STRATEGI KONFLIK DAERAH PEMEKARAN BARAT DAN HALMAHERA UTARA DI PROVINSI MALUKU UTARA (Studi Deskriptif Upaya Resolusi Konflik dalam Konflik Pemekaran Daerah)

Oleh : ABDUL RASYID HANAFI NIM : 071114037

Program Studi Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Semester Ganjil/Tahun 2016/2017

ABSTRAK

Pasca berlakunya otonomi daerah sejak tahun 1999 sebanyak 24 provinsi di belum memiliki ketegasan tentang batas wilayah. Dari 33 provinsi dan 440 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, baru sembilan provinsi yang telah menyelesaikan penegasan batas daerah yaitu Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur-Kalimantan Tengah, Selatan-Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara-Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Depdagri, 2009). Hal ini memiliki potensi timbulnya konflik antar daerah, khususnya dalam hal perebutan pengelolaan sumber daya alam, pembukaan agroindustri dan kependudukan. Keterlambatan penegasan batas daerah ini disebabkan oleh terbatasnya tenaga teknis yang dapat melakukan kegiatan penegasan batas daerah. Persoalan batas wilayah ini tidak hanya bisa mengandalkan Depdagri, tapi harus mendapat dukungan dari berbagai komponen seperti pemerintah daerah, masyatakat, perguruan tinggi dan lembaga daerah terkait, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Rakyat Daerah. Penetapan batas wilayah antar daerah sangat penting untuk penertiban administrasi dan memperjelas lingkup tanggungjawab setiap daerah sehingga fungsi pelayanan masyarakat bisa berjalan dengan baik, juga untuk mempermudah pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.

Proses penetapan batas wilayah memang tidak mudah. Kendati ada pedoman dan tata cara penetapannya, namun dalam pelaksanaannya di lapangan mengalami banyak tantangan. Provinsi Maluku Utara juga rupanya tidak aman dari konflik daerah pemekaran. Paling tidak ada dua titik konflik yang mungkin saat laporan penelitian ini selesai dibuat belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Titik konflik pertama adalah yang terjadi antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara yang melibatkan wilayah enam desa sengketa, yaitu Desa Pasir Putih, Desa Bobane Igo, Desa Tetewang, Desa Akelamo Kao, Desa Akusahu, dan Desa Dum-Dum. Konflik ini sifatnya menahun karena semenjak terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2003 hingga saat ini, persoalan tidak kunjung usai. Masing-masing pemerintah kabupaten yang bersengketa, berupaya agar masyarakat di enam desa masuk dalam wilayahnya. Oleh masyarakat dan Pemda Kabupaten Halmahera Barat, ditetapkannya wilayah enam desa kedalam wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Utara dinilai tidak representatif serta kontradiktif karena sebagian besar masyarakat enam desa memilih untuk masuk pada wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Pengurusan administrasi semenjak terbentuknya enam desa sampai sekarang juga masih berurusan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat. Masing-masing kabupaten menunjukkan sikap yang tidak kooperatif dengan membangun kantor kecamatan di wilayah enam desa yang masih dipersengketakan. Tentunya tindakan tersebut dapat memperburuk situasi dan menimbulkan gesekan dalam masyarakat. Kenyataannya, di desa-desa yang masyarakatnya mayoritas pro terhadap satu kabupaten melakukan tindakan pengusiran terhadap yang minoritas.

Konflik yang diakibatkan pemekaran wilayah yang terjadi di enam desa sengketa antara pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara telah mengakar begitu lama. Melalui fakta-fakta yang ditemukan di lokasi penelitian, tedapat tiga isu dasar mengapa konflik ini ini begitu berarut- larut proses penyelesaiannya. Pertama Isu Sosio Historis masyarakat enam desa yang meliputi budaya adat, etnis, maupun kedekatan historis dengan kesultanan dan kesultanan menjadi acuan secara defacto masyarakat yang pro Halbar untuk tetap mempertahankan status kependudukannya masuk kedalam Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat.

Kedua isu politik yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan dan penataan Beberapa Kecamatan di Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Maluku Utara dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku dan ditegaskan kembali dalam Undang-undang (UU) Pemerintah Republik Indonesai Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten, Kabupaten Kepulauaan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Kepulauan Di Provinsi Maluku Utara. Melaui PP dan UU secara De Jure mayarakat enam desa yang Pro Halut akhirnya masuk ke wilayah Pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara. Lalu ada Isu Ketiga yaitu masala Perebutan Hasil Sumber Daya Emas yang di Ekplorasi Oleh PT. NHM dalam bentuk CSR yang diperebutkan Oleh kedua Kabupaten. Mengingat penghasilan dari pertambangan emas ini tentu saja dapan menjadikan peningkatan pemasukan bagi APBD Kabupaten yang memiliki wilah tamang emas tersebut. Mengingat lokasi enam desa yang masuk dalam Lingkar tambang dan berdekatan dengan wilayah perbatasan kedua kabupaten. Ketiga isu tersebut syarat akan kepentingan para aktor konflik, sampai saat ini pun konflik masi tetap berlarut-larut.

Dari ketiga isu tersebut jika kita analisis lebih dalam ketiga isu tersebut saling berhubungan, dan para aktor konflik yang berkepentingan dalam sengketa wilayah enam desa ini tentu saja dapat menggunakan issue tersebut untuk mempertahankan kepentingannya baik dengan kekuatan sosio-historis , kekuatan PP No. 42 tahun 1999 maupun Ekplorasi Pertambangan emas yang dilakukan oleh PT. NHM. Melalui temuan data yang peneliti dapatkan dilapangan, ditemukan fakta-fakta yang sangat menarik. Wilayah pemerintahan yang bersengketa yang bersengketa saling memberikan bantuan-bantuan sosial dengan katalain ada maksud dan tujuan untuk mempertahankan dominasinya tanpa memperhatikan konflik yang ada di masyarakat. Konsep Governance as Conflict Management oleh Ira William Zartman menjadi basis dari penelitian ini dengan asumsi bahwa sebuah wilayah yang cukup luas membutuhkan sebuah tata kelola yang memadai sehingga antar daerah dapat berkembang dan menjadi wiayah yang dapat terlayani secara maksimal.

Secara singkat alur dinamika konflik enam desa dimulai dari tahapan Pascakonflik tahap ini adalah masa sebelum pemberlakuan PP nomor 42 tahun 1999. Kemudian tahap Konfrontasi terjadi ketika PP nomor 42 tahun 1999 benar- benar direalisasikan dan masyarakat menolak keras pemberlakuan PP nomor 42 tahun 1999 tersebut. Pada tahap Krisis konflik semakin meningkat pada tahun 2007 dengan masuknya Intervensi dana CSR yang dimainkan Oleh PT.NHM untuk menarik masyarakat enam desa masuk dalam Wilayah pemerintahan Kabupaten Halmahera Utara dan memunculkan dua versi pemerintahan di enam desa. Selanjutnya tahap pascakonflik di enam desa hingga saat ini belum dapat dilihat secara nyata proses penyelesaiaannya oleh para aktor konflik, belum ditemukan strategi terbaik untuk mencapai resolusi konflik terkait sengketa tapal batas tersebut dan para aktor konflik masih mempertahankan egonya masing- masing.

Pemekaran dan penggabungan wilayah enam desa ke dalam Kecamatan Malifut adalah keinginan elite politik lokal dan bukan merupakan keinginan masyarakat setempat. Karena aspek yang dominan adalah aspek politik terutama ekonomi-politik sumberdaya alam tambang semata sehingga aspirasi masyarakat terabaikan. Factor pendorong utama masyarakat enam desa menolak bergabung ke Kecamatan Malifut maupun Kabupaten Halmahera Utara adalah karena masalah harga diri dan masa depan generasi serta aspek sosio-kultural masyarakat. Penolakan ke Kabupaten Halmahera Utara adalah keinginan masyarakat enam desa dikatakan sebagai dorongan secara alamiah, tetapi keberpihakan sebagian masyarakat enam desa ke Kabupaten Halmahera Utara adalah konstruksi elite, dengan melalui bantuan-bantuan sosial. Pemekaran dan/atau penggabungan wilayah yang menimbulkan konflik adalah akibat karena tidak dipenuhinya persyaratan administratif, teknis dan fisik wilayah. Strategi penyelesaiaan yang dapat dilakukan oleh aktor konflik adalah melalui proses Negosiasi dengan melibatkan Pihak ketiga dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Lalu dalam proses negosiasi para aktor konflik yang terlibat dapat memcari pemecahan terbaik terkait permasalahan konflik tersebut dengan menekan egonya masing-masing dan mengutamakan kebaikan masyarakat enam desa secara khusus.

Kata Kunci: Pemekaran, dualisme, Konflik Wilayah

ABSTRACT

Post regional autonomy since 1999 as many as 24 provinces in Indonesia does not have the firmness of the boundaries. Of the 33 provinces and 440 districts / cities throughout Indonesia, only nine provinces have completed the demarcation regions, namely South Kalimantan, Central Kalimantan, West Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan, Central Kalimantan, South Sulawesi, Central Sulawesi, North Sulawesi, Central Sulawesi and Central - Yogyakarta Special Region (Ministry of Home Affairs, 2009). It has the potential for conflicts between regions, particularly in terms of the struggle for natural resources management, opening of the agro-industry and population. Delay demarcation of this area due to the limited technical personnel to conduct demarcation area. The issue of boundaries is not only able to rely on the Home Ministry, but must have the support of various components such as local governments, communities, colleges and institutes related areas, the House of Representatives and the Council of Regions. Determination of boundaries between regions is critical to controlling the administration and clarify the scope of responsibilities of each area so that the function of public services can work well, as well as to simplify the management of natural resources for the welfare of the people.

The process of setting boundaries is not easy. Although there are guidelines and procedures for their establishment, but in practice in the field faced many challenges. Province is also apparently not safe from the conflict area expansion. At least two points of potential conflict when the research report was completed has not shown signs of ending. The first point of conflict is occurring between West Halmahera and North Halmahera involving disputed territory of six villages, namely the village of Pasir Putih, Village Bobane Igo, Tetewang Village, Village Akelamo Kao, Akusahu village, and the village of Dum-Dum. This conflict is chronic in nature because since the formation of the North Halmahera in 2003 until today, the problem does not go over. Each district government to the dispute, seeks to residents in six villages included in its territory. By the people and Government of West Halmahera, the stipulation of six rural regions into the administrative area of North Halmahera rated unrepresentative and contradictory because most people choose to go in six villages in the district of West Halmahera. Administrative proceedings, since the formation of the six villages until now also still dealing with the Regional Government of West Halmahera. Each district shows an uncooperative attitude by building office districts in six villages that are still disputed. Of course, such measures may worsen the situation and cause friction in society. In fact, in the villages where people are pro the majority of the districts take action against the minority expulsion.

Conflict which resulted from regional expansion that occurred in six villages of dispute between the government and West Halmahera and North Halmahera District has rooted for so long. Through the facts found in the study site, artifacts three basic issues why this conflict is so berarut-drawn process of completion. The first issue of Socio-Historical society which includes six villages of indigenous culture, ethnic, and historical closeness to the Sultanate and the Sultanate of Ternate Jailolo become the de facto benchmark of pro Halbar to keep the status of residence into the Government of West Halmahera.

Both political issues written in Government Regulation (PP) of the Republic of Indonesia Number 42 of 1999 on the formation and structuring Several Districts in Regency of the Level II North Maluku Provincial Level I Region Maluku and reaffirmed in the Act (the Act) the Government of the Republic Indonesai No. 1 Year 2003 on the Establishment of North Halmahera, South Halmahera District, District, Sula Islands, East Halmahera and Tidore islands in North Maluku province. Through PP and future legislation De Jure society six villages Pro Halut finally entered the territory of North Halmahera District Government. Then there is the issue of the issue of Third Scramble Resource Results are in Exploration By PT. NHM in the form of CSR is contested by both districts. Given the earnings from gold mining is of course can both make the increase in revenues for the district budget that has the gold mine area. Given the location of the six villages included in Rim mine and adjacent to the border areas in both districts. The third issue is the terms will be the interests of the actors of conflict, until now was still good conflict dragged on.

The third issue of the deeper analysis if we are three issues are interrelated, and the actors concerned in the conflict six territorial disputes this village can of course use the issue to defend its interests better with the socio-historical force, strength PP 42 1999 Gold Mining and Exploration carried out by PT. NHM. Through that researchers get the data findings in the field, discovered facts are very interesting. Government territory in dispute disputing each other provide social assistance in other words there is the intent and purpose to maintain its dominance without regard to the conflicts that exist in society. Concept of Governance as Conflict Management by Ira William Zartman be the basis of this study with the assumption that a large area requires an adequate governance so between regions can grow and become a region that can be served its full potential.

Briefly flow dynamics of the conflict six villages starting from the stage Post Conflict this stage is the period before the imposition of government regulation number 42 of 1999. Later stages of confrontation occurred when government regulation number 42 of 1999 actually realized and the public balked enforcement of government regulation number 42 of 1999 of the. In the crisis phase of the conflict has increased in 2007 with the inclusion of CSR funds Intervention played by PT.NHM to attract the public six villages included in the region of North Halmahera district government and raised the two versions of the government in six villages. Furthermore, post-conflict phase in six villages to date, visible yet penyelesaiaannya process by the actors of conflict, have not found the best strategy to achieve the resolution of conflicts on the boundary dispute and the actors of conflict still retains his ego respectively.

Redistricting and the merging of six villages in the District Malifut is the desire of the local political elite and not the wishes of local communities. Because the dominant aspect is mainly political aspects of political economy of natural resource mines alone so that aspirations of the people neglected. The main driving factor of six rural communities refused to join the District Malifut and North Halmahera is as a matter of self-esteem and future generations as well as socio- cultural aspects of society. Refusal to North Halmahera is the desire of the people of six villages said to be a natural impulse, but some communities in six villages alignments to North Halmahera is the construction of elite, through social assistance. Expansion and / or merging of the conflict is because the requirements are not met due to administrative, technical and physical area. Completion strategy that can be performed by actors of conflict is through a process involving Negotiations with third parties in this case is the Government of North Maluku province. Then in the negotiation process of the actors involved in the conflict can search for the best solution of problems related to the conflict by pressing the respective ego and put the good of society six villages in particular.

Keywords: Redistricting, Dualism, Conflict Areas

PENDAHULUAN akselerasi pemekaran yang terhitung Sebelum era otonomi daerah, luar biasa dan sebagaimana diduga di Indonesia hanya terdapat 27 sebelumnya, menciptakan ruang- provinsi dan 277 kabupaten ruang potensi masalah baru. kotamadya. Setelah otonomi daerah, Pemekaran suatu daerah menjadi jumlah tersebut membengkak beberapa daerah otonom baru menjadi 33 provinsi dan 483 berakibat berubahnya batas-batas kabupaten/kota dengan tingkat wilayah daerah baik secara administratif maupun geospasial melakukan kegiatan penegasan batas (keruangan), yang menjadi trigger daerah. Persoalan batas wilayah ini munculnya permasalahan serius. tidak hanya bisa mengandalkan Permasalahan tersebut adalah Depdagri, tapi harus mendapat sengketa batas wilayah (Harmantyo, dukungan dari berbagai komponen 2007). seperti pemerintah daerah, Pasca berlakunya otonomi masyatakat, perguruan tinggi dan daerah sejak tahun 1999 sebanyak 24 lembaga daerah terkait, Dewan provinsi di Indonesia belum Perwakilan Rakyat dan Dewan memiliki ketegasan tentang batas Rakyat Daerah. Penetapan batas wilayah. Dari 33 provinsi dan 440 wilayah antar daerah sangat penting kabupaten/kota di seluruh Indonesia, untuk penertiban administrasi dan baru sembilan provinsi yang telah memperjelas lingkup tanggungjawab menyelesaikan penegasan batas setiap daerah sehingga fungsi daerah yaitu Kalimantan Selatan- pelayanan masyarakat bisa berjalan Kalimantan Tengah, Kalimantan dengan baik, juga untuk Barat Kalimantan Tengah, mempermudah pengelolaan sumber Kalimantan Timur-Kalimantan daya alam untuk kesejahteraan Tengah, Sulawesi Selatan-Sulawesi rakyat. Proses penetapan batas Tengah, Sulawesi Utara-Sulawesi wilayah memang tidak mudah. Tengah dan Jawa Tengah-Daerah Kendati ada pedoman dan tata cara Istimewa Yogyakarta (Depdagri, penetapannya, namun dalam 2009). Hal ini memiliki potensi pelaksanaannya di lapangan timbulnya konflik antar daerah, mengalami banyak tantangan. khususnya dalam hal perebutan Provinsi Maluku Utara juga rupanya pengelolaan sumber daya alam, tidak aman dari konflik daerah pembukaan agroindustri dan pemekaran. Paling tidak ada dua titik kependudukan. konflik yang mungkin saat laporan Keterlambatan penegasan penelitian ini selesai dibuat belum batas daerah ini disebabkan oleh menunjukkan tanda-tanda akan terbatasnya tenaga teknis yang dapat berakhir. Titik konflik pertama adalah yang terjadi antara waktu lebih dari 10 tahun. Kabupaten Halmahera Barat dan Penyelesaian konflik ini sulit dicapai Kabupaten Halmahera Utara yang karena kepala daerah tak mencapai melibatkan wilayah enam desa kesepakatan (Tempo, 11 Desember sengketa, yaitu Desa Pasir Putih, 2007). Lain halnya dengan Desa Bobane Igo, Desa Tetewang, permasalahan batas wilayah antara Desa Akelamo Kao, Desa Akusahu, Kabupaten Halmahera Barat dengan dan Desa Dum-Dum. Konflik ini Kabupaten Halmahera Utara. Dua sifatnya menahun karena semenjak kabupaten ini sementara terbentuknya Kabupaten Halmahera memperebutkan satu wilayah yang Utara pada tahun 2003 hingga saat dikenal dengan nama Enam Desa. ini, persoalan tidak kunjung usai. Secara de facto, enam desa ini masuk Masing-masing pemerintah pada administratif Kabupaten kabupaten yang bersengketa, Halmahera Barat namun secara de berupaya agar masyarakat di enam jure, pusat menetapkan enam desa desa masuk dalam wilayahnya. masuk pada wilayah administratif Seperti halnya penetapan Kabupaten Halmahera Utara. tapal batas antara Kabupaten Konflik ini tidak hanya Halmahera Barat dengan Kabupaten berdampak pada aspek sosial, namun Halmahera Utara disikapi beragam juga sangat berpengaruh pada aspek oleh kalangan eksekutif, legislatif pengembangan wilayah yang dan masyarakat di kedua wilayah. berkaitan dengan Rencana Tata Konflik tapal batas merupakan Ruang Wilayah Kabupaten. bahaya yang akan mengancam jika Pembangunan dua kantor kecamatan segala sesuatu yang berhubungan dari masing-masing kabupaten di dengan batas tidak sesegera mungkin wilayah enam desa dinilai hanya diselesaikan. sebagai faktor legalitas atas Sementara ini terdapat 81 kepemilikan wilayah. Menurut daerah yang masih berebut batas penelitian Decetralization Support wilayah. Bahkan ada daerah yang Facility (2007) ada dua klasifikasi penyelesaian konfliknya memakan faktor yang memunculkan pemekaran daerah, yaitu faktor daerah tidak jelas akan menyebabkan pendorong dan faktor penarik. dua kemungkinan akibat negatif. Berbagai faktor penyebab yang Pertama, suatu bagian wilayah dapat mendorong munculnya pemekaran diabaikan oleh masing-masing yaitu: faktor kesejarahan, daerah karena merasa itu bukan ketimpangan pembangunan, luasnya daerahnya atau dengan kata lain rentang kendali pelayanan publik dan masing-masing daerah saling tidak terakomodasinya representasi melempar tanggung jawab dalam politik. Sedangkan faktor penyebab menyelenggarakan pemerintahan, pemekaran yang berupa penarik pelayanan masyarakat maupun adalah limpahan fiskal yang berasal pembangunan di bagian wilayah dari APBN berupa Dana Alokasi tersebut. Umum (DAU) dan Dana Alokasi Kedua, daerah yang satu Khusus (DAK). Meskipun sudah dapat dianggap melampaui batas turun Surat Keputusan Mendagri kewenangan daerah yang lain pada tahun 2010 yang menegaskan sehingga berpotensi timbulnya bahwa enam desa masuk menjadi konflik antar daerah.Dalam hal ini wilayah Halmahera Utara, belum persoalan batas daerah menjadi juga ada tanda-tanda bahwa sebuah konflik kelembagaan yang Kabupaten Halmahera Barat akan berkepanjangan antara pemerintah menyerahkan wilayah enam desa Kabupaten Halmahera Utara dengan sengketa tadi kepada Kabupaten Kabupaten Halmahera Barat. Halmahera Utara dengan sukarela. Sentrum konflik terkait Enam Desa Daerah melaksanakan Pasca pemekaran daerah di Provinsi kewenangan masing-masing dalam Maluku Utara itulah yang sampai lingkup batas daerah yang hari ini belum mampu terselesaikan ditentukan, artinya kewenangan meskipun berbagai pihak telah suatu daerah pada dasarnya tidak berupaya memfasilitasi. Konflik boleh melampaui batas daerah yang selain pemekaran kabupaten juga ditetapkan dalam peraturan Konflik yang terjadi diperbatasan ini perundang-undangan. Apabila batas ketika adanya pembentukan kecamatan malifut. Akibat dari menganggap bahwa sangat realistis pemekaran kecamatan malifut jika enam desa menjadi bagian dari dengan menggabungkan enam desa kabupaten Halmahera Barat. Dengan wilayah wilayah kecamatan jaiololo dasar itulah, maka pemerintah maka penolakan di enam desa kabupaten Halmahera Barat terjadi. Penolakan masyarakat enam memberikan pelayanan kepada enam desa tersebut dikarenakan desa. Disinilah konflik perebutan ketidakinginan untuk menjadi wilayah enam desa semakin mencuat wilayah bagian dari kecamatan baik antar Pemerintah maupun antar malifut. Namun penolakan dari enam masyarakat. desa ini tidak mendapat tanggapan apa-apa dari pemerintah. KAJIAN TEORI DAN METODE Ada juga menjadi dampak PENELITIAN terjadinya konflik sosial akibat Teori Tata Kelola Sebagai lambannya respon pemerintah atas Resolusi Konflik aspirasi masyarakat enam desa, Dalam buku Governance as dampak selanjutnya masyarakat Conflict Management : Politics and enam desa menolak mendapat Violence in West Africa (1997) yang pelayanan dari kecamatan malifut dikemukakan I William Zartman dan hanya menerima pelayanan dari menjadi basis dari penelitian ini kecamatan jailolo. Walaupun dengan asumsi bahwa sebuah demikian realitasnya secara wilayah yang cukup luas administrastif wilayah enam desa membutuhkan sebuah tata kelola menjadi bagian dari wilayah yang memadai sehingga antar daerah administrasi kecamatan dapat berkembang dan menjadi malifut.Penolakan masyarakat enam wiayah yang dapat terlayani secara desa ini didasari bahwa sejak awal maksimal. Sebagai basis mengelola mereka telah menolak bergabung konflik, pemerintahan bukanlah satu- dengan kecamatan malifut dan tetap satunya sarana untuk dapat meredam menjadi bagian dari kecamatan konflik kekerasan yang sering terjadi Jailolo, sehingga masyarakat dilapangan, sebagaimana terjadi di Afrika Barat. Zartman dengan tegas sesama warga negara dan persoalan menyatakan demikian: alokasi sumber-sumber daya yang “Governance is conflict dimiliki daerah untuk kebutuhan Management. Governing a state is mereka dalam pembangunan daerah. not only the prevention of violence conflict from destroying the country; Oleh sebab itu, pemerintahan yang it is the continual effort to handle the baik merupakan pemerintahan yang ordinary conflicts among groups and their demands which arise as society mampu mengelola “sumber-sumber plays its role in the conduct of konflik daerah” dengan memberikan normal politics. As organized interest groups bring their demands pelayanan dan kesejahteraan atau to government, they necessarily kepuasan pada warganya sehingga conflict with others: either the demand themselves meet opposition kebutuhan akan ekspresi politik, from competing groups of demands, kompetisi antar warga dan kebutuhan or even if they do not, the measures required to satisfy the demand keadilan pembagian sumber-sumber conflict with competing resource kekayaan dapat berjalan dengan allocations or programmatic orientations. Managing these efektif. Lebih lanjut terkait dengan conclict is governments job. (1997: pemerintahan yang efektif dalam 1)”. hubungannya dengan konflik dalam Berdasarkan kerangka yang suatu wilayah Zartman juga disampaikan William Zartman mengemukakan: bahwa tata pemerintahan “Effective governance (governance) merupakan salah satu depends on the establishment of a national concensus on norm, dari metode untuk mengelola konflik the reinforcement of those kekerasan yang berlangsung dalam norm and values as legitimitizing regime, and the establishment of sebuah Negara maka hal-hal yang institutions and principles as a perlu diperhatikan adalah persoalan replacement regime if the former values and institutions provide kesejahteraan atau pun kepuasan inadequate (1997: 2)”. warga negara atas pemerintahan Sangat jelas bahwa sebuah dalam hal pelayanan, ekpresi warga konflik yang berlangsung dalam Negara untuk berpartisipasi dalam sebuah wilayah Negara wilayah publik, memperhatikan membutuhkan peran pemerintahan kompetisi yang berlangsung antar yang efektif. Pemerintahan yang efektif akan tergantung pada sebuah permasalahan. Peneliti memutuskan konsensus nasional yang disepakati bahwa jenis penelitian yang dipilih bersama sebagai sebuah norma dalam penelitian ini adalah (aturan) bersama. Norma tersebut deskriptif. Ada beberapa argumentasi kemudian dikuatkan secara bersama- mengapa jenis penelitian ini yang sama (diakui bersama) dan didukung diambil. oleh legitimasi regim politik yang Pertama, metode ini dipakai berkuasa serta rezim kekuasaan yang karena riset ini bermaksud berlangsung yang menjadikannya menggambarkan sebuah fenomena menjadi norma dan nilai yang diakui secara mendalam, dalam hal ini secara kelembagaaan dalam adalah kasus konflik di daerah pemerintah. Memperhatikan gagasan pemekaran di Provinsi Maluku William Zartman di atas maka Utara. Hal ini selaras dengan apa penelitian ini hendak menggunakan yang disampaikan Best, bahwa pendekatan teoritiknya untuk kasus penelitian deskriptif merupakan daerah pemekaran di Indonesia metode penelitian yang berusaha Timur dalam hal ini konflik enam menginterpretasi objek sesuai dengan desa di perbatasan Halmahera barat apa adanya (Best,1982:119). dan halmahera utara provinsi Maluku Kedua, karena pada utara, daerah yang sering dilanda penelitian ini seorang peneliti tidak konflik sosial politik. perlu melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Itulah Jenis Penelitian mengapa jenis penelitian ini sering Perlu disadari bahwa dalam disebut sebagai non-experimental ilmu sosial tidak ada metode research. Dengan metode deskriptif, penelitian yang paling baik penelitian memungkinkan untuk dibanding metode yang lain. Namun mengembangkan generalisasi, dan isu yang kemudian penting untuk mengembangkan teori yang memiliki diperdebatkan adalah mana jenis validitas universal. penelitian yang paling tepat untuk Ketiga, penelitian deskriptif mencari jawaban atas suatu juga merupakan penelitian di mana pengumpulan data dilakukan untuk Agustus 2016 di Provinsi Maluku menjawab rumusan masalah yang Utara Khususnya di daerah yang berkaitan dengan keadaan dan masih terjadi konflik akibat kejadian sekarang. Tugas peneliti pemekaran yang telah dilakukan dalam ranah ini adalah melaporkan pemerintah di wilayah perbatasan keadaan objek atau subjek yang Halmahera Barat dengan Halmahera diteliti sesuai dengan apa adanya. Utara tepatnya di wilayah enam desa Dalam konteks ini, maka pengujian terdiri dari Desa Dumdum, Akesahu, atas konsep Zartman tentang Akelamo, Tetewang, Bobane Igo dan Governance sebagai Conflict Desa Pasir Putih. Resolution menjadi relevan untuk Selama kurun waktu tesebut bisa dilakukan. peneliti melakukan pengurusan Keempat, penelitian perizinan kepada masing-masing deskriptif biasanya dipilih karena Kantor kabupaten yaitu Kabupaten sesuai dengan tujuan penelitian ini, Halmahera Barat dan Halmahera yaitu menggambarkan secara Utara guna mendapatkan izin mendalam fakta dan karakteristik penelitian untuk mendapatkan data objek dan subjek yang diteliti secara primer dan skunder yang dapat tepat terkait fenomena konflik di mendukung penelitian ini secara daerah pemekaran Provinsi Maluku legal mengingat wilayah penelitian Utara. Metode deskriptif dipandang merupakan wilayah sengketa dua sangat berguna untuk mendapatkan Kabupaten tersebut. variasi permasalahan yang berkaitan Untuk mencapai lokasi dengan tingkah laku masyarakat penelitian diperlukan watku selama tidak terkecuali elit yang dipandang tiga jam untuk mencapai desa menjadi aktor konflik utama dalam terdekat dari kota Ternate, dengan pemekaran daerah di Maluku Utara. estimasi waktu penyebrangan kapal Ferry selama satu setengah jam dan Waktu dan Lokasi Penelitian jarak dari pelabuhan sampai Penelitian ini telah desa tedekeat yaitu desa Tatewang dilaksanakan pada 15 Juni s/d 15 kurang lebih satu setengah jam, dan untuk mencapai desa terjauh yaitu Warga Masyarakat di enam Desa Dum-dum pantai diperlukan desa yang berpengaruh seperti lagi waktu perjalanan selama tiga anggota DPD, mantan Kepala puluh menit dari desa Tatewang yang Desa dan anggota Form Perjuangan berada paling dekat dengan wilayah Masyarakat Enam Desa perbatasan antar kedua Kabupaten. Halmahera barat.

Metode Penentuan Informan Jenis Data Penelitian ini adalah Penelitian ini menggunakan mengenai strategi pengelolaan dua jenis data, yaitu data primer dan konflik antar wilayah Halmahera data sekunder. Data primer dalam Utara dengan Halmahera Barat. penelitian ini dipahami sebagai data Penentuan informan ini dengan yang didapatkan langsung dari menggunakan metode purposive sumber pertama, seperti data hasil yaitu suatu penentuan informan wawancara mendalam. Data terkait berdasarkan tujuan atau dengan aktor-aktor atau elit yang pertimbangan tertentu. Informan bermain di area konflik daerah yang telah di dapatkan sebagai pemekaran serta kepentingan yang subjek penelitian berjumlah sepuluh mereka bawa adalah contoh dari orang. Yang di antaranya merupakan data jenis ini yang mungkin aktor-aktor konflik dari kedua kubu dihasilkan dari wawancara serta pemerintahan yang bersengketa. Para Focused Group Discussion. informan antarara lain: Sementara itu penelitian ini juga Pemerintah Kabupaten memerlukan berbagai data sekunder Halmahera Barat dan Halmahera yang berguna terutama dalam Utara. memperkaya pengetahuan peneliti, Pemuka Agama di enam desa mengkonfirmasi jawaban pihak- konflik. pihak yang diwawancarai atau para Kepala Adat di enam desa informan, misalnya data hasil konflik. penelitian sebelumnya terkait konflik di Maluku Utara, data atau profil daerah Maluku Utara, dan berita Focus Group Discussion (FGD) media yang memuat berbagai bentuk Diskusi kelompok terfokus konflik dan pihak-pihak yang terlibat merupakan sebuah metode di dalamnya. pengumpulan data dengan mengadakan sebuah format diskusi Metode Pengumpulan Data yang menghadirkan tokoh-tokoh Untuk mendapatkan data kunci (stakeholders) dalam sebuah yang valid dan reliabel, maka teknik kasus atau fenomena yang diteliti. yang dipergunakan dalam Penyelenggaran FGD ini diharapkan pengumpulan data juga harus teruji dapat memberikan data dan dan dapat dipertanggungjawabkan. informasi tentang persoalan tertentu Sebagai sebuah instrumen untuk yang sebagian besar bersifat menjawab pertanyaan penelitian kualitatif. Ada dua manfaat utama maka teknik yang dapat dari FGD dalam studi dan evaluasi dipergunakan antara lain: ini. Pertama, diskusi kelompok Documentary and Archieval terfokus ini akan dapat Research mengidentifikasi tokoh-tokoh yang Sumber data dokumenter dan dianggap memiliki pengetahuan yang kearsipan akan menjadi sumber lebih mendalam tentang fenomena informasi yang memadai dalam yan diteliti, dan kedua, temuan- studi dan evaluasi ini. Catatan- temuan bersifat awal itu kemudian catatan yang didapatkan dari arsip akan menjadi sumber inspirasi dalam Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengembangkan interview guide berita-berita media nasional maupun bagi pelaksanaan wawancara lokal, hasil-hasil penelitian mendalam bagi tokoh-tokoh yang sebelumnya baik tentang isu telah teridentifikasi dalam FGD. pemekaran daerah maupun konflik di Maluku Utara adalah merupakan Indepth Interview data yang didapatkan melalui Wawancara mendalam metode ini. kepada stakeholders dalam isu konflik di daerah pemekaran ini menjadi hal yang sangat krusial Teknik Analisis Data untuk dilakukan. Dengan demikian Teknik analisis yang data sekunder yang berasal dari dipergunakan dalam riset ini adalah arsip pemerintah daerah dapat dengan meminjam pendekatan dipertajam serta dikonfirmasi, kualitatif. Pendekatan kualitatif karena keterbatasan studi sendiri dimaknai sebagai suatu pustaka maupun dokumenter. proses penelitian dan pemahaman Demikian juga wawancara akan yang berdasarkan pada metodologi menjadi sebuah instrumen yang untuk menyelidiki suatu fenomena membuat sebuah penelitian dapat sosial dan masalah yang dihadapi menjelaskan sebuah fenomena secara manusia atau sekelompok manusia. lebih detail dan mendalam. Melihat Pada pendekatan ini, peneliti scope dari studi dan evaluasi ini, membuat suatu gambaran kompleks, maka wawancara mendalam akan meneliti kata-kata,laporan terinci dilakukan kepada para tokoh-tokoh dari pandangan responden, dan masyarakat dan akademis di melakukan studi pada situasi yang daerah pemekaran. alami (Creswell, 1998:15). Pelaksanaan idepth interview Selanjutnya Bogdan&Taylor yang dilengkapi dengan interview (Moleong, 2007:3) mengemukakan guide berdasarkan analisis awal bahwa metodologi kualitatif ini terhadap data sekunder yang ada dan merupakan prosedur penelitian yang untuk menggali lebih dalam segenap menghasilkan data deskriptif berupa fenomena yang muncul, yang tidak kata-kata tertulis maupun lisan dari dapat “dibaca” secara langsung dari orang-orang dan perilaku yang data sekunder yang ada. Kombinasi diamati. Penelitian kualitatif pelaksanaan focus group discussion biasanya dilakukan pada kondisi dan idepth interview secara alamiah dan bersifat penemuan. sistematis sebagai instrumen untuk Dalam penelitian kualitatif, mendapatkan data primer dipandang posisi peneliti adalah instrumen telah memadai. kunci karena peneliti itulah yang akan menjadi penarik kesimpulan berdasar pada analisinya. Oleh terjadi di enam desa yaitu Isu karena itu, peneliti harus memiliki Historis bekal teori dan wawasan atas objek Bagi masyarakat Enam desa yang ditelitinya sehingga mampu Yang Pro Halut, unsur kewilayahan mengembangkan berbagai berdasarkan factor historis tidak ada pertanyaan, mampu menganalisis, kaitannya dengan pengaturan serta mengkonstruksi kesimpulan kewilayahan secara Hukum. dari objek yang diteliti. Sehingga bagi masyarakat yang telah memahami PP 42 tahun 1999 dan PEMBAHASAN UU nomor 1 Tahun 2003, Dinamika Konflik Enam Desa menjadikan keyakinannya. Sumber informasi yang di Bawasannya secara yuridis dapatkan dari subjek penelitian legalitas kewilayahan enam desa tentu saja di dadasari atas dimiliki Oleh Pemerintah Kabupaten keberpihakan subjek terhadap Halmahera Utara. Sehingga bagi pemerintahan yang pegang. Bagi masyarakat Enam dea Pro Halut masyarakat enam desa Pro Halbar, unsur De Jure facto yang mereka berpegang teguh akan Faktor menjadikan keyakinan mereka untuk Historis, kedekatan emosional berada di wilayah Pemerintahan masyarakatnya terhadapa Wilayah Halmahera Utara. Penelitipun Jailolo Halmahera Barat yang dirasa menjadikan ini sebagai salah satu isu dilupakan dalam Pembuatan PP 42 konflik yang terjadi di enam desa tahun 1992 dan UU Nomor 1 Tahun yaitu Isu Politik. 2003. Sehingga bagi masyarakat Lalu ada isu yang ketiga, enam desa pro Halbar unsure De yang peneliti nilai ketiga isu ini facto yang menjadikan keyakinan saling berkaitan Bahkan bisa mereka untuk tetap Bertahan di dikatakan aktor-aktor yang memilki wilayah Pemerintahan Halmahera kepentingan dalamnya menggunakan Barat. Penelitipun menjadikan ini issue ini untuk tetap sebagai salah satu isu konflik yang mempertahankan kedudukannya di enam desa namun. Isu ini adalah pada tatanan pemerintahan dua oleh Simon Fisher dimana masa kabupaten. Yaitu issue perebutan pemindahan penduduk pulau sumber Daya Alam. Perebutan ke daratan Malifut pada tahun 1975 sumber daya tambang emas yang di dan sebelum pemberlakuan PP eksplorasi oleh PT. NHM Nomor 42 tahun 1999 merupakan merupakan salah satu issue sentral tahapan Prakonflik. Kemudian dari masalah enam desa ini. pemberlakuaan PP Nomor 42 tahun Sehingga peneliti menentukan ketiga 1999 merupakan tahapan issue tadi menjadi pemicu utama dari Konfrontasi dimana konflik mulai permasalahan Enam desa ini. Ketiga terbuka dan penolakan akan issue tersebut jika dianalisis lebih pemberlakuan konflik ini semakin dalam bawasannya dapat dipahami, kuat. aktor konflik dapat Menggunakan Di dalam dinamika konflik issue Historis ataupun Isue politik Enam Desa tahapan Krisis muncul mempertahankan kepentingannnya pada saat intervensi PT. NHM untuk akan sumber daya emas yang menarik masyarakat enam desa agar dieksplorasi Oleh PT. NHM. masuk ke wilayah Halmahera Utara. Maupun kepentingan PT. NHM Sehingga pada masa ini pula muncul sendiri guna mengurangi Dua versi pemerintahan di dalam kewajibannya untuk mengalokasikan enam desa dan masyarakat enam dana CSR yang harusnya didapat desa di desa Akelamo Kao yang oleh semua warga enam Desa tetapi telah memilih masuk dalam hanya di berikan kepada masyarakat pemerintahan Halmahera Utara dalam wilayah pemerintah memisahkan diri dari desa Akelamo Halmahera Utara, sehingga Kao yang lama lalu membentuk desa keuntungan pribadi perusahaan atau Akelamo Kao yang baru versi kelompok lebih diutamakan. Halmahera Utara. Dalam tahapan Secara singkat dinamika Pascakonflik hingga saat ini belum konflik yang terjadi di enam desa dapat dilihat secara nyata proses telah melewati tahapan-tahapan penyelesaiaannya, sampai penulisan dinamika konflik yang di kemukakan penelitian ini selesaipun para aktor- aktor konflik dalam konflik I Wiliam Zartman sebagai pemekaran daerah tersebut belum salah satu ilmuan sosial yang menemukan cara terbaik untuk menganut mazhab kritis, maka dalam memecahkan permasalahan sengketa tradisinya mempunyai kewajiban tapal batas tersebut dan masih moral mengajak dalam melakukan mempertahankan kepentingannya kritik dominatif penguasa pada masing-masing. masyarakat. karena itu kepentingan teori sosial kritis adalah emansipasi Tata kelola Sebagai Resolusi yang membebaskan masyarakat dari Konflik. kekejaman struktur sosial menindas Melalui temuan data yang yang dikuasai oleh kelompok peneliti dapatkan dilapangan, penguasa. ditemukan fakta-fakta yang sangat Berdasarkan mazhab kritis menarik. Wilayah pemerintahan tersebut bawasannya masyarakat yang bersengketa yang bersengketa enam desa pro Halmahera barat PP saling memberikan bantuan-bantuan 42 yang di ciptakan pemerintah sosial dengan katalain ada maksud sebagai pengaturan wilayah dan tujuan untuk mempertahankan administarif bukanlah peraturan yang dominasinya tanpa memperhatikan menciptakan kesejahteran justru konflik yang ada di masyarakat menimbulkan konflik dalam masing- Governance as Conflict masing scope enam desa itu sendiri. Management Ira William Zartman Sedangkan bagi masyarakat enam menjadi basis dari penelitian ini desa yang pro Halmahera Utara dengan asumsi bahwa sebuah dengan mengikuti PP tersebut maka wilayah yang cukup luas dirasakan pelayan lebih masksimal membutuhkan sebuah tata kelola dan tentu saja bersifat legal. yang memadai sehingga antar daerah Sebagai basis mengelola dapat berkembang dan menjadi konflik, pemerintahan bukanlah satu- wiayah yang dapat terlayani secara satunya sarana untuk dapat meredam maksimal. konflik kekerasan yang sering terjadi dilapangan, Zartman dengan tegas kompetisi yang berlangsung antar menyatakan demikian: sesama warga negara dan persoalan “Governance is conflict alokasi sumber-sumber daya yang Management. Governing a state is dimiliki daerah untuk kebutuhan not only the prevention of violence conflict from destroying the country; mereka dalam pembangunan daerah. it is the continual effort to handle the Dengan kata lain seharusnya ordinary conflicts among groups and their demands which arise as society pengelolaan dana CSR yang plays its role in the conduct of didapatkan oleh warga enam harus normal politics. As organized interest groups bring their demands merata tanpa melihat paernyataan to government, they necessarily sikap mereka baik masuk pemerintah conflict with others: either the demand themselves meet opposition Halmahera Barat sekalipun. from competing groups of demands, Dikarenakan secara lingkar tambang or even if they do not, the measures required to satisfy the demand tempat tinggal mereka terkena conflict with competing resource dampak yang mungkin saja allocations or programmatic orientations. Managing these dihasilkan oleh Perusahaan tersebut. conclict is governments job. (1997: Oleh karena itu menurut analisis 1)”. Zarman, pemerintahan yang baik Berdasarkan kerangka yang merupakan pemerintahan yang disampaikan William Zartman mampu mengelola sumber-sumber bahwa tata pemerintahan konflik daerah” dengan memberikan (governance) merupakan salah satu pelayanan dan kesejahteraan atau dari metode untuk mengelola konflik kepuasan pada warganya sehingga wilayah yang adil dalam sebuah kebutuhan akan ekspresi politik, wilayah bukan hanya atas dasar kompetisi antar warga dan kebutuhan legitimasi sajan namun yang perlu keadilan pembagian sumber-sumber diperhatikan adalah persoalan kekayaan dapat berjalan dengan kesejahteraan atau pun kepuasan efektif. warga negara atas pemerintahan Lebih lanjut terkait dengan dalam hal pelayanan, ekpresi warga pemerintahan yang efektif dalam Negara untuk berpartisipasi dalam hubungannya dengan konflik enam wilayah publik, memperhatikan desa ini Zartman juga Proses Negosiasi dan Mediasi mengemukakan: Berdasarkan teori orang “Effective governance depends on ketiga William Zartman. Zartman the establishment of a national yang mengenalkan negosiasi sebagai concensus on norm, the reinforcement of those norm and instrument penting dalam values as legitimitizing regime, and penyelesaian konflik. Teori dasar the establishment of institutions and principles as a replacement regime if negosiasi Zartman adalah tentang the former values and institutions konsep MHS (mutual hurting provide inadequate (1997: 2)”. stalemate) sebagai asumsi dasar teori Sangat jelas bahwa sebuah ripeness. William Zartman konflik yang berlangsung di enam mengusulkan variabel negosiasi desa membutuhkan peran preventif melibatkan pihak ketiga pemerintahan yang efektif. Dimana dengan mempertimbangkan stakes, pemerintahan yang efektif akan attitude, tactic (masalah, cara tergantung pada sebuah konsensus menyikapi masalah, dan taktik yang nasional yang disepakati bersama dilakukan) guna mengurangi sebagai sebuah norma aturan ekskalasi konflik. Peranan mediasi bersama. Norma tersebut kemudian pihak ketiga inilah yang sering kali dikuatkan secara bersama-sama diyakini akan mampu memoderatkan diakui bersama dan didukung oleh tuntutan separatis menjadi otonomi legitimasi regim politik yang atau bentuk konsesi politik lainnya berkuasa serta rezim kekuasaan yang Negosiasi sebuah kebutuhan berlangsung yang menjadikannya jika fihak-fihak yang berkonflik menjadi norma dan nilai yang diakui sudah semakin menyadari bahwa secara kelembagaaan dalam dengan terus melakukan konflik pemerintah. Dengan kata lain maka masing-masing fihak akan pemeberlakuan PP 42 tahun1999 dan mengalami kerugian yang sangat UU No. 1 tahun 2003 memerlukan besar, kedua-duanya akan saling pengkajian ulang, tentu saja dengan terluka bahkan bukan tidak mungkin memperhatikan point-point di atas fihak lain yang justru mendapatkan

keuntungan dari tetap berlangsungnya konflik. Jika konflik ada titik temu dan follow up akan dalam kondisi seperti ini, dalam proses negosiasi tersebut. terminology Zartman (2005) inilah Sehingga secara tidak saat yang paling tepat untuk langsung dapat dikatakan Negosiasi menawarkan proses negosiasi. yang penah dilakukan oleh Zartman mendefinisikan negosiasi pemerintahan Periode sebelumnya sebagai telah gagal dan hanya berupa “a dynamic or moving event, pertemuan saja. Lantas bagaimana not simply a static situation, and an cara merancang negosiasi? Hal yang event concerning the selection of a single value out of many for paling urgen takkala merancang implementation and action”. negosiasi adalah dengan pendekatan

Bagi Zartman negosiasi tidak apa negosiasi akandibangun, apakah ubahnya sebagai suatu proses yang mengedepankan aspek komunikasi, dinamis dan selalu bergerak politik ataukah aspek budayanya. mengiringitarik-menarik kepentingan Studi yang cukup menarik yang dilakukan oleh setiap aktor untuk dilirik dalam konteks konflik dalam forum pengambilan kebijakan. di Maluku Utara adalah penggunaan Hasil dari kompromi yang telah konsepsi face negotiation yang dilakukan adalah adanya kesepakatan diajukan oleh Stella Ting-Toomey bersama untuk menerapkan satu (2005). Teori dari Stoomey rumusan kebijakan yang telah berangkat dari asumsi dasar bahwa ditetapkan. Jadi, negosiasi budaya merupakan modal social dibutuhkan sebagai media kompromi yang paling efektif untuk untuk mencapai keinginan bersama. menyelesaikan konflik etnik-politik Memang pada faktanya proses seperti yang terjadi di enam desa ini. negosiasi beberapakali telah Dimana kepentingan politk terhalang dilakukan oleh aktor konflik. oleh, dasar historis yang telah ada. Pemkab halbar melakukan Negosiasi Sehingga diperlukan negosiasi dengan Pemkab Halut dengan di daripara Aktor konflik untuk fasilitasi pemerintah Provinsi menyelesaikan enam desa ini Secara Maluku utara. Namun tidak pernah adil. Kabupaten Halmahera Utara adalah KESIMPULAN keinginan masyarakat enam desa Dari penjelasan yang telah dikatakan sebagai dorongan secara diuraikan diatas, dapat disimpulkan alamiah, tetapi keberpihakan bahwa proses pemekaran dan sebagian masyarakat enam desa ke penggabungan wilayah enam desa Kabupaten Halmahera Utara adalah tidak berlangsung secara sistematis konstruksi elite, dengan melalui dan merujuk aturan normatif yang bantuan-bantuan sosial. telah ditetapkan oleh Undang- Penggabungan wilayah yang Undang. Banyaknya aktor konflik menimbulkan konflik adalah akibat yang memiliki kepentingan masing- karena tidak dipenuhinya persyaratan masing di dalam konflik pemerkaran administratif, teknis dan fisik pun membuat permasalahan tersebut wilayah. Strategi penyelesaiaan yang semakin berlarut-larut dan tidak dapat dilakukan oleh aktor konflik menemui kejelasan jalan keluarnya. adalah melalui proses Negosiasi Penggabungan wilayah enam dengan melibatkan Pihak ketiga desa ke dalam Kecamatan Malifut dalam hal ini adalah Pemerintah adalah keinginan elite politik lokal Provinsi Maluku Utara. Lalu dalam dan bukan merupakan keinginan proses negosiasi para aktor konflik masyarakat setempat. Karena aspek yang terlibat dapat memcari yang dominan adalah aspek politik pemecahan terbaik terkait terutamaekonomi-politik sumberdaya permasalahan konflik tersebut alam tambang semata sehingga dengan menekan egonya masing- aspirasi masyarakat terabaikan. masing dan mengutamakan kebaikan Factor pendorong utama masyarakat masyarakat enam desa secara khusus. enam desa menolak bergabung ke

Kecamatan Malifut maupun Kabupaten Halmahera Utara adalah DAFTAR PUSTAKA karena masalah harga diri dan masa Sumber Buku depan generasi serta aspek sosio- Faisal Bakti, Andi, (ed) 2000. kultural masyarakat. Penolakan ke Good Governance and Conflict Resolution in Indoensia, Logos, Perbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Johnson, Doyle Paul. 1994. Premedia Group. “Teori Sosiologi: Klasik dan Winters, Jeffry, 2007. Democracy Modern Jilid 2”. Jakarta: and Oligarchy, Gramedia Pustaka Gramedia Pustaka Utama Utama Mattew B. Miles & A. Michael Zartman, I William, 1997. Hubberman. 1992. “Analisis Data Governance as Conflict Kualitatif”. Jakarta: UI Press Management : Politics and Ritzer, George dan Goodman, Violence in West Africa, Douglas, J. 2003. Modern Washington DC, USA Sociological Theory 6th Edition. New York: McGraw Hill. Sumber Jurnal (diterjemahkan dalam bahasa D. Harmantyo, 2007, Pemekaran Indonesia oleh A. Alimandan, Daerah dan Konlik Keruangan, menjadi Teori Sosiologi Modern Kebijakan Otonomi Daerah dan Edisi Keenam). Implementasinya di Indonesia, Safuan Rozi, 2001. Communal Makara, Sains, Vol. 11, No.1, Violence and conflict resolution: April 2007, Dept. Geografi UI, Anatomy in Indonesia, LIPI, Jakarta. Jakarta Kausar dan Eko Subowo, 2008. Susan, Novri. 2012. “Negara Kebijakan Penataan Batas Antar Gagal Mengelola Konflik: Tata Daerah, Modul pelatihan Kelola Konflik di Indonesia”. Penegasan Batas Daerah, Jurusan Yogyakarta: Koran Opini; dan Teknik Geodesi FT UGM, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Susan, Novri. 2014. “Pengantar Sosiologi Konflik”. Jakarta: Sumber Penelitian Prenadamedia Group Hasyim,Aziz, 2010.”Analisis Suyanto, Bagong. dkk,. 2010. Konflik Perebutan Wilayah di Metode Penelitian Sosial: Provinsi Maluku Utara (Studi Kasus : Konflik Perebutan http://www.mongabay.co.id/tag/pt Wilayah Antara Kabupaten -nhm/ Diakses pada 8 November Halmahera Barat dan 2016 Kabupaten Halmahera Utara http://www.aman.or.id/2013/11/0 Tentang Enam Desa) Bogor : 6/konflik-sumber-daya-alam-di- Institut Pertanian Bogor. maluku-utara/ diakses pada Qodir,Zuly dan Sulaksono, 12 Oktober 2016 Tanjung. 2012. “Politik Rente dan http://djpbnmalut.org/profil/gamb Konflik di Daerah Pemekaran : aran-umum-provinsi-maluku- Kasus Maluku Utara”: Jusuf utara/ Diakses pada 15 Kalla School of Government. Oktober 2016 Muslim, Abdul Bukhori. 2015. http://docplayer.info/156861- “Konflik Atas Pelanggaran Mengelola-konflik-bagian-1- Pedoman Berbagi Hasil Hutan analisis-simon-fisher Kayu antara Perhutani KPH mengelola-konflik- Probolinggo dengan Petani di keterampilan-dan-strategi-untuk- Desa Papringan, Kecamatan bertindak.html Diakses pada Klakah, Kabupaten Lumajang”. 10 November 2016 Siddiqoh, Elha Ayu Alinda, http://wmc-iainws.com/artikel/21- 2015.” Konflik Masyarakat pemetaan-konflik-clonflict- Penambang Minyak Mentah mapping Diakses pada 28 (Analisis Konflik Pengelolaan September 2016 Pertambangan Minyak Mentah https://id.wikipedia.org/wiki/Studi Desa Wonocolo ,Kecamatan _perdamaian_dan_konflik Kedewan, Kabupaten Bojonegoro Diakses pada 25 September Periode 2009 – 2015)”. 2016 http://portal.malutpost.co.id/en/da Sumber Internet erah/halut/item/1845-polisi- https://id.wikipedia.org/wiki/Malu waspadai-konflik- enam-desa ku_Utara Diakses pada 8 Diakses pada 5 September 2016 November 2016 http://portal.malutpost.co.id/en/ku Peraturan Pemerintah (PP) Nomor mkrim/item/22533-malut-simpan- 78 Tahun 2007 tentang Tata cara 14-potensi- konflik Diakses pada Pembentukan dan Penggabungan 4 September 2016 Daerah,yang disebut sebagai pemekaran daerah adalah Sumber Arsip pemecahan provinsi atau Undang-undang Nomor 22 tahun kabupaten/kota menjadi dua 1999 tentang Pemerintahan daerah atau lebih. Daerah (UU. Otonomi Daerah) Undang-undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pembentukan dan Penataan Beberapa Kecamatan di Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Maluku Utara dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku Undang-undang (UU) Pemerintah Republik Indonesai Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten, Kabupaten Kepulauaan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan Di Provinsi Maluku Utara