GAGASAN ISLAM KOSMOPOLITAN TERHADAP KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN DI

SKRIPSI

Ditunjukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

M. SISWANTO

NIM : 11150331000041

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

i

GAGASAN ISLAM KOSMOPOLITAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONTEKS SOSIAL-KEAGAMAAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Ditunjukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

M. SISWANTO

NIM : 11150331000041

Dosen Pembimbing

Drs. Ramlan A. Gani, MA

NIP. 196106141992031002

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

1441 H/2020 M

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul GAGASAN ISLAM KOSMOPOLITAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN DI INDONESIA telah di ujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juli 2020, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Ciputat, 17 Juli 2020

Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. Ag Dra. Banun Binaningrum, M.Pd NIP: 197110031999032001 NIP: 196806618199932002

Anggota

Penguji I, Penguji II,

Dr. Edwin Syarif, MA Dr. Khalid Al Walid, MA NIP: 196709181997031001 NIP: 197009200501104

Pembimbing

Drs. Ramlan A. Gani, MA

NIP. 196106141992031002

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

1. Huruf Arab - Latin

No Huruf Huruf Keterangan Arab Latin tidak dilambangkan ا .1 b be ب .2 t te ت .3 ts te dan es ث .4 j je ج .5 h̲ h dengan garis bawah ح .6 kh ka dan ha خ .7 d de د .8 dz de dan zet ذ .9 r er ر .10 z zet ز .11 S es س .12 sy es dan ya ش .13 s̲ es dengan garis di bawah ص .14 ḏ de dengan garis di bawah ض .15 ṯ te dengan garis di bawah ط .16 z̲ zet dengan garis di bawah ظ .17 koma terbalik di atas hadap kanan ̒ ع .18 gh ge dan ha غ .19 f ef ف .20

iv

q Ki ق .21 k Ka ك .22 l El ل .23 m em م .24 n En ن .25 w We و .26 h Ha ه .27 Apostrof ˋ ء .28 y ye ي .29

2. Vokal Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan A Fathah َ I Kasrah َ U Dammah َ

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i ا ي au a dan u ا و

v

3. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan Arab  a dengan topi di atas با Î i dengan topi di atas ب ي Û u dengan topi di atas ب و

4. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dâwân.

5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydìd )َ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata .tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya (الضرورة)

6. Ta Marbūṯah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh nomor 3).

vi

No Kata Arab Alih Aksara Ṯarîqah طريقة 1 al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2 Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain- lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al- Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

vii

ABSTRAK

M. SISWANTO “GAGASAN ISLAM KOSMOPOLITAN ABDURRAHMAN WAHID TERHADAP KONTEKS SOSIAL-KEAGAMAAN DI INDONESIA” Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini menjelaskan tentang pemikiran Islam kosmopolitan Gus Dur yang lebih menekankan pada nilai dasar esensi ajaran Islam, bukan pada simbol dan formalisme agama belaka. Sebagai suatu analisis terhadap pemikiran Gus Dur, penelitian ini menggunakan deskritif-historis, dengan pendekatan filosofis dan dalam menggali data menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dengan analisis filosofis yang kemudian dijadikan acuan sebagai hasil dari penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Gus Dur menempatkan ajaran Islam secara kontekstual, pemahaman al-Qur’an dan Hadits dipahami berdasarkan pada argumentasi logis dan sesuai konteks zaman. Islam kosmopolitan merupakan pemikiran Gus Dur yang berakar dari gagasan universalisme Islam (al-Maqosid al- Syari’ah), Pribumisasi Islam dan Pesantren sebagai Subkultur. Akar inilah yang membangun lahirnya pemahaman Islam yang moderat, toleran, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Maka ketika kosmopolitanisme Islam ini terwujud akan mampu membangun pluralitas agama dan budaya, hilangnya batasan etnis, tegaknya keadilan, mampu mambangun kerjasama sosial antar agama, memberikan transformasi sosial kemasyarakatan serta membumikan Islam ramah.

Kata Kunci: Pemikiran Abdurrahman Wahid, Islam Kosmpolitan, Konteks Sosial- Keagamaan di Indonesia

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah menganugerahkan segala nikmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyusun dan menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia kedalam zaman pencerahan. Semoga penulis dan kita semua tergolong kedalam umatnya dan mendapat syafa’atnya kelak dihari akhir.

Penting penulis utarakan, dengan penuh rasa syukur pada Allah SWT, akhirnya tugas akhir ini bisa diselesaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Disini penulis belajar banyak dari berbagai pengalaman dan kesabaran sebagai catatan dikemudian hari bahwa proses adalah pintu gerbang keberhasilan yang sesungguhnya.

Penulis mengucapkan banyak terimaksih atas berbagai dukungan, bimbingan dan arahan-arahan yang diberikan kepada penulis. Pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Yth Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Yusuf Rahman, MA., Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyusun skripsi ini 4. Bapak Drs. Ramlan A. Ghani, M.A., selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi dukungan, bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini. 5. Kepada Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan mengampu mata kuliah selama penulis aktif dikampus.

ix

6. Teruntuk Ibu yang selalu mendoakan dan memotivasi dalam menggapai cita- cita dan dalam penyusunan skripsi ini 7. Kepada kakak-kakak dan saudara penulis Kakanda Aminuddin- Yunda Kardinah, Kakanda Rusnoto-Yunda Winda, yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan moril-materil selama penulis menempuh belajar hingga selesainya studi sarjana ini. 8. Kepada Sekretarian Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia yang telah membantu mengumpulkan sumber tulisan dalam penelitian ini 9. Kepada segenap penggerak dan sahabat GUSDURian Ciputat, tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam penelitian ini. 10. Kepada segenap sahabat-sahabat, rekan-rekan dan kawan-kawan organisasi, komunitas, teman seperjuangan yang telah memberikan motivasi dan masukan- masukan dalam penyusunan skripsi ini. Ahlamdulillah, banyak belajar dari mereka selama penulis berproses dan menyelesaikan kewajiban studi ini.

Kepada semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, saya ucapkan terimakasih atas segala dukungan dan motivasinya. Semoga Allah SWT memberikan balasan sebagaimana mestinya. Aamiin.

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... iv

ABSTRAK ...... viii

KATA PENGANTAR...... ix

DAFTAR ISI...... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 9 C. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 12 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 12 E. Kajian Pustaka ...... 13 F. Metode Penelitian...... 15 G. Sistematika Penelitian ...... 17

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID

A. Riwayat Hidup ...... 19 B. Latar Belakang Pendidikan ...... 25 C. Perjalan Karir ...... 33 D. Karya-Karya dan Penghargaan ...... 42

xi

BAB III AKAR PEMIKIRAN ISLAM KOSMOPOLITAN

A. Universalisme Islam ...... 51 B. Pribumisasi Islam ...... 59 C. Pesantren sebagai Subkultur ...... 68

BAB IV GAGASAN ISLAM KOSMOPOLITAN TERHADAP KONTEKS SOSIAL-KEAGAMAAN DI INDONESIA A. Konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ...... 78 B. Penegakan Demokrasi ...... 87 C. Pluralisme dan Toleransi ...... 98

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 104 B. Saran...... 106 DAFTAR PUSTAKA...... 108

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, dengan mayoritas

penduduk beragama Islam. Kira-kira 85 % dari 220 juta penduduk Indonesia, atau

kurang lebih 190 juta jiwa, adalah Muslim.1 Disini menjadi titik tumpu bagaimana

Islam dan pemeluknya menjadi suatu lokomotif dan memiliki peran dalam

membangun suatu sistem kehidupan beragama, budaya, sosial dan politik di

Indonesia.

Geertz dalam bukunya ia membagi garis besar muslim Indonesia menjadi

tiga bagian, yaitu: Abangan, Santri, Priyayi.2 Dalam sejarahnya, istilah santri

diidentikkan dengan seorang yang belajar di pesantren. Muslim santri adalah

mereka yang menjunjung tinggi pilar agama Islam. Adapun dalam pandangan

Geertz muslim bukan santri, disebut muslim abangan. Sedangkan priyayi yaitu

keturunan bangsawan yang jumlahnya sangat sedikit.3 Dalam pandangan

Geertz ini Muslim Indonesia dibagi berdasarkan golongan pemeluk Islam

khususnya di Jawa bukan berdasarkan pada pemahaman ideologi keislaman.

Islam merupakan agama yang secara relatif berkembang pesat di

Indonesia, padahal ia hadir belakangan dari agama dan kepercayaan di Indonesia

sebelumnya. Ia mempunyai andil dalam membentuk ekspresi keagamaan, sosial

1 Greg Barton, Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (: LKiS, 2011), Cet. X, h. 61. 2 Clifford Geertz adalah ahli Antropologi Amerika Serikat, ia mempopulerkan isltilah abangan, santri priyayi dalam bukunya The Religion of Java, (New York: Free Pres, 1960). 3 Greg Barton, Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, h. 62.

1

2

dan budaya dalam membangun Indonesia sebagai suatu negara kesatuan.4 Disini

Islam memiliki peranan dalam membangun tatanan sosial dan pemahaman keagamaan di Indonesia.

Lambat laun belakangan ini, perkembangan pemahaman Islam di

Indonesia sangatlah cepat. Ini ditandai dengan munculnya berbagai gerakan ormas

Islam yang memiliki pemahaman berbeda dari pandangan keislaman yang lahir pada umumnya. Contoh, munculnya pemahaman tentang formalisasi simbol- simbol Islam sebagai bagian ajaran agama yang disakralkan. Ini merupakan aspek yang kurang bernilai dalam esensi ajaran Islam. Seharusnya pemahaman ajaran

Islam dapat disesuaikan dengan konteks kehidupan sosial-budaya sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia tanpa mengurangi kemurnian nilai-nilai ajaran agama Islam itu sendiri.

Persoalan-persoalan yang muncul di dunia sampai pada penghujung abad

20, di sebagaian masyarakat Indonesia, yaitu wawasan kebangsaan yang masih menjadi problematika, pancasila sebagai dasar negara masih dianggap masalah bagi hubungan antar paham kebangsaan dengan faham-faham lain. Apalagi yang berbentuk ideologi, memang itu menjadi problematik.5 Problematika ini menjadi suatu persoalan tersendiri sehingga banyak tokoh yang membahas dan mencari formulasi hubungan agama dengan ideologi negara.

Hubungan antar agama dan ideologi negara pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Apalagi kalau dikaitkan dengan masalah pembangunan, yang pada dirinya mengandung urgensi tersendiri pula.

4 Greg Barton, Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, h. 63. 5 Abdurrahman Wahid, Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan, (Depok: Penerbit Desantara, 2001), h. 91 .

3

Dengan demikian, terdapat bahaya sangat besar berupa keinginan untuk menimbulkan minat belaka dalam membicarakan topik tersebut, tanpa dapat dikemukakan sesuatu yang fundamental untuk menjadi bahan renungan bersama.

Kesalahpahaman sangat besar anatara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan-gerakan keagamaan di negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh menghantui hubungan antara agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik pada kebanyakan negara yang sedang berkembang lalu menjadi sangat labil.6 Kondisi ini juga muncul di

Indonesia bahkan sejak negara ini dideklarasikan.

Islam sebagai sebuah konsep tentang cara hidup telah mengalami pergumulan dengan paham kebangsaan. Bahkan pergumulan itu sendiri menimbulkan gambaran situasi hitam-putih yang sangat tajam, seperti dalam bentuk perang delapan tahun antara islamisme Iran dan nasionalisme Arab yang dianut Irak di tahun 1980-an. Bahkan lebih jauh lagi internasionalisme Islam telah menampakkan diri yang sangat nyata. Tanpa kecuali, kaum Muslimin di seluruh dunia tengah berhadapan dengan momok-momok imajiner yang mereka bikin sendiri, yang tidak mereka sadari, sebenarnya hanya produk sampingan negatif dari perkembangan faham kebangsaan.7 Perkembangan ini hampir mempengaruhi negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, sehingga perlu dirumuskan suatu pemahaman Islam yang sesuai pada konteks negara bangsa tanpa mengurangi nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

6 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999). h. 39 7 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan, (Depok: Penerbit Desantara, 2001), Cet. II, h. 92

4

Indonesia telah mengalami pergulatan yang sama, terjadi pergulatan intern dalam gerakan Islam di negeri ini, antara yang lebih memberlakukan manifestasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang jelas warna islamnya dan mereka yang ingin memberlakukan Islam secara sosial budaya dalam kehidupan bangsa.8

Anggapan yang lebih mementingkan pendekatan legal formalistik terhadap Islam, dalam arti pemberlakuan nilai-nilai Islam dalam peraturan dan perundang- undangan secara formal. Argumentasi ini muncul dari pandangan bahwa Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bentuk-bentuk ajaran agama harus diformalisasikan dan dilegislasikan oleh lembaga-lembaga demi kepentingan mayoritas bangsa tanpa memandang kaum minoritas sebagai bagian dari warganegara yang terdampak aturan legal tersebut.

Satu sisi lain, problematika yang muncul di Indonesia yaitu munculnya gerakan transnasional atau yang sering dikenal dengan radikalisme dan terorisme.

Kelompok jihadî dan takfirî yang memiliki landasan ideologis fundamentalis

Islam radikal dan trans-nasioanal yang dikembangkan dari paham Wahabisme.9

Tentu masuknya pemahaman ini di Indonesia sangat berbahaya bagi orang-orang yang mengusung negara Islam. Hal ini tidak selaras dengan cita-cita ideologi bangsa Indonesia yang menganut Pancasila.

Masuknya paham radikalisme di Indonesia melalui penyebaran ideologi radikal yang kemudian diterima oleh sebagian tokoh anggota organisasi Islam radikal di Indonesia. Mereka kemudian kembali menyebarkan ideologi tersebut untuk menjaring anggota-anggota baru. Modus operasi taktik lainnya yaitu dengan

8 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan, h. 94 9 Muhammad A.S Hikam, Deradikalisasi; Peran Masyarakat Sipil Indonesia dalam Membendung Radikalisme, (Jakarta: Kompas, 2016), h. 1

5

menggunakan seminar-seminar dan gerakan ini juga menggunakan sosial media sebagai wahana propaganda.10 Kemudian, selama beberapa tahun terakhir ini, munculnya suara-suara untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, pengganti pancasila. Hal ini terjadi akibat dari penyempitan pandangan mengenai

Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian pancasila menurut mereka yang berkuasa.

Ini berarti pemahaman pancasila melalui suatu jurusan belaka, yaitu jurus melestarikan kekuasaan.11 Tentu arti tunggal Pancasila hanya demi kekuasaan belaka sangatlah berbahaya, terutama sangat rawan terhadap perpecahan dan persatuan bangsa.

Munculnya gerakan transnasional mengguncang dunia yang menganggap bahwa Islam sebagai sumber ajaran terorisme dan intoleran terhadap yang berbeda pandagan dengannya. Ini menjadi persoalan tersendiri bagi Indonesia. Bagaimana

Islam harusnya menjadi pedoman hidup dan rahmat bagi semua (rahmat lil’alamin) tanpa adanya suatu diskriminasi apapun tehadap suku, agama, ras dan bahasa.

Tidak hanya pada gerakan-gerakan Islam, pada dataran pemikiran dan wawasan yang revolusioner tampaknya belum bisa dicapai. Gus Dur menyebutkan bahwa reformasi atau penafsiran ulang tentu akan mendukung penampilan agama dalam kehidupan yang terus berubah. Akan tetapi karena upaya itu selalu terbatas pada keterkungkungan harfiah, maka akan segera membentur “keterbatasan” baru yang tak diduga. Reformasi yang dilakukan Imam asy-Syafi’i yang menemukan suatu sistem pengambilan hukum yang ditulis dalam kitab “al-Risâlah”, suatu

10 Muhammad A.S Hikam, Deradikalisasi; Peran Masyarakat Sipil Indonesia dalam Membendung Radikalisme, h. 14 11 Abdurrahman Wahid,Islamku, Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 89

6

karya jurisprudensi kaidah pengambilan hukum dalam ushul fiqh. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penafsiran ulang terhadap teks yang meliputi dan mencakup makna lebih luas dari sekedar literar teks keagamaan. Satu-satunya reformasi dan penafsiran ulang hukum Islam yang paling berpeluang menjadikan agama relevan untuk zaman ini adalah menyesuaikannya dengan kehendak manusia, bukan kehendak Tuhan.12 Ini merupakan suatu usaha yang dilandasi kesadaran akan keharusan menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik.

Suatu kasus terjadi juga tentang bagaimana persoalan Islam mendudukkan pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Polemik tentang bagaimana negara yang mayoritas muslim dipimpin oleh seorang yang beragama lain masih sangat kuat penolakannya. Ini didasarkan pada bagaimana pemahaman ajaran Islam diterapkan sesuai konteks dan keadaan wilayahnya. Seharusnya penolakan ini sudah tidak ada lagi, mengingat bahwa Indonesia juga negara dengan berbagai macam suku dan ras.13 Kemudian juga persoalan tentang Islam memandang terhadap pemeluk agama lain, Islam memandang konsep hak asasi manusia (HAM) yang lahir di Barat, dan Islam memandang sisitem demokrasi sebagai suatu sistem berjalannya suatu negara.

Perbedaan penafsiran terhadap teks keagamaan menjadi suatu hal yang wajar dalam sejarah intelektual umat Islam. Sudah sejak berabad-abad lamanya dialektika ini berlangsung. Namun, yang menjadi persoalan saat ini yaitu munculnya suatu gerakan dengan menyalahkan dan mengkafirkan yang berbeda pandangan dengannya. Tentu, ini menjadi suatu gejolak akar-rumput masyarakat

12 Bisri Effendi, Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan, Pengantar dalam buku kumpulan essay Gus Dur, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Saufa, 2016)

13 Bisri Effendi, Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan, 2016

7

dibawah, bagaimana pemahaman ini tidak cocok diterapkan di masyarakat

Indonesia yang heterogon.14 Bukan hanya tidak cocok, bahkan pada satu sisi kelompok ini sangat radikal terhadap orang-orang yang tidak segolongan bahkan lain agama darinya.

Perlunya suatu pemahaman bagaimana Islam membela orang-orang yang didiskriminasi, membela kaum yang lemah baik secara fisik maupun ekonomi, itu lebih mengena pada konteks saat ini. Sehingga Islam mampu memberikan jalan- solusi terhadap suatu persolana dan problematika umat yang terjadi saat ini. Hal ini melihat bahwa globalisasi tidak dapat dihindarkan dari perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh dunia.

Disnilah muncul pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa universalisme Islam lahir dari manifestasi ajaran-ajaran islam itu sendiri. Ia meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), serta etika (akhlak), seringkali masyarakat menyempitkan makna ini sehingga menjadi kesusilaan belaka bagi proses kehidupan. Padahal unsur-unsur itulah yang sesungguhnya menampilakan kepeduliaan yang sangat besar terhadap prinsip kemanusiaan (al-insâniyyah) 15. Pandangan Gus Dur inilah yang harus dikembangkan bahwa Islam itu sangat berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Inilah yang akan ditekankan pada penelitian ini, bagaimana pemahaman

Islam harus dilandaskan berdasarkan proses berkembangnya hidup manusia keranah lebih baik dalam mengabdi kepada Tuhan. Islam sebagai agama harusnya mampu dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sosial-keagamaan,

14 Bisri Effendi, Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan, 2016 15 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 3.

8

perlunya perluasan dan pemaknaan lebih luas terhadap teks agama sangat dibutuhkan demi terwujudnya prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan dalam beragama dan bernegara.

Perlunya menjalankan cita-cita universalisme Islam yang meliputi prinsip persamaan derajat dimuka hukum dan undang-undang, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak mereka yang lemah dan menderita serta pembatasan wewenang terhadap pemegang kekuasaan. Universalisme Islam inilah yang kemudian dikenal oleh Gus Dur sebagai al-Maqosid al-Syari’ah yaitu jaminan dasar yang diberikan islam kepada perorangan maupun kelompok.16 Dengan demikian, penelitian ini menolak pendirian negara Islam atau formalisasi agama akan tetapi menekankan subtansinya.

Penelitian ini memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Maka bagi penulis atas dasar dan kesadaran ini, dapat menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan.

Pada penelitian ini akan melahirkan kosmopolitanisme Islam yang digagas oleh Gus Dur. Diantaranya yaitu hilangnya batas etnis, kuatnya pluralitas agama, dan heteregonitas politik.17 Kosmopolitanisme Islam dapat tercapai dengan optimal apabila terciptanya keseimbangan antara kecenderungan normatif dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-

Muslim). Disinilah ajaran agama dapat saling beriringan tanpa tumpang tindih

16 Ibid., h. 3 17 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 9

9

dengan ideologi negara, toleransi terhadap penganut agama lain, perlindungan hak

asasi manusia (HAM) dan penegakkan demokrasi sebagai suatu sistem negara di

Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Sejarah terbentuknya bangsa Indonesia tidak luput dari berbagai rong-

rongan yang ingin merubah ideologi dan dasar negara. Munculnya gerakan garis

keras atau gerakan Islam Transnasional merupakan suatu persoalan tersendiri bagi

umat Islam Indonesia khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah.

Bagi NU, Indonesia adalah Dâr al-salâm (negara perdamaian) dan

Muhammadiyah menempatkan Indonesia sebagai Dâr al-Syahadah (negara

perjanjian). Maka Indonesia dan Pancasila bagi kedua organisasi besar ini adalah

final, tidak bisa digantikan.

Akhir-akhir ini tekanan munculnya mendirikan negara Islam muncul lagi

dipermukaan. Banyak aktivis-aktivis garis keras yang terlibat kampanye melalui

perang ide-ide untuk meyakinkan umat Islam di seluruh dunia, bahwa ideologi

mereka yang ekstrem adalah satu-satunya interpretasi yang benar tentang Islam.

Disini mereka memahami Islam secara monolitik (seragam) dan menolak varian-

varian Islam lokal dan spritual yang bagi mereka sudah tidak murni lagi

ajarannya.

Stategi utama gerakan Islam Transnasional adalah membentuk kelompok-

kelompok untuk menyebarkan ideologi Salafi/Wahabi18, mereka menganggap

pehamaman diluar diri mereka salah dan masuk neraka. Padahal umat Islam di

Indonesia mestinya tidak begitu, ia membutuhkan pemahaman Islam yang

18 Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, (The Wahid Institute: Jakarta), 2009, h. 43

10

moderat dan toleran. Dengan pemahaman Islam moderat dan toleran inilah dapat menumbuhkan sifat yang tenggang rasa dan mampu hidup beriringan tanpa memaksakan kebeneran dengan menentang keyakinan orang lain.

Pada satu sisilain persoalan kebangsaan masih menjadi problematika di

Indonesia saat ini. Lahirnya kelompok fundamentalisme Islam yang menawarkan formalisasi ajaran agama dan menerapkan hukum Islam secara legal formal di

Indonesia juga sangatlah berbahaya. Misalnya dengan diterapkannya perda-perda syari’ah diberbagi daerah seperti Aceh dan daerah lainnya yang terkadang itu diskriminatif.

Tentu aturan ini akan berimabas pada keuntungan satu kelompok saja jika tidak menimbang aspek universal dari ajaran agama Islam. Contoh, di Cianjur, dilaporkan terdapat seorang perempuan non-Muslim dipaksa untuk mengenakan jilbab di kantor setiap hari jum’at.19 Pemberlakuan perda syari’ah yang dikenakan pada orang non-Muslim inilah yang menjadi persolan, karena aturan ini akan sangat memakan hak kehidupan beragamanya.

Kemudian satu yang tidak kalah yaitu munculnya formalisasi agama.

Pemahaman agama secara harfiah memang melahirkan suatu pemahaman yang sangat berbahaya, baik bagi agama itu sendiri, para pemeluknya ataupun bagi pemeluk agama lain. Disini terdapat pereduksian pesan-pesan agama untuk kepentingan ideologis. Pada titik inilah pluralisme yang menghargai perbedaan terasa sangat ganjil. Karena agenda formalisasi disatu sisilain hanyalah

19 Abudurrahman Wahid, h. 139

11

kepentingan kelompok belaka, disini mereka susah menerima non-Muslim bahkan orang yang berbeda paham dalam lingkup hidupnya.20

Pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) Suka Makmur di Aceh

Singil pada tahun 2015 yang dilatar belakangi oleh konflik agama menjadi persoalan bersama.21 Merabaknya konservatisme beragama akan melahirkan perilaku ekstreem, intoleran dan diskrimininasi. Persoalan ini yang juga menjadi problem bagi kerukunan umat beragama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Kemudian kasus pembakaran Masjid Ahmadiyah di Sukabumi pada April

2008,22 merupakan tindakan yang melanggar hukum. Pemahaman yang konservatif membahayakan berbagai pihak dan mengganggu kehidupan berbangsa. Tentunya masih ada kasus-kasus yang lain.

Atas dasar menculnya gerakan transnasional Islam, kampanye gagasan mendirikan khilafah dan negara Islam di Indonesia, adanya formalisasi agama dalam hal aturan dan hukum, lahirnya formalisme Islam, menguatnya intoleransi, diskriminasi dan politisi syari’ah (agama). Maka diperlukan suatu pemahaman

Islam kosmopolit, yaitu Islam yang menjunjung tinggi ajaran dan nilai-nilai budaya, Islam yang menjunjung tinggi persamaan hak dan derajat diantara sesama warga negara, Islam yang berpihak pada orang-orang lemah dan berpihak pada orang-orang yang didiskriminasi dan Islam yang sesuai pada konteks zaman dan lingkungan budayanya. Pada penelitian skripsi inilah akan dibahas lebih luas dan jauh bagaimana pemikiran Gus Dur merumuskan gagasan Islam kosmopolitan dalam konteks sosial-keagamaan di Indonesia. Agar penelitian fokus dan

20 Abdurrahman Wahid, h. 19 21 Lihat “Api dalam Sekam; Konflik Aceh Singkil” www.bbc.com 22 Lihat, “Masjid Ahmadiyah di Sukabumi dibakar”, liputan6 pada tanggal 28 April 2008, www.liputan6.com

12

mengkrucut maka yang dimaksud kontes sosial-keagamaan disini yaitu mencakup

tiga aspek utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: konteks

perlindungan hak asasi manusia (HAM), penegakan demokrasi serta kontes

pluralisme dan toleransi di Indonesia. Ketiga aspek inilah yang akan menjadi

pembahasan lebih lanjut dalam penelitian ini sehingga menghasilkan suatu

penelitian yang mengena dan fokus sesuai harapan penulis.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan pada penelitiaan skrispsi ini tidak melebar dan fokus

mengerucut pada tema utamanya, maka peneliti memberikan batasan seputar

“Gagasan Islam Kosmopolitan Abdurrahman Wahid Terhadap Konteks Sosial-

Keagamaan di Indonesia”. Konteks sosial-keagamaan yang dimasud oleh penulis

terkerucut pada tiga pembahasan yaitu: konteks perlindungan Hak Asasi Manusia

(HAM), penegakkan demokrasi, serta konteks pluralisme dan toleransi di

Indonesia.

Peneliti fokus pada beberapa rumusan yang dikaji secara mendalam pada

beberapa point utamanya, yaitu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Akar Pemikiran Islam Kosmopolitan Abdurrahman Wahid?

2. Bagaimana peranan Islam Kosmopolitan Abdurrahman Wahid terhadap

konteks sosial-keagamaan di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gagasan Islam Kosmopolitan Abdurrahman Wahid

2. Sebagai bahan rujukan kajian dan diskursus pemikiran islam di Indonesia

13

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bersifat

teoritik maupun praktik bagi studi pemahaman keislamam khususnya di

Indonesia:

1. Sebagai bahan wawasan pengetahuan dan kajian akademik tantang

gagasan Islam kosmopolitan Abdurrahman Wahid

2. Melahirkan perilaku kesilaman yang moderat dan bersifat universal;

rahmat lil’alamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga

mampu menjawab perubahan zaman.

3. Penelitian ini diharapkan mampu melahirkan pemahaman keislaman

yang menjunjung tinggi kebebasan hak beragama dan hidup toleransi

yang dijamin oleh negara di Indonesia

4. Penelitian ini diharapkan mampu melahirakan diskursus keislaman yang

menjamin kebebasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara

5. Penelitian ini diharapkan melahirkan pemahaman keislaman yang

eksklusif tidak bertentangan dengan demokrasi dan keadilan sebagai

sistem negara Republik Indonesia.

E. Kajian Pustaka

Pada tema penelitan ini ditemukan hasil penelitian sebelumnya sebagai

bahan pembanding, dari penelusuran penulis tentang Islam Kosmopolitan

Abdurrahman Wahid ditemukan beberapa hasil penelitian:

14

Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Amin Maghfuri “Islam

Kosmopolitan dalam Pandangan KH. Abdurrahman Wahid dan Implikasinya

Terhadap Konsep Pendidikan Islam Indonesia”, pada jurusan Pendidikan Agama

Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga tahun 2015.

Penelitian ini menghasilkan suatu kerangka pendidikan Islam yang mendasarkan pada nilai-nilai inklusif, moderat, dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Implikasinya terhadap pendidikan Islam yaitu keharusan adanya keseimbangan dalam pengembangan dimesi qolbiyah dan dimensi aqliyah dalam diri manusia.

Keseimbangan ini dapat dicapai manakala diterapkan di lembaga pendidikan, baik sekolah umum maupun sekolah didalam pesantren.

Peneltian yang dilakukan oleh Usman, seorang peneliti pada Pusat

Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI dengan judul “Pemikiran

Kosmopolit Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan” diterbitkan oleh

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 10 No. 1 Tahun 2008. Hasil penelitian ini bertumpu pada gerakan Islam di Indonesia yang terbagi menjadi dua varian, yakni: Islam kultural dan Islam politik. Dua organisasi keagamaan terbesar di

Indonesia, yaitu: Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyyah memiliki peranan sangat penting dalam membangun wawasan keislaman, kebangsaan dan politik sekalipun. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengambil peranan besar membangun wacana baru keislaman saat menjadi ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Dalam penelitian ini, dihasilkan suatu gagasan bulat tentang keagamaan Islam sebagai sebuah fenomena sosial-budaya, haruslah dikaji dengan tuntas, guna mengetahui peta permasalahan didalamnya, bagi kepentingan penyusunan strategi

15

kebudayaan yang berlingkup nasional (dan bahkan berdampak internasional)

dimasa depan.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, pembahasan Islam Kosmopilitan

dalam tinjauan filsafat dan pemikiran Islam masih sedikit dilakukan khususnya di

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka disini, penulis

berpandangan perlunya suatu penelitian yang membahas tema tersebut. Pada

penelitian ini akan dilakukan melalui kajian buku-buku tulisan Gus Dur dan hasil

penelitian sebelumnya. Penelitian ini difokuskan pada gagasan Islam

Kosmopolitan Gus Dur yang berakar pada universalisme Islam, Pribumisasi Islam

dan Pesantren sebagai Subkultur. Akar pemikiran Islam kosmopolitan ini

kemudian dikaji lagi dalam konteks soaial-keagamaan di Indonesia sebagai suatu

gagasan pemikiran yang memiliki andil sangat besar bagi berkembangnya bangsa

Indonesia.

Penelitian ini bertumpu pada gagasan Islam Kosmopolitan Abdurrahman

Wahid yang kemudian dikerucutkan dan fokus pada konteks perlindungan hak

asasi manusia (HAM) di Indonesia, penegakan demokrasi serta konteks

pluralisme dan toleransi di Indonesia. Pada penelitian ini diharapkan

menghasilkan wacana keislaman yang moderat, rahmat lil’alamin, humanis, dan

sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

F. Metode Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dalam

merumuskan dan menyelesaikan suatu permasalahan. Hal-hal yang berkaitan

16

dengan sumber penelitian dirujuk langsung terhadap buku-buku primer dan bahan penelitian sekunder sebagai penunjang referensinya.

Dalam penelitian ini juga penulis lebih menekankan pada sistem analisis- deskriptif terhadap teks sumber asli pemikiran Gus Dur, serta berbagai sumber penafsiran terhadap pemikiran tersebut. Maka teknik yang utama digunakan adalah studi kepustakan, teknik ini berupaya untuk mengumpulkan data-data terkait suatu permasalahan yang akan dibahas. Sumber primer diambil dari buku lima buku yang penulis sebutkan sebelumnya. Kemudian penulis juga mengambil dari bebagai sumber sekunder, seperti buku-buku dan tulisan Gus Dur yang telah banyak diterbitkan dan dibukukan, serta dari berbagai penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tema pembahasan ini.

Pada teknik penulisan ini menggunakan buku “Pedoman Akademik

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.23, dan buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2007.24 Sedangkan untuk transliterasi Arab-Latin, penulis mengacu pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507

Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

23 Buku ini ditulis oleh Masri Mansoer dan Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai acuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah.

24 Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Ciputat: Penerbit Center for Quality Development and Assurance), 2007, cet. 1

17

G. Sistematika Penelitian

Sistem penelitian penulisan skripsi ini menggunakan uraian-uraian pokok

permasalahan yang dibahas dan dibagi dalam beberapa Bab dan Sub-bab sebagai

berikut:

Pendahuluan, berupa uraian latar belakang, identifikasi masalah, batasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, motede

penelitian dan sistematika penelitian sebagai bahan pokok meneliti permasalahan

yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya.

Biografi Intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pada bab ini penulis

mulai mengenalkan riwayat hidup Gus Dur, latar belakang pendidikannya,

perjalanan karir serta karya-karya Gus Dur. Pembahasan ini sebagai pintu masuk

mengenal Gus Dur secara jauh dan mendalam sehingga dapat diketahui apa dan

bagaimana Gus Dur terbentuk menjadi seorang tokoh pemikir dan pembaharu.

Akar pemikiran Islam kosmopolitan, pada bab ini membahas pondasi dan

landasan pokok lahirnya gagasan Islam kosmopolitan Abdurrahman Wahid.

Disini terdiri dari sub-bab yaitu: Universalime dan Kosmopolitanisme Islam,

Pribumisasi Islam dan Pesantren sebagai Subkultur. Tiga tema ini menjadi

kerangka utama dalam memahami Islam kosmopolitan Abdurrahman Wahid yang

akan dibahas lebih lanjut dan mendalam pada bab selanjutnya.

Gagasan Islam kosmopolitan Abdurrahman Wahid dalam Konteks

Kehidupan Sosial-Keagamaan di Indosesia. Di dalam bab ini membahas

keterkaitan pemikiran Islam kosmopolitan Gus Dur terhadap konteks sosial-

keagamaan. Bagaimana respon gagasan tersebut yang penulis kerucutkan terhadap

18

konteks perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), penegakan demokrasi serta pluralisme dan toleransi di Indonesia.

Penutup, merupakan kesimpulan hasil penelitian yang penulis lakukan tentang bagaimana peranan dan respon gagasan Islam Kosmopolitan

Abdurrahman Wahid terhadap konteks sosial-keagamaan di Indonesia. Pada bab ini juga berisi saran sebagai bahan penelitian lebih lanjut apabila dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan luas.

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID

A. Riwayat Hidup Gus Dur

KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur lahir pada

tanggal 04 Agustus di Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 04

Agustus 1940 M. Seorang putera dari pasangan KH. Abdul Wahid Hasyim dan Nyai.

Hj. Sholihah. Ada beberapa perbedaan informasi yang didapat terkait dengan

kelahiran Gus Dur.1 Perbedaan informasi ini muncul karena pada waktu itu belum

ada catatan resmi mengenai tanggal lahirnya, sehingga menjadi suatu hal yang wajar

bagi orang-orang terdahulu.

Greg Barton menyebutkan dalam buku Biografi Gus Dur, terdapat perbedaan

perihal tanggal lahir Gus Dur. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang

tahunnya pada tanggal 4 Agustus, namun pada Jum’at 4 Agustus 2000 teman-

temannya yang menghadiri hari ulang tahun Gus Dur di Istana Bogor tidak sadar

bahwa sebenernya hari kelahirannya bukan tanggal itu. Gus Dur memang dilahirkan

pada hari keempat bulan kedelapan (4 Sya’ban 1359). Tetapi perlu diketahui bahwa

tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni bahwa Gus Dur dilahirkan pada

bulan Sya’ban, bulan kedelapan penanggalan Islam. Jika dicocokan dengan kalender

Masehi, maka tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September.2

1 Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: Penerbit Saufa), 2016. h. 25 2 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 25

19

20

Konon ceritanya bahwa seorang pejabat pencatatan sipil didesanya yang merupakan seorang muslim saleh mencatat tanggal 4 Agustus sebagai tangal lahir anak sulung dari Ibu Nyai Solichah. Keterangan ini didapatkan ketika Greg Barton melakukan wawancara dengan Gus Dur dan puteri-puterinya, terutama Alissa dan

Yenny. Akan tetapi yang menjadi acuan hidup pada kelahiran Gus Dur yaitu tanggal

4 Agusus 1940. Ini dapat dilihat di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen- dokumen lainnya yang mengacu pada penanggalan kelahiran Gus Dur.

Ayah Gus Dur yaitu KH. Wahid Hasyim merupakan salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1914 di Tebuireng, Jombang.

Ibunya, Nyai. Hj, Solichah merupakan seorang puteri KH. Bisri Sansuri, seorang Kiai

Nahdlatul Ulama (NU), pendiri pondok pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaanya di bidang fikih agama Islam. Kakek dari pihak ayah, Hadrah al-

Syaikh KH. Hasyim Asy’ari3 adalah pendiri pesantren Tebuireng, ia merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia.

Pada era penjajahan Jepang tahun 1942, Kiai Hsyim Asy’ari juga dipercaya menjadi ketua Shumubu, yaitu kantor urusan agama dimasa kolonial Jepang. Atas kekejaman Jepang terhadap Kiai Hasyim, ia ditahan atas kiprah pergerakannya. Pada

3 Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’ari merupakan tokoh pendiri dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Ia juga dikenal sebagai pahlawan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dilahirkan di Jombang pada Februari 1871 dan meninggal pada bulan Juli 1947 di Jombang, Jawa Timur. Ia juga dikenal sebagai seorang guru dari kiai dan ulama-ulama NU, dan juga seorang nasionalis yang teguh dalam pendirian. Dalam silsilah keluarganya sampe pada keturunan Raja Brawijaya VI, yang berkuasa di Jawa pada abad XVI M. Seorang raja terakhir dari kejaraan Majapahit. Tokoh legendaris, Jaka Tingkir putera Brawijaya VI, merupakan orang yang memperkenalkan agama Islam di daerah pantai timur laut Jawa. Bagi sebagian masyarakat Jawa silsilah dan otoritas ini mempunyai makna penting dalam hidup.

21

tahun 1939, Wahid Hasyim terlibat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan ia juga merintis perkembangan Hizbullah, yang merupakan sayap militer MIAI. Disinilah para pemuda dilatih untuk perjuangan revolusioner kemerdekaan Indonesia.

Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia diajak ayahnya ke Jakarta. Umar, adik laki-laki Gus Dur baru saja lahir pada bulan Januari tahun itu. Akan tetapi Wahid Hasyim, ayah Gus Dur memilih untuk meninggalkan keluarganya di Jombang untuk menetap di Jakarta bersama anak tertuanya. Pada saat itu Wahid Hasyim dan Gus Dur tinggal di Menteng, Jakarta Pusat.4

Dengan menetap di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan putera tertuanya ini berada di pusat aktivitas dan kegiatan kota. Misalnya ketika mereka melaksanakan ibadah sholat di masjid Matraman yang letaknya tidak begitu jauh, mereka secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis, seperti Mohammad

Hatta. Orang juga akan dapat dengan mudah bertemu dengan Wahid Hasyim.

Menurut ingatan Gus Dur, saat itu ia sering membukakan pintu pada pukul delapan malam. Seorang laki-laki asing yang berpakaian petani berwarna hitam datang berkunjung untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap selama berjam-jam. Atas permintaan tamu itu, Gus Dur memangginggilnya Paman

Husein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang tersebut adalah Tan

Malaka, seorang pemimpin komunis yang terkenal. Walau Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di negeri ini, namun ia juga menjalin

4 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 37

22

hubungan baik dengan masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-orang komunis lainnya.5

Ketika berada di Jakarta Wahid Hasyim juga aktif terlibat pada Majelis Syuro

Muslim Indonesia (MASYUMI), suatu organisasi pergerakan Islam yang berkembang di era kolonial sebagai respon perlawanan terhadap penjajahan. Disinilah

Wahid Hasyim juga bertemu denga Soekarno, Hatta dan pemimpin nasionalis lainnya. Wahid Hasyim juga terlibat dalam anggota perumus Undang-Undang Dasar

1945, dan terlibat aktif dalam perumusan falsafah Pancasila. Disinilah sedikit kurangnya jiwa kepemimpinan para tokoh berpengaruh terhadap Gus Dur. Pertemuan dengan tokoh-tokoh besar dan sikap cinta tanah air sangat dijunjung oleh ayahnya beserta sahabat-sahabatnya dalam pergerakan membangun bangsa.

Pada tahun 1948, ketika perjanjian perdamaian sudah ditandatangani oleh pihak Belanda, para pejuang Indonesia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Bugitu juga dengan Wahid Hasyim, balik ke Jombang kota kelahirannya.6 Pada masa kemerdekaan, Wahid Hasyim terlibat aktif dalam pemerintahan Indonesia, pada bulan Desember 1949, ia kembali ke Jakarta untuk menyiapkan tempat tinggal keluarganya. Ini bukan pertama kali Gus Dur ke Jakarta, akan tetapi sebelum-sebelumnya sudah beberapa kali dalam mendampingi ayahnya.

5 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.37 6 Nur Hidayah,”KH. Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran dan Peranan Politiknya di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alaudin Makasar, 2013), h. 12

23

Saat itu juga, Wahid Hasyim sedang menjadi Menteri Agama. Ia menjabat selama lima kabinet dan baru melepaskannya pada bulan April 1952.7

Suasana rumah baru Gus Dur yang bertempat di Matraman hampir sama dengan suasana di rumah kakeknya, yang selalu ramai dikunjungi oleh para tamu yang terdiri dari para tokoh dari berbagai kalangan. Ini memberikan pengalaman sendiri kepada Gus Dur. Secara tidak langsung Gus Dur mulai bersentuhan dengan politik yang didengar dari kolega ayahnya. Berkat teman ayahnya juga Gus Dur menjadi tertarik dengan musik klasik Eropa khususnya karya-karya Beethoven.

Bahkan sering kali Wahid Hasyim mengirim Gus Dur ke rumah Williem Iskandar, ketika sore selepas sekolah untuk belajar musik klasik tersebut.8

Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta, Gus Dur sering bersama ayahnya dan terkadang menemaninya pergi kepertemuan-pertemuan, baik saat ayahnya menjabat sebagai Menteri Agama maupun setelah dia turun dari jabatannya. Ini semua dilakukan karena baginya penting terhadap pertumbuhan dan pendidikan bagi anak sulungnya ini. Dari sinilah Gus Dur banyak melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain dan bertemu dengan banyak tokoh.

Pada hari Sabtu, 18 April 1953, Gus Dur berpergian menggunakan mobil menemani ayahnya untuk menghadiri rapat NU di Sumedang. Hujan turun cukup deras kerika ia berada diantara Cimahi dan sehingga membuat jalanan menjadi licin. Keadaan ini mengakibatkan mobil yang mereka selip menabrak truk

7 Nur Hidayah, “KH. Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran dan Peranan Politiknya di Indonesia”, h. 13 8 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 39

24

yang sedang berhenti. Hal ini mengakibatkan dua penumpang yang duduk dibelakang yakni Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar keluar sedangkan Gus Dur dan supir tidak mengalami luka apapun. Wahid Hasyim mengalami luka yang sangat serius dikepala dan kening, satu sisi dari muka dan lehernya terkoyak dan memar.

Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 13:00 tapi mobil ambulan dari Bandung baru tiba pukul 16:00. Keesokan harinya tanggal 19 April 1953, tepatnya pada pukul 10:30,

Wahid Hasyim meninggal dunia, Argo Sutjipto menyusul berpulang ke rahmatullah beberapa jam kemudian. Wahid Hasyim meninggal pada usia 38 tahun. Ia dimakamkan di Pesantren Tebuireng, Jombang. Kematian ayahnya disaksikan langsung oleh Gus Dur yang saat itu berusia 12 tahun, ini membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.9

Bagi Solichah, Wahid Hasyim adalah orang yang sempurna. Kematiannya pada bulan April 1953 membuatnya mengalihkan semua ambisi dan aspirasinya kepada Gus Dur. Baginya, adalah hal yang wajar bahwa puteranya harus meneruskan kerja yang telah dirintis oleh sang ayah dan memenuhi, bagi solichah sendiri, apa yang sudah digariskan nasib. Bagi Gus Dur muda, Wahid Hasyim dijadikan teladan.

Kehidupan sang ayah menjadi jalan hidup yang harus ditempuhnya sendiri nanti.

Walaupun Gus Dur dikenal sering berguru dan bukan seorang penurut, namun ia selalu menghormati ibunya. Ia selalu menuruti kata-kata sang ibu, paling tidak

9 Saifullah Ma’shum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan), h. 313

25

dihadapannya.10 Begitulah Gus Dur, ia mempunyai karakternya tersendiri sedari kecil

meskipun kadagkala ia juga suka bandel.

B. Latar Belakang Pendidikan

Saat kecil, Gus Dur belajar langsung membaca Al-Qur’an pada KH. Hasyim

Asy’ari, kakenya. Diusianya yang kelima tahun, ia telah lancar membaca Al-Qur’an,

pencapaian yang luar biasa bagi anak-anak seumuranya.11 Ini menjadi tradisi hampir

semua anak seorang kiai pesantren yang sedari kecil dibekali ilmu agama oleh

orangtuanya sendiri.

Saat Wahid Hasyim pindah ke Jakarta, Gus Dur memulai pendidikannya

sekolah dasarnya di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) Jakarta Pusat.

Meskipun ayahnya seorang menteri terkenal dikalangan pemerintahan, akan tetapi

Gus Dur tidak pernah belajar di sekolah elit dan lebih menyukai sekolah-sekolah

biasa. Saat Gus Dur telah duduk di kelas lima, ia kemudian pindah ke SD Matraman

Perwari yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya di Matraman Jakarta Pusat.12

Kehidupan keluarganya yang sederha menjadikan Gus Dur terbiasa dengan hal-hal

yang sederhana pula, tidak selalu dengan yang mewah termasuk tempat sekolah

baginya.

Selain belajar di sekolah formal, Gus Dur juga mengikuti les privat bahasa

Belanda. Guru Privatnya yaitu Williem Iskandar Bueller, orang yang mengajarkan

10 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 48 11 Nur Hidayah, ,”KH. Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran dan Peranan Politiknya di Indonesia”, h. 22 12 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 42

26

Gus Dur musik klasik Eropa. Meskipun Gus Dur sekolah di sekolah umum, namun ia juga tetap belajar bahasa Arab dibawah bimbingan ayahnya. Apalagi didekat rumahnya terdapat banyak buku, majalah, kora dan lain-lain dalam berbagai bahasa sehingga semakin menambah motivasi Gus Dur belajar bahasa asing dan membuka cakrawala berfikir Gus Dur.

Kegemaran membaca muncul sejak Gus Dur masih muda, ini membuat Gus

Dur belajar otodidak dan membaca buku sangat banyak. Rasa ingin tahu menggebu- gebu dalam dirinya. Ayah Gus Dur memberikan kebebasan terhadapnya dalam hal belajar, termasuk apa saja. Ini menumbuhkan hasil yang positif. Hal ini menjadi kebiasaan Gus Dur sampe menjelang akhir hidupnya, ia menjadi seorang pembaca ulung dan pengingat yang baik.

Pada tahun 1954, satu tahun pasca ia menamatkan sekolah dasarnya, ia melanjutkan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini jelas disebabkan oleh karena seringnya ia menonton pertandingan sepak bola sehingga ia tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Oleh karena itu ia cukup pandai walaupun pada saat yang sama cenderung bermalas-malasan, hingga saat itu

Gus Dur belum pernah kerja keras. Ia menjadi bosan karena pelajarannya membosankan. Alih-alih Gus Dur tidak sedih pasca kematian ayahnya, namun pada satu sisi Gus Dur menyembunyikannya, ia menghabiskan waktunya untuk menonton bola dan membaca buku.13

13 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 42

27

Kemudian melihat perjalanan hidupnya, Ibu Sholichah berjuang sendiri membesarkan keenam anaknya. Melihat satu sisi pendidikan Gus Dur, ditahun yang sama ia dikirim ke Yogyakarta untuk sekolah di SMP. Saat di Yogyakarta Gus Dur tinggal di rumah Kiai Junaidi, salah satu teman ayahnya. Kiai Junaidi merupakan salah satu tokoh dan ulama Muhammadiyah14, ia juga merupakan anggota Majelis

Tarjih atau yang dikenal dengan sebutan Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah.

Ini mungkin biasa saja, akan tetapi pada waktu itu dan bahkan beberapa tahun berikutnya, secara relatif hampir tidak ada aturan tertulis antara kaum modenis

Muhammadiyah dan kaum tradisionalis NU. Disaat yang sama kedua organisasi ini masih saling berkukuh pada prinsipnya masing-masing belum ada forum pertemuan dan perjumpaan antara tokoh-tokoh dikedua organisasi besar ini.

Disatu sisi lain, seiring berjalannya waktu banyak orang Muhammadiyah dan

NU mempunyai hubungan pribadi yang baik dan banyak kerja sama yang dijalain oleh kedua organisasi ini. Banyak juga anggota kedua organisasi ini yang terlibat aktif dalam gerakan nasionalis. Selama masa pendudukan Jepang, kedua organisasi ini terpaksa bergabung menjadi satu yang akhirnya dinamakan MASYUMI (Majelis

Syura Muslim Indonesia). Pasca pendudukan Jepang berakhir, kedua organisasi ini terus bergerak-bekerjasama dalam bidang politik. Pemimpin-pemimpin

Muhammadiyah dan juga NU bekerjasama dibawah bendera Masyumi, yang pada saat itu telah menjadi partai politik besar yang mewakili kepentingan-kepentingan

14 Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh Kyai Hj. Ahmad Dahlan, pada tahun 1912 sebagai respon terhadap gerakan modernis di Timur Tengah. Visinya yaitu mereformasi dan memodernkan pemikiran dan praktik Islam.

28

Islam. Akan tetapi, pada tahun 1952, NU memisahkan diri dari Masyumi, karena telah membesarnya antipati antara kedua organisasi ini.

Disaat yang sama untuk memenuhi pendidikan Gus Dur, ia juga belajar di

Pesantren Al Munawir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini diasuh oleh KH.

Ali Ma’shum15, ia merupakan salah satu tokoh NU dimasanya. Gus Dur memang pembaca ulung semenjak kecil, ditengah kepadatannya ia selalu membaca buku-buku tanpa mengesampingkan tugas utamanya sebagai pelajar.

Pada tahun 1957, setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi

Pertama di Yogyakarta, Gus Dur mulai fokus mengikuti mengaji secara penuh di pesantren. Ia kemudian melanjutkan ngaji di Pesantren Tegalrejo, Magelang dibawah bimbingan Kiai Khudori, yang merupakan pengasuh pesantren dan tokoh NU termuka. Gus Dur melakukan studi pesantren dengan sangat cepat, ia menempuh hanya dua tahun menyelesaikan belajar di pesantren ini, yang rata-rata kawan sebayanya menempuh waktu selama empat tahun dalam belajar. Gus Dur lebih banyak meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku Barat dari pada hal-hal yang lainnya.

Sampai kurun waktu pertengahan 1959, Gus Dur pada saat yang sama ia juga belajar di Pesantren Denanyar, Jombang dibawah asuhan Kiai Bisri Sansuri.

Kemudian ditahun yang sama juga Gus Dur pindah ke Jombang, untuk belajar di

15 KH. Ali Ma’shum merupakan pengasuh Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta, ia lahir pada Maret 1915, jika dilihat dari usia ia lebih tua satu tahun dari Wahid Hasyim, ia juga dikenal sebagai kiai yang egaliter.

29

Pesantren Tambakberas di bawah bimbingan Kiai Wahab Hasbullah.16 Gus Dur belajar disini sampai pada tahun 1963, dan selama nyantri di Tambakberas, ia juga selalu berhubungan baik dengan Kiai Bisri Sansuri.

Pada saat di Tambakberas, selama dalam kurun waktu satu tahun. Gus Dur ia mendapat dorongan untuk mengajar, ia kemudian mengajar dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolahnya. Selama disini juga, Gus Dur masih aktif berkunjung ke

Krapyak secara teratur. Di Krapyak ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum, pada masa inilah sejak tahun 1950-1963, Gus Dur mendalami kajian Islam dan sastra Arab klasik.

Ketika tinggal di Yogyakarta, ia mulai menyukai film, hampir sebagaian waktunya ia habiskan untuk menonton film. Ia mencoba membaca apa saja bukan hal-hal yang sifatnya agama saja, melainkan semuanya, dan ia padukan diantara keduanya.17 Saat tinggal di Yogya pula Gus Dur mulai menyukai wayang kulit, yang merupakan kesenian tradisional Jawa. Di Yogyakarta pertunjukan wayang kulit sering digelar dalam acara-acara kebudayaan dan diwaktu bersamaan Gus Dur juga menyukai dunia sastra picisan. Baginya, bacaan ini mengandung nilai sangat penting dalam unsur-unsur hidupnya. Ia sangat menyukai cerita silat, cerita mengenai pendekar silat Cina yang ditulis oleh penulis-penulis Indonesia keturunan Cina.

16 KH. Abd. Wahab Hasbullah merupakan pahlawan Nasional, ia adalah motorik dalam berdirinya Nahdlatul Ulama. Ia juga dikenal sebagai kiai yang pandai diplomatis. Dalam perjalanannya ia banyak berkiprah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disatu sisilain Kiai Wahab juga sangat nasionalis, ini dibuktikan dengan banyaknya garis perjuangan yang telah dibentuk dan diteladankan olehnya, salah satunya adalah perjuangan NU dalam mengawal pra dan pasca kemerdekaan. 17 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 54

30

Bukan hanya itu, disini juga Gus Dur mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan, yaitu: pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan

Rusia. Ia membaca apa saja, terkadang ia membawa buku yang diperoleh dari perpustaan ayahnya di Jakarta atau ia memperoleh buku-buku dari teman-teman keluarganya yang tahu benar tentang kegemaran membacanya ini.18

Sebagai seorang remaja, ia mulai akrab dengan bacaan-bacaan filsafat, ia mulai memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting dalam perkembangan mengenai sarjana-sarjana muslim di abad pertengahan. Pada saat yang sama, ia juga bergulat memahami Das Kapital karya Karl Marx dan What is to be Done karya Lenin. Buku-buku ini mudah diperoleh dinegeri ini ketika Partai

Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.19

Bagi Gus Dur suatu yang menarik bukan filsafat atau gerakan politiknya yang menjadi titik abstrak, akan tetapi bagaimana agar memiliki sifat manusiawi. Pada saat itulah, ia mulai mencintai dan bergulat pada hal dan problem yang sifatnya menjunjung nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang digemarinya yaitu wayang kulit, film dan sastra.

Pada tahun 1960-an, bertemu dengan seorang gadis ketika ia mulai mengajar di madrasah Tambakberas Jombang, ia tertarik dengan gadis tersebut. Namanya

18 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 56 19 Ibid,. h. 56

31

adalah Shinta Nuriyyah, ia adalah gadis cantik diantara kawan-kawan sekelasnya, ia juga gadis yang cerdas dan berpandangan luas. Disatu sisi Shinta juga merupakan cucu dari Kiai Bisri Syansuri. Bagi Gus Dur, karena kecerdasan dan pandangannya yang luas itulah ia tertarik untuk tujuan hidupnya yang kuat.

Kemudian selang beberapa tahun setelah ia mengajar di Tambakberas, pada bulan November tahun 1963 Gus Dur mendapatkan beasiswa studi di Universitas Al-

Azhar Kairo, Mesir. Ia studi di Fakultas Syari’ah Al-Azhar Cairo, Mesir. Mulanya

Gus Dur sangat tertarik dan bersemangat belajar di Al-Azhar, akan tetapi ada rasa menyesal didalam dirinya sebab ditingakat pertama pada Universitas ini tidak banyak mengajarkan hal yang menarik dan hal-hal baru bagi seorang Gus Dur yang sangat kutu buku itu.

Gus Dur dapat dengan mudah lulus Bahasa Arab pada akhir tahun 1964, maka ia menjadi sangat percaya bahwa ia mampu melompati kelas-kelas pemula yang biasa dalam studi di Universitas. Oleh karenanya adanya rasa percaya diri itu, ia melihat bahwa studi Islam sama membosankannya dengan kursus dasar bahasa Arab.20 Gus

Dur memandang enteng pesriapan yang diperlukan untuk dapat lulus ujian akhir.

Terlebih pada awal-awal tahun 1965-an Gus Dur sangat sibuk, sedangkan ia juga mempunyai perhatian besar terhadap mendesaknya ‘kudeta’ 30 September 1965, seorang Gus Dur mempunya perhatian lebih terhadap Indonesia selama di Mesir.

Setelah beberapa tahun di Mesir Gus Dur mendapatkan beasiswa di

Universitas Baghdad pada tahun 1966, ia melanjutkan studinya disini mengambil

20 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 98

32

jurusan sastra Arab. Ini merupakan kesempatan baik bagi Gus Dur untuk memulai keinginannya dari awal.21 Universitas Baghdad merupakan universitas yang ternama dan mapan, memiliki banyak prestasi. Universitas ini juga telah mengalami perubahan menjadi universitas bergaya Eropa. Di universitas ini diharapkan para mahasiswa dapat banyak membaca dan berpikir kritis. Gus Dur tertantang dengan hal ini, satu sisi adalah dorongan intelektual sejati bukan cara belajar menghafal. Di

Universitas ini Gus Dur tumbuh menjadi seorang cendikiawan. Gus Dur banyak membaca buku dan juga ia mengikuti kursus bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan

Prancis saat ia tinggal di Baghdad.

Pada tahun 1970 Gus Dur telah menyelesaikan studinya di Baghdad selama empat tahun. Kemudian ia melanjutkan pindah ke Eropa, awal mulanya ia tinggal di

Belanda untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya. Namun naaslah, karena ia mendapat informasi bahwa di Leiden dan juga seluruh Eropa, studi di

Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan. Gus Dur ditetapkan syarat untuk mengulangi studinya ditingkat sarjana.

Gus Dur tinggal di Belanda selama enam bulan. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk mencari tahu mengenai kesempatan bisa belajar di Leiden dan universitas di kota-kota lainnya seperti Jerman dan Prancis. Diselang waktu itu ia mencari uang dengan bekerja untuk memenuhi biaya hidupnya. Dari belanda

21 Marzuki Wahid, dalam makalah Gus Dur Studies disampaikan saat pelatihan Akademi Kepemimpinan Gus Dur, pada tanggal 29 November-1 Desember di Wisma Hijau Depok. Pelatihan ini merupakan upaya Jaringan Gusdurian Indonesia dalam menyebarkan, meneladani nilai-nilai perjuangan Gus Dur sebagai inspirasi dalam menjaga dan merawat kehidupan berbangsa dan bernegara.

33

kemudian Gus Dur pindah ke Jerman selama empat bulan dan kemudian ia pindah ke

Prancis selama dua bulan. Setelah mengembara di Timur Tengah dan Eropa akhirnya

Gus Dur memutuskan untuk kembali ke Tanah Air.

Pada tahun 1971 Gus Dur kembali ke Jakarta, ia kemudian bergabung dengan

Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Disamping itu ia juga aktif menulis gagasan dan pemikirannya di Majalah Prisma

bahkan ia juga menulis banyak artikel-artikel tentang pemikiran dan gejolak

persoalan-persoalan yang terjadi di Tanah Air.22 Inilah perjalanan awal intelektual

dan karir Gus Dur, ia dibentuk dari sari-sari buku dan pengalaman hidupnya.

C. Perjalanan Karir

Setelah menyelesaikan studi di Timur Tengah dan melalang buana sampai ke

Eropa, Gus Dur kembali ke Jawa pada tanggal 4 Mei 1971. Begitu kembali di Tanah

Air, tinggal dirumah ibunya di Matraman, Gus Dur ingin sekali mengetahui apa saja

yang sedang terjadi di negerinya. Sembari ia menunggu selama satu tahun untuk

niatan melanjutkan studinya memperoleh beasiswa di Mc Gill. Diwaktu-waktu itu

Gus Dur banyak mengunjungi pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sedangkan Shinta Nuriyah sendiri sedang sibuk menempuh studi stara satunya di

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tidak lama kemudian di bulan september tahun

yang sama Gus Dur dan Shinta melaksanakan resepsi pernikahannya. Pacsa

pernikahannya mereka tinggal di Jombang, Gus Dur sendiri berkeliling ke Jawa.

22 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6

34

Perjalanannya pulang pergi dari Jombang ke Jakarta atau ke daerah lainnya sering dilakukan oleh Gus Dur saat kembali ke tanah air. Pada tahun 1971 ia memulai aktif dilembaga LP3ES dan aktif menulis gagasan pemikiran dan respon ia terhadap persoalan di tahan air melalui majalah Prisma. Setiap dua minggu sekali Gus Dur teratur ke Jakarta untuk ngantor di LP3ES. Lembaga ini lahir pada tahuan 1970-an.

Pada mulanya LP3ES didanai oleh German Nauman Institute dan kemudian mendapatkan bantuan dari Yayasan Ford. Lembaga ini menarik bagi para intelektual muda negeri ini, terutama yang berasal dari kalangan Islam progresif dan kaum sosial demokrat, seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin, dan Abdurrahman

Wahid. Salah satu penting lembaga ini yaitu menerbitkan jurnal Prisma23 yang selama bertahun-tahun menjadi jurnal ilmu sosial utama di Indonesia.24

Pada tahun 1972, Gus Dur mulai memberikan ceramah dan seminar secara teratur dengan berkeliling Jawa. Ia juga menulis kolom untuk majalah berita nasional seperti Tempo dan juga artikel di Kompas, yang merupakan surat kabar termuka milik orang Cina Katolik. Kolom-kolom Gus Dur di Tempo dan Kompas mendapat sambutan baik dan dengan cepat ia dianggap sebagai pengamat sosial yang sedang naik daun. Sebagaimana disebutkan, ia juga merupakan penulis di jurnal Prisma, artikel-artikel dan makalah-makalah diseminar akademiknya telah memberikan jalan kemungkinan untuk mengambangkan pikiran yang lebih jauh.25

23 Arikel-artikel Gus Dur yang ditulis di jurnal Prisma telah dikumpulkam kemudian dicetak kembali dalam M. Saleh Isre(penyunting), “Prisma Pemikiran Gus Dur”, kemudian diberi pengantar oleh Hairus Salim dan Greg Barton. (Yogyakarta: LKiS, 1999). 24 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 114 25 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6

35

Gus Dur juga aktif di dunia pendidikan pesantren, ditahun 1974 ia menjadi pengajar di pesantren Tambakberas, mengasuh kitab Al-Hikam. kemudian ia diangkat menjadi dosen dan juga sekaligus merangkap sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang pada tahun 1977.26 Ditahun ini ia juga fokus mengajar dan mengembangkan pesantren, selanjutnya ia mendapatkan amanat oleh pamannya KH. Yusuf Hasyim, untuk menjadi sekretaris umum pesantren Tebuireng

Jombang, hingga tahun 1980.27 Dalam usia 37 tahun, karirnya menanjak terus dan dengan demikian kehidupannya yang biasanya nyaman dengan cepat sekarang dipenuhi oleh kesibukan.28

Diwaktu yang sama Kiai Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari jalur istri meminta agar ia aktif bergabung di Syuriah Nasional NU. Syuriah merupakan dewan penasihat agama organisasi NU. Akan tetapi Gus Dur tidak langsung meng- iyakannya. Dipermintaan ketiga kalinya baru ia membuka pembicaraan dengan ibunya. Secara tidak langsung bahwa NU bukanlah organisasi yang asing bagi Gus

Dur, darah dalam dirinya mengalir keturunan pendiri dan tokoh-tokoh besar NU.

Sejak kematian ayahnya, ibunya selalu menekankan agar ia meneruskan perjuangan yang telah dilakukan oleh ayahnya. Di tahun 1978 inilah kemudian Gus Dur bergabung dengan syuriah nasional NU atas restu dari ibunya. Ini berarti ia harus secara teratur berada di Jakarta agar dapat mengikuti rapat-rapat yang diagendakan.

26 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h.123 27 Abdul Mujib, ”Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h. 61 28 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 124

36

Disinilah Gus Dur aktif bersama Kiai Bisri Syansuri, kakeknya yang pada waktu itu menjabat sebagai Rais Aam NU.

Selang beberapa tahun, tepatnya pada 1980 Kiai Bisri meninggal. Atas wafat kakeknya ini menjadi alasan bagi Gus Dur untuk menetap di Jakarta. Ia kemudian pindah secara tetap di Ciganjur, Jakarta Selatan. Rumahnya sangat sederhana. Di desa inilah kemudian Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Bukan hanya itu, Gus Dur juga terlibat aktif dalam diskusi mengenai masalah agama, sosial, politik dan budaya.

Perjalanan karirnya melalang buana luas, pada suatu waktu ia juga menjadi ketua

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ditahun 1983. Bahkan ia juga diminta menjadi ketua juri Festifal Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.29

Ditahun 1983 Gus Dur lebih giat lagi melakukan kunjungan-kunjungan ke pesantren di seluruh Jawa, ia juga mengunjungi basis-basis kekuatan NU di Jawa,

Sumatra, dan Kalimantan. Ini merupakan kesadaran Gus Dur karena adanya desakan yang terjadi didalam NU karena adanya banyak kebingungan dan pertentangan dalam kepemimpinan nasional NU. Kunjungan-kunjungannya sebagai jalan untuk mejelaskan kepeda mereka tentang perlunya mengadakan pembaruan, dan menyadarkan mereka tentang perlunya pembaruan tersebut.

Pada saat yang sama Gus Dur mulai bekerja sama dengan Kiai Ahmad Siddiq untuk memformulasikan tanggapan atas isu Pancasila.30 Pada awal tahun 1983, telah

29 Ahmad Nurcholis, Peace Education dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur, (Jakarta: Elex Media Komputindo), 2015, h. 144 30 Menjelang tahun 1983, Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia telah semakin jelas arah geraknya, ia menginginkan diterimanya Pancasila secara luas sebagai asas tunggal bagi semua

37

berlangsungnya sidang lima tahunan MPR yang memilih Soeharto kembali sebagai presiden, kemudian Soeharto berpidato di Riau dan mendesak perlunya menerima

Pancasila sebagai asas tunggal oleh semua kelompok masyarakat, termasuk organisasi keagamaan. Gus Dur mendapat informasi dari Benny Murdani seorang intelejen bahwa organisasi-organisasi yang menolak mengakui Pancasila sebagai

‘asas tunggal’ akan menghadapi desakan dari pemerintah.31

Gus Dur telah percaya bahwa Pancasila merupakan kompromi terbaik untuk memecahkan masalah-masalah sulit mengenai hubungan ‘agama dan negara’.

Sepanjang tahun 1970-an dan pada awal 1980-an ia menyatakan idenya dalam serangkaian tulisan pendek dan panjang tentang argumentasi bahwa sebuah konstitusi yang secara formal menetapkan peran bagi Islam dalam negara akan akibat yang tidak menyenangkan, bukan saja bagi kaum non-Muslim dan bagi kaum Muslim abangan, melainkan juga bagi kaum santri yang tidak setuju dengan garis resmi keagamaan yang dibuat negara. Ia berpendapat bahwa jika negara dilibatkan menjadi juri bagi masalah-masalah agama, hasilnya akan selalu berupa penginjak-injakan kemerdekaan beragama warga negara oleh negara. Karena itu, kata Gus Dur, lebih baik bagi negara menjaga jarak dari masalah-masalah agama dan membiarkan organisasi-organisasi agama yang mengurus masalah mereka sendiri. Pada saat yang sama ia juga mengakui bahwa tidaklah dapat dipahami dalam suatu masyarakat muslim yang terbesar di dunia, orang akan begitu saja menerima suatu konstitusi

organisasi. Ditahun-tahun ini banyak sekali pertentangan baik yang pro maupun kontra terhadap adanya inisiasi diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. 31 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 160

38

yang tidak mengakui sumbangsih agama terhadap masyarakat, khususnya setelah terjadinya penghancuran komunisme tahun 1965-1966, dengan segala akibat emosional dan ketakutan akan ateisme yang dihasilkanya. Hal ini berarti bahwa menurut Pancasila negara tidaklah bersifat sektarian maupun sekular, dan oleh karenanya Pancasila merupakan kompromi yang terbaik.32

Sebagai tanggapan terhadap pidato Soeharto mengenai Pancasila di Riau, Gus

Dur bertemu dengan Kiai Ali Ma’shum, yang menjadi Rais Aam NU pada waktu itu, dan ia meminta agar Dewan Syuriah membentuk komite untuk membicarakan posisi

NU dan Pancasila. Setelah itu terbentuklah komisi tersebut yang diketuai oleh Kiai

Ahmad Siddiq dengan Gus Dur sebagai sekretarisnya. Setelah lima bulan komite ini melakukan pertemuan-pertemuan, dan memerikasa bahan dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Kitab Kuning untuk mendapat dukungan bagi diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal NU. Dan akhirnya dihasilan rumusan yang berbunyi: “ Islam bersifat pluralistik dan oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam harus pluralistik, dan hal ini sesuai dengan tradisi NU”. Bagi mereka hal ini memberikan lebih banyak ruang untuk memungkinkan diterimanya Pancasila tanpa menimbulkan anggapan bahwa mereka telah menjual diri kepada pemerintah.33

Kiprah Gus Dur di NU menjadikan ia mendapat kepercayaan menjabat sebagai ketua umum PBNU, di tahun 1984, Gus Dur ditunjuk secara aklamasi oleh

32 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 160 33 Greg Barton, Biografi Gus Dur, h. 161.

39

ahl Hall wa al-‘Aqdi34 yang diketuai KH. As’ad Syamsul Arifin pada Muktamar ke-

17 di Situbondo. Jabatan itu kembali Gus Dur raih pada Muktamar ke-28 di Krapyak,

Yogyakarta pada 1989.35 Perjalanan karir Gus Dur di NU sangatlah panjang, ia banyak memberikan pembaharuan besar bagi organisasi ini.

Perjalanan karir Gus Dur terus melonjak, ia menjadi ketua umum PBNU selama 15 tahun (1984-1999), waktu yang tidak singkat dalam membangun dan melakukan upaya kemajuan NU yang berpijak pada ahlus sunah wal jama’ah sebagai pondasi organisasinya. Selama menjabat menjadi ketua umum PBNU banyak juga yang mengkritik pemikiran dan gerakannya, bukan tanpa alasan Gus Dur adalah tokoh yang kontoversi atas tindakan dan pikirannya. Bahwa hanya terhadap dirinyalah ia melakukan apa yang ia ingikan.

Kemudian diusianya yang ke 47, Gus Dur menjabat sebagai Ketua Umum

Majelis Ulama Indonesia. Ia menjabat selama lima tahun dari 1987-1992.36

Banyaknya posisi yang diduduki oleh Gus Dur membuat dirinya sangat sibuk, bahkan ia hampir tiap minggu berpindah dari suatu kota ke kota lain. Keluarganya yang dirumahpun seringkali ditinggalkan, kehidupan Gus Dur baginya adalah suatu jalan untuk pengabdian dan melakukan segala kebaikan.

Ditahun-tahun ini pula, yaitu tahun 1983, ia mendirikan Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); dan pada tahun 1989 ia dinyatakan

34 Yaitu sebuah tim yang dibentuk untuk memilih dan memutuskan seseorang yang pantas untuk menjadi pimpinan PBNU, berisi Kiai-Kiai sepuh NU. 35 Abdul Mujib, ”Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam”, h. 62 36 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6

40

sebagai tokoh 1989 versi Surat Kabar Pikiran Rakyat dan tokoh 1990 versi Majalah

Editor. Selanjutnya pada tanggal 16 Maret 1991 ia juga mendirikan Forum

Demokrasi (FORDEM)37 Jakarta. Pada tahun 1992 ia mendirikan Gerakan Anti

Diskriminasi (GANDI), dan kemudian ia dinyatakan sebagai Tokoh Terpopuler tahun

1999 versi Surat Kabar Harian Umum Kompas.38 Setelah itu pada tahun 1994 ia diangkat sebagai Presiden of Word Conferensi on Religion and Peace (WRCP), Italia di usianya yang ke-54, pada tahun 1994.39

Pada tahun 1998 Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah dalam menyampaikan aspirasi politiknya. Tentunya tidak hanya itu, pasti mempunyai tujuan yang lebih besar yaitu kemaslahatan umum. Ia juga menjadi

Ketua Dewan Syura DPP PKB. Kemudian setahun setelahnya, tahun 1999 Gus Dur diminta menjadi ketua Dewan Maritim Indonesia (DMI).40

Perjalan Gus Dur terus mengalir, pada 20 Oktober 1999 ia terpilih menjadi

Presiden Republik Indonesia. Tentunya jalan yang ia lalui tidak mulus, akan tetapi penuh liku-liku. Jabatan kursi kepresidenan Gus Dur tidak berlangsung lama, banyaknya orang yang yang mengkritik dan tidak suka terhadap dirinya membuat ia berjuang dengan kuat tanpa kompromi. Gejolak serangannya pun dilakukan baik dari dalam maupun dari luar, ia tetap pada pendiriannya tidak kompromi kepada siapaun.

37 Forum ini didirikan atas respon terhadap peristiwa pembredelan tabloid Monitor dan didirikannya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), pada pertengahan 1991. Gus Dur dan sejumlah kawan-kawan seperjuangannya merasa terus prihatin dengan terus meningkatnya sektarianisme atau politik aliran. Pada Forum ini Gus Dur menjadi ketua dan juru bicara forum ini. 38 Abdul Mujib, ”Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam”, h. 62 39 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6 40 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h.6

41

Tidak lama menjabat selama 21 bulan (1,9 tahun dari 1999-2001), pada tanggal 23

Juli 2001 ia dilengserkan dengan secara non-konstitusional oleh MPR. Tentunya ini menjadi luka bagi dirinya dan para pendukungnya. Namun dengan kebesaran jiwa

Gus Dur ia tidak melakukan balas dendam apapun, bagianya jabatan presiden itu tidak ada tingginya, bila harus direbutkan dengan mengorbankan darah.

Pasca turun dari kursi kepresidenan, Gus Dur tetap aktif pada gerakan kultural. Ia menjadi Mustasyar PBNU tahun 2000-2009, selama sembilan tahun. Ia mengabdikan diri kepada NU sampai pada usia tuanya. Di tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2002, setelah Gus Dur tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Ia menjabat sebagai Rektor Universitas Darul Ulum Jombang.41 Ditahun yang sama ia juga menjabat sebagai Penasiha Solidaritas Korban Pelanggaran HAM.42

Pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat Gerakan Moral

Rekonsiliasi Nasional.43 Kemudian satu tahun berikutnya, pada tanggal 7 September

2004 Gus Dur mendirikan The Wahid Institute, Indonesia. Lembaga yang berusaha mewujudkan prinsip dan cita-cita Intelektual Abdurrahman Wahid dalam membangun Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia. Dalam berbagai programnya, Wahid Institute menggelar kegiatan di

41 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6 42 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 6 43 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h.6

42

lingkungan aktivis muslim progresif dan dialog-dialog antara pemimpin agama-

agama dan tokoh-tokoh politik di dunia Islam dan Barat.44

Selama kurun waktu itu Gus Dur aktif diberbagai kegiatan, yang kemudian

membuat kesehatan dirinya semakin melemah. Ini diakibatkan oleh penyakit pada

dirinya, kurang lebih diusianya yang ke-69, pada 30 Desember 2009 pukul 18:45 Gus

Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

D. Karya-Karya dan Penghargaan

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh avant-garde dalam

memperjuangkan hak-hak kaum minoritas Indonesia. Pembelaanya telah

mendapatkan pengakuan dari masyarakat nasional dan dunia Internasional. Gus Dur

telah berkali-kali mendapat penghargaan sebagai pembela rakyat kecil yang marjinal

dan tertindas.45

Perjuangan Gus Dur yang bersifat beyound syimbols pada dasarnya bersumber

dari pemikiran keislamannya yang universal dan toleran. Nilai-nilai universal dan

toleran dalam Islam bagi Gus Dur adalah muatan ajaran Islam yang mengedepankan

kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan. Yakni, suatu

keterbukaan yang membuat kaum muslim mampu menyerap berbagai nilai budaya

dan wawasan keilmuan yang beragam dari berbagai peradaban yang saling

bersinggungan, sebagai akibat dari semakin meluasnya pergaulan dunia.46

44 www.wahidinstitute.org //sejarah berdirinya The Wahid Institute, diakses pada 12 Februari 2020 45 Ibad Ahmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, (Yogyakarta: LKiS. 2012) Cet. 2, h. 3 46 Ibad Ahmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, (Yogyakarta: LKiS. 2012) Cet. 2, h. 4

43

Sejak menjadi seorang Ketua Umum Tanfidziyyah PBNU pada tahun 1984,

Gus Dur telah menjadi seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisinya di NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme, Pancasila, dan demokrasi.47

Daugalas E Remage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura, dan

Einar M. Sitompul sepakat menyebut Gus Dur sebagai salah seorang intelektual

Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif.48 Kepengaruhannya memberikan dampak positif dalam mengembangkan gagasan keislaman di Indonesia.

Mengutip dari hasil studi bibliografis yang dilakukan oleh Marzuki Wahid, telah ditemukan 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun

2000. Kini hingga akhir hayatnya pada tahun 2009 bisa jadi telah lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasawarsa itu telah diklasifikasikan kedalam bentuk tulisan, yakni:49

1. Tulisan dalam bentuk buku;

2. Buku terjemahan;

3. Tulisan kata pengantar buku;

4. Tulisan epilog buku;

5. Tulisan antologi buku;

47 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 10 48 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 10 49 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 11

44

6. Tulisan artikel

7. Tulisan kolom;

8. Makalah

Dalam berbagai karya tulisannya jika diperinci secara lebih fokus akan terbagi dalam berbagai tema pembahasan yang menjadi fokus acuan pemikiran Gus Dur, diantaranya sebagai berikut:50

No Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan

1. Pandangan dunia pesantren 70 buah Tema Pesantren vs modernisasi

dan pengembangan masyarakat

2. Pribumisasi Islam 43 buah Termasuk tema pembaruan

Islam

3. Keharusan Demokrasi 140 buah Termasuk tema civil society

dan pemberdayaan ekonomi

4. Finalitas negara bangsa Pancasila 73 buah Termasuk tema hubungan NU,

agama dan negara

5. Pluralisme agama 31 buah Termasuk tema Islam toleransi

dan inklusif

6. Humanitarianisme Universal 72 buah Termasuk tema HAM, Gender,

dan lingkungan hidup

7. Antropologi Kiai 24 buah Sebagaian besar bentuk kolom

50 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies, h. 10

45

Kemudian jika diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, tulisan tulisan Gus Dur terbagi dalam berbagai jenis diantaranya yang disebutkan oleh Marzuki Wahid yaitu:

No Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan

1. Buku 12 buku Terdapat pengulangan tulisan

2. Buku Terjemahan 1 buku Bersama Hasyim Wahid

3. Kata Pengantar Buku 20 buku -

4 Epilog Buku 1 buku -

5. Artikel 41 buku -

6. Antoligi Buku 263 buku Diberbagai majalah, surat

kabar, jurnal, dan media masa

7. Kolom 105 buku Diberbagai majalah

8. Makalah 50 buku Sebagian besar tidak

dipublikasikan

Jumlah 493 buku -

Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan periode tahun, Marzuki Wahid menggolongkan tulisan-tulisan dan karya pemikiran Gus Dur sebagai berikut:

No Periode Jumlah Tulisan Kecenderungan Wacana

1. 1970-an 37 buah Tradisi pesantren, modernisasi

pesantren, NU, HAM,

reinterprestasi ajaran,

46

pembangunan, demokrasi

2. 198-an 189 buah Dunia pesantren, NU,

Ideologi negara (pancasila),

pembangunan, militerisme,

pengembangan masyarakat,

pribumisasi islam, HAM,

modernisme, kontekstualisasi

ajaran, partai politik

3. 1990-an 253 buah Pembaruan ajaran Islam,

demokrasi, kepemimpinan umat,

pembangunan, HAM,

kebangsaan, partai politik,

gender, toleransi agama,

universalisme Islam, NU,

globalisasi

Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin meminjam istilah Antonio Gramsci “Intelektual Organik” dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotif transformatif.

47

Dari berbagai karya-karyanya yang telah diterbitkan menjadi buku merupakan kumpulan tulisan diberbagai media. Diantara buku-buku kumpulan tulisannya yang telah terbit yaitu:51

1. Muslim di Tengah Pergumulan (1981)

2. Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab; Sebuah Pergumulan Wacana dan

Transformasi (1989)

3. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997)

4. Tabayun Gus Dur (1998)

5. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (1999)

6. Islam, Negara, dan Demokrasi; Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur

(1999)

7. Prisma Pemikiran Gus Dur (2000)

8. Melawan Melalui Lelucon (2000)

9. Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (2000)

10. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (2001)

11. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser

(2002)

12. Gus Dur Bertutur (2005)

13. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006)

14. Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan

(2007)

51 Abdul Mujib, ”Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam”, h. 63

48

15. Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (2007)

16. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (2009)

17. Membaca Sejarah Nusantara (2011)

18. Sekedar Mendahului (2011)

Selain itu mengutip hasil penelitian skripsi Abdul Mujib ada beberapa tulisan

(artikel atau makalah) yang belum diterbitkan, diantaranya sebagai berikut:

1. Development by Developing Ourselves, makalah seminar “The Duty Days

on ASEAN Development Processes and Their Effect on People”, di

Penang Malaysia, pada tanggal 22-25 November 1979;

2. Islam in a Democratic State: A Lifelong Search, Pengantar Buku “A

Celebration of Democracy” karya Asrori S. Karini (editor);

3. Islam and Pancasila: Development of a Religious Political Doctrine in

Indonesia, makalah pada “Dialogue Group Religious Belief: The

Transformation and Development Doctrine”, di Seoul, 25 Agustus 1990;

4. Principle of Pesantren Education, makalah pada “The Pesantren

Education”, seminar di Berlin, pada tanggal 9-12 Juli 1987;

5. Islam, The State and Development in Indonesia, makalah dialog nasioanal

bersama Muchtar Buchori di LIPI, pada tahun 1980-1981;

6. Islam in Indonesia; Challenge and Future Prospects, 14 Maret 1985

Diantara penghargaan-penghargaan yang diterima oleh Gus Dur yaitu:52

52 Marzuki Wahid, Gus Dur Studies h. 2

49

1. Pada usianya yang ke-50 tahun Gus Dur mendapat penghargaan sebagai

Tokoh 1990 oleh Majalah Editor, Indonesia

2. Pada tahun 1991 mendapat penghargaan Islamic Missionary Award, oleh

Pemerintah Mesir

3. Ditahun 1993 Gus Dur menerima penghargaan Magsaysay Award,

Comunity Leadership dari Pemerintah Filipina

4. Gus Dur memperoleh Man of The Year oleh Majalah REM, Indonesia di

tahun 1998;

5. Mendapat pengahargaan Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of

Rotary Internasional pada tahun 2000;

6. Memperoleh penghargaan Ambasador of Peace, International and

Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika

Serikat pada tahun 2000;

7. Public Service Award, Universitas Colombia, New York, Amerika

Serikat pada tahun 2001;

8. Mendapat gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), sampean dalem ingkang

sinuhun Kanjeng Susuhan Pakubuwono XII, , Jawa Tengah

pada tahun 2002;

9. Mendapat Pin Emas NU Oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

tahun 2002;

10. Dare to Fail Award, Bill PS Lim, penulis buku paling laris “Dare to Fail”,

Kualalumpur, Malaysia tahun 2003;

50

11. Memperoleh Global Tolerance Award, Friends of The United Nations,

New York, Amerika Serikat tahun 2003;

12. Mendapat penghargaan The Culture of Peace Distinguished Award 2003,

oleh Internasional Culture of Peace Project Religious for Peace, di

Trenoto, Italia tahun 2004;

13. Anugerah Mpu Peradah, oleh DPP Perhimpunan Pemuda Hindu

Indonesia, Jakarta tahun 2004;

14. Memperoleh gelar “Bapak Tionghoa Indonesia” oleh tokong Tionghoa

Semarang di Klenteng Tay Kak Sie pada 10 Maret 2004;

15. Memperoleh penghargaan Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) Indonesia tahun 2006;

16. Penghargaan sebagai Tokoh Pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center

tahun 2008;

17. Mendapat Bintang Maha Guru oleh DPP Partai Kebangkitan Bangsa

tahun 2010;

18. Mendapat Mahendradatta oleh Universitas Mahedradatta, Denpasar Bali

tahun 2010

19. Mendapat penghargaan Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul

Ulama (IPNU) tahun 2010;

20. Mendapat gelar “Bapak Ombudsman Indonesia” oleh Ombudsman RI

tahun 2010;

21. Life Achievement Award dalam Liputan 6 Award tahun 2010.

BAB III

AKAR PEMIKIRAN ISLAM KOSMOPOLITAN

A. Universalisme Islam

Islam kosmopolitan merupakan pemikiran genuin Gus Dur dalam merespon

isu-isu aktual pada masa 1980 hingga 1990-an. Sebagai seorang tokoh Gus Dur

banyak menulis gagasan dan pemikirannya terhadap isu faktual yang terjadi pada era

itu, pandangannya banyak memberikan gagasan-gagasan baru yang berkaitan

langsung terhadap persoalan-persoalan agama, budaya, politik dan pembangunan.

Dalam Islam kosmopolitan Gus Dur mengajak kepada masyarakat luas untuk

selalu berpegang terhadap nilai-nilai universal agama, nasionalisme dan menjunjung

tinggi sikap keterbukaan akan segala kemungkinan menerima perbedaan. Banyak

karya dan sepak terjangnya dalam pembaruan pemikiran keislaman di tanah air,

sehingga Gus Dur juga dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang paling

berpengaruh di Indonesia dewasa ini.

Gagasan pemikiran Islam kosmopolitan lahir dari pergolakan pemikiran Gus

Dur setelah melalui banyak diskursus keilmuan yang ia tekuni, Gus Dur lahir dari

tradisi pesantren yang sangat kuat, ia juga merupakan tokoh besar Nahdlatul Ulama,

bahkan ia juga mempelajari diskursus keilmuan Barat bukan hanya Islam. Dari

situlah lahir gagasan baru yang menyegarkan dalam merespon isu-isu faktual yang

terjadi khususnya tentang pandangan keislaman.

51

52

Gus Dur menyebutkan bahwa watak kosmopolitanisme Islam sesungguhnya telah lahir sejak awal munculnya Islam.1 Ia berawal dari hijrah Nabi Muhammad bersama para sahabatnya ke Madinah. Pada saat itu Nabi Muhammad dan umat Islam mengalami tekanan yang sangat kuat dari penduduk Mekah, mulai dari embargo ekonomi sampai pada intimidasi, maka Nabi Muhammad memutuskan untuk meninggalkan kota Mekah.2 Dari sinilah bahawa sesungguhnya watak kosmopolitan

Islam sudah lahir dimasa-masa awal hijrah Nabi Muhammad SAW.

Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah merupakan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam hijrah, Nabi yang ditemani sahabat-sahabatnya, diantaranya yaitu

Abû Bakar, ia tampil sebagai pemimpin yang sukses meciptakan strategi pemikiran dalam memecahkan situasi yang sulit. Peristiwa-peristiwa yang dilakoni Nabi

Muhammad dan Abû Bakar menyiratkan sebuah kosmopolitanisme peradaban yang sedang diletakkan Nabi di Semenanjung Arabia. Kosmopolitanisme peradaban yang diciptakan Nabi dipoles dengan nilai-nilai universal yang tertancap dalam ajaran

Islam. Peristiwa hijrah, yang oleh Umar bin Khattab dijadikan sebagai peletak dasar tahun baru Hijriyah, telah melahirkan ruang kesadaran umat Islam dalam penciptaan peradaban agung yang dipelopori Nabi Muhammad SAW.3

Ketika di Mekkah Nabi lebih banyak disibukkan dengan berbagai konflik dengan kaum Quraisy Mekkah, maka ketika di Madinah Nabi mulai membangun

1 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute), 2007, h. 8 2 Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, Jurnal Masyarakat & Budaya, Vol. 10 No. 1 Tahun 2008, h. 188 3 Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, h. 188

53

kehidupan masyarakat baru dalam menata kehidupan sosial, politik dan kenegaraan.

Nabi membuat persaudaraan antar umat Islam, menciptakan Piagam Madinah

(Mitsaqu al-Madinah) untuk membangun harmoni sosial dengan seluruh suku dan agama di Madinah, dan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Seluruh peristiwa sejarah yang dijalankan Nabi mencerminkan sebuah kosmopolitanisme peradaban, yang oleh Roberrt N Bellah4 dikatan modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran

Timur Tengah pada waktu itu.5 Sejatinya bahwa watak kosmopolitan yang diletakan oleh Nabi Muhammad merupakan dasar yang telah kokoh dalam peradaban umat

Islam. Dan ini dibuktikan kemajuan peradaban pada waktu itu, misalnya, terjalin hubungan antar umat beragama di Madinah, tegaknya keadilan dan terwujudnya pemerintahan yang baik dan sejahtera.

Gus Dur juga menyebutkan bahwa kosmopolitan itu muncul sampai pada masa awal Islam yang ditandai terbentuknya ensiklopedis Muslim Awal pada abad ketiga hijriyah , Seperti Abû Utsman Amr ibn Bakr al-Kiânî al-Fuqaimî al-Basrî (al-

Jâhiz),6 yang hidup dari 776-869 M. Pada masa ini terjadi proses saling menyerap antar peradaban dengan peradaban lain di sekitar dunia Islam waktu itu. Yaitu, mulai

4 Robert N Bellah merupakan sosiolog Amerika, ia guru besar sosiologi Universitas California, Barkley, Amerika Serikat yang konsentrasi terhadap kajian budaya dan agama. Lahir pada 23 Februari 1927 di Altus, Oklahoma Amerika Serikat. 5 Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, h. 189 6 Ia merupakan tokoh yang hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasyiyah, al-Mansur. Hidup pada masa transisi keilmuan dari Barat Yunani ke dunia Islam. Banyak menulis tentang puisi, sejarah, teologi. Karyanya yang fenomenal yaitu al-hayawân (ensiklopedi tentang binatang).

54

dari sisa-sisa peradaban Yunani Kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.7

Kosmopolitanisme Islam menurut Gus Dur lahir dari universalisme ajaran

Islam. Ia merupakan rangkaian ajaran yang meliputi keimanan (tauhid), etika

(akhlak), dan hukum agama (fiqh). Ada lima buah jaminan dasar yang diberikan

Islam kepada individu dan kelompok masyarakat. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur agama al-kutub al-fiqhiyyah kuno, yakni: (1) Hifz̲ u al-Nafs: jaminan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum; (2)

Hifz̲ u al-Dîn: keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; (3) Hifz̲ u al-Nasl: keselamatan keluarga dan keturunan; (4) Hifz̲ u al-Amâl: keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum; dan (5) Hifz̲ u al-Aqli: keselamatan profesi.8

Menurut Gus Dur bahwa kelima jaminan dasar diatas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan dan dengan demikian, menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kelima jaminan dasar tersebut hanya tercipda dalam kerangka teoritik belaka, belum bisa berfungsi kalau tidak didukung dengan spirit kosmopolitanisme peradaban Islam.

7 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 9 8 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute), h. 4-5

55

Jika ditarik kebelakang, akarnya adalah kosmopolitanisme yang dibangun oleh Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Ia dijadikan oleh Nabi sebagai kota kosmopolit yang leluasa dan terbuka dengan peradaban lain, yang dapat membuka cakrawala pemikiran Islam. Atas dasar itulah Gus Dur berpendapat bahwa kosmopolitanisme Islam itu muncul dalam unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan bahkan heterogenitas politik. Dengan adanya pandangan tersebut diharapkan agama menjadi suatu jalan bagi pembangunan dan bahkan tidak menjadi penghambat bagi tegaknya kemaslahatan dan kemanusiaan.

Dalam konteks ini, warisan Nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama kosmopolitanisme peradaban Islam. Pernyataan Robert N Bellah yang menyatakan bahwa Madinah merupakan kota modern, bahkan sangat modern untuk zaman itu, struktur Timur Tengah belum mampu menompang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak salah juga jika Arnold J.

Toynbee seorang sejarawan agung menyebutkan peradaban Islam sebagai oikumene

(peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam itu merupakan salah satu dari enam belas oikumene yang menguasai dunia.9 Disini peradaban Islam yang telah dibangun oleh

Nabi pada masa silam sejatinya sangat progresif dan modern bahkan lebih modern dimasanya.

Jejak kosmopolitanisme Islam inilah yang membentuk watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia, ini menjadi ciri utama umat Islam dalam membangun suatu peradaban yang agung. Disinilah lahir

9 Usman, Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, h. 190

56

banyak tokoh-tokoh ilmuan besar yang berpengaruh di dunia baik dalam bidang filsafat, astronomi, fisikawan dan lain sebagainya, diantaranya yaitu al-Ghozali, al-

Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusd dan sebagainya.

Menurut Gus Dur, Universalisme Islam itu terkandung dalam manifestasi ajaran-ajaranya (tauhid, akhlak, dan fiqh). Akan tetapi, ada sekelompok Muslim yang memahami ajaran-ajaran tersebut sempit, sehingga mengesankan Islam sebagai agama bersifat lokal dan kurang bisa berbaur dengan budaya lokal. Padalah dalam pandangan Gus Dur, ajaran-ajaran Islam tersebut harus memiliki kepedulian terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan yang diimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam itu sendiri.10 Unsur-unsur kemanusiaan inilah yang menjadi landasan utama dalam penyebaran ajaran agama Islam.

Bagi Gus Dur untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibutuhkan suatu agenda baru yang dapat dikembangkan diwaktu sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam agar komopolitanisme itu dapat terwujud. Pengembangan agenda baru ini dibutuhkan mengingat banyaknya kaum muslim yang berpandangan sempit dan eksklusif, sehingga tidak mempu lagi mengambil bagian dalam bangunan peradaban manusia yang akan muncul pasca-industri. Kini kaum muslim bahkan menjadi beban bagi kebangkitan umat manusia nanti. Pada keadaan seperti ini, umat muslim hanya akan menjadi obyek sejarah, bukan pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti masyarakat lainnya. Perlunya pemahaman dan arah

10 Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, h. 191

57

bagaimana Islam mampu mewujudkan watak universal dan kosmopitan inilah yang bagi Gus Dur adalah hal penting dalam mengembangkan pemahaman ajaran agama.

Kosmopolitanisme Islam dapat tercapai pada titik optimal manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat dalam hal ini termasuk mereka yang non-Muslim. Bagi Gus

Dur, kosmopolitanisme seperti itulah yang kreatif, karena didalamnya warga masyarakat mengambil inisatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akan dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus menerus mewujudkan diri dalam bentuk nyata.11 Disinilah Islam mampu merespon bagaimana perkembangan kehidupan masyarakat dan bahkan perubahan zaman.

Gus Dur menolak pendekatan yang legal-formalistik, tekstualis ataupun alternatif pandangan dunia (wordview) yang apologis. Menurut Gus Dur, pendekatan seperti itu tidak dapat diharapkan mampu memecahkan masalah. Dalam masalah kemiskinan misalnya, pendekatan semacam itu hanya akan bermuara pada dakwah semata, dalam pengertian memperkuat iman dan bukan sebaliknya bagaimana mempersepsi iman yang dapat menggugah agar masalah kemiskinan dipecahkan secara adil.12 Bagi Gus Dur, perlunya pandangan Islam yang lebih luas tidak legal- formalistik, sehingga pandangan ini mampu merespon gejolak persoalan yang lahir

11 Abdurrahman Wahid, , Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 11 12 Usman, “Pemikiran Kosmopolitan Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”, h. 192

58

diakar rumput masyarakat itu sendiri. Pada intinya bahwa ajaran agama harusnya mampu bersikap luas terhadap isu-isu kemanusiaan bukan pada ranah dakwah semata.

Maka bagi Gus Dur agenda universalisasi ajaran Islam harus dikembangkan, sehingga dapat berguna bagi umat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, moderat, peduli terhadap unsur-unsur kemanusiaan akan memunculkan energi luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekan kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini.13 Inilah yang penting bagi Gus Dur, bahwa Islam harus mampu memutus rantai kemiskinan dan memecahkan kejumudan bahkan kemunduran peradaban Islam itu sendiri.

Penanaman dan implementasi pemahaman kosmopolitan inilah yang menurut

Gus Dur akan mampu membebaskan manusia dari belengggu ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dari kebiadaban rezim. Hanya dengan menempatkan universalisme dan kosmopolitanisme dalam kehidupan, Islam akan mampu membebaskan belenggu-belenggu ketimpangan, ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, diskriminasi dan lain sebagainya melalui penciptaan etika sosial yang penuh dengan semangat solidaritas dan jiwa transformatif yang prihatian dan peduli dengan nasib orang kecil.14 Sebuah agenda pemikiran keislaman yang sangat mendalam, sehingga Gus

Dur mampu menempatkan Islam bukan sebagai ajaran atau bahkan doktrin semata, akan tetapi ia mampu memahami bahwa Islam adalah agama yang mampu

13 Abdurrahman Wahid, h. 14

14 Abdurrahman Wahid, h. 14

59

memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada didalam masyarakat atau

bahkan didalam kehidupan Muslim itu sendiri.

B. Pribumisasi Islam

Salah satu yang mendorong Gus Dur menjadi Sang Kosmopolitan yaitu

gagasannya tentang Pribumisasi Islam. Adalah tidak mungkin Gus Dur menjadi

seorang intelektual organik, pemikir pembarharu Islam pada khususnya tanpa latar

belakang pendidikannya yang kuat. Disini Gus Dur tidak dapat lepas dari pendidikan

pesantren sebagai jembatan besar dalam menyampaikan gagasan-gagasannya.

Greg Barton menyebut bahwa tulisan-tulisan Gus Dur tentang keislaman

mengandung ide bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang

secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Artinya bahwa Islam

mengandung prinsip egaliter, yang secara fundamental menentang perlakuan tidak

adil dan diskriminatif dengan alasan perbedaan suku, ras, agama dan bahkan gender

dalam golongan-golongan masyarakat.

Bagi Gus Dur Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam

pandangan Tuhan semua manusia diciptakan setara, bahkan status Muslim dan non-

Muslimpun setara. Pandangan inilah yang melahirkan nilai-nilai demokrasi dan

liberalisasi yang bermuara pada nilai-nilai universal.15

Gagasan Pribumisasi Islam dilontarkan oleh Gus Dur pada Muktamar NU

tahun 1984 di Situbondo, pada waktu itu ia baru saja dilantik sebagai Ketua Umum

15 Hairus Salim, Direktur Lembaga Kajian Islam (LKis). Dalam kata pengantar buku Prisma Pemikiran Gus Dur ia menulis tentang kenangan segarnya gagasan-gagasan keislaman Gus Dur saat ia aktif menulis di Majalah Prisma era 1980-an dalam merespon berbagai isu dan diskursus yang faktual di negeri ini.

60

PBNU.16 Wacana ini menurutnya bersumber dari bagaimana para Walisongo menyebarkan Islam yang telah berhasil menyebar keseluruh Nusantara tanpa harus bertentangan dengan budaya setempat. Adanya suatu cara yang khas inilah yang perlu diteruskan dalam menyebarkan dan menyampaikan ajaran Islam.

Gus Dur melihat bahwa pribumisasi Islam merupakan upaya penyadaran umat

Islam untuk perlunya merawat dan memupuk kembali akar-akar budaya lokal dari menjamurnya foramalisme ajaran agama atau yang dikenal dengan istilah

“Arabisasi”. Proses ini mempertemukan antara norma dan syariah (hukum adat dalam fiqh), pengempangan aplikasi nash, serta pembaruan konsepsi ideologi politik, yaitu dengan menerima Pancasila sebagai ideologi negara.17 Disinilah Gus Dur mampu memberikan suatu jalan alternatif dimasa Orde Baru bahwa pada dasarnya Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, ia mengandung intisari dan nilai-nilai yang

Islam ajarkan.

Dalam tulisannya Gus Dur mendefinisikan arti Pribumisasi Islam sebagai berikut:

“Pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu mampu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan singkretisme adalah memadukan teologia atau sisitem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut

16 A. Sholeh Mukarom, “Pribumisasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid”, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Edisi 2. September 2017. h. 64 17 A. Sholeh Mukarom, 64

61

dengan dimensi eskatologinya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme”18 Kemudian Gus Dur menjelaskan lebih lanjut tentang pribumisasi Islam, bagi

Gus Dur bahwa pribumisasi Islam itu merupakan bagian dari sejarah Islam, baik lahir dari Timur Tengah ataupun negeri-negeri lainnya. Gus Dur menyebutkannya seperti ini:

“Pribumi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Sebagai contoh pada mulanya ditetapkan haramnya berjabat tangan antara laki-laki dn perempuan yang ajnabi (bukan mahram). Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan perilaku atau akhlak orang islam”.19 Disinilah Gus Dur menjelaskan bahwa pribumisasi Islam itu bukan ajaran baru, ia merupakan bagian dari manifestasi ajaran Islam itu sendiri yang berkembang dan menyebar luas diseluruh negeri.

Pribumisasi Islam menjadi diskursus khusus pemikiran Gus Dur. Pribumisasi disini dimaksudkan adalah aplikasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Fokusnya adalah bagaimana ajaran Islam yang universal dapat dipahami dan diaplikasikan dalam masyarakat di Indonesia.20 Dalam pandangan Gus Dur

18 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam; Pergulatan Agama Negara dan Kekuasaan, (Depok: Desantara), 2001, h. 119-120 19 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam; Pergulatan Agama Negara dan Kekuasaa, h. 120 20 Tim INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 120

62

bahwa pribumisasi Islam itu tidak mengurangi esensi ajaran Islam yang telah diturunkan kepada umat manusia.

Penggunaan istilah “Pribumisasi Islam” oleh Gus Dur dilakukan semata-mata untuk terhindar dari segala sesuatu yang politis. Pernah muncul istilah “Domestikasi

Islam” baginya itu politis, yang berserat pada pengebirian dan penjinakan pendirian.

Gagasan ini muncul atas keresahannya terhadap kelompok dan golongan yang mendesak agar ajaran Islam diseragamkan dan diformalisir. Bagi Gus Dur yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islam belaka, bukan ajaran yang meyangkut keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak perlu al-Qur’an Batak dan

Hadits Jawa, Islam tetap Islam, dimanapun berada. Namun, tidak harus disamaratakan semua bentuk luarnya.21

Faktor-faktor yang mendorong pribumisasi Islam adalah pertama; perubahan pemahaman terhadap doktrin teologis sebagai akibat berkembangnya gagasan pluralism yang merujuk pada kesadaran pentingnya menerima kemajemukan. Kedua; adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, adat, dan agama, maka harus dicari suatu formula yang tepat agar kehidupan menjadi lebih damai, sejahtera dan bermakna. Salah satu yang ditawarkan dikedepankan adalah mensintesakan Islam dengan budaya lokal. Ketiga; faktor ideologi dan politik, yakni adanya keberatan beberapa elemen umat atas penetapan Pancasila sebagai ideologi

21 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Penerbit Saufa), 2016, Cet. 1, h. 108

63

negara.22 Tiga faktor inilah yang dipribumikan oleh Gus Dur, ia tidak menyangkut hal-hal yang bersifat ajaran pokok/ inti dalam Islam yang menyangkut keimanan dan peribadatan formal dalam Islam.

Satu hal yang dilakukan Gus Dur misalnya dimasa Orde Baru, ia menyebut

Pancasila sebagai titik kompromi antara agama dan budaya. Gagasan ini dideklarasikan di Situbondo, Pancasila sebenarnya merupakan suatu akar budaya yang secara empiris telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam persepsinya, bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Kalau dipersepsikan seperti itu, maka tidak ada masalah dengan sila-sila lain, karena hanya pengejewahtahan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, bagi Gus Dur

Pancasila tidak bertentangan dengan agama, tetapi juga tidak sama atau bahkan lebih tinggi dari agama. Bahwa nilai-nilai kerakyatan, keadilan sosial, dan musyawarah memang tidak bertentangan dengan yang diajarkan agama.23 Nilai-nilai ini menjadi intisari dalam ajaran Islam, dan itulah yang menjadi esensinya.

Gus Dur menolak pandangan formalistik tentang Islam harus menjadi ideologi negara dan sekaligus menjadi suatu sistem politik dalam menjalankan suatu pemerintahan. Sebab selain penuh dengan pertentangan, “formalisasi” ajaran agama dianggap sangat tidak kondusif dengan kehidupan berbangsa dan bernegra. Karena padu satu sisi formalisasi ajaran agama itu akan mengekang Muslim tersendiri, maka

22 A. Sholeh Mukarom, “Pribumisasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid”, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Edisi 2. September 2017. h. 64 23 Tim INCReS, Beyond The Symbols, h. 121

64

diperlukan suatu pemahaman yang lentur tidak kaku akan tetapi tidak mereduksi intisarinya.

Pribumisasi Islam juga lahir sebagai kritik terhadap gejala “Arabisasi”, ideologisasi, formalisasi dan politisasi Islam. Gus Dur menganggap bahwa kejayaan

Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural.

Dengan kata lain bahwa Gus Dur lebih mengedepankan pada upaya kulturalisasi

(culturalization). Ketidak setujuan Gus Dur terhadap formalisasi terlihat sangat jelas.

Misalnya terhadap tafsiran ayat al-Qur’an “Udkhulû fî al-Silmi Kâffah”, yang seringkali ditafsiri pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis menafsirkan kata “as-Silmi” dengan kata “Islami”, lain dengan Gus Dur. Ia menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Menurut Gus Dur konsekuensi dari kedua penafsiran itu mempunyai implikasi sangat luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat pada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warna non-Muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi

Gus Dur, untuk menjadi muslim yang baik, seorang muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara untuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan. Pada titik ini konsekuensinya, bahwa mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.24 Disini Gus Dur menempatkan

24 M. Syafi’i Anwar dalam kata pengantar buku , “ Islamku Islam Anda Islam Kita; Membingkai Potret Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid”, h. xvii

65

ketaatan pada tataran bahwa ia mampu menjalankan ajaran agama dengan sebaik- baiknya tanpa harus memaksakan kehendak dirinya terhadap orang lain.

Gus Dur menolak formalisasi dan ideologi itu berdasarkan pada penolakannya terhadap gagasan negara islam. Syafi’i Anwar menyebutkan dasar penolakan yang digunakan Gus Dur yaitu: Pertama, bahwa islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Ini terbukti dalam sejarah pasca

Nabi Muhammad wafat kemudian digantikan oleh Abû Bakar dan khalifah-khalifah setelahnya yang tidak ada sistem pasti yang digunakan. Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan

Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin.

Misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara- bangsa (nation-state), ataukah negara kota (city-state).25

Gus Dur menyebutkan bahwa untuk konteks Indonesia, menghadirkan Islam sebagai ideologi politik sangat tidak relevan. Umat Islam Indonesia harus belajar dari perjalanan sejarahnya dimana setiap menghadirkan Islam dalam kerangka ideologi dan politik selalu mengalami kegagalan. Penyelesaian formal berupa Pancasila, belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah. Pembenturan masih berlanjut dalam upaya “pengamanan” Pancasila itu sendiri dilingkungan masing-masing pihak dari kemungkinan “penyelewengan” oleh pihak lawan politik (political adversaries) yang berbeda dari musuh politik (political enemies). Segala cara terus dilakukan demi

25 M. Syafi’i Anwar dalam kata pengantar buku , “ Islamku Islam Anda Islam Kita; Membingkai Potret Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid”, h. xvii

66

mengawal Pancasila dari segala bentuk penyelewengan, walaupun dalam kenyataan muncul juga “perlawanan politis” (political adversity).26

Dalam politik Gus Dur terlebih dahulu menjelaskan tentang arti politik itu sendiri, menurutnya politik dalam Islam harus transformatif, dimana Islam harus mampu melakukan diferensiasi; harus mengubah masyarakat sebab risalah Nabi

Muhammad SAW merupakan risalah transformatif dan emansipatif. Bagi Gus Dur, politik itu penting, namun dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Gerakan- gerakan yang memberi respon terhadap perubahan sosial sejak awal harus mengacu pada struktur sosial yang lebih adil untuk menjawab kebutuhan masyarakat.27 Islam diharapkan mampu memberikan perubahan itu dalam konteks pemberdayaan masyarakat.

Wujud Islam sebagai pandangan hidup memerlukan sebuah pengejewantahan dalam bentuk masyarakat yang terstruktur, karena pada hakikatnya bentuk itulah yang merupakan hal nyata dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, tidak penting bagaiamana bentuk operasionalnya, selama tujuan mengupayakan kesejahteraan hidup masyarakat masih dipegang sebagai pokok utama. Gus Dur mengatakan bahwa:

“Kalau memang Nabi Muhammad SAW menghendaki berdirinya sebuah negara Islam, maka mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi hanya memerintahkan bermusyawarahlah kalian dengan persoalan. Masalah sepenting itu bukannya dilembagakan secara konkret melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum

26 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS), 2000, h. 8 27 Ainul Fitrah, “Pemikiran Abdurrahman Wahid”, Jurnal Teosofi, Vol. 3 No. 1 Tahun 2013. h. 52-53

67

saja, yaitu masalah mereka harus (haruslah) dimusyawarahkan diantara mereka. Mana ada negara dengan bentuk itu”.28 Gus Dur juga mengatakan seperti tentang tidak adanya bentuk yang baku dari sebuah negara dan proses peralihan kekuasaan yang diwariskan Rasulullah SAW dalam al-Qur’an. Ia menyebutkan:

“Islam tidak mengenal doktrin tentang kenegaraan, doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran, selama pemerintah dapat mencapai dan mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Hal itu sudah merupakan kemauan Islam. Saya kira tidak perlu doktrin Islam tentang negara harus berbentuk formalisasi negara Islam. Karena Islam tidak mempunyai wujud doktrin yang pasti tentang bagaimana melaksanakan hal-hal kenegaraan”.29 Pada intinya bahwa Gus Dur menolak formalisasi Islam, seperti halnya yang ia contohkan pendapatnya tentang penolakan bentuk negara Islam. Ia berpendapat bahwa pada intinya berjalannya suatu ajaran Islam dan negara adalah tercapainya keadilan dan kemakmuran, tidak ada spesifik yang mengatur tentang sebuah negara dalam Islam.

Gagasan pribumisasi Islam yang diwacanakan oleh Gus Dur menjadi terkait dengan aspek universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Dimana unsur-unsur pemahaman tentang agama pada akhirnya melahirkan suatu pemahaman yang menguatkan perbedaan (pluralitas) dan hilangnya batasan etis yang telah berjalan selama berabad-abad dalam kehidupan beragama.

Gagasan besar pemikiran keislaman yang diwacanakan oleh Gus Dur merupakan bagian dari suatu kesinambungan berbagai sub pemikiran Gus Dur yang

28 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarya: LKiS), 20016. h. 16 29 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, h. 135

68

melahirkan kosmopolitanisme Islam. Bagaimana Islam akan berkembang maju

sebagai peradaban mampu merespon situasi tempat dan zamannya. Islam juga akan

mampu menjembatani persoalan-persoalan soaial-keagamaan yang fokus pada

persoalan-persoalan kemanusiaan, keadilan dan persaudaraan sebagai bagian penting

dalam kehidupan manusia.

Pribumisasi Islam sebagai upaya yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap

perkembangan wacana keislaman selalu diperlukan agar terciptanya Islam yang

dinamis, universal dan mampu beradaptasi bagi siapapun dan dimanapun tanpa

menghilangkan sedikitpin esensi ajaran Islam itu sendiri. Kesemuanya inilah yang

akan melahirkan Islam yang kosmopolit. Islam yang mampu merespon perubahan

dan perkembangan zaman, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mampu

menjadi solusi bagi persoalan hidu manusia yang akan melahirkan kesejahteraan dan

keadilan dalam hidup.

C. Pesantren Sebagai Subkultur

Gus Dur mengistilahkan pesantren sebagai subkultur merupakan suatu

usahanya dalam mengenalkan identitas kultural yang terjadi diluar kalangan

pesantren, bukan oleh kalangan pesantren sendiri. Ia menyebutkan bahwa

penggunaan kata ini lebih banyak didorong oleh ketiadaan istilah lain. Karena ia

menganggap bahwa tidak semua semua kehidupan di pesantren mengandung aspek-

aspek subkultural.30 Kriteria minimal bahwa pesantren disebut sebagai subkultur

yaitu: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari

30 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Kebudayaan & Transformasi Kebudayaan, h. 88

69

pola kehidupan umum di negeri ini, ia memiliki beberapa penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupannya sendiri, berlangsungnya proses terbentuknya tata nilai, lengkap dengan simbol dan bentuk-bentuknya sehingga masyarakat menjadikan pesantren sebagai ide alternatif pembentukan nilai-nilai baru secara universal yang akan diterima oleh kedua belah pihak.31 Disini Gus Dur berpendapat bahwa pesantren mampu membangun kultur kehidupannnya secara mandiri.

Gus Dur mendefinisikan pesantren sebagai lembaga yang unik, pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam komplek tersebut terdiri beberapa bangunan, rumah kediaman pengasuh (kiai), surau atau masjid, tempad pengajaran/mengaji (madrasah/sekolah), dan asrama santri.32 Ini menjadi unsur-unsur utama dalam bangunan pesantren, didalammya juga terdapat kiai atau yang dikenal pengasuh, santri dan ustadz serta pengurus pesantren.

Dilihat dari fisik, Gus Dur menyebut pesantren sebagai suatu yang unik karena tidak ada suatu pola tertentu yang harus diikuti sehingga sering dikatakan bahwa pola dipesantren merupakan bentuk dari improvisasi dari berbagai sudut. Dari mulai bentuk dan lingkungan fisiknya, corak model pesantrennya, sistem kurikulum pembelajarannya, dan bahkan struktut pengajarnya. Disini Gus Dur menyebutkan bahwa pesantren merupakan gambaran yang unik tersendiri dari pada dibandingkan dengan kehidupan diluarnya. Sebagaimana dalam definisi sosiologis, bahwa subkultur harus memiliki aspek-aspek yang mencakup cara hidup yang dianut,

31 Abdurrahman Wahid, h. 89 32 Abdurrahman Wahid, h. 90

70

pandangan hidup, tata nilai yang diikuti, dan hierarki kekuasaan.33 Kesemuanya itu bagi Gus Dur minimal gambaran pesantren masuk dalam kehidupan tersebut, disinilah istilah subkultur bagi pesantren dikenakan olehnya untuk gagasan pemikirannya.

Dengan pola inilah bagi Gus Dur pesantren dapat bertahan selama berabad- abad dalam mengembangkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Oleh karena itu, menurut

Gus Dur pesantren dalam jangka panjang berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dari pada masyarakat disekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.34 Kemampuan kultural yang dimiliki pesantren dalam menghadapi arus zamannya dilakukan melalui akulturasi budaya dan penanaman nilai. Pola ini yang digunakan pesantren sebagai proyeksi pilihan ideal bagi pola kehidupan umum yang dilandasi krisis di masyarakat sekitar, akhirnya menumbuhkan pesantren sebagai unit budaya yang berdiri terpisah dan pada waktu yang sama menjadi bagian kehidupan masyarakat. Peranan ganda inilah bagi Gus Dur dapat dikatakan sebagai sebuah subkultur.35

Pada satu sisi lain Gus Dur menyebutkan bahwa pengaruh utama yang dimiliki pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh perbedaan strata yang ada dimasyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal balik yang memiliki dua tugas, yaitu mengatur bimbingan spritual dari pihak pesantren kepada masyarakat soal-soal

33 Abdurrahman Wahid, h. 91 34 Abdurrahman Wahid, h. 95 35 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS), h. 11

71

perdata agama (perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya) dan soal-soal ibadah ritual serta mengatur pemeliharaan material finansial oleh masyarakat atas pesantren dalam bentuk pengumpulan dana dan sebagainya. Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan di pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisasikan dalam kehidupannya sendiri.36

Bagi Gus Dur pesantren sebagai suatu lembaga yang terdiri dari kyai, santri, ustadzh (pengajar), bangunan-bangunan ibadah dan tempat menimba ilmu serta sistem dan tatanilai yang dibangun dan terbentuk didalamnya memiliki keunikan sendiri, sehingga baginya pesantren mempunyai peranan penting bagi kehidupan baik di dalam internalnya maupun eksternal (masyarakat secara luas). Inilah istilah sosiologis dibangun oleh Gus Dur terhadap pesantren. Bagi Gus Dur, pesantren diharapkan mampu memberikan sumbangsih dan perubahan dikalangan masyarakat yang lebih luas atas apa yang dimiliki dan tata nilai yang telah ditanamkannya.

1) Asal-Usul Tradisi Keilmuan

Hal penting yang harus digaris bawahi disini yaitu bahwa pesantren merupakan pendidikan Islam. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mimiliki ciri- cirinya sendiri, pesantren mempunyai tradisi keilmuan sendiri dari pada lembaga- lembaga yang lain. Tradisi ini mengalami perkembangan dari masa kemasa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Namun, beberapa hal inti tradisi keilmuan pesantren tidak hilang sejak datangnya Islam ke Indonesia.37

Bahkan tradisi tersebut telah mengakar hingga saat ini, misalnya disetiap pesantren-

36 Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi, h. 32 37 Abdurrahman Wahid, Asal-Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren, h. 121

72

pesantren salaf ia selalu mengedepankan mengkaji kitab-kitab kuning klasik sebagai rujukan utama dalam memahami ilmu-ilmu agama Islam.

Gus Dur menyebutkan bahwa awal mula tradisi keilmuan pesantren sudah ada sejak perkembangan ilmu-ilmu Islam yang pertama. Sejarah panjang keilmuan Islam menekankan Al-Qur’an dan Hadits tentang pentingnya arti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya. Atas daras itu bagi Gus Dur, Islam telah mengembangkan perangkat keilmuan sejak dini dari sejarahnya yang panjang.

Bahkan sejak masa pertama di Madinah, munculah orang-orang yang ahli dalam penafsiran al-Qur’an seperti Abdullah ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Mas’ud yang menjadi ahli perihal hukum agama, ada juga Zaid ibn Tsabit sahabat yang hafal al-

Qur’an dan menuliskannya. Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan al-

Qur’an dan Hadits sebagai objek ilmu, bukan hanya sekedar wadah pengamalan sehari-hari.38 Dimasa inilah puncak kejayaan para ilmuan Islam sangat bersinar bahkan ia mampu memberikan sumbangsih peradaban dunia.

Kemudian tradisi keilmuan pesantren juga bersumber dari dua gelombang, yaitu: pertama, gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan

Nusantara dalam abad ke-13 Masehi, bersamaan masuknya Islam ke kawasan ini dalam lingkup yang luas. Kedua, gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di Semenanjung Arabia, khususnya di Makah dan kembali ke tanah air setelah selesai untuk membangun dan mendirikan pesantren-pesantren. Kedua gelombang ini menurut Gus Dur yang menjadi sumber dari tradisi keilmuan Islam

38 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, h. 213

73

yang berkembang di pesantren.39 Jalinan silsilah keilmuan ini terus dirawat dipesantren-pesantren sebagai suatu rantai keilmuan yang tersambung sehingga terdapat sanad keilmuan yang jelas, tidak terputus antara satu guru dengan guru yang lainnya.

Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber tradisi keilmuan Islam di pesantren. Pada gelombang pertama yag datang ke Indonesia merupakan manifestasi keilmuan Islam yang berupa tasawuf dan ilmu-ilmu syari’ah pada umumnya. Terdiri dari fiqh, tauhid, ilmu hadits, tafsir, akhlak dan ilmu-ilmu lainnya yang ada di wilayah Timur Tengah pada waktu itu.40 Di gelombang pertama yang diajarkan adalah ilmu-ilmu poko dalam Islam atau yang dikenal dengan sebutan ushûl al-Dîn

(pokok-pokok agama).

Selang beberapa abad, tepatnya pada abad ke-19 terjadi suatu perubahan secara berangsur-angsur. Ada banyak anak-anak dari konglomerat, cendikiawan, ulama dan bahkan dari anak-anak seorang petani kaya mengirimkan mereka untuk belajar di Timur Tengah. Dan pada akhirnya mereka membentuk suatu korps ulama ulama yang tangguh yang mendalami ilmu-ilmu agama di Semenanjung Arabia, terutama Makah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai

Mahfudz Termas, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shamad

Palembang, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Khalil Bangkalan dan deretan ulama-ulama

39 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, h. 128 40 Abdurrahman Wahid, h. 128

74

lainnya yang saling berkesinambungan tanpa terputus sampai saat ini.41 Mereka inilah yang membawa orientasi baru pada manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fiqh secara tuntas. Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan secara serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab fiqh secara besar-besaran, melainkan juga mengembangkan alat bantunya, seperti ilmu- ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan juga tentunya dengan ilmu-ilmu akhlak.42 Disini bisa kita pahami bahwa terdapat perubahan dari masa awal hingga baru tehadap orientasi keilmuan di pesantren, akan tetapi disatu tradisi sanad atau silsilah keilmuan pesantren selalu dijaga dari satu guru ke guru lainnya.

2) Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren

Dalam tradisi pesantren Gus Dur menyebutkan bahwa hal paling penting dalam tercapainya pendidikan yaitu; pertama, suatu bimbingan yang terarah yang disiapkan oleh para kiai terhadap para santri-santrinya. Dari sudut pandang hubungan kiai-santri, kepemimpinan kiai meletakkan kerangka berpikir untuk melaksanakan kewajiban menjaga pengetahuan ilmu agama. Elemen dasarnya adalah literatur universal yang dipelihara dan diajarkan dari generasi ke generasi selama berabad- abad, hal ini secara langsung berkaitan dengan konsep kepemimpinan kiai yang unik.

Kitab-kitab klasik tersebut, bila dilihat dari sudut pandang masa kini menjamin

41 Abdurrahman Wahid, Menngerakkan Tradisi, , h. 224 42 Abdurrahman Wahid, Menngerakkan Tradisi, , h. 125

75

berlangsungnya “tradisi yang benar” dalam rangka melestarikan ilmu pengetahuan agama yang ditinggalkan kepada masyarakat Islam oleh para imam besar masa lalu.43

Kemudian kedua, prinsip aplikatif, bahwa menurut Gus Dur pesantren memiliki peran ganda yaitu memelihara “warisan” pegetahuan masa lalu dan menerapkannya dalam kehidupan sosial masyarakat secara bersamaan. Ketiga, sistem nilai yang unik, pengandungan ajaran-ajaran keislaman secara total dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari oleh para kiai dan santri merupakan keharusan. Model penerapan ini merupakan arus utama dalam sistem nilai ini. Disinilah sistem nilai ini memaikan peran penting dalam membentuk kerangka berpikir masyarakat yang dicita-citakan orang-orang pesantren bagi masyarakat secara luas. Contohnya, kesalehan, adalah salah satu nilai yang sering digunakan oleh para kiai pesantren untuk memupuk solidaritas diantara berbagai lapisan kelas sosial.44 Sistem nilai inilah yang dirumuskan oleh Gus Dur dalam membentuk suatu watak pemahaman dan perilaku masyarakat. Ketika sistem nilai ini sudah diamalkan bagi masyarakat luas diharapkan ia akan berdiri secara kokoh dan mandiri dalam membangun suatu pola kehidupannya, itulah yang ingin dibangun oleh Gus Dur dalam rumusannya tentang pesantren sebagai subkultur.

43 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 136-137 44 Ibid, h. 142 - 143

BAB IV

ISLAM KOSMOPOLITAN TERHADAP KONTEKS SOSIAL KEAGAMAAN

DI INDONESIA

Pada bab sebelumnya, penulis telah mengantarkan pada akar pemikiran Islam kosmopolitan Gus Dur. Akar tersebut merupakan geneologi bagaimana pemikiran genuin Gus Dur dirumuskan baik melalui jejak pemikiran maupun tindakan nyata.

Gus Dur merumuskan tentang tentang hak-hak dasar yang dikembangkan oleh ulama klasik Islam yaitu Imam al-Ghazali1, yang disebut dengan al-ushûl al-khamsah (lima hak dasar masyarakat). Sedangkan Imam Asy-Syatibi2, menyebutnya dengan istilah al-durûriyyat al-khamsah, lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada masyarakat baik secara individual maupun kelompok.3 Lima hak dasar tersebut yaitu,

(1) hifz al-Nafs; hak dasar akan keselamatan fisik, (2) hifz al-Din; hak dasar akan keselamatan keyakinan atau agama, (3) hifz al-‘Aql; hak dasar akan keselamatan akal,

(4) hifz al-Nasl; hak dasar keselamatan keluarga atau keturunan, dan (5) hifz al-Mal; hak dasar akan keselamatan harta benda serta pekerjaan atau profesi.4 Dalam hal ini

Gus Dur menyebutnya dengan istilah Universalisme Islam.

Universalisme Islam merupakan gagasan pemikiran Gus Dur yang lahir dari geneologi pemikir-pemikir Islam klasik yang kemudian dimanifestasikan dalam

1 Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali lahir di Thus pada 1058 H/450 H. Ia adalah seorang filsuf dan teolog Muslim, wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M di kota kelahirannya. 2 Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi asy-Syatibi merupakan Imam dari madzab Maliki, ia wafat pada 8 Sya’ban 790 H di Granada. Ia banyak menulis tentang ushul fiqh dan hukum Islam. 3 Ahmad Suaedy, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, h. 400 4 Ahmad Suaedy, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, h. 400

76

77

ajaran-ajaran Islam. Ia merupakan jaminan agama Islam terhadap kelangsungan hidup manusia. Gus Dur menyebut universalisme Islam sejatinya serapan dari intisari ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang humum agama (fiqh), keimanan (tauhid), dan etika (akhlak).5 Bagi Gus Dur unsur-unsur bidang inilah yang menampilkan kepedulian terhadap unsur-unsur kemanusiaan.

Dalam universalisme Islam tersebut kemudian dikontekstualisasikan dan ditransformasikan oleh Gus Dur kedalam berbagai diskursus. Pada penelitian ini penulis memfokuskan terhadap konteks sosial-agama yang mencakup perlindungan hak asasi manusia (HAM), penegakkan demokrasi serta kerukunan umat beragama dan toleransi di Indonesia. Tiga garis besar ini yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

Rumusan yang digagas oleh Gus Dur inilah yang akan melahirkan watak

Islam kosmopolitan, diantaranya yaitu terciptanya keseimbangan normatif kaum

Muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat dalam hal ini termasuk non-

Muslim. Kemudian ia juga memunculkan usur-unsur seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas pandangan politik. Ia juga melahirkan pemahaman baru tentang bagaimana Islam mampu memberikan solusi dan peduli terhadap orang kecil, yang diperlukan tidak adil dan diskriminatif melalui semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif.6 Mengenai itu, penulis akan membahasnya lebih lanjut bagaimana gagasan itu dikebumikan dan diimplementasikan secara nyata

5 Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Perdaban Islam, h. 3 6 Abdurrahman Wahid, h. 14. 78

oleh Gus Dur sehingga mampu memberikan pengaruh bagi pemahaman keislaman di

Indonesia.

A. Konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia

Pemikiran Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pandangan Gus Dur

memiliki paradigma tersendiri terhadap hal tersebut. Dari pandangannya tersebut

melahirkan suatu pemahaman Islam yang tidak kaku dan monoton terhadap

persoalan-persoalan kompleks yang ada didalam masyarakat. Sehingga pandangan

keislaman seperti ini selalu mengedepankan nilai-nilai universal dan mampu

menjawab persoalan-persoalan kelangsungan hidup manusia.

Ini merupakan respon Gus Dur terhadap persoalan yang muncul diranah

publik, seperti halnya sikap ia tehadap bagaimana Islam dan negeri-negeri Muslim

yang melakukan retifikasi atas Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi

Universal tentang Hak Asasi Manusia).7 Dalam deklarasi tersebut, tercantum bahwa

pindah agama adalah hak asasi manusia.8 Padahal hukum fiqh/hukum Islam pada

waktu itu masih berpegang teguh bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain

adalah kemurtadan (aspostasy), yang patut dihukum mati.9 Atas suatu gejolak ini

kemudian Gus Dur melahirkan suatu pandangan tersendiri dalam merespon hal

tersebut. Ia berpendapat bahwa suatu perumusan hukum haruslah sesuai dengan

7 Universal Declaration Of Human Right (Deklarasi Universal HAM) ditetapkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal yang menggaris besarkan pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak asasi manusia (HAM). Sejak deklarasi itu diproklamirkan, beberapa negara telah ikut memprolamirkan deklarasi tersebut. 8 Abdurrahman Wahid, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, www.gusdur.net/id/gagasan-gus- dur/islam-dan-hak-asasi-manusia diakses pada Rabu, 19 Maret 2020 Pukul 15:50 WIB 9 Abdurrahman Wahid,” Islam dan Hak Asasi Manusia”, www.gusdur.net/id

79

prinsip-prisip yang digunakan. Bahwa Islam memang menjadi agama disetiap masa dan tempat (shalihun li kulli zaman wa al-makan).

Satu contoh dalam hal ini misalnya, pendapat Gus Dur tentang perbudakan

(slavery) yang banyak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Ia menyebutkan bahwa perbudakan itu sudah tidak relevan lagi, bahkan harusnya kaum Muslim sudah tidak mengakuinya terhadap pandangan kuno itu. Gus Dur berpendapat bahwa umat Islam seharusnya melakukan ijtihad untuk melakukan reformasi hukum fiqh yang baru, tidak mengikuti hukum fiqh yang sudah berabad-abad lamanya.10 Pandangan ini berdasarkan firman Allah QS. al-Rahman ayat 26-27 yang dikutip oleh Gus Dur berbunyi:

ٰ ُك ُّل َم ۡن َعلَۡي َها َف ٖان ٢٦ َويَۡبقَ ٰى َو ۡجهُ َربِّ َك ذُو ۡٱل َج َل ِّل َو ۡ ِّٱۡل ۡك َر ِّام ٢٧

Artinya: “Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan” (QS. al- Rahman: 26-27). Sebagai landasan lainnya, Gus Dur juga mengutip pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi: “al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujûdan wa’adaman”, artinya

“hukum agama sepenuhnya tergantung pada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sediri”.

Gus Dur menyebutkan ketentuan ushul fiqh (teori hukum Islam) membagi hukum agama (qarâr al-hukmi) menjadi dua jenis; qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) dan dhaniyah al-

10 M. Syafi’i Anwar,“ Membingkai Potret Politik KH. Abdurrahman Wahid” dalam pengantar buku Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), 2006, Cet. 1. h. xxiv 80

tsubût (hukum yang berdasarkan pada dalil aqli “akal” bukan pada sumber tertulis).

Maka dengan demikian, Gus Dur berpandangan selagi dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat berlaku pada pandangan akal, selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.11 Disini Gus Dur berpendapat bahwa jika terdapat suatu persoalan dan kasus yang tidak ada sumber tertulisnya, maka dibuatlah hukum yang berdasarkan pada akal.

Pandangan ini juga lahir tentang bagaimana suatu rumusan Gus Dur menempatkan hak asasi manusia dan al-Qanun al-Jinâî al-Islâmî (Hukum Pidana

Islam) dalam pandangan hidup Islam. Gus Dur menyebutkan bahwa latar belakang kultural untuk menghargai sikap sesama manusia dan menghormati hak orang lain terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri. Ia menyebutkan beberapa aspek, diantaranya yaitu:12

1) Penciptaan dan penempatan manusia sebagai makhluk yang memiliki

derajat kemuliaan harus ditempatkan dan diperlakukan dengan perlakuan

yang mulia pula. Hak-haknya dilindungi oleh hukum dalam pandangan

Islam. Karena Allah menempatkan manusia sebagai pengganti/wakil-Nya

(khalifah) dimuka bumi, sebagaimana disebutkan secara eksplisit oleh al-

Qur’an.

11 Abdurrahman Wahid, Islam dan Hak Asasi Manusia, h. 127 www.gusdur.net/id/gagasan- gus-dur/islam-dan-hak-asasi-manusia diakses pada Rabu, 19 Maret 2020 Pukul 15:50 WIB

12 Abdurrahman Wahid, Hukum Pidana Islam dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta:The Wahid Institute), 2007, h. 366-367 81

2) Penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah

tata hukum (syari’at Islam) yang universal dan menghargai hak-hak asasi

manusia. Hukum hanya dapat dilaksanakan dengan baik dan adil jika hak-

hak perorangan dan serikat dirumuskan dengan jelas sesuai dengan tata

hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat.

3) Pandangan untuk memperlakukan seluruh kehidupan sebagai kerja

peribadatan. Hal imi akan melandasi kehidupan seorang Muslim yang

senantiasa berpegang teguh pada pengertian yang jelas antara hak-hak dan

kewajiban dalam mengatur hidup masing-masing.

Ketiga pandangan ini yang menjadi pondasi bagaimana pemahanam Islam yang digagas oleh Gus Dur menempatkan hak asasi manusia sepenuhnya sesuai dengan intisari nilai-nilai ajaran Islam. Ia tidak bertentangan satu sama lain, bahwa

Islam menjamin kehidupan individu dan kelompok dalam kehidupannya. Bagi penulis, pandangan Islam yang kosmopolit inilah yang memberikan efek/pengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ia mampu menempatkan

Islam dan hak asasi manusia dalam koridor yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Sejatinya pemahaman seperti ini yang harus dikembangkan dan diformulasikan dalam kehidupan masyarakat secara nyata. 82

Gus Dur dalam tulisannya “Hukum pidana Islam dan hak asasi manusia” mengutip pendapat Khalid M. Ishaque13 seorang ahli hukum Islam asal Pakistan tentang empat belas hak asasi manusia dalam hukum Islam, yang kesemuanya bersumber dari al-Qur’an. Kesemuanya itu mendukung tujuan manusia untuk membina dan membentuk makhluk yang memiliki moral sempurna (a morally perfeck being).14

Empat belas hak asasi manusia dalam Islam itu adalah (1) hak memperoleh pandangan hidup, (2) hak memperoleh keadilan, (3) hak memperoleh persamaan perlakuan, (4) kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hukum, (5) hak untuk terjun kedalam kehidupan masyarakat, (6) hak memperoleh kemerdekaan, (7) hak memperoleh kebebasan dari pengejaran dan penuntutan (conviction), (8) hak menyatakan pendapat, (9) hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar agama, (10) hak memperoleh ketenangan perorangan

(privacy), (11) hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yang dilakukan, (12) hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik, (13) hak atas benda dan harta milik,

13 Khalid M. Ishaque adalah seorang ahli hukum pidana Islam terkemuka asal Pakistan, ia lahir pada 06 Agustus 1926 di Shikarpur Sindh. Ia juga seorang praktisi hukum sebagai pengacara umum di Mahkamah Agung Pakistan. Karyanya yang fenomenal yaitu Human Right in Islamic Law terbit pada 1974. 14 Alamsyah M. Ja’far, (In)toleransi; Memahami Kebencian & Kekerasan atas Nama Agama, (Jakarta: Elex Media Komputindo), 2018, h. 99-100 83

dan (14) hak memperoleh imbalan yang pantas dan pergantian kerugian yang sepadan.15

Dalam hal ini Gus Dur menambahkan dua hak lain, yaitu: (1) hak memperoleh perlindungan dari serangan fisik dari alat-alat pemerintahan dengan dalih apapun, (2) hak untuk memperoleh bantuan dalam memperjuangkan tuntutan bagi mereka yang teraniaya atau kehilangan haknya atas harta milik yang menjadi bagiannya.16 Dua hak tambahan Gus Dur ini menjadi pelengkap dan poin penting bagaimana sebenarnya

Islam sangat memperhatikan persoalan-persoalan hak asasi manusia dalam menentukan kemerdekaan dan kebebasan atas kehendak dirinya.

Dalam pandangan Syafi’i Anwar apa yang dilakukan oleh Gus Dur merupakan sebuah usaha yang untuk melahirkan subtansi fiqh itu sendiri, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai yang termaktub dalam syari’at (al-Maqosid al-

Syariah).17 Rumusan inilah yang akan melahirkan suatu gagasan kosmopolitan bagi

Islam, bagaimana Islam mampu memberikan pemahaman dan solusi bagi kehidupan manusia. Disnini Gus Dur mampu merumuskan suatu pembaharuan fiqh dan HAM yang melahirkan suatu pemahaman keislaman yang progresif.

Dalam kasus lain, Gus Dur mengomentari tentang Islam dan kepemimpinan wanita. Dulu muncul pernyataan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam

15 Abdurrahman Wahid, “Hukum Pidana Islam dan Hak Asai Manusia” dalam buku Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute), 2007, h. 369 16 Alamsyah M. Ja’far, (In)toleransi; Memahami Kebencian & Kekerasan atas Nama Agama, h. 99-100 17 M. Syafi’i Anwar, h. xxiv 84

pandangan agama,18 akan tetapi Gus Dur memiliki pendapat lain. Ia menggunakan beberapa sumber tekstual (dalil naqli) untuk meluruskan pandangan tersebut. Gus Dur menyatakan bahwa hak laki-laki dan wanita itu berimbang, karena memang Islam menjamin hal tersebut. Ia mengutip surat al-Hujarat ayat13 yang berbunyi:

ْۚ إِنَّا َخ َل ۡق َٰنَ ُكم ِ من ذَ َك ٖر َوأُنثَ َٰى َو َجعَۡل َٰنَ ُك ۡم ُشعُ ٗوبا َو َقبَآئِ َل ِلتَعَ َارفُ ٓوا ١٣

Artinya: “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan” (QS. al-Hujarat: 13). Ayat ini dalam pandangan Gus Dur mengisyaratkan persamaan, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana yang disangkakan oleh banyak orang dalam literatur klasik.19 Maka dalam hal ini Gus Dur membantah pandangan diskriminasi terhadap pandangan kuno yang mengesampingkan peran perempuan diranah publik dalam hidup bermasyarakat. Ia selalu menjunjung tinggi peran sesama manusia sebagai suatu pandangan bahwa Islam memang menjamin hak tersebut secara mulia, bukan malah sebaliknya.

Kemudian satu pandangan Gus Dur tentang bagaimana Islam memandang tentang perbedaan keyakinan agama lain. Dalam pandangan Gus Dur perbedaan

18 Dalam pandangan itu didasarkan pada ungkapan al-Qur’an: al-Rijâlu Qawwâmûna ‘alâ al- Nisâ (lelaki lebih tegak atas wanita), QS. al-Nisa:34. Dalam hal muncul dua pandangan: Pertama, laki- laki bertanggung jawab atas keselamatan wanita; dan Kedua, laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin. Banyak kalangan politik Islam memilih pandangan kedua. Lihat Abdurrahman Wahid, “Islam dan Kepemimpinan Wanita” pada www.gusdur.net

19 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute), 2006, h. 129 85

keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dengan agama- agama lain, terutama menyangkut kepentingan umat manusia. Ia mengutip adagium ushul fiqh yang berbunyi: ”mâ lâ yatimu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” artinya “Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula”.

Gus Dur juga mengutip surat al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:

ْۚ إِنَّا َخ َل ۡق َٰنَ ُكم ِ من ذَ َك ٖر َوأُنثَ َٰى َو َجعَۡل َٰنَ ُك ۡم ُشعُ ٗوبا َو َقبَآئِ َل ِلتَعَ َارفُ ٓوا ١٣

Artinya: “Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal” (QS. al-Hujarat: 13). Dalam hal ini Gus Dur menyebutkan bahwa perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui dalam Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).20 Dengan demikina, Gus Dur berpendapat bahwa kerjasama antar berbagai keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat, karena masing-masing memiliki tujuan untuk mensejahtrakan masyarakat. Inilah yang nantinya akan terbentuk suatu persamaan antar agama (dalam pencapaian materi) bukan pada aqidah yang dianut.21 Sehingga keadilan dapat dicapai dalam kehidupan masyarakat. Disinilah Gus Dur mencita-citakan suatu kerjasama antar agama dalam hal muamalat, dalam usaha memenuhi hak hidup dan mencapai kesejahteraan bersama dengan menggunakan ajaran masing-masing.22 Dalam hal ini Islam juga

20 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita,h. 134 21 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita h. 135 22 Ibid, h. 135 86

menjamin kebebasan untuk berkerjasama antar agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini akan melahirkan budaya saling membantu dan gotong royong satu sama lain dalam menciptakah kehidupan yang sejahtera dan damai.

Ini bukti apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia, ia bukan hanya meletakkan konsep belaka, akan tetapi diimplementasikan dalam tindakan nyata khususnya di Indonesia. Gus Dur menjadi garda terdepan bagi terjaminnya HAM setiap individu maupun kelompok atau bahkan terhadap yang non-Muslim sekalipun.

Misalnya, Gus Dur juga membela Ulil Absar Abdalla, salah seorang intelektual muda

NU yang juga tergabung dalam “Jaringan Islam liberal”.23 Bahwa banyak ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati.24 Akan tetapi Gus Dur membela Ulil, ia berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman dan kekerasan. Gus Dur menjadi orang yang berada di garda depan terhadap mereka yang gampang mengkafrkan dan menggunakan cara-cara kekerasan untuk membenarkan pendapatnya.

Bagi Gus Dur, kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.

Tentu saja Gus Dur juga mengetahui batasan-batasannya. Maka dari itu Gus Dur berpendapat karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadiran

Tuhan. Ia mengutip surat al-Qashas ayat 88 yang berbunyi: “kullu syai’in halikun illa wajhah” yang artinya “segala sesuatu musnah kecuali Dzat Allah. Oleh karenanya,

23 M. Syafi’i Anwar,“ Membingkai Potret Politik KH. Abdurrahman Wahid” dalam pengantar buku Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), 2006, h. xxv 24 M. Syafi’i Anwar, ,“ Membingkai Potret Politik KH. Abdurrahman Wahid” dalam pengantar buku Islamku Islam Anda Islam Kita h. xxv 87

setiap orang yang yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang

Muslim.25 Gus Dur juga mengutip sebuah hadits terhadap orang-orang yang

mengatakan Ulil bahwa ia adalah anti-Muslim. Hadits itu berbunyi “man kafara

akhâhu musliman fahuwa kâfirun”, artinya “barang siapa yang mengkafirkan saudara

yang beragama Islam, justru ialah yang kafir”.26 Dalam hal ini Gus Dur membela

orang-orang yang didiskreditkan secara semena-mena dan bahkan diancam

kekerasan. Gus Dur menjadi orang yang membela Ulil sekalipun ia berbeda

pandangan darinya. Gus Dur menganggap bahwa Islam menjamin suatu kebebasan

berpendapat dan berpikir. Bagi penulis, pemehaman Islam yang seperti inilah yang

akan mewujudkan watak kosmopolit dalam membangun peradaban, ia adalah Islam

yang moderat dan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

B. Konteks Penegakan Demokrasi

Pemikiran Gus Dur menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, terutama dalam

hal Islam dan demokrasi di Indonesia. Zastrow27 menyebutkan bahwa Gus Dur

membangun wacana keislaman yang transformatif dalam memahami Islam, dari

normatik-etik ke pemikiran sosial-universal atau yang sering dikenal dengan istilah

Islam kosmopolit. Dengan tujuan Islam diharapkan mampu menjawab tantangan

zaman secara alternatif tanpa menghilangkan dimensi eskatologis dan semangat

25 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, h. 143 26 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, h. 143 27 Zastrow Al-Ngatawi merupakan sahabat dan asisten pribadi Gus Dur. Ia lahir pada 27 Agustus 1966 di Pati, Jawa Tengah. Ia juga aktif sebagai pengajar, budayawan dan menjadi ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU 2004-2009. Keaktifannya dibidang islam dan kebudayaannya telah banyak melahirkan tulisan-tulisan yang cemerlang. 88

religiusitas.28 Kerangka berfikir ini yang kemudian mempengaruhi pemahaman keislaman dan proses berlangsungnya negara bangsa di Indnesia.

Pada satu sisi lain Gus Dur juga merupakan tokoh dan pendiri Forum

Demokrasi (FORDEM) dimasa Orde Baru29. Kelahirannya sebagai tandingan munculnya ekslusivisme beragama, untuk mengakomodir kekuatan Islam mengusung

Soeharto terpilih kembali menjadi presiden Republik Indonesia. Tokoh-tokoh lain di

Fordem yaitu Arif Budiman, Bondan Gunawan, dan Marsilam Simanjuntak, mereka kemudian sepakat menunjuk Gus Dur sebagai ketua Fordem.30 Di forum inilah Gus

Dur banyak berperan bagaimana gagasan Islam dan demokrasi dikebumikan baik dalam pemikran maupun tindakan nyata. Fordem ini juga merupan kendaraan bagi

Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak demokratis berbangsa dan bernegara di

Indonesia.

Dalam salah satu makalah yang diterbitkan oleh Fordem pada 13 Mei 1991,

Gus Dur mengulas tentang forum ini bahwa fordem merupakan salah satu keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga serta bergerak pada masyarakat yang lebih dewasa dan maju.31 Hal lain yang disampaikan yaitu bahwa proses pendewasaan bangsa tidak lain adalah kecerdasan masyarakat melalui demokratisasi. Demokrasi

28 Zastrow Al-Ngatawi, “Gus Dur, Islam dan Demokrasi” dalam kumpulan artikel Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press), 1997, cet. 1. h. 135 29 Zainal Arifin Thoha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, dalam buku Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press), 1997, cet. 1. h. 142

30 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS), 2010, h. 272 31 Zainal Arifin Thoha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, h. 142 89

yang diinginkan oleh Gus Dur adalah berjalannya suatu kenyataan kemajemukan masyarakat, yaitu adanya berbagai golongan dan kelompok, besar dan kecil, yang berbeda-beda bahkan bertentangan, yang berdasarkan suku, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta pengelompokan dengan dasar lainnya yanh sama-sama berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik.32

Dalam hal ini Gus Dur menginginkan suatu kehidupan masyrakat yang majemuk yang menjunjung kebebasan dan hak aspirasi warganya.

Pada satu sisi eksternal, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang bergerak melalui kultural, ia mampu menjaga jarak dari kekuasaan untuk mengontrol secara kritis pembangunan pemerintah. Dengan ini, Gus Dur mampu meneladani langkah- langkah untuk menerapkan ajaran universalisme Islam dan aktualisasi kosmopolitanisme peradaban Islam, yakni terciptanya suatu pluralitas budaya, etnis, agama dan heterogenitas politik.33 Gus Dur banyak menuangkan ide pemikirannya yang luas dalam memandang realitas sosial yang terjadi dengan wawasan keislaman yang mendalam demi kehidupan berbangsa dan berneraga tanpa menghilangkan esensi ajaran agama itu sendiri.

Dalam memandang konsep negara Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak mengenal sebuat sisitem negara secara formal. Bagi Gus Dur Islam tidak mengatur konsep yang jelas tentang negara. Pandangan ini berdasarkan pada proses pergantian pemimpin dimasa Rasulullah dan sahabat-sahabat Nabi. Saat Rasulullah wafat, tiga

32 Zainal Arifin Thoha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, h. 143 33 Zainal Arifin Thoha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, h. 144 90

hari setelah itu baru digantikan oleh Abu Bakar.34 Dan kemudian pergantian pemimpin setelahnya., tidak ada sistem baku. Sejarah inilah yang menjadi dasar oleh

Gus Dur bahwa Islam tidak meninggalkan sistem pergantian kepemimpinan yang jelas atau baku.

Maka bagi Gus Dur, gagasan Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Akan tetapi Islam lebih dipahami sebagai sebuah sisitem-nilai. Bagi Gus Dur, hal ini tidak mengurangi kebenarannya, asalkan Islam memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.35 Pemahaman seperti ini yang akan menghidupkan sistem demokrasi di Indonesia, dimana Islam yang digagas oleh Gus Dur tidak terjebak pada formalisasi akan tetapi pada sistem nilai atau esensi ajarannya.

Gus Dur berpendapat bahwa mendirikan negara Islam untuk kepentingan

Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan pada kedaulatan hukum disuatu pihak dan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara dihadapan Undang-Undang.36 Maka seharusnya penanaman ajaran Islam itu tidak melulu memaksakan legal formal, inilah yang ditekankan oleh Gus Dur.

Dalam memahami persoalan kepemimpinan dalam sebuah negara misalnya,

Gus Dur lebih menekankan pemahaman keislaman yang lebih mengedepankan

“maslahah al-ammah” (kemaslahatan umum) bagi berjalannya suatu negara. Ia

34 Abdurrahman Wahid, “Negara Islam Adakah Konsepnya?”, dalam Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), 2006, h. 81-84 35 Abdurrahman Wahid, “Adakah Sistem Islami?”, h. 7 36 Abdurrahman Wahid, “Adakah Sistem Islami?”, h. 7 91

mengedepankan ini berdasarkan pada suatu adagium fiqh : “tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah” (kebijakan seorang pemimpin atas rakyat sepenuhnya berdasarkan atas kesejahteraan rakyat).37 Andagium inilah yang menjadi dasar oleh Gus Dur dalam memandang kepemimpinan di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia ini. Negara yang mejemuk menjamin kebebasan warganya dalam memilih dan menentukan pemimpinnya, tidak berdasarkan suku, ras atau agamanya melaikan berdasarkan sikap, kejujuran dan orientasi kemaslahatannya.

Gus Dur mengutip ayat Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 sebagai landasan bahwa Islam lebih mengedepankan masyarakat yang adil dan makmur, ayat itu berbunyi:

َّمآ أَ َفا ٓ َء َّٱَّللُ َع َل َٰى َر ُس ِول ِۦه ِم ۡن أَ ۡه ِل ۡٱلقُ َر َٰى َ ِ َّلِلَفِ َو ِل َّلر ُس ِول َو ِل ِذي ۡٱلقُ ۡربَ َٰى َو ۡٱليَ َٰتَ َم َٰى َو ۡٱل َم ََٰس ِك ِين َۢ َو ۡٱب ِن َّٱلسبِ ِيل َك ۡ ي ََل يَ ُك َون دُولَةَ بَۡي َ ن ۡٱۡلَ ۡغنِيَآ ِء ِم ُنك ْۡۚم ٧

Artinya:

”Apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai penguatan dari kaum non-Muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar dikalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian.” (QS. al-Hasyr: 7) Bagi Gus Dur, ayat ini menjadi bukti bahwa Islam lebih mengedepankan pada fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, tidak memberikan pengertian khusus tentang bentuk negara. Dengan ini, Gus Dur mencita-citakan dengan jelas

37 Abdurahman Wahid, “Islam dan Formalisme Ajarannya”, h. 22 92

bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dari pada masalah bentuk negara.

Inilah yang lebih ditekankan oleh Gus Dur dalam membangun bangsa, bukan malah menentangnya, memaksakan formalilisasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Dengan mengedepankan hal ini, Gus Dur mencita-citakan bahwa Islam akan mampu menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam konteks hidup bernegara.38

Zastrow menyebutkan bahwa ada dua unsur yang dilakukan oleh Gus Dur dalam upaya transformasi sosial masyarakat, yaitu: pertama, Gus Dur menggugat paham keislaman yang cenderung normatif-formal. Karena bagi Gus Dur pola pikir ini akan melahirkan suatu pemahaman yang ekslusiv, sehingga menjebak Islam dengan keterasingan empiris, ia tidak mampu berdialog dengan kenyataan. Kedua,

Gus Dur melakukan integrasi kultural, ia melakukan evolusi kebudayaan yang terus berlangsung dan menuntut perubahan secara terus-menerus. Misalnya, Gus Dur mencoba mendialogkan agama dengan realitas sosial, disyaratkan adanya integritas yang utuh antara agama dengan kebudayaan, tanpa menghilangkan esensi dari nilai ruh agama itu sendiri.39 Upaya ini yang kemudian melahirkan gagasan pribumisasi

Islam Gus Dur, bagaimana Islam dan kebudayaan saling mengisi satu sama lain tanpa adanya tumpang tindih antara satu nilai dengan nilai yang lain. Proses ini dilakukan oleh Gus Dur sebagai suatu jembatan memahami Islam dengan realitas dan

38 Abdurahman Wahid, “Islam dan Formalisme Ajarannya”, h. 24 39 Zastrwow Al-Ngatawi, “Gus Dur, Islam dan Demokrasi”, h. 135 93

kebudayaan yang ada di masyarakat sehingga Islam tidak bersifat kaku atau bahkan statis.

Ahmad Suaedy40 menyebutkan bahwa Gus Dur adalah tokoh yang mendalami perdebatan wacana Islam dan demokrasi, Gus Dur berpendapat bahwa Islam itu kompatibel dengan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tapa harus melakukan perubahan paradigmatik di dalam Islam itu sendiri untuk disesuaikan dengan paradigma sekuler Barat. Akan tetapi, menurut Gus Dur Islam harus melakukan transformasi melalui pengalaman dari warisan intelektual klasik dan tradisi yang hidup didalam masyarakat untuk menjawab modernitas.41

Dalam pandangan Gus Dur, Islam harus mampu melakukan transformasi didalam dirinya untuk bisa melakukan transformasi didalam masyarakat. Gus Dur memandang bahwa penegakkan keadilan, termasuk didalamnya demokrasi dan HAM didalam Islam tidak hanya ditempatkan pada pesan moral atau etos kerja belaka, melainkan sebagai pesan agama yang diperintahkan oleh Al-Qur’an.42 Dengan demikian nilai-nilai keadilan, demokrasi dan hak asasi manusia merupakan esensi dari ajaran Islam itu sendiri, ia tidak bertentangan ataupun tupang tindih satu sama lain.

40 Ahmad Suaedy merupakan sahabat karib Gus Dur, ia pernah menjabat sebagai direktur The Wahid Institute. Banyak menulis pemikiran-pemikiran tentang Gus Dur dan keislaman, ia mempunyai komitmen dan perhatian intelektual mengenai agama, perdamaian, dialog dan kesejahteraan masyarakat yang bertujuan menunjukkan Islam yang ramah dan plural. 41 Ahmad Suaedi, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama), 2018, h. 392 42 Ahmad Suaedy, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, h. 393 94

Dalam pandangan Gus Dur bahwa Islam nampak sangat jelas bagaimana keadilan itu harus ditegakkan, baik dalam prinsip maupun prosedurnya43. Pandangan ini berdasarkan pemahaman QS. al-Nisa ayat 135 yang mengatakan :

َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّ ِذ َين َء َامنُوا ُكونُوا َق ََّٰو ِم َين بِ ۡٱل ِق ۡس ِط ُش َهدَآ َ ء ِ ََّّللِ َولَ ۡو َعلَ َٰٓى أَنفُ ِس ُك ۡم ١٣٥

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi- saksi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (QS. al-Nisa: 135). Gus Dur memandang ayat ini bahwa rasa keadilan adalah titik sentral dalam agama Islam. Maka baginya, pemimpin negara harus mengedepankan hal ini untuk menunaikan tugas mewujudkan kesejahtraan bagi rakyat yang telah disebutkan.44

Dalam hal ini, kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai apabila pemimpinnya menempatkan keadilan hanya sebagian masyarakat saja tidak menyeluruh secara nyata. Gus Dur tidak memandang lagi perbedaan antara Muslim dan non-Muslim secara aliran, ia memandangnya sebagai suatu warga negara yang setara dan diperlakukan sama.

Gus Dur menyebutkan ada tiga prinsip utama didalam Islam, yaitu: musâwah

(prinsip persamaan), ‘adalah (prinsip keadilan), dan syûra (prinsip musyawarah/demokrasi).45 Menurut Gus Dur nilai-nilai inilah yang bersumber pada

Al-Qur’an, bukan pada formalisme teksnya. Dalam penegakkan demokrasi di

43 Abdurrahman Wahid, ”Islam Negara dan Rasa Keadilan”, dalam dalam Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute), 2006, h. 92 44 Abdurrahman Wahid, “Islam Negara dan Rasa Keadilan”, h. 92 45 Ahmad Suaedy,Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, h. 394 95

Indonesia maka pemahaman ini sesuai, tidak bertentangan dengan sistem negara dan

Pancasila sebagai ideologi negara.

Dalam memandang prinsip persamaan (musâwah) dan demokrasi (syûra), menurut Gus Dur transformasi Islam terkait dengan penegakkan demokrasi dan HAM tidak cukum melakukan perubahan diluar saja, akan tetapi harus dimulai dari transformasi pemahaman didalam agama itu sendiri. Untuk itu bagi Gus Dur, Islam harus merumuskan kembali pandangan-pandangan mengenai martabat manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antar sesama umat manusia.46 Disinilah akan terciptanya suatu keadilan yang universal dan menyeluruh, tidak pandang suku, ras dan agama.

Bagi Gus Dur agama dapat berfungsi sebagai pembebasan (tahrir/liberation) apabila sebuah agama memasuki tataran baru, misalnya pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuk paling kongkrit seperti penanggulangan kemiskinan, penegakkan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat.47 Dengan dilaksanakanya hal ini prinsip persamaan dan demokrasi dalam agama akan terwujud secara nyata. Terwujudnya suatu kosmopolitanisme Islam yang selalu mengedepankan pluralitas budaya, etnis, agama dan heterogenitas politik.

46 Ahmad Suaedy, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka, h. 395 47 Abdurahman Wahid, ”Agama dan Demokrasi” dalam , Islam Kosmopolitan, (Jakarta: The Wahid Institute), 2007, h. 287 96

C. Pluralisme dan Toleransi di Indonesia

Gus Dur merupakan tokoh pluralisme dan toleransi di Indonesia. Ia

menempatkan gagasan kerukunan umat beragama dan toleransi sebagai sebuah asas

membangun persatuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Sehingga keterbukaan dan

dialog antar umat beragama begitu terbuka, saling paham satu sama lain. Jalan ini

yang digunakan Gus Dur untuk membuka wacana keagamaan yang inklusif, terbuka

dan moderat dengan mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa dan esensi ajaran

agama.

Susilo Bambang Yudhoyono presiden Republik Indonesia ke enam, pada saat

pemakaman Gus Dur dalam pidatonya, Ia mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak

Pluralisme Indonesia. Penyebutan ini tentunya atas kiprah Gus Dur terhadap tindakan

dan gagasan lintas agama yang ia lakukan. Dalam pandangan Gus Dur bahwa

pluralisme harus diaktualisasikan dalam pemikiran dan tindakan karena inilah ayang

akan melahirkan kerukunan umat agama dan toleransi.48

Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa Gus Dur adalah seseorang yang

memahami dan menghayati agama Islam secara terbuka. Didalam dirinya adalah

sosok pribadi yang menolak segala bentuk primordialisme dan sektarianisme. Ia

adalah seorang yang matang dalam memeluk Islam sehingga ia tidak terancap

terhadap bentuk pemahaman agama lain, melaikan ia menyatukannya sebagai suatu

kerukunan dalam menciptakan kehidupan manusia yang damai.49

48 Surya Adi Sahfutra,”Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur untuk Kesetaraan dan Kerukunan”, Jurnal Religi, Vol. X, No. 1 Tahun 2014, h. 89-113 49 Frans Magnis Suseno,“Pembawa Bangsa Tradisional”, dalam buku Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2000, h. 65 97

Dimata Gus Dur, pluralisme merupakan sebuah pandangan yang menghargai dan mengakui adanya keragaman identitas, seperti suku, agama budaya, bahasa dan lain sebagainya. Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama sebagaimana yang selama ini dituduhkan, karena semua agama tentu memiliki ajaran dan keyakinan masing-masing. Bagi Gus Dur, keberagaman (pluralisme) tidak semestinya menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.50

Indonesia merupakan negara bangsa yang beragam dan mempunyai banyak suku bangsa, agama, ras dan bahasa yang berbeda. Dengan perbedaan ini Gus Dur memcoba membangun paham keislaman yang universal dan terbuka terhadap nilai- nilai agama lain. Buka berarti percaya terhadap kebenaran keyakinannya. Bagi Gus

Dur setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang memiliki titik temu masing- masing dalam kehidupan sosial masyarakat.51 Inilah yang akan dikembangkan oleh

Gus Dur bagaimana Islam menggagas kerukunan antar umat beragama dan menjalin kehidupan yang toleran dalam satu bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pandangan Gus Dur bahwa perbedaan agama atau keyakinan tidak membatasi atau melarang agama untuk saling kerjasama antara Islam dengan agama yang lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan hidup manusia.

Penerimaan itu bisa dimulai dengan keterbukaan dan dialog antar agama dalam

50 Taufani, “Pemikiran Pluralisme Gus Dur”, Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 2, Desember 2018, h. 198-217 51 Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme dan Demokrasi” dalam Islam Kosmopolitan, (Jakarta: The Wahid Institute), 2007, h. 313 98

praktek kehidupan manusia.52 Proses ini akan melahirkan sikap saling memahami antar satu sama lain dan membangun toleransi dalam beragama.

Komarudin Hidayat berpendapat bahwa ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama ini diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun peradabannya. Dengan kata lain, agama diwahyukan untuk manusia tercipda untuk kepentingan manusia. Komarudin menyebutkan agama adalah alat, bukan tujuan.

Dengan bimbingan agama itulah manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal kebaikan yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian sosial).53 Pandangan ini sesuai dengan pendapat Gus Dur yang menunjukkan bahwa sejatinya agama diturunkan untuk kepentingan manusia membangun peradaban dan kehidupannya.

Gus Dur menganggap bahwa perbedaan merupakan suatu keniscayaan dalam

Islam, yang dilarang adalah perpecahannya (tafarruq), ia mengutip firman Allah

SWT, QS: al-Hujarat: 13 yang berbunyi: ْۚ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلنَّ ُاس إِنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم ِ من ذَ َك ٖر َوأُنثَ َٰى َو َجعَۡل َٰنَ ُك ۡم ُشعُ ٗوبا َو َقبَآئِ َل ِلتَعَ َارفُ ٓوا ١٣

Artinya:

“Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal” (QS: al-Baqarah 2:120) Ayat ini bagi Gus Dur bahwa keberagaman itu merupakan fitrah yang lahir dibumi atas keniscayaan Tuhan. Bagi Gus Dur bahwa kerja sama antar berbagai

52 Abdurrahman Wahid, “Islam dan Dialog antar Agama” dalam Islamku, h. 134 53 Komarudin Hidayat,Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina) 1998, h. 61 99

sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat.

Karena masing-masing memiliki tujuan dan keharusan menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda.54 Disinilah menutut Gus

Dur akan tercapai suatu kerjasama bukan pada tataran akidah melaikan pada sisi kehidupan sosial umat beragama.

Dalam pandangan Gus Dur, agama harus menunjukkan fungsi transformatifnya bagi demokratisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, menurut Gus

Dur agama harus menformulasikan konsepsi tentang martabat manusia, persamaan manusia status manusia dihadapan hukum, dan solidaritas sesama antar umat manusia. Ia bependapat bahwa setiap agama harus berinteraksi dengan agama lain dalam bentuk penerimaan nilai-nilai universal, yang akan membawa hubungan antar agama pada tahapan dimana agama mampu melayani masyarakat dalam bentuk yang kongkret, seperti menanggulangi kemiskinan, menegakkan hukum, dan menjamin kebebasan berpendapat.55

Dalam menghadapi masalah interaksi dengan non-Muslim Gus Dur memberikan pemahaman terhadap al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 120, ayat ini yang sering digunakan oleh berbagai oknum untuk menolak kerjasama antar agama dan melakukan tindakan intoleransi.56

َو َلن تَ ۡر َض َٰى َع َنك ۡٱليَ ُهودُ َو ََل ٱلنَّ ََٰص َر َٰى َحتَّ َٰى تَتَّبِ َع ِمل َّتَ ُه ۡۗۡم ١٢٠

54 Abdurrahman Wahid, “Islam dan Dialog antar Agama”, h. 134 55 Surya Adi Sahfutra,”Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur untuk Kesetaraan dan Kerukunan”, Jurnal Religi, Vol. X, No. 1 Tahun 2014, h. 89-113

56 Abdurrahman Wahid, “Islam dan Dialog antar Agama”, dalam Islamku, h. 135 100

Artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka” (QS. al-Baqarah 2:120). Gus Dur memandang ayat ini sering digunakan untuk membenarkan sikap dan tindakan toleransi, karena kata “tidak rela” dianggap melawan atau memusuhi. Maka dalam pandangan Gus Dur kata “tidak rela” berarti tidak dapat menerima konsep- konsep dasar. Tentu saja, hal ini tidak dipungkiri oleh Gus Dur.

Dalam memahami ayat ini, Gus Dur menempatkan secara proporsional tidak rela menerima konsep Islam oleh agama Yahudi atau Nasrani adalah sudah pasti, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi dalam pandangan Gus Dur, seseorang harus menghargai pendapat dan keyakinan yang dianut oleh orang lain, tanpa tergoyangkan keyakinan atau akidah kita terhadap Allah SWT.

Gus Dur meyakini bahwa ajaran yang diwahyukan didalam Islam adalah ajaran yang sempurna, bahwa Islam telah menetapkan prinsip umum secara lengkap dan komprehensif agar dapat menjadi suatu acuan manusia dalam menjalankan kehidupannya. Gus Dur meyakini bahwa Islam mengandung nilai-nilai luhur dan universal yang selalu cocok/sesuai diberbagai situasi dan kondisi. Untuk itu, Gus Dur selalu mengedepankan agar tidak menjadikan perbedaan sebagai bencana, melainkan sebuah anugerah dan kekuatan Tuhan yang harus disyukuri untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Disinilah Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan 101

bukanlah suatu yang dilarang oleh agama, melainkan yang dilarang adalah perpecahan dan perselisihan akibat perbedaan tersebut.57

Dalam menguatkan pendapatnya, Gus Dur mengutip QS. Ali Imran 3:103 yang berbunyi:

ْۚ َو ۡٱعتَ ِص ُموا بِ َحۡب ِ ل َّٱَّللِ َج ِم ٗيعا َو ََل تَ َف َّرقُوا ١٠٣

Artinya: “Berpeganglah tuguhlah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan serta jangan terpecah-belah dan saling berselisih” (QS. Ali Imran 3:103).58 Ayat ini yang menjadi dasar bahwa bagi Gus Dur perbedaan pendapat itu penting, akan tetapi pertentangan dan perpecahan merupakan sebuah malapetaka.

Dalam hal ini Gus Dur menginginkan suatu pemahaman terhadap masyarakat tentang penyikapan terhadap perbedaan pendapan untuk tidak menjadi persoalan, akan tetapi untuk membangun suatu budaya saling paham dan mengerti satu sama lain.

Dalam pandangan Gus Dur, kunci tegaknya pluralisme ditengan masyarakat tidak hanya pada pada pola hidup berdampingan secara damai, karena hal itu masih cukup rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompuk yang dapat muncul sewaktu-waktu akan terjadi disintegrasi. Akan tetapi diperlukan suatu penghargaan setinggi-tingginya tehadap pluralisme itu sendiri. Yaitu adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog antar satu sama lain secara tulus

57 Taufani, “Pemikiran Pluralisme Gus Dur”, Jurnal Tabligh Volte. 19 No. 2, Desember 2018, h. 198-217 58 Abdurrahman Wahid, Islam, Pribadi dan Masyarakat, dalam Islamku, h. 29 102

sehingga memberi dan menerima antara satu kelompok dan kelompok lain.59 Dalam hal ini Gus Dur mewacakanannya melalui pemahaman keislaman sebagai jembatan menyampaikan esensi ajaran tersebut.

Gus Dur juga mengenalkan bahwa perbedaan bukanlah suatu halangan, akan tetapi sebagai rahmat untuk saling bersatu dalam bekerja sama melaksanakan kebaikan. Gus Dur berpendapat bahwa toleransi itu terkandung dalam kitab suci al-

Qur’an. Disinilah Islam melindungi semua orang, termasuk non-Muslim. Bagi Gus

Dur Gus hal ini sesuai dengan firman Allah QS. al-Anbiya ayat 107:

َو َمآ أَ ۡر َسۡل َٰنَ َك إِ ََّل َر ۡح َم ٗة ِل ۡل َٰعَ َل ِم َين ١٠٧

Artinya: “Tidaklah Ku-utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia” (QS. al-Anbiya: 107).60 Dalam ayat ini Gus Dur menafafsirkan kata “al-‘alamin” sebagai seluruh makhluk yang ada di dunia, bukan hanya umat manusia belaka. Disini Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengayom semuanya. Pemahaman inilah yang menjadi dasar Gus Dur dalam memahami teks dan konteks kehidupan sosial masyarakat yang akan melahirkan Islam yang kosmopolit, yaitu Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ia terwujud dalam keseimbangan hidup secara optimal yang didalamnya masyarakat berperan mengambil inisiatif untuk

59 Fathurrahman, “Membangun Kerukunan Umat Beragama dengan Nilai-Nilai Pluralisme Gus Dur”, Jurnal UNISNU Jepara, Vol. 5 No. 2, Thn 2018, h. 157 60 Abdurrahman Wahid, “ Islam dan Orientasi Bangsa, h. 78 103

mencari wawasan terjauh dengan berpegang pada kebenaran. Perwujudan itu digambarkan oleh Gus Dur misalnya, hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Sehingga Islam mampu mempu menciptakan etika sosial baru dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif.61 Gagasan inilah yang diwacanakan oleh Gus Dur berharap akan berdampak pada pemahaman dan perilaku umat Islam dalam menjalankan kehidupan sosial masyarakat.

61 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 14 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Abdurrahman Wahid memandang Islam sebagai agama yang diturunkan oleh

Allah melalui Nabi Muhammad SAW, membawa risalah kedamaian bagi semua

semesta (rahmat lil’alamin). Ini yang menjadikan Gus Dur meletakkan Islam sebagai

agama yang mengajarkan nilai-nilai universal. Pandangan ini yang melahirkan

universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang termaktub dalam al-maqosid al-

syari’ah, yaitu suatu pengimplementasian manifestasi ajaran-ajaran Islam yang

meliputi hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), serta etika (akhlak). Gus Dur

berpendapat bahwa pada unsur-unsur itulah sesungguhnya Islam menampilkan

kepedulian yang sangat besar terhadap prinsip kemanusiaan.

Penulis memahami bahwa Gus Dur menempatkan ajaran Islam secara

kontekstual, bagaimana sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits dipahami

berdasarkan pada argumentasi logis dan konteks sosial manusia pada zamannya

sehingga melahirkan suatu pemahaman yang moderat, universal dan esensial tanpa

mengurangi intisari dari ajaran Islam itu sendiri. Tentu pemahaman ini lahir dari

perjalanan panjang intelektual Gus Dur yang banyak menyelami berbagai bidang

ilmu-ilmu Islam dan kajian ilmu sosial Barat. Dari pergulatan itulah muncul suatu

transformasi pemahaman yang menyegarkan sesuai pada konteks Islam menempatkan

situasi dan kondisi zaman (sholihun likulli zaman wa al-makan).

Gagasan Islam Kosmopolitan Gus Dur lahir dari konsep universalisme Islam

atau yang disebut sebagai al-maqosid al-syari’ah, yaitu lima jaminan dasar yang

104

105

diberikan Islam kepada masyarakat baik secara individual maupun kelompok. Dalam jaminan dasar tersebut mengandung unsur-unsur kemanusiaan yang diantaranya yaitu prisip persamaan derajat, perlindungan warga masyarakat, dan jaminan hak asasi manusia dan hak hidup bermasyarakat. Lima jaminan dasar inilah yang mengatur bagaimana kelangsungan hidup manusia, baik dalam lingkup sosial masyarakat maupun negara.

Dalam konteks sosial-keagaaman di Indonesia, Gus Dur memandang bahwa

Islam sangat menjamin dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokrasi, kerukunan umat beragama dan toleransi antar sesama, pemahaman ini sangat kompatibel didalam Islam. Pandangan ini melahirkan watak Islam kosmopolit, diantaranya yaitu terciptanya keseimbangan normatif dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat baik muslim maupun non-Muslim, hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas pandangan politik. Pandangan ini juga melahirkan bagaimana Islam mampu memberikan solusi dan peduli terhadap orang kecil, yang diperlukan tidak adil dan diskriminatif melalui semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif.

Dalam konteks penerapan HAM, Gus Dur memposisikan hak asasi manusia sepenuhnya sesuai dengan intisari ajaran Islam, ia tidak bertentangan satu sama lain.

Bagi penulis, pemahaman ini akan mampu menerapkan konsep pemikiran Islam yang menjunjung tinggi martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Islam yang dipahami sebagai nilai agama bukan pada ideologis. Penerapan pemahaman ini pada konteks sosial-keagamaan di Indonesia sangat diperlukan demi terwujudnya nilai-nilai Islam 106

dan implementasi HAM yang tidak saling tumpang tindih, akan tetapi saling mengisi

satu sama lain.

Pada tataran penegakan demokrasi dan pluralisme, penulis berpendapat bahwa

pemahaman Islam kosmopolit akan sangat membantu tegaknya demokrasi dan

pluralisme di Indonesia. Yaitu dengan adanya suatu penghargaan setinggi-tingginya

terhadap perbedaan dan kemajemukan didalam masyarakat baik berdasarkan suku,

agama, bahasa dan keyakinan. Pemahaman ini sangat sesuai dengan Islam yang

berasaskan pada paham keberagaman sebagai keniscayaan-rahmat dari Tuhan

(rahmat lil’alamin). Unsur inilah yang akan mampu mewujudkan keadilan dan

kesejahteraan bagi rakyat, sehingga Islam dapat menjadi solusi bagi persoalan-

persoalan yang terjadi di hulu-hilir problematika umat, bukan hanya menjadi

pedoman ibadah-penghambaan pada Allah semata. Maka jika konsep ini dapat

dipahami dan diimplementasikan dengan baik di Indonesia akan sangat relevan dalam

berjalannya negara-bangsa dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu

terciptanya masyarakat yang terbuka, sejahtera, adil dan makmur.

B. Saran

Perlu suatu pemahaman Islam transformatif yang mampu memberikan solusi

atas problem kehidupan manusia baik dari sisi keagamaan maupun sosial. Bagi

penulis, Islam Kosmopolitan Gus Dur sangat sesuai jika terus dikembangkan dan

diimplementasikan dalam kehidupan secara nyata di Indonesia. 107

Penulis menyadari dalam penelitian skripsi ini masih banyak kekurangan, maka penulis sangat terbuka atas kritik dan saran dari berbagai pihak agar tercipta penelitian secara maksimal

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. “ Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dan Pluralitas”. Jurnal Humaniora. Vol. 3 No. 2 Tahun 2012

Adi Sahfutra, Surya ”Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur untuk Kesetaraan dan

Kerukunan”, Jurnal Religi, Vol. X, No. 1 Tahun 2014

Ahmad Fikri AF, Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, Yogyakarta: LKiS. 2012

Arifin Thoha, Zainal, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, dalam buku Membangun

Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU,

Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

Al-Ngatawi, Zastrow Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan

Gerakan Sosial NU, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

Arif, Saiful, Humanisme Gus Dur; Pergumulan Islam dan Kemanusiaan. Yogyakarta:

ar-Ruzz Media, 2013

A.S Hikam, Muhammad. Deradikalisasi; Peran Masyarakat Sipil Indonesia dalam

Membendung Radikalisme, Jakarta: Kompas, 2016

Barton, Greg, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: Penerbit Saufa, 2016

Fathurrahman, “Membangun Kerukunan Umat Beragama dengan Nilai-Nilai

Pluralisme Gus Dur”, Jurnal UNISNU Jepara, Vol. 5 No. 2, Thn 2018

Hidayah, Nur ”KH. Abdurrahman Wahid, Analisis Terhadap Pemikiran dan Peranan Politiknya di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alaudin Makasar) 2013

108

Hidayat, Komarudin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,

Jakarta: Paramadina, 1998

Ma’shum, Saifullah, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998

M. Ja’far, Alamsyah, (In)toleransi; Memahami Kebencian & Kekerasan atas Nama

Agama, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2018

Mukarom, Sholeh, “Pribumisasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid”, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 2, September 2017

Mibtadin, “Humanisme dalam Perspektif Abdurrahman Wahid”, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010

Mujib, Abdul ”Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 2017

Misrawi, Zuhairi. Gus Dur, Santri Par Exellence. Jakarta: Kompas, 2010

Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010

Nurcholis, Ahmad, Peace Education dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur, Jakarta:

Elex Media Komputindo, 2015

Nasuhi, Hamid dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Ciputat: Penerbit Center for

Quality Development and Assurance, 2007

Suaedy, Ahmad, Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bhineka. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2018

Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian (SekNas JGD). Gus Dur dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: SekNas JGD, 2019

109

Taufani, “Pemikiran Pluralisme Gus Dur”, Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 2,

Desember 2018

Tim INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran Gus Dur, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 Usman. “Pemikiran Kosmopolit Gus Dur dalam Bingkai Penelitian Keagamaan”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol. 10. No. 1 Tahun 2008.

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007

------, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Penerbit Desantara, 2001

------, Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS, 1999

------, Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute, 2006

------, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: Penerbit Saufa, 2016

------, Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009

------, Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta: LAPPENAS, 1981

------, Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKis, 2010

------, Kumpulan Kolom dan Artikel selama Era Lengser. Yogyakarta: LKiS, 2002

------, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural. Yogyakarta: LKiS. 2010

------, Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan, Depok: Penerbit Desantara, 2001

------, Pribumisasi Islam; Pergulatan Agama Negara dan Kekuasaan, Depok: Desantara, 2001

110

Wahid, Abdurrahman dan Ikeda, Daisaku. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010

Wahid, Marzuki, Gus Dur Studies, Yogyakarta: SekNas JGD, 2019 www.wahidinstitute.org// Sejarah dan Visi Misi The Wahid Institute, Tim The Wahid

Institute, diakses pada 17 Januari 2020 www.bbc.com//‘Api dalam Sekam’, Konflik Aceh Singkil, oleh Ayomi Amidomi

diakses pada 5 Februari 2020 www.liputan6.com//masjid Ahmadiyah di Sukabumi dibakar oleh reporter

liputan6.com diakses pada 5 Februari 2020

111