FIQH MINORITAS Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan

FIQH MINORITAS Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA. © LKiS, 2010 xxvi + 322 halaman; 14,5 x 21 cm 1. Fiqh al-aqalliyyât 2. Maqâshid al-syarî‘ah 3. Minoritas muslim 4. Barat

ISBN: 979-25-5335-5 ISBN 13: 978-979-25-5335-2

Kata Pengantar: Prof. Dr. Abd. A’la, MA. Editor: Ahmala Arifin Rancang Sampul: Haitami el Jaid Penata Isi: Santo

Penerbit & Distribusi: LKiS Yogyakarta Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 Faks.: (0274) 379430 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected]

Cetakan I: Desember 2010

Percetakan: PT. LKiS Printing Cemerlang Salakan Baru No. 3 Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 417762 e-mail: [email protected]

PENGANTAR REDAKSI

Sejatinya, hukum dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia, tak terkecuali hukum yang diyakini bersumber dari al-Qur’an, hadits, ataupun imam-imam madzhab (fiqh). Apabila hukum tidak lagi mengkaver kepentingan maslahah manusia, saat itu pula hukum perlu ditinjau kembali dan selanjut- nya dibuatkan hukum yang baru yang lebih akomodatif, dengan tetap tidak menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama, yang dalam khazanah fiqh disebut kulliyatul khams (perlindungan agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal). Sejauh proses-proses istinbâth hukum berpijak pada kerangka nilai yang lima tersebut, maka suatu produk hukum berhak diperlakukan sebagai hukum yang legiti- mate , apapun metode dan pendekatan yang digunakan dalam mereproduksi hukum tersebut. Bukankah sabda Nabi “Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu” jika pahami secara lebih luas tidak hanya menyangkut urusan duniawi an sich, tetapi juga urusan hukum (hukum dalam pengertian yang luas) selama hukum itu membawa mashlahah bagi pelaku dan masyarakatnya? Apalah artinya hukum yang “agung” kalau tidak membawa kemaslahatan bagi pelakunya?! Kira-kira inilah yang ingin dikedepankan oleh buku ini dengan menghadirkan gagasan fiqh al-aqalliyât melalui pendekatan maqâshid al-syarî’ah.

v digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Namun demikian, kesimpulan di atas tidak berarti meng- anggap remeh dan mempermainkan hukum (Islam), alih-alih menyederhanakan metode dan prosedur dalam istinbâth hukum. Tetap saja kualifikasi-kualifikasi tertentu dalam proses istinbâth hukum itu diperlukan, entah itu bagi mujtahid hukum, prosedur- prosedur (metode), ataupun kondisi realitas yang berkembang di masyarakat (kondisi baru yang mengharuskan terwujudnya suatu produk hukum yang baru). Buku ini dalam diskursus hukum Islam di Indonesia bisa

disebut sebagai buku pertama yang secara khusus mengkaji Maqâshid al-syarî‘ah sebagai metode pendekatan. Selama ini kita hanya memosisikan Maqâshid al-syarî‘ah sebagai kerangka nilai

yang mendasari setiap produk hukum, lalu berpegang pada kaidah- kaidah ushûl dalam proses istinbâth-nya. Maqâshid al-syarî‘ah dalam buku ini telah berevolusi dan bermetamorfosis sebagai

sebuah metode pendekatan guna menghasilkan produk-produk hukum Islam yang kompatibel dengan kebutuhan masing-masing komunitas, sehingga melahirkan apa yang disebut fiqh minoritas

(fiqh al-aqalliyyât) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat minoritas muslim yang hidup di Barat. Perspektif inilah yang membedakan buku ini dengan buku-buku yang serupa yang telah

beredar di pasaran, sebuah buku yang menghadirkan perspektif baru dengan penggunaan metodologi yang dapat dipertanggung- jawabkan secara ilmiah-akademis.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ahmad Imam Mawardi, yang telah mempercayakan penerbitan karyanya ini kepada kami. Kepada sidang pembaca yang budiman, kami persembahkan buku terbaru kami seraya berharap buku ini semakin memperkaya pembaca, baik dalam hal wacana maupun perspektif. Selamat menikmati!

vi digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

PENGEMBANGAN FIQH MINORITAS, REPRESENTASI ISLAM YANG MENYEJARAH Oleh: Prof. Dr. Abd. A’la, MA.

Saat ini umat Islam yang hidup di daerah yang berpenduduk minoritas muslim merupakan hal yang sangat jamak ditemui. Menurut perkiraan ketua Union of Islamic Organizations in Europe (UIOE), terdapat sekitar 15,84 juta umat Islam yang hidup di Eropa Barat. Mereka merupakan 4,45 persen dari total populasi. Sedang- kan di Amerika Serikat, berdasarkan taksiran The Council on American Islamic Relations (CAIR), jumlah mereka berkisar antara 6 sampai 7 juta jiwa.1 Mereka pada umumnya adalah kaum imigran, yang dari generasi ke generasi telah berkewarganegaraan

di negara tempat mereka hidup dan bertempat tinggal, hingga saat ini. Sedangkan dari kalangan pribumi yang melakukan konversi ke Islam kian bertambah dari hari ke hari. Jumlah itu tampaknya

akan terus membesar sehingga diperkirakan pada tahun 2050, satu dari lima orang Eropa akan menjadi muslim, dan pada tahun 2100, 25% populasi masyarakat Eropa adalah muslim.2 Di Amerika

Serikat, Islam juga mengarah menjadi agama terbesar ketiga setelah Kristen dan Yahudi.

1 Lihat Shammai Fishman, Fiqh al-Aqalliyat: A Legal Theory for Muslim Minority, Monograf Penelitian tentang Dunia Muslim, Seri No. 1, Makalah No. 2, Oktober 2006, (Center on Islam, Democracy, and the Future of the Muslim World, Hudson Institute), hlm. 1.

vii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Dalam kehidupan sehari-hari, minoritas muslim dalam lingkungan semacam itu seringkali dihadapkan pada satu atau be- ragam persoalan yang membuat keberagamaan mereka tergelitik/ terusik. Realitas kehidupan yang mengitari mereka memper- lihatkan aspek-aspek yang bisa dianggap kurang kondusif, tidak bersesuaian atau bertentangan dengan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka yakini selama ini. Dalam bahasa lain, keberagamaan yang mereka jalani harus berhadapan dan sering terjebak (dalam konflik) oleh budaya dan nilai-nilai yang berkembang pada “the host societies”.

Ironisnya, fiqh atau jurisprudensi Islam “konvensional” sebagai rujukan keagamaan mereka, justru tidak bisa memberikan

jawaban, lebih-lebih solusi yang memadai terhadap realitas kehidupan tersebut. Karena itu, selama minoritas muslim tetap berpegang pada doktrin-legal tersebut, dapat dipastikan bahwa

mereka tidak akan bisa sepenuhnya terintegrasi ke dalam masya- rakat Barat. Di samping itu, mereka tentunya merasa kesulitan untuk menjalani kehidupan secara wajar dan alami.

Persoalan kian runyam dan kompleks karena menguatnya Islamphobia pada sebagian masyarakat Barat—tempat minoritas muslim hidup berdampingan dengan mereka. Keberpegangan minoritas muslim terhadap doktrin-legal menjadikan mereka dilekatkan dengan stereotyping atau prakonsepsi yang memojok- kan. Mereka benar-benar menjadi periferal yang tidak terintegrasi secara utuh ke dalam masyarakat Barat.

Mereka tentu tidak bisa berdiam diri. Sebagai bagian dari umat manusia (yang tentunya memiliki hak-hak dasar yang dengan manusia yang lain) dan sebagai warga negara dari suatu negara,

mereka niscaya untuk hidup layak dan “normal” sebagaimana the host societies pada umumnya. Di atas semua itu, sebagai bagian dari umat Islam, mereka berkewajiban menghadirkan wajah Islam

viii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengantar Ahli

(salah satunya melalui fiqh, red.) yang utuh dan toleran, yang semestinya sangat jauh dari persepsi sebagian masyarakat Barat selama ini. Dalam konteks ini, kebutuhan mereka terhadap fiqh yang dapat mengakomodasi permasalahan mereka dalam bidang fiqh menjadi sangat urgen untuk ditindaklanjuti. ***

Karya Ahmad Imam Mawardi yang berjudul Fiqh Minoritas:

Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid al-Syarî’ah dari Konsep ke Pendekatan ini jelas dapat ditempatkan dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Alumnus Magister Studi Islam

McGill University ini bersikukuh tentang perlunya pengembangan hukum Islam yang mengedepankan kemaslahatan minoritas muslim.

Memang, Ahmad Imam Mawardi bukanlah penggagas pertama hukum Islam semacam itu (fiqh al-aqalliyyât). Adalah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang dianggap sebagai penggagas fiqh al- aqalliyât dan sekaligus pendiri Fiqh Council of North America (FCNA). Salah satu karyanya yang berkaitan gagasan fiqh itu adalah Foundational Views in Fiqh al-Aqalliyyat. Selain Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî, Yûsuf al-Qaradhâwî juga dianggap sebagai penggagas fiqh ini. Tokoh lainnya adalah Muhammad Mukhtâr al-Shinqitî, Direktur 3 Islamic Center of South Plains, Texas. Meskipun demikian, kehadiran karya Ahmad Imam Mawardi memiliki signifikansi tersendiri. Melalui karyanya ini, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya tersebut, implisit atau eksplisit, menegaskan bahwa ajaran Islam itu universal. Universalisme ajaran Islam itu berupa nilai-nilai moralitas luhur yang bertubuh kukuh dalam maqâshid al-syarî’ah. Dalam tataran ini Islam adalah satu. Meminjam konsep

2 Oðus Uras, “A Great Challenge for the European Integration: Muslim Mino- rities”, dalam Jurnal Perception, (Autumn, 2008), hlm. 20. 3 Lihat Shammai Fishman, Fiqh al-Aqalliyat..., hlm. 1-3.

ix digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Bassam Tibi, dalam bentuk seperti itu Islam merupakan model for reality 4 yang menampakkan diri lebih sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, absolut, dan bersifat metahistoris. Oleh karena itu, tugas para mujtahid untuk melabuhkannya ke dalam realitas konkret melalui kontekstualisasi model for reality tersebut ke dalam pemaknaan yang berkolerasi dengan lokalitas dan tempora- litas tertentu. Dengan demikian, Islam bukan sekadar berada di langit angan-angan, atau sekadar archaism yang tidak bisa berdialog dengan waktu dan tempat, atau tak lebih dari sekadar ajaran utopian. Islam seutuhnya hadir sebagai agama kehidupan untuk kemaslahatan umat manusia dan kehidupan. Terkait dengan hal tersebut di atas, intelektual muda

kelahiran Sumenep Madura itu menandaskan bahwa fiqh harus disapih dari nuansa ideologisnya. Bahkan bukan hanya fiqh yang harus disapih, melainkan juga Islam itu sendiri. Sebab, sekali Islam

(termasuk fiqh) menjadi ideologi, maka ia akan kehilangan humanitasnya dan akan menjadi medan laga yang membuat moralitas, akal, dan keadilan menjadi terkorbankan di atas

panggung perasaan5 (nafsu syahwat) dan sejenisnya. Sebaliknya, fiqh harus mewujudkan diri dalam lokalitas dan gerak temporal yang menyejarah.

Keberadaan fiqh semacam itu secara khusus, dan Islam secara umum, senyatanya memiliki dasar yang kukuh dan otoritatif. Fiqh minoritas sama sekali bukan berdasar pada subjektivisme, sebagaimana yang dituduhkan kalangan muslim fundamentalis.6 Ia justru lahir dari hulu ajaran Islam dan tumbuh dari akar per-

4 Lihat Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, (Boulder, San Francisco, dan Oxford: Westview Press, 1991), hlm. 8. 5 Ziauddin Sardar, “ Rethinking Islam”, dalam Sohail Inayatullah dan Gail Boxwell (eds.), Islam, Postmdernism, and Other Future: A Ziauddin Sardar Reader, (London dan Sterling, VA: Pluto Press, 2003), hlm. 30. 6 Lihat Shammai Fishman, Fiqh al-Aqalliyat..., hlm. 12-14.

x digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengantar Ahli

adaban Islam, yang dalam istilah ushûl fiqh disebut maqâshid al- syarî’ah . Dilihat dari perspektif mana pun, maqâshid al-syarî’ah adalah visi Al-Qur’an dan misi Nabi Muhammad Saw.

Untuk memahami maqâshid al-syarî’ah, kalangan mujtahid diharuskan memenuhi kriteria tertentu, seperti yang digariskan oleh Khaled Abou El Fadl. Ia mengandaikan adanya kejujuran,

ketekunan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.7 Hal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa seseorang yang ingin menggagas fiqh, seperti misalnya fiqh minoritas, atau memahami

Al-Qur’an dan Sunnah secara umum, ia harus menyadari bahwa apa yang akan dilakukannya itu semata-mata untuk menangkap pesan agama secara utuh. Sejalan dengan itu, ia harus mengguna-

kan metodologi yang sistematis dan tepat. Topik ijtihadnya pun harus sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki dengan tujuan akhir harus berujung pada kepentingan bersama.

Semua itu menunjukkan bahwa awal dan ujungnya adalah moral. Berbicara mengenai moral, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Sebab, moral—meminjam ungkapan Falur Rahman—adalah sesuatu yang abadi, perintah Allah Swt. yang tidak bisa dibuat atau dinegasikan oleh manusia.8 Moral bersifat perenial, yang harus dilabuhkan dalam kehidupan. Memodifikasi ungkapan tokoh neo-modernisme itu, moral adalah aspek normatif dari ajaran Islam yang harus diwujudkan ke dalam kehidupan 9 konkret sehingga menjadi Islam yang historis (Islam historis).

7 Lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women , (Oxford: Oneworld, 2003), hlm. 54-56. 8 Fazlur Rahman, Islam, edisi ke-2, (Chicago dan London: The University of Chi- cago Press, 1979), hlm. 32. 9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradi- tion, (Chicago dan London: The Press, 1982), hlm. 141.

xi digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Ketika Islam menyejarah ke dalam kehidupan, dan ia adalah hasil interpretasi para penganutnya, maka “Islam yang satu” (sebagai Islam normatif) kemudian berkembang menjadi Islam yang beragam (sebagai Islam historis) dengan kadar otentisitas yang berbeda antara satu dan lainnya. Masing-masing ekspresi Islam historis tersebut harus mempertanggungjawabkannya secara teologis, bahkan juga secara kemanusiaan universal. Dengan melacak dasar dan metode yang digunakan, maka fiqh al- aqalliyyât mampu menunjukkan pertanggungjawabannya secara teologis dan humanistik sekaligus.

***

Dalam konteks tersebut di atas, penulis buku ini telah menorehkan tinta emas; ia memberikan kontribusi yang cukup

bermakna untuk memperkokoh kehadiran pemahaman Islam yang otoritatif secara umum dan kehadiran fiqh minoritas (yang juga otoritatif) secara khusus. Meskipun buku ini bukanlah yang pertama menggagas fiqh minoritas, upaya intelektual lulusan Program Doktor PPs IAIN Sunan Ampel untuk meletakkan maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan dan sekaligus optik kajian, telah menjadikan karyanya ini–sampai derajat tertentu– punya kekuatan untuk membuktikan keberadaan Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn, bukan sekadar slogan kosong.

Hal lain yang juga sangat penting untuk diketengahkan adalah, karya ini mengandung dalil burhani, bayani, dan bahkan irfani,10 yaitu bahwa Islam lokal secara intrinsik merupakan representasi Islam dalam kehidupan. Dalam ungkapan lain, adanya Islam Amerika, Islam Indonesia, dan sebagainya (dan bukan Islam di Amerika atau Islam di Indonesia) memiliki kekuatan penalaran

10 Untuk penjelasan hal ini, lihat Muhammad Abid al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, seri 1 s/d 3.

xii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengantar Ahli

dan teologi. Inilah sebenarnya realitas Islam. Masing-masing memiliki keragamannya sendiri, tapi masing-masing juga merujuk pada sumber yang sama. Realitas ini adalah otentik sejauh berdasar pada moralitas luhur Islam yang unsur-unsurnya secara substantif bertubuh dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Karya ini mampu mencapai pembuktian semacam itu

karena Ahmad Imam Mawardi dalam merajut karyanya ini ber- dasar pada pembacaan teks-teks suci dan turâts Islam yang lain dalam bingkai moral. Hal ini penting untuk digarisbawahi karena

teks secara moral akan memperkaya pembaca. Namun, perlu diingat, hal itu hanya akan terjadi jika pembaca secara moral memperkaya teks. Realitas memperlihatkan, makna teks keagama-

an tidak hanya dibentuk oleh makna literalis kata-katanya, tapi juga bergantung pada konstruksi moral yang diberikan si pembaca. Dengan demikian, tanpa komitmen moral (dari si pembaca), teks

tidak akan memberikan makna apapun kecuali hal-hal teknis, legalistik, dan tertutup.11 Intelektual muslim yang juga praktisi ini– sampai batas tertentu–telah melakukan hal yang demikian.

Komitmen keislaman substantif dan disertai oleh kemampuan Ahmad Imam Mawardi dalam merangkai karya menjadi buku yang ada di hadapan pembaca ini, sangat menarik untuk dicermati. Sisi- sisi dan nilai-nilai keislaman secara holistik terpampang jelas dari satu uraian ke uraian berikutnya. Ia menggugah para pembaca untuk meyakini dan membumikannya ke dalam kehidupan sehari- hari, secara sosial, budaya, agama, dan sebagainya. Kita berharap semoga buku ini bermanfaat, bukan hanya bagi umat Islam, melainkan juga masyarakat dunia. Dengan membaca buku ini, kalangan non-muslim diharapkan kian memahami dan meyakini

11 Khaled Abou El Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme, (Bandung: Arasy Mizan, 2003), hlm. 30-31.

xiii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

bahwa Islam itu sebenarnya identik dengan nilai-nilai al-akhlâq al-shâli hah yang ditujukan bagi terwujudnya kemaslahatan bersama (mashlahah).

Semoga, setelah buku ini, Ahmad Imam Mawardi mampu melahirkan karya lain yang tidak kalah bobotnya dalam menawar- kan kesejukan kepada manusia secara keseluruhan. Kita akan

menunggu karya berikutnya demi wajah Islam yang damai dan toleran di jagat raya ini.

xiv digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

PENGANTAR PENULIS

Studi tentang fiqh al-aqalliyyât atau fiqh untuk masyarakat minoritas muslim di Barat tidaklah banyak mendapatkan per- hatian, setidaknya sampai akhir tahun 1990-an. Fiqh yang berkembang cenderung bermuara pada fiqh yang ditulis dan berkembang di negara-negara Timur Tengah. Kenyataan ini telah menjadikan fiqh Timur Tengah menjadi kiblat yang mendominasi aplikasi hukum Islam di wilayah non-Timur Tengah, walaupun teori dan kaidah ushûl fiqh sendiri membuka peluang perbedaan fiqh atau hukum Islam yang disebabkan oleh perbedaan kondisi, tempat, dan masa. Legal maxim yang paling terkenal adal al-hukm yataghayyaru bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah (hukum bisa berubah karena perubahan waktu dan tempat). Secara teoretis, fiqh atau hukum Islam bersifat dinamis dan fleksibel, namun tidak demikian dalam kenyataannya. Ia telah terkungkung oleh bentuk lama yang terlalu suci untuk dikontekstualisasikan.

Adalah Yûsuf al-Qaradhâwî dan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang mula-mula mencoba mengangkat tema fiqh al-aqalliyyât ini, ketika keduanya secara intens melihat problematika hukum Islam yang

massif dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat. Tema ini kemudian menjadi perbincangan yang penuh perdebatan di

xv digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kalangan sarjana muslim di Barat. Association of Muslim Social Scientist (UK) pada tanggal 22-23 Februari 2004 mengadakan seminar khusus untuk tema fiqh al-aqalliyyât ini. Sejak saat itu, mulai tampak sarjana-sarjana Barat yang giat melakukan studi intensif dengan tema ini. Meskipun demikian, tulisan akademik dalam bentuk tesis atau disertasi masih bisa dihitung dengan jari.

Di Indonesia, studi ini barangkali adalah tulisan pertama mengenai fiqh al-aqalliyyât. Jarangnya tulisan tentang fiqh minoritas (fiqh al-aqalliyyât) ini disebabkan oleh beberapa hal:

pertama, muslim di Indonesia adalah dalam posisi mayoritas sehingga diskursus fiqh al-aqalliyyât dianggap tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan umat Islam; kedua, trend hegemonik

fiqh transnasional telah menjadikan kajian fiqh geografis seperti fiqh al-aqalliyyât ini dianggap “tabu” dan kurang diminati; ketiga, stagnansi perkembangan teori ushûl fiqh mengalami kesulitan

berhadapan dengan perisiwa hukum baru yang sangat heterogen dan dinamis.

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah disertasi yang ditulis oleh penulis untuk mengisi kekosongan kajian tentang studi hukum Islam kawasan (geografis), yang sekaligus membuktikan bahwa hukum Islam dan teori hukum Islam sesungguhnya memang dinamis dan fleksibel. Hadirnya buku ini lebih lanjut ikut meramai- kan diskusi tentang fiqh maqâshid dan fiqh transnasional yang sampai saat ini masih bergulir.

*** Penulis bersyukur kepada Allah yang telah memberikan

anugerah sehingga bisa menyelesaikan penulisan disertasi ini yang sekaligus menjadi akhir penyelesaian studi S3 penulis pada Program Studi Hukum Islam Program Pascasarjana (PPS) IAIN

Sunan Ampel Surabaya.

xvi digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengantar Penulis

Dalam menyelesaikan studi ini, penulis telah mendapatkan pengarahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah berjasa mengantarkan penulis dalam menyele- saikan Program Doktor (S3) bidang Studi Hukum Islam di PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya ini. Penulis sangat berbahagia memiliki ruang untuk mengekspresikan penghargaan penulis melalui media ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. DR.

H. M. Ridlwan Nasir, MA, selaku Rektor lama IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah memberikan izin studi S3 dengan mengikuti tes penerimaan beasiswa S3 Proyek Departemen Agama RI.

Kesempatan studi ini sangat berharga bagi penulis untuk mengembangkan dimensi keilmuan dalam kehidupan pribadi dan sosial yang penulis jalani. Terima kasih pula kepada Prof. DR. H.

Nur Syam, M.Si, selaku Rektor baru IAIN Sunan Ampel Surabaya yang telah memberikan bantuan studi bagi penulis dalam proses penyelesaian studi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A., selaku direktur PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya, studi, dosen sekaligus promotor penulis dalam penulisan disertasi ini. Motivasi yang diberikannya dengan tiada henti telah menyalakan semangat penulis untuk secepatnya menyelesaikan studi ini. Pernyataan beliau bahwa studi S3 terlalu cepat untuk diselesaikan dalam waktu dua tahun telah memicu “adrenalin akademis” penulis untuk menyelesaikannya dalam waktu dua tahun. Arahan dan bimbingannya dengan penuh ketelatenan dan ketelitian telah mengantarkan penulis mereali- sasikan keinginan itu, sehingga beliau layak mendapatkan bingkisan penghargaan dari ketulusan hati penulis. Prof. Drs H. Akh.Minhaji, M.A., Ph.D adalah sosok yang sudah lama penulis kenal kedisiplinan akademis dan ketulusan per-

xvii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

saudaraannya. Ketika beliau studi S3 di McGill University Montreal Canada, beliau adalah kakak penulis yang banyak berjasa mem- bantu dan membimbing penulis sebagai yuniornya. Ketika mengajar di PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya, beliau adalah guru sekaligus promotor penulis dalam penulisan disertasi ini. Perpaduan status sebagai kakak dan guru adalah suatu hal yang membuat penulis rikuh, berdiri kaku antara keakraban dan kesungkanan. Namun, senyum tulus beliau telah mencairkan semuanya dan telah menjadikan penulis tetap akrab tanpa kehilangan rasa hormat dan ta’dzim. Penulis persembahkan ungkapan terima kasih tidak terhingga untuk segala bantuan dan bimbingannya selama ini.

Segenap dosen yang telah menghiasi cakrawala intelektual penulis selama studi di Program S3 ini juga layak mendapatkan ungkapan terima kasih. Penulis berhutang budi kepada Prof. DR.

H. Syaichul Hadi Permono, SH., M.A., Prof. DR. H. Amin Abdullah, M.A., Prof. DR. H. Ali Haidar, M.A., Prof. DR. H. Saidun Fiddaroini, MA., dan Prof. DR. Muhsin, SH, MA., yang telah dengan baik

melakukan transmisi keilmuan kepada penulis dan kawan-kawan.

Berikutnya, penulis ungkapkan kebahagiaan dan terima kasih kepada Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D, yang telah bersedia menjadi penguji eksternal disertasi penulis. Beliau adalah senior penulis di McGill University dan atasan di organisasi Permika (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Kanada). Tercatat dalam sejarah penulis bahwa beliau adalah orang yang mengantarkan penulis menyampaikan khutbah pertama dalam bahasa Inggris di masjid MCQ (Moslem Community of Quebec) yang bekerja sama dengan Permika.

Segenap pejabat dan staf di lingkungan PPS IAIN Sunan Ampel berada di balik kelancaran studi ini. Kepada mereka juga disampai- kan terima kasih. Prof. DR. H. A’la Basyir, MA telah dengan tulus bersedia mengarahkan dan berdiskusi dengan penulis, Prof. DR.

xviii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pengantar Penulis

H. Khozin Affandi, MA telah banyak melakukan sharing akademik khususnya tentang kajian fenomenologi, Prof. DR. H. Ali Mufrodi, MA telah banyak membantu dalam masalah kebijakan keuangan beasiswa penulis. Kepada mereka, penulis sampaikan terima kasih. Segenap staf yang telah membantu kelancaran proses adminis- tratif studi ini, karenanya penulis juga berhutang terima kasih kepada mereka, khususnya kepada Mas Imam Syafi’i, M.Ag, Pak Yazid, dan Pak Khazin. Pejabat dan staf di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, tempat penulis mengajar, juga berhak mendapatkan penghargaan terima kasih, khususnya DR. H. Abd. Salam, M.Ag, mantan dekan Fakultas Syari’ah yang telah bersedia untuk senantiasa berdialog tentang perkembangan keilmuan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada DR. H. Faisal Haq, M.Ag, dekan Fakultas Syari’ah saat ini yang turut memberikan

dukungan moral.

Teman-teman sekelas adalah sahabat jenaka terbaik yang selama ini penulis dapatkan. Mereka telah menjadikan studi S3 ini hidup, bergairah, dan tidak membosankan. Penulis salut pada

kecerdasan dan keaktifan mereka sehingga menjadi motivator “tak terduga” dalam kehidupan studi penulis. Mereka semua bagaikan pasukan “laskar pelangi” yang tidak pernah jenuh belajar walaupun

harus meninggalkan keluarga. Terima kasih penulis untuk mereka. Di luar teman sekelas, ada teman sekaligus saudara yang perlu penulis sebut dalam ungkapan terima kasih ini atas segala kesetia- annya menjadi mitra dalam banyak aktivitas penulis, yaitu Sirajul Arifin, kandidat doktor bidang Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Adinda Lailatul Qadariyah, yang merangkap menjadi asisten penulis, dan suaminya, Ahmad Syarkawi, berhak pula mendapatkan bingkisan terima kasih atas jerih payahnya mem- bantu proses penyelesaian disertasi ini. Berikut juga tak lupa adik- adik penulis yang lain yang tidak disebut satu per satu dalam ruang yang terbatas ini.

xix digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Selain mereka di atas, ungkapan ta’dzim dan terima kasih yang tiada terhingga adalah untuk kedua orangtua penulis, K.H. Muhammad Hasyim dan Ny.Hj. Lailiyah, yang setiap malam dan harinya tidak pernah lepas dari doa untuk anak-anaknya. Tidak ada balasan apapun yang bisa penulis berikan untuk setiap tetes darah, keringat, dan air mata mereka berdua yang mengalir dengan ketulusan dalam upaya membesarkan penulis dan adik-adik, selain doa mudah-mudahan beliau berdua mendapatkan balasan yang lebih dari Allah Swt. Untuk mertua penulis, K.H. Muhammad Tamyiz dan Ny. Hj. Rumiyati penulis haturkan terima kasih pula atas ketulusan doa dan dukungannya. Last but not least, Ida Rohmah Susiani adalah sosok per-

empuan tegar yang berada di balik kesuksesan studi penulis selama ini. Enam belas tahun mendampingi penulis sebagai istri bukan waktu singkat dan bukan pekerjaan mudah. Kesibukan studi dan

tugas dakwah yang penulis jalani telah banyak menghilangkan waktu untuk bersamanya. Kesetiaannya untuk terus mendampingi, mendorong, dan mendukung segenap studi dan pekerjaan penulis

adalah prestasinya yang mengukir sejarah cinta sejati dalam hidup penulis. Tidak cukup kata untuk mengungkapkan keharuan terima kasih penulis untuknya, kecuali “semoga Allah meridlainya”.

Anak-anak penulis, Dini, Tati, Rahmi, Muthia, dan Agam, yang dengan segala kepolosan dan pengertiannya telah merelakan digunakannya waktu penulis untuk mereka guna penyelesaian studi ini, berhak mendapatkan ungkapan kasih sayang dan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam. Disertasi ini penulis persembah- kan untuk mereka, sebagai motivasi untuk mengejar prestasi lebih dari apa yang sudah didapat orang tuanya.

Madinah Munawwarah, 28 November 2010

Ahmad Imam Mawardi

xx digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Agama-agama Besar Dunia D 7

Tabel 2. Populasi Muslim Eropa/Amerika Tahun 2008 D 49

Tabel 3. Jenis Kelamin, Usia, dan Status Keluarga Penduduk U.S. D 54 Tabel 4. Muslim Amerika, Siapakah Mereka? D 56

Tabel 5. Komposisi Ras Penduduk Muslim U.S. D 57

Tabel 6. Nativitas dan Imigrasi Penduduk Muslim U.S. D 58 Tabel 7. Pendidikan dan Pendapatan Penduduk U.S. D 61

Tabel 8. Muslim dan Kristen Amerika D 111

Tabel 9. Sejarah Perkembangan Maqâshid D 200

Tabel 10. Tata Kerja Berpikir Pendekatan Maqâshid D 239

xxi digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI D v

KATA PENGANTAR: PROF. DR. ABD. A’LA, MA. D vii PENGANTAR PENULIS D xv DAFTAR TABEL D xxi

DAFTAR ISI D xxiii

BAB 1.

PENDAHULUAN D 1

BAB 2. MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM DI BARAT DAN PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM D 39 A. Masyarakat Minoritas Muslim: Sebuah Definisi D 41 B. Masyarakat Minoritas Muslim di Barat: Sketsa Demografis Umat Islam di Amerika dan Inggris D 46 1. Minoritas Muslim di Amerika D 50 2. Minoritas Muslim di Inggris D 63 C. Problematika Sosial-Politik Minoritas Muslim di Barat: Konteks Amerika dan Inggris D 73 D. Problematika Hukum Islam Masyarakat Minoritas Muslim di Barat D 86

xxiii digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

1. Materi Problematika Hukum D 91 2. Sikap Pemerintahan Amerika dan Inggris D 96 3. Lahirnya Lembaga Fatwa dan Kajian Hukum Islam D 102

BAB 3. FIQH AL-AQALLIYYÂT BAGI MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM D 109 A. Latar Belakang Lahirnya Fiqh al-Aqalliyyât D 109 B. Penggagas Fiqh al-Aqalliyyât: Membedah Gagasan Thâhâ Jabir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî D 115 C. Fiqh al-Aqalliyyât: Definisi dan Posisinya dalam Sejarah Perkembangan Fiqh D 119 D. Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim D 127

E. Prinsip-Prinsip Metodologis Fiqh al-Aqalliyyât: Antara Fiqh al-Nushûs dan Fiqh al-Maqâshid D 130 1. Metodologi Ushûl al-Fiqh dalam Fiqh al-Aqalliyyât D 139

2. Kaidah-Kaidah Fiqh dalam Fiqh al-Aqalliyyât D 142 F. Produk Fatwa dalam Fiqh al-Aqalliyyât D 153 1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual D 154

2. Bidang Ekonomi D 159 3. Bidang Politik D 162 4. Bidang Hukum Keluarga D 168

BAB 4. MAQÂSHID AL-SYARΑAH SEBAGAI PENDEKATAN

DALAM FIQH AL-AQALLIYYÂT D 175 A. Maqâshid al-Syarî‘ah: Definisi dan Posisinya dalam Diskursus Hukum Islam D 178

B. Perkembangan Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pen- dekatan D 189 C. Maqâshid al-Syarî‘ah dalam Pandangan Sarjana Muslim Progresif Kontemporer D 201

xxiv digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Isi

D. Maqâshid al-Syarî‘ah sebagai Sebuah Pendekatan: Menilik Tata Kerja Maqâshid-Based Ijtihad D 208 1. Kaidah Berpikir atas Dasar Maqâshid D 213 2. Ushûl al-Fiqh dalam Perspektif Maqâshid-Based Ijtihad D 221 3. Kaidah Fiqh dalam Pendekatan atas Dasar Maqâshid D 233 E. Maqâshid al-Syarî‘ah sebagai Pendekatan dalam Problematika Fiqh Kontemporer D 236

BAB 5. REKONSIDERASI MAQÂSHID AL-SYARΑAH TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM BAGI MINORITAS MUSLIM DI BARAT D 241 A. Fiqh al-Aqalliyyât dan Maqâshid al-Syarî‘ah D 241 B. Maqâshid al-Syarî‘ah dalam Perspektif Thâhâ Jâbir al-'Alwânî

dan Yûsuf al-Qaradhâwî D 245 1. Maqâshid al-Syarî‘ah Menurut Thâhâ Jâbir al-'Alwânî D 247 2. Maqâshid al-Syarî‘ah Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî D 252

C. Kaidah Pokok Maqâshid al-Syarî‘ah dalam Fiqh al-Aqalliyyât D 256 D. Pendekatan Metodologis Maqâshid al-Syarî‘ah dan Implikasi-

nya terhadap Format Fiqh al-Aqalliyyât D 266 1. Pergeseran Dasar dari Partikular ke Universal D 268 2. Pergeseran Format dari Fiqh Ideologis ke Fiqh

Geografis D 269 E. Fiqh al-Aqalliyyât sebagai Sistem: Bersatunya Fiqh, Realitas, dan Maqâshid al-Syarî‘ah D 272

BAB 6. PENUTUP D 277

DAFTAR PUSTAKA D 283 INDEKS D 309 BIODATA PENULIS D 321

xxv digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 1 PENDAHULUAN

Di kalangan umat Islam, tidak ada yang memungkiri eksis- tensi hukum Islam dengan karakter universalitas keberlakuannya (‘alamiyyat al-islâm).1 Hal ini didukung oleh nash al-Qur’ân surat 21 (al-Anbiyâ’) ayat 107:

“Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam”.2

1 Yûsuf al-Qaradhâwî, Malâmih Al-Mujtama‘ al-Muslim alladzî Nanshuduhû (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), hlm. 51; Yûsuf al-Qaradhâwî, “al-Infitâh ‘alâ al-Gharb: Muqtadhayâtuhû wa Shurûtuhû,” dalam Majdî ‘Aqîl Abû Shamâlah (ed.), Risâlah al-Muslimîn fî Bilâd al-Gharb (Arbad: Dâr al-Amal li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 2000), hlm. 7, 13-15. Lihat pula kitabnya yang berjudul Fî Fiqh al-Aqalliyyât al- Muslimah Hayât al-Muslimîn Wasat al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al- Syurûq, 2001), hlm. 13; lihat pula Wahbah Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997), hlm. 33; Lihat pula ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al- Tasyrî‘ al-Jinâ’î al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh‘î, juz 1 (Lubnân, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), hlm. 224. 2 Ketika ayat ini dikaitkan dengan keberlakuan hukum Islam dan sanksi hukumnya, para ulama berbeda pendapat. Madzhab Syâfi‘î berpendapat bahwa hukum Islam dan sanksi hukumnya berlaku bagi setiap muslim di seluruh dunia di mana pun berada. Sementara madzhab Hanafî cenderung mengatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi setiap muslim di mana pun berada, tetapi sanksi hukum Islam hanya bisa diterapkan di dâr al-Islâm (negara Islam). Lihat, ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al- Tasyrî‘ al-Jinâ’î al-Islâmî, juz 1, hlm. 227-236; Ayat ini juga dijadikan sebagai dasar bahwa hukum Islam, jika diterapkan, merupakan rahmat yang membawa kemaslahatan. Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat lain, seperti dalam surat 7 (al-

1 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Universalitas keberlakuan hukum Islam meniscayakan ketundukan semua pemeluk Islam pada ajaran-ajaran Islam, di mana pun dan kapan pun mereka itu berada, dan juga meniscaya- kan adanya nilai-nilai universal (universal values) yang terkandung di dalam hukum-hukum cabang (furû‘iyyah) yang mungkin berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya.3 Nilai- nilai universal ini dikenal dengan istilah maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syari’at), atau istilah lain yang sepadan adalah istilah mahâsin al-syarî‘ah (keindahan-keindahan syari’at) dan asrâr al-syarî‘ah (rahasia-rahasia syari’at).

Perbedaan ketentuan hukum dalam kasus yang sama di tempat yang berbeda, atau di satu tempat yang sama tetapi terjadi

di waktu yang berbeda—seperti yang lazim terjadi dalam per- kembangan fiqh masa awal, terutama pada masa formasi madzhab—mengindikasikan sifat fleksibilitas dan elastisitas

hukum Islam itu sendiri dalam merespons persoalan-persoalan hukum. Fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam ini mendukung karakter universalitas tersebut.4 Hukum Islam atau fiqh menjadi

A‘râf ) ayat 156: “…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.

3 Nilai-nilai universal syari’at bersifat abadi mengikuti setiap ketentuan hukum Islam. Nilai-nilai ini bisa dipahami dari nash al-Qur’ân dan al-Sunnah. Ketentuan hukum cabang yang diderivasi dari dalil nash yang kemudian dikenal dengan istilah furu‘iyyah harus membawa nilai-nilai ini dalam setiap ketentuan hukumnya. Karena itulah maka ketentuan hukum cabang bisa saja berbeda-beda karena perbedaan masa (tempus) dan tempat (locus) kejadian hukum. Di sini dibutuhkan kecerdasan untuk memilah mana yang merupakan hukum tetap (al-tsâbit) dan mana yang merupakan hukum yang bisa berubah (al-mutaghayyir). Lihat, Lu’ay Shâfî, al-‘Aqîdah wa al-Siyâsah Ma‘âlim Nazhariyyah ‘Âmmah li al-Dawlah al- Islâmiyyah (Herndon, Virginia: IIIT, 1996), hlm. 156. 4 Beberapa bahasan tentang fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam bisa dilihat di Yûsuf al-Qaradhâwî, Syarî‘ah al-Islâm Shâlihah li al-Tathbîq fî kulli Zamân wa Makân (Kairo: Dâr al-Shahwah li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 1993); Yûsuf al- Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Awlâwiyyât Dirâsah Jadîdah fî Dzaw’ al-Qur’ân wa al- Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hlm. 28-30; Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahtânî, Manhaj Istinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-

2 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

respons langsung terhadap realitas dan problematika hukum yang terjadi.

Karena itulah umat Islam di negara-negara Islam dan negara- negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam relatif tidak menemukan kendala dalam hubungannya dengan aplikasi fiqh dalam kehidupan keseharian mereka, dikarenakan tiga faktor:

pertama, di negara tersebut fiqh muncul dan berkembang, sehing- ga bisa diasumsikan bahwa jawaban-jawaban fiqh yang berkem- bang memang merupakan respons atas kondisi riil yang dihadapi;

kedua, kaum muslim di negara tersebut memiliki world view yang relatif sama terhadap syari’ah sehingga konflik socio-ethic cenderung minimalis dan, ketiga, kemungkinan adanya vertical

clash antara pemerintah dan kaum muslim, serta horizontal clash antara kaum muslim dan masyarakat non-muslim sangat kecil.

Kenyataan di atas tentu berbeda jika hukum Islam ber- kembang di kalangan kaum muslim yang merupakan minoritas di negara sekuler, yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim, seperti di Amerika Serikat dan di Eropa—yaitu negara dengan sistem pemerintahan yang sekuler (yakni, memosisikan agama sebagai urusan privat) dan memiliki prinsip dasar pemerintahan yang berbeda dengan prinsip dasar negara Islam sebagaimana yang dinyatakan di dalam al-fiqh al-siyâsî (fiqh politik).5 Betapapun setiap penduduk, termasuk kaum muslim, diberi kebebasan dan

Mu‘âshirah Dirâsah Ta’shîliyyah Tathbîqiyyah (Jeddah: Dâr al-Andalus al- Khadhrâ’, 2003); Shâlih bin Hamîd, Raf‘ al-Haraj fî al-Fiqh al-Islâmî (Dâr al- Istiqâmah, 1412 H); Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Ashbâh wa al-Nazhâ’ir fî Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘iyyah (Kairo: Matba‘ah Mustafâ Bâbî al-Halabî, 1387 H).

5 Prinsip dasar negara yang paling pokok dalam pemikiran politik Islam adalah keharusan negara untuk tunduk pada nilai-nilai syari’at Islam. Selain itu, hal prinsipil lainnya adalah persyaratan untuk menjadi pemimpin/kepala pemerintahan, aparat pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dan sistem pengelolaan negara. Walaupun terjadi perbedaan di kalangan ulama’ tentang sistem pengelolaan negara, semuanya sepakat akan posisi sentral syari’at sebagai rujukan utama.

3 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

hak menjalankan ajaran dan kepercayaan agamanya masing- masing, perilaku dan budaya keseharian mereka tentu berbeda dengan negara-negara Islam atau negara yang mayoritas beragama Islam. Ada hambatan-hambatan psikologis, sosial, politik, dan hukum yang tidak memungkinkan umat Islam melaksanakan ajaran agamanya secara utuh, persis sama format dan bentuknya dengan apa yang dijalankan di negara-negara muslim atau di negara yang mayoritas beragama Islam. Dalam bahasa Abdullah Saeed, terdapat persoalan “adjusting traditional Islamic norms to Western contexts” (menyesuaikan norma-norma Islam tradisional dengan konteks Barat) yang dialami oleh kebanyakan minoritas muslim di negara Barat.6

Ada kesulitan-kesulitan mendasar yang dihadapi oleh minoritas muslim ketika harus menerapkan -tafsir agama sebagaimana dipahami umat Islam di kalangan mayoritas negara

muslim. Kondisi yang berbeda di satu sisi dan dan tetapnya kewajiban sebagai muslim untuk menjadi devotee (orang yang taat/ patuh) terhadap ajaran agamanya di sisi lain, telah memunculkan

fiqh al-aqalliyyât (fiqh minoritas), yaitu sekumpulan ajaran Islam yang dianggap mampu mengakomodasi persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi oleh kalangan minoritas muslim

dalam menjalankan ajaran agamanya. Fiqh al-aqalliyyât ini

6 Lihat, Abdullah Saeed, Muslims Australians, Their Beliefs, Practices, and Institu- tions (Canberra: Commonwealth of Australia, 2004), hlm. 11. John L. Esposito ketika membahas tentang problematika yang dihadapi oleh tujuh juta muslim di Amerika mengungkapkan permasalahan yang lebih mendasar dan senantiasa menghantui masyarakat muslim di Barat, yaitu “apakah mereka bisa hidup sebagai muslim yang baik di negara non-Islam.” Lihat, John L. Esposito, “Introduction,” dalam John L. Esposito dan Yvonn Yazbeck Haddad (eds.), Muslims on the America- nization Path? (New York: , 2000), hlm. 5. Pertanyaan selanjutnya yang tidak kalah problematis adalah bagaimana cara hidup di negara non-muslim tersebut. Pertanyaan tersebut muncul karena adanya perbedaan kondisi sosial dan budaya antara negara Islam atau negara muslim yang menjadi tempat tinggal masyarakat mayoritas muslim dan negara-negara Barat yang menjadi tempat tinggal sebagian masyarakat minoritas muslim.

4 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

walaupun dikemas dalam format yang berbeda dari format hukum Islam pada umumnya, ia tetaplah berakar dan tidak melenceng dari prinsip-prinsip dasar ajaran agama.7 Fiqh al-aqalliyyât ini bukanlah fiqh yang mengikatkan diri secara ketat pada produk ijtihad ulama-ulama salaf zaman dahulu, baik secara substansial maupun metodologis. Ia adalah fiqh yang mengacu pada pen- ciptaan kemaslahatan yang menjadi nilai dasar maqâshid al- 8 syarî’ah dengan metode yang luwes dan fleksibel. Maka kemudian muncullah pertanyaan-pertanyaan berikut.

Pertama, bagaimana format fiqh al-aqalliyyât dan apa dasar serta landasan metodologisnya sehingga memiliki bentuk yang berbeda dengan fiqh pada umumnya? Kedua, bagaimana posisi dan peran

maqâshid al-syarî’ah dalam merekonsiderasi pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim? Ketiga, bagaimana tata kerja maqâshid al-syarî’ah ketika dijadikan dasar

perumusan fiqh al-aqalliyyât? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi fokus kajian dalam buku ini.

***

Kajian tentang fiqh al-aqalliyyât ini penting dilakukan mengingat jumlah minoritas muslim saat ini telah mencapai 1/3

7 Definisi fiqh al-aqalliyyât ini secara mendalam dibahas dalam bagian (bab) 3 buku ini. Fiqh al-aqalliyyât ini menjadi jalan keluar dari kegelisahan masyarakat minoritas muslim di Barat yang sedang mengalami cultural shock (kekagetan budaya) yang menahun dan epistemological panics (kepanikan epistemologis) yang bertahan lama karena adanya benturan antara keyakinan dan pola pikir hukum Islam tradisional yang masih dianutnya dan kenyataan hukum yang cukup berbeda dengan apa yang dibayangkannya. 8 Lihat, Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 29. Contoh- contoh kasus serta penyelesaian hukumnya dalam buku ini juga sangat jelas menunjukkan keberpihakan pada sisi kemaslahatan, yang merupakan inti dari maqâshid al-syarî’ah itu sendiri. Lihat pula Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflections (Richmond, UK: International Insti- tute of Islamic Thought, 2003), hlm. 8-9.

5 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

(sepertiga) dari total jumlah penduduk muslim,9 yang menurut data biro sensus U.S tahun 2006 berjumlah 1.497.194.000 jiwa. Sebagai perbandingan dengan jumlah penduduk yang memeluk agama lain, tabel 1 dapat memberikan gambaran yang cukup baik.10 Perkembangan dan penyebaran umat Islam di luar dugaan para fuqaha masa lalu. Ketika mereka berbicara tentang pembagian negara menjadi dâr al-Islâm dan dâr al-harb, umat Islam rata- rata tinggal di wilayahnya masing-masing dengan posisi sebagai mayoritas. Perbincangan tentang minoritas seringkali merujuk kepada minoritas non-muslim yang disebut sebagai ahl al- dhimmah . Saat ini, dunia global membuka peluang besar terjadinya perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain, termasuk dari negara Islam atau negara yang mayoritas berpenduduk muslim ke negara-negara non-Islam yang mayoritas penduduknya

non-muslim. Selain itu, arus informasi dan dakwah Islam juga menjadi penyebab seseorang di negara sekuler berpindah agama menjadi muslim sehingga menambah jumlah kaum muslim.

9 Lihat, Abdullah Saeed, Muslims Australians, Their Beliefs, hlm. 11. Berdasarkan sensus tahun 2001, dari 1.300 juta muslim di dunia, lebih 80% adalah non- Arab, dan hanya sekitar 2/3 dari total umat Islam yang tinggal di negara mayoritas muslim. 10 Terdapat perbedaan perkiraan jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianutnya, yakni data dari Biro Sensus Amerika Serikat dan data yang diperoleh oleh beberapa pusat statistik, seperti Pew Research Centre, GSS, ARIS, dan WNRF serta beberapa lembaga keislaman. Beberapa perbedaan ini bisa dilihat pada data yang dikemukakan dalam bab 2 buku ini.

6 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Tabel 1. Agama-agama Besar Dunia

Mengenai eksistensi minoritas muslim, M. Ali Kettani menulis buku yang secara khusus membahas asal-usul istilah minoritas 11 muslim, penyebab, dan jumlahnya. Kettani berhasil dengan baik memotret minoritas muslim di Eropa, Uni Soviet, Cina, India, Afrika, Amerika, Asia Pasifik, dan lainnya. Kettani memahami minoritas muslim sebagai “bagian penduduk yang berbeda karena anggotanya beragama Islam dan seringkali diperlakukan berbeda” karena eksistensinya sebagai bagian yang sedikit di antara 12 kebanyakan penduduk. Keberadaan mereka sebagai minoritas dalam konteks geologi modern adalah sebuah keniscayaan. Data yang dikutip Kettani pada tahun 1982 menunjukkan bahwa jumlah

11 M. Ali Kettani, Muslim Minorities in the World Today, diterjemahkan oleh Zarkowi Suyuti dengan judul Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). 12 Ibid., hlm. 1-3.

7 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

minoritas muslim sangat banyak: 228 juta jiwa di Asia, 116 juta jiwa di Afrika, 34 juta jiwa di Eropa, 4 juta jiwa di Amerika, dan 300 ribu jiwa di Oceania.13 Untuk melihat trend peningkatannya lebih lanjut, data ini dapat juga dibandingkan dengan penelitian Yvonne Yazbeck Haddad dan Jane I. Smith, bahwa pada tahun 2002 terdapat sekitar 10 juta muslim di Eropa Barat, dengan perincian sebagai berikut: 3 juta jiwa di Perancis, 2 juta jiwa di Inggris, dan 2,5 juta jiwa di Jerman. Sementara di Amerika terdapat sekitar 6 juta jiwa dan 500 ribu jiwa di Kanada.14 Data terbaru yang sangat lengkap tentang masyarakat muslim di Amerika disampaikan oleh Pew Research Center dalam penelitiannya yang berjudul “Muslim Americans Middle Class and Mostly Mainstream”. Penelitian yang diterbitkan pada bulan Mei 2007 itu menyatakan bahwa muslim di Amerika selalu mengalami

peningkatan. Dari segi kuantitas terdapat sekitar 6 hingga 7 juta orang atau lebih. Jumlah ini bisa ditafsirkan sebagai peningkatan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan laporan

Britannica Book of the Year tahun 2005 yang memperkirakan jumlah kaum muslim di Amerika sebanyak 4,7 juta jiwa.15 Potret-potret yang dihasilkan cukup beragam, tetapi satu warna, yakni warna khas minoritas yang senantiasa berhadapan

dengan penindasan, ketidakadilan, dan kekejaman, serta kerinduan

13 Ibid., hlm. 28. 14 Yvonne Yazbeck Haddad and Jane I. Smith, “Introduction” dalam Yvonne Yazbeck Haddad and Jane Idelman-Smith (eds.), Muslim Minorities in the West Visible and Invisible (Walnut Creek, California: Atamira Press , 2002), hlm. vi. 15 Lihat, Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Main- stream, 22 Mei 2007, bisa diakses di situs resmi Pew Research Center www.pewresearch.org. Untuk perkembangan di Eropa, bisa merujuk pada pernyataan Ahmad al-Rawi, pemimpin the Union of Islamic Organizations in Europe (UIOE), yang menyatakan bahwa terdapat sekitar 15.84 juta umat Islam yang tinggal di Eropa saat ini, atau sekitar 4,43 persen dari total penduduk Eropa. “Islam, Muslims, and Islamic Activity in Europe: Reality, Obstacles and Hopes,” http://www.islamonline.net/arabic/daawa/ 2003/12/ARTICLE05A.SHTML.

8 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

untuk hidup layak sebagai manusia merdeka.16 Ada konflik dan perjuangan untuk memenangkan persaingan untuk tetap hidup sebagai muslim di tengah masyarakat mayoritas yang berbeda keyakinan dengan dirinya.17 Kettani menghendaki adanya perhatian khusus dari umat Islam mayoritas atas kehidupan dan pola hidup muslim minoritas.

Namun demikian, deskripsi dan elaborasi Kettani masih general dalam pengungkapan dan luas cakupan kajiannya. Sebenarnya, pada tataran pribadi minoritas muslim itu sendiri,

terdapat persoalan serius berkaitan dengan persepsi mereka atas kehidupan sebagai minoritas dan keyakinan sebagai muslim yang tinggal di wilayah yang berbeda dengan negara muslim, tempat

hukum fiqh diproduksi dan dikembangkan. Di negara seperti Amerika dan Inggris, mereka dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak ditemukan padanan konteksnya dengan apa yang ada

di dalam kitab-kitab fiqh pada umumnya. Di antara masalah- masalah itu adalah: keterpaksaan memilih (political vote) pemimpin dan perwakilan politik yang tidak beragama Islam;

kesulitan mencari makanan yang terjamin kehalalannya (halal food) ; kesulitan melaksanakan ibadah qurban dan aqiqah karena ketatnya izin penyembelihan; perbedaan agama dalam per-

kawinan; ucapan selamat Natal dan menghadiri acara masyarakat

16 Yvonne Yazbeck Haddad and Jane I. Smith, “Introduction”, hlm. viii. 17 Sebagai data pembanding, silakan lihat laporan penelitian Saied R. Ameli, Beena Faridi, Karin Lindahl, dan Arzu Merali, “Law 7 British Muslims: Domination of the Majority or Process of Balance?”, dalam The Islamic Human Rights Commis- sion, British Muslims’ Expectation Series, vol. 5, hlm. 1-3. Ketika questioner survei bertanya tentang harapan minoritas muslim pada hukum di Inggris, mayoritas menghendaki adanya hukum yang memperlakukan mereka sama (inclusion) dengan mayoritas penduduk. Lebih dari itu, dalam memandang dirinya, mereka cenderung melihat agama sebagai identitas paling penting bagi mereka. Lihat pula gambaran respons sebagian pemikir muslim terhadap Barat dalam Muhammad Mumtaz Ali (ed.), Modern Islamic Movements: Models, Problems, and Prospects (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2000).

9 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

yang berbeda agama; waktu salat dan puasa; tentang bunga bank dan riba; dan, ketentuan-ketentuan hukum Islam yang tidak dimungkinkan aplikasinya oleh undang-undang dan peraturan yang ada.18

Persoalan-persoalan seperti itulah yang kemudian menjadi perhatian beberapa ulama kontemporer sehingga dengan instru-

men ijtihad dan berpegang pada konsep maqâshid al-syarî’ah yang bermuara pada penegakan keadilan dan kemaslahatan, lahirlah jawaban-jawaban hukum yang (memiliki format) berbeda

dengan fiqh pada umumnya, walaupun tetap linier dengan prinsip- prinsip dasar hukum Islam.19 Inilah yang kemudian dikenal dengan nama fiqh al-aqalliyyât.

18 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî, sebagai pioneer pendirian fiqh minoritas ini, dalam buku-bukunya memberikan ulasan yang cukup lengkap tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat. Mathias Rohe, profesor hukum di University of Erlangen Jerman, memberikan ulasan yang cukup baik tentang fakta persoalan minoritas muslim Jerman yang telah diberikan fatwa oleh ulama-ulama setempat, mulai dari yang paling mendasar, yakni imigrasi ke negara kafir, perpindahan agama, hukuman Islam atas dosa besar (hudûd) yang mereka lakukan sementara di negara itu sanksi hukum Islam tidak bisa dilakukan, sumbangan dari barang syubhat (tidak jelas status hukumnya) dan haram untuk masjid dan lainnya, penghasilan kerja yang sangat mungkin tidak seratus persen dijamin bersih dari syubhat dan haram, hak dan kewajiban istri, dan lain sebagainya. Hukum keluarga juga menjadi masalah yang tidak kalah menarik, misalnya ketika seorang perempuan yang beragama Nasrani melangsungkan perkawinan dengan laki-laki seagama, kemudian setelah selama 20 tahun dalam ikatan perkawinan dan telah memiliki empat orang anak, tiba- tiba si istri memeluk Islam. Pertanyaannya adalah apakah istri itu harus berpisah dengan suaminya dengan risiko-risiko psikologis, mental, sosial, dan ekonomi yang sangat berat, ataukah dibiarkan saja pasangan itu berbeda agama, tetapi tetap sebagai suami-istri. Fiqh klasik akan memilih yang pertama, tetapi fiqh al- aqalliyyât memilih yang kedua. Lihat, Mathias Rohe, “The Formation of a Euro- pean Syari’a,” dalam Malik (ed.), Muslims in Europe–From Margin to Center (Erlangen: Münster, 2004), hlm. 161-184. 19 Prinsip-prinsip dasar hukum Islam bersifat inklusif, fleksibel, dan universal sehingga menyediakan ruang bagi lahirnya jawaban baru atas permasalahan lama yang muncul dalam konteks baru atau atas permasalahan yang memang baru yang belum ada padanannya di masa lalu. Semangat merealisasikan kemaslahatan dunia dan akhirat yang diusung oleh konsepsi maqâshid al-syarî’ah membuka jalan menuju kesesuaian ajara Islam dengan segala masa dan tempat.

10 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Istilah fiqh al-aqalliyyât ini sebenarnya muncul pada awal tahun 1990-an. Tokoh pendirinya adalah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî. Taha Jabir menggunakan istilah ini pertama kali pada tahun 1994 ketika Fiqh Council of North America (FCNA) yang dipimpinnya mengeluarkan fatwa “boleh” bagi kaum muslim Amerika memberikan hak suaranya pada pemilihan presiden Amerika, yang nota bene calonnya adalah non-muslim. Lalu, Taha Jabir menulis beberapa tulisan berkaitan dengan fiqh al-aqalliyyât, seperti “Nazharât ta’sîsiyyah fi fiqh al- aqalliyyât” 20 dan “Towards a Fiqh for Minorities: Some Basic Re- 21 flections”. Sementara itu, Yûsuf al-Qaradhâwî mendirikan European

Council for Fatwa and Research (ECFR) di London pada tahun 1997 dengan tujuan utama memberikan layanan hukum Islam kepada mayarakat minoritas muslim di Eropa. Untuk itulah ia

menulis buku khusus yang berjudul Fî Fiqh al-Aqalliyyât al- Muslimah Hayât al-Muslimîn Wasat al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ.22 Di dalam buku ini, Yûsuf al-Qaradhâwî menjabarkan aturan-aturan

umum dan ketentuan hukum dalam fiqh minoritas. Karya-karya inilah yang menjadi bagian primary sources kajian ini dan didukung oleh tulisan-tulisan ulama lainnya yang mendukung dan

mengembangkan fiqh minoritas.

Fiqh al-aqalliyyât ini semakin menarik karena, selain sebagai sesuatu yang baru, ia juga mendapatkan sorotan tajam dari dua

20 Taha Jabir al-‘Alwani, “Nazharât Ta’sîsiyyah fi Fiqh al-Aqalliyyât”, dalam http:// www.islamonline.net . Artikel ini juga merupakan bagian ketiga dalam buku yang ditulis Taha Jabir al-‘Alwani, Maqâshid al-Syarî’ah (Beirut, Lebanon: Dâr al- Hâdî, 2001), hlm. 95-120. 21 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Towards a Fiqh for Minorities: Some Basic Reflections (Richmond, UK: International Institute of Islamic Thought, 2003). 22 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al-Syuruq, 2001).

11 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kelompok yang saling bertentangan. Hizbut Tahrir, sebagai kelompok yang dianggap sebagai gerakan fundamentalis Islam, menuding fiqh al-aqalliyyât sebagai impermissible innovation (bid ‘ah yang sangat tercela), karena telah menundukkan hukum- hukum Tuhan di bawah kepentingan umum (public interest), yang seharusnya mendasarkan dirinya pada hukum-hukum Tuhan. Di sisi lain, salah seorang pemikir progresif modern Islam, Tariq Ramadlan, menuduh fiqh al-aqalliyyât sebagai produk yang “tanggung”: mau membawa hukum Islam ke wacana global, tetapi tidak mau melepaskan ciri-ciri kearabannya.

Sementara itu, faktor lain yang membuat fiqh al-aqalliyyât menarik untuk dikaji adalah tumbuhnya kembali kajian fiqh bagi

minoritas muslim, yang menurut Khalid Abou El Fadl disebut sebagai kajian yang konsisten dengan sifat “pack up and go” (berhenti dan berlanjut) sejak abad pertama hijriyah. Kajian

tentang hukum dalam kaitannya dengan masyarakat minoritas muslim pernah menghiasi panorama perkembangan fiqh ketika masyarakat Kristen mulai menguasai teritorial Barat dan bangsa

Mongol menaklukkan wilayah Timur. Beragam fatwa dari berbagai madzhab muncul guna menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh masyarakat minoritas muslim, mulai dari keharusan migrasi ke

negara muslim sampai pada problematika aplikasi hukum Islam.23 Sayangnya, kajian ini terhenti sekian lama akibat dominannya kajian tentang permasalahan hukum dan kepentingan politik masyarakat mayoritas muslim di negara-negara muslim. Ke- pedulian terhadap masalah hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim muncul kembali sebagai pusat perhatian ketika eksistensi masyarakat minoritas muslim di Barat semakin banyak dengan problematika hidup yang semakin kompleks.

23 Khaled Abou El Fadl, “Striking a Balance: Islamic Legal Discourse on Muslim Minorities,” dalam John L. Esposito dan Yvonn Yazbeck Haddad (eds.), Muslims on the Americanization Path? , hlm. 49-61.

12 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Selain itu, penggunaan maqâshid al-syarî’ah sebagai dasar penentuan dan pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim sebagaimana yang diusung oleh fiqh al- aqalliyyât menjadi sisi atraktif yang merangsang untuk diteliti, karena di dalam fiqh al-aqalliyyât ini maqâshid al-syarî’ah diposisikan sebagai pendekatan, yang oleh para sarjana kontem- porer disebut dengan istilah maqâshid based-ijtihad (ijtihad yang 24 didasarkan pada prinsip maqâshid al-syarî’ah ). Di sini terjadi historical quantum, yakni lompatan sejarah maqâshid al-syarî’ah dari sebuah konsep nilai menuju sebuah pendekatan. Dan, tidak banyak sarjana yang menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan. Oleh karena itulah dalam perkembangan dan trend pemikiran Islam modern fenomena ini layak dikaji dalam level akademik.

***

Sebagai produk hukum baru, fiqh al-aqalliyyât masih menyisakan banyak persoalan, yaitu yang berkaitan dengan latar belakang, istilah, metodologi, bentuk, esensi, fungsi, dan impli- kasinya secara sosial, politik, dan ekonomi terhadap masyarakat minoritas muslim, selain persoalan-persoalan yang berdimensi filosofis dan teologis.

Oleh karena itu, sesuai dengan tiga fokus kajian dalam buku ini, seperti disebutkan di awal, kajian tentang fiqh al-aqalliyyât bertujuan untuk mendeskripsikan secara utuh format fiqh yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat minoritas muslim di negara-negara Barat dan menempatkannya pada posisi yang sebenarnya sebagai sebuah produk ijtihad terhadap masalah hukum yang senantiasa berkembang. Tujuan lainnya adalah

mengkaji pertimbangan-pertimbangan dan tata kerja maqâshid

24 Uraian lebih detail tentang definisi, posisi, dan aplikasi maqâshid al-syarî’ah dalam fiqh al-aqalliyyât dipaparkan pada bab 4 buku ini.

13 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

al-syarî’ah ketika digunakan sebagai dasar pendekatan dalam berijtihad (maqâshid based-ijtihad) dalam kasus fiqh al- aqalliyyât. Lebih jelasnya, tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Menggambarkan secara rinci rumusan-rumusan fiqh dalam fiqh al-aqalliyyât yang dikembangkan berdasarkan permasalahan- permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat

minoritas muslim. Selain itu, juga diarahkan pada pengungkapan latar belakang lahirnya fiqh minoritas ini, baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik sehingga akhirnya diketahui

dengan pasti posisi fiqh al-aqalliyyât dalam mata rantai perkembangan fiqh secara umum. Lebih jauh lagi, kajian ini bertujuan menguak dan menganalisis landasan-landasan

prinsipil dan metodologis yang digunakan fuqaha dalam fiqh al-aqalliyyât . Pengungkapan manhaj al-istinbâth akan mem- permudah memahami eksistensi dan menempatkannya dalam

kerangka perkembangan hukum Islam secara umum.

2. Menganalisis posisi dan peran maqâshid al-syarî’ah itu sendiri dalam merekonsiderasi pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat muslim minoritas dan keberpihakannya pada aplikasi fiqh khusus, yakni fiqh al-aqalliyyât bagi masyarakat muslim minoritas.

3. Mengungkap tata kerja maqâshid al-syarî’ah, yakni metode- metodenya ketika maqâshid al-syarî’ah dijadikan sebagai pendekatan penentuan hukum dan dijadikan dasar pember- lakuan fiqh al-aqalliyyât yang mengadvokasi terwujudnya kemaslahatan pada masyarakat minoritas muslim yang kondisi- nya berbeda dengan mayoritas muslim di negara-negara Islam. Signifikansi kajian ini semakin kentara mengingat selama ini perkembangan hukum, lebih-lebih hukum Islam selalu tertinggal

dari perkembangan-perkembangan dimensi lain dalam ranah peradaban manusia. Bahkan jauh lebih parah, yaitu ketika hukum

14 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Islam dituding telah stagnan mengikuti isu tertutupnya pintu ijtihad (the closure of the gate of ijtihad/insidâd bâb al-ijtihâd).25 Maka menarik sekali kesimpulan yang disampaikan oleh Khaled M. Abou El Fadl bahwa hukum Islam sesungguhnya masih hidup, namun piranti metodologis dan landasan epistemologinya telah mati. Inilah yang menjadikan hukum Islam stagnan dan tidak berdaya berdialog dengan realitas yang semakin berkembang.26 Oleh karena itu, munculnya fiqh al-aqalliyyât ini adalah jawaban terhadap sebagian besar (jika tidak semua) penilaian negatif mayoritas sarjana pada perkembangan hukum Islam. Kajian ini berguna untuk mengekspose secara akademis fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam dalam merespons dan mengakomodasi kebutuhan kepastian hukum umat Islam kapan pun dan di mana pun mereka berada.

Lebih jauh, kajian ini juga memiliki kegunaan mengisi ruang-

ruang kosong kajian hukum Islam dalam kaitannya dengan per- kembangan isu-isu kontemporer, khususnya yang berhubungan

25 Lihat bahasan Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), terutama pada bab 11; baca pula Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al- Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 1-36. Menurut Hallaq, dominasi empat madzhab pada masa formatif ini disebabkan oleh kemampuan pendiri madzhab ini menawarkan sebuah tatanan yang jelas, yang menggantikan sistem yang sebelumnya yang tidak tertata bagus. Pandangan semacam ini sebenarnya dibangun oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1964. Pendapat inilah yang nantinya dikritik oleh Hallaq dalam disertasi Ph.D-nya pada Washington Univer- sity tahun 1983, yang menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup, sebagaimana dijelaskannya dalam Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?” dalam International Journal of Middle East Studies 16 (1984), hlm. 3-41. Perdebatan lebih jauh tentang hal ini dengan sarjana-sarjana lainnya dapat dilihat pula dalam Sherman A. Jackson, Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of Syihab al-Din al-Qarafi (Leiden: E. J. Brill, 1996), hlm. 96; lihat pula Michel Hoebink, Two Half of the Same Truth: Schacht, Hallaq, and the Gate of Ijtihad (Amsterdam: Middle East Research Associates, 1994). 26 Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld, 2001), hlm. 171.

15 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dengan wilayah kerja hukum Islam di kalangan masyarakat minoritas muslim. Kegunaan lainnya adalah pada ulasan tentang aplikasi teori-teori ushûl al-fiqh dalam problematika hukum kontemporer dan aplikasi pendekatan maqâshid al-syarî’ah dalam proses penetapan hukum (istinbâth al-ahkâm). Akhirnya, buku ini memberikan gambaran bahwa fiqh, ushûl al-fiqh, dan maqâshid al-syarî’ah sebagai bagian dari falsafat al-tasyrî‘ sesungguhnya berjalin kelindan membentuk sebuah pola ajaran yang kompre- hensif, dinamis, dan aplikatif.

***

Secara konseptual, setidaknya terdapat tiga konsep yang mendasari rumusan teoretis fiqh al-aqalliyyât ini, yaitu minoritas muslim, fiqh, dan maqâshid al-syarî’ah. Sebelum analisis lanjutan

dilakukan, kalimat-kalimat penjelas atas konsep-konsep ini perlu dikemukakan terlebih dahulu.

Minority dalam kamus bahasa didefinisikan sebagai “a group of people of the same race, culture, or religion who live in a place where most of the people around them are of a different race, 27 culture or religion.” Dalam konteks ini maka minoritas muslim dimaksudkan sebagai sekelompok orang yang beragama Islam yang hidup di dalam masyarakat yang mayoritas berpenduduk non-muslim. Meskipun jumlah umat Islam di negara itu cukup banyak, seperti di India yang mencapai 120 juta, mereka tetap dianggap minoritas karena mereka berada di negara yang total penduduknya berjumlah satu milyar yang beragama Hindu (non- Islam).28

27 Artinya: “Sekelompok orang yang memiliki ras, budaya, atau agama yang sama yang tinggal di suatu tempat di mana kebanyakan orang yang tinggal di dalamnya memiliki ras, budaya, dan agama yang berbeda.” John Sinclair, Collins Cobuild Learner’s Dictionary (London: HarperCollins Publishers, 1996), hlm. 698.

28 Lihat, Theodhore P. Wright, Jr, “Pressure on Muslim Minority in India,” dalam Mumtaz Ahmad dan Mustansir Mir, Studies in Contemporary Islam, No. 5, 2003, 73. Dari jumlah tersebut berarti umat Islam hanya 12% dari total penduduk.

16 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Walaupun minoritas muslim menyebar di berbagai negara, fokus utama kajian ini adalah pada minoritas muslim di negara- negara Barat,29 khususnya dalam kajian ini yang dijadikan sebagai contoh kasus adalah Amerika dan Inggris; dua negara yang menjadi locus bermulanya kajian fiqh al-aqalliyyât—bukan semua negara Barat yang wilayahnya cukup luas dan pengalaman pengembangan Islam di dalamnya cukup variatif.

Kajian tentang hubungan grup minoritas ini tidak banyak mendapatkan perhatian, sehingga teori-teori tentang minoritas

tidak selengkap teori-teori pola hubungan sosial lainnya. Hal ini diakui oleh Hubert M. Ballock, Jr, penulis buku Toward a Theory of Minority-Group Relation.30 Teori-teori yang dikemukakan

dalam buku ini, terutama yang berkenaan dengan kondisi psiko- sosial kelompok minoritas, menarik untuk digunakan dalam memahami permasalahan, tantangan, dan hambatan-hambatan

yang dihadapi minoritas muslim di Barat. Mathias Rohe, mengutip pendapat beberapa sarjana, menyimpulkan bahwa ada empat model hubungan minoritas dengan mayoritas: assimilation, over-

lapping, segregation, dan acculturation.31 Menurutnya, accul-

29 Lihat, data minoritas muslim di Barat di dalm Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al- Aqalliyyât al-Muslimah Hayât al-Muslimîn Wasat al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ. Negara- negara Barat sesungguhnya tidak memiliki “nasib” yang seragam dalam hal pergulatan Islam, masyarakat, dan negara. Negara-negara yang masuk dalam wilayah Eropa Barat, misalnya, termasuk Macedonea, Albania, Bosnia, dan lain sebagainya lebih beruntung dibanding dengan Eropa Timur, karena mengalami sentuhan Islam yang cukup intensif pada masa keemasan Turki Utsmani. Jumlah umat Islam di daerah Eropa Barat ini cukup besar sekitar 15-20 juta jiwa atau sekitar 5% dari keseluruhan penduduk dan tidak mengalami permasalahan sebagai- mana yang dialami oleh minoritas muslim yang ada di Eropa Timur yang jumlahnya hanya sekitar 3 juta jiwa. 30 Hubert M. Ballock, Jr, Toward A Theory of Minority-Group Relation (New York: Capricorn Books, 1967), hlm. viii. 31 Assimilation adalah model di mana kaum minoritas imigran meninggalkan identitas kulturalnya untuk kemudian secara total beradaptasi dan melebur pada budaya mayoritas; Overlapping adalah model kebalikan dari asimilasi, yaitu pe- niscayaan perubahan fundamental budaya asal untuk menerima budaya pendatang

17 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

turation adalah model yang paling baik dan memungkinkan untuk membangun kebersamaan dan keadilan masa depan.

Meskipun demikian, akhir-akhir ini persoalan minoritas ini sudah mulai dilihat dan diteliti seiring dengan munculnya jurnal khusus yang bernama Journal of Muslim Minority Affairs32 yang berupaya memotret minoritas dari berbagai sisi. Sayangnya, kajian

minoritas muslim dalam jurnal itu kebanyakan berfokus pada dimensi ekonomi, sosial, dan politik, sementara kaitannya dengan hukum Islam belum mendapatkan porsi yang layak sebagai sebuah

ranah kajian.

Konsepsi fiqh dalam kaitannya dengan minoritas muslim ini memiliki makna yang berbeda dengan makna fiqh yang ber- kembang. Kata “fiqh” dalam fiqh al-aqalliyyât ini mengikuti definisi

yang dikemukakan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî sebagai pendirinya. Menurutnya, “fiqh” dalam fiqh al-aqalliyyât mengikuti makna fiqh dalam keumuman makna hadits: “Barangsiapa yang oleh Allah dikehendaki baik, maka dia akan dipahamkan (yufaqqihhu) dalam masalah agamanya (fî al-dîn).”33 Masalah agama bukan hanya masalah hukum, melainkan juga masalah aqidah, akhlak, dan masalah lainnya. Oleh karena itu, Imâm Abû Hanîfah menamakan kitabnya dengan judul Al-Fiqh al-Akbar (Fiqh Makro) yang tidak

minoritas itu; Segregation adalah sebuah model di mana kelompok asal dan kelompok pendatang sama-sama hidup terpisah dan hidup dengan identitas kulturalnya masing-masing; Acculturation adalah model di mana penduduk asal dan imigran pendatang hidup bersama, membangun komunikasi bersama, dan membiarkan perubahan terjadi secara alami bersama perjalanan sejarah kehidupan mereka. Lihat, Mathias Rohe, “The Formation of a European Syari’a,” hlm. 2. 32 Journal of Muslim Minority Affairs ini adalah satu-satunya jurnal akademik yang secara khusus mengkaji tentang minoritas muslim di negara-negara non-muslim yang jumlahnya menurut mereka saat ini sekitar 500 juta jiwa atau sepertiga dari jumlah total umat Islam yang berjumlah sekitar 1,5 milyar jiwa. Jurnal ini berpusat di London dan diterbitkan oleh Institute of Muslim Minority Affairs (Lembaga Urusan Minoritas Muslim). 33 Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Juz 1, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1970), hlm. 38.

18 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

hanya memuat masalah hukum, tetapi juga mencakup semua dimensi Islam. Karena itulah maka fiqh al-aqalliyyât tidak hanya merespons permasalahan-permasalahan hukum, tetapi juga segala problematika kehidupan yang dialami oleh minoritas 34 muslim. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî begitu bersemangat menjaga keterhubungan minoritas muslim, fiqh, dan Barat di mana mereka tinggal dengan memaksimalkan aplikasi ijtihad progresif yang mengedepankan terwujudnya kemaslahatan sebagai tujuan akhir hukum Islam (higher intent of Islamic law). Sebagai bukti, Lembaga Fiqh Amerika Utara (FCNA) yang dipimpinnya memiliki tujuan sebagai berikut:

“The Council (North America Fiqh Council) will work to direct the Muslims to the approach, wherein the identity of the American Muslim is to be loyal to his homeland (watan), America, due to his obligations towards it as a citizen, because the homeland for the Muslim is considered Dar al-Islam (Land of Islam) for him, as long as he is able to do his religious rituals inside it.”35

Dari penjelasan tentang konsepsi fiqh di atas, tampak jelas adanya perbedaan antara makna dan pemahaman fiqh klasik dengan fiqh al-aqalliyyât. Perbedaan pertama adalah kembalinya makna fiqh pada awal-awal masa kodifikasi yang memiliki cakupan luas. Ia didesain untuk memberikan panduan tentang hal-hal yang dilarang dan yang boleh bagi minoritas muslim yang tinggal di

34 Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, “Nazhariyyât Ta’sîsiyyah fî Fiqh al-Aqalliyyât”, hlm. 2. 35 Artinya: “Lembaga ini (Lembaga Fiqh Amerika Utara) akan bekerja untuk mengarahkan umat Islam pada pendekatan di mana identitas muslim Amerika harus loyal pada tanah airnya (watan), Amerika, karena kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara di negara tersebut, dengan dasar pemikiran bahwa tanah air bagi umat Islam dianggap sebagai dâr al-Islâm (negara Islam) sepanjang ia bisa menjalankan ritual keagamaan di dalamnya.” Lihat, www. asharqalawsat.com (July 21, 2002) sebagaimana dikutip oleh Shammai Fishman, “Ideological Islam in the : “Ijtihad” in the Thought of Dr. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî,” dalam The Project for Research of Islamist Movements (PRISM), www.e-prim.com.

19 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

negara Barat yang tidak bersistem pemerintahan Islami.36 Per- bedaan kedua adalah pemaknaan dâr al-Islâm yang mengalami pergeseran dari makna klasik sebagai negara yang diatur dengan hukum Islam, atau yang diperintah oleh umat Islam, menuju makna semua negara di mana saja, yang di dalamnya umat Islam memiliki kebebasan menjalankan agamanya.37 Perbedaan ketiga adalah pada konsepsi tentang maqâshid al-syarî’ah, yang bergerak dari tataran konsep nilai yang abstrak, seperti yang terkandung di dalam al-dharûriyyât al-khams (lima hal yang pokok/primer),38 ke konsep yang lebih aplikatif dan inklusif, seperti keadilan sosial, kebebasan, hak asasi manusia, keindahan, dan lain-lain sebagai key point (poin inti) kemaslahatan umum, di samping juga per- gerakan maqâshid al-Syarî’ah dari sebuah konsep nilai menuju sebuah metode pendekatan.

Perbedaan, atau dalam bahasa sosio-historis disebut dengan

perubahan, pemaknaan dalam hal-hal tersebut di atas benar-benar memiliki implikasi yang tidak terduga. Ketika ada pertanyaan tentang bagaimana hukumnya minoritas muslim yang berprofesi

sebagai tentara Amerika dan ditugaskan untuk berperang melawan pasukan Taliban yang nota bene juga beragama Islam? Ketika

36 Pemaknaan fiqh secara sempit dan pembatasan (atau keterbatasan?) aplikasinya pada bidang-bidang tertentu yang bersifat privat dan bukan publik pada interval waktu yang sangat lama dibahas dengan baik oleh Bernard G. Weiss, The Spirit of Islamic Law (Athen and London: Georgia University Press, 1998), hlm. 172- 186. 37 ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tasyrî‘ al-Jinâ’î al-Islâmî, juz 1, hlm. 224-225; Lihat juga Jâbir al-'Alwânî, Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflections, hlm. 27-29. 38 Pada masa-masa pertumbuhan dan perkembangan awalnya, maqâshid al-syarî’ah didefinisikan secara terbatas pada pemeliharaan lima hal utama dalam upaya merealisasikan kemaslahatan, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Konsepsi nilai kemaslahatan seperti ini sangat dominan pada masa- masa awal tersebut walaupun tidak dapat disebut statis, karena perdebatan dan dialog yang dinamis masih dapat dilihat dalam perkembangannya. Mengenai sejarah awal maqâshid al-syarî’ah dan perkembangannya pada masa kontemporer bisa dilihat di dalam bab 4 buku ini.

20 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Amerika dikategorikan sebagai dâr al-Islâm, maka jawabannya akan berbeda dengan ketika (masih) dipahami sebagai dâr al- harb.39

Bagaimanapun juga, perbedaan-perbedaan tersebut akan menarik ketika dibaca sebagai proses continuity and change (keberlanjutan dan perubahan) daripada sebagai perbedaan yang

terputus dari rantai sejarah. Sebagai proses continuity and change, geliat perkembangan fiqh al-aqalliyyât ini bisa dibaca ber- dampingan dengan geliat perkembangan pemikiran Islam secara

umum yang tengah lantang menyuarakan Islam progresif dan ijtihâd progresif.40 Dalam kaitannya dengan perkembangan

39 Fatwa Yûsuf al-Qaradhâwî mengenai pertanyaan ini banyak menuai kontroversi. Lihat, James Piscatori, “Reinventing the Ummah? The Trans-Locality of Pan-Islam,” ceramah ilmiah HUT ke-10 Konferensi “Translocality: An Approach to Globalising Phenomena,” di Zentrum Moderner Orient, Berlin, 26 September 2006. 40 Lihat, Omid Safi, (ed.), “Introduction,” dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003); baca pula Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006); Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004). Di antara beberapa trend pemikiran Islam yang tengah berkembang, kelompok progresif Islamlah yang memiliki pemikiran-pemikiran sama secara prinsip dengan apa yang digagas oleh fiqh al-aqalliyyât. Ketika fiqh minoritas ini berkehendak “mengawinkan fiqh dengan konteks Barat pada satu tubuh bernama minoritas muslim, maka yang digagas oleh kelompok Islam progresif ini adalah bagaimana menjadikan Islam tetap mampu menjawab permasalahan hidup di mana pun dan kapan pun. Karena itulah kelompok muslim progresif senantiasa berupaya menyegarkan interpretasi Islam agar tetap bisa membumi. Untuk melihat ciri-ciri muslim progresif ini, Abdullah Saeed menyatakan bahwa ada sepuluh kriteria yang lebih bersifat teknis gerakan yang membedakan muslim progresif dengan lainnya. Menurutnya, muslim progresif (a) menunjukkan rasa nyaman (comfort) ketika menafsir ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip Islam, (b) berkeyakinan bahwa keadilan gender ditegaskan dalam Islam, (c) berpandangan bahwa semua agama secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional, (d) berpandangan bahwa semua manusia juga equal, (e) berpandangan bahwa keindahan (beauty) merupakan bagian inheren dari tradisi Islam, baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi, maupun musik, (f) mendukung kebebasan berbicara, berkeyakinan, dan berserikat, (g) menunjukkan kasih sayang kepada semua makhluk, (h) menganggap bahwa hak “orang lain” itu ada dan perlu dihargai, (i) memilih sikap moderat dan anti- kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, (j) menunjukkan

21 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

hukum Islam, kelompok progresif,41 sebagaimana dinyatakan Abdullah Saeed, memiliki enam karakteristik yang paling penting, yaitu:

1. Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat muslim saat ini.

2. Mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad (ijtihad baru) dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer.

3. Beberapa di antara mereka juga mengombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern.

4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi, dan juga teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam. 5. Mereka tidak mengikatkan diri pada dogmatisme atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya.

kesukaan dan antusiasnya ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik. Baca di IDSS, “Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies,” Laporan Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret 2006, hlm. 5. 41 Istilah progresif merupakan istilah yang ambigu dan terbuka terhadap berbagai penafsiran dan klaim. Karena itu, Omid Safi dalam pengantar buku Progressive Muslims memberikan batasan bahwa progresif adalah “refers to a relentless stiving toward a universal notion of justice in which no single’s community’s prospe- rity, righteousness, and dignity comes at the expense of another (upaya kokoh untuk menegakkan konsep universal keadilan di mana kekayaan, kebaikan, dan harga diri suatu komunitas tidak boleh mengorbankan komunitas lainnya). Lihat, Omid Safi, (ed.) “Introduction,” dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, hlm. 3.

22 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

6. Mereka meletakkan titik tekan pemikiran pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara muslim dan non-muslim.42

Kepedulian atas perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat sebagaimana yang disebutkan di atas adalah bagian dari mata rantai aplikasi maqâshid al-syarî’ah. Problematika pengejawan-

tahan konsepsi mashlahah dan keadilan dalam segala bentuknya, terutama keadilan sosial dan keadilan hukum, secara tersirat juga menjadi esensial dalam kaitan aplikasi fiqh al-aqalliyyât pada

masyarakat minoritas muslim ini. Karena itu, konsepsi mashlahah dan keadilan juga akan menjadi hal yang berposisi urgen dalam pembahasan maqâshid al-syarî’ah ini.

Hal tersebut di atas didukung oleh kenyataan terangkatnya

diskursus equality (kesederajatan) dan rights (hak-hak) dalam kajian hukum dewasa ini yang menunjukkan kesadaran akan “hukum dalam persepsi komunitas”, di samping “hukum yang ada dalam teks.” Farid Essack menegaskan bahwa prinsip dasar dari sistem kehidupan Islami adalah equal justice (keadilan yang sama) untuk semua: muslim dan non-muslim, laki-laki dan perempuan, berdasarkan hukum.43 Sebagai elaborasi tambahan, Louis A. Knafla dan Susan W.S Binnie membahas dengan baik tentang bagaimana peranan hukum dan pluralitas hukum dalam proses pembentukan masyarakat modern. Keduanya menekankan perlunya kemaslaha- 44 tan dan keadilan bagi semua.

42 Ibid. , hlm. 150-151. 43 Farid Essack, On Being Muslim (Oxford: Oneworld Publication, 2002), hlm. 168. 44 Louis A. Knafla dan Susan W.S Binnie, “Beyond the State: Law and Legal Plural- ism in the Making of Modern Societies,” dalam Louis A. Knafla dan Susan W.S Binnie (eds.), Law, Society, and the State Essays in Modern Legal History (Toronto, Buffalo, London: University of Toronto Press, 1995).

23 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Dalam ranah filsafat hukum Islam, konsepsi kemaslahatan, keadilan, kemudahan, dan toleransi menjadi aspek-aspek penting dari prinsip hukum Islam dalam upaya merealisasikan kemaslahat- an umum. Kemaslahatan umum ini menjadi esensi dari maqâshid al-syarî’ah . Karena itulah maka bahasan maqâshid al-syarî’ah menarik untuk dilakukan dalam upaya menemukan inti ajaran Islam.

*** Wacana pembaruan hukum Islam sebenarnya bukanlah masalah baru, dan perdebatan tentang ijtihad pun bukan sesuatu

yang asing. Dialog hukum Islam (fiqh) dengan perkembangan- perkembangan sosial juga sudah sering dilakukan. Munculnya nama-nama pembaru hukum Islam modern dan institusi-institusi

hukum Islam yang aktif mengkaji hukum-hukum aktual adalah bukti masih hidupnya hukum Islam, walaupun sempat redup dalam beberapa periode. Namun, lemahnya kajian ushûl al-fiqh yang mengusung spirit ijtihad telah menutup pintu kreativitas para cendekiawan untuk berani memberikan tafsiran-tafsiran baru yang sesungguhnya dibutuhkan oleh muslim kontemporer dengan dinamika kehidupan yang serba cepat. Hal inilah yang kemudian menjadikan fiqh al-aqalliyyât mendapatkan perhatian besar, baik pada tataran produk hukum, metodologi, maupun implikasinya.

Untuk memahami hadirnya fiqh minoritas ini perlu melihat peta pemikiran keislaman kontemporer sebagai pijakan awalnya. Meminjam kategorisasi trend pemikiran modern oleh Abdullah Saeed, ada enam kelompok pemikir: 1) the legalist-traditionalist, yang titik tekannya pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra-modern; 2) the theologi-

cal puritans, yang fokus pemikirannya pada dimensi etika dan doktrin Islam; 3) the political Islamists, yang kecenderungan pemikirannya pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir

24 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

mendirikan negara Islam; 4) the Islamist extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik muslim maupun non-muslim; 5) the secular muslims, yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matters); dan, 6) the progressive ijtihadists, yaitu para pemikir modern yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar mampu 45 menjawab kebutuhan masyarakat modern. Kategorisasi tersebut di atas hampir sama dengan kategorisasi Tariq Ramadlan yang juga membaginya menjadi enam kelompok yang merepresentasi- kan perspektif muslim yang terkenal pada abad ke-20 dan ke-21, yaitu: Scholastic Traditionalism, Salafi Literalism, Salafi Reform- ism, Political Literalist Salafism, Liberal or Rational Reformism, dan .”46

Dari kategorisasi di atas, wacana fiqh al-aqalliyyât sebagai

produk hukum yang merespons kebutuhan-kebutuhan modern dengan melakukan penafsiran-penafsiran baru yang berbeda dengan fiqh klasik, akan dengan mudah dimasukkan pada kategori

progressive ijtihadist atau liberal or rational reformism. Namun, melihat pendiri fiqh minoritas ini, yaitu Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwi, menurut para pembuat kategorisasi, sulit

masuk kategori tersebut, karena dengan meneliti latar belakang sejarah intelektual dan karya-karyanya terdahulu, mereka dimasukkan ke dalam kelompok the legalist traditionalist. Pada tataran inilah kajian untuk memosisikan fiqh al-aqalliyyât ini sangat menarik.

Pada tataran empirik, problematika hukum Islam menjadi isu besar ketika dihadapkan dengan tantangan modernitas pada

45 Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 142-150. 46 Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004), hlm. 24-28.

25 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

masyarakat minoritas muslim. Persoalan persepsi muslim minoritas tentang fiqh, problematika hukum Islam yang berbeda dengan apa yang dialami oleh mayoritas umat Islam, dan keinginan merasakan nilai-nilai kemaslahatan, kemudahan, dan keadilan sosial hukum Islam menjadi impulse (pendorong) besar hadirnya fiqh al-aqalliyyât. Untuk membaca realitas ini, menempatkan teori-teori ushûl al fiqh dan maqâshid al-syarî’ah sebagai pen- dekatan akan banyak membantu. Karena fiqh minoritas ini adalah hasil reinterpretasi terhadap

dalil-dalil syar‘î ketika dihadapkan dengan kondisi yang serba baru pada masyarakat modern Barat dengan menggunakan piranti ijtihad, maka dengan optik ushûlî akan tampak jelas pendekatan

atau piranti ushûl al-fiqh yang paling dominan digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât. Membaca fiqh al-aqalliyyât dengan optik ushûlî seperti ini akan memberikan kepastian reliabilitas dan kualitas

produk pemikirannya.

Sementara itu, konsepsi maqâshid al-syarî’ah sebagai landasan dasar keberlakuan fiqh al-aqalliyyât juga menarik dan perlu dicermati karena dua hal: Pertama, maqâshid al-syarî’ah tidak hanya menyentuh ranah hukum Islam, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan ranah kajian teologi (‘ilm al-kalâm) dan filsafat. Perdebatan tentang hal ini menarik untuk diangkat dalam kajian ini. Kedua, maqâshid al-syarî’ah sebagai sebuah pendekatan tidaklah sesederhana maqâshid al-syarî’ah sebagai seperangkat konsep nilai. Dalam mengkaji hal ini, pendekatan maqâshid based- ijtihad sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad al-Raysûnî menarik untuk dijadikan ukuran, apakah benar fiqh al-aqalliyyât ini merupakan produk yang berorientasi maqâshid al-syarî’ah. Menurut al-Raysûnî, ada 4 (empat) hal yang pasti diperhatikan dalam praktik ijtihad dengan mendasarkan pada maqâshid al- syarî’ah: Pertama adalah bahwa teks dan aturan-aturannya tidak terpisah dari tujuannya (texts and rulings are inseparable from

26 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

their objectives). Kedua adalah keharusan menggabungkan prinsip-prinsip dan dalil universal yang bisa diterapkan dalam menyelesaikan kasus-kasus partikular (combining universal principles and evidence applicable to particular cases). Ketiga, menggapai keuntungan atau manfaat serta mencegah kerugian atau mafsadat (achieving benefits and preventing harm), dan keempat adalah konsiderasi hasil (consideration of outcomes).47 Empat prinsip di atas dielaborasi dengan baik oleh al-Raysûnî sehingga bisa dijadikan ukuran, apakah produk-produk pemikiran fiqh al-aqalliyyât ini telah dengan tepat mendasarkan kajiannya pada maqâshid al-syarî’ah. Sebagai pendukung kuat atas prinsip-prinsip di atas, Gamal

Eldin Attia dalam bukunya Towards Realization of the Higher Intents of Islamic Law Maqâshid al-Syarî’ah: A Functional Approach, menyebutkan 13 (tiga belas) indikator hasil yang harus

digapai oleh produk ijtihad yang berorientasi maqâshid al- syarî’ah , yaitu: (1) menunjukkan kesempurnaan hukum Islam; (2) meningkatkan kepercayaan diri atas kebenaran keyakinannya; (3)

memungkinkan seseorang merasa yakin atas kebenaran perbuatan dirinya; (4) mencegah orang-orang yang berupaya menebarkan keraguan terhadap hukum Islam; (5) mempertegas bahwa hadist

shahîh senantiasa sesuai dengan kemaslahatan manusia; (6) menjadi alat bantu dalam menentukan mana yang paling maslahat dari dua analogi yang dihadapi; (7) mencegah penggunaan legal artifices (upaya licik/pembusukan hukum); (8) memiliki peran membuka dan menutup jalan (fath al-dharâ’i‘ wa sadduhâ); (9) teks dan aturan hukum dipahami dalam kaitannya dengan maksud sesungguhnya; (10) mengintegrasikan nilai-nilai universal dengan dalil-dalil partikular; (11) menegaskan pentingnya mempertim-

47 Ahmad al-Raysûnî, Imam al-Syatibi’s Theory of Higher Objectives and Intents of Islamic Law (London, Washington: IIIT, 2005), hlm. 336-358.

27 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

bangkan konsekuensi-konsekuensi pada masa mendatang; (12) memberikan ruang ekspansi dan inovasi dalam menyelesaikan persoalan hukum; dan, (13) memungkinkan kita menjembatani gap dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat di antara 48 beragam madzhab. Fiqh al-aqalliyyât sebagai produk maqâshid based-ijtihad

harusnya mampu melahirkan 13 hal tersebut di atas sehingga kehadirannya di tengah kaum muslim minoritas di negara-negara Barat benar-benar memberikan ketenangan dan kenyamanan

dalam beragama serta memberikan kemaslahatan dalam kehidupan mereka. Studi ini mengkaji hubungan fiqh al-aqalliyyât dengan maqâshid al-syarî’ah sehingga menjadi jelas posisi

maqâshid al-syarî’ah sebagai konsiderasi aplikasi fiqh khusus bagi masyarakat minoritas muslim dan sebagai perangkat metodologis dalam penentuan aturan-aturan hukum dalam fiqh al-aqalliyyât.

***

Secara metodologis, fiqh al-aqalliyyât dalam studi ini dikaji dalam konteks keterkaitannya dengan maqâshid al-syarî’ah. Fiqh al-aqalliyyât , maqâshid al-syarî’ah, dan masyarakat minoritas muslim di Barat, yakni di Amerika dan Inggris, adalah tiga hal pokok yang senantiasa terkait dan menjadi fokus bahasan. Dipilihnya masyarakat minoritas muslim di Amerika dan Inggris didasarkan pada tiga hal: Pertama, kedua negara ini menjadi tujuan favorit imigran muslim akhir-akhir ini. Kedua, problematika muslim di kedua negara ini sering menjadi perhatian dunia, baik yang berkaitan dengan isu sosial, budaya maupun politik. Perancis juga menjadi fokus dunia, tetapi tegangan konfliknya tidak sebesar di Amerika dan Inggris. Ketiga, lembaga hukum Islam yang

48 Gamal Eldin Attia, Towards Realization of the Higher Intents of Islamic Law Maqâshid al-Syarîah: A Functional Approach (London, Washington: IIIT, 2007), hlm. 153-160.

28 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

pertama kali memunculkan fiqh al-aqalliyyât berdiri di dua negara ini, yakni FCNA (Fiqh Council of North America) dan ECFR (Euro- pean Council for Fatwa and Research).

Adalah sebuah anggapan awal bahwa masyarakat minoritas muslim membutuhkan fiqh khusus dan merasa kurang nyaman dengan fiqh umum yang lahir dalam setting masyarakat muslim

sebagai mayoritas. Dugaan awal ini diuji pada bagian awal studi ini dengan menggunakan pendekatan sosio-historis dalam proses membaca eksistensi dan problematika masyarakat minoritas

muslim di Barat sehingga bisa terlihat posisi dan urgensi maqâshid al-syarî’ah sebagai pengantar dan pendorong lahirnya fiqh al- aqalliyyât.

Lebih lanjut, menurut para penggagasnya, format fiqh al-

aqalliyyât merupakan perwujudan kembali format fiqh pada masa awal pertumbuhannya, yang mencakup segala bidang kehidupan beragama. Ketentuan-ketentuan hukum dalam fiqh al-aqalliyyât ini diakui sebagai hasil ijtihad baru yang didasarkan pada tujuan inti syari’at (maqâshid al-syarî’ah), yaitu penegakan kemaslaha- tan. Hal ini dikaji kebenarannya dengan menempatkan ushûl al- fiqh dan maqâshid al-syarî’ah sebagai optik kajian.

Penggunaan pendekatan ushûl al-fiqh dan maqâshid al- syarî’ah seperti disebut di atas menjadi pendekatan utama dalam kajian ini. Kajian dengan perspektif ushûl al-fiqh berupaya membongkar landasan teoretis ushûlî yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât , mengetahui teori-teori ushûl al-fiqh yang paling dominan untuk kemudian menganalisisnya dan menjelaskan posisinya dalam kerangka kajian ushûl al-fiqh yang ada. Apakah fiqh al-aqalliyyât ini memang baru dan berbeda dengan fiqh klasik

pada umumnya, ataukah ia adalah produk lama yang belum populer pada masa lalu dan baru digunakan saat ini karena dianggap mampu menjawab kebutuhan dan problematika keberagamaan

29 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

yang dihadapi masyarakat muslim minoritas di Barat, dapat terjawab dalam studi ini.

Sementara itu, kajian dengan pendekatan maqâshid al- syarî’ah mengantarkan pada kesimpulan tentang peran dan posisi maqâshid al-syarî’ah dalam kemunculan fiqh al-aqalliyyât, berikut juga menjawab tentang bagaimana proses penetapan hukum

dalam fiqh al-aqalliyyât yang diklaim sebagai produk maqâshid based-ijtihad . Ketentuan hukum yang ada dalam fiqh al-aqalliyyât, baik yang berhubungan dengan ritual, transaksi ekonomi, sosial,

dan politik dilihat dalam kaitannya dengan maqâshid al-syarî’ah ini. Ketentuan hukum fiqh al-aqalliyyât yang dikaji dalam studi ini bersumber dari beberapa fatwa yang telah diterbitkan dalam

bentuk buku dan yang belum diterbitkan, tetapi menjadi arsip di lembaga-lembaga fatwa hukum di Amerika dan Inggris, terutama lembaga FCNA di Amerika Utara yang dipimpin oleh Thâhâ Jâbir

al-'Alwânî, dan ECFR yang dikepalai oleh Yûsuf al-Qaradhâwî.

Adapun penggunaan pendekatan sejarah sosial (socio- historical perspective) serta pendekatan teori hukum Islam (Islamic legal theories) dan filsafat hukum Islam (Islamic legal ) dalam mengkaji fiqh al-aqalliyyât, seperti dijelaskan di atas, diharapkan ditemukannya pemahaman yang holistik mengenai keterkaitan hukum Islam, realitas sosial, dan kemasla- hatan sebagai tujuan dari syari’at Tuhan.

Untuk mendukung tercapainya pemahaman yang holistik tersebut, kajian ini menggunakan dua pola analisis: content analy- sis (analisis isi) dan systems analysis (analisis sistem). Dalam penelitian kualitatif, content analysis dimaknai sebagai “the draw- ing of inferences on the basis of appearance or nonappearance of

attributes in messages.”49 Model analisis ini penting untuk mem-

49 Artinya: “mengambil kesimpulan-kesimpulan atas dasar ada atau tidak adanya sifat-sifat atau atribut dalam pesan.” Lihat, Ole R. Holsti, Content Analysis for

30 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

berikan gambaran yang utuh tentang apa yang dikatakan di dalam pesan teks yang dikaji, dalam konteks ini adalah teks-teks fiqh al- aqalliyyât, untuk siapa, mengapa, dan bagaimana objektivitas, reliabilitas, dan validitasnya. Sementara itu, systems analysis merupakan model analisis yang mengasumsikan entitas yang dikaji sebagai suatu sistem dari sekumpulan unit atau elemen yang berinteraksi secara integratif dalam melakukan fungsi.50 Dengan model analisis seperti ini, fiqh al-aqalliyyât diperlakukan sebagai sebuah sistem yang mempersatukan masyarakat minoritas muslim di Barat, hukum Islam, dan maqâshid al-syarî’ah dalam fungsi berjalannya ketentuan-ketentuan agama dalam konteks kehidupan kaum muslim yang minoritas.

***

Lahirnya fiqh al-aqalliyyât pada awal tahun 1990-an adalah sesuatu yang mengejutkan ketika ia dibaca secara utuh dan metodologis sebagai upaya untuk menawarkan model baru hukum Islam yang diperuntukkan bagi masyarakat minoritas muslim yang tinggal di Barat. Ia berani melawan mainstream (mayoritas) serta menafsir ulang nash agar akomodatif dengan kebutuhan zaman.

Social Sciences and Humanities (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, 1969), hlm. 11. 50 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach, (London, Washington: IIT, 2008), hlm. 33-34. Istilah systems analysis merupakan istilah resmi ilmu sains dan teknologi yang memiliki beberapa makna yang berbeda-beda. Selain makna yang dikemukakan oleh Jasser Auda di atas, istilah ini dalam ranah kajian sosial juga bermakna penelitian formal yang eksplisit, yang dilakukan untuk membantu seseorang untuk mengidentifikasi bentuk aksi yang lebih baik atas suatu kasus atau untuk membuat keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan keputusan yang sudah ada. Analisis sistem ini biasanya melalui proses kerja sebagai berikut: (a) identifikasi dan reidentifikasi tujuan, kontrol, dan bentuk aksi alternatif; (b) pengujian konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi; (c) pemaparan hasil dalam bentuk komparatif sehingga yang terbaik dari alternatif yang ada mudah dipilih. Lihat, Principia Cybernetika Web, “Systems Analysis,” di http://pespmc1.vub.ac.be/ASC/System_analy.html (akses tanggal 21 Agustus 2009).

31 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Oleh karena itu, banyak sarjana yang memberikan perhatian, mengkritik, dan memuji fiqh ini, namun sedikit yang membahasnya secara utuh dalam kajian akademik.51 Kajian akademik yang pernah dilakukan, sepanjang penelusuran penulis, ada dua: pertama, kajian yang dilakukan oleh Shammai Fishman, seorang pengamat perjalanan intelektual Thâhâ Jâbir al-'Alwânî termasuk fiqh al- aqalliyyât- nya. Tesis MA-nya pada Department of Language and Literature di Hebrew University Jerussalem berjudul “Fiqh al-Aqalliyyât,” yang kemudian dibukukan dengan judul Fiqh al-Aqalliyyât: A Legal Theory for Muslim Minorities.52 Buku ini menggambarkan secara singkat tentang perkembangan masyarakat minoritas muslim di Barat, problematika hukum Islam, dan teori-teori hukum Islam yang digunakan dalam menyelesai- kan problematika hukum tersebut. Fishman menyebutkan bahwa

landasan dasar fiqh al-aqalliyyât adalah maqâshid al-syarî’ah. Namun, Fishman tidak menjelaskan bagaimana menggunakan maqâshid al-syarî’ah ini sebagai sebuah pendekatan. Karena itulah

maka Fishman gagal dalam menjelaskan secara baik beberapa metode ushûl al-fiqh, seperti mashlahah mursalah, istihsân, sadd al-dharâ’i‘, dan ‘urf yang digunakan dalam penciptaan fiqh al-

aqalliyyât dalam kerangka maqâshid based-ijtihad.

Kedua, disertasi yang ditulis oleh M.A.S.A. al-Saifi dengan judul “Jurisprudence for Muslim Minorities and the Creation of a

51 Munculnya banyak pemikir muda, seperti M. Muqtedar Khan, Tariq Ramadlan, Ali Harb, dan Abdullah Saeed melengkapi pemikiran kontemporer generasi sebelumnya, seperti M. Arkoun, Nashr Hamid Abû Zayd, dan Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî. Tulisan-tulisan mereka rata-rata adalah gugatan atas stagnasi berpikir umat Islam dan ketidakberdayaannya menampilkan Islam sebagai agama yang responsif terhadap kemajuan zaman. Meskipun demikian, tulisan kontemporer yang secara spesifik berbicara tentang dialog hukum dengan modernisme tidaklah banyak. Kajian tentang hukum Islam kontemporer cenderung sekilas, tematik parsial, dan tidak utuh. 52 Shammai Fishman, Fiqh al-Aqalliyyât: A Legal Theory for Muslim Minorities (Hudson Institute: Research Monograph on the Muslim World, Series No. 1, Paper No. 2, October 2006).

32 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Western Islam: The Role of the European Council for Fatwa & Research and the Fiqh Council of North America,” pada Nether- lands School for Advanced Studies in Theology and Religion tahun 2005. Disertasi al-Saifi lebih memfokuskan kajiannya pada peran FCNA dan ECFR sebagai organisasi yang mempromosikan fiqh al- aqalliyyât.53

Buku-buku tentang fiqh al-aqalliyyât juga belum banyak ditulis. Buku yang dianggap paling awal membahas fiqh al- aqalliyyât adalah karya Khâlid ‘Abd al-Qâdir yang berjudul Fiqh

al-Aqalliyât al-Muslimah.54 Buku ini berbicara banyak tentang permasalahan yang dihadapi oleh minoritas muslim, contoh- contoh kasus dan solusinya. Sayangnya, buku ini tidak menyentuh

masalah cara kerja maqâshid al-syarî’ah dalam pemberian fatwa- fatwa hukumnya.

Buku lainnya ditulis oleh Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah Muhammad yang berjudul Nahwa Fiqh Jadîd li al-Aqalliyyât.55 Buku ini menitikberatkan kajiannya pada eksistensi minoritas muslim di beberapa negara dan problematika yang dihadapinya secara umum. Kajiannya lebih banyak terfokus pada hak-hak dan ke- wajibannya menurut undang-undang ketimbang pada problema- tika hukum Islam yang dialami oleh masyarakat minoritas muslim.

Kemudian, karya tentang fiqh al-aqalliyyât lainnya ditulis oleh ‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfuzh bin Bayyah dengan judul Shinâ ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât.56 Buku ini dapat di- anggap cukup komprehensif dalam mengkaji fiqh al-aqalliyyât,

53 Penulis berterima kasih kepada al-Saifi yang telah berkenan berdialog melaui e- mail tentang disertasi tersebut di atas dan tentang fiqh al-aqalliyyât secara umum. 54 Khâlid ‘Abd al-Qâdir, Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimah (Tripoli: Dâr aI-Imân, 1998). 55 Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadîd li al-Aqalliyyât (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003). 56 ‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfûzh bin Bayyah dengan judul Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât (Lubnân, Beirût: Dâr al-Minhâj, 2007).

33 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

mulai dari kajian istilah, metodologi, hubungannya dengan mashla hah dan maqâshid al-syarî’ah, dan contoh-contoh fatwa fiqh al-aqalliyyât yang dikeluarkan oleh ECFR. Buku ini memang menjelaskan hubungan antara hukum Islam dan kemaslahatan, tetapi belum menjelaskan secara utuh tentang bagaimana tata kerja maqâshid al-syarî’ah dalam perumusan fiqh al-aqalliyyât.

Buku lainnya adalah karya Asif K. Khan, salah seorang ketua Hizbut Tahrir di Inggris, yang berjudul The Fiqh of Minorities— the New Fiqh to Subvert Islam,57 dan dapat dipandang sebagai

buku yang melawan eksistensi fiqh minoritas. Baginya, fiqh minoritas adalah penodaan atas kesakralan agama. Kritik-kritiknya bercirikan tekstualis, fundamentalis atau literalis tanpa meng-

hiraukan kebutuhan konteks.

Muhammad Sulaymân Tubuniak, yang menulis buku berjudul Al-A hkâm al-Siyâsiyyah li al-Aqalliyyât al-Muslimah fi al-fiqh al-Islâmî, mengkaji fiqh al-aqalliyyât dari perspektif politik.58 Senada dengan buku-buku di atas, buku ini pun tidak menggunakan pendekatan yang komprehensif. Kajian ushûlî dan pendekatan maqâshid al-syarî’ah belum cukup tampak dalam paparan- paparan buku ini.

Sementara itu, tulisan dalam bentuk artikel atau makalah dengan pendekatan tertentu bisa didapatkan dari banyak sumber, baik jurnal maupun situs internet. Muhammad Khalid Mas’ud, Mathias Rohe, Salah Sultan, dan Muhammad Haniff Hassan adalah di antara para sarjana yang banyak menekuni bidang kajian ini. Namun, tidak satu pun kajian mereka yang mencoba melihat secara serius bagaimana posisi, fungsi, dan tata kerja maqâshid al-

57 Asif K. Khan, The Fiqh of Minorities—The New Fiqh to Subvert Islam (London: Khilafah Publications, 2004). 58 Muhammad Sulaymân Tubuniak, Al-Ahkâm al-Siyâsiyyah li al-Aqalliyyât al- Muslimah fî al-Fiqh al-Islâmî (Lebanon: Dâr an-Nafâ’is, 1997).

34 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

syarî’ah dalam fiqh al-aqalliyyât. Meskipun demikian, kajian- kajian mereka sangat membantu membuka jalan kajian lebih lanjut, seperti yang penulis lakukan dalam buku ini.

Adapun kajian tentang maqâshid al-syarî’ah sebagai pen- dekatan atau metode kajian juga tidak banyak ditemukan, lebih- lebih yang secara langsung dihubungkan dengan fiqh al-aqalliyyât.

Meskipun demikian, dalam perkembangan maqâshid al-syarî’ah ada dua buku yang ditulis oleh sarjana kontemporer yang menawarkan maqâshid al-Syarî’ah sebagai pendekatan atau

metode kajian hukum Islam kontemporer, yaitu karya Gamal Eldin Attia yang berjudul Towards Realization of The Higher Intents of Islamic Law, Maqâshid al-Syarî’ah: A Functional Approach.59

Buku ini merupakan edisi bahasa Inggris dari buku (asli) yang berbahasa Arab yang berjudul Nahwa Taf‘îl Maqâshid al- Syarî’ah.60 Lalu, karya Jasser Auda yang berjudul Maqâshid al-

Syarî’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach.61 Kedua buku tersebut merupakan salah satu sumber rujukan metode yang digunakan ketika melihat tata kerja maqâshid al-

syarî’ah dalam fiqh al-aqalliyyât.

Vakumnya kajian fiqh al-aqalliyyât dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah menjadikan buku ini berbeda dengan kajian fiqh al-aqalliyyât sebelumnya. Buku ini menawarkan kajian yang holistik atas fiqh al-aqalliyyât sehingga memberikan kesimpulan yang komprehensif tentang latar belakang, eksistensi, esensi, dan prinsip-prinsip dasarnya. Dengan kajian semacam ini, didapatkan

59 Gamal Eldin Attia, Towards Realization of The Higher Intents of Islamic Law, Maqâshid al-Syarî’ah: A Functional Approach (London, Washingon: IIIT, 2007). 60 Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâshid al-Syarî’ah (: Al-Ma’had al-‘Alamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001). 61 Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach (London, Washington: IIIT, 2008).

35 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

temuan baru, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teoretis hukum Islam kontemporer.

*** Untuk mensistematisir bahasan dalam buku ini, kajian ini

disusun dengan kerangka sistematika berikut ini. Setelah pendahuluan (bab 1) sebagai pengantar awal kajian ini, bahasan dilanjutkan pada masalah minoritas muslim di Barat, khususnya

di Amerika dan Inggris (bab 2). Pada bagian ini dibahas eksistensi minoritas muslim dan persoalan-persoalan modernitas yang dihadapi, baik dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, dan

agama, khususnya yang berkaitan dengan aplikasi hukum Islam dalam kehidupan mereka. Bahasan ini dimaksudkan untuk memberi konteks pada fiqh al-aqalliyyât. Kemudian, bahasan

tentang fiqh al-aqalliyyât, baik dari sisi istilah, posisinya dalam pembidangan fiqh secara umum, urgensinya bagi minoritas muslim di Barat, prinsip-prinsip metodologis, dan produk-produk ijtihad yang telah dihasilkannya dibahas pada bagian selanjutnya (bab 3).

Sementara itu, kajian tentang maqâshid al-syarî’ah dalam hubungannya dengan permasalahan hukum kontemporer dibahas pada bab 4. Pada bab ini dibahas sejarah perkembangan maqâshid al-syarî’ah , mulai dari awal kemunculannya sebagai konsep nilai sampai pada perkembangannya sebagai metode atau pendekatan. Di samping itu pula dibahas bagaimana tata kerja maqâshid al- syarî’ah sebagai pendekatan ketika diterapkan pada problematika hukum Islam kontemporer. Adapun bab 5 membahas tentang rekonsiderasi maqâshid al-syarî’ah tentang pemberlakukan hukum Islam (fiqh al-aqalliyyât) pada masyarakat minoritas

muslim di Barat. Pada bab ini dibahas konsepsi maqâshid al- syarî’ah yang dipahami oleh penggagas fiqh al-aqalliyyât (Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî), kaidah pokok maqâshid

36 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Pendahuluan

al-syarî’ah yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât, pendekatan metodologis, dan konteks keberlakuan hukumnya. Bahasan pada bab ini berguna untuk melihat urgensitas rekonsiderasi maqâshid al-syarî’ah dalam fiqh al-aqalliyyât sehingga dapat dipahami lebih jelas. Terakhir adalah penutup (bab 6), yang merupakan kesimpul- an sekaligus menjawab permasalahan-permasalahan yang disebut- kan dalam rumusan masalah serta rekomendasi untuk kajian selanjutnya tentang fiqh al-aqalliyyât dan maqâshid al-syarî’ah.

37 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 2 MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM DI BARAT DAN PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

Tercatat dalam sejarah bahwa migrasi penduduk dari suatu

tempat ke tempat yang lain menjadi suatu keniscayaan. Tidak ada satu negara pun yang bersih dari pengalaman migrasi. Kenyataan ini menjadikan masyarakat plural, multi etnik, multi ras, dan multi

agama, suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Percepatan perubahan masyarakat menjadi yang sedemikian itu didukung oleh modernisasi dengan perangkat teknologi informasi canggih yang

telah mengubah tatanan dunia menjadi lebih terbuka di bawah slogan globalisasi. Tersebarnya informasi dari negara satu ke negara lainnya telah mempertautkan keinginan sejumlah orang dengan kompetisi perjuangan hidup mereka yang lebih layak. Inilah sesungguhnya sebab awal dari migrasi.

Masyarakat negara-negara muslim bukanlah suatu penge- cualian. Sepanjang sejarah bisa disaksikan gelombang migrasi orang-orang muslim ke negara-negara lain yang dianggap lebih menjanjikan kehidupan yang lebih layak walaupun harus me- nanggung risiko psikologis cukup berat sebagai pendatang, kelompok minoritas dari sisi ras dan agama, bahkan sebagai kelompok pekerja terbawah dalam stratifikasi sosial.

39 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Negara-negara Barat yang dianggap lebih maju dan menjanji- kan kehidupan menjadi tujuan mayoritas imigran muslim ini, betapapun Barat dalam studi literatur tradisional Islam dianggap sebagai dâr al-harb (wilayah perang); sebagai kebalikan dari status negara asal mereka yang rata-rata dianggap sebagai dâr al-Islâm (wilayah atau negara Islam).1 Sebagai kelompok minoritas, mereka dihadapkan dengan kondisi sosial yang berbeda dengan kondisi sosial asal mereka tinggal. Budaya mayoritas tentu dominan sehingga dalam beberapa hal pertautan dua nilai budaya ini secara psikologis menghadapkan minoritas muslim pada pilihan-pilihan: tetap teguh dengan budaya asalnya, mengikuti budaya mayoritas, atau berdiri di atas dua identitas dengan menjalani proses adaptasi dan integrasi positif antara keduanya.2 Pilihan ini menjadi sulit ketika masuk pada wilayah agama dan keyakinan, terutama ketika

pemahaman keagamaan yang mereka dapatkan di negara asal mereka dirasa tidak sesuai dengan kondisi di negara Barat tempat mereka berada sekarang.3

1 Dikotomi negara-negara seperti ini nantinya akan menjadi perdebatan panjang termasuk dalam kaitannya dengan status hukum Islam tentang imigran muslim di negara-negara Barat. Bahasan tentang hal ini dikemukakan dalam bagian berikutnya pada bab ini. 2 Sebagai penjelas, Schnapper, sebagaimaa dikutip oleh Mathias Rohe, dengan pendekatan sosio-antropologisnya menyatakan bahwa ada empat pola hubungan yang mungkin terlahir dari pertemuan budaya imigran dengan budaya lokal setempat: pertama adalah asimilasi, yakni imigran melepaskan identitas dirinya dan secara total melebur ke dalam budaya lokal yang baru ditempatinya; pola kedua adalah lawan dari asimilisi, yakni melawan budaya lokal yang baru ditempatinya; ketiga adalah segregasi, yaitu pemisahan penduduk lokal dan penduduk imigran sejauh mungkin sehingga mereka bisa hidup dengan budaya masing-masing; dan kempat adalah akulturasi, yakni penduduk lokal dan imigran bersama-sama melakukan komunikasi budaya dua arah untuk kemudian saling menghormati antarkeduanya. Lihat, Mathias Rohe, “The Formation of a Euro- pean Syari’a,” dalam Malik (ed.), Muslims in Europe–From Margin to Center (Erlangen: Münster, 2004), hlm. 161-162. 3 Ruthven membagi Islam menjadi tiga kategori: Islam sebagai identitas, Islam sebagai kepercayaan, dan Islam sebagai ideologi. Menurutnya, yang paling berpotensi mengalami konflik dengan Barat adalah Islam sebagai ideologi, yakni

40 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Kenyataan ini selalu terjadi sepanjang sejarah imigran muslim di Barat, betapapun fiqh klasik banyak menyatakan larangan tinggal di negara non-Islam, kecuali dalam keadaan terpaksa.4 Karena itulah bab ini secara khusus dimaksudkan untuk meng- ungkap realitas kondisi umat Islam di negara-negara Barat, dalam konteks ini difokuskan pada Amerika dan Inggris, terutama dalam kaitannya dengan problematika hukum Islam yang dihadapi.

A. Masyarakat Minoritas Muslim: Sebuah Definisi

Jumlah umat Islam di dunia sesungguhnya mencapai hampir seperempat jumlah manusia seluruhnya.5 Mereka tinggal menyebar di beberapa negara, baik sebagai kelompok mayoritas maupun minoritas. Sebagai mayoritas, umat Islam berada di 44 negara seperti di negara-negara Timur Tengah dan beberapa negara di Asia. Walaupun 90% masyarakat Timur Tengah beragama Islam, mereka bukanlah negara dengan jumlah

ketika Islam diyakini sebagai sebuah gerakan politik ideologis yang mengharuskan pemeluknya membangun negara Islam dalam upaya menjalankan syari’ah secara penuh. Menurutnya, Islam sebagai identitas adalah Islam sebagai lekatan tanda keturunan sebagai muslim tanpa keharusan mengikuti ajaran Islam. Selanjutnya, Islam sebagai keagamaan adalah praktik-praktik keagamaan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi tidak sampai pada tingkatan ideologis seperti di atas. Lihat, Caroline Cox dan John Marks, The ‘West’, Islam and Islamism is Ideological Islam Compatible with Liberal Democracy? (London: Civitas, Insitute for the Study of Civil Society, 2003), hlm. 5. 4 Diskusi tentang fatwa ulama tentang tinggal di negara non-Islam dipaparkan dengan baik oleh Khaled Abou El Fadl dalam tulisannya yang berjudul “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eight to the Elevent/Seventeenth Centuries,” dalam Islamic Law and Society , Vol. 1, No. 2 (1994), dan Kathryn A. Miller dalam artikelnya yang berjudul “Muslim Minorities and the Obligation to Emigrate to Islamic Territory: Two Fatwas from Fifteen-Century Granada,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 7, No. 2 (2000). Dua tulisan ini banyak mengeksplorasi naskah klasik berke- naan dengan isu terkait. Lebih jelasnya, masalah ini dibahas pada bab 3 buku ini. 5 L. Carl Brown, Religion and State: The Muslim Approach to Politics (New York: Columbia University Press, 2000) .

41 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

penduduk yang paling banyak beragama Islam. Empat negara yang penduduknya paling banyak beragama Islam adalah Indo- nesia, Pakistan, Bangladesh, dan India. Negara terakhir ini (India) menarik untuk dicermati dalam sisi bahwa walaupun jumlah pemeluk Islam di negara ini cukup besar (lebih dari 200 juta jiwa), umat Islam di negara ini masih dalam posisi sebagai minoritas jika dibandingkan dengan jumlah pemeluk beragama Hindu yang jauh lebih besar mendominasi keberagamaan di India. Posisi muslim sebagai mayoritas dan minoritas tidak hanya ditentukan oleh ba- nyaknya jumlah umat Islam di negara ini, tetapi juga oleh perban- dingan jumlah populasinya dengan populasi yang memeluk agama lain.6

Minoritas (minority) yang dalam kamus Inggris didefinisikan sebagai “a group of people of the same race, culture, or religion who live in a place where most of the people around them are of

different race, culture, or religion”7 masih kurang aplikatif ketika harus diterapkan pada negara multi ras, multi etnis, dan multi agama, dengan komposisi lebih dari dua kelompok minoritas

dengan jumlah yang relatif sama. Kesulitan mencari definisi yang tepat tentang minoritas diakui oleh Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah Muhammad, yang kemudian memberikan karakter-karakter

minoritas sebagai batasan definisinya. Menurutnya, suatu kelompok disebut minoritas apabila (1) dari sisi jumlah memang lebih sedikit dari keseluruhan penduduk yang mayoritas, (2) tidak memiliki daya dan kekuasaan sehingga perlu diproteksi hak-hak

6 Masyarakat muslim di India yang berjumlah lebih dari 200 juta adalah penduduk asli India, bukan imigran seperti kebanyakan masyarakat muslim di Eropa dan Amerika. Di samping India, jumlah umat Islam yang juga banyak, tetapi berposisi sebagai minoritas adalah umat Islam Cina yang berjumlah lebih dari 150 juta. Lihat, Salah Sultan, “Methodological Regulations for the Fiqh of Muslim Mino- rities,” dalam www.salahsoltan.com/main/index.php?id=16,64,0,0,1,0,2, diakses tanggal 8 Mei 2008. 7 Stephen Bullons, et. all (eds.), Collins Build Learner’s Dictionary (London: Harper Collins Publishers, 1996), hlm. 698.

42 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

dan kewajibannya, (3) memiliki ciri khas keminoritasannya yang membedakan dari mayoritas, apakah atas dasar grup, etnis, budaya, bahasa, atau agama.8

Ketika kata minoritas ini digandengkan dengan muslim maka yang dimaksudkan adalah menjadi kelompok minoritas yang disatukan dalam satu karakter keberagamaan yang sama, yakni

Islam. Tâj al-Sirr Ahmad Harrân mendefinisikan minoritas muslim dengan “sekelompok orang muslim yang hidup di bawah kekuasaan pemerintah non-muslim di tengah mayoritas masyarakat yang

tidak beragama Islam.”9 Dengan kata lain, mereka hidup di negara di mana Islam merupakan agama yang bukan menjadi rujukan aturan dan juga bukan menjadi budaya mayoritas penduduknya.

Jumlah minoritas muslim ini sangat signifikan. Ketika estimasi jumlah total penduduk muslim se-dunia diperkirakan 1.160. 095.000 milyar jiwa, sekitar 336,42 juta jiwa hidup sebagai minoritas.10

Salah Sultan, seorang sarjana pemerhati minoritas muslim dan sekaligus pendukung hadirnya fiqh al-aqalliyyât, menyatakan bahwa terma minoritas muslim tidak hanya dilihat dari sisi jumlah, tetapi juga dari hak-hak hukum yang mereka miliki. Menurutnya, ada dua bentuk minoritas muslim: pertama adalah minoritas atas dasar jumlah jiwa sebagaimana yang ada di Eropa, Amerika, India, dan Cina; dan kedua adalah minoritas atas dasar hak-hak hukum. Dalam kasus yang kedua ini, walaupun dalam posisi sebagai

8 ‘Athiyyah, Jamâl al-Dîn Muhammad. Nahwa Taf‘îl Maqâshid al-Syarî‘ah (‘Amman: Al-Ma‘had al-‘Alamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001), hlm. 7-8. Definisi senada juga dipakai oleh Yûsuf al-Qaradhâwî dalam bukunya Fî Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimat Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ, hlm. 15-16.

9 Tâj al-Sirr Ahmad Harrân, Hadhir al-‘Alâm al-Islâmî (Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2007), hlm. 142.

10 Tentang jumlah minoritas muslim dan kondisi mereka pada umumnya, lihat, ibid., hlm. 143-147. Menurut perkiraan Ahmad Harrân, jumlah umat Islam terus bertambah, demikian pula jumlah minoritas muslim. Menurutnya, jumlah umat Islam se-dunia adalah 23,2% dari jumlah total penduduk bumi yang mencapai 5 milyar jiwa.

43 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

mayoritas, kaum muslim mengalami nasib seperti kebanyakan minoritas, yakni senantiasa mendapatkan pelecehan dan diskrimi- nasi, seperti di Kashmir, Chechnya, Uzbekistan, dan Azerbaijan.11

Dengan menggunakan batasan definisi minoritas muslim di atas, maka potret status masyarakat minoritas muslim yang ada saat ini adalah sebagai berikut:

1. Minoritas muslim yang tinggal di Amerika sekitar lebih dari 8

juta jiwa, 22,4% di antaranya adalah penduduk asli keturunan Amerika dan 77% adalah imigran.

2. Minoritas muslim yang tinggal di Eropa Timur dan Eropa Barat.

3. Minoritas muslim di Cina dengan jumlah lebih dari 150 juta jiwa yang seluruhnya adalah penduduk asli Cina.

4. Minoritas muslim di India dengan jumlah lebih dari 200 juta jiwa yang seluruhnya adalah penduduk asli India.

5. Umat Islam di negara-negara Asia Tengah yang berposisi sebagai mayoritas, seperti Uzbekistan, Tajikistan, Kazakhstan,

dan Azerbaijan, atau sebagai minoritas seperti di negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Singapura, serta negara Asia Selatan seperti Sri Langka.

6. Minoritas muslim yang tinggal di Tanzania, Uganda, Kenya, Ghana, Nigeria, dan Afrika Selatan.12

Penjelasan di atas memberikan gambaran nyata bahwa jumlah mereka sangat banyak, lebih-lebih diakumulasikan dengan jumlah

kelompok minoritas lainnya. Karena itulah maka mereka perlu mendapatkan perhatian agar nasib mereka tidak senantiasa

11 Bahkan untuk kategori yang kedua ini termasuk pula negara-negara muslim di mana masyarakat mayoritas muslimnya tidak bisa menikmati hak sebagaimana yang diberikan kepada minoritas non-muslim. Lihat, Salah Sultan, “Methodologi- cal Regulations for the Fiqh of Muslim Minorities”. 12 Ibid.

44 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

termarjinalkan dan hak-hak mereka tidak sering terlupakan. Maka pantas dan rasional ketika kelompok minoritas mendapatkan perhatian dunia, terutama dari kalangan pemerhati dan pejuang hak-hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan aturan khusus tentang proteksi hak-hak minoritas yang harus menjadi rujukan setiap bangsa anggota PBB.13 Meskipun demikian, perdebatan tentang hak-hak minoritas ini berlanjut pula dalam kancah akademik dan belum menemukan titik akhir, karena permasalahan hak-hak minoritas juga masih berlanjut seiring dengan permasalahan politik kepentingan yang melingkupinya.

Kontroversi tentang hak-hak minoritas ini sesungguhnya berujung pada pencarian makna keadilan. Kymlicka, seorang

teorisi politik liberal dan pejuang hak-hak minoritas terkemuka, dan teman-temannya, menyatakan bahwa hak-hak minoritas perlu dipertahankan. Pendekatan colour-blind liberalisme tradisional14

harus dilengkapi dengan pengakuan hak-hak minoritas untuk mempertahankan budaya, agama, atau identitasnya sehingga diperlukan takaran hukum dan perundangan khusus. Sementara

itu, Barry menyatakan bahwa egalitarianisme liberal tidak mungkin membuka jalan teraplikasinya hak-hak minoritas seperti yang diadvokasi oleh para teorisi multikulturalisme, karena dengan

memberikan hak-hak khusus pada kelompok minoritas berarti dengan sengaja membuat jurang pemisah dan pembeda antara mereka dan kelompok mayoritas. Maka muncullah pendapat ketiga oleh Patrick Loobuyck yang mencoba menengahi dua pendapat

13 Kovenan PBB tentang perlindungan hak minoritas (ICCPR) ayat 27 menyatakan: “In those states in which ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities should not be denied the right, in community with the other members of their group, or enjoy their culture, to profess and practice their own religion, or to use their own language.” 14 Pendekatan ini disebut pendekatan colour–blind atau buta warna karena meniscayakan kesamaan perlakuan terhadap semua manusia tanpa memandang warna kulitnya.

45 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

di atas, yaitu yang disebut multicultural measures (ukuran-ukuran multikultural), yang didefinisikannya sebagai “an exceptional, temporary measure directed toward a specific cultural, ethnic or religious group to give more substance to the concept of equal opportunity ” (ukuran sementara yang bersifat eksepsional yang ditujukan pada kelompok budaya, etnis atau agama tertentu untuk memberikan substansi yang lebih pada konsep kesempatan yang sama). Dengan demikian, perbedaan perlakuan bukanlah sebagai akibat dari pengakuan hak-hak khusus kelompok minoritas, melainkan sebagai hasil dari penerapan praktis pengakuan hak- 15 hak kewarganegaraan individual dan liberal.

B. Masyarakat Minoritas Muslim di Barat: Sketsa Demografis Umat Islam di Amerika dan Inggris

Terma negara Barat tidaklah merujuk pada negara-negara yang posisi geografisnya berada di sebelah barat negara-negara Timur. Edward W. Said dalam karya monumentalnya, Orientalism, mengungkapkan bahwa pembagian barat dan timur untuk negara- negara diciptakan bukan atas dasar peta geografis, melainkan peta

15 Lihat, Patrick Loobuyck, “Liberal Multiculturalism A Defence of Liberal Multicultural Measures without Minority Rights,” dalam Ethnicities, Vol. 5, No. 1, 2005, hlm. 113-114; Sebagai tambahan, Jacob Levy memberikan delapan kategori hak-hak budaya kelompok minoritas yang harus dijaga oleh pemerintah: pengecualian dari hukum-hukum yang menghalangi atau membebani aplikasi praktik kultural mereka, seperti penggunaan helm bagi Sikh atau pengecualian tentang penggunaan tutup kepala; bantuan untuk melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh kelompok mayoritas tanpa bantuan seperti polling multilinguan; hak-hak pengelolaan sendiri kelompok minoritas; aturan eksternal yang memproteksi budaya kelompok minoritas; aturan internal yang mengikat perilaku kelompok minoritas; pengakuan atas aturan hukum tradisional yang diyakini, seperti hukum Islam (syari’ah) bagi umat minoritas muslim; perwakilan kelompok minoritas di lembaga pemerintah; klaim-klaim simbolik tentang nilai dan status minoritas. Baca, Jacob T. Levy, “Classifyying Cultural Rights,” dalam Ian Shapiro dan Will Kymlicka (eds.), Ethnicity and Group Rights (New York, London: New York University Press, 1997), hlm. 22-68.

46 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

kepentingan politis.16 Caroline Cox dan John Marks juga menegas- kan bahwa terma Barat sesungguhnya adalah pengelompokan negara-negara yang didasarkan pada kemiripan atau kesamaan cara pandang filosofis dan politik, dan bukan atas dasar geografis.17 Sementara Geaves dan Gabriel dengan gamblang melihat dikotomi Barat-Timur ini dengan dasar perbedaan budaya dan gaya hidup. Mereka menyatakan:

“The label “West” brings to mind a set of cultures that have estab- lished over the last two hundred years a series of more or less liberal and democratic regimes based on sovereignity of the people rather than the truth of their religious revelations and have, to the Muslim eye, replaced God’s right to control all aspects of human individual and collective life, with the suspension of sacred life to the private realm, preferring to trust in other agencies for the activities of public existence.”18

16 Edward W. Said, Orientalism (Harmondsworth: Penguin, 1995). Kepentingan- kepentingan politik inilah yang telah menyatukan negara-negara tertentu untuk kemudian disebut dengan negara Barat, sementara yang lainnya disebut Timur. Karena itulah, menguatkan pandangan Edward Said ini, Saikal menjelaskan bahwa Barat dalam tataran empiriknya adalah negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia yang secara bersama-sama telah menyatu dalam aliansi politik dan militer yang koheren, di bawah kepememimpinan Amerika sejak Perang Dunia II (khususnya ketika mengalami ancaman yang sama). Lihat, Gamal M. Mostafa, “Correcting the Image of Islam and Muslims in the West: Challenges and Oppor- tunities for Islamic Universities and Orgainizations,” dalam Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 27, No. 3, Desember 2007, hlm. 372. 17 Lihat, Caroline Cox dan John Marks, The ‘West’, Islam, and Islamism, hlm. 2-3. Dalam praktiknya, terma Oriental atau Timur seringkali didasarkan kepada negara- negara yang mayoritas Islam, yakni Timur Dekat dan Timur Tengah serta beberapa negara Asia. Jepang dan Cina sering di luar bahasan orientalisme walaupun berposisi di negara Timur, sebagaimana Israel juga dikeluarkan dari kajian ini dengan agama mayoritas di negara itu adalah Yahudi. Singkat kata, Timur, sebagai lawan kata dari Barat, adalah identik dengan Islam dalam pengembangan wacana orientalisme. 18 Artinya: “Label “Barat” muncul dalam pikiran sebagai serangkaian budaya yang telah membentuk lebih dari dua ratus tahun satu rezim yang kurang lebih bersifat liberal dan demokratik yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat ketimbang pada kebenaran wahyu-wahyu agama mereka dan, dalam pandangan umat Islam, telah menggantikan hak Tuhan untuk mengontrol semua aspek kehidupan manusia yang bersifat individual dan kolektif, dengan cara memasukkan kehidupan sakral

47 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Dunia Barat saat ini seringkali dikonotasikan sebagai negara maju dengan perkembangan teknologi, ekonomi, dan sosial-budaya yang jauh lebih cepat dan baik dibandingkan negara- negara Timur yang masih berada dalam tahapan negara ber- kembang atau negara tertinggal. Potret dan citra seperti ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya migrasi dari negara-negara Timur ke negara-negara Barat. Migrasi inilah yang merupakan salah satu perantara penyebaran Islam sebagai agama masyarakat negara-negara Timur di negara-negara Barat.

Sampai saat ini, benua Amerika dan Eropa menjadi target utama migrasi masyarakat muslim, baik dari negara Timur Tengah, Afrika, maupun Asia.19 Jumlah imigran, baik yang legal maupun

yang illegal bertambah setiap tahun. Jumlah minoritas muslim di dua benua ini semakin besar dengan pertumbuhan natalitas kelompok imigran yang sangat cepat, ditambah pula dengan

jumlah penduduk asli Amerika dan Eropa yang secara sadar memeluk Islam. Jumlah penduduk muslim di Eropa dan Amerika pada tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini:

(keagamaan) sebagai wilayah privat, lebih mempercayakan aktivitas eksistensi publik pada organisasi atau badan lainnya.” Lihat, Ron Geaves dan Theodore Gabriel, “Introduction to Islam and the West Post 9/11,” dalam Ron Geaves, Theodore Gabriel, Yvonne Haddad, dan Jane Idleman Smith (eds.), Islam and the West Post 9/11 (London: Ashgate, 2004), hlm. 1. 19 Wilayah Eropa yang dimaksud adalah Eropa Barat, sebab penduduk muslim di Eropa Timur rata-rata bukanlah imigran atau pendatang yang rata-rata tiba pasca Perang Dunia II, melainkan penduduk asli yang telah ikut memiliki sejarah panjang di negara-negara wilayah tersebut, menyatu dalam budaya dan pendidikan dengan penduduk yang mayoritas non-muslim. Oleh karena itu, minoritas muslim di Eropa Timur tidak mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh minoritas muslim di Eropa Barat. Lihat, Munir Syafiq, “Minorities in the Muslim World and in the West,” dalam Abdelwabab El-Affendi (ed.), Rethinking Islam and Modernity: Essays in Honour of Fathi Osman (London: The Islamic Foundation, 2001), hlm. 101.

48 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Tabel 2 Populasi Muslim Eropa/Amerika Tahun 200820

Keterangan : Jumlah dalam hitungan juta Sumber : Muslim Population Worlwide

Walaupun sama-sama menjadi the new nations of immigrants (bangsa-bangsa baru bagi kaum imigran), kondisi perkembangan minoritas muslim di dua benua ini berbeda satu dengan lainnya.

Gustav Niebuhr21 menyimpulkan bahwa dari sisi ekonomi dan pendidikan, minoritas muslim di Amerika lebih baik ketimbang mereka yang di Eropa,22 dan dari sisi etnis, minoritas muslim

Amerika lebih didominasi oleh keturunan Afrika, sementara mereka yang di Inggris didominasi oleh keturunan Asia. Untuk

20 Dapat dilihat di http://www.islamicpopulation.com/America/ america_general. html dan http://www.islamicpopulation.com/Europe/europe_islam.html. 21 Lihat, tulisannya yang berjudul “All Need Toleration: Some Observations about Recent Differences in the Experiences of Religious Minorities in the United States and Western Europe,” dalam Annals of The America Academy of Political and Social Sciences, Vol. 612, 2007, hlm. 173. 22 Sebagai gambaran, kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan muslim di Inggris, lihat Javaid Rehman, “Islam, ‘War on Terror’ and the Future of Muslim Mino- rities in the United Kingdom: Dilemmas of Multiculturalism in the Aftermath of the London Bombings,” dalam Human Rights Quarterly, No. 29, 2007, hlm. 843-847.

49 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

memperjelas, berikut ini adalah deskripsi perkembangan masya- rakat muslim di Amerika dan Inggris.

1. Minoritas Muslim di Amerika Sebelum tahun 1980-an, kajian tentang muslim di Amerika tidak begitu banyak karena tiga hal: pertama, fakta bahwa sampai tahun 1966, jumlah muslim di Amerika masih kecil. Kebanyakan mereka adalah imigran yang masuk ke Amerika pasca liberalisasi undang-undang migrasi pada tahun 1965, dan kebanyakan mereka adalah imigran generasi pertama. Kedua, mereka bukan meru- pakan bagian dari kelompok etnis tradisional Amerika. Ketiga, muslim di Amerika tidak memiliki large ethnic ghettos yang sama dengan kelompok imigran tradisional.23

Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah muslim di Amerika berkembang secara signifikan. Peran mereka pun dalam percaturan

politik, ekonomi, dan budaya semakin kelihatan. Hal ini tampak jelas dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh The Pew Research Center yang berjudul Muslim Americans Middle Class and Mostly

Mainstream,24 yang menunjukkan data kontemporer perkembang- an muslim di Amerika, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, yang lebih baik dari generasi pertama muslim imigran.

Sejarah mencatat fase-fase penting berkembangnya Islam di Amerika. Hampir semua menyatakan bahwa sejarah awal Islam di Amerika adalah sejarah perbudakan, yakni para imigran pada masa awal Islam di Amerika adalah kelas budak.25 Sedikit sekali yang

23 M. Arif Ghayur, “Muslims in the United States: Settles and Visitors” dalam Annals of the American Academy of Political and Social Sciences, Vol. 454, Maret 1981, hlm. 151. 24 The Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Main- stream (2007).

25 M. Arif Ghayur, “Muslims in the United States,” hlm. 152. Hal ini bisa dimaklumi karena pada tahun-tahun sebelum 1800, memang terjadi perdagangan budak. Bahkan pada tahun 1520-an perdagangan budak menjadi fenomena besar-besaran.

50 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

melacak kehadiran Islam di Amerika melalui para pelancong ataupun ekspedisi pelayaran sebagaimana yang diungkapkan dalam Richard’s Eaton’s Islamic History as Global History. Buku ini mencatat bahwa kehadiran Islam di Amerika bisa dilacak sejak zaman Perang Salib dan Inkuisisi Spanyol ketika beberapa orang Arab mengarungi lautan. Pada tahun 1527 diperoleh data tentang ekspedisi Spanyol Narvaez yang menjelajah ke daerah yang saat ini dikenal dengan Arizona dan New Mexico dengan membawa seorang keturunan Afrika Utara yang beragama Islam bernama Estevanico. Pada ekspedisi ini, Estevanico tertangkap, namun bisa melepaskan diri melalui gurun Mexico. Kedatangan kedua Estevanico adalah pada tahun 1539 ketika membimbing orang- orang Spanyol lainnya ke wilayah yang saat ini dikenal dengan Southwestern United States.26

Gelombang migrasi sukarela umat Islam yang pertama ke

Amerika sebenarnya baru terjadi sejak akhir abad ke-19. Migrasi kali ini banyak yang berasal dari negara Timur Dekat—Turki, Lebanon, Palestina, dan Syria—dan dari Yugoslavia, Rusia, Alba-

nia, Polandia, dan sejumlah kecil dari negara-negara Eropa Timur. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai buruh, petani, dan peternak. Pada masa ini dan masa sebelumnya, identitas keislaman

mereka memudar dengan hilangnya kemungkinan pembinaan keagamaan dan keharusan asimilasi mereka dengan psikologi geografis lokal yang sangat dominan di daerah baru mereka ini.27

Fase berikutnya adalah sejak Perang Dunia II sampai pada tahun 1965. Walaupun pada tahun-tahun ini tidak mengalami penambahan jumlah migrasi secara signifikan, dengan merdekanya

26 Said El-Kacimi, “Identity and Social Integration: Exploratory Study of Muslim Immigrants in the United States,” (Disertasi pada Claremont Graduate University dan San Diego State University, San Diego, 2008). 27 M. Arif Ghayur, “Muslims in the United States,” hlm. 152-153.

51 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

beberapa negara ketiga yang merupakan negara asal kebanyakan imigran, ada pengaruh positif terhadap bangkitnya identitas keberagamaan kaum imigran. Pada masa ini, para diplomat, peng- usaha, dan kelas menengah muslim mulai banyak berdatangan. Semangat dan harga diri keberagamaan kaum muslim minoritas mulai menemukan bentuk baru. Pada tahun-tahun inilah masjid dan pusat keislaman mulai pertama kali didirikan di beberapa kota di Amerika Utara. Lebih jauh lagi, pada fase inilah, tepatnya pada tahun 1952, Muslim Student Association (MSA) didirikan oleh mahasiswa muslim di Amerika dan Kanada.28

Fase berikutnya adalah pasca 1965 sampai sekarang. Setelah terjadi liberalisasi undang-undang migrasi pada tahun 1965,

pattern migrasi ke Amerika mulai mengalami perubahan yang sangat berarti. Para imigran sudah mulai mengukuhkan diri sebagai penduduk atau warga negara Amerika. Bagi sebagian orang dari

berbagai negara muslim, tinggal di Amerika dan atau menjadi warga negara Amerika adalah suatu kebanggaan. Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat terhadap Green Card (kartu undian untuk

menjadi warga negara Amerika) yang ditawarkan oleh pemerintah Amerika setiap tahunnya, yang mendapatkan respons sangat besar. Isu rasial, diskriminasi, dan terorisme bahkan bukan

menjadi penghalang mereka untuk tinggal di Amerika. Menurut sejumlah pengamat, jumlah umat Islam di Amerika saat ini berkisar 6 sampai 10 juta orang, berkembang pesat jika dibanding-

28 Ibid., hlm. 153. Khusus untuk minoritas muslim dari kelompok kulit hitam, Afrika, pada fase ini bisa disebutkan pendiri The Moorish Scince Temple yang dibangun oleh Noble Drew Ali pada tahun 1913, yang merupakan gerakan pertama mengenalkan Islam pada masyarakat Amerika kulit hitam. Lembaga ini membangun hubungan dengan kelompok African Americans dan nenek moyangnya serta dengan suku Moors dari Maroko yang beragama Islam. Prinsip utamanya adalah cinta, kebenaran, kedamaian, dan keadilan; prinsip-prinsip yang menurut mereka adalah respons terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh budak.

52 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

kan dengan tahun 1981 yang, menurut Arif Ghayur, berkisar 1.203.500 orang.

Potret umat Islam di Amerika saat ini dipaparkan oleh hasil penelitian The Pew Research Center tahun 2007, yang tidak hanya meneliti tentang latar belakang dan jumlah umat Islam di Amerika, tetapi juga pengalaman keberagamaannya, stratifikasi sosial, dan

keterlibatannya dalam bidang sosial dan politik serta nilai-nilai hidup yang dipegangnya. Temuan dari survei nasional yang lengkap tentang mereka menunjukkan bahwa muslim Amerika

secara umum hidup bahagia dan moderat dalam hal pandangan hidup. Pola pandang, nilai, dan perilaku mereka telah terasimilasi secara baik dengan pola pandang dan nilai yang hidup di Amerika

secara umum.29

Mengenai jumlah umat Islam di Amerika, sulit diperoleh data secara ilmiah, pasti, dan akurat karena memang peraturan Amerika tidak memperkenankan mempertanyakan keberagamaan penduduknya, karena hal ini merupakan urusan privat. Namun, dari beberapa penelitian diperoleh kesimpulan bahwa jumlah mereka semakin tahun semakin meningkat dan menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling cepat perkembangannya di Amerika. Pusat penelitian ini menyatakan bahwa pada tahun 2007, jumlah penduduk dewasa (usia 18 tahun ke atas) yang memeluk Islam di Amerika sekitar 0.6% dari keseluruhan 30 penduduk. Komposisi penduduk muslim di Amerika berdasarkan

29 The Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Main- stream, hlm. 1-2. Mayoritas muslim di Amerika merasa Amerika sebagai tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk menjadi tempat tinggal. 71% dari mereka berpendapat bahwa siapapun bisa maju di Amerika sepanjang punya niat untuk bekerja keras. 30 Trend peningkatannya bisa dibandingkan dengan data dari survei NES (National Election Study) oleh University of Michigan pada tahun 2000 yang mengestimasi 0.2%, ARIS (American Religious Identification Study) oleh Barry A. Kosmin dan Egon Mayer dari City University of New York Graduate Center pada tahun 2001

53 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

jenis kelamin, usia, dan status keluarga secara jelas dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Jenis Kelamin, Usia, dan Status Keluarga Penduduk U.S

Tabel di atas berdasarkan Data Biro Sensus US.

Dari keseluruhan masyarakat muslim di Amerika, 65% dari mereka dilahirkan di luar Amerika, dan 35% di Amerika. Dari 65% di atas, 24% berasal dari negara Arab, 8% dari Pakistan, 10% dari

yang mengestimasi 0.5%, GSS (General Social Survey) yang dilakukan oleh National Opinion Research Center University of Chicago tahun 1998, 2000, 2002, 2004, 2006, yang mengestimasi 0.5%. Lihat, ibid., hlm. 10.

54 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Asia Selatan lainnya, 8% dari Iran, 5% dari Eropa, 4% dari Afrika, dan 6% dari wilayah lainnya.31 Mereka berimigrasi ke Amerika pada tahun yang beragam. Data Pew Research Center menunjukkan bahwa 11% dari mereka berimigrasi sebelum tahun 1980, 15% berimigrasi pada periode 1980-1989, 21% berimigrasi pada periode 1990-1999, dan 18% berimigrasi pada tahun 2000-2007. Sementara umat Islam yang lahir di Amerika yang berjumlah 35% di atas, 21% memeluk Islam karena pindah agama, dan 14% beragama Islam sejak lahir. Dari keseluruhan muslim di Amerika, 77% telah mendapatkan status kewarganegaraan, dan 23% lainnya 32 masih belum mendapatkannya. Gambaran detailnya bisa dilihat pada tabel 4 dan tabel 5 berikut.

31 Kalau digabung antara yang lahir di Amerika dan yang lahir di luar Amerika, komposisi etnis muslim di Amerika adalah sebagai berikut: 35-40% etnis Asia Selatan, 30% etnis African American, 25% etnis Arab, 5-10% etnis Afrika, Turki, Asia Tengah, dan Eropa. Lihat, Hillel Fradkin, “America in Islam,” dalam The Public Interest, Spring 2004, hlm. 46. 32 The Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Mainstream, hlm. 13.

55 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Tabel 4. Muslim Amerika, Siapakah Mereka?

56 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Tabel 5. Komposisi Ras Penduduk Muslim U.S

Kesimpulan diprosentase ulang dengan tidak memasukkan responden yang tidak merespons. Keseluruhan data didasarkan pada lembaga sensus US.

Berbeda dengan generasi awal imigran muslim yang datang ke Amerika karena alasan ekonomi dengan menjadi budak atau buruh pekerja, para imigran generasi sekarang memiliki alasan

yang beragam. Alasan mendapatkan pendidikan yang lebih baik menempati ranking pertama sebanyak 26%, diikuti oleh alasan ekonomi sebanyak 24%, alasan keluarga 24%, karena konflik atau

perlakuan diskriminatif 20%, 3% karena alasan yang lain, dan 3% lainnya abstain.33 Dua alasan utama, yakni pendidikan dan ekonomi, menjadi indikator yang cukup baik atau prospek masa

depan yang lebih baik dari imigran muslim di Amerika dibanding-

33 Ibid., hlm. 15.

57 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kan dengan para pendahulunya. Dengan pendidikan, imigran muslim tidak akan selamanya menjadi buruh atau pekerja kasar, tetapi akan bergerak menempati posisi kerja profesional. Pen- jelasan di atas dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Nativitas dan Imigrasi Penduduk Muslim U.S

58 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

* Berdasarkan klasifikasi UNDP tentang wilayah Arab yang meliputi 22 negara Timur Tengah dan Afrika Utara.

Hillel memberikan penjelasan pendukung atas kondisi sosial ekonomi minoritas muslim di Amerika. Menurutnya, muslim di Amerika Serikat tersebar di berbagai kota besar dengan tingkat penghasilan ekonomi dan tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Setidaknya, 12 kota—New York, California, Texas, Michigan, Illi- nois, Florida, New Jersey, Virginia, Ohio, Pennsylvania, Massa- chusetts, dan Maryland—memiliki lebih dari 100.000 muslim, dan

6 kota pertama memiliki masing-masing 200.000 orang. Meskipun demikian, muslim Amerika banyak yang bertempat tinggal di beberapa kota besar: New York, Los Angeles, Washington, D.C.,

Detroit, dan Chicago. Dengan mengecualikan muslim African- American, keluarga muslim Amerika sebenarnya tergolong kaya: lebih separo berpenghasilan lebih dari US$ 50.000 setahun,

dengan rata-rata penghasilan US$ 55.000. Hal ini secara pasti menunjukkan bahwa muslim di sana banyak menempati psosisi kerja profesional, seperti insinyur, dokter, guru, manajer usaha,

59 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dan sebagainya. Lebih jauh hal ini menunjukkan bahwa muslim di Amerika memiliki tingkat pendidikan yang tidak rendah.34

Catatan Hillel di atas dikuatkan dengan data berikutnya yang diambil dari riset tahun 2007, yang menunjukkan bahwa pen- didikan minoritas muslim secara umum di Amerika dapat digambarkan sebagai berikut: 10% berpendidikan pascasarjana,

14% lulusan S1, 23% sedang menjalani program S1, lulusan SMA 32%, dan yang tidak lulus SMA 21%. Sementara penghasilan mereka per tahun (income percapita) bervariasi, mulai dari yang

di bawah US$ 30.000 seperti yang dialami oleh 35% minoritas muslim sampai pada yang lebih dari US$ 100.000 seperti yang didapatkan oleh 16% dari mereka. 10% dari mereka berpenghasilan

antara US$ 75.000-US$ 99.999, 15% berpenghasilan di antara US$ 50.000-US$ 74.999, dan 24% berpenghasilan antara US$ 30.000-US$ 49.999,35 sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 7.

34 Hillel Fradkin, “America in Islam”, hlm. 47. 35 The Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Main- stream, hlm. 18.

60 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Tabel 7. Pendidikan dan Pendapatan Penduduk U.S

Hasil data pendidikan dan pendapatan diprosentase kembali untuk

tidak memasukkan yang abstain. Tabel pendidikan publik didasar- kan pada Data Biro Sensus US. Tabel kependudukan rumah dari

61 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

April 2007 dan kondisi keuangan didapat dari survei nasional PEW pada Februari 2007.

Meskipun secara umum kehidupan muslim di Amerika cukup

baik dan bahagia, tidak berarti mereka terbebas penuh dari permasalahan-permasalahan hidup. Sebagai minoritas dari sisi agama, seringkali mereka dicurigai dan bahkan pernah men-

dapatkan perlakuan diskriminatif. Survei tentang pengalaman sebagai muslim Amerika menunjukkan bahwa pada masa lalu hanya 32% dari mereka yang merasa eksistensinya mendapat

dukungan, 26% dicurigai, 18% mendapat perlakuan diskriminatif di bandara, 15% dipanggil dengan nama tidak sepantasnya, dan 4% diancam atau diserang. Serangan teroris ke WTC 11 September

2001 memperparah pengalaman hidup mereka; 53% dari mereka merasa hidup semakin sulit, 40% menganggap tetap tidak berubah, dan 7% abstain.36

Data di atas memberikan gambaran yang cukup jelas tentang pertumbuhan dan perkembangan masyarakat minoritas muslim di Amerika. Namun, perkembangan tersebut tidak serta merta menghilangkan kompleksitas problematika yang mereka hadapi. Secara internal, perbedaan stratifikasi sosial, pendidikan, dan ekonomi mereka memungkinkan beragamnya persoalan hidup yang dihadapi. Sedangkan secara eksternal, stereotipe sosial yang telah lama terbentuk dalam benak masyarakat umum Amerika

36 Ibid ., hlm. 4. Bandingkan data ini dengan hasil riset The Council of American Islamic Relation (CAIR) yang dilakukan setahun setelah tragedi WTC 11 Sep- tember 2001, yang menemukan data bahwa 57% umat Islam di Amerika mengalami pelecehan dan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, dan 48% responden muslim menyatakan bahwa kehidupannya memburuk setelah tragedi tersebut. Lihat, Michelle D. Byng, “Complex Inequalities: The Clash of Muslim Americans After 9/11,” dalam American Behavioral Scientists, Vol. 51, No. 5, Januari 2008, hlm. 669.

62 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

dan kondisi politik nasional dan politik global berpengaruh cukup kuat atas dinamika persoalan kehidupan mereka.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa wajah problematika kehidupan yang dihadapi minoritas muslim di Amerika tidak tunggal, tetapi beragam dengan segala dimensinya. Karena itu, solusi yang komprehensif, menggunakan berbagai macam pen-

dekatan sebagai pertimbangan, atas berbagai macam persoalan yang terjadi dalam kehidupan mereka, tentu sangat diperlukan.

2. Minoritas Muslim di Inggris Negara-negara Eropa37 secara umum tidak memiliki data yang komprehensif tentang jumlah dan karakter umat Islam yang tinggal

di negaranya. Sejumlah negara di Eropa, seperti Belgia, Denmark, Perancis, Yunani, Hungaria, Italia, Luxemburg, dan Spanyol secara nyata melarang mempertanyakan agama dalam sensus dan

kuesioner resmi lainnya sebagaimana yang diberlakukan di Amerika. Tiga belas negara Eropa belum mengakui Islam sebagai agama, walaupun Islam ini telah menjadi agama terbesar kedua di

16 dari 37 negara Eropa. Di beberapa negara Eropa, masyarakat muslim merupakan minoritas yang tidak diakui karena terma minoritas yang dipahami secara nasional adalah minoritas atas

dasar etnis dan ras, dan bukan atas dasar agama. Karena itu, per- lindungan hak sebagai minoritas dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif tidak bisa dinikmati di beberapa negara di Eropa.38

37 Negara-negara di Eropa dibagi menjadi dua bagian: yaitu negara-negara yang masuk dalam wilayah Eropa Barat, yaitu Perancis, Inggris, Jerman, Austria, Italia, Spanyol, Portugal, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, Finlandia, Islandia, Irlandia, Yunani, Malta, Luxembourg, dan negara bagian barat Eropa lainnya; dan negara- negara yang masuk dalam wilayah Eropa Timur, yaitu Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, Republik Chechnya, Slovakia, Rumania, Bulgaria, Kroasia, Rusia, Slovenia, Ukraina, Belarusia, dan negara bagian timur Eropa lainnya. 38 Timothy M. Savage, “Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing,” dalam The Washington Quarterly, Vol. 27, No. 3, 2004, hlm. 26.

63 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Mereka sepertinya lupa bahwa agama dan etnisitas seringkali menyatu dan tidak terpisahkan sehingga dalam banyak kasus, sosiolog percaya bahwa agama merupakan artifact dan institusi kultural yang efektif untuk memberdayakan identitas etnis.39

Jumlah umat Islam yang tinggal di Eropa terus bertambah besar. Dari jumlah 15,6 juta jiwa (3,2%) berdasarkan data tahun

1982 yang disampaikan oleh M. Ali Kettani dalam bukunya Muslim Minorities in the World Today, berkembang menjadi 23,2 juta jiwa (4,5%) pada tahun 2003 berdasarkan Annual Report on Inter-

national Religious Freedom yang dikeluarkan oleh U. S. Depart- ment of State.40 Jumlah ini terus bertambah karena menurut Nielsen, di Eropa Barat saja pada tahun 2004, jumlah penduduk

muslim sekitar 20 juta jiwa.41 Pesatnya pertumbuhan angka minoritas muslim di Eropa ini disebabkan oleh tingginya tingkat natalitas di kalangan muslim yang tiga kali lebih tinggi dibanding

dengan rating natalitas penduduk non-muslim. Pada tahun 2004, diperkirakan 50% masyarakat muslim Eropa Barat dilahirkan di Eropa. Di samping itu, walaupun tidak sangat signifikan, konversi

agama juga menjadi salah satu sebab pendukung naiknya jumlah umat Islam di Eropa.42 Savage meramalkan bahwa dengan per- tumbuhan dan perkembangan yang konsisten seperti di atas, maka

pada tahun 2015 jumlah umat Islam Eropa akan menjadi dua kali lipat, sementara jumlah penduduk non-muslim akan turun

39 Lihat, Michelle D. Byng, “Complex Inequalities The Clash of Muslim Americans After 9/11,” hlm. 660, 671. 40 Timothy M. Savage, “Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing,” hlm. 27. 41 Jørgen Nielsen, Muslims in Western Europe (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004); Lihat pula Tahir Abbas, “British Muslim Minorities Today: Challenges and Opportunities to Europeanism, Multiculturalism, and Islamism,” dalam Sociology Compass, Vol. 1 No. 2, 2007, hlm. 723. 42 Timothy M. Savage, “Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing,” hlm. 28.

64 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

sedikitnya 3,5%. Lebih jauh lagi dapat diestimasi bahwa pada tahun 2050, masyarakat muslim akan berjumlah 20% dari total pen- duduk Eropa.43

Sebagaimana yang terjadi di Amerika, imigran muslim di beberapa negara Eropa pada akhirnya menikmati kenaikan status sosial dan status politik. Mereka bukan lagi sebagai “temporary

guest workers” (pekerja tamu musiman), melainkan sudah menjadi bagian permanen dari bangunan masyarakat Eropa secara umum. Sebagai indikator positifnya adalah naiknya jumlah umat Islam

yang memiliki kewarganegaraan Eropa. Dalam ranah sosial, asimilasi mereka dalam budaya masyarakat Eropa cukup bagus, terutama di kalangan minoritas muslim generasi yang lebih muda.

Mereka berupaya menjaga asimilasi ini sebisa mungkin, dengan tetap menjaga identitas dan menjalankan ajaran agamanya (Islam).44

Pernyataan di atas merupakan gambaran secara umum yang tentunya mengandung eksepsi-eksepsi. Kalau didetailkan, sesungguhnya ada tiga pola besar tipe ideal kewarganegaraan di Eropa, yang masing-masing memiliki pengaruh berbeda atas eksistensi dan pengalaman hidup kelompok minoritas, termasuk minoritas muslim. Ketiga pola tersebut adalah ethno-cultural exclusionist, civic assimilationist, dan multicultural pluralist. Pola pertama meniscayakan eksklusivisme atas dasar etnis kultural yang meniadakan kemungkinan akses menjadi warga negara hanya atas dasar kelahiran di teritorial tersebut. Dalam konteks Eropa Barat, pola ini direpresentasikan oleh Jerman, di mana para imigran asing sulit menjadi warga negara di negara ini. Karena itulah sampai saat ini ratusan ribu keturunan para imigran yang lahir di Jerman masih tetap berstatus warga asing (Ausländer)

43 Ibid., hlm. 28-29. 44 Ibid., hlm. 30-31.

65 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tanpa hak politik penuh. Pola kedua, civic assimilationist, adalah seperti yang dianut oleh Perancis yang menawarkan akses yang mudah kepada para imigran untuk mendapatkan hak penuh, tetapi pada saat yang sama juga menolak pluralisme kultural. Karena itu, sebagai timbal balik dari hak yang diterima para imigran, mereka punya keharusan untuk melebur dalam nilai-nilai budaya kemasyarakatan Perancis dan meletakkannya di atas loyalitas mereka akan nilai agama dan budaya etnisitas yang dimiliki. Pola yang terakhir, yakni pola kewarganegaraan multicultural plura- list, meniscayakan sebuah negara untuk tidak hanya memberikan kemudahan akses bagi imigran untuk mendapatkan hak sosial- politik yang penuh, tetapi juga mendukung eksistensi perbedaan etnis dengan mengakui kelompok imigran sebagai kelompok minoritas dengan hak dan kebebasan kultural mereka sendiri. Pola

terakhir ini diwakili oleh Swedia, Belanda, dan Inggris.45 Inilah yang menyebabkan mengapa jumlah imigran muslim dengan status kewarganegaraan Inggris lebih banyak dibandingkan dengan

jumlah imigran muslim yang berkewarganegaraan Jerman. Umat muslim di Inggris terus berkembang pesat walaupun persoalan- persoalan baru datang silih berganti. Berikut ini adalah gambaran

khusus tentang minoritas muslim di Inggris.

Jumlah umat Islam di Inggris saat ini diperkirakan sekitar 2 juta jiwa dengan latar belakang etnis, budaya, bahasa, dan ras yang heterogen.46 Kebanyakan mereka adalah konsekuensi dari peran

45 Ruud Koopmans dan Paul Statham, “Challenging the Liberal Nation-State? Postnationalism, Multiculturalism, and the Collective Claims Making of Migrants and Ethnic Minorities in Britain and Germany,” dalam The American Journal of Sociology, Vol. 105, No. 3 (Nopember, 1999), hlm. 660-661. 46 Jumlah ini sesungguhnya masih didasarkan pada data lama sekitar tahun 2001. Jumlah umat Islam di Inggris untuk saat ini dipastikan meningkat, tetapi sayangnya memang belum ada data pasti mengenai hal ini karena dalam sensus 10 tahunan yang dilakukan negara tidak dimasukkan sensus tentang afiliasi keagamaan sejak tahun 1851. Perkiraan jumlah umat Islam di Inggris ini didasarkan pada sensus tahun 1991 yang mempertanyakan tentang status etnis. Dari sinilah afiliasi

66 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

mereka dalam rekonstruksi ekonomi pada tahun 1960-an dan 1970-an yang pada waktu itu didominasi oleh imigran dari Pakistan, Banglades, dan India.47 Meskipun demikian, kontak hubungan Inggris dengan dunia Islam dan kedatangan imigran awal sesungguhnya bisa dilacak sampai pada abad pertengahan, masa ketika dinasti-dinasti Islam dan bangsa Eropa giat melakukan ekspansi penaklukkan daerah-daerah jajahan termasuk ke wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masuknya Islam pertama kali ke Inggris diakui telah terjadi 300 tahun yang lalu melalui para pelaut dari subkontinen India, yang di antaranya adalah orang Islam yang dipekerjakan oleh perusahaan British East India. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan adanya rekrutmen pelaut-pelaut dari Yaman, semakin banyaklah orang Islam yang datang. Mayoritas mereka pada waktu itu tinggal

di wilayah pelabuhan, seperti London, Cardiff, Liverpool, Hull, dan South Shields. Berbeda dengan Amerika yang generasi awalnya adalah muslim dari Afrika, generasi imigran muslim

pertama di Inggris adalah muslim keturunan Yaman.48 Etnis Asia Afrika Timur baru datang ke Inggris bersamaan dengan kehadiran

kepercayaan dan agama masyarakat diestimasi. Dalam sensus tahun 2001, pertanyaan tentang agama memang sudah muncul, tetapi belum mendapatkan respons yang representatif. Lihat, Chris Hewer, “Schools for Muslims,” dalam Oxford Review of Education, Vol. 27, No. 4, 2001, hlm. 516. Lihat pula Muhammad Anwar dan Qadir Bakhsh, “State Policies Towards Muslims in Britain,” dalam Muhammad Anwar, Jochen Blaschke, dan Åke Sander, State Policies Towards Muslim Minorities Sweden, Great Britain, and Germany (Berlin: Edition Parabolis, 2004), hlm. 375.

47 Tahir Abbas, “Muslim Minorities in Britain: Integration, Multiculturalism, and Radicalism in the Post-7/7 Period,” dalam Journal of Intercultural Studies, Vol. 28, No. 3, Agustus 2007, hlm. 288; Tahir Abbas, “British Muslim Minorities Today: Challenges and Opportunities to Europeanism, Multiculturalism, and Islamism,” hlm. 723; lihat pula Zafar Khan, “Muslim Presence in Europe: The British Dimension—Identity, Integration, and Community Activism,” dalam Current Sociology, Vol. 48 No. 4, 2000, hlm. 31-32. 48 Open Society Institute, “The Situation of Muslims in the UK,” dalam Monitoring the UE Accession Process: Minority Protection (2002), hlm. 367.

67 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

etnis Pakistan, Banglades, dan India sekitar akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.49

Perkembangan masyarakat muslim di Inggris secara singkat sesungguhnya bisa dikategorisasikan menjadi empat fase. Fase pertama adalah generasi awal yang datang sebagai pelaut dan pekerja kontrak dengan perusahaan asing Inggris seperti disebut-

kan di atas. Fase kedua adalah generasi yang dikenal dengan istilah “chain migration” atau migrasi susulan mengikuti langkah imigran generasi awal. Pada fase ini yang datang adalah kaum laki-laki kelas

pekerja yang tidak terlatih dengan baik sehingga profesinya hanya sebatas sebagai buruh. Fase ketiga adalah migrasi para istri dan anak-anak imigran muslim yang lama ditinggal di daerah asalnya.

Fase terakhir, keempat, adalah muslim imigran generasi ketiga yang dilahirkan dan dibesarkan di Inggris.50

Dalam konteks kekinian, sangat menarik membaca per- kembangan komunitas muslim generasi kedua dan ketiga dengan mempertimbangkan bahwa mereka dilahirkan dan atau dibesar- kan dalam kehidupan Inggris yang berbeda persepsi tentang identitas keberagamaannya dengan generasi awal mereka.51

49 Sudah menjadi karakter tipikal kelompok minoritas bahwa mereka terjangkit fenomena ghettoization syndrome: yakni bahwa mereka cenderung berkelompok di suatu tempat kumuh pinggiran kota. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan kelompok etnisnya. Hampir separo minoritas muslim Inggris tinggal di London dan sekitarnya, 40% dari mereka adalah keturunan Bangladesh. Sementara keturunan Pakistan banyak yang tinggal di wilayah London Barat dan Tenggara serta wilayah barat Lancashire,Yorkshire, dan Greater Manchester. Lihat, Javaid Rehman, “Islam, ‘War on Terror’, and the Future of Muslim Minorities...”, hlm. 846. Lihat pula Anwar dan Qadir Bakhsh, “State Policies Towards Muslims in Britain,” hlm. 376, 398. 50 P. Lewis, Islamic Britain—Religion, Politics and Identity among British Muslims (London: I. B. Tauris, 1994), hlm. 17. Dikutip dari Open Society Institute, “The Situation of Muslims in the UK,” hlm. 367. 51 Saat ini, lebih dari separo penduduk muslim di Inggris dilahirkan dan dibesarkan di Inggris. Usia mereka rata-rata masih muda. Sepertiga dari seluruh muslim di Inggris berusia di bawah 16 tahun, dan jumlah rata-rata usia mereka hanya 28

68 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Mereka cenderung lebih percaya diri dalam beragama (Islam).52 Open Society Institute dalam penelitiannya menemukan tiga trend utama di kalangan muslim muda di Inggris. Trend pertama adalah kelompok muslim yang radikal dalam memahami ajaran Islam. Kelompok ini sedikit, tetapi cukup berpengaruh. Trend kedua adalah mayoritas muslim yang tetap menjaga identitas dirinya sebagai muslim, tetapi tidak menghalangi dirinya untuk ber- asimilasi dan berintegrasi secara positif dengan budaya dan nilai sosial setempat. Trend ketiga adalah kelompok muslim dengan jumlah relatif besar yang dilahirkan di komunitas muslim, tetapi 53 tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai muslim. Beragamnya pola berpikir mereka dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti faktor pendidikan, pekerjaan atau karier, kesejah- teraan sosial dan budaya sekitar yang secara psikologis membentuk

tahun. Lihat, Javaid Rehman, “ Islam, ‘War on Terror’ and the Future of Muslim Minorities...”, hlm. 846. 52 Yang dimaksudkan dengan lebih percaya diri di sini adalah perasaan mereka bahwa Islam yang dianutnya bisa berintegrasi dan berasimilasi dengan nilai-nilai yang ada di Inggris. Agama tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap menjadi warga negara Inggris yang baik. Penelitian FNSEM (The Fourth National Survey of Ethnic Minorities) yang dilakukan pada tahun 1993/1994 menyimpulkan bahwa meskipun intensitas identitas keberagamaan imigran muslim dua kali lebih tinggi dari imigran non-muslim, juga disimpulkan bahwa intensitas identitas keberagamaan generasi kedua dan ketiga tidak sekeras generasi pertama. Generasi kedua dan ketiga ini lebih mudah berintegrasi dan melebur dengan nilai budaya Barat. Lihat, Alberto Bisin, Eleonora Patacchini, Thierry Verdier, dan Yves Zenou, “Áre Muslim Immigrants Different in Term of Cultural Integration?” Makalah pada The Institute for the Study of Labor (IZA) di Bonn, Jerman, Agustus 2007, hlm. 2-6; Generasi muslim kedua dan ketiga ini menikmati fasilitas sekolah- sekolah muslim yang didirikan secara resmi dalam upaya membangun kesadaran keberagamaan yang inklusif-integratif. Pembangunan sekolah-sekolah ini mulai digalakkan sejak diundangkannya Undang-undang Pendidikan tahun 1944. Ulasan tentang eksistensi, tujuan, dan peran sekolah-sekolah muslim ini ditulis dengan baik oleh Chris Hewer, “Schools for Muslims,” dalam Oxford Review of Educa- tion, Vol. 27, No. 4, 2001, hlm. 515-527. Meskipun demikian, di Inggris muncul pula sekolah-sekolah muslim swasta yang didirikan oleh lembaga atau organisasi tertentu. Kenyataan ini telah melahirkan keberagaman pola pikir keberagamaan. 53 Open Society Institute, “The Situation of Muslims in the UK”, hlm. 369-370.

69 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kepribadian mereka dalam hubungannya dengan agama dan nasionalisme. Tentang hal ini, Muhammad Anwar dan Qadir Bakhsh mengungkapkan dalam penelitiannya tentang problematika yang dihadapi oleh kebanyakan minoritas muslim di Inggris dan implikasinya terhadap persepsi mereka tentang negara dan pemerintahan.54

Betapapun muslim di Inggris mendapatkan hak sosial dan politik yang penuh dibandingkan dengan di Jerman dan Perancis, mereka sesungguhnya dihadapkan pada persoalan eksistensi

mereka sebagai minoritas sebagaimana dihadapi oleh minoritas muslim lainnya di berbagai belahan dunia, yaitu persoalan diskriminasi yang didahului oleh kecurigaan, stereotipe negatif

atau generalisasi yang tidak sewajarnya.55 Tahir Abbas, seorang pengamat sosial dari Birmingham University mengungkapkan:

“In all the European Union nation-states, including the UK, there has tended to be an implicit belief that all Muslims are responsible for the reactionary cultural practices of the few. The debate is centered on the idea of an ‘us’ and ‘them’.”56

Tensi perlakuan diskriminatif ini semakin meninggi ketika

terjadi kasus yang melibatkan oknum-oknum muslim sebagai

54 Anwar dan Qadir Bakhsh, “State Policies Towards Muslims in Britain,” hlm. 342-432. 55 Sebagai gambaran lebih lengkap, baca respons minoritas muslim terhadap beberapa penilaian masyarakat Inggris dan beberapa kebijakan pemerintah, dalam Paul Statam, Ruud Koopmans, Marco Giugni, dan Florence Passi, “Resilent or Adaptable Islam? Multiculturalism, Religion, and Migrants’ Claims-Making for Group Demands in Britain, the Netherlands, and France,” dalam Ethnicities, Vol. 4, No. 4, 2005, hlm. 448-449. 56 Artinya: “Di seluruh negara-bangsa yang tergabung dalam Uni Eropa, termasuk Inggris, terbentuk suatu kepercayaan implisit bahwa seluruh umat muslim bertanggung jawab atas praktik-praktik budaya kekerasan (reaksioner) yang dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka. Perdebatan tentang hal ini berpusat pada pandangan dikotomis “kita” dan “mereka”. Lihat, Tahir Abbas, “British Muslim Minorities Today...”, hlm. 724.

70 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

pelakunya. Tragedi 11/9 di New York dan 7/7 di London menjadi penyebab nyata lahirnya diskriminasi-diskriminasi baru yang menjadikan kehidupan minoritas muslim, baik yang tinggal di Amerika maupun di Inggris lebih tidak nyaman dan merasa 57 terancam. Tindakan, perilaku, dan kebijakan masyarakat dan pemerin-

tahan Inggris yang belum sepenuh hati menganggap umat muslim sebagai bagian penting dalam bangunan sosial politiknya, bisa dihubungkan dengan sejarah masa lalu yang masih terus mem-

bekas dalam benak bawah sadar mayoritas masyarakat Eropa, termasuk Inggris. Kalau di Amerika umat Islam dihubungkan dengan citra kelas budak karena kaum imigran pertama yang

datang adalah sebagai budak, di Eropa umat Islam diasosiasikan dengan masyarakat terjajah karena daerah asal para imigran mayoritas adalah wilayah jajahan Eropa.58 Eropa selalu merasa

sebagai kelas satu, sementara masyarakat jajahan senantiasa menjadi kelas kedua yang tidak mungkin menjadi mitra sejajar. Di sini, benar apa yang diungkapkan oleh Edward Said bahwa “for

Europe Islam was a lasting trauma” (bagi Eropa, Islam meru-

57 Tulisan Tahir Abbas, “Muslim Minorities in Britain: Integration, Multiculturalism, and Radicalism in the Post-7/7 Period” cukup bagus menggambarkan hal ini. Pengakuan resmi catatan pemerintah akan meningkatnya tindakan diskriminasi atas minoritas muslim di Inggris seperti yang dikemukakan oleh penelitian Open Society Institute tahun 2002 yang berjudul “The Situation of Muslims in the UK”, hlm. 375-382, menguatkan hal ini. 58 Pertautan Islam dengan negara-negara Barat, khususnya Inggris, dengan titik tekan pada aspek pergumulan budaya keilmuan yang dihubungkan dengan perilaku ( attitude) masyarakat muslim di Barat dengan masyarakat Barat sendiri dikemukakan dengan baik oleh Shahrough Akhavi dalam tulisannya, “Islam and the West in World History,” dalam Third World History, Vol. 24, No. 3 (Juni, 2003), hlm. 545-562. Dalam tulisannya ini, Akhavi juga menjelaskan secara tuntas pertarungan antara dinansti-dinasti Islam dan penguasa Eropa. Menurutnya, peperangan pada masa lalu yang kemudian diteruskan dengan pertarungan ideologis dan filosofis sangat berpengaruh pada pola hubungan Islam dan Barat pada masa modern sekarang ini.

71 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

pakan trauma yang tidak pernah berakhir).59 Pandangan senada diungkapkan oleh sarjana kenamaan Perancis Maxime Rodinson yang menyatakan “Western Christendom perceived the Muslim world as menace long before it began to be seen as a real problem” (Kristen Barat mempersepsi dunia muslim sebagai ancaman jauh sebelum ia mulai dipandang sebagai problem nyata).60 Rasa superioritas Eropa atas non-Eropa berlanjut dengan klaim per- bedaan nilai antara keduanya. Pandangan seperti ini terus berlanjut sampai sekarang ini. Tesis Samuel Huntington tentang The Clash of Civilization yang menyatakan bahwa “the central focus of conflict for the immediate future will be between the West and several Islamo-Confucian states” (fokus utama konflik pada masa dekat yang akan datang adalah antara Barat dan beberapa negara Islamo-Confucian)61 menjadi bukti pendukung

berlanjutnya paradigma lama ini.

59 Edward W. Said, Orientalism, hlm. 59; Kajian Said ini diperkuat juga oleh kajian kontemporer Robert S. Leiken yang menyatakan bahwa sampai saat ini pun muslim di Eropa menjadi scapegoat dari setiap kerusuhan rasial yang terjadi. Imigrasi menjadi identik dengan terorisme tanpa berusaha menghubungkan dengan faktor eksternal yang memicu lahirnya paham radikalisme agama dan perilaku teror itu sendiri, seperti faktor kebijakan yang belum berpihak pada keadilan sosial dan pola interaksi sosial budaya yang kurang mendukung. Lihat, Robert S. Leiken, “Europe’s Mujahideen: Where Mass Immigration Meets Global Terrorism,” dalam Center for Immigration Studies, Backgrounder, April 2005, sebagaimana dikutip oleh Katrine Anspaha dalam “The Integration of Islam in Europe: Preventing the Radicalization of Muslim Diasporas and Counterterrorism Policy,” Makalah ECPR Fourth Pan-European Conference on EU Politics, University of Latvia, Riga, Latvia, 27-27 September 2008, hlm. 3. 60 Maxime Rodison, Europe and the Mystique of Europe (London: I. B. Tauris, 1987), hlm. 3. 61 Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization,” dalam Foreign Affairs, Vol. 72, No. 3, 1993, hlm. 48. Tesis ini juga dibuktikan dengan ucapan Paus Benedict XVI pada bulan September 2006 ketika ia menganggap Islam sebagai agama yang agresif, termasuk kutipan dalam pidatonya yang menyatakan bahwa Islam adalah agama jahat dan tidak manusiawi (evil and inhumane religion). Atas pidato ini akhirnya Paus meminta maaf setelah menuai protes keras dari umat Islam di berbagai belahan dunia.

72 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa sejarah telah meng- antarkan pertemuan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai budaya Eropa. Kelompok yang terkait berdialog dan berdialektika dengan kenyataan hidup yang dihadapi, sehingga muncul upaya mencapai kesepakatan-kesepakatan yang konsistensinya akan diuji oleh sejarah itu sendiri. Di tengah pertentangan nilai ini, negara Inggris berupaya menyajikan aturan yang lebih baik kepada minoritas muslim dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

C. Problematika Sosio-Politik Minoritas Muslim di Barat: Konteks Amerika dan Inggris

Deskripsi di atas jelas menunjukkan bahwa minoritas muslim di Barat tidak pernah kering dari permasalahan. Permasalahan sosial-politik adalah yang paling sering mereka hadapi. Per- masalahan ini bermula dari perbedaan latar belakang hidup, sosial dan budaya, ras, etnis, dan keyakinan atau agama kelompok minoritas yang berbeda dengan yang disandang oleh kelompok mayoritas. Agama dan keyakinan adalah salah satu faktor utama yang melahirkan persoalan sosial-politik ini, karena agama merupakan world view (nilai-nilai yang dijadikan patokan memandang dunia) yang melahirkan ethos (sikap dan budaya) mereka.62 Proses akomodasi, asimilasi, dan penerimaan minoritas sebagai bagian dari bangunan bangsa bersama seringkali ter- 63 halangi oleh perbedaan agama.

62 Lihat, Deepa Punetha, Howard Giles, dan Louis Young, “Ethnicity and Immigrant Values: Religion and Language Choice,” dalam Journal of Language and Social Psychology, Vol. 6, No. 3 dan 4, 1987, hlm. 229-230; Lihat pula Mathias Koenig, “Incorporating Muslim Migrants in Western Nation States–A Comparison of the United Kingdom, France, and Germany,” dalam Journal of International Migration and Integration, Vol. 6, No. 2, 2005, hlm. 219-134. 63 Agama Islam, dalam survei berkala ABC/Beliefnet dan Pew Research Center, jumlah masyarakat Amerika yang tidak menyukai Islam masih selalu di atas 30% mulai dari tahun 2001 sampai dengan 2005 (Oktober 2001 sebanyak 39%, Maret

73 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Dalam konteks Inggris, Zafar Khan menyatakan bahwa problematika utama yang dihadapi oleh minoritas muslim di Inggris adalah terutama berkenaan dengan level akomodasi dan pengakuan publik serta penerimaan atas eksistensi mereka sebagai kelompok minoritas yang memiliki nilai-nilai berbeda dengan nilai kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok mayoritas. Sebab, masih ada kecenderungan untuk menganggap minoritas muslim sebagai minoritas yang aneh (alien) karena perbedaan diametrikal nilai yang dibawanya dengan nilai-nilai lokal setempat.64

Dari sini dapat dipahami bahwa problematika sosial-politik masyarakat muslim minoritas di Barat berpusat pada dua sudut yang saling berhubungan: sudut internal masyarakat muslim itu

sendiri dan sudut eksternal dari masyarakat non-muslim serta negara Barat yang ditempati. Dari sudut internal, permasalahan ini bisa berwujud ketidakmampuan minoritas muslim untuk

berasimilasi dengan budaya dan nilai-nilai hidup setempat yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka menyelesaikan konflik nilai yang dihadapi. Ada kesulitan mendasar untuk

menentukan identitas personal sebagai muslim yang juga identitas sosial sebagai warga negara di negara sekuler. Pendidikan dan pembinaan menjadi kata kunci penyelesaian masalah internal ini,

karena sesunggunya masalah identitas diri, termasuk identitas keberagamaan, adalah sebuah on going process (proses yang

2002 sebanyak 33%, Juli 2003 sebanyak 34%, Juli 2004 sebanyak 37%, dan Juli 2005 sebanyak 36%). Lihat, Scott Keeter dan Andrew Kohut, “American Public Opinion about Muslims in the U.S. and Abroad,” dalam Philippa Strum (ed.), Muslims in the United States: Identity, Influence, Innovation (Washington: Woodrow Wilson International Center for Scholars, 2005), hlm. 51-52. 64 Zafar Khan, “Muslim Presence in Europe: The British Dimension—Identity, Integ- ration, and Community Activism,” hlm. 30; Diskusi menarik tentang benturan nilai, konsekuensi, dan jalan tengahnya bisa dilihat Talal Asad, “Europe against Islam: Islam in Europe,” dalam Ibrahim Abu-Rabi’ (ed.), The Blackwell Compa- nion to Contemporary Islamic Thought (Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing, 2006), hlm. 302-312.

74 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

sedang berjalan) dan bukan sebagai fenomena statis. Identitas keberagamaan sesungguhnya bukanlah taken for granted, melain- kan hasil dari bentukan sosial (socially contructed) yang melibat- kan faktor diri dan faktor orang lain.65

Permasalahan internal minoritas muslim ini sesungguhnya berujung pada bagaimana mereka mempersepsi diri, menentukan

identitas diri, dan meletakkannya dalam konteks kehidupan sekuler yang dihadapi. Ketika identitas diri sebagai muslim dilepaskan dari kenyataan sebagai warga negara Barat yang

memiliki tatanan yang tidak sama persepsi nilai yang dianutnya,66 maka problematika sosial-politik ini akan terus berlangsung dalam wujud kehilangan kebahagiaan dan kecanggungan untuk hidup

normal seperti yang lain. Dalam perspektif sosiologi politik kontemporer, beberapa sarjana, termasuk Francis Fukuyama, menyatakan bahwa solusi internal Islam dalam hidup di negara

Barat adalah dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip demokratis liberal dan institusi politik modern. Kelemahan muslim Barat selama ini adalah apa yang disebut dengan “democratic deficit”

65 Tentang proses pembentukan identitas agama ini bisa dibaca dalam Phillip E. Hammond (1988) “Religion and the Persistence of Identity,” dalam Journal for the Scientific Study of Religion ,Vol. 27, No. 1, hlm. 1-11; lihat pula R. Stephen Warner (1993), “Work in Progress toward a New Paradigm for the Sociological Study of Religion in the United States,” dalam The American Journal of Socio- logy, Vol. 98, No. 5, hlm. 1044-1093. 66 Seringkali didengar pandangan beberapa sarjana dari berbagai bidang kajian bahwa Islam adalah lebih dari sekadar agama, ia adalah ideologi transnasional yang menjadi identitas diri setiap muslim. Menurut mereka, di mana pun muslim berada, identitasnya sebagai pemeluk agama Islam akan menjadi penghalang bagi mereka untuk berasimilasi dengan identitas lainnya. Pandangan semacam ini diuji kebenarannya oleh D. Jason Berggren, kandidat doktor dari Florida Inter- national University dalam penelitiannya pada masyarakat minoritas muslim di Eropa dengan kesimpulan bahwa pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahkan, menurutnya, dalam banyak kasus, identitas keagamaan mereka bersanding erat dengan identitas nasional atau identitas lokal lainnya. Lihat, D. Jason Berggren, “More than the Umma: An Exploratory Study of Muslim Identities” Makalah dipresentasikan dalam The AMSS 33rd Annual Conference di George Mason University Arlington Campus–Virginia pada tanggal 24-26 September 2004.

75 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

(defisit demokrasi).67 Kegagalan minoritas muslim dalam konteks ini dinyatakan oleh Muqtedar Khan sebagai berikut:

“Because American Muslims have so far failed to articulate a cohesive domestic political agenda, they concentrate instead on the politics of their native countries, which then becomes the source for drawing narrower boundaries and creating internal others. Far from being united as an American Muslim community that seeks to estab- lish itself, American Muslims are allowing the identity politics of the Muslim world to fragment them into various sectarian groups. Muslims from India and Pakistan cooperate on Islamic issues, but efforts by Indian Muslim groups... to help victims of riots in India get little cooperation from their ethnic brethren from Pakistan or fellow Muslims from other parts of the world.”68

Dari sisi eksternal, problematika sosial-politik minoritas muslim di Barat bisa dilihat dari sikap ambigu negara-negara Barat

dalam memberikan kebijakan kepada masyarakat muslim. Lihat, misalnya, kesimpulan yang diperoleh oleh The Commission on British Muslims and Islamophobia dalam kajiannya yang me-

nyatakan:

“The UK government’s official stance is one of inclusion, and to enable minorities such as the Muslims to participate freely and fully

67 Hillel Fradkin, “America in Islam”, hlm. 43-44. 68 Artinya: “Karena muslim Amerika telah begitu gagal mengartikulasikan agenda politik domestik yang kohesif, yang kemudian menjadi sumber dari pembentukan ranah yang lebih sempit dan menciptakan hal-hal lain yang bersifat internal. Jauh dari kebersatuan sebagai sebuah komunitas muslim Amerika yang berupaya untuk memapankan dirinya, muslim Amerika sedang memperbolehkan politik identitas dunia Islam untuk memisah-misahkan mereka menjadi beberapa kelompok sektarian. Muslim yang berasal dari Amerika dan Pakistan bekerja sama dalam isu-isu keislaman, tetapi upaya-upaya kelompok muslim India…untuk membantu korban gempa di India mendapatkan bentuk kerja sama yang sedikit dari sesama etnisnya dari Pakistan atau juga dari umat muslim dari bagian dunia lainnya.” Muqtedar Khan, “Muslims and Identity Politics in America,” dalam Yvonne Yazbeck Haddad and John Esposito (eds.), Muslims on the Americanization Path (New York, NY: Oxford University Press, 1998), hlm. 91.

76 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

in the economic, social and public life of the nation, while still being able to mantain their own culture, traditions, language and values.”69

Kalimat menjanjikan di atas kemudian dimentahkan dengan

kalimat berikutnya:

“In practice it is not always easy for Muslim citizens of the United Kingdom both to participate freely and fully in the economic, social and public life of the nation, and at the same time to take a full part in their religious and cultural traditions to which they belong.”70

Dari kalimat di atas tampak sekali ambivalensi negara dalam membuat aturan untuk minoritas muslim. Lebih dari itu, secara

implisit kalimat tersebut di atas berkesan bahwa minoritas muslim bukanlah sebagai salah satu anasir dari sebuah bangsa, melainkan sebagai tamu yang ingin dihormati dan ditoleransi. Ketidaksetara-

an persepsional seperti ini pada ujungnya melahirkan gap sosial, kecemburuan sosial, dan bahkan, pada titik yang paling ekstrem, kerusuhan sosial. Inilah ujian besar yang harus dihadapi oleh

negara-negara Eropa, termasuk Inggris, yang telah mengklaim sebagai penganut prinsip liberal pluralism (paham pluralisme liberal) di masyarakat Eropa, yang berpaham bahwa integrasi

merupakan proses dua arah yang secara dinamis berlangsung terus menerus dalam jangka panjang (a dynamic, long-term, and conti-

69 Artinya: “Pandangan resmi pemerintahan Inggris adalah salah satu yang termasuk dalam ketentuan ini, yakni memungkinkan kelompok minoritas seperti umat Islam untuk berpartisipasi secara bebas dan penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan publik dari bangsa ini, sementara masih mampu untuk melaksanakan budaya, tradisi, bahasa, dan nilai-nilai mereka sendiri.” Runnymede Trust, Islamophobia: A Challenge for Us All (London: Runnymede Trust, 1997), hlm. 1, dikutip oleh Zafar Khan, “Muslim Presence in Europe: The British Dimension...”, hlm. 31.

70 Artinya: “Dalam praktiknya, tidak selalu mudah bagi warga negara Inggris yang beragama Islam untuk secara bersamaan berpartisipasi secara bebas dan penuh dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan publik bangsa serta melaksanakan secara penuh tradisi agama dan budaya yang dimilikinya.” Runnymede Trust, Islamo- phobia: A Challenge for Us All, hlm. 31.

77 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

nuous two-way process) antara kelompok imigran dan negara atau masyarakat yang menerimanya sebagai anggota baru.71

Faktor eksternal lainnya adalah kegagalan masyarakat Barat untuk memahami Islam, yang sesungguhnya telah berlangsung secara terus menerus sehingga tidak mampu beranjak dari penilaian-penilaian subjektif yang negatif warisan masa lalu. Tiga

hal utama yang telah menyebabkan kesalahpahaman ini: pertama, kebanyakan orang Barat gagal melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada kaum muslim generasi kedua dan ketiga yang

dilahirkan dan dibesarkan di dalam sistem Barat. Mereka senantiasa dilihat sebagai bagian dari isu-isu Islam internasional, termasuk masalah radikalisme dan terorisme. Kedua, menganggap

semua muslim itu sama (monolith) tanpa melihat apakah mereka itu dari Indonesia, Maroko, Arab, atau lainnya. Dalam pandangan mereka, Islam hanya satu, dan penganutnya adalah sama. Ketiga,

hasil dari memperlawankan Islam dengan modernitas dengan kesimpulan kasar bahwa Islam identik dengan keterbelakangan dan muslim tidak mungkin menjadi modern.72

Meskipun ketidaksetaraan persepsional ini terus berjalan, aturan hukum tertulis yang telah memberikan ruang bagi minoritas muslim untuk hidup dengan mendapatkan hak penuh sebagai manusia dan warga negara tidaklah menghalangi minoritas muslim untuk terus berkiprah dalam ranah sosial-politik. Di Amerika misalnya, sudah mulai muncul muslim yang menjadi anggota Kongres sejak tahun 2006, yakni Keith Ellison dari Minne- sota, dan juga jabatan lain sebagai jaksa, dan jabatan profesional

71 http://www.enaro.eu/dsip/download/eu-Common-Basic-Principles.pdf, diakses pada tanggal 22 Maret 2009; baca pula Zafar Khan, “Muslim Presence in Europe: The British Dimension...”, hlm. 29. 72 Jocelyn Cesari, Hunter, Shireen T (ed.), Islam in Europe and in the United States, A Comparative Perspective (Washington DC: Center for Strategic and Interna- tional Studies, 2002), hlm. 11-15.

78 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

lainnya. Eksistensi mereka sebagai warga negara menjadi pertimbangan politik pemerintah dalam membuat suatu kebijakan, bahkan dalam setiap pemilihan umum, minoritas muslim di Amerika berperan aktif dalam setiap prosesnya.73

Persoalan-persoalan politik pada masyarakat minoritas muslim, baik di Amerika maupun Inggris, erat hubungannya

dengan kondisi internal umat Islam itu sendiri, terutama dalam hal identifikasi diri dan pemahaman diri atas nilai-nilai agama yang diyakini. Memosisikan diri sebagai muslim an sich tanpa meng-

ikatkan dirinya dengan talian politik nasional sebagai warga negara di negara tersebut akan menjadikan dirinya semakin teralienasi dan terisolasi dari pergumulan sosial-politik massa. Demikian pula

pemahaman secara tradisional atas ajaran agama tanpa diiringi dengan pendekatan kontekstual akan melahirkan pribadi-pribadi muslim yang kaku dan terperosok dalam keterpaksaan dan

penderitaan. Lebih jauh lagi, pemahaman semacam ini memiliki potensi untuk dianggap sebagai ancaman bagi keyakinan dan agama yang dianut oleh kelompok minoritas, yang pada gilirannya

menjadi penyebab lahirnya diskriminasi.74

M. Muqtedar Khan memberikan gambaran tentang hal ini dalam kaitannya dengan permasalahan pemilihan presiden di Amerika sejak tahun 2000 sampai 2009.75 Menurutnya, ada tiga fase pergumulan umat Islam Amerika dengan pemilihan presiden,

73 Lihat rekomendasi pemilu yang disampaikan oleh Muqtedar Khan, seorang muslim progresif yang sedang naik daun, dalam tulisannya, American Muslims and the 2008 Presidential Election Policy Recommendation (Michigan: Institute for Social Policy and Understanding, 2008). 74 Agama sebagai sebab munculnya diskriminasi terhadap minoritas etno-religius telah diteliti dan terbukti benar. Lihat, Jonathan Fox, “Religious Causes of Discrimination against Ethno-Religious Minorities,” dalam International Studies Quarterly, Vol. 44, 2000, hlm. 423-450. 75 Menurut tipologi Karen Leonard, era yang dikaji M. Muqtedar Khan ini masuk pada gelombang keempat dari pergeseran mainstream generasi muslim di Amerika.

79 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dan muslim Amerika saat ini berada dalam fase ketiga dari evolusi politik. Fase pertama adalah masa menjelang pemilihan presiden tahun 2000, fase kedua adalah tahun 2003-2004, dan fase ketiga adalah fase menjelang pemilihan presiden akhir 2008. Pada fase pertama, perdebatan menghangat di kalangan muslim Amerika tentang hukum ikut serta proses politik Amerika dan pilihan antara apakah umat muslim akan bergabung dengan masyarakat lainnya ataukah tetap terisolasi dan fokus pada penjagaan identitas ke- islaman dengan berkumpul di masjid dan menjauhi jalanan ramai. Pemimpin konservatif dan kelompok Hizbut Tahrir berpegang pada pendapat bahwa demokrasi adalah sistem kafir yang harus dihindari, sementara kelompok moderat berpendapat sebaliknya. Pada fase ini, minoritas muslim banyak memilih untuk berperan aktif dalam pemilu dengan menjatuhkan pilihan pada George W.

Bush. Fase kedua adalah fase pro dan kontra block voting pemilih- an presiden berikutnya setelah minoritas muslim dikecewakan oleh George W. Bush berkenaan dengan tragedi 11/9 yang sering

melakukan tuduhan dan pelecehan terhadap Islam. Organisasi Islam American Muslim Task Force yang menjadi organisasi payung beberapa organisasi Islam harus mengalami perpecahan

yang diikuti dengan ketidaksepahaman di antara para intelektual di dalamnya. Fase ketiga adalah fase harapan menuju pemilihan presiden berikutnya. Dalam hal ini minoritas muslim Amerika

cenderung bersepakat untuk memilih Obama yang diharapkan mampu menjadi jembatan penyambung antaretnis, ras, agama, dan segala bentuk kepentingan yang ada di Amerika.76

Menurutnya, ada empat gelombang perkembangan yang dialami oleh minoritas muslim di Amerika: pertama, sejak akhir abad ke-19 ketika kaum imigran mulai banyak berdatangan; kedua, periode tahun 1980-1990 di mana kesadaran eksistensi sebagai warga negara dengan hak sosial politik mulai menguat; ketiga, tahun 1990-1999, periode peneguhan identitas; dan keempat adalah akhir 1990- an hingga sekarang di mana ketegangan dan konflik terjadi. Lihat, Karen Leonard, “American Muslim Politics,” dalam Ethnicities, Vol. 3, No. 2, hlm. 152-153. 76 M. Muqtedar Khan, Muslims and the 2008 Presidential Election, hlm. 6-13.

80 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Pilihan-pilihan politik yang seperti digambarkan oleh M. Muqtedar Khan tersebut sesungguhnya bukan gerakan tunggal tanpa penyerta. Kondisi politik umum Amerika, kebijakan, dan perlakuan pemerintah terhadap minoritas muslim menjadi salah satu penentu pola sikap dan pikiran minoritas muslim. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa masalah identitas dan integrasi bukan semata-mata menjadi tanggung jawab internal minoritas muslim, melainkan juga tanggung jawab negara atau pemerintah di mana minoritas muslim itu tinggal.

Amerika dan Inggris adalah dua negara besar yang menjadi rujukan kebijakan negara-negara lain. Negara ini pulalah yang ber- ada di garda depan advokasi demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Amerika dan Inggris telah memiliki hukum dan perundang- undangan mengenai kaum imigran dan kelompok minoritas. Sebagai bagian inti dari PBB, Amerika dan Inggris pasti tunduk

pada aturan internasional yang mereka buat, termasuk pasal 27 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights/ Kesepakatan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) yang

menjadi rujukan inti internasional tentang perlindungan hak-hak kultural minoritas. Pasal tersebut menyatakan:

“In those states in which ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities should not be denied the right in community with the other members of their group, or enjoy their culture, to profess and practice their own religion, or to use their own language.”77

Dengan demikian, sesungguhnya secara normatif sudah tersedia dasar-dasar pijakan perlindungan hak-hak minoritas, baik

77 Artinya: “Di negara-negara tersebut, di mana terdapat kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa maka orang-orang yang berasal dari minoritas tersebut harus tidak ditolak hak-haknya untuk hidup bersama dengan anggota lain dalam komunitas yang dimilikinya, atau untuk menikmati budayanya, untuk mengetahui dan mengamalkan agama mereka, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”. Lihat, ICCPR ayat 27.

81 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

untuk minoritas muslim yang ada di Inggris maupun yang ada di Amerika, meskipun masih perlu penyempurnaan-penyempurna- an.78 Karena itu, persoalan sosial dan politik yang terjadi masih lebih banyak disebabkan oleh hal-hal abstrak dan psikologis seperti ideologi dan paham yang berbeda serta trauma, ketakutan, dan phobia yang berlebihan terhadap Islam dan umat Islam. Hal- hal seperti ini bisa jadi bersifat personal sebagaimana juga berpotensi menjadi komunal. Ketika berkarakter komunal inilah konflik abstrak dan psikologis akan berpotensi merusak tatanan sosial dan pranata hukum yang ada.

Minoritas muslim sebagai objek dari prejudis,79 kecurigaan, pelecehan, dan bermacam bentuk diskriminasi ini tentu saja

membutuhkan panduan agar bisa tetap eksis sesuai dengan norma

78 Dari awal berdirinya United States, sebenarnya kesadaran akan heterogenitas ras, etnis, budaya, dan agama sudah muncul dan diapresiasi positif sebagai suatu keniscayaan. Hal ini tampak dengan jelas dari pernyataan presiden Amerika pertama, George Washington, dalam suratnya kepada pemimpin Yahudi: “The citizens of the United States of America…all possess alike liberty of conscience and immunities of citizenship. It is now no more that toleration is spoken of, as if it was by the indulgence of one class of people that another enjoyed the exercise of their inherent natural rights. For happily the government of the United States, which gives to bigotry no sanction, to protection no assistance, requires only that they who live under its protection, should demean themselves as good citizens, in giving it on all occasions their effectual support.” Lihat, Bernard Lewis, Islam and the West (New York, Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 179. 79 Kajian khusus tentang prejudis terhadap minoritas muslim di Eropa disajikan dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh Zan Strabac dan Ola Listhaug, “Anti-Muslim Prejudice in Europe: A Multilevel Analysis of Survey Data from 30 Countries,” dalam Social Science Research No. 37 (2008), hlm. 268-286. Penelitian ini menunjukkan bahwa prejudis terhadap imigran muslim jauh lebih tinggi dibandingkan dengan prejudis pada imigran lainnya. Tingkat prejudis atas minoritas muslim ini sesungguhnya memang sudah tinggi sebelum terjadinya peristiwa 11/9. Eropa Timur memiliki potensi prejudis lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa Barat; Sedikit berbeda dengan data tersebut di atas adalah data yang dikemukakan oleh Paul Weller dalam kajiannya tentang diskriminasi agama dan islamopohobia di Inggris. Paul Weller menyatakan bahwa tingkat diskriminasi sebelum awal abad ke-21 sesunggunya tidak begitu tinggi. Tahun 1970-an dan 1980-an, isu diskriminasi ini tidak banyak mendapatkan perhatian. Adalah akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang menjadi saksi atas munculnya kembali

82 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

hukum yang ada. Tanpa panduan, hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan; hidup stress yang mendorong mereka berperilaku destruktif dan migrasi atau kembali ke negara yang dirasa lebih sesuai dengan karakter kehidupannya.80 Singkatnya, minoritas muslim di Barat membutuhkan lembaga yang mampu memberikan pengarahan dan pencerahan serta memberikan bantuan sosial dan hukum sehingga mereka mampu hidup di Barat tanpa ada kendala yang berarti. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga- lembaga sosial keagamaan yang senantiasa menjadi tempat konsultasi dan penyelesaian masalah sosial-politik dan agama yang dihadapi oleh minoritas muslim. Di Amerika, sebagai respons terhadap berbagai macam

persoalan yang dihadapi oleh minoritas muslim sesungguhnya telah banyak didirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Is- lamic Circle of North America (ICNA) yang didirikan tahun 1971,

dan Islamic Society of North America (ISNA) yang didirikan pada

fenomena diskriminasi ini. Lihat, Paul Weller, “Addressing Religious Discrimi- nation and Islamophobia: Muslims and Liberal Democracies, the Case of the United Kingdom,” dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 17, No. 3, 2006, hlm. 295-325.

80 Dalam bahasa Hillel Fradkin, ada dua pilihan utama yang harus dipilih, salah satunya manakala integrasi nilai-nilai dan asimilasi budaya Islam dan Barat, dalam konteks kajiannya adalah Amerika, tidak berjalan baik. Pilihan tersebut adalah menjadi Amerika dengan meninggalkan ajaran Islam atau menjadi muslim dengan meninggalkan Amerika. Lihat, Hillel Fradkin, “America in Islam”, hlm. 51-52. Elaborasi yang lebih luas tentang efek dari perilaku diskriminatif yang diterima oleh minoritas muslim disimpulkan dengan baik oleh Jesse William Bradford yang menyatakan bahwa ada tiga model respons yang semuanya bisa diterima secara akal: pertama adalah resistensi dengan segala bentuknya, baik secara politik, kekerasan maupun menarik diri dari publik hanya untuk bergaul dengan komunitas yang memiliki kemiripan atau kesamaan identitas; kedua adalah dengan berdiam diri dan tidak melakukan respons apapun; ketiga adalah dengan cara akomodatif, baik yang berupa identity switching (menukar identitas menjadi bagian dari identitas mayoritas), passing (menampakkan identitas mayoritas tanpa meninggalkan identitas asalnya), covering (menyembunyikan identitas), dan mini- mizing (meminimalkan peran identitas asalnya). Lihat, Jesse William Bradford, “American/Muslims: Reactive Solidarity, Identity Politics, and Social Identity Formation in the Aftermath of September 11th”, (Disertasi pada Harvard Univer- sity, Boston, 2008), hlm. 119.

83 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

bulan Juli 1981 bertujuan untuk memajukan masyarakat Islam dan memberikan layanan bagi masyarakat muslim di Amerika Utara agar mampu menjadikan dan menjalankan Islam sebagai jalan hidup yang utuh. American Muslim Alliance (AMA) yang didirikan pada tahun 1988, Fiqh Council of America (FCA) yang secara khusus memberikan pelayanan berkaitan dengan hukum Islam, International Institute for Islamic Thought (IIIT) yang didirikan pada tahun 1981 dan bergerak dalam proyek islamisasi ilmu pengetahuan, American Muslim Council (AMC), dan Council on American Islamic Relation (CAIR) yang didirikan pada tahun 1990-an adalah di antaranya. Sayangnya, menurut pengamatan Hillel, organisasi-organisasi ini tidak bisa mewakili keseluruhan minoritas muslim Amerika, karena terlalu didominasi oleh muslim keturunan Arab.81 Karena itulah minoritas muslim keturunan

Afrika-Amerika dan Asia Selatan memprotes kecenderungan ini dan menuduhnya sebagai organisasi yang telah disusupi misi Wahabi atau Arab Islam.82

Ketika organisasi-organisasi besar seperti disebut di atas

sudah dicurigai, maka efektivitasnya sebagai jembatan peng-

81 Kathleen Moore menyatakan bahwa memang sangat sulit mencari organisasi yang mampu menjadi tempat bagi semua muslim Amerika dengan segala macam latar belakang dan etnisnya. Yang mendominasi adalah organisasi kelompok etnis tertentu atau untuk lokal tertentu. Kegiatan mereka rata-rata adalah pelayanan keagamaan seperti ada yang meninggal dunia atau meminta fatwa dan pandangan keagamaan serta pembangunan masjid, pusat keislaman, dan sekolah muslim. Lihat, Kathleen M. Moore, “Muslim in the United States: Pluralism under Certain Circumstances,” dalam Annals of The America Academy of Political and Social Sciences, Vol. 612, Juli 2007, hlm. 123-124. 82 Hillel Fradkin, “America in Islam”, hlm. 47-48; Dugaan semacam ini diperkuat oleh penelitian Zeyno Bara yang menyatakan bahwa organisasi-organisasi di atas memang memiliki hubungan erat dengan WML (World Muslim Leage) dan WAMY (World Association of Muslim Youth) yang menganut paham Wahabi dalam pemikiran serta dekat dengan Ikhwanul Muslimin dalam gerakan dan aksi politiknya. Lihat, Zeyno Bara, “The Muslim Brotherhood’s US Network,” dalam Current Trend in Islamist Ideology, Vol. 6 (Hudson Institute, Center on Islam, Democracy, and the Future of Modern World, 2008), hlm. 95-122; baca pula Rod Dreher, “Reporting the Muslim Brotherhood,” dalam ibid., hlm. 123-132.

84 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

hubung Islam dan Amerika akan semakin mengecil. Memang masih banyak lembaga lain yang bisa diharap, namun yang perlu mendapatkan dukungan saat ini adalah tampilnya figur-figur perorangan yang kapabilitas dan akseptabilitasnya diakui oleh publik. Di sinilah peran akademisi dan sarjana seperti Abdul Aziz Sachedina dari University of Virginia, Ahmed al-Rahim dari Harvard, Zeinab al-Suweij dari American Islamic Congress, Syaikh Muhammed Kabbani dari Islamic Supreme Council of America, Sohail Hashmi dari Mount Holyoke, Asma Asfarrudin dari Notre Dame, Qamar al Huda dari Boston College, Hussein Haqqani dari Carnegie Endowment, Abdul Wahab al Kebsi dari National Endowment for Democracy, dan juga sarjana yang beberapa waktu lalu sangat populer, Khaled Abou el Fadl, bisa diharapkan tampil mengisi kekosongan peran mediasi ini.

Di Inggris juga didapatkan beberapa NGO (Non-Governmen-

tal Organization/Lembaga Swadara Masyarakat) yang aktif menjadi media yang merespons persoalan-persoalan minoritas muslim. Di antaranya adalah Muslim Council of Britain (MCB) yang

merupakan turunan dari UKACIA (UK Action Committee on Islamic Affairs), Muslim Association of Britain (MAB), The Union of Muslim Organizations at UK (UMO) yang merepresentasikan

180 grup muslim. Ada pula organisasi khusus pelajar dan maha- siswa, yaitu FOSIS (UK Federation of Student Islamic Societies) yang merupakan afiliasi lebih dari 90 organisasi kemahasiswaan muslim. Menurut Paul Weller, ada 300 organisasi keislaman yang aktif menjadi wadah aktivitas masyarakat muslim dalam menye- lesaikan berbagai macam masalahnya; 154 organisasi level nasio- nal, 1 organisasi level regional, dan 145 organisasi level lokal.83

Data di atas dapat ditafsirkan bahwa terdapat korelasi yang cukup erat antara banyaknya problematika sosial-politik dan lahir- 83 Paul Weller, “Addressing Religious Discrimination and Islamophobia...”, hlm. 309.

85 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

nya lembaga sosial keagamaan berikut tampilnya tokoh-tokoh muslim dalam menangani isu-isu yang berkembang. Sayangnya, beberapa lembaga sosial keagamaan dan tokoh-tokoh Islam yang muncul seringkali menjadi subjek atau objek dari problematika sosial politik yang ada ketika kehadirannya didorong oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu.

D.Problematika Hukum Islam Masyarakat Minoritas Muslim di Barat

Ulasan permasalahan masyarakat muslim di atas banyak

berpusat pada permasalahan masyarakat minoritas muslim dalam tataran kehidupan sosial dan politik. Tanpa mengurangi urgensi persoalan sosial-politik yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat, sejatinya masalah esensi kepercayaan dan keberagamaan menjadi masalah kunci dalam keseluruhan masalah yang dihadapi, yang tanpa memahaminya semua masalah lainnya akan tetap terjadi. Bagaimana masyarakat minoritas muslim memahami agamanya dan bagaimana masyarakat Barat memahami ajaran Islam adalah sesuatu yang krusial. Inilah yang sampai sekarang masih kurang menjadi fokus agenda, tertutupi oleh kajian dan kebijakan sosial-politik yang lebih bersifat kulit luar dari masalah yang sesungguhnya. Karena itulah Tariq Ramadan, tokoh muslim moderat Eropa yang paling populer di Eropa saat ini, menyatakan:

“The central point is that Islam is, first and foremost, a divinely revealed religion, with belief in its universal validity, a way of life and death, and not merely the cultural characteristic of a specific popula- tion coming from countries outside Europe. Indeed without taking into account this religious dimension, all discussions about aspects of Islam in Europe–social and political integration, economic progress, or other matters–would be, if not futile, highly inadequate.”84

84 Artinya: “Poin utamanya adalah bahwa Islam merupakan, yang pertama dan terpenting, agama yang berdasarkan wahyu Tuhan, dengan kepercayaan akan

86 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Dalam konteks pengamalan keberagamaan, hukum Islam sebagai the true locus of the discussion of islamic ethics (lokus yang benar dari diskusi tentang etika Islam)85 menjadi per- masalahan substantif dan problematika yang paling rutin dihadapi mengingat dalam Islam aturan-aturan hukum meliputi segala aspek kehidupan.86 Permasalahan aplikasi hukum Islam di negara Barat ini menjadi menarik dibahas karena: pertama, permasalahan hukum Islam berbeda dengan sisi lain dalam Islam pada umum- nya, karena aplikasi hukum seringkali berwujud lebih dari sekadar ibadah individual ketika harus berkaitan dengan orang atau komunitas lain. Dalam konteks Barat, hal ini lebih menarik lagi karena semua madzhab hukum Islam eksis mengikuti madzhab yang dianut di negara asal para imigran.87 Kedua, pada umumnya

validitas universalnya, jalan hidup dan mati, dan tidak semata-mata merupakan karakteristik kultural dari populasi yang datang dari negara-negara di luar Eropa. Sungguh, tanpa mempertimbangkan dimensi keberagamaan ini, semua diskusi tentang aspek-aspek Islam di Eropa—integrasi sosial dan politik, kemajuan ekonomi atau hal-hal lain—akan menjadi tidak layak atau bahkan sia-sia.” Tariq Ramadan, To Be A European Muslim (Leicester: Islamic Foundation, 2002), hlm. 207-208. 85 A. Kevin Reinart, “Islamic Law as Islamic Ethics,” dalam The Journal of Religious Ethics, 2001, hlm. 186.

86 Tentang problematika hukum Islam ini, ada penelitian menarik yang melawan wacana yang berkembang, yakni penelitian yang menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada masalah hukum Islam sama sekali dalam kehidupan riil keseharian masyarakat minoritas muslim di Barat. Permasalahan ini sesungguhnya ada pada tataran wacana kaum akademis. Bagi masyarakat awam pada masyarakat minoritas muslim di Barat, masalah hukum Islam, seperti masalah jilbab, hukum tinggal di negara non-muslim, makanan halal, dan lain sebagainya tidak pernah menjadi perhatian mereka. Lihat, Anwar Alam, “Scholarly Islam” and “Everyday Islam”: Reflections on the Debate over Integration of the Muslim Minority in India and Western Europe,” dalam Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 27, No. 2, Agustus 2007. Pandangan ini tentu saja bertentangan dengan kenyataan banyaknya permasalahan hukum yang diajukan ke lembaga fatwa, baik yang ada di Eropa maupun Amerika. Memang pasti ada bagian masyarakat minoritas muslim yang tidak peduli dengan masalah hukum Islam dalam kehidupannya, tetapi menyatakan- nya sebagai sebuah kenyataan menyeluruh adalah sebuah bentuk generalisasi yang menyesatkan. 87 Biasanya, para imigran dari dunia Arab bagian barat dan Afrika Barat mengikuti madzhab Mâlikiyyah, sementara imigran dari Saudi Arabia dan Qatar mengikuti

87 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

di negara sekular modern, ada ketegangan antara keinginan negara untuk tetap mendudukkan agama di luar ranah publik dan tetap sebagai wilayah privat seseorang, dan keinginan sekelompok orang beragama yang ingin kehidupan mereka benar-benar diatur sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk. Liberalisme yang menjadi dasar berpikir Barat memang telah memberikan hak otonomi individual berupa kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masyarakatnya, tetapi sebagaimana diadvokasi oleh para peng- kritik liberalisme di Barat, negara-negara Barat juga harus mem- pertimbangkan hak-hak komunal kelompok minoritas, termasuk minoritas agama, karena seringkali aplikasi suatu aturan hukum, termasuk hukum Islam, bersifat umum dan saling terkait (inter- dependent ) dengan faktor lain.88 Di sinilah konflik hukum sering terjadi karena perbedaan landasan filosofis dan ketidakjelasan

(ketidaktegasan) pemerintah.89

Ketegasan dan dukungan pemerintah Barat terhadap aplikasi hukum Islam seperti di atas menjadi masalah pertama yang telah berumur panjang dalam diskursus pola hubungan Barat dan

Islam.90 Karena, masalah penerapan hukum Islam ini tidak hanya

madzhab Hanâbilah. Imigran dari Indonesia, Malaysia, Filipina, dan sebagian dari Mesir dan Asia Tengah banyak mengikuti madzhab Syâfi’îyyah. Madzhab Hanafiyyah banyak dibawa oleh imigran dari India, Turki, dan beberapa negara bekas kekuasaan Dinasti Ottoman. 88 Laureve Blackstone, “Courting Islam: Practical Alternatives to A Muslim Family Court in Ontario,” dalam Brook Journal of International Law, Vol. 31, No. 1, 2005, 2007; lihat pula Chandran Kukathas, “Are There Any Cultural Right?,” dalam Will Kymlica (ed.), The Rights of Minority Cultures 228, 1995. 89 Yilmaz, “Muslim Law in Britain: Reflections in the Socio-Legal Sphere and Differential Legal Treatment,” dalam Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 20, 2000, hlm. 357. 90 Sejak datangnya Islam ke negara-negara Barat, kelompok minoritas muslim telah menemui berbagai hambatan dalam mengaplikasikan hukum Islam sebagaimana di negara-negara muslim. Permasalahan hukum Islam yang seringkali muncul adalah yang berhubungan dengan hukum keluarga (family law). Sebagai bukti, di Amerika, menurut Richard Freeland, pengajuan masalah hukum keluarga dan

88 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

menyangkut hubungan sosial antarwarga negara yang berlainan agama, tetapi memang berhubungan langsung dengan kebijakan politik dan hukum negara itu sendiri.91 Sementara masalah kedua adalah kenyataan masyarakat minoritas muslim di Barat yang tidak semuanya mengerti dan mengikuti perkembangan pemikiran hukum Islam. Mayoritas umat muslim di Amerika masih memahami doktrin-doktrin agamanya secara literal atau tekstual ketimbang kontekstual. Survei Pew Research Center yang sampai saat ini dianggap paling akurat dalam masalah riset keberagamaan menunjukkan bahwa 92% muslim Amerika meyakini al-Qur’ân adalah firman Tuhan dan 50% dari mereka berkeyakinan bahwa al-Qur’ân harus dimaknai secara literal. Meskipun demikian, menarik untuk dicatat bahwa hanya 33% dari minoritas muslim di Amerika yang menyatakan hanya ada satu jalan untuk menafsirkan

ajaran Islam, sementara 60% lainnya menyatakan banyak jalan untuk menafsirkan ajaran Islam.92 Keberagamaan dengan model tradisional ini pasti akan menemui kesulitan ketika dihadapkan

dengan kenyataan modernitas Amerika yang memiliki karakter berbeda dengan pemahaman tradisional agama yang mereka

sebagian masalah hukum lainnya oleh masyarakat muslim Amerika ke pengadilan pemerintah mengalami lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 1970-an. Lihat, Richard Freeland, “The Islamic Institution of Mahr and American Law,” dalam Across Borders: The Gonzaga Journal of International Law, 2001, dapat dikases di http://www.across-borders.com 91 Dalam tataran teoretis dan filosofis, tuntutan untuk menjadikan syari’ah sebagai bagian otonomi komunal minoritas muslim di Barat memang menjadi per- masalahan tersendiri bagi nilai-nilai budaya Barat, karena antarkeduanya terpisahkan oleh dasar-dasar ontologis dan epistemologis yang berbeda. Dalam pemahaman hukum Islam, masyarakat dan wahyu adalah di atas individu dan akal, sementara dalam sistem hukum Barat yang dibesarkan oleh semangat nilai- nilai rasionalitas dan humanisme sekuler enlightenment meletakkan hak asasi individu sebagai dasar utamanya. Lihat, Ishtiaq Ahmed, “Communal Autonomy and the Aplication of Islamic Law,” dalam ISIM NEWSLETTER, No. 10, 2002, hlm. 32. 92 The Pew Research Center, Muslim Americans Middle Class and Mostly Main- stream, hlm. 23.

89 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

pahami. Ajaran agama yang mereka anut menjadi terpisah jauh dengan kenyataan yang dihadapi.

Permasalahan ketiga adalah belum banyaknya tokoh Islam di Barat yang memang memiliki expertise (keahlian) hukum Islam. Tokoh-tokoh agama yang menangani atau menjadi imam di masjid kebanyakan tidak memiliki pendidikan khusus keislaman yang

memadai.93 Sementara itu yang mengisi posisi lembaga dan organisasi keislaman lainnya adalah kelompok profesional di luar bidang hukum Islam, seperti para dokter, insinyur, atau akademisi

yang menekuni studi selain hukum Islam. Merekalah yang sementara ini menjadi konsultan keislaman di berbagai masjid dan organisasi keislaman. Dalam konteks Amerika, Khaled Abou El

Fadl menyatakan bahwa bidang syari’ah masih dipenuhi oleh orang-orang yang mengklaim diri ahli, tetapi tidak mampu mem- bedakan antara hukum yang (sesungguhnya) bersifat fundamen-

tal dan yang bersifat partikular.94

Akumulasi dari tiga problematika di atas menyebabkan hukum Islam, yang sejatinya bersifat fleksibel dan elastis berdialog

93 Menurut data yang disampaikan oleh Ihsan A. Bagby yang didasarkan pada laporan The Mosque I America: A National Portrait, jumlah masjid di Amerika pada tahun 2000 adalah 1209 masjid, naik 25% dibandingkan dengan tahun 1994 yang hanya berjumlah 962 masjid dari berbagai etnis. Imam masjid dari etnis Afrika-Amerika hanya 3% yang berpendidikan sarjana S1 dari universitas Islam di luar Amerika, 1% yang berpendidikan MA dan Ph.D dari luar Amerika, 18% hanya memiliki sertifikat, dan 78% tidak memiliki pendidikan Islam secara formal. Sementara imam masjid etnis Asia Selatan, tabel menunjukkan bahwa 31% yang tidak memiliki pendidikan Islam secara formal. Secara keseluruhan 2/3 atau 63% imam di masjid Amerika tidak memiliki pendidikan minimun sarjana S1 dan hanya 13% yang memiliki pendidikan setingkat S2. Lihat, Ihsan A. Bagby, “Imams and Mosque Organization in the United States: A Study of Mosque Leadership and Organizational Structure in American Mosques,” dalam Philippa Strum (ed.), Muslims in the United States: Identity, Influence, Innovation (Washington: Woodrow Wilson International Center for Scholars, 2005), hlm. 30-31. 94 Karen Leonard, “American Muslim Politics,” dalam Ethnicities, Vol. 3, No. 2, hlm. 155.

90 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

dengan kehidupan masyarakat, menjadi kaku (rigid), tidak ber- kembang (stagnan), dan bahkan pada titik tertentu menjadi sumber konflik yang menyengsarakan. Minoritas muslim di Barat merasa berat dalam menjalankan ajaran Islam dan menganggap- nya sebagai tidak relevan lagi dengan konteks kehidupan mereka. Memang tidak semua materi hukum Islam bersifat problematis ketika harus diterapkan di negara Barat, namun mempertimbang- kan kondisi dan kemaslahatan hidup minoritas muslim di Barat dalam menentukan status hukum, ia menjadi suatu kebijakan yang ditunggu-tunggu.

1. Materi Problematika Hukum Permasalahan fiqh atau hukum mendominasi permasalahan keberagamaan yang dihadapi oleh masyarakat muslim minoritas di Barat. Secara empirik mereka menjumpai beberapa persoalan hukum yang tidak mungkin ditemukan jawabannya dalam koleksi fatwa dan pendapat hukum dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pernah mereka pelajari, baik karena masalah tersebut adalah masalah baru yang belum pernah dibahas sebelumnya maupun masalah yang telah ada kajian dan bahasannya, tetapi sulit dilaku-

kan karena perbedaan masa dan tempat fatwa atau pendapat hukum itu dibuat dengan masa dan tempat hukum itu akan diaplikasikan, yakni di Barat. Selain masalah hukum, muncul pula

masalah-masalah yang berkaitan dengan tauhid atau teologi, dan juga masalah akhlak atau etika sosial kemasyarakatan.

Masalah yang paling krusial dan terus berlangsung sampai saat ini adalah tentang hukum tinggal dan menjadi warga negara

di negara non-Islam. Meskipun masalah ini telah ada bahasannya dalam fiqh klasik karya para pendiri madzhab dan ulama madzhab masa lalu, tetap saja masih menyisakan perdebatan panjang karena dua hal. Pertama, fiqh klasik yang membahas masalah ini ditulis oleh ulama masa lalu yang tidak pernah mengalami perkembangan

91 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Islam seperti saat ini. Mereka tinggal di tempat dan pada masa ketika umat Islam ada pada posisi mayoritas. Perbedaan waktu dan tempat, yang dalam teori hukum Islam (ushûl al-fiqh) dinyatakan sebagai salah satu variabel penentu status hukum, harusnya menjadi pertimbangan dasar dalam menentukan hukum minoritas muslim yang tinggal di Barat pada saat ini. Kedua, pola hubungan negara kontemporer berbeda jauh dengan pola hubungan negara dalam fiqh al-siyâr (fiqh diplomatik) masa lalu, yang hanya mengenal dua bentuk negara, yaitu negara Islam (dâr al-Islâm ) dan negara perang (dâr al-harb).

Memisahkan negara secara dikotomis menjadi negara Islam (dâr al-Islâm) dan negara perang (dâr al-harb) serta pandangan

klasik yang melarang atau mengharamkan muslim untuk tinggal di negara non-Islam menjadi problematika berkepanjangan yang dihadapi minoritas muslim di Barat yang saat ini telah hidup,

bekerja, dan berkeluarga di negara Barat. Karena itu, diperlukan ketegasan hukum tentang masalah ini karena memiliki implikasi hukum yang merembet pada hal-hal lain, misalnya tentang

keterikatan muslim di Amerika pada hukum dan undang-undang Amerika, hukum bekerja di perusahaan yang nota bene diatur dan dikuasai oleh non-muslim, hukum berpartisipasi dalam

pemilihan presiden dan anggota parlemen yang nota bene adalah non-muslim, dan hukum interaksi sosial dengan warga non-muslim di negara non-Islam. Penjelasan tentang masalah-masalah hukum di atas tidaklah banyak karena fiqh klasik banyak membahas tentang hukum orang kafir di negara Islam, tetapi tidak banyak yang membahas hukum orang Islam di negara non-Islam.

Ulama klasik (salaf) dan para pengikutnya cenderung menyatakan bahwa Inggris dan Amerika bukan negara Islam, karena pemimpin pemerintahannya bukanlah orang Islam dan aturan hukum yang berlaku bukanlah syari’at Islam. Ulama kontemporer (khalaf) terpecah menjadi dua: pertama adalah

92 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

kelompok salafi dan wahabi yang masih tetap menyatakannya sebagai negara kafir. Kedua adalah kelompok moderat yang menyatakan bahwa Amerika dan Inggris memang bukan negara Islam, tetapi juga bukan dâr al-harb (negara perang), melainkan dâr al-sulh (negara damai) atau dâr al-‘ahd (negara perjanjian) di mana ada perjanjian damai, dan minoritas muslim yang bertempat tinggal di negara itu diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya. Perdebatan seperti ini masih problematik dan mem- bingungkan sebagian kelompok minoritas.

Membiarkan dikotomi negara-negara dengan pembagian dâr- Islâm dan dâr al-harb memiliki kesan bahwa negara Islam menganggap negara-negara lain sebagai musuh. Ketika penafsiran

semacam ini dipakai, Barat memiliki alasan untuk menjustifikasi bahwa serangan teroris ke WTC 11 Sepetember 2001 itu memang dibenarkan oleh Islam.95 Karena itulah, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî

sepakat dengan Fakhr al-Dîn al-Râzî yang mengutip pandangan al- Shâshî tentang pembagian negara menjadi dâr al-ijâbah (negara ketundukan kepada Allah) sebagai ganti dari istilah dâr al-Islâm,

dan dâr al-da‘wah (negara untuk propagasi Islam) sebagai ganti dari dâr al-harb.96

Selain masalah hukum yang berkaitan dengan masalah politik di atas, masalah pelaksanaan ibadah di negara Barat juga menjadi permasalahan unik yang dihadapi oleh muslim minoritas di Barat. Perbedaan geografis antara negara-negara Barat dan negara- negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, melahir- kan perbedaan musim dan perbedaan waktu. Peredaran matahari yang biasa menjadi dasar penentuan waktu shalat dan puasa tidak selalu memungkinkan menjadi patokan waktu di negara Barat, yang

95 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflections (Richmond, UK: International Institute of Islamic Thought, 2003), hlm. xix. 96 Ibid., hlm. 29.

93 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

peredaran mataharinya tidak senormal di negara-negara muslim. Pada titik ekstrem, ada bebarapa negara Barat yang hanya meng- alami siang saja tanpa malam, atau malam saja tanpa siang dalam takaran waktu tertentu. Dalam kondisi seperti ini, minoritas muslim membutuhkan fiqh khusus yang mengatur ibadah mereka.97 Pertanyaan tentang kebolehan salat Jum’at sebelum waktu salat dzuhur atau pada waktu shalat ‘ashar tidak mungkin dipertanyakan di negara-negara muslim, tapi ini terjadi di negara- negara Barat di mana jarak waktu shalat dzuhur dan ‘ashar begitu sempit, sementara ada kesibukan kerja yang tidak mungkin ditinggalkan karena kebijakan kerja dipegang oleh mayoritas non- muslim.

Mathias Rohe menambahkan bahwa permasalahan yang muncul di tengah masyarakat muslim minoritas bukan hanya masalah ibadah, melainkan juga yang berkaitan dengan pidana,

seperti pertanyaan yang dikemukakan oleh seorang warga Jerman pada ECFR, apakah dia akan diberi hukuman hudûd karena telah berkali-kali melakukan hubungan seks di luar nikah dan meminum

minuman keras? Jawaban ECFR adalah pengakuan tulusnya sudah cukup sebagai taubat dan tidak perlu mendapatkan hukuman hadd,98 tetapi disarankan untuk menyimpan rahasia dari apa yang

telah dilakukannya itu. Pertanyaan hukum pidana lainnya adalah apakah orang murtad harus dihukum bunuh? Jawaban ECFR

97 Wahbah al-Zuhaylî di bagian awal kitabnya yang berjudul Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‘âshir (Sûriyah: Dâr al-Fikr, 2007) secara khusus berbicara tentang fiqh untuk minoritas muslim yang tinggal di Barat dalam aspek fiqh ibadahnya, khususnya mengenai shalat dan puasa. Menurutnya, diperlukan kajian khusus tentang pelaksanaan hukum Islam di negara-negara yang memiliki perbedaan kondisi geografis yang tidak dimungkinkan sama dengan pelaksanaan hukum di negara-negara muslim pada umumnya. 98 Dalam hukum pidana Islam (fiqh al-jinâyah), tindakan pidana ada yang mendapatkan sanksi yang ditetapkan oleh nash yang disebut dengan hadd, dan ada yang mendapatkan sanksi yang ditetapkan oleh pemimpin atau hakim yang diangkat oleh pemimpin yang disebut dengan istilah ta‘zîr.

94 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

adalah bahwa yang berhak melakukan hukum bunuh hanyalah negara Islam. Tidak setiap orang yang murtad dihukum bunuh, tetapi hanya mereka yang menentang atau melawan negara.99

Sementara itu, Yûsuf al-Qaradhâwî menyebutkan beberapa contoh permasalahan hukum lainnya, misalnya tentang ber- campurnya kuburan orang Islam dengan kuburan non-muslim

yang lazim terjadi di Amerika dan Inggris yang tidak memiliki areal makam Islam tersendiri, pembelian rumah dengan memakai uang pinjaman bank asing, ucapan selamat hari raya kepada pemeluk

agama lain, hukum cuka yang dibuat dari khamr, hukum enzim yang dibuat dari babi, hak waris seorang muslim dari non-muslim, dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan tersebut harus

dikaji dari sisi kontekstual, selain dari sisi tekstualnya. Tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tujuan syari’at secara umum, hukum yang diperoleh hanya akan menjadi beban dan

bukan jawaban atas permasalahan minoritas muslim.100 Karena itu, ‘Azâm al-Tamîmî setelah menguraikan berbagai permasalahan hidup sebagai minoritas muslim di Barat menyimpulkan perlunya

pemikiran baru dan fiqh inovatif yang mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh faktor tempat dan waktu untuk mewujudkan hakikat kemaslahatan.101

Sementara itu, salah seorang anggota ECFR lainnya, Syaikh ‘Abd Allâh Bin Syaikh al-Mahfûdz bin Bayyah, dalam kitabnya 102 Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât memberikan kompilasi

99 Mathias Rohe, “The Formation of a European Syari’a,” hlm. 179-180. 100 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimat Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al-Syurûq, 2001), hlm. 76-154. 101 ‘Azâm al-Tamîmî, “Nahnu Munthalaqât Insâniyyah li al-Ta‘âmul ma‘a al-Mujtama‘ al-Gharbî, dalam Majdî ‘Aqîl Abû Shamâlah (ed.), Risâlah al-Muslimîn fî Bilâd al-Gharb (Arbad: Dâr al-Amal li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 2000), hlm. 149-150, 152. 102 ‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfudz Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al- Aqalliyyât (Lubnân, Bairût: Dâr al-Minhâj, 2007), hlm. 228-464.

95 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

beberapa problematika hukum yang telah diberikan fatwa oleh ECFR, mulai dari hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk, sampai pada masalah ekonomi, seperti masalah asuransi, bunga bank, dan sebagainya. Walaupun hukum keluarga dan masalah ekonomi telah banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh, baik yang klasik maupun yang kontemporer, konteks masalah inilah yang memungkinkan fatwa fiqh al-aqalliyyât berbeda dengan fiqh pada umumnya. Problematika hukum yang dihadapi oleh masyarakat muslim

di Barat memang unik dan berbeda dengan masalah hukum yang muncul di negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Ia bersifat unik karena permasalahan hukumnya belum pernah

muncul di negara-negara Islam atau negara muslim dan bersifat berbeda karena perbedaan konteks sosial, budaya, politik, dan hukum dibandingkan dengan negara-negara Islam atau negara

muslim. Karena itu, masyarakat muslim di Barat berhak mendapat- kan atensi khusus dari pemerintah atau negara dalam upaya menggapai hak mereka sebagai warga negara dan juga berhak

mendapatkan perhatian khusus serta solusi yang bijak dari para ulama dan sarjana muslim ketika berkehendak memberikan fatwa dan panduan hukum.

2. Sikap Pemerintahan Amerika dan Inggris Para sarjana yang menggeluti kajian tentang muslim di Barat

akan sepakat bahwa melalui tuntutan masyarakat minoritas muslim, rekonsiderasi peranan agama dalam domain kebijakan publik mulai mendapatkan perhatian besar dari negara di Eropa.103

Kenyataan serupa juga telah terjadi di Amerika; Islam dan masyarakat muslim menjadi wacana publik dan kajian khusus

103 Eren Tatari, “Theories of the State Accommodation of Islamic Religious Practices in Western Europe,” dalam Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 35, No. 2, Februari 2009, hlm. 271.

96 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

pemerintah yang berkehendak membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kelompok minoritas, termasuk minoritas muslim, dan dunia Islam secara umum. Dengan demikian, diskursus tentang akomodasi negara-negara Barat atas masyarakat minoritas muslim menjadi kajian yang marak dan menarik. Eren Tatari menyatakan bahwa ada empat teori yang diguna-

kan para cendekiawan dalam menjelaskan mengapa dan bagaimana akomodasi negara atas masyarakat minoritas muslim tersebut: (1) Resource mobilisation theory (teori mobilisasi sumber daya),

yang menyatakan bahwa sumber daya politik masyarakat muslim menentukan tingkat konsesi (pengakuan) yang dihasilkan; (2) Political opportunity structure theory (teori struktur kesempatan

politik), yang menekankan pengaruh institusi-institusi politik atas kapasitas aktivisme politik masing-masing kelompok; (3) Ideo- logical theories (teori ideologis), yang menegaskan bahwa yang

paling utama menentukan respons pemerintah adalah cita-cita nasional tentang kewarganegaraan, kebangsaan, dan asimilasi; dan (4) Church-state relations theory (teori hubungan gereja-negara),

yang membantu menjelaskan relasi antara negara dan masyarakat minoritas muslim.104

Dalam realitasnya, keempat teori tersebut saling berkaitan dan melengkapi, karena faktor-faktor sosial, politik, ideologis, dan budaya yang dikandung dalam teori-teori tersebut memiliki peranan penting dalam setiap pembuatan kebijakan publik, ter- utama kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat muslim minoritas di mana isu-isu kebijakan yang paling utama biasanya berkaitan dengan masalah politik (misalnya kewarganegaraan/ naturalisasi, representasi politik), ekonomi (pengangguran, kebijakan kesejahteraan), sosial (stigmatisasi sosial dan diskri-

104 Ibid., hlm. 271-272.

97 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

minasi), dan agama (pemakaman Islam, pakaian Islami).105 Problematika yang berkaitan dengan agama, khususnya hukum Islam, sangat banyak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Amerika dan Inggris sebenarnya telah berupaya mencari solusi terhadap problematika hukum Islam di atas sebagai konsekuensi dari kewajiban negara memproteksi hak-hak

minoritas. Namun demikian, karena persoalan aplikasi hukum Islam sangat kompleks dari sisi jumlah dan macamnya, maka ia membutuhkan kajian dan kebijakan yang komprehensif sehingga

tidak melahirkan konflik baru dalam kehidupan mereka.

Di Amerika, posisi Islam secara normatif adalah sama dengan agama-agama lainnya. Dalam amandemen pertama terhadap konstitusi Amerika yang merupakan bagian dari United States Bill

of Rights dinyatakan “Congress shall make no law respecting an establishment of religion or prohibiting the free exercise thereof” (Kongres tidak akan membuat hukum yang berkenaan dengan pendirian agama atau melarang pelaksanaannya). Klausa hukum ini memang sangat terbuka terhadap berbagai interpretasi,106 bahkan melahirkan perdebatan panjang ketika dikonfirmasi dengan realitas peraturan-peraturan yang secara hierarkis berada di bawah amandemen tersebut di atas.107 Tetapi, bagaimanapun, klausa tersebut menjadi landasan normatif tertinggi kemerdekaan dan kebebasan beragama di Amerika.

105 Ibid., hlm. 272. 106 Asim Jusic, “Economic Analysis of the Legal Regulation of Religion in the US and Germany,” makalah pada Central European University, dapat diakses di www.papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/SSRN_ID1031680_code693708. pdf?abstractid=1031680&mirid=1; penjelasan lebih detail tentang makna konstitusi ini dijelaskan dengan baik dalam situs wikipedia, bisa didapatkan di http://en.wikipedia.org/wiki/First_Amendment_to_ the_United_States_Constitution. 107 Lihat, Imad-ad-Dean Ahmad, “American and Muslim Perspectives on Freedom of Religion,” dalam University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 8, No. 3, Mei 2006.

98 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Dalam perkembangannya, kebijakan Amerika terhadap Islam dan muslim yang tinggal di Amerika memang senantiasa mengalami pasang surut sejalan dengan faktor sosial-politik yang terjadi. Sebut saja misalnya tentang lahirnya Anti-terrorism and Effective Death Penalty Act (Undang-undang Anti-terorisme dan Hukuman Mati) atau yang lebih dikenal dengan Secret Evidence Act pada masa pemerintahan Clinton, US Patriot Act (Undang- undang Patriot Amerika Serikat) yang ditandatangani George W. Bush Jr. pada tanggal 26 Oktober 2001 yang kemudian diperbarui dengan Patriot Improvement and Reauthorization Act Of 2005 (Undang-undang tahun 2005 tentang Pengembangan dan Reotorisasi Patriot) yang ditandatangani Bush pada tanggal 9 Maret 2006, merupakan undang-undang yang dalam satu sisi menempatkan muslim di Amerika sebagai pihak yang “dicurigai”,

tapi pada sisi lain sebenarnya tetap memberikan ruang bagi muslim Amerika untuk menunjukkan sisi progresif Islam.108 Ruang untuk hukum Islam sebagai bagian dari praktik keberagamaan juga

memiliki tempat yang dilindungi kebebasannya oleh negara.

Pada tataran praktik, Amerika mendukung peran sarjana muslim Amerika yang memiliki visi moderat dalam memahami Islam yang diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan antara

Amerika dan Islam. Diakomodasinya sarjana seperti Khaled Abou El Fadl, M. Muqtedar Khan, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, dan beberapa sarjana lainnya dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan Islam di Amerika adalah suatu bukti atas perhatian pemerintahan Amerika terhadap Islam. Meskipun demikian, hal ini tidak menegasikan masih adanya tensi konflik antara “ajaran” Islam dan nilai-nilai politik dan sosial budaya yang dianut oleh

108 Lihat, Mohamed Anshary, “The Future of Islam in North America The Central Importance of Education,” dalam http://www.readingislam.com/servlet/ Satellite?c=Article_C&cid=1153698300176& pagename=Zone-English- Discover_Islam%2FDIELayout, diakses tanggal 20 Maret 2009.

99 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

mayoritas penduduk Amerika. Inilah yang menjadi tantangan sarjana muslim kontemporer untuk menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat.

Sementara itu, dalam konteks negara Inggris dapat dikatakan bahwa upaya-upaya pemerintah Inggris sebenarnya telah dimulai tahun 1764 ketika pengadilan Inggris dalam kasus R v. Morgan

memperkenankan seorang muslim bersumpah dengan mengguna- kan al-Qur’ân ketika memberikan kesaksian di pengadilan. Upaya lainnya adalah undang-undang penyembelihan ternak (Slaughter

of Poultry Act 1967, s. 1 dan Slaughterhouses Act 1974, s. 36) yang memperkenankan cara penyembelihan yang Islami dalam upaya memenuhi permintaan daging halal (halal meat) bagi

masyarakat minoritas muslim.109

Upaya memberikan ruang bagi minoritas muslim untuk menjalankan ajaran agama terus berjalan seiring dengan tuntutan sosial dan kesadaran politis pemerintah di satu pihak dan masyarakat minoritas muslim di pihak lain. Pada tahun 2000, misalnya, Uni Eropa membuat Charter of Fundamental Rights yang ditandatangani di Nice, yang berisikan komitmen Uni Eropa untuk melindungi hak-hak asasi, termasuk kebebasan beragama dan hak-hak kelompok minoritas.110 Lahirnya Race Directive

109 Masalah halal food ini layak untuk mendapatkan regulasi khusus karena sampai saat ini trend kebutuhan atas makanan halal ini terus naik secara signifikan. Penelitian yang dilakukan di Perancis menunjukkan trend ini secara positif sebagai potret dari fenomena yang sama di wilayah lainnya di Barat. Lihat, Karijn Bonne, Iris Vermeir, Florence Bergeaud-Blackler, Wim Verbeke, “Determinants of Halal Meat Consumption in France,” dalam British Food Journal, Vol. 109, No. 5, 2007, hlm. 367-386. 110 Sara Silvestri, “Muslim Institutions and Political Mobilization,” dalam Samir Amghar et.al (eds.), European Islam Challenges for Public Policy and Society (Brussels: Centre for European Policy Studies, 2007), hlm. 175. Lebih lengkapnya tentang data ini baca Sara Silvestri “EU Relations with Islam in the Context of the EMP’s Cultural Dialogue”, dalam Mediterranean Politics, Vol. 10, No. 3, November, (2005), dan Sara Silvestri, “Europe and Political Islam: Encounters of the 20’th dan 21’st Century”, dalam Tahir Abbas (ed.) Islamic Political Radical-

100 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

(2000/43/EC) yang menjamin non-diskriminasi atas dasar ras dalam bidang pekerjaan dan provisi harta pribadi dan harta sosial, dan juga The Framework Directive (2000/78/EC) yang men- syaratkan tiadanya diskriminasi atas dasar agama dalam bidang pekerjaan dan pelatihan memberikan landasan normatif lainnya atas eksistensi minoritas muslim.111 Di Inggris, peran negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan saat ini telah ditangani oleh lembaga khusus, yakni Ministerial Department of Commu- nities and Local Government. Sebelumnya, urusan keagamaan disatukan dengan urusan ras dan etnis dan ditangani oleh The 112 Office of Race Relations. Dengan demikian, secara normatif hak hidup mereka dijamin

dan dilindungi, termasuk hak beribadah dan menjalankan agamanya. Hanya saja, dalam tataran praktis, upaya pengakuan atas eksistensi hukum Islam belum kunjung datang sampai saat

ini, dengan alasan bahwa undang-undang proteksi anti-diskri- minasi kelompok minoritas baru berlaku untuk minoritas etnis, dan bukan minoritas agama.113

Undang-undang yang bernama Race Relations Acts ini dianggap melahirkan ketidakadilan ketika dalam realitanya Inggris mengakui Sikh, Yahudi, Gypsy sebagai etnis sehingga hukum

ism: A European Comparative Perspective (Edinburg: Edinburgh University Press, 2007), hlm. 57-70.

111 Maleiha Malik, “Accomodating Muslims in Europe Opportunities for Minority Fiqh,” dalam ISIM NEWSLETTER, No. 13, Desember 2003, hlm. 10.

112 Bernard Godard, “Official Recognition of Islam,” dalam Samir Amghar et.al (eds.), European Islam Challenges, hlm. 195.

113 Inggris sebenarnya telah mengakui secara de facto dan de jure bahwa negara ini merupakan negara multi-etnik, multi-religius, multi-komunal, multi-kulturan, dan multi-rasial. Undang-undang tentang Ras (Race Relations Acts) tahun 1965, 1968, dan 1976 menjadi bukti atas hal ini. Sayangnya, minoritas muslim di Inggris telah dikonstruk sebagai kelompok budaya dan bukan sebagai kelompok etnis sehingga minoritas muslim tidak masuk dalam kategori ras yang mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur oleh undang-undang tersebut.

101 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

“etnis”-nya diakui dan berlaku bagi mereka, sementara hukum Islam secara resmi tidak diakui keberlakuannya. Karena didesak oleh kepentingan lahirnya hukum Islam untuk menyelesaikan masalah keberagamaan masyarakat minoritas muslim, maka muncullah pengadilan Syari’ah informal yang menyelesaikan masalah atau sengketa hukum personal yang terjadi di kalangan mereka atas dasar hukum Islam, karena memang belum ada 114 pengakuan pemerintah atas hukum kekeluargaan Islam. 3. Lahirnya Lembaga Fatwa dan Kajian Hukum Islam Mengamati banyaknya permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat, muncullah beberapa lembaga atau organisasi yang secara khusus memberikan layanan fatwa dan riset dalam bidang aplikasi hukum Islam di Barat. Yang paling prominent (terkenal) dan menjadi perhatian publik adalah ECFR di Inggris yang didirikan oleh Yûsuf al-Qaradhâwî dan FCNA yang didirikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî. Dua organisasi ini menjadi paling terkenal karena aktivitas-

nya yang secara khusus menggagas perlunya fiqh khusus untuk masyarakat muslim minoritas dan memberikan layanan umum, baik secara on-line melalui jaringan internet maupun off-line, yaitu

langsung ke kantor lembaga untuk menyampaikan problematika

114 Ihsan Yilmas mengupas secara tuntas realitas ketidakadilan seperti ini. Menurutnya, Inggris menganut social pluralism, tapi tidak legal pluralism. Social pluralism yang dianutnya masih diskriminatif dan berstandar ganda. Minoritas muslim diharapkan untuk beradaptasi dengan budaya Inggris, tetapi tidak diimbangi dengan pengakuan negara atas hak-hak warga minoritas muslim. Menurut Ihsan Yilmas, fakta ini ironik dan berlawanan dengan harapan integrasi dan asimilasi yang sesungguhnya. Karena keinginan untuk menjalankan hukum Islam masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslim UK, maka dalam kesehariannya mereka tetap merujuk pada hukum Islam. Seringkali masalah- masalah hukum yang mereka hadapi diselesaikan oleh pengadilan agama tidak resmi dengan menggunakan hukum Islam, misalnya masalah pernikahan, talak, rujuk, dan warisan. Lihat, Ihsan Yilmas, “Muslim Law in Britain: Reflections in the Socio-Legal Sphere...”, hlm. 353-360. Open Society Institute, “The Situation of Muslims in the UK”, hlm. 411.

102 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

hukum yang dihadapi minoritas muslim. Fiqh ini akhirnya dikenal dengan istilah fiqh al-aqalliyyât. Berkenaan dengan hal ini, al- 'Alwânî menegaskan:

“There is a (legal) field known as “Muslim Minorities Juris- prudence” (Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah) for (those) who live in different reality than that of Muslims residing in Islamic countries ... we as a Muslim minority have decided to examine the reality of these communities and make legal decisions for them, since the problems we face as minorities are very different from those a Muslim faces in an Islamic country.”115

ECFR atau dalam bahasa Arab dikenal dengan Al-Majlis al-

Urûbi li al-Iftâ’ wa al-Buhûth didirikan oleh 15 sarjana muslim di London pada tanggal 29-30 Maret 1997 dengan mengangkat Yûsuf al-Qaradhâwî sebagai ketua. Tujuan lembaga ini adalah memberi-

kan saran dan fatwa kepada al-Mustaghrabûn, imigran muslim di Barat berkenaan dengan problematika hukum yang dihadapi sehingga mereka memiliki pandangan yang seragam dan tidak

dibingungkan lagi dengan perbedaan pendapat para fuqaha yang sangat banyak dan beragam. Dalam situs resminya di internet, ECFR ini menyatakan sebagai berikut:

The Council shall attempt to achieve the following aims and objectives:

1. Achieving proximity and bringing together the scholars who live in Europe, and attempting to unify the jurisprudence views between them in regards with the main Fiqh issues.

115 Artinya: “Ada satu bidang hukum yang dikenal dengan “Hukum Islam untuk Minoritas Muslim” (Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah) untuk mereka yang tinggal dalam realitas yang berbeda dari realitas muslim yang tinggal di negara-negara Islam…kami sebagai minoritas muslim telah memutuskan untuk menguji realitas masyarakat minoritas ini dan membuat putusan hukum untuk mereka, karena problem-problem yang kami hadapi sebagai minoritas adalah sangat berbeda dari problem-problem yang dihadapi seorang muslim di negara Islam.” Lihat, www.alsharqalawsath.com, seperti yang dikutip dari Shamai Fishman dalam www.prisma.com.

103 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

2. Issuing collective fatwas which meet the needs of Muslims in Europe, solve their problems and regulate their interaction with the European communities, all within the regulations and objectives of Syari’a.

3. Publishing legal studies and research, which resolve the arising issues in Europe in a manner which realizes the objectives of

Syaria and the interests of people.

4. Guiding Muslims in Europe generally and those working for Islam particularly, through spreading the proper Islamic concepts and decisive legal fatwas.116

Di samping memberikan fatwa, lembaga ini juga terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, seperti pembagian zakat, penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan, dan penentuan shalat Jum’at. Program-program insidental yang berkaitan dengan bangunan sosial budaya masyarakat minoritas muslim di Eropa juga menjadi agenda yang lazim diadakan. Pada tahun 1999, lembaga ini semakin menguat dan men-

dapatkan dukungan dari banyak sarjana di luar Eropa. Lembaga ini sekarang memiliki 38 anggota yang tidak hanya berasal dari Inggris, tetapi juga dari beberapa negara lainnya, baik dari Amerika

116 Artinya: “Lembaga ini akan merupaya menggapai maksud dan tujuan sebagai berikut: (1) mencapai keakraban dan kebersamaan sarjana-sarjana yang tinggal di Eropa, dan berupaya untuk menyatukan pandangan-pandangan hukum di kalangan mereka yang berkaitan dengan permasalahan fiqh; (2) Mengeluarkan fatwa kolektif yang memenuhi kebutuhan masyarakat muslim di Eropa, menyelesaikan persoalan- persoalan mereka dan mengatur interaksi mereka dengan masyarakat Eropa, yang semuanya berada dalam koridor aturan dan tujuan syari’ah; (3) menerbitkan studi-studi dan penelitian hukum, yang menyelesaikan problematika yang sedang muncul di Eropa dengan cara yang bisa merealisasikan tujuan syari’ah dan kepentingan manusia; (4) membimbing umat Islam di Eropa secara umum dan mereka yang bekerja untuk Islam secara khusus melalui penyebaran konsep- konsep Islam dan fatwa hukum yang penting. Lihat, http://www.e-cfr.org/en/ ECFR.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

104 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

maupun Timur Tengah.117 Kombinasi anggota dari berbagai negara ini menurut Mathias Rohe sangat bersifat politis, yakni untuk menghantam pandangan yang mempertanyakan keabsahan fatwa yang dibuat di luar negara Islam.118

Beberapa fatwa dari lembaga ECFR telah dibukukan oleh ketua ECFR itu sendiri, Yûsuf al-Qaradhâwî, dalam bukunya Fî Fiqh al-

Aqalliyyât al-Muslimât Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ 119 dan oleh Bin Bayyah dalam bukunya Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât.120 Beberapa fatwa baru lainnya bisa di-

dapatkan di situs resmi ECFR, http://www.e-cfr.org/en/ dan situs Bin Bayyah, http://www.binbayyah.net/. Yang menarik dari fatwa- fatwa ECFR ini adalah pernyataan tegasnya bahwa metodologi

pengambilan fatwanya selain didasarkan pada empat madzhab hukum Islam yang sudah terkenal itu, juga diambil dengan pertimbangan situasi lokal dan maqâshid al-syarî‘ah. Dinyatakannya, “The aims

and objectives of Syari’a must be taken into consideration, whilst the outlawed deceptions and crooked solutions which contra- dict the aims of Syari’a, are to be avoided in all cases.121

Kalau di Eropa ada ECFR yang menjadi lembaga hukum Islam yang sangat proaktif, di Amerika ada FCNA, lembaga hukum Islam yang didirikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî. Lembaga ini, dalam

117 Lihat, http://www.e-cfr.org/en/index.php?ArticleID=305, diakses tanggal 11 Mei 2009. 118 Mathias Rohe, “The Formation of a European Syari’a,” dalam Malik (ed.), Muslims in Europe–From Margin to Center (Erlangen: Münster, 2004). 119 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimat Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al-Syurûq, 2001). 120 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât (Lubnân, Bairût: Dâr al- Minhâj, 2007). 121 Artinya: “Maksud dan tujuan syari’ah harus dijadikan konsiderasi, sementara kesalahan-kesalahan yang terlarang dan solusi yang menyalahi hukum yang bertentangan dengan maksud syari’ah harus ditolak dalam semua kasus.” Lihat, http://www.e-cfr.org/en/ECFR.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

105 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

situs resmi internetnya, yaitu http://www.fiqhcouncil.org, meng- identifikasi diri dengan menyatakan:

“The Fiqh Council of North America traces its origins back to the Religious Affairs Committee of the then Muslim Students Association of the United States and Canada in the early 1960s. This Religious Affairs Committee evolved into the Fiqh Committee of the Islamic Society of North America (ISNA) after the founding of ISNA in 1980. As the needs of the Muslim community and the complexity of the issues they faced grew, the Fiqh Council was transformed into the Fiqh Council of North America in 1986.The Council continues to be an affiliate of ISNA, advising and educating its members and officials on matters related to the application of Syari’ah in their individual and collective lives in the North American environment.”122

Terma syari’ah dalam kutipan di atas tidak secara sempit diartikan dengan fiqh seperti yang biasa dipahami sebagai aturan

hukum Islam, tetapi mencakup keseluruhan aspek keislaman yang dihadapi muslim Amerika, termasuk tentang terorisme, politik, dan sosial. Dalam mengkaji dan menjawab persoalan keislaman,

lembaga ini didukung oleh 19 anggota yang semuanya sarjana muslim kenamaan yang tinggal di Amerika Utara. Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî sendiri sekarang tidak aktif lagi di lembaga ini, walaupun

ide-idenya tentang perlunya fiqh minoritas ini terus digulirkan. Yang menggantikan posisinya sebagai ketua saat ini (hingga kajian ini disusun) adalah Muzammil Siddiqi.123

122 Artinya: “Lembaga Fiqh Amerika Utara memosisikan asal-usulnya pada Komite Urusan Agama dari lembaga Asosiasi Pelajar Muslim Amerika dan Kanada pada tahun 1960-an. Komite Urusan Agama ini berkembang menjadi Komite Fiqh Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) setelah terbentuk pada tahun 1980. Karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim dan kompleksitas persoalan mereka berkembang, maka Lembaga Fiqh ditransformasikan pada Lembaga Fiqh Amerika Utara (FCNA) pada tahun 1986. Lembaga ini masih terus berafiliasi pada ISNA, menyarankan dan mendidik anggota dan stafnya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan aplikasi syari’ah dalam kehidupan pribadi dan kolektifnya dalam wilayah Amerika Utara.” http://www.fiqhcouncil.org/AboutUs/tabid/175/ Default.aspx, diakses pada tanggal 11 Mei 2009. 123 http://www.fiqhcouncil.org/

106 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Masyarakat Minoritas Muslim di Barat dan Problematika Hukum Islam

Kedua lembaga tersebut di atas menarik karena ia menjadi lembaga fiqh yang berbeda dengan kebanyakan lembaga fiqh lainnya yang bersifat eksklusif, tradisional, dan berpaham salafi- wahabisme. Kedua lembaga ini menawarkan paham keislaman yang bersifat inklusif, progresif, dan akomodatif. Fatwa-fatwa dan pendapat hukum yang disampaikannya memberikan jalan mudah bagi minoritas muslim di Barat dalam menjalankan ajaran agamanya. Inilah yang kemudian diadvokasi dan dipromosikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwi dengan istilah fiqh al-aqalliyyât yang sampai saat ini mendapatkan banyak pujian 124 dan dukungan dari beberapa sarjana muslim progresif, sekaligus menuai banyak kritik dari beberapa kelompok muslim fundamen- talis. 125 Terlepas dari kontroversi serta pujian dan kritik atas fiqh

124 Sarjana dan cendekiawan yang tergabung dalam IIIT (International Institute of Islamic Thought) yang berpusat di Virginia, FCNA yang berpusat di Amerika Utara, ECFR yang berpusat di London, dan ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) yang berpusat di Leiden adalah para penggagas, pemikir, dan pendukung kuat fiqh al-aqalliyât ini. 125 Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî dalam ceramah maulid yang disampaikan pada 16 Mei 2003 mengkritik fiqh al-aqalliyât ini sebagai upaya mengubah atau mengorupsi syari’ah yang sangat mengkhawatirkan masa depan Islam itu sendiri. Lihat, Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, “Mawlid Khutbah: Fiqh of Minorities is the Most Recent Means of Playing with Allah’s Dîn,” Mei 2003, 4, diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.nottsnewsmuslim. com/Bouti_mawlid%20Khutbah.pdf, diakses tanggal 27 April 2008. Lebih lanjut, dalam kesempatan lain al-Bûthî menyatakan bahwa fiqh of minorities merupakan upaya memecah belah Islam, meruntuhkan satu Islam global menjadi beberapa Islam lokal yang berkeping-keping untuk kemudian dibenturkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, menurutnya, fiqh of minorities ini adalah bagian dari perang ideologi. Lihat, Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Bûthî, “Fiqh of Minorities,” diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.marifah.net/articles/ Bouti_MinorityFiqh.pdf, diakses tanggal 27 April 2008; Lihat juga buku Asif K. Khan, The Fiqh of Minorities—the New Fiqh to Subvert Islam (London: Khilafah Publications, 2004) yang menyebutkan bahwa fiqh al-aqalliyât adalah sebuah bentuk bid’ah yang merusak Islam. Di samping kritik keras seperti disebut di atas, ada pula kritik yang relatif halus, tapi juga berlawanan arah dengan para pengritik sebelumnya karena titik tekannya bukan pada motivasi adanya fiqh al-aqalliyyât, melainkan pada esensi dan karakternya. Tareq Oubrou, seorang imam di Perancis menyatakan bahwa syari’a de minorité (fiqh al-aqalliyyât) merupakan transnational

107 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

baru ini, banyaknya permasalahan yang dimintakan fatwa atau pendapat hukum terhadap dua lembaga ini menjadi indikator tingginya apresiasi masyarakat minoritas muslim akan fiqh al- aqalliyyât ini.

Dari ulasan di atas dapat dipahami bahwa masyarakat mino- ritas muslim di Barat tengah menghadapi permasalahan yang

kompleks, tidak hanya permasalahan yang berkaitan langsung dengan kelanjutan hidupnya sebagai manusia, tetapi juga dengan kehidupannya sebagai muslim. Pertemuan berbagai aspek

permasalahan aplikasi hukum Islam dalam kehidupan mereka secara sistemik telah mendorong lahirnya fiqh al-aqalliyyât.126

construct (konstruks atau bangunan transnasional) yang menurutnya “an adequate description of the legal status of Muslims in Europe (deskripsi yang layak untuk status hukum muslim di Eropa).” Oubrou lebih mengadvokasi upaya pembebasan hukum Islam dari klaim legalitasnya dengan cara memasukkan hukum Perancis ke dalam metabolisme dan tata kerja syari’ah ketimbang harus mendukung fiqh al-aqalliyyât yang meminta pengakuan hukum Islam dengan dalih pluralisme hukum. Lihat, Alexandre Caeiro, “An Imam in France Tareq Oubrou,” dalam ISIM NEWSLETTER, No. 15, Spring 2005, hlm. 48. 126 Disebut secara sistemik karena fiqh al-aqalliyyât ini lahir tidak hanya karena nash atau dalil hukum, dan bukan hanya karena ada peristiwa hukum yang seperti biasanya, melainkan karena ada faktor sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya yang berbeda dengan yang telah dialami oleh fiqh pada umumnya. Semuanya menjadi satu sistem yang diikat dengan keinginan mewujudkan tujuan syari’ah (maqâshid al-syarî‘ah), yakni terciptanya kebenaran, keadilan, kemaslahatan, dan keindahan. Bahasan tentang makna maqâshid al-syarî‘ah dijelaskan dalam bab 4 buku ini.

108 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 3 FIQH AL-AQALLIYYÂT BAGI MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM

A. Latar Belakang Lahirnya Fiqh al-Aqalliyyât Kehadiran fiqh al-aqalliyyât ini sesungguhnya berawal dari

akumulasi kegelisahan masyarakat minoritas muslim di Barat ketika harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan mereka. Di satu sisi, mereka harus taat pada ajaran agama yang

diyakini sempurna1 dan dipilih oleh Allah sebagai panduan yang sesuai dengan fitrah manusia dalam menemukan kedamaian di dunia dan di akhirat,2 sementara di sisi yang lain ada ketidaksesuai-

an antara ketentuan-ketentuan fiqh klasik yang mereka pahami dan realitas sosial budaya di tempat mereka tinggal. Bagi mereka,

1 Surat 5 (al-Mâ’idah) ayat 3:

(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagimu).

2 Surat 30 (al-Rûm) ayat 30:

(Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada per- ubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui).

109 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kenyataan ini berarti bahwa melaksanakan ajaran agama yang mereka pahami akan menjadikan mereka teralienasi dari lingkung- an, sementara meninggalkan ajaran agama merupakan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan. Dari sini muncul pertanyaan tentang klaim universalitas Islam yang menyatakan bahwa segala aspek keislaman, baik yang berhubungan dengan aqidah, syari’ah, maupun akhlak merupakan perwujudan rahmat Allah yang bersifat 3 universal bagi semua hamba-Nya. Sebagai muslim, walaupun dalam posisi minoritas yang

terkepung dalam dominasi mayoritas yang berkeyakinan berbeda, mereka sadar akan beban taklîf yang dipikul sebagai mukallaf. Mereka memiliki kesadaran bahwa syari’at Islam adalah bagian

terpenting dari kehidupan dan mengetahui bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah serta memberikan panduan hidup di mana pun seorang muslim itu berada. Pentingnya agama

dalam kehidupan mereka dapat dilihat pada tabel 8.

3 Surat 21 (al-Anbiyâ’) ayat 107:

(Dan Tiadalah Kami mengutusmu [Muhammad], melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam). Al-Syâthibî menyebut ayat ini sebagai ayat yang menunjukkan bahwa penentuan syari’at memang dimaksudkan untuk kemaslahatan hamba-hamba Allah. Lihat, Abû Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah (Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 220. Sementara itu, Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ulama penerus al-Syâthibî, menyatakan bahwa karakter universalitas syari’ah dan kesesuaiannya (fleksibilitasnya) dengan segala tempat dan zaman merupakan kesepakatan ulama. Hanya saja belum ada penjelasan rinci tentang bagaimana wujud sesungguhnya dari karakter fleksibelitas tersebut di atas. Menurutnya, karakter universalitas hukum Islam dan kesesuaiannya dengan segala zaman dan tempat memilki dua konsekuensi logis: pertama adalah bahwa prinsip-prinsip dasar dan universalitas syari’ah Islam ini menjamin mampu diterapkan dalam berbagai macam keadaan tanpa adanya kesulitan dan penderitaan. Hal ini telah dibuktikan dengan beragamnya penafsiran para fuqaha’ atas suatu dalil hukum yang sama dalam menyelesaikan kasus hukum yang berbeda tempat dan masanya. Kedua adalah bahwa perbedaan kondisi masa dan masyarakat memberikan kemungkinan perbedaan hukum yang harus dijalankannya tanpa adanya kesulitan dan kesempitan. Lihat, Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah, hlm. 92-93.

110 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Permasalahan yang muncul kemudian adalah ketika hukum Islam yang mereka pahami tidak lagi bersifat adaptabel dan memudahkan sebagai pegangan hidup di negara Barat, tempat di mana mereka hidup dan mencari penghidupan. Sulitnya penerapan fiqh klasik dalam konteks ini melahirkan dua opsi ketika mereka harus tetap bertahan sebagai muslim yang baik: pertama adalah keluar dari negara Barat dan kembali ke negara Islam di mana hukum Islam yang mereka pahami bisa dijalankan dengan mudah. Kedua adalah melakukan reinterpretasi hukum Islam itu sendiri atas dasar keberanian dan semangat bahwa Islam itu memang sesuai dengan semua tempat dan waktu serta legal maxim (kaidah hukum) bahwa hukum Islam itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat dan bahwa eksistensi hukum itu tergantung ‘illat-nya.

Tabel 8.

Muslim dan Kristen Amerika

Komparasi Kristen diambil dari survei PEW.

111 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Pilihan pertama rata-rata dianut oleh ulama yang secara ketat melakukan dikotomisasi antara dâr al-Islâm (negara Islam) dan dâr al-harb (negara perang) dan menganggapnya bukan hanya sebagai teori sejarah masa lalu, melainkan sebagai kenyataan menyejarah yang berlangsung sampai saat ini. Dalam kaitannya dengan hal ini, Kathryn Miller memberikan contoh dan analisis terhadap fatwa fuqaha abad ke-15 di Granada yang mengharuskan 4 minoritas muslim berimigrasi ke teritorial muslim. Miller menyatakan bahwa para fuqaha dari madzhab Maliki pada abad itu cenderung mengambil pendapat yang keras bahwa tinggal di wilayah dâr al-Islâm adalah sebuah keharusan dalam upaya menggapai keselamatan dunia dan akhirat dengan pertimbangan bahwa tinggal di wilayah dâr al-harb berarti tunduk pada peme- rintahan yang tidak Islami dan akan menyulitkan umat Islam itu

sendiri dalam melaksanakan syari’atnya.5 Pendapat inilah yang dipakai oleh al-Haffâr (w. 811/1408), seorang mufti di Granada pada abad ke-15 ketika dimintai fatwa tentang keharusan imigrasi

ke dâr al-Islâm.6

Pilihan kedua banyak dianut oleh jumhur ulama dari madzhab Hanafiyyah, Syâfi‘iyyah, dan Hanâbilah yang memperbolehkan muslim bertempat tinggal di negara non-Islam sepanjang dapat

menjalankan kewajiban agamanya.7 Pendapat ini juga dielaborasi

4 Kathryn A. Miller, “Muslim Minorities and the Obligation to Emigrate to Islamic Territory: Two Fatwas from Fifteen-Century Granada,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 7, No. 2 (2000), hlm. 256-288. 5 Madzhab Imam Mâlikî dan Ibn Hazm dari madzhab Zhâhiriyyah berpendapat bahwa orang Islam, baik takut adanya fitnah maupun tidak takut, tidak diperbolehkan tinggal di negara non-Islam dengan dasar beberapa hadits, terutama hadits riwayat al-Turmudhî dan Abû Dâwûd “ana barî’un min kulli muslim yuqîmu bayna adzhar al-musyrikîn.” Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 281. 6 Miller, “Muslim Minorities and the Obligation to Emigrate to Islamic Territory,” hlm. 259, 266-279. 7 Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 281.

112 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

lebih lanjut oleh ulama yang menganggap bahwa dikotomi dâr al- Islâm dan dâr al-harb hanya pada tataran teoretis di masa silam.8 Kenyataan sejarah modern menunjukkan realitas yang berbeda, yakni tidak adanya negara yang resmi sebagai dâr al-harb karena tidak ada negara yang secara resmi menyatakan permusuhannya terhadap Islam. Yang ada saat ini adalah dâr al-‘ahd, negara yang berada dalam sebuah kesepakatan damai dan siap hidup ber- dampingan sesuai dengan syarat dan kesepakatan yang telah diterima. Karena itu, ruang beragama menjadi ruang privat yang dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah sehingga tidak ada alasan untuk tinggal di negara yang nota bene bukan sebagai dâr-al harb. Lebih lanjut, sarjana muslim kontemporer pada umumnya, seperti Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Yûsuf al-Qaradhâwî, Salah Sultan, dan Saeed Abdullah menganggap bahwa migrasi merupakan suatu keniscaya-

an sejarah dan sunnatullah (hukum alam) yang tidak bisa ditolak dan dibantah eksistensinya. Membatasinya berarti juga mem- batasi jalannya dakwah Islam yang seharusnya berjalan tanpa

dibatasi oleh ruang dan waktu sebagai manifestasi karakter ‘âlamiyyat al-Islâm (universalitas Islam).9

8 Khaled Abou El Fadl mengungkapkan bahwa perdebatan tentang dikotomi ini sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-2 H/8 M. Perdebatan pada masa ini berlanjut dan memberikan dampak yang sangat serius terhadap perspektif umat Islam masa berikutnya ketika berbicara tentang hijrah (imigrasi). Namun, sesungguhnya konstruksi sejarah sangatlah banyak dipengaruhi oleh konstruksi budaya, sosial, politik, dan faktor lainnya. Hal inilah yang meniscayakan per- kembangan pemikiran yang lebih variatif pada masa-masa berikutnya. Lihat, Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/ Eight to the Elevent/Seventeenth Centuries,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 1, No. 2 (1994), hlm. 141, 181. 9 Meskipun sarjana-sarjana kontemporer telah banyak yang bersikap moderat dan progresif, sampai saat ini pun masih ada ulama-ulama kontemporer yang masih bersikeras dengan dikotomi dâr al-Islâm dan dâr al-harb, walaupun pendapat mereka tidak sekaku ulama-ulama terdahulu. Sebagai contoh adalah Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Uthaymîn yang menyatakan bahwa imigrasi atau bepergian ke negara kafir adalah boleh dengan tiga syarat: pertama, yang bersangkutan memiliki bekal ilmu yang cukup sehingga tidak terjebak dalam perkara syubhat; kedua, memiliki mental beragama yang kuat; dan ketiga adalah

113 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut di atas, minoritas muslim yang tinggal di negara Barat adalah kenyataan yang semakin lama semakin berkembang. Mereka telah hidup bertahun- tahun dari satu generasi ke generasi yang lain. Ulasan pada bab 2 telah jelas menggambarkan eksistensi mereka, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan perkembangan demografisnya. Problema- tika hukum Islam yang mereka hadapi menjadi unik bukan hanya karena perbedaan wilayah dengan mayoritas dâr al-Islâm yang meniscayakan perbedaan waktu, cuaca, dan musim yang bisa jadi berimplikasi pada kesulitan pengaturan jadwal ibadah, melainkan juga karena perbedaan kebijakan hidup berbangsa dan bernegara yang mengharuskan adanya dialog, proses adaptasi, ataupun asimilasi. Fiqh klasik tidak mampu secara jelas dan tegas menjawab persoalan-persoalan hukum Islam yang mereka hadapi, karena

fiqh klasik ditulis pada masa lampau di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Problematika modernitas yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat dan kondisi psiko-sosial

yang dirasakan oleh mereka tidak mampu dibayangkan dan dirasakan oleh para fuqaha klasik. Karena itulah maka para sarjana muslim kontemporer yang peduli dan bahkan juga tinggal sebagai

minoritas di negara Barat berupaya melakukan reinterpretasi atas

dengan alasan yang tepat yang merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa diperoleh di negara Islam, seperti berobat atau mencari ilmu yang tidak bisa didapatkan di negara Islam. Lihat, Muhammad bin Shâlih al-‘Uthaymîn, Syarh Riyâdh al-Shâlihîn li al-Imâm al-Nawawî (Beirût: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2008), hlm. 15-16. Pandangan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Uthaymîn sesungguhnya reformulasi dari pandangan lama dari madzhab Hanâbilah yang diungkapkan oleh Imâm Ibn Muflih al-Hanbalî dalam kitabnya al-Adâb al-Syar‘iyyah, jilid 1, hlm. 191-192, yang menyatakan bahwa hukum asal datang ke negara kafir adalah haram, kecuali dengan tiga (3) alasan: dakwah, medis/berobat, dan menuntut ilmu untuk dimanfaatkan di negara asalnya. Lihat catatan kaki di Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Bûthî, “Mawlid Khutbah: Fiqh of Minorities is the Most Recent Means of Playing with Allah’s Dîn,” Mei 2003, 4, diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.nottsnewsmuslim.com/ Bouti_mawlid%20Khutbah.pdf.

114 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

nash hukum yang ada dengan piranti ijtihad yang terus digalakkan dalam upaya menemukan bentuk fiqh yang mampu menjawab permasalahan masyarakat minoritas muslim di Barat. Dari upaya inilah muncul fiqh al-aqalliyyât.10

B. Penggagas Fiqh al-Aqalliyyât: Membedah gagasan

Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî

Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî dianggap sebagai orang pertama yang mengenalkan nama fiqh al-aqalliyyât. Memang, problematika hukum Islam di kalangan minoritas telah

banyak terjadi sebelum nama fiqh al-aqalliyyât ini muncul, dan pendapat-pendapat hukum untuk masyarakat muslim minoritas pun banyak dan beragam. Namun, kedua tokoh inilah yang menggagas perlunya suatu bentuk fiqh yang khusus dan utuh dari sisi materi dan metodologisnya. Gagasan keduanya ini kemudian

10 Sebagai bagian dari bentuk kegelisahan dan kepedulian para cendekiawan muslim atas eksistensi minoritas muslim di Barat, ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) Leiden pada tanggal 23 Mei 2003 mengadakan seminar khusus dengan topik fiqh al-aqalliyyât yang dihadiri oleh tokoh-tokoh hukum Islam di Barat, seperti Abdullahi Ahmed an-Na’im, Lena Larsen, Muhammad Khalid Mas’ud, Sjoerd van Koningsveld, Ruud Peter, Nashr Hâmid Abû Zayd, dan lainnya. Mereka menyadari bahwa ada ketegangan antara fiqh klasik dan realitas dunia Barat, karena itu dibutuhkan upaya akademik yang serius untuk mengembangkan fiqh al-aqalliyyât yang mampu menjembatani kebutuhan normatif minoritas muslim di Barat. Lihat, Welmoet Boender, “Islamic Law and Muslim Minorities,” dalam ISIM NEWSLETTER,. No. 12, Juni 2003, hlm. 13. Di tempat lain, Association of Muslim Social Scientist (UK) mengadakan konferensi tahunan dengan tema Fiqh Today: Muslims as Minorities pada tanggal 20-21 Februari 2004, yang membahas fiqh al-aqalliyyât dari berbagai aspeknya. Narasumber dalam konferensi ini antara lain adalah Anas al-Shaikh-Ali, Mustafa CericLouay Safi, Mohamed MestiriBustami Khir, Tahir Mahdi, Soumaya Pernilla Ouis Akhmad al-Khatib, Charles Le Gai Eaton, Asmat Ali, Dilwar HusseinAhmad Thomson, dan Ihsan Yilmas. Mereka sepakat atas urgensi eksistensi fiqh al- aqalliyyât yang mencoba memadukan teks dengan konteks dengan piranti maqâshid al-syarî‘ah . Menurut mereka, fiqh al-aqalliyyât ini harus menjadi proyek bersama karena ia meniscayakan berbagai aspek sebagai konsiderasinya. Lihat, AMSSUK NEWSLETTER, No. 7, 2006, hlm. 1-6.

115 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

mendapat tanggapan luas sehingga menjadi diskursus publik, baik dalam bentuk kajian formal organisasi keagamaan maupun kajian akademis di berbagai perguruan tinggi dan lembaga keilmuan lainnya. Tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel pun tentang fiqh al-aqalliyyât mulai banyak diterbitkan, seperti tulisan Bin Bayyah, M. Khalid Mas’ud, Shammai Fishman, Mathias Rohe, dan Wahbah al-Zuhaylî.

Thâhâ Jâbir al-'Alwânî adalah sarjana kelahiran Iraq pada tahun 1935. Bidang akademik yang ditekuninya adalah ushûl al-

fiqh, dan memperoleh gelar doktor di bidang ini dari Universitas al-Azhar Mesir. Jabatan yang pernah dipegangnya dalam hubungannya dengan keahlian ini adalah sebagai dosen di berbagai

perguruan tinggi di Timur Tengah dan pengurus bermacam organisasi keagamaan. Dari Timur tengah, Taha Jabir pindah ke Amerika, negara di mana dia mengalami banyak perubahan sejak

bersentuhan langsung dengan dunia Barat. Kegiatannya dimulai ketika ia mendirikan IIIT (International Institute for Islamic Thought), SISS (School of Islamic Social Sciences) yang saat ini

telah berubah menjadi Cordova University, sampai pada FCNA (Fiqh Council of North America). Lembaga-lembaga yang didirikannya memiliki kepedulian yang nyata terhadap hubungan

Islam dengan modernitas, termasuk di dalamnya kehidupan Is- lam di Barat. Di lembaga-lembaga inilah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyalurkan gagasan-gagasannya terutama tentang perlunya fiqh al-aqalliyyât .

Menurutnya, kelompok minoritas saat ini menjadi perhatian dunia. Kepedulian terhadap nasib minoritas meningkat tajam melampaui kepedulian masa lampau, termasuk di dalamya kepedulian terhadap masyarakat muslim minoritas. Karena itulah dalam bukunya yang berjudul Toward a Fiqh for Minorities Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa bukan saatnya lagi menyelesai- kan permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat

116 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

minoritas muslim dengan menggunakan fiqh darurat (fiqh terpaksa), melainkan perlu dibuatkan fiqh khusus yang mampu mengakomodasi persoalan hidup.11 Lebih jauh lagi, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa persoalan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim bukan hanya berkaitan dengan hukum, melainkan juga berkenaan dengan masalah aqidah ( ), etika (akhlak), dan bahkan keseluruhan aspek hidup. Karena itulah, fiqh yang dibutuhkan adalah fiqh yang membahas keseluruhan aspek persoalan yang mereka hadapi. Inilah yang dikehendaki dengan fiqh al-aqalliyyât yang digagasnya.12

Gagasan perlunya fiqh al-aqalliyyât sudah diadvokasikan sejak tahun 1994, ketika Thâhâ Jâbir al-'Alwânî masih menjadi

ketua FCNA. Saat itu, persoalan hukum Islam mulai diungkap se- cara umum, salah satunya adalah bagaimana hukum muslim Amerika memilih pemimpin non-muslim dalam konteks peme-

rintahan Amerika. Jawaban fiqh klasik pada umumnya adalah tidak boleh. Tetapi, dibiarkannya pemilih muslim golput pada pilpres saat itu bukannya membawa kemaslahatan, melainkan kemadlarat-

an. Dalam konteks seperti inilah, Taha Jabir menyatakan bahwa perlu adanya fiqh khusus untuk minoritas muslim yang kemudian dinamakan fiqh al-aqalliyyât.13

Sementara itu Yûsuf al-Qaradhâwî adalah ulama yang sangat produktif menulis dan aktif memberikan fatwa-fatwa kontemporer, 14 baik melalui media audio-visual maupun media tulisan. Yûsuf

11 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. xii-xiii. 12 Ibid., hlm. 3; Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 97.

13 Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Minorities”, dalam ISIM Review, No. 11, 2002, hlm. 17; Lihat juga Shammai Fishman, Fiqh al-Aqalliyyât: A Legal Theory for Muslim Minorities, (Hudson Institut: Research Monograph on the Muslim World, Series No. 1, Paper No. 2, October 2006), hlm. 2. 14 Di antara tulisannya antara lain adalah al-Ijtihâd fî al-Syarî‘ah al-Islâmîyah ma‘a Nadzarât al Tahlîlîyah fi al-Ijtihâd al-Mu‘âsir (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1985), Fiqh al-Zakâh (Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1991), al-Shahwah al-Islâmîyah bayna al-

117 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

al-Qaradhâwî dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 dengan nama lengkap Yûsuf ‘Abd Allâh al-Qaradhâwî di desa Saft-Turab, sebuah desa yang saat ini terkenal dengan nama Tanta di Mesir. Talenta akademik dan kecerdasan intelektualnya terlihat sejak kecil ketika ia mampu menghafalkan al-Qur’ân pada usia 10 tahun. Prestasi akademiknya sampai jenjang pendidikan doktor dilalui dengan sangat baik. Pemikirannya menjadi referensi di berbagai dunia Islam. Yang menarik untuk dicatat adalah perkembangan pemikiran

Yûsuf al-Qaradhâwî yang oleh banyak pengamat dinilai mengalami pergeseran dari pemikiran yang konservatif menuju pemikiran yang moderat. Pandangannya yang dahulu tegas dan konservatif

dalam penentuan hukum Islam dan dalam menilai pola hubungan Islam dan Barat mulai melunak seiring dengan pengalamannya bertautan langsung dengan dunia Barat. Meskipun demikian,

komitmen keislamannya sangat kental terasa dan karena itulah dia berkeyakinan bahwa Islam bisa memberikan jawaban terhadap semua persoalan hidup termasuk apa yang dihadapi oleh

masyarakat minoritas muslim di Barat.

Bukunya yang berjudul Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimat— Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ berisikan

Juhûd wa al-Tatharruf (Kairo: Dâr al-Sahwah, 1992), Madkhal li al-Dirâsat al- Syarî‘ah al-Islâmîyyah (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993), al-Marji’îyah al-‘ulyâ fî al-Islâm li al-Qur’ân wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993), al- Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), al-‘Ibâdah fî al- Islâm (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), Malâmih Al-Mujtama‘ Al-Muslim Alladhî Nanshuduhu (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), Awlawîyyât al-Harakah al- Islâmîyyah fî al-Marhalah al-Qâdimah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), Fî Fiqh Awlâwiyyât Dirâsah Jadîdah fî D{aw’ al-Qur’ân wa al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), Fatâwâ Mu‘âsirah (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1998), al-Fiqh al- Muyâssar al-Mu‘âsir (Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1998), Nahwa Usûl al-Fiqh al-Muyâssarah, Kulliyat al-Syarî‘ah, 14, (Qatar: 2000), Fî Fiqh al-Aqalliyyât al- Muslimat— Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al- Syuruq, 2001), al-Sunnah Mashdaran li al-Ma‘rifah wa al-Hadhârah (Kairo: Dâr al-Shurûq, 2002), al-Madkhal li Dirâsat al-Sunnah al-Nabawîyyah (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004)

118 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

gagasan-gagasannya tentang hukum Islam dalam menjawab persoalan kontemporer minoritas muslim di Barat. Baginya, persoalan keberagamaan masyarakat minoritas muslim di Barat tidak bisa dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara mengirim- kan mereka kembali ke negara-negara muslim, karena sesungguh- nya masalah tersebut bukan terletak pada eksistensi mereka di Barat, melainkan karena kurang memadainya fiqh klasik menjawab permasalahan mereka. Karena itulah ECFR yang diketuainya berupaya memberikan fatwa-fatwa baru yang dihasilkan dari penelitian dan reinterpretasi hukum Islam.

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, fiqh al-aqalliyyât sesungguh- nya bukanlah sesuatu yang secara total baru dan bukan pula devi-

asi dari fiqh klasik yang ada, melainkan sebuah produk hasil reinterpretasi atas dalil-dalil yang ada atas dasar kemaslahatan yang memang menjadi spirit syari’ah. Fiqh al-aqalliyyât tampak

seperti hal yang baru karena ia dimunculkan di wilayah baru, yakni wilayah Barat.

C. Fiqh al-Aqalliyyât: Definisi dan Posisinya dalam Sejarah Perkembangan Fiqh Terma fiqh al-aqalliyyât ( ) terdiri dari dua kata: fiqh ( ) dan aqalliyyât ( ). Fiqh yang secara etimologi

dipadankan dengan kata al-fahm ( ) yang bermakna memahami, secara terminologi didefinisikan sebagai “mengetahui hukum- hukum Allah yang berkenaan dengan perbuatan para mukallaf,

baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh maupun mubah.” 15 Sementara itu, aqalliyyât yang secara etimologis ber- makna minoritas atau kelompok, merupakan suatu istilah politik

yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat dalam suatu

15 Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahîm al-Asnawî, Nihâyat al-Sûl Syarh Minhâj al-Wushûl fî ‘Ilm al-Ushûl (Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 11.

119 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

pemerintahan yang dalam hal etnis, bahasa, ras atau agama ber- beda dengan kelompok mayoritas yang berkembang.16

Secara terminologis, fiqh al-aqalliyyât oleh Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî didefinisikan sebagai:

‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfûdz bin Bayyah, salah seorang anggota dari ECFR, suatu lembaga fatwa dan riset di Eropa yang mengembangkan fiqh al-aqalliyyât, menyatakan bahwa ECFR secara sederhana mendefinisikan fiqh al-aqalliyyât dengan “hukum-hukum fiqh yang berhubungan dengan umat Islam yang hidup di luar negara Islam.”18 Menurutnya, penamaan fiqh khusus dengan istilah fiqh al-aqalliyyât sesungguhnya menuai per- debatan, tetapi ECFR menetapkan validitas istilah ini karena sesungguhnya dalam istilah kontemporer, istilah ini bisa dipahami 19 dengan baik.

16 Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 95-6; Lihat pula, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 164. 17 Artinya: “Satu bentuk fiqh yang memelihara keterkaitan hukum syar’i dengan dimensi-dimensi suatu komunitas, dan dengan tempat di mana mereka tinggal. Fiqh ini merupakan fiqh komunitas terbatas yang memiliki kondisi khusus, yang memungkinkan sesuatu yang tidak sesuai bagi orang lain menjadi sesuai bagi mereka. Cara memperolehnya membutuhkan aplikasi sebagian ilmu kemasyarakatan secara umum dan ilmu sosiologi, ekonomi, dan beberapa ilmu politik dan hubungan internasional secara khusus.” Lihat, Taha Jabir al-‘Alwani, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 97. 18 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 164. 19 Salah satu bentuk perdebatannya adalah tentang kata minoritas yang menempel dengan fiqh ini. Menurut Muhammad Khalid Mas’ud, kata minoritas di sini

120 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Dari definisi di atas jelas bahwa fiqh al-aqalliyyât tetap merupakan salah satu jenis fiqh yang merupakan bagian dari fiqh pada umumnya, hanya saja ia memiliki karakter khusus karena akan diterapkan pada masyarakat dengan karakter khusus, di tempat yang juga memiliki karakter khusus, yang berbeda dengan fiqh pada umumnya, yakni minoritas muslim di Barat. Dari sisi sumber hukum, fiqh al-aqalliyyât sama dengan fiqh pada umum- nya, yakni bersumber pada al-Qur’ân dan al-Hadîts, yang dibangun berdasarkan ijmâ‘, qiyâs, istihsân, al-mashâlih al-mursalah, sadd al-dharâ’i‘, ‘urf, dan dalil-dalil lain yang telah disampaikan oleh para ulama ushûl al-fiqh. Akan tetapi, dari sisi bentuk fiqh al- aqalliyyât merupakan bentuk yang baru karena pelaku hukumnya adalah masyarakat minoritas muslim yang memiliki karakter khusus, yang tidak dimiliki oleh mayoritas muslim lainnya.20

Yûsuf al-Qaradhâwî menjelaskan hakikat fiqh al-aqalliyyât

dengan menyebutkan empat hal untuk diperhatikan: pertama, umat Islam tidak hanya memerlukan fiqh sebagaimana dipahami

sangatlah problematik karena tiga hal: pertama, ketidakjelasan semantiknya memunculkan sub-nation dalam kerangka sebuah nation-state. Minoritas keagamaan malah lebih lemah lagi sub-nation tadi karena merupakan pecahan yang lebih kecil lagi; kedua, permasalahan minoritas ini berkaitan dengan situasi minoritas lainnya, seperti situasi minoritas non-muslim dan muslim di negara muslim; ketiga, kondisi minoritas muslim di Barat tidak sama dengan minoritas muslim di negara non-Barat, seperti India dan Cina. Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Minorities, dalam ISIM Review, No. 11, 2002, hlm. 2. 20 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 165. Hal ini berarti bahwa fiqh al-aqalliyyât ini adalah satu bentuk dari fiqh wâqi‘î (fiqh realitas) dan bukan fiqh nadzarî (fiqh konseptual/perspektif). Fiqh wâqi’î ini adalah ciri utama fiqh pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat di mana ketentuan hukum yang ada merupakan respons atau jawaban atas permasalahan riil yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, fiqh nadzarî adalah ciri-ciri fiqh yang berkembang pada masa imam madzhab yang tidak hanya menjawab permasalahan riil, tetapi juga jawaban atau kasus yang diandaikan terjadi. Lebih lengkapnya tentang ciri- ciri khas fiqh masa Nabi dan masa berikutnya bisa dibaca di Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al- Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathawwuruhu (Qâhirah: Mathba‘ah al-Mushhaf al-Syarîf bi al-Azhar, 1995), hlm. 24-72.

121 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

saat ini, yang hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat eksoterik agama dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu masalah yang bersifat esoterik, ruhaniah, batin, teologis. Masyarakat minoritas muslim membutuhkan fiqh khusus yang merangkum keseluruhan masalah keagamaan. Inilah yang menjadi substansi fiqh al-aqalliyyât. Kedua , masyarakat minoritas muslim adalah bagian dari umat Islam keseluruhan. Mereka sama dalam hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban keberagamaan. Hanya saja, mereka memiliki perbedaan dengan mayoritas umat Islam dalam hal ketundukan pada undang-undang negara di mana mereka ber- tempat tinggal, yang nota bene bukan negara Islam atau negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Karena itulah diperlukan perhatian khusus atas mereka dalam hal aplikasi hukum Islam

sehingga tidak berbenturan dengan kenyataan hidup mereka. Ketiga , walaupun fiqh al-aqalliyyât merupakan bagian dari fiqh secara umum, ia memiliki karakter yang berbeda dengan fiqh pada

umumnya. Fuqaha masa lalu yang telah menghasilkan karya-karya fiqh yang banyak dikenal saat ini, tidak pernah membayangkan kemungkinan percampuran bangsa-bangsa seperti saat ini melalui

gelombang imigrasi yang terjadi karena jarak antarnegara semakin dekat, dengan bantuan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, diperlukan suatu jenis fiqh khusus bagi

mereka yang menjadi minoritas di negara-negara Barat. Muncul- nya fiqh minoritas ini sesungguhnya merupakan hal yang biasa ketika munculnya fiqh kedokteran, fiqh ekonomi, dan fiqh politik

juga dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena memiliki karakter yang khusus. Keempat, eksistensi Islam di Barat menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan dakwah Islam sebagai

rahmat universal. Menegasikannya, meremehkannya atau bahkan tidak mempedulikan eksistensinya adalah bagian dari pelecehan terhadap kemuliaan Islam. Karena itu, pertanyaan tentang boleh-

122 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

tidaknya tinggal di negara kafir menjadi tidak relevan lagi untuk dipertanyakan. 21

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa di satu sisi, fiqh al-aqalliyyât ini merupakan fiqh dalam format khusus yang diperuntukkan bagi masyarakat minoritas muslim di Barat. Fiqh ini mempertimbangkan hubungan antara ajaran agama dan

kondisi masyarakat/lokasi di mana mereka tinggal, sehingga memiliki karakter dan produk hukum yang mungkin saja tidak bisa diterapkan pada komunitas di lokasi yang berbeda. Fiqh ini

sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk memberikan previlege (keistimewaan) atau konsesi pada masyarakat muslim minoritas, tetapi dalam rangka menempatkan minoritas muslim sebagai

model representatif dari masyarakat muslim di negara-negara tempat mereka tinggal.22

Pada sisi yang lain, fiqh al-aqalliyyât menjadi bentuk fiqh yang kandungannya meluas melebihi bentuk fiqh yang saat ini banyak dikenal dan dipahami. Fiqh dalam pemahaman kontem- porer adalah seperangkat aturan hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh, maupun mubah. Ranahnya jelas adalah ranah hukum murni. Dalam perkembangan studi-studi keislaman, dipisahkan antara wilayah fiqh, tawhîd (teologi), dan akhlâq (etika). Sementara itu, fiqh al-aqalliyyât tidak hanya mem- bicarakan masalah hukum murni, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan tawhîd (teologi) dan akhlâq (etika) yang semuanya dihadapi oleh masyarakat muslim minoritas di Barat. Karena itulah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa definisi fiqh al-aqalliyyât sebenarnya mengikuti definisi fiqh yang ber- kembang pada masa awal, yaitu fiqh yang bermakna pemahaman

21 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 30-34. 22 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. 3-4.

123 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

atas semua ajaran agama, seperti yang dipahami oleh Abu Hanîfah sebagai fiqh makro (al-Fiqh al-Akbar) yang menjadi nama salah satu karyanya yang isinya mencakup semua unsur ajaran agama.23

Dari penjelasan tentang konsepsi fiqh di atas, tampak jelas adanya perbedaan makna dan cakupan materi antara fiqh klasik dan fiqh al-aqalliyyât. Pertama adalah kembalinya fiqh pada

makna asalnya, pada awal-awal masa kodifikasi yang memiliki cakupan luas, tidak hanya terbatas pada masalah hukum murni, tetapi juga seluruh dimensi keislaman lainnya. Perbedaan kedua

adalah piranti metodologisnya yang berupa ijtihad dengan dasar- dasar baru, yaitu landasan maqâshid al-syarî’ah sebagai pen- dekatannya.

Fiqh al-aqalliyyât didesain untuk memberikan panduan

tentang hal-hal yang dilarang dan yang boleh bagi minoritas muslim yang tinggal di negara Barat, yang tidak bersistem pemerintahan Islami.24 Fiqh pada masa awal memang identik dengan syari’ah, meliputi segala dimensi ajaran agama. Pada perkembangannya, fiqh hanya berisikan hukum-hukum Islam murni, dengan tidak memasukkan bidang aqidah yang dianggap sebagai wilayah kajian teologis, dan akhlak yang berada pada wilayah kajian moral/etika. Perkembangan fiqh pada masa berikutnya terpengaruh oleh trend spesialisasi yang merupakan jargon profesionalisme di berbagai bidang sehingga melahirkan pembidangan yang lebih spesifik tentang wilayah kajian fiqh, seperti fiqh ibadah, fiqh mu’amalah, fiqh munakahat, fiqh siyasah,

23 Ibid., hlm. 3; Taha Jabir al-‘Alwani, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 97. 24 Pemaknaan fiqh secara sempit dan pembatasan (atau keterbatasan?) aplikasinya pada bidang-bidang tertentu yang bersifat privat dan bukan publik pada interval waktu yang sangat lama, dibahas dengan baik oleh Bernard G. Weiss dalam bukunya: The Spirit of Islamic Law (Athen and London: Georgia University Press, 1998), hlm. 172-186.

124 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

dan lain sebagainya.25 Fiqh aqalliyyât sebagai trend kontemporer kembali memadukan semua bidang itu.

Syaikh Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al-Haq, mantan Syaikh al-Azhar Mesir, secara detail menjelaskan tentang perkembangan fiqh secara umum ke dalam empat fase besar: fase pertama adalah masa Nabi Muhammad yang berakhir pada tahun 11 H; fase kedua

adalah masa sahabat dan para pembesar tâbi‘în mulai wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 M (abad ke-1 H) sampai dengan Oktober 749 M (132 H) atau 1/3 pertama abad ke-2 H; fase ketiga

adalah tâbi‘ al-tâbi‘în dan para pengikutnya mulai sepertiga pertama abad ke-2 H sampai dengan pertengahan abad ke-4, masa ketika madzhab-madzhab besar berdiri dengan tradisi kodifikasi

fiqhnya; fase terakhir adalah fase dominasi taqlîd mulai abad ke-4 H sampai saat ini.26 Pada fase pertama, kedua, dan bagian awal fase ketiga, fiqh menjadi istilah umum untuk semua pemahaman

keagamaan, dan baru pada masa berikutnya ia menjadi istilah khusus untuk hukum Islam yang mulai dipisahkan dalam pem- bidangannya dari tauhid dan akhlak. Pada fase taqlid, ketunduk-

annya pada karya fiqh era formatif tidak banyak melahirkan yang baru kecuali penafsiran dan pensyarahan atas karya yang sudah

25 Pemaknaan fiqh yang terpisah dengan aqidah, , dan akhlak tasawuf oleh sebagian kelompok dianggap sebagai sebuah kemajuan karena mengikuti pola spesifikasi dan profesionalisme, tetapi oleh kelompok lainnya ditentang karena telah membuat dikotomi dengan border line yang tebal sehingga Islam tidak bisa lagi didekati secara utuh. 26 Jâd al-Haq‘Alî Jâd al-Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathawwuruhu (Qâhirah: Mathba‘ah al-Mushhaf al-Syarîf bi al- Azhar, 1995), hlm. 17; Bandingkan dengan periodisasi perkembangan fiqh menurut M. Hashim Kamali, “Fiqh and Adaptation to Social Reality,” dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1 January, 1996, hlm. 66-68. Menurut M. Hashim Kamali, ada lima periode besar: periode Nabi (610-632 M), periode sahabat (632-661 M), periode tabi’in yang dimulai dengan naiknya dinasti Umayyah dan berakhir dengan runtuhnya dinasti tersebut (661-750 M), periode formasi madzhab-madzhab fiqh, dan periode taqlîd yang dimulai sekitar pertengahan abad ke -4 H.

125 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

mapan dengan pembidangan permasalahan keislaman yang lebih mendetail lagi.

Ketika fiqh harus berhadapan dengan realitas zaman yang berbeda, yakni masa modern dengan konteks Barat, muncullah fiqh al-aqalliyyât dengan semangat untuk menghidupkan ijtihad model baru dengan format fiqh yang berbeda dari mainstream

perkembangan fiqh akhir-akhir ini, karena upayanya untuk mencakup semua permasalahan keislaman dengan kiblat utama nilai-nilai universal Islam yang mengacu pada upaya merealisasi-

kan kemaslahatan.

Melihat materi permasalahan yang dibahas dalam fiqh al- aqalliyyât yang relatif baru dan dalam konteks yang belum dibahas oleh fiqh klasik, sesungguhnya ia bisa diposisikan sebagai bagian

dari fiqh al-nawâzil, yaitu fiqh realitas baru yang belum dibahas pada masa-masa perkembangan klasik hukum Islam.27 Fiqh al- aqalliyyât menjadi bagian dari fiqh ini karena ia membahas hal- hal baru dalam konteks khusus, yakni hukum Islam di negara-

27 Nawâzil secara etimologis merupakan bentuk plural dari nâzilah yang memiliki makna musibah (kejadian) luar biasa yang terjadi pada suatu masa dalam kehidupan manusia. Lihat, Hasan al-Karamî, al-Hâdi ilâ Lughat al-’Arab, jilid 4 (Lubnân: Dâr Lubnân li al-Thaba’ah wa al-Nashr, 1412), hlm. 284. Secara terminologis, al- nawâzil adalah kejadian-kejadian atau perisiwa yang membutuhkan fatwa atau ijtihad baru sebagai upaya penentuan status hukum syar’î-nya, baik kejadian itu berkaitan dengan hukum, akhlak maupun aqidah yang terjadi dalam peristiwa keseharian manusia. Ragam definisi tentang hal ini berikut juga penjelasan tentang prinsip-prinsipnya dapat dilihat dalam Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qathânî dalam karyanya: Manhaj Istinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah Dirâsat Ta’shîliyyat Tathbîqiyyat (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ’ li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 2003), hlm. 84-111. Dalam madzhab Hanafiyyah, nawâzil secara khusus dimaksudkan sebagai fatwa-fatwa atau kejadian-kejadian baru yang ketentuan hukumnya dibuat oleh ulama-ulama muta’akhkhirîn ketika ada permintaan, sementara mereka tidak mendapatkan rujukan riwayat dari ulama madzhab sebelumnya. Lihat, Muhammad bin Husayn bin Hasan al-Jîzânî, “al- Ijtihâd fî al-Nawâzil,” dalam al-‘Adl, No. 19, Rajab 1424 H, hlm. 14-15. Lihat pula Nuh Ha Mim Keller, “Which of the Four Orthodox Madzhabs has the Most Developed Fiqh for Muslims Living as Minorities?” dalam http://www. masud.co.uk/ISLAM/ nuh/fiqh.htm. Akses tanggal 23 Mei 2009.

126 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

negara Barat. Dalam membahas hal-hal baru inilah maka metodo- logi istinbâth (penetapan) hukumnya juga membutuhkan sesuatu yang baru, yakni pendekatan interdisipliner sehingga dihasilkan fatwa hukum yang berorientasi pada maqâshid al-syarî’ah.

D.Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas

Muslim

Mayoritas umat Islam berkeyakinan bahwa masyarakat minoritas muslim di Barat adalah bagian integral dari masyarakat muslim secara umum, yang disatukan dalam kata “ummah”.

Keyakinan ini tidak salah dan memiliki dalil nash yang sangat kuat, baik dari al-Qur’ân maupun al-Hadîts. Keyakinan ini menjadi pro- blematis ketika diikuti oleh keyakinan berikutnya bahwa mereka harus diatur oleh hukum Islam seperti yang berlaku di negara asalnya. Sementara itu, negara asal diharapkan untuk memberi- kan bantuan kemanusiaan, politik, dan finansial agar mereka tetap bisa bertahan hidup secara Islami. Keyakinan semacam ini menyiratkan dua hal utama: pertama, eksistensi mereka sebagai penduduk di negara Barat tidak diakui dan tetap dianggap sebagai pendatang sementara, walaupun telah hidup menetap antargene- 28 rasi. Kedua, mereka dianggap koloni dari dunia muslim. Meskipun demikian, keyakinan seperti ini banyak dianut oleh

minoritas muslim di Barat dan hal ini juga tetap mendapat dukung- an fatwa hukum dari para ulama yang nota bene tinggal di luar negara Barat atau tinggal di Barat, tetapi tidak memiliki keahlian

yang cukup tentang watak dan tabiat hukum Islam. Para ulama tersebut memperlakukan mereka seperti orang muslim yang berada di tanah jajahan non-muslim, yang lazim disebut dengan

28 Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Minorities, dalam ISIM Review, No. 11, 2002, hlm. 1. Lihat juga di WLUML Publication http:// www.wluml.org/english/pubsfulltxt. shtml?cmd[87]=i-87-531767. Akses tanggal 22 Mei 2009.

127 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dâr al-harb. Dalam konteks seperti ini, minoritas muslim di Barat merasa kebingungan karena hukum Islam yang mereka pahami ternyata tidak bisa atau tidak memungkinkan untuk serta merta diterapkan dalam konteks kehidupan di Barat. Di sinilah kehadiran fiqh al-aqalliyyât menemukan peranannya. Karena itu, urgensi fiqh al-aqalliyyât ini akan terasa apabila

kesulitan dan problematika hidup sebagai minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas non-muslim dapat dipahami dengan baik. Problematika sosial, politik, budaya, dan agama yang mereka

hadapi membutuhkan kajian khusus dan mendalam sebagai satu kesatuan masalah. Fiqh al-aqalliyyât akan menjadi jawaban atas masalah ini apabila ia mampu menjadi serangkaian aturan yang

utuh bagi kehidupan keagamaan masyarakat minoritas muslim, yang menurut istilah Shikh Muhammad Yacoubi, seorang guru di American Zaytuna Institute, adalah “torn between their devo-

tion to Islam and their need to integrate to some degree into American society.”29 Pendekatan teks tentu tidak cukup mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Pendekatan multi-

disipliner dengan metodologi yang komprehensif dalam berijtihad akan membantu memberikan solusi yang tepat bagi mereka. Pola berpikir seperti inilah yang melahirkan fiqh al-aqalliyyât.

Yûsuf al-Qaradhâwî menyebutkan tujuh tujuan penyusunan fiqh al-aqalliyyât yang urgensinya bagi masyarakat muslim minoritas lebih bisa dimengerti: pertama, mempermudah pengamalan agama masyarakat minoritas muslim dalam konteks individu, keluarga, dan masyarakat. Kedua, membantu kelompok minoritas, menjaga eksistensi mereka sebagai muslim yang harus melaksanakan syari’at secara utuh. Ketiga, mempermudah kaum minoritas dalam melaksanakan kewajiban menyampaikan risalah

29 Genevive Abdo, Mecca and Main Street: Muslim Life in America after 9-11 (New York, NY: Oxford University Press, 2006), hlm. 32.

128 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Islam kepada non-muslim dengan cara yang dapat dipahami mereka. Keempat, sebagai sumbangan pemikiran Islam dengan nilai-nilai keterbukaan dan toleransi sehingga tidak mencerminkan keterpisahan fiqh dengan realitas masyarakat. Kelima, menyadar- kan kelompok minoritas akan hak-hak mereka, kebebasan mereka dalam beragama, bekerja dan bermasyarakat sehingga mereka mampu menjalankan hak dan kewajiban tanpa merasa tertekan oleh pihak manapun. Keenam, membantu minoritas muslim dalam menjalankan berbagai hak dan kewajibannya sehingga mereka merasa bahwa Islam bukanlah belenggu dalam hidup, melainkan menjadi pegangan yang mengantarkan pada kebahagiaan. Ketujuh, fiqh al-aqalliyyât diharapkan mampu membantu kelompok minoritas dalam menjawab persoalan kontemporer yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat non-muslim.30

Dalam bahasa yang lebih ringkas, Bin Bayyah menyatakan

bahwa fiqh al-aqalliyyât menjadi penting karena kemunculannya memiliki tiga fungsi utama: (1) menjadi suatu pegangan bagi minoritas muslim dalam melaksanakan ajaran agama, bukan hanya

sebagai individu, melainkan juga sebagai masyarakat secara umum; (2) memberikan panduan bagi masyarakat minoritas muslim akan kewajiban mereka dalam berinteraksi dengan

kelompok masyarakat lainnya, sehingga agama yang dianutnya ini tidak menjadi dinding pemisah, tetapi menjadi jembatan penghubung antarmereka. Nilai-nilai universal Islam, seperti nilai cinta dan kasih sayang, ta‘âruf (saling mengenal) dan keadilan, serta penghormatan hak-hak asasi manusia membuka jalan interaksi kemanusiaan yang baik dengan masyarakat yang berlainan agama dan menjadi media dakwah Islam itu sendiri; (3) Fiqh al-aqalliyyât ini mempermudah kehidupan keberagamaan, mengadvokasi Islam sebagai agama yang elastis dan fleksibel.31

30 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 34-35. 31 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 168.

129 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Tanpa kehadiran fiqh al-aqalliyyât, kelompok minoritas muslim di Barat akan mengalami kebingungan dan keraguan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Opsi-opsi hukum dalam fiqh klasik yang tidak relevan lagi dengan konteks kehidupan yang dijalani memaksa mereka melakukan dua pilihan: menjalankannya dengan penuh keraguan dan keterpaksaan yang menyiksa, atau meninggalkannya sama sekali dan menjalani hidup tanpa pedoman agama. Salah satu contohnya adalah tentang hukum tentara muslim Amerika yang ditugaskan oleh negaranya untuk berperang di Afghanistan atau Iraq yang nota bene adalah saudara sesama muslim. Fiqh klasik hanya mengenal hukum tentang tentara muslim di negara muslim yang memiliki kewajiban membela negaranya dan hukum tentang haramnya menyakiti dan mem- bunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Pilihan

hukum ini memaksa tentara muslim Amerika melakukan dua pilihan: berhenti menjadi tentara yang merupakan jalan hidupnya mencari nafkah, atau terus berperang dengan saudara sesama

muslim dengan perasaan bersalah dan berdosa. Dalam konteks seperti ini, fiqh al-aqalliyyât menawarkan suatu kepastian hukum sebagai solusi bagi tentara muslim Amerika tesebut.

Dalam upaya menghadirkan fatwa-fatwa atau ketentuan

hukum, fiqh al-aqalliyyât ini tetap menjadikan fatwa atau ketentuan hukum fiqh klasik sebagai konsiderasi di samping juga kondisi geografis dan sosial politik setempat sebagai upaya untuk “membumikan” fiqh al-aqalliyyât. Berikut ini adalah penjelasan tentang metodologi yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât.

E. Prinsip-prinsip Metodologis Fiqh al-Aqalliyyât: Antara Fiqh al-Nushûsh dan Fiqh al-Maqâshid Fiqh al-aqalliyyât sebagai bagian dari problematika hukum yang bersifat baru, fiqh nawâzil, menuntut aplikasi ijtihad dalam

130 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

menemukan ketentuan hukumnya. Dalam konteks ini, ijtihad baru merupakan kewajiban dalam upaya (1) menjelaskan bahwa syari’at Islam memang sesuai untuk segala zaman dan tempat, (2) menjadi dakwah nyata bagi semua muslim untuk menyelesaikan masalah hukum dalam kehidupan mereka dengan menggunakan hukum Islam, (3) sebagai jalan masuk utama proses tajdîd (pembaruan) agama, dan (4) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat muslim dalam menjawab persoalan kontemporer mereka.32

Senada dengan pendapat tersebut adalah komentar Thâhâ Jâbir al-'Alwânî ketika berbicara tentang banyaknya permasalahan hukum yang dialami oleh masyarakat minoritas muslim di Barat

yang tidak ditemukan padanan panoramanya di dalam fiqh klasik. Dia menyatakan:

“The problems of Muslim minorities can only be tackled with a fresh juristic vision, based on the principles, objective and higher values of the Qur’anic conjuction with the aims of the Syari’ah—a fresh approach that draws guidance from the authentic Sunnah and the example of the Prophet with a view to implementing the principles and values of the Qur’an. A new methodology for replicating the Prophet’s example is needed in order to make his way clearer and more accessible to everyone at all times.”33

32 Muhammad bin Husayn bin Hasan al-Jîzânî, “al-Ijtihâd fî al-Nawâzil,” hlm. 16, 18. 33 Artinya:”Permasalahan-permasalahan minoritas muslim hanya bisa ditangani dengan sebuah visi yuristik yang segar (baru), yang didasarkan pada prinsip- prinsip, tujuan, dan nilai yang lebih tinggi yang diambil dari hubungan al-Qur’ân dengan tujuan-tujuan syari’ah—sebuah pendekatan baru yang memberikan panduan dari sunnah yang sahih dan contoh Nabi dengan sebuah pandangan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsp dan nilai-nilai al-Qur’ân. Sebuah metodologi baru untuk mereplikasi contoh perbuatan Nabi dibutuhkan dalam upaya menjadikan jalan hidupnya lebih jelas dan lebih mudah diterapkan oleh siapapun dalam masa apapun.” Taha Jabir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. 7.

131 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Pernyataan di atas menyiratkan ketidakyakinan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî akan kemampuan fiqh klasik menjawab persoalan- persoalan hukum masyarakat minoritas. Lebih dari itu, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menekankan urgensi reformasi metodologi ushûl al-fiqh model lama dalam merespons beragam masalah keislaman kontemporer dalam fiqh al-aqalliyyât. Fiqh ini membutuhkan lebih dari sekadar ijtihad dalam pemahaman pada umumnya,34 yakni ijtihad yang memiliki visi yuristik yang mendasarkan pada tujuan syari’ah itu sendiri dalam kaitannya dengan kondisi riil yang dihadapi oleh kelompok minoritas muslim,35 yang dalam bahasa Anas Al Syaikh-Ali disebut dengan “comprehensive methodology of minority fiqh” (metodologi yang komprehensif dari fiqh minoritas) dengan mendasarkan diri pada masa lalu, tapi juga tidak

34 Ada beragam definisi ijtihâd yang dikemukakan oleh para ulama ushûl al-fiqh dengan esensi yang sama, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan hukum syar’î dari dalil-dalil syar’î yang ada. Abû Hâmid al-Ghazâlî dalam kitabnya al-Mustashfa 2, hlm. 350 mendefinisikannya dengan “badzl al-mujtahid wus‘ahû fî thalab al-‘ilm bi ahkâm al-syarî‘ah.” Sementara itu, al-Râzi dalam kitabnya al- Mahshûl, vol. 2, hlm. 489 mendefinisikannya sebagai “istifrâgh al-wus’i fî al- nadzar fî mâ lâ yalhaqahû fîhi lawmun ma‘a istifrâq al-wus‘ fîhi.” Secara ringkas al-Baydhâwi dalam kitabnya al-Mahshûl, vol. 4, hlm. 169 mendefinisikannya dengan “istifrâgh al-juhd fî dark al-ahkâm al-syar‘iyyah.” Definisi-definisi lama tentang ijtihad tidak ada yang secara tegas menyatakan maqâshid al-syarî’ah sebagai landasan atau sebagai pendekatan dalam menentukan hukum. Definisi-definisi yang ada pada umumnya menekankan pada eksistensi dalil dan kekuatan landasan teoretiknya tanpa banyak mempertimbangkan abilitas aplikasi hukum tersebut dalam masyarakat berikut pula efek hukum terhadap kemaslahatan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa ulama-ulama klasik tidak memahami maqâshid al- syarî‘ah , tetapi (1) mereka sangat yakin akan kemaslahatan yang dibawa oleh hukum Islam sehingga tidak perlu dinyatakan, (2) mereka hidup di negara-negara muslim yang tidak banyak menemukan kendala aplikasi hukum Islam, dan (3) pola hubungan sosial, politik, kemasyarakatan, dan perkembangan keilmuan yang saat ini berbeda dengan masa yang mereka lalui. 35 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menegaskan bahwa fiqh al-aqalliyyât merupakan yurisprudensi otonom yang didasarkan pada prinsip relevansi hukum dengan lingkungan komunitas tertentu dan tempat tinggal minoritas muslim. Ia membutuhkan informasi atau data tentang budaya lokal dan keahlian dalam bidang ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Lihat, Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Mi- norities, dalam ISIM Review, No. 11, 2002, hlm. 2.

132 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

takut untuk berinovasi, memunculkan sesuatu yang baru.36 Nash hukum yang tersurat dalam al-Qur’ân dan al-Hadits adalah teks hukum yang memiliki tujuan. Tujuan tersebut dikenal dengan istilah maqâshid al-syarî’ah atau maqâshid al-syâri‘. Maqâshid al-syarî’ah ini merupakan nilai-nilai universal abadi yang seharus- nya terealisasikan dalam setiap pelaksanaan hukum Tuhan.37 Karena itulah maka visi berpikir hukum atas dasar maqâshid al- syarî’ah ini mengajarkan pemahaman nash dengan memper- timbangkan tujuan Allah di balik ketentuan hukum-Nya.

Mayoritas ulama ushûl sepakat bahwa hukum Tuhan, syari’ah, memiliki tujuan (maqâshid).38 Hal ini menjadi per-

36 AMSSUK NEWSLETTER , No. 7, 2006, hlm. 3. 37 Ibn Qayyim dengan tegas menyatakan bahwa segala sesuatu yang menjauh dari nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan serta mendekat pada nilai- nilai kezaliman, kebencian, dan kemafsadatan adalah bukan bagian dari syari’at Islam, walaupun itu adalah hasil dari interpretasi atas dalil-dalil syari’at. Lihat, Shams al-Dîn Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Abî Bakr Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Alamîn, Vol. 3 (Mishra: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, 1967), hlm. 11. Pernyataan ini selaras dengan apa yang yang dikatakan Syaikh Jâd al-Haq bahwa sesungguhnya tidak ada keraguan akan kesempurnaan syari’at Islam, tetapi perlu diingat bahwa Nabi Muhammad tidak meninggalkan satu kodifikasi atau kompilasi hukum selain hanya jawaban-jawaban atas beberapa permasalahan yang terjadi di masanya, tetapi beliau telah memberikan landasan-landasan dan kaidah-kaidah universal yang diajarkannya kepada para sahabatnya sehingga senantiasa mampu menjadikan Islam sebagai jalan menuju kemaslahatan di setiap tempat dan masa. Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al- Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathawwuruhû, hlm. 24-25, 75. 38 Semua ulama sepakat bahwa Allah Swt. dengan segala sifat dan namanya yang baik pasti menghendaki kebaikan dalam segala ciptaan-Nya. Aturan-aturan yang ditetapkan-Nya memiliki nilai-nilai kebaikan dan memang untuk kebaikan makhluk- Nya, yang dalam terma bahasa Arab ushûlî disebut dengan mashlahah, mahâsin, hikmah, fawâ’id, dan lain sebagainya. Nilai-nilai ini tidak diungkapkan dengan jelas dalam setiap aturan hukum, tetapi diyakini ada dalam kandungan hukum itu sendiri. Karena itulah ulama menyebut nilai-nilai ini dengan sebutan asrâr al- syarî‘ah, hikmah al-tashrî’, fawâ’id al-ahkâm, mahâsin al-syarî‘ah, mabâghî al- syar’ dan kadangkala dengan istilah ‘ilal al-syarî‘ah yang semuanya itu direpresentasikan oleh istilah yang dikenal dengan sebutan maqâshid al-syarî‘ah. Diskusi tentang istilah-istilah ini sebagian bisa dibaca dalam tulisan Nûr al-Dîn bin Mukhtâr al-Khâdimî, ‘Ilm al-Maqâshid al-Syar‘iyyah (Riyâdh: ‘Ubaykân, 2006);

133 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

bincangan menarik dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, mulai dari yang klasik sampai yang modern, mulai dari Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Alî al-Turmudhî (diyakini hidup sampai akhir abad ke-3 H atau awal abad ke-4 H), Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâshî (w. 365 H) sampai pada al-Syâtibî (w. 790/1388) dan Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr (w. 1379/1973). Dari sisi materi, maqâshid al-syarî’ah juga berkembang mulai dari kebaikan- kebaikan secara umum hingga pada konsep lima hal pokok sebagai esensi maqâshid,39 sampai pada masuknya nilai-nilai kebebasan dan hak asasi manusia yang saat ini menjadi perbincangan global. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî sendiri mengerucutkan semua unsur maqâshid ini pada tiga hal, yang disebutnya sebagai al-maqâshid al-syar‘iyyah al-‘ulyâ (maqâshid peringkat tinggi) dari syari’ah, yaitu tawhîd (monotheisme), tazkiyyah (purifikasi), dan ‘umrân

(peradaban/kedamaian).40 Nilai-nilai seperti inilah yang harus menjadi landasan atau sandaran dari pembuatan fiqh al-aqalli- yyât, bergerak dari fiqh lama yang didominasi oleh otoritas teks

(fiqh al-nushûsh) menuju fiqh baru yang didominasi oleh dasar maqâshid (fiqh al-maqâshid). Lebih lanjut Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menjelaskan empat alasan kuat mengapa pendekatan baru dengan dasar maqâshid al-

syarî’ah dibutuhkan dalam fiqh al-aqalliyyât. Alasan yang

‘Abd al-‘Azîz bin ‘Abd al-Rahmân bin ‘Alî bin Rabî‘ah, ‘Ilm Maqâshid al-Shâri‘ (Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2002); dan Ahmad al-Raysûnî, “Al-Bahts fî Maqâshid al-Syâri‘ah Nasy’atuhû wa Tathawwuruhû wa Mustaqbaluhû,” Makalah yang disampaikan di seminar tentang Maqâshid al- syarî’ah yang diadakan oleh Muassasah al-Furqân li al-Turâts di London, tanggal 1-5 Maret 2005. 39 Lima hal pokok yang harus dilindungi sebagai syarat terciptanya kemaslahatan dikenal dengan istilah al-dharûriyyât al-khams, yang berisikan: proteksi agama, proteksi jiwa, proteksi akal, proteksi keturunan, dan proteksi harta benda. Penjelasan lengkap tentang maqâshid ini dan sejarah perkembangannya dibahas dalam bab 4 buku ini. 40 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 135-184.

134 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

pertama adalah bahwa para ahli fiqh masa lalu tidak meng- klasifikasikan sumber-sumber hukum dalam cara yang tepat, suatu hal yang seharusnya akan memudahkan deduksi hukum pada isu- isu kontemporer. Al-Qur’ân dan al-Hadîts seharusnya diposisikan sebagai sumber pertama dan kedua yang tidak bisa dikalahkan oleh sumber-sumber lainnya. Alasan kedua adalah kebanyakan ahli hukum gagal melihat universalitas Islam sebagai faktor yang menentukan dalam rasionalisasi dan analisis hubungan antara muslim dan no-muslim. Ada kesan bahwa karya mereka justru bertentangan dengan pesan universalitas Islam. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat anggapan dan persepsi mereka tentang dunia, yang dipahami sebagai sesuatu yang berada di bawah kekuasaan Islam seperti pada masa keemasan Islam. Alasan ketiga adalah kegagalan para ahli hukum dalam konsep al-Qur’ân tentang dunia

yang mereka reduksi menjadi pandangan yang sangat sempit dan bersifat lokal. Alasan yang terakhir, keempat, adalah bahwa nilai- nilai agung dan tujuan hukum Islam kurang bisa dipahami secara

baik dalam fiqh klasik.41

Di samping sebab-sebab teoretis metodologis di atas, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî juga menjelaskan sebab-sebab kontekstual yang tidak memungkinkan fiqh lama dioperasionalkan untuk mengatur

problematika masyarakat minoritas muslim di Barat. Menurutnya, ada tujuh kendala yang perlu diperhatikan: pertama, bahwa sepanjang sejarah Islam klasik, imigrasi ke negara non-Islam bukan merupakan sesuatu yang mentradisi. Kedua, konsep tanah air atau kebangsaan sebagaimana kita pahami saat ini belum dikenal pada masa lalu di saat para fuqaha klasik masih hidup. Ketiga, hak men- jadi warga negara sebagaimana diatur dalam hukum internasional saat ini tidak dikenal dalam fiqh klasik. Keempat, dunia masa lalu tidak mengenal hukum internasional dan hubungan diplomatik

41 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. 9; Thâhâ Jâbir al- ‘Alwânî, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 100.

135 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

seperti dikenal saat ini. Kelima, dikotomi negara Islam dan negara perang yang dikembangkan fiqh klasik sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan saat ini. Keenam, fuqaha masa lalu tidak hidup di dunia global seperti saat ini, di mana semua manusia dianggap hidup dalam satu bumi yang sama dengan pola interaksi yang dinamis, mereka hidup di wilayah-wilayah yang terpencar tanpa interaksi yang saling bergantung seperti saat ini. Ketujuh, sebagian fuqaha klasik dan kontemporer menyadari bahwa fatwa-fatwa mereka sebenarnya terikat dengan konteks realitas mereka yang berbeda dengan realitas yang kita alami.42 Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk menolak hadirnya fiqh al-aqalliyyât yang berusaha mendialogkan fiqh dengan realitas yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat. Status masyarakat muslim sebagai minoritas, format per- masalahan hukum Islam mereka yang lebih kompleks, keinginan

mereka untuk senantiasa taat pada hukum Islam yang damai dan membahagiakan, dan kurang memadainya fiqh klasik dalam menjawab permasalahan kontemporer mereka, menjadi unsur-

unsur yang harus menjadi pertimbangan utama dalam menyusun sistem fiqh baru yang bernama fiqh al-aqalliyyât.43 Unsur-unsur tersebut harus senantiasa ada dalam maqâshid-based ijtihad yang

diaplikasikan dalam pembuatan materi hukum fiqh al-aqalli- yyât .44

42 Ibid., hlm. 101-102. 43 Uraian singkat tentang keterkaitan hukum Islam dengan perubahan hukum negara dan budaya setempat yang kemudian dihubungkan dengan konteks Barat bisa dilihat dalam Léon Buskens, “An Islamic Triangle Changing Relationships between Syari’a, State Law, and Local Customs,” dalam ISIM NEWSLETTER, No. 5, 2000, hlm. 8.

44 Salah Sultan, salah seorang aktivis dalam fiqh al-aqalliyyât, menyebut 10 (sepuluh) regulasi metodologis yang harus dilakukan dalam pembuatan fiqh al-aqalliyyât ini. Kesepuluh regulasi ini menggambarkan satu kesatuan unsur-unsur disebut di atas sebagai sebuah kesatuan: (1) Tidak ada benturan (clash) antara fiqh dan akal sehat seseorang yang mengarahkannya untuk mencintai negara tempat dia tinggal,

136 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Maqâshid-based ijtihad inilah yang menjadikan fiqh al- aqalliyyât bisa disebut sebagai fiqh baru dari sisi metodologi yang digunakannya. Walaupun ketika menyelesaikan suatu permasalah- an hukum masih menggunakan rujukan produk fiqh klasik, fiqh al- aqalliyyât masih saja menyajikan suatu pilihan yang mengejutkan karena bertolak belakang dengan pendapat jumhur ulama yang menekankan pada kekuatan petunjuk nash (quwwah al-dalâlah), sementara pendapat yang dipilih menekankan pada kemudahan dan kemaslahatan, sehingga bisa diterapkan dengan baik dalam masyarakat minoritas muslim di Barat. Sayangnya, tata kerja metodologis yang ditawarkan oleh fiqh al-aqalliyyât belum utuh dan mapan sebagai sebuah metodologi. Ia masih terpencar-pencar dalam berbagai kajian dan bahkan banyak yang hanya berupa prinsip-prinsip umum yang dilekatkan pada teori-teori usul al-

fiqh yang telah ada.

Yûsuf al-Qaradhâwî, penggagas fiqh al-aqalliyyât, menyata- kan bahwa dalam menggagas fiqh al-aqalliyyât ini ada sembilan prinsip metodologis yang harus lebih diperhatikan, yang tanpanya

fiqh al-aqalliyyât akan menjadi fiqh yang mandul, tidak akan mampu memberikan solusi pada permasalahan-permasalahan masyarakat muslim minoritas: pertama, bahwa fiqh al-aqalliyyât

makan makanan negara itu, dan menikmati kekayaan alamnya; (2) Menekankan pada responsibilitas (tanggung jawab) untuk mereformasi atau mengembangkan negaranya; (3) Mengombinasikan fiqh teks dengan realitas; (4) Memilih ijtihad kolektif sebagai metode penyelesaian permasalahan-permasalahan publik; (5) Mengombinasikan kesalehan dengan bukti-bukti syari’ah dalam ijtihad; (6) Menerapkan tujuan syari’at (maqâshid al-syarî’ah) dalam hal yang berhubungan dengan fiqh al-’ibâdah (ritual) dan fiqh al-mu’âmalah (hukum transaksi); (7) Mempertimbangkan skala prioritas sesuai dengan potensi internal dan kondisi eksternal; (8) Mempersempit kesenjangan antarmadzhab yang berlainan; (9) Menggunakan fiqh yang memudahkan (fiqh al-taysîr) dan fiqh bertahap (gradual/ tadrîjî); (10) Berupaya untuk menemukan alternatif yang sah (legitimate) untuk hal-hal yang dilarang dalam realitas masyarakat minoritas muslim. Salah Sultan, “Methodological Regulations for the Fiqh of Muslim Minorities,” dalam www.salahsoltan.com/main/index.php?id=16,64,0,0,1,0 , hlm. 1-18.

137 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tidak akan ada tanpa adanya ijtihad kontemporer yang lurus. Tanpa ijtihad, hukum Islam akan mengalami banyak kevakuman hukum karena banyak permasalahan hukum kontemporer yang tidak mungkin lagi divonis dengan hukum peninggalan masa awal-awal Islam. Dunia berkembang cepat dan permasalahan hukum sangat dinamis mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia. Mungkin saja masih ada hukum-hukum lama yang relevan, tapi juga banyak hukum baru yang dibutuhkan agar hukum Islam tetap bisa berdialog dengan kebutuhan masyarakat modern. Karena itulah Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa ada dua pola ijtihad yang bisa dikembangkan dalam fiqh al-aqalliyyât, yaitu: (a) tarjîhî intiqâ’î, yaitu memilih pendapat-pendapat yang telah dikemuka- kan oleh ulama-ulama terdahulu dengan menentukan pendapat mana yang paling kuat keberpihakannya pada realisasi maqâshid

al-syarî’ah; (b) ibdâ’î insyâ’î, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum baru atas permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan perbandingannya dalam fiqh sebelumnya. Ranah ini

terbuka luas karena memang permasalahan-permasalahan yang dihadapi kelompok minoritas muslim begitu unik dan baru dalam perspektif fiqh.45 Prinsip kedua adalah keharusan memperhatikan

kaidah-kaidah fiqh yang bersifat universal.46 Ketiga, memper-

45 Prinsip pertama ini sejalan dengan pandangan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang menyatakan bahwa dalam proses memformulasikan fiqh al-aqalliyyât harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: pertama, ijtihad adalah sebuah instrumen yang sangat vital dan sebuah karakteristik yang khusus dan istimewa yang dimiliki oleh umat ini; kedua, Islam adalah agama pertama yang mengakui peranan akal tanpa syarat dalam mengevaluasi dan menghukumi perbuatan manusia; ketiga, Islam menjadikan ijtihad sebagai an intellectual state of mind yang menginspirasi manusia untuk berpikir secara sistematis dan sesuai dengan metode rasional; dan keempat adalah kenyataan bahwa orang-orang saat ini ramai mengadvokasi ijtihad. Yang dibutuhkan saat ini adalah ijtihad yang mempersiapkan Islam dan umat Islam menghadapi tantangan global dan masa yang akan datang. Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. 14. 46 Dalam kitabnya, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, Yûsuf al-Qaradhâwî menyebut- kan beberapa kaidah hukum yang harus dijadikan landasan hukum fiqh al- aqalliyyât. Kaidah-kaidah fiqhiyyah ini rata-rata bersifat umum karena merupakan

138 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

hatikan fiqh realitas (fiqh al-wâqi‘) yang terjadi. Keempat, menekankan pada fiqh kolektif (masyarakat) dan bukan hanya fiqh individu. Kelima, fiqh al-aqalliyyât harus dibangun atas metode yang memudahkan (manhaj al-taysîr). Keenam, memperhatikan kaidah “fatwa hukum berubah mengikuti perubahan kondisi.” Ketujuh, menggunakan metode gradualitas hukum. Kedelapan, mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan primer dan kebutu- han sekunder manusia. Kesembilan adalah membebaskan diri dari keterikatan madzhab.47

Paparan di atas memberikan kesan kuat atas dominannya posisi maqâshid al-syarî‘ah dalam pengembangan fiqh al-aqalli- yyât. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimanakah pengaruh

dominasi maqâshid al-syarî’ah ini terhadap aplikasi teori-teori ushûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh dalam fiqh al-aqalliyyât. Hal ini penting mengingat produk fiqh pasti terlahir dari metodologi usul

fiqh dan tunduk pada kaidah-kaidah fiqh yang ada. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua hal tersebut.

1. Metodologi Ushûl al-Fiqh dalam Fiqh al-Aqalliyyât Setiap fiqh, dalam bentuk dan konteks apapun, tentulah menjadikan al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai sumber hukum

utama. Ijmâ‘, sebagai kesepakatan ulama atas status hukum suatu hal yang diperoleh dari pemahaman bersama atas dalil-dalil nash, dan qiyâs sebagai silogisme ‘illat hukum suatu peristiwa baru

dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang telah ditentukan hukum-

hasil proses induktif pengkajian kasus-kasus hukum. Penekanan kaidah yang disebutkan Yûsuf al-Qaradhâwî adalah pada urgensi niat, keberpihakan pada kemudahan, dan tiadanya kesulitan serta kemadlaratan, skala prioritas dalam aplikasi hukum, dan kemaslahatan. Lihat, Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 42-44. 47 Ibid. , hlm. 40-60. Bandingkan dengan Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al-Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathawwuruhû, hlm. 74-75, 173.

139 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

nya oleh dalil syar‘î, adalah sumber hukum berikutnya yang mendapat pengakuan dari mayoritas ulama ushûl al-fiqh.

Fiqh al-aqalliyyât bukanlah suatu eksepsi, karena empat hal tersebut di atas juga menjadi sumber hukum baginya. Hanya saja, fiqh al-aqalliyyât lebih menekankan pada prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai universal al-Qur’ân sebagai dasar utama penentuan

hukum dari masalah yang dihadapinya. Al-Sunnah, yang biasanya merupakan respons terhadap suatu kejadian khusus dan pada waktu yang juga tertentu, harus dipahami sejalan dengan prinsip-

prinsip umum al-Qur’ân.48 Ijmâ‘ yang merupakan kesepakatan ulama pada kurun waktu tertentu, di tempat tertentu, dan untuk peristiwa tertentu, harus juga dipahami sejalan dengan maqâshid

al-syarî’ah yang prinsip-prinsip umumnya terkandung dalam al- Qur’ân. Manakala ijmâ‘ masa lalu telah dirasa tidak sesuai dengan konteks saat ini, ia tidak perlu diikuti karena mengikuti kaidah

48 Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Sunnah lebih sering merupakan sesuatu yang bersifat juz’î dan tafshîlî, bisa berkaitan dengan masalah hukum yang bersifat umum atau khusus, temporal atau abadi, serta bisa merupakan suatu respons atas kasus tertentu. Karena al-Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ân yang berposisi lebih tinggi dalam tataran sumber hukum, maka dalam aplikasinya ia harus tunduk pada prinsip-prinsip umum al-Qur’ân. Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 37-38. Dalam kitabnya yang lain, Yûsuf al- Qaradhâwî menjelaskan panjang lebar tentang posisi al-Sunnah dalam Islam dan memberikan panduan bagaimana memahami al-Sunnah dengan baik. Menurutnya, telah terjadi kerancuan dalam pemahaman al-Sunnah sehingga banyak menggiring pada perselisihan tanpa akhir. Karena itu, al-Sunnah harus dipahami dengan menggunakan delapan cara: (1) memahaminya dengan menggunakan al-Qur’ân sebagai pedoman utama; (2) mengumpulkan hadîts-hadîts shahih yang ada dalam satu tema sehingga bisa diketahui mana yang muhkam dan yang mutashabbih; (3) melakukan kompromi dan tarjîh apabila terjadi perbedaan hadits; (4) memahami hadits dari sisi sebab, hubungan, dan maqâshid-nya; (5) membedakan antara medium yang mungkin berubah (al-wasîlah al-mutaghayyirah) dan tujuan yang tetap dan pasti (al-hadf al-thâbit) dalam hadits; (6) memisahkan antara yang hakiki dan yang majazi; (7) memisahkan antara yang bersifat gaib dan yang nyata; dan (8) menekankan pada makna yang sesungguhya dikandung dalam hadits. Lihat, Yûsuf al-Qaradhâwî, Kayfa Nata‘âmalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma‘âlim wa Dhawâbith (Virginia, Beirut: IIIT dan al-Dâr al-‘Arabiyyah li al-‘Ulûm, 2006), hlm. 109-216.

140 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

perubahan hukum itu berdasarkan masa dan tempat. Demikian juga qiyâs, ia tidak boleh melahirkan hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip umum al-Qur’ân.49

Di samping sumber-sumber di atas, fiqh al-aqalliyyât juga menggunakan beberapa sumber atau dalil lainnya yang diper- selisihkan oleh para fuqaha, seperti istishlâh (mendasarkan hukum

pada prinsip umum kemaslahatan ketika tidak ditemukan dalil yang jelas), istihsân (berpindah dari nash yang umum atau qiyâs pada nash yang khusus atau qiyâs khafî karena lebih diterimanya yang

terakhir secara logika), sadd al-dharâ’i‘ (menutup jalan menuju hal-hal yang merugikan), syar‘ man qablanâ (syari’at nabi-nabi sebelum kita), al-‘urf (kebiasaan), istishhâb, qawl al-shahâbî

(pendapat sahabat-sahabat Nabi), dan lain sebagainya.50 Semua itu dimaksudkan untuk menemukan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan yang bisa diterapkan dalam konteks masyarakat

minoritas muslim.51 Tujuan hukum dan konteks hukum berperan sangat dominan dalam hal ini.

Dalam aplikasinya, piranti-piranti ushûl al-fiqh ini semuanya digunakan untuk kemudian produk-produk hukumnya dikoleksi menjadi opsi-opsi yang akan dipilih berdasarkan tingkat kesesuai- annya dengan kemaslahatan yang diharapkan dan tingkat ke- mudahannya dalam penerapannya. Karena itulah fiqh al- aqalliyyât juga disebut sebagai fiqh al-maqâshid (maqâshid-based jurisprudence ), karena hukum yang dipilih tidak harus didasarkan pada kekuatan dalil, tetapi pada keberpihakannya pada maslahah,52

49 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 39. 50 Ibid., hlm. 39. 51 Thâhâ Jâbir al-‘Alwanî, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 105. 52 Pada bagian akhir bab ini dapat dilihat bagaimana contoh-contoh yang dipaparkan tentang produk hukum fiqh al-aqalliyyât ini betul-betul menjadikan kemaslahatan sebagai konsiderasi otoritatif sehingga memunculkan sebuah bentuk baru dari tarjih yang disebut dengan tarjîh maqâshidî.

141 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

atau fiqh al-taysîr (fiqh yang memudahkan), karena hukum yang dipilih adalah yang paling memungkinkan untuk diterapkan.

Munculnya fiqh al-maqâshid, ijtihâd maqâshidî (ijtihad yang didasarkan pada tujuan syari’ah) dan tarjîh maqâshidî (peng- unggulan suatu pendapat atas pendapat lain yang didasarkan pada pertimbangan tujuan syari’ah) inilah yang menjadi ciri khas fiqh

al-aqalliyyât, yang berbeda dengan fiqh sebelumnya, baik dari sisi metodologis maupun substansinya. Sayangnya, sampai saat ini belum ditemukan karya yang secara utuh membahas ushûl al-

fiqh al-maqâshidiyyah semapan ushûl al-fiqh klasik yang telah berkembang.

2. Kaidah-kaidah Fiqh dalam Fiqh al-Aqalliyyât Sebagaimana lazimnya fiqh klasik, fiqh al-aqalliyyât juga dibangun di atas pondasi kaidah-kaidah hukum (legal maxims)

yang dikenal dengan al-qawâ‘id al-fiqhiyyah. Jumlah kaidah- kaidah fiqh cukup banyak dan merupakan derivasi dari lima kaidah pokok yang dikenal dengan al-kulliyyât al-khams,53 yaitu (1)

(semua perkara itu tergantung niatnya),54 (2) (keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan),55

53 Kitab klasik yang paling banyak dijadikan rujukan ketika memperbincangkan kaidah-kaidah ini adalah dua kitab yang berjudul sama, yakni al-Ashbâh wa al- Nadzâ’ir yang ditulis oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthî dan Ibn Nujaym. Kajian masalah kaidah fiqh ini cukup pesat mengikuti perkembangan hukum Islam itu sendiri. Kajian kontemporer yang cukup lengkap tentang kaidah-kaidah fiqh mulai bermunculan. Salah satunya adalah karya Muhammad Zuhaylî, al-Qawâ’id al- Fiqhiyyah wa Tathbîquhâ fî al-Madzâhib al-Arba‘ah (Damshiq: Dâr al-Fikr, 2006). 54 Kaidah ini didasarkan pada hadîts Nabi, yang sangat terkenal dan mutawatir: (Semua amal tergantung niatnya).

55 Kaidah ini diintisarikan dari hadîts Nabi:

142 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

(3) (kesulitan mendatangkan kemudahan),56 (4) (kemadlaratan harus dihilangkan),57 dan (5) (adat bisa menjadi hukum).58

Lima kaidah pokok di atas sesungguhnya telah memberikan gambaran awal betapa fiqh itu harus mempertimbangkan hal-hal yang paling esensial, yaitu niat dan hal-hal yang memudahkan

dan mendatangkan manfaat kemaslahatan. Inilah yang dijadikan landasan dasar oleh Yûsuf al-Qaradhâwî dan Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî, walaupun mereka tidak memberikan penjelasan secara

khusus tentang kaidah fiqh mana saja yang dominan digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât.59 Meskipun jumlah kaidah fiqh ini demikian banyak dan terus berkembang, Bin Bayyah, salah satu

tokoh pengembang fiqh al-aqalliyyât dari ECFR meringkasnya menjadi enam kaidah besar yang menjadi landasan operasional

(Jika salah seorang di antara kalian merasakan sesuatu di perut, kemudian ragu apakah telah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium bau). 56 Kaidah ini diintisarikan dari firman Allah: (Dalam masalah agama, Allah tidak menjadikannya kesulitan bagimu) dan juga dari hadîts Nabi: (Aku diutus dengan membawa agama yang cenderung pada kemudahan). 57 Kaidah ini diintisarikan dari hadîts Nabi: (Tidak boleh berbuat yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain)

58 Kaidah ini didasarkan pada hadîts Nabi: (Apa-apa yang dipandang baik oleh orang Islam maka ia juga baik menurut pandangan Allah). 59 Yûsuf al-Qaradhâwî hanya memberikan daftar 40 kaidah fiqhiyyah sebagai contoh tanpa memberikan penjelasan tata kerjanya dan tanpa membuat garis-garis besar kategorisasi kaidah. Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 43-44. Sementara itu, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî juga tidak memberikan penjelasan yang menyentuh detail-detail kaidah fiqh, tapi hanya prinsip umum tentang perlunya kemaslahatan dan kemudahan sebagaimana yang telah diulas di atas. Hal inilah yang mendorong penulis untuk menyimpulkan bahwa bangunan dasar ushûliyyah fiqh al-aqalliyyât ini perlu untuk disempurnakan.

143 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

fiqh al-aqalliyyât. Keenam kaidah tersebut beserta penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Kaidah Memudahkan dan Menghilangkan Kesukaran (al-Taysîr wa Raf‘ al-Haraj)

Adalah hal biasa bahwa permasalahan hukum Islam telah melahirkan jawaban yang berbeda-beda di kalangan para fuqaha. Perbedaan-perbedaan yang terjadi seringkali karena perbedaan

cara pandang (metodologis) terhadap dalil-dalil yang ada. Perbedaan pendapat antarmadzhab atau internal madzhab adalah suatu bukti atas kenyataan ini. Sebagai produk ijtihad, pendapat-

pendapat yang ada sama-sama dianggap benar dan tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain.

Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang baik atas perbedaan-perbedaan pendapat ini dan memilihnya mana yang paling tepat dari perbedaan pendapat itu dalam kaitannya dengan 60 persoalan yang dihadapi. Yang paling tepat untuk diaplikasikan adalah pendapat-pendapat yang mudah dan tidak memberatkan. Karena inilah sesungguhnya yang sejalan dengan kehendak Allah sebagai syâri‘ dan ini pulalah hikmah dari berbagai perbedaan pendapat yang terjadi.

Dalil nash atas kemudahan ini antara lain adalah surat 2 (al- Baqarah ) ayat 185:

60 Bin Bayyah mengutip pandangan-pandangan ulama tentang hal ini. Hisyâm bin ‘Abd Allâh al-Râzî menyatakan: “Barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan fuqaha’ maka ia bukanlah seorang faqih.” Sementara itu, Yahya bin Salâm menyatakan: “Seseorang yang tidak mengetahui ikhtilâf tidak layak untuk menjadi seorang muftî, dan orang yang tidak mengetahui pendapat-pendapat ulama tidak boleh menyatakan: ‘ini pendapat yang paling saya sukai.’” Pendapat senada dinyatakan al-Syâthibî bahwa mengetahui perbedaan pendapat di kalangan fuqaha merupakan suatu hal khusus yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 170-171.

144 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

61

surat 2 (al-Baqarah) ayat 286:

62

dan surat 22 (al-Hajj) ayat 78:

63

Ayat-ayat al-Qur’ân tersebut di atas didukung oleh sabda Nabi yang menyatakan tidak bolehnya menyulitkan (mem- bahayakan) diri dan menyulitkan (membahayakan) orang lain64

dan bahwa beliau diutus dengan membawa ajaran yang cenderung pada kemudahan.65 Atas dasar inilah maka fuqaha’ seperti al- Muzânî, al-Syawkânî, dan al-Syâthibî sependapat untuk berpegang

pada kaidah al-taysîr wa raf‘ al-haraj.66

Prinsip pertama ini banyak sekali diterapkan dalam fiqh al- aqalliyyât . Ketika persoalan yang dihadapi masyarakat minoritas

61 “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” 62 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” 63 “ … Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” 64 Bunyi hadîts:

65 Bunyi hadîts: 66 Al-Muzânî menyatakan bahwa mengambil pendapat yang lebih ringan dari dua pendapat yang berlainan dan berkeyakinan bahwa kebenaran berada pada pendapat yang lebih ringan ini adalah bagian dari kaidah-kaidah syarî‘ah. Sementara al-Syawkânî berpendapat bahwa kembali pada syarîah bukanlah dengan memilih pandangan yang paling keras, melainkan menjaga kemudahan sebagai bagian dari maqâshid al-syarî’ah. Al-Syâthibî memberikan alasan logis bahwa seandainya Allah sebagai al-Syâri‘ berkehendak akan kesukaran dalam pemberian beban (taklîf) hukum, niscaya Allah tidak akan memberikan kemudahan dan keringanan dalam pelaksanaan ajaran agama. Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 174, 181-182.

145 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

muslim di Barat memiliki padanan dengan persoalan yang telah terjadi di tempat lain, maka sering merujuk pada pandangan- pandangan ulama yang telah ada untuk kemudian dipilih mana yang paling mudah dan bisa diaplikasikan. Pilihan hukumnya seringkali berbeda dengan yang umumnya dianut oleh masyarakat muslim mayoritas. Beberapa contoh dipaparkan di bagian akhir bab ini.

b. Kaidah Perubahan Fatwa karena Perubahan Masa (Taghyîr al- Fatwâ bi Taghayyur al-Zamân) Kaidah ini adalah kaidah yang sudah umum dan terkenal dalam

teori pembuatan dan perubahan hukum Islam. Perbincangan tentang elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam senantiasa dikaitkan dengan sejauhmana hukum Islam itu bisa bergerak

dinamis seiring dengan perubahan zaman dan tempat. Syari’ah sebagai sumber dan prinsip serta nilai universal tidaklah berubah, tetapi pemahaman dalam bentuk fiqh bisa saja berubah dan berkembang. Contoh yang sering diungkap sebagai justifikasi atas kaidah ini adalah keberanian Umar bin Khattab untuk tidak me- motong tangan seorang pencuri, tidak memberikan zakat kepada orang yang baru masuk Islam, dan tidak melaksanakan hukuman pengasingan dalam kasus zina seorang perawan. Sahabat-sahabat Nabi yang lain dan ulama masa berikutnya juga memiliki peng- alaman yang sama dalam hal membuat kesimpulan hukum yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Dalam hubungannya dengan ini, Ibn Rusyd menyatakan bahwa sesungguhnya ada beberapa hukum Allah yang sebab-sebabnya tidak pernah ada pada masa awal Islam, maka ketika sebab-sebabnya diketahui, dibuatlah hukum dengan berdasar sebab-sebab itu.67

67 Ibid., hlm. 183-184.

146 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Kaidah tersebut di atas tentu bukan merupakan kaidah mutlak yang berlaku pada semua hukum. Hukum-hukum tertentu terutama yang berkaitan dengan ibadah seperti hukum wajib salat dan puasa, serta hukum haram dari perbuatan-perbuatan maksiat seperti mencuri, merampok, dan berzina adalah hukum tetap yang tidak berubah kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat). Tetapi, hal-hal yang berkenaan dengan waktu pelaksanaan salat dan puasa serta bentuk hukuman atas perbuatan kriminal bisa berubah sesuai dengan tempat dan waktu.

c. Kaidah Memosisikan Kebutuhan pada Posisi Darurat (Tanzîl al- Hâjah Manzilat al-Dharûrah) Diakui oleh Bin Bayyah, sebagai salah seorang mufti di ECFR, bahwa kaidah ini merupakan pertemuan antara dua hal yang

berbeda, yakni antara al-hâjah (kebutuhan) dan al-dharûrah (keterpaksaan), tetapi sama-sama terjadi dalam waktu bersamaan dalam satu persoalan. Ketika pertemuan ini menghasilkan kaidah di atas, maka terjadilah perdebatan di kalangan para fuqaha dan ulama’ ushûliyyûn, apakah layak menempatkan kebutuhan pada posisi keterpaksaan sehingga memungkinkan dibolehkannya sesuatu yang asalnya tidak boleh. Sebagai contoh adalah tentang bolehnya bekerja sama dengan perusahaan yang modal dasarnya adalah harta dan proses kerjanya halal, tetapi kadangkala ber- sentuhan dengan praktik riba. Dua konferensi hukum Islam di Jeddah dan Kuwait membolehkan hal tersebut atas dasar kebutuhan. Contoh lainnya adalah praktik kedokteran yang berhubungan dengan kemandulan dan aborsi, transaksi ekonomi yang belum dikenal sebelumnya, tetapi merupakan kebutuhan zaman yang terniscayakan, dan lain sebagainya.68

68 Ibid., hlm. 188-189.

147 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Munculnya beberapa bentuk transaksi pada zaman modern, seperti e-commerce, on-line banking, asuransi, dan pola kehidu- pan lainnya yang berbeda dengan masa sebelumnya, tetapi menjadi bentuk kebutuhan bersama merupakan tantangan hukum tersendiri bagi hukum Islam. Contoh kasus yang paling nyata dialami oleh minoritas muslim di Barat adalah tentang hukum membeli rumah tempat tinggal di negara non-Islam dengan sistem kredit yang mengandung riba. Dalam kasus ini, posisi al-hâjah tampak dominan sehingga mendorong ECFR untuk memberikan fatwa kebolehannya. Urgensi penyelesaian hukumnya akan lebih terasa ketika permasalahan hukum kontempoter itu berdiri di atas dua kondisi, yakni posisi sebagai kebutuhan dan posisi dalam kondisi darurat, seperti yang dialami oleh masyarakat minoritas muslim di Barat.

Bin Bayyah, setelah memaparkan pandangan ulama tentang

definisi darurat, mengatakan bahwa makna darurat dalam termino- logi fiqh muwassa’ (fiqh makro) adalah al-hâjah (kebutuhan) itu sendiri.69 Kesimpulan ini logis karena suatu kondisi bisa dinyatakan

dalam kondisi darurat apabila sesuatu itu dibutuhkan, tetapi ada kendala yang tidak memungkinkannya untuk diaplikasikan. Esensinya adalah kebutuhan, sementara penghalangnya adalah

faktor baru yang datang kemudian. Karena itu, menempatkan kebutuhan dalam posisi darurat yang telah mendapat legitimasi kaidah untuk membolehkan sesuatu yang dilarang merupakan kunci pembuka masalah-masalah kontemporer.

Kaidah tersebut di atas memberikan perhatian besar pada kebutuhan sebagai salah satu determinan hukum, walaupun tentu saja tidak berlaku mutlak seperti darurat itu sendiri. Imam al-

Syâfi‘î menyatakan: (sesuatu

69 Ibid., hlm. 190-195.

148 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

yang diharamkan adalah tetap tidak diperbolehkan karena alasan kebutuhan kecuali dalam kondisi terpaksa). Selanjutnya, al-Syâfi‘î menyatakan bahwa alasan kebutuhan tidak membenarkan seseorang untuk mengambil harta orang lain. Al-Suyûthî me- nambahkan bahwa memakan bangkai dalam keadaan darurat harus didahulukan daripada mengambil harta orang lain.70 Dengan demikian, maka disimpulkan bahwa ada batas dan skala prioritas yang harus dipertimbangkan dalam aplikasi kaidah di atas.

d. Kaidah Kebiasaan (al-‘Urf) Pentingnya posisi ‘urf atau adat kebiasaan dalam teori hukum

Islam merupakan kesepakatan para ulama ushûl. Posisi ‘urf ini menjadi penting karena dalam kenyataannya ‘urf itulah yang menjadi the living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat.

Membiarkan dalil-dalil hukum Islam menjauh dari kenyataan sosial sama maknanya dengan mengebiri hukum Islam itu sendiri. Karena itulah maka teks dan konteks dipertemukan, dalil hukum dan illat

hukum diteliti, serta kebiasaan yang berjalan baik diakomodasi sebagai bagian dari hukum. Itulah makna dari kaidah al-‘Âdah Muhakkamah.

Al-Qarâfî memberikan ulasan bagus tentang tradisi ulama sebelumnya dengan pernyataannya: “Aplikasi hukum yang bersumber dari adat kebiasaan harus berubah mengikuti per- ubahan adat itu sendiri, bahkan segala sesuatu dalam syari’at mengikuti adat kebiasaan. Hukumnya berubah mengikuti per- ubahan adat yang baru. Hal ini bukanlah memperbarui ijtihad yang sudah berjalan, melainkan kaidah ini merupakan hasil ijtihad para ulama yang telah mereka sepakati, dan kami mengikuti mereka 71 tanpa melakukan ijtihad lagi.”

70 Ibid, hlm. 204. 71 Al-Qarâfî, al-Ihkâm, hlm. 218.

149 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Masyarakat minoritas muslim di Barat memang tinggal di wilayah mayoritas non-muslim, tetapi tradisi dan kebiasaan yang baik dan tidak menyalahi prinsip-prinsip universal hukum Islam, maqâshid al-syarî’ah, perlu dipertimbangkan sehingga hukum Islam yang dianut bisa diaplikasikan dengan baik dalam kehidupan keseharian mereka.

e. Kaidah Mempertimbangkan Akibat-akibat Hukum (al-Nadzr ilâ al-Ma’âlât ) Kaidah ini adalah inti dari kajian tentang proses menuju kemaslahatan karena menekankan pada hasil akhir atau akibat

hukum yang dihasilkan dari suatu ketentuan hukum. Menurut kaidah hukum ini, seorang mufti harus mempertimbangkan akibat hukum atau hasil yang akan tercipta dari ucapan atau perbuatan

yang akan ditentukan status hukumnya.

Dalam kitabnya, al-Muwâfaqât, al-Syâthibî menyatakan bahwa mempertimbangkan akibat hukum atau hasil akhir suatu perbuatan merupakan tujuan yang dikehendaki syara’. Ketelitian dalam hal ini menjadi penting, sebab kadangkala perbuatan yang dianggap baik berakhir dengan kemafsadatan, sebaliknya perbuat- an yang dianggap jelek ternyata melahirkan kemaslahatan. Ke- nyataan seperti ini adalah tantangan berat bagi mujtahid, sehingga 72 ia harus mengetahui betul tentang maqâshid al-syarî’ah. Adanya kemungkinan perbedaan antara niat baik dari suatu

perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya tersirat dari firman Allah:

72 Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, hlm. 837-846.

150 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

73

Ayat tersebut diperkuat oleh Hadîts Nabi yang menjelaskan

tentang mengapa beliau berpaling dari membunuh orang-orang munafiq. Beliau bersabda: “Biarkan dia, agar masyarakat tidak berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabat-

nya.”74 Sabda Nabi ini mengindikasikan perlunya melihat akibat yang akan dihasilkan dari sebuah perbuatan.

Kejelian melihat akibat hukum juga diwarisi oleh para sahabat Nabi, sehingga seringkali mereka memutuskan hukum yang berbeda dengan ketentuan Nabi karena adanya perbedaan akibat yang akan ditimbulkannya apabila diterapkan secara sama. Kondisi yang berbeda dan masa yang berbeda dapat menjadi faktor penentu berbedanya akibat yang akan dihasilkan dari suatu keteta- pan hukum. Umar bin Khatab, ketika ditanya alasannya meninggal- kan sunnah Nabi yang mengasingkan seorang perawan yang berzina selama setahun sebagai hukuman tambahan selain didera 100 kali, ia menjawab bahwa mengasingkan perempuan tersebut ke daerah musuh akan melahirkan kemafsadatan yang lebih besar dibandingkan dengan tetap tinggal di daerahnya.

Ulama-ulama berikutnya juga memahami hal ini sebagai suatu kebijakan yang perlu dilakukan demi memperoleh hakikat

kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at. Ibn Taymiyyah, al-

73 Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” Surat 6 (Al- An’âm ), ayat 108. 74 Lihat, Shahîh al-Bukhârî (hadîts no. 4525), Shahîh Muslim (hadîts no. 4682), CD Al-Marja‘ al-Akbar li Ahâdîts al-Nabawiyyah.

151 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Syâthibî, dan lain sebagainya serta ulama kontemporer seperti yang tergabung dalam FCNA dan ECFR menjadikan kaidah ini sebagai pegangan. Inilah yang kemudian menyebabkan pilihan hukum dalam fiqh al-aqalliyyât berbeda dengan pilihan hukum dalam fiqh lainnya.

f. Kaidah Memosisikan Masyarakat Umum pada Posisi Hakim (Tanzîl al-Jamâ‘ah Manzilat al-Qâdhî)

Jika kaidah-kaidah besar di atas terfokus pada materi dan objek hukum sebagai landasan kajiannya, maka kaidah yang terakhir ini menekankan pada subjek hukum, yakni masyarakat

sebagai pelaku atau pelaksana hukum dalam masyarakat. Kaidah ini berangkat dari pengandaian dalam fiqh klasik tentang kondisi apabila di suatu daerah tidak terdapat hakim (al-qâdhî) muslim

dengan peraturan yang berlandaskan hukum Islam, maka siapakah yang akan memberikan keputusan hukum apabila terdapat masalah yang memerlukan fatwa atau putusan. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, tetapi pengandaian ini menjadi kenyataan yang hampir merata di kalangan minoritas muslim yang tinggal di Barat, di mana Islam bukan merupakan agama resmi dan hukum Islam tidak memiliki keberdayaan sosial politik untuk diterapkan.

Beberapa ulama seperti al-Hattâb, al-Qâbisî, al-Zarqânî, al- Bannânî, al-Dardîr, dan ulama-ulama Mâlikiyyah menyatakan bahwa masyarakat muslim (jamâ‘ah al-muslimîn) yang juga disebut dengan istilah “al-‘adûl alladhîna yaqûmûna maqâma al-qâdhî ” (orang-orang adil yang berdiri dalam posisi hakim), berhak untuk menempati posisi hakim ketika memang tidak ada hakim yang diangkat oleh pemimpin muslim. Imâm (kepala pemerintahan) pada hakikatnya adalah wakil rakyat. Oleh karena

itu, ketika kepala pemerintahan Islam tidak ada di tempat tersebut maka kelompok orang dalam masyarakat muslim yang memiliki kemampuan berhak untuk mewakilinya. Atas dalil seperti inilah

152 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

maka ECFR mendapatkan kekuatan dari sisi hukum Islam untuk memberikan fatwa dan panduan hukum.75

Meskipun demikian, luasnya cakupan masalah minoritas muslim membutuhkan lebih dari hanya sekadar hadirnya lembaga-lembaga keislaman yang mengkaji permasalahan secara parsial tapi kemudian tenggelam bersamaan dengan perubahan

konstelasi sosial politik yang ada. Masalah-masalah hukum yang dihadapi minoritas muslim di Barat membutuhkan metodologi utuh yang mampu dipahami dan diterapkan ketika persoalan-

persoalan baru lainnya muncul ke permukaan. Masalah yang mereka hadapi cukup kompleks. Berikut ini adalah gambaran dari sebagian yang sudah diberikan fatwa hukumnya.

F. Produk Fatwa dalam Fiqh al-Aqalliyyât ECFR yang dikepalai oleh Yûsuf al-Qaradhâwî barangkali adalah satu-satunya lembaga fatwa di Eropa yang terorganisasi

dengan baik dilihat dari tiga sisi: pertama, sarjana dan tokoh agama yang terlibat di dalamnya memiliki kualifikasi pendidikan yang mumpuni dalam bidang-bidang yang perlukan untuk memberikan

fatwa yang tepat bagi permasalahan hukum Islam di Barat. Lebih lanjut, sarjana-sarjana yang terlibat di dalamnya tidak hanya dari sarjana yang bertempat tinggal di Eropa, tetapi juga sarjana-

sarjana yang tinggal di luar Eropa bahkan yang tinggal di negara- negara non-Barat. Kedua, metodologi yang dipakai dalam me- nentukan ketetapan hukum itu tegas, yakni ijtihad yang didasarkan

pada maqâshid al-syarî’ah. Ketiga, masalah-masalah yang telah

75 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 270. Dalil yang digunakan untuk mendukung otoritas masyarakat muslim sebagai penentu hukum Islam di masyarakat minoritas muslim Barat adalah hadîts Nabi riwayat Ibnu Mas‘ûd: “Segala sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang Islam maka sesuatu itu juga baik menurut Allah.”

153 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

diberikan fatwa atau diputuskan hukumnya oleh ECFR didokumen- tasikan dengan baik.

Sementara itu, FCNA yang juga giat membahas dan mem- berikan jawaban atas permasalahan masyarakat minoritas muslim belum mendokumentasikan kajiannya dalam bentuk buku, tetapi masih dalam format arsip digital dalam situs resmi yang dimiliki-

nya. Meskipun demikian, beberapa sajana yang terlibat di dalam- nya, seperti Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Salah Sultan, menuangkan beberapa putusan atau pandangan fiqh al-aqalliyyât dalam

beberapa tulisan mereka.

Berikut adalah beberapa contoh kasus hukum yang telah diberikan fatwanya dan diterbitkan oleh lembaga ECFR sendiri, terutama yang dikutip dalam kitab fiqh al-aqalliyyât yang ditulis

oleh pemimpin lembaga tersebut, Yûsuf al-Qaradhâwî, dan salah seorang anggotanya, Bin Bayyah, serta yang dilansir oleh FCNA yang sebagian disampaikan oleh mantan pemimpinnya, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî.

1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual

Bidang keyakinan dan ibadah merupakan bidang kajian utama dalam setiap agama. Persoalan-persoalan dalam bidang ini men- jadi persoalan yang paling krusial, sensitif, dan urgen dibanding- kan dengan bidang lainnya. Dalam bidang ini dibahas dua contoh yang sampai saat ini masih tetap aktual dalam masyarakat minoritas muslim di Barat, yaitu masalah ucapan selamat atas hari raya Ahli Kitab dan masalah waktu salat Jum’at.

a. Ucapan Selamat atas Hari Raya Ahli Kitab Hukum menyampaikan ucapan selamat atas hari raya Ahli Kitab kepada teman, kerabat, tetangga, atau pembimbing tesis, dan lain sebagainya merupakan masalah yang senantiasa ditanya-

154 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

kan, baik di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Malaysia dan Indonesia atau terlebih di negara-negara yang minoritas muslim. Pertanyaan ini juga pernah disampaikan oleh seorang muslim kandidat doktor di Jerman pada ECFR.76

Jawaban ECFR adalah bahwa menyampaikan ucapan selamat kepada mereka diperbolehkan. Dalil yang dikemukakan adalah al-

Qur’ân surat 60 (al-Mumtahanah) ayat 8 dan 9:

77

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, ayat ini secara tegas dan jelas

mengajarkan dua pola interaksi dengan non-muslim: berlaku baik dan adil kepada mereka yang tidak memusuhi, serta tidak menjadi- kan mereka yang memusuhi atau memerangi umat Islam sebagai

kawan. Berbuat adil yang dimaksud adalah tidak mengurangi hak mereka, sementara berbuat baik yang dimaksud adalah memberi- kan sebagian hak kita kepada mereka. Menyampaikan ucapan

selamat hari raya kepada mereka adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan karena bagian dari perbuatan baik ketika memang memberikan efek positif dalam pola interaksi kemanusiaan; yang

76 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 145. 77 Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

155 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tidak diperbolehkan adalah mengikuti acara ritual keagamaan mereka. 78

Lebih lanjut Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa memang banyak ulama yang dengan tegas mengharamkan ucapan selamat dan mengikuti hari raya Ahli Kitab. Ibnu Taymiyyah adalah salah seorang yang secara tegas mengulas hal ini dalam kitabnya Iqtidhâ’

al-Shirâth al-Mustaqîm Mukhâlafah Ahl al-Jahîm. Yûsuf al- Qaradhâwî menyatakan kesepakatannya dengan Ibn Taymiyyah dalam hal keharaman umat Islam mengikuti hari raya mereka atau

mereka mengikuti hari raya umat Islam. Tetapi, Yûsuf al- Qaradhâwî dengan ECFR-nya tidak sependapat tentang keharaman ucapan selamat hari raya kepada non-muslim, apalagi masih ada

ikatan kekeluargaan, tetangga ataupun hubungan kerja. Lebih lanjut Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa fatwa Ibn Taymiy- yah tersebut cocok dengan konteks zamannya ketika fatwa itu

disampaikan. Andaikata Ibn Taymiyyah hidup pada saat ini dan melihat realitas pola hubungan yang sangat berbeda dengan rea- litas zamannya, Yûsuf al-Qaradhâwî yakin bahwa Ibn Taymiyyah

akan mengubah fatwanya, atau minimal meringankannya.79

78 Ibid. , hlm. 146-147; Lihat juga Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 337-342. 79 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 149-150. Pandangan al-Qaradhâwî tentang Ibn Taymiyyah ini bisa dibandingkan dengan ulasan Bin Bayyah tentang fatwa ECFR atas permasalahan ini. Bin Bayyah memberikan catatan bahwa sebenarnya permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Dalam madzhab Imam Ahmad saja ada tiga pendapat: haram (larangan), makruh, dan mubah. Menurut Bin Bayyah, Ibnu Taymiyyah memilih pendapat yang terakhir karena pendapat ini mengandung kemaslahatan. Pendapat inilah yang diambil oleh ECFR. Pendapat-pendapat ini diungkap dengan jelas oleh al-Mardâwî dalam kitabnya yang berjudul al-Insyâf. Pandangan yang dikemukakan Ibn Taymiyyah dalam kitab-kitabnya yang lain, yang melarangnya, tidaklah sesuai dengan pilihannya seperti yang tegas dinyatakan di atas. Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 342.

156 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

b. Waktu Salat Jum’at Persoalan waktu salat bukan merupakan masalah bagi mereka yang tinggal di negara Asia Tenggara dan Timur Tengah yang peredaran mataharinya relatif normal dan teratur. Tetapi, hal ini menjadi masalah bagi mereka yang tinggal di wilayah sekitar kutub utara, yang panjang siang dan malamnya tidak selalu sama. Pada musim panas, siang hari bisa jadi berlangsung 16 jam dan malam harinya tersisa 8 jam atau bahkan lebih ekstrem dari itu. Di Bulgaria, matahari terbenam kadangkala menjelang pukul 10 malam, sementara di Denmark dan Swedia, misalnya, siang hari bisa berlangsung 18 jam sehingga salat Isya’ baru bisa dilakukan sekitar pukul 11 malam. Islam telah mewajibkan salat wajib lima kali sehari-semalam kepada siapa pun di tempat mana pun, termasuk kepada umat Islam yang ada di kutub utara yang setengah tahun penuh hanya memiliki siang tanpa malam dan setengah tahun sisanya hanya memiliki malam tanpa siang. Memang ada sebagian ulama Hanafiyah yang menyatakan gugurnya beban taklîf salat bagi mereka yang hidup di suatu tempat di mana matahari beredar dengan durasi yang ekstrem seperti di kutub utara, dengan alasan tiadanya sebab, yaitu waktu, tiadanya kemampuan dan kemungki- nan, serta tiadanya faidah yang bisa diharapkan dari beban taklîf tersebut. 80 Tetapi, pendapat ini ditentang oleh sebagian besar ulama Hanafiyah. Jumhur ulama sepakat bahwa dalam kondisi

peredaran matahari berada dalam posisi ekstrem maka waktu salat adalah berdasarkan perkiraan.81

80 Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‘âshir (Sûriyah: Dâr al-Fikr, 2007), hlm. 31-33. Dalil yang dikemukakan adalah ayat al-Qur’ân tentang waktu salat sebagaimana disebutkan dalam surat 17 (al-Isrâ’), ayat 78: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” 81 Ibid., hlm. 32-34.

157 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Persoalan waktu salat ini menjadi rumit ketika dipadukan dengan pelaksanaan salat Jum’at. Ada yang mengajukan pertanya- an pada ECFR tentang bagaimana hukumnya melaksanakan salat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari (qabl al-zawâl) atau setelah masuknya waktu salat ‘ashar (ba‘d al-‘ashr), dengan alasan sempitnya waktu khutbah dan salat Jum’at pada waktu dzuhur di beberapa negara, terutama pada musim dingin, atau karena tiada- nya kesempatan menunaikan salat Jum’at karena berbenturan dengan jadwal kerja atau kuliah, kecuali pada waktu pagi atau sore. 82

Pertanyaan ini sepertinya sepele dan mengada-ada, tetapi inilah realitas yang dihadapi oleh sebagian umat Islam yang tinggal

di negara-negara Barat yang memiliki musim berbeda dengan musim di wilayah tropis seperti Indonesia. Dalam menanggapi pertanyaan ini Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa jumhur

ulama menyepakati waktu salat Jum’at adalah pada waktu salat dzuhur, yakni dari tergelincirnya matahari sampai pada posisi matahari yang memungkinkan bayangan suatu benda telah

menyamai benda aslinya dikurangi bayangan ketika matahari tergelincir. 83

Meskipun demikian, Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian menge- mukakan beberapa pandangan madzhab yang berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Di antaranya adalah pandangan ulama Hanâbilah yang memberikan kelonggaran waktu salat Jum’at di awal waktu. Sebagian mereka menyatakan bahwa awal waktu salat Jum’at berdasarkan beberapa hadîts Nabi dan perbuatan para sahabat adalah sama dengan waktu salat hari raya, yakni mulai dari naiknya matahari sekitar 10 menit atau seperempat jam

82 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 72. 83 Ibid., hlm. 72.

158 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

sampai habisnya waktu dzuhur.84 Pendapat lainnya yang dikemu- kakan adalah tentang akhir waktu salat Jum’at yang dikemukakan oleh ulama Mâlikiyyah. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa akhir waktu salat Jum’at adalah terbenamnya matahari atau segera sebelum terbenam. Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian menyatakan bahwa atas dasar pendapat tersebut di atas sesungguhnya boleh saja salat Jum’at itu dilakukan pagi hari atau sore hari ketika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melaksanakannya pada waktu yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Pilihan seperti itu lebih baik daripada melalaikan salat Jum’at itu sendiri. Meski- pun demikian, ketika kesempatan melaksanakannya tepat pada waktu yang telah disepakati itu ada, maka melakukannya bersama tanpa perselisihan itu adalah yang lebih baik.85

2. Bidang Ekonomi Masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi men- jadi masalah hukum yang secara riil dihadapi langsung oleh masyarakat muslim minoritas di Barat. Banyak masalah ekonomi yang mereka ajukan pada lembaga fatwa ECFR, di antaranya adalah tentang hukum membeli rumah tempat tinggal secara kredit bank

di Barat dan fungsionalisasi uang zakat untuk membangun lembaga keislaman.

a. Pembelian Rumah dengan Menggunakan Kredit Bank Berbunga Permasalahan pertama menjadi urgen karena rumah tempat tinggal merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat muslim di

Barat, tetapi menjadi problematis ketika mayoritas ulama meng- haramkan semua transaksi yang memiliki unsur riba. Tentu permasalahan bunga bank sudah menjadi permasalahan klasik

yang sering diperdebatkan, tetapi hal ini merupakan sesuatu yang

84 Ibid., hlm. 72-75. 85 Ibid., hlm. 75-76.

159 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

urgen mendapatkan perhatian dan kepastian hukum ketika diletak- kan dalam konteks kebutuhan primer masyarakat minoritas muslim di Barat. Dalam masalah ini, Yûsuf al-Qaradhâwî menyata- kan kebolehannya dan meralat pendapatnya sendiri yang se- belumnya melarang dan menolak tegas pandangan ulama yang membolehkannya.86

Yûsuf al-Qaradhâwî mengetahui bahwa mayoritas ulama mengharamkan praktik riba dalam bentuk apapun dan meng- anggapnya sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus

dihindari. Tetapi, ketika melihat realitas yang terjadi, Yûsuf al- Qaradhâwî menganggap bahwa ada kebutuhan yang bisa menempati posisi sebagai kondisi darurat yang dalam kaidah fiqh

menjadi sebab bolehnya sesuatu yang dilarang (al-hâjatu tanzilu manzilat al-dharûrah). Pandangan Yûsuf al-Qaradhâwî ini didasarkan juga pada beberapa pendapat fuqaha kontemporer

seperti Muhammad Rasyîd Ridhâ, Musthafâ al-Zarqâ, dan keputusan beberapa lembaga fatwa internasional seperti Lembaga Fatwa Kuwait, Majlis Ulama Dunia, ECFR, dan FCNA yang memiliki

kesimpulan sama tentang bolehnya membeli rumah dengan memanfaatkan kredit bank berbunga (ribawî) karena suatu kebutuhan yang mendesak. Alasan kedua yang dikemukakan oleh

Yûsuf al-Qaradhâwî adalah analisis manfaat dan keuntungan yang akan mengantarkan pada kemaslahatan hidup minoritas muslim di Barat.87

86 Sebelum Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan kebolehannya, sebenarnya sudah ada fatwa-fatwa yang membolehkan membeli rumah dengan kredit bank berbunga ini, seperti fatwa yang dikemukakan oleh ulama India dan Pakistan yang didasarkan pada pandangan Abû Hanîfah dan Muhammad, sahabatnya. Pandangan ini didukung pula oleh sebagian kecil ulama. Ketika itu, Yûsuf al-Qaradhâwî menolak pendapat ini dan menyatakan bahwa hukum kredit bank dengan bunga adalah haram untuk keperluan apapun. Lihat, Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 154-155.

87 Ulasan lengkap perbedaan pendapat ulama dan alasan serta dalil yang digunakannya dipaparkan secara lengkap oleh Yûsuf al-Qaradhâwî di bagian akhir kitabnya, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 154-191.

160 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

b. Pemanfaatan Zakat untuk Membangun Lembaga Keislaman Masalah ini menjadi penting karena pembangunan lembaga- lembaga keislaman seperti masjid, pusat studi Islam, dan sekolah muslim merupakan kebutuhan yang mendesak di kalangan minoritas muslim di Barat, sementara sumber dana sangat sulit. Calon penyumbang banyak yang bersedia menyerahkan uangnya, tapi dengan syarat diatasnamakan zakat, sebagaimana pertanyaan yang disampaikan oleh salah seorang ketua lembaga keislaman di Amerika pada Yûsuf al-Qaradhâwî.88 Permasalahan yang dihadapi adalah, apakah hal ini dibenarkan mengingat delapan kelompok orang yang berhak menerima zakat tidak menyebutkan lembaga keislaman sebagai mustahiq zakat.

Dalam menjawab permasalahan ini Yûsuf al-Qaradhâwî melakukan dua hal: pertama adalah reinterpretasi terhadap kata “fî sabîl Allâh” (untuk jalan Allah) dalam ayat tentang penerima

zakat:

89

Kedua adalah konsiderasi kebutuhan dan manfaat. Menurut- nya, mayoritas ulama memang menyepakati makna kalimat

tersebut sebagai jihad di jalan Allah. Tetapi, ada juga sebagian ulama yang memperluas maknanya meliputi segala sesuatu yang mendukung terciptanya kemaslahatan umat Islam, termasuk di

88 Ibid. , hlm. 80-81. 89 Surat 9 (al-Tawbah) ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang- orang , orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

161 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dalamnya membangun masjid, sekolah muslim, jembatan, dan lain sebagainya. Yûsuf al-Qaradhâwî setuju akan kedua makna tersebut dan mengombinasikannya dalam penafsiran bahwa fî sabîl Allâh memang bermakna jihad, tetapi jihad ini merangkum semua makna yang mendukung dakwah dan kemaslahaan umat Islam, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keislaman yang disebut- nya sebagai bagian dari jihad modern.90

Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian mengaitkan reinterpretasi di atas dengan kebutuhan masyarakat minoritas dan konsiderasi

manfaat atau maslahat yang akan dilahirkan ketika lembaga- lembaga keislaman tersebut berdiri. Atas kuatnya pertimbangan kebutuhan dan manfaat ini, Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan

bahwa menggunakan dana zakat untuk membangun lembaga keislaman adalah boleh.

3. Bidang Politik Dalam bidang politik bisa ditemukan beberapa persoalan mendasar, seperti bagaimana hukum bertempat tinggal di negara-

negara non-muslim dan memiliki kewarganegaraan negara tersebut, dan bagaimanakah hukum ikut serta dalam masalah politik dan memilih pemimpin negara yang bukan muslim di

negara tersebut. Berikut adalah jawabannya menurut pola pandang fiqh al-aqalliyyât.

a. Hukum Tinggal di Negara Non-Islam dan Memiliki Kewarganegara- an Negara Tersebut

Bin Bayyah mempunyai analisis menarik tentang masalah ini. Dia memulainya dengan pertanyaan tentang apa esensi dari definisi negara Islam itu sendiri. Apakah negara Islam (dâr al- Islâm) itu dilihat dari sisi penduduknya yang kebanyakan muslim

90 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 81-82.

162 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

ataukah dari sisi hukum yang dipergunakan di negara tersebut yang berdasarkan syari’at Islam. Kalau yang dijadikan patokan dasar adalah hukumnya, apakah keseluruhan hukum Islam yang harus diterapkan ataukah boleh hanya sebagian? Pertanyaan dasar inilah yang telah menjadikan ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan negara Islam dan negara non-Islam.91

Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyampaikan definisi sederhana, bahwa negara Islam adalah negara yang di dalamnya hukum Islam ditegakkan. Sementara itu ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah mendefinisikan-

nya sebagai negara yang menegakkan hukum Islam, atau yang memberikan kebebasan kepada penduduknya yang beragama Islam untuk menjalankan hukum Islam. Dengan demikian, lanjut

‘Awdah, negara Islam bisa berupa negara yang keseluruhan atau mayoritas penduduknya muslim, negara yang diperintah oleh umat Islam dengan menjalankan hukum Islam walaupun sebagian

besar penduduknya non-muslim, dan negara yang dikuasai oleh non-muslim tetapi memberikan kebebasan kepada penduduknya yang muslim untuk menjalankan agamanya.92 Perbedaan definisi

ini banyak sekali karena tidak ada suatu dalil pun yang secara pasti mengacu pada makna dâr al-Islâm ini. Bin Bayyah sendiri me- nyatakan bahwa dari pembacaan terhadap perbedaan definisi

menyimpulkan bahwa dâr al-Islâm adalah setiap pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim, hakim-hakimnya juga muslim walaupun tidak menetapkan/melaksanakan sebagian hukum-hukum syari’at. Sementara negara non-muslim (dâr ghayr al-muslimîn ) adalah setiap pemerintahan yang mayoritas pen- duduknya non-muslim dan hakim-hakimnya juga non-muslim.93

91 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 280. 92 Lihat, ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tashrî‘ al-Jinâ’î al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh‘î, juz 1, hlm. 224-225. 93 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 280-281.

163 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Perbedaan pendapat tentang definisi ini berimplikasi pada perbedaan pendapat ulama tentang hukum bertempat tinggal di negara non-muslim. Secara umum pendapat tersebut bisa dibagi ke dalam tiga kategori: pertama, kategori yang mengharamkan secara mutlak, seperti yang dianut oleh Ibn Hazm dan pengikut madzhab Mâlikî. Bahkan Imam Mâlik sendiri secara tegas menyatakan bahwa tidak boleh hukumnya tinggal di negara maksiat di mana para sahabat Nabi dan ulama dihina dan dibenci. Kedua, pendapat jumhur fuqaha yang memberikan kelonggaran bolehnya tinggal di negara-negara non-muslim sepanjang ia mampu menjalankan kewajiban agamanya. Dalil yang dikemuka- kan adalah, sebagaimana disampaikan oleh Imam Syâfi’î, bahwa Nabi telah mengizinkan kaum yang telah masuk Islam di Makah untuk tetap tinggal di sana setelah keislaman mereka, sebagian

dari mereka adalah ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthallib. Ketiga, bahwa tinggal di negara non-muslim bisa saja hukumnya wajib manakala keberadaannya di tempat itu menjadikan kemaslahatan bagi Islam

dan umat Islam atau manakala perginya umat Islam dari negara tersebut akan melahirkan sisi negatif (mafsadat); haram manakala tidak khawatir keluar Islam, tetapi hanya mereka melihat

kemungkaran, sementara melihat ada negara alternatif yang kemungkarannya lebih kecil; mubah apabila dua pertimbangan maslahat dan mafsadat itu sama; dan sunnah atau mustahab

apabila ada kepentingan dakwah sementara sudah ada orang lain yang telah memulai dakwah di negara tersebut.94

Pendapat ketiga inilah yang diambil oleh ECFR ketika menentukan hukum iqâmah fî bilâd ghayr al-muslimîn. Per- timbangan kemaslahatan dan kemafsadatan menjadi ukuran mutlak dalam penentuan hukum. Pendapat dengan menjadikan kemaslahatan sebagai konsiderasi utama seperti ini sebenarnya

94 Ibid., hlm. 284-285.

164 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

juga telah disampaikan oleh ulama-ulama klasik. Kitab klasik Mugnî al-Mu htâj misalnya menyatakan bahwa pandangan dalam menakar negara-negara yang akan ditempati sesungguhnya adalah dari sisi kebaikan dan kerusakannya.95

Ketika pendapat ketiga yang dijadikan pilihan dalam fiqh al- aqalliyyât, maka pertanyaan tentang hukum berkewarganegaraan

di negara-negara tersebut juga bervariasi mengikuti hukum bertempat tinggal di negara non-muslim yang sangat ditentukan oleh sisi kemaslahatan dan kemafsadatan seperti yang dikemuka-

kan di atas.

b. Hukum Ikut Serta dalam Masalah Politik

Dalam konteks dâr al-Islâm, fiqh al-siyâsah menegaskan bahwa berpartisipasi dalam masalah politik merupakan sesuatu yang disyari’atkan dalam upaya membangun kemaslahatan bersama dan menegakkan prinsip-prinsip Islam yang agung. Partisipasi yang dimaksud dalam hal ini bersifat umum, mulai dari yang paling dasar, yakni memenuhi hak dan kewajiban politik sebagai warga negara, mengikuti pemilu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan politis, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi problematis ketika diletakkan dalam konteks partisipasi umat Islam dalam kegiatan politik di negara-negara non-Islam di Barat. Pertanyaan tentang kebolehan umat Islam di Barat ikut pemilihan presiden yang calon-calonnya beragama non-Islam adalah salah satu contoh permasalahan, sebab syarat menjadi pemimpin menurut fiqh klasik sangat ketat meliputi masalah agama, kepribadian, keilmuan, dan lain sebagainya.96

95 Ibid., hlm. 284; Mugnî al-Muhtâj, vol. 4, hlm. 284. 96 Lihat, Abû al-Hasan al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirût: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1990), hlm. 31-32; lihat pula Abû Ya’lâ Muhammad bin Husain al- Farrâ’, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006), hlm. 20.

165 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Atas permasalahan ini ECFR memberikan pandangan hukum sebagai berikut:97 pertama, tujuan kerja sama atau ikut serta dalam politik adalah untuk menjaga hak, kebebasan, dan mempertahan- kan nilai-nilai diri serta eksistensi umat muslim di negara tersebut. Kedua , hukum asal menentukan disyari’atkannya kerja sama politik bagi umat muslim di Eropa dengan status hukum boleh, sunnat, dan wajib atas dasar ayat al-Qur’ân, yakni surat 5 (al- Mâ’idah ) ayat 2:

98

Ketiga, kerja sama politik meliputi menjadi anggota lembaga

sosial kemasyarakatan, ikut serta dalam partai politik, dan lain sebagainya. Keempat, termasuk kaidah yang paling penting yang harus dipegang dalam kerja sama politik ini adalah tetap berpegang

teguh pada akhlak Islami, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, serta menghargai pluralisme dan pandangan yang berbeda. Kelima, ikut serta dalam pemilihan umum dengan syarat ber-

pegang pada kaidah-kaidah syari’at, etika, dan perundang- undangan, dengan niat kemaslahatan dan tidak didasarkan pada kepentingan individu. Keenam, bolehnya menggunakan harta

benda untuk kepentingan pemilihan umum tersebut walaupun yang dipilih bukan seorang muslim, sepanjang dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan umum. Ketujuh, kebolehan kerja sama

politik tersebut berlaku sama bagi perempuan muslimah sebagai- mana berlaku bagi laki-laki.

Pandangan ECFR di atas lebih menekankan pada konteks dan berorientasi pada kemaslahatan, yang merupakan inti dari maqâshid al-syarî’ah. Teks-teks dalil yang digunakan sebagai dasar dalam fiqh klasik, seperti karya al-Ghazâlî, al-Mâwardi, dan al-

97 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 294-295. 98 Artinya: “…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

166 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Farrâ’ lebih dipahami dari sisi tujuannya dibandingkan dengan sisi makna harfiyyah teks itu sendiri. Pandangan ECFR ini sangat sesuai dengan pandangan FCNA dan beberapa sarjana muslim Amerika kontemporer seperti Muqtedar Khan yang jelas-jelas mendukung Obama pada Pemilu Amerika tahun 2008 dengan menjadikan terwujudnya kemaslahatan bagi umat muslim khusus- nya dan dunia pada umumnya, sebagai konsiderasi utama.99

Senada dengan pandangan di atas adalah jawaban Thâhâ Jâbir al-'Alwânî atas pertanyaan “apakah dilarang atau diharamkan ikut

serta dalam sebuah sistem pemerintahan yang tidak Islami?” Menurut Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, fiqh pada umumnya akan melarang dan menetapkan hukum haram atas hal tersebut. Tetapi,

ketika pertanyaan tersebut diletakkan dalam suatu konteks di mana tindakan pemerintahan mungkin dipengaruhi untuk menjadi lebih baik dengan keterlibatan umat muslim dalam sistem politik,

pemerintah memiliki otoritas sekuler terhadap umat muslim di negara tersebut dan memberikannya kebebasan untuk menjalan- kan agama mereka, umat muslim diberi hak untuk menangani

kantor publik, pemerintahan yang ada belum memberikan aturan dan kebijakan yang memihak umat muslim, maka pertanyaan di atas perlu untuk ditata ulang menjadi “apakah dibolehkan bagi

umat muslim berpartisipasi dalam arena politik sebuah peme- rintahan yang demokratik dalam rangka mempengaruhi kebijakan yang ada sehingga mendukung eksistensi umat Islam?” Dalam konteks ini, jawabannya adalah:

“… it is permissible and an obligation on the part of the Muslim community to get involved as long as they are not forced to sacrifice their integrity. For the community it would be considered a type of jihad. If a particular member of the community feels him/her self to be

99 Lihat, M. Muqtedar Khan, American Muslims and the 2008 Presidential Election Policy Recommendation (Michigan: Institute for Social Policy and Understanding, 2008).

167 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

too weak in religion then there is no harm if that person does not directly participate, but supports financially or in other ways instead”. 100

4. Bidang Hukum Keluarga

Permasalahan yang juga cukup marak terjadi adalah masalah hukum keluarga. Dalam bidang ini dikemukakan dua contoh: pertama tentang kebolehan seorang muslim menerima warisan

dari kerabatnya yang beragama non-Islam, dan kedua tentang status istri yang masuk Islam sementara suaminya tetap beragama non-Islam.

a. Tentang Kebolehan Seorang Muslim Menerima Warisan dari Kerabatnya yang Beragama Non-Islam Ada pertanyaan yang dikemukakan oleh seorang laki-laki mu’allaf (baru masuk Islam) yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang masih tetap beragama non-Islam. Laki-laki tersebut adalah pewaris tunggal dari kedua orang tuanya yang meninggal- kan harta warisan cukup banyak. Pertanyaannya, apakah boleh

dia menerima warisan dari orang tuanya, sementara hadîts dengan tegas menyatakan bahwa orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, sebagaimana sebaliknya orang kafir juga tidak boleh

mewarisi harta orang Islam? Sebagai konsiderasi, si penanya

100 Artinya: “…boleh dan merupakan suatu kewajiban bagi sebagian komunitas muslim untuk terlibat sepanjang mereka tidak dipaksa untuk melepaskan/ mengorbankan integritas mereka. Bagi komunitas muslim, keterlibatan ini meru- pakan sebuah bentuk jihad. Jika anggota tertentu dalam komunitas merasa dirinya terlalu lemah dalam agama, maka tidak salah apabila orang tersebut tidak berpartisipasi langsung, tetapi tetap mendukung secara finansial atau lainnya sebagai gantinya.” Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, “The Fiqh of Minorities,” dalam http://www.isna.net/Islam/articles/Fiqh/The-Fiqh-of-Minorities.aspx , akses tanggal 5 Mei 2008. Pendapat dan alasan yang dikemukakan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî sama dengan pendapat dan alasan yang dikemukakan oleh Yûsuf al-Qaradhâwî dalam kitabnya Min Fiqh al-Dawlah fî al-Islâm (Kairo: Dâr al-Shurûq, 1997), hlm. 180-185.

168 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

menyampaikan bahwa kalau diperbolehkan mengambil warisan orang tuanya itu maka harta waris yang didapatkannya akan dipergunakan untuk kepentingan lembaga-lembaga keislaman, sementara apabila tidak diperbolehkan maka harta tersebut akan jatuh kepada orang-orang non-muslim. Tidak ada yang memungkiri derajat kesahihan hadîts tentang

larangan saling mewarisi antara orang Islam dan orang kafir tersebut. Semua ulama madzhab setuju dan tidak berselisih pendapat dalam hal ini. Meskipun demikian, Yûsuf al-Qaradhâwî

memilih untuk mengikuti pendapat yang tidak populer di kalangan empat madzhab yang menyatakan bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-Islam, tetapi tidak berlaku

sebaliknya. Pendapat Yûsuf al-Qaradhâwî ini berdasarkan beberapa riwayat zaman sahabat, salah satunya adalah riwayat dari ‘Umar, Mu‘âdz, dan Mu‘âwiyyah, bahwa mereka memper-

bolehkan orang Islam menerima warisan orang non-Islam, tetapi tidak memberlakukan yang sebaliknya. Selain itu, kebolehannya ini juga dibandingkan dengan kebolehan orang laki-laki muslim

menikahi perempuan Ahli Kitab, sementara laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi perempuan muslimah.101

Lebih lanjut Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa dimensi kemaslahatan menerima warisan dari non-muslim akan lebih besar daripada membiarkan harta waris itu dikuasai umat non-muslim yang kemungkinan akan dipergunakan untuk kepentingan maksiat atau pengembangan agama mereka. Untuk tidak terkesan menentang derajat shahîh dari hadîts tentang larangan saling mewarisi antara orang Islam dan orang non-Islam tersebut di atas, Yûsuf al-Qaradhâwî melakukan takwil sebagaimana pengikut madzhab Hanafi melakukan takwil pada hadits “Seorang muslim tidak boleh dibunuh hanya karena membunuh orang kafir.”

101 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 126-128.

169 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Menurut mereka, orang kafir yang dimaksudkan adalah orang kafir harbî yang memerangi Islam. Oleh karena itu, larangan saling mewarisi juga berlaku hanya antara muslim dan kafir harbî.102

b. Status Pernikahan Istri yang Masuk Islam Sementara Suaminya Tetap

Non-Muslim Permasalahan yang tidak kalah menarik dalam bidang hukum keluarga ini adalah kasus pernikahan. Kasus ini menempati rating

pertama dalam persoalan hukum keluarga masyarakat minoritas muslim di Barat, mengingat pernikahan beda agama dan konversi agama salah satu pasangan merupakan sesuatu yang lazim

terjadi.103 Permasalahan yang menarik dan kontroversial adalah tentang konversi agama seorang istri menjadi muslimah, sementara suaminya tetap memeluk agama asalnya. Pertanyaan-

nya, apakah istri tersebut harus bercerai dengan suaminya?104 Konteks pertanyaan ini adalah adanya konflik psikologis, karena di satu sisi mayoritas ulama berpendapat bahwa istri tersebut harus mengajukan cerai, sementara pada sisi yang lain istri ke- beratan meninggalkan suami yang dicintainya dan mengorbankan anak dan keluarga yang telah terbangun secara harmonis.105

Jawaban fiqh klasik atas permasalahan tersebut di atas cukup beragam, namun mayoritas masyarakat dan ulama berkeyakinan akan keharusan cerai di antara keduanya. Ini juga menjadi keyakinan Yûsuf al-Qaradhâwî sebelum mengetahui betul realitas persoalan ketika muslimah tersebut berada dalam konteks sebagai

102 Dalam memperkuat pilihan hukum ini, Yûsuf al-Qaradhâwî menukil tarjih Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim atas pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama yang kemudian menyimpulkannya persis seperti kesimpulan Yûsuf al-Qaradhâwî di atas. Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 128-131. 103 Beberapa macam persoalan pernikahan bisa dibaca dalam Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 348, 352, 356, 358, dan 359. 104 Ibid., hlm. 356-357. 105 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 105.

170 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

minoritas muslim di Barat. Yûsuf al-Qaradhâwi kemudian berubah pandangan dan menyatakan bahwa istri tersebut boleh tinggal bersama dengan suaminya atas dasar kemaslahatan yang ingin dipeliharanya. Pandangan ini dihasilkan dari metode tarjîh maqâshidî (pengunggulan suatu pendapat atas beberapa pendapat yang didasarkan pada dominasi nilai kemaslahatannya) atas pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Yûsuf al- Qaradhâwî menyebutkan sembilan (9) pendapat Ibn Qayyim atas permasalahan tersebut di atas: (1) batalnya pernikahan setelah masuk agama Islam; (2) pernikahan batal apabila suami tidak mau diajak masuk Islam; (3) batalnya pernikahan setelah masa ‘iddah jika istri telah digauli, dan langsung batal tanpa menunggu ‘iddah jika belum digauli; (4) jika istri masuk Islam sebelum suami masuk Islam, maka perceraian terjadi seketika itu juga. Tapi, jika suami

masuk Islam sebelum istri, kemudian istri masuk Islam dalam masa ‘iddah , maka ia tetap sah menjadi istrinya, sementara jika tidak, maka terjadilah perceraian dengan berakhirnya ‘iddah; (5)

mempertimbangkan ‘iddah bagi pasangan suami-istri, yakni bahwa jika salah satu masuk Islam sebelum berhubungan badan maka batallah nikahnya. Jika masuk Islam setelah berhubungan badan

dan pasangannya masuk Islam ketika masih dalam ‘iddah, maka tetap sah perkawinannya. Sementara jika ‘iddah berakhir sebelum pasangannya masuk Islam maka batallah pernikahannya; (6) istri

tetap bersama dengan suaminya dan menunggunya untuk memeluk Islam walaupun membutuhkan waktu penantian ber- tahun-tahun; (7) suami lebih berhak terhadap istrinya selama istri

tidak keluar dari rumahnya; (8) suami-istri tersebut tetap dalam pernikahannya selama tidak dipisahkan oleh sultan; dan (9) istri tetap bersama dengan suaminya, tetapi tidak boleh terjadi

hubungan suami-istri.106

106 Ibid., hlm. 106-108. Ulasan lengkap Ibn Qayyim dengan dalil dan perdebatannya dapat dilihat di Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ahkâm Ahl al-Dhimmah (Dammâm: Ramâdî al-Nashr, 1992) , hlm. 640-685.

171 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Ibnu Qayyim dan gurunya, Ibn Taymiyyah, memilih pendapat keenam sebagai pendapat yang paling tepat, yakni memberikan kesempatan walaupun bertahun-tahun bagi istri untuk tetap bersama dengan suami seraya berharap suaminya masuk Islam, dengan catatan bahwa keduanya tidak boleh melakukan hubungan suami-istri. Sementara itu Yûsuf al-Qaradhâwî menganggapnya sebagai pilihan yang kurang tepat karena bertentangan dengan tabiat dan kecenderungan psikologis manusia untuk tetap melakukan hubungan suami-istri, terlebih ketika cinta dan kasih sayang di antara mereka masih ada. Karena itulah maka Yûsuf al- Qaradhâwî memilih pendapat ketujuh dan kedelapan yang memberikan keleluasaan bagi suami-istri tersebut untuk tetap sebagai suami-istri selama tidak dipisahkan oleh penguasa (sultan).107 Pendapat inilah yang dianggap lebih memberikan

kemaslahatan.108

107 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 117-122; Bandingkan dengan jawaban Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang dengan tegas menyatakan perlunya perempuan tersebut melanjutkan perkawinannya dengan suaminya yang non-muslim dengan dasar bahwa pilihan hukum ini akan lebih baik daripada istri tersebut kembali ke agamanya semula (yakni keluar dari Islam) karena pertimbangan psikologi keluarga. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan: “The an- swer is that leaving the religion is much worse, so therefore it is acceptable for her to continue with her marriage and she is responsible before Allah on Judg- ment Day.” Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, “The Fiqh of Minorities,” dalam http:/ /www. isna.net/Islam/articles/Fiqh/The-Fiqh-of-Minorities.aspx, akses tanggal 5 Mei 2008. 108 Pendapat Yûsuf al-Qaradhâwî ini sejalan dengan kesimpulan akhir fatwa resmi ECFR atas permasalahan tersebut di atas. Perbedaannya adalah ECFR tidak mendasarkan pendapatnya pada pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim. Menurut ECFR, ada lima kondisi dasar yang terjadi ketika ada pasangan suami-istri yang masuk Islam: pertama, jika keduanya masuk Islam secara bersamaan dan tidak ada penghalang perkawinan seperti nasab dan sesusuan, maka pernikahannya tetap sah; kedua, jika suami saja yang masuk Islam, sementara istrinya adalah ahli kitab, maka pernikahannya juga tetap sah; ketiga, jika si istri yang masuk Islam, sementara suaminya tetap pada agamanya, maka ada empat kemungkinan, yaitu: wajib cerai jika belum melakukan hubungan badan; jika sudah berhubungan badan dan si suami masuk Islam sebelum selesai ‘iddah maka perkawinannya masih dianggap sah; jika tetap tidak masuk Islam sampai

172 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

Di luar contoh-contoh kasus tersebut di atas, banyak contoh permasalahan hukum lainnya yang layak dikaji lebih lanjut, seperti masalah bekerja di pabrik yang bersentuhan dengan masalah yang diharamkan dalam Islam seperti pemotongan babi, pabrik minuman keras, dan sebagainya yang lazim dihadapi oleh masya- rakat minoritas muslim di Barat. Persoalan gender, perempuan karier, makanan dan minuman yang tidak jelas halal dan haramnya, dan dikuburkannya muslim di pekuburan non-muslim, merupakan masalah sehari-hari yang tidak pernah selesai diperdebatkan. Fatwa tentang sebagian permasalahan yang aktual telah ditampil- 109 110 kan dalam situs resmi ECFR dan FCNA untuk menjadi kajian lebih lanjut.

Permasalahan keislaman, terutama yang berhubungan dengan hukum Islam, dalam kehidupan masyarakat minoritas muslim di Barat akan senantiasa terus bertambah seiring dengan

cepatnya dinamika persoalan sosial, budaya, dan hukum yang terjadi dalam kehidupan publik. Kebutuhan akan fiqh al-aqalliyyât akan semakin terasa pada masa yang akan datang.

masa ‘iddah habis maka si istri boleh menunggu keislamannya walaupun memakan waktu lama; dan jika si istri memilih untuk kawin dengan lelaki lain, maka wajib menuntut cerai (cerai gugat) melalui pengadilan; kelima, tidak diperbolehkan bagi istri untuk tetap tinggal dengan suaminya menurut empat madzhab yang terkenal. Di samping lima pandangan di atas, ECFR mengungkapkan pandangan sebagian kecil ulama yang membolehkan si istri secara mutlak tetap bersama dengan suaminya dengan segala hak perkawinannya dengan merujuk pada pandangan ‘Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibrâhîm al-Nakhâ’î, al-Sha‘bî dan Hammâd bin Sulaymân. Pendapat inilah yang dipakai oleh ECFR. Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 356-357. 109 Situs resmi ECFR beralamatkan www.e-cfr.org. 110 Situs resmi FCNA beralamatkan www.fiqhcouncil.org.

173 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 4 MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH SEBAGAI PENDEKATAN DALAM FIQH AL-AQALLIYÂT

Salah satu problematika aplikasi hukum yang tetap hangat diperdebatkan, baik yang klasik maupun yang kontemporer,

adalah tentang tujuan hukum itu sendiri (the purpose of law). Ada yang beranggapan bahwa ketika hukum itu dibuat, sudah tentu memiliki tujuannya sehingga pada masa selanjutnya aplikasi

hukum merupakan cause and effect matter (urusan sebab dan akibat) tanpa perlu lagi melihat konteks tujuan awal pembuatan hukum. Hukum bersifat tetap (certain) walaupun tempat dan waktu

terjadinya sebab-akibat hukum itu berbeda. Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pandangan madzhab hukum Jerman dan Perancis yang beranggapan bahwa tujuan hukum harus menjadi

prinsip dasar utama dalam aplikasi hukum, karena untuk itulah sebenarnya hukum tersebut ada. Hukum bersifat luwes dan berjalan beriringan dengan panorama sosial yang ada.1

1 Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach (London, Washington: IIT, 2008), hlm. 229. Perlunya karakter luwes (fleksibelitas) hukum perlu mendapat perhatian serius karena hukum itu sendiri merupakan teks yang terbangun dari banyak unsur, mulai dari kebiasaan, moral, agama, sampai pada judikasi dan kajian ilmiah yang, menurut Roscoe Pound, menjadi satu kesatuan pembentuk hukum yang sarat dengan tujuan filosofis. Lihat, Rahma Hersi, “A Value Oriented Legal Theory for Muslim Countries in the 21st Century: A Comparative Study of Both Islamic Law and Common Law Systems”, dalam Cornell Law School Graduate Student Papers Series, No. 29, 2009.

175 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Implikasi dari dua pandangan tersebut di atas adalah dominannya posisi teks hukum menurut pandangan yang pertama, dan kuatnya posisi tujuan hukum menurut pandangan yang kedua. Pada madzhab pertama, implikasi tujuan hukum tidaklah tampak, bersifat abstrak, dan tunduk pada bunyi teks hukum dengan satu keyakinan akan adanya keadilan dalam ketetapan hukum itu sendiri. Sementara itu, madzhab yang kedua menjadikan tujuan hukum sebagai sesuatu yang lebih konkret, nyata, dan dapat dirasa. Perdebatan hukum seperti di atas tidak hanya berlaku pada

sejarah perkembangan hukum Barat, tetapi juga pada sejarah perkembangan hukum Islam. Bahkan pada sisi tertentu, perdebatan tujuan hukum yang dikenal dengan istilah maqâshid

al-syarî’ah lebih kental dibandingkan dengan sejarah per- kembangan hukum Barat. Hal ini disebabkan oleh faktor teologis yang sangat krusial: pertama, hukum Barat bersumber dari akal

manusia yang rentan mengalami perubahan dengan berubahnya peradaban, sementara hukum Islam bersumber dari wahyu Allah yang tetap dan secara tekstual tidak mengalami perubahan; kedua,

pada hukum Islam, kebijaksanaan Tuhan ada pada setiap ketentuan hukum-Nya; ketiga, perdebatan posisi akal dan teks Tuhan itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam konteks teologi Islam, ada tiga pendapat utama berkenaan dengan tujuan hukum ini. Pertama, adalah kelompok mu’tazilah dan, dengan beberapa pengecualian, Syi’ah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa perbuatan Allah “harus” memiliki sebab dan tujuan. Tujuan dari segala perbuatan Tuhan adalah kebaikan (hasan), sebab mustahil Allah melakukan sesuatu yang berakibat kejelekan (qabîh). Menyatakan bahwa perbuatan Allah tidak memiliki tujuan adalah tidak masuk akal dan sia-sia. Lebih lanjut Mu‘tazilah berkeyakinan bahwa akal manusia mampu untuk membedakan antara hasan dan qabîh tadi, karena nilai- nilai tersebut adalah nilai universal yang berlaku pada manusia

176 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

dan juga Allah. Kedua, adalah kelompok Asy‘ariyah (dan kelompok Salafî termasuk Hanbalî) yang berkeyakinan bahwa perbuatan Allah adalah di atas dari sebab dan tujuan. Kelompok ini percaya bahwa ada nilai hasan dan qabîh, tetapi, berbeda dengan Mu ‘tazilah, nilai-nilai ini harus didasarkan pada dalil syari’at dan tidak bisa ditentukan oleh nalar atau logika manusia. Lebih jauh lagi, Asy‘ariyah berkeyakinan bahwa Allah tidak pernah harus melakukan sesuatu, tetapi apapun yang dilakukan oleh Allah pastilah baik. Allah tidak pernah terikat oleh sebab, karena Allah berposisi di atas sebab itu sendiri. Ketiga, adalah pendapat al- Mâturidî yang mengambil posisi tengah antara dua kelompok tersebut di atas. Baginya, perbuatan Allah memang memiliki sebab dan tujuan seperti yang diyakini oleh Mu‘tazilah, tetapi hal ini bukan merupakan suatu kewajiban bagi Allah. Al-Mâturidî

percaya bahwa Allah tidak membutuhkan tujuan seperti yang diyakini Asy‘ariyah, tetapi juga percaya bahwa tujuan-tujuan dan kebaikan adalah kebutuhan manusia. Bagi al-Mâturidî, akal tidak

memiliki otoritas untuk memutuskan mana yang baik dan mana yang jelek, ia hanya sebagai media untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang jelek.2

Terlepas dari perbedaan pandangan teologis di atas, ternyata

maqâshid al-syarî’ah terus hidup dan berkembang walaupun tidak sepesat laju problematika hukum Islam itu sendiri. Sejarah per-

2 Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach , hlm. 52-53. Al-Syâthibî memberikan catatan pendek tentang perbedaan ulama teologi tentang hal ini. Menurutnya, al-Râzî berpandangan bahwa hukum- hukum Allah dan juga perbuatan-perbuatan Allah tidaklah mu‘allalah (terikat pada sebab), sementara Mu‘tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah terikat dengan sebab untuk menjaga kemaslahatan manusia. Pendapat Mu‘tazilah inilah yang paling banyak diikuti oleh ulama muta’akhkhirîn. Lihat, al-Syâthibî, al- Muwâfaqât, hlm. 220. Diskusi lebih jauh tentang perdebatan madzhab Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah bisa dibaca dalam Sherman Jackson, “The Alchemy of Domina- tion Some Asyarite Responses to Mu’tazilite Response,” dalam The International Journal of Middle East Studies, No, 31 (1999), hlm. 190.

177 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kembangan maqâshid al-syarî’ah ini mengalami pasang surut dan baru muncul sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri pada pertengahan abad ke-20 dengan hadirnya seorang tokoh bernama Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (w. 1379 H/1973 M)3 yang mengembangkan dasar-dasar yang telah dibangun oleh Abû Ishâq al-Syâthibî (w. 790 H).4 Kehadirannya memberikan pencerahan baru bagi perkembangan pemikiran hukum Islam. Karena itulah bab ini secara khusus membahas perkembangan maqâshid al- syarî’ah sebagai konsep rahasia dan hikmah hukum hingga posisinya sebagai pendekatan kontemporer dalam memberikan jawaban problematika keislaman.

A. Maqâshid al-Syarî’ah: Definisi dan Posisinya dalam Diskursus Hukum Islam

Secara etimologi, (maqâshid al-syarî’ah) merupakan istilah gabungan dua kata: (maqâshid) dan (al-syarî‘ah). Maqâshid adalah bentuk plural dari 5 (maqshad), (qashd), (maqshid) atau (qushûd) yang merupakan derivasi dari kata kerja (qashada yaqshudu) dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, 6 tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus,

3 Karya monumental yang telah mencuatkan namanya dalam kancah pemikiran hukum Islam adalah Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1366 H/1946 M oleh Maktabah al-Istiqâmah Sûq ‘Aththârîn Tunisia. Kitab ini adalah karya pertama tentang maqâshid al-syarî’ah yang terbit setelah karya monumental al-Syâthibî, al-Muwâfaqât. 4 Dasar-dasar kajian maqâshid al-syarî’ah sebagai disiplin ilmu yang mandiri serta urgensi maqâshid al-syarî’ah dalam pengembangan kajian hukum Islam menjadi kajian utama kitab ini. Sampai saat ini, al-Muwâfaqât menjadi rujukan otoritatif bagi siapapun yang mengkaji maqâshid al-syarî’ah. Kitab inilah yang telah mengidentikkan maqâshid al-syarî’ah dengan al-Syâthibî. 5 Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fâyûmî al-Muqrî’, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr li al-Râfi‘î (Beirût: Maktabah Lubnân, 1987), hlm. 192. 6 Ibid., hlm. 192.

178 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan.7 Makna- makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qashada dan derivasinya dalam al-Qur’ân. Ia bermakna mudah, lurus, dan sedang-sedang saja seperti kalimat dalam surat 9 (al-Tawbah) ayat 8 42: , pertengahan dan seimbang seperti kalimat dalam surat 35 (Fâthir) ayat 32: ,9 dan dengan makna lurus seperti kalimat dalam surat 16 (al-Nahl) ayat 9: ,10 serta bermakna tengah-tengah di antara dua ujung seperti kalimat yang terdapat dalam surat 31

(Luqmân) ayat 19: .11 Sementara itu, syarî’ah yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fiqh berarti hukum-hukum yang disyari’atkan oleh

Allah untuk hamba-Nya, baik yang yang ditetapkan melalui al- Qur’ân maupun Sunnah Nabi Muhammad yang berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi.12 Dalam definisi yang lebih singkat dan umum, al-Raysûnî menyatakan bahwa syarî‘ah bermakna sejumlah hukum ‘amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi aqidah maupun legislasi hukum- nya. 13

7 Fayrûz Abâdî, al-Qâmûs al-Muhîth (Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1987), hlm. 396. Lihat pula Abû al-Fadhl Muhammad bin Mukrim bin Mandzûr, Lisân al- ‘Arab, Vol. 3 (Beirût: Dâr Shâdir, 1300 H), hlm. 355.

8 Law kâna ‘aradhan qarîban wa safaran qâshidan dengan makna “perjalanan yang tidak seberapa jauh, mudah, dan lurus.”

9 Wa minhum muqtashidun dengan makna “dan sebagian mereka ada yang pertengahan atau seimbang.” 10 Wa ‘alâ Allâh qashd al-sabîl wa minhâ jâ’ir dengan makna “dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok.” 11 Wa iqshid min mashyika dengan makna “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan (jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat).” 12 ‘Abd al-Karîm Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1976), hlm. 39. 13 Ahmad al-Raysûnî, al-Fikr al-Maqâshidî Qawâ‘iduhû wa Fawâ’iduhû (Ribâth: Mathba‘ah al-Najâh al-Jadîdah-al-Dâr al-Baydhâ’, 1999), hlm. 10.

179 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Secara terminologis, makna maqâshid al-syarî’ah ber- kembang dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syâthibî, belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif tentang 14 maqâshid al-syarî’ah. Definisi mereka cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan makna- nya. 15 Al-Bannânî memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnâwî mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum, al-Samarqandî menyamakannya dengan makna-makna hukum, sementara al- Ghazâlî, al-Âmidî, dan Ibn al-Hâjib mendefinisikannya dengan 16 menggapai manfaat dan menolak mafsadat. Variasi definisi tersebut mengindikasikan kaitan erat maqâshid al-syarî’ah dengan hikmah , ‘illat, tujuan atau niat, dan kemaslahatan.17 Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah contoh definisi maqâshid al-syarî’ah oleh para ulama klasik: Al-Ghazâlî men-

definisikannya sebagai berikut:

Mashlahah adalah sebuah istilah yang pada intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian. Yang kami maksudkan dengan maqâshid al-syarî’ah sebenarnya bukan ini, karena mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan makhluk adalah ketika menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan

14 Ahmad al-Raysunî, Imam al-Syatibi’s Theory Imam al-Syatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law (London, Washington: IIIT, 2005), hlm. xxii. 15 ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kîlânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘ind al-Imâm al-Syâthibî ‘Aradhan wa Dirâsatan wa Tahlîlan (Damshiq, Suriyah: IIIT dan Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 45. 16 ‘Umar bin Shâlih bin ‘Umar, Maqâshid al-Syarî’ah ‘inda al-Imâm al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm (Urdun: Dâr al-Nafâ’is li al-Nashr wa al-Tawzî’, 2003), hlm. 88.

17 Ibid., hlm. 91- 95, 98, 106. Menurutnya, sebenarnya tidak ada perbedaan antara hikmah, ‘illat, niat, dan maslahat dengan maqâshid al-syarî’ah. Semuanya adalah satu inti dengan banyak nama yang digunakan secara bergantian. Ketika orang berbicara tentang hikmah, ‘illat, niat, dan kemaslahatan hukum, maka ia sesungguhnya sedang membicarakan maqâshid al-syarî’ah.

180 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

dengan mashlahah di sini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka.18

Sementara itu Sayf al-Dîn Abû al-Hasan ‘Alî bin Abî ‘Alî bin Mu hammad al-Âmidî mendefinisikannya lebih singkat, yaitu: “Tujuan syari’at adalah mendatangkan kemaslahatan atau me- nolak kemafsadatan atau kombinasi keduanya.”19 Definisi ini sangat umum, konsepsional, dan abstrak sehingga belum bisa dibayang- kan bagaimana cara menentukannya. Definisi yang lebih tegas dan operasional dikemukakan oleh al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm:

Barangsiapa yang berpandangan bahwa tujuan syara’ adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat, maka berarti dalam

dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada di dalamnya juga tidak boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijmâ‘, nash, dan

qiyâs yang khusus.20

Gambaran tersebut memperlihatkan suatu perkembangan dari masa ke masa, baik dari sisi cakupan maupun penekanannya. Definisi singkat tapi operasional yang menghubungkan antara

Allah dan pembagian maqâshid al-syarî’ah dalam susunan yang hierarkis didapatkan pada perkembangan berikutnya yang dipelopori oleh Imâm Abû Ishaq al-Syâthibî,21 tokoh yang

18 Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Vol. 2 (Lubnân: Dâr al-Hudâ, 1994), hlm. 481. 19 Sayf al-Dîn Abû al-Hasan ‘Alî bin Abî ‘Alî bin Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Vol. 3 (Beirût: Mu’assasah al-Nûr, 1388 H), hlm. 271.

20 Al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm 2/160. 21 Definisi maqâshid al-syarî’ah oleh al-Syâthibî tidaklah seperti yang lainnya yang menekankan pada aspek kebahasaan. Al-Syâthibî sepertinya menganggap bahwa istilah maqâshid al-syarî’ah telah menjadi istilah yang dipahami secara jelas. Lebih dari itu, kitab al-Muwâfaqât yang dikarangnya memang diperuntukkan bagi mereka yang telah memiliki pengetahuan yang baik tentang hukum Islam, sehingga dalam beberapa hal yang telah dianggap umum tidak perlu diurai lebih jauh.

181 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dikukuhkan sebagai pendiri ilmu maqâshid al-syarî’ah. Al-Syâthibî menyatakan bahwa beban-beban syari’at kembali pada penjagaan tujuan-tujuannya pada makhluk. Maqâshid ini tidak lebih dari tiga macam: darûriyyât (kepentingan pokok atau primer), hâjiyyât 22 (kepentingan sekunder), dan tahsîniyyât (kebutuhan tersier). Lebih lanjut al-Syâthibî menyatakan bahwa Allah sebagai Syâri‘ memiliki tujuan dalam setiap penentuan hukum-Nya, yaitu untuk 23 kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Sepeninggal al-Syâthibî, kajian maqâshid al-syarî’ah

menemui kebuntuan sekian lama, terpendam sekitar enam abad dalam kejumudan intelektual, sampai hadirnya Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr yang mengangkat kembali kajian maqâshid al-syarî’ah

sebagai disiplin keilmuan yang mandiri. Ibn ‘Âsyûr mengatakan bahwa semua hukum syari’ah tentu mengandung maksud dari Syâri‘, yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat,24 dan bahwa

tujuan umum syari’at adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup mereka.25 Lebih lanjut Ibn ‘Âsyûr mendefinisikan maqâshid al-syarî’ah sebagai berikut:

Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh Syâri’ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna syari’ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum.26

Lihat, Ahmad al-Raysunî, Imam al-Syatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law, hlm. xxi.

22 Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât, hlm. 221. 23 Ibid ., hlm. 220. 24 Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 246, 405. 25 Ibid. , hlm. 273. 26 Ibid., hlm. 251. Di tempat yang lain, Ibn ‘Âsyûr memberikan definisi yang bersifat abstrak dengan mengatakan bahwa maqâshid itu sesungguhnya adalah segala

182 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Definisi Ibn ‘Âsyûr ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih konkret dan operasional. Sebagai penegasnya, dia juga menyatakan bahwa maqâshid al-syarî’ah bisa saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan syari’at dan juga bisa bersifat khusus, seperti maqâshid al-syarî’ah yang khusus dalam bab-bab mu’amalah. Dalam konteks ini, maqâshid al-syarî’ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara’ untuk mewujudkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan khusus mereka yang me- 27 ngandung hikmah. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam men-

definisikan maqâshid al-syarî’ah, para ulama ushûl sepakat bahwa maqâshid al-syarî’ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syari’at.28 Maqâshid al-

syarî’ah ini bisa jadi berupa maqâshid al-syarî’ah al-‘âmmah, yakni yang meliputi keseluruhan aspek syarî’at, maqâshid al- syarî’ah al-khâshshah yang dikhususkan pada satu bab dari bab-

bab syari’at yang ada, seperti maqâshid al-syarî’ah pada bidang ekonomi, hukum keluarga, dan lain-lain atau maqâshid al-syarî’ah al-juz’iyyah yang meliputi setiap hukum syara’ seperti kewajiban

salat, diharamkannya zina, dan sebagainya.29

keadaan yang dikehendaki karena esensinya, yang disenangi oleh jiwa untuk diraih sehingga menjadi pendorong terciptanya tindakan atau perbuatan untuk meraihnya. 27 Ibid. , hlm. 147. 28 Hal ini sejalan dengan definisi maqâshid al-syarî’ah yang dikemukan oleh Yûsuf Hâmid al-‘Âlim: “Tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh hukum, yakni kemaslahatan yang kembali pada hamba, baik dalam hidup di dunia maupun di akhirat, baik realisasinya itu melalui upaya mencapai manfaat maupun menolak bahaya atau kerugian. Lihat, Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, al-Maqâshid al-‘Âmmah li al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Riyâdh: al-Dâr al-‘Âlamiyyah li al-Kitâb al-Islâmî dan IIIT, 1994), hlm. 79. 29 ‘Umar bin Shâlih bin ‘Umar, Maqâshid al-Syarî’ah ‘inda al-Imâm al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm, hlm. 87.

183 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Sebagai tujuan akhir syari’at, maqâshid al-syarî’ah seharus- nya menduduki posisi penting sebagai ukuran atau indikator benar-tidaknya suatu ketentuan hukum.30 Dengan kata lain, memahami hukum yang benar haruslah melalui pemahaman 31 maqâshid al-syarî’ah yang baik. Inilah pesan yang dikemukakan oleh ulama ushûl masa lalu, antara lain oleh Imâm al-Haramayn al-Juwaynî, 32 Ibn Qayyim al-Jawziyyah,33 dan al-Syâthibî.34 Lebih lanjut al-Syâthibî menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama’ banyak disebabkan oleh buruknya pemahaman

30 Al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm memberikan kaidah: “Setiap perbuatan yang berhenti dari upaya mewujudkan tujuannya adalah batil” (kullu tasharruf taqâ‘ada ‘an tahshîl maqshûdihî fa huwa bâthil). Lihat, Al-‘Izz nin ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al- Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, Vol. 2 (Beirût: al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1986), hlm. 143. 31 Kalau berkaca pada hukum Islam pada masa Nabi, dapat ditemukan bahwa esensi maqâshid al-syarî’ah sudah menjadi dasar utama hukum Islam. Dasar-dasar umum tasyri’ pada periode Nabi ada empat: 1. Bertahap dalam pelaksanaan hukum, baik dari segi waktu maupun model hukumnya (al-tadarruj fi al-tasyrî‘ zamaniyyan wa naw‘iyyan) 2. Wâqi‘iyyat al-ahkâm al-tasyrî‘iyyah, yakni hukum merupakan respons terhadap kebutuhan manusia pada saat itu karena sesungguhnya legislasi suatu hukum harus dimaksudkan merealisasikan kemaslahatan manusia dan memenuhi hajat mereka. 3. Memiliki prinsip memudahkan dan meringankan (al- taysîr wa al-takhfîf); 4. Kesesuaian hukum dengan kemaslahatan manusia (muwâfaqat al-tasyrî‘ li mashâlih al-nâs), karena sesungguhnya tujuan akhir hukum Islam adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Muara semua ketentuan hukum, baik yang berupa perintah maupun larangan adalah untuk misi kemaslahatan ini. Lihat, Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al-Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathawwuruhû (Qâhirah: Mathba‘ah al-Mushhaf al-Syarîf bi al-Azhar, 1995), hlm. 74-75. 32 Menurutnya, bukanlah orang yang paham syarî‘ah mereka yang tidak mengetahui adanya tujuan di balik setiap perintah dan larangan. Lihat, Abû al-Ma‘âlî ‘Abd al- Malik bin ‘Abd Allâh bin Yûsuf Imâm al-Haramayn al-Juwaynî, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, Vol. 1 (Beirût: Maktabah Dâr al-‘Ilm, 1986), hlm. 290. 33 Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa seseorang tidak akan mengetahui mana qiyas yang benar dan mana qiyas yang salah tanpa mengetahui rahasia- rahasia dan tujuan-tujuan syara’. Lihat, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al- Muwaqqi‘în, vol. 2, hlm. 57. 34 Al-Syâthibî menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin sampai pada derajat ijtihad kecuali dengan dua hal: mengetahui maqâshid al-syarî’ah secara sempurna dan menggunakannya sebagai dasar istinbâth hukumnya. Lihat, Abû Ishâq al- Syâthibî, al-Muwâfaqât, hlm. 784.

184 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

mereka atas maqâshid al-syarî’ah atau bahkan ketidakmengertian mereka atas maqâshid al-syarî’ah.35 Statemen keras ini sesungguh- nya menjadi bukti posisi strategis yang seharusnya dimiliki oleh maqâshid al-syarî’ah dalam perjalanan perkembangan hukum Islam, tetapi sayangnya kurang sesuai dengan kenyataan. Dalam sejarah perkembangannya, posisi maqâshid al-

syarî’ah pada masa awal tidak begitu jelas dan terkesan dike- sampingkan. Kajian tentang hukum Islam atau fiqh hanya dikaitkan dengan ushûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh yang berorientasi pada

teks dan bukan pada maksud atau makna di balik teks.36 Tiga hal ini menjadi unsur-unsur dalam satu sistem yang tidak terpisahkan dan berkembang dalam garis linier yang sama: ushûl al-fiqh

menjadi metodologi yang harus diaplikasikan untuk menuju fiqh, sementara qawâ‘id al-fiqh menjadi pondasi dasar bangunan fiqh yang ada. Sementara itu, maqâshid al-syarî’ah yang menyumbang-

kan nilai-nilai dan spirit pada fiqh itu sendiri diletakkan dalam domain filsafat yang dianggap tidak bersentuhan langsung dengan istinbâth hukum Islam.37

35 Teks aslinya berbunyi: Hâdzihî al-asbâb râji‘ah fi al-tahshîl ilâ wajh wâhid wa huwa al-jahl bi maqâshid al-syarî’ah wa al-takharrush ‘alâ ma‘ânîhâ bi al-dzann min ghayr tathabbut. Lihat, Abû Ishâq al-Syâthibî, Al-I’tishâm (Beirût, Lubnân: Dâr al-Ma’rifah, 2000), hlm. 452; Lihat pula, Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 5. 36 Ibn ‘Âsyûr menyatakan dalam kitabnya Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 166-167: “Mayoritas masalah ushûl al-fiqh tidak merujuk pada aplikasi hikmah dan maksud syari’ah, tetapi berputar pada wilayah istinbâth hukum dari lafadz- lafadz (teks) Syâri’ dengan media kaidah-kaidah yang memungkinkan orang yang menguasainya mencabut cabang-cabang dari lafadz-lafadz tersebut atau mencabut sifat-sifat yang dimungkinkan dari lafadz-lafadz tersebut untuk kemudian diguna- kan sebagai alasan tasyrî‘, maka sejumlah besar furû‘ dianalogikan atas lafadz yang ada dengan keyakinan termasuk furû‘ tersebut dalam sifat yang diyakininya sebagai yang dimaksudkan oleh lafadz yang dinyatakan al-Syâri‘. Sifat seperti inilah yang disebut dengan “‘illat”. 37 Dalam bahasa ‘Abd al-Majîd al-Shaghîr, telah terjadi “‘amq azmah al-ma‘rifah al- fiqhiyyah wa al-ushûliyyah” (kedalaman krisis pengetahuan [epistemologi] fiqh dan ushûl al-fiqh yang diikuti krisis pengetahuan keislaman secara umum). Lihat,

185 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Ada dua sebab mengapa maqâshid al-syarî’ah tidak menjadi bagian integral dari fiqh seperti ushûl al-fiqh dan qawâ‘id al-fiqh. Pertama, adalah perdebatan teologis seperti disinggung di atas merupakan penyumbang saham terbesar teralienasinya maqâshid al-syarî’ah dari perkembangan hukum Islam secara umum. Dominasi madzhab teologi yang menolak peranan akal dalam memahami nash tentu menjadi penghambat perkembangan maqâshid al-syarî’ah. Kedua, adalah dimasukkannya kajian maqâshid al-syarî’ah dalam ranah filsafat, bukan dalam kajian ushûl al-fiqh. Hal ini berarti telah meletakkannya pada wilayah yang kebolehannya diperdebatkan, yang pada akhirnya meng- halanginya untuk menjadi bagian dari wilayah hukum Islam yang membutuhkan kepastian dan keyakinan. Untungnya, kajian metodologis ushûl al-fiqh tidak bisa dilepaskan dari konsepsi

kemaslahatan yang merupakan substansi esensial dari maqâshid al-syarî’ah , seperti teori istihsân, mashlahah mursalah, dan sadd al-dharâ’i‘.

Walaupun dalam perkembangan hukum Islam ditemukan

beberapa karya tentang sisi rahasia, hikmah, dan tujuan dari hukum yang menjadi bagian dari maqâshid al-syarî’ah, seperti al-Shâshî (w. 365 H), al-Âmirî (w. 381), al-Juwaynî, al-Ghazâlî (w.

505 H/1111 M), al-Syâthibî (w. 790 H/1388 M), dan Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H/1973 M), perkembangan tersebut sangat lambat, terpisah oleh interval waktu yang cukup panjang, dan tidak secepat karya ulama di bidang fiqh, ushûl al-fiqh, dan qawâ‘id al-fiqh. Dari masa al-Ghazâlî ke al-Syâthibî terdapat interval waktu 2,5 abad yang vacuum dari kajian khusus tentang maqâshid al- syarî’ah , sementara setelah al-Syathibî dibutuhkan hampir enam abad untuk menanti kehadiran Ibn ‘Âsyûr yang kemudian

‘Abd al-Majîd al-Shaghîr, al-Fikr al-Ushûlî, hlm. 482. Krisis ini terjadi karena hilangnya ruh atau spirit Islam itu sendiri dalam setiap kajiannya. Spirit Islam tersebut adalah nilai-nilai maqâshid.

186 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

dikukuhkan sebagai guru kedua (mu‘allim tsânî) dalam ilmu maqâshid al-syarî’ah setelah al-Syâthibî sebagai guru pertama (mu‘allim awwal).38

Stagnasi intelektual pasca al-Ghazâlî, yang kerap dianggap sebagai akibat dari pemikiran al-Ghazâlî sendiri yang anti-filsafat, turut pula menjajah wilayah hukum Islam dengan perangkat

metodologisnya, yang seharusnya terus dinamis dan berkembang. Kekosongan perkembangan ini terus berlanjut sampai pada masa al-Syâthibî. Inilah yang mendorongnya untuk melakukan

penyegaran kembali konsepsi mashlahah yang bertujuan untuk menjadikan hukum Islam betul-betul mampu berdialog dengan tuntutan dan realitas sosial. Muhammad Khalid Mas’ud menyata-

kan bahwa pikiran-pikiran al-Syâthibî ini digerakkan oleh, pertama, kegagalan hukum berhadapan dengan perubahan sosial ekonomi Andalusia abad ke-8 H/14 M dan, kedua, keinginannya

untuk membuat kerangka kerja teoretis (theoretical apparatus) agar hukum Islam memiliki karakter adaptabel dan fleksibel. Sementara Wael B.Hallaq, profesor hukum Islam yang sangat

prominent (terkenal) di dunia akademis Barat saat ini, menyatakan bahwa yang dilakukan al-Syâthibî sesungguhnya adalah upaya untuk menjelaskan hukum Islam apa adanya. Baginya, hukum

Islam telah mengalami distorsi sejarah yang disebabkan oleh laksitas para hakim dan dominasi para sufi yang berlebihan yang terjadi pada masanya.39

38 A hmad Raysûnî, “al-Bahts fî Maqâshid al-Syâri‘ah Nasy’atuhû wa Tathawwuruhû wa Mustaqbaluhû,” makalah yang disampaikan pada seminar tentang maqâshid al-syarî’ah yang diadakan oleh Muassasah al-Furqân li al-Turâts di London, tanggal 1-5 Maret 2005; Lihat pula bab bahasan pengantar dalam kitab Ibn ‘Âsyûr yang ditulis oleh editornya, Muhammad al-Thâhir al-Mîsâwî, “al-Syaikh Muhammad al-Thâhir Ibn ‘Âsyûr wa al-Mashru‘ alladhî lam yaktamil,” dalam Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah (Urdun: Dâr al-Nafâ’is li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 2001), hlm. 139. 39 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, An Introduction to the Sunnî Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 162-163.

187 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Problematika hukum yang begitu banyak dan mandulnya ushûl al-fiqh dalam berdialektika dengan zaman mendorong al- Syâthibî untuk me-refresh (menyegarkan kembali) kajian teoretis ushûl al-fiqh, terutama dengan memasukkan konsepsi maqâshid al-syarî’ah sebagai konsiderasi utamanya, seperti yang dipaparkan dalam kitab al-Muwâfaqât. Karena itulah al-Syâthibî dikukuhkan sebagai Mu’assis ‘Ulûm al-Maqâshid al-Syarî’ah (Pendiri Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah), yang menurut Hallaq, di tangan al- Syâthibî-lah ushûl al-fiqh mencapai titik kulminasi perkembangan intelektual. Singkatnya, pada era al-Syâthibî ini maqâshid al- syarî’ah menjadi bagian dari ushûl al-fiqh. Di sinilah terjadi pertemuan antara teori hukum Islam dan filsafat hukum Islam.

Posisi maqâshid al-syarî’ah lalu mengalami perkembangan berikutnya pada masa Ibn ‘Âsyûr. Meskipun keterkaitan antara teori ushûl al-fiqh dan maqâshid al-syarî’ah merupakan suatu

keniscayaan,40 Ibn ‘Âsyûr melihat perlunya maqâshid al-syarî’ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Konsekuensinya adalah bahwa maqâshid al-syarî’ah tidak lagi hanya sebagai kumpulan konsepsi

nilai yang membungkus fiqh dan ushûl al-fiqh, tetapi juga berevolusi menjadi sebuah pendekatan. Maqâshid al-syarî’ah akhirnya menempati posisi sentral dalam perkembangan hukum

Islam kontemporer ketika menjadi konsiderasi utama dalam proses penetapan hukum. Jasser Auda, seorang sarjana yang dengan pendekatan sistem (systems approach) mengasumsikan hukum Islam sebagai suatu sistem, menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai substansi pokok yang harus eksis dalam setiap ketentuan- nya.41

40 Tentang keniscayaan keterkaitan maqâshid al-syarî’ah dengan ushûl al-fiqh, lihat ‘Abd Allâh Bin Bayyah, ‘Alâqah Maqâshid al-Syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh Silsilah Mu hâdharât (London: Markaz Dirâsât Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, 2006). 41 Hubungan antara maqâshid al-syarî’ah dan hal-hal lain dalam sistem hukum Islam dinyatakan dalam lima pola: (1) maqâshid al-syarî’ah berkaitan dengan

188 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Proses evolusi maqâshid al-syarî’ah dari konsep ke pen- dekatan tentu menarik untuk dicermati agar mampu memahami perkembangan kontemporer tentang maqâshid al-syarî’ah dengan baik dan tidak terputus dari mata rantai sejarah.

B. Perkembangan Maqâshid al-Syarî’ah dari Konsep ke

Pendekatan

Tidak banyak kitab atau buku yang mengungkap perkembang- an maqâshid al-syarî’ah secara utuh. Kebanyakan karya tentang maqâshid al-syarî’ah adalah parsial dan terfokus pada kajian

tokoh. Kalaupun kajiannya pada perkembangan maqâshid al- syarî’ah secara umum, biasanya berhenti pada al-Syâthibî sebagai tokoh terakhirnya. Karena itulah perjalanan maqâshid al-syarî’ah dari konsep nilai ke pendekatan tidak tergambar secara utuh sebagai suatu perkembangan yang berkelanjutan, karena perkembangannya sebagai pendekatan, baru menjadi gambaran yang lebih jelas pasca al-Syâthibî. Ahmad al-Raysûnî menyediakan data kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan maqâshid al-syarî’ah sampai pada masa pasca al-Syâthibî, yakni sampai pada kemunculan Muhammad Thahir Ibn ‘Âsyûr. Buku ini berusaha memperluas cakupan masa kajian sampai pada pasca Ibn ‘Âsyûr, yakni sampai wacana maqâshid al-syarî’ah di kalangan sarjana muslim kontemporer sebagai upaya untuk menguak evolusi maqâshid al-syarî’ah dari konsep nilai hingga menjadi pendekatan.

cognitive nature hukum Islam, (2) al-maqâshid al-‘âmmah merepresentasikan karakter holistik dan prinsip-prinsip universal hukum Islam, (3) maqâshid al- syarî’ah memainkan peranan yang penting dalam proses ijtihad, dalam beragam bentuknya, (4) maqâshid al-syarî’ah dinyatakan dalam sejumlah cara yang heirarkis yang sesuai dengan heirarki sistem hukum Islam, dan (5) maqâshid al-syarî’ah menyediakan beberapa dimensi yang membantu menyelesaikan dan memahami kontradiksi dan perbedaan yang ada antara teks dan teori fundamental hukum Islam. Lihat, Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach (London, Washington: IIT, 2008), hlm. 54-55.

189 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Al-Raysûnî menyimpulkan bahwa sepanjang perkembangan ushûl fiqh, maqâshid al-syarî’ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh sentral, yaitu Imâm al-Haramayn Abû al-Ma‘âlî ‘Abd Allâh al-Juwaynî (w. 478 H), Abû Ishâq al-Syâthibî (w. 790 42 H), dan Muhammad al-Thâhir ibn ‘Âsyûr (w. 1379 H/1973 M). Penyebutan tiga tokoh ini tentu tidak serta merta menghilangkan peran Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâshî, al-‘Âmiri, al-Ghazâlî, dan sebagainya yang memiliki andil besar mengawali dan mempertegas konsepsi maqâshid al-syarî’ah. Namun, ketiga tokoh di atas menjadi tonggak dan era penting di mana maqâshid al-syarî’ah betul-betul tampak mengalami pergeseran makna. Ulama maqâshidiyyûn sepakat bahwa nilai-nilai maqâshid

ini dasar utamanya adalah al-Qur’ân dan al-Hadîts, yang nash- nya senantiasa menegaskan nilai-nilai, tujuan, ‘illat, dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Tapi, pengungkapan nilai-nilai,

hikmah, ‘illat, dan tujuan syari’at ke dalam suatu tema besar bernama maqâshid belum ditemukan pada masa-masa awal perkembangan hukum Islam. Adalah Turmudzî al-Hakîm43 yang

dianggap sebagai ulama pertama yang mengangkat isu tentang ‘illat , rahasia, dan hikmah hukum dalam kitabnya yang berjudul al-Shalât wa Maqâshiduhâ dan al-Hajj wa Asrâruhâ yang menjadi

cikal-bakal kajian maqâshid al-syarî’ah secara umum.

Setelah Turmudzî al-Hakîm, muncullah al-Qaffâl al-Kabîr yang memiliki nama asli Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâshî (w. 365 H). Dia dianggap sebagai pengkaji maqâshid al-syarî’ah pertama dengan kajian yang lengkap dari sisi cakupan syari’ahnya. Kitabnya yang berjudul Mahâsin al-Syarâ’i‘ fî Furû‘ al-Shâfi‘iyyah Kitâb fî

42 Ahmad Raysûnî, “al-Bahts fî Maqâshid al-Syâri‘ah,” hlm. 4-5. 43 Nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Alî al-Turmudzî. Tidak ada data resmi tentang masa hidupnya kecuali bahwa, menurut pendapat yang paling kuat, ia hidup sampai akhir abad ke-3 H.

190 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Maqâshid al-Syarî’ah.44 Di halaman pertama manuskrip ini, al- Qaffâl menyatakan bahwa karyanya ini memang dimaksudkan sebagai jawaban bagi mereka yang mempertanyakan kebijakan dan keindahan syari’ah Islam. Istilah yang digunakan memang ma hâsin, tetapi inilah manuskrip tertua yang isinya adalah persis tentang maqâshid.

Perkembangan berikutnya adalah hadirnya Abû al-Hasan al- ‘Âmirî (w. 381) dalam kajian maqâshid al-syarî’ah. Dia adalah seorang filosof dan ahli kalam, yang berbeda dengan pengkaji

maqâshid al-syarî’ah sebelumnya yang rata-rata hanya memiliki expertise (keahlian) dalam bidang fiqh. Dengan pendekatan filosofisnya, ia menyatakan dalam kitab perbandingan agamanya

yang monumental, al-I‘lâm bi Manâqib al-Islâm, bahwa dalam rangka membangun kehidupan individu dan sosial yang baik dipastikan adanya lima pilar yang harus ditegakkan, yang tanpanya

kemaslahatan tidak akan pernah terealisasi. Lima hal itu adalah: mazjarah qatl al- (sanksi hukum untuk pembunuhan jiwa), mazjarah akhdh al-mâl (sanksi hukum untuk pencurian harta),

mazjarah hatk al-satr (sanksi hukum untuk membuka ‘aib), mazjarah thalb al-‘irdh (sanksi hukum untuk perusakan atau pencelaan kehormatan), dan mazjarah khal‘ al-baydhah (sanksi

hukum untuk pelepasan kehormatan dan ketulusan). Lima poin inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal al-dharûriyât al-khams yang menjadi central points kajian maqâshid al-syarî’ah setelahnya, seperti al-Juwaynî, al-Ghazâlî, dan sebagainya.

Imâm al-Haramayn ‘Abd al-Malik Al-Juwaynî, walaupun tidak pernah menulis kitab dengan tema khusus maqâshid al-syarî’ah,

44 Manuskrip aslinya masih tersimpan di Maktabah Dâr al-Kutub di Mesir dan juga di Turki, saat ini sudah dicetak, salah satunya oleh Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirût, Lubnân pada tahun 2007. Manuskrip ini telah menjadi kajian akademik, salah satunya oleh Kamâl al-Hâj Ghaltûl dalam disertasinya di Universitas Umm al-Qurâ tahun 1992 dan juga oleh Muhammad Sulaymânî yang telah men-tahqîq dan menerbitkannya secara lengkap.

191 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

adalah nama penting yang harus disebut ketika memperbincangkan maqâshid al-syarî’ah. Dia adalah ulama generasi berikutnya yang telah memapankan dasar-dasar maqâshid al-syarî’ah dengan membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan hierarkis, yaitu dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karyanya yang monu- mental yang berkaitan dengan maqâshid al-syarî’ah adalah al- Burhân fî Ushûl al-Fiqh. Keberhasilan al-Juwaynî mendeskripsi- kan maqâshid al-syarî’ah dengan pemaparan dasar-dasar maqâshid al-syarî’ah telah mendorong al-Raysûnî untuk meng- anggapnya sebagai pilar awal perkembangan maqâshid al- syarî’ah sebagai displin keilmuan. Kajian al-Juwaynî tentang maqâshid al-syarî’ah menjadi

novel impulse (pendorong baru) bagi ulama-ulama setelahnya untuk membahas dan mengembangkannya. Nama yang paling populer setelahnya adalah sang murid yang jenius, Abû Hâmid al-

Ghazâlî, seorang ulama dengan keahlian multidisipliner. Nama- nama lainnya yang meramaikan kajian maqâshid al-syarî’ah pasca al-Juwaynî adalah Ibn Rusyd, Abû Bakr Ibn ‘Arabî, Fakhr al-Dîn

al-Râzî, Sayf al-Dîn al-Âmidî, ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Shihâb al-Dîn al-Qarâfî, Najm al-Dîn al-Thûfî, Ibn Taymiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Perlu dicatat bahwa pada era ini kajian

maqâshid al-syarî’ah belum menjadi tema besar dan kajian yang mandiri, tetapi menjadi bagian integral dari kajian ushûl al-fiqh. Selain itu, kata maqâshid al-syarî’ah tidak menjadi bagian judul dari kitab-kitab yang mereka tulis.

Al-Ghazâlî menjadi istimewa dalam kajian maqâshid al- syarî’ah karena keberhasilannya menjabarkan aspek dharûriyyât menjadi al-dharûriyyât al-khams, yang tanpanya mashlahah dinyatakan tidak ada. Dialah orang pertama yang memberikan nama al-dharûriyyât al-khams, menjelaskan secara memadai dan menyusunnya dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang

192 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

berjudul al-Mustasyfâ fî ‘Ilm al-Ushûl menjelaskan tentang hal ini. Dengan penjelasannya yang lengkap mengenai konsepsi mashlahah dan prinsip-prinsip teoretis hukum Islam, al-Ghazâlî dikukuhkan dalam sejarah ushul al-fiqh sebagai peletak dasar ilmu ushûl al-fiqh. Sementara itu, al-’Âmidî adalah orang pertama yang menguji susunan al-dharûriyyât al-khams di atas dan mengambil posisi berbeda dengan al-Ghazâlî ketika ia menempatkan posisi “keturunan” sebelum “akal” seperti yang ditulis dalam kitab Al- Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm. Selanjutnya, di kalangan para maqâ- shidiyyûn , nama ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm menjadi populer dengan kitabnya Qawâ‘id Al-Ahkâm fî Mashalih al-Anâm yang menjelaskan secara detail tentang mashâlih dan mafâsid, yang kemudian menjadi landasan konseptual kajian maqâshid al- syarî’ah.

Kajian maqâshid al-syarî’ah ini mengalami proses meta-

morfosis sempurna oleh hadirnya al-Syâthibî yang telah dikukuh- kan oleh sejarah sebagai pendiri ilmu maqâshid al-syarî’ah. Sampai saat ini, tak seorang pun yang membahas maqâshid al-

syarî’ah tanpa menyebut nama al-Syâthibî, sehingga seakan maqâshid al-syarî’ah adalah identik dengan namanya. Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin

Muhammad al-Lakhmî al-Syâtibî al-Gharnâthî (w. 790 H/1388 M). Dua kitabnya yang fenomenal adalah al-I‘tishâm dan al- Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah. Al-Muwâfaqât adalah kitab yang secara luas membahas tentang maqâshid al-syarî’ah, tidak hanya menjabarkan definisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi sampai pada kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berpikir dengan dasar konsiderasi maqâshid al-syarî’ah. Al-Syâthibî berhasil menampilkan wajah baru maqâshid al-syarî’ah yang lebih dinamis dan aplikatif.

193 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Menurut Jasser Auda,45 ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-Syâthibî dalam mereformasi maqâshid al-syarî’ah. Pertama, pergeseran maqâshid al-syarî’ah dari unrestricted interest (kepentingan yang tidak terbatasi dengan jelas) ke funda- mentals of law (poin inti/dasar hukum). Maqâshid al-syarî’ah yang pada masa-masa sebelumnya dianggap sebagai bagian yang tidak jelas dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang fundamental dibantah oleh al-Syâthibî dengan pernyataannya bahwa justru maqâshid al-syarî’ah merupakan landasan dasar agama, hukum, dan keimanan (ushûl al-dîn, wa qawâ‘id al-syarî‘ah wa kulliyah al-millah) . Kedua, pergeseran dari wisdoms behind ruling (kebijakan atau hikmah di balik aturan hukum) ke bases for the ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Menurutnya, maqâshid al-syarî’ah itu bersifat fundamental dan universal (kulliyyah)

sehingga tidak bisa dikalahkan oleh yang juz’iyyah (parsial). Pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional termasuk madzhab Maliki, yang diikuti oleh al-Syâthibî sendiri,

yang menyatakan bahwa bukti-bukti juz’iyyat didahulukan dari- pada bukti-bukti universal. Lebih jauh lagi, al-Syâthibî menjadikan ilmu maqâshid al-syarî’ah sebagai syarat sahnya ijtihâd dalam

segala level. Ketiga, pergeseran dari uncertainty (dzanniyyah) ke certainty (qath‘iyyah). Baginya, proses induktif yang diguna- kan dalam aplikasi maqâshid al-syarî’ah adalah valid dan bersifat

qath‘î (pasti), sebuah kesimpulan yang menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang menentang certainty metode induktif.

Dari paparan di atas jelas bahwa al-Syâthibî mulai menggeser maqâshid al-syarî’ah sebagai konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis.

45 Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach, hlm. 20-21.

194 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Maqâshid al-syarî’ah tidak sekadar alat justifikasi, tetapi dijadikan juga landasan kerja ijtihad. Kaidah-kaidah maqâshid-nya disusun dengan baik dan komprehensif. Sayangnya, karya dasar manhaj maqâshidî ini tidak dilanjutkan dengan bahasan metodologi ushûl al-fiqh operasional aplikatifnya dalam kaitan maqâshid al-syarî’ah dengan istinbâth hukum. Dalam bahasa Ibn ‘Âsyûr, kajian maqâshid al-syarî’ah al-Syâthibî dinilai terlalu bertele-tele dan memiliki kesalahan sehingga tidak sampai pada bagaimana operasionalisasi maqâshid al-syarî’ah tersebut dalam realitas problematika hukum.46

Dalam perkembangannya, muncul pilar ketiga dengan hadir- nya seorang sarjana bernama Muhammad al-Thâhir Ibn ‘Âsyûr

(w. 1379 H/1973 M). Karyanya yang terkenal adalah Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Ibn ‘Âsyûr memang cemerlang dalam pemikirannya tentang maqâshid al-syarî’ah secara khusus dan

dalam bidang hukum Islam secara umum. Sayangnya, dia terlambat dikenal di dunia akademik, yang menurut al-Raysûnî, karena kemalangan geografis yang tidak dilahirkan di Mesir,

Damaskus ataupun Saudi, yang pada masa itu mendominasi perkembangan pemikiran Islam, tetapi dilahirkan di Tunisia, sebuah negara yang bersama dengan Afrika dan Maroko dianggap

sebagai bagian dari negara bermasalah secara geografis pada masa lalu. Saat ini, Ibn ‘Âsyûr menjadi bintang dalam kajian maqâshid al-syarî’ah.

Walaupun gagasan besarnya sama dengan al-Syâthibî, karena sebagaimana pengakuannya, ia memang berkehendak melanjutkan apa yang telah digagaskembangkan oleh al-Syâthibî, ada per- kembangan baru yang dikemukakan dalam karya Ibn ‘Âsyûr, tepatnya tentang posisi keilmuan maqâshid al-syarî’ah dalam kajian teori hukum Islam dan cara mengaplikasikannya dalam

46 Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 174.

195 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tataran praktik. Ibn ‘Âsyûr mampu menghadirkan contoh yang jelas aplikasi pendekatan maqâshid al-syarî’ah dalam beberapa bidang kajian hukum Islam. Lebih dari itu, kalau kajian maqâshid al-syarî’ah sebelumnya memiliki kecenderungan pembahasan secara umum (al-maqâshid al-‘âmmah) atau parsial (juz’iyyah), Ibn ‘Âsyûr mengambil jalan tengah dengan membahas keduanya, yaitu rinci tapi membahas keseluruhan aspek syari’at. Sebagai contoh kajian rinci yang belum dilakukan oleh ulama sebelumnya adalah bagian ketiga dari kitab Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiy- yah. Di dalamnya ia membahas Maqâshid al-Tasyrî‘ al-Khâshshah bi Anwâ‘ al-Mu‘âmalât bayna al-Nâs yang secera rinci membahas tentang maqâshid al-syarî’ah di bidang hukum keluarga, hukum mu’amalah yang berkaitan dengan pekerjaan badan, maqâshid al-syarî’ah di bidang hukum ibadah sosial, maqâshid al-syarî’ah

di bidang peradilan dan persaksian, dan maqâshid al-syarî’ah di bidang pidana.47 Hal baru lainnya yang dilakukan oleh Ibn ‘Âsyûr adalah keberaniannya meletakkan hurriyyah (kebebasan/freedom yang

berbasiskan al-musâwah atau egalitarianisme), fithrah (kesucian), samâ hah (toleransi), al-haq (kebenaran dan keadilan) sebagai bagian dari aplikasi maqâshid al-syarî’ah.48 Kebebasan berbicara,

berpendapat, beragama, dan bertindak merupakan hak asasi manusia yang dilindungi. Pernyataan seperti ini tentu merupakan pengembangan dari al-dharûriyyât al-khams yang digagas oleh ulama sebelumnya. Pengembangan ini bukan hanya dari sisi tambahan kuantitas unsur maqâshid, melainkan juga dari sisi kualitas efek penetapan unsur-unsur maqâshid al-syarî’ah itu sendiri. Pembagian maqâshid al-syarî’ah menjadi al-dharûriyyât al-khams hanya berfungsi lebih sebagai proteksi terhadap diri,

47 Ibid., hlm. 411-516. 48 Ibid., hlm. 114, 259-273, 390.

196 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

sementara unsur kebebasan, keadilan, kesucian, dan egalitarianis- me menekankan fungsi progresif Islam yang lebih umum.

Dalam kaitannya dengan maqâshid al-syarî’ah sebagai metode atau pendekatan dalam penetapan hukum Islam, menarik untuk membaca kesimpulan Al-Hasanî dan al-Mîsâwî, komentator karya Ibn ‘Âsyûr, yang menyatakan bahwa adalah di tangan Ibn

‘Âsyûr maqâshid al-syarî’ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, menjadi disiplin yang lengkap secara konseptual, prinsip, dan metodologinya.49 Ibnu ‘Âsyûr memang menyatakan bahwa ushûl

al-fiqh yang ada perlu ditata ulang (rekonstruksi) dan maqâshid al-syarî’ah perlu mendapatkan perhatian serius karena ia memiliki posisi penting dalam perkembangan hukum Islam.

Ibn ‘Âsyûr layak dijadikan sebagai pilar ketiga dari per-

kembangan maqâshid al-syarî’ah, karena dialah yang menghidup- kan kajian yang telah lama terhenti sejak masa al-Syâthibî.50 Sejak masa Ibn ‘Âsyûr ini, mulailah bertebaran kajian-kajian maqâshid al-syarî’ah yang lebih menekankan pada metodologi atau pen- dekatan daripada kumpulan konsep nilai.51 Nama ‘Allâl al-Fâsi (w. 1974) dari Maroko dan Muhammad al-Ghazâlî dari Mesir adalah di antara yang perlu disebut. ‘Allâl al-Fâsî terkenal dengan

49 Ibid. , hlm. 90. 50 Muhammad Sa‘d bin Ahmad Mas‘ûd al-Yûbî, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alâqatuhâ bi al-Adillah al-Syar‘iyyah (Beirût: Dâr al-Hijrah, 1998), hlm. 70. 51 Ibn ‘Âsyûr mengenalkan lima prinsip dasar sebagai landasan berpikir dengan pendekatan maqâshid: (1) manhaj tasyrî’ dengan cara mengubah sesuatu yang salah dan mengumumkan kesalahan tersebut serta menetapkan yang benar sehingga diketahui oleh manusia; (2) perlunya menganalisis akibat yang akan terjadi sebelum menetapkan hukum; (3) memperhatikan hal-hal yang didiamkan oleh Syâri’ ; (4) memperhatikan kebutuhan masyarakat; dan (5) mempertimbangan kepentingan primer yang mendesak untuk direalisasikan. Prinsip dasar ini akan mengantarkan para fuqaha untuk tidak hanya fokus pada teks, tetapi pada konteks kemaslahatan yang akan diwujudkan dengan penetapan suatu hukum. Lihat, Muhammad Salîm al-‘Awwâ, Dawr al-Maqâshid fî al-Tasyrî‘ât al-Mu‘âshirah (London: Markaz Dirâsât Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, 2006), hlm. 26-37.

197 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

karyanya Maqâsid al-Syarî‘ah wa Makârimuhâ, yang mengon- tekstualkan kajian maqâshid al-syarî’ah dengan isu-isu kontem- porer. Kitab ini adalah kumpulan makalah yang disampaikan di beberapa universitas di Maroko, negara di mana ia dilahirkan. 52 Materi yang dibahas hampir sama dengan bahasan Ibn ‘Âsyûr. Sementara itu, di Mesir ada Muhammad al-Ghazâlî yang memasuk- kan equality (kesederajatan) dan human rights (hak-hak asasi manusia) sebagai bagian pokok maqâshid al-syarî’ah yang harus dilindungi. Bahasannya tentang maqâshid al-syarî’ah tersebar di sejumlah tulisannya yang berpihak pada pembangunan nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda dengan peta sejarah perkembangan maqâshid al-

syarî’ah yang dikemukakan al-Raysûnî di atas, yang menekankan kategorisasinya pada tokoh, Muhammad Husayn dalam disertasi- nya memetakannya dengan kategorisasi perkembangan pemikir-

annya. Menurutnya, perkembangan maqâshid al-syarî’ah dapat dibagi menjadi tiga (3) era: era pertumbuhan (Nash’ah al-Fikr al- Maqâshidî) mulai tahun 320 H sampai dengan 403 H; era

kemunculan (Zhuhûr al-Fikr al-Maqâshidî) mulai dari tahun 478 H sampai dengan tahun 771 H; dan era perkembangan (Tathaw- wur al-Fikr al-Maqâshidî) mulai tahun 771 H sampai dengan tahun

790 H.53 Era pertumbuhan dimulai dari Turmudzî al-Hakîm, al- Qaffâl al-Shâshî (w. 365/975), Abû Bakr al-Abhârî (w. 375/985),

52 Mu hammad al-Thâhir al-Mîsâwî, editor karya Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (‘Ammân, Yordania: Dâr al-Nafâ’is, 2001) menuduh al-Fâsî banyak menjiplak karya Ibn ‘Âsyûr. Al-Fâsî dianggap tidak jujur karena tidak sekalipun menyebut Ibn ‘Âsyûr dalam karyanya sementara banyak kemiripan kata dan kalimat yang digunakan. Menegasikan penyebutan nama Ibn ‘Âsyûr dianggap sebagai sebuah kesengajaan karena tidak mungkin orang sebesar al-Fâsî tidak mengenal orang sebesar Ibn ‘Âsyûr. Lihat tulisannya di bagian pertama kitab Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 140-146. 53 Mu hammad Husayn, “Al-Tandzîr al-Maqâshidî ‘inda al-Imâm Muhammad al- Thâhir Ibn ‘Âsyûr fî Kitâbihî Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,” Disertasi pada Fakultas al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, Universitas al-Jazâ’ir, Al-Jazair (2005), hlm. 93- 94.

198 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Abû Bakr bin al-Thayyib al-Bâqilanî (w. 375/985), Imâm al- Haramayn al-Juwaynî (w. 478/1012), dan Imâm Abû Hâmid al- Ghazâlî (w. 505/1111). Era kemunculan dimulai dari Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606/1209), Sayf al-Dîn al-Âmidî (w. 631/1233), ‘Izz al- Dîn bin ‘Abd al-Salâm (w. 660/1221), Shihâb al-Dîn al-Qarâfî (w. 684/1285), dan Najm al-Dîn al-Thûfî (w. 716/1316). Sementara itu, era perkembangan dimulai oleh Taqiyy al-Dîn Ibn Taymiyyah (w. 728/1327), Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), Tâj al- Dîn al-Subkî (w. 771/1329), dan al-Syâthibî (w. 790/1388). Masa Ibn ‘Âsyûr (w. 1379/1973) yang meneruskan karya al-Syâthibî disebut dengan masa peralihan maqâshid menjadi kajian yang mandiri.54 Lebih jelasnya, sejarah perkembangan maqâshid al- syarî’ah dapat dilihat pada tabel 9. Pasca Ibn ‘Âsyûr hingga saat ini, maqâshid al-syarî’ah menapaki jalan menuju puncak kejayaan, dengan indikator utama

dijadikannya maqâshid al-syarî’ah sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagian besar persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan

sosial, politik, dan ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global) dalam upaya merealisasikan perdamai- an dunia. Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 menjadi saksi

semakin meningkatnya perhatian ulama dan cendekiawan muslim terhadap maqâshid al-syarî’ah.

54 Ibid., hlm. 94-114. Sebagai perbandingan, secara ringkas Mohammad Hashim Kamali juga memberikan gambaran peta perkembangan maqâshid dalam bukunya Syari’ah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hlm. 124-127. Di samping al-Juwaynî, al-Ghazâlî, dan al-Syâthibî, M. Hashim Kamali juga menjadi- kan Ibn Taymiyyah sebagai salah satu tokoh sentral yang telah membuka konsepsi maqâshid al-syarî’ah untuk tidak hanya terbatasi oleh lima hal pokok yang harus dilindungi, tetapi juga menambahkan hal lain seperti pemenuhan kontrak, penghargaan atas hak orang lain, hak tetangga, dan lain sebagainya. Kreativitas Ibn Taymiyyah inilah yang membuka jalan lebar pengembangan studi maqâshid al-syarî’ah berikutnya yang dikembangkan oleh al-Raysûnî, Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah, Yûsuf al-Qaradhâwî, dan lainnya.

199 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Tabel 9. Sejarah Perkembangan Maqâshid

Kajian tentang maqâshid al-syarî’ah semakin banyak dan beragam sebagai respons positif terhadap naiknya rating hukum Islam dalam percaturan kehidupan modern,55 termasuk di

55 Lihat misalnya tulisan Hasan Muhammad Jâbir, al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al- Ijtihâd al-Mu‘âshir (Bairût: Dâr al-Hiwâr, 2001) yang secara khusus mengaitkan maqâshid al-syarî’ah dengan problematika modern. Ada pula kajian yang berbataskan lokal geografis seperti karya ‘Abd al-Jabbâr al-Rifâ‘î, al-Mashhad al- Thaqafî fî Irân; Falsafah al-Fiqh wa Maqâshid al-Syarî’ah (Beirût: Dâr al-Hâdî, 2001). Beberapa karya baru lainnya juga bermunculan, seperti karya Bin Sughaybah ‘Izz al-Dîn, al-Maqâshid al-‘Ammah li al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Cairo: Dâr al-

200 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

dalamnya adalah karya-karya cendekiawan muslim di Barat yang disebut dengan muslim progresif, yang wacananya tentang nilai- nilai universal Islam menjadi kritik yang konstruktif terhadap konsepsi maqâshid al-syarî’ah klasik.56 Berikut adalah catatan ringkas tentang pandangan sarjana progresif muslim kontemporer tentang maqâshid al-syarî’ah.

C. Maqâshid al-Syarî’ah dalam Pandangan Sarjana Muslim Progresif Kontemporer Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa hanya dengan ijtihad umat Islam akan mampu membangun infrastruktur metodologis

baru yang dapat mengatasi krisis pemikiran Islam dan memberikan alternatif penyelesaian problem-problem dunia kontemporer.57

Shafwah, 1996); Muhammad Sa‘d Yûbî, Maqâsid al-Syarî‘ah wa ‘Alâqatuhâ bi al- Adillah al-Syar‘iyyah (Riyad: Dâr al-Hijrah, 1998); Musthafâ Bin Allâh Makhdûm, Qawâ‘id al-Masâ’il fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Riyad: Dâr Ashbilyah, 1999); Numan Jughaym, Thuruq al- ‘an Maqâshid al-Syâri‘ (Yordania: Dâr al-Nafâ’is, 2002); Muhammad Mahdi Shams al-Dîn, et.al., Maqâshid al-Syarî’ah (Bairût dan Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002), dan ‘Abd Allâh bin Bayyah, ‘Alâqah Maqâshid al-Syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh (Cairo: al-Furqân Islamic Heritage Foundation, MRC, 2006). 56 Sayangnya, tokoh-tokoh dan sarjana muslim di Barat yang menulis kajian khusus tentang maqâshid al-syarî’ah tidaklah banyak. Ide-ide mereka banyak dituangkan dalam artikel atau makalah yang sporadis dan parsial. Kajian yang cukup lengkap masih didominasi oleh sarjana muslim di Barat yang lahir dan besar dalam tradisi akademik Timur Tengah, seperti Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Yûsuf al-Qaradhâwî, Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah, dan al-Raysûnî. Jasser Auda mungkin menjadi pengecualian karena ia mengkaji maqâshid al-syarî’ah dalam tradisi akademik Barat. 57 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, The Crisis of Thought and Ijtihad (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 31. Dalam buku panduan kerja program Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagaskembangkan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang pernah dipimpin oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dinyatakan bahwa inti krisis (core crisis) yang dihadapi umat Islam adalah lemahnya pemikiran dan metodologi (malaise of thought and methodology). Hal ini bisa diatasi dengan dua cara: mengintegrasikan dua sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan Islam yang meliputi pondok pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam, dan sistem pendidikan sekuler dalam berbagai tingkatan. Lihat, ‘Abdul Hamîd Abû Sulaymân (ed.), Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan (Herndon, Virginia: IIIT, 1989), hlm. 5-20.

201 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Pernyataan ini memberikan kesan bahwa permasalahan kehidupan kontemporer berbeda dengan permasalahan masa lampau, baik dalam format, kualitas maupun kuantitasnya. Lebih jauh, per- nyataan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî tersebut menampakkan ke- gelisahannya atas ketidakmampuan khazanah Islam yang ada dalam memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. 58

Kegelisahan seperti ini tidak hanya monopoli Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî sendiri, tetapi juga dirasakan oleh sebagian besar sarjana

yang peduli terhadap masa depan Islam di dunia kontemporer pada umum nya, dan di dunia Barat khususnya. Salah satu buktinya adalah dilaksanakannya seminar tentang bagaimana al-Qur’ân dan

al-Hadîts bisa ditafsir ulang dengan menggunakan realitas kontem- porer sebagai pertimbangan utamanya dan dengan upaya mem- promosikan kedamaian, keadilan, dan kemajuan yang lebih besar

lagi di kalangan masyarakat muslim dalam hubungannya dengan masyarakat non-muslim. Nara sumber seminar ini adalah Muzammil Siddique,59 Imam Hassan Qazwani,60 Muneer Fareed,61

dan Ingrid Mattson.62

Mereka sepakat tentang perlunya pengembangan ijtihad dengan tidak hanya menggunakan pendekatan-pendekatan ushûl al-fiqh klasik, tetapi juga menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, ekonomi, dan filsafat di samping pengetahuan tentang masyarakat

58 Ibid., hlm. 23-30. 59 Dulu dia masih sebagai anggota FCNA, sekarang telah menjadi pemimpin (presiden) FCNA menggantikan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî. Selain itu, dia juga menjabat sebagai guru dan chaplain di California State University. 60 Direktur Islamic Center of America, di Detroit.

61 Profesor di bidang Studi Keislaman di Wayne State University. 62 Profesor Kajian Keislaman dan Direktur Islamic Chaplaincy di Hartfod Seminary.

202 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

kontemporer. Pendekatan-pendekatan multidisipliner seperti yang terakhir inilah yang, menurut Muzammil Siddique, dirasa kurang dikuasai oleh kalangan ahli hukum Islam di Barat saat ini.63

Kesimpulan akan urgensi ijtihad pada masa modern ini telah banyak digaungkan oleh beberapa sarjana muslim sebelumnya. Sir Muhammad Iqbal, seorang sarjana asal Pakistan yang cukup

berpengaruh dalam pengembangan studi keislaman di dunia akademik Barat, mengatakan: “The teaching of the Qur’an that life is a process of progressive creation necessitates that each

generation, guided but unhampered by the work of its prede- cessors, should be permitted to solve its own problems.” (Ajaran al-Qur’ân bahwa hidup adalah proses penciptaan yang kreatif

mengharuskan setiap generasi, dibimbing tapi tidak dibatasi oleh karya-karya pendahulunya, untuk diperkenankan menyelesaikan persoalan-persoalannyanya sendiri).64 Pernyataan ini menyirat-

kan perlunya tradisi berpikir kontekstual yang terus menerus,

63 David R. Smock, “Ijtihad: Reinterpreting Islamic Principles for Twenty First Century,” dalam Special Report 125, United States Institute of Peace, Washington D.C., hlm. 1-8. Bisa diakses di http://www.usip.org. Lihat pula Muslim Democrat, Vol. 6, No. 1, Mei 2004, hlm. 1-3,5. Siddique lebih lebih lanjut menyatakan bahwa beratnya persyaratan untuk berijtihad karena harus menguasai berbagai keahlian bidang keilmuan, mengantarkan pada sebuah bentuk ijtihad yang tidak lagi individual, tetapi kolektif. Perlunya pendekatan multidisipliner ini juga dinyatakan oleh Hashim Kamali yang menyatakan bahwa hal ini diakibatkan oleh perubahan sosial yang sangat cepat dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang sangat tinggi tidak memungkinkan hanya didekati dengan metodologi klasik ketika yang diinginkan adalah solusi hukum yang progresif dan positif untuk perkembangan kemaslahatan bersama. Lihat, M. Hashim Kamali, “Issues in Understanding Jihad and Ijtihad, dalam “Islamic Studies Vol. 41, No. 4, hlm. 627. Meskipun demikian, aplikasi pendekatan multidisipliner ini memerlukan kehati-hatian agar tidak keluar dari prinsip-prinsip dasar berpikir berdasarkan teori hukum Islam. Lihat, Mahdi Zahraa, “Unique Islamic Law Methodology and the Validity of Modern Legal and Social Science Research Methods for Islamic Research,” dalam Arab Law Quarterly, Vol. 18, No. 3/4, 2003, hlm. 225-226. 64 Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore, Pakistan: 1962), hlm. 164.

203 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

yang dalam bahasa M. Hashim Kamali, disebut dengan pertemuan creative thinking and prevailing condition of its societies (proses berpikir kreatif dan kondisi nyata masyarakatnya).65

Dalam upaya mengejawantahkan pandangan Iqbal tentang ajaran al-Qur’ân agar mampu menjadi motivator dan pegangan dalam penyelesaian permasalahan kehidupan, Fazlur Rahman,

seorang mantan dosen di Chicago University dan dosen tamu di beberapa universitas lainnya termasuk McGill University Montreal Canada, menyatakan:

“…the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing a rule, and to alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a manner that a new situation can be subsumed under it by a new situation. This definition itself implies that a text or precedent can be generali- zed as a principle and that the principle can then be formulated as a new rule. This implies that the meaning of the past text or precedent, the present situation, and the intervening tradition can be fairly objec- tively brought under the judgment of the normative meaning of the past under whose impact the tradition arose.”66

Gerakan mengaktifkan kembali ijtihad dengan piranti metodo- logis baru yang dianggap mampu menjawab tantangan modernitas terus bergulir sampai saat ini. Metodologi studi Islam, dalam

gagasan ‘Abdul Hamid Abû Sulaymân, perlu ditata ulang

65 M. Hashim Kamali, “Issues in Understanding Jihad and Ijtihad,” hlm. 623-624. 66 Artinya: “…upaya untuk memahami teks yang relevan atau kejadian-kejadian masa lampau yang berisikan aturan, dan mengubah aturan itu dengan cara memperluas atau membatasi atau memodifikasinya sesuai dengan situasi baru. Definisi ini menyiratkan bahwa teks atau kejadian masa lalu dapat digeneralisasi sebagai sebuah prinsip dan bahwa prinsip tersebut dapat diformulasikan dalam sebuah peraturan baru. Hal ini menunjukkan bahwa makna teks dan kejadian masa lalu, situasi saat sekarang, dan tradisi yang terkait dapat secara adil dan objektif dimasukkan ke dalam sebuah ketentuan makna normatif dari teks dan kejadian masa lalu yang mempengaruhi perkembangan tradisi tersebut.” Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago & London: Chicago University Press, 1984), hlm. 8.

204 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

(restruktur) mengikuti dinamika problematika keislaman sehingga mampu menghasilkan konsep syari’ah yang up to date (sesuai zaman).67 Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan realitas atau situasi praktikal dalam hubungannya dengan tujuan akhir (maqâshid) dan nilai-nilai agung syari’at, serta aturan masyarakat dan peradaban.68

Dalam tradisi keberagamaan di Barat, gerakan peralihan dari dominasi teks ke konteks nilai ini kalau ditelusuri sebenarnya telah mulai matang sejak abad ke-19 ketika kebangkitan hegemonik ilmu

pengetahuan dan kritisisme dalam studi-studi keagamaan mem- buka lembaran baru dalam masalah konflik yang telah menahun antara akal dan wahyu. Dalam tradisi Kristen, muncul dua aliran

besar, yakni aliran fundamentalisme yang menekankan pada literalisme dengan alasan untuk menjaga kemurnian teks Injil dari erosi dan korupsi makna, dan aliran sekuler progresif yang ber-

pihak pada akal dan modernisme. Perkembangan semacam ini berpengaruh terhadap perkembangan dalam agama-agama lain, termasuk Islam.69 Aliran literalisme dalam Islam yang menekan-

kan pada makna leksikal dalam memahami teks dan berdiri sebagai antitesis terhadap akal dan modernitas, lambat laun dianggap sebagai penyebab maladjustment Islam terhadap modernitas,

sehingga muncullah sarjana-sarjana yang pro terhadap nilai-nilai Islam progresif yang mengedepankan nilai-nilai universal Islam

67 ‘Abdul Hamid Abû Sulaymân, Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought (Herndon, Virginia: IIIT, 1993). 68 ‘Abdul Hamid AbûSulaymân, Crisis in the Muslim Mind (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 19. 69 Sherman A. Jackson, “Literalisme, Empiricism, and Induction: Apprehending and Concretizing Islamic Law’s Maqâsid al-Syarî‘ah in the Modern World,” dalam Michigan State Law Review, Vol. 1469, 2006, hlm. 1469-1470; Lihat juga Felicitas Opwis, “Maslaha in Contemporary Iskamic Legal Theory,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 2, 2005, hlm. 184.

205 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

yang memiliki karakter dan pola pikir yang berbeda dengan kelompok Islam literalis atau fundamentalis.70

Terma Islam progresif menurut Syed Hussein Alatas tidak menyiratkan abstraksi ataupun reduksi dari totalitas Islam, tetapi istilah yang mengindikasikan bahwa Islam itu memang sejatinya bersifat progresif. Watak asli Islam seperti inilah sesungguhnya

yang harus diangkat ke permukaan. Sementara itu, Alparsalan Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-ilmu Sosial Fatih Univer- sity Turkey, menyatakan bahwa Islam progresif adalah Islam yang

menawarkan keseimbangan antara mysterious and the rational aspects of human nature (aspek misterius dan rasional dari tabiat manusia).71 Definisi lainnya dikemukakan oleh Abdullah Saeed

bahwa Islam progresif merupakan salah satu dari sekian banyak

70 Untuk mengetahui posisi muslim progresif dalam trend pemikiran muslim yang ada saat ini, berikut ada enam kelompok pemikir menurut kategorisasi Abdullah Saeed: 1) The legalist-traditionalist, yang titik tekannya pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra-modern; 2) The theo- logical puritans, yang fokus pemikirannya pada dimensi etika dan doktrin Islam; 3) The political Islamists, yang kecenderungan pemikirannya pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam; 4) The Islamist extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik muslim maupun non-muslim; 5) The secular muslims, yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); 6) The progressive ijtihadists, yaitu para pemikir modern yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern. Pada kategori yang terakhir inilah posisi muslim progresif dengan Islam progresifnya. Lihat, Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 142-150. Kategori- sasi tersebut di atas hampir sama dengan kategorisasi Tariq Ramadan yang juga membaginya menjadi enam kelompok yang merepresentasikan perspektif muslim yang terkenal pada abad ke-20 dan ke-21, yaitu: “Scholastic Traditionalism,” “Salafi Literalism,” “Salafi Reformism,” Political Literalist Salafism,” “Liberal or Rational Reformism,” dan “Sufism.” Lihat, Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2004), hlm. 24-28. Menurutnya, muslim progresif ada pada kelompok Liberal or Rational Refor- mism. 71 IDSS, “Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies,” Laporan Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore, tanggal 7-8 Maret 2000, hlm. 7.

206 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

aliran pemikiran Islam kontemporer yang berupaya untuk incor- porate the contexts and the needs of modern Muslims (meng- hubungkan konteks dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim modern), 72 yang pada akhirnya sesungguhnya menuju “want to act to preserve the vibrancy and variety of the Islamic tradition” (keinginan berbuat untuk memelihara vitalitas kehidupan dan keanekaragaman tradisi Islam).73

Sosialisasi Islam progresif ini berjalan terus menciptakan equilibrium (keseimbangan) pemikiran keislaman walaupun

dihadang oleh banyak kendala.74 Bahkan, ide Islam progesif ini bukan hanya bersentuhan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan dan kebebasan yang menjadi wacana unggulan moderni-

tas, melainkan masuk pada wilayah-wilayah hukum Islam. Karena itu, muncullah istilah progressive ijtihad yang meniscayakan penafsiran ulang nash hukum dan pembingkaian ulang metode

penetapan hukum, sehingga sifat fleksibelitas dan elastisitas hukum Islam yang dicanangkan oleh para mujtahid masa lalu tidak hanya tertulis dalam kitab-kitab kuning, tetapi menjadi kenyataan

sehari-hari.

72 Ibid., hlm. 14. 73 Omid Safi, (ed.) “Introduction,” dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld, 2003), hlm. 2. 74 Menurut Abdullah Saeed, kendalanya antara lain adalah anggapan bahwa hanya ada satu set hukum Islam yang bisa diterima sebagai kebenaran tunggal, dan lainnya dianggap salah. Penyakit truth claim ini masih major di kalangan umat Islam. Dalam bahasa lain, Engineer menyatakan bahwa key obstacle terletak pada internal umat, yaitu hilangnya kebebasan dan tiadanya demokrasi. Sementara itu, Chandra Muzaffar menyebutkan empat kendala penyebaran ide-ide Islam progresif: pertama , direpresentasikan oleh kelompok muslim konservatif yang menebarkan ide-idenya dengan menggunakan kekerasan; kedua, ditunjukkan oleh karya intelektual muslim yang mengklaim peduli pada masa depan Islam, tetapi yang dilakukan adalah membungkus ide lama dengan pakaian baru (refashioning Islam); ketiga, perilaku atau tindakan negara-bangsa yang represif; keempat, apa yang ditunjukkan oleh global system of power yang tidak memberi peluang perbedaan pendapat dalam mendiskusikan isu-isu sosial ekonomi. Lihat, IDSS, “Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies,” hlm. 15.

207 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Sarjana-sarjana muslim kontemporer yang gigih meng- advokasikan pendekatan baru (progressive approach) dalam memahami Islam, di antaranya secara khusus menekuni kajian maqâshid al-syarî’ah sebagai metode pengembangan hukum Islam kontemporer. Mereka yang paling terkenal di dunia Barat adalah Muhammad Khalid Mas’ud, Mohammad Hashim Kamali, Ahmad al-Raysûnî, Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah, dan Jasser Auda. Mereka meyakini bahwa dengan dijadikannya maqâshid al- syarî’ah sebagai landasan berpikir, akan diperoleh pemahaman Islam yang senantiasa sesuai dan selaras dengan perkembangan manusia tanpa batas waktu dan tempat. Singkatnya, fleksibilitas, elastisitas, dan universalitas ajaran Islam akan menjadi potret nyata yang dirasakan oleh semua umat.

D. Maqâshid al-Syarî’ah sebagai Sebuah Pendekatan: Menilik Tata Kerja Maqâshid-Based Ijtihad Ulama maqâshidiyyûn sepakat akan adanya maksud dan tujuan di balik setiap ketentuan syari’ah. Betapapun mereka berbeda dalam menguraikan makna maqâshid al-syarî’ah, semua- nya menuju satu muara, yakni terciptanya kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan. Dalam perkembangnya sebagai pen- dekatan, ada dua pertanyaan penting: pertama, bagaimana cara maqâshid al-syarî’ah itu diketahui atau, dalam kalimat lain, bagai- mana cara menetapkan maqâshid al-syarî’ah dari suatu ketetapan syari’at; kedua, bagaimana tata kerja berpikir dengan mengguna- kan maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan (maqâshid-based ijtihad ). Tentang pertanyaan pertama, secara umum ulama maqâshi-

diyyûn menyatakan bahwa maqâshid al-syarî’ah dapat ditentukan melalui empat media, yaitu penegasan al-Qur’ân, penegasan al-

208 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Hadîts, istiqrâ’ (riset atau kajian induktif), dan al-ma‘qûl (logika).75 Tidak ada yang memungkiri bahwa al-Qur’ân dan al-Hadîts seringkali menyebutkan secara eksplisit alasan atau tujuan dari disyari’atkannya suatu ketentuan hukum. Tetapi, di bagian-bagian lain, seringkali pula alasan atau tujuan hukum dibiarkan menjadi implisit atau bahkan tidak dinyatakan sama sekali. Karena sudah menjadi ijmâ‘ ulama’ bahwa setiap ketentuan hukum itu pasti 76 memiliki tujuan untuk kemaslahatan, maka ‘illat dan tujuan itu harus ditemukan dengan pengamatan dan penelitian secara seksama sehingga bisa dipahami dan dijadikan suatu rujukan penetapan hukum. Susunan media penetapan maqâshid al-syarî’ah di atas

bukanlah susunan heirarkis yang paten. Karena itu, Ibn ‘Âsyûr justru menempatkan metode istiqrâ’ sebagai metode yang paling agung atau paling utama dalam konteks ini. Menurutnya, ada dua

macam istiqrâ’ yang perlu dilakukan: yang pertama adalah penelitian seksama terhadap hukum-hukum yang telah diketahui ‘illat-nya yang mengantarkan pada istiqrâ’ atas ‘illat yang tetap

dengan metode masâlik al-‘illah (cara atau metode untuk menentukan ‘illat hukum). Dengan cara inilah maqâshid al- syarî’ah dapat diketahui dengan mudah. Cara yang kedua adalah

penelitian atas dalil-dalil hukum yang memiliki ‘illat yang sama sehingga bisa meyakinkan bahwa ‘illat tersebut sesungguhnya

75 ‘Umar bin Shâlih bin ‘Umar, Maqâshid al-Syarî’ah ‘inda al-Imâm al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm , hlm. 73-78. Bandingkan dengan ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm, Vol. 1, hlm. 3-10. Beberapa ulama seperti al-Syâthibî dan Ibn ‘Âsyûr mencukupkan pada tiga cara yang pertama saja dengan memasukkan logika pada bagian dari proses istiqrâ’. Bahasan tentang istiqrâ’, definisi, dan pengaruhnya terhadap perkembangan kaidah fiqh dan ushûl al-fiqh dapat dilihat dalam al- Thayyib al-Sanûsî Ahmad, al-Istiqrâ’ wa Atharuhû fî al-Qawâ‘id al-Ushûliyyah wa al-Fiqhiyyah Dirâsah Nadzariyyah Tathbîqiyyah (Riyâdh: Dâr al-Tadmuriyyah, 2008). 76 Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât 1/139.

209 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

adalah yang dikehendaki oleh syara’.77 Metode kedua dan ketiga adalah dalil-dalil al-Qur’ân dan Hadîts mutawâtir yang dengan jelas menentukan ‘illat dan tujuannya.78 Urgensi istiqrâ’ dalam maqâshid al-syarî’ah ini tidak hanya dinyatakan oleh Ibn ‘Âsyûr, tetapi juga oleh ulama sebelumnya, seperti ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al- Salâm, al-Syâthibî, dan ulama setelahnya seperti ‘Allâl al-Fâsî, al- Raysûnî, dan ulama-ulama maqâshidiyyûn kontemporer lainnya.

Sementara itu, pertanyaan kedua tentang bagaimana tata kerja berpikir dengan menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai

pendekatan (maqâshid-based ijtihad) menjadi persoalan penting yang belum terjawab dengan jelas dalam sejarah perkembangan maqâshid al-syarî’ah sebelum datangnya al-Syâthibî dan Ibn

‘Âsyûr. Al-Syâthibî selalu dianggap sebagai orang pertama yang menjadikan pemahaman yang baik atas maqâshid al-syarî’ah sebagai syarat menjadi mujtahid.79 Pandangan ini juga diikuti oleh

77 Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 190-193. 78 Ibid., hlm. 193-195. Selanjutnya secara ringkas Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa maqâshid al-syarî’ah dapat diketahui dari tiga sisi: (1) Cukup dari perintah dan larangan yang menjelaskan. Karena perintah pasti menghendaki terlaksananya isi perintah, maka terlaksananya perintah itu merupakan tujuan Syâri‘, demikian pula larangan yang menghendaki tidak dilakukannya apa yang dilarang; (2) Melihat ‘illat-‘illat perintah dan larangan, seperti nikah untuk kemaslahatan keturunan dan jual beli untuk kemaslahatan pemanfaatan barang yang dibeli; (3) Sesungguhnya dalam mensyari’atkan hukum, Syâri‘ memiliki tujuan asli (maqâshid ashliyyah) dan tujuan yang mengikuti (maqâshid tâbi‘ah). Tujuan-tujuan itu ada yang dinyatakan secara eksplisit dalam nash, ada yang tersirat, dan ada pula yang bisa diketahui dengan pengamatan dan penelitian secara seksama atas nash yang ada. Ibid., hlm. 195-196.

79 Ahmad al-Raysûnî, Imam al-Syatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law, hlm. 326. Al-Syâthibî menyatakan bahwa derajat ijtihad hanya bisa diperoleh oleh orang yang memilki dua karakter: pertama adalah memahami maqâshid al-syarî’ah secara sempurna dan, kedua, melaksanakan proses istinbâth hukum Islam dengan mendasarkan pada pemahamannya atas maqâshid al-syarî’ah itu sendiri. Lihat, al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, hlm. 784. Dari sinilah kemudian muncul istilah ijtihad atas dasar maqâshid atau maqâshid-based ijtihad, sebuah istilah yang dikenalkan oleh al-Raysûnî dalam buku tersebut di atas. Kesimpulan yang menyatakan bahwa al-Syâthibî adalah orang pertama yang menjadikan

210 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Ibn ‘Âsyûr . Kedua tokoh ini memberikan kaidah dasar maqâshid dengan baik dan lengkap, bahkan Ibn ‘Âsyûr telah memberikan contoh aplikasinya dalam penyelesaian masalah fiqh,80 tetapi kajian mereka berdua belum sampai pada kerangka kerja metodo- logis yang utuh. Meskipun demikian, pandangan al-Syâthibî dan Ibn ‘Âsyûr

telah menjadi pondasi dasar yang kuat proses peralihan ushûl al- fiqh klasik yang menekankan pada dominasi teks menuju ushûl al- fiqh yang menekankan pada aspek maqâshid al-syarî’ah dalam

proses istinbâth al-hukm (penetapan hukum). Dalam bahasa Hassan Hanafî, proses peralihan ini disebut dengan proses rekon- struksi ushûl al-fiqh, yang merupakan proses perubahan dari ‘ilm

fiqhî istidlâlî istinbâtî manthiqî (ilmu hukum Islam yang menge- depankan pencarian dalil dalam penetapan hukum dengan cara yang logis) menuju ‘ilm falsafî insanî sulukî ‘âm (ilmu filsafat kema-

nusiaan yang didasarkan pada metode yang umum). Proses ini, lanjut Hassan Hanafî, didasarkan pada tiga dasar keilmuan utama: al-wa‘y al-târîkhî (kesadaran sejarah, yakni sumber-sumber hukum

Islam yang empat), wa‘y al-nadzarî (kesadaran konseptual, yakni kajian-kajian kata atau kalimat), dan wa‘y al-‘amalî (kesadaran operasional, yakni tujuan hukum dan ketentuan hukum itu sendiri).81

pemahaman maqâshid al-syarî’ah sebagai syarat ijtihad adalah didasarkan pada pandangan ‘Abd Allâh Darrâz yang memberikan pengantar pendahuluan pada kitab al-Muwâfaqât. Pandangan ini dibantah oleh al-Raysûnî dengan menge- mukakan data bahwa ulama sebelumnya sudah ada yang menyatakan secara tegas persyaratan-persyaratan ijtihad seperti yang dikemukakan oleh al-Syâthibî tersebut di atas, antara lain Ibn al-Subkî dalam kitabnya yang berjudul Jam‘ al-Jawâmi‘ dan dalam komentarnya terhadap kitab Minhâj al-Wushûl ilâ ‘ilm al-Ushûl, ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî dalam pengantarnya terhadap Syarh al-Minhâj, dan lain sebagai- nya. Ibid., hlm. 327-328. 80 Bagian ketiga kitabnya Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah didedikasikan secara khusus untuk memberikan contoh tentang penerapan kajian maqâshid dalam ranah hukum keluarga, hukum ekonomi Islam, dan pidana Islam. Lihat, ‘Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 411-518. 81 Hassan Hanafî, Min al-Nash ilâ al-Wâqi‘ Bunyah al-Nash (Libya: Dâr al-Midâr al- Islâmî, 2005), hlm. 681.

211 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Tiga macam kesadaran yang dijadikan dasar rekonstruksi ushûl al-fiqh tersebut di atas merupakan realisasi dari aspek onto- logis, epistemologis, dan aksiologis dalam sebuah bangunan metodologi. Bangunan ushûl al-fiqh dengan menjadikan maqâshid sebagai pendekatan telah jelas memuat pandangan dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam syari’at, sumber-sumber hukum dan cara memahaminya, dan bagaimana realisasi operasionalnya.

Perjalanan pendekatan maqâshid dalam ushûl al-fiqh tentu terus berevolusi menuju titik yang lebih sempurna. Dasar-dasar

yang dibangun oleh al-Syâthibî dan Ibn ‘Âsyûr terus berkembang menjadi metodologi yang lebih mapan dan konkret. Ulama-ulama maqâshidiyyûn kontemporer berikutnya, seperti al-Raysûnî,

Jamâl al-Dîn ‘Athiyah, dan Jasser Auda adalah di antara sedikit sarjana yang memberikan fokus perhatian secara utuh terhadap kajian maqâshid al-syarî’ah ini.

Untuk memahami tata kerja maqâshid-based ijtihad tersebut, berikut adalah penjelasan tentang kaidah berpikir dengan ber- dasarkan pada maqâshid, hubungan antara maqâshid al-syarî’ah dan ushûl al-fiqh, dan hubungan antara maqâshid al-syarî’ah dan qawâ ‘id al-fiqh.82

82 Untuk menghindari kerancuan, di sini perlu diperjelas perbedaan antara al- qawâ‘id al-maqâshidiyyah, al-qawâ‘id al-ushûliyyah, dan al-qawâ‘id al-fiqhiyyah. Al-Qawâ‘id al-maqâshidiyyah adalah kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan berpikir atas dasar maqâshid dalam menentukan hukum Islam. Al-qawâ‘id al- ushûliyyah adalah ketetapan universal yang digunakan oleh seorang ahli hukum Islam dalam proses istinbâth hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terperinci. Qawâ‘id al-fiqh adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat universal yang mengandung hukum-hukum tasyrî’ yang bersifat umum untuk peristiwa atau kejadian baru yang masuk dalam tema yang ada di bawanya. Lihat, ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al- Kîlânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘inda al-Imâm al-Syâthibî, hlm. 31-40, 55-56.

212 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

1. Kaidah Berpikir atas Dasar Maqâshid Salah satu kelebihan al-Syâthibî yang ditunjukkan dalam kitab al-Muwâfaqât adalah kemampuannya menyusun kaidah-kaidah maqâshid al-syarî’ah yang harus dijadikan dasar dalam ijtihad dengan mendasarkan pada maqâshid al-syarî’ah.83 ‘Abdurrahmân Ibrâhîm Al-Kîlâni secara khusus mengkaji hal ini secara detail dan sistematis dalam bukunya yang berjudul Qawâ‘id al-Maqâshid ‘ind al-Imâm al-Syâthibî ‘Aradhan wa Dirâsatan wa Tahlîlan.84 Menurutnya, seluruh kaidah maqâshid yang dinyatakan oleh al-Syâthibî dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar: kaidah-kaidah yang berkaitan dengan tema maslahat dan mafsadat, kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dasar penghilangan kesulitan (raf‘ al-haraj), dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan akibat-akibat perbuatan dan tujuan orang-orang mukallaf. Dari kategorisasi ini tersirat bahwa kemaslahatan, kemudahan, dan tujuan akhir suatu ketentuan hukum menjadi dasar utama yang hendak dicapai oleh maqâshid- based ijtihad.

Kategori pertama menekankan pada realisasi kemaslahatan sebagai tujuan dari ketentuan hukum Islam. Termasuk ke dalam kategori ini adalah kaidah-kaidah sebagai berikut:

(a)

[Penentuan hukum-hukum syari’at adalah untuk kemaslahatan hamba, baik untuk saat ini maupun nanti].85

83 Kitab al-Maqâshid merupakan bagian dari al-Muwâfaqât dengan porsi bahasan yang paling dominan. Kajiannya sangat luas, tetapi tidak diruntut secara sistematis, hanya berupa paparan secara umum. 84 Buku ini diterbitkan oleh IIIT dan Dâr al-Fikr (Damsyiq, Suriyah) tahun 2000. 85 Penjelasan mendalam kaidah ini lihat, ibid., hlm. 126-136.

213 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

(b)

[Yang bisa dipahami dari penentuan Tuhan adalah bahwa ketaatan dan kemaksiatan diukur dengan tingkat kemaslahatan

dan kemafsadatan yang ditimbulkannya].86

(c)

[Perintah dan larangan dari sisi teks adalah sama dalam hal kekuatan dalilnya, perbedaan antara apakah ia berketetapan hukum wajib atau sunnat dan antara haram atau makruh tidak bisa diketahui dari nash, tetapi dari makna dan analisis dalam hal kemaslahatannya dan dalam tingkatan apa hal itu terjadi].87

(d)

[Kemaslahatan jika bersifat dominan dibandingkan ke-

mafsadatan dalam hukum kebiasaan, maka kemaslahatan itulah sesungguhnya yang dikehendaki secara syara’ yang perlu diwujudkan].88

(e)

[Hukum-hukum yang ditujukan untuk terciptanya kemaslahat- an tidak mengharuskan adanya kemaslahatan dalam setiap partikel dari kesuluruhan partikel pada saat yang bersamaan].89

86 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 136-142. 87 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 142-146. 88 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 146-151. 89 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 151-152.

214 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Dari kaidah-kaidah kategorisasi pertama ini diketahui dengan jelas bahwa nilai, makna, dan eksistensi kemaslahatan menentukan suatu status hukum dan diposisikan di atas otoritas teks, yang dalam fiqh klasik memiliki otoritas sangat kuat.

Kategori kedua adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan dasar berpikir maqâshid untuk menghilangkan kesulitan

atau kesukaran. Kaidah-kaidah yang masuk dalam kategorisasi kedua ini adalah: (a)

[Syâri‘ (Allah) memberikan beban taklîf bukan bertujuan untuk menyulitkan dan menyengsarakan].90

(b)

[Tidak dipertentangkan bahwa Allah telah menetapkan hukum taklîf yang di dalamnya terdapat beban dan kesulitan, tetapi bukanlah esensi kesulitan itu yang sesungguhnya dikehendaki, melainkan kemaslahatan yang akan kembali kepada orang mukallaf yang menjalankannya].91

(c)

[Jika ada suatu tujuan yang menurut logika di luar kemampuan hamba, maka hukumnya disamakan dengan sesuatu yang telah terjadi sebelumnya atau yang serupa dengannya].92

90 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 277-285. 91 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 286-289. 92 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 289-291.

215 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

(d)

[Syari’at perlu dijalankan dengan cara yang moderat dan adil, mengambil dari dua sisi secara seimbang, yang bisa dilakukan oleh hamba tanpa kesulitan dan kelemahan].93

(e)

[Pada dasarnya, apabila pelaksanaan suatu pendapat akan

mengarahkan pada kesulitan atau pada hal yang tidak mungkin secara logika dan syara’, maka hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan istiqâmah (tetap) sehingga tidak perlu diteruskan].94

(f)

[Termasuk dari tujuan syara’ dalam setiap perbuatan adalah tetap konsistennya mukallaf atas perbuatan tersebut].95

Kaidah-kaidah di atas menunjukkan bahwa maqâshid-based ijtihad berpihak pada kemudahan dan kemampuan mukallaf sebagai pelaksana hukum. Karena itulah fiqh yang didasarkan pada maqâshid al-syarî’ah juga disebut dengan fiqh al-taysîr (fiqh yang memudahkan).

Sementara itu, kategorisasi ketiga adalah sekelompok kaidah

yang berhubungan dengan akibat akhir dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh mukallaf serta tujuan mukallaf itu sendiri, yaitu:

93 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 291-295. 94 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 295-302. 95 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 302-304.

216 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

(a)

[Menganalisis akibat akhir perbuatan hukum adalah diperin- tahkan oleh syara’, baik perbuatan itu sesuai dengan tujuan syara’ maupun bertentangan].96

(b)

[Mujtahid wajib menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat hukum].97

Dari kategorisasi yang terakhir ini jelas yang dikehendaki oleh al-Syâthibî, bahwa proses ijtihad tidak hanya berfokus pada teks dalil, tetapi juga pada konteks peristiwa atau perbuatan hukum dan pada sisi akibat (al-mâ’âl) sebagai upaya untuk mengetahui sisi maslahat dan mafsadat yang ditimbulkannya. Seperti kesimpul- an pada kategorisasi pertama, akibat atau efek hukum inilah yang lebih mendominasi sebagai penentu hukum dibandingkan dengan kekuatan teks itu sendiri.

Sebagai pelengkap kategorisasi di atas yang menekankan pada hubungan teks dengan konteks empiris perbuatan hukum, menarik untuk membaca pandangan al-Raysûnî dalam kitabnya yang

berjudul al-Fikr al-Maqâshidî, yang lebih menekankan pada bagai- mana cara memahami dalil nash dengan menggunakan pendekatan maqâshid al-syarî’ah. Pandangan al-Raysûnî menarik untuk

digandengkan dengan pendapat al-Syâthibî di atas karena ia dengan baik dan lengkap mengkaji pandangan al-Syâthibî tentang maqâshid al-syarî’ah dan mengakuinya sebagai tokoh yang paling

berpengaruh dalam pandangannya tentang maqâshid al-syarî’ah. Ia menyatakan bahwa berpikir dengan menggunakan maqâshid sebagai pendekatan merupakan proses berpikir ilmiah yang pasti

memiliki dasar kaidah metodologis yang akan mengantarkan pada

96 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 362-371. 97 Penjelasan lengkapnya lihat, ibid., hlm. 371-383.

217 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

ketentuan hukum yang berpihak pada maqâshid al-syarî’ah.98 Menurutnya, ada empat kaidah dasar yang harus diketahui dan disadari dalam proses maqâshid-based ijtihad.

Kaidah pertama adalah [Setiap ketentuan hukum syari’ah pasti memiliki ‘illat, maksud, dan kemaslahatan].99 ‘Illat, maksud, dan kemaslahatan ketentuan

hukum dalam Islam pasti ada dan haruslah dicari dan ditemukan sehingga memberikan suatu ketenangan dalam melaksanakannya. Hal ini selaras dengan pendapat Ibn Qayyim yang menyatakan:

“Dalam syari’at, tidak ada satu pun ketentuan hukum kecuali ia memiliki makna dan hikmah, yang bisa dipahami oleh orang yang berakal dan tersembunyi bagi orang yang tidak peduli.”100 Karena

itu, ketika hikmah dan maksud hukum belum diketahui oleh sebagian orang, bukan berarti ia tidak ada dan karenanya sangat mungkin diketahui oleh orang lain.101

Kaidah kedua adalah [Penentuan maqâshid al-syarî’ah dalam suatu ketentuan hukum haruslah dengan dalil].102 Logika dari kaidah ini adalah bahwa menghubungkan maqâshid al-syarî’ah dengan ketentuan hukum Tuhan berarti menghubung- kan suatu pernyataan atau hukum dengan Allah Swt. Sementara itu, Allah dalam segala ketentuan hukum-Nya telah menyertakan

98 Ahmad al-Raysûnî, al-Fikr al-Maqâshidî Qawâ‘iduhû wa Fawâ’iduhû, hlm. 37. 99 Ibid., hlm. 39. 100 Syams al-Dîn Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Abî Bakr Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Alamîn, Vol. 2 (Mishra: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, 1967), hlm. 86. 101 Al-Raysûnî berkeyakinan kuat bahwa: (1) Setiap ketentuan hukum itu pasti terkait dengan maksud dan kemaslahatan; (2) Tersembunyinya hikmah dan tujuan bagi sebagian orang tidaklah mencegah kemungkinan tampaknya hikmah dan tujuan itu bagi orang lain; (3) Pencarian hikmah-hikmah dan tujuan yang masih tersembunyi (samar) atau yang masih diperselisihkan tidak boleh berhenti, bahkan harus terus berlanjut dan lebih maju lagi. Lihat, Ahmad al-Raysûnî, al-Fikr al- Maqâshidî Qawâ‘iduhu wa Fawâ’iduhû, hlm. 42-43. 102 Ibid., hlm. 59.

218 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

dalil-dalil. Oleh karena itu, penentuan maqâshid al-syarî’ah dalam setiap hukum harus didasarkan pada dalil.103 Dari sini jelas bahwa berpikir maqâshid al-syarî’ah bukanlah berpikir lepas tanpa terikat pada dalil. Dalil menjadi dasar pokok, hanya saja proses interpretasi atas dalil tersebut yang berbeda dengan proses berpikir ushûl al-fiqh pada umumnya. Berpikir dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah dipengaruhi kuat oleh tujuan dan akibat hukum, sementara berpikir hanya dengan menggunakan ushûl al- fiqh ditentukan oleh kekuatan dalil itu sendiri.

Kaidah ketiga adalah [Urgensi menyusun secara heirakis kemaslahatan dan kemafsadatan].104 Sebagai suatu pola berpikir ilmiah metodologis, maqâshid-based ijtihad meniscayakan adanya penyusunan kemaslahatan dan kemafsa- datan atas dasar tingkatan heirarkis dalam upaya memudahkan proses penentuan hukum dengan skala prioritas.105 Atas dasar

inilah maqâshid al-syarî’ah sendiri oleh para ulama dibagi menjadi tiga tingkatan: dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Demikian pula dharûriyyât dibagi menjadi lima hal yang susunannya,

menurut para ulama, didasarkan pada skala prioritas, yakni: menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta.106

Kaidah keempat adalah [Perlunya pembedaan antara tujuan dan media menuju tujuan (peran-

103 Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, hlm. 417-418. 104 Lihat, Ahmad al-Raysûnî, al-Fikr al-Maqâshidî Qawâ‘iduhu wa Fawâ’iduhû, hlm. 68.

105 Ketika harus melakukan tarjîh di antara beberapa pendapat yang berbeda, maslahat yang lebih tinggi didahulukan daripada maslahat yang lebih rendah, sementara mafsadat yang lebih kecil didahulukan daripada mafsadat yang lebih besar. Dalam pendekatan maqâshid, kekuatan dalil cenderung dikalahkan oleh kekuatan sisi maslahatnya. Inilah yang membedakan antara pendekatan maqâshid dan kebanyakan pendekatan ushûl al-fiqh klasik dalam bidang tarjîh. 106 Kompilasi pendapat ulama tentang urutan lima hal pokok dalam al-dharûriyyât al-khams beserta diskusinya tentang apakah susunan ini merupakan heirarki absolut yang meniscayakan pendahuluan yang lebih atas, dibandingkan dengan yang di

219 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tara)].107 Hal ini penting karena wasîlah atau media perantara juga diperlukan eksistensinya sama seperti maqâshid. Hanya saja, wasîlah ini diperlukan bukan karena esensinya, melainkan hanya sebagai perantara terwujudnya hal lain yang dibutuhkan keber- 108 adaannya, yaitu maqâshid itu sendiri. Seringkali dalam ketentu- an hukum keterkaitan antara maqâshid dan wasâ’il ini tampak dengan jelas, tetapi tidak tertutup kemungkinan terlihat samar dan serupa. Kegagalan membedakan antara keduanya akan mengakibatkan kesalahan dalam proses maqâshid-based ijtihad yang akan menghasilkan ketentuan hukum yang salah pula.109

Dalam bukunya yang lain, yakni Imam al-Syatibi’s Theory Imam al-Syatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of

Islamic Law, al-Raysûnî menyebutkan empat panduan dasar yang harus dipahami dalam melakukan maqâshid-based ijtihad yang mirip dengan empat hal di atas, tetapi lebih praktis dan operasio-

nal: (1) teks dan aturan hukum tidak terpisah dari tujuannya; (2) mengombinasikan prinsip-prinsip universal dengan dalil yang digunakan untuk kasus tertentu; (3) mencapai kemaslahatan dan

mencegah kemafsadatan; dan (4) mempertimbangkan hasil akhir.110

Pandangan al-Raysûnî di atas sesungguhnya menitikberatkan pada urgensi keterkaitan ‘illat, dalil, dan kemaslahatan sebagai

bawahnya, ataukah ini adalah susunan tanpa skala prioritas ataukah merupakan suatu kesatuan yang disebut dengan centralical centre yang berkait satu dengan lainnya, dapat dibaca dalam Gamal Eldin Attia, Towards Realization of The Higher Intents of Islamic Law, hlm. 16-36. 107 Lihat, Ahmad al-Raysûnî, al-Fikr al-Maqâshidî Qawâ‘iduhu wa Fawâ’iduhû, hlm. 77. 108 Ibid., hlm. 77-80.

109Ibid., hlm. 88. Lihat pula Yûsuf al-Qaradhâwî, Kayfa Nata‘âmal ma‘a al-Sunnah, hlm. 139. 110 Ahmad al-Raysûnî, Imam al-Syatibi’s Theory Imam al-Shatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law, hlm. 336-362.

220 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

tujuan hukum. Pandangan ini paralel dengan kaidah yang dikemu- kakan oleh al-Syâthibî di atas dalam sisi keinginan menampakkan wajah hukum Islam yang berorientasi pada kemaslahatan sebagai tujuan syari’at. Pandangan-pandangan tersebut dielaborasi lebih 111 112 luas oleh Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah dan Jasser Auda yang menyampaikan beberapa dasar tata kerja metodologis maqâshid- based ijtihad yang dikaitkan dengan ushûl al-fiqh dan qawâ‘id al- fiqh . Keterkaitan tiga hal inilah yang perlu dikaji lebih jauh ketika hendak mengungkap tentang bagaimana sesungguhnya maqâshid- based ijtihad ini.

2. Ushûl al-Fiqh dalam Perspektif Maqâshid-Based Ijtihad

a. Keterkaitan Ushûl al-Fiqh dengan Maqâshid-Based Ijtihad Ijtihad dalam kajian hukum Islam tidak bisa terlepas dari ushûl al-fiqh, teori-teori hukum Islam yang telah terbangun lama mengikuti perkembangan fiqh. Meskipun demikian, beragamnya bentuk, esensi, dan konteks hukum Islam pada masa kontemporer ditengarai oleh beberapa sarjana ushûl fiqh kontemporer sebagai penyebab perlunya reformasi teori ushûl fiqh agar tetap mampu menjadi instrumen hukum yang menghasilkan bentuk hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Ibn ‘Âsyûr, sebagai salah

seorang sarjana kontemporer menyatakan bahwa dalam memecah- kan masalah kontemporer diperlukan pendekatan sosiologis atau budaya dan metodologi epistemologis113 yang dengannya realisasi

kemaslahatan dan kesatuan pandangan atas suatu masalah bisa dicapai. 114

111 Gamal Eldin Attia, Towards Realization of The Higher Intents of Islamic Law, hlm. 156, 158-159. 112 Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach , hlm. 257-258. 113 Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, hlm. 88-89. 114 Ibid., hlm. 166.

221 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Ibn ‘Âsyûr tidak menolak ushûl al-fiqh. Ia hanya menyatakan bahwa ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, antara lain: pertama, perbedaan pandangan hukum yang terjadi terus menerus itu karena mengikuti perbedaan ushûl-nya. Kedua, perbedaan yang terjadi dalam ushûl al-fiqh disebabkan oleh qawâ‘id al-ushûl yang banyak tercerabut dari cabang-cabang fiqh, karena pembukuan ilmu ushûl al-fiqh terjadi pada masa setelah 115 pembukuan fiqh. Akibatnya, ushûl al-fiqh cenderung menekan- kan pada otoritas teks daripada makna, hikmah, dan maksud hukum Islam itu sendiri.116 Sebagai upaya menemukan kembali kepastian dan keyakinan hukum itulah diperlukan upaya mem- bangun kembali ushûl al-fiqh dengan dasar maqâshid al- syarî’ah .117 Ajakan Ibn ‘Âsyûr tersebut lama sekali terdiam tanpa sambutan yang cukup berarti dari para ulama ushûl sampai pada

suatu masa ketika wacana nilai-nilai universal agama-agama di dunia termasuk Islam menjadi kajian global sebagai konsekuensi linier upaya merancang etika global sebagai dasar menciptakan

dunia yang damai dan sejahtera. Ada beberapa sarjana yang menyambut ajakan Ibn ‘Âsyûr ini pada masa kontemporer, di antaranya adalah ‘Alî Jum‘ah Muhammad dalam kitabnya ‘Ilm

Ushûl al-Fiqh wa ‘Alâqatuhû bi al-Falsafat al-Islâmiyyah. Dalam kitabnya, ia menyatakan perlunya penggandengan ushûl al-fiqh dengan filsafat Islam, sebab tanpa penggandengan tersebut maka yang dihasilkan hanyalah perbedaan pendapat tanpa ujung, yang diakibatkan perbedaan pandangan ushûliyyûn tentang tsubût al- dalâlah.118 Hasan al-Turâbî juga layak disebut karena dalam tulisan-

115 Ibid. , hlm. 166. 116 Ibid., hlm. 166-167. 117 Ibid. , hlm. 172. 118 ‘Alî Jum‘ah Muhammad, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh wa ‘Alâqatuhû bi al-Falsafat al- Islâmiyyah (Herndon, Virginia: IIIT, 1996), hlm. 32-37.

222 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

nya yang berjudul Tajdîd Ushûl al-Fiqh,119 ia mengajak secara nyata untuk meninggalkan ushûl al-fiqh al-taqlîdî (teori hukum Islam dengan format lama yang berorientasi pada teks) menuju ushûl al-fiqh al-maqâshidî (teori hukum Islam yang berorientasi pada realisasi tujuan hukum). Sayangnya, semangat Turâbî ini tidak dilengkapi dengan penjelasan metodologis yang rinci tentang bagaimana sebenarnya tata kerja ushûl al-fiqh al-maqâshidî itu. Al-Raysûnî, Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah, dan Jasser Auda adalah sarjana kontemporer lainnya yang mengikuti semangat Ibn ‘Âsyûr, tetapi mereka juga gagal menghadirkan kajian yang komprehensif tentang ushûl al-fiqh al-maqâshidî. Kajian mereka parsial, tapi, untungnya, masih bisa saling melengkapi untuk menjadi sebuah potret metodologis. Dalam konteks hubungan maqâshid al-syarî’ah dengan ushûl al-fiqh ini, Jasser Auda memberikan 15 ciri-ciri ushûl al-fiqh yang

menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai dasar pijakannya:120

1) Otoritas yuridis (hujjiyyah) diberikan pada dilâlah al- maqâshid (implikasi tujuan).

2) Prioritas dalâlah al-maqâshid, dibandingkan dengan impli- kasi yang lain, harus tunduk pada situasi saat itu dan pada pentingnya tujuan itu sendiri.

3) Tujuan dari suatu ungkapan harus menentukan validitas dari implikasi terbaliknya (contrary implication).

4) Ungkapan skriptural tentang tujuan agung (higher purpose)

hukum yang biasanya bersifat umum dan pasti, tidak boleh dikhususkan (takhshish) dan dikualifikasi oleh dalil-dalil individual.

119 Hasan al-Turâbî, “Tajdîd Ushûl al-Fiqh,” dalam ‘Abd al-Jabbâr al-Rifâ‘î (ed.), Maqâshid al-Syarî’ah Afâq al-Tajdîd (Beirût, Sûriyah: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002), hlm. 173-194. 120 Ibid., hlm. 257-258.

223 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

5) Nilai-nilai moral harus memiliki status sebagai ‘illat (ratio legis) untuk aturan hukum yang terkait, sebagai tambahan pada illat literal yang biasanya didapatkan dari metode tradisi- onal. 6) “Koherensi sistematik” merupakan perluasan yang diperlukan dari ‘koherensi isi’ (‘adam syudhûdh al-matn).

7 ) Pendekatan maqâshid bisa mengisi gap konteks yang hilang dari narasi hadits. 8) Al-maqâshid, dalam konteks tujuan Nabi, harus juga diguna- kan dalam proses kontekstualisasi narasi hadîts, berdasarkan

pada tujuan kenabian yang diungkapkan oleh Ibn ‘Âsyûr, yaitu legislasi, pembuatan aturan, pengadilan, kepemimpinan, petunjuk, konsiliasi, saran, konselling, dan non-instruksi.

9) Analisis yang hati-hati atas kepastian ‘illat menunjukkan bahwa ‘illat biasanya bisa berubah dan tidak bersifat pasti/ tetap sebagaimana diklaim oleh ushûl al-fiqh tradisional. 10) Kontroversi tentang legitimasi independen mashâlih di-

hubungkan atau diidentifikasi dengan maqâshid al-syarî’ah. 11) Istihsân merupakan bentuk tujuan hukum yang ditambahkan pada alasan yuridis. Sementara itu, madzhab-madzhab hukum Islam yang tidak setuju penerapan istihsân sesungguhnya telah menggunakan metode yang lain dalam upaya mewujud- kan tujuan hukum. 12) ‘Mempertimbangkan cara’ harusnya tidak terbatas pada sisi

negatif pendekatan ‘consequentalist’.

13) Perluasan pemahaman al-Qarâfî tentang menutup jalan negatif (sadd al-dharâ’i‘) yang juga meliputi membuka jalan positif diperluas lagi dengan pertimbangan yang terus menerus tentang hasil akhir yang baik dan yang jelek.

224 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

14) Analisis Ibn ‘Âsyûr tentang efek budaya Arab dalam narasi teks mengembangkan tujuan universalitas dalam hukum Islam.

15) Prinsip ‘presumption of continuity’ (istishhâb) dihadirkan sebagai implementasi dari tujuan agung hukum Islam, seperti keadilan, kemudahan, dan kebebasan memilih.

Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat bahwa dalil-dalil dan metodologi yang telah berkembang dalam ushûl al-fiqh klasik sesungguhnya tetap dipakai dalam maqâshid-based ijtihad, hanya saja dasar utama penentuan hukumnya bukan lagi kekuatan teks, melainkan nilai filosofis maqâshid al-syarî’ah-nya. Pendekatan seperti ini bersifat universal karena berdasar nilai-nilai universal Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa maqâshid-based ijtihad berada di atas perbedaan-perbedaan madzhab yang seringkali dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dalam sejarah per- kembangan fiqhnya.121

Dalam pandangan kajian maqâsid-based ijtihad, penetapan al-Qur’ân dan al-Hadîts sebagai sumber hukum Islam yang utama

merupakan sesuatu yang pasti. Yang berbeda dengan pemahaman ulama ushûliyyîn klasik adalah penekanan ulama maqâshidiyyîn pada nilai-nilai atau prinsip universal al-Qur’ân sebagai dasar

utama penetapan hukum. Ketentuan-ketentuan yang spesifik dan parsial dari al-Qur’ân dan al-Hadîts ketika dianggap tidak sesuai dengan nilai dan prinsip universal maqâshid al-syarî’ah yang

121 Jasser Auda, Maqâshid al-Syari’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach, hlm. 258. Lebih jelas lagi tentang keterkaitan antara ushûl al-fiqh dan maqâshid ini dapat disimpulkan dari penelitian ‘Umar bin Shâlih bin ‘Umar yang menyatakan bahwa maqâshid al-syarî’ah sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari beberapa bagian yang ada dalam ushûl al-fiqh. Lihat, ‘Umar bin Shâlih bin ‘Umar, Maqâshid al-Syarî’ah ‘inda al-Imâm al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm, hlm. 80-82.

225 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

disarikan dari al-Qur’ân sebagai sumber tertinggi, harus dire- interpretasi sejalan dengan prinsip dan nilai universal tersebut. Begitu pula ijmâ‘ (konsensus) ulama, ia tetap bisa dipakai sebagai konsiderasi hukum sepanjang sesuai dengan maqâshid al-syarî’ah, dan harus ditinggalkan dan dianggap sebagai ketentuan hukum pada zamannya sendiri jika tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang yang membutuhkan ijtihad dan ijmâ‘ baru.

Qiyâs dengan segala bentuknya, istihsân, mashlahah mursalah, dan sadd al-dharâ’i‘ tetap digunakan dalam maqâshid-

based ijtihad.122 Hanya saja, sebagai penentu akhir pilihan hukum, kemaslahatan diposisikan lebih dominan dibandingkan dengan otoritas teks. Qiyâs menurut makna istilah ushûl al-fiqh

didefinisikan sebagai ilhâq amr ghayr manshûsh ‘alâ hukmuhî al- syar‘î bi amr manshûsh ‘alâ hukmihî li ishtirâkihâ fî ‘illat al- hukm.123 Digunakannya qiyâs dalam maqâshid-based ijtihad

menunjukkan ketidakterpisahan antara ushûl al-fiqh dan maqâshid al-syarî’ah. Yang mempertautkan keduanya adalah ‘illat, yang merupakan bagian inti dari maqâshid al-syarî’ah,

sebagai syarat aplikasi qiyâs. Dengan kata lain, qiyâs pada hakikat- nya tergantung pada maqâshid al-syarî’ah dari sisi perlunya kesesuaian dengan ‘illat. Karena itulah ushûliyyûn sebelum al-

Syâthibî memasukkan diskusi maqâshid al-syarî’ah dalam ranah kajian qiyâs.124

122 Bagaimana aplikasi metode-metode ini dalam ijtihad beserta penjelasan perdebatannya di kalangan ulama ushûl lengkap dengan contoh-contohnya, dapat dibaca dalam ‘Abd al-‘Adzîm Ibrâhîm al-Mu‘thî, Al-Fiqh al-Ijtihâdî al-Islâmî Bayna ‘Abqariyyat al-Salaf wa Ma’âkhidi Nâqidîhi (Kairo: Maktabah Wahbah, tt.). 123 Artinya: “menyamakan hukum suatu hal yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash karena kesamaan ‘illat keduanya.” Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî , Vol. 1 (Damshiq: Dâr al-Fikr, 2005), hlm. 574. 124 Mu hammad Bakr Isma‘îl Habîb, Maqâshid al-Syarî’ah Ta’shîlan wa Taf‘îlan (Râbithah al-‘Alam al-Islâmî, Silsilah Da‘wah al-Haq, No. 213, 1427 H), hlm. 52.

226 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Sementara itu, istihsân secara terminologis didefinisikan sebagai perpindahan dari hukum suatu dalil pada hukum yang serupa dengan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash yang umum atau qiyâs jâlî pada nash yang khusus atau qiyâs khafî, karena lebih diterimanya yang terakhir secara logika. Tujuannya adalah untuk menjaga kemaslahatan atau menolak kemafsada- tan. 125 Istihsân merupakan metode ushûl yang diperselisihkan, tetapi tetap dipakai dalam maqâshid-based ijtihad, karena ia mem- promosikan kehendak mencapai kemaslahatan. Banyak kritik yang dikemukakan ulama’ terhadap metode ini. Salah satunya adalah bahwa mereka yang menggunakan istihsân sesungguhnya telah meninggalkan penggunaan qiyâs yang sudah jelas menjadi hujjah syar‘iyyah , seraya menyangka bahwa mereka telah mencari yang lebih baik. Bagaimana mereka akan mendapatkan yang terbaik

sementara telah meninggalkan yang menjadi hujjah dan mengikuti yang bukan hujjah demi mengikuti hawa nafsunya? Jelas, yang mereka dapatkan adalah kesesatan belaka. Menanggapi tuduhan

ini al-Sarakhsî melakukan counter balance (tanggapan penye- imbang) secara argumentatif, bahwa istihsân secara etimologis adalah eksistensi sesuatu yang baik, sehingga jika dikatakan saya

125 Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 2, hlm. 21. Wahbah Zuhaylî memberikan contoh akad bekerja di pabrik (istishnâ’) yang pada waktu akad dilakukan, barang yang diakadkan (ma‘qûd alayhi) belum ada. Contoh dan kajian tentang istihsân ini sangat baik dikemukakan oleh al-Syarakhsî dalam kitabnya Ushûl al-Syarakhsî. Di antara contoh istihsân adalah apa yang dikemukakan oleh al-Sarakhsî dalam kitab tentang pencurian. Dia menyatakan: “Jika sekelompok orang memasuki sebuah rumah, kemudian mengumpulkan harta bendanya dan menaikkannya ke punggung salah seorang di antara mereka, lalu mereka keluar bersama-sama dengannya, maka dalam qiyâs, yang dikenai hukum potong tangan hanyalah yang mengangkut barang itu, sementara menurut istihsân, mereka semua dikenai hukuman potong tangan. Dalam kitab hudûd, al-Sarakhsî memberikan contoh lain, yaitu apabila persaksian zina berbeda pendapat tentang dua kamar yang ditempati sebagai locus operandi, sementara kedua kamar itu berada dalam satu rumah, maka menurut qiyâs, si pelaku yang disaksikan itu dibebaskan dari hadd , sementara menurut metode istihsân, tetap dikenai sanksi hadd. Lihat, Abû Bakr ibn Ahmad ibn Abî Sahl al-Sarakhsî, Ushûl al-Sarakhsî (Beirut, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1993), hlm. 2001.

227 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

ber-istihsân berarti saya yakin hal itu baik sebagai lawan dari jelek. Ini juga bermakna mencari yang lebih baik karena mengikuti peritah Allah: (Berilah kabar bagi hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti perkataan yang paling baik).126 Hal ini dimungkinkan dengan penggunaan logika. Dengan pertimbangan yang lebih baik inilah sesungguhnya metode ini dipakai. Andai saja qiyâs sudah cukup dan tidak membuka peluang yang memungkinkan lebih baik lagi, maka qiyâs itulah yang dipakai. Tapi, ketika ada yang lebih kuat dan lebih baik, maka qiyâs perlu ditinggalkan untuk masuk pada istihsân yang lebih mere- presentasikan kemaslahatan yang memang menjadi tujuan utama syari’at. 127

Metode mashlahah mursalah merupakan metode yang juga diperselisihkan, tetapi menjadi piranti metodologis yang penting

dalam ushûl al-maqâshidî. Metode ini berkembang dengan baik dalam madzhab Mâlikî, namun dialog tentang mashlahah mursalah juga berkembang dalam madzhab lain. Imâm al-Syâfi‘î,

misalnya, ikut memberikan definisi atas mashlahah mursalah ini dengan makna al-mashlahah allatî tadkhulu tahta jinsin i‘tabarahû al-Syâri‘ fî al-jumlah bi ghayri dalîl mu‘ayyan.128

Metode ini digunakan jika tidak ditemukan nash yang jelas dan khusus untuk menjadi dasar penetapan hukum suatu perkara, tetapi ada dalil-dalil umum atau nilai-nilai universal dan prinsip

umum maqâshid al-syarî’ah yang terkandung di dalam perkara

126 Al-Qur’ân surat 39 (al-Zumar), ayat 17-18. 127 Abû Bakr ibn Ahmad ibn Abî Sahl al-Sarakhsî, Ushûl al-Sarakhsî, hlm. 200- 2001. 128 Artinya: “Kemaslahatan yang masuk di bawah suatu jenis yang diperhatikan oleh Syâri‘ secara global tanpa adanya dalil tertentu.” Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 2, hlm. 47.

228 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

tersebut. Dalam konteks seperti ini, perkara tersebut dinyatakan boleh atas dasar untuk mencapai kemaslahatan.129

Sadd al-dharâ’i‘juga menjadi metodologi penting dalam aplikasi maqâshid-based ijtihad. Istilah yang secara kebahasaan dimaknai dengan menutup jalan-jalan (menuju kemafsadatan) ini juga menjadi media terealisasinya nilai-nilai maqâshid al-syarî’ah.

Menurut ulama ushûl klasik, al-dharâ’i‘ diartikan sebagai sesuatu yang mengantarkan pada hal yang dilarang yang akan meng- akibatkan kemafsadatan.130 Definisi ini kemudian diperluas oleh

Ibn Qayyim dengan makna segala perantara atau media menuju sesuatu yang baik ataupun yang jelek.131 Karena itulah sadd al- dharâ’i‘ memiliki pasangan yang sama-sama bertujuan mencapai

kemaslahatan, yakni fath al-dharâ’i‘ dengan makna membuka jalan-jalan yang mengantarkan pada kemaslahatan. Inilah pandangan yang terus berkembang hingga saat ini.132

Ada beberapa elemen lain dalam ushûl al-fiqh yang digunakan dalam maqâshid-based ijtihad, seperti istishhâb, syar‘ man qablanâ , dan ‘urf, walaupun tidak sedominan metode-metode yang telah dijelaskan. Sangat mungkin bahwa ketika metode-metode tersebut di atas diterapkan, akan terlahir pandangan hukum yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, penentuan hukum akhirnya didasarkan pada takhyîr (memilih) atau tarjîh dengan prinsip utama merealisasikan kemaslahatan.133

129 Mu hammad Bakr Ismâ‘îl Habîb, Maqâshid al-Syarî’ah Ta’shîlan wa Taf‘îlan, hlm. 52-53; Lihat juga diskusi panjangnya dalam Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, vol. 2, hlm. 36-65. 130 Karena definisi ini, perkembangan awal teori hukum Islam hanya mengenal sadd al-dharâ’i‘ saja, padahal al-dharâ’i‘ bisa juga bermakna jalan menuju kebaikan, di samping jalan menuju kemafsadatan. Lihat, al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, hlm. 839-840. 131 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în, vol. 3, hlm. 147. 132 Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 2, hlm. 173-174. 133 Muhammad Bakr Ismâ‘îl Habîb, Maqâshid al-Syarî’ah Ta’shîlan wa Taf‘îlan, hlm. 182-185.

229 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

b. Tarjîh dalam Maqâshid-Based Ijtihad Dalam istilah ushûl al-fiqh, tarjîh mendapatkan beragam definisi, tetapi satu makna seperti yang dikemukakan oleh al- Juwaynî: “memenangkan sebagian dalil atas dalil yang lainnya atas dasar dzann (dugaan).”134 Dalam masalah tarjîh, ulama berbeda pendapat tentang klasifikasi heirarkis cara-cara yang digunakan ketika ada dua atau lebih dalil yang bertentangan. Jumhur ulama sepakat menempuh cara-cara berikut secara berurutan: kompro- mi (al-jam‘), mengungguhkan salah satunya (tarjîh), abrogasi berdasarkan data historis (naskh), atau membuang semuanya dan 135 kembali pada dalil lain seperti al-barâ’ah al-ashliyyah.

Definisi tarjîh dan cara-cara yang digunakannya seperti disebutkan di atas adalah sesuatu yang umum dalam kajian ushûl al-fiqh klasik, karena pertentangan dalil teks (ta‘ârudh al-adillah) telah terjadi sejak awalnya. Mengikuti perkembangan kajian

maqâshid, tarjîh ini berevolusi ikut berperan bukan hanya pada pertentangan kekuatan dalil, melainkan pada pertentangan tingkat kemaslahatan dan kemafsadatan yang dihasilkan oleh suatu

ketetapan hukum.136 Inilah yang kemudian melahirkan tarjîh

134 Imâm al-Haramayn al-Juwaynî, al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh, vol. 2, hlm. 175. 135 Bandingkan dengan pandangan ulama’ muhadditsîn yang meletakkan naskh pada urutan kedua dan tarjîh pada urutan ketiga, dan terakhir adalah membuang semuanya serta kembali pada dalil yang lebih rendah. Bandingkan pula dengan pandangan madzhab Hanafiyyah yang menyusunnya sebagai berikut: naskh, tarjîh, jam‘, dan membuang semuanya serta kembali pada dalil yang lebih rendah. Lihat, Muhammad ‘Âsyûrî, “Al-Tarjîh al-Maqâshidî Dhawâbiduhû wa Atharuhû al-Fiqhî,” Tesis Master (S2) pada Univeritas al-Hâh Lahdha, Batnah, Aljazaer, 2008, hlm. 31-33. 136 Mu hammad ‘Ashûrî dalam tesis masternya yang dirujuk di atas memberikan contoh yang lengkap tentang pengaruh tarjîh maqâshidî ini terhadap perkembangan fiqh kontemporer. Ia berhasil melihat peran dan aplikasi tarjih maqâshidî atau, dalam bahasanya, tarjîh bi al-maqâsid dalam setiap bagian metode ushûl al-fiqh seperti ijma‘, qiyâs, istihsân, dan lain sebagainya. Menurutnya, peran maqâshid sebenarnya sangat dominan dalam penerapan hukum, tidak hanya dalam hal hasil ijtihadnya, tetapi juga dalam prosesnya yang disebut dengan taqdîm ahad al-dalîlayn al-muta‘âridhayn li quwwah mashlahatihî. Muhammad ‘Âsyûrî, “Al- Tarjîh al-Maqâshidî Dhawâbiduhû wa Atharuhû al-Fiqhî, hlm. 38.

230 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

maqâshidî atau tarjîh bi al-maqâshid yang betul-betul menekan- kan pada kemaslahatan yang akan dicapai sebagai tujuan utama dari syari’ah.137

Dalam perkembangannya, tarjîh maqâshidî lebih menekan- kan pada hasil yang akan diperoleh daripada metode penetapan hukumnya. Universalitas nilai-nilai maqâshid menghendaki

dominasi realitas kemaslahatan dan kemafsadatan sebagai dasar penentuan hukum. Oleh karena itu, tarjîh atas pertentangan ke- maslahatan dan kemafsadatan menjadi sesuatu yang lebih

dominan dibandingkan tarjîh atas metode ushûl yang digunakan. Eksplanasi tersebut akan semakin jelas kalau mengikuti penjelasan ‘Allâl al-Fâsî tentang kaidah-kaidah maqâshid yang harus diikuti

manakala ada pertentangan (ta‘ârudh) dalam konteks kemasla- hatan dan kemafsadatan. Menurut al-Fâsî, ada tiga kaidah dasar maqâshid al-syarî’ah yang harus diterapkan ketika harus melaku-

kan tarjîh terhadap beberapa kemaslahatan yang mengantarkan pada ketentuan hukum yang berbeda. Kaidah yang pertama adalah keharusan memilih melakukan kemadlaratan yang khusus sebagai

upaya menolak kemadlaratan yang umum ( ). Hal ini bermakna bahwa kemaslahatan masyarakat umum harus didahulukan daripada

kemaslahatan individual, dan individu harus rela mengorbankan kemaslahatan dirinya demi kemaslahatan umum. Kaidah ini memi- liki implikasi yang luas atas tegaknya nilai-nilai indah kema-

syarakatan dalam syari’at Islam, misalnya hak negara melakukan pengaturan segala hal yang mencakup kepentingan umum.138

Kaidah kedua adalah ketika kemaslahatan berhadapan dengan kemafsadatan dalam satu ketentuan hukum, maka tindakan meng-

137 Ibid. , hlm. 38. 138 ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ (np: Dâr al- Gharb al-Islâmî, 1993), hlm. 181.

231 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

hindari kemafsadatan harus didahulukan daripada tindakan mengambil kemaslahatan ( ) yang didasarkan pada al-Qur’ân surat 2 (al-Baqarah) ayat 219 tentang

larangan khamr (minuman keras) karena mengandung kemafsada- tan lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Bunyi ayat tersebut adalah:

139

Kaidah inilah yang menjadi landasan bolehnya hukuman mati pada bughât yang dikhawatirkan akan menebarkan lebih banyak lagi kemadlaratan.140 Contoh lainnya adalah tentang larangan poligami yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Abduh ketika hal tersebut akan mengantarkan pada mafsadat di kalangan istri dan anak-anaknya. 141

Kaidah ketiga adalah perlunya perbedaan ketentuan hukum dalam beberapa perbuatan atau tindakan yang memiliki ke- maslahatan yang berbeda ( ). Allah mensyari’atkan sesuatu tentulah disertai dengan ke- maslahatan, dan atas dasar kemaslahatan itulah hukum dibangun. Ketika kemaslahatan itu bersifat umum untuk semua perbuatan, semuanya dinyatakan boleh, tetapi ketika ada perbuatan tertentu yang memiliki kemaslahatan khusus yang tidak dimiliki oleh perbuatan yang lain maka perbuatan tertentu tersebut berhak mendapatkan ketentuan hukum yang berbeda dengan yang lain walaupun kasusnya sama. Salah satu contohnya adalah tentang

139 Artinya adalah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’”. 140 ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ, hlm. 182. 141 Ibid., hlm. 183.

232 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

perlunya tawqît (penentuan masa waktu) dalam akad sewa (ijârah ), pengairan (musâqah), dan pertanian (muzâra‘ah) serta tidak diperbolehkannya tawqît dalam akad nikah karena akan menghilangkan tujuan dari nikah itu sendiri.142

Tiga kaidah yang dikemukakan oleh al-Fâsî di atas jelas men- dudukkan kemaslahatan (maqâshid) dalam posisi yang sangat

substansial dan determinatif dalam proses penentuan hukum. Tanpa menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai konsiderasi penetapan dan penerapan hukum, hanya akan menjadikan hukum

tersebut kaku dan tidak berdialog dengan realitas empirik yang semakin lama semakin dinamis, kompleks, dan plural. Pada akhirnya, hukum Islam tidak hanya akan tercerabut dari tujuan

inti agama, tetapi juga akan semakin jauh dari klaim sesuai dengan segala tempat dan masa.

Penjelasan tentang tarjîh maqâshidî di atas menunjukkan dengan pasti tentang pembeda antara maqâshid-based ijtihad yang digunakan dalam menyelesaikan problematika hukum kontemporer, termasuk problematika hukum Islam yang terjadi dalam kehidupan masyarakat minoritas muslim di Barat saat ini, dan ijtihad klasik yang telah berkembang sebelumnya.

3. Kaidah Fiqh dalam Pendekatan atas Dasar Maqâshid Berbeda dengan hubungan antara maqâshid al-syarî’ah dan ushûl al-fiqh klasik yang terkesan berlawanan, hubungan maqâshid al-syarî’ah dengan kaidah-kaidah fiqh terutama lima kaidah universalnya terkesan harmonis dan saling melengkapi. Operasionalisasi maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan memiliki landasan kerja yang lapang ketika bertemu dengan nilai universal al-kulliyyât al-khams yang menekankan pada urgensi

142 Ibid., hlm. 184.

233 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

niat, keyakinan, kemudahan, peniadaan kemadlaratan, dan peranan kebiasaan. Terciptanya kemaslahatan, terpeliharanya keteraturan hidup, dan terealisasinya kedamaian, keadilan, dan nilai-nilai universal Islam lainnya sebagaimana dibawa oleh konsepsi maqâshid al-syarî’ah bergantung pada lima prinsip dasar kaidah-kaidah fiqh tersebut.143

Hubungan erat antara maqâshid al-syarî’ah dan kaidah- kaidah fiqh ini juga cukup jelas ketika diyakini bahwa hakikat dari semua kaidah fiqh adalah kembali pada satu kaidah besar, yaitu

memperoleh kemanfaatan dan menolak kemafsadatan (jalb al- manâfi‘ wa dar’ al-mafâsid).144 Meskipun demikian, harus disadari bahwa kaidah-kaidah fiqh yang parsial dan berhubungan dengan

cabang fiqh yang banyak, memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama madzhab. Muhammad Zuhaylî menyatakan bahwa ada empat macam kaidah fiqh, yaitu: (a) kaidah

makro yang bersifat pokok, yakni al-kulliyyât al-khams; (b) kaidah kulliyyah yang disepakati oleh semua madzhab; (c) kaidah madzhabiyyah, yakni kaidah kulliyyah yang diterima oleh suatu

madzhab, tapi ditolak oleh madzhab yang lain;145 dan (d) kaidah

143 Ketika menjelaskan faidah kemunculan qawâ‘id al-fiqh, Muhammad Zuhaylî menyatakan bahwa qawâ‘id al-fiqh akan sangat membantu memahami maksud dan tujuan-tujuan umum syari’at karena kandungan kaidah fiqh sesungguhnya memberikan gambaran yang jelas tentang maksud dan tujuan akhirnya, contohnya adalah kaidah “kesulitan mendatangkan memudahan,” “tindakan pemimpin atas rakyatnya mengikuti kemaslahatan,” dan lain sebagainya. Lihat, Muhammad Zuhaylî, al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah wa Tathbîquhâ fî al-Madhâhib al-Arba‘ah, hlm. 28. 144 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Ashbâh wa al-Nadzâ’ir fî Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘iyyah (Kairo: Mathba‘ah Musthafâ Bâbî al-Halabî, 1387 H), hlm. 7-8; lihat pula Musthafâ Zayd, Nadzariyyat al-Mashlahah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Najm al-Dîn al- Thûfî (Beirût: Dâr al-Fikr al-Islâmî, tt), hlm. 22. 145 Sebagai contoh adalah kaidah . Kaidah ini banyak digunakan dalam madzhab Hanafî dan Mâlikî, tetapi sedikit di kalangan madzhab al-Syâfi‘î. Contoh lain adalah kaidah yang sangat populer dalam madzhab Syâfi‘î dan Mâlikî, tetapi jarang dalam madzhab

234 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

yang diperselisihkan dalam satu madzhab.146 Dalam pendekatan maqâshid , ketika perbedaan dalam kaidah fiqh ini berujung pada perbedaan hukum, maka yang diambil adalah yang paling men- dekati pada perwujudan kemaslahatan sebagai esensi maqâshid al-syarî’ah dan kaidah universal al-kulliyyât al-khams dengan menggunakan metode tarjîh maqâshidî seperti disebutkan di atas.

Ringkasnya, dalam pendekatan maqâshid, kualitas kemasla- hatan dalam suatu perbuatan akan menentukan tingkat status hukum perbuatan tersebut. Karena itulah maka muncul beberapa

kaidah umum dalam maqâshid-based ijtihad, antara lain: (1) tuntutan untuk melakukan sesuatu adalah karena kandungan maslahat yang ada di dalamnya dan tuntutan meninggalkan se-

suatu adalah karena ada kemafsadatan di dalamnya; (2) jika kemaslahatan yang dikandung suatu perbuatan itu besar, maka melaksanakannya ada pada tingkatan sunnah, semakain besar

maslahah yang dikandungnya semakin kuat kesunnahannya sampai pada tingkatan wajib. Kemaslahatan dalam sesuatu yang wajib pastilah lebih banyak dibandingkan kemaslahatan dalam hal

yang disunnahkan; (3) jika kemafsadatan dalam suatu perbuatan mendominasi, maka melaksanakannya ada pada tingkatan makruh, semakin besar mafsadatnya semakin kuat pula tingkat kemakruh-

annya sampai pada tingkatan haram. Tingkat mafsadat dalam hal yang diharamkan adalah lebih besar dari yang dimakruhkan; (4) perbuatan yang diwajibkan bisa berubah menjadi tidak wajib atas pertimbangan akibat jelek yang akan ditimbulkannya, misalnya adalah jika pelaksanaannya akan membahayakan orang lain atau menyalahi hikmah yang dimaksud oleh syara’.147

Hanafî. Lihat, Muhammad Zuhaylî, al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah wa Tathbîquhâ fî al- Madhâhib al-Arba‘ah,hlm. 32-33. 146 Ibid., hlm. 32-33. 147 Ahmad al-‘Ûdhî, “I‘tibâr al-Mashlahah wa Shilatuhâ bi Ma‘âyîr al-Taklîf fî al- Tasyrî‘ al-Islâmî,” dalam Arab Law Info, 22 Mei 2000. Bisa diakses di www.arablawinfo.com

235 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

E. Maqâsid al-Syarî‘ah sebagai Pendekatan dalam Problematika Fiqh Kontemporer

Lazim diketahui bahwa permasalahan-permasalahan hukum Islam yang muncul pada masa kini berbeda dengan persoalan hukum Islam yang terjadi pada masa lampau. Perbedaan yang dimaksud bisa berupa perbedaan materi hukum atau konteks hukumnya. Dalam perkembangan fiqh, masalah-masalah baru yang belum pernah dibahas dalam fiqh klasik disebut dengan fiqh 148 al-nawâzil . Perbedaannya bisa disebabkan oleh faktor tempat yang jauh dari tempat tumbuh dan berkembangnya hukum Islam, seperti permasalahan hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim yang tinggal di negara-negara Barat; faktor masa (era) yang terpisah jauh dari masa (era) dibukukannya fiqh klasik yang banyak menjadi pegangan, ataupun faktor esensi dan format yang memang baru ada dan tidak ditemukan padanannya pada masa sebelumnya, seperti cloning, bayi tabung, e-commerce, dan lain sebagainya.

Dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer seperti itu, kembali pada makna harfiyyah teks adalah sesuatu yang tidak mungkin menyelesaikan masalah bahkan menjadi masalah

tersendiri, yakni teralienasinya ajaran Islam dalam dinamika kehidupan. Hal ini berimplikasi pada runtuhnya kemuliaan Islam sebagai agama yang sesuai dengan segala tempat dan masa. Satu-

satunya solusi yang tepat adalah menangkap prinsip-prinsip dasar, makna-makna universal, dan tujuan-tujuan yang terkandung di dalamnya untuk kemudian diterapkan dalam wajah baru yang

sesuai dengan semangat merealisasikan kemaslahatan umum. Inilah yang dinamakan dengan maqâshid-based ijtihad yang prinsip dan metodenya telah diulas di atas.149

148 Definisi istilah ini telah didiskusikan dalam bab 3 buku ini. 149 Empat contoh yang dikemukakan oleh Mohammad Hashim Kamali berkenaan dengan aplikasi pendekatan maqâshid dalam beberapa persoalan fiqh,

236 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Dalam operasionalisasi maqâshid-based ijtihad ini ada tiga hal pokok yang harus dijadikan dasar utama: pertama, mufti atau penentu hukumnya adalah orang yang benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Kedua, mengetahui dengan baik konteks problematika hukum yang terjadi. Ketiga, berpegang teguh pada dalil-dalil yang mu‘tabar (diakui validitas dan reliabilitasnya). 150 Dalam prosesnya, tiga dasar tersebut dilakukan dalam tiga tahapan besar, yaitu tashawwur, takyîf, dan tathbîq. Tashawwur adalah tahapan pengenalan hakikat permasalahan dan konteksnya dalam realitas, sementara takyîf adalah menyusun dalil-dalil yang dianggap sesuai dengan masalah-masalah baru itu, dan tathbîq adalah tahapan terakhir penentuan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan, akibat hukum, dan tujuan- tujuan utama hukum itu sendiri.151

memperjelas fungsi pendekatan maqâshid ini: contoh pertama adalah tentang dibolehkannya pembayaran zakât al-fithrah dalam bentuk uang tunai dengan alasan memiliki makna sama dengan pemberian zakat dalam bentuk makanan pokok, yakni sama-sama memenuhi kebutuhan fakir miskin. Contoh kedua adalah penggunaan piranti modern untuk melihat bulan dalam rangka menentukan awal Ramadlan karena tidak dimungkinkannya melihat bulan dengan mata telanjang di kebanyakan negara muslim. Contoh ketiga adalah sikat dan pasta gigi modern yang dianggap sama fungsinya dengan menggunakan siwak, sehingga dengan demikian dianggap telah mengikuti sunnah Nabi tentang penggunaan siwak. Contoh keempat adalah tentang intervensi pemerintah dalam pengendalian harga yang secara tekstual bertentangan dengan hadîts larangan Rasulullah atas tas‘îr (kontrol harga) ketika harga-harga naik dengan alasan khawatir akan adanya oppression (dominasi) dan semakin memburuknya kondisi ekonomi di Madinah pada waktu itu. Namun, tujuannya sama, yaitu untuk menghindari dominasi, monopoli, dan pelanggaran etika ekonomi. Lihat, M. Hashim Kamali, “Issues in the Legal Theory of Ushûl and Prospects for Reform,” Ahmad Ibrahim Kulliyah of Laws, International Islamic University Malaysia, hlm. 17-19. 150 Al-Jîzâni, al-Ijtihâd fi al-Nawâzil, hlm. 19-21. 151 Ibid., hlm. 22-26. Dalam gaya ulasan yang lebih aksiologis, al-Qahthânî menyatakan bahwa proses berpikir maqâshid dalam penetapan hukum suatu kasus harus melalui tiga hal: pertama, menetapkan mashlahah syar‘iyyah (kemaslahatan hukum) dengan beberapa catatan, yakni (a) kemaslahatan yang dituju adalah yang kemaslahatan yang termasuk dalam konsepsi maqâshid al- syarî’ah, (b) tidak bertentangan dengan nash al-Qur’ân dan al-Sunnah, (c) bersifat pasti atau di atas tingkatan praduga (dzann), (d) bersifat universal. Kedua,

237 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Dari penjelasan di atas, terbaca jelas bahwa aplikasi maqâshid- based ijtihad dalam masalah-masalah hukum Islam kontemporer memiliki prinsip, teori, dan metodologi tertentu yang harus dipatuhi. Ia bukanlah suatu cara berpikir bebas tanpa kendali metodologis, yang memaksakan kehendak untuk mencari hukum yang bisa memuaskan selera dan keinginan hati dengan meng- abaikan pertimbangan syari’at dan tujuan-tujuannya. Dengan demikian, terbantahlah tuduhan-tuduhan negatif yang me- nyatakan bahwa fiqh al-maqâshidî atau fiqh al-taysîr adalah bentuk penyimpangan hukum Islam karena hanya mengikuti hawa 152 nafsu. Tata kerja penyelesaian persoalan-persoalan kontemporer

(fiqh al-nawâzil) termasuk di dalamnya fiqh al-aqalliyyât dengan menggunakan pendekatan maqâshid dapat dilihat pada tabel 10 berikut.

mempertimbangkan kaidah menghilangkan kesempitan atau penderitaan (al-haraj) yang mengantarkan pada beratnya beban hidup dengan beberapa catatan, yakni (a) penderitaan tersebut bersifat nyata, (b) tidak bertentangan dengan nash, dan (c) bersifat umum. Ketiga, mempertimbangkan akibat atau konsekuensi dari penerapan hukum yang ditetapkan, yakni apakah dengan ditetapkannya hukum tersebut kemaslahatan yang dikendaki oleh syara’ tercapai atau tidak. Lihat, Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî, Manhaj Isthinbâth Ahkâm al-Nawâzil al- Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah Dirâsah Ta’shîliyyah Tathbîqiyyah (Jeddah: Dâr al- Andalus al-Khadhrâ’, 2003), hlm. 328-334. 152 Ada banyak tuduhan negatif yang dikemukakan pada jenis fiqh ini. Sebagai contoh, lihat ‘Abd Allâh bin Ibrâhîm al-Thawîl, Manhaj al-Taysîr al-Mu‘âshir Dirâsah Tahlîliyyah (Su‘ûdiyyah: Dâr al-Fadhîlah, 1425 H). Kitab ini memang mengakui bahwa ada beberapa dalil yang menegaskan kemudahan agama Islam, tetapi juga menuduh apa yang dilakukan oleh pemikir kontemporer yang meng- gunakan pendekatan maqâshid sebagai bagian dari pelecehan terhadap agama karena cenderung memudahkan dan mengentengkan. Sementara itu, Asif K. Khan, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir Inggris, dalam bukunya yang berjudul The Fiqh of Minorities—the New Fiqh to Subvert Islam (London: Khilafah Publi- cations, 2004) melakukan tuduhan yang sama dan menganggap fiqh al-aqalliyyât sebagai produk bid‘ah yang menyesatkan.

238 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Maqâshid Al-Syarî’ah Sebagai Pendekatan dalam Fiqh Al-aqalliyât

Tabel 10. Tata Kerja Berpikir Pendekatan Maqâshid

239 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 5 REKONSIDERASI MAQÂSHID AL-SYARÎ’AH TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM BAGI MINORITAS MUSLIM DI BARAT

A. Fiqh al-Aqalliyyât dan Maqâshid al-Syarî’ah

Masyarakat minoritas dengan kondisi yang problematis dan dilematis, ketentuan hukum Islam klasik yang belum akomodatif, munculnya persoalan-persoalan hukum, beragam dan kompleks, serta keinginan membangun kehidupan Islami yang progresif, adalah unsur-unsur integral yang tidak terpisahkan dalam mem- bangun fiqh al-aqalliyyât.

Untuk menggambarkan kondisi dilematis tersebut menarik mengutip pandangan Yusuf Z. Kavakci tentang apa yang harus dilakukan oleh muslim di Barat. Dia mengatakan:

“Following and applying fiqh rules in our daily lives helps Muslims to avoid violating many of the huquq al-’ibad (rights of the believers), which are so numerous that they are almost impossible to avoid…Muslims, especially those living in the West, must acculturate themselves to living a modern secular life as practicing Muslims…Fiqh must be able to answer the needs of contemporary Muslims…in order

241 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

to live as a practicing Muslim. All of ones’s life must be based upon fiqh.”1

Persoalan fiqh bagi masyarakat minoritas muslim merupakan

masalah baru dalam sejarah perkembangan fiqh, karena ia baru muncul pada masa modern; baru dari sisi konteks karena terjadi di negara Barat yang nota bene negara non-muslim, dan baru dari

sisi materi karena esensi dan format permasalahannya berbeda dengan bahasan dalam fiqh klasik. Karena itulah fiqh al-aqalliyyât dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari fiqh al-nawâzil yang

mendesak untuk mendapatkan pembahasan.

Sebagai sesuatu yang baru, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang metode yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam fiqh al-nawâzil. Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî menyebut tiga model metode yang umum digunakan, yaitu: metode yang menyempitkan dan menyulitkan, metode yang terlalu memperingan dan memper- mudah, dan metode yang moderat antara yang menyulitkan dan 2 mempermudah.

Bersikap tegas terhadap ketentuan hukum adalah sesuatu yang baik, namun ketika berlebihan dan cenderung untuk mem- persulit dan menyempitkan aplikasi hukum Islam itu sendiri adalah

1 Artinya: “Mengikuti dan menerapkan aturan-aturan fiqh dalam kehidupan kita sehari-hari membantu masyarakat muslim untuk menghindari pelangkaran terhadap beberapa hak hamba Allah, yang begitu banyak sehingga sulit untuk mereka hindari… Umat muslim, khususnya yang tinggal di Barat, harus menye- suaikan dirinya agar bisa tinggal dalam kehidupan sekuler modern sebagai muslim yang bisa menjalankan ajaran agamanya… Fiqh harus mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan muslim kontemporer… agar bisa hidup sebagai muslim yang mampu menjalankan ajaran agamanya. Keseluruhan aspek kehidupan sese- orang harus didasarkan pada fiqh.” Yusuf Z. Kavakci, “Fiqh is Life, and Life is Islam,” dalam Islamic Horizons, Vol. 37, No. 1 Januari/Februari 2008, hlm. 51. 2 Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî, Manhaj Isthinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah Dirâsah Ta’shîliyyah Tathbîqiyyah (Jeddah: Dâr al- Andalus al-Khadhrâ’, 2003), hlm. 283-305.

242 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

sesuatu yang juga tercela secara syara’, karena dianggap ber- tentangan dengan konsep rahmat, kasih sayang, kemudahan, dan keluwesan hukum Islam.3 Meskipun demikian, metode ini tetap banyak digunakan karena hal-hal sebagai berikut: (1) fanatisme pada suatu madzhab, pendapat atau ulama tertentu, (2) berpegang hanya pada makna lahir nash, (3) berlebihan dalam menerapkan konsep sadd al-dharâ’i‘ dan asas kehati-hatian dalam menghadapi 4 setiap permasalahan yang dipermasalahkan. Di antara contoh dari hasil metode ini adalah larangan perempuan bekerja walaupun ada kebutuhan masyarakat untuk hal tersebut dan diatur sesuai dengan batasan-batasan syari’ah, diharamkannya semua jenis gambar fotografi, baik yang diam seperti fotografis maupun bergerak seperti video dan televisi,5 juga haramnya internet dengan beberapa program yang ada di dalamnya, seperti

facebook, friendster, twitter, dan sebagainya.6

Metode yang kedua, yakni berlebih-lebihan dalam memper- mudah juga tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan peng- gunaan metode yang pertama. Tidak menjadi perdebatan bahwa

menghilangkan kesulitan dan memperoleh manfaat dan kemudah-

3 Lihat, al-Qur’ân surat 9 (al-Tawbah) ayat 128, surat 21 (al-Anbiyâ’) ayat 107, surat 7 (al-A‘râf) ayat 157, dan beberapa ayat lainnya yang senada. Di samping itu, ada juga beberapa hadîts Nabi yang menunjukkan perlunya kemudahan, seperti hadîts Nabi tentang siwak, yang menyatakan: “Seandainya tidak akan memberatkan umatku, maka niscaya saya wajibkan kalian untuk menggunakan siwak.” Lihat, Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Vol. 1, hlm. 220.

4 Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî, Manhaj Isthinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah, hlm. 285-291. 5 Ibid., hlm. 292. 6 Baru-baru ini ada bahts al-masâ’il di kalangan santri puteri di Kediri yang menge- luarkan status hukum haram pengguna facebook di internet dengan alasan sangat rentan disalahgunakan untuk keperluan hal-hal yang negatif, seperti pacaran dan selingkuh. Selain facebook yang memang banyak diminati oleh pengguna internet, baik yang muda maupuan dewasa, friendster yang relatif digunakan kebanyakan anak usia muda dan remaja juga mendapat imbasnya. Pendapat ini tidaklah objektif dan kurang menyentuh rasa keadilan karena tidak menjadikan kemaslahatan yang terkandung di dalamnya sebagai konsiderasi. (Demikian pula twitter, ed.).

243 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

an adalah bagian dari maqâshid al-syarî’ah. Tetapi, berlebihan dalam hal ini, yakni melakukan pilihan tidak atas dasar metode yang tepat dan hanya berdasarkan pada keinginan dan kepentingan hawa nafsu semata adalah perbuatan yang tidak dikehendaki oleh syara’. Metode yang kedua ini terjadi karena: (1) melampaui batas dalam menggunakan dasar kemaslahatan walaupun ia ber- tentangan dengan nash, (2) mengikuti pendapat yang mudah- mudah saja dan talfîq (praktik memilih pendapat yang paling mudah di antara pendapat yang ada) di antara madzhab yang ada, (3) melakukan hiyal (peralihan pada hukum yang lain karena ingin menghindari hukum yang harus diterapkan) dalam perintah- perintah syara’.7 Contoh dari metode kedua ini adalah diperkenan- kannya judi yang berkedok undian berhadiah, seperti kuis undian melalui sms, togel, beberapa praktik ribawi (rentenir), pelaksana-

an kawin kontrak sebagai alasan untuk menghindari perbuatan zina, larangan perempuan memakai jilbab atau kerudung karena dianggap membatasi hak-hak perempuan dan sebagainya.

Metode yang ketiga, yakni yang moderat di antara dua kutub

yang berbeda di atas, adalah metode yang lahir dari akumulasi keinginan berpegang pada dalil-dalil yang ada dan keinginan untuk memunculkan ajaran Islam sebagai ajaran yang mudah, fleksibel,

dan sesuai dengan setiap tempat dan waktu.8 Sikap mengambil metode ketiga ini bukan merupakan sikap mengentengkan syari’at dengan mengikuti hawa nafsu sekaligus bukan merupakan menyepelekan faktor kemaslahatan dan kemudahan dalam agama. Sebagai contoh adalah kebolehan muslim di negara Barat berpartisipasi dalam bidang politik, mengambil kredit bank yang

7 Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî, Manhaj Isthinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah, hlm. 296-303. 8 Yûsuf al-Qaradhâwî, Syarî‘ah al-Islâm Shâlihah li al-Tathbîq fî kulli Zamân wa Makân (Kairo: Dâr al-Shahwah li al-Nashr wa al-Tawzî‘, 1993).

244 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

mengandung unsur riba, mengumpulkan kuburan muslim dengan non-muslim dalam suatu lokasi pemakaman umum, dan sebagai- nya.

Dalam konteks tiga metode tersebut di atas, fiqh al-aqalliyyât lebih tepat dinyatakan berpegang pada metode ketiga. Penjelasan sebelumnya (bab 3) yang menyatakan bahwa fiqh al-aqalliyyât

juga disebut dengan fiqh al-taysîr (fiqh yang memudahkan) adalah benar, tetapi tidak berlebihan dalam memudahkan seperti metode kedua di atas, karena fiqh al-aqalliyyât bukan memilih pendapat

hanya karena mudahnya saja, melainkan atas dasar metode dan prinsip ushûl a-fiqh yang telah disepakati, yaitu ushûl al-fiqh yang didasarkan pada maqâshid (maqâshid-based ijtihad).

Pada bab 4 sebelumnya telah dijelaskan prinsip dan metode

berpikir maqâshid-based ijtihad. Tetapi, untuk memahami bagai- mana maqâshid-based ijtihad ini diterapkan dalam pengembangan fiqh al-aqalliyyât, sangatlah perlu mengetahui bagaimana maqâ- shid al-syarî’ah yang dipahami oleh penggagas fiqh al-aqalliyyât itu sendiri, yaitu Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî. Memahami pandangan kedua tokoh ini tentu sangat membantu untuk memahami lebih objektif tentang bagaimana sesungguhnya dasar epistemologis yang mendasari kemunculan fiqh al-aqalli- yyât.

B. Maqâshid al-Syarî’ah dalam Perspektif Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî

Kedua tokoh ini memiliki banyak kesamaan. Mereka sama-

sama dilahirkan di negara muslim Timur Tengah, dibesarkan dalam tradisi akademis Timur Tengah, sempat aktif di berbagai organisasi keislaman yang dianggap sebagai tradisionalis dan fundamentalis,

pada masa lalu sama-sama aktif menulis dengan pendekatan

245 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tradisional,9 kemudian sama-sama berkenalan dengan dunia Barat. Bedanya, Yûsuf al-Qaradhâwî tetap bermukin di Qatar walaupun terus aktif berkeliling negara-negara Barat terutama Eropa dengan memimpin suatu organisasi fatwa dan riset Islam, sementara Thâhâ Jâbir al-'Alwânî kemudian menetap di Amerika, tepatnya di Virginia dengan jabatan sebagai pimpinan perguruan tinggi Cordova University, pimpinan sejumlah lembaga non-pemerintah yang bergerak dalam bidang keislaman, dan juga sebagai mitra pemerintah Amerika dalam menangani berbagai isu keagamaan.

Setelah mengamati langsung realitas dunia Islam di berbagai negara, terutama di Barat, pola pandang tradisionalis yang sejak lama mereka gunakan mulai bergeser menuju pola pandang

modern yang lebih menekankan pada makna, maksud, dan tujuan Islam atau maqâshid al-syarî’ah. Hal ini bisa dilihat dari karya- karya mereka akhir-akhir ini yang banyak membahas urgensi

pendekatan maqâshid dalam menyelesaikan permasalahan hukum Islam dan dalam mengembangkan wacana Islam kontemporer.10

9 Pendekatan tradisional yang dimaksud di sini secara sederhana adalah pendekatan yang mengedepankan pada otoritas teks dalil secara lahiriah. Pendapatnya senantiasa berdasarkan pada teks al-Qur’ân dan al-Hadîts serta pandangan ulama klasik. Orientasinya cenderung pada masa lalu dan bukan pada masa depan. Dalam diskursus akademik, pendekatan tradisional biasanya dilawankan dengan pendekatan modern yang lebih mengedepankan konteks dibandingkan dengan teks, berorientasi pada masa depan, dan menggunakan teori dan metodologi kontemporer dalam kajian-kajiannya. Dalam perkembangannya, muncul satu pendekatan baru yang disebut dengan pendekatan neo-modern yang berupaya menggabungkan kelebihan-kelebihan dua pendekatan di atas. Pendekatan terakhir ini mahir dalam masalah teks-teks klasik di samping juga cekatan dalam pendekatan kontemporer. 10 Pergeseran pemikiran dua tokoh ini memunculkan banyak kritik, tanggapan sekaligus pujian. Mereka yang beraliran, meminjam istilah Abdullah Saeed, tekstualis fundamentalis, melihat dua tokoh ini salah jalan dan harus bertobat atas kesalahan fatal yang dilakukannya. ‘Abd Allâh Ramdhân bin Mûsâ, misalnya, bersama beberapa pemikir lainnya menulis sebuah kitab berjudul al-Radd ‘alâ al- Qaradhâwî wa al-Jadî‘ yang menyebutkan bahwa al-Qaradhâwî melakukan kekeliruan fatal karena telah membuat beberapa fatwa yang berbeda dengan pandangan imam madzhab yang ada. Buku ini membongkar tidak hanya materi

246 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

Bagi mereka, hukum Islam untuk minoritas muslim di Barat (fiqh al-aqalliyyât ) tidak mungkin terbangun tanpa pondasi nilai-nilai universal Islam yang dikandung maqâshid al-syarî’ah. Berikut ini adalah beberapa pandangan mereka terhadap maqâshid al- syarî’ah .

1. Maqâshid al-Syarî’ah menurut Thâhâ Jâbir al-'Alwânî Ada dua tulisan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang secara khusus dan intensif mengkaji tentang makna dan fungsi maqâshid al- syarî’ah dalam kaitannya dengan pengembangan ushûl al-fiqh dan fiqh al-aqalliyyât, yaitu Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah

fatwa, tetapi juga kesalahan metodologis yang digunakan oleh al-Qaradhâwî dan al-Jadî‘. Lihat, ‘Abd Allâh Ramdhân bin Mûsa, al-Radd ‘alâ al-Qaradhâwî wa al- Jadî‘ (Riyâdh: Dâr al- Mu’ayyad, 2007). Thâhâ Jâbir al-'Alwânî juga mengalami nasib yang sama. Dia dituding oleh kelompok tradisionalis, terutama yang beraliran salafi sebagai orang yang berupaya mencemarkan kemurnian Islam. Sementara itu, kelompok pemikir progresif kontemporer melihat pergeseran ini sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan sebagai sebuah keniscayaan sejarah sebagaimana perubahan pandangan yang juga pernah dialami oleh Imam al- Syâfi‘î karena perbedaan tempat dan zaman yang dihadapi dalam qawl qadîm (pendapat lama) dan qawl jadîd (pendapat baru) yang dibuatnya. Sebagian sarjana kontemporer, seperti Tariq Ramadan, masih ragu atas ketulusan atau kemurnian pergeseran pandangan tokoh ini, terutama Thâhâ Jâbir al-'Alwânî. Menurutnya, latar belakang sejarah pendidikan, karier sosial dan politik serta keterlibatannya di berbagai organisasi tradisional yang masih disandangnya sampai saat ini terlalu bertolak belakang dengan pola pemikiran yang dipublikasikannya pada saat ini, sehingga sulit untuk dengan segera menyatakan kemurnian pergeseran pemikiran mereka murni akademik. Sejarah keterlibatan Yûsuf al-Qaradhâwî dalam kelompok gerakan Ikhwân al-Muslimîn, keterlibatan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî sebagai pendiri dan pengurus inti International Institute of Islamic Thought (IIIT) dengan gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) adalah di antara catatan yang meragukan ketulusan pergeseran ini. Lihat, Andrew F. March, “Sources of Moral Obligation to Non-Muslims in the Fiqh al-Aqalliyyat (Jurisprudence of Muslim Minorities) Discourse,” dalam Islamic Law and Law of the Muslim World Reseach Paper Series at New York Law School, No. 08-48; Terlepas dari kontroversi tersebut di atas, karya-karya terakhir kedua tokoh ini sesungguhnya memang masih kuat karakter tradisionalnya, dilihat dari sisi dominannya penggunaan dalil al-Qur’ân, al-Hadîst, dan pendapat ulama klasik. Meskipun demikian, kedua tokoh ini sudah mulai konsisten memberikan sentuhan baru dengan upayanya mengontekstualkan dalil dan pendapat yang ada dengan menjadikan maqâshid al-syarî’ah sebagai konsiderasi utamanya.

247 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Maqâshid al-Syarî’ah11 dan “Maqâshid al-Syarî’ah”12 (tulisan dalam buku bunga rampai kajian maqâshid al-syarî’ah).

Makna dasar maqâshid al-syarî’ah menurut Thâhâ Jâbir al- 'Alwânî tidak berbeda dengan makna dasar yang telah dikemukakan para maqâshidiyyûn sebelumnya yang menekankan pada makna, tujuan, ‘illat dari syari’ah itu sendiri. Yang berbeda

dari Thâhâ Jâbir al-'Alwânî adalah tidak berhentinya kajian tentang maqâshid ini pada tiga konsepsi pokok maqâshid al-syarî’ah, yaitu dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Baginya, ada nilai-

nilai lain yang lebih bersifat universal yang disebutnya dengan al- maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah (tujuan-tujuan tertinggi yang ber- sifat absolut), yaitu: tawhîd (keesaan Tuhan), tazkiyyah (pember-

sihan diri), dan ‘umrân (peradaban/kedamaian).13 Tiga nilai ini menurutnya adalah nilai-nilai dasar makro atau prinsip-prinsip dasar di mana seluruh ketentuan syari’at Allah, sejak nabi pertama

sampai nabi terakhir, dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut.

Tiga nilai tersebut di atas merupakan maqâshid dalam tataran paling tinggi yang di bawahnya ditempati oleh nilai keadilan, kebebasan, dan egalitarianisme sebagai maqâshid tingkat kedua, dan disusul oleh konsepsi dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât sebagai maqâshid yang paling rendah (tingkat ketiga).14 Dasar logis penetapan tiga nilai utama tersebut di atas sebagai al-maqâshid al-‘ulyâ adalah kaidah bahwa Allah Swt. merupakan pencipta alam, manusia, dan kehidupan. Allah sebagai pengangkat manusia

11 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah (Beirût: Dâr al-Hâdî, 2001). 12 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, “Maqâsid al-Syarî‘ah,” dalam ‘Abd al-Jabbâr al-Rifâ‘î (ed.), Maqâshid al-Syarî’ah (Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 2002). 13 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 135-183; lihat juga Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, “Maqâsid al-Syarî‘ah,” hlm. 82- 83. 14 Ibid., hlm. 83.

248 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

menjadi khalifah (mustakhlif) adalah bersifat esa, manusia yang diutus sebagai khalifah (mustakhlaf) harus memiliki kebersihan jiwa untuk menjalankan tugas, alam (al-kawn) yang dititipkan (al- musakhkhar ) kepada manusia perlu untuk dimakmurkan atau didamaikan. Keterkaitan tiga hal ini bersifat integral sebagai tujuan yang harus dicapai dalam upaya memperoleh hakikat kemaslaha- tan. 15 Sementara itu, dalil-dalil nash bagi tiga nilai utama tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’ân yang dielaborasi lebih lanjut oleh hadîts Nabi Muhammad.16

Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menjelaskan dua puluh lima (25) batasan umum tentang al-maqâs{id al-‘ulyâ ini, mulai dari sumber, fungsi, metodologi, sampai aplikasinya.17 Dari dua puluh

lima tersebut, ada tiga poin yang paling pokok untuk dibahas dalam kaitanya dengan kemunculan fiqh al-aqalliyyât, yakni tentang fungsi, metode, dan aplikasi al-maqâshid al-‘ulyâ.

Dalam bahasan tentang fungsi, al-maqâshid al-‘ulyâ al- hâkimah harus mampu menentukan hukum-hukum parsial dan melahirkannya dalam keseluruhan perilaku kemanusiaan, baik yang bersifat spiritual maupun intelektual ketika dibutuhkan, jasmani ataupun ruhani, sehingga tampak hubungan antara yang parsial dan yang universal. Baginya, fiqh beserta kaidah, teori ushûl dan cabang-cabangnya, harus diikat secara bersama dengan al-maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah sehingga lahirlah kebaikan atau 18 kemaslahatan yang sesungguhnya. Bahkan, lebih jauh lagi Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa al-maqâshid al-‘ulyâ al- hâkimah bukan hanya menjadi satu dari sekian banyak dalil atau

15 Ibid., hlm. 97. 16 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 135. 17 Ibid., hlm. 135-183. 18 Ibid., hlm. 129.

249 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

suatu unsur pokok dari ushûl al-fiqh yang diperselisihkan atau yang disepakati, melainkan dasar pijakan awal untuk mere- konstruksi dan mereformasi kaidah-kaidah ushûl al-fiqh serta membangun format fiqh makro (al-fiqh al-akbâr) pada masa 19 mendatang. Dalam konteks metodologis, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyata-

kan bahwa secara epistemologis ada beberapa pilar bagi al- maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah sebagai metode atau pendekatan; yakni nidzâm ma‘rifî tawhidî (aturan epistemologis teologis),

manhajiyyah ma‘rifiyyah qur’âniyyah (metode epistemologi Qur’ânî), metode yang berhubungan dengan al-Qur’ân sebagai sumber pengetahuan teologis, metode yang berkaitan dengan al-

Sunnah sebagai sumber penjelas yang harus selalu sejalan dengan al-Qur’ân, metode yang berhubungan dengan khazanah keislaman yang mengantarkan pada studi kritis untuk bisa tetap sejalan

dengan ketentuan al-Qur’ân, dan metode yang berkaitan dengan khazanah kemanusiaan secara umum.20 Dengan melakukan hal-

19 Ibid., hlm. 140. Menarik untuk dicermati penyebutan fiqh makro (al-fiqh al- akbâr) dalam penjelasan di atas. Fiqh makro yang dimaksud dalam semua tulisan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî adalah fiqh yang tidak hanya membahas tentang masalah hukum Islam sebagaimana yang berkembang saat ini, tetapi sebuah prototipe fiqh yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan umat muslim, baik yang berhubungan dengan aqidah, hukum, akhlak, politik, dan lain sebagainya. Penjelasan seperti ini sangat berhubungan dengan gagasan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî untuk membuat fiqh al-aqalliyyât yang membahas keseluruhan masalah yang dihadapi oleh minoritas muslim di Barat. Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflections, hlm. 3-4. 20 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 150-151; Bandingkan dengan pandangan Muhammad Syahrûr yang juga mengadvokasi lahirnya ushûl al-fiqh baru agar fiqh mampu menjawab tantangan zaman. Lihat, Muhammad Syahrûr, Dirâsah Islâmiyyah Mu‘âshirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama‘ (Dimashqi: al-Ahâlî li al-Thabâ‘ah, al-Nashr wa al-Tawzî‘, 1994). Dalam keseluruhan penjelasannya tentang al-maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah, Thâhâ Jâbir senantiasa menekankan al-Qur’ân sebagai penentu tertinggi. Tidak boleh ada yang bertentangan dengan al-Qur’ân yang telah memberikan penjelasan global dan menjadi rujukan nilai-nilai universal dalam maqâshid al-syarî’ah. Salah satu dasar nash yang dikemukakan olehnya adalah surat 21 (al-Anbiyâ’) ayat 107:

250 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

hal tersebut di atas maka al-maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah sebagai pendekatan akan mampu menghadirkan jawaban yang otoritatif dan kontekstual atas semua permasalahan.21

Dengan mengaplikasikan al-maqâshid al-‘ulyâ al-hâkimah sebagai metode yang bersumber dari al-Qur’ân sebagai dalil dengan otoritas tertinggi maka bukan hanya permasalahan

individu yang bisa diselesaikan, melainkan juga masalah kolektif, masyarakat, umat, dan bangsa-bangsa dalam konteks tempat di mana pun dan waktu kapan pun, karena al-maqâshid al-‘ulyâ al-

hâkimah ini bersifat universal.22 Dalam konteks ini maka tampak adanya kehendak untuk menggeser dominasi fiqh partikular seperti yang berkembang saat ini dengan fiqh universal yang

“Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam…” dan surat 5 (al-Mâ’idah) ayat 15-16: “Hai ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita pada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” Dari surat 21 (al-Anbiyâ’) ayat 107 tersebut di atas lahir beberapa kaidah agama yang memudahkan sebagai refleksi dari diutusnya Nabi sebagai rahmat, seperti kaidah: “tidak ada beban taklîf bagi sesuatu yang tidak mampu dilakukan”, “tidak ada kesulitan dalam syari’at ini”, “menurut hukum asal”, “semua yang baik adalah halal dan semua yang jelek adalah haram”, “hukum asal dari semua manfaat adalah boleh atau berada di antara wajib dan boleh”, “hukum dari segala sesuatu yang membahayakan adalah tidak boleh atau di antara haram dan makruh”, dan lain sebagainya. Lihat, Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 157.

21 Pandangan ini hampir sama dengan kajian filsafat ‘Úmar Bahâ al-Dîn al-Amîrî yang mempromosikan sebuah bentuk fiqh yang bernama al-Fiqh al-Hadhârî, sebuah bentuk fiqh yang menurutnya mengatur semua bagian kehidupan manusia yang dihasilkan dengan cara memperhatikan nilai-nilai universal peradaban yang ada untuk kemudian diselaraskan dengan nilai universal Islam. Lihat, ‘Úmar Bahâ al- Dîn al-Amîrî, al-Islâm wa Azmah al-Hadhârah al-Insâniyyah al-Mu‘âshirah fî Dhaw’ al-Fiqh al-Hadhârî (Jeddah: Al-Dâr al-‘Alamiyyah al-Kuttâb al-Islâmî, 1993). 22 Thâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 174.

251 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

menekankan pada nilai-nilai universal maqâsid al-syarî‘ah dalam menentukan hukum daripada dalil-dalil partikular.23 Inilah yang menjadi dasar pemikiran munculnya fiqh al-aqalliyyât.

2. Maqâshid al-Syarî’ah Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî Kitab yang berjudul Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah,24 al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al-Syarî‘ah wa Maqâshidihâ,25 dan Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiy- yah 26 adalah di antara buku karya Yûsuf al-Qaradhâwî yang secara panjang lebar membahas tentang maqâshid al-syarî’ah. Penjelasan secara parsial tentang hal ini juga terpencar dalam karya-karya lain yang ditulisnya akhir-akhir ini, yakni setelah dia berhadapan langsung dengan bermacam realitas Islam di berbagai dunia, terutama Barat. Dia mengalami perubahan dari madzhab keras (shiddah ) ke madzhab mudah dan ringan (taysîr wa al-takhfîf).27 Dan perubahan ini banyak didasari oleh pemahamannya tentang maqâshid al-syarî’ah.

Pemahaman Yûsuf al-Qaradhâwî tentang dasar definisi dan fungsi maqâshid al-syarî’ah tidak berbeda dengan para ulama

23 Dikotomi fiqh partikular dan universal di sini tidak didasarkan pada sama-tidaknya ketentuan hukum pada kasus yang sama, tetapi pada universalitas nilai yang melekat pada ketentuan hukum tersebut. 24 Yûsuf al-Qaradhâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al- Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah (Beirût: Dâr al-Shurûq, 2006). 25 Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al-Syarî‘ah wa Maqâshidihâ (Kairo: Maktabah Wahbah, 2005). 26 Yûsuf al-Qaradhâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1997). 27 ‘Âsyûr Buqlaqûlah, “al-Imâm Yûsuf al-Qaradhâwî Faqîh al-Mufakkirîn wa Mufakkir al-Fuqahâ’ Nadzarât fî Fiqhihî al-Maqâshidî,” Makalah Universitas Adrâr, Aljazair, 1. Salah satu buktinya adalah karya-karya Yûsuf al-Qaradhâwî seperti al-Fiqh al- Muyassar al-Mu‘âshir (Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1998), “Nahwa Usûl al-Fiqh al-Muyassarah” dalam Kulliyat al-Syarî‘ah, 14. (Qatar: 2000), dan lain sebagainya.

252 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

sebelumnya.28 Namun, ia menegaskan bahwa maqâshid al-syarî’ah tidak terbatas pada tujuan-tujuan fiqh saja, tetapi keseluruhan aspek agama Islam, khususnya masalah aqidah.29 Pendapat ini menepis kesan bahwa maqâshid al-syarî’ah hanyalah pada bidang fiqh, pendapat yang terlahir sebagai konsekuensi dominasi diskusi maqâshid al-syarî’ah dalam ranah fiqh dibandingkan dengan ranah lainnya dalam studi Islam. Karena itulah Yûsuf al-Qaradhâwî mendefinisikannya sebagai: “tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh nash dari segala perintah, larangan, dan kebolehan, dan yang ingin direalisasikan oleh hukum-hukum juz’iyyah dalam kehidupan orang-orang mukallaf, baik secara personal, keluarga, kelompok, dan umat secara keseluruhan.30

Hal paling utama yang harus dilakukan dalam upaya mereali- sasikan hal tersebut adalah memulainya dengan memahami nash- nash yang parsial (juz’iyyah) dalam kerangka nilai-nilai maqâshid

al-syarî’ah yang bersifat universal, sehingga segala bentuk hukum yang dihasilkan tidak terpisah dari tujuannya yang hakiki.31 Hasil hukum dengan metode ini akan berbeda dengan hasil hukum yang

hanya menekankan pada makna tekstual suatu dalil sebagaimana yang berkembang dalam tradisi madzhab Dzahirî. Ketergantungan pada makna tekstual nash dan mengenyampingkan sisi maqâshid

28 Yûsuf al-Qaradhâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, hlm. 53-57, 67-69; Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al- Syarî‘ah wa Maqâshidiha, hlm. 87-89.

29 Yûsuf al-Qaradhâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al- Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah, hlm. 20.

30 Ibid., hlm. 20. 31 Ibid., hlm. 39. Upaya ini menurut Yûsuf al-Qaradhâwî dapat dilakukan dengan cara kembali pada ushûl dan proses pengambilan hukum yang menurutnya perlu sekali bersifat komprehensif dan tidak membatasi pandangan hanya pada satu madzhab saja. Selain itu, diperlukan pula mempertimbangkan realitas kontemporer yang terjadi sehingga ketentuan hukum yang diambil akan bersifat applicable dan berorientasi pada kaidah kulliyyah yang disepakati. Lihat pula Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al-Syarî‘ah wa Maqâshidiha, hlm. 25-26, 262-286.

253 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

dari nash seperti dilakukan oleh ulama Zhahiriyyah akan melahir- kan dikotomi antara akal dan wahyu yang pada gilirannya akan menemui kesulitan ketika harus berhadapan dengan masalah- masalah kontemporer yang tidak ditemukan padanan persisnya dalam teks, seperti konsep hak-asasi manusia, hubungan inter- nasional, hubungan dengan non-muslim, dan lain sebagainya.32

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, madzhab yang mempertemu- kan nash juz’iyyah dengan maqâshid al-syarî’ah akan menjadikan pandangan yang dihasilkan senantiasa sesuai dengan zaman dan

tempat, karena ia didasarkan pada enam hal pokok yang menjadi ciri khasnya: (1) percaya pada hikmah syari’ah dan kandungannya yang berupa tujuan kemaslahatan ciptaannya; (2) mengaitkan

sebagian nash syari’ah dan hukumnya dengan yang lain; (3) pandangan yang seimbang antara urusan dunia dan akhirat; (4) menghubungkan nash dengan realitas kehidupan dan realitas

zaman; (5) dibangun atas dasar kemudahan dan mengambil yang paling mudah bagi manusia; dan (6) atas dasar keterbukaan, (inklusivitas), dialog, dan toleransi. Dalam tataran metodologis,

yang harus dilakukan dalam fiqh al-maqâshid adalah meneliti tujuan nash sebelum dilakukan penentuan hukum, memahami nash dalam kerangka sebab-sebab dan kaitannya, pembedaan

antara tujuan yang tetap dan perantara yang berubah, kesesuaian antara hal-hal yang tetap dan yang berubah, serta pembedaan dalam hal perhatian atas makna antara hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah.33

Aplikasi dari pendekatan maqâshid al-syarî’ah di atas akan melahirkan format fiqh baru, yakni fiqh al-maqâshid, yang senantiasa mampu memberikan jawaban atas persoalan Islam

32 Yûsuf al-Qaradhâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al- Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah, hlm. 49. 33 Ibid., hlm. 53.

254 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

kontemporer. Beberapa contoh fiqh yang terlahir dari pendekatan ini adalah fiqh al-sunan (fiqh yang berkenaan dengan sunnah Allah dalam kehidupan), fiqh al-maqâshid, fiqh al-ma’âlât (fiqh yang berorientasi pada akibat hukum), fiqh al-muwâzanât (fiqh keadil- an), fiqh awlawiyyât (fiqh prioritas), fiqh al-taghyîr (fiqh perubah- an), dan fiqh al-ikhtilâf (fiqh perbedaan).34 Fiqh-fiqh ini, sebagai- mana tersirat dari namanya, merupakan bentuk fiqh yang mene- kankan pada esensi kemaslahatan, hikmah, keadilan, prioritas, dan kesesuaian dengan tuntutan konteks hukumnya. Dalam konteks seperti inilah fiqh al-aqalliyyât dimasukkan juga sebagai hasil dari pendekatan maqâshid al-syarî’ah, karena berupaya menjawab permasalahan hukum yang terjadi dalam suatu konteks dan tujuan yang selaras dengan apa yang disebutkan di atas. Dari uraian di atas sangat jelas bahwa konsepsi maqâshid al- syarî’ah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî

merupakan kelanjutan dari perkembangan maqâshid al-syarî’ah sebelumnya, terutama dari konsepsi maqâshid al-syarî’ah al- Syâthibî dan Ibn ‘Âsyûr yang telah mengantarkan kajian maqâshid

al-syarî’ah dari konsep ke pendekatan.35 FCNA yang dibesarkan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan ECFR yang dikepalai oleh Yûsuf al-Qaradhâwî adalah dua lembaga yang menjadi tempat utama

34 Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al-Syarî‘ah wa Maqâshidiha, hlm. 287-329; lihat juga Yûsuf al-Qaradhâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah, hlm. 14-15. 35 Hanya saja, pandangan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî bersifat lebih aktual dan aplikatif karena konteks zaman yang menghadapkannya pada permasalahan hukum baru yang lebih detail, unik, dan beragam. Konteks muslim sebagai minoritas di negara Barat, misalnya, belum menjadi isu besar pada masa Ibn ‘Âsyûr, terlebih pada masa al-Syâthibî, sehingga kajian maqâshid al-syarî’ah mereka tidak menyentuh permasalahan ini. Sementara itu, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî, baik secara personal maupun sebagai kepala dari lembaga fatwa, secara intensif peduli dan bergelut dengan masalah minoritas muslim di Barat sehingga menggagas fiqh al-maqâshid khusus untuk mereka yang disebut dengan fiqh al-aqalliyyât.

255 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

tumbuh dan berkembangnya fiqh al-aqalliyyât dengan pendekatan maqâshid al-syarî’ah.36

Pada bab 3 telah dijelaskan secara singkat kaidah-kaidah pokok pendekatan maqâshid al-syarî’ah. Berikut ini adalah penjelasan kaidah pokok maqâshid al-syarî’ah dalam fiqh al- aqalliyyât tersebut.

C. Kaidah Pokok Maqâshid al-Syarî’ah dalam Fiqh al- Aqalliyyât

Fiqh al-aqalliyyât sebagai bagian dari fiqh al-maqâshid yang merupakan produk dari pendekatan maqâshid al-syarî’ah secara konsisten mendasarkan istinbâth hukumnya pada kaidah-kaidah umum maqâshid yang menekankan pada urgensi nilai-nilai uni- versal Islam, maksud, tujuan, hikmah, dan ‘illat hukum Islam. Kemaslahatan dengan segala aspeknya, seperti keadilan, kesamaan, kesederajataan, kebebasan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemudahan hidup adalah kondisi ideal yang harus dibentuk sebagai cerminan bahwa Islam adalah agama kasih sayang yang senantiasa sesuai dengan segala tempat dan waktu.

36 Dalam bahasa Andrew F. March, pendekatan maqâshid ini disebut dengan pendekatan meta-etik “comprehensive qualitative” yang menekankan pada guna, manfaat, atau kemaslahatan yang akan dihasilkan dalam kehidupan. Pendekatan ini merupakan lompatan sejarah yang cukup berarti dalam menggantikan dominasi pendekatan normatif. Yang menarik untuk diketahui, menurut March, adalah bahwa dalam praktiknya, teori ini digunakan dan dikembangkan dalam kajian fiqh bukan oleh para reformer sejati yang mengklaim diri sebagai modernis, melainkan oleh sarjana konservatif, neo-klasikal, dan sarjana muslim yang syari’ah- minded seperti Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Yûsuf al-Qaradhâwî, ‘Abd Allâh bin Bayyah, dan Fayshâl Mawlawî. Lihat, Andrew F. March, “Sources of Moral Ob- ligation to Non-Muslims in the Fiqh al-Aqalliyyat (Jurisprudence of Muslim Mi- norities) Discourse,” dalam Islamic Law and Law of the Muslim World Reseach Paper Series at New York Law School, No. 08-48. Makalah ini bisa diunduh di http://ssrn.com/abstract=[1264272]. Pergeseran pemikiran kelompok ini menjadi lebih moderat dan progresif, layak untuk dikaji dalam studi lain secara mendalam.

256 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

Pada bab 3 telah dijelaskan enam kaidah maqâshid al-syarî’ah yang digunakan fiqh al-aqalliyyât sebagai upaya membangun kemaslahatan dalam aplikasi hukum Islam di kalangan masyarakat minoritas muslim di Barat, yaitu: memudahkan dan menghilang- kan kesukaran ( ), perubahan fatwa karena perubahan masa ( ), memosisikan kebutuhan

pada posisi darurat ( ), kebiasaan ( ), mempertimbangkan akibat-akibat hukum ( ), dan memosisikan masyarakat umum pada posisi hakim (tanzîl al-

jamâ‘ah manzilah al-qâdhî).37

Kaidah-kaidah tersebut secara eksplisit menunjukkan betapa pendekatan maqâshid menekankan faktor konteks dalam me- nentukan hukum. Hal ini tidak berarti bahwa teks dinafikan sama sekali, tetapi diletakkan dalam posisi yang tidak terputus dengan konteks kehidupan manusia sebagai wilayah dan subjek hukum. Benang penghubungnya adalah tujuan, maksud, dan hikmah yang dibawa oleh teks itu sendiri. Dengan metode demikian ini maka Tuhan, manusia, dan alam dengan posisinya masing-masing berada dalam hubungan yang harmonis dan tidak terputus.38

Urgensi aplikasi kaidah tersebut dalam proses penentuan hukum fiqh al-aqalliyyât sangat dirasakan ketika kondisi masya- rakat minoritas muslim di Barat dijadikan sebagai konsiderasi utama. Posisinya sebagai minoritas yang tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan global, wilayah kehidupannya yang secara sosial budaya telah terbentuk relatif berbeda dengan nilai

sosial budaya yang berkembang di negara-negara muslim, kesulitan-kesulitan yang dirasakannya dalam menjalankan ajaran

37 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 173-276. 38 Pemahaman seperti ini sejalan dengan pandangan Thâhâ Jâbir al-'Alwânî yang menentukan tiga nilai utama yang disebutnya dengan al-maqâshid al-‘ulyâ seperti dijelaskan di atas, yaitu tawhîd (Allah), tazkiyyah (manusia), dan ‘umrân (alam).

257 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Islam sebagaimana yang diterapkan di negara-negara muslim, serta ghîrah (semangat) keagamaannya yang tinggi untuk tetap menjadi muslim yang baik,39 memaksa fuqahâ’ kontemporer untuk melakukan reinterpretasi dalil-dalil dan nash yang ada, sehingga permasalahan yang dihadapi masyarakat minoritas muslim di Barat tersebut bisa diatasi. Reinterpretasi inilah yang menuntut maqâshid al-syarî’ah dijadikan sebagai konsiderasi sehingga nilai- nilai sejati Islam tetap terwujud walaupun bentuk fiqh yang dihasil- kannya berbeda dengan fiqh aghlabiyyât, yakni fiqh mayoritas pada umumnya.

Aplikasi kaidah al-taysîr wa raf‘ al-haraj tidak dimaksudkan dengan serta-merta memilih pendapat yang paling mudah walau-

pun tidak memiliki dalil sebagaimana juga tidak bermakna memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas muslim yang tidak diberikan kepada kelompok mayoritas muslim.

Pemilihan pendapat yang paling mudah pun harus melalui proses metodologi ushûl al-fiqh yang valid sehingga tidak didasarkan pada kepentingan perseorangan semata dan hawa nafsu sesaat.40 Di

samping itu, pilihan pendapat yang mudah sesungguhnya hak dari semua orang yang tidak ditentukan oleh posisinya sebagai mayoritas dan minoritas, karena menurut Ibn ‘Âsyûr, kemudahan

adalah bagian dari kemaslahatan yang merupakan sifat esensial syari’at Islam.41

39 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 20-29; Jamâl al- Dîn ‘Athiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâshid al-Syarî’ah (Amman: Al-Ma’had al-‘Alamî li al-Fikr al-Islâmî, 2001). 40 Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qahthânî, Manhaj Isthinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah Dirâsah Ta’shîliyyah Tathbîqiyyah, hlm. 294. 41 Ibn ‘Âsyûr mengatakan bahwa kesesuaian syari’ah pada segala tempat dan waktu bisa dilihat dari dua keadaan: pertama, dasar dan kaidah universal syari’ah ini harus mampu diterapkan pada semua keadaan tanpa adanya kesulitan dan kesengsaraan; kedua adalah bahwa perbedaan kondisi masa dan masyarakat harus tetap memungkinkan kaum muslim mampu melaksanakan hukum Islam tanpa ada kesulitan, kesukaran, dan penderitaan. Lihat, Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah

258 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

Sebagai contoh aplikasi kaidah ini adalah kebolehan mem- berikan susu ASI (Air Susu Ibu) yang diambil dari bank ASI untuk bayi-bayi masyarakat muslim. Fatwa ECFR ini berbeda dengan keputusan Organisasi Fiqh Islam (Majma’ al-Fiqh al-Islâmî) No. 6 (2/6) yang menyatakan keharaman hal ini. Di samping menyatakan kebolehannya, ECFR menambahkan bahwa penggunaan susu dari bank ASI tidak menyebabkan adanya hubungan mahram (keluarga) satu susuan, dengan alasan karena tidak bisa ditentukan kadar susuannya, bercampurnya ASI dari beberapa donor ASI, dan tidak memungkinkannya identifikasi pemilik ASI tersebut.42

Fatwa ECFR tersebut di atas akan sangat membantu meringankan beban masyarakat muslim di Barat yang tidak mudah

mendapatkan murdhi‘ah (perempuan yang bisa dibayar untuk menyusui) sebagaimana yang lazim terdapat di beberapa negara muslim.

Kaidah perubahan fatwa karena perubahan masa (taghyîr al- fatwâ bi taghayyur al-zamân) yang diterapkan dalam fiqh al- aqalliyyât adalah kaidah umum yang berlaku untuk semua hukum Islam. Dalam pendekatan maqâshid al-syarî’ah, kaidah ini sangat fundamental dalam rangka menjaga keterkaitan konteks dengan ketentuan hukum. Yûsuf al-Qaradhâwî menjelaskan bahwa hukum-hukum yang berubah karena perubahan zaman adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf dan kebiasaan, sedangkan hukum yang penetapannya didasarkan pada nash syar‘iyyah yang tidak didasarkan pada ‘urf dan kebiasaan tidaklah mengalami perubahan. 43 Karena itu, dalam penentuan fiqh al-aqalliyyât

al-Islâmiyyah, hlm. 325-326. Kesimpulan Ibn ‘Âsyûr ini didasarkan pada al-Qur’ân surat 2 (al-Baqarah) ayat 185, surat 22 (al-Hajj) ayat 78, surat 34 (Sabâ’) ayat 28, surat 7 (al-A‘râf) ayat 157, dan lain sebagainya. 42 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 350. 43 Yûsuf al-Qaradhâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al-Maqâshid al- Kulliyyah wa al-Nushûsh al-Juz’iyyah, hlm. 295-296.

259 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

diperlukan ketelitian, mana hukum-hukum yang memang berdasarkan pada nash qath‘î (dalil yang pasti atau eksplisit) dan mana hukum-hukum yang merupakan konstruk sosial budaya dan politik. 44 Perbedaan zaman, tempat, dan kondisi seperti yang dialami oleh masyarakat minoritas muslim di Barat layak mendapatkan bentuk dan ketetapan hukum yang berbeda dengan fiqh klasik yang dibentuk pada masa, tempat, dan kondisi yang berbeda. Contoh yang tetap aktual untuk kaidah tersebut adalah hukum

bertempat tinggal dan menjadi warga negara di negara Barat, seperti Amerika dan Inggris yang secara jelas pemerintahannya tidak berdasarkan syari’at Islam. Menganggap Amerika dan Inggris

sebagai negara perang (dâr al-harb) yang akan mengantarkan pada fatwa haram tinggal dan menjadi warga negara di negara tersebut tidak tepat lagi karena hubungan internasional antarnegara saat

ini sangat berbeda dengan hubungan antarnegara pada masa lalu ketika dikotomi dâr al-Islâm dan dâr al-harb lahir.45

Contoh lainnya adalah kebolehan memilih pemimpin non- muslim dalam pemilihan umum karena tidak adanya calon pemimpin yang muslim. Namun, kebolehan ini harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang akan diperoleh oleh masyarakat minoritas muslim khususnya dan kemaslahatan bersama pada umumnya.

44 Beberapa ketetapan hukum Islam ditengarai adalah hasil dari konstruk sosial, budaya, dan politik. Ukuran yang bisa digunakan untuk membedakan hal tersebut dengan hukum yang didasarkan pada dalil nash adalah kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip universal Islam itu sendiri. Kajian yang mengungkap konstruk sosial, budaya, dan politik dalam pemahaman keislaman bisa dibaca dalam hampir keseluruhan karya Muhammad ‘Abid al-Jâbirî, terutama al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî: Mu haddidâtuhû wa Tajalliyyâtuhû (Al-Dâr al-Baydhâ’: al-Markaz al-Thaqafî al- ‘Arabî, 1991). 45 Untuk lebih jelasnya, lihat pembahasan hal ini pada bab 3 buku ini.

260 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

Kaidah memosisikan kebutuhan pada posisi darurat (tanzîl al- hâjah manzilah al-dharûrah) tepat digunakan dalam fiqh al- aqalliyyât karena dalam realitas kehidupan masyarakat minoritas muslim di Barat didapatkan banyak hal yang menjadi kebutuhan pokok bagi mereka, tetapi tiadanya hal tersebut belum bisa dianggap sebagai kondisi darurat dalam wacana teori hukum Islam klasik. Sebagai contoh adalah ikut bekerja di sebuah perusahaan yang modal dan tata kerjanya halal, tetapi tak jarang mengandung riba. Adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk menemukan tempat usaha (bisnis) di Barat yang secara total bersih dari riba. Pertanyaan hukumnya adalah bolehkah bekerja di tempat usaha seperti tersebut di atas?46

Kaidah “kondisi darurat membolehkan sesuatu yang dilarang” adalah kaidah yang populer dan merupakan ijmâ‘ ulama, sementara kaidah “kebutuhan bisa menempati posisi darurat

dalam penentuan hukum” adalah kaidah yang tidak banyak diketahui kalangan umum. Meskipun demikian, kaidah terakhir ini telah banyak digunakan dalam menentukan hukum pada

masalah-masalah kontemporer, terutama yang berkenaan dengan masalah kedokteran dan ekonomi yang konsep dan teknologinya berjalan sangat cepat. Makna dasar darurat (al-dharûrah) dan

kebutuhan (al-hâjah) memang berbeda, tetapi aplikasi keduanya memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan yang merupakan tujuan dari syari’at. Dalam hubungannya dengan kaidah ini, Wahbah al-Zuhaylî menyatakan:

46 Setelah melalui diskusi panjang dengan memakan waktu bertahun-tahun melalui seminar internasional seperti yang telah dilaksanakan di Jeddah dan Kuwait, akhirnya disimpulkan bahwa hukum bekerja di tempat tersebut adalah boleh atas dasar kebutuhan yang mendesak yang diposisikan sebagai bentuk kondisi darurat yang membolehkan sesuatu yang dilarang. Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 189. Lihat pula bahasan pada bab 3 buku ini pada bagian contoh-contoh persoalan hukum dalam fiqh al-aqalliyyât.

261 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Kebutuhan (hâjah) yang menyentuh, baik yang bersifat umum maupun khusus, memengaruhi perubahan hukum-hukum sebagai- mana kondisi darurat, maka hâjah bisa membolehkan yang dilarang, membolehkan ditinggalkannya sesuatu yang wajib. Hanya saja, ke- butuhan bersifat lebih umum pemahamannya dibandingkan dengan darurat, karena hâjah merupakan kondisi yang tiadanya akan meng- akibatkan kesempitan dan penderitaan atau kesukaran dan kesulitan, sementara darurat merupakan kondisi yang melawanya berarti memicu terjadinya kemudlaratan dan kekhawatiran yang berhubungan dengan jiwa dan semisalnya.47

Kebutuhan umum yang dimaksud dalam kutipan di atas

adalah ketika semua manusia membutuhkannya karena ber- sentuhan langsung dengan kemaslahatan umum dalam hal pekerjaan pertanian, bisnis industri, perdagangan, politik yang

adil, dan hukum yang layak. Sementara kebutuhan disebut khusus apabila hanya sebagian manusia saja yang membutuhkannya, seperti penduduk kota tertentu, kelompok tertentu, individu atau

kelompok individu terbatas.48 Wahbah al-Zuhaylî menyajikan sejumlah contoh aplikasi kaidah “kebutuhan yang menempati posisi darurat dalam penentuan hukum” ini, seperti akad salam

(pesanan), ijârah (sewa), washiyyah (wasiat), ju‘âlah (janji hadiah atau upah), hiwâlah (pengalihan hutang), kafâlah (pemberian garansi atau jaminan), shulh qirâdh/mudhârabah (kontrak bagi

hasil), dan sebagainya.49

Fiqh al-aqalliyyât seringkali memutuskan hukum dengan menggunakan kaidah ini ketika kemaslahatan yang akan didapat sangat besar untuk kehidupan masyarakat muslim minoritas. Sebagai contoh adalah pembelian rumah dengan sistem kredit,

47 Wahbah al-Zuhaylî, Nadzariyyat al-Dharûrat al-Syar‘iyyah Muqâranah ma‘a al- Qanûn al-Wadî (Beirut, Dimasyqi: Dâr a-Fikr al-Mu‘âshir, Dâr al-Fikr, 2007), hlm. 246. 48 Ibid., hlm. 246. 49 Ibid., hlm. 247-256.

262 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

tidak diharuskannya perempuan yang masuk Islam bercerai dari suaminya yang tetap beragama non-Islam, kebolehan bekerja di tempat pekerjaan yang mengharuskannya bersentuhan dengan sesuatu yang haram, dan lain sebagainya.50

Aplikasi kaidah berikutnya, yakni kaidah tentang kebiasaan (al-‘urf), dalam fiqh al-aqalliyyât juga menarik untuk dikaji karena

konteks ‘urf tersebut adalah negara Barat yang sistem sosial budayanya tidak berkembang secara sama dengan sistem sosial budaya yang berkembang di negara-negara muslim. Sebagai

produk maqâshid-based ijtihad, fiqh al-aqalliyyât akan mem- pertimbangkan kebiasaan dengan dasar ukuran nilai-nilai kemaslahatan yang digariskan dalam konsep dan pendekatan

maqâshid. Baik dan jelek adalah nilai-nilai yang relatif bersifat universal karena ia didasarkan pada kesepakatan akal sehat mayoritas manusia, walaupun memang ada perbedaan dalam

beberapa kondisi. Dalam kondisi berbeda ini, maqâshid al-syarî’ah dapat dijadikan sebagai instrumen penentu.

Bin Bayyah mengutip pendapat beberapa ulama’ yang menyatakan ke-hujjiyah-an ‘urf dalam penentuan hukum atau fatwa, seperti al-Qarâfî, ‘Izz bin ‘Abd al-Salâm, al-Suyûthî, al- Ghazâlî, Ibn ‘Âbidîn, dan lain-lainnya.51 Dalam beberapa sisi, kaidah ‘urf ini berada dalam satu jalur dengan kaidah berubahnya hukum karena berubahnya zaman dan tempat seperti disebut di atas karena zaman dan tempat adalah faktor penentu terciptanya suatu kebiasaan.

Kuatnya posisi ‘urf dalam penentuan hukum Islam ini dapat dibaca dari pandangan Ibn ‘Âbidîn yang menyatakan bahwa nash

50 Kasus-kasus terbaru beserta bahasan hukumnya dapat diakses di situs resmi ECFR dan FCNA, situs fatwa kontemporer Yûsuf al-Qaradhâwî di www.islamonline. com, www.binbayyah.net dan lain-lain. 51 Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 247-259.

263 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

hukum adalah ma‘lûl (di-’illat-kan) dengan ‘urf, sehingga ‘urf tersebut menjadi sesuatu yang mu‘tabar (kuat) dalam setiap zaman.52 Dalam tulisannya dikatakan bahwa hakim dan mufti jangan sampai melupakan ‘urf dan hanya berpegang pada zahirnya nash , karena hal tersebut hanya akan melahirkan kemadlaratan yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.53 Karena itulah Ibn ‘Âbidîn memasukkan pengetahuan tentang ‘urf atau kebiasaan 54 sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat ijtihad. Dalam konteks masyarakat minoritas muslim di Barat, tentu

tidak semua kebiasaan yang berkembang bisa dijadikan sebagai penentu hukum. Ada beberapa persyaratan ushûl al-fiqh yang harus dipenuhi oleh ‘urf untuk menjadi penentu hukum.55 Ketika

syarat-syarat itu terpenuhi, maka kebiasan tersebut bisa dilaksana- kan sebagai hukum walaupun tidak ada kesepakatan ulama atas hukum kebiasaan tersebut.

Contoh dari aplikasi kaidah ‘urf dalam fiqh minoritas ini adalah fatwa kebolehan masyarakat muslim mengucapkan selamat hari raya agama lain kepada pemeluknya karena sudah menjadi tradisi yang jika tidak diikuti akan memungkinkan berkurangnya bahkan hilangnya tali persahabatan dan kekeluargaan. Bagi minoritas

52 Muhammad al-Amîn bin ‘Abd al-Ghanî bin ‘Umar Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Mukhtâr ‘alâ al-Durar al-Mukhtâr, Vol. 4 (Beirût: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt), hlm. 112. 53 Mu hammad al-Amîn bin ‘Abd al-Ghanî bin ‘Umar Ibn ‘Âbidîn, Majmû’ al-Rasâ’il, Vol. 2 (Lubnân: Dâr Ibn Hazm, 1986), hlm. 129, 131. 54 Ibid., hlm. 129, 125. 55 ‘Urf dalam syara’ dibagi dua macam: al-‘urf al-shahîh, yakni kebiasan yang sesuai dengan syara’ dengan tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dan al-‘urf al-fâsid, yakni sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat sementara menyalahi syara’. Ulama menentukan beberapa syarat bagi ‘urf untuk bisa menjadi hukum. Yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash syar‘î , baik al-Qur’ân maupun al-Sunnah serta bersifat sangat kuat dan mentradisi, yakni dilakukan secara kontinyu dalam segala keadaan. Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Nadzariyyat al-Dharûrat al-Syar‘iyyah Muqâranah ma‘a al-Qanûn al-Wad‘î, hlm. 159.

264 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

muslim di Barat, fatwa ini sangat berarti terutama bagi mereka yang masih dalam kebingungan dengan perbedaan tradisi di negara asal mereka yang mayoritas penduduknya muslim dengan tradisi baru yang berbeda yang dihadapinya.

Kaidah mempertimbangkan akibat-akibat hukum (al-nadzar ilâ al-ma’âlât) menjadi kaidah esensial dalam upaya realisasi

kemaslahatan. Ketika kemaslahatan dipahami sebagai suatu keadaan ideal yang diharapkan terwujud, maka mempertimbang- kan apa yang akan terjadi ketika suatu hukum diterapkan akan

merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Metode istinbâth hukum dalam ushûl al-fiqh, seperti istihsân, maslahah mursalah, sadd al-dharâ’i‘ wa fathuhâ, dan semisalnya adalah aplikasi dari

kaidah pertimbangan akibat hukum ini.

Bagi masyarakat muslim yang hidup sebagai minoritas di negara Barat, perlu mengaplikasikan kaidah ini dalam penetapan hukum atau penentuan pilihan hukum yang akan dipakai sebagai pegangan. Sebagaimana diketahui, dalam fiqh selalu ada beberapa pendapat ulama dalam suatu kasus, maka ketika harus memilih dari sekian banyak pendapat yang ada, pilihan harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang akan dihasilkannya. Inilah inti dari maqâshid-based ijtihad ketika diaplikasikan dalam metode tarjîh al-aqwâl.

Salah satu contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh al-aqalliyyât adalah tentang partisipasi politik dan pemilihan umum, asuransi, bolehnya seorang muslim menerima warisan dari kerabatnya yang beragama non-Islam, penggunaan zakat untuk lembaga keislaman, penyembelihan hewan kurban yang digantikan dengan uang yang didistribusikan kepada faqir miskin, dan lain sebagainya.

Sementara itu, kaidah yang terakhir adalah tentang memosisi-

kan masyarakat umum pada posisi hakim (tanzîl al-jamâ‘ah manzilah al-qâdhî). Kaidah ini sangat bermakna sebagai justifikasi

265 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

lembaga-lembaga keislaman di negara Barat untuk bisa bertindak sebagai hakim dalam urusan-urusan keagamaan. Dalam hal-hal tertentu, pernikahan dan perceraian pada masyarakat muslim di Barat bisa saja membutuhkan peran hakim sebagaimana yang disebutkan dalam fiqh klasik. Negara-negara sekuler di Barat tentu tidak menyediakan fasilitas peradilan agama dengan hakim yang bergama Islam. Dalam konteks inilah kaidah tersebut berlaku.

Enam kaidah makro di atas menjadi payung bagi kaidah- kaidah fiqh lainnya yang jumlahnya sangat banyak dan senantiasa

berkembang.56 Dengan payung enam kaidah makro di atas, variasi pendapat yang dimungkinkan muncul dari kaidah-kaidah fiqh yang ada akan mengerucut pada satu pandangan yang berorientasi pada

maqâshid al-syarî’ah. Bukan hanya kaidah-kaidah fiqh yang berada di bawah payung enam kaidah makro di atas, hasil ijtihad dengan pendekatan teori atau manhaj al-istinbâth dalam ushûl

al-fiqh pun dipilih dengan dasar enam kaidah tersebut.

D.Pendekatan Metodologis Maqâshid al-Syarî’ah dan Implikasinya terhadap Format Fiqh al-Aqalliyyât

Penjelasan-penjelasan sebelumnya telah banyak mengulas perjalanan sejarah maqâshid al-syarî’ah dari konsep menuju pendekatan, sebagaimana juga telah sering disebut bahwa fiqh al-

aqalliyyât adalah produk dari proses berpikir yang menggunakan maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan. Bentuk keterkaitan keduanya dapat dilihat dari pandangan Yûsuf al-Qaradhâwî

tentang empat (4) tujuan pokok maqâshid al-syarî’ah: (1) memahami nash al-Qur’ân dan al-Hadîts tidak hanya pada aspek harfiyyah-nya, tetapi juga makna di balik teks itu sendiri, baik

yang berupa ‘illat, maksud, maupun hikmah; (2) maqâshid al- syarî’ah menjadi suatu kaidah dalam melakukan proses pilihan

56 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 42-43.

266 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

hukum, tarjîh, dan istinbâth hukum; (3) dakwah dan pemberian fatwa serta memberikan kepastian hukum; (4) mengarahkan gerakan keislaman; (5) menghidupkan fiqh yang selaras dengan al-Qur’ân dan al-Sunnah.57

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peran dan fungsi maqâshid al-syarî’ah sangatlah besar dalam membentuk suatu

tatanan kehidupan yang berketuhanan, berkeadilan, berkepastian hukum, dan memiliki paham kemaslahatan yang universal. Dengan pendekatan semacam ini, Islam akan hadir dengan wujud yang

betul-betul sejuk, damai, dan sebagai rahmat untuk semuanya. Untuk tujuan agung ini, kerangka metodologis maqâshid al- syarî’ah harus mapan (established) dan dapat dipertanggung-

jawabkan (reliable) sehingga tidak menyisakan ruang bagi keraguan dan ketidakpastian. Dua syarat ini sudah terpenuhi oleh maqâshid al-syarî’ah ketika disepakati bahwa sumber utama

maqâshid al-syarî’ah itu sendiri adalah al-Qur’ân dan al-Hadîts, sedang metodologinya adalah metodologi yang sudah mapan dalam sejarah perkembangan ushûl al-fiqh dengan orientasi

penegakan kemaslahatan sebagai titik tolaknya.58

Prinsip menggapai kemaslahatan manusia dan menolak kemadlaratan yang diusung oleh maqâshid al-syarî’ah sesungguh- nya adalah jiwa universal dari semua metode penetapan hukum Islam yang dijabarkan dalam kitab-kitab ushûl al-fiqh. Prinsip dasar ini yang dijadikan dasar oleh Mâlik bin Anas dan madzhabnya yang mengakui mashlahah mursalah sebagai salah satu dalil syara’ yang harus diamalkan sebagaimana dalil sadd al-dharâ’i‘59 dan

57 ‘Âsyûr Buqlaqûlah, “al-Imâm Yûsuf al-Qaradhâwî Faqîh al-Mufakkirîn wa Mufakkir al-Fuqahâ’ Nadzrât fî Fiqhihî al-Maqâshidî,” hlm. 25-32.

58 Ahmad al-Raysûnî dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd al-Nash, al-Wâqi‘ wa al-Mashlahah (Beirût, Dimashq: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 31-33. 59 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fiqh al-Zakât (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991) hlm. 31. Fatâwâ Mu‘âshirah, Vol. 2 (Kuwait: Dâr al-Qalam. 1998), hlm. 80.

267 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

madzhab Hanafî yang menggunakan istihsân dalam penentuan hukumnya. Orientasi kemaslahatan dalam hukum Islam semakin menguat sampai saat ini, sehingga, pada zaman modern ini, menurut penelitian Yûsuf al-Qaradhâwî, tidak ada satu pun ulama yang tidak menjadikan mashlahah mursalah sebagai dalil ketika harus menyelesaikan kasus-kasus yang tidak memiliki dasar nash .60

Yang menarik untuk diketahui adalah bahwa dengan menjadi- kan maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan, ada dua implikasi

besar terhadap perkembangan fiqh kontemporer, yaitu implikasi pada dasar hukum dan bentuk hukum. Terjadi pergeseran dasar hukum dari dalil-dalil partikular menuju dalil universal serta pergeseran

dari fiqh ideologis transnasional menuju fiqh geografis lokal. Berikut penjelasan tentang pergeseran-pergeseran tersebut.

1. Pergeseran Dasar dari Partikular ke Universal Maqâshid-based ijtihad meniscayakan nilai-nilai maqâshid al-syarî’ah untuk berposisi di atas keberanekaragaman madzhab

dengan segala perbedaan metode dan pendapat hukumnya. Ketika perbedaan pendapat hukum atas suatu permasalahan terjadi, maka putusan akhirnya didasarkan pada kompromi, atau komparasi

yang memenangkan pendapat yang lebih berpihak pada realisasi kemaslahatan umum. Karena itu, metode tarjîh cukup dominan dalam pendekatan maqâshid al-syarî’ah.61

60 Syaikh al-Khudarî, Ahmad Ibrâhîm, Mushthafâ al-Marâghî, ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Abû Zahrah, Mahmûd Shaltût, Mushthafâ Shalabî, Muhammad Sa‘îd Ramadhân al-Bûthî, dan ‘Abd al-Karîm Zaidân adalah di antara ulama kontem- porer yang menggunakan mashlahah mursalah sebagai dalil. Lihat, Yûsuf al- Qaradhâwî, al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Daw’ al-Nushûsh al-Syarî‘ah wa Maqâshidihâ, hlm. 103-104. 61 Ahmad al-Raysûnî dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd al-Nash, al-Wâqi‘ wa al-Mashlahah, hlm. 37.

268 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum dari suatu pendapat yang berbeda dengan dalil-dalil yang digunakan pendapat lainnya dalam masalah yang sama ditundukkan pada kemaslahatan yang menjadi inti dari maqâshid al-syarî’ah. Karena itu, pendekatan maqâshid lebih menekankan pada nilai-nilai universal yang terkandung dan tersirat dalam dalil dibandingkan dengan makna lahiriyah yang tersurat dalam dalil.

Dalam aplikasinya, maqâshid-based ijtihad ini tidaklah sederhana dan tidak secara langsung menghilangkan perbedaan

pendapat. Pertentangan mashlahah dan mafsadah atau per- tentangan antara kemaslahatan yang satu dan kemaslahatan yang lainnya terbuka lebar untuk diperdebatkan karena adanya bebe-

rapa tingkatan kemaslahatan sebagaimana telah dijelaskan dalam bab 4.

Ketika terjadi pertentangan seperti tersebut di atas, kaidah utamanya adalah mendahulukan penolakan mafsadah atas pencapaian mashlahah (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al- mashali h). Namun, ketika kemaslahatan yang akan diperoleh adalah untuk kepentingan yang lebih besar, sementara kemafsada- tannya adalah dalam skala yang lebih kecil atau ada pertentangan antara dua kemaslahatan yang berbeda, maka Yûsuf al-Qaradhâwî mengajukan dua cara, yaitu tawfîq dan taghlîb atau tarjîh.62

2. Pergeseran Format dari Fiqh Ideologis ke Fiqh Geografis Pendekatan maqâshid al-syarî’ah juga memiliki implikasi signifikan terhadap format dan corak fiqh kontemporer, termasuk fiqh al-aqalliyyât. Kuatnya orientasi kemaslahatan dalam fiqh

62 Yûsuf al-Qaradhâwî, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, hlm. 60-66. Tawfîq yang dimaksud adalah mendamaikan dua hal yang bertentangan dengan mengambil jalan tengah. Istilah ini sesungguhnya sama dengan istilah al-jam’ (kompromi) yang disampaikan oleh ulama lainnya. Sementara itu, taghlîb dan tarjîh berarti membandingkan dan memilih mana yang paling kuat atau unggul.

269 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

kontemporer membuka lebar kemungkinan lahirnya ketentuan- ketentuan hukum Islam yang berbeda di suatu kawasan dengan kawasan lainnya ,karena pertimbangan kemaslahatan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan tempat dan waktu.63

Fiqh yang tumbuh dan berkembang di negara Timur Tengah tidak dengan serta merta dapat diterapkan di negara lain karena

adanya kemungkinan perbedaan kondisi, permasalahan, kebutuhan, kebiasaan, dan faktor lainnya. Karena itu, fiqh pada hakikatnya adalah bersifat terbuka untuk berbeda, dan tidak

seperti aqidah (tawhîd) yang lebih bersifat pasti dan seragam.64

Dalam sejarah perkembangan fiqh pada masa awal sampai pada masa pembentukan madzhab, sebenarnya terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan pendapat hukum Islam di suatu

wilayah dengan wilayah lainnya sehingga terkenal nama madzhab Madinah, madzhab Kufah, madzhab Bashrah, dan lainnya yang kemudian berubah menjadi madzhab Imâm Mâlik bin Anas, madzhab Imâm Abû Hanîfah, madzhab Imâm al-Syâfi‘î, dan madzhab Imâm Ahmad bin Hanbal.65

Pergeseran ini oleh Joseph Schacht disebut transformation of the ancient schools into the personal schools (transformasi dari madzhab lama menjadi madzhab personal), yang dalam bahasa

63 Enam kaidah makro yang telah disebutkan di atas, terutama kaidah perubahan hukum karena faktor tempat dan waktu, kaidah ‘urf (kebiasaan), dan kaidah mempertimbangkan implikasi atau akibat hukum sangat berkaitan dengan faktor kawasan/geografis ini. 64 Bagi umat Islam, tidak ada perbedaan konsepsi tentang Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan hal lainnya yang berada dalam ranah aqidah. Kalaupun ada perbedaan, ia tidaklah terlalu fatal dan signifikan. Pada dasarnya, tawhîd adalah masalah percaya dan tidak percaya tanpa adanya kemungkinan lain, sementara fiqh adalah masalah halal dan haram dengan kemungkinan sunnah, makruh, dan mubah. Permasalahan taw hîd adalah antara hamba dan Tuhannya, sementara permasalahan fiqh adalah antarsesama makhluk dan antara hamba dan Tuhannya. 65 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, hlm. 57.

270 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

berbeda oleh Wael Hallaq disebut dengan from regional to personal schools of law (dari madzhab regional ke madzhab personal).66 Walaupun Hallaq membantah model pergeseran yang disebut oleh Schacht, tulisan keduanya menunjukkan data yang sama bahwa ada fakta perbedaan dominan hukum Islam yang berkembang di suatu tempat dengan tempat lainnya.

Setelah terbentuknya madzhab-madzhab, para pakar sejarah hukum Islam sepakat bahwa hukum Islam cenderung mengalami masa krisis dengan hadirnya tradisi taqlîd yang menghegemoni.

Madzhab-madzhab yang telah established dianggap telah cukup untuk menjadi referensi hukum Islam di wilayah manapun. Inilah salah satu penyebab awal munculnya karakter transnasional pada

fiqh.67 Karakter ini semakin menguat dengan masuknya kepenting- an politik ideologis yang menyertai perkembangan madzhab fiqh.

Pada masa modern, lahirnya gerakan politik Islam Timur Tengah, terutama gerakan Wahabi, juga menjadi penyumbang besar menguatnya karakter transnasional pada fiqh. Jargon purifikasi dengan slogan kembali pada al-Qur’ân dan al-Hadîts menutup rapat pintu ijtihad, penggunaan akal dalam penafsiran agama. Pemahaman yang benar hanyalah satu, yakni makna eksplisit dari teks dalil yang ada.

Munculnya maqâshid-based ijtihad adalah melawan main- stream transnasional ini dan mengenalkan keanekaragaman fiqh

66 Wael B. Hallaq, “From Regional to Personal Schools of Law? A Reevaluation,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 1 (2001), hlm. 1-26. Dalam Tulisan ini Hallaq memaparkan data historis yang lengkap dengan perdebatannya tentang pergeseran dari madzhab geografis ke madzhab personal. 67 Fiqh Timur Tengah menjadi kiblat hukum Islam bagi masyarakat muslim di manapun berada. Fiqh ini hampir secara total dianggap sebagai satu-satunya tafsir hukum yang otoritatif atas dalil-dalil al-Qur’ân dan al-Hadîts walaupun kondisi masyarakat Timur Tengah berbeda dengan beberapa negara lainnya yang ditempati oleh masyarakat muslim.

271 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

yang berada dalam satu payung besar bernama maqâshid al- syarî’ah . Fiqh al-aqalliyyât adalah salah satu hasilnya, sebuah fiqh yang dirancang untuk masyarakat minoritas muslim yang berada di kawasan dunia Barat yang memiliki perbedaan bentuk dan materi dengan fiqh yang dirancang oleh dan untuk masyarakat di negara-negara Timur Tengah. Tegasnya, pendekatan maqâshid al-syarî’ah ini telah meniscayakan pergeseran fiqh: dari fiqh ideologis menuju fiqh geografis.

E. Fiqh al-Aqalliyyât sebagai Sistem: Bersatunya Fiqh, Realitas, dan Maqâshid al-Syarî’ah

Dalam tataran teologis tidak ada yang menyangsikan bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan kehendak dan kekuasaan- Nya. Dengan segala sifat baik-Nya, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang pasti dan terlepas dari sifat kesia- siaan. Aturan-aturan yang dibuat adalah untuk dilaksanakan oleh manusia dalam konteks kehidupan mereka guna menggapai tujuan 68 kebahagiaan dan kemaslahatan. Dari sini dapat dikatakan bahwa ketentuan Tuhan, realitas kehidupan, dan tujuan kehidupan adalah suatu kesatuan yang saling terkait.

Fiqh sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang dipahami dari firman Allah dan hadîts Nabi secara teoretis senantiasa memiliki

keterkaitan yang erat dengan konteks kehidupan yang ditetapkan hukumnya sebagaimana juga berkaitan dengan tujuan hukum yang dibawanya, yakni mewujudkan kemaslahatan.69 Fiqh mengalami

perkembangan pesat sejak masa awal, dan mencapai puncaknya

68 Dalam bahasa al-Raysûnî: Syari’ah adalah kemaslahatan dan kemaslahatan adalah syari’ah (al-Syarî‘ah Mashlahah, wa al-Mashlahah Syarî‘ah). Lihat, Ahmad al- Raysûnî dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd al-Nash, al-Wâqi‘ al-Mashlahah (Beirût, Dimasyq: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 29. 69 Ulasan utuh tentang keterkaitan tiga hal ini, lihat ibid.

272 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

pada periode tadwîn, yakni masa kodifikasi kitab-kitab fiqh setelah mapan dengan lahirnya imam-imam madzhab.70

Perkembangan puncak fiqh pada masa tersebut melahirkan efek negatif yang tidak terduga, yakni munculnya tradisi taqlîd71 sejak akhir tahun 300 H72 yang memakan waktu sangat panjang

70 Bahasan yang lengkap dan menarik tentang apa yang terjadi pada periode ini dalam hubungannya dengan perkembangan fiqh dan ushûl al-fiqh, baca Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, An Introduction to the Sunnî Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), khususnya pada bab pertama. 71 Taqlîd menurut makna etimologis yang disepakati oleh para ulama berasal dari kata qallada yang bermakna “meletakkan tali/ikatan di sekitar leher.” Lihat, Najm al-Dîn al-Thûfî, Syarh Mukhtashar al-Rawdhah, Vol. 3 (Beirut: Mu’assasah al- Risâlah, 1410H), hlm. 65; Istilah ini digunakan untuk menyiratkan ketergantungan seseorang kepada orang lain. Sementara secara terminologis, para ushûliyyûn cenderung sepakat pada satu makna walaupun agak berbeda dalam redaksinya, yaitu makna yang diwakili oleh al-Ghazâlî sebagai “qabûlu qawl al-ghayr min ghayr hujjah” (menerima pendapat orang lain tanpa adanya bukti/hujjah). Lihat, Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Vol 2 (Cairo: Maktabah al-Tijâriyyah, 1356), hlm. 387; Sementara itu, ahli bahasa al-Jurjânî mendefinisikannya dengan “‘ibârah an ittibâ‘ al-insân ghayrahu fî mâ yaqûlu aw yaf‘alu mu‘taqidan li al-haqîqah fîhi min ghayr nadzr wa ta’ammul fi al-dalîl” (istilah untuk ikutnya seseorang pada pendapat atau perilaku orang lain dengan meyakini kebenarannya tanpa berpikir dan merenungkan dalilnya), atau “‘ibârah an qabûli qawl al-ghayr bi lâ hujjah wa lâ dalîl. Lihat, Al-Syarîf ‘Alî bin Muhammad al-Jurjânî, Kitâb al-Ta‘rîfât (Singapore, Jeddah: al-Haramayn, tt), hlm. 64; Banding- kan dengan ‘Abd Allâh al-Fawzân, Syarh al-Waraqât (Riyadh: Dâr al-Muslim, 1417), hlm. 260; Syaikh Bakr Abû Zayd, Al-Madkhal al-Mufashshal ilâ Fiqh Imâm Ahmad b. Hanbal, Vol. 1 (Riyadh: Dâr al-Tawhîd, 1411), hlm. 64. 72 Tentang era kemapanan madzhab yang melambangkan menurunnya tradisi ijtihâd terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam antara N. J. Coulson dan Joseph Schacht. Menurut Coulson ini terjadi pada sekitar akhir abad ke-3/ke-10. Lihat, N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 7, 9, 86-9; Sementara menurut Schacht hal ini tidak mencapai puncaknya sebelum tahun 700/1300. Lihat, Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, hlm. 65-7. Pendapat yang lain, yang menengahi perbedaan ekstrem kedua tokoh di atas juga muncul dari beberapa sarjana. Salah satunya adalah Syâh Walî Allâh al-Dahlawî (w. 1763) yang menyatakan bahwa era tersebut terjadi pada akhir abad ke-5/ke11. Lihat, Syâh Walî Allâh al-Dahlawî, Hujjat Allâh al-Bâlighah, Vol. 1 (Cairo: Dâr al-Turâts, tt.), hlm. 152; Sementara itu, tentang alasan munculnya taqlîd ini ada beberapa pendapat: Coulson, misalnya, menyatakan bahwa taqlîd merupakan produksi dari sebuah model kemunduran

273 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

bahkan sampai saat ini. Problematika hukum mulai bermunculan sejak dirasakan bahwa sudah tidak ada lagi hubungan erat antara fiqh, realitas empirik, dan maqâshid al-syarî’ah yang disebabkan oleh tiga hal: pertama, fiqh-fiqh yang terkodifikasi dibuat dalam konteks negara-negara muslim Timur Tengah, sementara Islam berkembang jauh melampaui batas teritorial negara Timur Tengah. Kedua , fiqh-fiqh yang ada kebanyakan merupakan pendapat dan fatwa hukum yang dibuat pada masa lalu di mana para fuqaha’ tidak memiliki gambaran tentang konteks kehidupan masa modern. Ketiga, adanya keterputusan maqâshid al-syarî’ah dengan ketentuan fiqh akibat diaplikasikannya fiqh masa lalu pada konteks modern yang berbeda.

Kekakuan hukum Islam (fiqh) menjadi perbincangan dan perdebatan yang terus aktual. Ia tidak lagi bersifat fleksibel dan elastis sebagaimana yang dipaparkan dalam teori-teori bahkan

senantiasa dikonotasikan sebagai normatif, fundamentalis, radikal, dan sejumlah wajah lainnya yang tidak menyiratkan Islam sebagai

sumber-sumber hukum Islam. Lihat, Coulson, A History of Islamic Law, hlm. 81; Sementara itu, Joseph Schacht berpandangan bahwa taqlîd merupakan imbas dari sempurnanya bangunan hukum yang dilakukan oleh para fuqaha’ pada era formatif di samping juga kurang percaya dirinya (intellectual inferiority) para fuqaha’ masa berikutnya. Lihat Schacht, An Introduction to Islamic Law, hlm. 70- 1; Bandingkan pandangan Schacht ini dengan pendapat sarjana lainnya yang melihat dari faktor di luar hukum Islam. Âl-Jabiri, misalnya, melihat adanya problematika struktural yang sangat akut pada sisi struktur nalar Arab di mana masa lampau selalu menjadi rujukan utama dalam pemikiran. Lihat, Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 65; lihat pula Lihat bahasan Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Takwîn al-‘Aql al- ‘Arabî (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), terutama pada bab 11. Sementara itu Muhammad Syahrûr memandang ketundukan pola pikir keislaman saat ini pada produk pemikiran abad ke-3 sampai ke-5 H seperti ini bermula dari naik daunnya mistisisme pada zaman al-Ghazâlî dan Ibn ’Arabî yang kemudian membungkam kreativitas berpikir rasional. Masa ini, dalam dunia fiqh, dikenal dengan masa tertutupnya pintu ijtihâd (insidâd bâb al-ijtihâd). Lihat, Mu hammad Syahrûr, Dirâsah Islâmiyyah Mu‘âshirah fî al-Dawlah wa al-Mujtama‘ (Damaskus: al-Ahâlî li al-Nashr, 1994), hlm. 217-223.

274 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Rekonsiderasi Maqâshid Al-syarî’ah Tentang Pemberlakuan Hukum Islam ...

agama kasih sayang yang senantiasa sesuai dengan setiap masa dan tempat. Kenyataan ini diyakini sebagai konsekuensi logis dari tidak sejalannya fiqh dengan realitas empirik kontemporer yang dihadapi dan nilai-nilai universal Islam. Potret problematis semacam ini semakin terasa ketika dilema hukum Islam seperti ini diletakkan dalam konteks kehidupan minoritas muslim di Barat.

Masyarakat minoritas muslim di Barat merasakan kesulitan menerapkan penafsiran-penafsiran Islam klasik ketika dirasakan ada kesenjangan yang cukup lebar antara “what is”, realitas yang

dihadapi, dan “what ought to be”, kondisi ideal yang seharusnya, yang dipahami dari tradisi klasik itu. Kesenjangan ini semakin memperkuat wacana Barat, tempat di mana mereka tinggal, bahwa

ajaran Islam tidak sesuai dengan nilai budaya Barat. Satu-satunya cara untuk merespons secara positif kondisi dan anggapan negatif ini adalah kembali pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip uni-

versal yang dibawa oleh Islam, yaitu maqâshid al-syarî’ah, untuk kemudian dijadikan sebagai dasar menata ulang pemahaman fiqh yang ada agar sesuai dengan realitas yang ada, tetapi tidak terlepas

dari prinsip-prinsip dasar Islam.73

Bertemunya fiqh dengan realitas kehidupan masyarakat minoritas muslim di Barat dan maqâshid al-syarî’ah inilah yang kemudian melahirkan satu jenis fiqh baru yang dikenal dengan fiqh al-aqalliyyât. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fiqh al-aqalliyyât adalah produk sejarah yang mempersatukan kembali unsur-unsur utama fiqh (hukum, realitas, tujuan) yang telah lama tercerai-berai sepanjang masa taqlîd mendominasi. Lebih jauh lagi, fiqh al-aqalliyyât menyatukan kembali segala aspek keislaman dalam satu wadah fiqh makro seperti yang terjadi pada

73 Kajian yang sangat bagus tentang peralihan fiqh lama ke fiqh baru bisa dilihat di Yûsuf al-Qaradhâwî, al-Islâm bayna al-Ashâlah wa al-Tajdîd (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), terutama hlm. 25-32.

275 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

masa-masa awal di mana tawhîd, hukum, dan akhlak menjadi satu kesatuan seperti yang tergambar dalam al-Fiqh al-Akbar karya Imâm Abû Hanîfah.

Dengan fiqh al-aqalliyyât ini, persoalan-persoalan baru yang muncul di tengah masyarakat minoritas muslim di Barat dan belum ditemukan padanannya, baik dari sisi materi maupun konteksnya

dapat diselesaikan dengan baik. Persoalan dikotomi dâr al-Islâm dan dâr al-harb, tinggal dan memiliki kewarganegaraan di negara non-muslim dengan segala hak serta kewajiban yang menyertainya,

hubungan keberagamaan dengan pemeluk agama lain, hubungan kerja sama sosial, ekonomi, politik dengan non-muslim, hukum keluarga seperti perkawinan dan kewarisan beda agama, dan

kuburan muslim yang bercampur dengan kuburan non-muslim, adalah di antara persoalan-persoalan yang dibahas dalam fiqh al- aqalliyyât dengan mendasarkan pada maqâshid al-syarî’ah

sebagai konsiderasi utamanya.

276 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Bab 6 PENUTUP

Bahasan-bahasan sebelumnya telah memberikan gambaran

mengenai problematika hukum Islam yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat, fiqh al-aqalliyyât sebagai jawaban, dan perkembangan maqâshid al-syarî’ah dari konsep ke pendekatan. Sebagai kesimpulan, bahasan dalam bab ini hendak menjawab tiga permasalahan yang telah dikemukakan di bagian awal buku ini (bab 1), yaitu:

1. Fiqh al-aqalliyyât adalah format fiqh baru yang dibuat secara khusus untuk menjawab permasalahan-permasalahan kehidup- an beragama yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat. Karena itu, fiqh ini juga menjadi salah satu contoh dari fiqh kawasan (geografis). Fiqh yang digagas oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwî ini adalah bagian yang

tidak terputus dari sejarah perkembangan fiqh secara umum. Dalam pembidangan fiqh yang didasarkan pada baru-tidaknya objek hukum, fiqh al-aqalliyyât merupakan salah satu bentuk

dari fiqh al-nawâzil, yakni bentuk fiqh yang membahas hal-hal yang belum pernah dibahas dalam perbincangan fiqh pada masa sebelumnya. Karakter fiqh al-aqalliyyât yang berbeda dengan

fiqh yang berkembang pada umumnya dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

277 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

a. Subjek atau materi kajian yang dibahas dalam fiqh al- aqalliyyât tidak hanya persoalan yang berkaitan dengan hukum murni sebagaimana yang dibahas dalam kajian fiqh pada umumnya. Ia membahas pula hal-hal yang berkaitan dengan masalah tawhîd, akhlak, dan persoalan-persoalan hidup keberagamaan yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat. Di sini terjadi apa yang disebut dengan circular development theory sebagai perkembangan kembali pada model awal, yakni fiqh yang mencakup semua bidang kajian keislaman. Fiqh makro seperti ini pernah berkembang pada masa-masa awal pertumbuhan hukum Islam. Salah satu bukti yang sering disebut adalah karya monumental Imâm Abû Hanîfah, al- Fiqh al-Akbar.

b. Produk hukum yang dihasilkan dalam fiqh al-aqalliyyât

berbeda dengan produk hukum fiqh pada umumnya. Kalau dalam fiqh pada umumnya, produk hukum didasarkan pada hujjiyyah al-nash, kekuatan atau otoritas nash, maka produk

hukum dalam fiqh al-aqalliyyât didasarkan pada hujjiyyah al-maqâshid, kekuatan nilai-nilai tujuan syara’, yaitu mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadlara-

tan. Konsekuensi logisnya adalah bahwa fiqh al-aqalliyyât membebaskan diri dari perbedaan madzhab dan berhak memilih pendapat dari madzhab manapun yang dianggap lebih mencerminkan realisasi kemaslahatan ketika masalah hukum yang terjadi memiliki padanan dengan atau pernah dibahas pada masa lalu. Dalam kasus-kasus baru, per- timbangan realisasi maqâshid al-syarî’ah sebagai prinsip dan nilai universal Islam mengungguli dominasi teks sebagaimana yang terjadi dalam kajian fiqh pada umumnya.

2. Maqâshid al-syarî’ah memiliki peran yang menentukan dalam kemunculan dan perkembagan fiqh al-aqalliyyât ini. Hal ini

278 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Penutup

dapat dilihat dari tiga sisi: pertama, inisiatif awal kemunculan fiqh al-aqalliyyât ini didasarkan pada keinginan untuk meyakin- kan masyarakat minoritas muslim di Barat akan kemudahan, kemaslahatan, dan kesesuaian Islam di setiap tempat dan masa. Hal ini tidak bisa dilakukan tanpa kembali pada nilai-nilai uni- versal Islam itu sendiri sebagaimana yang terangkum dalam konsepsi maqâshid al-syarî’ah. Kedua, dalam proses pem- buatan fatwa dan pendapat hukum dalam fiqh al-aqalliyyât, pendekatan maqâshid sangat mendominasi. Ketiga, akibat akhir dari aplikasi fiqh aqalliyyât adalah terealisasinya nilai- nilai maqâshid al-syarî’ah yang sesuai, selaras, dan serasi dengan konteks kehidupan masyarakat minoritas muslim di Barat. Hukum Islam dalam fiqh al-aqalliyyât menjadi pegangan yang tidak memberatkan mereka, tetapi mengantarkan mereka

untuk tetap bahagia/damai menjadi muslim yang baik di tengah masyarakat mayoritas non-muslim. 3. Maqâshid al-syarî’ah dalam fiqh al-aqalliyyât mencerminkan perkembangan yang cukup besar dari eksistensinya sebagai

konsep menuju eksistensi sebagai metode pendekatan. Sebagai konsep, maqâshid al-syarî’ah dipahami sebagai seperangkat nilai yang pasti terkandung dalam setiap ketentuan syari’at.

Nilai-nilai tersebut berkembang mulai dari konsep klasik yang terbatas pada lima nilai utama, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, sampai pada masuknya nilai-nilai keadil- an, egalitarianisme, kebebasan, dan hak-hak asasi manusia secara umum. Sebagai pendekatan, maqâshid al-syarî’ah me- ngikuti prinsip sebagai berikut:

a. Setiap ketentuan hukum harus didasarkan pada per- timbangan maqâshid.

b. Teori-teori ushûl al-fiqh yang sudah ada tetap digunakan, hanya saja produk hukum yang akan diambil sebagai

279 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

pendapat yang paling kuat adalah yang paling kuat orientasi maqâshid-nya.

c. Kaidah-kaidah fiqh yang ada juga tetap berlaku sepanjang tidak berbenturan dengan kaidah-kaidah umum maqâshid.

d. Dalam pembuatan fiqh al-aqalliyyât, ada enam kaidah besar yang dijadikan pedoman: kaidah memudahkan dan meng- hilangkan kesukaran (al-taysîr wa raf‘ al-haraj), kaidah

perubahan fatwa karena perubahan masa (taghyîr al-fatwâ bi taghayyur al-zamân), kaidah memosisikan kebutuhan pada posisi darurat (tanzîl al-hâjah manzilah al-dharûrah),

kaidah kebiasaan (al-‘urf), kaidah mempertimbangkan akibat-akibat hukum (al-nadzar ilâ al-ma’âlât), dan kaidah memosisikan masyarakat umum pada posisi hakim (tanzîl

al-jamâ‘ah manzilah al-qâdhî).

Sementara itu, aplikasi metodologi ushûl al-fiqh-nya adalah sama dengan poin (b) di atas, yakni mengaplikasikan semua teori yang ada dengan catatan bahwa produk hukum yang akan diambil adalah yang paling kuat orientasi maqâshid-nya. Karena itu, metode tarjîh dengan penekanan pada maqâshid menjadi metode yang sangat dominan. Pendekatan seperti ini memiliki dua implikasi yang luar biasa terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam: pertama adalah terjadinya pergeseran dasar hukum dari dalil-dalil partikular pada nilai-nilai universal, dan kedua adalah pergeseran dari fiqh ideologis menuju fiqh geografis yang lebih fleksibel dan berdialog dengan problematika kehidupan kontemporer serta lebih inklusif karena didasarkan pada nilai-nilai maqâshid al-syarî’ah yang universal. Fiqh al-aqalliyyât adalah salah satu contoh produk fiqh geografis yang terlahir dari metode

pendekatan maqâshid ini.

Demikianlah, buku ini menawarkan suatu model ijtihad baru dalam ranah hukum Islam vis a vis persoalan-persoalan kontem-

280 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Penutup

porer yang dihadapi kaum muslim, lebih-lebih kaum muslim yang merupakan minoritas di negara-negara Barat, terutama Amerika dan Inggris. Di sisi lain, kajian hukum Islam di Barat sangat luas dan kompleks dan akan terus mendapatkan perhatian dalam kancah pengembangan studi keislaman pada masa yang akan datang. Dalam realitanya, hampir segala sesuatu yang berkembang dan menjadi fenomena di Barat senantiasa memiliki pengaruh pada dunia Timur. Karena itu, dua hal berikut penting diperhatikan sebagai upaya pengembangan hukum Islam di masa yang akan datang.

1. Area studies (studi kawasan) dalam bidang hukum Islam yang membahas hukum Islam di negara-negara Barat belum men-

dapatkan perhatian yang cukup serius dalam kajian akademis. Mengingat potensi perkembangan Islam di Barat sangat cepat dan memiliki masa depan yang sangat cerah, kajian hukum

Islam di Barat seperti fiqh al-aqalliyyât ini layak untuk dijadikan subjek atau tema akademis yang dikaji secara khusus.

2. Konsepsi maqâshid al-syarî’ah menemukan momentum yang tepat pada masa kontemporer ini, ketika nilai-nilai universal agama atau perennial wisdom menjadi wacana global dalam menyusun global ethics (etika global) menuju kedamaian dan perdamaian dunia. Segala aturan hukum, termasuk hukum Islam mulai dikaji dari perspektif maqâshid al-syarî’ah ini. Sayangnya, kajian tentang maqâshid al-syarî’ah sebagai pendekatan dalam studi akademik tidak banyak mendapatkan perhatian. Ke depan, kajian seperti ini perlu dikembangkan secara serius.

281 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Âbâdî, Fayrûz. 1987. al-Qamûs al-Muhîth. Beirût: Mu’assasah al- Risâlah.

Abbas, Tahir. 2007. “British Muslim Minorities Today: Challenges and Opportunities to Europeanism, Multiculturalism, and Islamism.” Sociology Compass. Vol. 1. No. 2.

———. 2007. “Muslim Minorities in Britain: Integration, Multiculturalism, and Radicalism in the Post-7/7 Period.” Journal of Intercultural Studies. Vol. 28. No. 3.

Agustus.

‘Abd al-Salâm, Al-‘Izz bin. 1986. Qawâ‘id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Beirût: al-Kulliyyât al-Azhariyyah.

‘Abd al-Salâm, ‘Abd al-‘Azîz bin. 1992. Qawâ‘id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Damshiq: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Abdo, Genevive. 2006. Mecca and Main Street: Muslim Life in America after 9-11. New York, NY: Oxford University Press.

Abû Sulaymân, ‘Abdul Hamid. 1993. Towards an Islamic Theory

of International Relations: New Directions for Methodo- logy and Thought. Herndon, Virginia: IIIT.

283 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

———. 1993. Crisis in the Muslim Mind. Herndon, Virginia: IIIT.

Abû Zayd, Syaikh Bakr. 1411 H. Al-Madkhal al-Mufashshal ilâ Fiqh Imâm Ahmad b. Hanbal. Riyadh: Dâr al-Tawhîd. Ahmad al-Raysûnî dan Muhammad Jamâl Bârût. 2000. al-Ijtihâd

al-Nash, al-Wâqi‘ al Mashlahah. Beirût, Dimasyq: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, Dâr al-Fikr.

Ahmad, Imad-ad-Dean. 2006. “American and Muslim Perspec- tives on Freedom of Religion.” University of Pennsyl- vania Journal of Constitutional Law. Vol. 8. No. 3. Mei.

Ahmed, Ishtiaq. 2002. “Communal Autonomy and the Aplication of Islamic Law.” ISIM NEWSLETTER. No. 10. Akhavi, Shahrough. 2003. “Islam and the West in World History.”

Third World History. Vol. 24, No. 3. Juni.

Alam, Anwar. 2007. “Scholarly Islam” and “Everyday Islam”: Reflections on the Debate over Integration of the Muslim Minority in India and Western Europe.” Journal of

Muslim Minority Affairs. Vol. 27. No. 2. Agustus.

al-‘Âlim, Yûsuf Hâmid. 1994. al-Maqâshid al-‘Âmmah li al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah. Riyâdh: al-Dâr al-‘Âlamiyyah li al-Kitâb al-Islâmî dan IIIT.

al-‘Alwânî, Thâhâ Jâbir. 1993. The Crisis of Thought and Ijtihad. Herdon, Virginia: IIIT. ———. 2001. Maqâshid al-Syarî’ah. Beirût, Lebanon: Dâr al-Hâdi.

———. 2003. Towards A Fiqh For Minorities: Some Basic Reflec- tions. International Institute of Islamic Thought, Richmond, UK.

———. Nadzarât Ta’sîsiyyat fî Fiqh al-Aqalliyyât. Diakses di http:/ /www.islamonline.net.

284 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

al-Âmîrî, ‘Umar Bahâ’ al-Dîn. 1993. al-Islâm wa Azmah al- Hadhârah al-Insâniyyah al-Mu‘âshirah fî Dhaw’ al-Fiqh al-Hadhârî. Jeddah: Al-Dâr al-‘Âlamiyyah al-Kuttâb al- Islâmî.

al-Asnawî, Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahîm. 1999. Nihâyat al-Sûl Syarh Minhâj al-Wushûl fî ‘Ilm al-Ushûl. Beirût, Lubnân:

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-‘Awwâ, Muhammad Salîm. 2006. Dawr al-Maqâshid fî al- Tasyrî‘ât al-Mu‘âshirah. London: Markaz Dirâsât Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah.

al-Bûthî, Syaikh Muhammad Sa‘îd Ramadhan. 2004. “Mawlid Khutbah: Fiqh of Minorities is the Most Recent Means of Playing with Allah’s Dîn.” Mei 2003. Diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.nottsnewsmuslim.com/Bouti_ mawlid%20Khutbah.pdf. Akses tanggal 27 April 2008.

———. 2008. “Fiqh of Minorities.” Diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.marifah.net/articles/Bouti_MinorityFiqh.pdf.

Akses tanggal 27 April.

al-Bukhârî, Imâm. 1970. Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Fikr.

al-Dahlawî, Syâh Walî Allâh. tt. Hujjat Allâh al-Bâlighah. Kairo: Dâr al-Turâts.

al-Farrâ’, Abû Ya‘lâ Muhammad bin Husain. 2006. Al-Ahkâm al- Sulthâniyyah. Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.

al-Fawzân, ‘Abd Allâh. 1417 H. Syarh al-Waraqât. Riyadh: Dâr al- Muslim. al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad. 1356 H. al-Mustasyfâ min ‘Ilm al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Tijâriyyah.

285 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Ali, Muhammad Mumtaz (ed.). 2000. Modern Islamic Movements: Models, Problems, and Prospects.Kuala Lumpur: A. S. Noordeen.

al-Jâbirî, Muhammad ‘Âbid. 1989. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyah. ———. 1991. al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî: Muhaddidâtuhû wa Tajalliyyâtuhû. Al-Dâr al-Baydhâ’: al-Markaz al-Thaqafy

al-‘Arabi.

al-Jawziyyah, Syams al-Dîn Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin Abî Bakr Ibn Qayyim. 1967. I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn. Mishra: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariy- yah.

———. 1992. Ahkâm Ahl al-Dzimmah. Dammâm: Ramâdî al-Nashr.

al-Jîzânî, Muhammad bin Husayn bin Hasan. 1424 H. “al-Ijtihâd fî al-Nawâzil.” al-‘Adl. No. 19. Rajab.

al-Jurjânî, Al-Syarîf ‘Alî bin Muhammad. tt. Kitâb al-Ta‘rîfât.

Singapore, Jeddah: al-Haramayn.

al-Karamî, Hasan. 1412 H. al-Hâdî ilâ Lughat al-‘Arab. Lubnân: Dâr Lubnân li al-Thaba‘ah wa al-Nashr. al-Khâdimî, Nûr al-Dîn bin Mukhtâr. 2006. ‘Ilm al-Maqâshid al-

Syar‘iyyah. Riyâdh: ‘Ubaykân.

al-Kîlânî, ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm. 2000. Qawâ‘id al-Maqâshid ‘ind al-Imâm al-Syâthibî ‘Aradhan wa Dirâsatan wa Tahlîlan. Damsyiq, Suriyah: IIIT dan Dâr al-Fikr.

‘Allâl al-Fâsî. 1993. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuhâ. Np: Dâr al-Gharb al-Islâmi.

al-Mâwardî, Abû al-Hasan. 1990. Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi.

286 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

al-Mîsâwî, Muhammad al-Thâhir. 2001. “al-Syaikh Muhammad al-Thâhir bin ‘Âsyûr wa al-Masyru’ alladzî lam Yaktamil.” Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr. Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah. Urdun: Dâr al-Nafâ’is li al-Nasyr wa al-Tawzî’.

al-Muqrî’, Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Fâyûmî. 1987. al- Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr li al-Râfi’î.

Beirût: Maktabah Lubnân.

al-Mu‘thî, ‘Abd al-‘Adzîm Ibrâhîm. tt. Al-Fiqh al-Ijtihâdî al-Islâmî Bayna ‘Abqariyyat al-Salaf …wa Ma’âkhidi Nâqidîhi. Kairo: Maktabah Wahbah.

al-Qâdir, Khâlid ‘Abd. 1998. Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimah. Tripoli: Dâr al-Imân.

al-Qa hthânî, Musfir bin ‘Alî bin Muhammad. 2003. Manhaj Istinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshi- rah Dirâsat Ta’shîliyyat Tathbîqiyyat. Jeddah: Dâr al- Andalus al-Khadrâ’ li al-Nashr wa al-Tawzî‘. al-Qaradhâwî, Yûsuf. 1991. Fiqh al-Zakâh. Beirut: Muassasah al- Risâlah.

———-. 1993. Malâmih Al-Mujtama‘ al-Muslim alladhî Nansyu- duhû. Kairo: Maktabah Wahbah.

———. 1993. Syarî‘ah al-Islâm Shâlihah li al-Tathbîq fî kulli Zamân wa Makân. Kairo: Dâr al-Shahwah li al-Nasyr wa al- Tawzî‘.

———. 1995. Fî Fiqh Awlâwiyyât Dirâsah Jadîdah fî Dhaw’ al- Qur’ân wa al-Sunnah. Kairo: Maktabah Wahbah. ———-. 1997. Madkhal li Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyyah. Beirût: Mu’assasah al-Risâlah.

———. 1997. Min Fiqh al-Dawlah fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Syurûq.

287 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

———-. 1998. al-Fiqh al-Muyâsar al-Mu‘âsir. Kairo: Maktabah al- Wahbah.

———- . 1998. Fatâwâ Mu‘âshirah. Kuwait: Dâr al-Qalam. ———-. 1999. al-Islâm bayna al-Ashâlah wa al-Tajdîd. Kairo:

Maktabah Wahbah.

———-. 2000. “Nahwa Ushûl al-Fiqh al-Muyassarah.” Kulliyat al- Syarî‘ah. 14. Qatar.

———-. 2001. Fî Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimat Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ . Beirut: Dâr al-Syuruq.

———. 2002. Fiqh Minority. Terj. Muhammad Hanif Hassan. Kuala Lumpur: S.H. Noordeen. ———-. 2005. al-Siyâsiyyah al-Syar‘iyyah Fî Dhaw’ al-Nushûs al- Syarî‘ah wa Maqâshidihâ. Kairo: Maktabah Wahbah.

———. 2006. Dirâsah fî Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah Bayna al- Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûs al-Juz’iyyah. Beirût: Dâr al-Syurûq.

———. 2006. Kayfa Nata‘âmalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma‘âlim wa Dhawâbith. Virginia, Beirut: IIIT dan al- Dâr al-‘Arabiyya li al-‘Ulûm. al-Rawi, Ahmad. 2003. “Islam, Muslims, and Islamic Activity in Europe: Reality, Obstacles, and Hopes.” http://

www.islamonline.net/arabic/daawa/2003/12/ ARTICLE05A.SHTML.

al-Raysûnî, Ahmad. 1999. al-Fikr al-Maqâshidî Qawâ‘iduhu wa Fawâ’iduhû. Ribâth: Mathba’ah al-Najâh al-Jadîdah-al- Dâr al-Baydhâ’.

———. 2005. “al-Bahts fî Maqâshid al-Syâri’ah Nasy’atuhû wa Tathawwuruhû wa Mustaqbaluhû.” Makalah yang

288 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

disampaikan di seminar tentang Maqâshid al-Syarî’ah yang diadakan oleh Muassasah al-Furqân li al-Turâts di London. Tanggal 1-5 Maret.

———. 2005. Imam al-Syatibi’s Theory of Higher Objectives and Intents of Islamic Law. London, Washington: IIIT. al-Rifâ ‘î, ‘Abd. al-Jabbâr. 2001. al-Mashhad al-Thaqafî fî Irân Falsafah al-Fiqh wa Maqâshid al-Syarî’ah. Beirût: Dâr

al-Hâdi.

al-Sarakhsî, Abû Bakr ibn Ahmad ibn Abî Sahl. 1993. Ushûl al- Sarakhsî. Beirut, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.

al-Syâthibî, Abû Ishâq. 2000. Al-I‘tishâm. Beirût, Lubnân: Dâr al-Ma’rifah.

———. 2004. al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah. Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.

al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. 1387 H. al-Ashbâh wa al-Nadzâ’ir fî Furû‘ Fiqh al-Syâfi‘iyyah. Kairo: Mathba’ah Mushthafâ Bâbî al-

Halabî.

al-Thawîl, ‘Abd Allâh bin Ibrâhîm. 1425 H. Manhaj al-Taysîr al- Mu‘âshir Dirâsah Tahlîliyyah. Su’ûdiyyah: Dâr al- Fadlîlah.

al-Thûfî, Najm al-Dîn. 1410 H. Syarh Mukhtashar al-Rawdhah. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah. al-Turâbî, Hasan. 2002. “Tajdîd Ushûl al-Fiqh.” ‘Abd al-Jabbâr al- Rîfâ‘î (ed.). Maqâshid al-Syarî’ah Âfâq al-Tajdîd. Beirût,

Sûriyah: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir.

al- ‘Ûdlî, Ahmad. 2000. “I‘tibâr al-Mashlahah wa Silatuhâ bi Ma‘âyîr al-Taklîf fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî.” Arab Law Inf. 22 Mei. Bisa diakses di www.arablawinfo.com

289 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

al-‘Uthaymîn, Muhammad bin Shâlih. 2008. Syarh Riyâdh al- Shâlihîn li al-Imâm al-Nawawî. Beirût: al-Maktabah al- ’Ashriyyah.

al-Yûbî, Muhammad Sa‘d bin Ahmad Mas‘ûd. 1998. Maqâshid al- Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alâqatuhâ bi al-Adillah al- Syar‘iyyah. Beirût: Dâr al-Hijrah.

al-Zuhaylî, Wahbah. 1997. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû.

Damaskus: Dâr al-Fikr.

———. 1997. Konsep Darurat dalam Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

———. 2005. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî . Damsyiq: Dâr al-Fikr. ———. 2007. Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‘âshir. Sûriyah:

Dâr al-Fikr.

———. 2007. Nadzariyyat al-Dharûrat al-Syar‘iyyah Muqâranah ma‘a al-Qanûn al-Wadh‘î. Beirut, Dimasyqi: Dâr a-Fikr al-Mu’âshir, Dâr al-Fikr.

Ameli, Saied R., Beena Faridi, Karin Lindahl, dan Arzu Merali. “Law 7 British Muslims: Domination of the Majority or Process of Balance?” The Islamic Human Rights Commission, British Muslims’ Expectation Series. Vol. 5.

Anshary, Mohamed. “ The Future of Islam in North America The Central Importance of Education.” http://www. reading islam.com/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=

1153698300176& pagename=Zone-English-Discover_ Islam%2FDIELayout. Diakses tanggal 20 Maret 2009. Anspaha, Katrine. 2008. “The Integration of Islam in Europe: Preventing the Radicalization of Muslim diasporas and

Counterterrorism Policy.” Makalah ECPR Fourth Pan- European Conference on EU Politics, University of Latvia, Riga, Latvia. 27-27 September.

290 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Anwar, Muhammad dan Qadir Bakhsh. 2004. “State Policies Towards Muslims in Britain.” Muhammad Anwar, Jochen Blaschke, dan Åke Sander. State Policies Towards Muslim Minorities Sweden, Great Britain and Germany. Berlin: Edition Parabolis. Asad, Talal. 2006. “Europe Against Islam: Islam in Europe.”

Ibrahim Abu-Rabi’ (ed.). The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought. Malden, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing.

‘Athiyyah, Jamâl al-Dîn. 2001. Nahwa Taf‘îl Maqâshid al-Syarî’ah.

‘Amman: Al-Ma‘had al-’Alamî li al-Fikr al-Islâmi.

‘Attia, Gamal Eldin. 2007. Towards Realization of the Higher Intents of Islamic Law Maqâshid al-Syarîah: A Fuctional Approach. London, Washington: IIIT.

Auda, Jasser. 2008. Maqâshid al-Syarî’ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach. London, Washington: IIT.

‘Awdah, ‘Abd al-Qâdir. 2005. Al-Tasyrî‘ al-Jinâ’î fî al-Islâm.

Lubnân, Beirût: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Bagby, Ihsan A. 2005. “Imams and Mosque Organization in the United States: A Study of Mosque Leadership and Organi- zational Structure in American Mosques.” Philippa Strum (ed.). Muslims in the United States: Identity, Influence, Innovation. Washington: Woodrow Wilson International Center for Scholars.

Ballock, Jr, Hubert M. 1967. Toward A Theory of Minority-Group Relation. New York: Capricorn Books. Bara, Zeyno. 2008. “The Muslim Brotherhood’s US Network.” Current Trend in Islamist Ideology. Vol. 6. Hudson

291 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Institute, Center on Islam, Democracy, and the Future of Modern World.

Berggren, D. Jason. 2004. “More than the Umma: An Exploratory Study of Muslim Identities.” Makalah dipresentasikan dalam The AMSS 33rd Annual Conference di George Mason University Arlington Campus–Virginia pada

tanggal 24 - 26 September.

Bin Bayyah, ‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfuz. 2006. ‘Alâqah Maqâshid al-Syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh. Kairo: al-Furqân Islamic Heritage Foundation, MRC.

———. 2007. Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât. Lubnân, Bairût: Dâr al-Minhâj.

Bin Hamîd, Shâlih. 1412 H. Raf‘ al-Haraj fî al-Fiqh al-Islâmî. Dâr al-Istiqâmah. Bin Mandzûr, Abû al-Fadhl Muhammad bin Mukrim. 1300 H. Lisân

al-‘Arâb. Beirût: Dâr Shâdir.

Bin Rabî‘ah, ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Abd al-Rahmân bin ‘Alî. 2002. ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’. Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al- Wathaniyyah.

Bin ‘Umar, ‘ Umar bin Shâlih. 2003. Maqâshid al-Syarî’ah ‘inda al-Imâm al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm. Urdun: Dâr al-Nafâ’is li al-Nashr wa al-Tawzî‘. Bisin, Alberto, Eleonora Patacchini, Thierry Verdier, dan Yves

Zenou. 2007. “Áre Muslim Immigrants Different in Term of Cultural Integration?” Makalah pada The Institute for the Study of Labor (IZA) di Bonn, Jerman. Agustus.

Blackstone, Laureve. 2005. “Courting Islam: Practical Alterna-

tives to A Muslim Family Court in Ontario. Brook Journal of International Law. Vol. 31. No. 1.

292 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Boender, Welmoet. 2003 & 2006. “Islamic Law and Muslim Minorities.” ISIM NEWSLETTER. No. 12. Juni. AMSSUK NEWSLETTER. No. 7.

Bonne, Karijn, Iris Vermeir, Florence Bergeaud-Blackler, Wim Verbeke. 2007. “Determinants of halal meat consump- tion in France.” British Food Journal. Vol. 109. No. 5.

Boullata, Issa J. 2001. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran

Arab Islam. Yogyakarta: LKiS.

Bradford, Jesse William. 2008. “American/Muslims: Reactive Solidarity, Identity Politics, and Social Identity Forma- tion in the Aftermath of September 11th”. Disertasi pada Harvard University, Boston.

Brown, L. Carl. 2000. Religion and State: The Muslim Approach to Politics New York: Columbia University Press. Bullons, Stephen, dkk (eds.). 1996. Collins Build Learner’s Dictio-

nary. London: Harper Collins Publishers.

Buqlaqûlah, ‘Âsyûr. “al-Imâm Yûsuf al-Qaradlâwî Faqâh al- Mufakkirîn wa Mufakkir al-Fuqahâ’ Nadzrât fî Fiqhihî al- Maqâshidi.” Makalah Universitas Adrâr, Aljazair.

Buskens, Léon. 2000. “An Islamic Triangle Changing Relation- ships between Syari’a, State Law, and Local Customs.” ISIM NEWSLETTER. No. 5. Byng, Michelle D. 2008. “Complex Inequalities The Clash of

Muslim Americans After 9/11.” American Behavioral Scientists. Vol. 51. No. 5. Januari. Caeiro, Alexandre. 2005. “An Imam in France Tareq Oubrou.” ISIM NEWSLETTER. No. 15. Spring.

293 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Cesari, Jocelyn, Hunter, Shireen T (ed.). 2002. Islam in Europe and in the United States, A Comparative Perspective. Center for Strategic and International Studies, Washing- ton DC.

Coulson, N. J. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Cox, Caroline dan John Marks. 2003. The ‘West’, Islam, and

Islamism is Ideological Islam Compatible with Liberal Democracy?. London: Civitas, Insitute for the Study of Civil Society.

Dreher, Rod. 2008. “Reporting the Muslim Brotherhood.” Current Trend in Islamist Ideology. Vol. 6. Hudson Institute, Center on Islam, Democracy, and the Future of Modern World.

El Fadl, Khaled Abou. 1994. “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities from the Second/Eight to the Elevent/Seventeenth Centuries.”

Islamic Law and Society. Vol. 1. No. 2.

———. 1998. “Setting Priorities.” The Minaret. April.

———. 2000. “Striking a Balance: Islamic Legal Discourse on Muslim Minorities.” John L. Esposito dan Yvonn Yazbeck Haddad (eds.). Muslims on the Americanization Path?. New York: Oxford University Press. 2000.

———. 2001. Speeking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld. El-Kacimi, Said. 2008. “Identity and Social Integration: Explora-

tory Study of Muslim Immigrants in the United States.” Disertasi pada Claremont Graduate University dan San Diego State University.

294 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Esposito, John L. 2000. “Introduction.” John L. Esposito dan Yvonn Yazbeck Haddad (eds.). Muslims on the America- nization Path?. New York: Oxford University Press. 2000.

Essack, Farid. 2002. On Being Muslim. Oxford: Oneworld Publi- cation. Fishman. “Ideological Islam in the United States: “Ijtihad” in the Thought of Dr. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî.” The Project for

Research of Islamist Movements (PRISM). www.e- prim.com

———. 2006. Fiqh al-Aqalliyyat: A Legal Theory for Muslim Minorities. Hudson Institute: Research Monograph on the Muslim World. Series No. 1. Paper No. 2. October.

Fox, Jonathan. 2000. “Religious Causes of Discrimination against Ethno-Religious Minorities.” International Studies Quarterly. Vol. 44.

Fradkin, Hillel. 2004. “America in Islam.” The Public Interest. Spring.

Freeland, Richard. 2001. “The Islamic Institution of Mahr and American Law.” Across Borders: The Gonzaga Journal of International Law. Dapat diakses di http:// www.across-borders.com

Geaves, Ron dan Theodore Gabriel. 2004. “Introduction to Islam and the West post 9/11.” Ron Geaves, Theodore Gabriel, Yvonne Haddad, dan Jane Idleman Smith (eds.). Islam and the West Post 9/11. London: Ashgate. Ghayur, M. Arif. 1981. “Muslims in the United States: Settles and

Visitors.” Annals of the American Academy of Political and Social Sciences. Vol. 454. Maret.

295 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Godard, Bernard. 2007. “Official Recognition of Islam.” Samir Amghar et.al (eds.). European Islam Challenges for Public Policy and Society. Brussels: Centre for European Policy Studies.

Habîb, Muhammad Bakr Ismâ’îl. 1427 H. Maqâshid al-Syarî’ah Ta’shîlan wa Taf‘îlan. Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî,

Silsilah Da‘wah al-Haq. No. 213.

Hanafî, Hassan. 2005. Min al-Nash ilâ al-Wâqi‘ Bunyah al-Nash. Libya: Dâr al-Midâr al-Islâmi.

Harrân , Tâj al-Sirr Ahmad. 2007. Hadhir al-‘Âlam al-Islâmî. Riyâdh: Maktabah al-Rusyd.

Husayn, Muhammad. 2005. “Al-Tandzîr al-Maqâshidî ‘inda al- Imâm Muhammad al-Thâhir Ibn ‘Âsyûr fî Kitâbihî Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah.” Disertasi pada Fakultas al-Ulûm al-Islâmiyyah, Universitas al-Jazâ’ir.

Haddad, Yvonne Yazbeck and Jane I. Smith. 2002. “Introduc- tion.” Yvonne Yazbeck Haddad and Jane Idelman-Smith (eds.). Muslim Minorities in the West Visible and Invisi-

ble. Walnut Creek, California: Atamira Press.

Hallaq, Wael B. 1984. “Was the Gate of Ijtihad Closed?” Inter- national Journal of Middle East Studies. 16.

———. 1997. A History of Islamic Legal Theories, An Introduc- tion to the Sunnî Ushûl al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.

———. 2001. “From Regional to Personal Schools of Law? A Reevaluation.” Islamic Law and Society. Vol. 8. No. 1.

Hammond, Phillip E. 1988. “Religion and the Persistence of

Identity.” Journal for the Scientific Study of Religion. Vol. 27. No. 1.

296 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Hersi, Rahma. 2009. “A Value Oriented Legal Theory for Muslim Countries in the 21st Century: A Comparative Study of Both Islamic Law and Common Law Systems.” Cornell Law School Graduate Student Papers Series. No. 29.

Hewer, Chris. 2001. “Schools for Muslims.” Oxford Review of Education. Vol. 27. No. 4.

Hoebink, Michel. 1994. Two Half of the Same Truth: Schacht,

Hallaq, and the Gate of Ijtihad. Amsterdam: Middle East Research Associates.

Holsti, Ole R. 1969. Content Analysis for Social Sciences and Humanities. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.

http://en.wikipedia.org/wiki/First_Amendment_to_ the_United_States_Constitution. http://www.e-cfr.org/en/ECFR.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei

2009.

http://www.e-cfr.org/en/index.php?ArticleID=305, diakses tanggal 11 Mei 2009.

http://www.fiqhcouncil.org/AboutUs/tabid/175/Default.aspx, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

Huntington, Samuel. 1993. “The Clash of Civilization.” Foreign Affairs. Vol. 72. No. 3. Ibn ‘Âsyûr, Muhammad Thâhir. 2001. Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah. ‘Ammân, Yordania: Dâr al-Nafâ’is.

IDSS. 2006. “Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies.” Laporan Seminar yang diadakan di Marina Mandarin Singapore tanggal 7-8 Maret.

297 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Iqbal, Sir Muhammad. 1962. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore, Pakistan.

‘Izz al-Dîn, Bin Sughaybah. 1996. al-Maqâshid al-‘Âmmah li al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah. Cairo: Dâr al-S{afwah.

al-Haq, Jâd al-Haq ‘Alî Jâd. 1995. Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa Tathaw- wuruhu. Qâhirah: Mathba‘ah al-Mushhaf al-Syarîf bi al-

Azhar.

Jâbir, Hasan Muhammad. 2001. al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al- Ijtihâd al-Mu‘âshir. Beirût: Dâr al-Hiwâr.

Jackson, Sherman. 1996. A. Islamic Law and The State: The Constitutional Jurisprudence of Shihab al-Din al-Qarafi. Leiden: E. J. Brill.

———. 1999. “The Alchemy of Domination: Some Asy’arite Responses to Mu’tazilite Response.” The International

Jourbal of Middle East Studies. No. 31.

———. 2006. “Literalisme, Empiricism, and Induction: Apprehend- ing and Concretizig Islamic Law’s Maqâsid al-Syarî’ah in the Modern World.” Michigan State Law Review. Vol. 1469.

Jusic, Asim. “Economic Analysis of the Legal Regulation of Religion in the US and Germany.” Makalah pada Central Euro- pean University. Dapat diakses di www.papers.ssrn.com/ sol3/Delivery.cfm/SSRN_ID1031680_ code693708. pdf?abstractid=1031680&mirid=1 Kamali, M. Hashim. 1996. “Issues in Understanding Jihad and

Ijtihad.” Islamic Studies Vol. 41. No. 4.

———. tt. “Issues in the Legal Theory of Ushûl and Prospects for Reform.” Ahmad Ibrahim Kulliyah of Laws International Islamic University Malaysia.

298 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

———. 2008. Syari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld.

Kavakci, Yusuf Z. 2008. “Fiqh Is Life, and Life is Islam.” Islamic Horizons. Vol. 37. No. 1 Januari/Februari. Keeter, Scott dan Andrew Kohut. 2005. “American Public Opinion

about Muslims in the U.S. and Abroad.” Philippa Strum (ed.). Muslims in the United States: Identity, Influence, Innovation. Washington: Woodrow Wilson International

Center for Scholars.

Keller, Nuh Ha Mim. “Which of the Four Orthodox Madhhabs Has the Most Developed Fiqh for Muslims Living as Mino- rities?” http://www.masud.co.uk/ISLAM/nuh/fiqh.htm. Akses tanggal 23 Mei 2009.

Kettani, M. Ali. Muslim Minorities in the World Today. Terjemah oleh Zarkowi Suyuti dengan judul Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005.

Khan, Asif K. 2004. The Fiqh of Minorities—The New Fiqh to Subvert Islam. London: Khilafah Publications.

Khan, M. Muqtedar. 1998. “Muslims and Identity Politics in America.” Yvonne Yazbeck Haddad and John Esposito (eds.). Muslims on the Americanization Path. New York, NY: Oxford University Press.

———. 2008. American Muslims and the 2008 Presidential Elec- tion Policy Recommendation. Michigan: Institute for Social Policy and Understanding.

Khan, Zafar. 2000. “Muslim Presence in Europe: The British Dimension—Identity, Integration, and Community

Activism.” Current Sociology. Vol. 48. No. 4.

Knafla, Louis A. dan Susan W.S Binnie. 1995. “Beyond the State: Law and Legal Pluralism in the Making of Modern

299 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Societies.” Louis A. Knafla dan Susan W. S. Binnie (eds.). Law, Society, and the State Essays in Modern Legal History. Toronto, Buffalo, London: University of Toronto Press.

Koenig, Mathias. 2005. Incorporating Muslim Migrants in Western Nation States–A Comparison of the United

Kingdom, France, and Germany.” Journal of Inter- national Migration and Integration. Vol. 6. No. 2. Koopmans, Ruud dan Paul Statham. 1999. “Challenging the Liberal Nation-State? Postnationalism, Multiculturalism, and the

Collective Claims Making of Migrants and Ethnic Mino- rities in Britain and Germany.” The American Journal of Sociology. Vol. 105. No. 3. November.

Kukathas, Chandran. 1995. “Are There Any Cultural Right?” Will Kymlica (ed.). The Rights of Minority Cultures 228.

Leiken, Robert S. 2005. “Europe’s Mujahideen: Where Mass Immigration Meets Global Terrorism.” Center for

Immigration Studies. Backgrounder. April.

Leonard, Karen. 2002. “American Muslim Politics.” Ethnicities. Vol. 3. No. 2.

Leonard, Karen. 2005. “American Muslims and Authority: Competing Discourse in a Non-Muslim State.” Journal of American Ethnic History. Fall.

Levy, Jacob T. 1997. “Classifyying Cultural Rights.” Ian Shapiro dan Will Kymlicka (eds.). Ethnicity and Group Rights. New York, London: New York University Press.

Lewis, Bernard. 1993. Islam and the West. New York, Oxford: Oxford University Press.

300 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Lewis, P. 1994. Islamic Britain—Religion, Politics, and Identity among British Muslims. London: I. B. Tauris.

Loobuyck, Patrick. 2005. “Liberal Multiculturalism A Defence of Liberal Multicultural Measures without Minority Rights.” Ethnicities. Vol. 5. No. 1. Makhdûm, Musthafâ Bin Karamat Allâh. 1999. Qawâ‘id al-Masâ’il fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah. Riyad: Dâr Ashbilyah.

Malik, Maleiha. 2003. “Accomodating Muslims in Europe Oppor- tunities for Minority Fiqh.” ISIM NEWSLETTER. No. 13, Desember.

March, Andrew F. “Sources of Moral Obligation to Non-Muslims in the Fiqh al-Aqalliyyat (Jurisprudence of Muslim Mino- rities) Discourse.” Islamic Law and Law of the Muslim World Reseach Paper Series at New York Law School. No. 08-48. Makalah ini bisa diunduh di http://ssrn.com/ abstract=[1264272]. Mas’ud, Muhammad Khalid. 2002. “Islamic Law and Muslim Minorities.” ISIM Review. No. 11.

Miller, Kathryn A. 2000. “Muslim Minorities and the Obligation to Emigrate to Islamic Territory: Two Fatwas from Fifteen-Century Granada.” Islamic Law and Society. Vol. 7. No. 2.

Moore, Kathleen M. 2007. “Muslim in the United States: Plural- ism under Certain Circumstances.” Annals of The America Academy of Political and Social Sciences. Vol. 612. Juli.

Mostafa, Gamal M. 2007. “Correcting the Image of Islam and Muslims in the West: Challenges and Opportunities for

301 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Islamic Universities and Orgainizations.” Journal of Muslim Minority Affairs. Vol. 27. No. 3, Desember.

Muhammad ‘Âsyûrî. 2008. “Al-Tarjîh al-Maqâshidî Dhawâbiduhû wa Athâruhû al-Fiqhî.” Tesis Master (S2) pada Univeritas al-Hâh Lahdlar, Batnah, Aljazaer. Muhammad, ‘Alî Jum’ah. 1996. ‘Ilm Ushûl al-Fiqh wa ‘Alâqatuhû bi al-Falsafat al-Islâmiyyah. Herdon, Virginia: IIIT.

Niebuhr, Gustav. 2007. “All Need Toleration: Some Observations about Recent Differences in the Experiences of Religious Minorities in the United States and Western Europe.” 2007. Annals of The America Academy of Political and Social Sciences. Vol. 612.

Nielsen, Jørgen. 2004. Muslims in Western Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press. Omid Safi (ed.). 2003. “Introduction.” Progressive Muslims: On

Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld.

Open Society Institute. 2002. “The Situation of Muslims in the UK.” Monitoring the UE Accession Process: Minority Protection.

Opwis, Felicitas. 2005. “Maslaha in Contemporary Iskamic Legal Theory.” Islamic Law and Society. Vol. 12. No. 2.

Pew Research Center. 2007. Muslim Americans Middle Class and Mostly Mainstream. 22 Mei. Bisa diakses di situs resmi

Pew Research Center www.pewresearch.org.

Piscatori, James. 2006. “Reinventing the Ummah? The Trans- Locality of Pan-Islam.” Ceramah Ilmiah HUT ke-10 Conferensi “Translocality: An Approach to Globalising

Phenomena” di Zentrum Moderner Orient, Berlin. 26 September.

302 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Principia Cybernetika Web. “Systems Analysis.” http://pespmc1. vub.ac.be/ ASC/System_analy.html. Akses tanggal 21 Agustus 2009.

Punetha, Deepa, Howard Giles, dan Louis Young. 1987. “Ethnicity and Immigrant Values: Religion and Language Choice.” Journal of Language and Social Psychology. Vol. 6. No.

3 dan 4.

Rahman, Fazlur. 1984. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago & London: Chicago University Press.

Ramadan, Tariq. 2002. To Be A European Muslim. Leicester: Islamic Foundation.

———. 2004. Western Muslims and the Future of Islam. New York: Oxford University Press. Rehman, Javaid. 2007. “ Islam, “War on Terror” and the Future

of Muslim Minorities in the United Kingdom: Dilemmas of Multiculturalism in the Aftermath of the London Bombings.” Human Rights Quarterly. No. 29.

Reinhart, A. Kevin. 2001. “Islamic Law as Islamic Ethics.” The Journal of Religious Ethics.

Rodison, Maxime. 1987. Europe and the Mystique of Europe. London: I. B. Tauris. Rohe, Mathias. 2004. “The Formation of a European Syari’a.” Malik

(ed.). Muslims in Europe–From Margin to Center. Erlangen: Münster. Saeed, Abdullah. 2004. Muslims Australians, Their Beliefs, Practices, ad Institutions. Canberra: Commonwealth of

Australia.

303 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

———. 2006. Islamic Thought An Introduction. London and New York: Routledge.

Safi, Omid (ed.). 2003. “Introduction.” Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld.

Said, Edward W. 1995. Orientalism. Harmondsworth: Penguin.

Savage, Timothy M. 2004. “Europe and Islam: Crescent Waxing, Cultures Clashing.” The Washington Quarterly. Vol. 27. No. 3.

Schacht, Joseph. 1964. An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press

Shafiq, Munir. 2001. “Minorities in the Muslim World and in the West.” Abdelwabab El-Affendi (ed.). Rethinking Islam

and Modernity Essays in Honour of Fathi Osman. London: The Islamic Foundation.

Syahrûr, Muhammad. 1994. Dirâsah Islâmiyyah Mu‘âshirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama‘. Dimasyqi: al-Ahâlî li al-

Thabâ’ah, al-Nashr wa al-Tawzî‘.

Syams al-Dîn, Muhammad Mahdi. et.al. 2002. Maqâshid al- Syarî’ah. Beirût dan Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir. Silvestri, Sara. 2007. “Europe and Political Islam: Encounters of

the 20’th dan 21’st Century.” Tahir Abbas (ed.). Islamic Political Radicalism: A European Comparative Perspec- tive. Edinburg: Edinburgh University Press.

———. 2005. “EU Relations with Islam in the Context of the EMP’s

Cultural Dialogue.” Mediterranean Politics. Vol. 10. No. 3. November.

———. 2007. “Muslim Institutions and Political Mobilization.” Samir Amghar et. al (eds.). European Islam Challenges

304 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

for Public Policy and Society. Brussels: Centre for Euro- pean Policy Studies.

Sinclair, John. 1996. Collins Cobuild Learner’s Dictionary. London: Harper Collins Publishers.

Smock, David R. “Ijtihad: Reinterpreting Islamic Principles for Twenty first Century.” Special Report 125. United States Institute of Peace, Washington D.C. Bisa diakses di http:/

/www.usip.org.

Statam, Paul, Ruud Koopmans, Marco Giugni, dan Florence Passi. 2005. “Resilent or Adaptable Islam? Multiculturalism, Religion, and Migrants’ Claims-Making for Group Demands in Britain, the Netherlands and France.” Ethnicities. Vol. 4. No. 4.

Strabac, Zan dan Ola Listhaug. 2008. “Anti-Muslim Prejudice in Europe: A Multilevel Analysis of Survey Data from 30 Countries.” Social Science Research. No. 37. Sultan, Salah. “Methodological Regulations for the Fiqh of Muslim Minorities.” www.salahsoltan.com/main/index.php?id

=16,64,0,0,1,0.

Tatari, Eren. 2009. “Theories of the State Accommodation of Islamic Religious Practices in Western Europe.” Journal of Ethnic and Migration Studies. Vol. 35. No. 2. Februari.

Trust, Runnymede. 2007. Islamophobia: A Challenge for Us All. London: Runnymede Trust. http://www.enaro.eu/dsip/ download/eu-Common-Basic-Principles.pdf. Akses tanggal 22 Maret 2009.

Tubuniak, Muhammad Sulaiman. 1997. Al-Ahkâm al-Siyâsiyyah li al-Aqalliyyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmî. Lebanon: Dâr an-Nafâ’is.

305 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Warner, R. Stephen. 1993. “Work in Progress Toward a New Paradigm for the Sociological Study of Religion in the United States.” The American Journal of Sociology. Vol. 98. No. 5.

Weiss, Bernard G. 1998. The Spirit of Islamic Law. Athen and London: Georgia University Press.

Weller, Paul. 2006. “Addressing Religious Discrimination and

Islamophobia: Muslims and Liberal Democracies, the Case of the United Kingdom.” Journal of Islamic Studies. Vol. 17. No. 3.

WLUML Publication. http://www.wluml.org/english/pubsfulltxt. shtml?cmd[87]=i-87-531767. Akses tanggal 22 Mei 2009.

Wright, Jr, Theodhore P. 2003. “Pressure on Muslim Minority in India.” Mumtaz Ahmad dan Mustansir Mir. Studies in Contemporary Islam. No. 5. www.e-cfr.org

www.fiqhcouncil.org

www.prisma.com www.salahsoltan.com/main/index.php?id=16,64,0,0,1,0. Akses

tanggal 8 Mei 2008.

Yilmaz, Ihsan. 2000. “Muslim Law in Britain: Reflections in the Socio-Legal Sphere and Differential Legal Treatment.” Journal of Muslim Minority Affairs. Vol. 20.

Young, Laurence A. (ed.). 1997. Rational Choice Theory and Religion Summary and Assessment. New York: Routlegde.

306 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Daftar Pustaka

Zahraa, Mahdi. 2003. “Unique Islamic Law Methodology and the Validity of Modern Legal and Social Science Research Methods for Islamic Research.” Arab Law Quarterly. Vol. 18. No. 3/4.

Zayd, Musthafâ. tt. Nadzâriyyat al-Mashlahah fî al-Syarî‘ah al- Islâmiyyah wa Najm al-Dîn al-Thûfî. Beirût: Dâr al-Fikr

al-Islâmî.

Zuhaylî, Muhammad. 2006. al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah wa Tathbîquhâ fî al-Madzâhib al-Arba‘ah. Damsyiq: Dâr al- Fikr.

307 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

INDEKS

SymbolsSymbolsSymbols Abû Bakr Ibn ‘Arabî 192 Abu Hanîfah 124 7/7 di London 71 acculturation 17 Afrika 7, 8, 44, 48, 49, 51, AAA 52, 55, 59, 67, 84, 87, ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthallib 90, 195 164 Ahli Kitab 154, 156, 169 Ahmad al-Raysûnî 26, 27, 134, ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah 1, 20, 163 Abdul Aziz Sachedina 85 179, 189, 208, 210, 218, ‘Abdul Hamid Abû Sulaymân 219, 220, 267, 268, 272, 204, 205 284 Abdul Wahab al Kebsi 85 Ahmed al-Rahim 85 Abdullah Saeed 4, 6, 21, 22, al-‘Âdah Muhakkamah 149 24, 25, 32, 206, 207, 246 al-Asnawî 119, 285 Abdurrahmân Ibrâhîm Al-Kîlâni Al-Bannânî 180 213 al-Dardîr 152 aborsi 147 al-Farrâ’ 165, 166, 285 Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin al-Fiqh al-Akbar 124, 276, 278 al-fiqh al-siyâsî (fiqh politik) 3 ‘Alî al-Turmudzî 190 Abû al-Hasan al-‘Âmirî 191 al-Ghazâlî 132, 166, 180, 181, Abû Bakr al-Abhârî 198 186, 187, 190, 191, 192, Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâshî 193, 197, 198, 199, 263, 134, 190 273, 274, 285 Abû Bakr bin al-Thayyib al- al-Haffâr 112 Bâqilanî 199 Al-Hasanî 197

309 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

al-Hattâb 152 Albania 17, 51 al-‘Izz bin ‘Abd al-Salâm 180, ‘Alî Jum‘ah Muhammad 222

181, 183, 209, 225, 292 ‘Allâl al-Fâsi 197 al-kulliyyât al-khams 142, 233, American Muslim Alliance 234, 235 (AMA) 84 al-maqâshid al-syar‘iyyah al- American Muslim Council ‘ulyâ 134 (AMC) 84 al-mashâlih 121 American Muslim Task Force 80 al-Mâturidî 177 American Zaytuna Institute 128 al-Mâwardî 165, 286 Anas Al Syaikh-Ali 132 al-Mîsâwî 187, 197, 198, 287 Arif Ghayur 50, 51, 53 al-mursalah 121 Asif K. Khan 34, 107, 238 al-Mustaghrabûn 103 Asma Asfarrudin 85 al-Muwâfaqât 110, 150, 177, asrâr al-syarî‘ah 2, 133 178, 181, 184, 188, 193, assimilation 17, 65, 66 209, 210, 211, 213, 219, Asy‘ariyah 177 229, 289 ‘Azâm al-Tamîmî 95 al-Muzânî 145 Azerbaijan 44 al-Nadzr ilâ al-Ma’âlât 150 al-Qâbisî 152 BBB

al-qâdhî 152, 257, 265, 280 bin Bayyah al-qawâ‘id al-maqâshidiyyah 33, 95, 120, 201, 256 212 Britannica Book of the Year 8 al-Saifi 32, 33 bunga bank 10, 96, 159 al-Samarqandî 180 Al-Suyûthî 149 CCC al-Syâthibî 110, 144, 145, 150, Caroline Cox 41, 47 151, 177, 178, 180, 181, 182, 184, 185, 186, 187, “chain migration” 68 188, 189, 190, 193, 194, Charter of Fundamental Rights 195, 197, 199, 209, 210, 100 211, 212, 213, 217, 221, Chicago University 204, 303 226, 229, 255, 286, 289 Cina 7, 42, 43, 44, 47, 121 al-Syawkânî 145 circular development theory 278 al-taysîr wa raf‘ al-haraj civic assimilationist 65, 66 145, 258, 280 Cordova University 116, 246 al-Zarqânî 152 Council on American Islamic Re-

‘âlamiyyat al-Islâm (universalitas lation (CAIR) 84 Islam) 113

310 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Indeks

DDD Estevanico 51 ethno-cultural exclusionist 65 Damaskus 1, 195, 201, 274, European Council for Fatwa and 290, 304 Research 11, 29 dâr al-da‘wah 93 evolusi maqâshid al-syarî’ah 189 dâr al-harb 6, 21, 40, 92, 93, 112, 113, 128, 260, 276 dâr al-ijâbah 93 FFF dâr al-Islâm 1, 6, 19, 20, 21, Fakhr al-Dîn al-Râzî 93, 192, 40, 92, 93, 112, 113, 114, 199

162, 163, 165, 211, 260, falsafat al-tasyrî‘ 16 276, 296 Farid Essack 23 darûriyyât 182 fath al-dharâ’i‘ 27, 229 “democratic deficit” 75 Fazlur Rahman 204 demokrasi 76, 80, 81, 207 FCNA 11, 19, 29, 30, 33, 102, dikotomi Barat-Timur 47 105, 106, 107, 116, 117, 152, 154, 160, 167, 173, EEE 202, 255, 263 filsafat hukum Islam 24, 30, 188 e-commerce 148, 236 fiqh al-aqalliyyât 4, 5, 10, 11, ECFR 11, 29, 30, 33, 34, 94, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 95, 96, 102, 103, 104, 18, 19, 21, 23, 24, 25, 105, 107, 119, 120, 143, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 147, 148, 152, 153, 154, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 155, 156, 158, 159, 160, 43, 96, 103, 107, 108, 164, 166, 167, 172, 173, 109, 115, 116, 117, 119, 255, 259, 263, 297 120, 121, 122, 123, 124, Edward W. Said 46, 47, 72 126, 128, 129, 130, 132, egalitarianisme liberal 45 134, 136, 137, 138, 139, elastisitas hukum Islam 2, 15, 140, 141, 142, 143, 144, 207 145, 152, 154, 162, 165, empat madzhab hukum Islam 173, 238, 241, 242, 245, 105 247, 249, 250, 252, 255, Eren Tatari 96, 97 256, 257, 259, 261, 263, Eropa 3, 7, 8, 11, 17, 42, 43, 265, 266, 269, 275, 276, 44, 47, 48, 49, 51, 55, 277, 278, 279, 280, 281 63, 64, 65, 67, 70, 71, fiqh al-nawâzil 126, 236, 238, 72, 73, 75, 77, 82, 86, 242, 277 87, 96, 100, 104, 105, fiqh al-nushûsh 134 108, 120, 153, 166, 246 fiqh al-siyâr (fiqh diplomatik) 92

311 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

fiqh al-siyâsah 165 HHH fiqh al-taysîr 137, 142, 216, hâjiyyât 182, 192, 219, 248 238, 245 hak-hak asasi manusia 45, 81, fiqh al-wâqi‘ 139 129, 198, 279 Fiqh Council of America (FCA) 84 hak-hak minoritas 45, 81, 98 Fiqh Council of North America Hanâbilah 88, 112, 114, 158 11, 29, 33, 106, 116 Hanbalî 114, 177 fiqh geografis 268, 272, 280 Hasan al-Turâbî 222, 223 fiqh ideologis 268, 272, 280 Hassan Hanafî 211 fiqh kawasan 277 Hillel 55, 59, 60, 76, 83, 84, fiqh klasik 19, 25, 29, 41, 91, 295 92, 109, 111, 114, 115, hiyal 244 117, 119, 124, 126, 130, Hizbut Tahrir 12, 34, 80, 238 131, 132, 135, 136, 137, Hubert M. Ballock, Jr 17 142, 152, 165, 166, 170, hukum ‘amaliyyah 179 202, 211, 215, 219, 225, hukum keluarga 88, 96, 168, 230, 233, 236, 242, 260, 170, 183, 196, 211, 276 266 hukum-hukum Tuhan 12 fiqh minoritas 4, 10, 11, 14, Hungaria 63 21, 24, 25, 26, 34, 106, Hussein Haqqani 85 122, 132, 264 fiqh muwassa’ 148 III formasi madzhab 2, 125 Francis Fukuyama 75 ibdâ’î insyâ’î 138 Fuqahâ 252, 267, 293 Ibn al-Hâjib 180 Ibn Hazm 112, 164, 264

GGG Ibn Qayyim 133, 163, 170, 171, 172, 184, 192, 199, 218, Gabriel 47, 48, 295 229, 286 Gamal Eldin Attia 27, 28, 35, Ibn Qayyim al-Jawziyyah 133, 220, 221 163, 171, 184, 192, 199, Geaves 47, 48, 295 218, 229 George W. Bush 80, 99 Ibn Rusyd 146, 192 gerakan fundamentalis 12 Ibn Taymiyyah 151, 156, 172, Ghana 44 192, 199 global ethics 199, 281 Ideological theories (teori ideolo- Granada 41, 112, 301 gis) 97 Green Card 52 IIIT (International Institute of Gustav Niebuhr 49 Islamic Thought) 107

312 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Indeks

ijmâ‘ 121, 140, 181, 209, 226, Ingrid Mattson 202 261 Inkuisisi Spanyol 51

ijtihad 5, 10, 13, 14, 15, 19, institusi politik modern 75 22, 24, 25, 26, 27, 28, International Institute for Islamic 29, 30, 32, 36, 115, 124, Thought (IIIT) 84 126, 128, 130, 131, 132, Islam tradisional 4, 5, 22 136, 137, 138, 142, 144, Islamic Circle of North America 149, 153, 184, 189, 195, (ICNA) 83 201, 202, 203, 204, 206, Islamic legal theories 30 207, 208, 210, 211, 212, Istihsân 224, 227 213, 216, 217, 218, 219, Istinbâth 2, 126, 287 220, 221, 225, 226, 227, istinbâth al-ahkâm 16 229, 230, 233, 235, 236, istishhâb 141, 225, 229 237, 238, 245, 263, 264, istishlâh 141 265, 266, 268, 269, 271, isu-isu Islam internasional 78 280 Italia 63 ijtihâd maqâshidî 142 ‘Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm ‘illat 111, 139, 180, 185, 190, 192, 193, 199, 209, 210 209, 210, 218, 220, 224, 226, 248, 256, 266 JJJ

Imâm Abû Hanîfah 18, 270, Jamâl al-Dîn ‘Athiyyah 42, 199, 276, 278 201, 208, 221, 223, 258 Imâm Abû Ishaq al-Syâthibî 181 Jane I. Smith 8, 9, 296 Imâm al-Haramayn al-Juwaynî Jasser Auda 31, 35, 175, 177, 184, 199, 230 188, 189, 194, 201, 208, Imam al-Syâfi‘î 148, 247 212, 221, 223, 225 Imam Hassan Qazwani 202 Jerman 8, 10, 63, 65, 66, 69, Imam Mâlik 112, 164 70, 94, 155, 175, 292 imigran muslim di Barat 41, 103 John Marks 41, 47, 294 India 7, 16, 42, 43, 44, 67, Joseph Schacht 15, 270, 273, 68, 76, 87, 88, 121, 160, 274

284, 306 Journal of Muslim Minority Af- Indonesia 42, 78, 88, 155, 158 fairs 18, 47, 87, 88, 284, Inggris 8, 9, 17, 28, 30, 34, 302, 306 35, 36, 41, 42, 46, 49,

50, 63, 66, 67, 68, 69, KKK 70, 71, 73, 74, 77, 79,

81, 82, 85, 92, 93, 95, kafir harbî 170 96, 98, 100, 101, 102, kaidah-kaidah fiqh 138, 139, 104, 238, 260, 281 142, 233, 234, 266

313 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Kanada 8, 52, 106 67, 68, 71, 72, 77, 103, Kathryn Miller 112 107, 124, 134, 175, 180,

Keith Ellison 78 187, 188, 189, 197, 204, kelompok salafi 93 206, 238, 285, 289, 291, kemaslahatan 1, 5, 10, 14, 19, 293, 294, 295, 299, 300, 20, 23, 24, 26, 27, 28, 301, 303, 304, 305, 306 29, 30, 34, 91, 95, 108, Louis A. Knafla 23, 300 110, 117, 119, 126, 132, 133, 134, 137, 139, 141, MMM

143, 150, 151, 156, 160, M. Ali Kettani 7, 64 161, 164, 165, 166, 167, M. Hashim Kamali 125, 199, 169, 171, 172, 177, 180, 203, 204, 237 181, 182, 183, 184, 186, M. Khalid Mas’ud 116 191, 192, 197, 203, 208, M. Muqtedar Khan 32, 79, 80, 209, 210, 213, 214, 215, 81, 99, 167 218, 219, 220, 221, 226, madzhab Bashrah 270 227, 228, 229, 230, 231, madzhab Dzahirî 253 232, 233, 234, 235, 236, madzhab Hanafî 1, 234, 268 237, 238, 243, 244, 249, madzhab Hanafiyyah 112, 126, 254, 255, 256, 257, 258, 230

260, 261, 262, 263, 265, madzhab Imâm Abû Hanîfah 270 267, 268, 269, 270, 272, madzhab Imâm Ahmad bin 278, 279 Hanbal 270 Khaled Abou El Fadl 12, 15, 41, madzhab Imâm al-Syâfi‘î 270 90, 99, 113 madzhab Imâm Mâlik bin Anas Khâlid ‘Abd al-Qâdir 33 270 konsiderasi maqâshid al-syarî’ah madzhab Kufah 270 193 madzhab Madinah 270 kredit bank berbunga 160 madzhab Mâlikî 164, 228 Kymlicka 45, 46, 300 mafsadah 269 mahâsin 133, 191

LLL mahâsin al-syarî‘ah 2, 133 legal maxim 111, 142 Majlis Ulama Dunia 160 Lembaga Fatwa Kuwait 160 manhaj al-istinbâth 14, 266 liberalisme tradisional 45 maqâshid al-Syarî’ah 20, 35 lima kaidah pokok 142 maqâshid-based ijtihad 136, London 11, 16, 18, 20, 21, 208, 210, 212, 213, 216, 23, 25, 27, 28, 31, 34, 218, 219, 220, 221, 225, 35, 41, 42, 46, 48, 49, 226, 227, 229, 233, 235,

314 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Indeks

236, 237, 238, 245, 263, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 265, 269, 271 26, 28, 29, 31, 32, 33,

maqâshid-based jurisprudence 36, 40, 43, 44, 46, 48, 141 49, 52, 59, 60, 62, 63, Maroko 52, 78, 195, 197, 198 64, 65, 66, 68, 70, 71, mashlahah 23, 32, 34, 133, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 181, 187, 192, 193, 226, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 228, 237, 267, 268, 269 85, 86, 87, 88, 89, 91, mashlahah mursalah 32, 186, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 226, 228, 267, 268 100, 101, 102, 103, 104, masyarakat muslim 4, 8, 14, 107, 108, 109, 112, 114, 22, 29, 30, 42, 48, 50, 115, 117, 118, 119, 121, 54, 63, 64, 65, 68, 71, 122, 123, 124, 127, 128, 74, 76, 84, 85, 86, 89, 129, 130, 131, 132, 135, 91, 94, 96, 97, 102, 104, 136, 113, 138, 141, 145, 106, 115, 116, 123, 127, 148, 150, 152, 153, 154, 128, 131, 136, 137, 146, 155, 160, 161, 170, 171, 152, 153, 159, 202, 207, 173, 233, 236, 242, 247, 242, 259, 262, 264, 265, 250, 255, 257, 258, 260, 266, 271 261, 264, 272, 275, 276, Mathias Rohe 10, 17, 18, 34, 277, 278, 279 40, 94, 95, 105, 116 modernisasi 39 Maxime Rodinson 72 Mu‘âdz 169 mazjarah akhdh al-mâl 191 Mu‘âwiyyah 169 mazjarah hatk al-satr 191 Muhammad ‘Abduh 232 mazjarah khal‘ al-baydhah 191 Muhammad al-Âmidî 181 mazjarah qatl al-nafs 191 Muhammad Anwar 67, 70, 291 mazjarah thalb al-‘irdh 191 Muhammad Haniff Hassan 34 McGill University 204 Muhammad Rasyîd Ridhâ 160 metode epistemologi Qur’ânî 250 Muhammad Sulaymân metode induktif 194 Tubuniak 34 metode istiqrâ’ 209 Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr metode masâlik al-‘illah 209 110, 178, 182, 187, 287 metodologi istinbâth 127 mukallaf 110, 119, 123, 213, metodologi ushûl al-fiqh 132, 215, 216, 253 195, 258, 280 multicultural pluralist 65, 66 migrasi penduduk 39 multikulturalisme 45

minoritas muslim 4, 5, 7, 8, Muneer Fareed 202 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, mursalah 32, 121, 186, 226, 228, 265, 267, 268

315 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

Musfir bin ‘Alî bin Muhammad Nielsen 64, 302 al-Qahtânî 2 Nilai-nilai universal Islam 129

muslim Amerika 11, 19, 49, 53, 59, 62, 76, 80, 84, OOO 89, 99, 106, 117, 130, 167 Obama 80, 167 Muslim Association of Britain on-line banking 148 (MAB) 85 Open Society Institute 67, 68, Muslim Council of Britain (MCB) 69, 71, 102, 302 85 Organisasi Fiqh Islam 259

muslim di Amerika Serikat 59 otoritas teks 134, 215, 222, muslim fundamentalis 107 226, 246 muslim minoritas 9, 14, 26, 28, 30, 52, 74, 91, 93, PPP 94, 97, 102, 115, 116, Pakistan 42, 54, 67, 68, 76, 123, 128, 137, 159, 262 muslim progresif 21, 79, 107, 160, 203, 298 Palestina 51 201, 206 Muslim Student Association pasal 27 ICCPR 81 (MSA) 52 Patrick Loobuyck 45, 46 Musthafâ al-Zarqâ 160 PBB 45, 81 mu’tazilah 176 pemikir progresif modern Islam Muzammil Siddique 202, 203 12 Pemilu Amerika tahun 2008 167 NNN Perancis 8, 28, 63, 66, 70, 72, 100, 107, 108, 175 Najm al-Dîn al-Thûfî 192, 199, Perang Dunia II 47, 48, 51 234, 273, 307 Perang Salib 51 nash 1, 2, 31, 94, 108, 115, perkembangan maqâshid al-

127, 133, 137, 139, 141, syarî’ah 35, 36, 177, 178, 144, 181, 186, 190, 207, 186, 189, 192, 197, 198, 210, 214, 217, 226, 227, 199, 210, 255, 277 228, 237, 238, 243, 244, Pew Research Center 8, 50, 53, 249, 250, 253, 254, 258, 55, 60, 73, 89, 302 259, 260, 263, 264, 266, Polandia 51, 63 268, 278 problematika hukum Islam 25, negara Islam 1, 3, 4, 6, 14, 26, 32, 33, 36, 41, 87, 19, 25, 40, 41, 72, 92, 98, 115, 177, 233, 277 93, 95, 96, 103, 105, 111, 112, 114, 120, 122, 136, 162, 163, 206

316 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Indeks

QQQ syar‘ man qablanâ 141, 229 syari’at Islam 3, 92, 110, 131, Qadir Bakhsh 67, 68, 70, 291 133, 163, 231, 258, 260 Qamar al Huda 85 Syed Hussein Alatas 206 qawâ‘id al-fiqh 139, 142, 185, Syi’ah 176 186, 212, 221, 234 Syria 51 qawl al-shahâbî 141 qiyâs 121, 139, 141, 181, 226, 227, 228, 230 TTT qiyâs jâlî 227 tadwîn 273

qiyâs khafî 141, 227 Taghyîr al-Fatwâ bi Taghayyur al- Zamân 146 RRR Tahir Abbas 64, 67, 70, 71, 100, 304 radikalisme 72, 78 tahsîniyyât 182, 192, 219, 248 SSS Tâj al-Dîn al-Subkî 199 Tâj al-Sirr Ahmad Harrân 43 sadd al-dharâ’i‘ 32, 121, 141, tajdîd 131 186, 224, 226, 229, 243, taklîf 110, 145, 157, 215, 251 265, 267 talfîq 244 Salafi 25, 206 Tanzîl al-Hâjah Manzilat al-

Salah Sultan 34, 42, 43, 44, Dharûrah 147 113, 136, 137, 154 Tanzîl al-Jamâ‘ah Manzilat al- Samuel P. Huntington 72 Qâdhî 152 Sayf al-Dîn al-Âmidî 192, 199 taqlîd 125, 223, 271, 273, segregation 17 274, 275 Shammai Fishman 19, 32, 116, Tariq Ramadan 21, 25, 86, 87, 117 206, 247 Shihâb al-Dîn al-Qarâfî 192, 199 tarjîh maqâshidî 141, 142, 171, Shikh Muhammad Yacoubi 128 230, 231, 233, 235 Sir Muhammad Iqbal 203 tarjîhî intiqâ’î 138 SISS (School of Islamic Social Sci- tashawwur 237

ences) 116 tathbîq 237 Sohail Hashmi 85 tawhîd 123, 134, 248, 257, Spanyol 51, 63 270, 276, 278 Susan W.S Binnie 23, 299 tazkiyyah 134, 248, 257 Syâfi‘iyyah 3, 112, 234, 289 teori hukum Islam 30, 32, 92, Syaikh Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al-Haq 149, 188, 195, 203, 221, 125 223, 229, 261 Syaikh Muhammed Kabbani 85

317 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

teori-teori ushûl al-fiqh 16, 29, ulama ushûl 121, 132, 133, 139 140, 149, 183, 184, 222,

terorisme 52, 72, 78, 99, 106 225, 226, 229 terusan Suez 67 ulama’ ushûliyyûn 147 Thâhâ Jâbir al-'Alwânî 5, 10, ulama-ulama salaf 5 11, 18, 19, 25, 30, 32, Umar bin Khattab 146, 173 36, 93, 99, 102, 105, 106, ‘umrân 134, 248, 257 107, 113, 115, 116, 117, Uni Soviet 7 120, 123, 131, 132, 134, Universitas al-Azhar Mesir 116 135, 138, 143, 154, 167, ‘urf 32, 121, 149, 229, 259, 168, 172, 201, 202, 245, 263, 264, 270 246, 247, 248, 249, 250, ushûl al-fiqh 16, 24, 26, 29, 255, 256, 257, 277, 295 32, 92, 116, 121, 132, The Commission on British Mus- 139, 140, 141, 142, 185, lims and Islamophobia 76 186, 188, 192, 193, 195, the Islamist extremists 25 197, 202, 209, 211, 212, the legalist-traditionalist 24 219, 221, 222, 223, 224, the living law 149 225, 226, 229, 230, 233, the political Islamists 24 245, 247, 250, 258, 264, the progressive ijtihadists 25 265, 266, 267, 273, 279, the secular muslims 25 280 the theological puritans 24 ushûl al-fiqh al-maqâshidiyyah The Union of Muslim Organiza- 142 tions at UK (UMO) 85 Timur Tengah 41, 47, 48, 59, WWW 105, 116, 157, 201, 245, Wael B. Hallaq 15, 187, 271, 270, 271, 272, 274 273 Tragedi 11/9 71 Wahabi 84, 271 Turki 17, 51, 55, 88, 191 Wahbah al-Zuhaylî 94, 116, Turmudzî al-Hakîm 190, 198 157, 226, 227, 228, 229, 261, 262, 264

UUU WTC 11 September 2001 62 UK Federation of Student Islamic Societies 85 YYY UKACIA (UK Action Committee Yûsuf al-Qaradhâwî 1, 2, 5, on Islamic Affairs) 85 10, 11, 17, 21, 30, 36, ulama Hanafiyah 157 43, 95, 102, 103, 105, ulama Mâlikiyyah 152, 159 113, 115, 117, 118, 119, Ulama maqâshidiyyûn 190, 208 121, 123, 128, 129, 137,

318 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Indeks

138, 139, 140, 141, 143, Yusuf Z. Kavakci 241, 242 153, 154, 155, 156, 158, Yvonne Yazbeck Haddad 8, 9,

159, 160, 161, 162, 168, 76, 296, 299 169, 170, 171, 172, 199, 201, 220, 244, 245, 246, ZZZ 247, 252, 253, 254, 255, Zafar Khan 67, 74, 77, 78 256, 258, 259, 263, 266, Zeinab al-Suweij 85 267, 268, 269, 275, 277

319 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BIODATA PENULIS

Ahmad Imam Mawardi, dilahirkan di Sumenep Madura 40 tahun yang lalu (20 Agustus 1970). Memulai pendidikan tingginya (S1) di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya (lulus tahun 1993 dengan predikat cumlaude, lulusan tercepat dan terbaik), melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di McGill University Montreal Canada (lulus tahun 1998), dan pendidikan doktoral (S3) di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (lulus tahun 2009 dengan predikat cumlaude, lulusan tercepat dan terbaik). Penulis juga menempuh pendidikan non- formal dengan mengikuti beberapa training dan short course di dalam dan luar negeri.

Saat ini penulis menjadi dosen tetap pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya (sejak 2004). Pernah pula menjadi

dosen di Universitas Dr. Soetomo Surabaya (1991-1993), dosen Unmuh Surabaya (1999-2001), dosen Program Pascasarjana (S2) Unisma (2005), dan dosen Program Pascasarjana (S2) Unmuh

Surabaya (2006).

Selain mengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum (Sumenep), aktivitas penulis lainnya adalah menjabat sebagai Direktur LiMI (Lembaga iQra’ Masyarakat Indonesia) Jawa Timur, Direktur Lembaga Training dan Konsultasi In~Hetro

321 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Fiqh Minoritas

(Institute for Heart Training Program) Jawa Timur, Trainer/ Narasumber Tetap Biro Mental Dinas Sosial Pemprop Jawa Timur dalam bidang Manajemen Konflik, Kesalehan Sosial, ESQ, Da’i, dan KUB, Trainer/Narasumber tetap Badan Kesatuan Bangsa Propinsi Jawa Timur dalam bidang Kebangsaan, Konflik, Smile Management, dan ESQ, Trainer/Narasumber di berbagai pelatihan dan seminar dalam level regional, nasional, dan internasional.

Penulis beralamat di: Jl. Karangrejo VIII/20A Wonokromo Surabaya. HP: 0818327547. E-mail: .

322 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id I S B N 9 7 9 - 2 5 - 5 3 3 5 - 5

9 7 8 9 7 9 2 5 5 3 3 5 2