ISSN 0216 - 0439 E-ISSN 2540 - 9689

Volume 15 Nomor 1, Juni Tahun 2018

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Forest Research and Development Centre BOGOR - INDONESIA

Jurnal Hutan dan Konservasi Alam adalah media resmi publkasi ilmiah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) yang memuat hasil penelitian bidang-bidang Silvikultur Hutan Alam, Nilai Hutan, Pengaruh Hutan, Botani dan Ekologi Hutan, Perhutanan Sosial, Mikrobiologi Hutan, dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam is an official scientific publication of the Forest Research and Development (FRDC) publishing research findings of Natural Forest Silviculture, Forest Influences, Forest Valuation, Forest Botany and Ecology, Social Forestry, Forest Microbiology, and Wildlife Biodiversity Conservation). Perubahan nama instansi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungkan Hidup dan Kehutanan. Logo penerbit juga mengalami perubahan menyesuaikan Logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penanggung Jawab Prof (Riset) Dr. M. Bismark Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Biologi Konservasi - KLHK) Dr. Irdika Mansur Dewan Redaksi (Editorial Board) (Silvikultur, Reklamasi dan Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang Deputi Editor Dr. Esrom Hamonangan, S.Si., MEE - IPB) Dr. Ignatius Adi Nugroho Editor (Kebijakan Kehutanan dan Sosial Ekonomi - KLHK) Dr. Haruni Krisnawati Dr. Sri Suharti, M.Sc (Biometrika Hutan - KLHK) (Perhutanan Sosial - KLHK) Dewan Redaksi Dr. Sri Wilarso Prof. Dr. Sambas Basuni (Mikrobiologi - IPB) (Ekologi Satwaliar dan Mangrove - IPB) Dr. Ishak Yasir Prof. Dr. Endang Koestati Sri Harini (Silvikultur - KLHK) (Ekowisata - IPB) Dr. Abdul Haris Mustari Prof. Dr. Wasirin Syafii (Ekologi Satwaliar - IPB) (Kimia Kayu - IPB) Dr. Maman Turjaman Prof. Dr. Cahyono Agus Dwi Koranto (Mikologi - KLHK) (Ilmu Tanah - UGM) Dr. I Wayan Susi Dharmawan Dr. Omo Rusdiana (Hidrologi dan Konservasi Tanah - KLHK) (Konservasi Tanah dan Air - IPB) Dr. Ambar Kusumandari Dr. Tedi Roosolono (Daerah Aliran Sungai - UGM) (Statistik dan Perencanaan - IPB) Dr. Sena Adi Subrata Dr. Istomo (Satwaliar - UGM) (Ekologi Hutan Gambut - IPB) Dr. Muhammad Ali Imron Dr. Cahyo Wibowo (Ekologi Satwaliar - UGM) (Kesuburan Tanah Hutan - IPB) Dr. Jarwadi Budi Hernowo Dr. Agus Hikmat (Ekologi Satwaliar - IPB) (Ekologi Flora - IPB) Dr. Hendra Gunawan Oka Karyanto, S.Sp., M.Sc (Konservasi Sumberdaya Hutan - KLHK) (Siklus Karbon: Proses dan Pengelolaannya - UGM) Drs. Kuntadi, M.Agr Dr. Kartini Kramadibrata (Entomologi - KLHK) (Mikologi - LIPI) Copy Editor Dr. Murniati Ir. Adi Susilo, M.Sc (Silvikultur - KLHK) (Agroforestry dan Hutan Kemasyarakatan - KLHK) Dr. Reny Sawitri, M.Sc Editor Bagian (Sec. Editor) (Konservasi Sumberdaya Hutan - KLHK) Drs. Ibnu Sidratul Muntaha, M.Si Fathimah Handayani, S.Hut, M.For.Sc. Reviewer Retno Kusumastuti Rahajeng, SH., M.Hum Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen Siregar Merry M. Dethan, SP (Pemuliaan Pohon dan Genetika Molekuler - IPB) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo Layout Editor (Kebijakan dan Ekonomi SDA - IPB) Zamal Wildan, S.Kom Prof. Dr. Cecep Kusmana Administrasi (Ekologi Hutan Mangrove - IPB) Ari Wibowo, A.Md Prof. Dr. Suryo Hardiwinoto (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Bekas Tambang - UGM)

Isi dari jurnal dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya Citation is permitted with acknowledgement of the source Diterbitkan secara teratur satu volume tiap tahun yang terdiri atas tiga nomor (April, Agustus, Desember) oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sejak terbitan Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 12 Nomor 2, Agustus Tahun 2015, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam terbit dua kali dalam setahun (Juni dan Desember) Published regularly one volume a year consisting of three issues (April, August, December) by the Forest Research and Development Center of the Forestry Research and Development Agency. Since the publication of the Journal of Forest and Nature Conservation Research, Volume 12 Number 2, August 2015, the journal published twice a year (June and December). Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu P.O. Box 165, Bogor 16601, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633234; 7520067 Fax (Fax) : (0251) 8638111 Website/homepage : http://www.forda-mof.org; http://www.puslitbanghut.or.id Email : [email protected]; [email protected] Percetakan (Printing) : CV. CAHYA JASA UTAMA

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi Nomor: 21/E/KPT/2018, Tanggal 9 Juli 2018 UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Review er yang telah menelaah naskah yang dimuat pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 15 Nomor 1, Juni 2018:

Prof (Riset) Dr. M. Bismark (Biologi Konservasi – KLHK ) Prof. Dr. Cecep Kusmana (Ekologi Hutan Mangrove – IPB ) Dr. Haruni Krisnawati ( Biometrika Hutan – KLHK ) Dr. Hendra Gunawan (Konservasi Sumberdaya Hutan – KLHK ) Dr. Sri Wilarso ( Mikrobiologi – IPB ) Dr. Maman Turjaman ( Mikologi – KLHK ) Dr. Sri Suharti, M.Sc (Perhutanan Sosial – KLHK ) Dr. Reny Sawitri, M.Sc (Konservasi Sumberdaya Hutan – KLHK ) Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D ( Mikologi – KLHK ) Ir. Adi Susilo, M.Sc ( Silvikultur – KLHK ) Drs. Kuntadi, M.Agr ( Entomologi – KLHK )

ISSN 0216 – 0439 E-ISSN 2540 – 9689

Volume 15 Nomor 1, Juni Tahun 2018

ISI/ CONTENT :

1. Ni Putu Sri Asih, Dewi Lestari, Tri Warseno dan/and Rajif Iryadi KERAGAMAN, KONSERVASI DAN AKLIMATISASI KALIMANTAN DI KEBUN RAYA “EKA KARYA” BALI (Diversity, Conservation and Acclimatization of Kalimantan’s Aroids in “Eka Karya” Bali Botanical Garden)…………………………………… 1-13 2. Zuraida AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN FITOKIMIA FRAKSI N-HEKSANA KULIT KAYU PULAI ALSTONIA SCHOLARIS R.BR SEBAGAI SUMBER HASIL HUTAN BUKAN KAYU ALTERNATIF (Antioxidant Activity and Phytochemical Compound of Alstonia scholaris R.Br Bark N-Hexane fraction as Source of Non Timber Forest Product Alternative)……………………………………………………...... 15-24 Yelin Adalina 3. ANALISIS HABITAT KOLONI LEBAH HUTAN APIS DORSATA DAN KUALITAS MADU YANG DIHASILKAN DARI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) RANTAU, KALIMANTAN SELATAN (Assessing Habitat of Apis dorsata Honey Bee Colonies and Its Honey Quality Produced from Rantau Forest Research Station, South Kalimantan) ……………………………………………………………………………………………… 25-40 4. I Dewa Putu Darma, Wenni Setyo Lestari, Arief Priyadi dan/and Rajif Iryadi PAKU EPIFIT DAN POHON INANGNYA DI BUKIT PENGELENGAN, TAPAK DAN LESUNG, BEDUGUL, BALI (Epiphytic Ferns and Phorophyte Trees in The Hill's of Pengelengan, Tapak and Lesung, Bedugul, Bali) …………………………………………………… 41-50 5. Denny, Erika Deciawarman dan/and Abu Bakar M. Lahjie PENGUJIAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI MEDIA TUMBUH FUSARIUM SP. PEMBENTUK GAHARU (Organic Materials Testing as Media Grows for Agarwood Forming Fusarium sp) ………………………………………………………………………………….. 51-64

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Bogor

JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*181.6 Asih, Ni Putu S., Lestari, Dewi, Warseno, Tri dan Iryadi, Rajif (Balai Konsevasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali - LIPI) Keragaman, Konservasi dan Aklimatisasi Araceae Kalimantan di Kebun Raya “Eka Karya” Bali J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 1-13 Borneo memiliki keragaman, endemisitas dan kemelimpahan tumbuhan yang tinggi, termasuk suku Araceae. Saat ini, kondisi hutan Borneo terancam oleh kerusakan yang semakin meningkat sehingga perlu dilakukan upaya konservasi secara ex-situ. Kebun Raya Eka Karya Bali (KREKB) merupakan lembaga konservasi ex-situ yang telah melakukan konservasi ex-situ suku Araceae sejak 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis Araceae Kalimantan, proses konservasi dari awal dikoleksi hingga saat ini dan aklimatisasi Araceae Kalimantan di KREKB. Metode yang digunakan adalah dokumentasi dan observasi koleksi yang masih hidup. Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. KREKB telah mengkoleksi sebanyak 21 (53,85%) marga dan 136 (18,73%) jenis Araceae yang berasal dari Kalimantan. Enam (50%) diantaranya merupakan endemik dan 27 (8,44%) jenis endemik Borneo. Genus yang paling banyak dikoleksi adalah Homalomena , Schismatoglottis dan Scindapsus. Sebagian besar koleksi berasal dari Kalimantan Utara. Hasil eksplorasi Araceae yang berhasil bertahan hidup hingga saat ini sebesar 71,54%, yang telah berstatus sebagai tanaman koleksi sebesar 39,43% dan 32,11% masih berstatus sebagai bibit. Persentase hidup yang paling tinggi pada tahap aklimatisasi adalah 100%, yaitu pada tanaman yang ditemukan pada ketinggian 1.200- 1.500 m dpl. Persentase kedua adalah 90,54%, yaitu tanaman yang dikoleksi dari ketinggian 900-1200 m dpl sedangkan persentase terkecil adalah 47,06%, yaitu tanaman yang dikoleksi dari ketinggian 300- 600 m dpl. Kata Kunci: Araceae, konservasi, endemik, aklimatisasi, eksplorasi UDC/ODC 630*282.3 Zuraida (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Aktivitas Antioksidan dan Komponen Fitokimia Fraksi N-Heksana Kulit Kayu Pulai Alstonia scholaris R.Br sebagai Sumber Hasil Hutan Bukan Kayu Alternatif J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 15-24 Pulai ( Alstonia scholaris R, Br) adalah salah satu tumbuhan hutan tropis indonesia yang berfungsi sebagai obat untuk bermacam penyakit, seperti antioksidan. Penelitian berkaitan dengan fraksinasi ekstrak kulit kayu pulai menggunakan pelarut non polar masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi aktivitas antioksidan dan kandungan fitokimia kulit kayu pulai dari fraksi n-heksana. Fraksinasi n-heksana dilakukan setelah kulit kayu pulai diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 70%. Analisis antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode 1,1-Difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), dan analisis kandungan fitokimia dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi n-heksana menghasilkan rendemen 0,84% (w/w), dengan aktivitas antioksidan ( inhibition concentration, IC 50 ) sebesar 65,28 µg/mL. Kandungan kelompok senyawa kimia yang terdeteksi positif adalah flavonoid, saponin, alkaloid, steroid, dan terpenoid. Aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari fraksi n-heksana kulit kayu pulai diduga berasal dari kelompok senyawa flavonoid, alkaloid, dan steroid. Kata kunci: antioksidan, Alstonia scholaris, fitokimia JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*288 Adalina, Yelin (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan) Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata dan Kualitas Madu Yang Dihasilkan dari Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rantau, Kalimantan Selatan J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 25-40 Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rantau merupakan hutan penelitian (HP) di Kalimantan Selatan dimana terdapat pohon sialang yang secara regular dihuni koloni lebah hutan Apis dorsata . Keberadaan pohon sialang menjadi sumber penghasil madu bagi pemungut madu hutan di sekitar kawasan. Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui (1) potensi HP Rantau sebagai habitat sialang dan (2) kualitas madu yang dihasilkan melalui pendekatan survei dan observasi. Analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui struktur vegetasi tumbuhan sumber pakan di habitat kepungan sialang. Uji fisikokimia madu digunakan untuk menganalisis kualitas madu berdasarkan kadar air, pH, kandungan hidroksimetilfurfural (HMF), kadar keasaman, kandungan gula pereduksi, dan kandungan fitokimia. Hasil analisis vegetasi menunjukkan spesies sumber pakan terdapat 17 jenis untuk tingkat pohon, 7 jenis tingkat tiang, 7 jenis tingkat pancang dan 8 jenis tingkat semai. Nilai INP tertinggi tingkat pohon adalah Acacia mangium (62,0%) sebagai sumber nektar, tingkat tiang Vitex pinnata (63,2 %) sebagai sumber polen, tingkat pancang Glochidion sp. (53,5%) sebagai sumber polen , dan tingkat semai Ficus variegata (34,3%) sebagai sumber polen. Hasil analisis laboratorium menunjukkan madu hutan hasil panen di KHDTK Rantau memenuhi sebagian kriteria (Standar Nasional Indonesia, 2013) (SNI) 01-3545-2013, terkecuali kadar air. Madu mengandung komponen fitokimia flavonoid, alkoloid, saponin, dan triterpenoid. Kata kunci: Analisis vegetasi, Apis dorsata , kualitas madu, tumbuhan pakan lebah madu UDC/ODC 630*16(923) Darma, I Dewa P., Lestari, Wenni S., Priyadi, Arief dan Iryadi, Rajif (Balai Konsevasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali - LIPI) Paku Epifit dan Pohon Inangnya di Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 41-50 Paku epifit merupakan tumbuhan paku yang tumbuh menempel pada pohon inang (phoropyte) atau bebatuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serta persebaran paku epifit dan pohon inangnya di kawasan hutan Bedugul Bali. Kegiatan ini dilakukan dengan metode purposive random sampling . Hasil penelitian mencatat 24 jenis tumbuhan paku epifit yang teramati di kawasan hutan Bedugul Bali. Jumlah tersebut tersebar di Bukit Pengelengan 16 jenis, di Bukit Tapak 12 jenis dan di Bukit Lesung 12 jenis. Jenis paku epifit yang persebaranya terbatas hanya di satu area studi adalah Arthropteris palisotii, Goniophlebium subauriculatum, Loxogramme avenia, Oleandra pistillaris, Asplenium caudatum, Belvisia mucronata, Ctenopteris obliquata, Davallia pentaphylla, Davallia solida, Drynaria sp., Hymenophyllum sp., Monogramma trichoidea dan Neprolepis sp1. Sedangkan jenis yang tersebar di lebih dari satu area studi adalah Asplenium nidus, Belvisia spicata, Davallia denticulata, Goniophlebium percisifolium, Pyrrosia varia dan Selliguea enervis . Jenis paku epifit yang berdistribusi paling luas adalah Belvisia spicata dan Davallia denticulata. Keanekaragaman pohon inang tercatat 33 jenis (Bukit Pengelengan 22 jenis, Bukit Tapak 21 jenis dan Bukit Lesung 11 jenis). Jenis pohon inang yang disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit bervariasi, di Bukit Pengelengan adalah Platea latifolia , di Bukit Tapak adalah Syzygium zollingerianum dan di Bukit Lesung adalah Engelhardia spicata . Kata kunci: Bedugul, epifit, keanekaragaman, persebaran JURNAL PENELITIAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM (Journal of Forest and Nature Conservation Research)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 E-ISSN 2540-9689

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

UDC/ODC 630*232.322.45 Denny (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan), Deciawarman, Erika dan Lahjie, Abu Bakar M. (Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman) Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium sp. Pembentuk Gaharu J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 51-64 Saat ini komoditi gaharu budidaya semakin diminati konsumen gaharu dunia, karena menurunnya produksi gaharu alam secara drastis, sehingga penelitian tentang perbanyakan jamur pembentuk gaharu untuk mengetahui perlakuan mana yang paling efektif perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan jamur Fusarium sp. dengan beberapa media tumbuh dan perlakuan untuk mengetahui media dan perlakuan yang paling efektif dalam membentuk gubal gaharu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Perlindungan Hutan Universitas Mulawarman untuk proses perbanyakan jamur dan Desa Bukit Raya, Kalimantan Timur untuk proses inokulasi pada pohon penghasil gaharu. Media tumbuh yang digunakan adalah ekstrak kentang, pisang, singkong, campuran serbuk gergaji dengan ekstrak kentang, ekstrak pisang, dan ekstrak singkong. Hasil perhitungan kecepatan tumbuh miselia per hari masing- masing media berbeda-beda, tetapi dari hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan antara ketiga media dalam mempengaruhi pertumbuhan miselia. Media berbahan kentang setelah diencerkan dengan ekstrak kentang dan pisang adalah media dengan perkecambahan spora Fusarium sp. yang paling cepat. Kemudian hasil inokulasi pohon penghasil gaharu terdapat perbedaan luas infeksi yang signifikan terhadap beberapa media dan perlakuan. Media ekstrak kentang yang pertumbuhan miselia dan perkecambahan sporanya paling cepat merupakan media yang paling baik dalam menginfeksi pohon penghasil gaharu dengan nilai rata-rata luas infeksi 27,28 cm 2. Perlakuan yang paling baik dalam menginfeksi pohon penghasil gaharu adalah perlakuan tanpa dikupas kulit batangnya dengan luas infeksi sebesar 17,87 cm 2. Kata kunci: Gaharu, Fusarium sp., inokulasi, perlakuan

JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, June 2018 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*181.6 Asih, Ni Putu S., Lestari, Dewi, Warseno, Tri and Iryadi, Rajif (“Eka Karya” Bali Botanical Garden, Indonesian Institute of Sciences) Diversity, Conservation and Acclimatization of Kalimantan’s Aroids in “Eka Karya” Bali Botanical Garden J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 1-13 Borneo has a rich diversity, endemicity and abundance of , including the Aroids; but it is currently threatened by widespread forest degradation. Therefore, immediate ex-situ conservation efforts are needed. Eka Karya Bali Botanical Garden (EKBBG) is an ex-situ conservation institution that has been doing an ex- situ conservation of Aroids since 2007. This study aims to determine the diversity of Kalimantan Aroid’s species, the conservation process from the beginning and the acclimatization of Borneo’s Aroids in EKBBG. The method used is documentation and observation of collections that are still alive and then analyzed descriptively and displayed in tables and diagrams. EKBBG has collected 21 (53.85%) genera and 136 (18.73%) species of Kalimantan’s Aroids. Among these, 6 (50%) genera and 27 (8.44%) species are endemic Borneo and the most numerous collections are Homalomena, Schismatoglottis and Scindapsus genus. Most of the collections come from North Borneo. The survival rate of Aroid from exploration up to now is 71.54% and 28.46% were deceased, 39.43% have been appointed as EKBBG collection, while 32.11% still in acclimatization stage. The highest survival rate in the acclimatization stage is 100% (i.e. in plants, which were found at an altitude of 1200 - 1500 asl), then followed by 90.54% (plants were found at an altitude of 900 - 1200 asl), while the smallest percentage is 47.06% (plants were found at an altitude of 300 - 600 asl). Key words: Araceae, conservation, endemic, acclimatization, exploration UDC/ODC 630*282.3 Zuraida (Forest Research and Development Centre) Antioxidant Activity and Phytochemical Compound of N-Hexane fraction of Alstonia scholaris R.Br Barks as Source of Alternative Non Timber Forest Product J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 15-24 Pulai ( Alstonia scholaris R. Br) is one of Indonesia’s tropical forest tree species which one of its usefullnes is as medicine for various diseases because of its antioxidant activity. Limited studies are available on pulai bark in non-polar fraction. This study aimed to evaluate antioxidant activity and phytochemical compound of n-hexane fraction of pulai bark. N-hexane fractionation was done after pulai bark extracted by maceration method with 70% ethanol. Antioxidant analysis of n-hexane fraction was done using 1,1- Diphenyl-2-picryl hydrazil (DPPH) method in fifty inhibition concentration (IC 50 ), while phytochemical compounds were tested by phytochemical test. The results showed that n-hexane fraction has 0.84% (w/w) yield with inhibition concentration (IC 50 ) 65.28 μg/mL. Chemical compounds positively detected are flavonoids, saponins, alkaloids, steroids, and terpenoids. It was suggested that flavonoid, alkaloids, and steroids played important role as an antioxidant. Key words: antioxidant, Alstonia scholaris , phytochemical constituents JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, June 2018 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*288 Adalina, Yelin (Fores Research and Development Centre) Assessing Habitat of Apis dorsata Honey Bee Colonies and Its Honey Quality Produced from Rantau Forest Research Station, South Kalimantan J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 25-40 Forest Area with Special Purpose (KHDTK) Rantau is a research forest (HP) in South Kalimantan where there is a beehive tree (sialang ) regularly inhabited by Apis dorsata forest bee colonies. The existence of sialang trees are sources of honey for forest honey collectors around the area. The research was conducted to determine (1) the potential of Rantau HP as sialang habitat and (2) the quality of honey produced through survey and observation approaches. Vegetation analysis was used to determine the vegetation structure of plants of bee feed sources in the beehive siege habitat. The physicochemical test of honey was used to analyze the quality of honey based on water content, pH, hydroxymethylfurfural (HMF) content, acidity level, reducing sugar content, and phytochemical content. The analysis showed that there were 17 species of tree, 7 species of poles, 7 species of saplings and 8 species of seedlings. The highest Important Value Index (IVI) at the tree level was Acacia mangium (62.0%) as the source of the nectar, at pole level was Vitex pinnata (63.2%) as the source of pollen, at the sapling level was Glochidion sp. (53.5%) as the source of pollen, and at level of seedlings was Ficus variegata (34.3%) as the source of pollen. The results of laboratory analysis showed that harvested forest honey meet the Indonesian National Standard (SNI) 01- 3545-2013, with the exception of the water content. Honey contains phytochemical components of flavonoids, alkaloids, saponins, and triterpenoids. Key words: Vegetation analysis, Apis dorsata , honey quality, bee forages UDC/ODC 630*16(923) Darma, I Dewa P., Lestari, Wenni S., Priyadi, Arief dan Iryadi, Rajif (“Eka Karya” Bali Botanical Garden, Indonesian Institute of Sciences) Epiphytic Ferns and Phorophyte Trees in the Hills of Pengelengan, Tapak and Lesung, Bedugul, Bali J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 41-50 Epiphytic ferns grow attached to the phorophyte tree or rocks. This study aims to determine the diversity, distribution of epiphytic ferns and its phorophyte trees in the forests of Bedugul, Bali. The method used in this study was purposive random sampling. The study recorded 24 species of epiphytic ferns in the forest of Bedugul Bali (16 species in Bukit Pengelengan, 12 species in Bukit Tapak and 12 species in Bukit Lesung). Epiphytic ferns found limited in one study area are Arthropteris palisotii, Goniophlebium subauriculatum, Loxogramme avenia, Oleandra pistillaris, Asplenium caudatum, Belvisia mucronata, Ctenopteris obliquata, Davallia pentaphylla, Davallia solida, Drynaria sp., Hymenophyllum sp., Monogramma trichoidea and Nephrolepis sp1. Epiphytic ferns found spread over in more than one study areas are Asplenium nidus , Belvisia spicata , Davallia denticulata , Goniophlebium percisifolium , Pyrrosia varia and Selliguea enervis . The highest-distributed species of epiphytic ferns are occupied by Belvisia spicata and Davallia denticulate . There are 33 species of phorophyte trees recorded (22 species in Bukit Pengelengan, 21 species in Bukit Tapak and 11 species in Bukit Lesung). The favorite phorophyte trees are Platea latifolia in Bukit Pangelangan, Syzygium zollingerianum . in Bukit Tapak and Engelhardia spicata in Bukit Lesung. Key words: Bedugul, distribution, diversity, epiphytes fern JOURNAL OF FOREST AND NATURE CONSERVATION RESEARCH (Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam)

ISSN 0216-0439 Vol. 15 No. 1, June 2018 E-ISSN 2540-9689

Keywords are extracted from articles. Abstract may be reproduced without permission

UDC/ODC 630*232.322.45 Denny (Forest Research and Development Centre), Deciawarman, Erika dan Lahjie, Abu Bakar M. (Faculty of Forestry, Mulawarman University) Organic Materials Testing as Growing Media for Agarwood Forming Fusarium sp J. Pen. Htn & KA Vol. 15 No. 1, Juni 2018 p: 51-64 Cultivated agarwood commodity is currently preferred by many people. Threefore, research on propagation of the agarwood forming fungi to increase agarwood productivity needs to be conducted. This study was aimed to determine the effectiveness of Fusarium sp. in some media and treatments to increase the agarwood formation. This study was conducted in the Laboratory of Forest Protection, Mulawarman University for fungi propagation and Bukit Raya village in East Kalimantan for agarwood inoculation. The growing media tested were potato, banana and cassava infusions, mixed with sawdust. Mycelium daily growth was measured and tested in three different media. The measurement result showed that there was no significant difference. Spore germination of potato infusion media is the fastest among other media after in contact with the potato and banana infusion. There were significant differences in infection area of some media and treatments. The most effective treatment was unpeeled bark with the average infection area of 17.87 cm2. Key words: Agarwood, Fusarium sp., inoculation, treatment

KERAGAMAN, KONSERVASI DAN AKLIMATISASI ARACEAE KALIMANTAN DI KEBUN RAYA “EKA KARYA” BALI (Diversity, Conservation and Acclimatization of Kalimantan’s Aroids in “Eka Karya” Bali Botanical Garden)

Ni Putu Sri Asih *, Dewi Lestari, Tri Warseno dan/ and Rajif Iryadi

Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali – 82191 Indonesia, Telp (0368) 2033170, 2033170 Fax (0368) 2033171 *E-mail : [email protected]

Tanggal diterima: 8 Agustus 2017; Tanggal direvisi: 20 Mei 2018; Tanggal disetujui: 27 Mei 2018

ABSTRACT Borneo has a rich diversity, endemicity and abundance of plants, including the Aroids; but it is currently threatened by widespread forest degradation. Therefore, immediate ex-situ conservation efforts are needed. Eka Karya Bali Botanical Garden (EKBBG) is an ex-situ conservation institution that has been doing an ex- situ conservation of Aroids since 2007. This study aims to determine the diversity of Kalimantan Aroid’s species, the conservation process from the beginning and the acclimatization of Borneo’s Aroids in EKBBG. The method used is documentation and observation of collections that are still alive and then analyzed descriptively and displayed in tables and diagrams. EKBBG has collected 21 (53.85%) genera and 136 (18.73%) species of Kalimantan’s Aroids. Among these, 6 (50%) genera and 27 (8.44%) species are endemic Borneo and the most numerous collections are Homalomena, Schismatoglottis and Scindapsus genus. Most of the collections come from North Borneo. The survival rate of Aroid from exploration up to now is 71.54% and 28.46% were deceased, 39.43% have been appointed as EKBBG collection, while 32.11% still in acclimatization stage. The highest survival rate in the acclimatization stage is 100% (i.e. in plants, which were found at an altitude of 1200 - 1500 asl), then followed by 90.54% (plants were found at an altitude of 900 - 1200 asl), while the smallest percentage is 47.06% (plants were found at an altitude of 300 - 600 asl). Key words: Araceae, conservation, endemic, acclimatization, exploration

ABSTRAK Borneo memiliki keragaman, endemisitas dan kemelimpahan tumbuhan yang tinggi, termasuk suku Araceae. Saat ini, kondisi hutan Borneo terancam oleh kerusakan yang semakin meningkat sehingga perlu dilakukan upaya konservasi secara ex-situ. Kebun Raya Eka Karya Bali (KREKB) merupakan lembaga konservasi ex-situ yang telah melakukan konservasi ex-situ suku Araceae sejak 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis Araceae Kalimantan, proses konservasi dari awal dikoleksi hingga saat ini dan aklimatisasi Araceae Kalimantan di KREKB. Metode yang digunakan adalah dokumentasi dan observasi koleksi yang masih hidup. Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. KREKB telah mengkoleksi sebanyak 21 (53,85%) marga dan 136 (18,73%) jenis Araceae yang berasal dari Kalimantan. Enam (50%) diantaranya merupakan genus endemik dan 27 (8,44%) jenis endemik Borneo. Genus yang paling banyak dikoleksi adalah Homalomena , Schismatoglottis dan Scindapsus. Sebagian besar koleksi berasal dari Kalimantan Utara. Hasil eksplorasi Araceae yang berhasil bertahan hidup hingga saat ini sebesar 71,54%, yang telah berstatus sebagai tanaman koleksi sebesar 39,43% dan 32,11% masih berstatus sebagai bibit. Persentase hidup yang paling tinggi pada tahap aklimatisasi adalah 100%, yaitu pada tanaman yang ditemukan pada ketinggian 1.200-1.500 m dpl. Persentase kedua adalah 90,54%, yaitu tanaman yang dikoleksi dari ketinggian 900-1200 m dpl sedangkan persentase terkecil adalah 47,06%, yaitu tanaman yang dikoleksi dari ketinggian 300-600 m dpl. Kata Kunci: Araceae, konservasi, endemik, aklimatisasi, eksplorasi

1 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

I. PENDAHULUAN Borneo memiliki keragaman dan kemelimpahan tumbuhan yang tinggi. Hal Borneo menjadi tempat tujuan berbagai ini dikarenakan kondisi geologi dan sejarah ekspedisi keragaman mahkluk hidup, iklim yang unik. Borneo diperkirakan terutama tumbuhan, selama hamper 200 memiliki 15.000 jenis tanaman berbunga tahun. Untuk Araceae, koleksi pertamanya dengan tingkat endemisitas yang tinggi, dilakukan oleh seorang botanis Belanda termasuk didalamnya suku Araceae. bernama Pieter Willem Korthals pada tahun Diperkirakan terdapat lebih dari 1.000 jenis 1807-1892. Selanjutnya ada Yorkshireman Araceae di Borneo (Boyce et al., 2010; James Motley (1822-1859), Englishman Boyce & Wong, 2014; Boyce & Wong, Hugh Low (1845), Anton Willem 2015b), yang kini telah teridentifikasi baru Nieuwenhuis (1864-1953), Charles Hose 36 genus dan lebih dari 670 jenis, tidak (1888) dan Rendle (1901). Motley dalam termasuk sub famili Lemnoidea (Boyce, kegiatannya mengumpulkan tanaman 2015a; Wong, 2016). Sebagian besar jenis banyak dibantu oleh para botanis seperti tersebut ditemukan di Serawak, Sabah dan William Jackson Hooker di Kebun Raya Brunei yang hanya kurang dari sepertiga Kew dan Heinrich Wilhelm Schott di luas Borneo, sedangkan Kalimantan yang Vienna. Pengkoleksian Nieuwenhuis di luasnya sekitar 70% Borneo sangat kurang Borneo sangat dibantu oleh Aldewerelt dan diketahui jumlah jenisnya. Engler. Kebun Raya Eka Karya Bali (KREKB) Penelitian sistematik secara intensif sebagai lembaga konservasi ex-situ telah dilakukan oleh seorang naturalis Italia melakukan usaha konservasi dan penelitian bernama Odorado Beccari pada tahun 1843- tumbuhan yang berasal dari kawasan timur 1920. Beliau adalah orang yang Indonesia dan salah satunya suku Araceae. memperkenalkan Amorphophallus titanium Penelitian konservasi dan domestikasi jenis- di Eropa dan banyak menemukan jenis baru jenis Araceae yang terdapat di Indonesia Araceae lainnya. Selanjutnya Henry baru difokuskan sejak tahun 2007 (Asih & Nicholas Ridley (1855-1956). Beliau datang Kurniawan, 2013). Selama 11 tahun ini, ke Borneo karena tertarik dengan Araceae keragaman, konservasi dan proses aklima- dan menghasilkan framework yang menjadi tisasi Araceae Kalimantan di KREKB dasar penelitian Araceae saat ini. belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian Selanjutnya, banyak peneliti yang datang ke ini dilakukan untuk mengetahui keragaman Borneo untuk mempelajari Araceae secara jenis Araceae Kalimantan, proses intensif dan menghasilkan revisi taksonomi konservasi dari awal dikoleksi hingga saat seperti D.H. Nicolson (1960-1968), Mitsuru ini dan aklimatisasi Araceae Kalimantan di Hotta (1965-1976), Josef Bogner dan Niels KREKB. Jacobsen (1979-1989), Alistair Hay (1980- 2003) Peter Charles Boyce (1980- sekarang), Hiroshi Okada dan Yasuko Mori II. METODOLOGI (1999-2000), Isa b. Ipor, Hendra Budianto, Suwidji Wongsi, Hiroyuki Kishi, Takashige A. Lokasi dan Waktu Penelitian Idei, Yuji Sasaki dan Jan Bastimejer (2002- Penelitian dilakukan di KREKB dari sekarang) dan Wong Sin Yeng (2006- bulan Desember 2016 sampai dengan bulan sekarang) (Boyce et al., 2010). Mereka Maret 2018. Kegiatan yang dilakukan banyak menemukan berbagai jenis baru dan meliputi pengumpulan data bibit dan melakukan revisi taksonomi Araceae, koleksi tanaman serta perkembangannya. terutama Araceae Borneo.

2 Keragaman, Konservasi dan Aklimatisasi Araceae Kalimantan…(Ni Putu Sri Asih, dkk)

Data bibit dan koleksi tanaman diperoleh maupun kondisi lingkungan Kalimantan dari Unit Registrasi dan Unit Seleksi, baik berupa media elektronik maupun cetak. Perbanyakan dan Reintroduksi KREKB. Selain itu juga dilakukan pengamatan D. Analisis Data langsung baik terhadap bibit dan koleksi Data yang diperoleh ditabulasi dan tersebut di Unit Seleksi, Perbanyakan dan disajikan dalam bentuk grafik maupun Reintroduksi maupun di lapangan ketika tabel. Kemudian data tersebut dianalisis berada di hutan. secara kualitatif dengan mendeskripsikan

parameternya. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah data III. HASIL DAN PEMBAHASAN penerimaan material hasil eksplorasi tumbuhan dan hasil sumbangan, buku A. Keragaman Araceae Kalimantan di kebun koleksi Araceae dan semua tanaman Kebun Raya Eka Karya Bali Araceae Kalimantan yang dikultivasi di Kebun Raya Bali sebagai salah satu KREKB. Adapun alat yang digunakan pusat penelitian keanekaragaman hayati dan adalah seperangkat komputer serta konservasi telah mengkoleksi tanaman jaringannya, logbook serta alat tulis. hidup sebanyak 223 suku, 1.004 marga, 2.422 jenis dan 22.425 spesimen. Dari C. Metode Pengumpulan Data sekian jumlah tersebut terdapat 36 marga, Material tanaman yang diperoleh dari 115 jenis dan 1.906 spesimen suku Araceae eksplorasi maupun dari sumbangan yang (data registrasi bulan April 2018). Jumlah berasal dari Kalimantan diaklimatisasi di tersebut belum termasuk tanaman yang ada pembibitan. Setelah berbunga akan di- di pembibitan, sehingga jika dijumlah bisa dokumentasikan dan diidentifikasi jenisnya. lebih banyak. Jenis-jenis tersebut diperolah Pembungaan merupakan data yang penting dari hutan Indonesia ataupun sumbangan karena karakter morfologi vegetatifnya dan pertukaran biji dari luar Indonesia. dalam satu marga terkadang memiliki Berdasarkan pengamatan dari 36 marga kesamaan penampakan, sehingga sulit tersebut terdapat 26 marga asli Indonesia diidentifikasi. dan sisanya berasal dari Benua Amerika dan Pengumpulan data dilakukan dengan Afrika. teknik dokumentasi dan observasi. Teknik Dari beberapa literatur diketahui dokumentasi dengan mengumpulkan data Araceae yang berasal dari Borneo penerimaan material tanaman baik dari hasil (Serawak, Sabah, Brunei dan Kalimantan) eksplorasi tumbuhan maupun hasil adalah 39 marga dan 726 spesies (Boyce & sumbangan yang berasal dari Kalimantan Wong, 2008; Boyce & Wong, 2014; Boyce dari tahun 2004 hingga tahun 2018. Teknik & Wong, 2015b; Wong, 2016; Wong & observasi dengan cara mengamati langsung Boyce, 2016a; Wong & Boyce, 2016b; perkembangan tanaman Araceae yang ada Wong & Boyce, 2016c). Jumlah tersebut di pembibitan. akan terus berkembang karena masih Studi literatur juga dilakukan untuk banyak ditemukan jenis baru di kawasan memperoleh data sekunder tentang jumlah tersebut. tanaman Araceae terkini di Kalimantan serta Saat ini KREKB telah mengkoleksi kondisi lingkungan Kalimantan. Pustaka sebanyak 21 marga dan 136 jenis Araceae yang dikaji berupa buku, jurnal dan yang berasal dari Kalimantan (jumlah ini prosiding tentang penelitian Araceae sudah ditambah dengan tanaman yang ada

3 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

di pembibitan) (Gambar 1). Jika dihitung, Borneo dan 10 jenis belum dideskripsikan KREKB baru mengkoleksi sekitar 53,85% (Wong, 2016). marga dan 18,73% jenis yang berasal dari Kalimantan. Hal ini berarti KREKB masih B. Konservasi Araceae di EKBBG harus mengkoleksi sekitar 18 marga dan 590 Konservasi dalam arti luas berarti jenis lagi untuk melengkapi jumlah marga upaya pemanfaatan yang berkelanjutan. dan jenis Araceae yang berasal dari Konservasi juga berarti suatu upaya atau Kalimantan. Oleh karena itu eksplorasi kegiatan yang berkesinambungan antara Araceae di Pulau Kalimantan masih sangat penelitian, pemanfaatan dan perlindungan. penting untuk dilakukan. Suatu jenis yang dikonservasi tidak hanya Berdasarkan data, Homalomena dan untuk dilindungi tetapi juga dapat Schismatoglottis merupakan genus yang dimanfaatkan oleh masyarakat seluas- jenisnya paling banyak dikoleksi kemudian luasnya secara berkesinambungan disusul Scindapsus (Gambar 2). Di hutan, (Pradjadinata & Murniati, 2014). genus Homalomena memang paling banyak Kebun raya merupakan lembaga yang ditemukan. Menurut Hoe, Gibernau, Maia, berperan penting dalam pencapaian tujuan & Wong (2016) dan Wong (2016), genus ini Convention on Biological Diversity (CBD), diperkirakan ada 500 jenis di dunia, 350 yaitu untuk mengkonservasi seluruh jenis di Borneo dan baru 75 jenis yang sudah keragaman biologi dunia, mendukung dideskripsikan. Jumlahnya nomor tiga penggunaan diversitas yang berkelanjutan, terbanyak setelah Anthurium dan berbagi informasi tentang penggunaan Philodendron . diversitas yang tepat termasuk penaksiran Schismatoglottis adalah genus kedua sumber genetik dan transfer teknologi. yang paling banyak ditemukan di lapangan Tujuan tersebut dilakukan kebun raya lewat dan sangat mudah tumbuhnya. Menurut berbagai kegiatan konservasi yang Boyce (2015) dan Wong (2016) genus ini terintegrasi baik in-situ maupun ex-situ diperkirakan ada 200 jenis, di Borneo seperti penelitian botani, penemuan spesies, sekitar 100 jenis dan hampir semuanya eksplorasi dan survei flora, reintroduksi, endemik Borneo. Scindapsus merupakan pendidikan publik, manajemen koleksi jumlah spesimen terbanyak nomor tiga. hidup dan lain-lain (Jackson & Sutherland, Genus ini diperkirakan ada 30 jenis di 2000).

800 726 700 600 500 400 KREK Bali

Jumlah 300 Kalimantan

200 136

100 39 21 0 marga Jenis

Note: Jumlah estimasi, data masih dalam proses perkembangan (Overall estimation is still ongoing )

Gambar ( Figure) 1. Jumlah marga dan jenis Araceae Kalimantan yang telah dikultivasi di EKBBG ( Number of genus and species of Kalimantan’s Araceae cultivated in the EKBBG)

4 Keragaman, Konservasi dan Aklimatisasi Araceae Kalimantan…(Ni Putu Sri Asih, dkk)

35 30 30 30 25

20 14 15 10 9 10 10 6 6 4 5 5 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah jenis 0

Genus

Gambar ( Figure) 2. Jumlah jenis masing-masing genus Araceae yang dikultivasi di EKBBG ( Number of species of each Araceae genus cultivated in EKBBG)

1. Eksplorasi perjalanan yang tinggi serta waktu tempuh Konservasi Araceae dilakukan KREKB yang lama, sehingga hasil eksplorasi yang secara khusus sejak tahun 2007 (Asih & dilakukan belum optimal dan belum Kurniawan, 2013). Pada tahun tersebut mendapatkan hasil yang mewakili seluruh kegiatan yang dilakukan baru sebatas kekayaan biodiversitas yang ada. menginventarisasi jenis Araceae hasil Hasil yang diperoleh dari enam kali eksplorasi yang sudah ada. Selanjutnya eksplorasi dan sumbangan dari pihak lain dilakukan eksplorasi dan pengkoleksian adalah tanaman sebanyak 383 nomor jenis Araceae di Pulau Sulawesi pada tahun koleksi (Tabel 1). Sebagian besar koleksi, 2008, di Pulau Bali pada tahun 2010 hingga 174 nomor (45,43%) berasal dari 2011 dan di Pulau Kalimantan pada tahun Kalimantan Utara, sedangkan koleksi dari 2014 hingga 2016. Selain dari hasil Kalimantan Selatan paling sedikit, yaitu 12 eksplorasi, koleksi Araceae KREKB juga nomor (3,13%). Kalimantan Utara memiliki diperoleh dari hasil sumbangan lembaga jumlah koleksi yang banyak karena lain maupun perorangan. eksplorasi telah dilakukan sebanyak 3 kali Baru sebagian kecil wilayah sedangkan Kalimantan Selatan dan Kalimantan yang dieksplor, yaitu Taman Kalimantan Tengah belum pernah Nasional Kayan Mentarang, Gunung dilakukan eksplorasi. Koleksi yang ada Lumut, Desa Loreh Kalimantan Utara, merupakan hasil sumbangan, sehingga Katingan, dan Sambas (Gambar 3). Dari jumlahnya tidak banyak. Hal ini lokasi tersebut, wilayah yang berhasil menunjukkan bahwa kedua provinsi dijelajahi baru sebagian kecil dan tersebut dapat menjadi target lokasi merupakan daerah yang relatif mudah eksplorasi selanjutnya. Walaupun tetap dicapai. Aksesibilitas memang merupakan tidak menutup kemungkinan untuk hambatan saat eksplorasi di Kalimantan. melakukan eksplorasi di ketiga provinsi Banyak kawasan hutan yang terletak di lainnya, karena masih banyak hutan di pedalaman dengan kondisi lingkungan yang Kalimantan yang belum dieksplorasi secara sulit dilalui dan membutuhkan biaya optimal, terutama daerah dekat perbatasan yang sangat sulit dijangkau.

5 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

Gambar ( Figure) 3. Lokasi perolehan Araceae di Kalimantan ( Location where Araceae was found in Kalimantan )

Tabel ( Tabel) 1. Perolehan hasil tanaman eksplorasi dan sumbangan di setiap provinsi di Pulau Kalimantan (Number of Araceae obtained from exploration and donation in each province of Kalimantan)

No Propinsi Lokasi Jumlah koleksi (No ) (Province ) (Location ) (Number of collections)

1 Kalimantan Utara Hutan Lindung Gunung Sidi, TNKM SPTN II Rian Tubu, 174 TNKM SPTN I Krayan 2 Kalimantan Timur Timbau, Hutan Lindung Sungai Wain, Gunung Lumut 38 3 Kalimantan Selatan Air Terjun Bajuin, Gunung Batu Kumpai, Desa Batu 12 Ampar, Desa Kuringkit, Kab. Tanah Laut 4 Kalimantan Tengah HPH Meranti Mustika, Tumbang Hiran, Tumbang Barengei, 25 Rantau Asem, Tumbang Bunut, Kudangan 5 Kalimantan Barat G. Tanjung Datuk, Hutan Adat Santok, Hutan Sri Maram, 134 Kebun Raya Sambas, Jongkong, Batang Lupar, Seluas, Sekadau, Kapuas Hulu dan Gunung Bawang

6 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

2. Koleksi Endemik dan Status 8,44% jenis endemik yang berhasil Konservasi dikonservasi di KREKB. Jumlah ini Saat ini, Borneo memiliki 12 genus tentunya masih sangat jauh dan masih perlu endemik yaitu Aridarum Ridl., Bakoa P.C. ditingkatkan. Boyce & S.Y. Wong, Bucephalandra Jika dilihat dari status konservasinya, Schott, Fenestratum P.C. Boyce & S.Y. ada sekitar 289 jenis Araceae di dunia yang Wong, Galantharum P.C. Boyce & S.Y. masuk IUCN red list (http://iucnredlist.org Wong, Hottarum Bogner & Nicolson, Ooia diakses pada tanggal 23 November 2016). S.Y. Wong & P.C. Boyce, Pedicellarum M. Akan tetapi hanya 10 jenis yang masuk Hotta, Phymatarum M. Hotta, Pichinia S.Y. dalam status Least Concern di Indonesia. Wong & P.C. Boyce, dan Schottariella P.C. Untuk CITES, tidak ada jenis Araceae yang Boyce & S.Y. Wong, Schottarum P.C. masuk dalam list. Hal ini bukan berarti tidak Boyce & S.Y. Wong (Boyce, 2015). Untuk ada jenis Araceae Indonesia yang terancam tingkat jenis belum ada data terbaru dan punah, namun karena banyak data yang masih akan terus berkembang seiring makin belum dimiliki. Jenis yang masuk dalam banyaknya penelitian. IUCN red list didominasi oleh Araceae Araceae di Borneo diperkirakan lebih yang berasal dari luar Indonesia dan dari 1000 jenis dan 320 jenis diantaranya biasanya jenis yang berasal dari Indonesia endemik, sangat bersifat lokal serta spesifik masih merupakan data lama yang pada substrat tertentu (Wong, 2016; Boyce memerlukan pembaruan. Selama ini et al., 2010 in Wong, 2013). Saat ini penelitian tentang populasi Araceae KREKB telah memiliki 6 genus endemik Indonesia masih jarang, sehingga studi dan 27 jenis endemik (Tabel 2). Jika populasi Araceae Indonesia sangat perlu diperbandingkan, maka baru 50% genus dan dilakukan, terutama spesies yang sering diperdagangkan seperti Bucephalandra .

Tabel (Table) 2. Koleksi endemik Kalimantan (The endemic collection of Kalimantan) No. Jenis No. Jenis (No. ) (Species ) (No ) (Species ) 1 Alocasia baginda Kurniawan & P.C.Boyce 15 Bucephalandra sp. E2016060016 2 Alocasia princeps W.Bull 16 Bucephalandra sp. E2017060105 Galantharum kishii P. C. Boyce & S. Y. 3 Alocasia sarawakensis M.Hotta 17 Wong, 4 Aridarum sp E2015110082 18 Fenestratarum sp. Homalomena agens Kurniawan & 5 Aridarum sp. E2016060019 19 P.C.Boyce Homalomena tirtae Asih, A. Kurniawan & 6 Aridarum sp. E2016040010 20 P. C. Boyce Ooia grabowskii (Engl.) S.Y. Wong & P.C. 7 Aridarum sp E2016060001 21 Boyce 8 Bucephalandra sp. E2014050330 22 Ooia sp E2015020013 9 Bucephalandra sp. E2015110077 23 Ooia sp E2015030007 10 Bucephalandra sp. E2015110078 24 Ooia sp E2016060036 11 Bucephalandra sp. E2016060039 25 Ooia sp E2018010158 Piptospatha deceptrix P.C.Boyce & 12 Bucephalandra sp. E2016040003 26 S.Y.Wong 13 Bucephalandra sp. E2016040005 27 Phymatarum borneense M.Hotta Bucephalandra pygmaea (Becc.) P.C.Boyce & 14 S.Y.Wong

7 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

C. Aklimatisasi Araceae di KREKB dan dewasa. Sedangkan tanaman bibit Aklimatisasi merupakan upaya adaptasi adalah tanaman yang masih dalam proses atau penyesuaian suatu makhluk hidup aklimatisasi, belum memiliki nomor koleksi terhadap lingkungan barunya. Kegiatan ini dan belum layak tanam. bertujuan untuk mengkondisikan tanaman Berdasarkan ketinggian habitat, hasil eksplorasi agar dapat bertahan hidup persentase hidup yang paling tinggi adalah sehingga menjadi bibit siap tanam untuk 100% pada ketinggian 1.200-1.500 m dpl, koleksi di kebun raya (Trimanto, 2013). sedangkan persentase hidup paling kecil Selain itu kegiatan ini juga merupakan adalah 47,06% pada ketinggian 300-600 m penyelamatan tanaman koleksi yang kritis dpl (Gambar 5). Persentase hidup kedua kondisinya. tertinggi adalah 90,54% pada ketinggian Berdasarkan analisis diketahui bahwa 900-1.200 m dpl. Pada ketinggian 900- hasil eksplorasi Araceae yang berhasil 1.500 m dpl, tanaman dapat hidup dengan bertahan hidup hingga saat ini sebesar baik, karena habitatnya memiliki ketinggian 71,54% dan yang mati 28,46%. Dari yang hampir sama dengan EKBBG yaitu 71,54% hanya 39,43% yang berstatus 1.200-1.400 m dpl, sehingga tanaman dapat koleksi dan 32,11% berstatus bibit (Gambar beradaptasi dengan baik. Sedangkan pada 4A). Terdapat dua status tanaman di tanaman yang diperoleh dari habitat yang KREKB, yaitu tanaman koleksi dan tinggian dibawah 900 m dpl memiliki tanaman bibit. Tanaman koleksi adalah presentase hidup yang lebih rendah. Oleh tanaman yang sudah memiliki nomor karena itu, pengambilan tanaman yang akan koleksi dan telah ditanam di petak koleksi ditanam sebaiknya memiliki ketinggian berdasarkan sukunya. Tanaman koleksi serta habitat yang sama dengan KREKB, adalah tanaman yang sudah layak ditanam sehingga kemungkinan hidupnya lebih pada petak koleksi, dalam keadaan sehat tinggi.

Perkembangan Jumlah Spesimen Araceae dan Statusnya Hingga Tahun 2018

120 100 A B 100 80 71.54 60 39.43 40 28.46 32.11 Persentase 20 0 awal hidup mati bibit koleksi Status spesimen Araceae

Gambar (Figure) 4. A. Perkembangan hasil eksplorasi yang berhasil hidup dan mati, serta statusnya di EKBBG. B. kultur jaringan A. baginda (A. Progress of exploration development of surviving and dead plants and their status in EKBBG. B. In vitro A. baginda)

8 Keragaman, Konservasi dan Aklimatisasi Araceae Kalimantan…(Ni Putu Sri Asih, dkk)

120.00 100.00 100.00 90.54 80.00

54.65 60.00 52.94 50.0050.00 45.35 47.06 hidup

Persentase 40.00 mati 20.00 9.46 0.00 0.00 0 - 300 300 - 600 600 - 900 900 - 1200 1200 - 1500 Ketinggian

Gambar ( Figure) 5. Perkembangan spesimen Araceae berdasarkan ketinggian habitatnya hingga tahun 2018 ( Progress of Araceae specimen based on the habitat altitude up to 2018)

Persentase Hidup dan Mati Koleksi Araceae Berdasarkan Asal Provinsi hingga Tahun 2018

90.00 79.89 80.00 76.00 67.91 70.00 58.33 60.00 52.63 47.37 % hidup 50.00 41.67 % mati 40.00 32.09

Persentase 30.00 24.00 20.11 20.00 10.00 0.00 Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan Kalimantan Utara Timur Barat Tengah Selatan Provinsi

Gambar ( Figure) 6. Perkembangan spesimen berdasarkan asal provinsi (The progress of specimen based on province origin)

Dilihat dari asal provinsinya, Araceae wilayah tersebut, mengingat Kalimantan yang memiliki presentase hidup paling memiliki ekosistem yang beragam dan unik, tinggi adalah Kalimantan Utara sedangkan sehingga tanaman yang tumbuh dapat paling rendah adalah Kalimantan Timur berbeda jenisnya. (Gambar 6). Hal ini dapat menjadi dasar Ada banyak faktor penyebab kematian untuk melakukan eksplorasi kembali ke tanaman hasil eksplorasi, sehingga tidak

9 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

bisa hanya dikaji dari satu parameter saja. jaringan dengan bahan umbi (Gambar 4B). Salah satu penyebab matinya tanaman hasil Jika umbinya cukup besar, maka dilakukan eksplorasi adalah perbedaan habitat asal juga perbanyakan secara konvensional dengan kondisi KREKB. Tetapi hal ini juga dengan dicacah dan ditanam pada tanah. dipengaruhi oleh cara penanganan material Untuk umbi yang ukurannya kecil, hanya baik di lapangan maupun di KREKB sendiri dilakukan dengan kultur jaringan. Kultur sebagai bagian dari upaya aklimatisasi. jaringan dengan umbi atau bulbil sejauh ini Aklimatisasi yang dilakukan umumnya susah dilakukan karena belum menemukan berupa penanaman material eskplorasi metode sterilisasi yang tepat agar kultur dalam media, perlakuan khusus yang tersebut tidak kontaminasi. Umbi yang mendekati dengan lingkungan, perawatan berasal dari tanah sangat berpotensi material serta monitoring. Media yang tidak mengalami kontaminasi karena mengan- cocok pun dapat menjadi penyebab dung banyak mikroba. kematian tanaman hasil eksplorasi. Secara umum genus yang dominan mati Penanaman material eksplorasi biasa- adalah genus yang memiliki habitus nya dengan menggunakan material humus climbe r. Selain karena jumlah spesimen yang terbuat dari serasah dedaunan dan yang diperoleh hanya sedikit, genus tersebut difermentasikan selama beberapa bulan. memang sangat sulit untuk diaklimatisasi Penggunaan media ini tergantung pada jenis setelah diperoleh dari hutan. Sebagian besar dan habitat tanaman. Untuk tanaman spesimen juga berasal dari dataran rendah terrestrial media yang digunakan adalah dan lingkungan yang berbeda dengan percampuran humus dengan sekam mentah KREKB, sehingga adaptasinya sangat (1:2). Tanaman dari habitat karst ditumbuh- rendah. Araceae climber belum banyak kan pada media yang telah ditambah diteliti meski berpotensi juga sebagai bongkahan batu kapur. Tanaman reofit tanaman hias. Oleh karena itu, usaha ditanam dalam pot tanah liat dan direndam aklimatisasi dan penelitian yang lebih dalam nampan berisi air. intensif khususnya pada jenis Araceae Untuk penyelamatan tanaman ber- climber perlu ditingkatkan. jumlah satu atau kritis, dilakukan kultur

Gambar ( Figure ) 7. A. Alocasia baginda dari Kalimantan Timur. B. Homalomena agens dari Malinau. C. Homalomena tirtae dari Malinau ( A. Alocasia baginda from East Kalimantan. B. Homalomena agens from Malinau. C. Homalomena tirtae from Malinau)

10 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

Genus yang mati selain climber adalah IV. KESIMPULAN DAN SARAN genus akuatik seperti Cyrtosperma, A. Kesimpulan Cryptocoryne dan Lasia . Genus ini memerlukan habitat yang selalu tergenang Hingga tahun 2018, KREKB telah air tapi akan lebih baik dengan air yang terus melakukan enam kali eksplorasi dan mengalir. Selama ini aklimatisasi belum memperoleh sumbangan Araceae dari pihak menyesuaikan dengan kecenderungan ini, lain yang berasal dari Kalimantan, paling sehingga kurang optimal dan berakibat banyak berasal dari Kalimantan Utara kematian. Untuk kedepannya, selain dengan (45,43%) dan paling sedikit Kalimantan perbanyakan vegetatif, perbanyakan secara Selatan (3,13%). Jika dilihat dari status in vitro juga sangat diperlukan. konservasinya, ada sekitar 289 jenis Amorphophallus juga merupakan Araceae di dunia yang masuk IUCN red list , genus yang sering mati. Seperti halnya hanya Aglaonema simplex yang masuk dengan genus lainnya, genus ini berasal dari dalam status Least Concern di Indonesia. dataran rendah dan kondisi lingkungan yang Untuk CITES, tidak ada jenis Araceae yang berbeda dengan KREKB. Genus ini juga masuk dalam list. Hingga saat ini, hasil memerlukan kondisi media dengan drainase eksplorasi dan sumbangan Araceae yang yang baik dan tidak suka dengan berhasil hidup sebesar 71,54% dan yang kelembaban tinggi karena akan membuat mati 28,46%. Dari 71,54% hanya 39,43% umbinya busuk. Penyiraman pun tidak yang berstatus koleksi dan 32,11% berstatus boleh sering dilakukan, dianjurkan 2-3 hari bibit. sekali (Pers. Comm Isa Bin Poor). KREKB telah mengkoleksi sebanyak Genus yang dominan hidup adalah 21 (53,85%) dan 136 marga (18,73%) jenis genus yang bersifat reofit. Genus ini relatif Araceae yang berasal dari Kalimantan. mudah beradaptasi di KREKB karena Diantaranya enam (50%) genus endemik memerlukan kelembaban tinggi dan dan 27 (8,44%) jenis endemik. Jumlah ini penyiraman yang intensif. Homalomena dan belum cukup mengkonservasi semua marga Schismatoglottis merupakan genus yang jenis Araceae Kalimantan. Homalomena sangat mudah beradaptasi dan memiliki dan Schismatoglottis merupakan genus kemungkinan hidup yang tinggi. yang jenisnya paling banyak dikoleksi kemudian disusul Scindapsus. D. Penelitian Taksonomi Pada tahap aklimatisasi, persentase hidup yang paling tinggi adalah 100%, yaitu Kegiatan taksonomi yang dilakukan pada tanaman yang ditemukan pada adalah kegiatan pengidentifikasian koleksi ketinggian 1.200-1.500 m dpl. Persentase Araceae yang belum diketahui jenisnya. hidup kedua tertinggi adalah 90,54% pada Kegiatan ini dilakukan dengan ketinggian 900-1.200 m dpl sedangkan berkolaborasi dengan pakar Araceae Peter persentase hidup paling kecil adalah C. Boyce. Hingga kini telah dihasilkan tiga 47,06% pada ketinggian 300-600 m dpl. jenis baru, yaitu Alocasia baginda Hingga kini telah dihasilkan tiga jenis baru, Kurniawan & PC. Boyce, Homalomena yaitu Alocasia baginda Kurniawan & PC. agens Kurniawan & PC. Boyce dan Boyce, Homalomena agens Kurniawan & Homalomena tirtae Asih, Kurniawan & PC. PC. Boyce dan Homalomena tirtae Asih, Boyce. Kurniawan & PC. Boyce.

11 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 1-13

B. Saran on Schismatoglottideae (Araceae) of Kegiatan pengkoleksian Araceae Borneo VII: Schottarum and Bakoa, Kalimantan masih perlu ditingkatkan two new genera from Sarawak, terutama pada kawasan-kawasan yang Malaysian Borneo. Botanical Studies , belum dijelajah, belum dieksplorasi dan 49 , 393–404. diutamakan pada habitat dan ketinggian Boyce, P. C., & Wong, S. Y. (2014). Studies yang hampir sama dengan KREKB. on Schismatoglottideae (Araceae) of Kegiatan pengkoleksian juga perlu Borneo XXXXIII: Fenestratarum dilengkapi dengan penggalian data culum - a new genus and species from mengenai pemanfaatan yang dilakukan Kalimantan Barat, Indonesian Borneo. masyarakat selama ini. Penelitian tentang Aroideana , 37E (1), 4–10. aklimatisasi dan perbanyakan untuk jenis Boyce, P. C., & Wong, S. Y. (2015). Studies climber perlu ditingkatkan, karena jenis ini on Schismatoglottideae (Araceae) of berpotensi populer sebagai tanaman hias. Borneo XXXXVIII – Galantharum, a Untuk menentukan status konservasinya di new genus for the Hottarum Clade. alam dan mengetahui ekologinya perlu Aroideana , 38E (2), 23–28. dilakukan penelitian studi populasi dan Boyce, P. C., Wong, S. Y., Jen, A. T. P., Eng, ekologi. L. S., Ling, L. S., Kiaw, N. K., & Hin, O. I. (2010). The Araceae of Borneo:

The Genera. Aroideana , 33 , 3–73. UCAPAN TERIMA KASIH Hoe, Y. C., Gibernau, M., Maia, A. C. D., & Penulis mengucapkan terima kasih Wong, S. Y. (2016). Flowering kepada I Nyoman Sudiatna, I Made Merta, mechanisms, pollination strategies and Burhanuddin dan I Wayan Sudiarsa untuk floral scent analyses of syntopically kesediaannya memelihara koleksi hidup coflowering Homalomena spp. dengan sangat baik. Penelitian ini didukung (Araceae) on Borneo. Biology , penuh oleh DIPA Tematik untuk Sub 18 (4), 563–576. Kegiatan Konservasi Araceae di Pulau Jackson, P. W., & Sutherland, L. A. (2000). Kalimantan . International agenda for botanic gardens in conservation. In Botanic Gardens Conservation International . DAFTAR PUSTAKA UK. Pradjadinata, S., & Murniati. (2014). Asih, N. P. S., & Kurniawan, A. (2013). Pengelolaan dan konservasi jenis ulin Konservasi araceae di Kebun Raya Eka (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Karya Bali–LIPI. In Yuzammi, J. T. Binn.) di Indonesia. Jurnal Penelitian Hadiah, D. Asikin, & R. A. Risna Hutan Dan Konservasi Alam , 11 (3), (Eds.), Simposium, Workshop, dan 205–223. Kongres IX PTTI “Organisasi Profesi Trimanto. (2013). Aklimatisasi tumbuhan Pendorong Percepatan Perkembangan hasil eksplorasi dan perbanyakan Iptek”, 11-13 Oktober 2011 (pp. 69– tanaman Unit Seleksi dan Pembibitan 73). Bali: Penggalang Taksonomi Kebun Raya Purwodadi. In Y. Rinanto, Tumbuhan Indonesia. M. Ramli, Nurmiyati, B. A. Payitno, P. Boyce, P. C. (2015). Compendium Genera Karyanto, S. Widoretno, … B. Aracearum Malesianum. Aroideana , Sugiharto (Eds.), Seminar Nasional X 38 , 40–177. Pendidikan Biologi Volume II: Biologi, Boyce, P. C., & Wong, S. Y. (2008). Studies Sains, Lingkungan dan

12 Keragaman, Konservasi dan Aklimatisasi Araceae Kalimantan…(Ni Putu Sri Asih, dkk)

Pembelajarannya, 6 Juli 2013 (pp. 1– Wong, S. Y., & Boyce, P. C. (2016b). 7). Surakarta: UNS. Studies on Schismatoglottideae Wong, S. Y. (2013). Rheophytism in (Araceae) of Borneo LVII: Bornean Schismatoglottideae Bucephalandra filiformis – a new (Araceae). Systematic Botany , 38 (1), species from Maligan, Sarawak, 32–45. Malaysian Borneo. Aroideana , 39 (2), Wong, S. Y. (2016). Keladi hutan Borneo . 56–60. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Wong, S. Y., & Boyce, P. C. (2016c). Studies Pustaka. on Schismatoglottideae (Araceae) of Wong, S. Y., & Boyce, P. C. (2016a). Studies Borneo LVIII – Further novelties on Schismatoglottideae (Araceae) of described for the genus Piptospatha, Borneo LI: Ooia revised, including a and a note on Piptospatha Sect. reconsideration of Ooia grabowskii. J. Gamogyne. Aroideana , 39 (2), 61–70. Jpn. Bot. 91 Suppl. , 138–167.

13

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN FITOKIMIA FRAKSI N-HEKSANA KULIT KAYU PULAI Alstonia scholaris R.Br SEBAGAI SUMBER HASIL HUTAN BUKAN KAYU ALTERNATIF (Antioxidant Activity and Phytochemical Compound of N-Hexane fraction of Alstonia scholaris R.Br Barks as Source of Alternative Non Timber Forest Product)

Zuraida

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jln Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp. (0251) 8633234; Fax (0251) 8638111 Email: [email protected]

Tanggal diterima: 7 Februari 2018; Tanggal direvisi: 30 April 2018; Tanggal disetujui: 4 Juni 2018

ABSTRACT Pulai (Alstonia scholaris R. Br) is one of Indonesia’s tropical forest tree species which one of its usefullnes is as medicine for various diseases because of its antioxidant activity. Limited studies are available on pulai bark in non-polar fraction. This study aimed to evaluate antioxidant activity and phytochemical compound of n-hexane fraction of pulai bark. N-hexane fractionation was done after pulai bark extracted by maceration method with 70% ethanol. Antioxidant analysis of n-hexane fraction was done using 1,1-Diphenyl-2-picryl hydrazil (DPPH) method in fifty inhibition concentration (IC50), while phytochemical compounds were tested by phytochemical test. The results showed that n-hexane fraction has 0.84% (w/w) yield with inhibition concentration (IC50) 65.28 μg/mL. Chemical compounds positively detected are flavonoids, saponins, alkaloids, steroids, and terpenoids. It was suggested that flavonoid, alkaloids, and steroids played important role as an antioxidant. Key words: antioxidant, Alstonia scholaris, phytochemical constituents

ABSTRAK Pulai (Alstonia scholaris R, Br) adalah salah satu tumbuhan hutan tropis indonesia yang berfungsi sebagai obat untuk bermacam penyakit, seperti antioksidan. Penelitian berkaitan dengan fraksinasi ekstrak kulit kayu pulai menggunakan pelarut non polar masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi aktivitas antioksidan dan kandungan fitokimia kulit kayu pulai dari fraksi n-heksana. Fraksinasi n-heksana dilakukan setelah kulit kayu pulai diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 70%. Analisis antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode 1,1-Difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), dan analisis kandungan fitokimia dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi n-heksana menghasilkan rendemen 0,84% (w/w), dengan aktivitas antioksidan (inhibition concentration, IC50) sebesar 65,28 µg/mL. Kandungan kelompok senyawa kimia yang terdeteksi positif adalah flavonoid, saponin, alkaloid, steroid, dan terpenoid. Aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari fraksi n-heksana kulit kayu pulai diduga berasal dari kelompok senyawa flavonoid, alkaloid, dan steroid. Kata kunci: antioksidan, Alstonia scholaris, fitokimia

I. PENDAHULUAN mampu meningkatkan sektor perekonomi- Hutan tropis Indonesia merupakan an, dimana pemanfaatannya harus dilaku- kan secara arif dan bijaksana agar selalu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, budaya, dan ekologis. Nilai jual tercipta lingkungan ekosistem yang har- yang diberikan oleh produk hutan ini monis. Hasil hutan dapat berupa kayu, dan

15 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 15-24

non kayu atau hasil hutan bukan kayu (non nya reaksi oksidasi dari molekul lain yang timber forest product). Salah satu jenis hasil menghasilkan radikal bebas (Cerullo, hutan bukan kayu (HHBK) adalah pe- Gambassi, & Cesari, 2012; Partap & manfaatan tumbuhan hutan yang berkhasiat Pandey, 2012). Antioksidan dapat disintesis obat, seperti mahoni (Swietenia Mahagoni di dalam tubuh (endogen) maupun diperoleh L. Jacq), kilemo (Litsea cubeba), pasak dari asupan makanan (eksogen). Keduanya bumi (Eurycoma longifolia), rotan jernang dapat dikelompokkan menjadi antioksidan (Daemonorop draco), dan pulai (Alstonia enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan scholaris R.Br) (Noorhidayah, 2006). enzimatik yang memiliki peran utama yaitu Pemanfaatan tumbuhan obat hutan sangat superoksida dismutase (SOD), glutation berpotensi untuk mengurangi impor obat, peroksidase (GPX), dan katalase (CAT) namun demikian masih ditemukan ada gap (Gomes, Silva, & Oliveira, 2012). Adapun antara potensi dan status risetnya. Untuk itu antioksidan non-enzimatik yaitu glutation, masih perlu dilakukan penelitian yang vitamin C, vitamin E, karotenoid, asam urat, intensif tentang potensi tumbuhan obat dari (Pacome et al., 2014), tiol, dan polifenol hutan Indonesia. Salah satu jenis tumbuhan (Gomes et al., 2012; Partap & Pandey, obat yang dijadikan objek penelitian pada 2012). penelitian ini adalah pulai. Pulai termasuk Saat ini banyak dikembangkan anti- tumbuhan yang cepat tumbuh (fast growing oksidan eksogen yang bersifat alami untuk species) dan tahan pada berbagai kondisi memenuhi kebutuhan antioksidan di dalam ekstrim, tersebar luas di Indonesia, dan tubuh. Hal ini karena efek samping yang dapat digunakan sebagai bahan baku lebih rendah dibandingkan antioksidan kerajinan, dan bermanfaat sebagai obat sintetik. Salah satu antioksidan alami yaitu (antioksidan). Bagian tumbuhan pulai yang senyawa polifenol yang terdapat di dalam dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman (Pacome et al., 2014). Tanaman daun dan kulit batang (Antony et al., 2011). yang telah diketahui memiliki aktivitas Penyakit degeneratif yang menyebabkan antioksidan adalah pulai, banyak digunakan kematian, seperti kanker, aterosklerosis, secara tradisional untuk mengobati malaria, diabetes, dan penyakit jantung dipicu oleh penyakit kuning, demam, luka, sakit perut, keadaan yang disebut dengan stress asma, dan sakit kepala (Meena et al., 2011). oksidatif. Valko et al. (2007) dan Sen et al. Penelitian terdahulu telah banyak (2010) menyatakan bahwa stress oksidatif menganalisis aktivitas antioksidan dari terjadi pada saat adanya ketidak seimbangan tanaman pulai, antara lain: Antony et al. antara produksi radikal bebas dengan (2011) melaporkan nilai inhibition antioksidan. Radikal bebas dapat bersumber concentration (IC50) dari ekstrak air daun dari metabolisme selular, paparan radiasi, dan kulit kayu pulai berturut-turut 2.830 dan ozon, asap rokok, hiperoksia, dan paparan 1.210 μg/mL, Gunn et al. (2004) dan logam berat (Al-Dalaen & Al-Qtaitat, Ramachandra et al. (2012) menyatakan 2014). Radikal bebas yang berlebih akan bahwa inhibisi 50% DPPH dari ekstrak berdampak negatif pada makromolekul metanol kulit kayu pulai berada pada seperti DNA, lipid, dan protein ( Birben et konsentrasi 600 μg/mL. Khanum (2014) al., 2012; Al-Dalaen & Al-Qtaitat, 2014) . melaporkan nilai IC50 dari ekstrak Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kloroform daun dan kulit kayu pulai stress oksidatif dapat diatasi dengan berturut-turut 62 dan 47,7 μg/mL. Purnama antioksidan. (2015) menyebutkan bahwa ekstrak etanol Antioksidan merupakan molekul yang daun pulai memiliki nilai IC50 sebesar 55.49 dapat menghambat atau mencegah terjadi- μg/mL, dan Dhruti et al. (2016) menyata-

16 Aktivitas Antioksidan dan Komponen Fitokimia Fraksi N-heksanaa Kulit Kayu Pulai... (Zuraida) kan kulit kayu pulai banyak digunakan Alat utama yang digunakan yaitu sebagai formula komponen herbal. neraca analitik Scale AND GR-200 series Berdasarkan informasi tersebut di atas dan EPOCH Microplate Spectrophoto- terlihat bahwa penelitian masih fokus pada meter. Alat-alat pendukung yang digunakan ektraksi kasar menggunakan pelarut polar yaitu alat-alat gelas, micropipet Thermo seperti air, etanol, dan methanol akan tetapi Scientific 10 µL, 100 µL, dan 1000 µL, penelitian menggunakan pelarut non polar microplate Falcon, dan sonikator seperti n-heksana masih belum diketahui. BRANSON B1510. Aktivitas antioksidan suatu tumbuhan obat sangat tergantung pada komponen fitokimia C. Prosedur Penelitian yang dikandungnya. Dengan demikian 1. Penyiapan Fraksi n-heksana penelitian ini bertujuan untuk melakukan Simplisia kulit kayu pulai diekstraksi evaluasi aktivitas antioksidan dari kulit dengan cara maserasi menggunakan etanol kayu pulai yang difraksinasi dengan n- 70% dengan perbandingan 1:10. Maserasi heksana, dan menentukan kandungan dilakukan selama 3x24 jam hingga fitokimia yang terkandung didalamnya. diperoleh filtratnya. Filtrat dievaporasi pada suhu 50ºC sampai volumenya mencapai II. METODE PENELITIAN 1/10 volume awal. Selanjutnya filtrat difraksinasi dengan n-heksana sehingga A. Tempat dan Waktu diperoleh fraksi n-heksana. Fraksi n- Penelitian dilaksanakan di Pusat Studi heksana dipekatkan dengan evaporator pada Biofarmaka Tropika, LPPM-IPB, Bogor. 50ºC (Andersen & Markham, 2006). Waktu penelitian berlangsung pada Januari- Rendemen dihitung dengan persamaan April 2017. berikut:

Bobot fraksi (g) B. Bahan dan Alat Penelitian Rendemen (%) = × 100% Bobot simplisia (g) Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu simplisia kulit kayu 2. Analisis Antioksidan dengan Metode pulai yang telah dihaluskan berukuran 100 DPPH mesh, berasal dari tanaman berumur 13 Analisis antioksidan dengan metode tahun yang ditanam di Hutan Penelitian DPPH mengikuti metode yang dilakukan Dramaga Bogor. Pemilihan bahan ekstraksi oleh Aranda et al. (2011) sebagai berikut: ini didasarkan atas hasil penelitian sebelumnya yang mendeteksi bahwa Pembuatan Larutan DPPH kandungan flavonoid dari kulit kayu pulai Serbuk DPPH dilarutkan dengan etanol yang berasal dari Bogor lebih tinggi dari p.a., sehingga konsentrasinya menjadi 125 Palembang, Ngebel, dan Banjar Baru (data μM. tidak ditampilkan). Bahan lain yang digunakan yaitu HCl pekat, NH3, H2SO4 2 Analisis Antioksidan Kontrol Positif M, H2SO4 pekat, pereaksi Dragendorf, (Vitamin C) Mayer, Wagner, FeCl3 1%, amil alkohol, Vitamin C ditimbang sebanyak 5 mg bubuk Magnesium, dietil eter, asam asetat dalam labu takar 5 mL dan dilarutkan anhidrat, etanol, DPPH, Vitamin C, daun dengan etanol p.a., sehingga konsentrasinya tapak dara, daun kumis kucing, teh, daun menjadi 1.000 µg/mL (larutan induk). katuk, temulawak, dan daun sirih merah. Pengenceran bertingkat dilakukan dari 1.000 µg/mL menjadi 20, 10, 5, 2.5, 1.25

17 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 15-24

dan 0.62 µg/mL. DPPH sebanyak 100 μL Hasil positif dapat diamati dengan ditambahkan ke microplate dan diinkubasi terbentuknya endapan merah setelah di- pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah tambahkan pereaksi Dragendorf, endapan itu, absorbansi vitamin C diukur dengan coklat setelah ditambahkan pereaksi EPOCH microplate spectrophotometer Wagner, dan endapan putih setelah pada panjang gelombang 517 nm. ditambahkan pereaksi Mayer. Ekstrak daun tapak dara digunakan sebagai kontrol positif Analisis Antioksidan Fraksi (n-heksana) (Pricylia, 2012). Fraksi n-heksana kulit kayu pulai ditimbang sebanyak 5 mg dalam labu takar Flavonoid, Saponin, dan Tanin 5 mL dan dilarutkan dengan etanol p.a. Fraksi n-heksana sebanyak 0,3 g sehingga konsentrasinya menjadi 1.000 ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung µg/mL (larutan induk). Pengenceran reaksi. Sebanyak 10 mL akuades di- dilakukan hingga konsentrasi fraksi menjadi tambahkan ke dalam tabung reaksi, 400, 200, 100, 50, 25, dan 12,5 µg/mL. campuran yang diperoleh dipanaskan Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat yang pada analisis antioksidan vitamin C. Nilai diperoleh dibagi menjadi tiga. Filtrat DPPH yang dinyatakan sebagai persen pertama untuk uji flavonoid ditambahkan inhibisi (% inhibisi) dihitung berdasarkan dengan bubuk Mg, 5 tetes HCl pekat, 5 tetes persamaan sebagai berikut: etanol, dan 7 tetes amil alkohol. Campuran tersebut kemudian divortex. Terbentuknya (A -A ) warna kuning, jingga, atau merah % inhibisi = kontrol sampel x 100% A kontrol menunjukkan hasil positif untuk uji ini. Filtrat kedua untuk uji saponin dikocok Keterangan: kuat-kuat dan diamati terbentuknya buih Akontrol = Absorbansi DPPH yang stabil. Filtrat ketiga untuk uji tanin Asampel = Absorbansi DPPH + sampel ditambahkan 1 tetes FeCl3 1% dan diamati terbentuknya warna biru atau hijau Nilai IC50 menyatakan konsentrasi kehitaman. Kontrol positif yang digunakan sampel yang dapat meredam radikal bebas untuk flavonoid yaitu daun sirih merah DPPH sebanyak 50% dengan dihitung (Purnama, 2017), daun kumis kucing untuk menggunakan persamaan regresi linier saponin (Ningsih, Ratnasari, & Faizah, y=ax+b yang memiliki koefisien 2014) dan teh untuk tanin (Savolainen, diterminasi di atas 90%. 1992).

3. Analisis Senyawa Fitokimia Steroid dan Triterpenoid Analisis senyawa fitokimia untuk Fraksi n-heksana sebanyak 0.05 g mendapatkan metabolit sekunder meng- ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung gunakan metode Harborne (1998). Senyawa reaksi. Sebanyak 5 mL etanol ditambahkan, fitokimia yang dianalisis adalah alkaloid, lalu dipanaskan selama 5 menit dan flavonoid, saponin, tannin, steroid, dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipanaskan triterpenoid. hingga menguap. Sebanyak 3 pipet tetes dietel eter ditambahkan dan dipindahkan ke Alkaloid cawan pinggang. Asam asetat anhidrat dan Kandungan alkaloid pada fraksi n- H2SO4 pekat (1:1) ditambahkan, lalu heksana dilakukan dengan penambahan diamati warna hijau (steroid) dan merah pereaksi Dragendorf, Wagner, dan Mayer. atau ungu (triterpenoid). Daun katuk

18 Aktivitas Antioksidan dan Komponen Fitokimia Fraksi N-heksanaa Kulit Kayu Pulai... (Zuraida)

(steroid) dan temulawak (triterpenoid) menghasilkan rendemen ekstrak metanol, digunakan sebagai kontrol positif (Putranto ekstrak etanol, ekstrak air, ekstrak et al., 2014). klorofrom berturut-turut 20,5%, 6,4%, 0,7%, dan 0,23%. Rendemen dari ekstrak air dan ekstrak kloroform tersebut lebih III. HASIL DAN PEMBAHASAN rendah dari pada penelitian ini. Faktor yang A. Rendemen Fraksi n-heksana mempengaruhi perbedaan rendemen Ekstraksi dari 900 gram simplisia kulit tersebut yaitu tempat tumbuh tanaman dan kayu pulai dengan etanol 70%, dan faktor lingkungan, metode ekstraksi, jenis dilanjutkan fraksinasi dengan n-heksanaa pelarut, dan kepolaran pelarut yang menghasilkan 7,58 gram fraksi n-heksanaa digunakan (Tiwari et al., 2011; Nurcholis et dengan rendemen sebesar 0,84%. Hasil ini al., 2012). Pelarut metanol dan etanol lebih rendah dari pada rendemen ekstrak n- terlihat memiliki rendemen yang lebih heksana kulit kayu pulai basung (Alstonia tinggi dibanding pelarut lainnya karena spatulata) sebesar 2,76% (Fadhli, 2013). methanol dan etanol mempunyai Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh kemampuan untuk menarik senyawa yang perbedaan metode ekstraksi dan spesies bersifat polar. tanaman. Spesies tanaman yang berbeda memiliki komponen bioaktif yang berbeda B. Aktivitas Antioksidan Fraksi n- (Croteau et al., 2000). Ekstrak pada heksana penelitian Fadhli (2013) adalah hasil Pengujian aktivitas antioksidan ber- maserasi ekstrak kasar menggunakan tujuan menentukan aktivitas penghambatan pelarut non polar n-heksana, sedangkan fraksi n-heksanaa terhadap radikal 1,1- pada penelitian ini diekstrak terlebih dahulu Difenil-2-pikril hidrazil (DPPH). Aktivitas dengan etanol yang bersifat polar antioksidan dinyatakan dalam persen menghasilkan ekstrak kasar etanol, lalu penghambatan dan inhibition concentration difraksinasi dengan pelarut non polar n- (IC50). Semakin kecil nilai IC50 maka heksanaa. Perbedaan pelarut antara polar aktivitas antioksidannya semakin kuat, dan dan non polar juga mempengaruhi sebaliknya. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan kimia ekstrak (Firdayani & nilai IC50 dari vitamin C sebagai kontrol Agustini, 2015). Tingginya rendemen pada positif (4,14 µg/mL) dan fraksi n-heksanaa penelitian Fadhli (2013) disebabkan hasil (65,28 µg/mL). Vitamin C memiliki maserasi berupa ekstrak kasar, sehingga aktivitas antioksidan 16 kali lebih kuat kandungan kimianya lebih beragam, dibandingkan fraksi n-heksanaa. Menurut sedangkan pada penelitian ini rendemennya (Fidrianny, Puspitasari, & Singgih, 2014), hasil dari fraksinasi. vitamin C termasuk antioksidan sangat kuat Saxena, Shrivastava, & Saxena (2013) (IC50 <50 µg/mL), sedangkan fraksi n- juga melakukan fraksinasi dari ekstrak heksanaa termasuk antioksidan kuat (50 < etanol 90% kulit kayu pulai. Rendemen IC50 <100 µg/mL). Hasil ini meng- yang dihasilkan dari fraksi petrolium eter, indikasikan bahwa kulit kayu pulai yang fraksi etil asetat, dan fraksi n-butanol telah diekstrak dan difraksinasi meng- berturut-turut 2,5%, 0,9%, dan 3,2%. Hasil gunakan n-heksana berpotensi untuk di- tersebut lebih tinggi dari pada penelitian ini. kembangkan sebagai pencegahan maupun Selain itu, pada penelitian (Thara & Zuhra, pengobatan penyakit-penyakit degeneratif. 2013) yang melakukan ekstraksi dengan Nilai IC50 dari fraksi n-heksana kulit maserasi bertingkat dari kulit kayu pulai kayu pulai pada penelitian ini lebih baik,

19 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 15-24

dibandingkan dengan penelitian yang et al. (2013), dan Thara & Zuhra (2013). dilakukan oleh Antony et al. (2011) dan Menurut Tiwari et al. (2011), jenis Ramachandran et al. (2012) yang menguji kandungan fitokimia yang diperoleh akan aktivitas antioksidan dari ekstrak air (1.210 dipengaruhi oleh faktor eksternal (asal µg/mL), ekstrak metanol (600 µg/mL), dan tanaman, lingkungan dan tempat tumbuh ekstrak etil asetat (50.000 µg/mL), ekstrak tanaman), dan faktor internal (kadar air, n-butanol (5.000-10.000 µg/mL) dari kulit ukuran partikel, teknik ektrasi dan jenis kayu pulai. Namun penelitian Khanum pelarut). (2014), menemukan nilai IC50 ekstrak Flavonoid, tannin, alkaloid, dan steroid kloroform kulit kayu pulai lebih baik adalah kelompok senyawa yang memiliki dengan nilai 47,7 µg/mL. Perbedaan- berbagai aktivitas yang berkaitan dengan perbedaan nilai IC50 ini diakibatkan oleh sifat keaktifan dari setiap gugus fungsi yang perbedaan jenis pelarut dan teknik ektraksi dimilikinya, seperti untuk antioksidan, anti- sehingga komposisi komponen fitokimia mikroba, anti-inflamasi, antikanker, dan yang dihasilkan menjadi berbeda (Elfalleh antidiare (Tiwari et al., 2011; Saxena et al., et al., 2012). 2013). Pada penelitian ini menunjukkan fraksi n-heksana mempunyai hasil negatif C. Komponen Fitokimia Fraksi n- dalam kandungan tanin tetapi positif heksana mengandung flavonoid. Flavonoid merupa- Analisis fitokimia fraksi n-heksanaa kan metabolit sekunder golongan phenol bertujuan mengidentifikasi metabolit se- yang memiliki gugusan hidroksil yang kunder dalam fraksi ini. Tabel 2 menunjuk- memiliki efek antioksidan dengan cara kan hasil analisis fitokimia, dimana fraksi n- menangkap radikal bebas atau mencegah heksana positif mengandung flavonoid, pembentukan radikal bebas dengan cara saponin, alkaloid, steroid, dan terpenoid. mengkelat ion metal (Kumar & Pandey, Selanjutnya, kandungan alkaloid yang 2013). Demikian juga halnya dengan terdeteksi pada fraksi n-heksana dapat alkaloid yang merupakan metabolit sekun- terdeteksi juga pada fraksi air, metanol, etil der, mengandung nitrogen, disintesis dari asam amino yang mengandung gugus asetat, n-butanol penelitian (Antony et al., fungsional hidroksil (Civjan, 2012). Steroid 2011; Saxena et al., 2013; Thara & Zuhra, 2013). Kandungan steroid yang positif pada juga memiliki aktivitas antioksidan yang mempunyai gugus hidroksil seperti estrogen fraksi n-heksana berkesesuaian dengan hasil penelitian Antony et al. (2011) namun dan asam lemak omega 3 (Mooradian, berlawanan dengan hasil penelitian Saxena 1993).

Tabel (Table) 1. Nilai persentase inhibisi dan IC50 vitamin C dan Fraksi n-heksana (Percentage Inhibition and IC50 value of vitamin C and n-hexane fraction) Vitamin C Fraksi n-heksana (Vitamin C) (n-Hexane fraction) [µg/mL] Rata-rata % inhibisi IC50 (µg/mL) ± SD [µg/mL] Rata-rata % inhibisi IC50 (µg/mL) ± SD (Average of % (Average of % inhibition) inhibition) 20 97,06 400 94,79 10 89,10 200 85,79 5 46,47 100 61,08 4,14 ± 0,45 65,28 ± 1,30 2,5 22,74 50 37,29 1,25 11,45 25 21,83 0,63 6,26 12,5 11,71

20 Aktivitas Antioksidan dan Komponen Fitokimia Fraksi N-Heksana Kulit Kayu Pulai... (Zuraida)

Tabel (Table) 2. Komponen fitokimia fraksi n-heksana kulit kayu pulai (Phytocemical compunds of n-hexane fraction of Alstonia scholaris bark) Uji Fraksi n-heksana Keterangan Pembanding (Test) (n-Hexane fraction) (Remarks) (Comparison) Flavonoid Terbentuk warna kuning (Flavonoids) pada lapisan atas (Yellow color on the top layer formed) +++ (Daun sirih merah) ++ (Piper ornatum leaves) Saponin Terbentuk busa yang (Saponin) stabil (Stable foam formed)

++ +++ (Daun kumis kucing) (Orthosiphon aristatus leaves) Tanin Tidak terbentuk warna (Tannin) biru atau hijau kehitaman (No blue or green blackish color formed) ̶ +++ (Teh) Camellia sinensis Alkaloid (Alkaloids) -Dragendorf Terbentuk endapan merah ( Dragendorf) (Red sedimentation formed)

++ +++ (Daun tapak dara) (Catharanthus roseus leaves) -Wagner Terbentuk endapan coklat (Wagner) (Brown sedimentation formed) +++ +++ (Daun tapak dara) (Catharanthus roseus leaves) -Mayer Tidak terbentuk endapan (Mayer) putih (No white sedimentation

̶ formed) +++ (Daun tapak dara) (Catharanthus roseus leaves) Steroid Terbentuk warna hijau (Steroids) seulas (Flash green color formed) +++ (Daun katuk) + (Sauropus androgynus leaves) Terpenoid Terbentuk warna merah (Terpenoids) keunguan seulas (Purplish red color formed) + +++ (Temulawak) (Curcuma zanthorrhiza) Keterangan (Remarks): a(+++): Tinggi (High); (++): Rendah (Low); (+): Sangat rendah (Very Low); (–): Tidak ada (Not identified)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN dengan n-heksana memiliki nilai IC50 sebesar 65,28 µg/mL, dan termasuk A. Kesimpulan aktivitas antioksidan yang kuat (50

21 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 15-24

kelompok senyawa flavonoid, saponin, scholaris. Pharmacognosy Journal, alkaloid, steroid, dan terpenoid. Kelompok 3(26), 13–18. https://doi.org/10.5530/ senyawa favonoid, alkaloid, dan steroid pj.2011.26.3 pada kulit kayu pulai diprediksi berperan Aranda, R., Lopez, L., Arroyo, J., Garza, B., sebagai antioksidan untuk mencegah & Torres, N. (2011). Antimicrobial terjadinya rekasi oksidatif akibat radikal and antioxidant activities of plants bebas. from Northeast of Mexico. Evidence- Based Complementary and Alternative B. Saran Medicine, 2011, 1–7. https://doi.org/ Kulit kayu pulai sebagaimana hasil 10.1093/ecam/nep127 penelitian ini menunjukkan potensi untuk Birben, E., Murat, U., Md, S., Sackesen, C., dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan. Erzurum, S., & Kalayci, O. (2012). Namun penelitian lanjutan masih Oxidative stress and antioxidant defense. WAO Journal, 5, 9–19. diperlukan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif meliputi penambahan https://doi.org/10.1097/WOX. metode uji antioksidan lain baik secara in- 0b013e3182439613 vivo dan in-vitro. Cerullo, F., Gambassi, G., & Cesari, M. (2012). Rationale for antioxidant

supplementation in sarcopenia. UCAPAN TERIMA KASIH Journal of Aging Research, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/316943 Penulis mengucapkan terima kasih kepada Civjan, N. (2012). Natural Products in Saepul Rahmat, S.Si. dan Siti Khodijah, Chemical Biology. (N. Civjan, Ed.). A S.Si., dan laboran atas bantuannya di John Wiley & Sons, Inc., Publication. laboratorium. Terima kasih juga kepada Croteau, R., Kutchan, M. T., & Lewis, N. G. Pusat Studi Biofarmaka, LPPM IPB yang (2000). Natural Products (Secondary telah memberikan kesempatan kepada Metabolites). In Natural Products penulis untuk melaksanakan penelitian. (Secondary Metabolites) (pp. 1250– 1318). American Society of Plant Physiologists, Rock Ville. DAFTAR PUSTAKA Dhruti, M., Bhavika, P., & Meonis, P. Al-Dalaen, S. M., & Al-Qtaitat, A. (2014). (2016). Studies on phytochemical Review Article: Oxidative Stress constituents and antioxidant activity of Versus Antioxidants. American Alstonia scholaris. International Journal of Bioscience and Journal of Life Science, 4(4), 529–538. Bioengineering, 2(5), 60–71. Elfalleh, W., Hannachi, H., Tlili, N., Yahia, https://doi.org/10.11648/j.bio.201402 Y., Nasri, N., & Ferchichi, A. (2012). 05.11 Total phenolic contents and Andersen, O., & Markham, K. (2006). antioxidant activities of pomegranate Flavonoids. Chemistry, Biochemistry peel, seed, leaf and flower. Journal of and Applications. Angewandte Chemie Medicinal Plants Research, 6(20), International Edition. 4724–4730. https://doi.org/0-8493-2021-6 https://doi.org/10.5897/JMPR11.995 Antony, M., Menon, D., James, J., Dev, L., Fadhli, H. (2013). Studi Metabolit Sekunder Arun, K., & Thankamani, V. (2011). dari Kulit Batang Pulai Basung Phytochemical analysis and (Alstonia spatulata Bl). Universitas antioxidant activity of Alstonia Riau.

22 Aktivitas Antioksidan dan Komponen Fitokimia Fraksi N-Heksana Kulit Kayu Pulai... (Zuraida)

Fidrianny, I., Puspitasari, N., & Singgih, M. Meena, A., Nitika, G., Jaspreet, N., Meena, (2014). Antioxidant activities, total R., & Rao, M. (2011). Review on flavonoid, phenolic, carotenoid of ethnobotany , phytochemical and various shells extracts from four pharmacological profile of Alstonia species of legumes. Asian Journal of scholaris. International Research Pharmaceutical and Clinical Journal of Pharmacy, 2(1), 49–54. Research, 7(4), 42–46. Mooradian, A. D. (1993). Antioxidant Firdayani, F., & Agustini, T. (2015). properties of steroids. J Steroid Ekstraksi senyawa bioaktif sebagai Biochem Mol Biol., 45(6), 509–511. antioksidan alami spirulina platensis Ningsih, N. F., Ratnasari, E., & Faizah, U. segar dengan pelarut yang berbeda. (2014). Pengaruh ekstrak daun kumis Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan kucing (Orthosiphon aristatus) Indonesia, 18(1), 28–37. https://doi. terhadap mortalitas hama wereng org/10.17844/jphpi.2015.18.1.28 coklat (Nilaparvata lugens). Lentera Gomes, E., Silva, A., & Oliveira, M. (2012). Bio, 5(1), 14–19. Oxidants, antioxidants, and the Noorhidayah, N. (2006). Potensi dan beneficial roles of exercise-induced keanekaragaman tumbuhan obat di production of reactive species. hutan kalimantan dan upaya Oxidative Medicine and Cellular konservasinya. Jurnal Analisis Longevity, 2012, 1–13. Kebijakan Kehutanan, 3(2), 95–107. https://doi.org/10.1155/2012/756132 https://doi.org/10.20886/jakk.2006.3.2 Gunn, B. V., Stevens, P., Singadan, M., .95-107 Sunari, L., & Chatterton, P. (2004). Nurcholis, W., Purwakusumah, E., Resource Management in Asia - Rahardjo, M., & Darusman, L. (2012). Pacific Working Paper No . 51 Variasi bahan bioaktif dan bioaktivitas Eaglewood in Papua New Guinea. tiga nomor harapan temulawak pada Resource Management in Asia-Pacific lokasi budidaya berbeda. J. Agron. Program Research School of Pacific Indonesia, 40(2), 153–159. and Asian Studies The Australian Pacome, O., Bernard, D., Sekou, D., Joseph, National Universit, 1–18. D., David, N., Mongomake, K., & Harborne, J. (1998). Phytochemical Hilaire, K. (2014). Phytochemical and Methods: A guide to Modern antioxidant activity of roselle Techniques of Plants Analysis (3rd (Hibiscus Sabdariffa L.) petal extracts. ed.). Chapman and Hall. Research Journal of Pharmaceutical, Khanum, S. (2014). Pharmacological Biological and Chemical Sciences, Investigation of the Chloroform 5(2), 1453–1465. Extracts of Alstonia Scholaris (L.) Partap, S., & Pandey, S. (2012). A review R.Br. Journal of Pharmaceutical & on herbal antioxidants. Journal of Scientific Innovation, 3(1), 14–19. Pharmacognosy and Phytochemistry, https://doi.org/10.7897/2277- 1(4), 26–37. 4572.03198 Pricylia, T. (2012). Ekstraksi Alkaloid Kumar, S., & Pandey, A. K. (2013). Dalam Daun : Universitas Chemistry and biological activities of Pembangunan Nasional “Veteran” flavonoids. Hindawi The Scientific Jawa Timur. World Journal, 2013(12), 533–548. Purnama, N. (2017). Identifikasi Senyawa https://doi.org/10.1016/j.tifs.2005.08. Flavonoid pada Tumbuhan Daun Sirih 006 (Piper batle L.). In Prosiding Seminar

23 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 15-24

Nasional MIPA III (pp. 437–441). (2013). Antibacterial efficacy of Langsa-Aceh: www.conference. Alstonia Scholaris (L.) R. Br. stem unsyiah.ac.id/SN-MIPA. bark extracts. Research Journal of Purnama, R. (2015). Aktivitas antioksidan, Pharmaceutical, Biological and kandungan total fenol, dan flavonoid Chemical Sciences, 4(1), 964–970. lima tanaman hutan yang berpotensi Sen, S., Chakraborty, R., Sridhar, C., sebagai obat alami. [Skripsi]. Institut Reddy, Y., & De, B. (2010). Free Pertanian Bogor. radicals, antioxidants, diseases and Putranto, H. D., Ginting, S. M., phytomedicines: Current status and Nurmeliasari, & Yumiati, Y. (2014). future prospect. International Journal Skrining senyawa metabolit steroid of Pharmaceutical Sciences Review sebagai hormon reproduksi ternak and Research, 3(1), 91–100. pada tanaman katuk dan jantung https://doi.org/10.1002/ptr.1897 pisang. Jurnal Peternakan Indonesia, Thara, K. M., & Zuhra, F. (2013). 16(1), 20–26. Biochemical, HPLC, LC-MS analysis Ramachandra, Y., Ashajyothi, C., & Rai, S. and biological activities of methanol (2012). Antioxidant activity of extract of Alstonia Scholaris. Alstonia scholarsis extracts containing International Journal of Phytotherapy, flavonoid and phenolic compounds. 3(2), 61–74. International Journal of Pharmacy Tiwari, P., Kumar, B., Kaur, M., Kaur, G., and Pharmaceutical Sciences, 4(3), & Kaur, H. (2011). Phytochemical 424–426. screening and extraction - A review. Ramachandran, A., Snehalatha, C., Shetty, Internationale Pharmaceutica A. S., & Nanditha, A. (2012). Trends Sciencia, 1(1), 98–106. in prevalence of diabetes in Asian Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, countries. World J Diabetes., 3(6), M., Mazur, M., & Telser, J. (2007). 110–117. https://doi.org/doi: Free radicals and antioxidants in 10.4239/wjd.v3.i6.110. normal physiological functions and Savolainen, H. (1992). Tannin content of tea human disease. The International and coffee. Journal of Applied Journal of Biochemistry & Cell Toxicology, 12(3), 191–192. Biology, 39, 44–84. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ https://doi.org/10.1016/j.biocel.2006.0 jat.2550120307 7.001 Saxena, N., Shrivastava, P., & Saxena, R.

24 ANALISIS HABITAT KOLONI LEBAH HUTAN APIS DORSATA DAN KUALITAS MADU YANG DIHASILKAN DARI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) RANTAU, KALIMANTAN SELATAN (Assessing Habitat of Apis dorsata Honey Bee Colonies and Its Honey Quality Produced from Rantau Forest Research Station, South Kalimantan)

Yelin Adalina

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No 5, Kotak Pos 165, Bogor 16610, Jawa Barat, Indonesia Telp. (0251) 8633234, 520067, Fax. (0251) 863111 Email: [email protected]

Tanggal diterima: 6 Maret 2018; Tanggal direvisi: 8 Mei 2018; Tanggal disetujui: 4 Juni 2018

ABSTRACT Forest Area with Special Purpose (KHDTK) Rantau is a research forest (HP) in South Kalimantan where there is a beehive tree (sialang ) regularly inhabited by Apis dorsata forest bee colonies. The existence of sialang trees are sources of honey for forest honey collectors around the area. The research was conducted to determine (1) the potential of Rantau HP as sialang habitat and (2) the quality of honey produced through survey and observation approaches. Vegetation analysis was used to determine the vegetation structure of plants of bee feed sources in the beehive siege habitat. The physicochemical test of honey was used to analyze the quality of honey based on water content, pH, hydroxymethylfurfural (HMF) content, acidity level, reducing sugar content, and phytochemical content. The analysis showed that there were 17 species of tree, 7 species of poles, 7 species of saplings and 8 species of seedlings. The highest Important Value Index (IVI) at the tree level was Acacia mangium (62.0%) as the source of the nectar, at pole level was Vitex pinnata (63.2%) as the source of pollen, at the sapling level was Glochidion sp. (53.5%) as the source of pollen, and at level of seedlings was Ficus variegata (34.3%) as the source of pollen. The results of laboratory analysis showed that harvested forest honey meet the Indonesian National Standard (SNI) 01-3545-2013, with the exception of the water content. Honey contains phytochemical components of flavonoids, alkaloids, saponins, and triterpenoids. Key words: Vegetation analysis, Apis dorsata , honey quality, bee forages

ABSTRAK Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rantau merupakan hutan penelitian (HP) di Kalimantan Selatan dimana terdapat pohon sialang yang secara regular dihuni koloni lebah hutan Apis dorsata . Keberadaan pohon sialang menjadi sumber penghasil madu bagi pemungut madu hutan di sekitar kawasan. Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui (1) potensi HP Rantau sebagai habitat sialang dan (2) kualitas madu yang dihasilkan melalui pendekatan survei dan observasi. Analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui struktur vegetasi tumbuhan sumber pakan di habitat kepungan sialang. Uji fisikokimia madu digunakan untuk menganalisis kualitas madu berdasarkan kadar air, pH, kandungan hidroksimetilfurfural (HMF), kadar keasaman, kandungan gula pereduksi, dan kandungan fitokimia. Hasil analisis vegetasi menunjukkan spesies sumber pakan terdapat 17 jenis untuk tingkat pohon, 7 jenis tingkat tiang, 7 jenis tingkat pancang dan 8 jenis tingkat semai. Nilai INP tertinggi tingkat pohon adalah Acacia mangium (62,0%) sebagai sumber nektar, tingkat tiang Vitex pinnata (63,2 %) sebagai sumber polen, tingkat pancang Glochidion sp. (53,5%) sebagai sumber polen , dan tingkat semai Ficus variegata (34,3%) sebagai sumber polen. Hasil analisis laboratorium menunjukkan madu hutan hasil panen di KHDTK Rantau memenuhi sebagian kriteria (Standar Nasional Indonesia, 2013) (SNI) 01-3545-2013, terkecuali kadar air. Madu mengandung komponen fitokimia flavonoid, alkoloid, saponin, dan triterpenoid. Kata kunci: Analisis vegetasi, Apis dorsata , kualitas madu, tumbuhan pakan lebah madu

25 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

I. PENDAHULUAN sumber daya hutan yang besar, di antaranya Proses co-evolusi yang sangat panjang hasil hutan non kayu berupa madu hutan. telah membentuk pola hubungan yang KHDTK Rantau memiliki luas 180 ha, saling menguntungkan antara lebah madu secara administratif berada di wilayah dengan tumbuhan berbunga (angiosperm) Kabupaten Tapin, Propinsi Kalimantan (Bloch, Bar-Shai, Citter, & Green, 2017). Selatan. Madu hutan yang dihasilkan dari Tumbuhan terbantu dalam proses pe- KHDTK Rantau merupakan hasil perburuan nyerbukan yang diperlukan untuk regene- koloni lebah hutan jenis Apis dorsata yang rasi, sedangkan lebah memperoleh makanan bersarang menggantung di dahan pohon. berupa nektar dan serbuk sari (polen). Bagi Apis dorsata merupakan salah satu lebah madu, nektar dan serbuk sari jenis lebah madu yang sebaran aslinya merupakan makanan eksklusif yang secara mencakup sebagian besar wilayah alami hanya dapat diperoleh dari tumbuhan. Indonesia dan dikenal memiliki tingkat Nektar menjadi sumber karbohidrat dan produktivitas tinggi. Apis dorsata tergolong serbuk sari sebagai sumber protein, lemak, lebah liar yang belum dapat dibudidayakan vitamin, dan mineral (Abrol, 2011).Kedua sehingga pemanenan hanya dilakukan jenis makanan ini diperlukan untuk mem- melalui aktivitas perburuan di kawasan pertahankan kehidupan serta menjaga hutan. Hasil pemungutan madu hutan pertumbuhan dan perkembangan koloni diyakini merupakan penyumbang terbesar (Sajjad, Ali, & Saeed, 2017) Ketergantung- produksi madu dalam negeri Indonesia an pada nektar dan serbuk sari menjadikan (Nagir, Atmowidi, & Kahono, 2016; perkembangan dan populasi lebah madu Kahono, Chantawannakul, & Engels, 2018; sepenuhnya ditentukan oleh ketersediaan Kuntadi & Ginoga, 2018). Pemungutan tumbuhan dan musim berbunganya. Hutan madu hutan di sekitar wilayah hutan dengan kekayaan flora berbunga yang tinggi KHDTK Rantau diperkirakan meng- dan beragam menjadi habitat yang baik hasilkan madu sekitar 50 liter per tahun yang mampu menyediakan pakan bagi lebah dengan musim panen rata-rata sebanyak 2 madu (Rosmalinasiah, Malamassam, kali per tahun (Masrun, 2017, wawancara Paembonan, & Yusuf, 2015; Mensah, pribadi) Veldtman, & Seifert, 2017). Selain A. dorsata, di KHDTK Rantau Indonesia memiliki kawasan hutan terdapat jenis lebah madu lainnya yaitu tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brazil beberapa jenis kelulut ( stingless bees ) dan dan Kongo dengan kelimpahan berupa flora Apis cerana (Edi, Beny, Manaom, Hendra dan fauna yang sangat tinggi (Purba et al ., & Isa, 2016). Keberadaan berbagai jenis 2014). Hutan banyak mem-berikan manfaat lebah di kawasan ini ditunjang oleh dan hasil bagi negara dan masyarakat lokal tersedianya beragam jenis tumbuhan ber- di sekitar hutan. Selain hasil kayu, hutan bunga yang menjadi sumber pakan lebah juga memberikan hasil hutan non kayu yang madu. Bagi lebah A. dorsata , hutan juga bernilai ekonomi seperti tanaman berkhasiat menyediakan habitat untuk tempat ber- obat, tanaman endemik bernilai estetika sarang berupa pohon berhabitus tinggi tinggi, madu hutan, dan produk lainnya (Hadisoesilo & Kuntadi, 2007; Thomas et (Hermita, 2014; Kusumo, Bambang & al., 2009; Nagir et al., 2016; Sihag, 2017). Izzati, 2016) Beberapa komunitas masyarakat sekitar Kawasan Hutan Dengan Tujuan hutan biasa menyebut pohon yang dihuni Khusus (KHDTK) Rantau merupakan areal sarang lebah hutan sebagai pohon sialang. hutan penelitian yang memiliki potensi Jenis pohon sialang sangat beragam (Thomas et al., 2009; Nagir et al., 2016;

26 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

Sihag, 2017), dengan kata lain koloni lebah Kecamatan Batan Piani, Kabupaten Tapin, hutan tidak memiliki preferensi khusus Provinsi Kalimantan Selatan. terhadap species pohon tertentu sebagai tempatnya bersarang (Thomas et al., 2009). B. Bahan dan Alat Menurut Thomas et al. (2009), salah satu Bahan dan alat yang digunakan terdiri karakteristik yang menonjol dari pohon dari bahan dan alat bantu untuk analisis sialang yaitu terisolir dan terbesar di antara vegetasi dan analisis madu. Bahan analisis rata-rata komunitas tumbuhan di kepungan- vegetasi yakni plot pengamatan di KHDTK nya. Pengamatan Nagir et al. (2016) di Rantau seluas 0,48 ha. Alat bantu analisis daerah Sulawesi menunjukkan kepungan vegetasi terdiri dari haga hypsometer untuk pohon sialang berupa hutan primer dengan mengukur tinggi pohon, phi band untuk vegetasi yang padat dan bervariasi. mengukur diameter pohon, peralatan untuk Penelitian telah dilakukan untuk pembuatan plot, dan tally sheet untuk mengetahui lebih dalam KHDTK Rantau mencatat data hasil pengukuran. sebagai penghasil madu hutan melalui Bahan analisis madu berupa sampel analisis vegetasi dan uji mutu hasil madu. madu hasil panen masyarakat masing- Analisis vegetasi dilakukan untuk mengkaji masing sebanyak 300 ml, dan bahan-bahan bagaimana struktur vegetasi tumbuhan untuk keperluan analisis di laboratorium. sumber pakan di kepungan pohon sialang di Peralatan yang digunakan meliputi alat uji KHDTK Rantau dilihat dari indeks nilai di lapangan (refraktometer, dll) dan alat uji penting (INP) dan keragaman jenis tum- di laboratorium (GCMS, HPLC, dll.). buhan penyusunnya. Uji mutu madu dimaksudkan untuk menilai kualitas madu C. Metode yang diproduksi dari kawasan hutan Penelitian dilakukan dengan metode KHDTK Rantau. Hasil penelitian diharap- deskriptif, dengan memadukan analisis kan dapat menjadi rujukan pengelola kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan yang KHDTK dalam setiap upaya menjaga, dipakai adalah pendekatan survei dan memperbaiki dan meningkatkan produksi observasi. madu sebagai salah satu jenis unggulan HHBK. 1. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi sumber pakan lebah II. BAHAN DAN METODE madu dilakukan di blok 1 melalui pen- dataan jenis dan pengukuran tinggi dan A. Waktu dan lokasi Penelitian diameter pohon . Pendataan dan peng- Penelitian dilakukan pada bulan ukuran dilakukan pada setiap tingkat Oktober 2017 di KHDTK Rantau yang pertumbuhan pohon menggunakan metode berada di Kabupaten Tapin, Propinsi jalur berpetak. Petak berukuran 20 x 20 m 2 Kalimantan Selatan. KHDTK Rantau untuk tingkat pohon, 10 x 10 m 2 untuk merupakan kawasan hutan yang dikelola tingkat tiang, 5 x 5 m 2 untuk tingkat oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) pancang, dan 2 x 2 m 2 untuk semai. Banjarbaru dan diperuntukkan untuk Jalur dibuat sepanjang 380 m mengikuti tujuan penelitian. Penelitian dilakukan di arah mata angin dengan titik pusatnya lokasi dimana terdapat kegiatan pohon tempat sarang lebah hutan. Petak pemungutan madu hutan, yakni di blok 1 ukur dibuat di sepanjang jalur sebanyak 4 yang berada di wilayah Desa Bitahan petak ukuran 20 x 20 m 2 pada masing Baru, Kecamatan Lokpaikat, dan di blok masing arah Barat, Timur dan Selatan dari 10 yang masuk wilayah Desa Baramban,

27 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

tempat bersarangnya lebah hutan ( Apis Kerapatan relatif KJ x 100% dorsata ), sedangkan arah Utara tidak (Relative Density) = (KR) KT dilakukan pembuatan petak ukur karena berbatasan dengan sungai, jalan raya dan Dominasi ∑ luas bidang dasar galian batubara. Petak ukur dibuat berselang (Dominance) = seling di kiri dan kanan jalur dengan jarak (D) luas petak contoh antara petak 100 m (Gambar 1). Analisis Dominasi relatif DJ x 100% vegetasi dilakukan pada 1 buah pohon (Relative Dominance) = sialang yang digunakan sebagai titik sumbu. (DR) DT

Frekwensi ∑PJ 2. Analisis Kualitas Madu = (Frequency) (F) Sebanyak 2 sampel madu diperoleh dari ∑PT 2 lokasi pemanenan. Sampel madu dari blok Frekwensi relatif DJ x 100% 10 diperoleh dari pemungut madu hutan (Relative Frequency) = sebanyak 500 ml yang dikemas dalam botol (FR) FT plastik sedangkan sampel madu dari blok 1 diperoleh langsung dari hasil pemanenan di Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat lokasi penelitian sebanyak 300 ml. Kondisi tiang dan pohon ditentukan dengan rumus: kedua sampel madu tersebut merupakan INP = (KR) + (DR) + (FR). madu yang baru dipanen. Indeks nilai penting (INP) untuk tingkat Analisis kualitas madu mengacu pada semai dan pancang ditentukan dengan kriteria dan standar yang ditetapkan di rumus: INP = KR + FR. dalam Standar Nasional Indonesia (2013) Tingkat keanekaragaman spesies (SNI) 01-3545-2013 tentang madu. tumbuhan dihitung dengan menggunakan Parameter kualitas madu yang dianalisis Indeks Keanekaragaman (H’) Shannon – terdiri dari kadar air, pH, keasaman, Wiener (Fachrul, 2012) dengan rumus hidroksimetilfurfural (HMF), dan gula sebagai berikut : pereduksi. Selain itu, dilakukan analisis H’ = ∑ log fitokimia. Analisis kualitas madu dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Keterangan (Notes ) : Pengembangan Hasil Hutan, sedangkan H’ = Indeks Keanekaragam Shannon- analisis fitokimia dilakukan di Wiener (Shannon-Wiener Diversity Laboratorium Biofarmaka, Bogor. Index) ni = Jumlah individu jenis ke i ( Number D. Analisis Data of individual of ith species) 1. Data Vegetasi N = Jumlah total individu seluruh jenis Data vegetasi dianalisis untuk (Total number of individuals of all menentukan Indeks Nilai Penting (INP) species) berdasarkan kerapatan jenis, dominansi dan frekuensi menggunakan rumus sebagai 2. Data Madu berikut (Fachrul, 2012): Data hasil pengukuran kualitas madu dianalisis secara deskriptif. Mutu madu Kerapatan suatu ∑individu suatu jenis yang dihasilkan dari KHDTK Rantau jenis (Density of = luas seluruh petak contoh ditentukan dari perbandingan antara hasil a species) (KJ) pengukuran sampel madu dengan standar kualitas madu menurut SNI 01-3545-2013.

28 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

Gambar ( Figure ) 1. Petak ukur vegetasi ( Vegetation measuring plot ) Sumber (Source ): Fachrul (2012)

Keterangan (Notes ): a. Petak ukur tingkat semai (seedling level measuring plot) (2x2) m2; b. petak ukur tingkat pancang (sapling level measuring plot) (5x5) m2; c. petak ukur tingkat tiang (pole level measuring plot) (10x10) m2; d. petak ukur tingkat pohon (tree level meaurisng plot) (20x20) m2

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Schmidt dan Fergusson termasuk bertipe iklim B, dengan curah hujan rata- A. Kondisi Umum Wilayah Penelitian rata 1.000 – 2.000 m per tahun dan KHDTK Rantau ditetapkan melalui SK kelembaban udara 78%. Sebagian besar Menteri Kehutanan No 177/Menhut-II/2005 vegetasi merupakan tanaman reboisasi sejak dengan luas 180 ha. Kondisi tutupan lahan tahun 1980 sampai 1990 yang terdiri dari pada tahun 2015 terdiri dari 19,91 ha jenis akasia ( Acacia mangium), johar ilalang, 23,35 ha belukar, 0,14 ha danau (Cassia siamea), gmelina (Gmelina bekas galian, 32,15 hutan sekunder, 110,78 arborea), Shorea spp, rotan ( Calamus ha hutan tanaman, dan 11,36 ha areal rotang ), ulin (Eusideroxylon zwageri ) dan terbuka. Secara geografis, KHDTK Rantau mersawa (Anisopthera marginata) (Edi et terletak pada 02 o57” – 02 o59” Lintang al., 2016). Selatan (LS) dan 115 o13” – 115 o15” Bujur Timur (BT). Berdasarkan SK Menhut No B. Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber 435/Kpts-II/2009, KHDTK Rantau Pakan Lebah Madu termasuk dalam kawasan hutan produksi. Secara administrasi, KHDTK Rantau Hasil analisis vegetasi pada tingkat termasuk dalam tiga desa dan tiga pohon dan permudaannya (tiang, pancang kecamatan, yaitu Desa Baramban dan semai) menunjukkan terdapat 17 jenis Kecamatan Piani, Desa Bitahan Kecamatan untuk tingkat pohon, 10 jenis tingkat tiang, Lok Paikat dan Desa Kelumpang 12 jenis tingkat pancang dan 12 jenis tingkat Kecamatan Bungur. semai (Tabel 1). Di antara jenis-jenis Kondisi topografi pada umumnya datar tersebut, beberapa spesies tergolong sampai dengan bergelombang ringan hingga tumbuhan sumber pakan lebah madu, baik sedang dengan kelerengan antara 8 – 30%. sebagai penghasil nektar atau serbuk sari Jenis tanah podsolik merah kuning dan atau keduanya (Ibrahim, Balasundram, laterik. Lokasi berada pada ketinggian 100 Abdullah, Alias, & Mardan, 2012; Siombo, – 400 m di atas permukaan laut (dpl). Labiro, & Rahmawati, 2014; Mulyono,

29 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

Susdiyanti, & Supriono, 2015; Anonim, bagian lain tumbuhan. Nektar merupakan 2016; Juniastuti, 2016; Yanto & Budian, bahan baku untuk memproduksi madu 2016; Agussalim, Agus, Umami, & (Abrol, 2015). Polen atau serbuk sari Budisatria, 2017; Anonim, 2017; Sofia, merupakan benih jantan tumbuhan Zainal, & Roslinda, 2017). Nektar adalah berbunga yang dikumpulkan oleh lebah cairan manis yang disekresikan oleh madu sebagai sumber protein (Agussalim et kelenjar nektaris pada bunga atau atau al., 2017).

Tabel ( Table ) 1. Komunitas tumbuhan pada kepungan pohon sialang di KHDTK Rantau pada tingkat pohon, tiang, pancang dan semai ( Plant community at beehive tree siege in KHDTK Rantau at the level of trees, poles, saplings, and seedlings ) INP pada tiap tingkat pertumbuhan No Nama daerah Nama i lmiah (IVI at each growth level) (Number) (Local Name) (Scientific name) Pohon Tiang Pancang Semai (Tree ) (Poles ) (Sapling ) (Seedlings) Sumber nektar dan atau polen ( Sources of nectar and or pollen ) 1* Akasia Acacia mangium 62,02 46,60 12,48 2** Alaban Vitex pinnata L. 39,87 63,20 3 Balik angin Styrax camporum 13,40 4** Baranakan Glochidion sp. 19,28 55,53

5* Binderang Melastomataceae 29,52

6 Bunglau Polyscias sp. 22,88

7* Buta-buta lalat Litsea sp. 14,52

8** Ilatung Ficus variegata 34,29

9*** Jambu-jambuan Syzygium sp . 29,64 38,34 33,01

10 Jelatang Parameria sp. 9,76

11** Jengkol Archidendron 7,23 14,52 jiringa 12* Jumit Syzygium sp. 6,51

13* Karamunting Melastoma 14,52 malabathricum 14** Kayu manis Cinnamomum 7,26 burmanii 15*** Kemiri Rantau Aleurites 11,83 scholaris 16* Keruing Dipterocarpus 7,06 spp. 17*** Kopi hutan Fagraea recenosa 6,58

18 Kuminting Scaphium 14,09 Rantau macropodum 19** Litu Lygodium 14,52 circinatum (Burm.) Sw. 20 Lua kujajing Cinnamomum 14,76 sintoc 21 Luwa Daemonorops 19,52 jenkinsiana

30 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

Tabel ( Table ) 1. Continued INP pada tiap tingkat pertumbuhan No Nama daerah Nama i lmiah (IVI at each growth level) (Number) (Local Name) (Scientific name) Pohon (Tree ) Tiang Pancang Semai (Poles ) (Sapling ) (Seedlings) Sumber nektar dan atau polen ( Sources of nectar and or pollen ) 22 Madang pirawas Litsea castanea 29,98 28,27 23** Madang puspa Schima wallichii 14,34 24 Madang putih Litsea 52,57 cassiaefolia BL 25* Medang Litsea resinosa 9,59 13,25 9,86 26* Medang habang Schima wallichii 46,26 46,19 37,56 27** Meranti merah Shorea selanica 11,02 Blume. 28 Mersawa Anisopthera 16,14 marginata 29* Palawan Tristaniopis 11,94 merguensis Gri 30* Pulai Alstonia scholaris 15,31 31* Putat Barringtonia 6,62 actutangula 32*** Randu Ceiba pentandra 6,51 33 Rawali Ficus padana 17,02 34 Sapitundang Canthium sp. 11,40 35* Sungkai Peronema 13,86 12,21 canescens 36** Tampang Artocarpus sp. 11,91 37* Tembesu Fragraea fragan 7,66 38** Uduk-uduk Archidendron 9,76 jiringa Keterangan (Notes ): Nama spesies dengan tanda bintang (*) adalah jenis tumbuhan yang termasuk sumber pakan lebah madu. (Species name with asterisk (*) is a species of feed source of honey bees) * = Nektar (Nectar) ; ** = Polen (Polen) ; *** = Nektar dan polen (Nectar and polen)

Perkembangan koloni lebah madu > 15%, sedangkan INP > 10% terdapat 11 sangat tergantung dari keterserdiaan pakan jenis tingkat pancang dan 9 jenis tingkat lebah madu. Banyaknya jenis tumbuhan semai (Tabel 2). INP adalah nilai yang tingkat pohon dan permudaannya sebagai menggambarkan peranan keberadaan suatu sumber pakan lebah madu di KHDTK jenis dalam komunitas. Semakin besar nilai Rantau menunjukkan bahwa keteserdiaan INP semakin besar peranan jenis tersebut nektar dan polen tercukupi. Hal ini dalam komunitas (Kainde, Ratang, Tasirin, dibuktikan dengan adanya agregasi koloni & Faryanti, 2011). Satu jenis dapat lebah hutan yang secara rutin bersarang di dikatakan berperan jika nilai INP untuk pohon lebah yang ada di KHDTK Rantau tingkat semai dan pancang ≥10% dan untuk dengan produksi madu rata-rata 50 liter per tingkat tiang dan pohon memiliki nilai INP tahun (Masrun, 2017, wawancara pribadi). ≥ 15% (Pamoengkas & Zamzam, 2017). Berdasarkan hasil analisis Indeks Nilai Nilai INP tertinggi pada vegetasi Penting (INP), terdapat 5 jenis tingkat tingkat pohon adalah Acacia mangium yaitu pohon dan 7 jenis tingkat tiang dengan INP sebesar 62% dan terendah adalah Alstonia

31 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

scholaris sebesar 15,31%. Nilai INP Hasil analisis Indeks keanekaragaman tertinggi tingkat tiang adalah Vitex pinnata Shannon–Wiener (H’) didapat indeks yaitu sebesar 63,20 % dan terendah adalah keanekaragaman sebesar 2,43 untuk tingkat Anisopthera marginata sebesar 16,14%, pohon, 2,27 tingkat tiang, 2,41 tingkat pada tingkat pancang INP tertinggi adalah pancang dan 2,36 tingkat semai. Indeks Glochidion sp. yaitu sebesar 53,53% dan keanekaragaman Shannon–Wiener (H’) terendah Canthium sp. sebesar 11,40% dan menggambarkan keanekaragaman spesies, pada tingkat semai INP tertinggi adalah produktivitas ekosistem, tekanan pada Ficus variegata sebesar 34,29% dan ekosistem dan kestabilan ekosistem, di terendah Melastoma malabathricum, Litsea mana semakin tinggi nilai H’ semakin tinggi sp, Lygodium circinatum (Burm.) Sw . dan keanekaragaman spesies, produktivitas Archidendron pauciflorum yaitu sebesar ekosistem, tekanan pada ekosistem dan 14,52 %. Fachrul (2012) mengkategorikan kestabilan ekosistem (Harnanda, Hardinal, nilai INP > 42,66 tergolong tinggi, nilai INP & Linda, 2018). Mengutip pendapat 21,96 – 42,66 kategori sedang, dan nilai INP Indriani, Puspa, Marisa, & Zakaria (2009) < 21,96 dikategorikan rendah. Berdasarkan dalam klasifikasi nilai indeks klasifikasi tersebut maka Acacia mangium, keanekaragaman Shannon-Wiener, maka Vitex pinnata dan Glochidion sp. termasuk nilai H’ yang diperoleh dari penelitian ini kategori nilai INP tinggi sedangkan Ficus menunjukkan indeks keanekaragaman di variegata kategori sedang. lokasi penelitian pada tingkat pohon, tiang, Jenis tumbuhan Acacia mangium, pancang dan semai pada kategori Schima wallichii , dan Melicoccus sp . keanekaragaman sedang. ditemukan pada tingkat pohon, tingkat tiang Indriani et al ., (2009) mengklasifikasi- dan tingkat pancang. Keberadaan ketiga kan nilai indeks keanekaragaman Shannon- jenis ini menunjukkan bahwa ketiganya Wiener dalam 3 kategori yaitu rendah (jika mampu berkembang dengan baik, termasuk nilai H’ < 1) sedang (jika nilai H’ antara 1 – tumbuh di bawah naungan pohon. Acacia 3), tinggi jika nilai H’ > 3. Tingkat mangium merupakan jenis tanaman yang keanekaragaman jenis tersebut memper- dapat beradaptasi dengan baik pada tanah lihatkan ketersediaan jenis tumbuhan tropis lembab, dataran rendah dan tanah berbunga yang cukup beragam yang masam (Krisnawati, Kallio, & Kanninen, semuanya dapat dimanfaatkan lebah madu 2011). Tanaman ini termasuk penghasil sebagai sumber pakan, baik sebagai sumber nektar yang baik dan durasi sekresinya nektar maupun serbuk sari. Selain itu, berjangka panjang karena berasal dari ketersedian permudaan berbagai jenis kelenjar ekstra flora ( extrafloral nectaries ). tumbuhan kategori sumber pakan yang Kelenjar nektar A. mangium terdapat di secara alami tumbuh di bawah tegakan setiap pangkal daun di bagian petiole menunjukkan adanya jaminan kelangsung- (Graham, Raine, Matthew, & Pat, 2003) an regenerasi di masa datang. Kondisi walaupun tidak semua kelenjar tersebut memberikan gambaran bahwa mengeluarkan nektar (Kuntadi, Adalina, & lingkungan hutan KHDTK Rantau sangat Widiarti, 2012). Pengamatan di lapangan mendukung untuk keberlangsungan hidup mendapatkan fakta bahwa A. mangium juga lebah madu. menjadi tempat bersarangnya lebah hutan (A. dorsata ).

32 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

Tabel ( Table ) 2. Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR), dan indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang dan semai (Values of relatif density (KR), relative frequency (FR) , relative dominance (DR), and important value index (IVI) of tree species, poles, sapling and seedlings) No Nama daerah Nama ilmiah ( Scientific K indv/ha KR (%) FR (%) DR (%) INP (Local Name ) name ) (IVI)% Tingkat pohon ( Tree level ) 1 Akasia Acacia mangium 361,111 245,283 108,108 266,811 620,202 2 Madang habang Schima wallichii 222,222 150,943 135,135 176,538 462,616 3 Alaban Vitex pinnata 194,444 132,075 162,162 104,507 398,744 4 Jambuan Melicoccus sp. 166,667 113,208 108,108 7,513 296,446 5 Pulai Alstonia scholaris 111,116 56,604 54,054 42,462 15,312 6 Madang puspa Schima wallichii 55,556 37,736 54,054 51,659 143,448 7 Tampang Artocarpus sp. 55,556 37,736 54,054 27,286 119,075 8 Kemiri Rantau Aleurites scholaris 55,556 37,736 54,054 26,562 118,351 9 Meranti merah Shorea selanica Blume 27,778 20,964 3,003 64,327 110,222 10 Medang Litsea resinosa 27,778 20,964 3,003 5,000 95,889 11 Tembesu Fragraea fragan 27,778 20,964 3,003 22,552 76,633 Archidendron 12 Jengkol 27,778 20,964 3,003 18,267 72,348 pauciflorum 13 Keruing Dipterocarpus spp. 27,778 20,964 3,003 16,508 70,589 Barringtonia 14 Putat 27,778 20,964 3,003 14,978 66,209 actutangula 15 Kopi hutan Fagraea recenosa 27,778 20,964 3,003 14,613 65,844 16 Randu Ceiba pentandra 27,778 20,964 3,003 13,901 65,132 17 Jumit Syzygium sp . 27,778 20,964 3,003 13,901 65,132 Jumlah ( Total ) 100 100 100 300 Tingkat tiang ( Poles level ) 1 Alaban Vitex pinnata 666,667 214,286 190,476 201,276 632,038 2 Akasia Acacia mangium 444,444 142,857 190,476 106,712 466,046 3 Madang habang Schima wallichii 444,444 142,857 142,857 150,171 46,188 4 Jambuan Syzgium sp. 333,333 107,143 95,238 155,057 383,438 5 Madang Pirawas Litsea castanea 333,333 107,143 64,266 119,132 299,894 6 Baranakan Glochidion sp. 222,222 71,429 64,266 65,802 192,850 7 Mersawa Anisopthera marginata 166,111 53,214 64,266 70,123 161,456 8 Sungkai Peronema canescens 166,111 53,214 64,266 47,319 138,653 9 Balik angin Styrax camporum 166,111 53,214 64,266 42,636 133,969 10 Medang Litsea resinosa 166,111 53,214 64,266 41,166 132,499 Jumlah ( Total) 100 100 100 300 Tingkat pancang ( Sapling level ) 1 Baranakan Glochidion sp . 0,2000 185,200 200,000 140,200 535,300 2 Madang putih Litsea cassiaefolia BL 0,1600 148,100 160,000 207,500 525,700 3 Madang habang Schima wallichii 0,1600 148,100 80,000 137,500 375,600 4 Jambuan Syzygium sp. 0,1200 111,100 120,000 88,900 330,100 5 Medang Pirawas Litsea castanea 0,1200 74,100 120,000 118,600 282,700 6 Bunglau Polyscias sp . 0,0800 71,400 80,000 64,700 228,800 7 Kuminting Scaphium macropodum 0,0400 43,667 40,000 60,567 140,900 Rantau 8 Akasia Acacia mangium 0,0400 43,667 40,000 44,367 124,800

33 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

Tabel (Table ) 2. Lanjutan ( Continued ) No Nama daerah Nama ilmiah ( Scientific K indv/ha KR (%) FR (%) DR (%) INP (Local Name ) name ) (IVI)% 9 Sungkai Peronema canescens 0,0400 43,667 40,000 41,667 122,100 Tristaniopis 10 Palawan 0,0400 43,667 40,000 38,967 119,400 merguensis Griff 11 Sapitundang Canthium sp. 0,0400 43,667 40,000 33,667 114,000 12 Medang Litsea resinosa 0,0400 43,667 40,000 28,267 98,600 Jumlah ( Total) 100 100 100 300 Tingkat semai ( Seedlings level )

1 Ilatung 0,000022 20,0 142,857 342,857 Ficus variegata 2 Binderang Melastomataceae 0,000022 20,0 952,381 295,238 Daemonorops 3 Luwa 0,000011 10,0 952,381 195,238 jenkinsiana 4 Rawali Ficus padana 0,000008 7,5 952,381 170,238 5 Lua kujajing Cinnamomum sintoc 0,000011 10,0 47,619 147,619 Melastoma 6 Karamunting 0,000006 5,0 952,381 145,238 malabathricum 7 Buta-buta lalat Litsea sp. 0,000006 5,0 952,381 145,238 Lygodium circinatum 8 Litu 0,000006 5,0 952,381 145,238 (Burm.f) sw Archidendron 9 Jengkol 0,000003 5,0 952,381 145,238 pauciflorum 10 Jelatang Parameria sp. 0,000006 5,0 47,619 97,619 11 Uduk-uduk Archidendron jiringa 0,000006 5,0 47,619 97,619 12 Kayu manis Cinnamomum burmanii 0,000003 2,5 47,619 72,619 Jumlah ( Total ) 100 100 200 Sumber ( Source ): Hasil analisis data primer, 2017 (Result of primary data analysis)

C. Kualitas Madu 2008; Balasubramanyam, 2011; Chua et al., Sampel madu diperoleh dari hasil panen 2012). lebah hutan A. dorsata yang terdapat di blok Kadar air pada madu mempengaruhi 1 dan 10 KHDTK Rantau. Tabel 3 kualitas madu (Hikmawati, Noor, & Natsir, menjelaskan asal sampel madu dan Tabel 4 2015). Madu dengan kadar air tinggi akan berisi data hasil analisis madu. cepat mengalami proses fermentasi yang berakibat menurunnya kualitas madu, 1. Kadar Air memengaruhi nilai gizi, dan meningkatkan Hasil analisis laboratorium menunjuk- keasaman madu (Illyya, Haryanti, & Suedy, kan kadar air madu sangat tinggi yaitu 2017). Fermentasi terjadi akibat aktivitas sebesar 26 – 29%. Nilai kadar ini jauh di khamir yang tumbuh dan berkembang di atas ketentuan SNI 01-3545-2013 yang dalam madu (Wulandari, 2017). menetapkan kadar air madu maksimum 22

%. Meskipun demikian, kadar air tinggi 2. Kadar Keasamanan merupakan hal yang umum didapatkan pada Keasaman madu merupakan salah satu madu hasil panen lebah hutan A. dorsata parameter yang digunakan dalam menentu- (Hadisoesilo & Kuntadi, 1989; Qamer et al., kan kualitas madu (Wulandari, 2017). Ke- asamanan menunjukkan banyaknya asam

34 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina) bebas yang terdapat dalam larutan madu dipengaruhi oleh musim panen, manajemen yang berasal dari asam organik seperti asam panen dan penanganan pasca panen. asetat, dan asam oksalat dan sebagian kecil dari mineral seperti Co, Ni, V, K dan Na. 3. Kadar Gula Derajat keasaman dapat ditentukan dengan Komponen utama madu adalah gula nilai pH. Semakin tinggi keasaman madu dan air. Kandungan total gula dalam madu semakin rendah pH dalam madu terdiri dari gula pereduksi dan gula non (Hikmawati et al., 2015). pereduksi. Gula pereduksi adalah gula Hasil analisis sampel madu diperoleh sederhana ( simple sugar ) seperti fruktosa nilai pH madu sebesar 4,0. Data tersebut dan glukosa, sedangkan gula non pereduksi menunjukkan bahwa madu asal KHDTK adalah sukrosa (Minarti, Jaya, & Merlina, Rantau memenuhi syarat standar pH madu 2016). Kandungan gula pereduksi dapat secara internasional sebagaimana ditetap- mencapai 85–90% dari keseluruhan karbo- kan International Honey Comission (IHC), hidrat di dalam madu (Suarez et al., 2010). yakni antara 3,6 – 5,6. Tingkat keasaman Hasil penelitian menunjukkan sampel madu juga memenuhi standar SNI, kandungan gula pereduksi madu sebesar yakni di bawah 50 ml NaOH/kg. Rendahnya 73,40–73,83 %. Kadar gula pereduksi ini pH madu dapat berfungsi meningkatkan berada di atas batas minimum standar kadar sifat dan aktifitas antibakteri pada madu gula pereduksi yang diijinkan SNI 01-3545- karena bakteri dapat berkembang dengan 2013, yaitu minimal 65%. Komposisi gula baik pada pH netral atau basa (Chua et al., dalam madu dipengaruhi oleh kondisi 2012). geografis seperti iklim, lingkungan, jenis Tingkat keasaman madu dari blok 1 tanah, komposisi vegetasi tumbuhan, Desa Bitahan Baru lebih tinggi dari sampel kualitas nektar dan kondisi penyimpanan ( asal blok 10 Desa Bramban. Menurut Silvia, Gauche, Gonzaga, Costa, & Fett, Carvalho et al. (2009) keasaman madu 2015; Illyya et al., 2017; ).

Tabel ( Table ) 3. Asal sampel madu (The origin of honey samples) No Kode sampel/Jenis analisis Blok 1 (Block 1) Blok 10 (Block 10) (Sample code/Type of analysis ) 1 Jenis lebah ( Bee species ) Apis dorsata Apis dorsata 2 Lokasi panen ( Harvest location ) a. Desa ( Village ): Bitahan Baru Bramban b. Kecamatan (District ): Lokpaikat Batan Piani c. Kabupaten ( Regency ): Tapin Tapin d. Provinsi ( Province ): Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan 3 Tanggal panen ( Date of harvest ) 06-10-2017 01-10-2017 4 Jumlah sarang ( Amount of hives ) 1 1 5 Produksi/ sarang (ml) 300 1.000 (Production/hive ) 6 Jenis pohon tempat bersarang Acacia mangium Acacia mangium (Nesting plant species ) 7 Jenis pakan lebah ( Honey bee feed ) Bunga campur Bunga campur (mixed flowers )

35 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

4. Hidroksimetilfurfural (HMF) Perbedaan ini kemungkinan karena Pengujian kadar HMF sangat penting adanya perbedaan variasi vegetasi sumber dalam menentukan keaslian dan kesegaran pakan lebah madu. Ramalhosa, Gomes, madu serta kemungkinan adanya proses Pereira, Dias, & Estevinho (2011) pemanasan. Faktor-faktor yang memenga- menyatakan bahwa perbedaan varietas ruhi kadar HMF madu yaitu pH, waktu tumbuhan asal nektar yang diambil lebah pemanasan, kondisi penyimpanan serta menentukan jenis senyawa fenolik yang sumber nektar (Zakaria, 2014). terdapat di dalam madu. Hasil penelitian menunjukkan kadar Terbentuknya endapan dan perubahan HMF madu KHDTK Rantau sebesar 0,229 warna pada saat penambahan larutan – 0,417 mg/kg. Nilai hasil uji HMF ini Dragendorff mengindikasikan sampel madu masih jauh di bawah batas standar kadar mengandung alkaloid. Alkoloid dapat HMF yang diijinkan, yaitu maksimal 50 digunakan sebagai antimikroba dan anti mg/kg. Sampel madu yang diteliti merupa- parasit (Anizewski, 2007). Terbentuknya kan madu yang baru dipanen, karena itu warna merah setelah sampel direaksikan kadar HMFnya masih sangat rendah. dengan asam klorida dan serbuk magnesium mengindikasikan sampel madu mengan- 5. Komponen Fitokimia dung flavonoid. Peran flavonoid bagi manusia sebagai antibiotik dan meng- Uji komponen fitokimia madu dilaku- hambat pendarahan (Susilawati, 2007), kan secara kualitatif dengan melihat sedangkan secara in vitro peran flavonoid perubahan warna atau terbentuknya buih sebagai antimikroba (Cowan, 1999). Ke- dan endapan jika sampel madu direaksikan beradaan saponin dalam sampel madu dengan pereaksi Dragendorff, asam klorida, ditunjukkan dengan terbentuknya busa pada asam sulfat, asam asetat anhidrat, serbuk saat ekstrak madu dikocok bersamaan magnesium dan gelatin. Hasil pengujian dengan air dalam tabung reaksi. Hasil sampel madu tidak mendeteksi adanya tanin pengujian menujukkan bahwa sampel madu dan steroid, namun mengandung komponen mengandung triterpenoid. Triterpenoid fitokimia alkoloid, saponin, dan memiliki aktivitas antimikroba dan efektif triterpenoid. Madu dari Desa Bitahan Baru dalam menghambat pertumbuhan Escheri- mengandung flavonoid, sedangkan madu chia coli , dan Staphylococcus aureus dari Desa Bramban tidak menunjukkan (Naufalin, Jenie, Kusnandar, Sudarwanto, adanya kandungan flavonoid (Tabel 5). & Rukmini, 2005).

Tabel ( Table ) 4. Karakteristik fisikokimia madu hutan dari jenis lebah Apis dorsata di KHDTK Rantau, Kalimantan Selatan ( Physicochemical characteristics of forest honey from Apis dorsata bee species in KHDTK Rantau, South Kalimantan ) No Kode sampel/Jenis analisis Madu asal blok 1 Madu asal blok 10 (Sampel code/Type of analysis ) (Honey from block 1) (Honey from block 10) 1 Kadar Air (Water content) (%) 29,0 26,0 2 pH (pH) 4,0 4,0 3 Keasaman (acidity) (ml N NaOH/kg madu) 5,10 3,60 4 Gula pereduksi (Reducing sugar content) 73,83 73,40 5 HMF (HMF content) (mg/kg) 0,417 0,229

36 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

Tabel ( Table ) 5. Analisis fitokimia madu ( Phytochemicals analysis of honey ) Kode sampel/Jenis analisis Madu asal blok 1 Madu asal blok 10 (Sampel code/Type of analysis ) (Honey from block 1) (Honey from block 10) Fitokimia a. Alokoloid Positif Positif b. Steroid Negatif Negatif c. Tanin Negatif Negatif d. Saponin Positif Positif e. Triterpenoid Positif Positif f. Flavonoid Positif Negatif

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil pengujian komponen fitokimia madu secara kualitatif sampel madu yang A. Kesimpulan diteliti mengandung golongan alkoloid, Hasil analisis vegetasi menunjukkan saponin, triterpenoid dan flavonoid, namun ketersediaan jenis tumbuhan berbunga di tidak terdeteksi adanya tanin dan steroid. KHDTK Rantau cukup beragam. Sebagian termasuk jenis tumbuhan sumber pakan B. Saran lebah madu, baik sebagai sumber nektar maupun serbuk sari. Acacia mangium Ketesediaan vegetasi sebagai sumber menjadi jenis tumbuhan dengan nilai INP nektar dan polen bagi lebah madu di tertinggi di tingkat pohon yang menunjuk- KHDTK Rantau perlu dipertahankan dan kan pentingnya spesies ini di dalam dijaga kelestariannya. Dalam rangka komunitas tumbuhan di habitat kepungan pengembangan budidaya lebah madu perlu sialang. Sebagai sumber pakan, A. mangium pemberdayaan masyarakat di sekitar juga merupakan penghasil nektar yang baik kawasan KHDTK Rantau melalui pelatihan dengan durasi sekresi nektar yang panjang dalam pemungutan atau pemanenan madu karena berasal dari kelenjar extra flora yang lebah hutan secara lestari. berada di setiap pangkal daun. Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa UCAPAN TERIMA KASIH lingkungan hutan KHDTK Rantau sangat Ucapan terima kasih penulis sampaikan mendukung untuk keberlangsungan hidup kepada Kepala Pusat Litbang Hutan yang lebah madu yang ditunjukkan dengan ada- telah membiayai dan mendukung kegiatan nya agregasi koloni lebah hutan yang penelitian ini. Terima kasih juga disampai- bersarang di pohon sialang. kan kepada Kepala Balai Penelitian Kualitas madu hasil produksi dari Kehutanan Banjarbaru yang telah memberi- KHDTK Rantau secara umum memiliki kan izin untuk melakukan penelitian, begitu kualitas baik untuk sebagian besar pula kepada Bapak Edi beserta rekan-rekan parameter yang dinilai, yaitu kadar lainnya di Balai Penelitian Kehutanan keasaman, gula pereduksi, dan hidrok- Banjarbaru yang telah membantu pelak- simetilfurfural (HMF). Namun demikian, sanaan penelitian ini. madu tersebut memiliki kadar air yang cukup tinggi sehingga dalam jangka panjang berpotensi mengalami proses DAFTAR PUSTAKA fermentasi yang secara cepat dapat Abrol, D. P. (2011). Foraging. In R. menurunkan mutu madu. Hepburn & E. R. Sarah (Eds.),

37 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

Honeybees of Asia (pp. 257–292). of honey sampels from Malaysia. Food Springer, Berlin Heidelberg. Chemistry , 135 , 880–887. Abrol, D. P. (2015). Pollination and fruit Cowan, M. M. (1999). Plant products as productivity. In D. P. Abrol (Ed.), antimicrobial agents. Clinical Pollination Biology Vol 1 (Pests and Microbiology Reviews , 12 (4), 564– pollinators of fruit crops). (pp. 1–24). 582. Springer, Berlin Heidelberg. Edi, S., Beny, R., Manaom, A. M. S., Agussalim, Agus, A., Umami, N., & Hendra, A. B., & Isa, A. (2016). Budisatria, I. G. S. (2017). Variasi Laporan Kegiatan Pemeliharaan dan jenis tanaman pakan lebah madu Penataan KHDTK Rantau . sumber nektar dan polen berdasarkan Fachrul, M. (2012). Metode sampling ketinggian tempat di Yogyakarta. bioekologi . Jakarta: Bumi Aksara. Buletin Peternakan , 41 (4), 448–460. Graham, N. S., Raine, E. N., Matthew, P., & Anizewski, T. (2007). Alkoloids-Secrets of Pat, G. W. (2003). Pollination ecology Life. Elsevier. Oxford. of Acacias (Fabaceae, Mimosoideae). Anonim. (2016). Tabel 100 pakan lebah dan Australian Systematic Botany , 16 , bunga yang disukai berdasarkan 103–118. nektar, resin, polen,ranting,aset,emas. Hadisoesilo, S., & Kuntadi. (1989). Anonim. (2017). Tanaman bunga banyak Moisture, sucrose, and nektar dan polen yang disukai lebah hydroxymethylfurfural contents of madu lebah-lebahku. Retrieved from Apis dorsata honey in Riau Province. blogspot.com/2017/02/tanaman- Bulletin Penelitian Kehutanan , 5, 143– bunga-pakan-lebah-madu.html 152. Balasubramanyam, M. V. (2011). Physical Hadisoesilo, S., & Kuntadi. (2007). characteristics of multifloral honey of Kearfian Tradisional dalam Apis dorsata F. and Apis cerana indica “Budidaya” Lebah Hutan (Apis from Western Ghats of Karnataka. The dorsata) . Badan Penelitian dan Bioscan , 6(4), 631–634. Pengembangan Kehutanan. Bloch, G., Bar-Shai, N., Citter, Y., & Green, Harnanda, F., Hardinal, & Linda, L. (2018). R. (2017). Time is honey: circadian Komposisi dan tingkat kerusakan clock of bees and flowers and how vegetasi hutan mangrove di their interactions may influence Kecamatan Sukadana Kabupaten ecological communitites. Phil. Trans. Kayong Utara Provinsi Kalimantan R. Soc. B., 372 (1734). Barat. Jurnal Protobiont , 7(1), 51–60. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.109 Hermita, N. (2014). Inventarisasi tumbuhan 8/rstb.2016.0256 pakan lebah madu hutan di Desa Ujung Carvalho, C., Geni, S. S., Antonio, Rogerio, Kaya Kawasan Taman Nasional Ujung Bruno, Souza, & Lana, C. (2009). Kulon. Jurnal Agroekotek , 6(2), 123– Physicochemical characteristics and 135. sensory profile of honey samples from Hikmawati, Noor, A., & Natsir, H. (2015). stingless bees ( Apidae meliponinae ) Mikro mineral essensial (Co,Ni) dan Submitted to a Dehumidification V) serta sifat bio fisika kimia pada Process. An Acad Bras Cienc , 81 (1), madu asal Mallawa, Sulawesi Selatan . 143–149. Universitas Hasanudin. Chua, L. S., Abdul, R. N., Samidi, M. R., & Ibrahim, I. F., Balasundram, S. K., Aziz, R. (2012). Multi- elemental Abdullah, N. A. P., Alias, M. S., & composition and physical propterties Mardan, M. (2012). Morphological

38 Analisis Habitat Koloni Lebah Hutan Apis Dorsata…(Yelin Adalina)

characterization of pollen collected by (Eds.), Prosiding Seminar Nasional Apis dorsata from a tropical rainfores. Agroforestri III: Pembaharuan International Journal of Botan , 8(3), Agroforestri Indonesia: Benteng 96–103. Terakhir Kelestarian, Ketahanan Illyya, I., Haryanti, S., & Suedy, S. W. A. Pangan, Kesehatan dan Kemakmuran . (2017). Uji kualitas madu pada Balai Penelitian Teknologi beberapa wilayah budidaya lebah Agroforestri, Ciamis, Jawa Barat. madu di Kabupaten Pati. Jurnal Kuntadi, & Ginoga, K. L. (2018). Sekilas Biologi , 6(2), 58–65. Tentang Lebah Madu dan Kegiatan Indriani, Puspa, D., Marisa, H., & Zakaria. Perlebahan di Indonesia. Majalah (2009). Keanekaragaman spesies (New) Rimbawani No. 4 Edisi Maret tumbuhan pada kawasan mangrove 2018. , 37–41. nipah ( Nypa fruticans Wurmb) di Kusumo, A., Bambang, A. N., & Izzati, M. Kecamatan Pulau Rimau, Kabupaten (2016). Struktur vegetasi kawasan Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Hutan Alam dan Hutan Terdegradasi di Penelitian Sains , 12 (3D 12309), 1–4. Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal Juniastuti. (2016). Studi pakan berdasarkan Ilmu Lingkungan , 14 (1), 19–26. roti lebah (bee bread) di Hutan Mensah, S., Veldtman, R., & Seifert, T. Pendidikan Hasanudin Skripsi. (2017). Potential supply of floral Universitas Hasanudin . Universitas resources to manage honey bees in Hasanudin. natural mistbelt forests. Journal of Kahono, S., Chantawannakul, P., & Engels, Environmental Management, 189 , M. S. (2018). Social Bees and the 160–167. Current Status of Beekeeping in https://doi.org/http://dx.doi.org/10.101 Indonesia. In P. Chantawannakul, G. 6/j.jenvman.2016.12.033 Williams, & P. Neuwmann (Eds.), Minarti, S., Jaya, F., & Merlina, P. A. Asian Beekeeping in the 21st Century . (2016). Pengaruh masa panen madu Kainde, R. P., Ratang, S. P., Tasirin, J. S., & lebah pada area tanaman Kaliandra Faryanti, D. (2011). Analisis vegetasi (Caliandra calothyrsus ) terhadap Hutan Lindung Gunung Tumpa. Jurnal jumlah produksi, kadar air, viskositas Eugenia , 17 (3). Retrieved from dan kadar gula madu. Jurnal Ilmu Dan https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ Teknologi Hasil Ternak , 11 (1), 46–51. eugenia/issue/view/570 Tanggal 20 Mulyono, Susdiyanti, T., & Supriono, B. Mei 2018. (2015). Kajian ketersediaan pakan Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. lebah madu lokal ( Apis cerana Fabr.). (2011). Acacia mangium Willd. Jurnal Nusa Sylva , 16 (2), 18–26. Ecology, silviculture and productivity . Nagir, M. T., Atmowidi, T., & Kahono, S. Center for International Foresty (2016). The distribution and nest-site Research . Bogor: CIFOR. Retrieved preference of Apis dorsata binghami at from http://www.cifor.org/online- Maros Forest, South Sulawesi, library/browse/view- Indonesia. Journal of Insect publication/publication/3392.html Biodiversity , 4(23), 1–14. Kuntadi, Adalina, Y., & Widiarti, A. (2012). Naufalin, R., Jenie, B. S. R., Kusnandar, F., Ujicoba agroforestry mangium-jagung Sudarwanto, & Rukmini, H. (2005). untuk mendukung budidaya lebah Aktivitas antibakteri ekstrak bunga madu. In Widiyatno, E. Prasetyo, T. S. Kecombrang terhadap bakteri patogen Widyaningsih, & D. P. Kuswantoro dan perusak pangan. Jurnal Teknotan

39 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 25-40

Dan Industri Pangan , 16 (2), 119–125. and authencity. Brazil. Food Pamoengkas, P., & Zamzam, A. K. (2017). Chemistry , 196 , 309–323. Komposisi fuctional species group Siombo, A., Labiro, E., & Rahmawati. pada sistem silvikultur tebang pilih (2014). Keanekaragaman jenis pakan tanam jalur di area IUPHHK-HA PT. lebah madu hutan ( Apis dorsata ) di Sarpatim, Kalimantan Tengah. Jurnal Kawasan Hutan Lindung Desa Ensa, Silvikultur Tropika , 8(3), 160–169. Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Purba, C. . P., Nanggara, S., Ratriyono, M., Morowali Utara. Warta Rimba 2 (2) , Apriani, L., Rosalina, L., Sari, N., & 49–56. Meridian, A. (2014). Potret keadaan Sofia, Zainal, S., & Roslinda, E. (2017). hutan Indonesia 2009-2013. Bogor: Pengelolaan madu hutan berbasis Forest Watch Indonesia. kearifan lokal masyarakat di Desa Qamer, S., Ahmad, F., Latif, F., Ali, S. S., Semalah dan Desa Melemba Kawasan & Shakoori, A. R. (2008). Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Physicochemical analysis of Apis Hulu. Jurnal Hutan Lestari , 5(2), 209– dorsata honey from Terai Forest. 218. Pakistan J. Zool. , 40 (1), 53–58. Standar Nasional Indonesia. (2013). Madu Ramalhosa, E. E., Gomes, T. T., Pereira, A. SNI 01-3545-2013 . P., Dias, T. T., & Estevinho, L. M. Suarez, Sara., M. A., Stefania, T., Enrico, (2011). Mead production R., Bertoli, E., & Battino, M. (2010). traditionversus modernity. Advanced Contribution of honey in nutrition and Food Nutrional Research , 63 , 101– human health: a review. J. Mediterr 118. Nutr Me-Tab , 3, 15–23. Rosmalinasiah, Malamassam, D., Susilawati, Y. (2007). Flavonoid Tanin - Paembonan, S., & Yusuf, Y. (2015). Polifenol . Universitas Padjadjaran Rource potential analysis of honey bee Jatinangor - Indonesia. feed Apis dorsata in mountain Thomas, S. G., A., V., P., R., N., B., S. G., Tinanggo Kolaka. Int. J. of Sci. Tech. P., & Davidar, P. (2009). Res. , 4(4), 313–318. Characteristics of trees used as nest Sajjad, A., Ali, M., & Saeed, S. (2017). sites by Apis dorsata (Hymenotera, Yearlong association of Apis dorsata Apidae) in the Nilgiri Biosphere and Apis florea with flowering plants: Reserve, India (Short planted forest vs. agriculturural Communication). J. Tropic. Ecol. , 25 , landscape. Sociobiology , 64 (1), 18–25. 559–562. https://doi.org/DOI: Wulandari, D. D. (2017). Kualitas madu 10.13102/sociobiology.v64i1.995 (keasaman, kadar air dan kadar gula Sihag, R. C. (2017). Nesting behaviour and pereduksi) berdasarkan perbedaan nest site preferences of the giant honey suhu penyimpanan. Jurnal Kimia bee ( Apis dorsata F.) in the semi-arid Riset , 2(1), 16–22. environment of north west India. J. Yanto, S. H., & Budian E. S., Y. (2016). Apic. Res. https://doi.org/DOI: Potensi pakan Trigona spp. Di hutan 10.1080/00218839.2017.1338443. larangan adat Desa Rumbio Kabupaten Silvia, P. M. D., Gauche, C., Gonzaga, Kampar. JOM Faperta UR 3 (2) , 1–7. L. V Zakaria, Z. (2014). Analisis kadar HMF Silvia, P. M. D., Gauche, C., Gonzaga, L. (Hidroksi methyl furfural) pada madu V., Costa, A. C. O., & Fett, R. (2015). Bone. Al-Kimia , 2(1), 1–10. Honey : Chemical coposition, stability

40 PAKU EPIFIT DAN POHON INANGNYA DI BUKIT PENGELENGAN, TAPAK DAN LESUNG, BEDUGUL, BALI (Epiphytic Ferns and Phorophyte Trees in the Hills of Pengelengan, Tapak and Lesung, Bedugul, Bali)

I Dewa Putu Darma*, Wenni Setyo Lestari, Arief Priyadi dan/and Rajif Iryadi

Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191, Telp. (0368) 2033170, Fax. (0368) 2033171 *E-mail: [email protected]

Tanggal diterima: 11 Oktober 2017; Tanggal direvisi: 14 Mei 2018; Tanggal disetujui: 15 Mei 2018

ABSTRACT Epiphytic ferns grow attached to the phorophyte tree or rocks. This study aims to determine the diversity, distribution of epiphytic ferns and its phorophyte trees in the forests of Bedugul, Bali. The method used in this study was purposive random sampling. The study recorded 24 species of epiphytic ferns in the forest of Bedugul Bali (16 species in Bukit Pengelengan, 12 species in Bukit Tapak and 12 species in Bukit Lesung). Epiphytic ferns found limited in one study area are Arthropteris palisotii, Goniophlebium subauriculatum, Loxogramme avenia, Oleandra pistillaris, Asplenium caudatum, Belvisia mucronata, Ctenopteris obliquata, Davallia pentaphylla, Davallia solida, Drynaria sp., Hymenophyllum sp., Monogramma trichoidea and Nephrolepis sp1. Epiphytic ferns found spread over in more than one study areas are Asplenium nidus, Belvisia spicata, Davallia denticulata, Goniophlebium percisifolium, Pyrrosia varia and Selliguea enervis. The highest-distributed species of epiphytic ferns are occupied by Belvisia spicata and Davallia denticulate. There are 33 species of phorophyte trees recorded (22 species in Bukit Pengelengan, 21 species in Bukit Tapak and 11 species in Bukit Lesung). The favorite phorophyte trees are Platea latifolia in Bukit Pangelangan, Syzygium zollingerianum. in Bukit Tapak and Engelhardia spicata in Bukit Lesung. Key words: Bedugul, distribution, diversity, epiphytes fern.

ABSTRAK Paku epifit merupakan tumbuhan paku yang tumbuh menempel pada pohon inang (phoropyte) atau bebatuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serta persebaran paku epifit dan pohon inangnya di kawasan hutan Bedugul Bali. Kegiatan ini dilakukan dengan metode purposive random sampling. Hasil penelitian mencatat 24 jenis tumbuhan paku epifit yang teramati di kawasan hutan Bedugul Bali. Jumlah tersebut tersebar di Bukit Pengelengan 16 jenis, di Bukit Tapak 12 jenis dan di Bukit Lesung 12 jenis. Jenis paku epifit yang persebaranya terbatas hanya di satu area studi adalah Arthropteris palisotii, Goniophlebium subauriculatum, Loxogramme avenia, Oleandra pistillaris, Asplenium caudatum, Belvisia mucronata, Ctenopteris obliquata, Davallia pentaphylla, Davallia solida, Drynaria sp., Hymenophyllum sp., Monogramma trichoidea dan Neprolepis sp1. Sedangkan jenis yang tersebar di lebih dari satu area studi adalah Asplenium nidus, Belvisia spicata, Davallia denticulata, Goniophlebium percisifolium, Pyrrosia varia dan Selliguea enervis. Jenis paku epifit yang berdistribusi paling luas adalah Belvisia spicata dan Davallia denticulata. Keanekaragaman pohon inang tercatat 33 jenis (Bukit Pengelengan 22 jenis, Bukit Tapak 21 jenis dan Bukit Lesung 11 jenis). Jenis pohon inang yang disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit bervariasi, di Bukit Pengelengan adalah Platea latifolia, di Bukit Tapak adalah Syzygium zollingerianum dan di Bukit Lesung adalah Engelhardia spicata. Kata kunci: Bedugul, epifit, keanekaragaman, persebaran.

I. PENDAHULUAN ini mendapatkan unsur hara dari debu, sampah (detritus), tanah yang dibawa ke Tumbuhan epifit merupakan tumbuh- atas oleh rayap atau semut, kotoran an yang hidup menempel pada batang tumbuhan lain atau bebatuan. Tumbuhan burung dan lain-lain. Tumbuhan ini

41 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 41-50

melimpah di tempat yang cukup curah dan jenis-jenis vegetasi perairan (Darma hujan, di sekitar mata air, sungai atau air et al., 2017). terjun (Steenis et al., 2006). Tumbuhan Tumbuhan paku epifit merupakan epifit berbeda dengan parasit karena epifit bagian dari ekosistem yang juga memiliki mempunyai akar untuk menghisap air dan fungsi ekologi seperti bagian tanamannya nutrisi yang terlarut sehingga mampu dapat digunakan untuk tempat berlindung menghasilkan makanan sendiri beberapa makhluk hidup (satwa) dan juga (Kusumaningrum, 2008). tempat membuat kokon (Sodiq, 2017; Jumlah tumbuhan epifit mencapai Siregar et al., 2018), selain itu rhizosfer 30.000 jenis atau sekitar 10% dari seluruh paku epifit dapat menunjang mikroba jenis tumbuhan berpembuluh, yang ter- penambat nitrogen bebas dari udara bagi dalam 850 marga dan 65 suku. sekaligus sebagai pemantap agregat tanah Jumlah terbanyak berasal dari suku sehingga dapat memelihara kesuburan Orchidaceae yaitu 25.000 jenis, tumbuhan tanah serta bagian pendukung ekosistem paku 3.000 jenis, dari Kelas Dikotiledonae hutan dalam penyimpanan cadangan sekitar 3.000 jenis dan sisanya karbon (Purnomo, 2017; Siregar et al., Gymnospermae (Benzing, 1981; Mitchell, 2018). Maka penelitian ini bertujuan 1989). untuk mendokumentasikan keragaman Hutan hujan tropis dapat me- paku epifit dan inangnya dikawasan hutan nyediakan habitat ternaungi yang sesuai Bedugul Bali. untuk keberagaman tumbuhan epifit maupun untuk pohon inangnya II. BAHAN DAN METODE (phorophyte) (Baas, Kalkman & Geesink, 1990). Supu & Munir (2009) A. Lokasi Penelitian menambahkan, tumbuhan epifit yang ter- Penelitian dilakukan di kawasan dapat di hutan perlu dijaga karena hutan Bukit Pengelengan, Tapak dan besarnya keanekaragamannya merupakan Lesung yang terletak di kawasan obyek hal yang penting bagi pelestarian jenis. wisata Bedugul, Provinsi Bali dan me- Kawasan hutan Bedugul Bali ter- rupakan bagian dari kawasan konservasi masuk daerah pegunungan dengan status Balai Konservasi Sumberdaya Alam hutan lindung yang berperan sebagai (BKSDA) Bali yang melingkupi Taman daerah tangkapan air dan berfungsi hidro- Wisata Alam (TWA) Danau Buyan dan logis bagi masyarakat di sekitarnya (As- Danau Tamblingan serta Cagar Alam syakur, 2007). Kawasan Bedugul Bali Batukaru. mempunyai tiga buah danau yaitu Danau Beratan, Buyan dan Tamblingan yang B. Metode Penelitian berperan penting sebagai daerah resapan dan perlindungan tata air (hidro-orologis) Pengambilan sampel pohon inang bagi kabupaten yang terletak di bagian tumbuhan paku epifit dilakukan dengan selatan Provinsi Bali. Kawasan hutan ini sengaja (purposive random sampling) merupakan bagian dari kawasan Cagar yaitu pohon yang telah ditumbuhi paku Alam Batukaru yang perlu dijaga pe- epifit setiap perbedaan elevasi 100-150 m lestariannya. Sedangkan informasi tetang dengan menelusuri punggung bukit tumbuhan paku epifit di kawasan hutan menuju arah puncak yang dapat mewakili Bedugul Bali ini belum banyak diungkap. tipe-tipe ekosistem maupun vegetasi di Dalam beberapa tahun terakhir ini, kawasan yang diteliti (Ridianingsih et al., penelitiannya masih terbatas pada jenis- 2017). Identifikasi tanaman dilakukan jenis pohon (Sutomo et al., 2012; Priyadi dengan mengambil voucher spesimen et al., 2014; Siregar & Undaharta, 2018), yang utuh dan fotonya, kemudian dicocokkan pada koleksi tumbuhan paku

42 Paku Epifit dan Pohon Inangnya di Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali…(I Dewa Putu Darma, dkk) dan herbarium paku yang ada di Kebun dpl. Bukit Tapak memiliki pH tanah 6,1, Raya ”Eka Karya” Bali serta literatur kelembaban tanah 32,40%, suhu udara pendukung (Sastrapradja, Afriastini, 21,32°C, intensitas cahaya 762,9 Lux, Darnaedi, & Widjaya, 1979). kelembaban udara 86,82% dan ketinggian Analisis data menggunakan analisis tempat 1.909 m dpl. Bukit Lesung frekuensi relatif (FR) untuk mengetahui memiliki pH tanah 6,1 kelembaban tanah gambaran pola penyebaran suatu jenis 30%, suhu udara 87,36 %, dan intensitas tumbuhan paku epifit pada jenis pohon cahaya 1187,2 Lux dan ketinggian tempat inangnya seperti Persamaan (1). Untuk 1.865 m dpl. Data peta Rupa Bumi mengetahui jenis pohon inang yang Indonesia (RBI) menunjukkan bahwa disenangi oleh jenis tumbuhan paku epifit kawasan hutan Bedugul Bali mempunyai dicari berdasarkan nilai FR dengan kelerengan dari terjal (13-25%) sampai menggunakan persamaan (2): sangat terjal (25-55%). Berdasarkan peta zona agroklimat, 퐹푝 FRp = × 100% …… (1) kawasan Bedugul masuk dalam zona C2 퐹푡푝 dan C3 dengan rata-rata curah hujan dari 퐹푖 퐹푅푖 = × 100% ...... (2) tahun 2013-2015 tercatat 2.318,93 퐹푡푖 mm/tahun. Suhu udara sangat bervariasi

antara 18,2°C (Juni-Agustus) sampai Keterangan (Remarks): 21,76°C pada bulan Oktober (BMKG, FRp : Frekuensi relatif paku epifit; 2015). Kelembaban udara relatif antara Fri : Frekuensi relatif inang yang 84,8%-93,6% (Oktober) dan 95,5% (Mei ditumbuhi paku; dan Juni) (Adnyana, 2005). Bukit Tapak Ftp : Jumlah frekuensi jenis tumbuhan termasuk Cagar Alam Batukahu I dan paku epifit tumbuh pada jenis Bukit Lesung termasuk Cagar Alam pohon inang; Batukahu III. Kawasan ini secara umum Ftp : Jumlah total frekuensi jenis berbukit dan bergelombang yang berada tumbuhan paku epifit; pada ketinggian tempat 1.860-2.089 m Fi : Jumlah frekuensi jenis pohon dpl. Cagar Alam Batukaru, termasuk inang yang ditumbuhi jenis paku hutan hujan tropis dataran tinggi dengan epifit; dan curah hujan yang tinggi, kondisi kawasan Fti : Jumlah total frekuensi jenis pohon selalu basah, dengan keanekaragaman inang seluruh jenis. jenis tumbuhan yang cukup tinggi. Letak geografis lokasi penelitian berada antara Survei lapangan menggunakan peta 8,236°-8,293° LS dan 115,08°-115,19° RBI skala 1: 25.000, GPS Garmin BT dan secara administratif kawasan ini GPSMAP78s. klinometer Suunto PM-5, 4 berbatasan dengan Kabupaten Tabanan, in 1 meter Lutron LM-8000, tester Badung dan Singaraja (Gambar 1). Demetra DM-5. Peralatan lain yang digunakan yaitu meteran, gunting stek dan B. Paku Epifit kamera. Keragaman jenis tumbuhan paku epifit di kawasan hutan Bedugul Bali III. HASIL DAN PEMBAHASAN tercatat 24 jenis terdiri dari 16 marga dan A. Diskripsi Daerah Penelitian 9 suku. Jumlah jenis tersebut tersebar di Bukit Pengelengan sebanyak 16 jenis, di Bukit Pengelengan memiliki pH Bukit Tapak 12 jenis dan di Bukit Lesung tanah 6,0 dengan kelembaban tanah ° 12 jenis. Lima jenis tumbuhan paku epifit 29,12%, suhu udara 20,46 C, intensitas dengan nilai FRp tertinggi di kawasan cahaya 1056 Lux, kelembaban udara hutan Bukit Pengelengan adalah Belvisia 91,54% dan ketinggian tempat 2.153 m spicata (FR 24,62%), Asplenium nidus

43 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 41-50

(FR 13,85%), Davallia denticulata (FR pentaphylla, Davallia solida, Drynaria 9,23%), Neprolepis sp.1 (FR 7,69%) dan sp., Hymenophyllum sp., Monogramma Hymenophyllum sp. (FR 6,15%). Lima trichoidea dan Neprolepis sp1. Kondisi ini jenis tumbuhan paku epifit dengan nilai menunjukan bahwa jenis paku epifit FRp tertinggi di kawasan hutan Bukit tersebut merupakan tumbuhan yang Tapak adalah Belvisia spicata (FR mempunyai toleransi terhadap lingkungan 25,37%), Davallia denticulata (FR rendah atau tumbuhan yang memerlukan 19,40%), Asplenium salignum (FR syarat hidup yang spesifik. 11,94%), Vittaria zosterifolia (FR Jenis tumbuhan paku epifit yang 11,94%) dan Laphogelossum blumeanum penyebarannya tidak terbatas yang (FR 7,46%). Lima jenis tumbuhan paku ditemui di semua lokasi penelitian adalah epifit dengan nilai FRp tertinggi di Asplenium nidus, Belvisia spicata, kawasan hutan Bukit Lesung adalah Davallia denticulata, Goniophlebium Davallia denticulata (FR 25%), Belvisia percisifolium, Pyrrosia varia dan spicata (FR 19,44%), Goniophlebium Selliguea enervis. Hal ini menunjukkan percisifolium (FR 13,89%), Vittaria bahwa jenis paku epifit tersebut zosterifolia (FR 8,33%) dan Loxogramme mempunyai toleransi atau adaptasi yang avenia (FR 8,33%) (Tabel 1). tinggi terhadap lingkungannya. Tumbuhan paku epifit yang Kondisi fisik kawasan hutan Bedugul, mempunyai penyebaran terbatas hanya Bali mendukung merupakan kawasan ditemui tumbuh di satu lokasi penelitian di hutan pegunungan dengan udara dingin kawasan hutan Bedugul, Bali yaitu di dan lembab serta terdapat tiga danau yaitu Bukit Lesung adalah Arthropteris Danau Beratan, Buyan dan Tamblingan palisotii, Goniophlebium subauriculatum, merupakan kondisi yang sesuai dengan Loxogramme avenia dan Oleandra persyaratan habitat tumbuhan paku epifit. pistillaris, di Bukit Tapak adalah Steenis et al. (2006) menyatakan bahwa, Asplenium caudatum dan di Bukit tumbuhan epifit akan melimpah di tempat Pengelengan adalah Belvisia mucronata, yang cukup curah hujan dan berada di Ctenopteris obliquata, Davallia sekitar mata air, sungai maupun air terjun.

Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian (Study areas)

44 Paku Epifit dan Pohon Inangnya di Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali…(I Dewa Putu Darma, dkk)

Tabel (Table) 1. Jenis paku epifit di kawasan hutan Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali (Epiphytic ferns in forest areas of Pengelengan, Tapak and Lesung Hills, Bedugul, Bali) No Nama ilmiah Suku (Family) Bukit Bukit Tapak Bukit Lesung (Scientific name) Pengelengan (Tapak Hill) (Lesung Hill) (Pengelengan Hill) F FR (%) F FR (%) F FR (%)

1 Arthropteris palisotii Lomariopsidaceae - - - - 2 5,56 (Desv.) Alston 2 Asplenium belangeri Bory. Aspleniaceae - - 1 1,49 1 2,78 3 Asplenium caudatum G. Aspleniaceae - - 1 1,49 - - Forst. 4 Asplenium nidus L. Aspleniaceae 9 13,85 4 5,97 1 2,78 5 Asplenium salignum Blume Aspleniaceae - - 8 11.9 - -

6 Belvisia mucronata Copel. Polypodiaceae 1 1,54 - - - -

7 Belvisia spicata (L. f.) Polypodiaceae 16 24,62 17 25,37 7 19,44 Mirb.

8 Ctenopteris obliquata Polypodiaceae 1 1,54 - - - - (Blume) Copel

9 Davallia denticulata Davalliaceae 6 9,23 13 19,40 9 25,00 (Burm. f.) Mett. ex Kuhn

10 Davallia pentaphylla Davalliaceae 3 4,62 - - - - Blume

11 Davallia solida (G. Forst.) Davalliaceae 2 3,08 - - - - Sw.

12 Drynaria sp. Polypodiaceae 3 4,62 - - - -

13 Elaphoglossum blumeanum Dryopteridaceae 3 4,62 5 7,46 - - (Fée) J. Sm.

14 Goniophlebium Polypodiaceae 3 4,62 4 5,97 5 13,89 percisifolium (Desv.) Bedd

15 Goniophlebium Polypodiaceae - - - - 1 2,78 subauriculatum (Blume) C. Presl

16 Hymenophyllum sp. Hymenophyllaceae 4 6,15 - - - -

17 Loxogramme avenia C. Polypodiaceae - - - - 3 8,33 Presl. 18 Monogramma trichoidea J. Pteridaceae 1 1,54 - - - - Sm. ex Hook 19 Nephrolepis sp. Nephrolepidaceae 2 3,08 1 1,49 - -

20 Neprolepis sp. 1 Nephrolepidaceae 5 7,69 - - -

21 Oleandra pistillaris (Sw.) Aspleniaceae - - - 1 2,78 C. Chr.

22 Pyrrosia varia (Kaulf.) Oleandraceae 3 4,62 1 1,49 1 2,78 Farw 23 Selliguea enervis Ching Polypodiaceae 3 4,62 4 5,97 2 5,56

24 Vittaria zosterifolia Willd. Pteridaceae - - 8 11,94 3 8,33 24 Jenis 9 Suku 65 100 67 100 36 100

Keterangan (Remarks) : F = Frekuensi (Frequency); FR = Frekuensi relatif (Relative frequency); Bk = Bukit (Hill).

45 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 41-50

Tumbuhan paku epifit di kawasan Penyebarannya di wilayah tropis meliputi hutan Bukit Pengelengan, Tapak dan Afrika, Ceylon, Indochina, Malesia, Lesung umumnya tumbuh pada pohon Australia, Queenland, Pasific, New inang (phorophyte) dengan kulit pohon Caledonia, Fiji dan Tahiti (Hovenkamp & kasar dan sudah tua. Indriyanto (2008) Franken, 1993). menyebutkan bahwa epifit sangat tergantung pada presipitasi dan deposit 2. Davallia denticulata (Burm. f.) hara yang terbawa oleh presipitasi, Mett. ex Kuhn sehingga lebih banyak dijumpai di Tumbuhan paku ini termasuk ke cabang-cabang pohon dibandingkan di dalam suku Davalliaceae. Paku ini biasa ranting-ranting yang horizontal dan halus. tumbuh menumpang pada tumbuhan lain Distribusi jenis tumbuhan paku epifit dan dapat juga tumbuh pada tanah cadas di masing-masing lokasi penelitian di berbatu, pada batang palem yang tumbuh kawasan hutan Bedugul, Bali berdasarkan bersama-sama dengan paku kinca dan nilai Frekuensi Relatif (KRp) tertinggi di paku sarang burung. Karakter paku famili Bukit Pengelengan adalah Belvisia spicata Davalliaceae pada umumnya akan (FR 25%), di Bukit Tapak adalah Belvisia melepaskan daun saat kondisi kering spicata (FR 25%) dan di Bukit Lesung (Dubuisson et al., 2009) dan tumbuh di adalah Davallia denticulata (FR 25%) dataran rendah terutama di sekitar pantai Gambar 2. di tempat terbuka maupun terlindung. Hal tersebut di atas menunjukkan Tumbuhan ini juga ditemukan epifit pada bahwa di kawasan hutan Bedugul, Bali pohon yang besar di tepi sungai bersama jenis tumbuhan paku epifit yang dengan paku sarang burung pada tempat terdistribusi paling tinggi adalah Belvisia yang terbuka (Darma & Peneng, 2007). spicata dan Davallia denticulata, dimana Penyebarannya di Asia tropika, Polinesia, Belvisia spicata menempati dua lokasi Australia, Afrika dan daratan sekitar yaitu Bukit Tapak dan Bukit Lesung. Samudera Hindia, Indo-China dan Lebih jelasnya deskripsi dua jenis Malesia (Sastrapradja et al., 1979; tumbuhan paku epifit tersebut sebagai Nooteboom, 1994). Kajian mengenai berikut : pemanfaatan Davallia denticulata (Burm. f.) Mett. ex Kuhn secara spesifik masih 1. Belvisia spicata (L. f.) Mirb belum banyak diketahui. Masyarakat di Paku ini termasuk dalam suku sekitar kawasan penelitian menggunakan Polypodiaceae. Daun tunggal berwarna daun Davalia denticulata sebagai hijau muda panjang mencapai 15 cm dan ornamen dalam rangkaian bunga yang lebar daun 2 cm. Daun berbentuk lanset dapat memberi kesan lebih klasik dan dengan ujungnya menyirip dan tepi rata. semarak. Beberapa spesies dari famili Kumpulan spora berada di ujung daun, Davaliacea seperti Davallia bullata Hook. bentuk memanjang berwarna coklat bagian tanamannya dimanfaatkan untuk kehitaman (Arini & Kinho, 2012). Pada obat luka dan sembelit, adapun jenis umumnya genus Belvisia memiliki Davallia trichomanoides Blume karakter berkutikula tebal dengan lilin digunakan untuk mengatasi luka gigitan (Dubuisson et al., 2009). Tumbuh pada beracun dan keracunan makanan (Xia et daerah pegunungan hingga ketinggian al., 2014). tempat di atas 3.000 m dpl.

46 Paku Epifit dan Pohon Inangnya di Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali…(I Dewa Putu Darma, dkk)

Gambar (Figure) 2. Distribusi jenis paku epifit di kawasan hutan Bukit Pengelengan, Bukit Tapak dan Bukit Lesung (Species abundance of epiphytic fern in forest areas of Pelengan, Tapak and Lesung Hills)

C. Pohon Inang (Phorophyte) Paku 8,96%), Astronia spectabilis (FR 8,96%), Epifit Ehretia javanica (FR 7,46%), Trema Keanekaragaman jenis pohon inang orientalis (FR 5,97%) dan Glochidion sp. (phorophyte) tumbuhan paku epifit di (FR 5,97%). Lima jenis tumbuhan inang kawasan hutan Bedugul, Bali tercatat dengan FRi tertinggi di Bukit Lesung sebanyak 33 jenis, sedangkan jenis paku adalah Engelhardia spicata (FR 15,79%), epifitnya sebanyak 24 jenis (lebih sedikit Dysoxylum nutans (FR 13,16%), dari pohon inangnya). Hal ini terjadi Lophopetalum javanicum (FR 13,16%), karena jenis tumbuhan paku epifit yang Syzygium racemosum (FR 13,16%) dan sama hadir pada pohon inang lebih dari Dacrycarpus imbricatus (FR 10,53%) satu jenis. Tiga puluh tiga (33) jenis pohon (Tabel 2). Pohon inang langka dan bernilai inang tersebut terdiri dari 27 marga dan 23 komersial yang ditumbuhi paku epifit suku dan tersebar di Bukit Pengelengan dijumpai pada pohon native pada kawasan sebanyak 22 jenis, Bukit Tapak 21 jenis hutan Bedugul seperti pada Casuarina dan Bukit Lesung 11 jenis. Berdasarkan junghuhniana, Dacrycarpus imbricatus, nilai Frekuensi Relatif (FRi), lima jenis Elaeocarpus sphaericus, dan tumbuhan inang (phorophyte) tertinggi di Lophopetalum javanicum. Beberapa Bukit Pengelengan adalah Platea latifolia tanaman tersebut juga memiliki potensi (FR 10,61%), Homalanthus giganteus (FR ekologi dan ekonomis seperti C. 9,09%), Lindera sp. (FR 7,58%), Ficus sp. junghuhniana sebagai tanaman pioner (FR 6.06%) dan Cyathea latebrosa (FR karena akarnya mampu menambat 6,06%). Lima jenis tumbuhan inang nitrogen, getahnya untuk obat sakit perut, dengan FRi tertinggi di Bukit Tapak daunnya untuk upacara adat di Bali, dan adalah Syzygium zollingerianum (FR kayunya bersamaan dengan D. imbricatus 10,45%), Acronychia trifoliata (FR untuk furniture (Sumantera, 2004).

47 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 41-50

Tabel (Table) 2. Pohon inang (phorophyte) paku epifit di kawasan Hutan Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali (Phorophyte trees for epiphytic ferns in the forest area of Pengelengan, Tapak and Lesung Hills, Bedugul, Bali) Bk. Bk. Tapak Bk. Pengelengan (Tapak Lesung Suku Nama ilmiah (Pengelengan Hill) (Lesung No (Family) (Scientific name) Hill) Hill)

F FR (%) F FR F FR (%) (%) 1 Tabernaemontana macrocarpa Jack Apocinaceae 2 3,03 - - - - 2 Ficus fistulosa Reinw.ex Bl. Moraceae 4 6,06 - - - - 3 Erytrina subumbrans (Hassk) Merr. Fabaceae 1 1,52 1 1,49 - - 4 Homalanthus giganteusZoll. & Euphorbiaceae 6 9,09 3 4,48 1 2,63 Moritzi 5 Engelhardia spicata var. colebrookeana Juglandaceae 3 4,55 - - 6 15,79 (Lindl. ex Wall.) Koord. & Valeton 6 Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi Rutaceae 3 4,55 6 8,96 2 5,26 7 Syzygium zollingerianum (Miq.) Amsh. Myrtaceae 4 10,61 7 10,45 - - 8 Platea latifolia Blume Icacinaceae 7 10,61 - - - - 9 Cyathea latebrosa (Wallich ex W. Cyatheaceae 4 6,06 - - - - J.Hooker) Copeland 10 Weinmannia blumei Planch. Cunoniaceae 3 4,55 - - - - 11 Lindera sp. Lauraceae 5 7,58 - - - - 12 Adinandra javanica Choisy Theaceae 3 4,55 2 2,99 - - 13 Polyosma integrifolia Blume Escalloniaceae 4 6,06 2 2,99 - - 14 Astronia spectabilis Melastomataceae 2 3,03 6 8,96 - - Blume 15 Glochidion rubrum Bl. Euphorbiaceae 4 6,06 - - - - 16 Ficus benjamina L. Moraceae 3 4,55 - - 2 5,26 17 Bischofia javanica Blume Euphorbiaceae 1 1,52 - - - - 18 Syzygium sp. Myrtaceae 5 7,58 2 2,99 - - 19 Dendrocnide stimulans (L. f.) Chew Urticaceae 2 3,03 3 4,48 - - 20 Albiizia falcataria (L.) Fosberg Fabaceae - - 2 2,99 - - 21 Glochidion sp. Euphorbiaceae - - 4 5,97 - - 22 Casuarina junghuhniana Miq. Casuarinaceae - - 2 2,99 3 7,89 23 Dacrycarpus imbricatus Blume de Laub. Dacrycarpaceae - - 2 2,99 4 10,53 24 Ehretia javanica Blume Boraginaceae - - 5 7,46 - - 25 Saurauia reinwardtiana Bl. Saurauiaceae - - 4 5,97 - - 26 Ficus sp. Moraceae - - 4 5,97 - - 27 Macaranga tanarius (L.) M.A Euphorbiaceae - - 3 4,48 - - 28 Elaeocarpus sphaericus L.f. Elaeocarpaceae - - 4 5,97 - - 29 Dysoxylum nutans Miq. Sapindaceae - - 5 7,46 5 13,16 30 Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz. Celastraceae - - - - 5 13,16 31 Syzygium racemosum (Blume) Myrtaceae - - - - 5 13,16 32 Myrsine sp. Myrsinaceae - - - - 4 10,53 33 Dendrocnide peltata (Blume) Miq. Urticaceae - - - - 1 2,63 33 jenis 23 Suku 66 100 67 100 38 100 Keterangan (Remark): F = Frekuensi (Frequency); FR = Frekuensi relatif( Relative frequency); Bk = Bukit (Hill).

Uraian di atas menunjukkan tersebut disenangi oleh jenis tumbuhan semakin tinggi nilai Frekuensi Relatif paku epifit. Jenis pohon inang favorit (FRi) pohon inang, maka pohon inang bervariasi, di Bukit Pengelengan adalah

48 Paku Epifit dan Pohon Inangnya di Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung, Bedugul, Bali…(I Dewa Putu Darma, dkk)

Platea latifolia, di Bukit Tapak adalah persebarannya tidak terbatas atau terdapat Syzygium sp. dan di Bukit Lesung adalah disemua lokasi penelitian adalah Engelhardia spicata. Pohon inang Asplenium nidus, Belvisia spicata, tumbuhan paku epifit di kawasan hutan Davallia denticulata, Goniophlebium Bukit Pengelengan, Tapak dan Lesung percisifolium, Pyrrosia varia dan umumnya pohon yang sudah tua dengan Selliguea enervis. kulit batang yang kasar. Hal ini berkaitan dengan spora tumbuhan epifit yang jatuh UCAPAN TERIMA KASIH pada tempat yang cocok akan mampu Terima kasih kami ucapkan kepada I berkecambah dan tumbuh membentuk Gusti Made Sudirga dan Ketut Sandi, individu epifit yang baru (Shukla & teknisi litkayasa UPT BKT Kebun Chandel, 1977). Nawawi, Indriyanto, & Raya”Eka Kaya” Bali atas bantuannya Duryat (2014) menambahkan, pada selama kegiatan di lapangan. Terima kasih umumnya pohon inang yang disenangi juga kepada BKSDA Bali yang telah oleh tumbuhan paku epifit memiliki memberikan ijin untuk memasuki tekstur kulit tebal, beralur maupun kawasan dan pengambilan sampel, berserabut dan memiliki kulit yang keras sehingga pelaksanaan penelitian ini dan diduga merupakan faktor yang berjalan dengan baik. Kegiatan ini mempengaruhi asosiasi antara tumbuhan dibiayai dari DIPA UPT BKT Kebun inang (phoropyte) dengan epifitnya. Raya “Eka Karya” Bali tahun 2014 (Sub

Kegiatan “Identifikasi Potensi Ekologis IV. KESIMPULAN DAN SARAN dan Permodelan Zonasi Kawasan A. Kesimpulan Cekungan Terkungkung (Endorheic Basin) Bedugul, Bali sebagai Kandidat Keanekaragaman jenis tumbuhan Kawasan Cagar Biosfer”). paku epifit di kawasan hutan Bukit, Lesung,Tapak, dan Pengelengan, Bedugul, Bali tercatat sebanyak 24 jenis DAFTAR PUSTAKA dan pohon inangnya 33 jenis. Persebaran Adnyana, I. W. S. (2005). Erosi dan tumbuhan paku epifit yang paling tinggi di penggunaan lahan di kawasan kawasan hutan ini adalah Belvisia spicata bedugul. In : Hehanussa, P.E.; dan Davallia denticulate. Pohon inang Abdulhadi, R.;& Siregar, M. (Ed.), yang disenangi oleh tumbuhan paku epifit Prosiding Simposium Analisis Daya di masing-masing lokasi penelitian Dukung dan Daya Tampung Sumber bervariasi, di Bukit Lesung Engelhardia Daya Air di kawasan Tridanau spicata, di Bukit Tapak Syzygium Beratan, Buyan dan Tamblingan (pp. zollingerianum dan di Bukit Pengelengan, 59–70). UPT BKT Kebun Raya “Eka Platea latifolia. Persebaran tumbuhan Karya” Bali - LIPI. paku epifit yang terbatas atau hanya Arini, D. I. D., & Kinho, J. (2012). ditemui disatu lokasi penelitian saja yaitu Keragaman jenis tumbuhan paku di Bukit Lesung Arthropteris palisotii, (Pteridophyta) di Cagar Alam Goniophlebium subauriculatum, Loxo- Gunung Ambang Sulawesi Utara. gramme avenia dan Oleandra pistillaris, Info BPK Manado, 2(1), 17–40. di Bukit Tapak Asplenium caudatum dan As-syakur, R. (2007). Hubungan fluktuasi di Bukit Pengelengan Belvisia mucronata, nilai enso (El Nino southern Ctenopteris obliquata, Davallia oscillation) terhadap fluktuasi dan pentaphylla, Davallia solida, Drynaria intensitas curah hujan di Bedugul. sp., Hymenophyllum sp., Monogramma Jurnal Bumi Lestari, 7(2), 123–129. trichoidea dan Neprolepis sp1. Sedangkan Baas, P., Kalkman, K., & Geesink, R. jenis tumbuhan paku epifit yang (1990). The Plant Diversity of

49 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 41-50

Malesia. Dordrecht: Kluwer tumbuhan yang menjadi Academic Publishers. https://doi.org/ penopangnya di blok perlindungan 10.1007/978-94-009-2107-8 dalam Kawasan Taman Hutan Raya Benzing, D. H. (1981). Bark surfaces and Wan Abdul Rachman. Jurnal Sylva the origin and maintenance of Lestari, 2(3), 39–48. diversity among angiosperm Nooteboom, H. P. (1994). Notes on epiphytes: a hypothesis. Selbyana, davalliaceae ii. a revision of the 5(3), 248–255. genus davallia. Blumea, 39, 151– Darma, I. D. P., & Peneng, I. N. (2007). 214. Inventarisasi tumbuhan paku di Purnomo, A. J., Anggraeni, A., & Astuti, Kawasan Taman Nasional Laiwangi R. K. (2017). Potensi bakteri Wanggameti Sumba Timur penambat nitrogen dan penghasil Waingapu NTT. Biodiversitas, 8(3), hormon IAA dari sampel rhizosfer 242–248. paku epifit di mulut Gua Anjani, Dubuisson, J., Schneider, H., & Kawasan Karst Menoreh, 1(2). Hennequin, S. (2009). Epiphytism in Sastrapradja, S., Afriastini, J. J., Darnaedi, ferns : diversity and history. C. R. D., & Widjaya, E. A. (1979). Jenis- Biologies, 332(2–3), 120–128. jenis paku-pakuan indonesia. Bogor: https://doi.org/10.1016/j.crvi.2008.0 Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 8.018 Shukla, R. S., & Chandel, P. S. (1977). Ridianingsih, D. S. & Pujiastuti, S. A. H. Plant ecology. New Delhi (IN): S. (2017). Inventarisasi tumbuhan paku Chand & Company Ltd. (Pteridophyta) di Pos Rowobendo- Siregar, Y. F., Wasis, B., & Hilwan, I. Ngagelan Taman Nasional Alas (2018). Potensi cadangan karbon Purwo Kabupaten Banyuwangi, 3(2), hutan Nabundong KPH Wilayah VI 20–30. Sumatera Utara (Carbon Stock Hovenkamp, P., & Franken, N. (1993). An Potential of Nabundong Forest KPH account of the fern genus Belvisia Region VI North Sumatera), 23, 67– mirbel (Polypodiaceae). Blumea, 37, 73. https://doi.org/10.18343/jipi.23. 511–527. 1.67 Indriyanto. (2008). Ekologi Hutan. Steenis, C. G. G. J. van., Hamzah, Toha, Jakarta: PT. Bumi Aksara. M. (2006). Mountain Flora of Java Kusumaningrum, B. D. (2008). No Title. (2nd ed.). Brill Academic Publishers. Jurnal Produksi Tanaman. Supu, H., & Munir, A. (2009). Jenis-jenis Mitchell, A. (1989). Between The Trees- tumbuhan epifit di hutan kawasan The Canopy Community. Dalam sekitar Danau Lawulamoni Silcock, L. (Ed), The Rainforest: A Kecamatan Kabawo Kabupaten Celebrition. The Living Earth Muna. Warta Wiptek, 101–106. Foundation. H. 153-157. Cresset Xia, X., Cao, J., Zheng, Y., Wang, Q., & Press. London. Xiao, J. (2014). Flavonoid Sodiq, M. (n.d.). Ketahanan Tanaman concentrations and bioactivity of Terhadap Hama. Jawa Timur: flavonoid extracts from 19 species of Universitas Pembangunan Nasional ferns from China. Industrial Crops & “Veteran.” Products, 58, 91–98. https://doi.org/ Nawawi, G. R. ., Indriyanto, & Duryat. 10.1016/j.indcrop.2014.04.005 (2014). Identifikasi jenis epifit dan

50 PENGUJIAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI MEDIA TUMBUH FUSARIUM SP. PEMBENTUK GAHARU (Organic Materials Testing as Growing Media for Agarwood Forming Fusarium sp)

Denny 1* , Erika Deciawarman 2 dan/ and Abu Bakar M. Lahjie 3

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No.5 Kotak Pos 165, Bogor 16610 Jawa Barat, Telp : 62-251-8633234; Fax : 62-251-8638111 2,3 Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Jl. Ki Hajar Dewantoro 5, Samarinda, 75116, Telp : 62-0541-735089; fax : 62-0541-735379 *E-mail: [email protected]

Tanggal diterima: 10 Desember 2017; Tanggal direvisi: 17 Juni 2018; Tanggal disetujui: 17 Mei 2018

ABSTRACT Cultivated agarwood commodity is currently preferred by many people. Threefore, research on propagation of the agarwood forming fungi to increase agarwood productivity needs to be conducted. This study was aimed to determine the effectiveness of Fusarium sp. in some media and treatments to increase the agarwood formation. This study was conducted in the Laboratory of Forest Protection, Mulawarman University for fungi propagation and Bukit Raya village in East Kalimantan for agarwood inoculation. The growing media tested were potato, banana and cassava infusions, mixed with sawdust. Mycelium daily growth was measured and tested in three different media. The measurement result showed that there was no significant difference. Spore germination of potato infusion media is the fastest among other media after in contact with the potato and banana infusion. There were significant differences in infection area of some media and treatments. The most effective treatment was unpeeled bark with the average infection area of 17.87 cm 2. Key words: Agarwood, Fusarium sp., inoculation, treatment

ABSTRAK Saat ini komoditi gaharu budidaya semakin diminati konsumen gaharu dunia, karena menurunnya produksi gaharu alam secara drastis, sehingga penelitian tentang perbanyakan jamur pembentuk gaharu untuk mengetahui perlakuan mana yang paling efektif perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan jamur Fusarium sp. dengan beberapa media tumbuh dan perlakuan untuk mengetahui media dan perlakuan yang paling efektif dalam membentuk gubal gaharu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Perlindungan Hutan Universitas Mulawarman untuk proses perbanyakan jamur dan Desa Bukit Raya, Kalimantan Timur untuk proses inokulasi pada pohon penghasil gaharu. Media tumbuh yang digunakan adalah ekstrak kentang, pisang, singkong, campuran serbuk gergaji dengan ekstrak kentang, ekstrak pisang, dan ekstrak singkong. Hasil perhitungan kecepatan tumbuh miselia per hari masing-masing media berbeda- beda, tetapi dari hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan antara ketiga media dalam mempengaruhi pertumbuhan miselia. Media berbahan kentang setelah diencerkan dengan ekstrak kentang dan pisang adalah media dengan perkecambahan spora Fusarium sp. yang paling cepat. Kemudian hasil inokulasi pohon penghasil gaharu terdapat perbedaan luas infeksi yang signifikan terhadap beberapa media dan perlakuan. Media ekstrak kentang yang pertumbuhan miselia dan perkecambahan sporanya paling cepat merupakan media yang paling baik dalam menginfeksi pohon penghasil gaharu dengan nilai rata-rata luas infeksi 27,28 cm2. Perlakuan yang paling baik dalam menginfeksi pohon penghasil gaharu adalah perlakuan tanpa dikupas kulit batangnya dengan luas infeksi sebesar 17,87 cm 2. Kata kunci: Gaharu, Fusarium sp., inokulasi, perlakuan

51 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

I. PENDAHULUAN an pada batang pohon penghasil gaharu Gaharu merupakan hasil hutan bukan dengan menambahkan bahan-bahan kimia kayu yang mempunyai nilai ekonomis seperti metal jasmonat, oli, dan gula tinggi untuk bahan industri parfum, dupa, merah (Santoso, 2014a). Terbentuknya dan obat-obatan (Turjaman, 2014). gaharu yang disebabkan oleh bahan Meningkatnya popularitas penanaman tersebut tidak menyebabkan terjadinya pohon penghasil gaharu yang terjadi di penyebaran infeksi ke bagian lain dari berbagai daerah Indonesia menyebabkan pohon penghasil gaharu. Hal ini berbeda peningkatan pertumbuhan sektor bisnis jika pembentukan gaharu disebabkan oleh seperti tingginya permintaan pasokan bibit bahan biologi seperti jamur atau jasad pohon penghasil gaharu, hal ini renik lainnya. Pembentukan gaharu dapat disebabkan karena komoditi gaharu menyebar ke bagian batang pohon budidaya semakin diminati banyak orang penghasil gaharu (Setyaningrum & (Susmianto & Santoso, 2014; Saparinto, 2014). Prastyaningsih et al., 2015). Gaharu Pohon penghasil gaharu yang budidaya yang melalui proses inokulasi disebabkan oleh jamur pembentuk gaharu jamur mem-berikan peluang bisnis untuk merupakan respon untuk membentuk men-substitusi produksi gaharu alam di pertahanan terhadap serangan penyakit pasaran internasional (Turjaman, 2014). atau pathogen (Sitepu et al., 2011). Salah Gaharu juga merupakan tanaman yang satu endofitik/pathogen yang sering memiliki prospek ekonomi menjanjikan menyebabkan infeksi pada pohon peng- walaupun hanya ditanam di kebun hasil gaharu adalah jenis jamur dari pekarangan rumah (Saikia & Khan, 2012), spesies Fusarium sp. (Iskandar & sehingga tidak jarang masyarakat yang Suhendra, 2013). Jamur Fusarium sp. juga tertarik untuk membudidayakan pohon dapat tumbuh dominan pada beberapa penghasil gaharu. sampel batang pohon Aquilaria Jumlah pohon penghasil gaharu yang malaccensis yang telah diinokulasi dari sudah dibudidayakan di Indonesia mulai berbagai macam jenis jamur (Lisdayani et dari wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, al., 2015). Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua Pada umumnya jamur Fusarium sp diperkirakan sebanyak 3.346.774 pohon yang berasal dari daerah yang berbeda dan sebanyak 191.388 pohon diantaranya memiliki kemampuan yang berbeda pula sudah berdiameter lebih dari 20 cm dalam proses pembentukan gaharu (Turjaman & Hidayat, 2016). Tingginya (Lisdayani et al., 2015). Selain itu, jumlah pohon penghasil gaharu yang pembentukan gaharu juga dapat sudah dibudidayakan harus diimbangi dipengaruhi dari beberapa perlakuan dan dengan ketersediaan jumlah inokulan media tumbuh jamur (Nurbaya et al., pembentuk gaharu. Selain itu inokulan 2014; Santoso et al., 2016; Santoso & yang tersedia juga diharapkan dapat lebih Turjaman, 2011). Oleh sebab itu, media efektif dan efisien dalam menginfeksi tumbuh jamur pembentuk gaharu perlu pohon penghasil gaharu. diteliti untuk membantu petani dalam Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon menyediakan inokulan yang baik dan terinfeksi baik secara alami maupun murah. Tujuan penelitian ini adalah untuk buatan yang tumbuh di hutan-hutan tropis. mengetahui efektivitas penggunaan jamur Untuk menghasilkan gubal gaharu secara Fusarium sp. dengan beberapa media buatan, pada umumnya dilakukan peluka- tumbuh dan perlakuan untuk mengetahui media dan perlakuan yang paling baik

52 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk) dalam membentuk gubal gaharu. Data dan B. Bahan dan Alat informasi yang diperoleh dari penelitian Bahan yang digunakan dalam ini diharapkan dapat membantu para penelitian ini adalah pohon penghasil petani gaharu untuk menyediakan gaharu jenis Aquilaria malaccensis Lam. inokulan yang lebih baik, skala massal, berumur 4-5 tahun, jamur Fusarium sp. dan murah dalam rangka meningkatkan berasal dari koleksi kultur murni yang produksi budidaya gaharu. dimiliki Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, kentang, II. BAHAN DAN METODE pisang, singkong, serbuk gergaji, bekatul, tepung tapioka, dan air suling. Sedangkan A. Lokasi Penelitian alat yang digunakan dalam penelitian ini Penelitian dilaksanakan di dua lokasi adalah mikroskop, freezer , clean bench , yaitu Laboratorium Perlindungan Hutan cawan petri, hand sprayer , autoclave , Universitas Mulawarman untuk proses aluminium foil, pinset, lampu bunsen, perbanyakan jamur dan proses inokulasi spiritus, botol kaca (ex UC1000) 140 cc, pada pohon penghasil gaharu dilakukan di hand counter, stick label, meteran, bor Desa Bukit Raya Kecamatan Tenggarong listrik, genset, kabel listrik 30 m, kamera, Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara paku, tally sheet , spidol dan ATK. Propinsi Kalimantan Timur. Peta lokasi penelitian yang berada pada titik koordinat S 0˚ 25” 44.6”, dan E 117˚ 4’ 25.3” disajikan pada gambar 1.

Gambar (Figure ) 1. Peta lokasi penelitian ( Map of research site ) Sumber ( Source ): http://loketpeta.pu.go.id/peta-infrastruktur-kabupaten-kutai-kartanegara- 2012

53 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

C. Metode Penelitian Pembuatan inokulan gaharu pada Media Agar dan Cair media cair dan media padat Media tempat tumbuh jamur yang Media cair yang digunakan pada digunakan pada penelitian ini berbasis penelitian ini adalah media ekstrak pada tiga jenis ekstrak bahan organik yaitu kentang, pisang dan singkong dengan kentang, pisang dan singkong dengan penambahan 18 gram gula pasir. kandungan nutrisi terlihat pada Tabel 1. Kemudian disterilisasi dengan cara Komposisi media tersebut terdiri atas (per dipanaskan sampai mendidih. Media 350 ml): 15 gram agar-agar, 18 gram gula padat (campuran serbuk gergaji) yang pasir dan ekstrak organik (kentang, pisang digunakan terdiri dari 75% serbuk gergaji, atau singkong) sebanyak 70 gram. 22% bekatul, dan 3% tepung tapioka. Sementara media cair dibuat tanpa Media padat tersebut kemudian penambahan agar. Kemudian media ditambahkan masing-masing ekstrak tersebut disterilisasi dengan cara kentang, ekstrak pisang dan ekstrak dipanaskan menggunakan autoclave pada singkong (1 liter per kilogram). Setelah suhu 121 o C dengan tekanan 1 kg/cm2 itu, botol-botol yang telah terisi media selama 20 menit . disterilisasi menggunakan autoclave atau o pengukus ada suhu 121 C dengan tekanan 2 Fermentasi pada Media Agar 1 kg per cm selama 20 menit. Isolat jamur Isolat jamur Fusarium sp. yang yang tumbuh pada media organik tumbuh pada media agar dipotong dengan (kentang, pisang dan singkong), kemudian ukuran 25 mm x 25 mm dan potongan dipotong dengan ukuran 50 mm x 50 mm tersebut diletakkan ditengah permukaan dan potongan tersebut dimasukan ke media agar yang terbuat dari tiga jenis dalam botol yang terbuat dari tiga jenis ekstrak organik yang berbeda. Kultur media padat (campuran media serbuk jamur pada cawan petri disimpan pada dengan ekstrak organik yang berbeda). suhu ruang dan di tempat gelap. Setiap Biakan jamur yang telah difermentasi perlakuan media agar diulang sebanyak pada media cair dan padat diinkubasi lima ulangan. Kecepatan tumbuh miselia dengan waktu inkubasi yang berbeda yaitu jamur pada media di cawan petri diamati 60 hari dan 90 hari, sebelum setiap hari. Kemudian untuk menghitung diinokulasikan pada pohon penghasil persentase perkecambahan spora, gaharu. dilakukan dengan mengambil sedikit bagian miselia jamur yang tumbuh pada Proses Inokulasi pada Pohon Penghasil tiga jenis sari organik dan diencerkan Gaharu sampai semua objek spora teramati di Metode inokulasi yang digunakan bawah mikroskop dengan jelas. dalam penelitian ini adalah metode biologi Pengenceran dilakukan dengan empat cara yang merupakan teknik inokulasi dengan yaitu dengan menggunakan sari kentang, menggunakan mikroba atau jasad renik sari pisang, sari singkong dan air suling. (Cui et al., 2013; Santoso, 2014b). Proses Masing-masing media diulang sebanyak inokulasi diawali dengan cara memilih tiga kali. Kecepatan spora berkecambah, pohon sampel yang akan diinokulasi diamati selama masa inkubasi selama 15 dipilih secara sengaja dengan kriteria sampai 20 jam dengan bantuan pohon dalam kondisi sehat, umur pohon mikroskop. sekitar 4-5 tahun atau diameternya lebih dari 10 cm. Jumlah pohon yang dipilih sebanyak 60 pohon, dengan rincian

54 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk) masing-masing 10 pohon untuk perlakuan menggunakan injektor dengan dua jamur yang tumbuh pada media ekstrak perlakuan yaitu 1 ml per lubang dan 0,5 ml kentang, ekstak pisang, ekstrak singkong, per lubang yang dicampur dengan media campuran serbuk gergaji dengan ekstrak serbuk gergaji atau media campuran. kentang, ekstrak pisang, dan ekstrak Perlakuan pada batang yaitu melubangi singkong. Perlakuan untuk masing- batang pohon sampel menggunakan bor masing pohon seperti yang terdapat pada listrik berdiameter 0,5 cm sedalam 5 cm gambar 2. dengan tinggi pohon 3 m, pada tiap 1 m, 2 Bagian batang yang diinokulasi m, dan 3 m masing-masing terdapat 20 dimulai dari ketinggian 5 cm dari lubang dari sisi depan dan belakang, 20 permukaan tanah dengan jarak antar lubang dikupas kulit batangnya dari sisi lubang 10 cm sebanyak 120 lubang per kanan dan kiri (Gambar 2). Lubang dibuat pohon. Hal serupa pula telah dijelaskan agak miring ke bawah agar inokulan tidak bahwa, jarak inokulasi untuk jenis keluar. Setelah empat bulan barulah Aquilaria sp. yang paling efektif adalah 10 diukur luas infeksi yang dihasilkan dari cm (Santoso & Turjaman, 2011). Inokulan beberapa media dan perlakuan tersebut. dimasukkan ke dalam lubang bor

Tabel ( Table ) 1. Kandungan nutrisi kentang, pisang dan singkong ( Nutritional content of potato, banana and cassava ) Kentang Pisang Singkong Kandungan nutrisi ( Nutrition content ) per 100 g (Potato ) (Banana ) (Cassava ) Kalori (Calory) (kcal) 82 88 146 Lemak (Fat) 0,1 g 0,3 g 0,3 g Karbohidrat (Carbohidrate) 18 g 23 g 35 g Gula (Sugar) 0,8 g 12 g 1,7 g Protein (Protein) 2 g 1,1 g 1,2 Vitamin (Vitamin) B6 (0,3 mg) B6 (0,4 mg) B6 (0,1 mg) Sumber ( Source ) : Okigbo (1980)

Gambar (Figure ) 2. Perlakuan pada pohon penghasil gaharu (Treatment of the agarwood tree )

55 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

D. Analisis Data (2) Kecepatan Tumbuh Miselia Jamur Kecepatan tumbuh miselia dilakukan dengan cara mengukur pertambahan Keterangan (Remarks): diameter miselia pada cawan petri per hari PS = Persentase perkecambahan spora hingga mencapai tepi cawan petri. Satuan (Percentage of spora pengukuran yang digunakan adalah cm germination) per hari. SK = Jumlah spora berkecambah Kecepatan tumbuh rata-rata miselia (Number of germinated spora) jamur per hari dihitung dengan TS = Jumlah spora keseluruhan (Total menggunakan rumus Pers. (1) sebagai number of spora) berikut: Perlakuan pada ketiga media tersebut adalah setelah pengenceran ∑(PM 1 + PM n ) KM = (1) dengan ekstrak kentang, pisang, wortel, JH dan air suling. Keterangan (Remarks): KM = Kecepatan tumbuh miselia jamur Perbandingan Infeksi Pohon Penghasil (Growth rate of fungi micelia) Gaharu dari Beberapa Media dan PM1 = Panjang miselia hari ke-1 Perlakuan (Micelia length of the First day) Infeksi akibat serangan jamur pada PMn = Panjang miselia hari ke-n batang dideskripsi secara kualitatif (Micelia length of the n th day) perubahan secara fisik dari batang yang JH = Jumlah hari (Number of days) terinfeksi oleh jamur. Kemudian media tumbuh jamur dan perlakuan yang paling Hasil tersebut dianalisis perbedaan- efektif dalam menginfeksi pohon nya menggunakan One Way ANOVA penghasil gaharu dihitung berdasarkan dengan tingkat kepercayaan 95% dan nilai rata-rata luas gejala infeksi pada rancangan percobaan yang digunakan masing-masing pohon dan masing-masing adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) ketinggian per meter. Luas infeksi pohon yang terdiri dari tiga perlakuan dan lima diperoleh dari jumlah luas infeksi jamur ulangan. Untuk mengetahui beda nyata pada batang yang dihasilkan dalam satu antar perlakuan digunakan uji lanjut yaitu pohon penghasil gaharu dengan satuan multiple comparation dengan uji Duncan . cm 2. Luas infeksi tersebut kemudian Persentase Perkecambahan Spora dianalisis menggunakan One Way ANOVA Persentase perkecambahan spora dan rancangan percobaan menggunakan diukur dengan cara menghitung jumlah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri spora yang berkecambah dibagi dengan dari 12 perlakuan dan lima ulangan. Untuk jumlah spora keseluruhan dikali 100% mengetahui beda nyata antar perlakuan selama masa inkubasi 15 sampai 20 jam di digunakan uji lanjut yaitu uji Duncan . bawah mikroskop. Persentase berkecambah spora jamur dihitung dengan menggunakan

Pers. (2) sebagai berikut:

56 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN berbahan kentang, pisang, dan singkong A. Kecepatan Tumbuh Miselia pada yang telah diamati selama delapan hari Media Ekstrak Kentang, Pisang, disajikan pada Tabel 2. dan Singkong Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui rata-rata kecepatan tumbuh per hari untuk Hasil pengukuran kecepatan tumbuh setiap media berbeda-beda. Hal ini dapat miselia dengan media berbahan kentang, dilihat pada ulangan 1-5 terdapat selisih pisang, dan singkong yang telah diamati panjang miselia antara 0,1-0,6 mm per selama delapan hari terdapat perbedaan hari. Keadaan tersebut membuktikan (Tabel 2), sehingga dapat diketahui bahwa bahwa penggunaan media tumbuh dapat bahan yang digunakan dalam pembuatan mem-pengaruhi pertumbuhan miselia media tumbuh dapat mempengaruhi jamur. Bahan organik dalam jumlah besar kecepatan tumbuh miselia. Kecepatan dalam suatu media akan mendukung per- tumbuh miselia jamur merupakan awal tumbuhan miselia (Fauzia, Yusran, & dari pertumbuhan jamur. Miselia berperan Irmasari, 2014; Nurbaya et al., 2014). dalam proses penyerapan makanan dan Meskipun dari Tabel 2. terdapat memproduksi spora. Penggunaan media selisih rata-rata panjang miselia antara tumbuh dengan media tambahan yang ketiga media, tetapi menggunakan Anova berbeda dapat memengaruhi pertumbuhan dengan taraf kepercayaan 95% dan selisih miselia jamur (Santoso & Turjaman, nilai rata-rata luas infeksi media ekstrak 2011; Suharnowo et al., 2012; Santoso et kentang antara 9,8 sampai 10,2 mm per al., 2016). hari, dapat diketahui bahwa tidak terdapat Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam perbedaan antara ketiga media tersebut suatu substrat, nutrisi yang dibutuhkan dalam mempengaruhi pertumbuhan jamur telah tersedia, tetapi tidak sebanyak miselia atau dapat disimpulkan bahwa yang dibutuhkan untuk proses per- media berbahan kentang, pisang, maupun tumbuhan (Suharnowo et al., 2012). singkong memiliki kemampuan yang Penambahan nutrisi dari luar sebagai sama dalam mempengaruhi pertumbuhan campuran media tumbuh untuk memacu miselia. Hal ini disebabkan karena ketiga pertumbuhan jamur sangat diperlukan, bahan tersebut memiliki kandungan sehingga penggunaan media sari kentang, nutrisi yang cukup dibutuhkan untuk pisang, dan singkong sangat berperan pertumbuhan jamur. dalam proses pertumbuhan miselia.

Kecepatan tumbuh miselia dengan media

Tabel ( Table ) 2. Kecepatan tumbuh miselia jamur dengan media berbahan kentang, pisang, dan singkong ( Mycelium growth of potato, banana and cassava infusion media) Pertumbuhan miselia/hari (Mycelia growth/day (mm)) Ulangan (Replication ) Kentang Pisang Singkong (Potato ) (Banana ) (Cassava ) 1 9,8 9,7 9,6 2 9,8 9,8 9,9 3 10,2 10,0 9,7 4 10,1 9,7 9,8 5 10,2 9,8 9,6 Jumlah (Total ) 50,1 49,0 48,6 Rerata ± SD (Average ) 10,0 ± 0,17 9,8 ± 0,14 9,7 ± 0,16

57 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

B. Persentase Perkecambahan Spora Selain media tumbuh, perlakuan Pada Media Ekstrak Kentang, media setelah pengenceran dengan cairan Pisang, dan Singkong dengan lain juga diketahui dapat mempengaruhi Beberapa Perlakuan kecepatan perkecambahan spora. Dalam Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui satu media tumbuh berbahan sama tetapi bahwa kecepatan berkecambah spora perlakuannya berbeda, maka kecepatan Fusarium sp. dengan media berbahan perkecambahan sporanya juga akan ekstrak kentang, pisang, dan singkong berbeda. Waktu perkecambahan yang mulai dihitung dalam waktu 15 jam berbeda setiap spora akan mempengaruhi setelah pengenceran dengan ekstrak tingkat pertumbuhannya (Nurhandayani et kentang, ekstrak pisang, ekstrak singkong, al., 2013). Media tumbuh yang dapat dan air suling. Kecepatan berkecambah meningkatkan kecepatan perkecambahan masing-masing media bervariasi hingga spora dapat menghasilkan luas infeksi mencapai 100%. Selisih waktu per- yang besar pula ketika diinokulasikan kecambahan tiap media antara yang pada pohon penghasil gaharu. tercepat dan terlambat mencapai tiga jam.

Tabel ( Table ) 3. Persentase kecambah pada media ekstrak kentang, pisang, dan singkong dengan beberapa perlakuan ( Spore germination percentage of potato, banana and cassava infusions medias on some treatments ) Persentase perkecambahan spora setelah pengenceran (Percentage of germinated spora after media mixing ) Media asal Media pengencer (%) (Origin media ) (Solvent media ) 15 jam 16 jam 17 jam 18 jam 19 jam 20 jam (Hour ) (Hour ) (Hour ) (Hour ) (Hour ) (Hour ) Ekstrak kentang Ekstrak kentang (Potato 49,0 79,0 100 - - - (Potato extract) extract) Ekstrak pisang 47,9 76,5 100 - - - (Banana extract) Ekstrak singkong (Casava 48,0 73,5 88,5 100 - - Extract) Air suling (Distilled water) 44,5 49,0 68,5 89,0 100 - Ekstrak pisang Ekstrak kentang (Potato 43,5 64,0 90,5 100 - - (Banana extract) extract) Ekstrak pisang (Banana 43,0 64,0 79,0 92,5 100 - extract) Ekstrak singkong (Casava 37,5 59,5 66,0 87,5 100 - Extract) Air suling (Distilled water) 30,0 48,0 63,0 84,5 100 - Ekstrak singkong Ekstrak kentang (Potato 29,0 47,5 58,0 74,0 89,0 100 (Casava Extract) extract) Ekstrak pisang (Banana 28,5 42,5 52,5 68,5 84,5 100 extract) Ekstrak singkong (Casava 27,5 39,0 50,0 62,5 78,5 100 Extract) Air suling (Distilled water) 21,5 34,0 44,0 55,0 73,5 100

58 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk)

Dari ketiga media tersebut, kecepatan 2012). Hasil pengukuran terhadap rata- berkecambah spora jamur yang paling rata luas infeksi dari beberapa media dan rendah adalah perlakuan setelah perlakuan disajikan pada Tabel 4. pengenceran dengan air steril. Penyebab Berdasarkan Tabel 4 jumlah pohon utamanya dikarenakan oleh kandungan yang terinfeksi dengan media ekstrak nutrisi yang sangat rendah dari air steril. kentang, pisang, singkong, dan madia Media organik yang kurang nutris dapat campuran serbuk dengan ekstrak kentang, menyebabkan rendahnya pertumbuhan pisang, dan singkong adalah terinfeksi spora Fusarium sp. (Nurbaya et al., 2014). seluruhnya (100%) dengan ditandai Kemudian juga dijelaskan bahwa adanya perubahan warna kayu gubal kandungan gula dalam media mampu gaharu dari putih-krem menjadi coklat, menstimulasi perkecambahan spora jamur tetapi aroma dari kayu gubal gaharu masih (Boyette & Hoagland, 2012). belum dihasilkan. Infeksi yang terjadi Ukuran spora yang lebih kecil dapat pada pohon penghasil gaharu disebabkan menyebabkan fase hidrasi berlangsung adanya jamur Fusarium sp. Jamur tersebut sangat cepat, sehingga aktivitas enzim mampu menginduksi pembentukan yang berhubungan dengan proses gaharu pada pohon Aquilaria sp. (Putri, perkecambahan akan berlangsung lebih 2011; Suhendra et al., 2012; Santoso, cepat (Saputra et al., 2015). Kemudian 2014b; Nurbaya et al., 2015). Tetapi kandungan nutrisi dalam air sebagai bahan terdapat perbedaan luas infeksi dari dalam pembuatan media juga dapat beberapa media tumbuh dan perlakuan. mempengaruhi perkecambahan spora Perbedaan tersebut memiliki selisih luas jamur Colletotrichum capsici dan infeksi sekitar 26 cm 2, sehingga dapat Fusarium oxysporum f. sp. Lycopersicii diketahui bahwa perbedaan media dan (Rosanti et al., 2014). Dengan demikian perlakuan dapat mempengaruhi luas media yang paling baik dan perlakuan infeksi batang pohon penghasil gaharu. yang paling efektif adalah media ekstrak Perbedaan perlakuan juga dapat kentang setelah pengenceran dengan mempengaruhui kualitas gubal gaharu ekstrak kentang dan pisang. (Vantompan et al., 2015). Kemudian perlakuan formulasi inokulan C. Perbandingan Infeksi Pohon berpengaruh nyata terhadap kandungan Penghasil Gaharu dari Beberapa resin dalam gubal gaharu (Mega et al., Media dan Perlakuan 2012). Gejala infeksi yang terlihat setelah Setelah dianalisis menggunakan empat bulan diinokulasi adalah perubahan Anova, dapat diketahui bahwa perlakuan warna pada kayu gubalnya (keputih- lubang (dikupas kulit dan tanpa dikupas putihan) menjadi putih keabu-abuan atau kulit batangnya) terdapat perbedaan yang kecoklatan. Warna dari gubal gaharu signifikan dan untuk media juga terdapat merupakan salah satu standar tinggi perbedaan yang signifikan antara media rendahnya kualitas gaharu (Iskandar & berbahan kentang, pisang, dan singkong Suhendra, 2013). Kualitas gaharu dalam menghasilkan luas infeksi, ditentukan oleh komponen keharuman dan sehingga dapat diketahui penggunaan kemampuan inokulan dalam menginfeksi beberapa media dan perlakuan dapat (Suhendra, Roswanjaya, & Handayani, mempengaruhi luas infeksi jamur.

59 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

Tabel ( Table ) 4. Rata-rata luas infeksi dari beberapa media dan perlakuan ( The average trees infection area of some media and treatments ) Luas infeksi No. (Infection area ) Rata-rata Rata-rata (Average ) (Average ) Perlakuan Media (cm 2) ± SD (cm 2) ± SD (Treatment ) (Media ) (Signifikan) (Signifikan) (Significant ) (Significant ) 1 Tanpa kupas pada ketinggian 2-3 17,87 ± 16,35 Ekstrak kentang 27,28 ± 8,42 m (Unpeeled on 2-3 m high) A (Potato Extract) A 2 Tanpa kupas pada ketinggian 1-2 16,35 ± 15,00 Ekstrak pisang 24,76 ± 8,06 m (Unpeeled on 1-2 m high) B (Banana Extract) B 3 Tanpa kupas pada ketinggian 0-1 12,86 ± 12,18 Ekstrak singkong 20,21 ± 6,46 m (Unpeeled on 0-1 m high) C Cassava extract) C 4 Dikupas pada ketinggian 2-3 m 11,23 ± 10,65 Campuran ekstrak 2,38 ± 1,03 (Peeled on 2-3 m high) D kentang dan serbuk D gergaji (Potato extract and sawdust mixed) 5 Dikupas pada ketinggian 1-2 m 10,25 ± 9,53 Campuran ekstrak 1,60 ± 0,40 (Peeled on 1-2 m high) D pisang dan serbuk D gergaji (Banana and sawdust mixed) 6 Dikupas pada ketinggian 0-1 m 8,95 ± 7,98 Campuran ekstrak 1,28 ± 0,36 (Peeled on 0-1 m high) E singkong dan serbuk D gergaji (Cassava extract and sawdust mixed) Keterangan ( Remarks) : Angka-angka yang diikuti dengan abjad yang berbeda berarti berbeda signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. LSD 5% = 1,238383 (Number followed by different letter means significantly different at the level of 95%. LSD 5% = 1,238383) .

Dengan menggunakan uji lanjutan, disebabkan jamur tersebut (Santoso, dapat diketahui bahwa media yang paling 2014a). baik dalam mempercepat produksi gaharu Luas infeksi yang diperoleh hanya yaitu media ekstrak kentang. Media sementara dan akan terus bertambah luas serbuk gergaji yang dicampur dengan seiring berjalannya waktu, karena besar- ekstrak kentang, pisang, dan singkong nya produksi gaharu dipengaruhi oleh memiliki luas infeksi paling kecil dan lamanya waktu setelah inokulasi. Selain tidak terdapat perbedaan yang signifikan. itu, semakin lama umur inokulasi maka Tetapi, pada dasarnya media ini masih semakin banyak resin wangi yang ter- mampu menginfeksi pohon (Hardiansyah akumulasi dan semakin tinggi kualitas et al., 2015). Infeksi pada pohon penghasil gaharu yang dihasilkan (Mucharromah, gaharu juga dapat dipengaruhi dari respon 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, pohon tersebut untuk mempertahankan kegiatan budidaya gaharu sebaiknya di- dan memulihkan dirinya. Daya tahan lakukan dengan sistem agroforestry, agar pohon juga akan menentukan pemenang ada hasil lain yang diusahakan selama antara pohon dengan penyakit yang

60 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk) menunggu waktu panen gaharu (Wuisang UCAPAN TERIMA KASIH et al., 2015). Terima kasih disampaikan kepada

Laboratorium Perlindungan Hutan IV. KESIMPULAN DAN SARAN Fakultas Kehutanan Unmul atas bantuan A. Kesimpulan selama pelaksanaan penelitian di laboratorium. Penulis juga mengucapkan Media ekstrak kentang, pisang dan terima kasih kepada Ibu Nikmah atas singkong memiliki kemampuan yang dukungan, saran, dan bimbingannya sama dalam menumbuhkan miselia jamur. selama melakukan kegiatan di Begitu pula pada perkecambahan spora laboratorium. Terima kasih juga jamur, media yang paling baik dan disampaikan kepada Bapak Herman perlakuan yang paling efektif adalah selaku pemilik kebun gaharu yang telah media ekstrak kentang setelah mengijinkan untuk melakukan penelitian pengenceran dengan ekstrak kentang dan di lokasi tersebut, serta para pengurus pisang. Pohon penghasil gaharu A. kebun gaharu yang telah banyak malaccensis yang diinokulasi dari membantu kegiatan di lapangan. beberapa media dan perlakuan berhasil terinfeksi 100%. Media ekstrak kentang yang DAFTAR PUSTAKA pertumbuhan miselia dan perkecambahan Boyette, C. D., & Hoagland, R. E. (2012). sporanya paling cepat merupakan media Interactions of chemical additives, yang paling baik dalam menginfeksi pH and temperature on conidia pohon penghasil gaharu, hal ini ditandai germination and virulence of dengan luasnya infeksi yang dihasilkan. Colletotrichum truncatum, a Perlakuan yang paling baik dalam bioherbicide of Sesbania exaltata . menghasilkan luas infeksi yang paling Allelopathy Journal , 30 (1), 103–116. besar adalah perlakuan tanpa dikupas kulit Retrieved from http://naldc.nal. batangnya. usda.gov/download/60780/PDF Cui, J., Guo, S., Fu, S., Xiao, P., & Wang, B. Saran M. (2013). Effects of inoculating Pengembangan teknik inokulasi fungi on agilawood formation in pohon penghasil gaharu harus terus Aquilaria sinensis. Chinese Science ditingkatkan untuk mempercepat proses Bulletin , 58 (26), 3280–3287. http:// pembentukan gaharu. Selain itu doi.org/10.1007/s11434-013-5856-5 perhitungan analisis finansial dari Fauzia, Yusran, & Irmasari. (2014). produksi gaharu pada kegiatan ini dan Pengaruh media tumbuh beberapa kualitas dari kandungan minyak gaharu limbah serbuk kayu gergajian yang dihasilkan juga perlu diketahui. terhadap pertumbuhan jamur tiram Informasi yang didapatkan bukan hanya putih (Pleurotus ostreatus ). Jurnal teknik inokulasi untuk mempercepat Warta Rimba , 2(1), 45–53. infeksi gaharu tetapi kualitas gaharu yang Hardiansyah, Afghani, J., & Arreneuz, S. dihasilkan dari teknik tersebut. (2015). Fermentasi serbuk kayu Aquilaria sp menggunakan kapang Fusarium sp. Jurnal Kimia

Khatulistiwa , 4(4), 41–44. Retrieved from

61 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jk Makassar. Retrieved from http:// kmipa/article/view/11349/10757 journal.uin-alauddin.ac.id/index.php Iskandar, D., & Suhendra, A. (2013). Uji /psb/article/view/431/408 inokulasi Fusarium sp untuk Nurhandayani, R., Linda, R., & Khotimah, produksi gaharu pada budidaya A . S. (2013). Inventarisasi jamur Beccariana . Jurnal Sains Dan mikoriza vesikular arbuskular dari Teknologi Indonesia , 14 (3), 182– rhizosfer tanah gambut tanaman 188. Retrieved from nanas (Ananas comosus (L.) Merr). http://ejurnal.bppt.go.id/ejurnal2011/ Jurnal Protobiont , 2(3), 146–151. index.php/jsti/article/download/938/ Okigbo, B. N. (1980). Nutritional 883 implications of projects giving high Lisdayani, Anna, N., & Siregar, E. B. M. priority to the production of staples (2015). Reisolasi dan identifikasi of low nutritive quality: the case for fungi pada batang gaharu (Aquilaria cassava (Manihot esculenta , Crantz) malaccencis Lamk.) hasil inokulasi. in the Humid Tropics of West Africa. Peronema Forestry Science Journal , Retrieved June 28, 2018, from 4(3), 1–5. Retrieved from http:// http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-0 jurnal.usu.ac.id/index.php/PFSJ/artic 0000-00---off-0fnl2.2--00-0----0-10- le/view/13114/5931 0---0---0direct-10---4------0-0l--11- Mega, I. M., Suanda, D. K., Ksniari, D. N., en-50---20-about---00-0-1-00---4-4- Suena, W., & Parwata, M. A. O. --0-0-11-11-0utfZz-8-10-00&a=d&c (2012). Formulasi inokulan jamur =fnl2.2&cl=CL3.66&d=HASH0162 pembentuk gubal gaharu pada b0a7690865eab1001f7b.1.1 tanaman ketimunan (Gyrinops Prastyaningsih, S. R., Ervayenri, & versteegii ) 1. Jurnal Agrotrop , 2(2), Azwin. (2015). Potensi pohon 139–144. Retrieved from http:// penghasil gaharu budidaya di ojs.unud.ac.id/index.php/agrotrop/ar Kabupaten Kampar Provinsi Riau. ticle/viewFile/7826/5904 Jurnal Wahana Foresta , 10 (2), 88– Mucharromah. (2010). Pengembangan 100. Retrieved from gaharu di Bengkulu, Sumatera. Info https://ejurnal.unilak.ac.id/index.php Hutan , 7(2), 117–128. /foresta/article/view/169/116 Nurbaya, Kuswinanti, T., Baharuddin, Putri, A. L. (2011). Studi Interaksi Rosmana, A., & Millang, S. (2014). Fusarium sp. dengan Pohon Gaharu Uji kecepatan pertumbuhan (Aquilaria sp.) Menggunakan Fusarium spp. pada media organik Pendekatan Sitologi . Institut dan media sintesis. Jurnal Bionature , Pertanian Bogor. 15 (1), 45–53. Rosanti, K. T., Sastrahidayat, I. R., & Nurbaya, Kuswinanti, T., Baharuddin, Abadi, A. L. (2014). Pengaruh jenis Rosmana, A., & Millang, S. (2015). air terhadap perkecambahan spora Eksplorasi Fusarium Spp yang jamur Colletotrichum Capsici pada berasosiasi dengan Aquillaria Spp di cabai dan Fusarium oxysporum f. sp. Kabupaten Nunukan Kalimantan lycopersicii pada tomat. Jurnal HPT , Utara. In Prosiding Seminar 2(3), 109–120. Nasional Mikrobiologi Kesehatan Saikia, P., & Khan, M. L. (2012). Agar dan Lingkungan (pp. 28–36). (Aquilaria malaccensis Lam.): A Makassar: Jurusan Biologi, Fakultas promising crop in the homegardens Sains dan Teknologi, UIN Alauddin of Upper Assam, northeastern India.

62 Pengujian Bahan Organik sebagai Media Tumbuh Fusarium Sp. Pembentuk Gaharu…(Denny, dkk)

Journal of Tropical Agriculture , onal+gaharu+gaharu&ots=0Dv- 50 (2), 8–14. hkFlkO&sig=igwQhFk1j3if5T0QeI Santoso, E. (2014a). Teknologi 0bz4FfFtc&redir_esc=y#v=onepage Bioinduksi Gaharu. In A. Susmianto, &q=pasar internasional gaharu M. Turjaman, & P. Setio (Eds.), gaharu&f=false Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi Sitepu, I. R., Santoso, E., & Turjaman, M. Teknologi Badan Litbang Kehutanan (2011). Identification of Eaglewood (II, pp. 135–156). Bogor, Indonesia: (Gaharu) Tree Species Forda Press. Susceptibility. Technical Report No. Santoso, E. (2014b). Teknologi 1. Bogor, Indonesia. Bioinduksi Jamur Pembentuk Suharnowo, Budipramana, L. S., & Gaharu. In A. Susmianto, M. Isnawati. (2012). Pertumbuhan Turjaman, & P. Setio (Eds.), Rekam miselia dan produksi tubuh buah Jejak: Gaharu Inokulasi Teknologi jamur tiram putih (Pleurotus Badan Litbang Kehutanan (II, pp. Ostreatus ) dengan memanfaatkan 33–68). Bogor, Indonesia: Forda kulit ari biji kedelai sebagai Press. campuran pada media tanam. Jurnal Santoso, E., Agustini, L., Sitepu, I. R., & LenteraBio , 1(3), 125–130. Turjaman, M. (2016). Efektivitas Suhendra, A., Roswanjaya, Y. P., & pembentukan gaharu dan komposisi Handayani, D. P. (2012). Aplikasi senyawa resin gaharu pada Aquilaria inokulasi fusarium untuk spp. Jurnal Penelitian Hutan Dan mempercepat proses pembentukan Konservasi Alam , 4(6), 543–551. dan produksi gubal gaharu di Santoso, E., & Turjaman, M. (2011). Kabupaten Penajam Paser Utara Standardization dan Effectiveness of Kalimantan Timur. In Prosiding Bioinduction on Gaharu InSINas. Seminar Nasional Insentif Development and Its Qualities. In Riset SINAS : Membangung Sinergi Proceeding of Gaharu Workshop Riset Nasional untuk Kemandirian Bioinduction Technology for Teknologi (pp. 64–69). Sustainable Development and Susmianto, A., & Santoso, E. (2014). Conservation of Gaharu (pp. 19–36). Ketika Gaharu Menjadi “Booming. ITTO PD425/06. In A. Susmianto, M. Turjaman, & P. Saputra, B., Linda, R., & Lovadi, I. Setio (Eds.), Rekam Jejak: Gaharu (2015). Jamur mikoriza vesikular Inokulasi Teknologi Badan Litbang arbuskular (MVA) pada tiga jenis Kehutanan (II, pp. 3–15). Bogor, tanah rhizosfer tanaman pisang nipah Indonesia: Forda Press. (Musa paradisiaca L. var. nipah) di Turjaman, M. (2014). Industri Hulu Hilir Kabupaten Pontianak. Jurnal Gaharu. In A. Susmianto, Maman Probiont , 4(1), 160–169. Turjaman, & P. Setio (Eds.), Rekam Setyaningrum, H. D., & Saparinto, C. Jejak: Gaharu Inokulasi Teknologi (2014). Panduan Lengkap Gaharu . Badan Litbang Kehutanan (II, pp. (T. Kamal & B. W. Prasetya, Eds.) 185–216). Bogor, Indonesia: Forda (1st ed.). Jakarta: Penebar Swadaya Press. Grup. Retrieved from Turjaman, M., & Hidayat, A. (2016). https://books.google.co.id/books?hl Estimasi Produksi Gaharu Budidaya =id&lr=&id=V2IDBwAAQBAJ&oi Berbasis Inokulan Fusarium. In M. =fnd&pg=PA3&dq=pasar+internasi Bismark & E. Santoso (Eds.),

63 Vol. 15 No. 1, Juni 2018 : 51-64

Membangun Hasil Hutan yang Jurnal Kimia Khatulistiwa , 4(1), 34– Tersisa (I, pp. 39-86). Bogor, 37. Indonesia: Forda Press. Wuisang, J. L., Gafur, S., & Yurisnthae, Vantompan, W. D. P., Arreneuz, S., & E. (2015). Analisis finansial Wibowo, M. A. (2015). usahatani gaharu (Aquilaria Perbandingan inokulan Fusarium sp malaccencis Lam.) di Kabupaten menggunakan metode infus dan Sanggau. Jurnal Social Economic of injeksi untuk mendapatkan gaharu Agriculture , 4(1), 70–82. pada pohon Aquilaria malaccensis .

64

PETUNJUK BAGI PENULIS INSTRUCTIONS TO AUTHORS

BAHASA : Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia. LANGUAGE: Manuscripts should be written in Bahasa Naskah dalam bahasa Inggris dipertimbangkan. Indonesia. Articles in English will be considered. FORMAT : Naskah diketik dua spasi pada kertas FORMAT: Manuscripts should be typed double-spaced A4 putih, satu permukaan; jenis huruf Times New on one face of A4 white paper. The font is Times New Roman 12; pada semua tepi kertas disisakan ruang Roman 12. A 3.5 cm margin should be left in all side of kosong 3,5 cm. the edge. JUDUL: Akurat, singkat, informatif; TITLE: Title should be accurate, concise, informative; menggambarkan isi; mengandung kata kunci; tidak describing the contents; containing keywords; no more lebih dari 2 baris atau 13 kata; ditulis dalam bahasa than 2 lines or 13 words; written in bahasa Indonesia Indonesia (terjemahan bahasa Inggris ditulis (with English translation in italic, placed between miring, diletakkan antara tanda kurung); hindari brackets); avoid the verb, the formula, the language pemakaian kata kerja, rumus, bahasa singkatan dan abbreviation and unofficial languange. tidak resmi. NAMA PENULIS: Dicantumkan di bawah judul; AUTHOR NAME: Listed under title; completely written ditulis lengkap tanpa kualifikasi akademik; urutkan without academic qualifications; sort by first author, berdasarkan penulis pertama, kedua, dan second, and so on; including agency address and e-mail seterusnya; cantumkan alamat instansi dan e-mail of the author. penulis. ABSTRAK: Ditulis dalam bahasa Indonesia dan ABSTRACT: Written in Bahasa Indonesia and English; bahasa Inggris; tidak lebih dari 200 kata, berupa no more than 200 words, comprise informative essence intisari menyeluruh mengenai permasalahan, of the entire content of the the problems, objectives, tujuan, metodologi, hasil penelitian. methodology, and results. KATA KUNCI: Ditempatkan di bawah abstrak; KEYWORDS: Written under abstract; overviewing of gambaran masalah yang dibahas; maksimum 5; the issues discussed; maximum are 5; separately written, ditulis terpisah, dari yang bersifat umum ke hal from the general to the specific nature. yang bersifat khusus. PENDAHULUAN: Berisi latar belakang (rumusan INTRODUCTION: Containing background (problem permasalahan, pentingnya penelitian, pemecahan formulation, the importance of research, problem masalah); tujuan (hasil yang ingin dicapai); sasaran solving); objectives (desired outcomes); targets (specific (hasil spesifik sebagai hasil antara untuk mencapai outcomes as a result to achieve the goal). tujuan). BAHAN DAN METODE: Menjelaskan waktu dan MATERIALS AND METHODS: Describing the time and lokasi penelitian; bahan dan alat yang digunakan; location of the study; materials and tools used; and metode penelitian (rencana penelitian dan analisis research methods (research plan and data analysis). data). HASIL: Disajikan dalam bentuk uraian umum; RESULTS: Presented in the form of general description; disusun sesuai tujuan penelitian; tabulasi, grafik, prepared based on research purposes; tabulation, charts, analisis dilengkapi tafsiran yang benar; angka analysis completed with the correct interpretation; dalam tabel tidak perlu diuraikan, cukup figures in the table do not need to be described, simply dikemukakan makna atau tafsiran; metode statistik stated meanings or interpretations; statistical methods yang digunakan harus dikemukakan; prinsip dasar used should be stated; basic principles of the method metode harus diterangkan dengan referensi atau must be explained with reference or other information; keterangan lain; penulis mengemukakan pendapat authors express their opinions in an objective manner, secara objektif, dilengkapi data kuantitatif. completed with quantitative data. PEMBAHASAN: Dapat menjawab apa arti hasil DISCUSSION: Should answer the meaning of the results yang dicapai dan implikasinya; menafsirkan hasil obtained and their implications; interpreting the results dan menjabarkan; mengemukakan hubungan and outlines; suggests a relationship with the results of dengan hasil penelitian sebelumnya; hasil previous studies; research results interpreted and linked penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan to the hypothesis and research objectives; argued the hipotesis dan tujuan penelitian; mengemukakan facts found and an explaining why it happened; explain fakta yang ditemukan dan penjelasan mengapa hal the progress of research and development possibilities in tersebut terjadi; menjelaskan kemajuan penelitian the future. dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

PETUNJUK BAGI PENULIS INSTRUCTIONS TO AUTHORS

TABEL : Judul tabel, judul kolom, judul lajur, dan TABLE: Table title, column title, and the necessary keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa information is written in Bahasa Indonesia and English Indonesia dan Inggris (dicetak miring) dengan jelas (in italics) with a clear and concise; given number; using dan singkat; diberi nomor; penggunaan tanda koma a comma (,) and dot (.) The respective numbers in each (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing- table demonstrating the value of fractions / decimals and masing menunjukkan nilai pecahan/desimal dan roundness thousand. kebulatan seribu. GAMBAR GARIS : Grafik dan ilustrasi lain yang LINE DRAWING: Graphs and other line drawing berupa gambar garis harus kontras; diberi nomor, illustrations must be drawn in high contrast black ink. judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Each drawing must be numbered, title, and supplied Indonesia dan Inggris (dicetak miring). with necessary remarks in Bahasa Indonesia and English. FOTO : Mempunyai ketajaman yang baik, diberi PHOTOGRAPH: Photographs submitted should have judul dan keterangan seperti pada gambar. high contrast, and must be supplied with the title and description as shown in the picture. DAFTAR PUSTAKA : Minimal 10 pustaka; REFERENCES: At least 10 references; refering to APA merujuk APA Style; disusun menurut abjad nama Style; organized alphabetically by author name; 80% pengarang; 80% terbitan 5 tahun terakhir dan 80% from last 5 years issues, and 80% from the primary berasal dari sumber acuan primer, kecuali buku reference sources, except for specific science textbooks teks ilmu-ilmu tertentu (matematika, taksonomi, (mathematics, , climate). iklim). PENGIRIMAN: Naskah dikirim ke Sekretariat SUBMISSION : Two copies of manuscripts and its soft redaksi dalam bentuk hard copy (2 eksemplar) dan file should be submitted to the secretariate. An official soft copy dalam format Microsoft Word. letter from the authors’ institution is required. Pengiriman naskah disertai dengan surat pengantar dari instansi asal.

Hepburn, R. & Radloff, S. (2006). Morphological variation in the pollen collecting apparatus of honey bees. Journal of Apicultural Research & Bee World 45(1), 25-26. Kementerian Kehutanan (2009). Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009 tentang penetapan DAS prioritas dalam rangka RPJM tahun 2010-2014. Jakarta: Sekretariat Jenderal. Nita, T. (2002). Dampak penebangan hutan terhadap sistem tata air di DAS Cimanuk. Diakses tanggal 5 Maret 2004 dari http://www.minggupagi.com/article . Siregar, C.A. (2007). Pendugaan biomasa pada hutan tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) dan konservasi karbon tanah di Cianten, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV (3), 251-266. Steel, R. G. D. & Torrie, J. H. (1981). Principles and procedures of statistic. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Inc. Subiakto, A. & Sakai, C. (2006). Pengembangan teknologi stek pucuk untuk hutan tanaman. Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi : Teknologi untuk Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, tanggal 29-30 Juni 2005 di Mataram (pp. 1-7). Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Einar, V.K. (2007). Screening of eating disorders in the general population. In P.M. Goldfarb (Ed.), Psychological test and testing research trends (pp. 141-50). New York: Nova Science. Gilbert, D.G., McClernon, J.F., Rabinovich, N.E., Sugai, C., Plath, L.C., Asgaard, G., …Botros, N. (2004). Effect of quitting smoking on EEG activation and attention last for more than 31 days and are more severe with stress, dependence, DRD2 A1 allele, and depressive traits. Nicotine and Tobacco Research, 6, 249-67.

Catatan: Untuk jumlah Penulis sampai dengan tujuh, ditulis seluruhnya. Untuk jumlah Penulis lebih dari delapan, enam Penulis awal ditulis seluruhnya; Penulis ketujuh sampai Penulis sebelum Penulis terakhir, ditulis dalam bentuk …, Penulis terakhir ditulis sebagaimana enam Penulis awal. Volume 15 Nomor 1, Juni Tahun 2018: 1-64