antropologi, Fakultas Pasca Sarjana UI (1987); dan S3 Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2002). Bekerja sebagai pengajar di Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok dengan kepakaran Arkeologi dan Manajemen Sumber Daya Arkeologi. Hasil karyanya di antaranya adalah “Penanganan Benda Cagar Budaya dalam

75 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Perspektif Hukum. Dalam Jurnal Arkeologi Indonesia Vol. 5 Nomor 3 Th 2008; “Batik Paseban Cigugur Wujud Pelestarian Seni Rupa Lokal”. Dalam Pentas Ilmu di Ranah Budaya. Jakarta: Pustaka Larasan 2010, dan lain-lain. Email: [email protected]

76 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Pedoman Penulisan Pengajuan Naskah (Guidance on Article Submission)

1. Amerta merupakan jurnal ilmiah terakreditasi 1. Amerta is a scientific journal accredited by LIPI, memuat makalah-makalah hasil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (the penelitian dan pengembangan dalam bidang Indonesian Institute of Sciences), which Ilmu Arkeologi dan ilmu-ilmu terkait contains writings that are the results of lainnya seperti Kimia, Biologi, Geologi, research and development activities in the Paleontologi, Sejarah dan Antropologi. field of Archaeology and related fields such as Chemistry, Biology, Geology, Palaeontology, 2. Naskah yang diajukan merupakan karya History, and Anthropology. ilmiah orisinal, belum pernah diterbitkan di tempat lain. Penulis yang mengajukan 2. The article to be submitted is original naskah harus memiliki hak yang cukup scientific writing, which has not been untuk menerbitkan naskah tersebut. Untuk published in other publication. The author(s) kemudahan komunikasi, penulis diminta must have enough right to publish it. memberikan alamat surat menyurat, e-mail, To facilitate communication, we ask the nomor telepon, atau faksimili yang dapat author(s) to give us reachable mailing dihubungi. address, e-mail address, telephone number, or facsimile number. 3. Dewan Redaksi berhak mengadakan penyesuaian format untuk keseragaman. 3. The Board of Editors is authorized to Semua naskah yang diajukan akan melalui make format adjustments according to penilaian Dewan Redaksi. Sistem penilaian our standard. Submitted articles will be bersifat anonim dan independen. Dewan anonymously and independently reviewed Redaksi menetapkan keputusan akhir naskah by the Board of Editors. The final decision yang diterima untuk diterbitkan. to publish or reject an article is made by the Board of Editors. 4. Penulis akan menerima pemberitahuan dari Dewan Redaksi jika naskahnya 4. Author(s) will receive notification from the diterima untuk diterbitkan. Penulis akan Board of Editors whether or not his/her/ diminta melakukan perbaikan (jika ada) their article(s) is accepted for publication. dan mengembalikan revisi naskah dengan Author(s) whose article will be published will segera. Penulis diminta memeriksa dengan be asked to make revisions (if any), and check seksama susunan kata dan penyuntingan thoroughly the sentences and editing notes serta kelengkapan dan kebenaran teks, tabel, as well as completeness and correctness of dan gambar dari naskah yang telah direvisi. text, tables, and plates/pictures of the revised Naskah dengan kesalahan pengetikan yang article and return the revised article to the cukup banyak akan dikembalikan kepada Board of Editors within the given deadline. penulis untuk diketik ulang. Naskah yang Article with too many typing errors will be sudah dinyatakan diterima akan mengalami returned to the author(s) to correct/retype. penundaan penerbitan jika pengajuan/ Publication of accepted article will be penulisan naskah tidak sesuai dengan postponed if the writing/submission is not in petunjuk yang telah ditetapkan. accordance with the guidance.

5. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia 5. Each article should be written in Indonesian atau bahasa Inggris dengan menggunakan or English language using Microsoft Word Microsoft Word pada kertas ukuran A4, on A4 paper with Times New Roman font

77 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

font Times New Roman ukuran 11, spasi (font size 12), space 1.5, upper and right 1,5, batas atas dan kanan masing-masing margins of 2 cm each, and left and lower 2 cm, sedangkan batas kiri dan bawah margins of 2.5 cm each. The length of each masing-masing 2,5 cm. Panjang naskah 15 article is 15 – 20 pages, with a maximum of – 20 halaman dengan jumlah halaman tabel, 20% (3 to 4 pages) tables, pictures/charts, gambar/grafik, dan foto tidak melebihi 20% and photographs. dari jumlah halaman naskah. 6. Heading has to be concise, clear, and 6. Judul singkat, jelas, dan mencerminkan isi representing the content of the article. The naskah. Nama penulis dicantumkan di bawah full name(s) of the author(s) is placed below judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan the heading without academic title. The gelar, diletakkan di tengah (centered). author’s full address (name and address Alamat penulis (nama dan alamat instansi of the institution where he/she works) are tempat bekerja) ditulis lengkap di bawah placed below the name, and the author’s nama penulis. Alamat e-mail ditulis di bawah e-mail address is placed below it. All of those alamat penulis. have to be in centered position.

7. Abstrak dibuat dalam satu paragraf, ditulis 7. Abstract has to be written in one paragraph dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). (not more than 250 words) in Indonesian Abstrak merupakan intisari naskah yang and English. Each abstract is a summary ditulis tidak lebih dari 250 kata, meliputi of the content of the article, and consists Alasan (Permasalahan), Metode, Tujuan, of Reasoning (Problems), Methods, Aims, dan Hasil. Abstrak dalam bahasa Indonesia and Results. The abstract in Indonesian diikuti kata kunci dalam bahasa Indonesia, is followed by kata kunci, while the one sedangkan abstract dalam bahasa Inggris in English is followed by keywords (3 to 5 diikuti keywords dalam bahasa Inggris (3-5 words), which are chosen with reference to kata). Kata kunci/keywords dipilih dengan Agrovocs. mengacu pada Agrovocs. 8. The content of the article is divided into the 8. Isi naskah meliputi unsur-unsur sebagai following elements: berikut: 8.1 Introduction 8.1 Pendahuluan Introduction includes Background, Pendahuluan meliputi Latar belakang, Formulation of problems, Aims, Theory, and Perumusan masalah, Tujuan, Teori, dan Hypothesis (if any). Hipotesis (jika ada). 8.2 Method 8.2 Metode Includes description about the procedures Mencakup deskripsi mengenai prosedur of the way the research is carried out, cara menangani penelitian yang dilakukan which covers: determination of variables, meliputi: penentuan variabel, cara methods of data collecting, data processing, pengumpulan data, pengolahan data, dimensi dimension of approach, and methods of data pendekatan, dan cara menganalisis data. analyses. 8.3 Hasil dan Pembahasan 8.3 Results and Discussion Hasil merupakan pemaparan data yang Results present data that are relevant to relevan dengan tema sentral kajian berupa the central theme of the study, in forms deskripsi, narasi, angka-angka, gambar/tabel, of description, narration, numbers, dan suatu alat. Upayakan untuk menghindari pictures/tables, and implements. Avoid penyajian deskriptif-naratif yang panjang long descriptive-narrative presentations; lebar dan gantikan dengan ilustrasi dalam use instead illustrations (pictures, charts,

78 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

bentuk gambar, grafik, foto, diagram, peta, photographs, maps, etc.) with clear captions dan lain-lain, namun dengan penjelasan serta and legends. Discussion is based on results legenda yang mudah dipahami. Sedangkan of data analyses, correlation, and synthesis. pembahasan merupakan hasil analisis, 8.4 Closing korelasi, dan sintesa data. Closing is not a summary of the article, 8.4 Penutup but a general explanation that answers the Penutup bukan merupakan ringkasan research problems and aims. The Closing artikel, melainkan uraian secara umum can reveal whether or not the results have yang menjawab permasalahan dan tujuan solve the problems and fulfill the aims of the penelitian. Dalam Penutup dapat diketahui research. apakah permasalahaan, tujuan dan hasil 8.5 Acknowledgement (optional) penelitian sudah tercapai. 8.6 Bibliography 8.5 Ucapan Terima Kasih (jika ada) Minimum reference is 10 literatures. All 8.6 Daftar Pustaka references in the text have to be in accordance Acuan minimal terdiri dari 10 literatur. Acuan with those mentioned in the bibliography. The dalam naskah harus sesuai dengan daftar bibliography should refers to the Chicago pustaka. Penulisan daftar pustaka mengacu Style. pada Chicago Style. 8.7 Attachment (optional) 8.7 Lampiran (jika ada) 9 Headings and notes/captions of tables 9. Judul tabel dan keterangan ditulis dalam are to be written clearly and concisely in bahasa Indonesia dengan jelas dan singkat. Indonesian. Table headings are placed Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, above the table, left aligned, using Times rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan New Roman font of size 10. Tables are given font Times New Roman ukuran 10. Tabel sequence numbers according to the caption diberi nomor urut sesuai keterangan di dalam in the text, using Arabic numbers (1, 2, 3, 4, teks menggunakan angka Arab (1,2,3,4, dst). and so forth). Contoh: Tabel 1. Pertanggalan situs-situs Example: Tabel 1. Pertanggalan situs-situs akhir Pleistosen-awal Holosen akhir Pleistosen-awal Holosen

10. Gambar dan grafik, serta ilustrasi lain harus 10 Pictures, charts, and illustrations have to be kontras. Judul gambar dan grafik ditampilkan contrast. The headings are placed above the di bagian atas gambar dan grafik, rata kiri pictures/charts, left aligned (not centered), (bukan center), ditulis menggunakan font using Times New Roman font of size 10. Times New Roman ukuran 10. Gambar dan Pictures and charts are given sequence grafik diberi nomor urut sesuai keterangan numbers according to the caption in the text, di dalam teks menggunakan angka Arab using Arabic numbers (1, 2, 3, 4, and so (1,2,3,4, dst), serta dituliskan sumber gambar. forth), and the sources have to be mentioned. Contoh: Gambar 2. Peta Jaringan Example: Picture 2. Map of Short- and Long- Perdagangan Jarak Dekat dan Jarak Jauh Distance Trade Network (Source: name of (Sumber: nama orang/instansi) person/institution)

11. Peta ditampilkan berwarna. Judul peta ditulis 11. Maps are presented in colour. The headings di bagian bawah peta, rata kiri (bukan center), are placed below the map, left aligned (not ditulis menggunakan font Times New Roman centered), using Times New Roman font of ukuran 10. Peta diberi nomor urut sesuai size 10. Maps are given sequence numbers keterangan di dalam teks menggunakan according to the caption in the text, using angka Arab (1,2,3,4, dst), serta dituliskan Arabic numbers (1, 2, 3, 4, and so forth), and

79 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

sumber peta. the sources have to be mentioned. Contoh: Peta 1. Daerah Lahan Basah di Pulau Example: Map 1. Wetland Areas in Sumatera Sumatera (Sumber: nama orang/instansi) Island (Source: name of person/institution)

12. Cara pengutipan sumber dalam naskah 12. Quotations of source in the body of text are menggunakan catatan perut dan dibuat made in the following order: name(s) of dengan urutan sebagai berikut: nama author(s), year of publication, and page(s); pengarang, tahun terbit, dan halaman sumber. all between parentheses. Semuanya ditempatkan dalam tanda kurung. Example: (Soejono 2008, 107). Contoh: (Soejono 2008, 107). 13. Photographs must have good resolution (at 13. Penyajian foto ditampilkan dengan resolusi least 600 x 800 pixels). The captions are yang baik (minimal 600.x.800 pixel). Judul placed below the photographs, left aligned foto ditulis di bagian bawah foto, rata kiri (not centered), using Times New Roman font (bukan center), ditulis menggunakan font of size 10. Photographs are given sequence Times New Roman ukuran 10. Foto diberi numbers according to the caption in the text, nomor urut sesuai keterangan di dalam teks using Arabic numbers (1, 2, 3, 4, and so menggunakan angka Arab (1,2,3,4,.dst), forth), and the sources have to be mentioned. serta dituliskan sumber foto. Example: Photograph 3. The Makara of Contoh: Foto 3. Makara Candi Bumiayu Bumiayu Temple (Source: The name of the (Sumber: Nama Instansi). Institution).

14. Untuk keterangan Sumber Foto/gambar 14. Information about the sources of photographs lainnya terdiri dari 3 macam: or other illustrations consists of three - Nama Instansi/tahun/nama penanggung elements: jawab kegiatan (Jika kegiatan didanai oleh - The name of the Institution and person suatu instansi) in charge of the project (if the project is - Nama perseorangan/tahun (Jika kegiatan funded by an institution) menggunakan dana pribadi) - The name of a person (if the project is - Nama Penulis/tahun jika gambar/foto individually funded) berasal dari buku, laporan, atau penerbitan - The name of the author and year of lainnya. publication (if the picture/photograph is taken from a book, report, or other types 15. Daftar Pustaka minimal 10 (sepuluh) dengan of publication). komposisi 80% acuan primer dan 20% acuan sekunder. Termasuk acuan primer adalah: 15. Each article should use a minimum of 10 jurnal ilmiah (terakreditasi maupun tidak (ten) literatures, which composed of 80% terakreditasi), laporan penelitian yang telah primary references and 20% secondary diterbitkan, skripsi, tesis, disertasi, buku teks references. Primary references include: acuan utama, dan undang-undang. Adapun scientific journals (accredited and non- acuan sekunder meliputi: laporan penelitian accredited), published research reports, yang tidak (belum) diterbitkan, buku teks, thesis, dissertation, main reference text- acuan web resmi. Arkeologi dikategorikan books, and laws. Secondary references sebagai ilmu tertentu yang tidak terlepas include: unpublished research reports, dari hasil-hasil penelitian terdahulu sehingga text-books, and official web references. batas kemutakhiran acuan tidak dibatasi oleh Archaeology is categorized into a specific tahun. Daftar Pustaka disusun berdasarkan field of science that cannot be excluded from abjad tanpa nomor urut dengan urutan results of previous researches, and therefore

80 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

sebagai berikut: nama pengarang (dengan the recency of the references is not limited to cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, their years of publications. Bibliography is judul artikel, judul buku/nama dan nomor arranged alphabetically with no sequence jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/ number in the following order: name(s) of nomor halaman. Contoh berikut berurutan author(s) in standard writing style, year of berdasarkan jenis Jurnal, Artikel bagian dari publication, article’s heading, book’s title/ Buku, Buku, Laporan Penelitian, Disertasi, name and number of journal, publisher’s Internet: city and name, page numbers. The following Binford, L.R. 1992. “The Hard Evidence”, examples are presented consecutively for a Discovery 2: 44-51. journal, an article as part of a book, a book, Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius research reports, and web/internet source: pada Masa Klasik.” In Kepribadian Binford, L.R. 1992. “The Hard Evidence”, Budaya Bangsa (Local Genius), edited Discovery 2: 44-51. by Ayat Rohaedi, 152–85. Jakarta: Pustaka Jaya. Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada Masa Klasik.” In Kepribadian Kirch, P.V. 1984. The Evolution of the Budaya Bangsa (Local Genius), edited Polynesian Chiefdoms. Cambridge: by Ayat Rohaedi, 152–85. Jakarta: Cambridge University Press. Pustaka Jaya. Tim Penelitian. 2006. “Jaringan Perdagangan Kirch, P.V. 1984. The Evolution of the Masa Kasultanan Ternate-Tidore- Polynesian Chiefdoms. Cambridge: Jailolo di Wilayah Maluku Utara Cambridge University Press. Abad Ke-16-19 Tahap I”. Laporan Penelitian Arkeologi Tahap I Jakarta: Tim Penelitian. 2006. “Jaringan Perdagangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Masa Kasultanan Ternate-Tidore- Arkeologi Nasional. Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad Ke-16-19 Tahap I”. Laporan Soegondho, Santoso. 1993. “Wadah Penelitian Arkeologi Tahap I Jakarta: Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi Arkeologi Nasional. dan Fungsi.” Disertasi. Depok: Universitas Indonesia. Soegondho, Santoso. 1993. “Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Balai Konservasi Borobudur. 2014. “Kajian Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap dan Fungsi.” Disertasi. Depok: Batu Candi Borobudur.” Accessed Universitas Indonesia. March 1. http://konservasiborobudur. org/v3/fasilitas/285-kajian-pengaruh- Balai Konservasi Borobudur. 2014. “Kajian abu-vulkanik-terhadap-batu-candi- Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap borobudur. Batu Candi Borobudur.” Accessed March 1. http://konservasiborobudur. org/v3/fasilitas/285-kajian-pengaruh- 16. Pengajuan artikel di jurnal ini dilakukan abu-vulkanik-terhadap-batu-candi- secara online ke http://jurnalarkeologi. borobudur. kemdikbud.go.id/index.php/amerta. 16. The article submission on this journal is processed online via http://jurnalarkeologi. kemdikbud.go.id/index.php/amerta.

81 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Template Jurnal Amerta

SITUS KESUBEN: SUATU BUKTI PERADABAN HINDU-BUDDHA DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH

Sukawati Susetyo Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510 [email protected]

*(Ditulis oleh 1 penulis)

KILAS BALIK SEJARAH BUDAYA SEMENANJUNG BLAMBANGAN, BANYUWANGI, JAWA TIMUR Muhammad Hasbiansyah Zulfahri1, Hilyatul Jannah2, Sultan Kurnia Alam Bagagarsyah1, Wastu Prasetya Hari1, dan Wulandari Retnaningtiyas1

1 Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Jl. Nusantara 1 Bulaksumur Yogyakarta [email protected] 2 Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Jl. Nusantara 1 Bulaksumur Yogyakarta [email protected]

*(Ditulis oleh lebih dari 1 penulis)

Abstrak. (Abstrak dalam bahasa indonesia) ...... Kata Kunci: (3 – 5 kata)

Abstract. A Flashback of the Cultural-History of Blambangan Peninsula, Banyuwangi, East Java. (Judul dan abstrak dalam bahasa Inggris, ditulis miring) ...... Keywords: (3 – 5 words)

1. Pendahuluan Dalam bagian ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup (materi dan wilayah), dan landasan teori/konsep/tinjauan pustaka.

2. Metode Berisi kajian literatur, waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, serta metode analisis data.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil (sub bab boleh ditulis dengan judul lain yang berkaitan dengan isi) 3.1.1 Sub bab (jika ada) 3.1.2 Sub bab (jika ada)

Naskah diterima tanggal 18 Maret 2015, diperiksa tanggal 7 April 2015, dan disetujui tanggal 28 April 2015.

82 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

3.1.3 Sub bab (jika ada), dan seterusnya Bagian ini memuat uraian sebagai berikut: • Penampilan/pencantuman/tabulasi data hasil penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan metodologi; • Analisis dan evaluasi terhadap data tersebut sesuai dengan formula hasil kajian teoritis yang telah dilakukan; • Diskusikan atau kupas hasil analisis dan evaluasi, terapkan metode komparasi, gunakan persamaan, grafik, gambar dan tabel agar lebih jelas; • Berikan interpretasi terhadap hasil analisis dan bahasan untuk memperoleh jawaban, nilai tambah, dan kemanfaatan terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian. • Ada beberapa catatan yang harus diperhatikan pada bagian ini, yaitu: 1 Hasil dan pembahasan merupakan hasil analisis fenomena di wilayah penelitian yang relevan dengan tema sentral kajian; 2 Hasil yang diperoleh dapat berupa deskriptif naratif, angka-angka, gambar/tabel, dan suatu alat; 3 Upayakan untuk menghindari penyajian deskriptif naratif yang panjang lebar dan gantikan dengan ilustrasi (gambar, grafik, foto, diagram, atau peta, dan lain-lain), namun dengan penjelasan serta legenda yang mudah dipahami. Ilustrasi (Tabel, Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram) • Ilustrasi merupakan salah satu bentuk informasi sebagai penggalan atau bagian dari naskah ilmiah. Umumnya merupakan pendukung pada bagian hasil dan pembahasan. Penyajian ide atau hasil penelitian dalam bentuk ilustrasi bisa lebih mengefisienkan volume tulisan. Sebab, tampilan sebuah ilustrasi adakalanya lebih lengkap dan informatif daripada tampilan dalam bentuk narasi. • Ilustrasi merupakan rangkuman dari hasil aktivitas/kegiatan penelitian yang dapat berupa tabel gambar, foto, dan sebagainya. • Tabel harus memiliki judul dan diikuti detail eksperimen dalam “legend” yang dapat dimengerti tanpa harus membaca manuskrip. Judul tabel dan gambar harus dapat berdiri sendiri. Setiap kolom tabel harus memiliki “heading”. Setiap singkatan harus dijelaskan pada “legend” di bawahnya, diikuti dengan keterangan/sumber yang jelas. • Setiap foto (baik dalam artikel maupun lampiran) ditampilkan dalam ukuran asli (dalam resolusi besar/tidak diperkecil).

3.2 Pembahasan (sub bab boleh ditulis dengan judul lain yang berkaitan dengan isi) 3.2.1 Sub bab (jika ada) 3.2.2 Sub bab (jika ada) 3.2.3 Sub bab (jika ada), dan seterusnya Dalam bagian ini diuraikan pemaparan data beserta penjelasannya berdasarkan metode analisis yang ditetapkan, sehingga memperoleh hasil yang didukung oleh landasan teori/konsep/tinjauan pustaka yang digunakan. Tabel 1. Judul tabel (Sumber: ...... ) No. Kode Temuan Jenis Kelamin Usia Tinggi (cm) 1 LRN1 Perempuan Dewasa 155-158 2 LRN2 Laki-laki Dewasa Lanjut 164-168 3 LRN3 Laki-laki (?) Dewasa Lanjut 157-160

83 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

Foto 1. Judul foto (Sumber: ...... )

Gambar 1. Judul gambar (Sumber: ...... )

Peta 1. Judul peta (Sumber: ...... )

4. Penutup Bagian ini meliputi kesimpulan yang isinya diperoleh dari pembahasan terhadap data yang dianalisis menggunakan metode tertentu. Kesimpulan ini disusun dalam bentuk paragraf yang runut dan sistematis. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: • Dalam kesimpulan harus diingat segitiga konsistensi yaitu masalah-tujuan-kesimpulan, harus konsisten sebagai upaya check & recheck; • Kesimpulan merupakan bagian akhir suatu tulisan ilmiah yang diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan atau hasil uji hipotesis tentang fenomena yang diteliti, bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan. Disampaikan secara singkat

84 dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk penyampaian butir-butir kesimpulan secara berurutan; AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74 • Kesimpulan khusus berasal dari analisis, sedangkan kesimpulan umum adalah hasil generalisasi atau keterkaitan dengan fenomena serupa di wilayah lain yang diacu dari publikasi terdahulu, dan • Kesimpulan harus menjawab pertanyaan dan permasalahan riset yang diungkapkan pada pendahuluan. Saran Saran bila diperlukan dapat berisi rekomendasi akademik atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh.

Ucapan terima kasih Menguraikan nama orang atau instansi yang memberikan kontribusi nyata pada naskah.

Daftar Pustaka Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius. Poesponegoro, Marwati Djoened and Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka. Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Massachusetts: Harvard University Press. Edson, Gary and David Dean. 1994. The Handbook for Museum. London: Routledge. Sedyawati, Edi. 2002. “Pembagian Peran dalam Pengelolaan Sumber Daya Budaya”. In Manfaat Sumber Daya Arkeologi untuk Memperkokoh Intergrasi Bangsa, Edited by I Made Sutaba, et.al. 9-14. Denpasar: PT. Upada Sastra. Ririmasse, Marlon. 2008. “Visualisasi Tema Perahu dalam Rekayasa Situs Arkeologi di Maluku”. Naditira Widya 2 (1): 142-157. Tim Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. 2012. “Pengaruh Kebudayaan India di Daerah Sekitar Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah”. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Haryono, Daniel. 2010. Museum Ullen Sentalu: Penerapan Museum Baru. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sulistyanto, Bambang. 2008. Resolusi Konflik dalam Manajemen Warisan Budaya Situs . Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kusumastanto, T. 2002. “Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah”. Orasi Ilmiah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, 21 September 2002.

Sumber Online: McCall, Vikki dan Clive Gray. 2013. “Museums and the New Museology: Theory, Practice, and Organisational Change”. Museum Management and Curatorship, hlm. 1–17. http://dx.doi.org/ 10.1080/09647775.2013.869852, diunduh 17 Agustus 2014. Zuraidah. Pembangunan Pusat Informasi Majapahit: Upaya Pemasyarakatan Tinggalan Arkeologi di Situs Trowulan. www.isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 8 Juni 2014. http://www.republika-online.com, diunduh 19 September 2014. http://www.google.co.id/maps/@-6.8705707,109.1172396,13z, diunduh 4 April 2015.

85 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74

86