ISSN : 1410 - 4350

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan VolumeAnalisa XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 ISSN : 1410 - 4350

Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan VolumeAnalisa XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Penanggung Jawab Drs. H. Arifuddin Ismail, M.Pd

Mitra Bestari Prof. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A. (Antropologi Agama), Prof. Dr. H. Muhtarom HM. (Naskah Pesantren), Dr. Iwan Junaedi (Pendidikan)

Pemimpin Redaksi Drs. H. Ahmad Sodli, M. Ag. (Pendidikan Keagamaan)

Redaktur Pelaksana Moh. Hasim, S.Sos.I, M.Pd. (Naskah Kontemporer)

Anggota Redaksi Drs. Mulyani Mudis Taruna, M. Pd., (Pendidikan Keagamaan) Drs. R. Aris Hidayat, M. Pd. (Lektur dan Khazanah Keagamaan) Arnis Rachmadhani, S.S., M.S.I. (Kehidupan Keagamaan) Samidi, S.Ag., M.S.I. (Lektur dan Khasanah Keagamaan)

Administrasi Umi Muzayanah, S.Si. (Dokumentasi dan Arsip) Titi Isnaini Fauzah, S.Sos. (Distribusi) Ika Fitriani, S.Sos. (Bendahara Redaksi) Nur Laili Noviani, S.Psi. (Administrasi Umum)

Layouter Gatot Tri Laksono Moch. Luluil Maknun, S.S. Dedik Subroto

Diterbitkan Oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Alamat Redaksi Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan Semarang. Telp. (024) 7601327. Fax (024) 7611386 DAFTAR ISI

Kata Pengantar — vii-viii PENELITIAN MUKHTARUDDIN Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning (Studi di Pondok Pesantren Al- Anwar Saran, PP API Magelang, dan PP Al-Fadllu Kaliwungu) :: 164- 179 MULYANI MUDIS TARUNA Perbedaan Kompetensi Guru Pendidikan Agama (Studi Tentang Kompetensi Guru PAI Tersertifikasi dan Belum Tersertifikasi di MTs Kabupaten Banjar Selatan) :: 180-196 A.M. WIBOWO Dampak Pendidikan Agama Islam terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa (Uji Perbedaan Dampak PAI terhadap Jenis Kelamin dan Jurusan Peserta Didik Pada Madrasah Aliyah Negeri di Propinsi Kalimantan Tengah) :: 197-210 MOH. HASIM Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa :: 211-227 ROCH. ARIS HIDAYAT Masjid Sebagai Pelestari Tradisi (Kajian Fungsi Masjid Wonokromo Bantul dalam Perspektif Historis) :: 228-246 SULAIMAN Problematika Pelayanan Kantor Urusan Agama Anamuban Timur Nusa Tenggara Timur :: 247-259 JOKO TRIHARYANTO Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur :: 260-272 ABDUL ROHMAN Persepsi Kelompok Syahadatain Terhadap Nilai-nilai Toleransi di Kabupaten Banyumas :: 273-283

BOOK REVIEW MUSTOLEHUDIN Kearifan Lokal dalam Ajaran Al-Qur’an :: 284-287

ANALISA CORNER MUDJAHIRIN tHOHIR Seni Menyusun Proposal Penelitian :: 288-292 INDEKS ABSTRAK :: 293-301 INDEKS PENULIS :: 302-303 INDEKS ISI :: 304-306 BIODATA PENULIS :: 307-309 PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH :: 310-311

clxi Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 PENGANTAR REDAKSI

Alhamdulillah, puji syukur atas limpahan rahmat dari Allah. Dengan hidayah dan inayah-Nya Redaktur Jurnal Analisa dapat menyelesaikan terbitan Volume XVIII Nomor 02 tahun 2011 tanpa ada sesuatu aral yang melintang. Terbitan ini, Redaksi mencoba untuk melakukan langkah-langkah terbaik, dengan melakukan seleksi ketat terhadap naskah-naskah yang ma- suk, meningkatkan ketelitian dalam tata lay out, dan penambahan rubrikasi baru yaitu “Analisa Corner” dan “Book Review”. Karakteristik rubrik “Analisa Corner” berisi seputar dunia penelitiaan, misalnya perkembangan metodologi terbaru, alur pelaksanaan penelitian, serta teknik dan penyusunan laporan. Adapun rubrik “Book Review” adalah telaah mendalam atas buku terbitan baru guna memperkaya referensi atau wawasan para peneliti. Dua rubrik baru tersebut dimaksudkan untuk memberikan nuansa semi- ilmiah dan ringan, sehingga Jurnal Analisa tidak hanya dapat dijangkau atau dinikmati oleh kalangan akademisi tetapi juga masyarakat luas. Namun, un- tuk menjaga konsistensi pemuatan artikel dan menjaga keseimbangan antar- bidang kajian penelitian, Jurnal Analisa tetap memuat 10 tulisan yang terdiri atas 8 artikel hasil penelitian, 1 artikel “Book Review”, dan 1 artikel “Analisa Corner”. Dari 8 tulisan penelitian semuanya disesuaikan dengan tiga bidang kajian penelitian pada Balai Litbang Agama Semarang, yaitu penelitian bi- dang Lektur dan Khazanah Keagamaan, bidang Pendidikan Agama dan Ke- agamaan, dan bidang Kehidupan Keagamaan. Kajian pokok pertama yang disajikan kali ini yaitu hasil penelitian bi- dang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Artikel Mukhtaruddin mengawali sajian jurnal ini, dengan judul “Standarisasi Penguasaan Ktiab Kuning (Studi di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, PP API Magelang, dan PP Al-Fadllu Kaliwungu)”. Artikel ini mencoba untuk mendeskripsikan kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan di ketiga pondok pesantren tersebut. Artikel Mulyani Mudis Taruna berjudul “Perbedaan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Is- lam (Studi tentang Komptensi Guru PAI Tersertifikasi dan Belum Tersertifika- si di MTs Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan)”, mengkaji tentang dampak sertifikasi bagi Guru Pendidikan Agama Islam, dan hasil pembelajarannya. Artikel ketiga berjudul “Dampak Pendidikan Agama Islam Terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa”, yang ditulis oleh A.M. Wibowo menguji perbedaan dampak Pendidikan Agama Islam terhadap perilaku reproduksi ditinjau dari jenis kelamin dan jurusan peserta didik di Madrasah Aliyah. Sementara itu, dua kajian tentang Lektur dan Khazanah Keagamaan kali ini mengungkap tentang masjid. Moh. Hasim mengungkap simbol-sim- bol harmoni kehidupan yang ada pada Masjid Pakualaman dengan tulisan berjudul “Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa”. Sedangkan artikel R. Aris Hidayat berjudul “Masjid sebagai Pelestari

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 clxii Mukhtaruddin

Tradisi”, mengungkapkan fungsi masjid yang masih melestarikan tradisi-tra- disi Jawa. Berbagai problematika Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mengatasi kehidup-an keagamaan dan respon masyarakat terhadap pelayanannya di Ka- bupaten Timor Tengah, mencoba diungkap oleh Sulaiman dalam artikelnya berjudul “Problematika Pelayanan Kantor Urusan Agama Anamuban Timur Nusa Tenggara Timur”. Masih tentang pelayanan KUA, Joko Tri Haryanto dengan artikel berjudul “Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur”, mengungkap berbagai keterbatasan yang dimiliki KUA dalam memberikan pelayanan dan memecahkan berbagai persoalan. Artikel terakhir bidang Kehidupan Keagamaan ditulis oleh Abdul Rohman dengan judul “Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Kabupatan Banyumas.” Dalam tulisan ini dipaparkan mengenai karakteristik anggota Syahadatain, pandangan, dan konsep toleransi terha- dap kelompok lain. Dalam rubrik “Book Review”, Mustolehuddin mengkaji buku berjudul “Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal”. Tulisan tersebut menyoroti relevansi antara nilai-nilai Al-Qur’an yang bersifat global-normatif dengan nilai-nilai budaya lokal masyarakat yang bersifat lokal-historis, sebagaimana termuat dalam Tafsir Al-Huda. Jurnal ini ditutup dengan artikel Mudjahirin Thohir dengan judul “Seni Menyusun Proposal Penelitian”, yang menyajikan kiat- kiat dalam menyusun proposal penelitian yang baik. Demikian sekilas tentang isi terbitan Jurnal Analisa kali ini, sebagai peng- antar redaksi. Semoga terbitan kali ini bisa memberikan manfaat sebesar-be- sarnya bagi pembaca.

clxiii Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Mukhtaruddin

PENELITIAN

STANDARISASI PENGUASAAN KITAB KUNING (Studi di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, PP API Magelang, dan PP Al-Fadllu Kaliwungu)

MUKHTARUDDIN Peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 11 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Salah satu tujuan dari penelitian adalah mendeskripsikan kitab-kitab kuning yang menjadi standar rujukan pembelajaran di pondok pesantren salaf. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Tempat penelitian adalah Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Pondok Pesantren “API” Tegalrejo, dan Pondok Pesantren Al-Fadllu Kaliwungu. Ha- sil penelitian menunjukkan bahwa kitab-kitab kuning yang menjadi standar rujukan/kajian pada tiga pondok yang menjadi tempat penelitian antara lain mencakup Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu, Shorof, Tauhid, Balaghoh, Man- tiq, Khulashoh/Sejarah, Falak, Tafsir dan Waris. Kitab-kitab kuning yang dipelajari di tiga pondok pesantren tersebut hampir sama, perbedaannya adalah untuk kitab-kitab tertentu yang berjenis sama diberikan pada jen- jang yang berbeda. Standar kitab yang digunakan di pondok pesantren ri- set berbeda dengan standar yang dikeluarkan Kementerian Agama untuk masing-ma-sing jenjang pada pondok pesantren salaf. Kata kunci: Standarisasi, Pondok Pesantren, Salaf.

Abstract This is a study of (literally means “yellow books”) taught in three pon- dok pesantren (islamic boarding houses): Al-Anwar (Sarang), “API” (Tegal- rejo), and Al-Fadllu (Kaliwungu). There are many (such as fiqih,ushul fiqih, nahwu, and so forth) which are studied in these three Islamic boarding hou-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 164 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

ses, either in classical system or non-classical one. There are three important findings of this research. Firstly, the three Islamic boarding houses teach the same kitabs and before being taught to the students, the kitabs must get the approval from the top leading kyai. Secondly, the main kitabs taught in the three pondok pesantrens are dealing with Arabic language rules (such as nahwu, sharaf, balaghah, and mantiq). Thirdly, the three pondok pesan- trens belong to Ahlussunnah wal Jamaah. Keywords: Standardisation, Pondok Pesantren, Salaf.

Pendahuluan Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan di Indo- nesia yang paling tua. Lembaga ini khusus mengkaji dan mengembangkan. Dalam perkembangannya, pondok pesantren tidak hanya fokus pada kajian, melainkan mengembangkan kajian ilmu-ilmu yang bersifat umum atau yang dikembangkan pada sekolah umum. Dalam kaitan dengan peran tradisionalnya, pesantren kerap diidentifi- kasi memiliki peran penting dalam masyarakat, yaitu: 1) sebagai pusat ber- langsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional (transmission of Islamic knowledge), 2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradi- sional (maintenance of Islamic tradition), 3) sebagai pusat reproduksi ulama (reproduction of ulama) (Rahim, 2001). Akibat dari hal itu, pondok pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yakni pondok pesantren salaf dan pondok pesantren kholaf (modern) atau pondok pesantren yang hanya mengajarkan dan pondok pesantren yang membuka sekolah formal. Pondok pesantren yang mengikuti perkembangan zaman dengan mem- buka lembaga formal tidak khawatir akan tertinggal dengan model lembaga formal dewasa ini. Pondok pesantren tersebut lebih dapat beradaptasi ter- hadap perkembangan pendidikan, tetapi tetap mempertahankan tradisi nya. Keadaaan yang demikianlah merupakan kekuatan pondok pesantren menjadi sub sistem pendidikan nasional dan sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat. Dinamika pengembangan pondok pesantren juga nampak dari model pengembangan yang tetap mempertahankan prinsip awal pendiriannya, yakni pengkajian dan pengembangan baik pada pondok pesantren salafiyah maupun pondok pesantren kholafiyah. Ketetapan pada tersebut menjadikan pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri. Hal ini ditambah dengan penekanan yang dipelajari oleh pondok pesantren. Sebagai gambaran ada pondok pesantren yang menekankan pada kajian kitab fikih, kitabtafsir, atau kitab tasawuf. Pondok pesantren yang memiliki kajian-kajian kitab khusus secara oto- matis memiliki standar yang menjadi rujukan pondok pesantren tersebut. Selain standarisasi kajian kitab yang menjadi ciri khas pondok pesantren

165 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

juga penguasaan kitab sebagai kajian yang khas memunculkan standarisasi pada jenjang pondok pesantren tersebut. Sebagai contoh seperti tingkat Ula, Wustho, ‘Ulya, dan Ma’had ‘Aly; atau tingkat Isti’dadiyah/I’dadiyah/Persiap- an, Muhadhoroh, dan Ma’had ‘Aly; atau tingkat Al-Jurmiyah, Ash-Shorof, Alfiyah Ibnu Malik, Fath’ul Wahab, Al-Machaly, Al-Buchori, dan Ihya ‘Ulu- muddin. Menurut Masyhuri (1989) penggunaan pada setiap jenjang banyak tergantung pada kiai atau guru yang mengajarkannya. Sehingga standarisasi memerlukan kajian yang lebih mendalam. Syukur (2011) menyatakan bahwa dengan corak pemikiran yang kultural sulit mencari standar karena terserah kyai untuk menentukan . Pengakuan kesetaraan terhadap lulusan pondok pesantren dan pendidi- kan diniyah diiringi dengan ketetapan dalam standar dalam berbagai aspek yang harus dipenuhi. Standar yang ditetapkan untuk menentukan tingkatan kelulusan, baik tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah atas sangat tergantung pada standar yang telah dikuasai pada tingkatan tersebut, meski- pun jangka waktu balajar di pondok pesantren menjadi persyaratan dan juga menjadi ketetapan. Ketentuan legalisasi ijazah/syahadah bagi lulusan pondok pesantren dan pendidikan diniyah yang telah ditetapkan oleh Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Pendidikan Islam dilakukan melalui prosedur dan syarat- syarat yang telah ditetapkan. Prosedur dan syarat tersebut adalah sebagai berikut. 1. Lama belajar di pondok pesantren/pendidikan diniyah sekurang-kurang- nya: (a) untuk kesetaraaan SD/MI sekurang-kurangnya 6 tahun; (b) untuk kesetaraan SMP/MTs sekurang-kurangnya 9 tahun atau 3 tahun setelah ta- mat SD/MI; (c) untuk kesetaraan SMA/MA sekurang-kurangnya 12 tahun atau 6 tahun setelah tamat SD/MI atau 3 tahun setelah tamat SMP/MTs; dan (d) untuk kesetaraan dengan lembaga pendidikan dasar luar negeri sekurang-kurangnya 12 tahun atau 6 tahun setelah tamat SMP/MTs dan sederajat. 2. Memiliki ijazah syahadah dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. 3. Kitab-kitab kuning yang dipelajari serendah-rendahnya mencakup semua bidang studi dan acuan kitab-kitabnya dan/atau yang sederajat isinya se- bagai berikut: a. Tingkat Dasar/MI dan sederajat (1) Al-Qur’an: Khatam 30 juz binna- dar dengan tajwid yang bagus; (2) Tauhid: ‘Aqidat al-‘Awam/Umm al- Baroohim; (3). Fiqih: Safinat al-Najah/Sullam at-Taufiq; (4) Akhlak: Al-Akhlaaku li al-Baniin/Banat; (5) Nahwu: Al-Jurumiyah/Nadzom al-Imriti; dan (6). Sharaf: Matan al-Bina wa al-Asas/Al-Amtsilati at- Tashrifiyah. b. Tingkat Menengah Pertama/SPT/MTs (1) Al-Qur’an: Hafal juz 30 de- ngan tajwid yang bagus; (2) Tauhid: Kifaayatu al-‘Awam/Al-Sanusiyah; (3) Fiqih: Fath al-Qorib/Kifaayat al-Akhyar; (4) Akhlak: Bidayatu al-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 166 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

Hidayah/Ta’lim al-Muta’alim; (5) Nahwu: Mutammimah/Al-Asymawi; (6) Shoraf: Nadzom al-Maqsud/Al-Kailani; (7) Tarikh: Nur al-Yaqin; dan (8) Tajwid: Hidayat al-Mustafidz/At-Tibyan fi Hamalat al-Qur’an. c. Tingkat Menengah Atas/SMA/MA (1) Tafsir: Jalalain; (2) Ilm Tafsir: Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an/Al-Itqon; (3) Hadits: Riyad as-Sholihin/ Bulugh al-Maram; (4) Ilmu Hadits: Al-Baiquniyyah/Al-Manhal al- Lathief; (5) Fiqih: Fath al-Mu’in/I’anat at-Tholibin/ Muhadzdzab; (6) Ushul Fiqih: Al-Waraqat/Al-Luma’/Al-Asybah wa an-Nadzoir; (7) Tauhid: Al-Husun al-Hamidiyyah/Al-Milal wa an-Nihal; (8) Nahwu: Alfiyah Ibnu Malik/Syarh Ibn Aqil; (9). Sharaf: Al-I’lal/Qowa’id al- Lughoh al-Arobiyyah; (10) Tarikh: Ismam al-Wafaq/Tarikh Tasyri’; dan (11) Balaghoh: Al-Jauhar al-Makmun. Dengan latarbelakang masalah yang telah diuraikan diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang bagaimana standar kitab yang dijadikan stan- dar oleh pondok pesantren salaf yang tetap mempertahankan tradisi nya. Hal tersebut dikarenakan penentuan yang dijadikan standar oleh pondok pesantren akan mempengaruhi tingkatan kelas atau madrasah belum dike- nal. Padahal, surat edaran Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Nomor:Dj.11.11/V/PP.007/AZ/28/04 tanggal 9 jaunari 2004 menetapkan kebijakan terhadap lulusan pondok pesantren dan pendidikan diniyah yang meliputi pengakuan kesetaraan lulusan dan legalisasi ijazah/syahadah pon- dok pesantren dan pendidikan diniyah. Penelitian ini diharapkan dapat (1) mendeskripsikan kitab-kitab yang menjadi standar rujukan pembelajaran di tiap-tiap tingkat pada Pondok Pesantren, (2) mengetahui penetapan standar yang dijadikan rujukan di tiap-tiap tingkat pada Pondok Pesantren, (3) mengetahui Pondok Pesantren dalam menentukan standar , dan (4) mengetahui orientasi Pondok Pesantren terhadap yang menjadi standar kajian pada Pondok Pesantren. Batasan penelitian tentang standarisasi di pondok pesantren hanya diba- tasi pada pembelajaran yang dijadikan standar bagi pondok pesantren untuk melanjutkan tradisi pengembangan keilmuan agama. Fokus penelitian adalah semua aspek yang terkait dengan proses pembelajaran di pondok pesantren. Fokus yang dimaksud sebagai berikut (1) yang menjadi fokus penelitian adalah yang biasa diajarkan di pondok pesantren salaf, (2) pondok pesantren yang diteliti adalah pondok pesantren salaf yang mengajarkan sebagai kitab ru- jukan utama, (3) pondok pesantren salaf yang diteliti telah membuka pem- belajaran dengan sistem klasikal, baik Ula, Wustho, ‘Ulya, maupun Ma’had ‘Aly, (4) pada setiap jenjang kelas memiliki tingkatan yang dipelajari, dan (5) pondok pesantren salaf yang diteliti memiliki model evaluasi untuk menetap- kan tingkatan kelas berikutnya.

Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di 3 pondok pesantren. Ketiga pondok pesantren

167 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

yang dimaksud adalah Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang; Pon- dok Pesantren “API” Tegalrejo, Magelang; dan Pondok Pesantren Al-Fadllu Kaliwungu, Kendal. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan datanya adalah wawancara, studi dokumen, dan pengamatan. Analisis data penelitian ini adalah 1) reduksi data; 2) pengkajian data; dan 3) penarikan kesimpulan (Sugiyono: 2010).

Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian Sebagaimana diketahui bahwa pondok pesantren akan tergantung pada siapa yang mendirikan. Oleh karena itu, antara satu pondok pesantren de- ngan pondok pesantren yang lainnya sulit untuk menyatukan dalam sistem pengelolaan, terutama sistem pengajarannya. Dengan demikian, maka ketiga pondok pesantren yang diteliti tentu saja akan berbeda-beda. a. Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang berdiri pada tahun 1967. Pondok pesantren ini didirikan oleh KH. Maimoen Zubair yang sampai seka- rang masih menjadi pengasuh pondok pesantren tersebut. Jumlah santri pondok pesantren ini sebanyak kurang lebih 2.147 orang santri putra dan putri. Jumlah Ustadz dan Ustadzah di pondok pesantren ini kurang lebih 88 orang Ustadz dan Ustadzah. Pendidikan klasikal yang diselenggarakan pondok pesantren ini terdiri atas 3 tingkatan. Keempat tingkatan yang dimaksud adalah Tingkat Persiap- an I’dadiyah selama satu tahun, Tingkat Muhadloroh selama 6 tahun yang dapat dikategorikan menjadi Tsanawiyah selama 3 tahun dan Aliyah selama 3 tahun, dan Tingkat Ma’had Aly selama 2 tahun. Kitab-kitab yang dikaji pada Tingkat I’dadiyah/Persiapan mencakup kitab Tauhid, Fiqih, Nahwu, Shorof, Akhlak, I’rob, dan Tajwid. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Aqidat al-Awam. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Matn al- Ghoyah wa at-Taqri. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Atsimar al-Janiyyah. Kitab Shorof yang dikaji adalah Al-Amtsilat at-Tashrifiyyah .I Kitab Akhlak yang dikaji adalah Tanbih al-Muta’allim. Kitab I’rob yang dikaji adalah Al- I’rob li al-Alfadh Mutthoridah. Kitab Tajwid yang dikaji adalah Syifa’ al-Ja- nan. Kitab I’lal yang dikaji adalah Al-I’lal li al-Amtsilah. Kitab-kitab yang dikaji pada Tingkat Muhadloroh/Tsanawiyah (kelas I sampai III) mencakup kitab Tauhid, Fiqih, Nahwu, Shorof, Akhlak, I’rob, Tajwid, Qowa’idul I’lal, I’lal, Hadits, Qowa’idu Asshorfi, Khulashoh/Sejarah, dan Ilmu Faroid. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Al-Khoridat al-Abahiyyah, Ba’d al-Amali, dan Jauhar at-Tauhid. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Fath al-Qorib I/II dan Fath al-Mu’in I. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Al-Jurumi- yah, Al-Amrithy, dan Ibnu ‘Aqil I. Kitab Shorof yang dikaji adalah Al-Amtsi-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 168 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

lat at-Tasrifiyah ,II Al-Kailani, dan Nadhm at-Tarshif. Kitab Akhlak yang dikaji adalah Washoya, Ta’lim al-Muta’alim, dan Minhaj as-Sa’adah. Kitab I’rob yang dikaji adalah Al-Kafrawy dan Kifayah al-Ashkhab. Kitab Tajwid yang dikaji adalah Hidayat al-Mustafid dan Al-Jazariyah. Kitab Qowa’idul I’lal yang dikaji adalah Qowa’id al-I’lal. Kitab I’lal yang dikaji adalah Al-I’lal li al-Amtsilah. Kitab Hadits yang dikaji adalah Al-Arba’in an-Nawawi dan Mukhtashor Abi Jamroh. Kitab Qowa’idul Shorfiyah yang dikaji adalah Al- Qowa’id as-Shorfiyah. Kitab Khulashoh/ Sejarah yang dikaji adalah Khu- lashoh Nur al-Yaqin I-III. Kitab Ilmu Faro’id yang dikaji adalah At-Takmilah li al-Faroidl dan Hifduttaots. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Muhadloroh/Aliyah (kelas IV sam- pai VI) mencakup Tauhid, Fiqih, Nahwu, Qowa’idul Fiqih, Ilmu Hadits, Tafsir, Usul Fiqih, Hadits, Mantiq, Balaghoh, Khulashoh/Sejarah, Ilmu Tafsir, Ta- sawuf, ‘Arud, dan Falaq. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Kifayat al-‘Awwam, Umm al-Barohim, dan Al-Khusun al-Hamidiyah. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Fath al-Mu’in II dan Minhaj at-Tholibin I-II. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Ibnu ‘Aqil II, Syudzurudzahab, dan Mughn al-Labib. Kitab Qowa’idul Fiqih yang dikaji adalah Al-Mawahib as-Saniyah, Al-Asybah wa an-Nadloir I-II. Kitab Ilmu Hadits yang dikaji adalah Al-Qowa’id Asasiyah, Al-Baiquni- yah, dan Al-Manh al-Lathif. Kitab Tafsir yang dikaji adalah Tafsir Jalalain I-III. Kitab Ushul Fiqih yang dikaji adalah Lathoif al-Isyaroh, Lubb al-Ushul, dan Ghoyat al-Wushul. Kitab Hadits yang dikaji adalah Bulugh al-Marom I-II dan At-Tajrid as-Shorih. Kitab Mantiq yang dikaji adalah Idlot al-Mub- ham dan Sullam al-Mulawy. Kitab Balaghoh yang dikaji adalah Husnu al- Shiya-ghoh, Al-Jauharu al-Maknun, dan Talhis al-Miftah. Kitab Khulashoh/ Sejarah yang dikaji adalah Tarikh al-Hawadits dan Fiqh al-Siro. Kitab Ilmu Tafsir yang dikaji adalah Faidu al-Khobir dan At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Kitab Tasawuf yang dikaji adalah Minhaj at-Tholibin. Kitab ‘Arudl yang dikaji adalah Al-Mukhtashor as-Syafi. Kitab Falaq yang dikaji adalah Risalat al- Anwar I-II. Kitab-kitab yang dikaji pada Tingkat Ma’had Aly adalah kitab-kitab Tafsir, Hadits, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Fiqih, Fiqh Muqorin, Qowa’idul Fiqh, dan Khulashoh/Tarikh/Sejarah. Kitab Tafsir yang dikaji adalah Tafsir Ayatu al-Akhkam. Kitab Hadits yang dikaji adalah Akhkam al-Akhkam. Kitab Ulumul Qur’an yang dikaji adalah ‘Ulum al-Qur’an. Kitab Ushul Fiqih yang dikaji adalah Al-Wajizd al-Fiqhi dan Jam’ al-Jawami’. Kitab Fiqih yang di- kaji adalah Syarh al-Makhally I-IV. Kitab Fiqhi Muqorin yang dikaji adalah Rohmat al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah. Kitab Qowa’idul Fiqhi yang dikaji adalah Qowa’id al-Akhkam fi Masholih al-Anam. Kitab Tarikh/Khulashoh/ Sejarah yang dikaji adalah Al-Sirot an-Nabawiyyah. Disamping kitab-kitab yang diajarkan di klasikal tersebut, pondok pesantren ini juga masih banyak mengkaji kitab-kitab yang lainnya. Kajian tersebut dilakukan di luar kelas mulai dari ba’da salat Subuh sampai ba’da salat ‘Isya.

169 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

Kegiatan keagamaan yang lain juga dilakukan di pondok pesantren ini. Kegiatan yang dimaksud antara lain salat lima waktu berjamaah, salat tahajud, salat Jum’at, salat tarawih, tadarus Al-Qur’an, mengkaji kitab khusus bulan Ramadhan, khaul, peningkatan hafalan akhirussanah, dan peringatan hari-hari besar Islam. Peringatan hari besar Islam antara lain memperingati 1 Muharrom, Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj dan Idul Adha. Penentu atau penyusun kurikulum tersebut adalah beliau KH. Maimoen Zubair sebagai pendiri sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren. Beliau sangat memahami seluruh kitab-kitab tersebut sehingga beliau mampu me- nentukan kitab-kitab acuan sebagai pembelajaran untuk tiap-tiap tingkatan, baik jenjang maupun kelas. Penetapan standar kitab yang menjadi acuan dalam pembelajaran di tiap-tiap jenjang dan kelas tersebut telah disesuaikan dengan kondisi santri, seperti tingkat usia, tingkat kemampuan pemahaman, dan sebagainya. Sebagai contoh untuk santri tingkat I’dadiyyah dalam mene- tapkan bidang studi relatif lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat Muha- dloroh, dan kitab-kitab yang dipelajari pun masih berkategori dasar. Kitab-kitab acuan untuk tiap-tiap tingkatan dan kelas pada Pondok Pesantren Al-Anwar menyesuaikan pula dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Agama. Namun, Pondok Pesantren Al-Anwar dalam jenis mata pelajaran lebih bervariasi dan jumlah judul kitab acuan dalam pembela- jaran pun lebih banyak. Para kyai pada umumnya dibesarkan dan dididik dalam lingkung- an pesantren yang memegang teguh faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Ketegasan para kyai mengikuti faham tersebut secara jelas tercermin dari kitab-kitab yang diajarkan di pesantren. Oleh karena itu, mereka menguta- makan ajaran-ajar-an serta pendekatan tentang hukum-hukum Islam yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya serta kitab-kitab mengenai tasawuf. Keadaan yang demikian tercermin pada kyai pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Sarang yang memegang teguh faham Ahlussun- nah wal Jama’ah. Faham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah faham yang berpegang teguh pada: 1) dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzab empat yang cenderung penganut kuat dari Madzhab Syafi’i; 2) dalam soal-soal Tauhid, menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dan 3) dalam bidang Tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Kosim al-Junaidy. Pondok Pesantren Al-Anwar dalam menetapkan standar sebagai acuan dalam pembelajaran di pesantren berorientasi kepada faham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kriteria terse- but. Evaluasi terhadap hasil belajar bertujuan untuk mengetahui hasil belajar santri/siswa. Dengan evaluasi, guru dapat mengetahui tingkat penguasaan materi peserta didik atau santri/siswa baik menyangkut aspek materi, sosial, emosi, spiritual dan moral.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 170 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

Evaluasi hasil belajar yang diterapkan di Pondok Pesantren Al-Anwar antara lain adalah evaluasi berbasis kelas, meliputi ulangan harian, semester dan ujian akhir. Evaluasi tersebut berbentuk tertulis maupun lisan serta hafa- lan. Tes hafalan dilakukan untuk bidang studi tertentu yang disesuaikan de- ngan materi pelajaran yang diajarkan pada tiap kelas, yakni meliputi Nahwu, Sharaf, Tauhid, Tajwid, Balaghoh, Manthiq, dan Al-Qur’an. Ketentuan kenaikan kelas santri, Pondok Pesantren Al-Anwar telah menerapkan standar penilaian sebagai berikut. Pertama adalah lulus 100% tes hafalan. Kedua adalah memenuhi nilai minimal hasil ulangan tertulis yang digabungkan dengan nilai evaluasi harian. Nilai tersebut minimal adalah 5,3. Ketentuan kelulusan di Pondok Pesantren Al-Anwar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. Pertama adalah lulus 100% tes hafalan. Kedua adalah memenuhi nilai minimal hasil ujian tertulis yang digabungkan dengan nilai evaluasi harian. Nilai minimal adalah mencapai 6,0. b. Pondok Pesantren “API” Tegalrejo, Magelang Pondok pesantren “API” (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo, Magelang berdiri pada tanggal 15 September 1944. Pendiri pondok pesantren ini adalah KH. Chudlori bin Ichsan. Pada saat ini pondok pesantren ini dipimpin oleh keturunan dari KH. Chudlori yang terdiri atas adik-adik, menantu, dan cucu. Jumlah santri di pondok pesantren ini kurang lebih 3.500 orang santri. Pendidikan klasikal yang diselenggarakan oleh pondok pesantren ini ada 3 tingkatan. Ketiga tingkatan yang dimaksud adalah tingkat Ibtidaiyah, tingkat Tsanawiyah, dan tingkat Aliyah. Dilihat dari kitab, tingkat Ibtidaiyah terdiri atas kelas Ibtidaiyah dan kelas Jurmiyah; tingkat Tsanawiyah terdiri atas kelas Ash Shorof, kelas Alfiyah, dan kelas Alfiyah; serta tingkat Aliyah terdiri atas kelas Al-Machalli, kelas Al-Buchori, dan kelas Ichya ‘Ulumuddin. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Ibtidaiyah mencakup Fiqih, Tauhid, Akhlak, Tajwid, Nahwu, Tarikh, dan Al-Qur’an. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Safinat an-Najah, Fasholatan, dan Fiqih Jawan. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Aqidatul Awam. Kitab Akhlak yang dikaji adalah Ta’lim al-Muta’alim. Kitab Tajwid yang dikaji adalah Hidayat as-Shibyan dan Tajwid Jawan. Kitab Tarikh yang dikaji adalah Al-Barjanji. Kitab Al-Qur’an yang dikaji adalah Juz ‘Amma, Tartil al-Qur’an dan Qiroati. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Tsanawiyah mencakup Fiqih, Ha- dits, Nahwu, Shorof, dan Sastra. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Fath al-Wa- hab Awwal/Tsani, Al-Bajuri, Fath al-Qorib, dan Minhaj al-Qowim Awwal/ Tsani. Kitab Hadits yang dikaji adalah Mustholah Hadits. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Alfiyah Ibnu Malik, Al-‘Amriti, Al-I’rob, dan Qowa’id. Kitab Shorof yang dikaji adalah Amtsilat at-Tasyrifiyyah dan Al-I’lal. Kitab Sastra yang dikaji adalah Al-Jauhar al-Maknun. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Aliyah mencakup Fiqih, Ushul Fi- qih, Usul Fiqih, Hadits, Tasawuf, Faroid, dan Mantiq. Kitab Fiqih yang di- kaji adalah Fath al-Mu’in, Qowa’id al-Fiqhiyyah, Al-Machalli Awwal-Robi’,

171 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

dan Al-Bajuri. Kitab Usul Fiqih yang dikaji adalah Ushul Fiqih. Kitab Hadits yang dikaji adalah Al-Buchori Awwal-Robi’. Kitab Tasawuf yang dikaji adalah Ichya ‘Ulumuddin Awwal-Robi’ (Awwal/Tsani). Kitab Faroid yang dikaji adalah Ilmu Faroid. Kitab Mantiq yang dikaji adalah Al-Jauhar al-Maknun. Sebagaimana informasi yang penulis dapatkan dari pengasuh pondok dan juga santri senior bahwa penentuan standar yang dipelajari dalam setiap tingkatan adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) atau pendiri Pon- dok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang. Pengasuh sekarang adalah generasi ke tiga yang hanya meneruskan penentuan standar penggunaan yang telah ditetapkan oleh muassis (pendiri). Orientasi dalam penetapan di Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang menurut pengasuh pondok pesantren adalah berpaham Ahlussunah wal Jama’ah. Oleh karena itu, penetapan ber- landaskan pada pola pikir Ahlussunah Waljama’ah, yaitu bidang Tauhid (te- ologi) mengikuti faham Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; bidang Fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab Imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Han- ; dan bidang Tasawuf mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid al- Baghdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Sistem penilaian/evaluasi hasil pengajaran secara garis besar menggu- nakan dua cara, yaitu lisan dan tertulis. Cara evaluasi atau penilaian kenaikan dilakukan sebagai berikut. a). Tes baca kitab yang diadakan setiap hari dihadapan Kyai, Qori (pengajar) kurang lebih diikuti 10 santri. b). Untuk penilaian ilmu alat (gramatika Arab/Nahwu-Shorof dan balaghoh) diadakan secara hafalan dihadapan kyai/ Qori (pengajar). c). Setiap akhir semester diadakan imtihan (tes tertulis) seluruh tingkatan yang ditangani oleh dewan Qori’in (dewan pengajar) dengan panitia khu- sus. Evaluasi/penilaian kenaikan tingkat (jenjang) tersebut adalah hasil musy- awarah Dewan Qori’in (dewan pengajar), keamanan (badan Konseling), dan semua Qori’ (pengajar) yang diwakili wali ruang dengan menerapkan standar (a) akhlakul karimah, (b) ketekunan dalam belajar, dan (c) ketaatan. Kegiatan kegamaan yang dilaksanakan di Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang selain pembelajaran yang bersi- fat klasikal cukup banyak. Akan tetapi, fokus kegiatan keagamaan tersebut adalah kegiatan mengaji atau pengajian yang dimulai dari pagi, siang, sore dan malam. Kegiatan kegamaan rutin yang lain di Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang adalah kegiatan peringatan hari-besar Islam (PHBI), Khitobah komplek, Qiroah, pengajian bandungan, bahtsul masail, jamiyatul Qurro’, Majlis Muqimin (alumni), Akhirussanah, Tasyakuran Tingkat Alfiyah, Tasyakuran Tingkat Ichya Ulumuddin, Ziaroh

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 172 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

Auliya’ walisongo, dan auliya ussholichin sekabupaten Magelang, se Jawa- Madura dan juga Haflah Attasyakur wal Ikhtitam (khataman akbar). c. Pondok Pesantren Al-Fadllu Djagalan, Kaliwungu, Kendal Pondok pesantren Al-Fadllu didirikan pada tanggal 15 Juli 1985/10 Mu- harrom 1405. Pendiri pondok pesantren ini adalah KH. Dimyati Rois. Jumlah santri di pondok pesantren ini sebanyak 452 orang santri. Pondok Pesantren Al-Fadllu telah menyelenggarakan pembelajaran se- cara klasikal. Hal ini tercermin adanya tingkatan madrasah yang diseleng- garakan oleh pondok pesantren. Tingkatan yang dimaksud adalah Madrasah Isti’dadiyah (Persiapan) Tsanawiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Ali- yah, dan Madrasah Tahassus. Khusus Madrasah Isti’dadiyah Tsanawiyah hanya selama 2 tahun, yakni kelas II dan kelas III dan Madrasah Tahassus se- lama 2 tahun, yakni kelas I dan kelas II. Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah selama 3 tahun, yakni kelas I, kelas II, dan kelas III. Walaupun namanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah tetapi mata pelajarannya tidak ada yang bersifat umum. Jadi, semua mata pelaja- ran adalah mata pelajaran agama yang semuanya bersumber pada kitab-kitab kuning. Keempat tingkatan madrasah tersebut hanya dikepalai oleh seorang Kepala Madrasah. Kitab-kitab yang dikaji pada Madrasah Isti’dadiyah/Persiapan Tsanawi- yah adalah kitab-kitab Fiqih, Nahwu, Tauhid, Akhlak, Hadits, dan Tajwid. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Mabadil Fiqih Awwal, Tsani dan Tsalits. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Awamil Jawa dan Jurumiyah Jawa. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Aqo’id ad-Diniyah jilid I dan II serta ‘Aqidat al-Awam. Kitab Akhlak yang dikaji adalah Alala dan Akhlaqu li al-Banin I. Kitab Ha- dits yang dikaji adalah Al-Hadits. Kitab Tajwid yang dikaji adalah Hidayat as-Shibyan. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Tsanawiyah adalah kitab-kitab Nah- wu, Shorof, Fiqih, Akhlak, Khulashoh/Sejarah, dan Al-Qur’an. Kitab-kitab Nahwu yang dikaji adalah ‘Awamil, Al-Jurjaaniy, Al-Jurmiyah dan Nadlom al-‘Amrity. Kitab-kitab Shorof yang dikaji adalah Shorf al-’Ula, Qowa’id al- I’lal, Shorf at-Tsani, Qowa’id as-Shorfiyyah dan Nadlom al-Maqsud. Kitab- kitab Fiqih yang dikaji adalah Safinat as-Sholat, Safinat an-Najah, Bafadlol dan Riyad al-Badi’ah. Kitab-kitab Tauhid yang dikaji adalah Khoridat al-Ba- hiyyah, Tihan ad-Daroriy dan Kifayat al-‘Awam. Kitab-kitab Akhlak yang dikaji adalah Akhlaqu li al-Banin, Washoya, Ta’lim al-Muta’alim, Washiyyat al-Mushthofa, Sulam at-Taufiq, Ta’lim al-Muta’alim dan Tukhfat al-Athfal. Kitab-kitab Tajwid yang dikaji adalah Hidayat al-Musstafid dan Jazariyah. Khulashoh/Sejarah yang dikaji adalah Khulashoh Nur al-Yaqien dan Ta’lim al-Muta’alim. Al-Qur’an yang dikaji adalah Surah Yasiin dan Al-Waqi’ah. Kitab Hadits yang dikaji adalah Hadits Abi Jamroh. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Madrasah Aliyah adalah kitab Nah- wu, Shorof, Fiqih, Akhlak, Mantiq, Balaghoh, Waris, dan Khulashoh/ Sejarah.

173 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

Kitab Shorof yang dikaji adalah Qowa’id al-‘Irob dan Qowa’id al-Asasiyah. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Alfiyah Awwal/Tsani dan ‘Idat al-Faridh. Kitab Hadits yang dikaji adalah Bulugh al-Maram, Rohabiyah, Fath al-Mu’in, dan Mandlumat al-Baiquniyah. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Fath al-Qorib, Lathoif al-Isyaroh, Fath al-Mu’in, Faro’id al-Bahiyah, dan Al-Luma. Kitab Waris yang dikaji adalah Waroqot dan ‘Idat al-Faridh. Kitab Tauhid yang di-kaji adalah Fath al-Qorib, Khusun al-Khamidiyah, Manhal al-Lathif, dan Umm al-Barohim. Kitab Tafsir yang dikaji adalah Tafsir Jalalain dan Ilmu Tafsir. Kitab Balaghoh yang dikaji adalah Jauhar al-Maknun. Kitab Falak yang dikaji adalah Durus al-Falakiyah. Kitab Mantiq yang dikaji adalah Mu- nauroq. Kitab Tauhid yang dikaji adalah Al-Husun al-Hamidiyyah/Al-Milal wa al-Nihal. Kitab Nahwu yang dikaji adalah Alfiyah Ibnu Malik/Syarh Ibn Aqil. Kitab Shorof yang dikaji adalah Al-I’lal/Qowa’id al-Lughoh al-Arobiyyah. Kitab Khulashoh yang dikaji adalah Ismam al-Wafaq/Tarikh Tasyri’. Kitab Balaghoh yang dikaji adalah Al-Jauhar al-Makmun. Kitab-kitab yang dikaji pada tingkat Madrasah Tahassus adalah kitab Fiqih, Balaghoh, Hadits, dan Ushul Fiqih. Kitab Fiqih yang dikaji adalah Al- Makhally jilid I sampai IV. Kitab Balaghoh yang dikaji adalah ‘Uqud al Ja- man jilid I dan jilid II. Kitab Hadits yang dikaji adalah Al-Jami’ushohir jilid I dan jilid II. Kitab Ushul Fiqih yang dikaji adalah Jam’ al-Jawami’ jilid I dan jilid II. Sistem evaluasi di pondok pesantren ini dilakukan secara periodik se- bagaimana sekolah umum hanya waktu pembelajarannya yang berpedoman atau dimulai pada bulan Syawal dan diakhiri pada bulan Ruwah atau Sa’ban. Evaluasi yang dilakukan adalah mingguan, bulanan, semester, dan kenaikan kelas/ujian akhir. Bahkan ada evaluasi harian, yang biasa dikenal dengan postes setiap awal pembelajaran. Evaluasi mingguan dilakukan pada setiap hari Sabtu secara bergantian mata pelajaran. Evaluasi bulanan dilakukan dalam rangka penelitian arti atau makna dari mata pelajaran Fiqih pada dengan cara mengumpulkan kitab yang telah dikaji. Evaluasi semesteran dilakukan pada pertengahan tahun ajaran. Evaluasi tahunan atau ujian dilakukan pada akhir tahun pembelajaran untuk menilai siswa tersebut dapat naik kelas atau lulus pada satu tingkatan. Sistem evaluasinya adalah tertulis, hafalan, dan praktek. Nilai yang digunakan adalah nilai angka, yakni dari nilai 1 sampai nilai 10. Standar pada pondok pesantren ini ditetapkan oleh Pondok Pesantren Al-Fadllu secara berjenjang. Yang dimaksud adalah kitab- tersebut ditentukan oleh Dewan Asatid. Setelah ditentukan oleh Dewan Asatid, maka keputus- an tersebut disampaikan kepada Pembina/Pengasuh pondok pesantren. Hal ini dilakukan setiap tahun. Apabila disetujui, maka kitab- tersebut diajarkan pada kelas dan jenjang yang telah ditentukan. Namun demikian, kitab-kitab kuning tersebut telah berjalan sejak awal berdirinya. Hanya pengajar kitab- kitab tersebut yang ada perubahan dari Pembina, terutama menentukan wali kelas. Hal ini dikarenakan wali kelas lah yang akan mengajarkan mata pela-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 174 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

jaran yang terkait dengan ilmu alat dan mengganti ustad yang berhalangan mengajar, sedang ustad yang lain mengajar kitab selain yang terkait dengan ilmu alat semisal Fiqih. Orientasi yang ditentukan oleh Pondok Pesantren Al-Fadllu berkaitan dengan penetapan yang dijadikan pegangan santri terutama adalah ilmu alat. Kitab- yang lainnya merupakan kitab pendukung terutama untuk menerap- kan ilmu alat yang telah dipelajari. Dengan keadaan yang demikian itu, maka penetapan berlandaskan pada pola pikir Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu bi- dang Tauhid (teologi) mengikuti faham Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; bidang Fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali; dan bidang Tasawuf mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Kegiatan selain pengajaran di madrasah cukup banyak. Kegiatan di pondon pesantren ini menyelenggarakan salat wajib 5 waktu secara berja- maah, pengajian, pengajian bulan Ramadlan, pengajian umum, pengajian Al-Qur’an, dan peringatan hari-hari besar Islam. Pengajian dilakukan untuk mendukung kegiatan belajar santri yang bersekolah pada tingkat Isti’dadiyah dan Tsanawiyah. Pengajian bulan Ramadlan diperuntukkan santri, santri dari pondok lain, dan masyarakat dengan jumlah kitab yang cukup banyak. Penga- jian Al-Qur’an terutama ditujukan kepada santri yang masih duduk di tingkat Isti’dadiyah. Peringatan hari-hari besar Islam antara lain Maulid Nabi, Isro’ Mi’roj, dan Nuzulul Qur’an yang diikuti oleh santri dan masyarakat umum. 2. Pembahasan Ketiga pondok pesantren tersebut, yakni Pondok Pesantren Al-Anwar Sa- rang, Rembang, Pondok Pesantren “API” Tegalrejo, Magelang, dan Pondok Pesantyre Al-Fadllu Kaliwungu, Kendal, termasuk pondok pesantren salaf. Hal ini dikarenakan ketiga pondok pesantren tersebut masih memperta- hankan tradisi lama, yakni mengajarkan kitab- dan masih mempertahankan kitab- yang ditentukan oleh pendiri pondok pesantren tersebut. Diantara ketiga pondok pesantren tersebut, Pondok Pesantren “API” yang paling tua karena berdiri pada tahun 1944. Selanjutnya, Pondok Pesantren Al- Anwar berdiri pada tahun 1967; dan Pondok Pesantren Al-Fadllu berdiri pada tahun 1985. Ketiga pondok pesantren tersebut telah menyelenggarakan sistem penga- jaran klasikal walaupun antara satu pondok dengan pondok yang lain berbe- da. Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang sistem pengajarannya adalah tingkat I’dadiyah/Persiapan ( 1 tahun), tingkat Muhadloroh (6 tahun yang mencakup tingkat Tsanawiyah dan Aliyah) dan tingkat Ma’had Aly (2 tahun). Pondok Pesantren “API” Tegalrejo sistem pengajarannya adalah tingkat Ibtidaiyah, tingkat Tsanawiyah, dan tingkat Aliyah. Dilihat dari kitab, tingkat Ibtidaiyah terdiri atas kelas Ibtidaiyah dan kelas Jurmiyah; tingkat Tsanawiyah terdiri atas kelas Ash Shorof, kelas Alfiyah, dan kelas Alfiyah; serta tingkat Aliyah

175 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

terdiri atas kelas Al-Machalli, kelas Al-Buchori, dan kelas Ichya ‘Ulumuddin. Pondok Pesantren Al-Fadllu sistem pengajarannya adalah tingkat Madrasah Isti’dadiyah/Persiapan Tsanawiyah (2 tahun), tingkat Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), tingkat Madrasah Aliyah (3 tahun), dan tingkat Madrasah Tahas- sus (2 tahun). Secara umum, ketiga pondok pesantren tersebut menggunakan sebagai mata pelajaran dalam pengajaran dan tidak ada mata pelajaran yang bersifat umum. Kitab-kitab yang dipakai pada umumnya hampir sama dalam mata pelajaran. Memang ada perbedaan pada setiap pondok pesantren tersebut. Perbedaannya hanya pada jenjang apa kitab tersebut diajarkan. Contohnya kitab-kitab Amrity, Jurmiyah, dan Alfiyah ketiga pondok tersebut menggu- nakan. Contoh yang lain adalah kitab Ta’limul Muta’alim, Aqidatul Awwam, Fat’ul Qorib dan Makhally. Kitab-kitab tersebut atas dasar penentuan dari pengasuh/pendiri pondok pesantren; walaupun yang mendirikan sudah wa- fat. Pengasuh yang sekarang menjadi pengasuh pondok pesantren tidak be- rani untuk merubahnya. Orientasi ketiga pondok pesantren tersebut sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, yakni Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu bidang Tauhid (teologi) mengikuti faham Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; bidang Fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali; serta bidang Tasawuf mengembangkan metode yang dikem- bangkan oleh Imam Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi yang mengintegra- sikan antara tasawuf dengan syariat. Disamping itu, spesialisasi dari ketiga pondok pesantren tersebut adalah ilmu alat (Nahwu, Shorof, Balaghoh) yang diterapkan pada , baik Fiqih, Akhlaq, maupun yang lainnya. Hal ini tercermin dari kitab yang membahas ilmu alat ada pada setiap tingkatan. Sistem evaluasi yang dilakukan oleh ketiga pondok pesantren tersebut pada umumnya sama, yakni hafalan dan tertulis. Hafalan terutama untuk mata pelajaran yang termasuk ilmu alat (Nahwu, Shorof). Tertulis dalam kaitannya penguasaan materi yang telah dilakukan. Evaluasi ini digunakan untuk evaluasi terhadap penguasaan materi , kenaikan kelas dan kelulusan. Evaluasi ini dilakukan secara periodik mingguan, bulanan, semesteran, dan tahunan.

Kesimpulan yang menjadi rujukan/kajian yang dipelajari pada Pondok Pesantren Al- Anwar Sarang, Pondok Pesantren “API” Tegalrejo, dan Pondok Pesantren Al- Fadllu Kaliwungu cukup banyak baik yang diajarkan di lembaga pendidikan klasikal maupun yang diajarkan di luar lembaga klasikal. Kitab-kitab tersebut mencakup kitab Fiqih, Ushul Fiqih, Nahwu, Shorof, Tauhid, Balaghoh, Man- tiq, Khulashoh/Sejarah, Falak, Tafsir dan Waris. Kitab-kitab tersebut tidak di

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 176 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

bawah standar yang sudah ditentukan oleh Kementerian Agama. Kitab kuning yang dipelajari di 3 pondok pesantren tersebut pada setiap jenjang dan kelas serta di luar kelas atas seizin pengasuh pondok pesantren/ pendiri. Namun demikian, Dewan Asatid pada Pondok Pesantren Al-Fadllu memiliki hak untuk mengajukan kitab-kitab yang dikaji beserta yang meng- ajarnya, walaupun harus disetujui oleh pengasuh pondok. Pada Pondok Pesantren “API” walaupun pendirinya sudah meninggal tetapi pengasuhnya sampai sekarang tidak berani untuk mengubahnya. Kitab-kitab kuning yang dipelajari di 3 pondok pesantren tersebut ham- pir sama. Perbedaan mungkin hanya pada jenjang dan kelas. Hal ini karena antara satu pondok dengan pondok yang lain tidak dapat disatukan dalam menentukan kurikulum/mata pelajaran/kitab yang dikaji. Kitab-kitab kuning yang dijadikan pegangan/kajian santri cenderung pada penguasaan alat, yakni mengetahui alat (Nahwu, Shorof, Balaghoh, dan Mantiq) untuk membaca . Hal tersebut tercermin pada hampir setiap jenjang atau kelas mengkaji kitab yang membahas tetang alat. Alat tersebut langsung diterapkan dalam pengkajian kitab-kitab yang diajarkan di lembaga klasikal maupun kitab-kitab kuning yang diajarkan di luar lembaga klasikal. Orientasi ketiga pondok pesantren tersebut sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, yakni berorientasi pada Ahlussunah Waljama’ah. Bidang Tauhid (teologi) mengikuti faham Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Man- sur al-Maturidi. Bidang Fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab Imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Bidang Tasawuf mengembangkan metode Imam Al-Ghazali dan Abu Junaid al-Baghdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Dengan uraian di atas, maka rekomendasi ini disampaikan kepada: a. Kemeterian Agama untuk memberikan ijazah terhadap lulusan lembaga pendidikan yang dikelola oleh ketiga Pondok Pesantren tersebut atau pondok pesantren yang lain sesuai dengan tingkatannya. Hal ini dikare- nakan kitab-kitab yang dikaji di lembaga pendidikan yang dikelola oleh ketiga pondok pesantren tersebut lebih banyak bila dibandingkan dengan kitab- yang telah ditentukan oleh Kementerian Agama. Disampinng itu, ada pondok pesantren yang masih memegangi prinsip hanya mengajar- kan kitab- dan tidak mengikutsertakan siswa/santrinya untuk mengikuti ujian kejar paket yang ditetapkan oleh Pemerintah. Khusus untuk tingkat Isti’dadiyah/I’dadiyah/Persiapan sama dengan tingkat Sekolah Dasar/MI sebab siswa yang belajar di tingkat tersebut telah lulus di tingkat SD/MI di luar pondok pesantren walaupun hanya ditempuh selama satu tahun atau 2 tahun serta kitab yang dikaji cukup banyak. b. Ketiga Pondok Pesantren tersebut agar meningkatkan lulusan lembaga

177 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mukhtaruddin

pendidikan dengan selalu mengontrol mutu pendidikan pada lembaga yang dikelola serta mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk berbahasa secara aktif yang sesuai dengan ilmu alat yang telah dipelajari. Disamping itu, diharapkan tetap mempertahankan ciri khasnya, yakni mengajarkan ilmu alat dengan mempraktekkan pada kitab-kitab yang di- kajinya.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 178 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mulyani Mudis Taruna

DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen, Martin Van. 1989. Kitab Fiqih di Pesantren dan Ma- laysia. Jurnal Pesantren No. 1 Vol. VI, P3M. Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Tradition of the Pesantren: A Study About the Religius Teacher’s View). : LP3ES. Khudrin, Ali. Ringkasan Materi Standarisasi Penguasaan pada Pondok Pesantren Salaf “API” Tegalrejo, Magelang. Disampaikan pada seminar draf hasil penelitian tanggal 8-9-2011 di Semarang. Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina. Mastuhu. 1989. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Masyhuri, Abdul Aziz. 1989. Mempermodern Kitab Lama dalam Pemaham- an secara Kontekstual. Jurnal Pesantren No. 1 Vol. VI, P3M. Hasan, Muhammad Tholhah. 1989. Metode Pengajian Kitab di Pesantren: Tinjauan Ulang dalam Pemahaman secara Kontekstual. Jurnal Pesantren No. 1 Vol. VI, P3M. Rahardja, M. Dawam. 1985. Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M. Rahim, Husni. 2011. Arah Baru Pendidikan Islam di Indoneisa. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Syafii, Ahmad. 1995. Pesantren dan Pengembangan SDM. Jurnal Penamas No. 22 Th. VIII, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. Syarifah, Dewi Hajar. 2008. Pengaruh Istighotsah Selapanan Pondok Pesantren Al-Fadllu wal Fadllillah Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal terhadap Pengalaman Keagamaan Jamaahnya. Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Syukur, Suparman. 2011. Pesantren Akulturasi Religius. Makalah dalam dis- kusi tentang kitab kuning di Pesantren. Balai Penelitian dan Pengem- bangan Agama Semarang. Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press. Yafie, Ali. 1989. Produk Peradaban Islam, dalam Pemahaman Secara Kon- tekstual. Jurnal Pesantren No. 1 Vol. VI, P3M. Yusiani S. 2011. Standarisasi Penguasaan pada Pondok Pesantren Al-An- war, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Makalah disampaikan pada se- minar draf hasil penelitian tanggal 8-9-2011 di Semarang. Zuhri, Saifuddin. 1987. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.

179 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Mulyani Mudis Taruna PENELITIAN PERBEDAAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kompentensi Guru PAI Tersertifikasi dan Belum Tersertifikasi di MTs Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan)

MULYANI MUDIS TARUNA Peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 13 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Kajian dampak sertifikasi guru terhadap kompetensi perlu terus di- lakukan, termasuk kajian terhadap guru mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) di Madrasah Tsanawiah. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kompetensi guru PAI MTs yang berstatus tersertifikasi dan guru PAI MTs yang belum tersertifikasi. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis Anova dua jalur. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru PAI MTs negeri dan swasta di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Sampel dalam pene- litian ini dipilih secara random dengan teknik strata berjumlah 60 orang guru PAI dan untuk sampel siswa sebanyak 120. Salah satu hasil penelitian adalah diketahui terdapat perbedaan kompetensi guru PAI yang tersertifi- kasi dan kompetensi guru PAI yang belum tersertifikasi. Hasil analisis lanjut diketahui bahwa kompetensi guru PAI yang belum tersertifikasi lebih baik daripada kompetensi guru PAI yang sudah tersertifikasi Kata kunci: Kompetensi Guru, Pendidikan Agama Islam, Sertifikasi Guru.

Abstract This is a study on the competence of Islamic religious teachers on Islamic Junior High Schools (MTs) in Banjar, . The research was conducted in order to picture two main problems: the teaching competence of certified teachers and those are not with more or less then 11 years working experience, and the students’ learning outcomes taught by these two kinds of

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 180 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

teachers. The results showed that there was a difference (0,000<0,005) bet- ween these two categories of teachers in terms of their teaching competence. In terms of working time experience, however, there was no significant dif- ference with 0,249>0,05. So was in the joint effect. There was no interaction between the “status” of the teachers and their working time experience with 0,272>0,05. In terms of the students’ outcomes, this study demonstrated a significant difference with 0,000<0,05. In other words, there was a signifi- cant result on the students’ outcomes taught by certified teachers and non- certified ones. Keywords: Teacher’s Competence, Islamic Religious Learning, Certified Teachers.

Pendahuluan Perkembangan lembaga pendidikan dewasa ini mengalami dinamika seiring dengan tuntutan modernitas dan perkembangan sains dan teknologi. Iklim kompetisi dalam dunia pendidikan formal menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga apabila lembaga pendidikan for- mal tidak mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan modernitas maka kurang mendapat respons masyarakat secara maksimal. Bahkan lembaga pendidikan tersebut lambat laun tidak diminati oleh peserta didik. Madrasah sebagai satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat atas memiliki karakter dalam pengembangan ke-Islaman disamping pengem- bangan materi umum sebagaimana yang disampaikan pada sekolah umum, Karena itu, jumlah kompetensi yang harus dikembangkan di madrasah lebih banyak dibanding pada sekolah umum. Pengembangan kompetensi yang ber- ciri ke-Islaman ini menjadikan kekhasan madrasah dibanding pendidikan formal pada sekolah yang berbasis sekolah umum. Perbedaan terlihat dari materi pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah yang diberikan secara umum, sdangkan pada madrasah materi tersebut disampaikan secara spesi- fik, baik dilihat dari bidang studi maupun dari substansi materi pelajaran. Kekhasan materi pendidikan agama pada madrasah antara lain melalui bidang studi Al-Qur’an/Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebu- dayaan Islam (SKI). Melalui bidang studi yang diberikan secara spesifik ini membawa konsekuensi pada guru sebagai tenaga pengajar. Konsekuensi guru mata pelajaran dalam rumpun pendidikan ini disesuaikan dengan kompe- tensi, yaitu tenaga pendidik yang secara khusus mengajar Al-Qur’an/Hadits berbeda dengan tenaga pendidik (guru) yang mengajar bidang studi aqidah, akhlak, fiqih maupun SKI. Dengan demikian, tuntutan guru madrasah adalah memiliki kompetensi terhadap masing-masing bidang studi dalam rumpun pendidikan agama. Guru madrasah sebagai salah satu komponen pendidikan adalah se- seorang yang memiliki kompetensi sebagai pendidik dan dinyatakan kompe-

181 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

ten jika secara nyata mampu menjalankan tugas ketenaga kependidikannya secara profesional sesuai dengan tuntutan jabatan tenaga pendidik (Djamas, ed, 2005). Pemerintah melalui Peraturan Menteri No 18 Tahun 2007 meman- dang perlu untuk memberikan sertifikasi bagi guru agar tidak terjadi miss match sekaligus memiliki kompetensi pedagogis, personal, profesional dan sosial. Guru PAI di madrasah dewasa ini harus memenuhi persyaratan menjadi tenaga pendidik yang profesional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-undang No.14 tahun 2005. Karena itu guru PAI memiliki kesempatan yang sama sebagaimana guru mata pelajaran lain untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai bukti otentik guru PAI yang kompe- ten dan profesional. Dengan telah dilakukannya uji kompetensi yang ditandai dengan pem- berian sertifikat oleh pemerintah beserta konsekunsinya yakni berhak mendapat tunjangan profesi oleh pemerintah, maka perlu dilakukan kajian terhadap dampak sertifikasi, hal ini dikarenakan sangat mungkin guru yang telah tersertifikasi memiliki kompetensi yang tidak lebih baik dibandingkan dengan yang belum sertifikasi. Terdapat beberapa faktor yang cukup mem- pengaruhi terhadap peningkatan kompetensi guru, yaitu kesesuaian latarbe- lakang pendidikan dengan mata pelajaran yang diajarkan, masa kerja yang berakibat pada bertambahnya pengalaman mengajar, dan kesejahteraan yang diperoleh. Kompetensi (competence) atau kecakapan/ kemampuan secara umum di artikan sebagai orang yang memiliki kemampuan kekuasaan, kewenangan, ketrampilan, pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas ter- tentu (Djamas, ed, 2005; Suparlan, 2006). Prinsip kompetensi dalam dunia pendidikan adalah terkait dengan kompetensi pedagogis, personal, profe- sional, dan kompetensi sosial. Prinsip ini telah dirumuskan secara lebih rinci dan telah tertuang dalam Permendiknas nomor 6 tahun 2007. Keempat kompetensi di atas merupakan substansi dari keberhasilan proses pembelajaran yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ditandai dengan dimilikinya suatu kompetensi. Guru yang kompeten adalah seseorang yang memiliki pengetahuan keguruan, dan memiliki keterampilan serta ke- mampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya (Djamarah, ed, 2005, Suparlan, 2006) menyebutkan bahwa kompetensi guru merupakan suatu uku- ran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengeta- huan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk men- duduki jabatan fungsional sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi dan jenjang pendidikan. Kompetensi seorang guru juga merupakan tuntutan yang dimiliki karena sebuah kebutuhan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hamalik (2006) menegaskan, bahwa Guru yang terampil mengajar tentu harus memiliki kom- petensi baik dalam bidang pedagogis, profesional, kepribadian dan sosial kemasyarakatannya. Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendi-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 182 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

dikan sedemikian hingga guru bertugas dalam memberikan bimbingan dan pengajaran kepada peserta didik. Tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk melaksanakan pembinaan kurikulum, menuntun peserta didik be- lajar, membina pribadi, watak, dan jasmaniah siswa, menganalisis kesulitan belajar, serta menilai kemajuan belajar para peserta didik. Di antara indikator keberhasilan guru dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 adalah: Pertama, kompetensi pedagogis, seperti menguasai kara- kteristik peserta didik, menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelaja- ran yang mendidik, dan menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, Kedua, kompetensi personal seperti bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan budaya, menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, dan menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga men- jadi guru dan rasa percaya diri, Ketiga, kompetensi profesional seperti menguasai materi, struktur, kon- sep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang di- ampu, dan mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, dan Keempat, kompetensi sosial seperti bersikap inklusif, objektif, tidak dis- kriminatif, berkomunikasi secara efektif, empati, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, dan beradaptasi di tempat bertugas yang memiliki keragaman sosial budaya. Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki guru merupakan kom- petensi ideal untuk menuju guru yang profesional dan berhasil tidak hanya dalam pemberian materi pelajaran yang dapat difahami peserta didik, me- lainkan dalam proses pembentukan kepribadian peserta didik. Proses pem- bentukan kepribadian ini juga dapat dilakukan ketika guru sebagai pelaku pendidikan memiliki kepribadian yang baik yang dapat dicontoh oleh peserta didik. Dengan demikian, adanya sertifikasi merupakan langkah yang dapat memotivasi guru memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi personal, kom- petensi professional, dan kompetensi sosial Adanya kajian tentang dampak sertifikasi guru terhadap kompetensi per- lu terus dilakukan, khususnya terkait dengan sejauhmana kompetensi guru mata pelajaran PAI di madrasah Tsanawiah dikaitkan dengan sertifikasi guru PAI. Kajian tersebut tidak hanya terbatas pada guru Madrasah Tsanawiyah di Jawa yang cenderung lebih lengkap fasilitas dan mudah memperoleh ak- ses, akan tetapi meluas ke provinsi di luar Jawa yang cenderungmasih harus membangun jaringan terkait fasilitas maupun akses mutu pembelajaran. Berangkat dari berbagai latarbelakang di atas, maka diperlukan kajian yang mendalam tentang Kompetensi Guru Agama Islam pada Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Pilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa secara umum MTs yang ada di wilayah Kalimantan Selatan berada pada daerah-daerah yang terpencar dengan jarak cukup berjauhan, akses antar satu madrasah dengan madrasah

183 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

yang lain berjauhan, cukup sulitnya guru untuk melengkapi persaratan serti- fikasi dan masih banyak guru PAI yang belum memperoleh sertifikasi. Kajian melalui penelitian ini menekankan pada perbedaan antara kompetensi Guru PAI tersertifikasi dan belum tersertifikasi dan dilihat dari masa kerja. Dari uraian ini dirumuskan permasalahan penelitian: (1) apakah terdapat perbedaan kompetensi guru PAI MTs yang tersertifikasi dan guru PAI MTs yang belum tersertifikasi?, (2) apakah terdapat perbedaan kompetensi guru PAI dengan masa kerja mengajar sebagai guru lebih dari atau sama dengan 11 tahun dan kurang dari 11 tahun?, (3) apakah terdapat interaksi antara faktor status guru dan masa kerja guru?, (4) apakah terdapat perbedaan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran rumpun PAI yang diajar oleh guru yang telah bersertifikasi dan hasil belajar peserta didik yang diajar oleh guru yang belum tersertifikasi?, (5) apakah terdapat perbedaan hasil belajar peserta di- dik yang di ajar guru dengan masa kerja mengajar sebagai guru lebih dari atau sama dengan 11 tahun dan kurang dari 11 tahun?, dan (6) apakah terdapat interaksi antara faktor status guru PAI dan faktor masa kerja guru PAI?. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) diketahuinya perbandingan kom- petensi guru PAI MTs yang berstatus tersertifikasi dan guru PAI MTs yang belum tersertifikasi, (2) diketahuinya perbandingan kompetensi guru PAI MTs ditinjau dari masa kerja guru, (3) diketahui ada tidaknya interaksi an- tara faktor status dan masa kerja guru, (4) diketahuinya perbandingan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran rumpun PAI yang diajar oleh guru yang telah bersertifikasi dan peserta didik yang diajar oleh guru yang belum tersertifikasi, (5) diketahuinya perbedaan hasil belajar peserta didik yang dia- jar guru dengan masa kerja mengajar guru lebih dari atau sama dengan 11 ta- hun dan kurang dari 11 tahun, dan (6) diketahui ada tidaknya interaksi antara faktor status guru dan faktor masa kerja guru dilihat dari hasil belajar siswa.

Metode penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode per- bandingan kausal (causal-comparative). Menurut Gay (1981), penelitian dengan metode perbandingan kausal bertujuan untuk membandingkan ka- rakteristik kelompok-kelompok yang ada tanpa memberikan suatu perlakuan (treatment) terhadap suatu kelompok atau semua kelompok tertentu. Kara- kteristik pada kelompok dilihat dengan kondisi dan situasi yang apa adanya sesuai dengan kenyataan yang ada. Adapun perbandingan kausal yang dilaku- kan adalah antara guru MTs yang sudah tersertifikasi dengan guru MTs yang belum tersertifikasi dan guru yang memiliki pengalaman mengajar atau masa kerja selama 11 tahun dan masa kerja kurang dari 11 tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru PAI MTs negeri dan swasta di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Sampel dalam penelitian ini dipilih secara random dengan teknik strata dan ditetapkan berjumlah 60 orang. Untuk hasil belajar siswa, sampel dipilih secara acak dengan teknik

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 184 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

strata. Jumlah sampel untuk hasil belajar peserta didik adalah 120. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel antara dan variabel terikat. Variabel bebas meliputi: status guru antara guru yang telah tersertifikasi dengan guru yang belum tersertifikasi dan masa mengajar guru yang telah memiliki masa kerja 11 tahun atau lebih dengan masa kerja guru yang memiliki masa kerja kurang dari 11 tahun, variabel antara adalah hasil belajar siswa, sedangkan variabel terikat adalah kompetensi guru. Ada- pun desain penelitian yang digunakan adalah desain faktorial 2 x 2. Data dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu: (1) data yang terkait dengan kompetensi guru, (2) data hasil belajar siswa, dan (3) data profil guru tersertifikasi. Pengambilan data dilakukan sebagai berikut: (1) untuk data kompetensi guru diambil dengan teknik angket, (2) untuk data hasil belajar siswa mata pelajaran PAI diperoleh dengan teknik dokumentasi, yakni nilai rapor salah satu mata pelajaran rumpun PAI, dan (3) data profil guru diambil dengan teknik angket. Validasi instrumen dilakukan dengan cara validasi isi, validasi konstruk dan validasi empiris. Validasi isi dilakukan dengan mengacu pada standar kompetensi guru PAI MTs yang terinci dalam Lampiran Permendiknas no- mor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi danKompetensi Guru. Validi- tas konstruk dilakukan dengan berkonsultasi kepada ahli (konsultan) menge- nai instrumen sehingga dengan penilaian ahli (expert-judgement) instrumen dinyatakan valid. Validasi empiris dilakukan dengan mengadakan uji coba instrumen pada beberapa guru pada saat studi pendahuluan. Analisis data utama menggunakan analisis Varian Dua Jalan (Two-Way Anova). Adapun perhitungan untuk kepentingan analisis ini menggunakan paket program SPSS versi 16.0. Adapun Instrumen/pernyataan terkait dengan guru PAI yang tersertifi- kasi maupun yang belum tersertifikasi dan diisi oleh Kepala Madrasah dan Wakil Kepala Madrasah serta mitra terkait dengan kompetensi guru PAI diba- gi dalam 4 kategori yaitu Kurang Baik, Cukup Baik, Baik, dan Baik Sekali. Un- tuk memperjelas nilai yang memiliki kategori tertentu disajikan dalam tabel interval sebagai berikut. Tabel: Interval dan Kategori Nilai No. Interval Kategori Keterangan 1. 30 - 52,5 Kurang Baik 2. 52,5 - 75 Cukup Baik 3. 75,5 - 97 Baik 4. 97,5 - 120 Baik sekali Dari 30 item pernyataan yang diberikan kepada responden berkaitan dengan kompetensi guru PAI. Secara operasional item pernyataan yang ter- kait dengan kompetensi pedagogis, personal/kepribadian, sosial, dan profe-

185 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

sional adalah sebagai berikut. a. Item pernyataan berkaitan dengan Indikator Kompetensi pedagogis berisi tentang; 1) menguasai karakteristik peserta didik, 2) mnguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran, 3) menguasai pengembangan kuriku- lum, 4) melakukan kegiatan pembelajaran, 4) memfasilitasi pengemban- gan potensi, 5) mamanfaatkan teknologi informasi, 6) memanfaatkan hasil penilaian untuk pembelajaran, 7) berkomunikasi dengan peserta didik, 8) melakukan penilaian dan evaluasi, dan 8) melakukan tindakan reflektif b. Item pernyataan berkaitan dengan Indikator Kompetensi personal/kep- ribadian beririsi tentang ; 1) bertindak sesuai dengan norma agama, hu- kum, sosial, dan kebudayaan nasional, 2) menunjukan pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi masyarakat, 3) menampilkan pribadi yang mantap, dewasa, arif, berwibawa, 4) etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan menjunjung tinggi kode etik c. Item pernyataan berkaitan dengan Indikator Kompetensi sosial berisi ten- tang ; 1) bersikap inklusif, objektif serta tidak diskriminatif, 2) berkomu- nikasi dengan guru, tenaga kependidikan, orang tua, peserta didik, dan masyarakat secara simpatik. 3) beradaptasi di tempat tugas, dan 4) berkomunikasi dengan komunitas profesi. d. Item pernyataan berkaitan dengan Indikator Kompetensi profesional berisi tentang; 1) penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keil- muan, 2) mengembangkan keprofesionalan, 3) menguasai standar kom- petensi dan kompetensi dasar, 4) mengembangkan materi pembelajaran secara kreatif.

Kajian Teoritis Kompetensi (competence) atau kecakapan/ kemampuan secara umum diartikan sebagai orang yang memiliki kemampuan kekuasaan, kewenangan, ketrampilan, pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas ter- tentu (Djamas, ed, 2005; Suparlan, 2006). Istilah ini menjadi sangat familiar dalam dunia pendidikan setelah adanya tuntutan terhadap guru harus memi- liki kemampuan tidak hanya dalam penguasaan materi pelajaran, melainkan kemampuan memenej pembelajaran dari aspek metode pembelajaran dan memunculkan situasi pembelajaran yang menyenangkan. Prinsip kompetensi dalam pendidikan adalah terkait dengan kompetensi pedagogis, personal, professional, dan kompetensi sosial. Keempat kompe- tensi ini merupakan substansi dari keberhasilan proses pembelajaran yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ditandai dengan dimilikinya suatu kompetensi. Guru yang kompeten adalah seseorang yang memiliki pengeta- huan keguruan, dan memiliki keterampilan serta kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya (Djamarah, ed, 2005 :34). Suparlan (2006) menyebutkan bahwa kompetensi guru merupakan suatu ukuran yang ditetap- kan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 186 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi dan jenjang pendidikan. Kompetensi seorang guru juga merupakan tuntutan yang dimiliki karena sebuah kebutuhan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hamalik (2006) menegaskan, bahwa Guru yang terampil mengajar tentu harus memiliki kom- petensi baik dalam bidang pedagogisnya, profesionalnya, kepribadian dan sosial kemasyarakatannya. Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan sedemikian hingga guru bertugas dalam memberikan bimbing- an dan pengajaran kepada peserta didik. Tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk melaksanakan pembinaan kurikulum, menuntun peserta didik belajar, membina pribadi, watak, dan jasmaniah siswa, menganalisis kesulit- an belajar, serta menilai kemajuan belajar para peserta didik. Diantara indikator keberhasilan guru dalam Permendiknas No 6 Ta- hun 2007 adalah 1). Kompetensi pedagogis, seperti menguasai karakteris- tik peserta didik, menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, dan menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan ha- sil belajar. 2). Kompetensi personal seperti bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan budaya, menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, dan menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru dan rasa percaya diri. 3). Kompetensi profesional seperti menguasai ma- teri, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajar- an yang diampu, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, dan mengembangkan materi pembelajaran yang di- ampu secara kreatif. 4). Kompetensi sosial seperti bersikap inklusif, objektif, tidak diskriminatif, berkomunikasi secara efektif, empati, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, dan ber- adaptasi di tempat bertugas yang memiliki keragaman sosial budaya.

Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Ho : Tidak terdapat perbedaan kompetensi guru PAI yang tersertifikasi dengan guru PAI yang belum tersertifikasi. b. Hα : Ada perbedaan kompetensi guru PAI yang tersertifikasi dengan guru PAI yang belum tersertifikasi c. Ho : Tidak ada perbedaan kompetensi guru PAI dilihat dari masa kerja kurang dari 11 tahun dengan yang lebih dari 11 tahun d. Hα : Ada perbedaan kompetensi guru PAI dilihat dari dari masa kerja kurang dari 11 tahun dengan yang lebih dari 11 tahun e. Ho : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa dilihat dari status guru PAI yang telah tersertifikasi dengan guru PAI yang belum tersertifikasi f. Hα : Ada perbedaan hasil belajar yang diajar oleh guru PAI yang telah

187 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi. g. Ho : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar peserta didik yang diajar oleh guru PAI dengan maa kerja kurang dari 11 tahun. h. Hα : Terdapat perbedaan hasil belajar peserta didik yang diajar oleh guru PAI dengan maa kerja kurang dari 11 tahun

Hasil Penelitian Kompetensi Guru PAI MTs di Kabupaten Banjar Hasil test terhadap guru PAI MTs yang sudah tersertifikasi dan belum tersertifikasi dengan masa kerja kurang dari 11 tahun dan lebih dari 11 tahun memiliki nilai yang cukup variasi dengan nilai rata-rata sebagaimana pada tabel deskripsi statistik berikut. Tabel: Jumlah nilai rata-rata dilihat dari status dan masa kerja Descriptive Statistics Dependent Variable: Nilaikompetensi Status Masa Kerja Mean Std. Deviation N Guru Kurang dari 11 tahun 91.1579 8.02263 19 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 90.5455 3.83050 11 Total 90.9333 6.71557 30 Guru belum Kurang dari 11 tahun 96.3636 5.39023 11 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 100.1053 8.85623 19 Total 98.7333 7.87809 30 Untuk melakukan analisis uji lanjut dengan menggunakan Anova dua jalur, maka data tersebut terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dan nor- malitas data. Hasil dari test kompetensi dengan uji levene’s test of equality of error variances diperoleh data sebagai berikut. Tabel: Levene’s Test of Equality of Error Variances Dependent Variable: Nilaikompetensi F df1 df2 Sig. 2.555 3 56 .064

Hasil Levene’s test menunjukan tidak ada perbedaan varians karena F hitung 2,555 secara statistik signifikan pada alpha 5% atau P value 0,064 > 0,05 (α) yang berarti homogen. Dilihat dari uji normalitas data dengan meng- gunakan grafik normalitas Q-Q Plot adalah sebagai berikut. Dari hasil uji normalitas data di atas berada pada garis normal. Dengan

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 188 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

demikian dapat diuji lanjut dengan menggunaka uji beda Anova dua jalur. Hasil uji tersebut pada tabel berikut. Tabel : Uji beda kompetensi dilihat dari status dan masa kerja Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Nilaikompetensi Source Type Sum Df Mean F Sig. Of Squares Square Corrected Model 1011.745a 3 337.582 6.286 .001 Intercept 498166.303 1 498166.303 9275.642 .000 Status 759.441 1 759.441 14.140 .000 Masakerja 34.108 1 34.108 .635 .429 Status * Masakerja 66.037 1 66.037 1.230 .272 Error 3007.589 56 53.707 Total 543622.000 60 Corrected Total 4020.333 59 R Squared = ,252 (Adjusted R Squared = ,212) Hasil uji Anova menunjukan bahwa: a. Dilihat dari status guru PAI yang tersertifikasi dengan guru PAI yang be- lum tersertifikasi terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai signifikansi 0,000 < 0,05 (α). Dengan demikian, terdapat per-

189 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

bedaan kompetensi guru PAI dari guru PAI yang tersertifikasi dan belum tersertifikasi. b. Dilihat dari masa kerja guru PAI yang kurang dari 11 tahun dan lebih dari 11 tahun tidak terdapat perbedaan. Hal tersebut terlihat dari nilai signifi- kansi 0,429 > 0,05 (α). Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan kom- petensi guru PAI dari guru PAI yang telah mengajar kurang dari 11 tahun dengan guru PAI yang telah mengajar lebih dari 11 tahun. c. Dilihat dari interaksi (joint effect) antara status guru dengan masa kerja guru tidak ada interaksi, hal tersebut terlihat dari nilai signifikansi 0,272 > 0,05 (α). Dengan demikian, status guru PAI yang tersertifikasi dan be- lum tersertifikasi dengan masa kerja kurang dari 11 tahun dan lebih dari 11 tahun tidak saling mempengaruhi.. Hasil Belajar Siswa Pendidikan Agama Islam (PAI) Hasil belajar PAI siswa yang diperoleh dari nilai STTB adalah pada tabel berikut. Tabel: Nilai Hasil Belajar Siswa (Nilai Awal) Dependent Variable: Nilaiawal Status Masa Kerja Mean Std. Deviation N Guru Kurang dari 11 tahun 68.6333 8.50348 30 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 73.7333 6.82255 30 Total 71.1833 8.06434 60 Guru belum Kurang dari 11 tahun 76.6333 8.66815 30 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 76.0667 7.86495 30 Total 76.3500 8.21083 60

Nilai rata-rata yang diperoleh dari nilai awal (STTB) secara keseluruhan 73,76, sedangkan total nilai rata-rata dari guru yang telah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi adalah 71,18 dan 76,35. Untuk melihat homogenitas data nilai awal digunakan uji levene’s Test of Equality of Error Variances seb- agaimana pada tabel berikut. Homogenitas data nilai awal Levene’s Test of Equality of Error Variancesa Dependent Variable: Nilaiawal F df1 df2 Sig. .555 3 116 .646 Dari tabel di atas menunjukan bahwa nilai awal yang diambil dari STTB siswa tidak ada perbedaan, hal tersebut terlihat dari nilai signifikansi 0,646 > 0,05. Dengan demikian, nilai sampel siswa bersifat homogen.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 190 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Hasil belajar siswa mata pelajaran Aqidah/ Akhlak terbagi dalam dua kategori, yaitu hasil belajar siswa dari 4 guru yang sudah tersertifikasi dengan guru yang belum tersertifikasi dan didasarkan pada siswa yang sama yang di- jadikan sampel sebagai nilai awal. Nilai nilai rata-rata yang diperoleh adalah sebagai berikut. Nilai akhir dilihat dari status, masa kerja dan nilai rata-rata Dependent Variable: Nilaiakhir Status Masa Kerja Mean Std. Deviation N Guru Kurang dari 11 tahun 79.6667 4.90133 30 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 77.2667 3.70399 30 Total 78.4667 4.47390 60 Guru belum Kurang dari 11 tahun 78.5000 6.20761 30 tersertifikasi Lebih dari 11 tahun 77.5333 5.77589 30 Total 78.0167 5.96456 60 Nilai rata-rata total pada tabel di atas adalah 78,24. Sedangkan nilai rata-rata siswa antara guru PAI yang sudah tersertifikasi dengan yang- be lum tersertifikasi tidak jauh berbeda, yaitu 78,46 dan 78,02, sedangkan dili- hat dari masa kerja terjadi selisih yang cukup signifikan, yaitu rata-rata nilai akhir siswa yang diajar guru PAI yang memiliki masa kerja kurang dari 11 ta- hun 79,08 dan guru PAI yang memiliki masa kerja lebih dari 11 tahun adalah 77,40 Uji homogenitas nilai akhir dengan leven’s Test of Equality of Error Vari- ances di bawah ini menunjukan tidak ada perbedaan variance, karena F hi- tung 2,404 secara statistik signifikansi pada alpha 5% (P value 0,071 > 0,05). Uji homogenitas nilai akhir Levene’s Test of Equality of Error Variancesa Dependent Variable:Nilaiakhir F df1 df2 Sig. 2.404 3 116 .071 Analisis lanjut uji beda dengan Anova dua jalur adalah sebagaimana hasil Test of Between-Subjects Effect berikut. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Nilaiakhirsiswa Source Type Sum Of Df Mean F Sig. Squares Square Corrected Model 872.692a 3 290.897 10.372 .000

191 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

Source Type Sum Of Df Mean F Sig. Squares Square Intercept 691660.971 1 691660.971 24662.126 .000 Status 778.787 1 778.787 27.769 .000 Masakerja 33.887 1 33.887 1.208 .274 Status * Masakerja 48.271 1 48.271 1.721 .192 Error 3253.275 116 28.045 Total 696942.000 120 Corrected Total 4125.967 119 R Squared = ,212 (Adjusted R Squared = ,191) Dari tabel di atas menunjukan bahwa, a. Dilihat dari status guru PAI yang tersertifikasi dengan guru PAI yang be- lum tersertifikasi terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai signifikansi 0,000 < 0,05 (α). Dengan demikian, terdapat per- bedaan yang signifikan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru PAI yang tersertifikasi dan belum tersertifikasi. b. Dilihat dari masa kerja guru PAI yang kurang dari 11 tahun dan lebih dari 11 tahun tidak terdapat perbedaan. Hal tersebut terlihat dari nilai signifi- kansi 0,274 > 0,05 (α). Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru PAI yang telah mengajar kurang dari 11 tahun dengan guru PAI yang telah mengajar lebih dari 11 tahun. c. Dilihat dari interaksi (joint effect) antara status guru dengan masa kerja guru tidak ada interaksi, hal tersebut terlihat dari nilai signifikansi 0,192 > 0,05 (α). Dengan demikian, status guru PAI yang tersertifikasi dan be- lum tersertifikasi dengan masa kerja kurang dari 11 tahun dan lebih dari 11 tahun tidak saling mempengaruhi terhadap hasil belajar siswa. Pembahasan Kompetensi Guru PAI yang Tersertifikasi dan Guru PAI yang Belum Terserti- fikasi Kompetensi guru dilihat dari aspek status antara guru PAI yang sudah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi ada perbedaan, hal ini menun- jukkan bahwa sertifikasi dengan konsekuensi peningkatan kesejahteraan memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan kompetensi guru PAI di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Namun demikian, status guru PAI yang sudah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi tidak ada kaitanya dengan masa kerja guru. Hal ini menunjukan bahwa masa kerja guru PAI berapapun yaitu lebih dari 11 tahun maupun kurang dari 11 tahun tidak ada bedanya, karena yang mempengaruhi terhadap kompetensi guru PAI adalah faktor status guru PAI sudah tersertifikasi atau belum tersertifikasi. Hal ini

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 192 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

juga dikuatkan dari nilai rata-rata kompetensi dilihat dari masa kerja lebih tinggi guru PAI yang belum tersertifikasi. Kompetensi guru PAI dikaitkan dengan Masa Kerja Masa kerja tidak mempengaruhi kompetensi guru PAI, namun demikian dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh antara guru PAI dengan masa kerja kurang dari 11 tahun dengan lebih dari 11 tahun lebih tinggi guru PAI yang memiliki masa kerja lebih dari 11 tahun, yaitu 96,6 (masa kerja lebih dari 11 tahun) > 93,06 (masa kerja kurang dari 11 tahun). hal ini sangat mungkin dikarenakan guru PAI yang memiliki masa kerja lebih lama atau lebih dari 11 tahun lebih berpengalaman dalam penguasaan materi, lebih matang dalam pembinaan terhadap peserta didik, mampu beradaptasi dengan perkemban- gan metodologi yang sedang berkembang, mengikuti dinamika persoalan yang terkait dengan dimensi keberagamaan, dan memiliki pola pikir yang dinamis terhadap proses pembelajaran. Hasil Belajar Siswa Dilihat dari Status dan Masa Kerja Dilihat dari nilai akhir siswa sebagai hasil belajar yang diambil dari rapor semester VII mata pelajaran Aqidah/Akhlak diperoleh nilai signifikansi 0,000 pada baris status lebih kecil dari batas nilai toleransi 0,05 atau 0,000 < 0,05. Adanya perbedaan terhadap status tersebut sangat dimungkinkan karena guru yang telah tersertifikasi memiliki kesejahteraan yang lebih dibanding- kan dengan guru PAI yang belum tersertifikasi, sehingga fokus atau perhatian guru PAI yang tersertifikasi terhadap kualitas pengajaran semakin baik. Di samping itu, fasilitas pembelajaran yang dimiliki secara personal lebih leng- kap dari pada guru yang belum tersertifikasi Perbedaan status yang mempengaruhi terhadap hasil belajar siswa me- lalui nilai raport Aqidah/Akhlak juga nampak dari nilai rata-rata total hasil belajar siswa dari guru PAI yang telah tersertifikasi (78,46) lebih tinggi dari yang belum tersertifikasi (78,02). Meskipun selisih nilai rata-rata total tidak terlalu tinggi, akan tetapi apabila dilihat dari nilai rata-rata masa kerja paling tinggi diperoleh dari guru yang telah tersertifikasi dengan masa kerja kurang dari 11 tahun. Hal ini menguatkan, bahwa idealisme dari guru PAI yang me- miliki masa kerja kurang dari 11 tahun dan masih muda cukup baik dalam kerangka peningkatan kualitas pengajaran. Bebeda dengan status yang memiliki perbedaan terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Aqidah/Akhlak, dilihat dari aspek masa kerja baik yang kurang dari 11 tahun maupun yang lebih dari 11 tahun tidak memiliki perbedaan yang signifikansi (0,274 > 0,05). Dengan demikian, tidak ada pe- ngaruh yang signifikan antara masa kerja guru PAI MTs di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, baik dengan masa kerja kurang dari 11 tahun maupun lebih dari 11 tahun. Tidak adanya pengaruh dari masa kerja terhadap hasil belajar siswa adalah sangat dimungkinkan karena bagi guru PAI yang masih muda (kurang dari 11 tahun) lebih cepat menyesuaikan dalam proses pembelajaran sehingga

193 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

mampu bersaing dengan yang lebih senior (lebih dari 11 tahun). Aspek lain adalah guru PAI yang muda lebih idealisme dan akomodatif terhadap perkem- bangan teori pembelajaran dan metode pembelajaran, baik melalui membaca buku, mengakses melalui internet, maupun mengikuti pelatihan terkait de- ngan pengembangan model pembelajaran sehingga lebih kreatif. Sementara itu, meskipun guru PAI yang lebih senior “terjebak” dengan model pembelajaran lama (ceramah) akan tetapi memiliki pengalaman meng- ajar yang banyak sehingga secara materi pembelajaran dapat dikuasai dengan baik, masih adanya idealisme untuk pengembangan pembelajaran yang lebih baik, adanya usaha untuk penguasaan teknologi informasi agar dapat meng- akses perkembangan teori pembelajaran maupun maupun metode pembe- lajaran kekinian. Di samping itu, guru PAI senior (lebih dari 11 tahun) juga sering diikutkan pendidikan dan pelatihan terkait dengan pengembangan pembelajaran sehingga terjadi sharing antara guru PAI muda dengan yang lebih senior.

Simpulan Dari hasil kajian penelitian di atas dapat disimpulkan sebaga berikut; Dari hasil kajian penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) tidak terdapat perbedaan kompetensi guru PAI MTs yang tersertifikasi dan guru PAI MTs yang belum tersertifikasi, analisis lebih lanjut diketahui bahwa kom- petensi guru PAI MTs yang belum tersertifikasi lebih baik daripada guru PAI MTs yang sudah tersertifikasi, (2) tidak terdapat perbedaan kompetensi guru PAI jika dikaitkan dengan masa kerja mengajar sebagai guru, (3) tidak ter- dapat interaksi antara faktor status guru dan masa kerja guru, (4) terdapat perbedaan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran rumpun PAI yang diajar oleh guru yang telah bersertifikasi dan hasil belajar peserta didik yang diajar oleh guru yang belum tersertifikasi, hasil analisis lanjut diketahui bah- wa hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran rumpun PAI yang diajar oleh guru yang telah bersertifikasi lebih baik daripada hasil belajar peserta di- dik yang diajar oleh guru yang belum tersertifikasi, (5) tidak terdapat perbe- daan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran rumpun PAI ditinjau dari masa kerja guru, dan (6) tidak terdapat interaksi antara faktor status guru PAI dan faktor masa kerja guru PAI dilihat dari hasil belajar siswa Dari hasil kajian dan pembahasan serta kesimpulan, maka direkomen- dasikan: (1) melihat hasil penelitian menunjukan bahwa status guru PAI yang sudah tersertifikasi dengan yang belum tersertifikasi ada perbedaan atau ada pengaruh yang signifikan, maka Kementerian Agama perlu menambah quota sertifikasi bagi guru PAI untuk mempercepat peningkatan kualitas pembe- lajaran PAI di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Hal ini juga didorong oleh adanya status sertifikasi juga mempengaruh hasil belajar siswa, (2) ter- kait dengan masa kerja guru PAI yang sudah tersertifikasi dengan yang be- lum tersertifikasi tidak berpengaruh terhadap kompetensi guru PAI, maka

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 194 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

Kementerian Agama perlu mempertimbangkan kembali masa kerja dijadikan landasan guru PAI memperoleh sertifikasi dan belum memperoleh sertifikasi. (3) untuk mempertahankan kualitas hasil pembelajaran siswa pada rumpun bidang studi PAI, maka guru PAI MTs perlu selalu mengembangkan kom- petensinya, baik kompetensi pedagogis, personal, sosial maupun kompetensi profesional. 1. Untuk mempertahankan kualitas hasil pembelajaran siswa pada rumpun bidang studi PAI, maka guru PAI MTs perlu selalu mengembangkan kom- petensinya, baik kompetensi pedagogis, personal, sosial maupun kompe- tensi profesional. 2. Kementerian Agama secara berkala perlu mengembangkan SDM guru PAI MTs melalui workshop maupun bentuk-bentuk pelatihan lainnya.

195 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Mulyani Mudis Taruna

DAFTAR PUSTAKA

Djamas, Nurhayati, ed. 2005. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam SLTP. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Keagamaan. Hamalik, Oemar. 2006. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompe- tensi. Jakarta: Bumi Aksara. Permendiknas No 6 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru. Suparlan. 2006. Guru sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing. UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 196 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo PENELITIAN DAMPAK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP PERILAKU REPRODUKSI SEHAT SISWA

(Uji Perbedaan Dampak PAI terhadap Jenis Kelamin dan Jurusan Peserta Didik pada Madrasah Aliyah Negeri di Propinsi Kalimantan Tengah)

a.m. wibowo Peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 18 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik Madrasah Aliyah Negeri. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Jumlah sampel se- banyak 120 pserta didik dari Madrasah Aliyah Negeri kelas XII. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik Madrasah Aliyah Negeri kelas XII di Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku reproduksi sehat peserta didik Mandrasah Aliyah se- bagai dampak pelajaran PAI. Hasil analisis lanjut menunjukkan bahwa perilaku reproduksi sehat peserta didik perempuan lebih baik dari peserta didik laki-laki. Jika dilihat dari jurusan, perilaku reproduksi sehat peserta didik dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lebih baik daripada peser- ta didik jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kata kunci: Dampak Pembelajaran PAI, Reproduksi Sehat.

Abstract This is a quantitative research which tried to perform a distinction test on the impact of teaching Islamic education on health reproductive beha-

197 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

viors of the students. By distinction here means the distinction based on the sex and the distinction based on the subject (either social science or natural science). Using the two-way anova technique, this study found three find- ings; the first, there are differences in health reproductive behaviors asa result of Islamic religious education for learners viewed from their sexes; the second, there were differences in their behaviors viewed from their majors; and the third, there was no interaction between sexes and major of the stu- dents with Islamic religious education on their behaviors. Keywords: Impact of Teaching Islamic Education, Health Reproductive.

Pendahuluan Salah satu tujuan pokok diberikannya Pendidikan Agama Islam (PAI) di madrasah adalah agar peserta didik mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial, melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pedoman dalam kehidupan pribadi dan sosial salah satunya berperilaku hidup bersih dan sehat. Berperilaku hidup bersih secara agama islam meru- pakan salah satu kemampuan minimal yang harus dikuasai peserta didik selama mengikuti pembelajaran PAI. Materi pokok thaharah, mandi besar, puasa, perilaku seksual dan sebagainya merupakan beberapa materi yang ter- kait dengan perilaku hidup sehat. Secara lebih khusus beberapa materi juga mengkaji tentang reproduksi sehat. Pembahasan mengenai reproduksi sehat sebenarnya berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat serta terkait juga dengan materi pernikahan. Beberapa survei menyebutkan bahwa perilaku seksual menyimpang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang menghawatirkan. Survei yang di- lakukan oleh Koran Panji Masyarakat (1981), majalah Editor (1992), LPM Manunggal Undip (2003), menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Ditemukan dalam rentang 15,58 sampai dengan 85,2% masing masing jum- lah responden remaja pernah melakukan hubungan seksual (Dewi Indrawati, 2005: 3). Namun dari hasil penelitian tersebut tidak pernah mengambil siswa Madrasah Aliyah sebagai populasi dan sampelnya. Pada tingkat Madrasah Aliyah, jika dilihat dari kurikulum dan mata pela- jaran pendidikan agama sebenarnya materi-materi pokok tentang reproduksi sehat dimasukan dalam rumpun matapelajaran PAI seperti Fikih, Akidah Ahlak, Al Qur’an Hadits dan Sejarah Kebudayaan Islam. Keempatnya meru- pakan satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi dalam rangka untuk mempersiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidup (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan (Wibowo, 2006).

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 198 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

Salah satu hal yang diberikan pada peserta didik di madrasah Aliyah adalah masalah reproduksi sehat. Pada tingkatan madrasah sebenarnya pen- didikan reproduksi sehat telah diberikan mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai dengan Madrasah Aliyah (MA). Yang membedakan pada ma- sing-masing tingkatan tersebut adalah pembahasan yang lebih mendalam pada tingkat yang lebih tinggi. Dicontohkan seperti masalah taharah (ber- suci) yang meliputi wudlu sampai pada masalah mandi besar (jinabah) serta merawat alat-alat reproduksi seperti mencukur rambut kemaluan, masalah munakahat (pernikahan) sampai dengan masalah had (hukuman bagi para pelanggar). Reproduksi sehat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan seks. Pendidikan seks bukanlah mengajarkan bagaimana berhubungan kela- min atau hal-hal yang negatif seperti anggapan masyarakat selama ini, tetapi pendidikan seks mempunyai dimensi bermacam-macam. Dari sudut dimensi fisik, ini berarti kita harus bisa mengerti anatomi, fisiologi organ-organ -re produksi, dan harus tahu bagaimana menjaga kesehatan organ reproduksi- nya. Sedangkan dimensi mental/ psikologis artinya kita harus bias mengerti sifat-sifat yang berkaitan dengan seks, perilaku seks, dan dapat mengatasi dorongan seksual terhadap lawan jenis secara tepat (Fanggidaej, 1995: 192). Pendidikan seks merupakan pemberian pengetahuan yang benar kepada anak dan menyiapkannya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual dimasa depan kehidupannya. Pemberian pengetahuan ini menyebab- kan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah- masalah seksual dan reproduksi (Madani, 2003: 91). Pembahasan seks (reproduksi sehat) dalam Islam tersebar dan dibahas bersamaan dengan pendidikan lainnya. Ketika membahas tentang akhlak (sistem moral), seks merupakan bagian yang dikomentari. Contohnya adalah akhlak, pergaulan antar pria dan wanita. Ketika membahas mengenai iba- dah, seks kembali menjadi bagian yang dikomentari. Contohnya adalah wajib shalat bagi individu yang telah baligh, mandi junub bagi orang yang selesai haid, bersenggama atau mimpi basah. Ketika membahas mengenai akidah (keimanan), kembali seks menjadi bagian yang dikomentari. Dalam ajaran Islam, pernikahan selain sebagai suatu tindakan ibadah karena menjalankan sunnah Nabi, juga dalam rangka menyelematkan umat Islam khususnya dari perbuatan zina (hubungan seks tanpa ikatan pernikah- an). Oleh karena itu, diperlukan bekal pengetahuan bagi peserta didik di Ma- drasah Aliyah terkait dengan reproduksi sehat sesuai hukum Islam. Berkaitan dengan masalah pendidikan reproduksi sehat di MA, usia peserta didik pada masa ini adalah usia yang paling rawan. Di mana pada masa ini siswa madrasah aliyah memasuki pada masa pubertas menuju masa remaja. Masa pubertas adalah suatu periode di mana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa Remaja (Santrock, 2002: 7) Masa pubertas dan masa remaja ini adalah masa yang harus di lewati sebelum menuju masa dewasa. Pada masa ini biasanya dimulai dari perkem-

199 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

bangan fisik dengan adanya peristiwa haid untuk perempuan mimpi basah, dan muncul kumis pada laki-laki, dan dimulainya masa pubertas. Akibat perubahan masa puber pada sikap dan perilaku anak-anak bi- asanya menarik diri dari teman-teman dan dari pelbagai kegiatan keluarga, dan sering bertengkar dengan teman-temannya dan anggota keluarganya. Anak puber kerap melamun betapa seringnya ia tidak dimengerti dan diper- lakukan kurang baik, dan mereka juga mengadakan eksperimen seks melalui mastrubasi, onani, dan perbuatan negatif lainnya (Hurlock, 1980: 92). Berbagai analisis dilakukan, mengapa perilaku seksual remaja yang me- nyimpang tersebut semakin hari semakin meningkat. Salah satu pendapat yang kemudian cukup mengemuka adalah bahwa hal tersebut terjadi kare- na kurangnya informasi yang dimiliki oleh remaja tentang reproduksi sehat ataupun perilaku seksual yang benar. Faktor kurangnya informasi tentang reproduksi sehat yang dimiliki oleh remaja adalah satu dari sekian banyak faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual remaja. Faktor lemahnya kualitas keimanan dan ketakwaan remaja, bangunan kepribadian yang rapuh, hubungan dan komunikasi dengan orang tua/pendidik yang kurang lancar serta harmonis, gaya hidup yang hedonis, individualis dan materialis yang marak di masyarakat, hingga peran negara sebagai pihak penerap sistem di masyarakat yang justru memungkinkan hal- hal yang mendukung terjadinya free sex terjadi. Maraknya pornografi-aksi, semakin banyaknya lokalisasi ataupun tem- pat-tempat mesum yang ’legal’, adalah beberapa faktor lain yang juga harus dibenahi kalau kita menginginkan persoalan perilaku seksual remaja ini bisa kita tuntaskan. Komitmen dan kerja sama lintas sektoral, yang melibatkan semua pihak terkait (remaja sendiri, orang tua, guru/sekolah, masyarakat dan negara) harus dibangun secara sinergis. Sosialiasi tentang reproduksi sehat sudah banyak dilakukan oleh pi- hak-pihak yang memiliki kompetensi dengan pendidikan reproduksi sehat, seperti BKKBN, Kementrian Kesehatan Kesahatan, Kementrian Pendidikan dan Kementrian Agama. Tetapi fakta di lapangan masih sering terjadi adanya perilaku terkait dengan reproduksi sehat tidak sehat dan bertentangan dengan hukum Islam. Sebagaimana yang masih sering dipublikasikan oleh media ce- tak maupun elektronik, seperti masih maraknya prostitusi dan hubungan seks bebas dalam pergaulan dikalangan pelajar. Sebagai contoh dari hasil peneli- tian diperoleh data bahwa semakin lama bertambah banyak peserta didik di sekolah yang menilai keperawanan bukan persoalan besar (Nadesul, 2005). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari 2,3 juta kasus aborsi 30% di- lakukan oleh remaja (150.000 – 200.000 kasus), data tersebut diperoleh me- lalui survey yang dilakukan di 9 kota besar di Indonesia, dan 28,5% remaja telah melakukan seks pranikah (Kompas dalam Tribun: Mei 2009). Timbulnya permasalahan tentang reproduksi sehat pada peserta didik, disebabkan karena pemahaman tentang reproduksi masih sebatas hubungan

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 200 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

kelamin pria dan wanita. Oleh karena itu, memperbincangkan reproduksi di- anggap sebagai hal yang sangat pribadi bahkan tidak pantas. Padahal penger- tian reproduksi lebih luas lagi sebagai pengekspresian raca cinta kasih, emosi, dan komunikasi. Secara anatomi, jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda. Sebuah studi yang dipublikasikan tahun 1992 di University of Western Ontario oleh zoologis Ankney, dan psychologist Rushton yang ditulis oleh Folia (2008), menunjukkan bahwa laki-laki memiliki berat otak sekitar 100 gram lebih besar dari pada perempuan. Studi di Denmark tahun 1997 juga mendoku- mentasikan bahwa laki-laki memiliki neuron 15% lebih banyak dari wanita (22.8 vs 19.3 milyar). Menurut Brizendine wanita dapat menggunakan seki- tar 20.000 kata setiap harinya, sedangkan laki-laki hanya sekitar 7.000 kata (Folia, 2008). Kesenjangan gender dalam menjadi bahan riset yang menarik untuk diteliti. Ryan dan Patrick (2006) melaporkan hasil penelitian tentang perban- dingan sikap peserta didik perempuan dibandingkan laki-laki. Sarimin (2008) merangkumkan otak kanan biasa diidentikkan tentang kreatifitas, fungsi dari otak kanan ini adalah untuk mengurusi proses berpikir kreatif manusia, con- tohnya adalah kemampuan komunikasi (lingusitik). Cara kerja otak kanan ini biasanya tidak terstruktur, dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Contoh orang yang mengandalkan otak kanannya diban- dingkan otak kirinya adalah seniman. Otak kiri biasa diidentikkan dengan ke- cerdasan analitik. Maksudnya otak kiri terkait dengan logika dan kemampuan berpikir sistematis seseorang. Cara kerja otak kiri sangat rapi, terstruktur dan sistematis. Biasanya otak kiri ini sangat bermanfaat saat digunakan untuk memahami hal-hal yang kompleks dan perlu pemikiran yang mendetail. Terdapat perbedaan anatomi otak laki-laki dan perempuan. Secara umum, otak terdiri dari dua tipe jaringan yang berbeda, dinamakan gray matter dan white matter. Hasil temuan Haier (dalam Folia, 2008) laki-laki memiliki 6,5 kali ukuran gray matter yang lebih banyak dari pada perempuan sedangkan perempuan memiliki white matter 10 kali lebih banyak dibanding laki-laki. Di dalam otak manusia, gray matter berfungsi sebagai pusat proses informasi sedangkan white matter bekerja menghubungkan pusat-pusat in- formasi/ analisis. Selanjutnya Haier menyatakan bahwa laki-laki cenderung menggunakan gray matter dan perempuan cenderung menggunakan white matter dalam berpikir dan bertindak. Ditemukan pula 4 kali kecenderungan perempuan menggunakan lobus hemisfer kanan dalam berpikir dibandingkan laki-laki. Data-data ini dimungkinkan untuk memberikan penjelasan menge- nai perbedaan perilaku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Dampak pendidikan agama (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik di Madrasah Aliyah dapat diidentifikasi menjadi lima yaitu;Per - tama materi yang terkait dengan reproduksi sehat yang diberikan pada peser- ta didik di Madrasah Aliyah tidak dikaji dalam materi khusus tetapi dikaji melalui pembahasan thaharoh, munakhat, dan adab-adab lainnya di dalam

201 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

mata pelajaran akhlak, termasuk materi Qur’an Hadist. Kedua pemberian materi reproduksi sehat yang tidak khusus ini diduga berdampak terjadap perbedaan pemahaman antara peserta didik laki-laki dan peserta didik perempuan. Ketiga perbedaan jurusan antara IPA dan IPS di mana pada peserta didik IPA mendapatkan tambahan mata pelajaran seper- ti Biologi yang juga berhubungan masalah anatomi tubuh manusia yang hal tersebut tidak diberikan pada siswa jurusan IPS juga diduga akan memberi- kan pandangan yang berbeda terhadap perilaku reproduksi sehat. Keempat kultur madrasah yang kental dengan religious. Dan kelima, perkembangan teknologi diduga berpengaruh terhadap pandangan peserta didik MA terkait dengan reproduksi sehat. Penelitian ini mencoba melakukan uji perbedaan dampak pendidikan Agama Islam terhadap perilaku reproduksi sehat pada peserta didik tingkat Madrasah Aliyah di provinsi Kalimantan Tengah. Dari identifikasi masalah dirumuskan 3 pertanyaan penelitian, yaitu (1) apakah terdapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Madrasah Aliyah Negeri?, (2) apakah ter- dapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ter- hadap perilaku reproduksi sehat peserta didik laki-laki dan peserta didik perempuan Madrasah Aliyah Negeri?, dan (3) apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran PAI dengan faktor jenis kelamin terhadap perilaku re- produksi sehat pada Madrasah Aliyah?. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dam- pak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku re- produksi sehat peserta didik Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Tujuan khu- susnya adalah: (a) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Penge- tahuan Sosial (IPS) Madrasah Aliyah Negeri, (2) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik laki-laki dan peserta didik perempuan Madrasah Aliyah Negeri dan untuk mengetahui apakah ada in- teraksi antara faktor pembelajaran PAI dengan faktor jenis kelamin terhadap perilaku reproduksi sehat pada Madrasah Aliyah.

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XII Madrasah Aliyah Negeri di Propinsi Kalimanatan Tengah. Teknik pengambilan sampel ditetap- kan dengan teknik strata. Alasan pemilihan sampel dengan teknik strata ini dilakukan karena peneliti menghendaki setiap sampel dapat terambil secara acak dari masing-masing kategori sampel. Kategori tersebut adalah jenis kela-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 202 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

min dan jurusan. Sampel dalam penelitian ini adalah peserta didik MAN kelas XII yang di- ambil secara random pada setiap strata. Setiap kelompok sampel ditetapkan jumlah sampel sebanyak 30 siswa per kelompok . Jumlah sampel sebanyak 30 perkelompok ini didasarkan pada pendapat bahwa untuk penelitian eks- perimen paling sedikit 30 sampel perkelompok (Ruseffendi, 2001). Jadi, se- cara keseluruhan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 120 orang. Variabel dalam penelitian ini ada tiga yaitu variabel bebas, variabel teri- kat, dan variabel kontrol (variabel antara). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang meliputi mata pelajaran Fikih, Al-Qur’an Hadits, Akidah Ahlak, dan SKI. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku peserta didik terkait dengan reproduksi sehat. Variabel kontrol (antara) dalam penelitian ini adalah jenis kelamin dan jurusan (IPA dan IPS). Teknik pengambilan data menggunakan angket. Selanjutnya hasil pe- nyekoran pada angket dianalisis menggunakan SPSS versi 12. Teknik anali- sis data dalam penelitian ini menggonakan ANOVA DUA JALUR. Analisis uji ANOVA dilakukan setelah data diketahui normal dan homogen melalui uji normalitas dan uji homogenitas data.

Temuan Penelitian Hasil Studi Pendahuluan Hasil studi pendahuluan menunjukan pembelajaran reproduksi sehat telah diberikan pihak madrasah (sekolah) kepada siswa Madrasah Aliyah me- lalui pendidikan agama (Akidah Ahlak, Al-Qur’an Hadits, Fikih, Sejarah Ke- budayaan Islam). Muatan kesehatan reproduksi dalam mapel Fikih dan aki- dah ahlak tersebut tidak disusun secara khusus dalam silabus maupun RPP. Pihak madarasah memandang pemberian materi reproduksi sehat merupak- an pelajaran yang penting bagi peserta didik mengingat input peserta didik yang masuk ke madrasah ini hampir 50 persen berasal dari sekolah umum (SMP). Praktis banyak peserta didik yang tidak mengetahui masalah bersuci (thaharah), mencukur bulu kemaluan, bahaya menonton gambar porno dan masalah seks lainnya. Hasil wawancara terbatas dengan guru dalam rumpun PAI diketahui bahwa guru merasa pentinf menyampikan materi Fiqih, khususnya terkait dengan pendidikan seks. Hal ini dikarenakan peserta didik MA sudah mema- suki masa baligh (dewasa), dan maraknya pergaulan bebas di masyarakat. Guru madrasah melihat ada respon positif dari madrasah (lembaga) dan orang tua. Pendidikan seks tidak hanya disampaikan di kelas tetapi juga di luar kelas seperti dalam majelis taklim di madrasah atau pada saat kultum shaolat dhuhur yang disesuaikan dengan topik kultum.

203 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

Hasil Studi Angket Jumlah peserta didik sebagai responden adalah 120 orang. Dari 120 orang sampel tersebut kemudian di bagi menjadi 4 kategori yaitu berdasarkan jurusan IPA, IPS dan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Masing-ma- sing berjumlah 30 orang siswa. Angket digunakan untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan agama di MA dan implementasinya terhadap perilaku peserta didik yang berkaitan dengan reproduksi sehat. Hasil reka- pitulasi angket disajikan pada Tabel berikut: Tabel Hasil Rekapitulasi Angket Reproduksi Sehat Jumlah Siswa No Rentang Skor Kategori IPA IPS 1. 0 - 30 Kurang baik - - 2. 31 - 60 Cukup - - 3. 61 - 90 Baik 9 27 4 91 - 120 Sangat baik 51 33 Keterangan; skor minimal = 30, maksimal = 120 Tabel tersebut di atas menunjukan bahwa tingkat pengetahuan reproduksi sehat peserta didik MAN Maliku berada dalam kategori baik dan sangat baik. Namun jika dilihat lebih lanjut maka jumlah peserta didik yang pengetahuan reproduksi sehatnya dengan kategori baik untuk siswa IPA sebanyak 9 orang dan siswa IPS sebanyak 27 orang. Sementara itu, untuk kategori perilaku re- produksi sehat sangat baik untuk anak IPA dimiliki oleh anak IPA sebanyak 52 orang dan siswa IPS sebanyak 33 orang.

- Analisis Data Awal Analis data awal atau uji prasyarat adalah sayarat mutlak sebuah data dapat dilakukan uji lanjut (analisis data akhir). Uji prasyarat tersebut meli- puti uji normalitas dan homogenitas data. Untuk menguji normalitas data digunakan uji non parametrik statistik Kolmogorov sminorv z. Sedangkan untuk uji homogenitas data dapat dike- tahui dari uji levene’s test of equality of errors varances. Sedangkan tingkat persebaran data dapat diketahui dengan menggunakan deskriptive Q-Q Plot dengan porportion estimation Tukey. Perhitungan uji prasyarat digunakan alat bantu SPSS 15.00. Hasil uji normalitas dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Tabel Uji Normalitas

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 204 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

One- Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Score N 120 Normal Parametersa,b Mean 95.76 Std. Deviation 8.043 Most Extreme Absolute .087 Differences Positive .087 Negative -.081 Kolmogrov-Smirnov Z .948 Asymp. Sig. (2-Failed) .330 a. Test distribution Normal b. Calculated from data Dari hasil perhitungan uji Kolmogororv Sminorv Z diperoleh nilai alfa (Asymp.Sig. (2-tailed) sebesar 0,330. Nilai signifikan tersebut jika lebih be- sar nilai alfa 5% (0,005). Dengan demikin hipotesis nihil yang berbunyi H0: “Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal” adalah terbukti. Se- bab nilai signifikasnsi yang diperoleh lebih besar dari nilai alfa 5 persen. Hipotesis untuk menguji apakah data sampel homogen adalah H0: 12 = 22 atau “kedua kelompok sampel tidak memiliki perbedaan vari- ansi”. Hasil perhitungan tentang homogenitas data dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini. Tabel Homogenitas Data Levene’s Test of Equality of Error Variances

Dependent Variable: Score F cf1 cf2 Sig. .005 3 116 .393 Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design:+Jenis_kelamin+Jurusan+Jenis_ kelamin*Jurusan Hasil uji homogenitas data diperoleh signifikasi statistik sebesar 0,393. nilai ini lebih besar dari nilai alfa 5%. Dengan demikian Ho yang berbunyi sampel berasal dari populasi yang homogen diterima. Artinya sampel angket berasal dari sampel yang homogen. Dari uji prasyarat di atas maka syarat data dapat diuji menggunakan Anova dua jalur dapat dilakukan.

205 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

- Analisis Data Akhir Dampak Pendidikan Agama Islam terhadap perilaku reproduksi sehat siswa dilakukan dengan analisis varian dua jalur (Two way Anova). Two way anova ini merupakan salah satu cara untuk mengukur sejauh manakah per- bedaan dampak pemberian pembelajaran pendidikan agama Islam oleh guru agama (Fikih, Akidah Ahlak, Al-Qur’an Hadits dan Sejarah Kebudayaan Is- lam) terhadap perilaku keseharan reproduksi peserta didik di Madrasah Ali- yah Negeri di Propinsi Kalimanatan Tengah dilihat dari Jenis Kelamin mau- pun Jurusan baik IPA atau IPS. Hipotetsis statistik untuk menguji perbedaan adalah sebagai berikut. Ho: tidak ada perbedaan perilaku reproduksi sehat antara laki-laki dan perem- puan terkait pendidikan agama (Fikih, Aqidah—Ahlak, Al-Qur’an—Ha- dits, maupun SKI) Ha : terdapat perbedaan perilaku reproduksi sehat antara laki-laki dan perem- puan terkait pendidikan agama (Fikih, Aqidah—Ahlak, Al-Qur’an—Ha- dits, maupun SKI) Ho: tidak ada perbedaan perilaku reproduksi sehat antara peserta didik pada jurusan IPA maupun IPS. Ha: ada perbedaan perilaku reproduksi sehat antara peserta didik pada jurus- an IPA maupun IPS. Ho: tidak terdapat interaksi antara jenis kelamin dan jurusan peserta didik terhadap reproduksi sehat. Ha: terdapat interaksi antara jenis kelamin dan jurusan peserta didik terha- dap reproduksi sehat. Sebagai alat bantu perhitungan digunakan perangkat lunak SPSS versi 15. Hasil perhitungan dengan anova dua jalur disajikan pada tabel uji anova dibawah ini. Tabel Uji Anova Dampak PAI Terhadap Perilaku Reproduksi sehat Peserta Didik Test of Between-Subjects Effect Dependent Variable: Score Type III Sum Source of Square of Mean Square F Sig. Corrected 977.092a 3 325.697 5.621 .001 Intercept 1100359.008 1 1100359.008 18991.749 .000 Jenis_kelamin 357.075 1 357.075 6.163 .014 Jurusan 612.008 1 612.008 10.563 .002 Jenis_kelamin*Jurusan 8.008 1 8.008 138 .711 Error 6720.900 116 57.939

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 206 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

Total 1108057.000 120 Corrected Total 7697.992 119 a. R Squared = .127 (Adjusted R Square = .104) Dari Tabel uji Anova di atas dapat dilihat bahwa nilai siginifikasi pada baris jenis kelamin sebesar 0,014 Nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi 0.05, ini berarti Ho ditolak. Jadi karena Ho ditolak maka kesimpulannya adalah ada perbedaaan pemahaman atau pengetahuan tentang reproduksi sehat dilihat dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan atau dengan kata lain Ha di terima. Pada baris jenis kelamin sebagaimana disajikan pada tabel uji Anova dapat dilihat hasil perhitungan dampak pembalajaran PAI terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik dilihat dari jurusan diperoleh nilai signifikansi 0,002. Nilai hasil perhitungan ini ternyata lebih kecil dari nilai alfa 0,05 (con- fidence level at 95 %). Dengan demikian hipotesis yang diterima adalah hipote- sis statitik (Ha). Artinya terdapat perbedaan perilaku reproduksi sehat antara peserta didik jurusan IPA dan IPS sebagai implikasi dari pembelajar-an pendi- dikan agama Islam pada Madrasah Aliyah di Propinsi Kalimantan Tengah. Pada baris interaksi (jenis_kelamin*Jurusan) diperoleh signifikansi hasil perhitungan sebesar 0,711. Nilai signifikansi ini ternyata lebih besar dari nilai signifikansi alfa 0,05 (confidence level at 95%). Dengan demikian hipotesis nol (Ho) yang berbunyi tidak ada interaksi antara jenis kelamin dan jurusan ter- hadap reproduksi sehat peserta didik madrasah Aliyah di Propinsi Kalimantan Tengah terbukti.

Pembahasan Dari hasil analisis data akhir dengan mengunakan anova dua jalur di- peroleh jawaban bahwa terdapat perbedaan perilaku reproduksi sehat peserta didik baik dilihat dari jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) maupun ju- rusannya (IPA maupun IPS). Perbedaan tersebut jika dikaji secara lebih men- dalam berdasarkan hasil pengamatan, wawancara di lapangan dan juga didu- kung teori yang ada dapat terjadi karena beberapa faktor. Faktor pertama berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Pada tingkatan umur yang sama dimungkinkan bahwa tingkat kedewasaan baik kematangan berfikir maupun perkembangan psikologi jenis kelamin perempuan lebih de- wasa dan dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Tingkat pubertas anak laki-laki dimulai pada umur 14 tahun hal tersebut dapat dilihat bahwa pada usia tersebut Gonad atau testis sudah berkembang sebesar 10 persen (Hurlock, 2004: 210). Pada usia ini anak laki-laki sudah mu- lai merasakan mimpi basah yang menunjukan alat-alat reproduksi sudah mulai aktif. Sedangkan pada anak perempuan tingkat pubertas dimulai pada usia 11 atau 12 tahun. Pada usia ini tuba falopi, telur-telur dan vagina sudah mulai tum- buh pesat. Dengan tumbuh pesatnya alat-alat reproduksi maka anak perem-

207 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

puan sudah mengalami menstruasi yang merupakan indikator kematangan seksual (Hurlock, 2004: 210). Secara teori peserta didik perempuan memiliki pemahaman kesehatan re- produksi yang lebih tinggi karena laki-laki berdasarkan teori terdapat perbe- daan anatomi otak laki-laki dan perempuan. Secara umum, otak terdiri dari dua tipe jaringan yang berbeda, dinamakan gray matter dan white matter. Hasil temuan Haier (dalam Folia, 2008) laki-laki memiliki 6,5 kali ukuran gray mat- ter yang lebih banyak dari pada perempuan sedangkan perempuan memiliki white matter 10 kali lebih banyak dibanding laki-laki. Di dalam otak manusia, gray matter berfungsi sebagai pusat proses informasi sedangkan white matter bekerja menghubungkan pusat-pusat informasi/ analisis. Laki-laki cende-rung menggunakan gray matter dan perempuan cenderung menggunakan white matter dalam berpikir dan bertindak. Ditemukan pula 4 kali kecenderungan perempuan menggunakan lobus hemisfer kanan dalam berpikir dibandingkan laki-laki. Data-data ini dimungkinkan untuk memberikan penjelasan mengenai perbedaan perilaku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Hal tersebut semakin menguatkan teori bahwa siswa perempuan cende- rung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail tentang keadaan diri- nya. Perbedaan berikutnya dapat teridentifikasi dari pernyataan pada angket tentang “perbuatan menyimpang seperti onani dan masturbasi mempengaruhi kesehatan reproduksi” jumlah responden laki-laki yang menjawab setuju dan sangat setuju lebih sedikit dari perempuan. Dari perbedaan ini, berarti perem- puan lebih beranggapan bahwa onani dan masturbasi dapat menganggu kese- hatan. Dalam hukum Islam melakukan onani dan masturbasi termasuk kate- gori zina, oleh karena itu berarti termasuk perbuatan yang dilarang Allah atau berdosa. Faktor kedua adalah penentuan jurusan baik IPA dan IPS yang diperun- tukkan bagi peserta didik di madrasah aliyah sedikit banyak mempengaruhi perbedaan pengetahuan dan pemahaman terhadap reproduksi sehat dan mo- tivasi belajar peserta didik. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan motivasi berprestasi dan perbedaan mata pelajaran yang diberikan pada masing-masing jurusan. Berdasarkan hasil observasi, wawancara di lapangan diperoleh gambaran bahwa terdapat perbedaan motivasi berprestasi antara peserta didik jurusan IPA ataupun IPS. Peserta didik jurusan IPA ternyata memiliki tingkat motivasi berprestasi yang cenderung sangat tinggi dibandingkan dengan peserta didik jurusan IPS yang hanya memiliki motivasi berprestasi sedang. Terkait dengan pengetahuan dan pemahaman materi reproduksi sehat ter- dapat pembeda yang mencolok pada mata pelajaran yang diberikan. Pembeda tersebut jelas terlihat manakala beberapa mata pelajaran (mapel) yang terdapat pada jurusan IPA tidak terdapat pada mapel pada jurusan IPS atau sebaliknya. Diantara mata pelajaran pembeda misalnya pada jurusan IPA terdapat mata pelajaran Biologi yang tidak dipelajarai di jurusan IPS. Berkaitan dengan

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 208 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

mata pelajaran Biologi maka materi tentang reproduksi sehat yang juga yang diberikan pada mapel PAI dapat diperkuat oleh Biologi. Sedangkan pada siswa jurusan IPS mapel reproduksi sehat hanya mendaptkan materi reproduksi se- hat hanya dari mapel Fikih dan Akidah Ahlak. Dari uraian temuan dan pembahasan maka dapat dianalisis lanjut bahwa pembelajaran reproduksi sehat sudah selayaknya diberikan pada siswa Mad- rasah Aliyah pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak hanya pada jurusan IPA saja melainkan juga pada jurusan IPS dan jurusan lainnya yang ada di madrasah tersebut. Pembelajaran reproduksi sehat tidak hanya melulu pada persoalan alat-alat reproduksi tetapi bahayanya dilihat dari sisi agama, kesehatan fisik, psikologi, sosial disertai dengan hukum-hukum bagi pelang- garnya. Dengan memberikan materi reproduksi sehat pada mata pelajaran Pendi- dikan Agama Islam maka bahaya-bahaya yang timbul akibat berkembangnya tingkat kedewasaan seksual peserta didik dapat diminimalisir. Bahaya yang dimaksud adalah konsep diri yang kurang baik prestasi yang rendah, kurangnya persiapan menghadapi masa puber, penerimaan terhadap perubahan fisiologi tubuh akibat beranjak dewasa, penyimpangan dalam pema- tangan sosial. Dilihat dari hasil temuan penelitian di atas yaitu dari hasil wawa- ncara dan kurikulum pendidikan agama islam tampaknya materi pendidikan reproduksi sehat telah diberikan pada materi pendidikan agama islam meski baru sebatas kulitnya.

Simpulan Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik tiga kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Madrasah Aliyah Negeri di Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil analisis lanjut diketahai bahwa perilaku reproduksi sehat peserta didik Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lebih baik daripada peserta didik Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS. 2. Terdapat perbedaan dampak pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perilaku reproduksi sehat peserta didik laki-laki dan peserta didik perempuan Madrasah Aliyah Negeri. Hasil analisis lanjut diketahai bahwa perilaku reproduksi sehat peserta didik perempuan lebih baik dari peserta didik laki-laki. 3. Tidak terdapat interaksi antara faktor pembelajaran PAI dengan faktor jenis kelamin terhadap perilaku reproduksi sehat pada Madrasah Aliyah. Ini be- rarti tidak ada kaitan antara faktor jenis kelamin dengan faktor jurusan. Dari hasil penelitian direkomendasikan pendidikan yang terkait dengan reproduksi sehat tidak hanya dikaji melalui mata pelajaran Fikih, tetapi pada mata pelajaran lain seperti biologi atau pendiidkan karakter dengan tetap merujuk pada ajaran Agama Islam.

209 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa A.M. Wibowo

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. 2006. Kurikulum Madrasah Aliyah. Jakarta: Departe- men Agama. Fanggidaej, Lenny. 1995. Kamus Pendidikan. Jakarta: Restu Agung. Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perekembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Jakarta: Erlangga. Indrawati, D. 2005. Pendidikan Seks dalam Prespektif Ali Akbar. Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kinnaird, K. dan Gerrard, M. 1996. Premarital Sexual Behavior and Attitude toward Marriage and Divorce Among Young Women as a Function of Their Mother’s Marital Status. Journal of Marriage and the Family. Page 48: 757-765. Laksmiwati, I.A. 1999. Perubahan Perilaku Seks Remaja Bali. Yogyakarta: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas. Nadesul, H. 2005. Koran Tempo, 26 Nopember 2005. Proyek Safe Motherhood Departemen Agama. 2001. Reproduksi Sehat Remaja: Buku Pengantar Guru, Pengawas, dan Pelatih. Jakarta: Biro Perencanaan Departemen Agama RI. Santrock, W John. 2007. Life Spant Development (Terj. Perkembangan Masa Hidup) Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Sanderson, Stephen K. 1999. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wibowo, A.M. 2010. Pendidikan Reproduksi Sehat Bagi Siswa Madrasah Aliyah di Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Dan Kalimantan Barat. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 210 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim PENELITIAN

makna arsitektur masjid pakualaman dalam tinjauan kosmologi jawa

moh. hasim Peneliti bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 14 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Masjid memiliki arti penting dalam kebudayaan dan peradaban Is- lam. Masjid tidak hanya sebagai simbol kebesaran Islam tetapi juga men- jadi simbol harmoni kehidupan manusia dengan alam lingkungan. Melalui pendekatan sejarah dan arkeologi penelitian ini menemukan bahwa Masjid Pakulaman memiliki keterkaitan dengan perkembangan kebudayaan Jawa. Secara utuh bangunan Masjid Pakualaman merupakan perpaduan antara unsur Hindu Jawa dan Islam sebagai bentuk yang sarat dengan makna kos- mologis dan kaya harmonisasi kehidupan spiritual. Harmonisasi tersebut dapat dilihat dari bentuk atap tajuk dengan mustaka berbentuk gada, orna- men sulur bunga dan gapura pintu utama. Kata kunci: Arsitektur Masjid, Kosmologi Jawa.

Abstract Masjid () plays a significant role in Islamic culture and civili- zation because it is not only a symbol of Islamic glory but also a symbol of harmonious life between humans and their surroundings. Through his- torical and archeological approaches, this study could reveal that the Masjid Pakualaman (Yogyakarta) has a close relationship with development. The mosque is a perfect picture of assimilation between Ja- vanese Hindu and Islam. The building is full of cosmological meaning and harmonious spiritual life. There are at least three elements of the mosque as the evidences of the harmony: the shape of the roof, the flower tendril orna-

211 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

ment, and the construction of the main gate of the mosque. Keywords: Mosque Architecture, Javanese Cosmology.

Pendahuluan Masjid adalah simbol syi’ar Islam dan sekaligus sebagai pusat kegiatan keagamaan. Keberadaan masjid sebagai salah satu tempat pengabdian seorang hamba kepada penciptanya menjadi elemen penting dalam ritual peribadatan umat Islam. Perhatian besar umat Islam terhadap masjid ditunjukkan oleh desain bangunan masjid yang cukup megah, indah dan monumental. Namun demikian, masjid dalam perkembangannya bukan saja menjadi pusat ibadat khusus seperti salat dan i’tikaf, akan tetapi juga mempunyai peranan yang lebih luas menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia. Secara historis, masjid di Indonesia mempunyai andil besar dalam kema- juan peradaban umat. Masjid menjadi penopang utama kemajuan peradaban. Pada awal masuknya Islam, penyebaran risalah Muhammad saw. yang dilaku- kan para ulama dan para wali tidak lepas dari peran masjid. Masjid pada saat itu menjadi pusat bertemunya para ulama dan wali untuk merancang strategi dakwah yang relevan dengan kebudayaan masyarakat (Gazalba, 1971). Melalui peran masjid sebagai pusat dakwah atau transmisi Islam, ajaran Islam mampu diterima oleh masyarakat Indonesia tanpa kekerasan, perkela- hian atau perang. Kearifan para Wali Sembilan melalui desain bangunan mas- jid yang mengakomodasikan model bangunan lokal dan menghargai kesucian tempat-tempat peribadatan lama, berhasil memikat hati masyarakat. Bahkan dengan memanfaatkan bangunan masjid secara optimal, para wali di Jawa, misalnya, berhasil menyiapkan sistem pemerintahan Kerajaan Demak, se- hingga sampai pada akhirnya pimpinan Demak dapat diislamkan dan Demak menjadi kerajaan dengan sistem Pemerintahan Islam pertama di Jawa. Perkembangan selanjutnya, masjid ini mampu menjadi simbol kebuda- yaan dari kota-kota Kerajaan Islam di Nusantara. Dalam planologi kota-kota kuno di Jawa, pada umumnya tidak meninggalkan masjid sebagai elemen penting di dalamnya. Masjid menjadi elemen yang digunakan dalam pemba- ngunan perkotaan, seperti di Cirebon, Demak. Semarang, Yogyakarta, dan juga Pakualaman. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi masjid dalam per- jalanan perkembangan kebudayaan masyarakat menempati posisi penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pemerintahan dan kos- mologi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Posisi penting masjid dalam perkembangan kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan tersebut agaknya perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Masjid dalam tinjauan sejarah tidak sekedar sebuah bangunan tanpa makna, tetapi banyak sekali nilai-nilai filosofi penting yang ada dalam mas- jid, yang sangat berguna bagi perkembangan peradaban manusia. Masjid memberikan peran dalam menggoreskan sejarah peradaban manusia. Masjid

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 212 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

adalah salah satu saksi di masa lain tentang sebuah kejayaan peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan. Masjid Pakualaman sebagai bagian dari peninggalan bersejarah menjadi salah satu bukti perkembangan Islam di wilayah Dalem Pura Pakualaman Yog- yakarta. Penguasa Pakualaman yang notabene-nya sebagai bagian dari raja Jawa masih menaruh perhatian akan pentingnya pembangunan mental me- lalui pembangunan masjid sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan den- gan kokohnya bangunan keraton. Bahkan ciri arsitektur dari benda pening- galan yang masih ada di dalam kompleks masjid, menunjukkan bahwa Masjid Pakualaman di masa lalu juga sangat memperhatikan keserasian antara kebu- dayaan Jawa dengan Islam sebagai sebuah harmoni kebudayaan.

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sejarah dan arkeologis, yang digunakan dengan prinsip fleksibilitas. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu mencari dan menemukan sumber- sumber primer maupun sekunder yang diperlukan untuk penelitian. Tujuan- nya untuk menentukan posisi Masjid Pakualaman sebagai bagian dari pening- galan sejarah yang patut untuk diteliti. Melalui cara heuristik pencarian data dilakukan dalam bentuk kegiatan penelusuran sumber-sumber arsip, doku- men, buku, majalah/jurnal, surat kabar, dan berbagai sumber sejarah Masjid Pakualaman yang menguatkan keberadaannya dalam lintasan sejarah. Data yang telah diperoleh, selanjutnya diklarifikasi melalui kritik sum- ber atau verifikasi, yaitu kegiatan mencari dan menilai sumber-sumber- se jarah terkait dengan sejarah, fungsi dan struktur bangunan Majid Pakulaman secara kritis. Verifikasi dilakukan dengan pengamatan secara fisik terhadap objek yang dikaji yaitu Masjid Pakualaman dan juga dengan wawancara ter- hadap orang-orang yang dipandang mengetahui hal itu sebagai sumber lisan, atau dengan membandingkan sumber-sumber literatur. Data yang telah diyakini kebenarannya melalui verifikasi secara men- dalam kemudian diberi pemaknaan melalui interpretasi peneliti secara objek- tif. Data ditafsirkan apa adanya sesuai dengan hasil pengamatan, klarifikasi narasumber, dan verifikasi dengan sumber-sumber data lain. Data-data yang ditemukan dikelompokkan dalam tiga kelompok utama, yaitu sejarah masjid, gambaran struktur bangunan, dan fungsi masjid. Penafsiran makna satu fakta dengan fakta lainnya secara objektif, dan rasional itu, kemudian secara historiografi dituliskan dalam rangkaian fakta- fakta secara kronologis/ diakronis dan sistematis menjadi sebuah tulisan se- jarah mengenai masjid kuno di daerah tersebut. Secara teknis, metode terse- but tidak digunakan secara kaku tetapi diberlakukan secara fleksibel sesuai dengan kondisi di lapangan dan mempertimbangkan kecukupan waktu, ke- tersediaan data dan sumber-sumber data primer. Metode sejarah yang digu- nakan ini merupakan metode utama, namun untuk melengkapi kecukupan

213 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

data penelitian, pendekatan lain juga digunakan seperti pendekatan arkeologi untuk mendeskripsikan bentuk bangunan.

Arsitektur Masjid dan Kosmologi Jawa Secara etimologi, kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang be- rarti dunia, atau aturan alam, dan “logos” yang berarti rasio atau akal. Karena itu, kosmologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia). Arti yang lebih luas, kosmologi juga bisa diartikan dengan ajar- an atau ulasan tentang dunia. Sehingga kosmologi bisa menjadi sebuah ilmu yang mampu menelaah segala hal tentang alam semesta dalam skala yang lebih besar, misalnya meneliti gerak keteraturan benda-benda langit. Chris- tian Wolf menggunakan kosmologi sebagai disiplin ilmu untuk menyelidiki sesuatu menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya dalam bingkai kosmologi sebagai satu kesatuan antara gerak ma- nusia dengan gerak alam semesta seisinya (Anshory, 2008). Hegel sebagai seorang filsuf idealis Jerman memberikan pokok-pokok persoalan yang menjadi pokok-pokok kajian dalam kosmologi yaitu: 1. Contingence (kemungkinan, hal-hal yang kebetulan) 2. Necessity (keharusan) 3. Limitations and Formal Laws of the Word (batas-batas formal dalam hu- kum-hukum formal alam) 4. The Freedom of Man and the Origin of Evil (kebebasan manusia dan asal mula kejahatan (Anshory, 2008) Sementara itu, A.E Taylor dalam buku Element of Metaphysis mengatakan bahwa tujuan dari pokok-pokok pembahasan dalam kosmologi adalah untuk memberikan pertimbangan makna dan validitasnya yang berserakan dalam konsep yang universal sebagai sifat dasar dari objek yang bersifat individu. Si- fat dasar individu yiatu: extension (keluasan), succession (urut-urutan), space (ruang), time (waktu), number (bilangan), magnitude (besaran/ jarak), mo- tion (gerak), change (perubahan), quality (kualitas), matter (mated), causal- ity (sebab-akibat), interaction (interaksi) (Anshory, 2008). Karena itu, ketika melihat sisi arsitektur masjid dalam bingkai kosmologi sangatlah rumit dan terkait dengan banyak hal dari sistem kehidupan yang di- jalani oleh manusia. Arsitektur sendiri muncul tidak lepas dari kebutuhan ma- nusia. Arsitektur mengembangkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sekaligus metafisis. memenuhi unsur raga maupun kejiwaan masyarakat. Keindahan bentuk arsitektur menjawab keinginan emosional, intelektual ser- ta menuntun kearah perenungan. Bentuk arsitektur dapat dipahami sebagai sebuah kerangka bagaimana konsep tradisi berlaku di masyarakat. Koentjaraningrat menggambarkan karya arsitektur sebagai salah satu wujud paling kongkret dari kebudayaan, sebagai bagian dari kebudayaan fisik yang sifatnya nyata dari benda-benda mulai dari kancing baju, peniti, sampai

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 214 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

ke komputer dan alat-alat elektronik yang serba canggih (Koentjaraningrat, 1974). Dengan kata lain, apabila menyikapi arsitektur sebagai artifak budaya maka mencermati secara terperinci bagian-bagiannya akan menjadikannya sebagai tanda-tanda untuk memandu penelusuran berkaitan dengan kom- pleksitas unsur kebudayaan di mana ia berada. Penelusuran secara mendalam terhadap karya arsitektur akan menemu- kan sebuah jalinan sistemik, sehingga keberadaaan karya arsitektur sulit di- pisahkan dari dua wujud kebudayaan yang mendahului kelahirannya, yaitu sistem kemasyarakatan dan kompleksitas ide. Benda-benda bentukan dapat dihargai kedudukannya sebagai benda bermakna mistis dan puitik daripada kegunaan rasional dan praktisnya. Pendapat Munfort menjadi salah satu to- pangan penyataan Rapoport tentang dua alur hubungan antara perilaku dan benda bentukan (Rapoport, 1969). Pada konteks pemikiran tersebut, maka arsitektur masjid juga merupakan bagian dari ekspresi jiwa, yaitu jiwa spiritualitas dalam bentuk kebendaan. Mas- jid sebagai implementasi dari spiritualitas umat muslim juga terkait dengan hukum kebendaan yang tidak bisa lepas dari konteks kebudayaan sebagaima- na pendapat Koentjaraningrat maupun Rapoport. Oleh karena itu dalam kaji- an mengenai masjid Pakualaman akan senantiasa mengikuti pandangan-pan- dangan yang ada di masyarakat. Seperti pandangan tentang kosmologi dalam masyarakat Jawa sebagai konteks kebudayaan yang melingkupinya. Pada kosmologi Jawa dikenal beberapa sistem pokok yang biasa dianut oleh masyarakat terutama oleh sistem kekuasaan dalam kerajaan, yaitu: 1. Konsep Dualitas: Konsep ini menunjukkan fenomena yang terdiri atas dua hal yang saling bertolak belakang, berlawanan, tetapi secara alami saling melengkapi agar kehidupan di jagat raya ini bisa tumbuh dan berkembang secara harmonis. Sebagai contoh hubungan dualitas yaitu, kanan dan kiri. langit dan bumi, dan lain sebagainya. 2. Konsep Center: Konsep ini memberikan pandangan bahwa dalam konsep dualitas antara dua hal yang bertolak belakang terdapat sebuah keseim- bangan yang menghubungkan. Pada center itulah letak kebaikan yang di- anggap sebagai pusat dari jagat baik secara makro maupun secara mikro yang mempuyai tingkat kesakralan. 3. Konsep Mancapat: Mancapat berasal dari kata “papat” sebagai urutan dalam hitungan Jawa keempat. Kata manca berarti perbedaan. Jadi kata mancapat dapat diartikan sebagai empat perbedaan dengan maksud bah- wa konsep mancapat membagi ruang menjadi empat bagian yang masing- masing mewakili suatu unsur kehidupan atau memanifestasikan makna dalam kehidupan. Pada kosmologi Jawa, kehidupann tidak lepas dari unsur-unsur alam yang ada yaitu api, air, bumi, dan udara, termasuk juga elemen arah yaitu timur, barat, utara, selatan. 4. Konsep Mancalima: adalah konsep yang tidak ubahnya dengan konsep cen- ter sebagai penyeimbang konsep dualitas. Mancalima adalah penyem-

215 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

purna dari konsep-konsep kosmologi Jawa. Mancalima merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mancapat yang di dalamnya terdapat pusat atau center yaitu titik tengah yang menjadi sumbu sebagai simbol kekuatan abadi dan jatidiri (Tjahyono, 1989). Sistem mancapat memegang peran penting dalam membangun mental- itas orang Jawa, karena berfungsi sebagai sistem klasifikasi. Sistemmancapat merupakan prinsip filosofis yang membagi ruang dalam empat bagian utama sesuai dengan empat arah mata angin dengan pusat berada di tengah atau disebut dengan pancer. Filsafat mancapat kemudian dikenal dengan manca- pat lima pancer (Wiryomartono, 1995). Pada sistem mancapat-mancalima, melihat bahwa setiap arah mata angin sesungguhnya terkait tidak hanya dengan seorang dewa tetapi juga warna dasar, logam, cairan, hewan, sederet huruf, bahkan hari sepekan. Selain itu, sistem mancapat-mancalima, bukan hanya ruang dalam arti geometrisnya, akan tetapi manusia seutuhnya yang terbagi dalam lima (atau sembilan) kategori menurut suatu sistem perpadanan yang tidak kepalang tanggung. Timur ber- padanan dengan warna putih, perak, santan; selatan dengan warna merah, tembaga, darah; barat dengan warna kuning, emas dan madu; utara dengan warna hitam, besi dan nila. Akhirnya, pusat yang seakan-akan sintesis dari keempat arah mata angin dan yang meringkaskan sifat-sifatnya, berpadanan dengan warna-warni perunggu. Sistem mancapat mencerminkan keunggulan pusat. Pusat kota berupa alun-alun dikelilingi oleh beberapa bangunan penting masyarakat, seperti pendapa pemerintahan, masjid besar, pasar, dan sekolah. Sistem tata kota mancapat ini sering dipakai oleh kerajaan Jawa zaman dulu dengan maksud untuk menarik minat masyarakat untuk berada di pusat kota. Pusat kota dapat terlihat ramai dengan berbagai rutinitas warganya. Namun demikian, kawasan alun-alun bukanlah sekedar tanah lapang di tengah pusat kota, na- mun sekaligus memiliki makna terkait dengan kosmologi Jawa. Pada kaitan ini, alun-alun dipandang sebagai pusat mikrokosmos dan makrokosmos. Penataan alun-alun memperhatikan persilangan garis sumbu utara-se- latan dan timur-barat, dengan titik persilangan di tengah sebagai titik inti. Formula empat penjuru mata angin dan ditambah dengan satu titik pusat berkaitan dengan konsepsi “mancapat (lima-empat)” dan konsepsi delapan (hasta) penjuru mata angin “Hasta Brata” (P. Wiryomartono, 1995). Garis sumbu timur barat melambangkan kelahiran dan kematian, positif- negatif, sekaligus hubungan vertikal manusia dan IllahiNya. Sisi timur melam- bangkan perbuatan buruk (dosa). adapun sisi barat menyimbolkan perbuatan baik (ibadah, pahala). Pada simbolisasi ini, di sisi timur ditempatkan panjara. Tempat orang yang berbuat salah menjalani hukuman. Sebaliknya, pada sisi barat didirikan masjid sebagai tempat manusia beribadah. Garis sumbu utara-selatan melambangkan hubungan horisontal antar manusia. Sisi utara adalah lambang hubungan rakyat-penguasa (bupati),

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 216 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

sehingga bangunan kantor dan sekaligus rumah dinas penguasa (pendopo) lazim dilokasikan di sisi utara alun-alun. Adapun sisi selatan adalah lambang hubungan antar manusia dalam bertransaksi ekonomi, sehingga pasar la- zim ditempatkan di sisi selatan. Titik persilangan di tengah merupakan inti dari kosmos, dimana tegak berdiri satu atau dua pohon beringin dikelilingi pagar (ringin kurung), sebagai simbol dari pohon kehidupan atau keabadian, yang dalam budaya akhais masa Hindu-Buddha disebut “kalpataru atau kal- pawreksa”. Karena itu, kompleksitas permasalan dalam kajian arsitektur masjid dalam pandangan kosmologi Jawa perlu dihubungkan dengan keberadaan bangunan-bangunan lain seperti dalam hubungannya dengan bangunan-ba- ngunan keraton. Karena pada hakikatnya dalam konsep aristektur dilihat dari dimensi arkelologis maupun antropologis, keberadaan masjid tidak bisa lepas dari dimensi-dimensi lain. Dari asumsi logis tersebut kiranya perlu ditam- pilkan beberapa aspek permasalahan yang memiliki kaitan dengan bangunan masjid, seperti dilihat dari sisi bangunan tata kota. Hal ini menjadi sangat penting, karena fokus kajian ini pada Masjid Pakualaman terkait dengan posi- si bangunan keraton yang dalam khasanah literatur maupun kosmologi Jawa tidak dapat dipisahkan.

Masjid Pakualaman dalam Lintasan Sejarah Masjid Pakualaman terletak di Jalan Masjid Kauman, Kelurahan Gunung Kentur, Kecamatan Pakualaman. Pakualaman merupakan keraton termuda dari keempat keraton yang berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Keraton- keraton sebelumnya yang lebih dahulu berdiri yaitu Mangkunegaran, Nga- yogjakarta Hadiningrat atau biasa disebut keraton Yogyakarta, dan Keraton Surakarta. Nama Pakualaman diambil dari gelar penguasa daerah pada waktu itu, yaitu Pakualam I. Akhiran -an pada kata Pakualaman menunjukkan adanya kepemilikan. Oleh karenanya, Masjid Pakualaman dilihat dari sisi nama tentu ada keterkaitan dengan Pakualam yaitu penguasa Kerajaan Pakualaman. Keberadaan Kerajaan Pakualaman dalam lintasan sejarah tidak bisa lepas dari politik pemerintahan Inggris yang pada saat itu dikuasakan ke- pada Raffles untuk meredam sikap perlawanan dari Keraton Yogyakarta. Pa- ngeran Nata Kusuma yang sebelumnya menjadi korban politik kerajaan dan dipenjarakan menjadi senjata politiknya. Penobatan Pangeran Nata Kusuma sebagai Raja dilaksanakan pada hari Senin tanggal 29 Juni 1812 pukul 17.00. Sejak saat itu, Pemerintah Inggris memberikan sebidang tanah sebagai hak milik turun temurun seluas 4.000 cacah dan juga memberi bantuan keuang- an setiap bulannya untuk keperluan perajurit Paku Alam I, yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Setelah naik tahta pada tahun 1812, Pangeran Nata Kusuma putra dari Sri Sultan HB I memakai gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Sejak itu,

217 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

dimulailah pemerintahan Pakualaman sebagai sebuah kerajaan yang bersifat otonom, mempunyai kedaulatan, wilayah kekuasaan, rakyat, simbol-simbol, dan bahkan sempat memiliki kekuatan militer tersendiri (pada era Paku Alam V). Paku Alam disebut Adipati karena dia adalah seorang Bupati Mardika (raja yang otonom). Daerah kekuasaan Kadipaten Pakualaman saat itu sesuai dengan per- janjian dengan Gubernur Jenderal Raffles yaitu meliputi wilayah Pakualam- an sekarang ditambah beberapa daerah luar kota, yaitu Grobogan, Bagelen, sebagian Klaten dan Parakan. Sedangkan ibukota kabupaten sebagai pusat kekuasaan terletak di Kampung Notowinatan berupa Pura atau Istana Paku- alaman (Albiladiyah, 1984). Pangeran Nata Kusuma selama hidupnya sangat tekun mempelajari ke- budayaan dan kesusastraan Jawa sehingga dia disebut sebagai peletak dasar kebudayaan di Yogyakarta. Beliau juga mempelajari politik dan hu- kum suatu negara kerajaan. Ketika memimpin pemerintahan sendiri, beliau mempelopori pengembangan kultur, dan memberi pelajaran ilmu pengeta- huan dan tata negara kepada pangeran dan raja. Beliau juga mendatangkan guru-guru pelajaran agama dan kesusastraan dan tertarik mendukung kebu- dayaan dan kesenian sebagai landasan dasar untuk menunjang pengembang- an Pakualaman dalam hal perayaan dan pertunjukan kesenian terutama di bi- dang seni tari. Beberapa karya sastranya adalah: Kitab Kyai Sujarah Darma Sujayeng Resmi (syair), Serat Jati Pustaka (sastra suci), Serat Rama (etika), dan Serat Piwulang (etika). Setelah Pakualam I mangkat, digantikan oleh anaknya KRT Natadining- rat dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam II (1829-1858). Ia lahir pada tanggal 25 Juni 1786. Ia sebagai pengembang kebudayaan dan berhasil membuat Pakualaman dikenal sebagai pusat kesenian. Saat itu, musik dan drama modern juga diadopsi oleh Pakualaman. Di samping menulis Se- rat Barata Yuda, PA II juga turut menulis Serat Dewaruci bersama ayahnya (PA I). Serat Dewaruci merupakan serat yang berisi tentang penjelasan dua kalimat syahadat dan sifat-sifat Allah yang dua puluh (Koessoemo, 1987). Kebijaksanaan Paku Alam II pada keseimbangan pembangunan jasmani dan ruhani rakyat, membuat Paku Alam II tidak meninggalkan membangun jiwa spiritual rakyatnya. Setelah perang Diponegoro (perang Jawa) selesai, pembangunan pusat pemerintahan Pura Pakualaman dimulai dengan tidak meninggalkan masjid sebagai unsur utama, yang di dalamnya terdapat alun- alun dan pasar. Konsep yang diangkat oleh Paku Alam II tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan keraton-keraton Jawa sebelumnya, seperti De- mak, Mataram Islam, Ngayogjakarta, atau Surakarta. Sri Paku Alam II pada tahun 1831 M mulai membangun Pura Pakualam- an, termasuk di dalamnya bangunan Masjid Pakualaman. Keraton Pakualam- an diletakkan pada sisi utara menghadap ke lapangan Sewondanan. Pada sisi selatan lapangan Sewondanan dibangun pasar, di sisi barat dibangun penjara dan Masjid Pakualaman yang ditempatkan pada sisi timur.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 218 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Pangeran Natadiningrat yang mendesain sendiri bangunan masjid dibantu oleh Patih Raden Riya Natareja dan Mas Penghulu Mustahal Nasra- hin. Pembangunan masjid diperkirakan selesai pada hari Ahad Pon, Tanggal 2 Syawal 1244 H atau tahun 1839 M. Untuk bangunan masjid, bentuk utama masjid sebelum dilakukan renovasi oleh penerus Paku Alam II terdiri atas bangunan utama, serambi, dan beberapa sarana penunjang seperti kolam dan tempat wudu. Pada bangunan utama masjid terdapat empat untuk menopang atap limas bertingkat tiga dengan atap sirap, yang dipuncaknya ditempat- kan mustaka berbentuk gada. Pada ruang utama dilengkapi dengan mihrab (pengimaman), maksura yaitu tempat perlindungan raja dalam menjalankan salat, mimbar untuk khotbah, dan ruang untuk penjaga serta gudang. Pada ruang utama di sisi kanan dan kiri dibuat posisi lebih rendah tanpa pembatas, dimaksudkan sebagai pawestren atau tempat salat perempuan. Serambi mas- jid pada awal pembangunan tidak seluas sekarang, karena di halaman masjid pada masa awalnya dilengkapi dengan kolam air mengelilingi halaman mas- jid. Sedangkan tempat untuk bersuci masih sangat sederhana, yaitu berben- tuk kotak seperti bak mandi terletak di bagian samping kanan kiri masjid. Pendirian masjid ditandai dengan adanya prasasti yang tertulis pada dinding serambi masjid. Tepatnya pada sisi kanan dan kiri pintu menuju ruang utama. Prasasti berhuruf Jawa di sebelah utara pintu menuju ruang utama berbunyi: Pemut kala adeging kagungan dalem mesjid. Amarengiing dinten Dite Pon wanci jam astho, tanggal kadwi ing wulan Riyoyo Syawal, fahim wiyosipun Gusti Kanjeng Nabi Panutan Dal: Sinengkalan Pandhito Obah Sabda Tunggal, mangsa Sad lambang Klawu Diikut Windu Sa- ngara: Kawada Ingkang Ngresakaken ngyasani adeging Jumungah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ridder Paku Alam ingkang jumeneng kaping kalih: ingkang lelados Patih Raden Riya Natareja lan Mas Peng- hulu Mustahal Nasranhin. Artinya: Peringatan pada waktu berdirinya mesjid Puro Pakualaman bersamaan dengan hari Ahad Pon, waktu menunjukkan jam 08.00, tanggal kedua bulan hari Raya Syawal, tahun kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad, tahun Dal, diberi tanda sangkalan tahun: Pandhita Obah Sabda Tunggal, mangsa enam, lambang Klawu Dukut Windu Sanga- ra-Kawanda. Yang bermaksud mendirikan salat Jum’at adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ridder Paku Alam ke II, yang ikut membantu mengerjakan ialah Patih Raden Riya Natareja dan Mas Penghulu Mus- tahal Nasranhin.

219 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Gambar: D.I Prasarti Pendirian Masjid Dengan Menggunakan Bahasa Arab Pegon

Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Kajian mengenai bangunan masjid secara teoritis tidak dapat dipisahkan dari permasalahan arsitektur Islam dan lebih luas juga terkait dengan konteks kebudayaan dan cara pandang masyarakat. Arsitektur Islam sebagai bagian dari bentuk kebudayaan keberadaanya tidak bisa lepas dari upaya untuk me- menuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Demikian halnya dengan bangunan masjid yang menjadi wujud arsitektur Islam paling popular, secara jasmani merupakan sebuah bangunan untuk menampung kegiatan manusia, dan se- cara rohaniah adalah buah dari sikap takwa sebagai sebuah kenyataan bahwa umat Islam telah diperintahkan oleh Allah untuk mendirikan masjid. Kebudayaan merupakan bentuk baru dari pemberian/ ciptaan Tuhan yang diolah oleh manusia melalui daya cipta yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan. Kemudian kebudayaan itu membentuk satu kesatuan yang sa- ling berhubungan dalam sistem alamiah sebagai konsekuensi dari daya hidup yang dimiliki manusia. Kemudian, secara lebih sederhana kebudayaan itu akhirnya menjelma menjadi dua dimensi utama yaitu kebudayaan dalam ben- tuk kebendaan dan kebudayaan dalam bentuk kerohanian (Sukmono, 1973). Keberadaan bangunan masjid di Indonesia khususnya di Jawa tentunya tidak bisa lepas dari perjalanan panjang agama Islam dari tanah leluhurnya, Arab. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah, Islam dari Arab menyebar luas ke Timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki dan lembah-lembah di da-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 220 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

taran Sungai Indus. Sementara itu, Islam untuk sampai ke Indonesia harus melewati dataran Cina/ Gujarat/ Persia dibawa oleh para pedagang. Tentu dalam perjalanan panjang penyebaran Islam ke Jawa itu membawa banyak pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan yang dilewati dan sikap-sikap pribadi dari para juru dakwah (Rochym, 1983). Ajaran Islam yang sudah berinfiltrasi dengan berbagai kebudayaan yang dilewati dengan rentang waktu dari jaman Rasulullah hingga sampai pada abad V di Indonesia harus berhadapan dengan kebudayaan lokal, yaitu ke- budayaan yang diusung oleh keyakinan agama Hindu dan Budha. Karena itu, pada konteks Masjid Pakualaman yang notabenenya adalah masjid keraton maka ada dua komponen kebudayaan besar yang terlibat dalam pendirian masjid yaitu kebudayaan Islam dan kebudayaan keraton Jawa sebelumnya seperti Majapahit dan Mataram Islam. Karena itu, kajian terhadap arsitektur Masjid Pura Pakualaman tidak dapat dipisahkan dari topografi wilayah yang menduduki masjid tersebut. Sebagaimana telah banyak dipelajari oleh banyak ilmuan bahwa keberadaan Kerajaan Yogyakarta dan Pakualaman terkait dengan perubahan politik kekuasaan yang ada sebelumnya, Jawa, yang sebelumnya merupakan basis bagi pemeluk agama Hindu dan Budha. Keberadaan agama Hindu dan Budha di Jawa ditandai oleh banyaknya candi. Pusat kerajaan Hindu-Budha pada umumnya terletak pada posisi tengah wilayah yaitu pada pegunungan tengah di Jawa. Berkenaan dengan penyebaran agama Islam di wilayah Jawa, pengaruh Demak yang terletak di pesisir utara Jawa memberikan warna tersediri bagi topografi penyebaran agama di Jawa. Pusat-pusat penyebaran agama Islam yang sebelumnya dilakukan di pesisir utara secara perlahan masuk ke wilayah selatan menuju basis agama Hindu-Budha. Kemenangan Pajang atas Demak yang kemudian disusul perpindahan Kerajaan Demak ke Pajang, menjadi tonggak bagi Islamisasi Jawa secara lebih luas dengan jalan damai. Tahun 1577 Ki Ageng Pemanahan mulai membangun tanah pemberian Hadiwijoyo menjadi daerah yang dikenal dengan Mataram. Pemanahan men- jatuhkan pilihan pada daerah Pasar Gede sebagai ibukota Kesultanan. Pem- bangunan Pasar Gede dengan dilengkapi masjid oleh Pemanahan menjadi awal merembesnya ajaran Islam pada daerah pedalaman Jawa melalui jalur politik pemerintahan. Bahkan sebelum bangunan Keraton Mataram didiri- kan, Pemanahan sudah terlebih dahulu membangun tempat ibadah yang kini menjadi Masjid Kota Gede. Pengalihan Demak ke Pajang yang kemudian disusul dengan berdirinya kerajaan Islam Mataram yang menjadi cikal bakal wilayah Yogyakarta adalah moment Islamisasi Jawa dari pesisir utara menuju wilayah tengah. Perpindah- an pusat kerajaan Islam di Mataram sangat mempengaruhi kebijakan Sultan dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat yang pada waktu itu masih mayoritas Hindu-Budha.

221 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Sebagai pewaris tradisi Mataram dalam pendirian masjid tentu masih dipengaruhi dengan tradisi-tradisi yang dibawa oleh raja-raja Jawa sebe- lumnya. Puncak terbentuknya kebudayaan Jawa saat ini adalah ketika Sultan Agung memimpin Kesultanan Mataram. Kebijakan Sultan mengadopsi tra- disi-tradisi Islam sebagai bagian dari tradisi kerjaaan juga menguatkan posisi Islam di tengah kebudayaan lama Hindu-Budha. (Andrisijanti, 2000) Pada perkembangannya tidak bisa dipungkiri, proses Islamisasi yang akomodatif terhadap kebudayaan lama yang tengah ada melahirkan corak baru dalam kebudayaan Islam di Jawa. Kepercayaan agama Islam melahirkan corak Jawa atau biasa disebut dengan Islam kejawen. Berkembangnya Islam kejawen didukung oleh pengaruh kekuasaan Sultan yang begitu besar dengan segala bentuk mitos dan kekuatan supranaturalnya, semakin menguatkan po- sisi kebudayaan Jawa sebagai tradisi sakral yang dijunjung tinggi. Orang Jawa memandang Sultan sebagai simbol kekuasaan absolut yang titah (perintah) harus dipatuhi karena telah mendapatkan restu dari wahyu kedaton sebagai bentuk legitimasi Tuhan terhadap kekuasaaanya (Hamka,1976). Peran keraton sangat besar. Hal ini bisa lilihat dari sejarah perkem- bangan masjid yang tidak lepas dari campur tangan keraton mulai dari saat pendirian dan perkembangannya. Filsafat Jawa yang menjadi pegangan hi- dup keraton menjadi pertimbangan kuat dalam membangun Masjid Pakuala- man. Filsafat Jawa dalam perhitungan kosmologi Jawa sangat berpengaruh pada sistem yang telah dianut oleh kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, se- perti Mataram. Dilihat dari sisi tata kota atau planologi, kerajaan-kerajaan di Jawa, dibangunnya Masjid Pakualaman tidak lepas dari filsafat mancapat dalam kosmologi Jawa. Perhitungan-perhitungan itu terlihat pada bangunan Masjid Pakulaman mulai dari warna hingga fisik bangunan dan arsitekturnya. Warna kuning sebagai simbol ketuhanan dalam perhitungan kosmologi Jawa nam- pak jelas menghiasi Masjid Pakualaman. Dominasi warna kuning itu berada hampir setiap saka (tiang) dan bangunan yang terbuat dari unsur kayu. Ku- ning adalah simbol ketuhanan yang sarat dengan makna keagungan. Letak masjid yang berada di sisi barat alun-alun juga nampak peran perhitungan kosmologi Jawa. Kehidupan berawal dari timur bersamaan de- ngan terbitnya matahari sebagai simbol kelahiran manusia. Manusia dalam hidupnya tidak lepas dari kesalahan akibat cara sikap dan perbuatan selama berinteraksi dengan manusia. Interaksi itu digambarkan dengan berkumpul- nya manusia dalam alun-alun (lapangan) yang terletak di tengah, sebelum akhirnya manusia akan mati dalam kegelapan bersamaan dengan tenggelam- nya matahari. Karena itu, sebelum mencapai ajal, manusia harus melewati masjid untuk menyucikan diri. Masjid sebagai tempat mensucikan diri ini disimbolkan dengan adanya kolam di pelataran Masjid Pakulaman (saat ini telah dibongkar). Infiltrasi kebudayaan Jawa kuno juga nampak jelas pada mustaka mas- jid. Bentuk mustaka yang menyerupai gada di Pakualaman ini adalah ling-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 222 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

ga yang menjadi pertanda masih adanya pengaruh Hindu dan peradaban megalitik dalam pembangunan masjid sebagai patok negara (tanda sebuah negara). Dalam tradisi Hindu, batu atau monumen berbentuk lingga meru- pakan unsur penting sebagai pratanda lahirnya suatu wangsa/keluarga yang berkuasa. Lingga didirikan untuk menandai pemukinan di tempat kekuasaan dikukuhkan secara ritual menurut kepecayaaan Hindu. Secara simbolik lingga merupakan presentasi kekuatan Isvara. Daerah lingga didirikan biasanya dibuat suatu prasasti yang memberikan keterangan waktu dan persembahan yang diberikan kepada pemegang otoritas spiritual seperti biarawan. Hal ini dimaksudkan utuk menguatkan legitimasi kekua- saan bahwa wangsa yang berkuasa telah mendapatkan restu serta dukungan dari kekuatan spiritual. Sehingga wangsa yang bersangkutan memiliki legiti- masi material dan spiritual untuk memerintah daerah-daerah yang berada di bawah pengaruhnya. Lingga sebagai monumen pada masyarakat Hindu diserahkan oleh seorang penguasa kepada para bhrahmana dengan upacara kurban. Lingga menandai suatu keyakinan bahwa kekuatan kosmik dihadirkan di atas bumi untuk menciptakan kesatuan aturan bumi dan kosmik raya atas masyarakat manusia. Pada dasarnya simbolisme lingga sebagai penghubung bumi dan la- ngit ini tidak lebih dari mentalitas kekuasaan. Kekuatan spiritual yang dipakai dalam pengukuhan lingga tidak bisa dilihat dari upaya untuk mempersatukan apa yang telah dicapai secara sekuler. Mustaka masjid yang berbentuk lingga tidak hanya sekedar batu tegak tetapi juga memiliki makna mistis. Makna mistik mustaka berbentuk gada ini oleh salah seorang abdi dalem Keraton Pakualaman dimaknai juga sebagai pejaleran (kelamin laki-laki) atau lingga. Simbolisasi ini dimaksudkan agar manusia itu senantiasa ingat pada asal muasalnya, yaitu hubungan biologi antara suami istri yang ada bentuk kuasa Tuhan di dalamnya. Harapan yang diinginkan manusia akan senantiasa tahu dan ingat akan jalan lurus sebagai mahluk Allah yang diutus ke bumi sebagai kalifah di bumi (Wawancara dengan Bapak Kamdaru, Rabu, 11 Mei 2011).

223 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Gambar E.1 Atap Masjid Pakualaman

1

1 2 2 3 3 Keterangan: 1. Mustaka 4 2. Atap ruang utama 3. Atap ruang serambi 5 4. Genting gerabah 5. resplang

Makna lain dari mustaka yaitu sirip dengan ornamen daun kluwih yang mengandung arti linuwih. Dengan sirip tiga linuwih yang dimaksudkan yaitu iman, Islam dan Ikhsan yang terpancar pada empat penjuru mata angin. Sim- bolisasi makna ini dimaksudkan bahwa seorang muslim harus senantiasa me- miliki sifat-sifat luhur yang bisa menjadi suri tauladan di masyarakat. Kemudian nilai-nilai luhur juga terkandung pada ornamen-ornamen masjid lainnya seperti ornamen pada ventilasi yang berbentuk rumah le- bah dan ornamen pada mimbar. Ornamen pada ventilasi dimaksudkan agar senantiasa seorang muslim dalam kehidupannya mencari penghidupan de- ngan jalan yang baik, yaitu menyerap sari-sari bunga yang manis dan menge- luarkan perbuatan yang manis seperti madu dengan kemanfaatan yang begitu besar bagi manusia lain. Gambar E.2 Ornamen Fentilasi Berbentuk Rumah Lebah Berwarna Kuning

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 224 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Sedangkan ornamen pada mimbar berbentuk bunga sangga langit yang keluar dari jambangan bunga dengan buah berbiji empat. Pada ornamen ini menyimbolkan bahwa mimbar tidak ubahnya seperti jambangan bunga atau celupan untuk menyucikan jiwa agar tumbuh menjadi bunga yang bisa meng- hasilkan empat buah biji yang sangat bermanfaat untuk penghias manisnya/ menaiknya bunga yaitu empat sifat sidiq, amanah, tablig dan fatonah (Wa- wancara dengan Bapak Kamdaru, 11 Mei 2011). Gambar E.3 Mimbar dengan Kekhasan Ornamen Bunga

Simbolisasi makna-makna lain secara lebih utuh pada bangunan mas- jid yang mengandung nilai-nilai yaitu dapat dilihat dari perpaduan struktur bangunaan. Atap berbentuk piramida bersusun tiga, ruang-ruang yang harus dilewati sebelum menuju pengimaman, dan gapura-gapura yang melengkapi bangunan masjid. Atap dan gapura masjid melambangkan bangunan candi dimana pada bangunan candi terdapat tiga tingkatan sebelum menuju pun- cak. Sama halnya dengan bangunan Masjid Pakualaman, sebelum sampai pada ruang pengimanan yang dipandang paling sakral seorang muslim harus melewati genangan air (kolam) untuk mensucikan badan kemudian serambi, ruang utama dan baru mihrob atau pengimaman. Gambar E.4 Gapura Utama Masjid dengan Simbol Kerajaan Pakualaman

225 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa Moh. Hasim

Relung gapura yang berbentuk diagonal setengah lingkaran adalah sim- bolisasi tanah Arab atau dunia muslim. Sehingga secara utuh bangunan Mas- jid Pakualaman merupakan perpaduan antara unsur Hindu Jawa dan Islam. Hal ini membuktikan adanya harmonisasi kehidupan spiritual di kadipaten dan masyarakat Pakualaman.

Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Masjid Pakualaman sarat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam perhitungan kosmologi Jawa se- bagai bentuk harmoni arsitektur kebudayaan Islam dengan kebudayaan lama yang pernah menjadi keyakinan masyarakat Jawa yaitu keyakinan agama Hindu/ Budha.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 226 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa R. Aris Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakar- ta: Jendela. Albiladiyah, S. Ilmi. 1984. Pura Pakualam Selayang Pandang. Yogyakarta: Kajian Balai Sejarah dan Nilai Tradisional. Anshory, Nasruddin. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Bandung: Angkasa. Effendi, Zohhan. 2008. Interelasi Ekspresi Arsitektur Masjid dengan Buda- ya Jawa Studi Kasus Masjid Agung Yogyakarta. Yogyakarta: Universi- tas Gadjah Mada. Gazalba, Sidi. 1971. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara. Hamka. 1976. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bin- tang. Koessoemo KPH. Mr. Soedarismaan Koeswo. Kadipaten Pakualaman. Yog- yakarta: UGM Press P. Wiryomartono, Bagoes. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indo- nesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota se- jak Peradaban Hindu, Budha, Islam hingga Sekarang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Soemardjan, Selo. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah- mada University Press. Sukmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius. Tjahjono, Gunawan. 1989. Cosmos, Center and Duality in Javanese Architec- ture Tradition, Symbolic Dimensions of House Shape in Kota Gede and Surrounding. University of California at Berkley. Utama Rochym, Abdul. 1983. Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia.

227 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa R. Aris Hidayat PENELITIAN

MASJID SEBAGAI PELESTARI TRADISI (Kajian Fungsi Masjid Wonokromo Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Historis)

R. ARIS HIDAYAT Peneliti bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail : [email protected] Naskah di terima tanggal : 19 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal : 24 Oktober 2011

Abstrak Masjid memiliki peran strategis dalam perkembangan kebudayaan Is- lam di Jawa. Secara historis, masjid-masjid yang didirikan oleh keraton tidak hanya berfungsi secara religi, tetapi juga ada kepentingan politik ker- aton untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang diinginkan. Penelitian ini ingin mengetahui sejauhmana masjid keraton itu memiliki fungsi historis sebagai pelestari tradisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan metode deskriptif kualitatif. Sasaran penelitian ini Masjid Taqwa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Hasil pene- litian menunjukkan, bahwa Masjid Taqwa Wonokromo berdasarkan in- skripsi yang ditemukan, diperkirakan telah berusia sekitar dua abad. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan di masjid ini yaitu tradisi kirab lem- per pada hari Rabu terakhir bulan Sapar dalam penanggalan Islam. Tra- disi ini disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengenang pertemuan Sultan Hamengku Buwana I dengan Kyai Fakih Us- man, tokoh yang berperan penting dalam masuknya Islam di Wonokromo dan berjasa menyembuhkan wabah penyakit. Masyarakat berharap agar melalui tradisi Rebo Wekasan akan mendapatkan berkah dari raja Yogya- karta. Kata kunci: Sejarah, Fungsi Masjid, Tradisi.

Abstract Mosque has strategic roles in developing Javanese culture, especially in the “keraton” (courts). Historically, the built by the courts did

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 228 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

not only have religious function but also political interest because they were used to set up social order. The question was how far those mosques played their roles as the preservers of Javanese traditions. This was a descriptive qualitative study which applied historical approach; and the object was the “Masjid Taqwa” in Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Some important findings of the study were: the “Masjid Taqwa” has existed since about two centuries ago; and a tradition preserved by the mosque was “kirab lemper” which is held in the last Wednesday of the Sapar (a name of month in - nese calendrical system). This tradition, which is also called as “Rebo Pung- kasan” or “Rebo Wekasan” is held to express the gratitude to Allah. In addi- tions, the tradition is also to commemorate the meeting of Sultan Hamengku Buwana I and Kyai Fakih Usman, a leading figure who introduced Islam to the people of Wonokromo and also helped them to cure disease outbreaks at that time. Through the tradition of “Rebo Wekasan” the people always expect to get blessing of the King of Yogyakarta. Keywords: History, The Function of Mosques, Tradition.

Pendahuluan Perkembangan agama Islam di Indonesia ditandai adanya penempatan pusat-pusat lingkaran peradaban di tiga titik utama yaitu istana, pesantren, dan pasar. Pada masing-masing titik pusat lingkaran peradaban itu, masjid memiliki peranan cukup strategis. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini hukum Islam diru- muskan dan diterapkan, dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan. Di istana ini pula kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa. Di kompleks istana umumnya dibangun masjid sebagai simbol dan representasi keberagamaan raja dan keluarganya. Pondok pesantren berperan di bidang pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pedesaan, begitu pula tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disa- lin untuk disebarkan. Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di , di Minangkabau, semakin menonjol di seluruh pelosok Nusantara pada sekitar abad ke-18 M. Pesantren juga kadang-kadang berperan sebagai pu- sat kegiatan tarekat para sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supradaerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga uni- versal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latarbelakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama Islam dalam ber- bagai tingkatan dan antardaerah (lihat juga Azyumardi Azra, 1995: 35-36). Di kompleks pesantren atau dayah/meunasah umumnya juga ditemukan mas- jid sebagai pusat kegiatan keagamaan.

229 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai etnik dan ras yang berbeda bertemu dan berinteraksi. Di sini pula perkembangan bahasa mengalami di- namika yang menentukan luasnya penyebaran bahasa itu ke berbagai wilayah lain di Nusantara. Di kompleks pasar umumnya juga ditemukan masjid se- bagai pusat kegiatan keagamaan para pedagang dan umat Islam di sekitar pasar. Tiga titik pusat lingkaran peradaban Islam ini secara historis memiliki peranan cukup strategis bagi perkembangan Islam di Nusantara. Tiga titik ini pula pada perkembangannya saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling berinteraksi. Ini tercermin misalnya dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan Islam dan fungsionalisasi masjid sebagai representasi aktualisasi diri masyarakat muslim. Pada komunitas yang majemuk ini, masjid senantiasa hadir dan men- jadi tempat yang penting dan strategis. Masjid pada dasarnya adalah tempat untuk beribadah kepada Allah dan sebagai pusat kebudayaan Islam (Fatwa dalam KODI, 1975: 21). Masjid dalam pengertian ini mengandung dua fungsi pokok yaitu sebagai tempat ibadah kepada Allah dan sebagai pusat kebuda- yaan Islam. Masjid merupakan tempat mereka berkumpul dan menghadiri pe- ngajian-pengajian keagamaan. Di sekitar masjid ini pula madrasah-madrasah didirikan, dan buku-buku keagamaan ditulis atau didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren, disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Di sini pula dirancang strategi penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan yang telah mereka bina sejak lama. Masjid dan kesultanan di Indonesia, berfungsi sebagai pusat penyebaran Islam yang cukup strategis. Secara historis diketahui bahwa sejarah perkem- bangan Islam di Nusantara ditandai adanya masjid-masjid kuno yang seba- gian di antaranya masih bertahan sampai sekarang. Meskipun secara fisik, bangunan masjid sebagian telah mengalami perubahan, namun secara fung- sional masjid-masjid itu masih memiliki fungsi dan peranan yang tidak bisa diabaikan. Masjid-masjid kuno tersebar di berbagai daerah, termasuk di Yog- yakarta. Keberadaan masjid-masjid kuno itu merupakan bukti bahwa proses Islamisasi telah terjadi di Yogyakarta. Masjid dibangun untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan kegiatan so- sial keagamaan bagi umatnya. Dalam kaitan itu, fungsi dan peranan masjid ditentukan oleh lingkungan, tempat, dan zaman di mana masjid itu didiri- kan (Sumalyo, 2006: 1). Hal itu berarti bentuk dan fungsi masjid dilihat dari dimensi ruang dan waktu bisa berbeda. Perbedaan masjid berdasarkan di- mensi ruang dan waktu diduga berpengaruh terhadap kompleksitas fungsi dan peranan masjid itu di tengah masyarakat. Selain itu, juga berpengaruh terhadap corak arsitektur yang dimilikinya. Apabila hal itu benar, maka mas- jid di perkotaan seharusnya jauh lebih beragam fungsi, peranan, dan corak

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 230 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

arsitekturnya dibandingkan dengan masjid di pedesaan. Demikian halnya masjid yang dibangun pada masa sekarang seharusnya jauh lebih beragam fungsi, peranan, dan corak arsitekturnya dibandingkan dengan masjid yang dibangun ratusan tahun yang lalu atau masjid kuno. Namun, hal itu masih perlu diuji kebenarannya. Penelitian ini ingin mengetahui fungsi masjid sebagai pelestari tradisi masyarakat setempat. Sasaran penelitian yakni masjid Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini bersifat sosio-kultural. Se- cara sosio-kultural desa Wonokromo, Bantul, Yogyakarta memiliki karakter- istik yang unik. Yogyakarta--termasuk desa Wonokromo, Bantul-- merupa- kan salah satu pusat kebudayaan Jawa yang cukup penting. Pergumulan yang intensif antara kebudayaan Jawa dengan Islam yang dinamis sangat mungkin berpengaruh terhadap corak Islam di daerah itu, termasuk keberadaan mas- jidnya. Corak atau warna Islam lokal dapat dilihat di antaranya pada fungsi masjid dan corak arsitekturnya. Secara historis diketahui bahwa masjid pada zaman Nabi Muhammad Saw. sudah dikelola dengan baik. Hal ini dapat dijadikan model ideal dalam pengembangan fungsi masjid pada masa kini. Pada zaman itu masjid tidak hanya digunakan untuk tempat beribadah atau salat berjamaah, tetapi juga digunakan untuk berbagai fungsi baik fungsi sosial, politik, kultural, dan ekonomi (Sumalyo, 2006: 1). Quraish Shihab (1997: 459) menjelaskan tidak kurang dari sepuluh peranan dan fungsi Masjid Nabawi yaitu sebagai tempat ibadah (salat, zikir); konsultasi dan komunikasi berbagai masalah termasuk ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, santunan sosial, latihan militer dan per- siapan peralatannya, pengobatan korban perang, perdamaian dan pengadilan sengketa, menerima tamu (di aula), menawan tahanan dan pusat peneran- gan atau pembelaan agama. Hal ini menunjukkan bahwa masjid pada zaman Rasulullah tidak hanya digunakan untuk tempat beribadah, tetapi juga digu- nakan untuk kegiatan keislaman lainnya. Pada kondisi masyarakat sekarang dengan tingkat kompleksitas masalah yang semakin tinggi, perlu kiranya ada upaya mengkaji kembali fungsi masjid, khususnya masjid kuno. Tujuannya untuk mencari format yang tepat dalam melakukan optimalisasi fungsi masjid kuno pada masa sekarang dan masa mendatang. Berdasarkan alasan tersebut di atas, penting kiranya dilakukan penelusuran secara mendalam sejarah fungsi dan keberadaan masjid-masjid kuno di Nusantara, khususnya di Yogyakarta pada masa lalu. Masjid selama ini telah berperan nyata dalam pengembangan kehidup- an keagamaan masyarakat (Ricklefs, 2008). Pada masa awal, masjid pada dasarnya hanya berfungsi sebagai tempat ibadah (salat) atau tempat menyem- bah Tuhan. Namun, dalam perkembangannya masjid juga memiliki fungsi sebagai pusat kebudayaan Islam. Pada awalnya masjid berfungsi sebagai lem- baga pendidikan keagamaan bagi masyarakat. Selanjutnya, seiring perkemban- gan zaman, fungsi masjid mengalami perkembangan. Masjid kadang-kadang menonjol dalam fungsi sosialnya, namun pada waktu lain fungsi politik atau

231 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

budaya yang kadang-kadang lebih menonjol. Masjid juga bisa digunakan seb- agai basis perjuangan politik, untuk mempertahankan eksistensi Islam. Bah- kan pada era otonomi daerah di Indonesia, masjid ada yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk alat perjuangan partai tertentu. Dengan demikian, jelas bahwa seiring perkembangan zaman masjid memiliki multi- fungsi yang sangat penting dan strategis bagi umat Islam sejak dulu sampai sekarang. Mencermati dinamika yang terjadi pada fungsi masjid, menarik kiranya diteliti fungsi masjid dalam kehidupan masyarakat, khususnya sebagai pusat pelestarian tradisi. Dalam hal ini, tradisi yang dimaksud adalah tradisi Jawa yang ada dan berkembang di sekitar masjid Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Fungsi Masjid Taqwa di Desa Wonokromo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai agen pelestari tra- disi. 2) Sejarah Masjid Taqwa di Wonokromo, Bantul, Daerah Istimewa Yog- yakarta pada masa awal berdiri dan masa sekarang, dan 3) Kondisi Masjid Taqwa di Wonokromo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa awal berdiri dan masa sekarang Penelitian ini merupakan penelitian sosiohistoris. Metode yang digu- nakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan analisis data menggunakan metode sejarah dan sosiologi. Untuk menjelaskan fungsi masjid ini sebagai agen pelestari tradisi Jawa maka akan digunakan metode lain yang relevan, misalnya metode antropologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, pengamatan, dan studi dokumen. Metode sejarah ini digunakan untuk mengungkap fakta-fakta sejarah tentang masjid kuno tersebut. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut. 1) Heuristik, kegiatan mencari dan menemukan sumber-sumber primer mau- pun sekunder yang diperlukan untuk penelitian sejarah masjid kuno ini, mencakup kegiatan penelusuran sumber-sumber arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar, sumber sejarah lisan dan lainnya, 2) Kritik sumber atau verifikasi, kegiatan mencari dan menilai sumber-sum- ber sejarah secara kritis, 3) Interpretasi, menafsirkan makna satu fakta dengan fakta lainnya secara objektif, dan rasional, 4) Historiografi, menuliskan atau merangkaikan fakta-fakta secara kronolo- gis/ diakronis dan sistematis menjadi sebuah tulisan sejarah mengenai suatu objek, dalam hal ini masjid kuno di daerah tersebut (Abdurrahman, 2007: 54).

Temuan Penelitian Tradisi Islam di Masjid Wonokromo, Bantul, Yogyakarta Kesultanan Yogyakarta memiliki tradisi yang kental dengan nuansa keis- laman. Salah satu tradisi Islam yang sangat dikenal masyarakat Wonokromo,

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 232 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Bantul, Yogyakarta yakni tradisi Rebo Pungkasan. Tradisi Rebo Pungkasan --beberapa orang Jawa menyebutnya Rebo Wekasan-- dalam bahasa Jawa berarti tradisi yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Sapar dalam tahun Islam. Upacara Rebo Pungkasan adalah upacara yang dilaksanakan oleh ma- syarakat di desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogya- karta. Upacara ini dikatakan sebagai Rebo Pungkasan, karena dilaksanakan pada hari terakhir pada bulan Sapar. Kata Sapar berasal dari bahasa Arab yaitu Safar, yang merupakan bulan kedua dalam tahun Islam. Sesuai dengan lidah Jawa kemudian berubah menjadi Sapar. Rebo Pungkasan sudah ada sejak tahun 1784 M. Tradisi Rebo Pungkasan dianggap sakral dan penting bagi masyarakat Yogyakarta, karena menurut cerita pada hari Rabu terakhir tersebut meru- pakan waktu pertemuan antara Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan Mbah Kyai Faqih Usman, seorang ulama Islam terkenal di Yogyakarta. Tradisi Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan dilaksanakan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa bersejarah itu. Tradisi Rebo Pungkasan pada awalnya digelar oleh masyarakat Desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta di Masjid Taqwa Wonokromo, namun karena lo- kasi masjid kurang memadai sehingga perayaan tradisi ini selanjutnya dilaku- kan di lapangan desa. Puncak acara dalam tradisi ini adalah kirab lemper (makanan yang ter- buat dari beras ketan) raksasa berukuran tinggi 2,5 m dengan diameter 45 cm, dari Masjid Taqwa desa Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Kirab ini diawali dengan barisan Keraton Yogyakarta, disusul lemper raksasa, dan kelompok kesenian rakyat seperti shalawatan, kubrosiswo, rodat dan sebagainya. Lemper tersebut pada akhirnya akan dibagikan kepada para un- dangan, dan diperebutkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai berkah bagi yang bisa membawa pulang. Pergelaran tradisi ini juga diisi dengan pesta rakyat berupa pasar malam dan pergelaran seni tradisional. Rebo Pungkasan bagi orang Jawa memang istimewa, karena dengan merayakannya mereka merasa memiliki kedekatan emosional dengan kebu- dayaan, raja dan tokoh agama mereka. Keistimewaan lain dari tradisi Rebo Pungkasan adalah adanya keyakinan masyarakat Jawa akan datangnya berkah dari raja. Hal ini masih sangat membekas dalam jiwa mereka, meski- pun saat ini raja tidak lagi memiliki kekuasaan seperti dahulu. Rebo Pungkasan biasa digelar di Masjid Taqwa Wonokromo dan lapang- an desa Wonokromo, sebagai wujud pelestarian tradisi keagamaan dari leluhur mereka. Lokasi ini berada sekitar tujuh kilometer dari kota Yogyakarta. Pelaksanaan upacara tersebut selain bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, juga untuk mengenang jasa Mbah Kiai Welit atau Kiai Fakih Usman. Berkat jasanya, wilayah Wonokromo telah terhindar dari wabah penyakit. Dia dianggap orang yang mempunyai kelebih-

233 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

an ilmu dalam bidang agama dan bidang ketabiban. Kiai Welit bisa menyem- buhkan penyakit dengan cara suwuk yaitu dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an melalui segelas air kemudian diberikan kepada pasiennya. Ketenaran dia didengar oleh masyarakat luas, termasuk Sultan Hamengku Buwono I. Ke- mudian Kiai Welit dipanggil oleh Sultan agar mempraktikkan ilmunya. Oleh karena kelebihan yang dimiliki Kyai Fakih Usman, orang datang berduyun- duyun ke tempat itu untuk berobat. Konon, karena semakin banyak orang datang, Kyai Fakih Usman kemudian menyuruh orang-orang itu untuk beren- dam di sungai di dekat masjid Wonokromo. Setelah Kiai Welit meninggal ma- syarakat beranggapan bahwa mandi dipertemuan Sungai Opak dan Sungai Gajah Wong akan bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan mendapatkan berkah. Berdasarkan cerita rakayat setempat, dahulu di tempuran (pertemuan dua sungai) ini setiap Rebo Pungkasan di bulan Sapar yaitu pada malam Se- lasa dipakai tempat penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke Gu- nung Permoni yang terletak di Desa Karangwuni, Tri Mulyo. Pada saat menye- berang mereka melontarkan kata-kata kotor. Tradisi itu kemudian diteruskan oleh masyarakat sampai sekarang. Pada tahun 1990 Tradisi Rebo Pungkasan dikoordinir oleh panitia, agar pelaksanaannya lebih tertib. Sebelum prosesi upacara dimulai, diawali dengan pembacaan doa. Puncak acaranya adalah ki- rab lemper raksasa yang diarak dari Masjid Wonokromo menuju balai desa, dengan di ikuti oleh pasukan berkuda, prajurit Keraton Yogyakarta. Selanjut- nya di belakangnya diikuti beberapa kelompok kesenian seperti sholawatan, kubrosiswo, dan rodat. Setelah sampai di balai desa lemper tersebut kemu- dian dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Tradisi itu sangat erat kaitannya dengan masuknya Islam di Yogyakarta bagian selatan. Secara historis, tradisi Islam di daerah ini sudah dimulai se- jak zaman Mataram, mengingat di dekat masjid Wonokromo pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram. Daerah itu bernama Kerta dan Pleret. Tahap- an penting yang dilalui pada masa pemerintahan Mataram yakni terjadinya Perjanjian Giyanti. Kerajaaan Mataram berdasarkan perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Pebruari 1755 dipecah menjadi dua yakni Surakarta dan Yogya- karta. Kerajaan Mataram di Surakarta bernama Kasunanan Surakarta Had- iningrat di bawah kepemimpinan Sunan Paku Buwana III, sedangkan di Yog- yakarta bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwana I (Widiyastuti, 1995: 38; MC. Ricklefs, 1981: 92-93; Adrisijanti, 1997: 105). Sejak saat itu, masing- masing kerajaan mengembangkan tradisi Mataram sesuai dengan keinginan penguasa saat itu. Berdasarkan Perjanjian Giyanti, maka dimulailah babak baru sejarah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mang- kubumi bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana I atau lengkapnya Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Bu- wana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatul-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 234 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

lah Ingkang Jumeneng Ing Nagari Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jume- neng Sapisan (Dwiyanto, 2009: 14). Langkah penting yang dilakukan Sultan Hamengku Buwana I setelah ditandatangani Perjanjian Giyanti adalah mem- bangun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1756 Masehi. Langkah selanjutnya, Sultan memerintahkan untuk membangun masjid kare- na masjid merupakan tempat ibadah Sultan dan rakyatnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini merupakan implementasi dari gelar Sultan Hamengku Buwana sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Salah satu masjid yang dibangun Sultan adalah Masjid Gedhe Kauman. Selain memba- ngun Masjid Gedhe Kauman, Sultan juga memerintahkan untuk membangun Masjid Pathok Negara dan Masjid Kagungan Dalem termasuk masjid Wono- kromo. Kasultanan Yogyakarta, pada awalnya, dipimpin oleh Pangeran Mang- kubumi atau Sultan Hamengku Buwana I yang bertahta di Pesanggrahan Am- barketawang (Darmosugito, 1956: 17; Widiyastuti, 1995: 40). Setelah pem- bangunan keraton selesai pada tahun 1756, Sultan menempati istana yang baru di selatan hutan Beringan (sekarang pasar Beringharjo) yang bernama Kampung Garjitawati. Pada masa Sunan Paku Buwana II nama kampung itu diganti menjadi Ngayogya atau Ayodya (Darmasugito, 1956: 17; M.C. Rick- lefs, 1974: 80). Itulah sebabnya nama daerah itu kemudian disebut Yogya- karta yang berarti “Kota yang damai/tenteram”. Sultan Hamengku Buwana I mulai memimpin Kesultanan Yogyakarta se- jak 13 Pebruari 1755 sampai 24 Maret 1792 M. Berdasarkan teks sastra kera- ton, ia dianggap sebagai Sultan yang kuat agamanya, kuat dalam memegang prinsip, dan seorang priyayi yang juga kuat bertapanya (Ki Sabdacarakatama, 2010: 201-204). Sultan Hamengku Buwana I sebelum naik tahta sudah ter- tarik pada ilmu kebatinan “Sangkan Paraning Dumadi”, dan ilmu agama Is- lam serta tradisi keislaman. Di dalam teks sastra keraton, ia juga dikatakan se- bagai sosok yang memiliki kepribadian yang baik dan tegas, budi pekerti yang baik, jujur, menepati janji, dan seorang raja yang bijaksana (Purwadi, 2007: 480). Dalam Babad Giyanti digambarkan sebagai seorang ksatria agung yang tampan, cerdas, orator, dan cekatan (Purwadi, 2007: 485). Pada perkembangannya, Yogyakarta telah menunjukkan peranannya yang cukup besar bagi upaya pelestarian tradisi Islam di Jawa. Peran yang sangat besar dari Kesultanan Yogyakarta terhadap pelestarian tradisi Islam tidak bisa dilepaskan dari peran Sultan sebagai Sayyidin Panatagama Khali- fatulah. Di samping itu, Kesultanan Yogyakarta juga berperan besar terha- dap lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu sangatlah pantas dan wajar apabila Yogyakarta mendapatkan status sebagai Daerah Is- timewa. Perjalanan panjang Kasultanan Yogyakarta sejak awal berdiri sam- pai diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, merupakan pengalaman berharga bagi bangsa Indonesia. Kelahiran negara kesatuan Republik Indo- nesia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Sema- ngat tahta untuk rakyat yang dijadikan pegangan Sultan Hamengku Buwana

235 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

IX menjadikan dia sangat dicintai dan dihormati seluruh rakyat, tidak hanya rakyat Yogyakarta tetapi seluruh rakyat Indonesia. Yogyakarta tidak hanya dikenal dengan sebutan kota perjuangan, tetapi juga dikenal dengan berbagai atribut yang menyertainya, misalnya kota ke- budayaan, kota pelajar atau kota pendidikan, kota wisata, dan lainnya. Yog- yakarta sebagai kota kebudayaan memiliki berbagai tradisi keagamaan yang cukup beragam, dan peninggalan kuno yang bernilai sejarah sangat tinggi. Peninggalan kebudayaan yang bersifat arkeologis pada masa Islam meliputi masjid, makam, keraton, dan kota (Widiyastuti, 1995: 4). Salah satu pening- gal-an kebudayaan di Yogyakarta pada masa lalu yang sampai sekarang ma- sih dipertahankan bahkan masih digunakan (living monument) yaitu masjid. Salah satu masjid dimaksud adalah masjid Wonokromo di Bantul, Yogyakar- ta. Masjid di Kesultanan Yogyakarta berdasarkan statusnya dibedakan atas masjid agung atau Masjid Gedhe, dan Masjid Kagungan Dalem. Masjid agung adalah masjid kerajaan yang hanya berjumlah satu buah, sedangkan Masjid Kagungan Dalem merupakan masjid milik raja atau Sultan yang berjumlah lebih dari satu dan terdapat di berbagai daerah wilayah Kesultanan Yogyakar- ta. Masjid Kagungan Dalem atau disebut juga Masjid Sulthoni berdasarkan catatan di Kawedanan Pengulon Keraton Yogyakarta Tahun 1981 berjumlah 78 buah (Albiladiyah, 2006: 15). Namun dokumen lain di Kawedanan Pe- ngulon Keraton Yogyakarta menyebutkan bahwa jumlah Masjid Kagungan Dalem Kasultanan Yogyakarta hanya berjumlah 16 buah, terdiri atas satu Masjid Agung Yogyakarta, lima Masjid Pathok Negara, dan sepuluh Masjid Kagungan Dalem Biasa (Widiyastuti, 1995: 7). Masjid Wonokromo merupakan salah satu masjid milik Keraton Ke- sultanan Yogyakarta yang berada di Kabupaten Bantul. Berbagai peninggal- an kerajaan Mataram cukup banyak ditemukan di Kabupaten Bantul. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta pada tahun 1985 telah menginventarisir berbagai benda peninggalan purbakala di Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul sekitar 50 buah, terdiri atas benda bekas keraton, makam, dan masjid. Benda-benda purbakala itu kondisinya sangat memprihatinkan, terutama bekas bangunan keraton Pleret dan masjid kauman Pleret. Masjid Taqwa Wonokromo belum masuk dalam benda cagar budaya, namun masjid ini telah berusia ratusan tahun sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Sejarah Masjid Taqwa Wonokromo Masjid Wonokromo adalah masjid kuno di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini sekarang dikenal dengan nama Masjid Taqwa Wonokromo. Nama masjid “Taqwa” merupakan nama baru yang diberikan kepada masjid itu pada akhir abad ke-20 (Tahun 1986). Sebelumnya masjid itu dikenal dengan nama “Masjid Wono- kromo” karena berada di Desa Wonokromo. Pemberian nama “Taqwa” sen- diri diberikan oleh KH. Makmun pada masa kepengurusannya (1969-1990).

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 236 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Mengenai nama “Taqwa” menurut KH. Makmun dimaksudkan agar masjid itu digunakan untuk meningkatkan ketakwaan semua orang yang menggu- nakan masjid itu, tidak hanya untuk orang-orang tertentu. Masjid itu tidak dinamakan “At-Taqwa” karena memiliki pengertian berbeda dengan “Taqwa”. Menurut KH. Makmun, kata Taqwa adalah kata dalam bentuk isim nakirah, yang mengandung pengertian umum atau untuk siapa saja. Jadi, siapa saja dari tingkatan kyai sampai tingkatan orang awam boleh masuk dan beribadah di masjid itu. Sedangkan kata At-Taqwa merupakan isim ma’rifah yang me- ngandung arti khusus. Jadi, apabila menggunakan kata itu maka yang boleh masuk atau beribadah di masjid itu hanya kyai saja, orang-orang salih saja, atau kelompok/golongan tertentu saja. Karena itu, KH. Makmun lebih setuju menggunakan kata Taqwa da-ripada kata At-Taqwa (Ismail, tt :3). Masjid Taqwa berada di Dusun Wonokromo I. Masjid ini dianggap kuno karena diperkirakan telah berusia lebih dari 200 tahun atau dua abad. Berke- naan dengan usia Masjid Taqwa Wonokromo, sejauh penelusuran peneliti be- lum ditemukan dokumen yang memberikan informasi meyakinkan tentang hal itu. Akibatnya, muncul beberapa pendapat berkenaan dengan usia Masjid Taqwa Wonokromo. Paling kurang ada dua pendapat berbeda tentang kapan masjid itu diba- ngun. Masing-masing pendapat didukung dengan sumber yang cukup kuat. Salah satu sumber menyebutkan bahwa Masjid Taqwa Wonokromo berdiri pada tahun 1755 Masehi, berdasarkan sengkalan berbunyi “Nyoto Luhur Pandhito Ratu” yang ditafsirkan berangka tahun 1682 Jawa atau 1755 Masehi. Namun, sumber lain menyebutkan bahwa Masjid Taqwa Wonokromo diba- ngun jauh setelah itu, yakni sekitar tahun 1819 Masehi. Hal itu berarti Masjid Taqwa Wonokromo dibangun setelah selesai pembangunan Keraton Yogya- karta (tahun 1756 Masehi) dan pembangunan Masjid Gedhe Kauman (1773 M). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa keraton dan Masjid Gedhe Kauman merupakan simbol penyatuan gelar Sultan sebagai Senapati Ing Ngalaga (pemimpin dalam medan perang dan pemerintahan) dan Sayyidin Pana- tagama Khalifatullah (pemimpin agama dan wakil Allah di dunia). Keduanya memiliki arti penting bagi keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Masjid Taqwa Wonokromo berdasarkan dokumen di Kawedanan Reh Pangulon Kasultanan Yogyakarta merupakan salah satu Masjid Kagungan Dalem (milik Raja/Sultan) atau Masjid Sulthoni (Biladiyah, 2006: 15). Jum- lah Masjid Kagungan Dalem di seluruh wilayah Yogyakarta berjumlah 78 buah, baik di dalam kota (kotaraja) maupun yang tersebar di daerah luar kota (negari agung) di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul. Masjid-masjid ini dibangun setelah berdiri Masjid Gedhe Kauman (1773 M) dan Masjid Pathok Negara yang ada di sekitar kota Yogyakarta. Hal ini mem- perkuat dugaan bahwa Masjid Taqwa Wonokromo dibangun setelah Masjid Gedhe Kauman tahun 1773 M. Pendapat serupa berkaitan dengan pendirian Masjid Taqwa Wonokromo dikemukakan oleh Wahid, yang mengatakan bahwa masjid Wonokromo diba-

237 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

ngun pada tahun 1741 Jawa atau 1819 Masehi (Widiyastuti, 1995: 31; Wiba- wa, 1996: 137). Menurutnya, masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IV (1804-1822 M). Ia mendasarkan pendapatnya pada candrasengkala yang berbunyi “Nyata Luhur Pandhito Ratu” yang di- tafsirkan berangka tahun 1741 Jawa atau 1819 Masehi. Namun, sebagian ahli sejarah menolak pendapat itu dengan alasan dasar yang digunakan kurang kuat. Beberapa pendapat tentang waktu pendirian Masjid Taqwa Wonokromo di atas menunjukkan bahwa belum ada kata sepakat di antara para ahli me- ngenai hal itu. Hal ini sangat wajar karena tidak ada dokumen atau alat bukti yang sangat kuat dan meyakinkan tentang kapan masjid itu dibangun. Salah satu sumber sejarah yang juga bisa dipertimbangkan yaitu cerita lisan dalam masyarakat. Meskipun harus secara hati-hati menggunakan sumber sejarah ini, namun sebagian ahli menyetujuinya bahwa cerita lisan dapat digunakan sebagai salah satu sumber sejarah. Cerita lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Wonokromo dan sekitarnya menyatakan bahwa Masjid Taqwa Wonokromo dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I. Selanjutnya, berkenaan dengan pendiri Masjid Taqwa Wonokromo dapat dikemukakan hal-hal penting sebagai berikut. Berdasarkan penelusuran sum- ber-sumber sejarah yang ada, sementara dapat dikemukakan bahwa pendiri Masjid Taqwa Wonokromo adalah Kyai Muhammad Fakih. Kyai Muhammad Fakih ini memiliki nama lengkap Kyai Fakih Ibrahim Diponingrat, penghulu hakim pada zaman Sultan Hamengku Buwana I yang berasal dari Dusun Ke- tangga Desa Wonokromo. Kyai Muhammad Fakih masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Sultan karena istri Kyai Muhammad Fakih ma- sih bersaudara dengan istri Sultan Hamengku Buwana I. Karena itu, suatu hal yang wajar apabila Sultan memberikan hadiah kepada Kyai Muhammad Fakih berupa tanah perdikan dan Masjid Kagungan Dalem di Wonokromo. Kyai Muhammad Fakih dianggap mampu dalam bidang ilmu agama dan masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan keluarga Sultan Hamengku Buwana I, maka wajar pula apabila Sultan mengangkat Kyai Mu- hammad Fakih menjadi Penghulu Hakim di Masjid Gedhe Kauman. Kyai Muhammad Fakih sebagai Penghulu Hakim membawahi empat orang Pathok Negara, yang ditempatkan di Mlangi (Sleman), Ploso Kuning (Sleman), Dong- kelan (Bantul), dan Babadan (Bantul). Di masing-masing daerah itu kemu- dian dibangun masjid, yang dikenal dengan sebutan Masjid Pathok Negara. Sebagai hadiah atas jasa dan kemampuannya itu, Sultan Hamengku Buwana I memberikan hadiah berupa tanah perdikan di selatan dusun Ketangga yang masih berupa hutan atau alas awar-awar dan kemudian tempat itu diberi nama Desa Wonokromo. Kemudian Sultan juga memberikan gelar Diponing- rat kepada Kyai Muhammad Fakih Ibrahim dan jabatan penting berupa Peng- hulu Hakim di Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, Sultan juga memberi tugas kepada Kyai Muhammad Fakih untuk mengurus Masjid Gedhe Kauman serta menjadi imam salat Jum’at di masjid itu.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 238 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Berkenaan dengan istilah Masjid Pathok Negara, Widiyastuti (1995: 8) menyatakan bahwa yang dimaksud Masjid Pathok Negara adalah masjid yang dipakai sebagai tanda kekuasaan raja dan tanda tersebut tidak dapat di- ubah. Lebih lanjut, Widiyastuti (1995: 52) menjelaskan bahwa dalam struktur birokrasi di Kesultanan Yogyakarta ada bagian pemerintahan yang bertang- gung jawab terhadap masalah-masalah keagamaan. Bagian pemerintahan itu disebut Kawedanan Pengulon. Kawedanan ini dipimpin oleh penghulu yang berfungsi sebagai rohaniawan kerajaan. Penghulu di Kawedanan Pengulon ini sering disebut penghulu gede atau wedana kaum (Widiyastuti, 1995: 52). Kelompok abdi dalem yang bertugas membantu penghulu dalam menjalankan tugas-tugas keagamaan di kera- jaan disebut Wadana Mutihan atau Golongan Pangulon. Penghulu selain sebagai pengageng (pemimpin) di Kawedanan Pengulon, juga berkewajiban memimpin upacara-upacara keraton yaitu, 1) membacakan risalah Nabi Mu- hammad saw. setiap malam tanggal 12 Rabiul Awwal di Masjid Agung yang dihadiri Sultan dan para pangeran, 2) membacakan kisah Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad saw. pada malam tanggal 27 Rajab di Masjid Agung, 3) memba- cakan doa pada upacara Garebeg di Masjid Agung, 4) menikahkan putra-put- ri Sultan, dan 5) memimpin upacara pelepasan jenazah raja dan keluarganya (Widiyastuti, 1995: 53). Sebutan pathok negara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Keraton Ngayogyakarta ditujukan kepada abdi dalem yang membantu tugas penghu- lu hakim di Pengadilan Surambi (Widiyastuti, 1995: 55; Carey, 1981: 302). Pathok negara juga bisa berarti masjid (Carey, 1981: 258), karena ulama yang menduduki jabatan sebagai pathok negara umumnya juga mengurusi atau mengelola masjid. Bahkan, Widiyastuti (1995: 42) menyatakan bahwa pathok negara juga bisa berarti status sebuah desa. Pada awal berdirinya, belum dikenal istilah takmir masjid untuk mereka yang mengurusi masjid. Urusan masjid mutlak berada di tangan otoritas Kyai, baik untuk urusan fisik masjid maupun urusan peribadatannya. Kyai Muham- mad Fakih merupakan kyai pertama yang mengurusi masjid ini. Tahun 1913 M orang-orang yang mengurus segala urusan masjid baik fisik maupun peribadatan disebut dengan istilahkhodimul ummah. Perangkat pengurus masjid memiliki nama dan peran masing masing misalnya: khatib disebut abdi dalem kaji selosin. Muazin disebut abdi dalem muadzin. Masing masing muazin memiliki tugas melakukan azan pada lima waktu salat. Adapun orang-orang yang mengurus urusan fisik masjid dari menyapu lantai hingga menggelar tikar untuk salat dan mengisi air wudu disebut dengan abdi dalem merbot. Semua yang mengurusi fisik masjid ini mendapat Surat Keputusan (SK) dari Keraton Ngayogyakarta yang disebut dengan Serat Kekancingan. Tahun 1969 M, pola kepengurusan masjid diganti dengan sistem ima- mah. Segala sesuatu yang menyangkut urusan masjid secara mutlak kepu- tusannya di tangan imam. Pada periode itu imamnya adalah Kyai Makmun. Setelah Kyai Makmun wafat pada tanggal 2 Mei 1990 M, pola kepengurusan

239 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

masjid diganti dengan takmir masjid sampai sekarang. Kondisi Masjid Taqwa Wonokromo Berdasarkan informasi dari informan diketahui bahwa dahulu pada masa awal dibangunnya Masjid Taqwa Wonokromo terdapat prasasti berupa seng- kalan berbunyi “Nyata Luhur Pandhita Ratu”, namun saat ini prasasti itu tidak diketahui lagi keberadaannya. Ada banyak tafsiran tentang bunyi seng- kalan itu, yang dikaitkan dengan awal pendirian masjid. Bentuk bangunan Masjid Taqwa Wonokromo saat ini, sebagian masih mempertahankan bentuk aslinya namun sebagian besar sudah banyak meng- alami perubahan. Pada saat awal dibangun, atap bangunan utama berbentuk kerucut kemudian pada tahun 1867 oleh KH. Muhammad Fakih II diganti berbentuk atap tumpang sampai sekarang. Atap serambi sejak awal diba- ngun sampai sekarang masih tetap berbentuk limasan. Puncak atap tumpang bangunan utama terdapat mustaka yang pada awalnya terbuat dari kuwali (Jw.), kemudian diganti dengan kayu nangka berbentuk bawangan. Pada masa kepemimpinan KH. Muhammad Fakih II juga terjadi pe- rubahan pada dinding bangunan, kerangka utama bangunan, penambahan pawestren, dan tempat wudu. Kemudian pada tahun 1958 juga telah dilaku- kan penambahan gulu melet pada atap bangunan utama, perluasan serambi masjid, penutupan kolam tempat wudu, penggantian tiang utama masjid, pembuatan rumah-rumahan kecil semacam gazebo sebagai tempat khatib, dan penambahan kanopi di depan serambi. Pada tahun 1986 dilakukan re- habilitasi besar atas bangunan utama, dan perluasan ruang utama masjid. Kemudian pada tahun 2003 dibangun gedung pertemuan, perubahan pada kulah (tempat wudu), penambahan bangunan kanopi, dan dihidupkannya kembali kolam di sisi kanan dan kiri serambi masjid, serta dilakukan penyem- purnaan dapur. Bangunan serambi Masjid Taqwa Wonokromo pada awalnya tidak se- luas sekarang yang berukuran panjang 18 meter dan lebar 10 meter. Bentuk atap pada serambi sejak awal sampai sekarang masih tetap yaitu limasan. Pada awalnya atap sangat sederhana terbuat dari welit yang ditumpangkan di atas bambu. Pintu pada serambi hanya satu di depan, sedangkan dinding terbuat dari gedhek (anyaman bambu) yang dipasang mengelilingi serambi. Tidak ditemukan dokumen yang memberikan informasi tentang waktu peng- gantian atap bangunan serambi sampai dengan tahun 1867. Informasi yang ada (Ismail, tt: 1) menyebutkan bahwa pada tahun 1867 baru dilakukan peng- gantian atap serambi dengan genteng terbuat dari tanah liat. Pawestren adalah bagian ruangan masjid yang digunakan untuk salat kaum wanita. Ruang pawestren di Masjid Taqwa Wonokromo dibangun pada tahun 1867, pada masa kepengurusan K.H. Muhammad Fakih II. Biasanya ruangan ini terletak di sebelah kanan masjid (Alba, 1983: 23), namun ruang pawestren di Masjid Taqwa Wonokromo berada di sayap atau sisi kanan dan kiri ruang utama masjid. Ruang pawestren berukuran lebih kecil dibanding-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 240 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

kan dengan ruang utama masjid. Ukuran ruang pawestren lebar sekitar dua meter namun memanjang ke belakang sesuai ukuran ruang utama masjid. Ruang pawestren dan ruang utama masjid dibatasi dinding, namun ada pintu dan jendela pada dinding pembatas itu. Ruang pawestren di Masjid Taqwa Wonokromo ini saat ini tidak digu- nakan sebagai tempat salat karena ada kontroversi di tengah masyarakat. Se- belumnya, ruang pawestren ini agak ke tengah sebelum ada perluasan ruang utama masjid. Setelah ruang utama masjid diperluas, maka ruang pawestren sebelah selatan digeser lebih ke arah selatan, sedangkan ruang pawestren sebelah utara digeser lebih ke arah utara. Padahal sebelumnya tempat itu adalah makam. Dengan kata lain, ruang pawestren dibangun di atas makam. Hal itu dilakukan pada masa kepengurusan Kyai Makmun. Hal itu menimbul- kan kontroversi di tengah masyarakat, sehingga sementara ruang pawestren itu tidak digunakan untuk salat. Saat ini kaum wanita melakukan salat ber- jamaah di belakang jamaah laki-laki dengan dibatasi oleh pembatas papan sebagai pemisah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Pada sisi utara dan selatan serambi pada awalnya terdapat sumur dan pohon randu, yang airnya digunakan untuk berwudu. Tempat wudu berupa padasan diletakkan di dekat sumur. Pada perkembangannya, untuk tempat wudu dibuatkan kolam yang airnya dialirkan melalui parit dari sumber air (belik) yang jaraknya cukup jauh dari masjid. Kolam itu berukuran sekitar 2 x 10 meter di depan dan sisi kanan serta kiri serambi. Karena ada kesulitan un- tuk mengisi air pada kolam itu, kemudian pada tahun 1958 kolam itu ditutup dan diganti dengan sumur pompa dengan pompa dragon. Pada kompleks halaman Masjid Taqwa Wonokromo terdapat tanah cu- kup luas, pagar tembok mengelilingi bangunan masjid, kolam di depan se- rambi, pintu gerbang di depan, samping kanan dan kiri halaman. Selain itu, sekarang pada kompleks halaman masjid juga terdapat tempat parkir, lampu penerangan dan beberapa buah pot bunga. Halaman Masjid Taqwa Wonokromo pada awalnya masih berupa tanah lapang yang ditumbuhi rumput, sumur dan beberapa pohon. Ada dua sumur yang berada di sisi utara dan selatan masjid. Di halaman masjid ini dahulu terdapat pohon Tanjung, Kantil, Sawo Kecik dan Kelapa. Pohon Tanjung be- rada di depan kolam sekitar empat meter dari kolam. Jumlah pohon Tanjung waktu itu sebanyak dua pohon, berada di sisi utara dan selatan berjarak seki- tar lima meter. Pohon Kantil sebanyak dua pohon juga berada di kanan dan kiri halaman masjid. Di sebelah timur dari pohon Kantil, juga terdapat dua pohon Sawo Kecik di sisi utara dan selatan. Selain itu, di sepanjang pagar hal- aman masjid ini terdapat tanaman kelapa yang berjajar dari utara ke selatan. Jumlah tanaman kelapa sebanyak lima belas pohon. Kemudian pada perkem- bangannya, sebagian besar tanaman itu ditebang dan diganti tanaman lain. Pada bagian depan serambi di bangun kembali kolam yang sudah ditutup. Makam berada di sebelah barat dari Masjid Taqwa. Letak makam berada satu kompleks dengan masjid dan hanya dipisahkan dengan tembok. Luas

241 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

makam sekitar 2.000 meter persegi. Makam ini diperkirakan telah ada se- jak masjid ini dibangun. Tidak ada yang tahu persis nama-nama orang yang dimakamkan di makam itu. Berdasarkan informasi masyarakat, tokoh yang dimakamkan di tempat itu di antaranya bernama K.H. Abdurrauf, K.H. Kho- lil, dan Kyai Bajuri. Kyai Haji Abdurrauf atau Syekh Abdurrauf dipercaya ma- syarakat sebagai tokoh agama yang membawa ajaran tarekat Syatariyah di daerah itu. Ajaran itu dilanjutkan oleh putranya bernama Kyai Bajuri. Syekh Abdurrauf atau KH. Abdurrauf diperkirakan berasal dari Watu- congol, Magelang. Makam KH. Abdurrauf berada di samping masjid, satu kompleks dengan makam istri dan anaknya. Selain makam KH. Abdurrauf dan keluarganya, menurut informasi masyarakat di tempat itu juga dimakam- kan pengikut Pangeran Diponegoro yang meninggal pada Perang Diponegoro. Meskipun demikian, masyarakat pada umumnya tidak mengetahui secara jelas nama-nama orang yang dimakamkan di tempat itu. Ada kurang lebih seratus nisan di tempat itu, baik besar maupun kecil. Nisan-nisan itu pada umumnya tidak ada inskripsi yang menunjukkan ten- tang identitas orang yang dimakamkan di tempat itu. Biasanya orang yang dimakamkan di tempat ini adalah para pejuang Islam dan para syuhada atau keluarga yang masih ada hubungannya dengan keduanya (Elba, 1983: 30). Fungsi utama masjid pada umumnya adalah sebagai tempat salat lima waktu, dan salat Jum’at secara berjamaah (Elba, 1983: 2; Sumalyo, 2006: 1). Demikian halnya Masjid Taqwa Wonokromo ini juga digunakan sebagai tem- pat salat lima waktu, dan salat Jum’at secara berjamaah (Ismail, tt: 4). Pada awalnya, Masjid Taqwa Wonokromo didirikan oleh Kyai Muhammad Fakih untuk menampung warga sekitar Wonokromo yang ingin melaksanakan salat. Masjid Taqwa Wonokromo juga berfungsi utama sebagai tempat salat Jum’at. Masjid ini digunakan sebagai tempat pelaksanaan salat Jum’at bagi masyarakat sekitar Desa Wonokromo dan sekitarnya. Masjid ini mampu me- nampung jamaah sekitar seribu orang, baik di ruang utama maupun pada ru- ang serambi. Pada awal pendirian masjid dahulu, pelaksanaan salat Jum’at di mas- jid Wonokromo cukup unik. Keunikan pelaksanaan salat Jum’at di masjid ini di antaranya pada pelaksanaan azan. Pada azan pertama dan kedua, petugas yang melakukan azan berjumlah lima orang. Masing-masing orang meng- hadap ke arah kiblat di depan mimbar. Dahulu para muazin ini ketika azan menghadap ke arah barat laut dan timur laut, namun pada perkembangannya hanya menghadap ke arah kiblat. Sebelum mereka melaksanakan azan, se- cara bergantian mereka membaca bacaan sebelum azan salat Jum’at. Mereka secara bersama-sama mengumandangkan azan di depan khatib dan jamaah. Suara azan mereka cukup keras. Petugas yang melaksanakan azan pada pelaksanaan salat Jum’at adalah muazin yang juga petugas azan salat lima waktu di masjid itu. Jumlah muazin

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 242 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

sebanyak lima orang, masing-masing bertugas melaksanakan azan untuk salat lima waktu, meliputi salat subuh, zuhur, asar, magrib, dan isya. Pada pelaksanaan salat Jum’at semua muazin itu bertugas sebagai petugas azan. Meskipun masjid ini tidak memiliki abdi dalem pathok negara, namun masjid ini termasuk Masjid Kagungan Dalem yang selain berfungsi sebagai pusat penyebaran Islam, juga berfungsi sebagai tempat pengaduan masyara- kat yang sedang mengalami masalah, khususnya masalah agama. Masyarakat yang sedang mendapatkan masalah, biasanya meminta bantuan abdi dalem yang ada di masjid ini. Abdi dalem yang ada di masjid ini terdiri atas Kyai dan Jajar barjamaah. Masjid Taqwa Wonokromo memiliki fungsi politik, di antaranya sebagai lembaga penguat ideologi Islam, sebagai basis perjuangan melawan penjajah dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia. Sultan Hamengku Bu- wana membangun masjid memiliki makna strategis dalam upaya melanggeng- kan kekuasannya. Masjid Wonokromo pernah menjadi basis kekuatan militer dan pejuang serta kekuatan masyarakat dalam berjuang melawan Belanda yang bermarkas di Pleret maupun di Bantul. Masjid ini pernah menjadi tem- pat kekuatan militer kompi III Batalion I Brigade 10 yang saat itu dipimpin Letda Komarudin. Meskipun tidak terlalu menonjol, Masjid Taqwa Wonokromo juga memi- liki fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi pada Masjid Taqwa Wonokromo dapat dilihat pada pengelolaan zakat, infaq dan sadaqah di masjid ini, dan pengelo- laan harta milik keraton.

Penutup Masjid Taqwa Wonokromo merupakan masjid yang masih mempertah- ankan tradisi. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan di masjid ini beru- pa tradisi Rebo Pungkasan. Tradisi ini untuk mengungkapkan rasa syukur ke- pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengenang pertemuan Sultan Hamengku Buwana I dengan Kyai Fakih Usman, tokoh yang berperan penting dalam ma- suknya Islam di daerah itu. Selain itu, tradisi ini untuk mengenang jasa Kyai Fakih Usman yang telah berhasil menyembuhkan masyarakat dari berbagai macam penyakit. Hal itu merupakan wujud fungsionalisasi masjid sebagai pelestari tradisi, di samping fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Masjid Taqwa Wonokromo, berdasarkan inskripsi yang ditemukan di masjid ini, diperkirakan telah berusia sekitar dua abad. Inskripsi berupa sen- gkal-an pernah ditemukan di pintu masuk masjid, namun kini inskripsi itu hilang setelah dilakukan renovasi bangunan masjid. Sengkalan itu berbunyi “Nyoto Luhur Pandhita Ratu”. Bunyi sengkalan itu ternyata ditafsirkan be- ragam oleh masyarakat. Masjid Taqwa Wonokromo menurut sumber di Per- pustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta tidak termasuk Masjid Pathok

243 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Negara, namun sumber di Kawedanan Pengulon Keraton Yogyakarta dan cerita masyarakat di sekitar Masjid Taqwa Wonokromo menyatakan bahwa Masjid Taqwa Wonokromo merupakan Masjid Pathok Negara. Kondisi fisik Masjid Taqwa Wonokromo saat ini telah berubah dari kon- disi awal masjid itu dibangun. Perubahan terjadi secara bertahap, baik pada bangunan utama masjid maupun pada bangunan penunjang, termasuk hala- man masjid. Fungsi utama Masjid Taqwa Wonokromo tentunya untuk tempat salat, baik salat lima waktu, salat Hari Raya maupun salat Jum’at. Namun, masjid ini juga memiliki fungsi lain yakni fungsi sosial, fungsi budaya/ kul- tural, fungsi hukum, fungsi politik, dan fungsi ekonomi.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 244 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Adrisijanti, Inajati. 1997. Kota Gede, Plered, dan Kartasura sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam (1578 TU - 1746 TU) Suatu Ka- jian Arkeologi. Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Albiladiyah, Samrotul Ilmi. 2006. “Sekilas Tentang Pathok Negara”. Jurnal Sejarah dan Budaya Jantra, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Vol. I, No. 1, Juni 2006. Al-Qaradhawi, Yusuf. 2000. Tuntunan Membangun Masjid. Diterjemahkan oleh Al-Kattani, Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani Press. Andrisijantiromli, Inajati, dkk. (ed). 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogya- karta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Azra, Azyumardi. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nu- santara Abad XVII & XVIII, Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Ja- karta: Kencana. Bahari, Hamid. 2010. Wisata Sejarah Nusantara. Jogyakarta: FlashBooks. Chawari, Muhammad. 1989. Pasang Surut Masa Perkembangan Pemba- ngunan Masjid Besar Kauman Yogyakarta, Studi Berdasarkan Sumber Prasasti. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. Makna Ritus dan Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Buda- ya, Seni, dan Film. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1985. Laporan Inventarisasi di Kec. Pleret Kabupaten Bantul. Yogyakar- ta: Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Himpunan Peraturan Pe- rundang-undangan Republik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982/1983. Pemikiran Biografi, dan dan Kesejarahan, Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Loka- karya. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Dwiyanto, Djoko. 2009. Keraton Yogyakarta, Sejarah Nasionalisme & Te- ladan Perjuangan. Jogyakarta: Penerbit Paradigma Indonesia. Elba, Drs, Mundzirin Yusuf. 1983. Mesjid Tradisional di Jawa. Yogyakarta: Penerbit Nur Cahaya. Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Se- rambi Ilmu Semesta.

245 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Masjid sebagai Pelestari Tradisi R. Aris Hidayat

Sumalyo, Yulianto. 2006. Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 246 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman PENELITIAN

PROBLEMATIKA PELAYANAN KANTOR URUSAN AGAMA ANAMUBAN TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR

SULAIMAN Peneliti bidang Kehidupan Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 14 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan ujung tombak pelayanan Kementerian Agama yang bersentuhan langsung dengan kehidupan ma- syarakat. Dengan keterbatasan yang dimiliki, KUA harus melayani ber- bagai persoalan terkait dengan perkawinan, wakaf, kesejahteraan masjid, kerukunan umat beragama. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa dalam memberikan pelayanan keagamaan, KUA di Ke- camatan Amanuban Timur banyak mengalami problem, antara lain renda- hnya kulitas da’i, peluang terjadinya disharmoni dengan adanya teror dan bentuk-bentuk diskriminasi kegamaan, serta pelayanan pernikahan yang berhadapan dengan kuatnya pengaruh adat. Kata kunci: Pelayanan, KUA.

Abstract For the Ministry of Religious Affairs, Kantor Urusan Agama (KUA; an official institution on religious affairs) has significant roles because it serves people directly. With all its limitations, KUA has to provide people with a variety of matters associated with marriage, endowments, religious harmo- ny and so forth. Using qualitative approach, this study found that, in terms of giving them religious services, the KUA in Amanuban Timur faced many problems; such as the low quality of moslem preachers, terrorism and re-

247 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

ligious discrimination which result in disharmonious lives, and the strong roles of “adat” (local custom) influence on marriage matters. Keywords: Serves, KUA.

L a t ar B e lakan g Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan jajaran Kementerian Agama yang berada di wilayah kecamatan. Keberadaan KUA ini sebagai unit kerja terbawah dalam struktur kelembagaan Kementerian Agama mempunyai tu- gas dan peran yang penting. Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) No- mor 517 Tahun 2001, KUA mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan. Di antara peran KUA adalah melayani masyarakat yang terkait dengan pelaksanakan pencatatan nikah; mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul mal, ibadah sosial; kependudukan dan pengem- bangan keluarga sakinah. Untuk dapat menjalankan tugas dan peran seperti itu, KUA perlu mem- persyaratkan setidaknya tiga komponen penting yang harus berjalan secara sinergis. Pertama, kemampuan pejabat dan staf KUA itu sendiri di dalam memahami dan menerjemahkan tugas dan peran tersebut. Hal ini tentu me- nyangkut kualifikasi dan kompetensi sumber daya manusia (SDM)-nya. Ke- dua, kemampuan memahami, beradaptasi, dan berinteraksi, serta bekerjasa- ma dengan masyarakat. Hal ini tentu menyangkut komunikasi dengan pihak luar (lintas sektoral). Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana yang me- mungkinkan tugas dan peran-peran seperti itu dapat dijalankan secara baik. Pertanyaannya adalah; bagaimana kalau SDM dan sarana serta prasarana yang ada pada KUA itu sendiri sebagaimana KUA di NTT kurang memadai? Ada tiga hal penting yang berpengaruh terhadap pelayanan KUA pada masyarakat, yakni: 1). Soal sumber daya manusia (SDM) yang ada di KUA itu sendiri, 2). Soal ketersediaan sarana dan prasarana penunjangnya, dan 3). Soal lingkungan masyarakat sekitar. SDM KUA secara ideal adalah me- miliki kualitas yang mewadahi sesuai dengan tugas dan fungsi KUA. Sarana dan prasarana menyangkut apa saja yang seharusnya tersediakan untuk men- jalankan tugas manajemen dan atau pelayanan KUA terhadap masyarakat. Lingkungan masyarakat meliputi adat budaya masyarakat dan kondisi geo- grafisnya yang seharusnya mendukung dengan tugas dan pelayanan KUA. Ketiga hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pelayanan KUA pada ma- syarakat sehingga terlihat kepuasan bagi masyarakat pada umumnya. Berdasarkan pemikiran tersebut, masalah penelitian dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pelayanan KUA dalam mengatasi problem-problem kehidupan keagamaan di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Teng- gara Timur?

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 248 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

2. Bagaimanakah respon/ tanggapan masyarakat terhadap pelayanan KUA berkaitan dengan problem-problem yang dihadapi di Kabupaten Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur? Penelitian tentang pelayanan KUA terhadap masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pelayanan KUA terkait dengan problem-problem kehidupan keagamaan di masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Teng- gara Timur. Dengan mengetahui pelayanan tersebut, maka akan diketahui akar permasalahan dalam kerangka perbaikan ke depan. 2. Mengetahui respon masyarakat terhadap pelayanan KUA berkaitan dengan problem yang dihadapi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Teng- gara Timur. Dengan mengetahui respon tersebut, maka akan diketahui kebutuhan-kebutuhan mendasar yang diinginkan oleh masyarakat, dan strategi pemberdayaan pelayanan KUA yang tepat sasaran. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat kepada pemerintah cq. Kementerian Agama dan pihak-pihak terkait, yakni: 1. Secara akademis, penelitian ini dapat memperkaya buku-buku yang mem- bahas kebijakan Kementerian Agama tentang pelayanan KUA sehingga dapat dijadikan refensi bagi masyarakat umum. 2. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan ke- bijakan Kementerian Agama dalam peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Kementerian Agama, terutama pada kinerja KUA di Kabupaten Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur.

Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni suatu pendekat- an penelitian untuk menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati. Sasaran penelitian adalah pelayanan KUA Amanuban Timur, terkait dengan problem-problem kehidupan keagamaan di masyarakat. Sumber data utama adalah tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, serta pejabat KUA. Sementara sumber data sekunder adalah dokumen tertulis atau naskah-naskah yang dimiliki oleh masyarakat, se- perti: buku-buku sejarah lokal dan adat-istiadat. Karena itu, teknik pengum- pulan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi metode wawancara, observasi,dan kajian dokumen. Data-data yang telah terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggu- nakan teori “pelayanan publik”. Dari hasil pengumpulan data tersebut dipa- parkan dengan teknik deskriptif kualitatif, meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Moleong, 2000: 190). Reduksi data meru- pakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian data kasar dari lapangan. Penyajian data dimaksudkan sekumpulan informasi tersusun

249 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan yang juga diverifikasi- kan selama penelitian berlangsung (Mile, Mattew B & Hubberman, Michael A., 1992: 15).

Kerangka Konseptual KUA merupakan bagian dari aparat Kementerian Agama pada tingkat paling bawah. Selain letaknya di tingkat daerah kecamatan, KUA memiliki tugas dan fungsi yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat luas. Karena itu, KUA mempunyai posisi yang strategis dalam upaya pembi- naan dan pelayanan kehidupan keagamaan terhadap masyarakat. Pelayanan adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perseorangan kepada konsumen (customer), yang tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Dengan kata lain pelayanan adalah usaha melayani kebutu- han orang lain, meliputi segala usaha yang mempertinggi kepuasan pelang- gan (Sutopo dan Suyanto, 2006: 8-9), dalam hal ini adalah masyarakat Islam yang berada di sekitar KUA. Pelayanan terwujud ke dalam suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Gron- roos dikutip oleh Ratminto dan Atik, 2007: 2). Berdasarkan pengertian tersebut, Sutopo mengatakan bahwa pelayanan secara umum dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu pertama, core service yakni pelayanan yang ditawarkan kepada pelanggan yang merupakan produk utama; kedua, facilitating service yakni fasilitas pelayanan tambahan kepada pelanggan namun bersifat wajib; dan ketiga, supporting service yakni pela- yanan tambahan (pendukung) untuk meningkatkan nilai pelayanan atau un- tuk membedakan dengan pelayanan-pelayanan dari pihak “pesaingnya” (Su- topo dan Suyanto, 2006: 13). Pada umumnya kualitas pelayanan dapat diidentifikasikan dalam lima karakteristik, yaitu: 1. Adanya bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, personil dan sarana komunikasi. 2. Keandalan (reliability), atau kemampuan memberikan pelayanan yang di- janjikan dengan segera dan memuaskan. 3. Daya tangkap (responsiveness), berupa keinginan para staf untuk mem- bantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat. 4. Adanya kepastian (assurance), yang mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya dari staf sehingga timbul kepercayaan dan keya- kinan dari pelanggan. 5. Empati, yakni hubungan komunikasi yang baik, kesediaan untuk peduli,

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 250 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

memberi perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan ( Nasu- tion, 2005: 87). Pelayanan yang dilakukan oleh KUA termasuk dalam kategori pelayanan publik (public service), yang mengacu pada Keputusan Menteri Pendayagu- naan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, yakni: “Segala bentuk pela- yanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebu- tuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ratminto dan Atik, 2007: 5). Adapun pelayanan yang dimasudkan adalah pelayanan keagamaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, yakni: pelayanan dalam bidang NTCR, pelayanan dalam bidang zakat, pelayanan dalam bidang wakaf, pelayanan dalam bidang kemasjidan, pelayanan dalam bidang keluarga sakinah, dan pelayanan dalam bidang lintas sektoral (Mukhid, 2006: 93-100). Persoalan pelayanan inilah yang menentu- kan kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap performance KUA.

Temuan Hasil Penelitian Kasus-kasus Keagamaan di Masyarakat Banyak kasus-kasus keagamaan yang terjadi di masyarakat terkait de- ngan tugas-tugas pelayanan yang dilakukan oleh KUA. Di antara kasus-kasus yang dominan adalah menyangkut persoalan perkawinan, wakaf dan kemas- jidan, mualaf, dan kerukunan antarumat beragama. Perkawinan Dalam masalah perkawinan, masyarakat masih banyak berpegang teguh kepada adat budaya dengan menggunakan simbol “okomama”, yakni suatu bentuk sajian yang terdiri atas daun sirih dan pinang yang dilengkapi dengan uang seribu dan kadang-kadang disertai dengan selendang adat lokal. Bagi masyarakat, simbol “okomama” ini dianggap sakral sehingga nilainya lebih tinggi daripada apapun, termasuk kekuatan ijab qabul dalam suatu perkawi- nan. Karena itu, kebanyakan masyarakat tidak meneruskan ke KUA, melaink- an hanya sampai pada proses “peminangan” yang dilakukan secara adat. Jika dalam peminangan tersebut sudah ada persetujuan antara kedua belah pihak, maka dianggap sebagai perkawinan yang sah sehingga mereka bisa berkum- pul bersama sebagaimana layaknya suami isteri. Di Rote (suku Timor lainnya), istilah peminangan itu lebih dikenal de- ngan “pelepasan tali pusar” atau “pelepasan air susu ibu” (belis) sebagai per- mintaan pihak perempuan terhadap pihak lelaki. Di antara permintaan itu adalah uang, hewan piaraan, pakaian penganten, dan sebagainya. Setelah ada pembicaraan antara kedua belah pihak, maka dikeluarkanlah “0komama” se- bagai lambang diterima atau ditolaknya. Karena itu, jika ada pihak laki-laki yang setuju dengan tradisi ini, maka setelah kawin langsung dibawa pihak

251 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

laki-laki dan tak pernah kembali. Karena itu, ada suatu ungkapan setempat yang dinamakan dengan “belis” atau mas kawin, yang seringkali oleh ma- syarakat diplesetkan sebagai “beli isteri”. Akibat sampingan dari kebiasaan ini ialah, adanya laki-laki yang sudah dapat memenuhinya, tidak mau bekerja dan suka mabuk-mabukan, bahkan isteri yang disuruh kerja. Bagi mereka, akad nikah (secara Islam) tak penting karena sudah disak- sikan oleh tokoh adat (nato ne) dan pejabat pemerintah (kepala desa) bahkan tokoh agama di depan okomama. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Ta- yib Moh. Saleh ketika awal menjabat sebagai KUA Amanuban Timur, yakni: “Ketika bertugas di KUA Amanuban Timur pada tahun 1988, dia pernah diundang oleh tua adat masyarakat untuk menyaksikan peminangan anaknya. Pada saat itu, dia bersama kepala desa menyaksikan proses pe- minangan itu, dan bahkan dia diberi waktu oleh tua adat untuk berdoa. Setelah tahu bahwa perkawinan adat di masyarakat rupanya hanya se- batas meminang, maka dia agak merasa menyesal, karena seolah-olah merestui hubungan perkawinan itu.” Perkawinan semacam ini pada umumnya dilakukan oleh hampir selu- ruh masyarakat, termasuk umat Islam. Bahkan ada pegawaipun atau orang terpelajarpun melakukannya sehingga sampai sekarang belum bergeser. Perkawinan secara adat ini juga dilakukan pada saat “kawin lari”, yakni suatu perkawinan yang dilakukan tidak melalui proses peminangan tetapi dengan cara melarikan seorang gadis tanpa diketahui oleh orang tuanya. Di Bali, perkawinan semacam ini diistilahkan “Ngrorod” atau “Mrangkat” (Koentja- raningrat, 1993: 295). Menurut adat Bali, kawin lari banyak dijumpai pada pernikahan beda wangsa, dimana perempuan meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Perkawinan semacam ini juga banyak dilaku- kan oleh masyarakat Amanuban Timur karena tidak mendapat restu dari orang tuanya, terutama orang tua si gadis. Tradisi semacam inilah sebagai kendala bagi KUA untuk melaksanakan peraturan pemerintah, sebagaimana tercantum dalam PP Nomor 9 tahun 1975. Hal ini disebabkan bahwa adat bagi masyarakat harus dilaksanakan ter- lebih dahulu baru diteruskan dengan akad nikah. Namun, masyarakat pada umumnya hanya melaksanakan adat (kawin adat) aja dihadapan “tua adat” atau “ketua suku” tanpa akad dan pencatatan nikah dari KUA. Mereka ber- anggapan bahwa biaya nikah di KUA yang dianggap mahal dan persyaratan administrasi yang diangggap berbelit-belit. Wakaf dan Kemasjidan Dalam masalah wakaf, di daerah ini tidak pernah terjadi sengketa tanah, karena biasanya yang memberikan tanah wakaf itu adalah seorang tuan tanah atau tua adat, sedangkan tua adat mempunyai kharisma/peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Bagi tua adat, jika tanah itu sudah diberi- kan untuk keperluan apapun, maka disertai dengan upacara penyerahan se- cara adat dengan disaksikan oleh okomama. Penyerahan tanah wakaf secara

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 252 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

adat ini sebagaimana yang dilakukan oleh Taslim Sisfao dan Muallim Neno Leo, sebagai berikut: “Kedua orang tersebut merupakan dua orang bersaudara (saudara ipar) yang mempunyai kedudukan penting di masyarakat, yakni sebagai tua adat di kampung Mnela Annen. Pada tahun 1969, kedua orang ini ke- datangan missi dari Jakarta yang menyarankan agar daerah ini memiliki sebuah masjid. Kemudian keduanya berunding untuk menyerahkan sebi- dang tanah untuk masjid. Akhirnya, kedua sepakat untuk menyerahkan tanah seluas 1 hektar untuk kepentingan agama. Pada saat penyerahan tanah adat tersebut, mereka duduk sama-sama (antara pemberi dan pe- nerima) dengan mendudukkan okomama atau sirih pinang di atas meja. Dalam kesempatan ini, si pemberi mengatakan: “kami sebagai masyara- kat menyerahkan sebidang tanah untuk kepentingan agama, salah sa- tunya untuk masjid”. Kemudian si penerima membalas dengan ucapan: “kami sebagai masyarakat menerima pemberian tanah tersebut untuk kepentingan yang dimaksudkan oleh pemberi”. Penyerahan secara adat semacam itu memiliki nilai yang sama den- gan “sumpah pocong”, sehingga tak ada yang berani menggugatnya, takut menanggung resiko yang berat. Jika seorang menyadari kesalahannya, maka ia harus duduk bersama lagi untuk membicarakan hal itu. Hal ini berarti bahwa ia mengakui kesalahannya dan saling menerima antara keduanya, lalu diakhiri dengan membaca doa tolak balak. Karena itu, tanah wakaf tersebut mempunyai kedudukan yang sangat kuat, apalagi jika diperkuat dengan serti- fikat tanah wakaf, sehingga kedudukannya akan menjadi semakin lebih kuat. Dalam masalah kemasjidan, hampir semua masjid di daerah ini meng- alami kesulitan dalam pengelolaannya. Kepengurusan ta’mir masjid rata-rata tidak berjalan, karena tidak memiliki imam masjid atau dai yang mapan/ tetap, sebab kebanyakan masih mualaf dan rendah tingkat pendidikan dan atau pengetahuan agamanya. Hal ini berarti bahwa pembinaan masjid pada umumnya masih sangat kurang, karena kader-kader dakwah Islamiah yang sangat terbatas. Karena itu, ada beberapa masjid yang tidak aktif dalam salat berjamaah, bahkan tidak aktif dalam salat Jum’at. Di masjid-masjid seperti ini, kegiatan peribadatan yang mesti ada hanyalah salat Idul Fitri dan Idul Adha. Meski demikian, masih ada beberapa masjid yang aktif kegiatannya, se- perti: salat berjamaah lima waktu, salat jumatan, dan pengajian-pengajian. Beberapa masjid yang banyak kegiatannya adalah masjid di Oe Let dan mas- jid di Oe Eon serta masjid Nurul Qomar di Mnela Annen. Ketiga masjid ini mempunyai banyak kegiatan, antara lain: salat berjamaah lima waktu, penga- jian anak-anak, seperti: Iqra’. Selain itu, ketiga masjid tersebut melaksanakan kegiatan salat jum’at yang rata-rata diikuti oleh sekitar 3-4 baris, karena di daerah sekitar masjid ini terdapat komunitas muslim yang mengelompok dan anak-anak sekolah, terutama di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Taman Pendi-

253 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

dikan Al Qur’an (TPQ). Karena itu, keadaan semacam ini menjadi pemikiran bagi tokoh-tokoh agama di daerah ini. Mualaf Istilah mualaf, sebagaimana tersebut dalam firman Allah (QS. Al-Taubah: 60) yang berbunyi: “Al-muallafah qulûbuhum” berati yang dijinakkan hati mereka. Menu- rut Syihab (2002: 631-632), istilah mualaf memiliki sekian macam arti, antara lain: 1). Mereka yang memiliki kecenderungan memeluk Islam atau yang dikhawatirkan gangguannya terhadap Islam dan umatnya; 2). Mereka yang belum mantap imannya dan bila diberi zakat diharapkan akan menjadi mantap; 3). Mereka yang mempunyai kedudukan dan ber- pengaruh dalam masyarakat dan diharapkan dengan memberi zakat akan berdampak positif terhadap yang lain. Bagi masyarakat, istilah mualaf tersebut lebih dikenal sebagai orang yang baru masuk Islam, dan iman- nya belum teguh (Anshari, 2006: 30). Dalam masalah mualaf, umat Islam di daerah ini sangat membutuh- kan tenaga dai yang berkualitas, sehingga tidak banyak terjadi pemurtadan. Meskipun pada saat ini ada program penyuluh agama (Islam), tetapi hasilnya belum maksimal. Hal ini dikarenakan kurang adanya koordinasi antara pe- jabat pemerintah dengan tokoh-tokoh agama, dan bahkan para petugas dai di daerah ini. Sementara itu, dai-dai lokal kurang bisa diandalkan, meskipun mereka memiliki potensi besar dalam pengembangan da’wah Islamiyah. Kare- na itu, dai-dai lokal tersebut perlu diberdayakan dengan baik, karena pada umumnya dai-dai lokal berada pada komunitas muslim di sekitar masjid. Dalam hal ini, Burhan Nogo pernah mengusulkan kepada pimpinan pesantren Miftahuddin, akan tetapi kurang direspon olehnya karena faktor ketersediaan dana, yakni: “Agar dai-dai lokal dapat diberdayakan dengan baik, maka tiap-tiap mas- jid mengirimkaan 3-5 orang ke Pesantren Miftahudin di Oeekam untuk diberikan pendidikan agama yang memadai. Setelah selesai, mereka dikembalikan ke lingkungan masjid masing-masing. Mereka adalah ka- der-kader muda sebagai dai lokal yang berjuang untuk mengembangkan Islam di daerahnya sehingga tidak terjadi pemurtadan.” Sebagai solusinya, tokoh-tokoh agama Islam mempunyai program pe- ngiriman kader-kader pelajar Timor untuk mendalami pendidikan agama Islam ke berbagai pesantren di Jawa, seperti: Ponpes Ciwaringin dan Buntet di Cirebon, Ponpes Darun Najah di Jakarta, Ponpes Nurul Iman di Parung Bogor, Ponpes al Amin di Pamekasan Madura, Ponpes Mathla’ul Anwar di , Ponpes Hidayatul Mubtadiin di Lirboyo Kediri, dan sebagainya. Pengiriman kader pelajar ini tidak hanya bagi anak-anak yang beragama Is- lam, melainkan juga bagi mereka yang beragama non muslim, tentu bagi yang berminat dan tanpa paksaan. Hanya saja, pengorganisasiannya masih bersifat

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 254 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

illegal, artinya anak-anak tidak disalurkan melalui saluran yang formal, sep- erti : MUI, Depag. Penyaluran semacam ini kurang dapat dipertanggung-jaw- abkan manakala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kerukunan Antarumat Beragama Dalam masalah kerukunan, ditengarai bahwa sampai sekarang ini masih terjadi disharmonisasi antarumat beragama. Disharmonisasi dalam bentuk teror-teror dan aneka ragam deskriminasi, seperti: pembangunan akses ja- lan, terutama jalan menuju komunitas muslim. Diskriminasi hubungan an- tara suku-suku tertentu yang berbeda etnik seperti: Jawa, Bugis, Alor, dan Minang. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Kasmin, sebagai berikut: “Di daerah ini, akses pembangunan jalan-jalan menuju komunitas mus- lim atau basis-basis umat islam masih menghadapi persoalan. Semen- tara pembangunan jalan-jalan menuju komunitas Kristen atau basis- basis umat Kristen senantiasa dipermudah oleh pemerintah. Demikian juga ketika terjadi pemilihan kepala desa (Pilkades) terlihat diskrimi- natif. Adnan Selan adalah seorang muslim yang terpilih menjadi ke- pala Desa Bele secara mutlak oleh masyarakat, tetapi ia tidak dilantik oleh pemerintah karena alasan cacat hukum, yakni beristeri dua. Se- baliknya, Ibrahim Van Fautin adalah seorang muslim yang murtadz justru dilantik sebagai kepala Desa Bele, meskipun seringkali mabuk- mabukan. Lebih dari itu, orang Amanatun sangat keras sekali menolak orang-orang (pedagang muslim) yang tinggal di daerahnya, seperti : Bugis, Jawa, Alor, dan Minang. Tetapi, Polisi atau Dokter dibiarkan masuk dan bermukim di tempat orang-orang suku Amanatun.” . Pelayanan KUA terhadap Masyarakat Pelayanan yang dilakukan oleh KUA termasuk dalam kategori pelayanan publik (public service), yang mengacu pada Keputusan Menteri Pendayagu- naan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003. Dalam hal ini, pelayanan yang dimaksudkan adalah pelayanan keagamaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, yakni: pelayanan dalam bidang NTCR, pelayanan dalam bidang zakat, pelayanan dalam bidang wakaf, pelayanan dalam bidang kemasjidan, pelayanan dalam bidang keluarga sakinah, dan pelayanan dalam bidang lin- tas sektoral. Persoalan pelayanan inilah yang menentukan kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap performance KUA. Dari berbagai persoalan keagamaan tersebut, pejabat KUA tidak bisa berbuat apa-apa kepada masyarakat, kecuali pelayanan nikah. Selama ini, pendekatan yang dilakukan oleh KUA hanya bersifat menunggu panggilan masyarakat, termasuk panggilan manakala terdapat hajat keluarga, seperti: khitanan, walimahan, tasyakuran, dan sebagainya. Karena itu, tugas KUA ter- kesan hanya memenuhi kewajiban menikahkan orang atau pencatatan nikah semata. Jika dilihat dari tugas pelayanan nikah yang dilakukan oleh KUA, maka tugasnya tidak begitu banyak, karena rata-rata hanya 12 kali per tahun

255 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

atau 1 kali per bulan. Hal ini bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel: 4.01 Pelayanan Nikah di KUA Amanuban Timur No. Jumlah Orang/Pasang Tahun 1 9 orang/pasang 2007 2 16 orang/pasang 2008 3 13 orang/pasang 2009 4 10 orang/pasang 2010

Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayanan nikah oleh KUA tergolong kecil, karena umat Islam memang termasuk minoritas. Kendatipun demikian, KUA masih banyak mengalami kendala-kendala, terutama lingkungan ma- syarakat yang masih dikuasai oleh adat budaya setempat. Sementara ken- dala lainnya adalah terbatasnya pegawai KUA yang hanya satu orang (1984 – 2009), kurangnya fasilitas perkantoran yang memadai, dan sulitnya medan wilayah KUA yang jauh-jauh dan berbukit-bukit. Lebih dari itu, pejabat KUA kurang menguasai peraturan perundang-undangan sehingga terjadi proses simplifikasi proses pelaksanaan perkawinan. Hal ini mungkin terjadi karena ditunjang oleh situasi dan kondisi di masyarakat yang masih beranggapan : “biaya kawin mahal, persyaratan administrasi susah, dan jarak/lokasi terlalu jauh”. Respon Masyarakat terhadap Pelayanan KUA Dalam pandangan masyarakat, KUA merupakan kepanjangan tugas dari Kementerian Agama di tingkat paling bawah. Karena itu, KUA harus memi- liki program-program yang dapat mengkoordinasikan seluruh kegiatan umat beragama, terutama kegiataan dakwah dan pendidikan yang efektif. Dapat di- katakan bahwa kepala KUA merupakan pejabat agama nomor satu di tingkat kecamatan, yang kedudukannya sejajar dengan camat. Karena itu, KUA harus memiliki program yang mengkoordinasikan antara pejabat agama, tokoh-to- koh agama, dan bahkan lembaga-lembaga dakwah, seperti dai DDI, dai Mu- hamadiyah, dai AMCF, dan MUI. Dengan koordinasi yang baik antarlemba- ga-lembaga dakwah, maka kegiatan dakwah dapat berkembang dan berjalan dengan baik. Dalam hal ini, KUA dapat mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dai un- tuk mempersatukan pemahaman missi dakwah islamiyah kepada sebagian besar masih mualaf. Koordinasi semacam ini sangat diharapkan oleh ma- syarakat, karena hanya KUA-lah yang mempunyai kewenangan untuk me- nyelesaikan tugas-tugas semacam itu. Untuk itu, KUA harus bisa memban- gun koordinasi antarlembaga-lembaga dakwah yang ada dan mereka duduk bersama untuk melihat kondisi umat dan membicarakan program ke depan,

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 256 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

seperti cara mengatasi pemurtadan. Tentu untuk tugas demikian, KUA harus berani menciptakan aturan untuk pembinaan umat agar mentaati peraturan pemerintah tentang perkawinan, seperti yang dicontohkan oleh Sirajudin Sang- gah, sebagai berikut: “Bagi masyarakat muslim yang nikah secara adat (dan tidak dilanjutkan secara agama dan pemerintah), maka mereka harus dikenakan sangsi ti- dak boleh masuk masjid, jika ada hajatan atau syukuran tidak perlu di- hadiri, dan atau dikucilkan dari aktivitas umat Islam lainnya.” Ini artinya, KUA perlu mengadakan reformasi birokrasi agar terjadi pe- rubahan-perubahan di lingkungan KUA sendiri, seperti program KUA yang berasal dari bawah (button up). Program yang dimaksud adalah program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, antara lain: 1). KUA harus mengusul- kan agar ada dai yang menetap di komunitas muslim sehingga mereka dapat membina umat secara rutin; 2). KUA harus membangun koordinasi dengan para dai atau para tokoh agama, minimal satu bulan sekali dapat mengadakan pertemuan bersama untuk membicarakan permasalahan yang muncul di ma- syarakat, seperti persoalan umat yang murtadz; 3). Kemudian permasalahan ini diangkat sebagai program KUA yang dibawa ke tingkat yang lebih tingggi, yakni ke kantor Kementerian Agama. Jadi, KUA perlu berperan ganda, yakni melakukan tugas kedinasan dan tugas kemasyarakatan. Sebagai tugas kedinasan, KUA bisa memberikan pelayanan nikah dan rujuk kepada masyarakat secara optimal, sedangkan se- bagai tugas kemasyarakatan KUA bisa memberikan pembinaan kepada ma- syarakat muslim melalui pengajian, majelis taklim, pesantren, dan sekolah- sekolah agama. Membangun koordinasi semacam ini sangat diharapkan oleh masyarakat, karena hanya KUA lah yang mempunyai kewenangan untuk me- nyelesaikan tugas-tugas keagamaan melalui jalur formal. Dengan bahasa lain, posisi KUA secara ideal tidak harus dekat dengan kantor kecamatan, melain- kan harus dekat dengan umat Islam, yang berarti juga dekat dengan masjid, dan dekat dengan sekolah-sekolah agama.

Simpulan Dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan keagamaan, KUA ti- dak bisa mengatasi seluruhnya, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas pelayanan masyarakat. Pelayanan KUA yang bisa dilaksanakannya terkesan hanya pencatatan nikah, sedangkan tugas-tugas lainnya banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, terutama pada pembinaan kemasjidan, pembinaan mualaf, dan pembinaan kerukunan antarumat beragama. Dalam hal ini, KUA seharusnya memiliki peran ganda, yakni tugas kedinasan dan tugas kema- syarakatan. Sebagai tugas kedinasan, KUA bisa memberikan pela-yanan nikah secara optimal. Sedangkan sebagai tugas kemasyarakatan, KUA bisa mem- berikan pembinaan kepada masyarakat muslim secara umum, baik melalui

257 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Sulaiman

kegiatan dakwah Islamiah maupun berkenaan dengan pendidikan agama Is- lam yang efektif. Karena itu, KUA secara ideal harus dekat dengan umat Is- lam, dekat dengan masjid, dan dekat dengan sekolah-sekolah agama. Sebagai rekomendasinya, KUA perlu diberdayakan dengan cara-cara se- bagai berikut: 1. Pemerintah hendaknya menambah wawasan kinerja KUA dengan mengi- kutsertakan kegiatan di berbagai workshop, lokakarya, dan atau orientasi berkenaan dengan tugas dan fungsi KUA. 2. Pemerintah hendaknya meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat mus- lim tentang hukum perkawinan yang sah menurut agama dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 3. Pemerintah hendaknya meningkatkan bantuan dana operasional sehingga hal ini dapat melengkapi tertib administrasi perkatoran KUA, dan dapat memperlancar tugas-tugas pelayanan KUA kepada masyarakat

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 258 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Joko Tri Haryanto

DAFTAR PUSTAKA

Ghafur, A. Anshari. 2006. Hukum dan Pemberdayaan Zakat. Yogyakarta: Pilar Media. Karim, Mukhid A. 2006. Pandangan Masyarakat terhadap Pelayanan KUA, dalam Harmoni. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Lit- bang dan Diklat Keagamaan RI. Koentjaraningrat. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Ros- da Karya. Rahminto dan Atik. 2007. Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizent. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutopo dan Suryanto, Adi. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Ad- ministrasi Negara RI. Syihab, Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an, Jilid 5. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.

259 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Problematika Pelayanan KUA Anamuban Timur Joko Tri Haryanto PENELITIAN

PELAYANAN KUA TERHADAP PERSOALAN KEAGAMAAN DI KABUPATEN BELU NUSA TENGGARA TIMUR

JOKO TRI HARYANTO Peneliti bidang Kehidupan Keagamaan pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 18 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Umat Islam di wilayah yang muslim merupakan kelompok minoritas memiliki persoalan keagamaan yang berbeda dengan persoalan di wilayah mayoritas. Hal ini juga berimplikasi pada pelayanan keagamaan yang di- lakukan oleh pemerintah melalui KUA. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif ini mengungkapkan persoalan keagamaan yang di- hadapi oleh umat Islam di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pelayanan KUA terhadap persoalan keagamaan yang ada, di antaranya pembinaan keagamaan, konsumsi daging halal, dan kerukunan umat ber- agama. KUA di Kabupaten Belu melakukan pelayanan baik dalam pen- catatan nikah, wakaf dan haji, juga berupaya membantu umat Islam meny- elesaikan persoalan keagamaan yang dihadapi meskipun terdapat berbagai kendala baik internal maupun eksternal. Kata kunci: Pelayanan, Persoalan Keagamaan, KUA.

Abstract Moslems as a minority face so different religious problems from those as a majority that results in different religious services played by the KUA (an official institution on religious affairs). This is a qualitative study on religious problems of moslems in Belu, East Nusa Tenggara, and religious

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 260 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

services given by the KUA. In addition to giving moslems administrative re- ligious services (such as registration on marriage, wakaf, and hajj) the KUA also tried to find solutions to every moslems’ problems though such attempt still found some obstacles, either internal or external. Keywords: Services, Religous Problem, KUA.

Pendahuluan Latar Belakang KUA merupakan ujung tombak pelaksanaan pengem- bangan dan pembinaan kehidupan keagamaan di masyarakat, karena KUA merupakan unit kerja yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517 Tahun 2001, KUA bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama (Kemen- terian Agama) Kabupaten/ Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan, yang terkait dengan pelayanan terhadap masyarakat adalah melaksanakan pencatatan pernikahan; mengurus dan membina masjid, za- kat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial; dan kependudukan dan pengem- bangan keluarga sakinah. Namun dari kajian beberapa penelitian mengenai KUA, seperti pene- litian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departe- men Agama tahun 2003, terungkap bahwa KUA belum dapat mengembang- kan peran sesuai fungsi-fungsi yang dimiliki secara optimal, di antaranya karena tidak meratanya penyebaran SDM. Dengan kata lain, kualifikasi dan kompetensi SDM pegawai KUA sangat terbatas, kurang fasilitas, sarana dan peralatan kantor. Kondisi demikian mengakibatkan rendahnya motivasi kerja dan pengembangan diri (Syaukani, 2007: 4) Berbagai kendala tersebut menunjukkan bahwa masih ada persoalan dalam pelayanan KUA terhadap masyarakat, sehingga peran dan fungsi KUA belum dapat secara dijalankan secara optimal dan efektif. Tulisan ini akan menyajikan potret KUA di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, berdasarkan pada metode kualitatif.

Temuan Penelitian Setting Lokasi Umat Islam di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan kelompok minoritas. dari segi kuantitas. Umat Islam hanya berjumlah 6.662 jiwa atau sekitar 1,71% dari seluruh penduduk di Kabupaten Belu. Dari 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Belu, hanya 11 kecamatan yang terdapat penduduk muslim, di mana yang terbesar terdapat di Kota Atambua sebanyak 3.877 jiwa atau 58,2%, Malaka Tengah 1.180 jiwa atau 17,71%, dan Tasifeto Barat 550 jiwa atau 8,26% dari seluruh populasi umat Islam (Data Seksi Bi- mas Islam dan Pendais Kankemenag Kab.Belu 2010).

261 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

Umat Islam di Kabupaten Belu kebanyakan adalah pendatang dari luar daerah seperti Bugis, Jawa, Padang, Arab, di samping dari daerah NTT sendiri seperti Ende dan Alor. Umat Islam kategori pendatang ini, umumnya berak- tivitas di bidang usaha seperti bisnis mebel, rumah makan, dan garmen. Se- lain itu adalah anggota TNI atau Polri yang ditugaskan di daerah perbatasan. Sedangkan umat muslim Belu jumlahnya lebih sedikit, dan masih berkategori mualaf. Mereka umumnya tinggal di daerah pelosok, dan bermata pencahar- ian bertani atau berladang. Umat Islam pendatang, banyak terkonsentrasi di wilayah kota dan di dae- rah pusat perdagangan. Di wilayah tersebut dibangun masjid untuk tempat beribadah dan kegiatan keagamaan. Jumlah masjid di Kabupaten Belu hanya sebanyak 13 unit. Sedangkan di daerah pelosok, belum terdapat fasilitas tem- pat ibadah. Keberadaan masjid merupakan penunjang bagi pengembangan umat Islam, terutama dalam peningkatan pengetahuan agama di samping se- bagai tempat ibadah. Oleh karena itu, di masjid-masjid tersebut umumnya menyelenggarakan kegiatan TPQ dan majelis taklim. Kegiatan majelis taklim selain dilakukan oleh pengelola masjid, juga ba- nyak dibentuk majelis taklim khusus untuk organisasi-organisasi kemasyara- katan lainnya, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya termasuk organisasi kedaerahan. Terutama di kota Atambua, para pendatang memiliki organisasi asal daerah seperti organisasi Sidomukti yang merupakan forum komunikasi perantau dari Jawa, Perkumpulan Seiya Saka- to bagi warga asal Minang dan Padang, Komuniksi Keluarga Selatan (KKSS) bagi perantau Bugis, dan sebagainya. Meskipun demikian organisasi- organisasi tersebut baru ada di tingkat kabupaten, sedangkan di tingkat ke- camatan apalagi desa atau kelurahan belum terbentuk. Di Kabupaten Belu hanya terdapat tiga KUA, yaitu KUA Tasifeto Barat, KUA Kota Atambua, dan KUA Malaka Tengah. Karena Kabupaten Belu mem- bawahi 24 kecamatan, maka masing-masing KUA mencakup beberapa keca- matan sekaligus. KUA Kota Atambua merupakan pemekaran KUA (2008), maka KUA ini belum memiliki kantor sendiri, dan digabungkan pelayanannya di kantor KUA Tasifeto Barat. Kedua KUA ini hanya memiliki satu petugas yaitu Adam Hairul, S.Ag. yang menjabat sebagai kepala KUA Kota Atambua dan PLT KUA Tasifeto Barat. Sedangkan KUA Malaka Tengah petugasnya juga hanya satu orang yaitu Muhammad Ihsan Hafidz, S.Fil.

Persoalan Keagamaan Umat Islam dan Pelayanan KUA di Kabu- paten Belu Kondisi yang menyangkut situasi minoritas umat Islam maupun ke- beradaan KUA di Kabupaten Belu ini memunculkan persoalan-persoalan baik persoalan keagamaan bagi umat Islam maupun persoalan pelayanan KUA terhadap Masyarakat. Di antara persoalan-persoalan keagamaan yang dihadapi oleh umat Islam di Kabupaten Belu ialah:

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 262 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

Pembinaan Keagamaan Tokoh-tokoh muslim di Belu mengakui bahwa wawasan dan pengeta- huan keagamaan umat Islam di kabupaten Belu masih rendah. Hal ini karena umat Islam di Belu kurang perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Umat Islam yang pada umumnya adalah pendatang, lebih berkonsentrasi pada pekerjaan. Sementara penduduk asli sendiri banyak yang berkategori mualaf. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan pembinaan keagamaan, terutama bagi umat Islam yang berada di daerah-daerah terpencil, kantong- kantong mualaf. Akibat kurangnya pengetahuan keagamaan ini, banyak umat Islam yang kurang memahami ajaran agama baik dalam hal akidah, ibadah, membaca kitab suci al-Qur’an, maupun perikehidupan keagamaan lainnya. Mengapa berkondisi demikian ?. Karena selama ini, pembinaan keagamaan untuk mualaf masih sangat kurang, karena tergantung pada kesempatan dai yang melakukan kunjungan pembinaan di daerah mereka. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan (Islam) di Kabupaten Belu ini sangat terbatas, sehingga kurang mampu mencakup kebutuhan masyarakat terhadap pembinaan agama. Lembaga pendidikan yang memberi kontribusi pada pengetahuan keagamaan masyarakat terbatas pada madrasah, TPQ dan majelis taklim. Untuk tingkat kabupaten, jumlah lembaga tersebut sangat ke- cil untuk bisa menjangkau umat Islam yang tempat domisilinya terpencar dan tidak terkonsentrasi pada satu lokasi. Tabel: Jumlah Lembaga Pendidikan Keagamaan No. Lembaga Jumlah 1. Taman Pendidikan Al-Qur’an 10 2. Raudlatul Atfal 4 3. Madrasah Ibtidaiyah 3 4. Madrasah Tsanawiyah 1 5. Madrasah Aliyah 1 6. Madrasah Diniyah 4 7. Majelis Taklim 11 8. Masjid 13 9. Pesantren 1 Sumber : Kantor Kemenag Kab. Belu 2010

Daging Sembelihan dan Produk Halal Keberadaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas nonmuslim menimbulkan persoalan kebutuhan daging yang halal. Masyara- kat nonmuslim terbiasa memelihara binatang ternak seperti babi dan men- jadi bagian dari sumber pendapatan keluarga. Karena itu, sulit bahkan tidak mungkin membatasi, apalagi melarang pemeliharaan babi. Sebagai gamba- ran, banyaknya ternak sebagai berikut: ternak kuda 2.167 ekor, sapi 95.715

263 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

ekor, kerbau 1.565 ekor, kambing 9.830 ekor, domba 32 ekor, dan babi 55.836 ekor. Adapun binatang yang disembelih di RPH yang ada di kabupaten Belu tahun 2008, perbandingannya sapi 2.650 ekor; kerbau 39 ekor; dan babi 1.111 ekor (BPS Kabupaten Belu 2010). Kebutuhan daging dari hewan sembelihan di Kabupaten Belu dipasok dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH), yang berjumlah empat unit, di Malaka Barat, Malaka Tengah, Tasifeto Barat, dan Kota Atambua. Namun hanya ada dua unit RPH yang memiliki tenaga penyembelih atau jagal yang beragama Islam, yakni RPH di Kota Atambua dan di Betun Malaka Tengah. Akibatnya pasokan daging di pasaran yang halal secara hukum Islam sangat terbatas. Terlebih lagi adanya praktek-praktek menyimpang dalam penyem- belihan dan pengolahan pasca penyembelihan, mengakibatkan kehalalan daging sembelihan kurang terjamin. Keterbatasan petugas juru potong yang beragama Islam ini, maka di pasaran sering tidak jelas mana daging sembelihan juru potong muslim dan mana yang tidak. Sementara itu di pasar, penjualan daging umumnya dilaku- kan pada lokasi atau los yang sama. Penjualan daging sembelihan di pasar ti- dak ada pengaturan yang memisahkan penjualan daging halal dengan daging yang lain seperti babi dan anjing. Penjualan daging umumnya dalam satu los yang sama dan saling berdampingan. Tak jarang antarpedagang saling me- minjam alat timbang, alat potong dan perlengkapan lainnya sehingga daging yang halal terkontaminasi dengan daging yang haram. Selain masalah daging sembelihan, kepastian atau jaminan produk kon- sumsi atau makanan halal di Kabupten Belu masih rendah. Makanan olahan yang diproduksi sendiri oleh masyarakat Belu sangat sedikit yang mencan- tumkan label halal dari MUI Kabupaten Belu. Satu-satunya produk yang su- dah mencantumkan label halal dari MUI hanya air minum kemasan “Jete”. Oleh karena masyarakat mayoritas adalah non-muslim, maka bahan makanan konsumsi banyak diproduksi dan ditujukan pada masyarakat umum tersebut. Akibatnya, dalam makanan olahan tersebut tidak jarang terdapat bahan-ba- han yang tidak halal. Kerukunan Umat Beragama dan Pembangunan Tempat Ibadah Sekalipun umat Islam di Kabupaten Belu minoritas, tetapi dalam hal kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Tidak ada kasus pertikaian antarumat beragama ataupun pertikaian karena bermotif agama yang berska- la besar dalam tahun-tahun terakhir ini. Bahkan banyak tokoh muslim yang sangat respek terhadap sikap umat Katolik, termasuk tokoh-tokohnya, karena meskipun mereka kelompok mayoritas, tetapi menghormati dan bahkan me- lindungi umat nonkatolik termasuk umat Islam. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) me- lalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006, di Kabu- paten Belu sudah ada Forum Komunikasi Pemuka Agama (FKPA). FKPA ini menghimpun tokoh-tokoh agama untuk menjembatani kerukunan antarumat

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 264 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

beragama. Kondisi seperti itu, tidak berarti tidak ada riak-riak ketegangan. Pada ta- hun 2005, terjadi peristiwa masalah pelecehan atau penodaan agama dalam acara Hostia Kudus. Peristiwa kerusuhan yang dikaitkan-kaitkan dengan agama dalam skala lebih besar di kabupaten Belu terjadi ketika September 2006, yaitu kasus Tibo. Tibo adalah salah satu terhukum mati atas kasus kerusuhan di Poso tahun 2000. Tiga terdakwa, yaitu Fabianus Tibo, Doming- gus da Silva, dan Marinus Riwu ini adalah orang asli Flores dan Kupang NTT. Eksekusi mati ketiganya memicu kerusuhan di Nusa Tenggara Timur, di mana lokasi yang paling parah terjadi di Kota Atambua, Kabupaten Belu. Akibat kerusuhan ini, kantor Kejaksanaan, dan kantor Dinas Sosial dibakar massa, sedangkan masjid besar Mujahidin di Kota Atambua dilempari batu sehingga rusak. Selain itu, kios-kios yang dimiliki umat Islam di Atambua juga dirusak dan dijarah. Persoalan ketegangan hubungan antar umat yang lain meski dalam skala lebih kecil adalah adanya isu Islamisasi, terutama dengan banyaknya umat agama lain yang masuk agama Islam dan menjadi mualaf. Masuknya umat agama lain menjadi muslim atau mualaf ini umumnya menjadi masalah in- ternal di lingkup keluarga atau suku yang warganya ada yang menjadi mualaf. Hal ini karena ikatan keluarga dan kesukuan di Belu sangat kuat, sehingga ketika anggota keluarganya masuk Islam, dipandang keluar dari klan atau suku. Persoalan lain adalah kurang tersedianya tempat ibadah bagi umat Islam baik untuk menjalankan ibadah berjamaah, maupun untuk pembinaan ke- agamaan. Di Kabupaten Belu, jumlah masjid hanya 13 unit, di mana sebagian besarnya berada di wilayah perkotaan. Dengan jumlah tempat ibadah yang terbatas ini, banyak umat Islam yang berada di pelosok pedesaan dan jauh dari lokasi masjid tidak dapat menjalankan ibadah di masjid. Akibatnya juga mengurangi intensitas dalam kegiatan keagamaan terutama majelis taklim sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan agama umat Islam. Upaya masyarakat untuk mendirikan tempat ibadah masjid terbentur peraturan, karena umat Islam yang minoritas tidak sampai 90 orang di ma- sing-masing wilayah, umumnya berada di lokasi yang berpencar, sehingga ke- sulitan untuk menggalang dukungan dari jamaah sendiri maupun dari warga lingkungan.

Pelayanan KUA di Kabupaten Belu KUA di Kabupaten Belu memiliki persoalan terkait dengan tugas pelay- anannya terhadap masyarakat. Dalam pelayanan pencatatan pernikahan, KUA menghadapi masalah tradisi masyarakat yang menyimpang dari keten- tuan peraturan yang berlaku, misalnya tradisi menikahkan anak di bawah umur, ataupun menikah yang dilakukan oleh ustadz atau tokoh agama tanpa disaksikan dan dicatatkan oleh petugas KUA. Pernikahan di bawah umur ini umumnya dilakukan oleh keluarga pendatang dari etnis Bugis. Alasan tra-

265 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

disi tersebut adalah: pertama, masyarakat Bugis yang merupakan pedagang kurang memiliki orientasi bagi pendidikan anak-anak, kecuali untuk menerus- kan usaha orang tua. Kedua, adanya motif ekonomi dengan menerapkan belis atau emas kawin yang tinggi, sehingga kalau ada yang berani melamar dengan belis yang besar maka akan diterima. Ketiga, secara fisik anak-anak perem- puan Bugis sudah tampak lebih dewasa dan bongsor dibandingkan sebaya mereka, sehingga dianggap sudah layak untuk menikah. Pernikahan di bawah umur ini akhirnya juga memicu pernikahan siri karena KUA pasti menolak menikahkan kalau mereka tidak ada bukti usianya lebih dari batas yang di- tentukan. Praktik nikah siri tidak saja dilakukan karena calon pengantinnya masih dibawah umur, tetapi juga dilakukan karena masyarakat kurang memiliki ke- sadaran tentang pentingnya pencatatan pernikahan. Mereka baru menyadari pentingnya memiliki akta nikah pada saat bukti pernikahan tersebut dibu- tuhkan. Ada pula masyarakat yang tidak mau repot dengan segala urusan ad- minsitrasi, atau pada saat ingin melangsungkan pernikahan sedang ada tugas atau pekerjaan, sehingga tidak punya waktu luang untuk mengurus berbagai persyaratan. Mereka mengambil jalan pintas melalui pernikahan siri yang dilakukan oleh ustadz yang bersedia menikahkan mereka. Ustadz yang me- nikahkan pasangan pengantin secara siri ini beralasan bahwa mereka hanya membantu keluarga pengantin, daripada terjerumus dalam perilaku zina. Selain alasan di atas, perkawinan siri dilakukan dengan alasan biaya ni- kah kalau melakukan pernikahan melalui KUA dianggap mahal. Anggapan ini bisa jadi karena sosialisasi tentang prosedur dan biaya pencatatan nikah masih kurang ke masyarakat. Penarikan biaya di atas Rp30.000,- tersebut ternyata masih terjadi tanpa penjelasan yang jelas kegunaan biaya tersebut. Penarikan biaya tersebut berkisar antara Rp150.000,- sampai Rp300.000,-. Biaya tersebut bagi masyarakat cukup memberatkan. Namun karena mereka merasa membutuhkan maka biaya sebesar itu tetap dipenuhi. Persoalan lain yang masih masuk ranah pelayanan KUA adalah perma- salah perwakafan, karena sering terjadi perselisihan batas tanah wakaf antara pengelola dengan warga sekitar; ketidakjelasan status wakif, adanya pengelola yang kurang amanah, dan pengurusan wakaf di wilayah mualaf. Sedangkan pelayanan terkait dengan manasik haji, KUA relatif tidak memiliki persoalan dalam melayani bimbingan bagi calon jamaah haji. Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Dalam hal pembinaan keagamaan, KUA sering berperan di bidang dak- wah, seperti berceramah, khutbah, dan memberi pembinaan terhadap majelis taklim yang ada di masyarakat. Untuk kegiatan demikian, KUA berkoordinasi dengan lembaga-lembaga dakwah seperti DDII dan IKADI terutama dalam pembinaan terhadap mualaf. Sementara persoalan terkait produk halal atau daging sembelihan, KUA baru berperan sebatas sosialisasi dalam forum-forum ceramah dan khutbah

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 266 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

yang dilakukan oleh petugas KUA secara personal, belum pernah ada pem- binaan secara langsung terhadap para pedagang. Hal ini karena terkendala waktu, karena umumnya para pedagang susah untuk diundang karena waktu mereka sudah cukup sibuk untuk mengurus usaha atau perdagangan me- reka. Sedangkan terhadap persoalan kerukunan umat beragama, KUA berupa- ya menjaga keharmonisan dengan warga lain, berkoordinasi dengan lembaga dakwah untuk mengalihkan masjid menjadi rumah yang dipergunakan untuk pembinaan keagamaan, sehingga tidak menyinggung umat lain di sekitarnya dan tidak melanggar PBM tentang rumah ibadah. Terhadap adanya tradisi masyarakat yang bertentangan dengan aturan yang ada, seperti perkawinan bawah umur atau kawin siri, KUA menyadar- kan masyarakat secara gradual melalui sosialisasi dan pendekatan pada to- koh-tokoh masyarakat dan tokoh agama. Sedangkan persoalan perwakafan, KUA membantu pengurusan sertifikasi wakaf. Namun terhadap persoalan yang muncul, KUA bersama dengan Penyelenggara Zakat dan Wakaf Kanke- menag Belu berupaya melakukan pendekatan terhadap pihak-pihak yang ter- libat. Pelayanan KUA dalam menyelenggarakan kegiatan manasik haji ini meru- pakan hal yang penting bagi masyarakat. Hal ini karena di kabupaten Belu tidak ada lembaga pembimbingan haji, seperti Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) di luar bimbingan yang diselenggarakan oleh Kantor Kemente- rian Agama Kabupaten Belu melalui masing-masing KUA. Kegiatan manasik haji dilaksanakan oleh KUA sebanyak 11 kali pertemuan, dan ditambah 4 kali lagi di tingkat kabupaten. Adapun materi-materi berupa manasik, kesehatan dan keagamaan lainnya terkait haji. Pembicara selain dari petugas KUA, juga mengundang tokoh-tokoh agama yang memiliki pengalaman haji. Problematika Pelayanan KUA di Kabupaten Belu Suatu pelayanan publik akan terwujud dengan baik apabila terdapat: pertama, sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa. Kedua, kultur pelayanan dalam organisasi peny- elenggaraan pelayanan. Ketiga, sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa (Ratminto dan Atik, 2007: 53). Demikian pula halnya dengan pelayanan yang dilakukan KUA terhadap masyarakat. KUA harus berorientasi pada kepentingan masyarakat yang dilayani, di antaranya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan- nya. Institusi KUA tidak lepas dari komponen sumber daya manusia sebagai pelaksananya dan juga ketersediaan sarana prasarana pendukungnya. Oleh karena itu, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh KUA terhadap masyara- kat sangat tergantung sejauh mana kualitas sumber daya manusia dan sarana atau fasilitas layanan:

267 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

a. Problem Sumber Daya Manusia Tuntutan pelayanan yang ideal pada KUA di Kabupaten Belu terhambat oleh kenyataan SDM yang ada, belum ideal. Dari sisi kuantitas, SDM yang ada hanya dua orang petugas, kendati dari sisi kualitas, telah memiliki kompetensi formal yakni telah memenuhi kompetensi sebagaimana tuntutan Peraturan Menteri PAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 bahwa penghulu harus me- miliki pendidikan sekurang-kurangnya S1 dan golongan kepangkatan III/a. b. Keterbatasan Fasilitas Pendukung Pelayanan Aktivitas KUA dapat dilaksanakan dengan baik manakala didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai guna membantu kelan- caran pelayanan terhadap masyarakat. Keadaan bangunan gedung KUA Ta- sifeto Barat yang juga dipergunakan KUA Kota Atambua, berada di lokasi yang kurang strategis, bahkan gedung itupun didirikan di tanah wakaf, se- hingga dipermasalahkan oleh nadzirnya. Bangunan gedung tersebut juga ter- lihat kurang perawatan, dan beberapa bagian atapnya bocor yang ditambal seng. Ruang nikah yang menjadi satu dengan ruang pelayanan lainnya juga kurang representatif untuk menyelenggarakan kegiatan akad nikah di kantor, akibatnya masyarakat enggan melangsungkan kegiatan pernikahan di kantor. Gedung KUA Malaka Tengah sudah di tanah milik sendiri dan cukup baik keadaannya. Namun fasilitas dan kelengkapan lainnya sangat kurang mema- dai untuk mendukung pelayanan seperti hal di KUA Tasifeto Barat, seperti kelengkapan meja kursi untuk rombongan yang akan menikah di kantor. Pada kedua KUA tersebut juga tidak tersedia sarana pendukung elektron- ik, termasuk komputer. Sehingga untuk keperluan administrasi ditulis tangan atau diketik dengan mesin ketik. Itupun mesin ketik yang ada sudah tidak dapat dipergunakan karena rusak. Ruang pengarsipan juga tidak tersedia se- cara khusus, arsip-arsip dan dokumen hanya ditempatkan di almari yang ada di ruang kepala KUA. Fasilitas lain juga tidak tersedia di kedua KUA tersebut, seperti ruang tamu, kamar kecil, dan loket informasi juga penting untuk ke- nyamanan masyarakat akan mendapatkan pelayanan. Informasi-informasi tentang pelayanan hanya ditempel di dinding yang mudah terlihat. Sedangkan papan informasi dipergunakan untuk menempelkan pengumuman kehendak nikah. Di KUA Malaka Barat bahkan tidak ada papan informasi sehingga pe- ngumuman kehendak nikah juga tidak diumumkan. Keterbatasan sarana dan fasilitas pelayanan ini sesungguhnya kurang se- suai dengan prinsip pelayanan publik seperti prinsip kenyamanan, kejelasan, KUA belum mewujudkan pelayanan publik yang memenuhi syarat transpa- ransi, yakni pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diak- ses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Selain itu juga tidak memenuhi prinsip kejelasan dalam pelayanan publik. Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal per- syaratan teknis dan administrasi pelayanan. Hambatan dari eksternal KUA, di antaranya kondisi umat Islam di Ka-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 268 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

bupaten Belu yang secara kuantitas minoritas, tetapi wilayah domisilinya tersebar sehingga menghambat pembinaan dan pelayanan KUA. Organisasi keagamaan dan lembaga pendidikan Islam yang tebatas jumlahnya juga men- jadikan KUA kekurangan mitra dalam melakukan pembinaan keagamaan terhadap umat Islam. Adat tradisi yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah umur, juga menghambat pelayan KUA dalam melaksanakan aturan pernikahan di masyarakat. Sebagai daerah yang mayoritas nonmuslim, pem- binaan terhadap produk halal juga sulit mengalami hambatan secara kultural. Demikian pula halnya upaya pembinaan mualaf, mengalami hambatan dari keluarga atau klan yang beragama lain karena kuatnya ikatan sosial di antara mereka sendiri.

Tanggapan Masyarakat terhadap Pelayanan KUA Belu Tanggapan masyarakat terhadap pelayanan KUA terwujud dalam bentuk persepsi dan harapan. Masyarakat mempersepsikan KUA sebagai lembaga pemerintahan yang melayani kepentingan umat Islam, terutama pencatatan nikah. Sedang, sebagai lembaga yang melayani bidang keagamaan di bawah Kementeraian Agama, petugas KUA dipandang sudah memiliki kapasitas pengetahuan keagamaan. Menurut persepsi masyarakat, petugas KUA terma- suk golongan ulama yang dipandang juga mampu membina keagamaan di masyarakat. Persepsi tersebut menjadikan masyarakat memiliki harapan besar pada KUA dan para petugasnya tidak hanya melakukan tugas-tugas administrasi saja, tetapi sekaligus juga aktif dalam kegiatan pembinaan umat Islam seperti memberikan ceramah dan membina majelis taklim. Hal ini karena umat Is- lam di Kabupaten Belu memang sangat membutuhkan bimbingan dan pembi- naan keagamaan terkait masalah ibadah, hukum, muamalah, membaca kitab suci Al-Qur’an dan sebagainya. Tanggapan terhadap pelayanan yang langsung dibutuhkan masyara- kat seperti pencatatan nikah, pengurusan sertifikat wakaf, dan pendaftaran haji, masyarakat menilai KUA belum menyediakan informasi yang memadai. Terutama informasi terkait pelayanan seperti persyaratan teknis, persyaratan adminsitrasi, proses atau alur pelayanan, dan rincian biaya pelayanan. Ma- syarakat juga masih merasa fasilitas pelayanan yang ada di KUA belum cukup memberi kenyamanan bagi mereka yang melakukan pelayanan.

Penutup

Simpulan Umat Islam di Kabupaten Belu, yang secara kuantitatif merupakan ma- syarakat minoritas, dan yang dari pengetahuan keagamaan, belum mendalam sehingga mereka memiliki persoalan-persoalan keagamaan. Persoalan-persoalan keagamaan yang dihadapi oleh umat Islam di Ka- bupaten Belu, di samping karena banyak yang masih mualaf, yang karena

269 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

itu memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk meningkatkan pengama- lan beragamanya, juga persoalan produk halal terutama daging sembelihan, serta tradisi ternak babi yang telah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Kerukunan umat beragama dan pembangunan tempat ibadah juga menjadi persoalan dalam hubungan antarumat beragama. Isu-isu yang sensitif terkait dengan agama dapat menjadi pemicu konflik, seperti penodaan agama, isu is- lamisasi, dan juga politisasi agama seperti dalam kerusuhan yang disebabkan kasus Tibo. Sedang dari internal KUA sendiri sebagai lembaga yang melakukan pelayanan terhadap masyarakat, memiliki persoalan-persoalan, terkait den- gan pelayanan pencatatan nikah, “budaya” menikahkan anak perempuan di bawah umur, dan pernikahan siri. Terhadap persoalan-persoalan tersebut, petugas KUA Belu memiliki ke- terbatasan, baik jumlah petugasnya maupun luasnya jangkauan kerjanya yang tidak seimbang dengan sarana dan fasilitas pelayanan yang tersedia. Kualitas gedung, bangunan, dan fasilitas yang buruk mengakibatkan pelayanan tidak maksimal. Masyarakatpun merasa kurang nyaman dan kurang mendapatkan kejelasan dalam pelaksanaan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Namun di balik persoalan dan keterbatasan yang ada, tanggapan ma- syarakat terhadap pelayanan KUA sangat baik. Masyarakat mempersepsikan KUA sebagai lembaga pemerintahan yang melayani kepentingan umat Islam, sehingga persoanilnya pun dipandang sebagai tokoh yang menguasai penge- tahuan keagamaan yang tinggi. Persepsi ini melahirkan harapan terhadap per- an KUA dan petugasnya, khususnya dalam pembinaan keagamaan. Harapan tersebut terkait dengan kondisi kualitas keberagamaan masyarakat muslim di Belu sendiri yang masih rendah sehingga mereka sangat mengharapkan pembinaan untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya, terutama bagi yang masih mualaf.

Rekomendasi Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian tentang pelayanan KUA terhadap persoalan keagamaan masyarakat di Kabupaten Belu Nusa Teng- gara Timur (NTT) ini, ada beberapa rekomendasi yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait, terutama Kementerian Agama. 1. Kementerian Agama harus meningkatkan perhatian terhadap persoalan- persoalan keagamaan yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya di dae- rah di mana umat Islam minoritas secara kuantitas, di antaranya: a. Terhadap persoalan pembinaan keagamaan, perlu meningkatkan kuan- titas dan kualitas SDM penyuluh agama yang memiliki komitmen dan kompetensi formal, keagamaan, dan sosial untuk membina umat Islam terutama mualaf. b. Terhadap persoalan produk halal, perlu melakukan sosialisasi tentang aturan produk halal kepada umat Islam, dan menjalin kerjasama den-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 270 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

gan Majelis Ulama Indonesia dan organisasi keagamaan Islam lainnya dalam pembinaan dan pengawasan produk halal di masyarakat. c. Terhadap persoalan kerukunan umat beragama, perlu membantu mem- nfasilitasi komunikasi antarumat beragama dan menjaga keharmonisan beragama sehingga kebebasan beragama umat Islam yang minoritas dapat terlindungi. 2. Kementerian Agama perlu mendukung tersedianya fasilitas dan sarana pembinaan keagamaan, terutama di daerah minoritas, yang membutuh- kan pembinaan keagamaan guna meningkatkan kualitas pengetahuan dan pengamalan agama. 3. Kementerian Agama harus meningkatkan kualitas pelayanan KUA terha- dap masyarakat dengan menambah SDM KUA sesuai dengan kebutuhan, melengkapi fasilitas, sarana dan prasarana pelayanan. 4. Kementerian Agama perlu membekali SDM KUA dengan ketrampilan tek- nis dalam bidang pembinaan keagamaan, seperti kemampuan ceramah, khutbah, dan sebagainya dalam suatu pendidikan dan pelatihan, agar dapat memenuhi harapan masyarakat yang membutuhkan pembinaan ke- agamaan.

271 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Joko Tri Haryanto

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Belu. 2010. Kabupaten Belu dalam Angka Tahun 2009. Atambua: BPS Kab. Belu. Data Keagamaan Seksi Bimas Islam dan Pendais Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belu tahun 2010. Ratminto dan Atik SP. 2007. Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Mutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syaukani, Imam (ed). 2007. Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Fug- sional Penghulu. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Lit- bang dan Diklat Departemen Agama.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 272 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

PENELITIAN

PERSEPSI KELOMPOK SYAHADATAIN TERHADAP NILAI- NILAI TOLERANSI DI KABUPATEN BANYUMAS

Abdul Rohman Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto e-mail: [email protected] Naskah diterima tanggal: 13 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Abstrak Islam sebagai agama yang membawa rahmat sering tereduksi oleh dominannya penafsiran doktrin syari’ah oleh masing-masing kelompok ke- agamaan. Hanya karena mereka tidak saling komunikasi dan saling sila- turahmi, maka bila ada persoalan, sulit dicari jalan solusinya. Oleh karena itu ketika diajukan ide untuk membentuk forum silaturahmi intelektual dan sosial, secara umum mereka menyetujuinya. Dalam pengembangan nilai-nilai toleransi, kelompok aliran Syaha- datain sangat toleran, baik dalam melakukan ibadah salat maupun dalam kehidupan sosial. Sebagaimana keberadaan kelompok aliran lainnya sep- erti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad, Islam, Salâfí maupun lainnya, mereka adalah saudara se-agama, karena mereka telah bersyaha- dat. Bahkan ketika jamaah Syahadatain melakukan tawasul dengan wirid membaca surat Al Fatihah, ditujukan kepada seluruh Shahabat, para ‘ula- ma, para guru mereka, dan semua orang yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat, dengan tanpa memandang mereka dari mana madzhabnya. Kata kunci: Aliran, Syahadatain, Toleransi, Interpretasi, Forum Intelek- tual.

Abstract The value of Islam as “rahmatan lil alamin” is often reduced by different interpretations on the doctrines of the shariah raised by various religious groups. However, when a problem arises among them, though they are ac- tually so tolerant, moderate, democratic, and inclusive, it is quite difficult

273 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

for them to come up with solutions because of their lack of communication. Therefore, when an idea of establishing what is called as the “forum silatur- rahmi intelektual dan sosial” they generally agreed on such thought. In terms of developing tolerance, the Syahadatain was so tolerant both in ritual and social domains. According to this group, other groups such as Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, al-Irsyad, Islam Salafi etc are their brothers because they have confessed as moslems. Even when this group re- cite al-Fatihah as a tawassul, they address the reward to the prophet’s com- panions, ulama’, their teachers and every people transferring knowledge to them, ignoring any religious groups they affiliate to. Keywords: Cult, Syahadatain, Tolerance, Interpretation, Intellectual Fo- rum.

Pendahuluan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin pada dasarnya memiliki ajar- an yang universal, fleksibel, dan mampu diterapkan pada setiap waktu dan semua tempat. Ini artinya, ajaran Islam sebagai agama terakhir mampu men- embus ruang dan waktu. Namun pada kenyataannya, ajaran yang memiliki nilai kosmopolit tersebut sering tereduksi oleh dominannya penafsiran dok- trin syari’ah oleh umat Islam yang ”terpecah” dalam berbagai aliran, teru- tama ketika dihadapkan pada perbedaan penafsiran pada kehidupan sosial, sehingga menjadikan sikap keagamaan para jamaah suatu kelompok tertentu sangat terbatas bila berinteraksi dengan kelompok aliran keagamaan lain. Sebaliknya, ketika mereka berinteraksi dengan kelompoknya sendiri, me- reka sangat akrab. Kondisi demikian dapat memicu tumbuhnya sikap-sikap intoleransi dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Bahkan beberapa kasus tentang konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan penafsiran sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat mengganggu persatuan warga dan bangsa. Oleh karena itu, upaya mewujudkan nilai-nilai toleransi, baik se- cara institusional, pemikiran maupun aktifitas amaliyah kolektif adalah sa- ngat diperlukan. Aliran keagamaan yang tumbuh di Indonesia demikian banyak. Ma- sing-masing aliran membawa ideologi keagamaan sendiri-sendiri yang meru- pakan hasil interpretasi dari pemahaman kelompoknya. Secara umum aliran kelompok keagamaan yang muncul dalam bingkai keagamaan Islam masih bernaung dalam ajaran Islam. Tetapi ketika dihadapkan pada kondisi-kondisi riil dalam kehidupan sosial keagamaan yang membutuhkan penafsiran nãsh atau ayat, maka muncul perbedaan yang signifikan, yang dapat mengakibat- kan dalam perjuangan melaksanakan doktrin-doktrin syari’at menjadi ber- beda antara kelompok keagamaan yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini juga berpengaruh pada komitmen perjuangan dalam rangka menyebarkan kebenaran keyakinan ajaran Islam.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 274 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

Nata (2001) memetakan keragaman pemikiran Islam di Indonesia ke dalam 12 (dua belas) macam, masing-masing mempunyai ciri khas dan karak- ter sendiri. Kedua belas macam tersebut adalah Islam Fundamentalis; Islam Teologis-Normatif; Islam Eksklusif; Islam Rasional; Islam Transformatif; Islam Aktual; Islam Kontekstual; Islam Esoteris; Islam Tradisionalis; Islam Modernis; Islam Kultural dan Islam Inklusif-Pluralis. Dari keragaman pe- mikiran tersebut dapat disimpulkan menjadi dua pemikiran yang berbeda atau bisa jadi berseberangan--yaitu antara corak pemikiran kaum tradisional- is dan corak pemikiran kaum modernis. Setiap pemikiran dari semua aliran keagamaan memiliki nilai kelebihan dan kekurangan. Untuk itu tidak pada tempatnya dan tidak bijaksana jika faham pemikiran yang satu menganggap paling unggul dan benar sedang pemikiran dari kelompok aliran keagamaan yang lainnya adalah keliru serta salah. Persoalan yang muncul adalah ketika interpretasi setiap aliran keagamaan masing-masing mengaku paling benar, padahal hasil interpretasi tersebut sal- ing bertentangan dan kemudian tidak dapat dikompromikan. Apalagi hasil penafsiran tersebut diakuinya sebagai doktrin agama yang apabila tidak di- laksanakan mereka merasa berdosa. Inilah titik rawan dari sebuah penafsiran agama yang dapat menumbuhkan konflik horisontal dalam kehidupan ma- syarakat agama. Contoh-contoh riil antara lain adalah: pembakaran masjid milik kelompok aliran keagamaan tertentu, penyerangan terhadap kelompok aliran keagamaan yang dianggap sesat, provokasi untuk membenci kelompok aliran yang dianggap radikal, dan atau provokasi terhadap kelompok yang di- anggap suka menyebarkan ajaran bid’ah. Lebih mengerikan lagi adalah bahwa tindakan provokasi untuk menum- buhkan kebencian, penyerangan, dan atau pembakaran tempat ibadah itu dilakukan atas dasar doktrin agama, yakni jihad. Apabila semua aliran ke- agamaan meyakini apa yang dilakukannya adalah representasi dari jihad, maka konflik horisontal tidak dapat dihindarkan lagi. Karena semua perilaku tersebut telah merasa sesuai dengan missi Tuhan. Maka benar apa yang dikatakan Jalaludin Rahmat yang dikutip oleh Muhsin Jamil (2008), bahwa agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat, ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita se- hari-hari, baik di rumah, kantor, media, pasar dan di mana saja. Begitu mis- terius, ia sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan, yakni memotivasi kekerasan tanpa belas kasih, pengabdian tanpa batas, mencip- takan gerakan massa paling kolosal dan memekikkan perang paling keji. Kemudian ketika melihat laporan dari United Nation Support Facility to Indonesian Recovery (UNSFIR) yang berjudul Patterns of Collective Violence in Indonesia 1999-2003 menunjukkan bahwa tingkat tingginya kekerasan ko- munal di Indonesia, yakni mencapai angka 89,3%. Dalam peristiwa kekerasan itu, kekerasan antar agama maupun di dalam agama yang sama, dengan aliran atau kelompok yang berbeda merupakan jenis kekerasan yang paling banyak terjadi dan menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia (Jamil, 2008).

275 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

Kondisi seperti tersebut adalah suatu kenyataan yang terjadi di bumi pertiwi, termasuk di wilayah-wilayah kabupaten seperti Banyumas. Gesekan, ketersinggungan, ketegangan, kekerasan, dan konflik yang dipicu oleh kelom- pok aliran keagamaan merupakan pemandangan yang sering terjadi. Islam yang universal, inklusif, toleran, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan telah difahami oleh kelompok-kelompok aliran keagamaan menjadi Islam yang lokal, sempit, kaku dan keras. Dengan demikian Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin (kasih sayang bagi seluruh isi alam semesta) belum memberikan keberdayaannya dalam ranah yang lebih nyata. Potret seperti itulah menjadi urgen untuk mengkaji dan mengembangkan nilai-nilai toleransi yang ada dalam kelompok aliran keagamaan Islam yang didasarkan pada data akurat yang diawali dengan menyusun profil aliran keagamaan, seperti sejarah berdirinya, tujuannya, aktifitasnya, dan jaringan yang dimilikinya serta karakteristik dan komitmen aliran keagamaan, seperti moderasi, demokrasi, toleransi, jihad dan komitmen syari’ahnya.

Islam dan Nilai-nilai Toleransi Hilangnya sikap toleransi pada kelompok aliran keagamaan dalam ke- hidupan sosial dapat melahirkan ketegangan, pertentangan, kekakuan, dis- harmoni dan konflik, baik terhadap kelompok aliran seagama maupun lintas agama. Menurut Clifford Geertz, faktor yang dapat mempertajam pertentan- gan (konflik) adalah adanya perbedaan ideologi yang mendasar, karena rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok-kelompok lain, adanya perbedaan dan makin meningkatnya mobilitas status yang cenderung memaksakan kon- tak di antara individu-individu dan atau kelompok-kelompok, dan makin in- tensifnya perjuangan politik yang cenderung menyuburkan perbedaan agama dengan kepentingan politik (Jamil, 2008).. Kemudian Rusmin Tumanggor (2004) menyatakan bahwa terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, bukan saja disebabkan oleh kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat, tetapi juga dise- babkan oleh heterogenitas dalam satuan kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu (termasuk agama) di dalam negeri dan di luar negeri. Mahendradata, tokoh Pembela Muslim, ketika menanggapai konflik ho- risontal yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, , menyatakan bahwa ke- jadian tersebut disebabkan kelompok Ahmadiyah tidak mau mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yang memerintahkan agar semua penganut dan pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada um- umnya (Suara Merdeka, 2011). Dengan demikian, munculnya ketegangan, disharmoni, dan atau kon- flik berangkat dari berbgai faktor, baik dari agama, sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun hegemoni penguasa. Salah satu cara untuk menanggulangi persoalan-persoalan tersebut adalah upaya memunculkan pemikiran, sikap,

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 276 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai toleransi. Kimball Young (t.t), menyatakan ketika berbicara mengenai interaksi so- sial sebagai bentuk akomodasi, maka toleransi merupakan suatu bentuk ako- modasi tanpa menggunakan persetujuan yang formal. Berbeda dengan Kur- sif, yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, dan biasanya salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah, atau Kompromi, di mana pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Melihat persoalan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat demikian kompleks, maka pengembangan nilai-nilai toleransi dalam rangka memuncul- kan kehidupan yang damai, nyaman, harmonis, setara dan adil lebih memung- kinkan dari pada pengembangan melalui cara lainnya. Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa toleransi merupakan salah satu faktor yang mempermu- dah terjadinya asimilasi dalam kehidupan sosial (Soekanto, 1986). Toleransi sebagai sikap manusia semestinya muncul bukan karena fak- tor keterpaksaan, tetapi benar-benar muncul dari kesadaran hati yang paling dalam. Sikap inilah yang menjadi landasan utama bagi terciptanya wadah ber- sama bagi kelompok aliran agama. Sebab perbedaan interpretasi dari kelom- pok aliran keagamaan yang masing-masing mengakui memiliki kebenaran –bahkan mengakuinya sebagai paling benar– kemudian saling bertabrakan, maka bukan jalan formal seperti pengadilan, hegemoni penguasa untuk menghanguskan eksistensinya, tetapi jalan negosiasi, melalui pendekatan hati, pengembangan nilai-nilai toleransi jauh lebih elegan. Karena perten- tangan interpretasi yang dapat memunculkan konflik pada hakikatnya perbe- daan penafsiran nãsh yang suci, sehingga cara-cara penyelesaianpun hendak- nya dilakukan dengan cara-cara yang suci pula. Islam sebagai ajaran yang universal, dan banyak nãsh yang sifatnya umum serta tidak applicated pada persoalan sosial yang sifatnya sangat operasional, memunculkan problem tersendiri. Masalah inilah yang sering memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan dan pergaulan sosial. Menghadapi persoalan-persoalan tersebut, kiranya diperlukan suatu kegiatan yang sifatnya rasional, namun memiliki sentuhan kecerdasan hati dalam mengambangkan nilai-nilai toleransi, moderasi, demokrasi, kesetara- an dan keadilan di antara kelompok aliran keagamaan yang didasarkan pada interpretasi nash agama. Kepentingan bersama lebih diagungkan dan didahu- lukan. Silaturahim intelektual, baik melalui seminar, diskusi, tukar pendapat yang dilakukan dengan hikam dan nasihat yang baik merupakan sisi yang dapat dijadikan langkah aplikasi dalam mewujudkan nilai-nilai tasamuh demi kepentingan umat (lihat Q.S. An Nahl: 125). Dalam proses mendahulukan ke- pentingan bersama ini ada beberapa langkah yang dapat dijadikan pedoman. Pertama, bahwa setiap manusia memiliki hak untuk melaksanakan aja- ran Islam secara total. Kedua, kebenaran interpretasi manusia terhadap nãsh adalah relatif. Hal ini dibuktikan dalam sejarah Islam, di mana perbedaan-

277 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

perbedaan interpretasi merupakan wacana intelektual yang menakjubkan. Munculnya kitab Madzahibul Arba’ah (interpretasi agama menurut 4 mad- zhab, yakni Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) karya Abdurrahman al-Jujairi, merupakan bukti tentang adanya perbedaan interpretasi dalam persoalan agama dan sosial. Hal ini nampak jelas ketika para Imam tersebut menyampaikan akan relatifnya pendapat yang dikemukakannya. Imam Abu Hanifah berkata: ”Saya tahu ini suatu pendapat, dan adalah pendapat yang terbaik yang saya dapati. Siapa yang menemukan pendapat lain, terserahlah ia punya pendapatnya sendiri dan saya juga punya pendapat sendiri (Mah- massani, 1981). Kemudian Imam Syafi’i berkata: ”Pendapatku benar tetapi mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mengandung kemungkinan benar (Qardhawi, 1995). Dengan demikian sangat tidak bijak –bahkan ahistoris– apabila seseorang mengkultuskan atau memutlakkan suatu madzhab tertentu, padahal pendirinya sendiri merelatifkannya, apalagi kemudian ia membelanya secara membabi buta. Menurut Gus Dur (http://www.gusdur.net), ketika Islam difahami dalam konteks pribadi, baik religius maupun sosial, itu sebagai kebenaran yang di- peroleh atas dasar keyakinan bukan pengalaman. Kadar penghormatan ter- hadap Islam seperti ini ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukan- nya sebagai keharusan dan kebenaran. Adanya kesadaran untuk menghargai penghayatan Islam sesama yang lain, yang berbeda dari penghayatan Islam pribadinya. Inilah yang menumbuhkan sikap toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri. Agama secara utuh memang sebagai petunjuk bagi manusia, hudan lin nãs. Abdurrahman dengan mengambil pendapat Weber, menyatakan bahwa dalam sosiologi, agama selain berfungsi sebagai alat legitimiasi, juga berfung- si kontrol secara kritis, apabila mampu independen dari struktur yang mung- kin menjeratnya. Sebab dalam setiap perkembangan sosial, kemungkinan la- hirnya struktur yang menjebak agama itu tetap ada, kendati mulanya agama menjadi pemrakarsa perubahan itu sendiri (Abdurrahman, 1995). Kemudian Abdurrahman menambahkan, bahwa Islam yang kita peluk di- yakini sebagai agama yang mengajarkan kebenaran yang absolut, seolah-olah hanya kita sendiri pemilik kebenaran. Seharusnya, tatkala meyakini kebenar- an mutlak hanya ada di tangan Tuhan, maka secara implisit harus mengakui tentang kenisbian diri kita dalam menangkap kebenaran Tuhan. Karena me- mang kapasitasnya sebagai manusia yang relatif, bukan Tuhan, sehingga kita harus toleran dalam melihat setiap perbedaan yang relatif itu. Oleh karena itu, tak sepantasnya jika dalam kehidupan masyarakat ada sekelompok aliran agama yang merasa memonopoli kebenaran dan kemudian memaksakan ke- pada orang lain atas nama Tuhan (Abdurrahman, 1995). Kelompok aliran keagamaan Islam di Kabupaten Banyumas memberikan pandangan bahwa toleransi itu perlu diaplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan hanya sekedar teori. Saling menghormati dalam beribadah, menghor-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 278 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

mati peribadatan dilakukan di masjid-masjid yang dibangun oleh kelompok masing-masing, memperbolehkan kelompok lain untuk melakukan periba- datan (salat) di masjid kelompok lain. Dalam kerangka menjaga nilai-nilai toleransi antarkelompok keagamaan Islam inilah diperlukan suatu wadah yang dapat dijadikan media silaturahmi intelektual. Bahkan kemudian mer- eka menyetujui wadah tersebut yang diberi nama ”Forum Silaturrahmi In- telektual dan Sosial”. Dalam hal ini, aliran Syahadatain termasuk yang ikut menyepakati keberadaan forum tersebut. Dengan pemahaman Islam yang lebih kosmopolit, komprehensif dan universal, kiranya Islam tetap dapat memberikan peluang besar dan dapat menjadi pembimbing dalam menginternalisasikan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai toleransi yang dikemas dan kemudian dis- osialisasikan melalui wadah Forum Silaturahmi Intelektual tersebut menjadi nilai dasar yang menjadi acuan bagi munculnya kehidupan yang harmonis, demokratis, moderat, adil dan setara. Sebab Forum Silaturahmi Intelektual ini menjadi media bagi pengembangan nilai-nila toleransi antarkelompok ali- ran keagamaan.

Pprofil Kelompok Keagamaan Syahadatain di Banyumas Dalam mengungkap profil kelompok aliran keagamaan Syahadatain ini tidak secara detail ke akar-akarnya. Namun hanya berkisar pada sisi sejarah berdirinya atau masuknya ke wilayah Kabupaten Banyumas, kepengurusan- nya, jaringannya, tujuan pendiriannya, karakteristiknya dan konsep toleran- sinya. Dengan demikian, pengungkapan aliran tersebut hanya secara global, tetapi tidak mengurangi kejelasan mengenai eksistensi aliran tersebut di wilayah Kabupaten Banyumas.

Sejarah Berdirinya Kelompok Syahadatain adalah suatu aliran keagamaan Islam yang ap- likasi peribadatannya lebih mengarah pada tareqat. Para jamaahnya masih kental dengan model-model perilaku keagamaan yang dilakukan kelompok Nahdlatul Ulama. Kelompok ini mempunyai anggota jamaah seperti kelom- pok-kelompok aliran agama Islam lainnya. Dalam kaitan dengan keberadaan- nya, maka dapat diungkapkan sebagai berikut: Organisasi ini berdiri sudah sejak lama. “Pendirinya biasa kami sebut dengan Abah Umar,” ungkap Ahmadi (Sekretaris organisasi wilayah Kabu- paten Banyumas). Organisasi ini berpusat di daerah Cirebon dengan seorang ketua umum yang bernama Dr. Abdurrahman. Di wilayah Kabupaten Banyu- mas Syahadatain mempunyai basis anggota di wilayah Kecamatan Purbadana, suatu daerah yang beradada di pinggiran timur-utara (tenggara) dari pusat kota Purwokerto. Kelompok aliran ini memiliki anggota sekitar 100 orang lebih. Adapun kepengurusan di Kabupaten Banyumas sangat sederhana, yakni

279 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

sebagai berikut: Ketua : Imam Nadi Sekretaris : Drs. Ahmadi Dalam pemilihan kepengurusan organisasi ini mempunyai mekanisme yang sangat unik, yakni mereka tidak menggunakan sistem pemilihan dalam memilih ketua umum, namun menekankan pada garis keturunan dari pendiri. Ada nuansa semacam kerajaan. Tetapi bukan karena unsur nasabiyah yang ditekankan, hanya karena organisasi ini masih baru, sehingga orang yang merasa lebih memiliki (sense of belonging) dalam kaitan tanggung jawab un- tuk mengembangkannya, baik secara institusional maupun dari sisi kuanti- tas anggotanya, maka kepengurusan dilakukan oleh keturunan dari pendiri. Walaupun kemudian diakui bahwa berkembangnya aliran ini juga tergantung pada masing-masing individu jamaah Syahadatain di tiap-tiap daerah dan ti- dak ada mandat secara resmi dalam menyebarkan aliran ini. Sementara itu agenda tingkat nasional biasa mereka lakukan 2 (dua) tahun sekali, terutama untuk menyambung tali silaturahmi di tiap-tiap daerah yang ada.

Karakteristik Anggota Syahadatain Aliran Syahadatain mempunyai ciri khas dan karakter tersendiri jika dibandingkan dengan aliran-aliran kegamaan Islam lainnya, terutama dalam berpakaian ketika akan melaksanakan ibadah salat di masjid. Adapun ciri-ciri khas tersebut adalah: 1. Dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti pada umumnya orang Islam. Tetapi ketika mereka melakukan salat wajib berupaya untuk memakai gaun yang serba putih. 2. Kelompok ini lebih berorientasi kepada pendalaman ibadah, sehingga setelah melaksanaan ibadah wajib, mereka membaca surat Al-Fatihah yang dijadikan sebagai washilah kepada para Nabi. Para sahabat (yang 4), para tabiin, para ulama yang telah memberikan ilmu kepada mereka, dari tingkat terdahulu sampai sekarang. 3. Para jamaah biasanya mengadakan tawasul sebulan sekali. Tawasul adalah suatu kegiatan membaca surat Al-Fatihah yang dipersembahkan kepada para malaikat, para Nabi, para ulama, dan para guru mereka. Dalam arti aktifitas tawasul ini juga dapat berarti sebuah bentuk pengajian yang di- lakukan di rumah-rumah anggota. Pada saat bulan suci Ramadhan, mer- eka melakukan kegiatan kumpul bersama, tahajud, membaca asma’ul husna di masjid.

Konsep Toleransi Kelompok Syahadatain mempunyai pandangan yang identik dengan alir- an agama Islam pada umumnya, meskipun dengan persepsi yang agak ber- beda. Ada beberapa interpretasi mereka dalam konsep toleransi, yaitu: 1. Makna toleransi menurut Syahadatain adalah lebih kepada “tujuan sama

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 280 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

namun kendaraan berbeda,” ucap Imam (Ketua). Syahadatain menghar- gai aliran Islam yang lain. Bagi mereka, batasan toleransi antar umat be- ragama terletak pada syahadat. Siapapun yang telah bersyahadat adalah saudara se agama. Mereka adalah saudara seagama yang apabila melaku- kan ibadah salat berjamaah, kelompok Islam Syahadatian diperbolehkan makmum di belakangnya. 2. Sikap mereka terhadap Ahmadiyah, ialah memandang akan lebih baik mengembalikan permasalahan itu pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Arti- nya, segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan umat dan keadaan aliran-aliran umat beragama yang ada, tidak dengan kekerasan apalagi melakukan hal-hal yang anarkis. Namun rincian pandangan men- genai detailitas Al-Qur’an maupun Al-Hadits dalam mencari solusi perso- alan Ahmadiyah mereka tidak menerangkan secara jelas. 3. Menurut Prof. Dr. Mustafid, sebagai Ketua Syahadatain Jawa Tengah, tole- ransi yang perlu dijaga adalah toleransi yang dilakukan secara internal ter- lebih dahulu. Interpretasi di antara jamaah harus sama. Jangan sampai di antara jamaah sendiri masih berbeda. Hal ini seperti ketika jamaah Sya- hadatain melakukan ibadah salat hendaklah memakai pakaian berwarna putih. Ini kita melaksanakan sunnah. Siapapun yang melaksanakan salat dengan warna putih, sudah barang tentu semua kelompok agama itu akan menyatakan sunnah. Kemudian bentuk toleransinya adalah ketika orang lain memakai warna lain. Kita tidak boleh menyatakan bahwa mereka salatnya tidak sah. Dalam hal ini, yang penting adalah memenuhi syarat dan rukunnya, seperti menutup aurat. Bila seseorang dalam melakukan ibadah salat belum memakai pakaian warna putih, jangan dipandang bah- wa mereka itu berbeda, apalagi keliru, tetapi mereka hendaklah dipandang telah memenuhi syarat rukun suatu syari’at. Inilah sebagai bentuk toleransi yang dijalankan aliran Syahadatain. 4. Ketika bergaul dengan orang lain, kita harus bersikap toleran. Sebab dalam kaitan hidupn dan bergaul dengan kelompok lain, maka hal ini dipersep- sikan sebagai perwujudan sisi hidup kemasyarakatan. Dalam berinteraksi sosial tidak ada batasan untuk berhubungan, sebab setiap manusia adalah makhluk Allah. Mereka telah dimuliakan oleh Penciptanya. Melihat persepsi kelompok aliran Syahadatain terhadap nilai-nilai tole- ransi yang dikemukakan menunjukkan bahwa pandangan mereka pada um- umnya identik dengan pandangan aliran-aliran Islam yang sudah mapan, se- perti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Tetapi bukan berarti keberadaan mereka tidak mempunyai persoalan. Hal ini lebih disebabkan oleh simbol- simbol yang dikenakan para jamaahnya ketika akan melakukan ibadah salat dengan baju gamis yang serba berwarna putih. Wirid yang berupa tawasul dengan membaca surat Al-Fatihah dan dikhidmatkan kepada para guru atau ulama, tetapi juga kepada para nabi maupun para malaikat. Kegiatan-kegiatan tersebut meski tidak menggangu orang lain, karena mereka melakukannya bersama para anggotanya, tetapi orang Islam lainnya

281 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Abdul Rohman

yang tidak sejamaah memandangnya sebagai suatu kegiatan ibadah “yang aneh”. Hal ini pernah diungkapkan oleh seorang warga yang hidup di seki- tar masjid, yang menjadi tempat ibadah aliran Syahadatain. Ia menyatakan bahwa aliran Syahadatain dalam beribadah itu aneh, apakah orang beribadah harus memekai gamis serba warna putih? Kemudian sehabis salat jamaah (terutama salat magrib) mereka tidak mau pulang, tetapi tetap di masjid dan wirid dengan membaca Al-Fatihah yang lama sekali, sampai waktu salat isya tiba. Meskipun pandangan ini tidak berdampak negatif terhadap keberadaan jamaah kelompok Syahadatain, tetapi setidak-tidaknya pandangan tersebut menjadi sinyal adanya orang dari kelompok lain yang tidak legawa (Jawa) atau tidak ikhlas menerima adanya kelompok Syahadatin.

Penutup Keberadaan kelompok keagamaan dalam Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad, Islam Jamaah, Jamaah Salâfí, bagi aliran Syaha- datain tidak ada masalah. Mereka adalah saudara seagama, karena mereka telah bersyahadat. Bahkan ketika mereka melakukan tawasul dengan wirid membaca surat Al Fatihah, dan ditujukan kepada seluruh Shahabat, para ‘ula- ma, para guru mereka, dan semua orang yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat, maka jamaah kelompok Syahadatain tidak memandang mereka dari mana madzhabnya yang penting masih berada dalam frame Islam. Sikap positif kelompok Syahadatain terhadap kelompok keagamaan lain- nya dalam toleransi juga ditunjukan dalam pengembangan nilai-nilai toler- ansi kelompok keagamaan Islam lainnya terhadap kelompok Syahadatain, baik dalam melakukan ibadah salat dan peribadatan lainnya maupun dalam interaksi kehidupan sosial. Namun demikian, karena kelompok Syahadatain memiliki simbol-simbol tertentu dalam melakukan ibadah mahdhah teruta- ma dalam shalat dengan berpakain gamis putih berseorban, maka sering di- anggap aneh oleh warga masyarakat yang bukan anggotanya. Melihat perkembangan aliran kelompok keagamaan yang semakin ban- yak dan pada beberapa wilayah terjadi gesekan yang mengarah pada rapuh- nya nilai-nilai solidaritas dan pudarnya bentuk-bentuk toleransi, maka mun- culnya forum silaturahim intelektual yang digagas oleh intelektual muslim dan tokoh agama menjadi penting. Hal ini bukan saja sebagai media silatura- him, memadu kasih sayang antarsesama, namun juga sebagai media untuk menjelaskan tentang keberadaan dan seluk beluk dari suatu kelompok/ alir- an keagamaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat, sehingga masing- masing kelompok saling memahami tentang pandangan, ideologi dan atau perilaku keagamaan yang menjadi bingkai eksistensi perjalanan hidupnya.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 282 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Mustholehuddin

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Moeslim. 1995. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Fir- daus. Jamil, Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pusta- ka Pelajar. Mahmassani, Shobi. 1981. Filsafat Hukum Islam. Diterjemahkan oleh Sudjo- no, Ahmad. Bandung: PT. Al Ma’arif. Nata, Abudin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Qardhowi, Yusuf. 1995. Gerakan Islam, Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Dilarang. Diterjemahkan oleh Rafiq, Aunur. Jakar- ta: Robbani Press. Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Ra- jawali. Young, Kimbal. tt. Social Cultural Process. Dalam Sumarjan, Selo Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Media cetak: Harian Suara Merdeka, 16 Februari 2011. Website: (http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=84/hl=id/LAKUM_DINUKUM_ WA_ LIYA_DINI). (http:/www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/rusmin.pdf)

283 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Banyumas Mustholehuddin

BOOK REVIEW KEARIFAN LOKAL DALAM AJARAN AL-QUR’AN

MUSTOLEHUDDIN Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Telp. 024-7601327 Fax. 024-7611386 e-mail: [email protected] Naskah di terima tanggal: 17 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Imam Muhsin, Tafsir Al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Sahid. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemen- terian Agama RI, 2010, xxxvi + 313, 14 x 20,5 cm. ISBN 978 -979-797-296-7.

Buku ini merupakan hasil sebuah pene- litian yang berusaha melihat peran budaya lokal sebagai saka guru kehidupan masyara- kat, selain itu juga merupakan pengakuan ten- tang keragaman budaya dalam tata pergaulan global. Penelitian budaya lokal dalam penaf- siran agama (Al-Qur’an) sangat penting jika dikaitkan dengan wacana postmodernisme yang berkembang belakangan ini. Selanjut- nya penelitian ini juga memberikan kontribusi baik secara pragmatis bagi pemahaman kaum muslimin mengenai normatifitas-universalitas dan historitas lokalitas Islam (khususnya tafsir Al-Qur’an) maupun secara konseptual bagi pengembangan keilmuan mengenai hubungan Islam dan budaya lokal. Secara lebih rinci kontribusi yang diberikan oleh pene- litian ini adalah penemuan rumusan tentang dialektika dan pola hubungan dan nilai-nilai budaya, kerangka tafsir Al-Qur’an berperspektif kebudayaan dalam upaya integrasi dan interkoneksi keilmuan ditengah kehi-dupan masyarakat kontemporer. Penulis membagi buku ini ke dalam enam bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang yang menjadikan penelitian ini menjadi penting dan menarik. Bab kedua membahas tentang ulasan Tafsir Al-Huda dan bografi pe- ngarangnya. Pembahasan dalam bab ini mencakup penjelasan tentang pribadi luhur orang Jawa, ciri-ciri umun dari Tafsir Al-Huda, dan format penulisan tafsir tersebut. Bab ketiga berisi ihwal kebudayaan Jawa dan beberapa aspek-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 284 Books Review Mustholehuddin

nya, varian kebudayaan Jawa, Bahasa Jawa; penggunaan dan fungsinya, dan nilai-nilai kemasyarakatan. Bab kelima menjelaskan tentang nilai-nilai buda- ya Jawa dalam Tafsir Al-Huda. Bab keenam merupakan penutup yang berisi rangkuman dan kesimpulan. Dalam bahasa yang mudah dicerna, penulis mampu mengungkap maksud yang diinginkan oleh pengarang Tafsir Al-Huda yang menjelaskan pergumul- an dialektis dalam Tafsir Al-Huda yang melahirkan tiga pola hubungan antara Al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Jawa, yaitu pola adaptasi, integrasi dan nego- siasi. Pola adaptasi merupakan bentuk penyesuaian wacana sosial Al-Qur’an dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Jawa. Di sini berbagai interaksi sosial dalam Al-Qur’an disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pola integrasi muncul sebagai bentuk penyatuan nilai-nilai ajaran Al- Qur’an yang bersifat global-normatif dengan nilai-nilai etika Jawa yang lokal- historis. Pola ini merupakan hasil kontak dua sistem nilai yang bergerak dalam dua arah, yaitu gerak kedalam sebagai proses “lokalisasi” yang identik dengan “pribumisasi”, dan gerak keluar sebagai proses “glokalisasi” yang identik de- ngan “Islamisasi”. Glokalisasi terjadi ketika nilai-nilai Al-Qur’an pada ranah global-normatif mengejawantahkan dalam nilai-nilai budaya jawa pada ranah lokal-historis. Adapun lokalisasi terjadi ketika nilai-nilai budaya jawa pada ranah lokal-historis mencoba untuk mengejawantahkan nilai-nilai ajaran Al- Qur’an yang bersifat global normatif. Dalam batas-batas tertentu kedua proses yang dijelaskan tersebut berturut-turut dapat disejajarkan dengan proses is- lamisasi dan pribumisasi. Sedangkan pola yang terakhir yaitu negosiasi, terjadi ketika dua sistem nilai yang bersifat otonom bersanding secara damai dan dapat saling mengisi melalui proses “negosiasi akomodatif” tetapi di sisi lain, sifat otonom itu juga dapat mendorong munculnya “negosiasi kritis”, terutama bagi nilai yang sup- remasinya lebih tinggi. Dalam hal ini penafsiran yang dilakukan oleh Tafsir Al-Huda cenderung bersifat dialektis fungsional, dalam arti proyeksi penafsir- annya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta tuntutan perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Dari penjelasan penulis di atas, selanjutnya dapat ditarik beberapa ke- simpulan sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ada, sebagai berikut: Nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda berkaitan erat dengan eksistensi manusia sebagai makhluk tuhan, individu dan sebagai anggota ma- syarakat. Hal ini selaras dengan fungsi utama diturunkannya Al-Qur’an se- bagai petunjuk bagi manusia untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat yang realisasinya tidak dapat dilepaskan dari ketiga eksistensi terse- but. Sehubungan dengan itu, nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda secara umum kemudian dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu teolo- gis-religius; kepribadian luhur; dan sosial kemasyarakatan.

285 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Books Review Mustholehuddin

Ketika aspek niali-nilai budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda di atas dike- mukakan berdasarkan pemahaman bahwa Al-Qur’an, dengan berbagai inter- aksi sosial didalamnya, mencerminkan sebuah “masyarakat imaginer” bernu- ansa Jawa. Pemahaman demikian pada gilirannya menuntut pengarang untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Langkah pertama yang dilakukan adalah mereposisi pihak- pihak yang terlibat interaksi sosial berdasarkan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dalam melakukan reposisi itu ia berpijak pada dua kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa sebagaimana telah lama dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dalam aspek teologis religius, Tafsir Al-Huda mengusung nilai-nilai budaya Jawa tentang hubungan eksistensial antara manusia dan Allah swt. dijelaskan bahwa Allah swt. adalah sangkan (asal kehidupan) dan paran (akhir kehidup-an) yang bersifat batin dari segala dumadi (kehidupan) yang bersifat lahir. Ini erat kaitannya dangan fitrah kejadian manusia, karena pada diri manusia terdapat dimensi lahir dan dimensi batin sekaligus. Kebahagiaan hidup sejati dapat diraih jika manusia menyadari hubungan antara dimensi lahir dan batin tersebut sehingga sampai pada pengalaman yang mendalam tentang dirinya sendiri. Dengan ini, manusia akan terdorong kuat untuk ber- buat baik kepada Allah, diri sendiri, dan lingkungan sesamanya. Berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhan (Gusti Allah), Linus Suryadi menjelaskan bahwa, dalam tradisi masyarakat Jawa dikenal tradisi nyekar (kirim doa) mengirim kembang ke makam serta mendoakan arwah leluhur pada Tuhan, menjadi tradisi religi mapan yang tidak pernah ter- goyahkan oleh berbagai -isme dan paham baru yang berbeda sama sekali. Hal ini dalam ajaran Al-Qur’an dikenal dengan adanya birrul walidain (anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya). Inilah yang dalam budaya Jawa dikenal dengan mikul dhuwur mendem jero (menghormati dan menjunjungi tinggi martabat orang tua). Hal merupakan perbuatan yang terpuji baik dalam pan- dangan budaya Jawa maupun dalam perspektif Al Qur’an. Perbuatan baik manusia terhadap Allah swt. disimbolkan dengan budaya Jawa dalam pola-pola penyebutan yang dapat merangkum berbagai macam perasaan. Seperti menghormati, menjunjung tinggi, mengagungkan, memu- liakan, memuja dan menyembah. Pola itu terangkum dalam penyebutan tuhan itu sendiri, seperti gusti, pangeran, dan pepunden. Perbuatan baik manusia terhadap diri sendiri dalam budaya Jawa pada dasarnya memiliki kesamaan dengan kepribadian luhur (bebudehen luhur) yang mesti dimiliki oleh setiap individu sehingga layak disebut kesatria Jawa. Adapun perbuatan baik terha- dap lingkungan dalam budaya Jawa tercermin dari kualitas interaksi sosialnya yang diorientasikan pada terciptanya masyarakat yang harmonis serta tata tenterem karta raharja. Dialektika Al-Qur’an dan nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda merupakan proses pergumulan antara Al-Qur’an, warisan budaya Jawa, dan

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 286 Books Review Mudjahirin Thohir

kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya. Proses tersebut sejajar de- ngan langkah-langkah yang ditempuh oleh pengarang dalm mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an dalam konteks budaya Jawa. Secara metodologis, langkah penafsiran yang dilakukan oleh pengarang itu merupakan sebuah bentuk yang dapat dikatakan sebagai pendekatan sosial budaya. Dengan pendekatan ini, ayat-ayat Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks literer dan historisnya ke- mudian diproyeksikan kedalam situasi dan kondisi masyaraka Jawa yang me- lingkupi lahirnya Tafsir Al-Huda berdasarkan sudut pandang budaya Jawa. Lahirnya Tafsir Al-Huda merupakan bentuk aktualisasi kerja akal penga- rang yang menyatu dalam perbuatan setelah melalui pergumulan dialektika Al-Qur’an, warisan budaya yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Dari sini, karya ini kemudian muncul sebagai tafsir yang berperspektif budaya Jawa yang bersifat kultural-kontekstual, serta akomodif dan intregatif interkonektif. Maka pada tataran praksis, karya ini pada dasarnya merupakan satu wujud kebudayaan Islam Jawa yang dapat diposisikan seba- gai “model of reality” sekaligus “model for reality”. Hal ini karena posisi Tafsir Al-Huda tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang ada, sekaligus karena posisinya sebagai semacam guide book bagi pengalaman pesan suci Al-Qur’an. Dalam bagian kedua inilah karya ini memungkinkan bagi pengembangan ke- budayaan Islam Jawa. Sikap akomodatif Tafsir Al-Huda terhadap nilai-nilai budaya Jawa pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Fak- tor internal adalah nilai-nilai budaya Jawa yang bersumber pada diri penafsir sendiri sebagai orang yang memiliki warisan budaya jawa; lahir dan dibesar- kan di lingkungan budaya masyarakat Jawa. Adapun faktor eksternal adalah kondisi sosial budaya masyarakat Jawa dengan segala nilai dan norma yang berlaku didalamnya. Terkait dengan faktor pertama, sikap akomodatif Tafsir Al-Huda terhadap nilai-nilai budaya Jawa disebabkan keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari proses pewarisan kebudayaan. Sementara dengan fak- tor kedua, sikap akomodatif Tafsir Al-Huda terhadap nilai-nilai budaya Jawa disebabkan kemunculannya merupakan salah satu bentuk respon sosial. Di sisi lain, sikap akomodatif Tafsir Al-huda terhadap nilai-nilai budaya Jawa juga mampu memberikan pemahaman sebagai media strategi kebuda- yaan. Hal yang demikian ini karena pola-pola pemaknaan yang dilakukan oleh penulis dalam karyanya ketika mengungkap kandungan makna ayat-ayat Al- Qur’an pada dasarnya merupakan proses kreatif dalam pengejawantahan yang terkandung pada pesan-pesan suci tuhan dalam konteks ruang dan waktu ter- tentu, dalam hal ini adalah kondisi sosial budaya yang dialami oleh masyarakat Jawa, sekaligus merupakan bentuk respon terhadap kondisi yang melingku- pinya. Buku ini sangat layak untuk dibaca komunitas Jawa dan masyarakat mus- lim pada umumnya. Dengan membaca buku ini pembaca akan memperoleh gambaran bahwa ajaran Islam (Al-Qur’an) sangat sesuai dengan segala kondisi dan keadaan zaman (shalih likulli zamān wal makān).

287 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Books Review Mudjahirin Thohir

ANALISA CORNER

SENI MENYUSUN PROPOSAL PENELITIAN

MUDJAHIRIN THOHIR Guru Besar Ilmu Budaya Universttas Diponegoro Semarang e-mail: [email protected] Naskah di terima tanggal: 20 Oktober 2011 Naskah disetujui tanggal: 24 Oktober 2011

Seseorang yang menyebut dirinya sebagai peneliti (researcher) umum- nya memulai melakukan kegiatan penelitian dengan terlebih dahulu menulis rencana penelitian yang disebutnya sebagai Proposal Penelitian. Menyusun proposal penelitian secara baik semakin dipersyaratkan ketika yang bersang- kutan mengikuti kompetisi untuk mendapatkan dana penelitian yang dita- warkan oleh suatu lembaga, perusahaan, atau funding, baik lembaga, per- usahaan, atau funding yang ada dalam negeri, maupun luar negeri. Agar bagaimana proposal penelitian yang diajukannya itu bisa diterima untuk kemudian diberi dana guna melaksanakan penelitian dimaksud, beri- kut disampaikan sejumlah kiat (kaifiyah) pendek. Apa yang tersaji dalam kiat pendek ini, adalah hasil refleksi saya sebagai pembimbing penyusunan skrip- si, tesis, dan disertasi termasuk sebagai reviewer. Proposal Penelitian adalah pernyataan (naratif) yang sangat padat isi (singkat, sehingga tidak ada kata yang bisa dibuang) tentang suatu masalah. Dianggap ‘masalah’ karena kebaruannya atau karena diasumsikan adanya gap antara das sollen (cita ideal; teori; norma) dengan das sein (praksisnya; fak- tanya); atau karena tidak adanya jarak yang berarti antara das sollen dengan das sein-nya seperti suatu departemen yang bersih dari korupsi (kondisi ini dianggap tidak lazim). Dari masalah tersebut, menuntut segera memperoleh jawaban secara tepat (dan jawaban tersebut baru bisa diperoleh kalau dilaku- kan penelitian) kalau tidak ingin (jika tidak diteliti) melahirkan kondisi yang semakin buruk. Kesan seperti ini harus timbul dari mereka (pe-review) yang membacanya. Masalah penelitian berbeda dengan masalah sosial (kegamaan dll), tetapi keberadaannya (bahwa ia adalah masalah) karena dihadirkan oleh penyu- sun proposal. Jadi ‘masalah penelitian” pada dasarnya adalah kemampuan (penyusun proposal) mempermasalahkan sesuatu keadaan yang nampak di permukaan (seperti tindak kriminal; bencana dsb), atau yang tidak nampak

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 288 Seni Munyusun Proposal Penelitian Mudjahirin Thohir

(misalnya kajian teoritik). Dalam studi kuantitatif, masalah penelitian biasanya diformulasi ke dalam bentuk hubungan variable independent (VI) dengan variable depen- dent (VD). Berdasarkan atas hubungan VI–VD inilah lalu diikuti dengan se- jumlah (kalimat) pertanyaan yang disebutnya sebagai rumusan masalah. Se- dang dalam studi kualitatif, pada dasarnya “tidak ada panduan yang baku”, tetapi ada kesepahaman bahwa ada ‘fokus’ (subject matter) yang mau dipe- lajari, dan ia tidak direduksi dalam hubungan variabel (VI–ID), melainkan variabel-variabel (dalam bahasa kuantitatif) diubah istilahnya menjadi ‘fak- tor-faktor’ yang posisinya saling tarik-menarik. Cara bagaimana menempat- kan faktor-faktor tadi berada saling tarik-menarik, bisa disusun berdasarkan pada logika prima-causa (sebab-akibat), lebih luas lagi disusun dalam suatu keadaan [masalah] timbul karena adanya aktor (who) melakukan pilihan tindakan yang berkonsep (what/ontologis) dengan cara-cara tertentu (how) dalam suatu ruang (where) dan waktu (when) yang didasarkan atas pertim- bangan-pertimbangan tertentu (why). Karena suatu masalah (realitas yang mau dipelajari) itu kompleks, maka masalah penelitian dalam kajian kualitatif bisa dalam bentuk susunan alinea, yang perwujudannnya bisa bertolak pada fakta-fakta, asumsi-asumsi, dan hipotesis-hipotesis–yang keseluruhannya dilihat sebagai “duduk permasalahan”. Rumusan masalah yang tersaji pada proposal penelitian berdasarkan pada pendekatan kualitatif, bisa berbentuk kalimat atau susunan-susunan kalimat, misalnya: “Berdasarkan pada latarbelakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada upaya menjawab: apakah .... “perkawinan di bawah umur masih berjalan di daerah X? Jika “ya”, faktor-faktor apa saja yang melatar- belakangi pilihan perkawinan di bawah umur tersebut? Siapakah yang lebih berperan terhadap terjadinya perkawinan di bawah umur, apakah orangtua, calon mempelai yang bersangkutan, ataukah kondisi lingkungan (tradisi)? Apakah efek yang timbul di balik perkawinan di bawah umur? Jika perkawin- an di bawah umur dianggap berlawanan dengan peraturan pemerintah, lantas bagaimana jalan keluar yang bisa ditawarkan?, dst”. Masalah penelitian merupakan inti dari suatu proposal. Karena itu (dalam penyusunan proposal), mulai dari latarbelakang, tujuan, teori, dan metodologi harus memiliki keterkaitan (relevansi) terhadap masalah peneli- tian itu sendiri. Pada Latar Belakang, penyusun proposal perlu bertutur dengan sangat hemat (punya relevansi) sekaligus cermat untuk mengantarkan ‘pembaca’ ter- bawa masuk ke dalam keyakinan ‘ada persoalan yang penting untuk diteliti”. Cara ‘bagaimana mengefektifkan tuturan’ pada subbab Latar Belakang? Ialah dengan ‘menabrakkan’ antara das sollen dengan das sein-nya. Soal mana yang didahulukan, das sollen-nya atau das sein-nya, itu soal seni bertutur be- laka. Tujuan Penelitian, dapat diposisikan sebagai angle (sudut atau segi) mana yang dipentingkan. Sasaran akhir seperti apa yang akan diperoleh kalau

289 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Seni Munyusun Proposal Penelitian Mudjahirin Thohir

penelitian tersebut dilakukan. Kata awal dari kalimat dalam Tujuan Peneli- tian ialah dengan awalan ‘mem- (peroleh)’, sementara kalimat dalam faedah Penelitian dengan awalan ‘di- (peroleh)’. Acuan Teoritik (Kerangka Teori) merupakan ‘logical framing’ yang ‘harus’ patuh pada rumusan masalah penelitian dan tujuan penelitian. Teori sejatinya adalah berfungsi untuk: (1) mendefinisikan konsep-konsep kunci (sebagaima- na disebutkan dalam masalah penelitian); (2) hubungan antar konsep-konsep tersebut: bagaimana hubungan itu terbentuk dan membentuk; konsekuensi- konsekuensi yang akan terjadi jika masing-masing dari konsep/ faktor-faktor itu seleras atau justru ketika hubungan itu tidak seleras; sehingga teori itu (3) laksana peta bagi orang yang bepergian ke daerah yang masih asing. (4) Lewat peta tersebut, menjadikan seorang musafir mampu menentukan pilihan (mi- salnya jenis kendaraan yang dipilih) disesuaikan dengan keadaan/ jarak ‘tem- pat’ yang akan dituju. Dengan demikian, bagaimana merangkai (pendapat- pendapat mereka yang memiliki otoritas keilmuan) untuk dibangun ke dalam struktur berfikir secara berkesinambungan dan berrelevansi kepada masalah dan tujuan penelitian. Dengan demikian, dalam Kerangka Teoritik, tidak cu- kup hanya disajikan dalam bentuk konseptual tetapi masing-masing teori (yang dikutip) itu harus operasional dan bisa dioperasionalkan. Studi Pustaka (kadang disebut Kajian Kepustakaan) menjelaskan bahwa (1) apa yang akan kita teliti, secara umum bukanlah ‘sesuatu yang sama sekali baru’, tetapi ada pendahulu yang melakukan penelitian yang mirip, atau ada keterkaitan baik dalam sisi tema, lokus, teori, maupun metodologi yang di- gunakan. Dengan mengkaji pustaka, menjadikan kita tidak harus memulai dari awal lagi. Di samping itu, fungsi studi pustaka (2) adalah ‘sisi mana’ yang belum digarap oleh pendahulu, atau kekurangan apa yang nampak dari pen- dahulu. Jadi, Studi Pustaka adalah mengkaji (pustaka/ hasil penelitian orang lain) dengan sikap amat kritis. Road Map Penelitian. Jika ‘topik usulan penelitian’ yang kita ajukan sebetulnya adalah kelanjutan/ pengembangan dari suatu bidang ilmu/ tema kajian yang kita tekuni (misalnya berkaitan dengan mata kuliah yang kita ajarkan) dan karena itu kita sudah menghasilkan sejumlah tema penelitian yang relevan, maka meresume keseluruhannya itu (disarankan juga dari hasil penelitian orang lain yang senada), maka menuliskan road map demikian, bisa menambah bobot nilai proposal. Bahkan salah satu syarat untuk ‘peng- ajuan guru besar’, adalah mengukur seberapa besar perhatian calon guru be- sar tersebut dalam bidang ini. Penulisan road map penelitian biasanya ditulis dalam sub-bab tersendiri, tetapi ada kalanya ditulis dalam satu kesatuan pada sub-bab Studi Pustaka. Kalau ‘pengusul proposal’ mampu ‘menutur-ulangkan’ kembali secara padat, singkat, cermat, dan terstruktur secara logis –yang ditandai oleh ada- nya relevansi antara: masalah penelitian–tujuan penelitian–acuan teoritik dan (ditambah road map)– maka ‘duduk persoalan’ yang mau diteliti, tujuan di balik penelitian atas masalah tersebut, angle (sudut pandang) teori yang di-

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 290 Seni Munyusun Proposal Penelitian

gunakan dalam rangka menjawab masalah sesuai tujuan yang hendak dicapai, maka pe-review akan yakin bahwa calon peneliti diyakini mampu melakukan penelitian secara baik. Inilah kesan pertama yang betul-betul ‘menggoda’ pe- nilai proposal. Kesan berikutnya adalah pada Metodologi Metodologi Penelitian. Uraian (naratif) dalam metodologi, pada intinya ialah menjelaskan secara tepat berdasarkan logika berfikir hipotesis berikut. “Kalau masalah penelitiannya ‘demikian’ untuk mencapai tujuan ‘demikian’ –maka data apa saja yang dibutuhkan/ digali, dengan cara bagaimana data itu dikumpulkan, dan siapa saja narasumber yang paling tepat untuk dimin- tai keterangannya? Kemudian setelah data itu terkumpul, bagaimana lalu data itu bisa dimengerti? Dari sinilah penjelasan mengenai proses melakukan analisis dibutuhkan. Kalau Analisis dimaksudkan sebagai cara ‘melakukan kategorisasi atas informasi-informasi sesuai dengan konteks masalah yang mau dijelaskan, maka pengertian analisis di sini perlu dipisahkan dengan in- terpretasi. Yang pertama (analisis) ialah mengorganisasikan informasi yang tersebar, sementara interpretasi memberi arti pada data itu sendiri dalam konteks yang lebih luas. Interpretasi atas sejumlah temuan, dapat dilakukan ke dalam dua taha- pan. Tahap pertama ialah mengkonstruksi sebaran temuan ke dalam suatu pemolaan, penstrukturan, atau dalam bentuk taksonomi dengan rincian penjelasannya. Pada tahap pertama ini, interpretasi didasarkan atas perspek- tif emic (the insider’s looking). Sedang tahap kedua, ialah mempertemukan data yang ada dengan serangkaian teori yang diakui relevan untuk lebih bisa mengerti. Kalau mengkaji “kawin mut’ah” misalnya, maka persoalan tersebut hanya relevan dilihat dari perspektif teoritik/ faham Syi’ah untuk menjelas- kan pilihan tindakan perkawinan mut’ah tersebut. Jika mau menggunakan faham di luarnya misalnya Faham Sunni, maka tidak digunakan untuk meni- lai melainkan untuk mengkomparasikan konsepsi perkawinan menurut Syi’ah versus Sunni. Kalau memaksakan melakukan penilaian perkawinan mut’ah menurut kacamata Sunni, ini yang disebut dengan pandangan etnosentrik, alias mengukur orang lain dengan bajunya sendiri. Dalam tradisi keilmuan, cara pandang demikian masuk kategori ecological fallacies (kesalahan-kesa- lahan bernalar). Dana Penelitian. Penelitian (bagi ilmuwan) sebetulnya tidak harus menunggu adanya pihak luar (institusi) menyediakan dana. Namun demiki- an, memanfaatkan adanya dana (pihak luar) untuk memacu diri melakukan penelitian, tentu suatu keuntungan (dengan catatan: proposalnya diterima dan didanai). Bagaimana lalu menyusun budget atau anggaran penelitian, intinya adalah harus logis. Untuk itu, (1) selaraskan antara volume pekerjaan yang akan dilakukan dengan ketersediaan dana yang akan diberikan; (2) uraikan besaran masing-masing item kegiatan, tetapi jangan terlau detail, supaya ti- dak mempersulit diri dalam mempertanggungjawabkan keuangan. Kalau poin-poin di atas terurai dengan jelas, logis, dan terkesan sangat

291 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Seni Munyusun Proposal Penelitian

penting serta meyakinkan bahwa calon peneliti bisa melakukan usulan peneli- tiannya, maka tidak ada alasan bagi reviewer untuk menolaknya. Di balik kiat sebagaimana uraian di atas, saya masih sering menemukan (calon) peneliti yang mengajukan judul dan tema penelitian (dalam proposal) –yang notabene– masih asing bagi dirinya, sehingga tidak jelas dari sudut mana tema itu dikaji, bagaimana cara mengkajinya. Ingat, judul dan tema penelitian yang baik, belumlah cukup, sebab yang jauh lebih penting ialah bagaimana mengurai-jelaskan tema itu ke dalam struktur berfikir yang logis. Masih banyak penulis proposal yang belum terbiasa memadatkan cara berfikir singkat dan padat serta memiliki ketepatan relevansi dengan masalah penelitian. Ada banyak yang menulis bagian latar belakang lebih dari 8 (dela- pan) halaman sementara dalam metodologi hanya setengah halaman. Masih banyak penulis proposal, mengisikan berbagai kutipan dalam subbab teori berhalaman-halaman tetapi tidak jelas struktur (desain) berfikirnya, dan ku- tip-an-kutipan itu banyak yang tidak memiliki relevansi untuk bisa memahami masalah penelitian. Dalam bab Metodologi, tidak terurai secara prosedural. Jarang penulis proposal menguraikan dalam struktur berfikir logis misalnya: masalah peneli- tian apa yang mau diteliti data apa saja yang dibutuhkan untuk bisa men- jawab masalah tersebut bagaimana dan dengan cara bagaimana data itu diperoleh jika sudah dikumpulkan datanya lalu bagaimana ia dipahami dan dipahamkan? Jika dirinya sendiri tidak jelas terhadap apa yang diusulkan, maka tidak akan jelas juga data apa yang relevan yang harus dikumpulkan, dan ini akan berimplikasi kepada laporan penelitian seperti apa yang mau di- tuturkan manfaat apa yang bisa diperoleh. Jika demikian keadaannya, maka ‘menunda’ untuk memberikan dana – menjadi, ada penjelasannya.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 292 INDEKS ABSTRAK

Samidi Khalim (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Aplikasi Kitab Al-Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah Turen, Malang, Jawa Timur ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 9-25 This is the study of Al-Hikam, the book written by Ibn Athaillah, which is taught in the Pesantren Biharu Bahri Asalai Fadhail ar-Rahmah in Turen, Malang, . The research used content analysis and mysticism ap- proach. In the pesantren the teachings of the Al-Hikam is not purely taught as knowledge but also applied in daily activities. Nevertheless, not all teach- ings of the book could be easily implemented in the real life but four major teachings are given a great consideration: al-Muhasabah, al-Yaqin, Hus- nudhan, and at-Tawakkal. Keywords: Implementation, Mysticism Books, Pondok Pesantren.

Abu Rokhmad (Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang) Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 27-38 Every time, a dialogue between the Quran and its readers happens; and the long period process of such understanding has resulted thousands and tons of interpretation books (kitab tafsir). One of them is Tafsir al-Ibriz by K.H. Bisri Mustofa and is written in Arab Pegon (Javanese language and Ara- bic letters). This article is discussing the characteristics of the book and its method. Using descriptive analytic and hermeneutic interpretative, the study goes to the conclusion that the book is organized according to tahlili method, namely a method which explains Quranic verses words after words. The meaning of the words is presented in makna gandul system (the meaning is written under the words) while the interpretation and explanation (tafsir) is written out of the main body text. In terms of characteristics, the way the Tafsir al-Ibriz explains the mean- ing of the Quran is considered as simple. The approach applied in the book doesn’t tend to a particular interpretation style because it combines some different styles according to the contextual meanings; and this book belongs to traditional and ma’tsur category. Keywords: Method, Characteristic, Tafsir.

293 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Achmad Sidiq (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Masjid Besar Kauman Semarang Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Orna- men ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 39-58 Masjid Besar Kauman Semarang which is simply called as Masjid Besar Kauman is an ancient mosque in which has various character- istics: Javanese, Persian and Arabian. Considering the model of the roof, the mosque exposes its Javanese characteristics; even its triple overlapping roof with the mustaka on the top reminds us to the Masjid Agung Demak. On the other hand, looking at its gate the mosque belongs to Persian and Arabian characteristics. The mosque which was founded by Kyai Adipati Surodi- menggolo II is a series of historical development of the mosque in Semarang. In a short time, unfortunately, the mosque was on fire. In 23 April 1889 the mosque was rebuilt by G.I. Blume and Raden Tumenggung Cokrodipuro and by 23 November 1890 the rebuilding of the mosque completely finished. Such information can be seen in the inscription on the sculpture at the mosque gate. Keywords: Mosque, Ancient, Architecture, Ornament.

Arnis Rachmadhani (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 59-74 This article examines the doctrine of marriage in Wetu Telu society in Bayan, North Lombok. According to the community marriage is carried out by three steps: perondongan, mepadik lamar, and selarian which is finished with some rituals, such as menjojok, memulang, sejati, pemuput selabar, akad nikah, sorong serah, nyongkolan, and balik onos nae. The marriage ritual is led in accordance with Islamic teachings by the Head of Office of Religious Affairs. In spite of referring to Islamic sharia, the Wetu Telu also strongly holds the teaching of their ancestors which is more identical with Siva-Buddhist teach- ing. After a long process of acculturation with Hinduism, the later takes a part in marriage process within the Wetu Telu. Therefore, the marriage con- cept carried out by the Wetu Telu is a combination of Siva-Budhist (as the re- ligion of indigenous people) and Balinese Hinduism carried out by Balinese kingdom which had been mixed with Islamic teachings that later become lo- cal tradition. This local tradition then does create social stratification, mar- riage procedures and marriage procession. The local wisdom of marriage among the Wetu Telu has a potential role to strengthen religious harmony in multicultural society. Keywords: Marriage, Wetu Telu, Bayan, Lombok Utara, Siva-Buddhist,

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 294 Hindu, Islam, Multicultural.

Ismail Zubir (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta) Persepsi terhadap Nikah Siri (Kasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon) ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 75-87 This study aims to find out the perception of people in Sinarrancang, Mundu, Cirebon, , on nikah siri (“secret” marriage). Using qualitative ap- proach the study reveals that in their opinion nikah siri means nikah “kyai”, it is a marriage by ulama and has become a long hereditary tradition. Ac- cording to fiqih munakahat (a branch of Islamic law which studies about marriage) this kind of marriage is legitimate because it meets the condi- tions and requirements of marriage. According to positive law, however, such marriage is illegal for not being registered at KUA (a governmental institution which administers Muslim marriage). In order to change their perception on nikah siri, it needs to socialize UU No. 1 Tahun 1974 continu- ously. KUA’s service to people has to be addressed so that its accountability and responsibility could run effectively; and more importantly the draft of Religious Courts Law Materials that would provide punishment for those conducting nikah siri do not contradict with Islamic law. Keywords: Perception, Society, Nikah Siri.

Moh. Rosyid (STAIN Kudus) Ahmadiyah di Kabupaten Kudus ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 89-102 This research was picturing the society of Ahmadiyah (which consists of only ten families) in Kudus, Central Java. On one hand this community can be so adaptive to outers (non-Ahmadiyah people) such as joining their yasiinan or manaqiban groups and attending neighborhood meetings and can be so exclusive on the other hand. By exclusive here means that the Ahmadiyah people in Kudus will recite the quran and perform daily prayers together with themselves in their own mosque (Ahmadi mosque). The acceptance of Ahmadiyah in Kudus began when in 1989 some people in Kudus looked for physical and spiritual tranquility to Ahmadi people in Gabus, Pati, Central Java. The Ahmadi people of Gabus then taught them se- sorah (Ahmadi teachings) which was suitable with them so that the Ahmadi teaching then well received. Kinship and patron client (employer-employee) relationship are two signifi- cant factors for the Ahmadiyah recruitment. The Ahmadiyah in Kudus could exist for the “center” (Bogor) sends them religious teachers who teach and lead their daily prayers in their own masjid. This masjid is built on a piece of land given by Ahmadi people. In order for their existence among local people not to be regarded such as creating “water and oil” relationship, Ahmadi people perform some social events which more outers are involved in, such as inviting them to halal bihalal forum and blood donor. Keywords: Ahmadiyah, Kudus, Gabus, Recruitment Style.

295 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Wahab (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama pada SMA Swasta di Palangkaraya ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 103-119 The purpose of this study is to investigate the development and the implemen- tation of religious education curriculum developed by senior high schools (SMA) under religious foundations. This is a case study of SMA Muhammad- iyah I Palangkaraya. Research design applied in this study is Stufflebeam’s CIPP (Context, Input, Process, Product). The results how: 1) SMA Muham- madiyah I Palangkaraya develops not only curriculum designed by Ministry of National Education but also local religious education one (curriculum de- veloped by the foundation of Muhammadiyah); the way the school develops the curriculum can also be considered as especial because it provides its non- muslims students facilities for learning their religious teachings, 2) some supporting factors are the participation of the foundation, the principal, and the school committee in the curriculum implementation, and 3) the obstacle of the curriculum implementation is the absence of a particular place such as laboratory for religious education. Keywords: The Development and the Implementation of Curriculum, Reli- gious Education.

Ali Khudrin (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada MTs Negeri Yogya- karta II ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 121-131 The purpose of this research is to investigate the implementation of Kuriku- lum Tingkat Satuan Pendidikan (School-Based Curriculum) in MTsN Yogya- karta II. Using descriptive qualitative method, the research successfully re- veals that the MTsN II Yogyakrta provides some steps for implementing the School-Based Curriculum: preparation, implementation, and evaluation. The first step, preparation, is started from making rules, regulations, techni- cal guidelines and socialization, continued with organizing documents I and II of the curriculum. The second stage is the implementation of the School- Based Curriculum itself. The result of the research shows that MTsN II Yog- yakarta performs the curriculum according to the document I and document II. The last step is evaluation. Some supporting factors for the implementa- tion of the curriculum are facilities and infrastructures, instructional me- dia, teaching materials, learning resources, and qualified human resources. While the only inhibiting factor is the fact that some teachers find difficulties in applying multi learning media. Keywords: School-Based Curriculum, Curriculum, Learning.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 296 Mukhtaruddin (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik SMA Swasta di Kota Yogyakarta ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 133-144 The curriculum of Islamic education applied in private senior high schools is not the same from one to another because they are permitted to implement the curriculum legalized by the Ministry of National Education on one hand, and local curriculum (the curriculum issued by their own foundations) on the other; and the curriculum of each school has its own characteristics. The main purpose of this study is to determine whether there are significant dif- ferences, in terms of religious behaviours, of students who obtained a teach- ing curriculum designed by the foundations and the students who acquired learning with curriculum legalized by the Ministry of National Education. By taking a sample of 240 students from various private schools, the result of the study shows that, in terms of religious behaviours, those who obtained a teaching with curriculum of the foundations are better than that of students who obtained learning with the curriculum of the Ministry of National Educa- tion. Keywords: The Implementation of Islamic Education Curriculum, Private Senior High Schools, Religious Behaviours.

Mustolehudin (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Tradisi Baca Tulis dalam Islam Kajian terhadap Teks Al-Qur’an Surah Al- ‘Alaq Ayat 1-5 ANALISA, Januari-Juni 2011 - Volume XVIII No. 01 h. 145-154 The first verse revealed from Allah to Prophet Muhammad was an instruc- tion to read and to write. Reading is an urgent and important thing for peo- ple. Knowledge and information can be acquired by reading. Instruction to read can be seen in many verses of Qur’an, it is stated twelve times; three times in the form of fi’il amar, two times in the form of fi’il mudari’ (verb; present tense), four times in the form of fi’il mādi (verb; past tense). Reading in the broad meaning is a person who has capability to examine, to study, to know the characteristic of thing and to collect knowledge and information. Reading materials which are read by people are all the things which can be gotten whether in a holy text (holy book/kitab), written verses or unwritten verses. Capability of reading and writing can be achieved by education whether formal education or non formal education. Keywords: Reading, Writing, Qur’an, Verse Al-‘Alaq.

Mukhtaruddin (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Strandarisasi Penguasaan Kitab Kuning (Studi di Pondok Pesantren Al-An- war Sarang, PP API Magelang, dan PP Al-Fadlu Kaliwungu)

297 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 164-179 This is a study of (literally means “yellow books”) taught in three pondok pesantren (islamic boarding houses): Al-Anwar (Sarang), “API” (Tegalrejo), and Al-Fadlu (Kaliwungu). There are many (such as fiqih, ushul fiqih, nah- wu, and so forth) which are studied in these three Islamic boarding houses, either in classical system or non-classical one. There are three important findings of this research. Firstly, the three Islamic boarding houses teach the same kitabs and before being taught to the stu- dents, the kitabs must get the approval from the top leading kyai. Secondly, the main kitabs taught in the three pondok pesantrens are dealing with Ara- bic language rules (such as nahwu, sharaf, balaghah, and mantiq). Thirdly, the three pondok pesantrens belong to Ahlussunnah wal Jamaah. Keywords: Standardisation, Pondok Pesantren, Salaf.

Mulyani Mudis Taruna (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Perbedaan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam (Studi tentang Kom- petensi Guru PAI Tersertifikasi dan Belum Tersertifikasi di MTs Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan) ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 180-196 This is a study on the competence of Islamic religious teachers on Islamic Junior High Schools (MTs) in Banjar, South Kalimantan. The research was conducted in order to picture two main problems: the teaching competence of certified teachers and those are not with more or less then 11 years working experience, and the students’ learning outcomes taught by these two kinds of teachers. The results showed that there was a difference (0,000<0,005) bet- ween these two categories of teachers in terms of their teaching competence. In terms of working time experience, however, there was no significant dif- ference with 0,249>0,05. So was in the joint effect. There was no interaction between the “status” of the teachers and their working time experience with 0,272>0,05. In terms of the students’ outcomes, this study demonstrated a significant difference with 0,000<0,05. In other words, there was a signifi- cant result on the students’ outcomes taught by certified teachers and non- certified ones. Keywords: Teacher’s Competence, Islamic Religious Learning, Certified Teachers.

A. M. Wibowo (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Dampak Pendidikan Agama Islam terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa (Uji Perbedaan Dampak PAI terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Peserta Ma- drasah Aliyah Negeri di Provinsi Kalimantan Tengah) ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 197-210

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 298 This is a quantitative research which tried to perform a distinction test on the impact of teaching Islamic education on health reproductive beha-viors of the students. By distinction here means the distinction based on the sex and the distinction based on the subject (either social science or natural sci- ence). Using the two-way anova technique, this study found three findings; the first, there are differences in health reproductive behaviors as a result of Islamic religious education for learners viewed from their sexes; the second, there were differences in their behaviors viewed from their majors; and the third, there was no interaction between sexes and major of the students with Islamic religious education on their behaviors. Keywords: Impact of Teaching Islamic Education, Health Reproductive.

Moh. Hasim (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjuan Kosmologi Jawa ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 211-227 Masjid (mosque) plays a significant role in Islamic culture and civilization because it is not only a symbol of Islamic glory but also a symbol of harmoni- ous life between humans and their surroundings. Through historical and ar- cheological approaches, this study could reveal that the Masjid Pakualaman (Yogyakarta) has a close relationship with Javanese culture development. The mosque is a perfect picture of assimilation between Javanese Hindu and Islam. The building is full of cosmological meaning and harmonious spiri- tual life. There are at least three elements of the mosque as the evidences of the harmony: the shape of the roof, the flower tendril ornament, and the construction of the main gate of the mosque. Keywords: Mosque Architecture, Javanese Cosmology.

R. Aris Hidayat (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Masjid sebagai Pelestari Tradisi (Kajian Fungsi Masjid Wonokromo Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Historis) ANALISA, (Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 228-246 Mosque has strategic roles in developing Javanese culture, especially in the “keraton” (courts). Historically, the mosques built by the courts did not only have religious function but also political interest because they were used to set up social order. The question was how far those mosques played their roles as the preservers of Javanese traditions. This was a descriptive quali- tative study which applied historical approach; and the object was the “Mas- jid Taqwa” in Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Some important findings of the study were: the “Masjid Taqwa” has existed since about two centuries ago; and a tradition preserved by the mosque was “kirab lemper” which is held in the last Wednesday of the Sapar (a name of month in Java- nese calendrical system). This tradition, which is also called as “Rebo Pung-

299 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 kasan” or “Rebo Wekasan” is held to express the gratitude to Allah. In addi- tions, the tradition is also to commemorate the meeting of Sultan Hamengku Buwana I and Kyai Fakih Usman, a leading figure who introduced Islam to the people of Wonokromo and also helped them to cure disease outbreaks at that time. Through the tradition of “Rebo Wekasan” the people always expect to get blessing of the King of Yogyakarta. Keywords: History, The Function of Mosques, Tradition.

Sulaiman (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Problematika Pelayanan Kantor Urusan Agama Anamuban Timur Nusa Teng- gara Timur ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 247-259 For the Ministry of Religious Affairs, Kantor Urusan Agama (KUA; an of- ficial institution on religious affairs) has significant roles because it serves people directly. With all its limitations, KUA has to provide people with a variety of matters associated with marriage, endowments, religious harmo- ny and so forth. Using qualitative approach, this study found that, in terms of giving them religious services, the KUA in Amanuban Timur faced many problems; such as the low quality of moslem preachers, terrorism and re- ligious discrimination which result in disharmonious lives, and the strong roles of “adat” (local custom) influence on marriage matters. Keywords: Serves, KUA.

Joko Tri haryanto (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang) Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 260-272 Moslems as a minority face so different religious problems from those as a majority that results in different religious services played by the KUA (an of- ficial institution on religious affairs). This is a qualitative study on religious problems of moslems in Belu, East Nusa Tenggara, and religious services given by the KUA. In addition to giving moslems administrative religious services (such as registration on marriage, wakaf, and hajj) the KUA also tried to find solutions to every moslems’ problems though such attempt still found some obstacles, either internal or external. Keywords: Services, Religous Problem, KUA.

Abdul Rohman (STAIN Purwokerto) Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Kabupaten Banyumas ANALISA, Juli-Desember 2011 - Volume XVIII No. 02. h. 273-283

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 300 The value of Islam as “rahmatan lil alamin” is often reduced by different interpretations on the doctrines of the shariah raised by various religious groups. However, when a problem arises among them, though they are ac- tually so tolerant, moderate, democratic, and inclusive, it is quite difficult for them to come up with solutions because of their lack of communication. Therefore, when an idea of establishing what is called as the “forum silatur- rahmi intelektual dan sosial” they generally agreed on such thought. In terms of developing tolerance, the Syahadatain was so tolerant both in ritual and social domains. According to this group, other groups such as Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, al-Irsyad, Islam Salafi etc are their brothers because they have confessed as moslems. Even when this group re- cite al-Fatihah as a tawassul, they address the reward to the prophet’s com- panions, ulama’, their teachers and every people transferring knowledge to them, ignoring any religious groups they affiliate to. Keywords: Cult, Syahadatain, Tolerance, Interpretation, Intellectual Fo- rum.

301 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 INDEKS PENULIS

A Abdul Rohman. Persepsi Kelompok Syahadatain terhadap Nilai-nilai Toleransi di Ka- bupaten Banyumas Volume XVIII No. 02 Juli - Desember 2011 Abu Rohmad. Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011 Achmad Sidiq. Masjid Besar Kauman Semarang: Sebuah Kajian Gaya Arsitektur dan Ornamen. Volume XVIII No. 01 Januari - Juni 2011 Ali Khudrin. Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada MTs Negeri Yogyakarta II. Volume XVIII No. 01 Januari - Juni 2011 Aris Hidayat, Roch. Masjid sebagai Pelestari Tradisi (Kajian Fungsi Masjid Wono- kromo Bantul Yogyakarta dalam Perspektif Historis), Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 Arnis Rachmadhani. Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara. Volume XVIII No. 01 Januari - Juni 2011

H Hasim, Moh. Makna Arsitektur Masjid Pakualaman dalam Tinjauan Kosmologi Jawa, Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011

I Ismail Zubir. Persepsi terhadap Nikah Siri (Kasus Masyarakat Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon), Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.

J Joko Tri Haryanto. Pelayanan KUA terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011

M Mudjahirin Thohir. Seni Menyusun Proposal Penelitian, Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 Mukhtaruddin. Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Perilaku Keagamaan Peserta Didik SMA Swasta di Kota Yogyakarta, Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011. Mukhtaruddin. Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning (Studi di Pondok Pesantren Al- Anwar Sarang, PP API Magelang, dan PP Al-Fadllu Kaliwungu), Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 Mulyani Mudis Taruna. Perbedaan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam (Studi Komptensi Guru PAI Tersertitifikasi dan Belum Tersertifikasi di MTs Kabupaten

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 302 Banjar Kalimantan Selatan), Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 Mustolehuddin. Tradisi Baca Tulis dalam Islam Kajian terhadap Teks Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq Ayat 1 - 5, Volume XVIII No. 01, Januari - Juni 2011 Mustolehuddin. Kearifan Lokal dalam Ajaran Al-Qur’an, Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 R Rosyid, Moh. Ahmadiyah di Kabupaten Kudus, Volume XVIII No. 01, Januari - Juni 2011 S Samidi Khalim. Aplikasi Kitab Al-Hikam di Pondok Pesantren Bi Ba’a Fadlrah Turen Malang, Jawa Timur, Volume XVIII No. 01, Januari - Juni 2011 Sulaiman. Problematika Pelayanan Kantor Urusan Agama Anamuban Timur Nusa Tenggara Timur, Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011 W Wahab. Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama pada SMA di Bawah Yayasan Keagamaan di Palangkaraya, Volume XVIII No. 01, Januari - Juni 2011 Wibowo, A.M. Dampak Pendidikan Agama Islam terhadap Perilaku Reproduksi Sehat Siswa (Uji Perbedaan Dampak PAI terhadap Jenis Kelamin dan Jurusan Peserta Didik pada Madrasah Aliyah Negeri di Propinsi Kalimantan Tengah), Volume XVIII No. 02, Juli - Desember 2011

303 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 INDEKS ISI

A Akhlak 166, 168, 171, 173, 181, 191, 193, 199, 201 Al-Asymawi 166 Al-Kailani 166 Al-Tibyan 167 Alfiyah 166, 167 Aqidah 181, 191, 193, 206 B Balaghoh 164, 167, 169, 171, 173, 174, 176, 177 Bidayatu al-Hidayah 166 bin-nadar 166 D Diniyah 166, 167, 173, 263 F Falak 164, 174, 176 Fathu al-Qorib 166 Fiqih 164, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177 G Guru 180, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 190, 191 H Hadits 167, 168, 169, 171, 173, 174, 181, 198, 203, 205, 206, 281 Hidayatu al-Mustafidz 167 I Ilm Tafsir 167 J Jalalain 167, 169, 174 Jurumiyah 166, 168, 173 K kholaf 165

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 304 Khulashoh 164, 168, 169, 173, 174, 176 Kifaayatu al-Akhyar 166 kitab kuning 164, 165, 167, 170, 172, 173 Kompetensi 180, 182, 183, 185, 186, 187, 188, 192, 193, 302 M Madrasah 167, 173, 174, 175, 176, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 197, 198, 199, 202, 203, 206, 207, 209, 230, 263 Madrasah Aliyah 173, 176, 197, 198, 199, 201, 202, 203, 206, 207, 208, 209, 263 Madrasah Ibtidaiyah 199, 253, 263 Madrasah Tsanawiyah 173, 175, 183, 263 Mantiq 164, 169, 171, 173, 174, 176, 177 Muhadhoroh 166 Mutammimah 166 N Nadzom al-Maqsud 166 Nahwu 164, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174, 176, 177 Nuru al-Yaqin 166 P Pendidikan 166, 168, 171, 179, 190, 198, 199, 200, 202, 203 Perbandingan kausal 184 Pondok Pesantren 177, 179 pondok pesantren 173, 174, 175, 176 Q Qowa’idul I’lal 173 S Safinatu al-Naja 166 Salaf 164, 165, 167, 172, 175 Salafi 274 Sertifikasi 180, 182, 183, 184, 192, 194, 267 Shorful-Ula 173 Shorof 164, 166, 168, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177 standarisasi 165, 167 Sullamu al-Taufiq 166 T Tafsir 164, 165, 167, 169, 174, 176, 284, 285, 286, 287 Tajwid 166, 167, 168, 169, 171, 173

305 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 Tarikh 166, 167, 169, 171, 174 Tauhid 164, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177 U Ula 166, 167 Ulumuddin 166, 171, 172, 175 Ulya 166, 167 Ummu al-Baroohim 166 Ushul Fiqih 164, 167, 169, 171, 174, 176 ushul fiqih 164 V Validasi 185 W Waris 164, 173, 174, 176 Wustho 166, 167

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 306 BIODATA PENULIS

Dr. H. Abu Rokhmad, M.Ag., lahir di Jepara, 7 April 1976. Ia bekerja seba- gai dosen di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Ia juga menja- bat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang. Pendidikan doktoralnya ditempuh di Universitas Diponegoro Semarang Jurusan Ilmu Hukum dan lulus pada tahun 2010. Ia juga telah beberapa kali terlibat dalam penelitian-penelitian dengan berbagai lem- baga penelitian di Jawa Tengah. Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I., lahir di Tuban, 3 Juli 1957. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang tahun 1982. Studi S2-nya juga ditempuh di IAIN Walisongo Semarang dengan mengambil konsenterasi pada Ilmu Dakwah/ Komunikasi Islam. Gelar M.S.I. diperoleh setelah lulus pada tahun 2011. Sekarang menjadi peneliti madya di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Drs. Ali Khudrin, lahir di Jepara, 15 Desember 1952. Gelar sarjana S1 di- peroleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta. Kini ia sedang menyelesaikan studi S2-nya di IAIN Walisongo Semarang. Saat ini dia menjabat sebagai peneliti madya di bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Drs. R. Aris Hidayat, M.Pd., lahir di Magetan, 30 Maret 1966. Ia menyele- saikan pendidikan magisternya pada jurusan Pendidikan Bahasa Indo- nesia di Universitas Negeri Semarang (UNNES) tahun 2003. Sekarang ia berprofesi sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang sejak tahun 1994. Pengalaman diklat profesi yang dijalani di- antaranya Diklat Fungisonal Peneliti di jakarta Tahun 2003 dan Diklat Penelitian Naskah tahun 2007 dan 2008. Karya ilmiah yang pernah di- publikasikan di antaranya Orang Dayak dan Agama Hindu Kaharin- gan; Hidup di Balik Hidup, sebuah Aliran kegamaan Islam dan Naskah Keagamaan Klasik Cilinaya. Arnis Rachmadhani, S.S., M.S.I., lahir di Jepara, 17 Oktober 1972. Lu- lus pendidikan S1 pada tahun 2002 dari STIBA AKI Semarang dengan mengambil program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Pendidikan S2-nya ditempuh di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dengan mengambil konsetrasi pada Etika Islam/ Tasawuf dan lulus pada tahun 2007. Seka- rang menjadi peneliti muda bidang kehidupan beragama di Balai Peneli- tian dan Pengembangan Agama Semarang. Moh. Hasim, S.Ag., M.Ag., lahir di Kudus, 13 Mei 1975. Ia meraih gelar sarjana S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, dan menamat- kan Pendidikan S2 di Jurusan Managemen Pendidikan Universitas Ne- geri Semarang (UNNES) tahun 2007. Saat ini menggeluti bidang pene- litian lektur dan khasanah keagamaan dengan mengambil spesialisasi pada naskah kontemporer dalam naungan lembaga Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Naskah yang pernah dipublikasinya diantaranya tentang pendidikan alternatif berbasis masyarakat; Islam Minoritas dan Pluraisme di Indonesia, dan lain-lain. Ismail Zubir, S.Ag., lahir di Jakarta, 24 November 1976. Menyelesaikan sarjana (S1) Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2000. Aktif di NGO Youth Ending Hun-

307 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 ger Indonesia dari tahun 2001 sampai sekarang. Saat ini sebagai calon peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Joko Tri Haryanto, M.S.I., lahir di Kendal, 15 Juni 1975. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang tahun 2001 dan pendidikan S2 tahun 2008 pada institusi yang sama. Sebagai peneliti ia juga aktif dalam Lembaga Studi Etika Media dan Masyarakat (elSEMM) Indonesia dan Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMBKOTA) Semarang. Prof. Dr. H. Mudjahirin Thohir, lahir di Kendal 12 Maret 1954. Ia telah menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Filologi, S2 Antropologi dan S3 Antropologi Agama. Saat ini ia menjadi Guru Besar Ilmu Budaya pada Universitas Diponegoro sekaligus sebagai Ketua Puslit Sosial Budaya Lemlit Undip. Selain itu ia juga pernah menduduki jabatan sebagai Ang- gota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Drs. Mukhtaruddin., lahir di Brebes, 6 Oktober 1954. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1981. Ia pernah menimba ilmu di Pesantren Mabakan Tegal dari tahun 1970-1974. Sekarang menjadi peneliti madya di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., lahir di Brebes, 31 Januarai 1967. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Tarbiah IAIN Wal- isongo Semarang, dan pendidikan S2 diselesaikan pada Jurusan PEP Universitas Negeri Yogyakarta. Pengalaman diklat profesi yang pernah dilakukan di antaranya Program Pelatihan Peneliti Agama (PLPA) tahun 1997, 1999, dan 2002. Saat ini ia menjadi peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang dengan mengambil keahlian di bidang pendidikan keagamaan. Karya yang pernah dipublikasikan di antaranya Pendidikan Multikultural di SMA N 1 Jepara dan Pelaksanaan KTSP di Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak. Mustolehudin, S.Ag., S.IPI., lahir di Kebumen 25 Mei 1974. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah SDN Balingasal lulus tahun 1987, MTs GUPPI At-Taqwa Pituruh Purworejo lulus tahun 1989, MA Tersobo Ke- bumen lulus tahun 1992, selanjutnya meneruskan pendidikan S1 di IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat lulus tahun 1998. Mulai bekerja di Balai Litbang Agama Semarang pada tahun 2003 dan mendapat kesempatan tugas belajar S1 Ganda Ilmu Perpustakaan di Universitas Yarsi Jakarta dari Badan Litbang Agama dan lulus pada ta- hun 2007. Saat ini mendapat tugas sebagai pengelola perpustakaan Balai Litbang Agama Semarang. Moh. Rosyid, M.Pd., lahir di Kudus, 14 Juni 1972. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, ia melanjutkan pen- didikan S2 di UNNES Semarang. Saat ini ia bekerja sebagai dosen di STAIN Kudus. Alamat tempat tinggal berada di Desa Kayuapu Wetan, Desa Gondang Manis RT 02 RW III, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus. Samidi Khalim, S.Ag., M.S.I., lahir di Semarang, 22 Agustus 1974. Ia me- namatkan pendidikan S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Sema- rang tahun 1999 dan S2 di Program Pascasarjana di kampus yang sama, lulus tahun 2008. Saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) pada almamater yang sama. Sekarang ia bekerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang sebagai peneliti. Beberapa buku karya- nya adalah Islam dan Spiritual Jawa (2008), Tradisi Lisan Masyarakat Jawa (2009), dan Salat Islam Kejawen (2010), selain itu juga beberapa

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 308 karya tulisnya yang dimuat di berbagai jurnal. Drs. Sulaiman, M.Ag., lahir di Jepara, 6 Agustus 1967. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang tahun 1984, dan lulus pendidikan S2 di Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang Tahun 2002. Saai ini ia menjadi peneliti utama di Balai Pene- litian dan Pengembangan Agama Semarang dan juga pernah menduduki jabatan Kepala pada tersebut. Hasil penelitian yang pernah dipublika- sikan antara lain Spiritualitas Tarekat Nagsabandiyah; Agama dalam Dimensi Sosial Budaya dan Jamaah Salafi Minhajus Sunnah. Drs. H. Wahab, lahir di Semarang, 13 Oktober 1958. Ia meraih gelar sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1985. Sekarang menjabat sebagai peneliti bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Ba- lai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. A.M. Wibowo, S.Ag., kelahiran lampung 34 tahun silam. Setelah menyele- saikan pendidikan S1 di Fakultas Dakwah, ia memutuskan untuk men- gabdikan diri sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semararng dengan mengambil keahlian pada bidang pendidikan keagamaan. Di sela-sela kesibukan profesinya, ia juga berhasil menyele- saikan pendidikan S2 di IAIN Waliongo Semarang pada tahun 2009. Se- belumnya ia juga atif dalam berbagai organisasi dan menjadi wartawan surat kabar Radar Kudus. Ketertarikan pada dunia penelitian diawali ke- tika ia bergabung dengan kegiatan Pers Kampus Majalah MISSI Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Karya yang pernah diterbitkan diantaranya Realitas Pendidikan Agama di SLB dan Transformasi Ke- hidupan Beragama Pemuda Pedesaan.

309 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 PEDOMAN PENGIRIMAN NASKAH

KETENTUAN UMUM Redaksi Jurnal Analisa menerima naskah tulisan dari para ahli dan pe- minat di bidang keagamaan. Naskah belum pernah dipublikasikan pada me- dia atau jurnal lain. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Ing- gris sesuai kaidah bahasa masing-masing, dilengkapi abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia (dwibahasa). Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksudnya. Isi naskah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi tidak berke- wajiban mengembalikan naskah yang ditolak. Pengiriman naskah harus disertai dengan SURAT RESMI dari penulis, khususnya menyangkut pertanggungjawaban penulis atas legalitas isi naskah. Naskah dikirimkan ke: Redaksi JURNAL ANALISA Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang Telp. (024) 7601327, Fax. (024) 7611386 Penulis mengirim satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) dalam compact disk (CD) atau soft copy via e-mail ke: analisa_jurnal@yahoo. co.id. Penulis harus menyertakan riwayat hidup, meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat lengkap tempat ting- gal dan alamat lengkap tempat bertugas, disertai nomor telepon, fax, e-mail dan nomor rekening bank, untuk kepentingan korespondensi. KETENTUAN KHUSUS Seluruh bagian dari naskah tulisan, mulai judul hingga sumber bacaan diketik satu setengah spasi, minimum 17 halaman dan maksimum 20 halaman kertas ukuran A4. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan font Times New Roman 12 poin dan margin 4-3 (kiri-kanan) dan 3-3 (atas-bawah). KETENTUAN PENULISAN Penulisan naskah dilakukan dengan sistematikan berikut: JUDUL. Judul merupakan rumusan mengenai pokok isi bahasan yang singkat, padat dan jelas. Dalam judul sudah tercantum variabel-variabel uta- ma penelitian. NAMA PENULIS. Nama penulis ditulis lengkap dan tanpa gelar.

Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011 310 ABSTRAK DAN KATA KUNCI. Abstrak merupakan intisari pokok ba- hasan dari keseluruhan naskah. Ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa In- ggris dan bahasa Indonesia. Abstrak maksimum terdiri dari 250 kata. Kata Kunci ditulis di bawah abstrak, antara empat hingga enam kata. PENDAHULUAN. Bagian pendahuluan merupakan bahasan yang meli- puti latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kerangka teori, hipotesis dan metodologi. HASIL DAN ANALISIS. Bagian yang merupakan inti dari hasil-hasil penelitian, meliputi deskripsi data dan analisis hasil penelitian. Penggunaan grafik dan tabel hendaknya dibatasi jika masih dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. PEMBAHASAN. Bagian ini merupakan interpretasi penulis terhadap ba- hasan hasil dan analisis penelitian. Pembahasan dilakukan secara mendalam dan fokus dengan menggunakan acuan teori. PENUTUP. Merupakan bagian terakhir dari keseluruhan naskah yang meliputi kesimpulan dan saran. Adapun keterangan rujukan/ referensi ditulis dalam bentuk in note (catatan dalam) dengan format “(nama belakang penulis, angka tahun: nomor halaman)”, contoh (Shihab, 1997: 459). Sedangkan penulisan daftar pustaka mengacu format sebagai berikut: 1. Buku Pengarang. Tahun. Judul Buku. Tempat terbit:penerbit, h. 2. Bab dalam Buku Pengarang. Tahun. “Judul artikel/ tulisan”. Dalam Judul Buku Utama. Ed- itor. Tempat terbit: penerbit. 3. Jurnal Pengarang. Tahun. “Judul artikel/ tulisan”. Nama Jurnal. Jilid/tahun (no- mor). 4. Surat Kabar Penulis. Tahun. “Judul artikel”. Nama surat kabar, tanggal. halaman. 5. Internet Pengarang. Tahun. Judul karangan. Nama Website. Tanggal diakses. 6. Skripsi/ Tesis/ Disertasi Pengarang. Tahun. Judul. Skripis/ Tesis/ Disertasi pada lembaga pergu- ruan tinggi. 7. Makalah Seminar Pengarang. Tahun. Judul makalah. Makalah disampaikan pada seminar. Penyelengara. Tempat, tanggal. Penulisan transliterasi mengikuti Pedoman Transliterasi Arab-Latin ber- dasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No- mor 158 Tahun 1987 dan 0543 b/u/1987.

311 Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 02, Juli - Desember 2011