Menggali Kebijakan Penyiaran Digital di Indonesia Nur Malik Maulana Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro, Jalan Erlangga Barat VII No. 33 Semarang 50241, Indonesia Email: [email protected]* *corresponding author

Abstract Digitizing broadcasting is a necessity that brings a new era of broadcasting in Indonesia. Digital technology is the right solution in overcoming the frequency limitations in analog broadcasting, but until now Indonesia has not yet realized digital broadcasting because there is no legal umbrella governing it and Law No.32/2002 on Broadcasting does not yet contain these rules. This research aims to provide policy ideas and regulations on digital broadcasting that should be made by the government. This research method is a documentation or library study by looking at data derived from several regulations on digital broadcasting in Indonesia and several related articles. The results showed a process of mutual influence between the agent and the structure behind the making of broadcasting digitalization regulation which is illustrated by the attraction of very strong interests between the interests of the public, capital owners, and the government. The choice of the multiplexing model used for digital broadcasting has been a heated debate. Single multiplexing is the most appropriate model to use. The control of frequency by the government creates the public sphere (public sphere) which contains a balance between private and public interests. So that the ideals of broadcasting with a diversity of ownership and diversity of content can be realized. The contribution of this research is in the form of recommendations to digital parties so that the regulation of digital broadcasting must be based on a balance between private interests and the public interest. Keywords: digital broadcasting, political economy, structuration, multipleksing, public sphere

Abstrak Digitalisasi penyiaran merupakan sebuah keniscayaan yang membawa era baru penyiaran di Indonesia. Teknologi digital menjadi solusi tepat dalam mengatasi keterbatasan frekuensi pada penyiaran analog, tetapi sampai saat ini Indonesia belum merealisasikan penyiaran digital dikarenakan belum adanya payung hukum yang mengaturnya dan UU No.32/2002 tentang Penyiaran belum memuat aturan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gagasan kebijakan dan regulasi penyiaran digital yang seharusnya dibuat oleh pemerintah. Metode penelitian ini adalah studi dokumentasi atau pustaka dengan melihat data-data yang berasal dari beberapa regulasi tentang penyiaran digital di Indonesia dan beberapa artikel terkait. Hasil penelitian menunjukkan adanya proses saling pengaruh antara agen dan struktur dibalik pembuatan regulasi digitalisasi penyiaran yang digambarkan dengan tarik menarik kepentingan yang sangat kuat antara kepentingan publik, pemilik modal dan pemerintah. Pemilihan model multipleksing yang digunakan untuk penyiaran digital menjadi sebuah perdebatan sengit. Single multipleksing merupakan model yang paling tepat digunakan. Penguasaan frekuensi oleh pemerintah menciptakan ranah publik (public sphere) yang berisi keseimbangan antara kepentingan privat dan publik. Sehingga cita-cita penyiaran dengan diversity of ownership dan diversity of content dapat terwujud. Kontribusi penelitian ini berupa rekomendasi kebijakan kepada pihak digital agar regulasi penyiaran digital harus didasari keseimbangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik. Kata kunci: penyiaran digital, ekonomi politik, strukturasi, multipleksing, public sphere

Pendahuluan merealisasikan digitalisasi penyiaran karena Tiga belas tahun berlalu sudah semenjak regulasi sebagai payung hukum yang mengatur terjadinya kesepakatan negara-negara yang belum jadi dan masih saja dibahas di DPR. tergabung dalam konferensi International Kondisi global menunjukkan bahwa 85% Telecommunication Union (ITU), termasuk wilayah dunia sudah mulai mengimplementasikan Indonesia di dalamnya, tentang pelaksanaan televisi digital. Semua negara telah menetapkan migrasi teknologi penyiaran dari analog ke tahun migrasi dari siaran analog ke digital negara- digital. Indonesia sampai sekarang belum bisa negara maju di Eropa dan Amerika Serikat

60 Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 61 bahkan telah mematikan siaran analog (analog televisi digital diharapkan menjadi perwujudan switch-off/ASO) dan beralih ke siaran digital. Di dari pusat ragam informasi dan hiburan kawasan Asia, Jepang melakukan ASO pada Juli Perkembangan penyiaran televisi di 2011, Korea pada Desember 2012, China pada Indonesia dimulai saat diterbitkannya UU No. tahun 2012, Brunei pada Juni 2014, Malaysia 32/2002 tentang Penyiaran. Semenjak itu, banyak pada Desember 2015, Singapura, Thailand dan bermunculan televisi-televisi lokal di berbagai Filipina pada tahun 2015, sementara Vietnam pada daerah di tanah air. Akan tetapi, terbatasnya tahun 2020 (Prabowo dan Arofah, 2017: 256). alokasi kanal frekuensi analog pada tiap wilayah Konferensi ITU di Jenewa tahun 2006 siar menjadi kendala. Teknologi digital yang menyepakati bahwa masa transisi dari penyiaran membutuhkan bandwidth tiap saluran televisi analog ke digital, yang dimulai pada 0001 UTC lebih kecil sangatlah tepat mengatasi terbatasnya 17 Juni 2006, harus berakhir pada tanggal 17 jumlah alokasi kanal frekeuensi pada penyiaran Juni tahun 2015 atau yang disebut The Millenium analog. Melihat minat masyarakat berpartisipasi Development Goal. Beberapa negara berkembang begitu kuat, maka alternatif penerapan siaran diberi tambahan waktu lima tahun untuk proses televisi digital di Indonesia merupakan sebuah transisi ini, atau tepatnya pada tahun 2020. solusi untuk keterbatasan kanal frekuensi Kemkominfo pada tahun 2011 pernah membuat tersebut. Dengan sistem digital, beberapa rancangan bahwa pelaksanaan migrasi teknologi Lembaga Penyiaran dapat bergabung dalam penyiaran dari analog ke digital di Indonesia penyiarannya dengan satu kanal frekuensi harus melewati tiga fase yang total kesemua fase digital (Djamal dan Fachuddin, 2011:322). tersebut membutuhkan waktu 7 tahun. Indonesia Bahkan secara perhitungan matematis, kalau menargetkan tahun 2018 menjadifase Total digunakan secara optimal bisa terdapat 72 Analog Switch-Off dengan bermigrasi total ke saluran televisi digital dalam satu wilayah siar penyiaran digital (Adnjani dan Mubarok, 2018). (Prabowo 2012: 309). Teknologi inilah yang Sebagai contoh regulasi tentang digitalisasi membuka lebar-lebar pintu cita-cita penyiaran penyiaran berhasil dibuat dan disahkan Indonesia yaitu terciptanyapenyiaran dengan tahun ini, mengikuti perhitungan teknis yang diversity of ownership dan diversity of content. pernah dibuat Kemkominfo tahun 2011, maka Dilihat dari segi ekonomi, melimpahnya Indonesia baru akan menjalankan penyiaran frekuensi pada sistem penyiaran digital ini digital pada tahun 2025. Ini sudah melewati merupakan sebuah lahan bisnis yang sangat target yang telah dibuat dan juga melewati menggiurkan. Bagi para pemain baru, ini akan batas waktu dari ketetapan Konferensi ITU. menjadi peluang emas untuk merintis kekuatan Regulasi mengenai penyiaran digital, baru di bidang penyiaran. Bagi para pemain lama, terutama televisi merupakan regulasi yang sangat frekuensi ini dapat dimanfaatkan untuk pelebaran vital. Meskipun kini dengan perkembangan sayap bisnis penyiaran mereka sebagai bentuk teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, dari spasialisasi, sehingga tetap bisa mendominasi new media menjamur dimana-mana. Ternyata di pasar. Bahkan kalau dilihat dari motiv politik, Indonesia penetrasi media masih dikuasai oleh frekuensi yang digunakan untuk penyiaran televisi. Survei Nielsenkwartal III tahun2017 merupakan media untuk menghegemoni menunjukkan bahwa 96% (52 juta) rakyat ideologi-ideologinya. Melihat hal tersebut Indonesia masih menggunakan televisi sebagai diperlukannya sebuah regulasi, berbentuk media utamanya. Televisi masih menjadi media Undang-Undang yang dilengkapi dengan yang sangat seksi, dengan jumlah penonton peraturan pemerintah dan keputusan pemerintah terbanyak. Bagi masyarakat atau penonton, tentu terkait yang mengatur lebih secara teknisnya. 62 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72

Undang-Undang (UU) Penyiaran menjadi multipleksing. Atau kah dengan menggunakan regulasi yang sangat krusial karena media model hybrid multipleksing, yaitu Lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa Penyiaran Swasta (LPS) juga diijinkan untuk yang menggunakan frekuensi publik, dan mampu menjadi Lembaga Penyelengara Multipleksing mempengaruhi masyarakat. Asumsi rasional yang (LPPM) bersama-sama dengan pemerintah. digunakan untuk membuat kebijakan penyiaran Belum banyak penelitian yang mengangkat dilandasi dari the scarcity theory yang menyatakan tema penyiaran digital atau digitalisasi penyiaran bahwa frekuensi radio yang digunakan sebagai di Indonesia. Prabowo (2012) memandang media dalam penyiaran sejatinya terbatas secara kritis Permen Kominfo yang mengatur jumlahnya (Eadie, 2009:97), namun tidak perihal digitalisasi penyiaran dengan berpihak semua individu dapat menggunakannya. Pada kepada eksistensi TV lokal yang dapat terancam. dasarnya publik memiliki hak yang sama untuk Budiman (2015) memaparkan secara deskriptif memanfaatkannya. Perlu adanya pengaturan tentang penyiaran digital dan regulasinya secara pengelolaan terkait penggunaan frekuensi tersebut. normative dan tidak terlalu masuk ke area teknis. Konsep Habermass tentang ruang publik, yaitu Penelitian lain lebih memberikan pandangannya ruang gagasan yang memberikan otonomi dan tentang bagaimana sosialisasi migrasi penyiaran arena terbuka bagi perdebatan publik juga menjadi dari analog ke digital yang efektif (Prabowo dan landasan fundamental sebuah kebijakan penyiaran. Arofah, 2017; Mubarok dan Adnjani, 2018). Akses terhadap ruang tersebut bebas dan ada Penelitian ini melihat lebih dalam perkembangan jaminan kebebasan publik untuk menyalurkan penyiaran digital di Indonesia menggunakan ekspresi mereka. Media seharusnya merupakan ekonomi politik kritis sebagai sudut pandangnya. ruang yang mampu menampung banyak suara dan Berdasarkan paparan di atas, penelitian menyajikan keseimbangan informasi (McQuail, ini mencoba masuk ke dalam diskursus 2010:179). Pada akhirnya tertuang pada Pasal mengenai digitalisasi penyiaran di Indonesia 1 ayat 8 UU No.32/2002 tentang Penyiaran juga dengan tujuan memberikan gagasan kebijakan menyatakan spektrum frekuensi radio adalah dan regulasi penyiaran digital seperti apakah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan yang seharusnya dibuat oleh pemerintah. untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan Metode Penelitian ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dan Memang bisa dipahami bahwa pembuatan eksplanatif dengan mengkaji secara kualitiatif regulasi mengenai penyiaran digital ini permasalahan menggunakan paradigma kritis tidaklah mudah. Ada beberapa persoalan dan pandangan ekonomi politik komunikasi. yang melatarbelakangi baik kendala teknis Objek yang diteliti adalah kebijakan maupun maupun nonteknis. Sampai saat ini regulasi regulasi mengenai penyiaran digital di Indonesia. tersebut masih dalam tahap pembahasan di Kajian dilakukan secara studi dokumentasi DPR dan masih belum menemui titik temu. atau pustaka. Data-data didapatkan dari kajian Fokus utama perdebatan dalam digitalisasi pustaka (literature review) berupa regulasi penyiaran adalah model atau teknis pelaksanaan penyiaran digital di Indonesia dan beberapa multipleksing apakah yang akan di pakai pada artikel terkait. Setelah itu data-data tersebut penyiaran digital. Puncak pertanyaannya dianalisis menggunakan teori ekonomi politik, adalah apakah penyelenggaraan multipleksing sehingga memperoleh hasil simpulan berupa dipasrahkan sepenuhnya oleh negara atau gagasan kebijakan dan regulasi penyiaran pemerintah, berarti menggunakan model single digital yang seharusnya dibuat oleh pemerintah. Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 63

Hasil Penelitian dan Pembahasan digital. Ada proses tarik menarik kepentingan Ekonomi Politik Komunikasi yang sangat kuat antara kepentingan publik, Penelitian ekonomi politik telah menorehkan pemilik modal dan pemerintah. catatan sejarah pada perkembangan penelitian Konsep strukturasi yang ada di dalam komunikasi, terutama tentang pandangan secara pendekatan ekonomi politik menjadi salah satu oposisi terhadap kekuatan dominan yang ada pada pendekatan yang bisa digunakan sebagai cara industri bidang komunikasi dan hubungannya pandang dalam tulisan ini. Ekonomi politik dengan pemerintahan dalam hal ini para politisi sebagai sebuah teori, menempatkan media (Mosco, 2009:109-113). Pendekatan ekonomi sebagai bagian yang tidak terpisah dalam politik sekarang sering digunakan untuk mengkaji proses ekonomi, politik dan sosial masyarakat. keberadaan media massa dalam masyarakat Aliansi Konglomerasi: Agen Terkuat dan dianggap mempunyai signifikansi kritis Carut marutnya regulasi penyiaran digital berkaitan dengan kepemilikan dan kontrol media di Indonesia tak luput dari peran agen-agen yang mengaitkan industri media dengan industri yang terlibat di dalamnya. Pada tahun 2002, lain, elit politik, ekonomi dan lingkungan sosial. keluarnya UU No.22/2002 tentang Penyiaran Wasko (2004) mengambil pandangan kritis berhasil mendorong demokratisasi informasi Mosco dan Golding-Murdock, bahwa ekonomi sekaligus membuka pasar media yang luas. politik dilakukan secara holistik, berkelanjutan Terbukanya pasar media mengakibatkan banyak dan berpusat pada interplay kepentingan antara berdirinya perusahaan-perusahaan media kapitalis dan publik. Kajian ekonomi politik kritis (privatisasi media). Namun, kebebasan media mencakup tentang kepemilikan dan penguasaan, juga memunculkan masalah yaitu terjadinya relasi kuasa, sistem kelas sosial dan ketidakadilan pemusatan kepemilikan perusahaan media yang struktural, strategi untuk tetap berkuasa dan mengarah pada praktik konglomerasi. Pada mempengaruhi (Wasko, 2004:311-314). dasarnya praktik konglomerasi media adalah Dalam praksis, media telah bertransformasi ketika perusahaan media saling bergabung menjadi produsen informasi. Informasi tak menjadi perusahaan yang lebih besar yang ubahnya barang komoditas yang diproduksi membawahi banyak media termasuk jenis- perusahaan para kapitalis yang tentunya jenis media yang beragam sebagai bagian dari mengedepankan keuntungan perusahaan. Di sisi bisnisnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara lain, media massa merupakan sebuah kekuatan membeli saham, joint venture atau merger, besar yang dapat memberikan pengaruh yang atau akuisisi (mengambil alih). Saat ini terjadi kuat. Dalam beberapa analisis tentang kehidupan tumpang tindih kehidupan media massa dalam sosial, ekonomi dan politik, media sering hal kepemilikan. Di Indonesia, sebanyak 8 ditempatkan sebagai salah satu variabel yang kelompok media besar menguasai saluran mulai determinan. Anthony Giddens dan Margareth S. dari media cetak koran, majalah, radio, televisi, Archer mendiskripsikan adanya saling pengaruh serta jaringan berita onlinedari ujung Aceh antara struktur dan agen. Bahwa proses hingga Papua. Diantaranya Visi Media Asia, dinamis untuk mengkonstruksi norma atau MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, aturan ditentukan oleh tarik menarik dan saling , Grup Jawa Pos, CT pengaruh antara struktur (berupa sistem, aturan, Group, BeritaSatu media Holdings, Media Group. kelas sosial) dan agen (aktor pelaku). Proses Dari 8 konglomerasi tersebut, 5 diantaranya ini oleh Giddens disebut dengan “strukturasi”. tergabung menjadi sebuah aliansi dalam Asosiasi Besar kemungkinan proses inilah yang terjadi di Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yaitu Visi balik lambatnya pembuatan regulasi penyiaran Media Asia dengan dan TvOne; MNC 64 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72

Group dengan RCTI, MNCTV dan GTV; Elang pertimbangan berupa masukan dari ATVSI. Mahkota Teknologi dengan SCTV dan ; Ini menunjukkan bahwa ATVSI juga memiliki CT Group dengan TransTV dan ; dan pengaruh politik yang kuat terhadap pembuatan Media Group dengan MetroTV. Stasiun televisi sebuah norma atau aturan. Mosco (2009) dengan yang tergabung tersebut juga merupakan stasiun pandangan ekonomi politik kritisnya memberi televisi dengan jangkauan penyiaran televisi perhatian bahwa kekuatan aliansi konglomerasi secara teresterial terluas di Indonesia. RCTI bisa mempengaruhi regulasi pemerintah (Mosco, memiliki 54 stasiun transmisi, TransTv memiliki 2009:165). Tentunya, pengaruh ini ditujukan 48 stasiun transmisi, SCTV memiliki 47 stasiun dalam rangka usahanya (para kapital) untuk transmisi, Trans7 memilik 40 stasiun transmisi, tetap bertahan dan menguasai. (lihat pengertian Indosiar dan ANTV memiliki 33 stasiun luas ekonomi politik menurut Mosco, 2009:25) transmisi. Ini menunjukkan bahwa ATVSI Instrumentalisme: Pengaruh Agen Lebih Kuat merupakan sebuah aliansi bisnis bernilai ekonomi Berbicara mengenai regulasi digitalisasi yang sangat besar dan dengan pengaruh yang penyiaran, pada tahun 2011 pemerintah melalui tidak kecil terhadap stabilitas ekonomi negara. Kemkominfo mengeluarkan Peraturan Menteri Tentunya, segala regulasi yang berhubungan (Permen) Kominfo No. 22/2011 tentang dengan area bisnis yang ditempatinya, yaitu Penyelenggaraan Digitalisasi Penyiaran, penyiaran, salah satunya membutuhkan disusul Permen No.23/2011 tentang Master

Gambar 1. Konglomerasi Media di Indonesia Sumber: Tapsell, Ross dalam Sitepu, (2018) Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 65

Plan Digitalisasi Penyiaran. Permen ini (LPPM) menjadi landasan hukum pemerintah mengatur perihal teknis migrasi penyiaran saat itu untuk melakukan seleksi terbuka kepada dari analog ke digital dan model multipleksing LPS untuk menjadi pengelola penyelenggaraan yang digunakan dalam Permen No. 22/2011 penyiaran digital dengan multipleksing. Seleksi ini adalah hybrid multipeksing, dimana terhadap 5 zona siar (DKI dan Banten; Jawa Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki Kepulauan Ritau) telah selesai dan diumumkan kemampuan teknologi yang mumpuni, ditunjuk hasilnya melalui Siaran Pers No.65/PIH/ menjadi operator atau Lembaga Penyiaran KOMINFO/7/2012 disusul dengan Siaran Pers Penyelenggara Multipleksing (LPPM). Masing- No. 34/PIH/KOMINFO/4/2013 pada April 2013 masing operator multipleksing mengelola untuk 2 zona, yaitu Aceh dan Sumatera Utara; dan frekuensi dan infrastruktur penyiaran untuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Total dipergunakan oleh LPP atau LPS penyelenggara 7 dari 15 zona layanan wilyah siar telah dilakukan multipleksing itu sendiri dan LPS lainnya, seleksi dan hasilnya bisa dilihat dalam tabel 1. melalui penyewaan kanal frekeunsi dan Tabel 1 menunjukkan bahwa LPS infrastruktur. Jumlah kanal frekuensi yang penyelenggara multipleksing terseleksi ditentukan adalah 6 kanal pada masing- didominasi anggota ATVSI yang saat ini masing wilayah siar, kecuali wilayah propinsi menguasai pertelevisian Indonesia, yaitu RCTI, Kepulauan Riau hanya terdapat 4 kanal (lihat MNCTV, GTV, TransTV, Trans7, MetroTV, lampiran Permen No.23/2011). Jumlah kanal ANTV, TvOne, SCTV dan Indosiar. Hanya ada frekuensi tersebut akan dibagi pemakaian dan satu LPS lokal, yaitu BSTV (BantenTV) yang pengelolaannya kepada LPP TVRI dan LPS. ikut terpilih untuk zona DKI dan Banten Keputusan Kemkominfo menggunakan Dominasi kanal frekuensi oleh ATVSI hybrid multipleksing yang memberi ruang bagi menjadi potensi terjadinya konflik. Penguasaan LPS untuk menyelenggarakan multipleksing kanal frekuensi dan penyelenggaraan penyiaran memunculkan keresahan di sebagian besar digital oleh LPS akan memunculkan norma- LPS lain. Dengan jumlah 6 kanal frekuensi norma baru. LPS terseleksi akan berhitung yang ditetapkan, berarti hanya ada 5 LPS secara ekonomis, untung rugi, terkait penguasaan untuk 5 kanal frekensi yang ditunjuk sebagai kanal frekuensi tersebut. LPS atau televisi lain LPPM karena 1 kanal sisanya sudah menjadi harus menyewa kanal frekuensi kepada LPS hak TVRI sebagai LPP. Kelima LPS yang hasil seleksi. Dengan penguasaan atas sebuah tertunjuk nantinya, tentu akan memiliki kuasa frekuensi, LPS terseleksi yang menjadi LPPM terhadap 12 saluran program televisi atau dapat membuat aturan-aturan bisnis yang LPS lainnya yang tergabung dalam kanal tentunya bertujuan akhir untuk keuntungan frekuensi tersebut (1 kanal bisa diisi maksimal mereka dan akhirnya bisa menimbulkan potensi 12 saluran televisi). Dan tentunya sangat gugurnya satu per satu LPS-LPS lokal dengan dimungkinkan akan muncul norma-norma baru kemampuan ekonomi yang relatif masih lemah. dari LPS yang tertunjuk sebagai LPPM dengan Hal ini bisa diartikan sebagai pemberangusan motif ekonomi politik yang sangat kental. LPS atau televisi lokal (lihat Prabowo, 2012). Belum mereda keresahan yang terjadi, pada Temuan Ashrianto (2015) juga menunjukkan Februari 2012, Kominfo mengeluarkan Kepmen bahwa di kota Jogjakarta, LPS atau televisi lokal Kominfo No. 95/2012 tentang Peluang Usaha bahkan belum siap secara teknologi, sumber daya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sebagai manusia dan menejemen untuk melaksanakan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Multipleksing penyiaran secara digital (lihat Ashrianto, 2015). 66 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72

Tabel 1. Hasil Seleksi LPPM Zona Layanan Lembaga Penyiaran Zona Layanan Lembaga Penyiaran Zona Layanan 1 RCTI Network Zona Layanan 6 Global TV (Aceh dan Sumatera ANTV Medan (Jawa Tengah dan DIY) Indosiar Semarang Utara) Trans7 Medan TVOne Semarang Metro TV Aceh Metro TV Jawa Tengah Indosiar Medan Trans TV Semarang Zona Layanan 4 BSTV Zona Layanan 7 ANTV (DKI Jakarta dan TVOne (Jawa Timur) Global TV Banten) Metro TV Metro TV SCTV SCTV Trans TV Trans TV Zona Layanan 5 ANTV Bandung Zona Layanan 14 Trans7 Samarinda (Jawa Barat) Indosiar Bandung (Kalimantan Timur dan Global TV Metro TV Jabar Kalimantan Selatan) TVOne Samarinda RCTI Network Metro TV Kalsel Trans TV Bandung SCTV Banjarmasin Zona Layanan 15 RCTI Network (Kepulauan Riau) SCTV Batam Trans TV Batam Sumber: Siaran Pers No.65/PIH/KOMINFO/7/2012 dan Siaran Pers No. 34/PIH/KOMINFO/4/2013

Kemampuan LPS atau televisi lokal yang dilakukan oleh aktor sosial atau agen) pada sangat terbatas harusnya menjadi perhatian posisi lebih dominan dalam suatu struktur kultur. pemerintah, sehingga kebijakan yang diterbitkan Media dipandang sebagai instrumen dominasi tidak hanya berpihak pada pemodal besar. yang bisa dipergunakan sepenuhnya untuk Regulasi yang tercipta berupa beberapa kepentingan pengusaha atau pemilik modal. Permen Kominfo tersebut merupakan bentuk Multi atau Hybrid Multipleksing vs Single dari norma. Dalam pandangan ekonomi Multipleksing politik, norma terbentuk dari proses sosial Permen Kominfo yang mengatur tentang dengan adanya saling pengaruh antara agen digitalisasi penyiaran tersebut mendapatkan dan struktur. Keputusan pemerintah melalui pertentangan dengan alasan peraturan yang Kemkominfo dalam menentukan LPS yang mengatur tentang digitalisasi penyiaran terseleksi sebagai LPPM jelas sangat berat seharusnya setingkat Undang-Undang (UU), sebelah dan memihak salah satu kepentingan bukan Permen.UU Penyiaran baru untuk relasi kuasa, yaitu ATVSI. Dalam pandangan menggantikan UU Penyiaran No 32/2002 yang ekonomi politik, ATVSI merupakan agen di dalamnya akan memuat regulasi digitalisasi yang memberikan pengaruh yang lebih penyiaran belum jadi dan bahkan belum selesai besar daripada struktur (pemerintah) dalam dibahas di DPR. Hal ini mengakibatkan semua pembuatan norma (regulasi penyiaran digital). Permen Kominfo yang mengatur tentang Tentunya pengaruh itu diberikan dengan tujuan digitalisasi penyiaran diajukan untuk judicial agar ATVSI tetap bertahan dan menguasai review oleh sejumlah elemen masyarakat dan penyiaran televisi di Indonesia. Pandangan akhirnya Mahkamah Agung mengabulkan ekonomi politik kritis menyebut varian ini pada 13 April 2013. Pelaksanaan digitalisasi sebagai instrumentalisme, yang cenderung penyiaran di Indonesia pun menunggu menempatkan agen (tindakan yang secara nyata selesainya UU Penyiaran yang baru. Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 67

Setelah dibekukannya semua Permen dan kubu Asosiasi Televisi Nasional Indonesia Kominfo yang mengatur digitalisasi penyiaran, (ATVNI) bersama Asosiasi Televisi Lokal kebijakan mengenai masa depan penyiaran Indonesia (ATVLI) yang menginginkan model digital Indonesia ada di pundak DPR. Perjalanan single sebagai model multipleksing penyiaran pembahasan Revisi UU Penyiaran di DPR digital. Hal ini juga menambah alot dan lama juga tidak kalah alotnya. Ada beberapa draft perjalanan waktu revisi UU Penyiaran yang baru. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang Di dalam pembuatan regulasi digitalisasi pernah dibahas, yaitu RUU tertanggal Februari penyiaran, ATVSI; ATVNI dan ATVLI menjadi 2016, RUU tertanggal Meret 2017 dan yang agen-agen yang memberikan pengaruh yang terakhir RUU tertanggal Oktober 2017. Tiap sama kuat dengan pendapat yang berbedakepada RUU itu berisi regulasi yang berbeda secara struktur (negara atau pemerintah). Pengaruh yang fundamental terkait model penyiaran digital dimaksud adalah terkait modelmultipleksing (sistem multipleksing) yang akan digunakan. yang seharusnya digunakan. ATVSI dengan Di kalangan pelaku usaha penyiaran televisi hybrid multipleksing dan ATVNI bersama yang oleh DPR dijadikan bahan pendapat ATVLI dengan single multipleksing. penyusunan RUU, juga terjadi perbedaan Model single multipleksingadalah model yang mendasar mengenai model penyiaran dimana hanya ada satu penyelenggara layanan digital apa yang akan digunakan nantinya. multipleksing penyiaran digital, dalam hal Seperti yang terjadi pada Diskusi Publik- ini pemerintah melalui LPP. LPS menyewa Pengelolaan Penyiaran Digital dalam Revisi UU kanal frekuensi untuk melakukan kegiatan Penyiaran pada Rabu, 15 September 2017 yang penyiarannya. Pemikiran dasar teoritis single diselenggarakan oleh Magister Ilmu Komunikasi multipleksing yang bisa digunakan adalah FISIP Undip, menampilkan dua kubu yaitu Golding-Murdock juga menggarisbawahi bahwa kubu ATVSI yang menginginkan model hybrid pemerintah harus berdiri dan berada di posisi sebagai model multipleksing penyiaran digital paling puncak dengan kekuatan regulasinya

Tabel 2. Perbandingan Beberapa RUU tentang Penyiaran Digital Lembaga Sistem Pembagian kanal No Regulasi Penyiaran multipleksing Penyelenggara frekuensi

LPP, LPS, LPP, LPS dan LPK LPP, LPS dan LPK Draft RUU LPK, LPB Multi yang memiliki IPP yang memiliki IPP, 1 Februari satu kanal frekuensi 2016 Pasal 1 ayat 9-13 Pasal 23 dan 24 Pasal 24 ayat 1 Pasal 24 ayat 1

LPP, LPS, LPPM yang memiliki Satu LPPM, satu Draft RUU LPK, LPB, Hybrid IPM kanal frekuensi 2 Maret LPPM 2017 Pasal 1 ayat Penjelasan Pasal 83 11-15 Pasal 83 Pasal 83 ayat 3 ayat 2 LPP, LPS, LPP, dan LPS yang Draft RUU LPK, LPB, Single LPP TVRI memilik IPP, satu 3 Oktober LPKhusus kanal frekuensi 2017 Pasal 1 ayat 10-15 Pasal 20 ayat 1 Pasal 20 ayat 3 Pasal 20 ayat 3 Sumber: Dokumen Peneliti, (2017) 68 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72 untuk mengatur semua elemen sosial dalam maklumat yang berisi himbauan pemercepatan komunikasi demi mewujudkan keseimbangan proses penyelesaian Revisi UU Penyiaran dan keteraturan antara kepentingan publik dan dan mendukung penggunaan model single kepentingan komersial (konsep public sphere multipleksing. Maklumat tersebut menunjukkan Habermass). Pemerintah tidak hanya sebagai bahwa pemerintah sebagai struktur berusaha regulator dari para perusahaan media, tetapi memperlihatkan pengaruhnya yang lebih juga sebagai sebuah institusi komunikator besar terhadap agen. Varian kajian ekonomi yang mempunyai kekuatan yang sangat besar politik kritis ini dinamakan Strukturalisme, (lihat Curran dan Gurevitch, 1991:24-25). yang cenderung melihat struktur sebagai Selain itu, dalam mukadimah UU No. 32/2002 totalitas yang solid dan permanen. Struktur tentang Penyiaran menuliskan bahwa frekuensi dianggap memiliki superioritas terhadap agen. merupakan sumber daya alam terbatas dan InterplayAgen-Struktur: Win-Win Solution kekayaan nasional yang harus dijaga dan RUU Penyiaran Versi Oktober 2017 dilindungi oleh negara dan dipergunakan Sistem single multipleksing memang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. mengalami penolakan oleh beberapa LPS, Melihat dasar pemikiran tersebut, terutama oleh LPS yang tergabung dalam frekuensi seharusnya dikuasai oleh negara ATVSI. Salah satu faktor yang memberatkan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara, penggunaan sistem single multipleksing dalam hal ini pemerintah. Single multipleksing adalah mubazirnya infrastruktur yang telah merupakan model penyiaran digital yang paling diinvestasikan. Kembali ke tahun 2012, ketika tepat digunakan sebagai dasar sistem penyiaran Kemkominfo mengeluarkan hasil seleksi digital di Indonesia, dimana semua LPS baik LPS untuk mejadi LPPM, LPS-LPS terpilih yang besar, kecil maupun lokal akan menyewa sudah menginvestasikan dananya yang tidak kanal frekuensi kepada pemerintah. Segala sedikit dalam bentuk infrastruktur dalam regulasi terkait penggunaan dan penyewaan kanal rangka menunjang dirinya menjadi LPPM. frekuensi juga akan ditentukan oleh pemerintah. Tentu LPS-LPS ini berharap multi atau hybrid Dilihat dari sisi ekonomi, dengan tidak adanya multipleksing lah yang terpilih agar investasi penguasaan kanal frekuensi oleh LPS, tidak akan yang telah mereka keluarkan tidak mubazir. terjadi oligopoli bisnis penyiaran televisi digital Pada April 2016, untuk pengkajian dan akan menjadikan persaingan bisnis yang adil. lebih mendalam lagi, Kemkominfo kembali Tentunya modelsingle multipleksing akan lebih mengeluarkan Permen Kominfo No. 5/2016 dekat dengan asas open access, equal opportunity tentang Uji Coba Teknologi Telekomunikasi dan fair price sehingga lebih memihak dalam rangka penelitian dan penetapan arah kepada kepentingan publik dibandingkan kebijakan penyelenggaraan penyiaran digital. dengan sistem hybrid atau multimultipleksing. Permen ini men-trigger munculnya stasiun Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai televisi-stasiun televisi digital baru di Indonesia, kecenderungan pendirian terhadap single baik yang tadinya sudah melakukan siaran multipleksing. Hal tersebut dapat dilihat pada teresterial secara analog maupun yang benar- RUU terbaru versi Oktober 2017. Dan untuk benar pemain baru di penyiaran teresterial. menegaskan kembali, baru-baru ini berdasarkan Mereka berani berspekulasi menginvestasikan hasil Forum Koordinasi dan Konsultasi dananya yang tentunya tidak sedikit dalam (FKK) tentang Migrasi Televisi Analog ke membangun infrastruktur, bahkan sekarang Televisi Digital yang diselenggarakan pada sudah berdiri aliansinya yaitu Asosiasi 8 Maret 2018, Menkopolhukam memberikan Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI). Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 69

ATSDI yang beranggotakan sebanyak 65 Ayat 4 menyatakan: stasiun televisi digital tentu muncul sebagai “LPP dalam menjalankan kewenangannya agen baru dalam pembuatan norma penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, wajib menyediakan infrastruktur Penyiaran digital di Indonesia. Berbeda dengan ATVSI, digital dan/atau mengakuisisi infrastruktur ATSDI bergabung bersama ATVNI dan ATVLI Penyiaran Lembaga Penyiaran yang telah sebagai agen yang mendukung penggunaan memiliki IPP di seluruh Wilayah Siar.” single multipleksing. Ini menjadi sesuatau Dari kedua ayat di atas, jelas menjawab akan yang menarik, karena di satu sisi, ATSDI keresahan LPS yang sudah menginvestasikan mendukung single multipleksing, yang mana dalam bentuk infrastruktur, karena negara akan nantinya penyelenggaraan multipleksing mengakuisisinya dan akan digunakan untuk ada di tangan pemerintah, di sisi lain ATSDI menyelenggarakan penyiaran digital di Indonesia. sudah menginvestasikan infrastruktur, Terkait bentuk teknis akuisisi akan diatur lebih yang tentunya juga tidak ingin investasinya lanjut dalam tataran aturan yang lebih teknis mubazir atau sia-sia begitu saja.Kemungkinan nantinya. Yang pasti, infrastruktur LPS yang mubazirnya infrastruktur penyiaran sudah terbangun tidak akan mubazir. Norma ini digital beberapa stasiun televisi menjadi merupakan hasil dari interplay agen dan struktur permasalahan yang serius bagi pemerintah yang saling memberikan pengaruhnya sama kuat sebagai struktur dalam menentukan kebijakan. dan membuahkan hasil yang win-win solution. Konsep strukturasi Giddens digunakan Regulasi Penyiaran Indonesia ke Depannya: oleh Golding-Murdock ketika melihat adanya Sebuah Gagasan interplay, interaksi timbal balik antara struktur Shoemaker-Reese (1996) membagi media dan agen, pengaruh yang sama kuatnya menjadi dua berdasarkan isi konten di dalamnya. antara struktur dan agen yang pada akhirnya Market approach, adalah media yang berisi menghasilkan sebuah norma yang saling konten dengan pendekatan pasar, dengan mengutungkan (win-win solution).Keadaan memberikan apa yang dimau oleh penonton, ini dinamakan juga dengan Konstruktivisme sehingga mendatangkan banyak penonton dan oleh Golding-Murdock (Sudibyo, 2004:3). dengan tujuan akhir yaitu keuntungan yang Seperti yang dapat dilihat pada Tabel berasal dari para pengiklan. Media jenis ini 2,RUU Penyiaran tertanggal Oktober adalah para LPS. Social responsibility approach, 2017 memilih single multipleksing sebagai adalah media yang secara konten lebih model penyiaran digital, akan tetapi RUU memberikan apa yang dibutuhkan penonton, ini juga memperlihatkan hasil adanya daripada apa yang diinginkan penonton. Media interplay antara agen dan struktur melihat jenis ini adalah LPP (Shoemaker-Reese, 1996:7). permasalahan secara dua sisi antara Secara kuantitas, perbandingan LPP dan model multipleksing yang digunakan dan LPS di Indonesia jelas tidak berimbang. mubazirnya infrastruktur yang sudah terlanjur Dominasi LPS menyebabkan konten atau dibangun. Pada Pasal 20 ayat 3 menyatakan: program siaran televisi yang beredar di “Dalam rangka melaksanakan migrasi sebuah wilayah siar, yang mana itu adalah Penyiaran analog ke digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), ranah publik (public sphere), didominasi oleh LPP berwenang: a) mengelola dan program komersial berupa program hiburan. memanfaatkan frekuensi Penyiaran Dari data yang dihimpun, berdasarkan dengan teknologi digital yang jadwal program acara harian beberapa LPS, dimilikinya; dan b) bertindak sebagai pelaksana penyedia infrastruktur perbandingan antara program hiburan dengan Penyiaran digital di setiap Wilayah Siar.” program informasi dalam jadwal siar satu hari 70 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72

Tabel 3. Perbandingan Program Siaran Beberapa Lembaga Penyiaran Lembaga Penyiaran Hiburan Informasi Indosiar 73% 27% ANTV 87% 13% SCTV 73% 27% TransTV 70% 30% RCTI 86% 14% RTV 76% 24% Sumber: www.jadwaltv.net, (2017) terlihat pada tabel 3 yang menunjukkan bahwa kehidupan kepada masyarakat. Misalnya di program hiburan mendominasi program sektor pendidikan disiarkannya TV Edukasi, acara di sebuah lembaga penyiaran yang berada di bawah naungan Kemdikbud yang bisa mengakibatkan terjadinya homogenitas berisi tentang konten-konten pembelajaran konten, yaitu konten hiburan, yang akan siswa-siswa; Di sektor politik, disiarkannya semakin menjauhkan dari terwujudnya KPUTV, berada di bawah naungan Komisi kualitas masyarakat yang berwawasan luas. Pemilihan Umum (KPU) yang berisi informasi Teknologi penyiaran digital yang politik di Indonesia. Dimana KPUTV ini akan memungkinkan menghadirkan banyak saluran menjadi satu-satunya lembaga penyiaran televisi di sebuah wilayah siar menjadi pintu yang boleh menyiarkan program siaran yang masuk regulasi penyiaran untuk mengatur berisi atau bermuatan politik dari partai- kesimbangan konten atau program siaran partai politik. Jadwal penayangan menjadi yang beredar. Golding-Murdock memandang wewenang penuh dari pengelola yaitu KPU, public sphere sebagai ruang yang menyajikan dan akan dibuat seadil-adilnya dimana setiap keseimbangan informasi dalam hal ini partai akan mendapatkan hak yang sama konten atau program siaran, keseimbangan dalam menyiarkan program siarannya; Di antara kepentingan pihak tertentu (privat sektor ekonomi disiarkannya OJKTV, berada atau swasta) dan kepentingan publik. di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan Dan untuk mencapai kondisi komunikasi (OJK) yang berisi informasi mengenai ideal tersebut dibutuhkannya peran sentral jasa keuangan di Indonesia, informasi pemerintah dengan cara pemberdayaan investasi keuangan yang aman untuk agen pemerintah sebagai alat kontrol dan masyarakat Indonesia; Dan tentunya masih pemenuhan kebutuhan informasi untuk banyak lagi LPP yang bisa dikembangkan publik (Curran dan Gurevitch, 1991:24). berdasarkan aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan paparan di atas, menimbang Kehadiran LPP-LPP ini tentunya akan konsep Golding-Murdock terkait pemenuhan mengubah komposisi LPP-LPS menjadi lebih kebutuhan informasi untuk publik dan melihat seimbang. Pada akhirnya juga akan menambah keunggulan teknologi penyiaran digital yang ragam konten atau program acara yang bisa menghadirkan banyak saluran televisi beredar di ranah publik. LPP dengan muatan dalam sebuah wilayah siar, perlu didirikannya konten yang lebih banyak mengedepankan lagi sejumlah Lembaga Penyiaran Publik apa yang dibutuhkan penonton tentunya (LPP) yang tentunya akan memberikan lebih akan lebih banyak berisi informasi-informasi banyak informasi tentang berbagai aspek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Nur Malik Maulana. Menggali Kebijakan Penyiaran Digital ... 71

Simpulan konten/program siaran yang beredar, antara konten Kehadiran regulasi digitalisasi penyiaran dengan pendekatan pasar (market approach) dan sangat dinantikan semua elemen penyiaran konten dengan pendekatan tanggung jawab sosial di Indonesia. Regulasi ini merupakan pintu (social responsibility approach). Tentunya inilah masuk masa depan penyiaran Indonesia. esensi yang sesungguhnya dari penyiaran dengan Lamanya proses pembahasan regulasi ini tak diversity of ownership dan diversity of content. luput dari pengaruh dinamika ekonomi politik yang ada di belakangnya. Pengaruh agen, Daftar Pustaka yaitu para lembaga penyiaran, sangatlah besar Ashrianto, Panji Dwi. (2015). Studi dan membuat negara atau pemerintah sebagai Kesiapan Lembaga Penyiaran struktur tidak bisa semudah membalikkan Terhadap Penerapam Sistem Penyiaran telapak tangan dalam membuat norma/aturan Berteknologi Digital di Yogyakarta. yang mengatur keberlangsungan ekosistem Jurnal Ilmu Komunikasi, 13(2), 158-172. sosial yang terbentuk. Hal ini menunjukkan Adnjani, Made Dwi dan Mubarok. (2018). adanya proses saling pengaruh antara struktur Strategi Sosialisasi Migrasi Sistem dan agen, proses ini oleh Giddens disebut Penyiaran Analog Ke Digital Di Jawa dengan strukturasi. Dalam perjalanan waktu Tengah. Jurnal ASPIKOM, 3(4), 755-766. pembuatan regulasi digitalisasi penyiaran ini, Budiman, Ahmad. (2015). Model Pengelolaan menurut pandangan ekonomi politik kritis Digitalisasi Penyiaran di Indonesia. terjadi varian instrumentalisme, strukturalisme Jurnal Politica, 6(2), 107-122. maupun konstruktivisme dengan interplaynya. Djamal, Hidajanto dan Fachuddin, Andi. (2011). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat Dasar-Dasar Penyiaran Sejarah Organisasi disimpulkan bahwa penggunaan pertimbangan Operasional dan Regulasi. Jakarta: Kencana terciptanya ranah publik (public sphere) yang Eadie, William F. (2009). 21st Century berisi keseimbangan antara kepentingan Communication: A reference handbook. privat dan kepentingan publik, dan juga tidak London: Sage Publication, Inc. terciptanya oligopoli bisnis dalam penyiaran Golding, Peter & Graham Murdock. (1991). Indonesia, single multipleksing merupakan “Culture, Communications and Political model yang paling ideal untuk penyiaran Economy”. James Curran and Michael digital di Indonesia, dimana frekuensi dikuasai Gurevitch (Eds.). Mass Media and Society. oleh negara dan pengelolaannya dilakukan London: Edward Arnold: hal. 15-32 oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Harus McQuail, Denis (2010). Mass tercipta juga interplay antara agen dan struktur Communication Theory. London: Sage agar tercipta norma/aturan dengan dasar win- Mosco,Vincent. (2009). The Political win solutionuntuk menjaga keberlangsungan Economy of Communication. 2nd agen dan struktur dalam menjalankan perannya ed. London: Sage Publications. masing-masing dalam penyiaran di Indonesia. Peraturan Menteri. (2011). Peraturan Penelitian ini memberikan rekomendasi Menteri (Permen) Kominfo No. 22 berupa kebijakan bahwa ekonomi politik tahun 2011 tentang Penyelenggaraan seharusnya diletakkan untuk melindungi Digitalisasi Penyiaran. kepentingan publik. Regulasi penyiaran digital Sekretariat Negara. Jakarta. yang nantinya terbentuk haruslah didasari Peraturan Menteri. (2011). Peraturan keseimbangan antara kepentingan privat dan Menteri (Permen) Kominfo No. 23 kepentingan publik, yaitu dengan seimbangnya tahun 2011 tentang Rencana Induk 72 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 17 Nomor 1, April 2019, halaman 60-72

(Masterplan) Frekuensi Radio. Sitepu, Mehulika. (2018). Menjamurnya Prabowo, Agung dan Arofah, Kurnia. (2017). situs berita: Bagaimana Agar Media Media Sosial Instagram Sebagai Sarana Digital Dapat Bertahan?http://www. Sosialisasi Kebijakan Penyiaran Digital. bbc.com/indonesia/majalah-42659511 Jurnal ASPIKOM, 3(2), 256-269. Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Prabowo, Agung. (2012). Era Penyiaran Digital: Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS Pengembangan atau Pemberangusan Wasko, Janet. (2004). “The Political TV Lokal dan TV Komunitas?. Economy of Communications”. Jurnal Komunikasi, 1(4), 301-314. Dalam John D.H.Downing, Denis Republik Indonesia. (2002). Undang McQuail, Philip Schlesinger, & Ellen Undang No 32 tahun 2002 tentang Wartella (Eds.), The Sage Handbook Penyiaran. Lembaran Negara RI Tahun of Media Studies. Thousand Oaks: 2002. Sekretariat Negara. Jakarta. Sage Publications: hal. 309-330.